3 minute read

BAB I MEREFLEKSIKAN ADA DAN TIADA

BAB I MERREFLEKSIKAN ADA dan TIADA

Saat kita lahir, semesta terlihat sudah menerima kita, semakin besar maka akan semakin mengenal apa yang ada di dunia ini. Kemudian semakin tumbuh dan berkembang, maka kita “terpaksa” harus membiasakan diri dengan apa yang sudah terjadi di dunia ini. Semuanya terlihat secara kompleks dan secara sistematis, sehingga sulit untuk bertahan hidup bila kita tidak mampu mengadaptasikannya. Sehingga karena sistem tersebut, manusia semakin tenggelam dalam realita keseharian pada “nasib” yang sudah ditentukan masing-masing. Banyak yang menerimanya namun banyak juga yang mencari jati dirinya serta tujuan di kehidupan ini, atau mempertanyakan apa yang sebenarnya ada pada realita ini.

Advertisement

Manusia terus mencari dan tidak akan puas, sehingga munculah istilah Fenomenologi yang berasal dari bahasa Yunani (phainómenon) yang tampak, logos yang berarti ilmu. Sehingga fenomologi adalah sebuah disiplin ilmu dan studi yang memperhatikan penampakan (fenomena) akuisisi pengalaman, serta bagaimana sebuah kesadaran yang dapat mempertanyakan bagaimana pengalaman dan bagaimana pengalaman tersebut terbentuk. Pengalaman yang terlihat dapat berupa pengalaman subjektif dan intensionalitasnya dan mencoba memahami dan menganalisis berbagai kondisi dengan latar belakang sosial, budaya, bahasa, hingga berbagai kemungkinan intensionalitas yang terjadi pada semesta ini.

Berbagai pemikrian filsuf ini memicu berbagai pemahaman yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra, karena sifatnya yang tak terbatas. Namun hal ini lah yang coba dikaji ulang oleh Martin Heidegger, seorang filsuf dari Messkirch Jerman. Setelah “diajarkan” dan memahami fenomologi oleh Edmund Husserl, ia mulai melihat fenomena dengan pendekatan berbagai ontologi dan mencoba memahaminya dari dasarnya secara menyeluruh, bukan hanya melihat dan menginterprestasikanya semata-mata tanpa mencoba memahaminya. Sehingga bersifat tidak reduksionistis dalam memahami ada dan tiadanya pada realitas ini dengan pehamanaya akan Sein und Zeit (ada dan ruang). Namun sebelum memahanimya, kita harus bersifat seperti pemula yang akan belajar hal yang baru, karena akan menjadi berbeda dan semakin kaya melihat pengalaman karena melihat sudut pandang atau perspektif yang lain.

Kemudian sebelum memahami ada dan tiada, tentu kita perlu merefleksikan apa yang ada di diri kita, dan sekitarnya, mengapa kita dapat melihat dan memahami apa yang terlihat oleh kita, menurut Heidegger manusia sudah memiliki kesadaran akan dirinya, peristiwa dan kejadian sekitarnya, namun karena keseharian dan pandangan yang sudah ada, kesadaran tersebut semakin tenggelam dalam keseharian yang padat ini, sehingga ia tidak menjadi otentik lagi. Sehingga selain bersifat seperti pemula, tentu perlu adanya perenungan di tengah keheningan agar pemikiran dapat murni dan tajam dalam memahami realiatas ini.

Marilah kita melihat kenapa kita menerima nasib, lalu mengapa kita melakukan akivitas seharihari kita serta, apakah kita melakukanya karena ingin, atau terpaksa melakukaya secara sada, atau sudah terbawa keseharian. Sehingga dalam membuat keseharian tembus pandang, melalui Dasein (Ada disana, atau yang berarti kesadaran akan disana) manusia dikatakan sebagai penciptakan berbagai hal agar manusia dapat memahami secara nyata melihat pada keseharianya. Misalnya, manusia sudah terbiasa akan tata krama, sistem perdagangan dengan menggunakan uang, sekolah agar kehidupan kita maju, serta mempercayai pemerintahan yang mengatur kehidupan bernegara kita. Nyaman, senang, benci, ataupun menolak dengan kedaan tersebut, kita sudah nyaman dan membiasakan diri karena sistem tersebut sudah kita kenal pada saat lahir di dunia ini, dan sudah terbentuk beratus-ratus hingga beriburibu tahun yang lalu. Padahal dahulu manusia bisa hidup Bahagia dan dikatakan maju karena sistem tersebut, dan hanya menggantungkan hidupnya pada Pemegang kekuasaan tertinggi, yakni kepala suku, roh nenek moyang, ataupun sang pemegang dan pencipta semesta yang tidak terlihat.

Manusia memiliki kelebihan intuisi dalam mengenali keadaan sekitar, serta menganalisis berbagai kemungkinan yang ada untuk keberlangsungan kehidupan dan kebudayaan manusia. Kita melakukan berbagai hal yang ambisius agar mencapai hasil yang terlihat oleh manusia sebagai bagian dari kemajuan jaman. Sehingga kita menciptakan yang ada, padahal sebenarnya tidak ada, namun yang ada kita hilangkan menjadi tidak ada. Misalnya keseimbangan alam, ekosistem, mata rantai dan kepercayaan akan yang maha kuasa, namun karean intangible dan lebih percaya akan tangible sistem yang kita buat, maka kita cenderug meninggalkan itu. itulah mengapa manusia seringkali terjebak dalam keseharian dan tidak menyadari akan yang tidak tangible.

This article is from: