Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Editor In Chief Yusuf Adam Hilman, S.IP, M.Si Editorial Board Rebbeka Risma, S.IKOM, Audra Jovani, S.Sos, MPS Hayat Abdullah, S.AP, M.Si Robby Darwis Nasution, S.IP, MA Ayub Dwi Anggoro, S.IKOM, M.Si Winda Hardiyanti, S.Sos, M.Si Section Editor Rohfin Indriya Gestanti Peer – Reviewer’s Dr. Fernandes Simangunsong, S.STP, S.AP, M.Si Dr. Oman Sukmana, Drs., M.Si Dr. Teguh Yuwono Dr.Habib Ahmad, S.Sos, M.A Drs. Jusuf Harsono, M.Si Andri Putra Kesmawan, S.IP, MIP Dr. Adde Oriza Rio, M.IKom Mochammad Tanzil Multazam, S.H, M.H Achmad Zulfikar, S.IP, M.Si Cahyo Seftyono, S.Sos, M.A Nurudin AB, S.Sos, M.Si Rachmat Kriyantono, Ph.D Alamsyah, S.AP, M.AP Decky Kuncoro, M.IP Published By Social and Politic Department Muhammadiyah University of Ponorogo Editorial Address Jl. Budi Utomo no.10 Siman Ponorogo Indonesia Email: aristo@umpo.ac.id Website : http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo/index
i
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR ISI Daftar Isi Kata Pengantar Nilai Budaya Pedagang Pasar Triwindu dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial Fatwa Nurul Hakim
- 204
Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Menjalankan Fungsi Pemerintahan Berbasis Electronic Government (E-Government) menuju Pembangunan Desa Berdaya Saing Sulismadi, Wahyudi, Muslimin -216 Relasi Gender dalam Kolom Humor “Si Palui” di Banjarmasin Post (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough pada Kolom Humor Si Palui di Banjarmasin Post) Irene Santika Vidiadari -259 Aktivasi Keterlibatan Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti
-291
Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan Drina Intyaswati, Mansur
-331
Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata. Haidar Fikri -344 Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah Mahathir Muhammad Iqbal
-358
Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional Melalui Peran Opinion Leader Niken Lestarini -373 Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat
- 385
Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara Restu Rahmawati, Firman
- 405
ii
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kata Pengantar Assalamualaikum Warohmatullohiwabarokatuh Puji Syukur Kehadirat ALLAH Subhanawata’ala, yang telah memberikan hidayah serta kelapangan hati, sehingga kita dapat diberikan kesempatan untuk berkarya dan menghasilkan berbagai produk ilmu pengetahuan, yang dapat mencerahkan serta mampu berkontribusi pada perbaikan kondisi masyarakat. Karya ilmiah berupa Jurnal merupakan salah satu bagian penting dari praktik Tridharrma perguruan tinggi yang memberikan kesempatan bagi para akademisi, pemerhati, dan juga praktisi untuk mengaplikasikan keilmuannya, sehingga bisa disebarluaskan melalui sarana tersebut. Perkembangan jurnal ilmiah saat ini telah sampai kepada titik dimana pengelolaannya dilakukan secara, open journal system (ojs), yakni memadukan praktik penulisan ilmiah dengan sentuhan teknologi, sehingga karya – karya ilmiah bisa di akses dalam satu waktu dari berbagai belahan penjuru negeri. Jurnal ARISTO (Sosial, Politik, Humaniora), merupakan salah satu terbitan jurnal, yang dikelola oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, untuk menfasilitasi karya – karya terbaik di bidang keilmuan Sosial, Politik, dan Humaniora, aktifitas tersebut dilakukan secara full open journal system (ojs) dengan proses yang panjang dan melibatkan reviewer dari berbagai institusi dan juga disiplin keilmuan dengan format dan ketentuan baku. Besar harapan kami supaya Jurnal ARISTO kedepannya mampu mewadahi karya - karya terbaik, dari berbagai institusi yang ada di dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini diharapkan supaya ada tukar menukar informasi dan juga ilmu pengetahuan supaya kegiatan ilmiah bisa terus membawa kemaslahatan bersama.
Editor In Chief
Yusuf Adam Hilman, S.IP, M.Si
iii
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Nilai Budaya Pedagang Pasar Triwindu dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial Fatwa Nurul Hakim Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI
hakim.fatwa@yahoo.com Abstract The market has functioned as a safety net and employment provider for some communities. Traditional market as a symbol of people's prosperity in every region. This research is conducted to know the culture in Triwindu Market as one of antique market in Surakarta City. Cultural value is expected in accordance with the local wisdom of the city of Surakarta as a city that preserves the culture and cultural values as a crutch to improve the welfare of merchants this research using descriptive qualitative method with purposive sampling and unit analysis of traders antiques merchants motor parts, Heirloom traders, scales traders. Data collection using in-depth interviews. The result of the Culture which is the philosophy that developed in the merchant community and still used as one of the trading principles is "kintir ora keli" which means although following the current trade flows or developing trend but not to lose its trade identity. There is also "jeneng first new jenang" which means to be successful in trading must find a good name first in the eyes of buyers by providing the best service and quality assurance commodities, new customers will get a lot of fortune. Keyword : Culture, Trader, Social Welfare
Abstrak Pasar telah berfungsi sebagai jaring penyelamat dan penyedia lapangan kerja bagi sebagian masyarakat. Pasar tradisional sebagai sebuah symbol kesejahteraan masyarakat di setiap daerah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui budaya yang ada di Pasar Triwindu sebagai salah satu pasar antik di Kota Surakarta. Nilai budaya inilah diharapkan sesuai dengan kearifan local kota Surakarta sebagai kota yang melestarikan budaya dan juga nilai budaya ini sebagai penopang untuk meningkatkan kesejahteraan pedagang penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pengambilan sample secara purposive dan unit analisis pedagang barang antik pedagang onderdil motor, pedagang perpipaan, pedagang pusaka, pedagang timbangan. Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Hasil yang didapat Budaya yang yang dijadikan filosofi yang berkembang di komunitas pedagang dan masih dijadikan sebagai salah satu prinsip dagang adalah “kintir ora keli” yang artinya meskipun mengikuti arus perdagangan ataupun tren yang sedang berkembang namun tidak sampai kehilangan jati diri dagangnya. ada pula “jeneng dulu baru jenang” yang artinya untuk menjadi sukses dalam berdagang harus mencari nama baik dulu di mata pembeli dengan memberikan pelayanan yang terbaik dan jaminan mutu komoditas, baru akan diperoleh pelanggan yang mendatangkan banyak rejeki.
Kata Kunci : Budaya, Pedagang, Kesejahteraan Sosial Submite Review Accepted Surel Corespondensi
: : : :
01 Januari 2017 15 April 2017 20 Mei 2017 hayat@unisma.ac.id
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
204
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pendahuluan Budaya Jawa yang kental membuat Solo selalu masuk daftar destinasi wisata yang patut dikunjungi di Indonesia. Kota yang menyebut dirinya sebagai Spirit of Javatersebut menyuguhkan cerita dan benda sejarah yang selalu menarik perhatian.Bahkan, bagi kolektor barang antik, Solo menjadi surga yang menyediakan beragam benda bernilai sejarah dan suvenir jadul. Pasar Windujenar atau yang lebih dikenal sebagai Pasar Triwindu menjadi sentranya. Terletak di depan Pura Mangkunegara atau kawasan Ngarsopura di Jalan Diponegoro, pasar ini menawarkan berbagai barang antik yang boleh ditawar. Pasar Triwindu Pada umumnya, pasar sering disebut sebagai pasar tradisional dipandang sebagai daerah yang kotor, sumber kemacetan lalu lintas dan tempat berasalnya para pelaku kriminal. Sejalan dengan bukti nyata peran pasar tradisional ini pada beberapa krisis ekonomi di Indonesia, pemerintah telah menunjukan apresiasi terhadap keberadaannya bagi para pedagang maupun bagi kota atau wilayah layanannya. Pasar tradisional ternyata mempunyai kapasitas yang kuat untuk bertahan pada situasti ekonomi makro yang tidak menentu, dan tidak terpuruk seperti aktivitas ekonomi formal atau aktivitas ekonomi yang berskala besar. Pasar telah berfungsi sebagai jaring penyelamat dan penyedia lapangan kerja bagi sebagian masyarakat. Pada sisi yang lain pasar menyediakan kebutuhan sehari hari dalam jumlah, jenis dan harga yang beragam sehingga sesuai dengan keadaan keuangan yang tidak menentu dari masyarakat pada saat krisis. Beberapa pasar menyediakan komoditas dan layanan yang menjadi bagian idengtitas kota atau wilayahnya. Dari sudut kepentingan pemerintah daerah, pasar memberikan pemasukan yang menerus dan langsung kepada kas pemerintah daerah. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan mencatat bahwa pada tahun 2007 terdapat 13.450 pasar tradisional dengan 12,6 juta pedagang, akan tetapi keberadaannya kian menurun seiring dengan pesatnya perkembangan pasar modern khususnya di perkotaan, dan dinamika perubahan tuntutan konsumen maupun faktor ekonomi makro – formal lainnya. Berdasarkan Survey AC Nielsen pertumbuhan Pasar Modern (termasuk Hypermarket) sebesar 31,4%, sementara pertumbuhan Pasar Tradisional - 8,1 % (SWA, Edisi Desember 2004).1 Bahkan perkembangan peritel modern sudah masuk hingga wilayah pinggir kota semenjak dikeluarkannya kebijakan deregulasi perdagangan pada tahun 2008. 2 Jikalau tidak ada kebijakan dan upaya-upaya sistematis yang memahami karakteristik dan berpihak kepada keberadaan pasar tradisional dan pedagangnya, maka penghidupan sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
205
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
beserta keluarga, pegawai dan pemasok komoditasnya akan terancam kelangsungan kehidupannya. Dalam skala kota, pudarnya pamor dan karakter kota yang melekat pada pasar tradisional akan berdampak pada menurunya keunggulan kota – kota di Indonesia terhadap kota – kota lain setidaknya di Asia. Pengamatan awal yang telah dilakukan di kota Surakarta yaitu di Pasar Triwindu menunjukan permasalahan adalah secara fisik pasar tradisional umumnya buruk, berkembang tanpa rencana, beroperasi melimpah sampai keluar wilayah tapaknya. Hal ini berdampak pada kemacetan lalu lintas disekitarnya, ketidaknyamanan konsumen dan operasi dari para pedagang, rawan kebakaran dan menjadi elemen buruk dari kota dan wilayahnya termasuk mendorong kekumuhan disekitarnya. Ada pasar tradisional yang sempat diperbaiki di era pasar inpres yang kehilangan identitasnya, ada pula pasar` tradisional yang telah berhasil ditata secara lebih sehat, aman, nyaman dan menunjukan peningkatan transaksi yang menerus. Secara ekonomi pasar` tradisional sangat dinamis, masing-masing bisa meningkat dan atau menurun aktivitas ekonominya sesuai dengan komoditas dan lokasi keberadaan pasar tersebut. Ada pasar tradisional yang menunjukan perkembangan dan kekuatan daya lenting usaha yang tinggi, ada yang stagnan dan ada yang cenderung terpuruk tidak mampu bersaing dengan aktivitas ekonomi dan tuntutan layanan dari konsumennya. Secara sosial, umumnya di kota lama ada satu atau lebih pasar yang memiliki identitas kuat merepresentasikan keunggulan kotanya. Kekuatan komunitas pedagang komoditi spesifik semakin melemah, terutama yang harus bersaing dengan komoditas “modern�, dan atau menuntut pengelolaan perdagangan secara lebih modern terkait perkembangan teknologi atau kemajuan higenis atau selera konsumen. Metode Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif (Koentjaraningrat, 1993:129). Sebagaimana telah disebutkan dalam perumusan masalah dan tujuan penelitian, penelitian ini bertujuan untuk menggali sumber-sumber data dan informasi berkaitan dengan permasalahan penelitian dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi dan analisis data mengenai konflik manajemen pedagang Pasar Windujenar Solo terkait adanya revitalisasi. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam, pengambilan sample dengan purposive sample, sedangkan unit analisis Windujenar yang terdiri dari beberapapedagang yaitu pedagang barang antic, pedagang onderdil motor, pedagang
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
206
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
perpipaan, pedagang pusaka, pedagang timbangan. Analisis data sesuai dengan Miles dan Huberman (analisis data kualitattif, 2007) dengan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Validitas data dengan trianggulasi dengan cara mengkroscek ke informan yang lain untuk mendapatkan data yang valid. Hasil dan Pembahasan Kota Surakarta Kota Surakarta atau dikenal sebagaiKota Solo, merupakan sebuah dataran rendah yang terletak dicekungan lereng pegunungan Lawu dan Pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m diatas permukaan laut. Dengan luas sebesar 4.404,06 Ha, Kota Surakarta terletak diantara 110 45' 15" - 110 45' 35" Bujur Timur dan 70' 36" - 70' 56" Lintang Selatan. Kota Surakarta dibelah dan dialiri oleh 3 (tiga) buah Sungai besar, yaitu Sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali Pepe. Batas wilayah Kota Surakarta sebelah Utara adalah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Batas wilayah sebelah Timur adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Batas wilayah sebelah Barat adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sedang batas wilayah Selatan adalah Kabupaten Sukoharjo. Surakarta terbagi dalam lima wilayah kecamatan, yaitu Banjarsari, Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon dan Jebres. 3 Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2008 sebesar 522.935 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 11.869 jiwa/km². Dengan tingkat kepadatan tersebut, kota Surakarta menjadi kota terpadat di propinsi Jawa Tengah. Sebagai urbanized area komposisi tata guna lahan di kota ini pada tahun 2007 di dominasi oleh permukiman sebesar 62,01 %, sektor jasa sebesar 9,7 %, industri dan perusahaan sebesar 8,8 %, pertanian 5 % dan lain-lain sebesar 9,07 %.4 Sementara itu secara administratif, Kota Surakarta terdiri dari 5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Dari kelima kecamatan ini, terbagi menjadi 51 kelurahan, 595 Rukun Warga (RW) dan 2669 Rukun Tetangga (RT).5 Posisi kota Surakarta sangat strategis yang berada pada simpul Yogyakarta – Semarang (Joglosemar) dan Yogyakarta – Surabaya. Dengan posisi tersebut, kota Surakarta merupakan pusat aktifitas perekonomian, jasa dan pendidikan di wilayah regional Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Kota Surakarta juga mejadi pendukung dari 2 (dua) kota besar yakni Yogyakarta dan Semarang. Selain itu, dengan adanya 2
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
207
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
(dua) keraton beserta potensi budaya yang besar, kota Surakarta menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa. Basis perekonomian Kota Surakarta berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 didominasi oleh sektor bangunan, perdagangan, transportasi dan jasa. Pada aspek perdagangan, kota Solo memiliki komoditas lokalyang sudah sangat terkenal yakni batik. Batik sudah menjadi ikon yang melekat, sehingga pemerintah kota Surakarta memanfaatkan potensi ini dengan menggelar even Solo Batik Carnival setiap tahunnnya. Sentra-sentra pengrajin Batik di kota Surakarta yang terkenal adalah sentra batik Kampung Kauman dan sentra Batik Kampung Laweyan. Berdasarkan data Dinas Pengelolaan Pasar kota Surakarta terdapat 41 pasar yang tersebar di seluruh kota Surakarta. Adapun pasar-pasar yang tersebar di kota Surakarta dapat ditunjukkan pada peta berikut ini.
Sumber : Dinas Pengelolaan Pasar Surakarta 2010
Dalam program revitalisasi pasar tradisional yang dilaksanakan terdapat sekitar 3.366 pedagang kios, 7.415 pedagang los dan 4.949 pedagang pelataran di 38 pasar tradisional. Dalam proses revitalisasi ini, seluruh biaya ditanggung oleh APBD kota Surakarta dan tidak ada biaya yang dipungut dari pedagang. Beberapa contoh lokasi pasar yang sudah direvitalisasi antara lain pasar Nusukan, pasar Kembang, pasar Sidodadi, pasar Gading, dan pasar Windujenar. Dalam proses revitalisasi ini, pedagang disiapkan dengan berbagai pembinaan agar mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pembeli serta dapat berperan dalam menjaga kebersihan, kenyamanan, dan keamanan pasar.
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
208
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pemerintah kota Surakarta sangat giat mempromosikan keberadaan pasar tradisional kepada berbagai pihak. Berbagai even diselenggarakan untuk menarik pengunjung dari luar kota agar berbelanja di pasar-prasar tradisional di kota Surakarta. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa pasar tradisional di kota Surakarta diposisikan sebagai magnet pertumbuhan ekonomi kota sekaligus inkubasi peningkatan kesejahteraan warga di kota Surakarta khususnya untuk masyarakat ekonomi lemah. Analisis kekuatan modal sosial dan Budaya di pasar Triwindu kota Solo Perkembangan yang pesat dari pasar tradisional di Solo tidak terlepas dari peran pemerintah kota yang juga menjadi leading actor dalam kegiatan tersebut. Mekanisme hubungan faktual antara peran pemerintah kota dalam menentukan tatanan sosial dengan keberlanjutan perdagangan di pasar tradisional kota Solo terlihat di Gambar Mekanisme hubungan modal sosial dan pemerintah kota dengan keberlanjutan perdagangan pasar tradisional di kota Solo. Keberlanjutan perdagangan
Transaksi dan kesepakatan Norma & Tatanan Sosial Trust
Networking Sumber : diolah dari beberapa sumber Norma lokal terbentuk dari pengaruh budaya, norma eksternal berupa pengakuan terhadap eksistensi pedagang sebagai saudagar kota, tatanan sosial dibentuk oleh penguasa daerah. Trust muncul setelah jejaring dengan pemerintah terbentuk Network yang terbentuk: network sesama pedagang beridentitas sama (bonding), network pedagang dengan supplier/pembeli beridentitas berbeda, network dengan pengelola
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
209
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kota Solo memiliki karakter yang berbeda dari kota Yogyakarta terkait dengan eksistensi modal sosial dan dampaknya pada keberlanjutan perdagangan di pasar tradisional. Di kota Solo, norma dan tatanan sosial akan menentukan terbentuk tidaknya jejaring antara pedagang dengan pihak-pihak lain. Dari jejaring ini baru akan muncul trust yang mendorong terjadinya proses kesepakatan atau transaksi yang berimplikasi positif terhadap sustainabilitas pasar. Norma yang berupa filosofi budaya yang berkembang di komunitas pedagang dan masih dijadikan sebagai salah satu prinsip dagang adalah “kintir ora keli� yang artinya meskipun mengikuti arus perdagangan ataupun tren yang sedang berkembang namun tidak sampai kehilangan jati diri dagangnya. Filosofi lainnya yang menjadi prinsip penting adalah “jeneng dulu baru jenang� yang artinya untuk menjadi sukses dalam berdagang harus mencari nama baik dulu di mata pembeli dengan memberikan pelayanan yang terbaik dan jaminan mutu komoditas, baru akan diperoleh pelanggan yang mendatangkan banyak rejeki. Semua norma lokal tersebut bersifat internal atau indigenous, sementara itu norma eksternal yang sengaja ditanamkan oleh pemerintah kota belum tertangkap jelas selama observasi maupun wawancara. Norma eksternal ini ditanamkan sebagai salah satu cara menunjukkan pengakuan pemerintah kota terhadap urgensi eksistensi pasar tradisional di kota Solo. Sedangkan untuk tatanan sosial yang dimaksud dalam Gambar diatas adalah tatanan yang sengaja dibuat untuk diikuti atau dipatuhi. Tatanan yang ditanamkan secara kolaboratif mampu membentuk jejaring yang kuat, terutama jejaring yang bersifat bridging maupun linking. Network yang bersifat menjembatani atau bridging terlihat dengan adanya supplier lintas daerah (Jakarta, Pekalongan, Bali, Jawa Timur,Banyumas, Yogyakarta, Boyolali, dll) dan sebagian besar membentuk hubungan kekeluargaan, penerimaan terhadap pembeli yang berasal dari lintas profesi. Hubungan bridging ini terbentuk lebih karena dorongan kesamaan kepentingan sehingga berbagai latar belakang pembeli atau supplier tidak menjadi permasalahan. Antara pedagang dengan pembeli terbangun trust yang tinggi misalnya pembeli saat berbelanja tidak harus membayar cash dan dapat dibayarkan kapan saja meskipun dengan nominal yang besar. Fenomena ini dengan mudah ditemui di pasar Triwindu. Pedagang juga memberikan garansi mutu komoditas terhadap pembeli. Selain pembeli, hubungan bridging yang kuat terlihat dengan adanya toleransi dari supplier yang terhadap pedagang. Pada saat terjadi kebakaran di pasar
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
210
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Gede, supplier tidak meminta ganti rugi pembayaran atas komoditasnya yang terbakar meskipun saat pengambilan komoditas tersebut belum dilakukan pembayaran awal. Hubungan kemitraan atau linking network yang terbentuk dari pedagang ke pengelola dalam event-event promosi tidak terlalu kuat. Di pasar Triwindu, event promosi dikendarai oleh pemerintah dan Event organizer, sementara di pasar Gede event promosi lebih banyak melibatkan pedagang dengan kapital besar yang kemudian difasilitasi oleh pengelola pasar. Bukti lain yang menunjukkan bahwa linking network pedagang terhadap pemerintah kota tidak terlalu kuat adalah dalam event renovasi pasar, pedagang tidak banyak terlibat baik dalam analisis kebutuhan renovasi, proses perencanaan, hingga implementasinya. Hal ini tentunya memunculkan beberapa mismatched antara kebutuhan pedagang atau pasar dengan bangunan fisik hasil renovasi. Secara umum hubungan reciprocal atau perilaku saling tolong-menolong antar pedagang cukup tinggi. Sebagaimana yang terjadi di kota Yogyakarta, jika seorang pedagang tidak memiliki barang dagangan maka dia dengan mudah akan menjualkan dagangan milik pedagang lain dimana pembayaran komoditas tersebut baru dilakukan setelah barang terjual. Selain itu antar pedagang juga tidak segan-segan mencarikan supplier untuk pedagang yang lain. Bonding network tidak terlalu menonjol kecuali di pasar Gede yang memiliki akseptabilitas yang tidak terlalu besar terhadap pedagang non-pribumi. Selain itu pedagang di pasar tersebut juga lebih memilih mendapatkan pembeli dari masyarakat lokal yang memiliki kesamaan latarbelakang suku dan budaya. Salah satu manifestasi modal sosial yang cukup penting adalah eksistensi dan keaktifan paguyuban. Fungsi utama dari paguyuban-paguyuban tersebut adalah untuk mengelola konflik internal dan mempermudah distribusi informasi dalam internal pasar. Persatuan dari paguyubanpaguyuban pedagang tersebut adalah PAPAT SUTA atau Persatuan Paguyuban Pasar Tradisional Surakarta. Peran dan fungsi dari PAPAT SUTA ini adalah sebagai berikut: a. Melakukan advokasi regulasi yang terkait untuk kemakmuran pasar dan pedagang b. mengidentifikasi, malakukan tabulasi, dan mencari solusi masalah di pasar tradisional yang sifatnya lebih general c. Menjalin network dengan supplier, pembeli, pemerintah kota, pengelola pasar untuk kepentingan pedagang d. Menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak terkait pasar tradisional Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
211
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
e. Menjembatani komunikasi antara pedagang/paguyuban dengan pemerintah kota (terkait berbagai program revitalisasi pasar) f. Menyelesaikan konflik yang tidak tertangani di level paguyuban pasar Kesantunan dalam berbahasa Bagi orang Jawa terdapat pedoman yang bersifat konvensional yang dipahami oleh orang Jawa pada umumnya. Antara lain, berupa peribahasa seperti ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana ‘penghargaan terhadap diri seseorang dilihat dari cara berbicara dan berpakaian’. Hal ini dimaksudkan apabila seseorang ingin dihormati oleh orang lain harus bertutur serta bertingkah laku dan berkata secara sopan yang tidak terlepas dengan bahasa. Begitu pula dengan pedagang pasar Triwindu dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, menggunakan bahasa yang santun untuk menawarkan jasanya kepada orang lain. Contoh percakapan yang menunjukkan kesantunan berbahasa di Pasar Triwindu: Contoh (1): Pembeli :Ni… Ni…esku ki tulung pecahna Ni! ‘Ni..Ni..es ku ini tolong dipecahkan Ni!’ Penjual :O…nggih jeng, sekedhap. ‘O…ya jeng, sebentar.’ Tuturan antara dua orang yaitu penutur (P) dan mitratutur (MT). Penutur adalah seorang penjual es dan mitratuturnya adalah pembeli. Percakapan berlangsung dalam situasi yang tidak resmi. Interkasi antara penjual es dan penjual tersebut terjadi di Pasar Triwindu tepatnya di angkringan sebelah timur Pasar Triwindu Contoh (2) Penjual : Kula betane bu. ‘ Saya bawakan bu.’ Pembeli : Boten sah, ra papa. ‘Tidak perlu, tidak apa-apa.’ percakapan diatas diungkapkan dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif untuk menghormati orang lain dengan benar-benar baik. Penghormatan terhadap orang lain akandapat terjadi hanya apabila orang dapat mengurangi kadar keuntungan bagi dirinya sendiri, dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lainnya.
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
212
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Norma lokal yang berkembang di pasar tradisional ini misalnya adalah budaya “pekewuh”. Norma lokal ini merupakan nilai sosial yang terbentuk secara indigenous bukan sebagai hasil dari intervensi. Budaya ini mendorong pedagang untuk bersedia mengikuti kesepakatan bersama yang telah dicapai, mencegah konflik yang terjadi agar tidak menjadi berkepanjangan, serta mendorong pedagang membayar retribusi sesuai dengan jadwalnya. Sementara norma eksternal atau nilai-nilai sosial yang ditanamkan oleh pengelola berupa Filosofi “pasarku resik rejekiku apik” yang ditekankan oleh pengelola pasar untuk mendorong pedagang menjaga kenyamanan dan kebersihan pasar. Selain itu juga penanaman filosofi “SEMAR” yang merupakan singkatan dari Senyum, Eling dengan Yang Maha Kuasa, Manunggal diadakan paguyuban untuk persatuan, Arahan dari pengelola pasar, dan Ramah. Dari norma ini akan terbentuk kepercayaan antar pedagang maupun pedagang dengan pihak lain yang terkait. Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap sesama pedagang terlihat pada saat seorang pedagang dapat melakukan jual beli dengan cara menjualkan komoditas dari pedagang lain dan pembayaran dilakukan saat komoditas telah terjual. Selain itu juga toleransi terhadap sesama pedagang sangat kuat, misalnya pada kasus para pedagang pasar Pakuncen yang berusaha membela dan mempertahankan barang dagangan salah satu pedagang lain yang dicurigai aparat menerima barang curian. Selain kepercayaan dengan sesama pedagang, kepercayaan juga terbangun antara pedagang dengan supplier. Hal ini terbukti dengan fleksibilitas pembayaran komoditas dari pedagang kepada supplier. Sementara contoh kepercayaan yang terbentuk dengan pembeli adalah pedagang tidak memaksakan pembeli untuk membayar cash. Selain itu pedagang memberikan garansi terhadap mutu komoditas untuk menjaga kepercayaan pembeli pada pedagang. Trust yang tinggi ini berimplikasi pada terbentuknya jejaring yang kuat. Jejaring bonding ataukepaduan yang paling mudah di temukan di pasar tradisional kota yogyakarta adalah asosiasi pedagang atau paguyuban. Paguyuban ini aktif membangun kolaborasi yang tinggi baik dari anggota yang bersifat formal maupun informal. Jejaring bridging pedagang merupakan hubungan yang bersifat kohesif dari berbagai lintas latarbelakang yang terlihat dengan adanya penerimaan pedagang terhadap pembeli maupun supplier yang berasal dari lintas etnis, lintas daerah, atau lintas profesi. Bahkan variasi pembeli pun meliputi pembeli lokal-internasional, pedesaan-perkotaan, pribumi-non pribumi. Selain itu kolaborasi bridging juga terjalin kuat dengan bank-bank konvensional seperti Bank Rakyat Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
213
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Indonesia, BankMandiri, Bank Nasional Indonesia, dll. Jejaring yang kuat ini tidak jarang berakhir pada skema hubungan kekeluargaan. Sedangkan jejaring yang bersifat kemitraan atau linking network terlihat dengan adanya koordinasi aktif antara pedagang atau paguyuban dengan pengelola pasar di setiap kegiatan, kerjasama dan berbagi peran dalam event promosi, serta pada proses penyelesaian konflik saat Lurah pasar ikut duduk bersama dalam menyelesaikan permasalahan pedagang yang tidak terselesaikan di level paguyuban. Sikap saling dukung antara pedagang dengan pengelola juga terlihat pada proses renovasi bangunan fisik pasar bringharjo dimana renovasi tersebut dilakukan oleh pedagang dan paguyuban dengan disupport oleh pengelola pasar. Dari jejaring-jejaring inilah akan muncul kesepakatan bersama atau transaksi yang menghasilkan sebuah tatanan sosial yang menekankan pada pembagian peran dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang terkait. Hal ini akan memberikan implikasi positif terhadap keberlanjutan perdagangan pasar tradisional. Kesimpulan Budaya yang dijadikan filosofi yang berkembang di komunitas pedagang dan masih dijadikan sebagai salah satu prinsip dagang adalah “kintir ora keli� yang artinya meskipun mengikuti arus perdagangan ataupun tren yang sedang berkembang namun tidak sampai kehilangan jati diri dagangnya. Filosofi lainnya yang menjadi prinsip penting adalah “jeneng dulu baru jenang� yang artinya untuk menjadi sukses dalam berdagang harus mencari nama baik dulu di mata pembeli dengan memberikan pelayanan yang terbaik dan jaminan mutu komoditas, baru akan diperoleh pelanggan yang mendatangkan banyak rejeki. Budaya sopan santun yang ditunjukkan oleh pedagang Pasar Triwindu membawa dampak pengunjung pasar merasa nyaman karena prinsip pasar tidak hanya sebagai tempat jual beli barang, tetapi juga sebagai ruang public dan untuk bersosialisasi. Penelitian ini merekomendasikan bahwa budaya sopan santun, keakraban dengan pembeli, dan melayani dengan baik harus dilakukan oleh pedagang pasar dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan pedagang itu sendiri, karena dengan pelayanan yang baik dari pembeli maka pembeli juga merasa nyaman untuk membeli barang di pasar. Pemerintah Kota Surakarta juga harus mendukung upaya untuk mengenalkan Pasar Triwindu dengan melestarikan budaya yang ada di Pasar Triwindu atau dengan membuat event-event budaya di Pasar Triwindu supaya masyarakat dari dalam Kota Solo maupun luar Kota Solo dapat lebih mengenal.
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
214
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Daftar Pustaka Hendropuspito. 1989. Sosiologi Sistemik. Yogyakarta. Kanisius.. Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia. Miles Mathew B, dan A. Michael Huberman. 2000. Analisis Data Kualitatif. Jakarta. UI-Press.. Moleong, Lexy J, M.A.1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.. Ritzer, George.1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta. Rajawali Pers.. Ritzer, George. dan Goodman J, Douglas. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Kencana. Soekanto, Soerjono.2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Rajawali Pers..
Fatwa Nurul Hakim, Nilai Budaya Pedagang Pasar/01/ Vol. 5/ No. 2 Juni 2017
215
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Menjalankan Fungsi Pemerintahan Berbasis Electronic Government (E-Government) menuju Pembangunan Desa Berdaya Saing Sulismadi, Wahyudi, Muslimin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang sulismadi68@yahoo.com, winarjo@umm.ac.id, machmudmus@gmail.com Abstract One aspect that needs to be studied more deeply about the village administration in the era of village autonomy is the ability of the human resources in the management of village government in accordance village governance objectives and the demands of, “Undang – undang no 06 Tahun 2014 about the village. The capacity of the village government deemed not qualified to run the authority possessed by law the village. Weak capacity of rural government impact on law implementation failure that led to the poor rural village development. This study examines these issues. This study used qualitative research methods. The unit of analysis of this research that the village government Landungsari Dau District of Malang, East Java. This study was conducted over three years (2016, 2017, 2018). The findings of the research during the last four months in the first year of the study is Landungsari village administration showed a good performance in governance at the village of village autonomy era (the era of the Village Law. The village government is able to carry out rural development planning, village administrative governance, and the financial management of the village properly. Nevertheless, the village government also faces serious problems is the lack of human resource capacity of the village administration, village very less quantity, and village officials do not understand the duties of each. To address these issues, the village government seeks to organize village governance based on information technology (e-government), but the effort has not worked well because the village government does not have a human resources professional in the field of information technology and the village government does not have enough budget to develop the e-government program. Therefore, the research team conducting FGD on the development of e-government program. FGD village government resulted in an agreement in cooperation with governmental science labs and e-government program APBDes budgeted in fiscal year 2017. Step next phase is the research team conducting FGD Phase II to design egovernment as a means of governance villages effective and efficient, to disseminate the e-government, and publishes scientific articles on the model of governance based rural e-government in the Journal of Politics and Government Muhammadiyah University of Yogyakarta. Our advice as a researcher is a village government should make regulations governing Internet-based mechanism of public services (e-government). The regulation is to encourage villagers Landungsari to get used to using services based on the Internet, the district government of Malang should provide support to the village government to make innovations in governance, and the central government should support the village government to strengthen rural government institutions such as the addition of the village
Keywords: Village Government, Capacity, Act Rural, Rural Development.
Abstraksi Salah satu aspek yang perlu dikaji lebih dalam tentang pemerintahan desa di era otonomi desa yaitu kemampuan sumber daya manusia pemerintah desa dalam pengelolaan pemerintahan desa sesuai tujuan dan tuntutan undang-undang nomor 06 tahun 2014 tentang desa. Kapasitas pemerintah desa dinilai belum mumpuni untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki sesuai undang-undang desa tersebut. Lemahnya kapasitas pemerintah desa berdampak pada kegagalan implementasi undang-undang desa sehingga bermuara pada buruknya pembangunan desa. Penelitian ini mengkaji tentang persoalan-persoalan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Unit analisis penelitian ini yaitu pemerintah Desa Landungsari Kecamatan Dau Kabupaten Malang-Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan selama 3 tahun (tahun 2016, 2017, 2018). Temuan penelitian selama empat bulan terakhir di tahun pertama pelaksanaan penelitian adalah pemerintahan desa landungsari menunjukkan kinerja yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di era otonomi desa (era UU Desa). Pemerintah desa mampu melakukan perencanaan pembangunan desa, tatakelola administrasi desa, dan pengelolaan keungan desa dengan
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
216
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
baik dan benar. Kendati demikian, pemerintah desa juga menghadapi persoalan serius yaitu minimnya kapasitas sumber daya manusia pemerintah desa, kuantitas perangkat desa sangat kurang, dan perangkat desa belum memahami tupoksi masing-masing. Untuk mengatasi persoalan di atas, pemerintah desa berupaya menyelenggarakan pemerintahan desa berbasis teknologi informasi (e government) namun upaya tersebut tidak berhasil diterapkan secara baik karena pemerintah desa tidak memiliki sumber daya manusia profesional pada bidang informasi teknologi dan pemerintah desa tidak memiliki anggaran yang cukup untuk mengembangkan program e government tersebut. Karena itu, Tim penelitian melakukan FGD tentang pengembangan program e government. FGD tersebut menghasilkan kesepakatan pemerintah desa bekerjasama dengan laboratorium ilmu pemerintahan dan program e government dianggarkan dalam APBDes tahun anggaran 2017. Langkah tahap berikutnya adalah Tim penelitian melakukan FGD tahap II untuk mendesain e government sebagai sarana penyelenggaraan pemerintahan desa yang efektif dan efesien, melakukan sosialisasi program e government, dan melakukan publikasi artikel ilmiah tentang model penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis e government di jurnal Journal of Politics and Government, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saran kami sebagai peneliti adalah pemerintah desa harus membuat regulasi yang mengatur tentang mekanisme pelayanan publik berbasis internet (e government). Regulasi tersebut mendorong masyarakat desa landungsari untuk membiasakan diri memanfaatkan pelayanan berbasis internet, pemerintah daerah kabupaten Malang harus memberikan dukungan terhadap pemerintah desa yang melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan pemerintah pusat harus mendukung pemerintah desa untuk memperkuat kelembagaan pemerintahan desa seperti penambahan perangkat desa. Kata Kunci: Pemerintah Desa, Kapasitas, Undang-Undang Desa, Pembangunan Desa.
Submite Review Accepted Surel Corespondensi
: : : :
15 Nov 2016 20 April 2017 15 Mei 2017 hayat@unisma.ac.id
Pendahuluan Tuntutan pemerintah desa untuk diterapkan otonomi desa yang seluas-luasnya terjawab dengan diberlakukannya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Melalui UU Desa tersebut, keberadaan pemerintah desa sebagai bagian dari struktur pemerintah semakin diakui sebagai pemerintah desa yang mandiri dan berhak mengelola potensi yang dimiliki masingmasing pemerintah desa. Karena itu, sebagian besar pemerintah desa di Indonesia menyambut baik berlakunya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Pasalnya undang-undang tersebut menempatkan pemerintah desa sebagai subyek pembangunan desa, pemerintah desa memiliki asas otonomi luas, dan pemerintah desa memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur pemerintahan desa sesuai potensi masing-masing. Pada sisi lain, berdasarkan pertemuan-pertemuan ilmiah pemerintah desa melalui kegiatan seminar dan lokakarya, justru sejumlah pemerintah desa menunjukkan kegelisahannya terhadap undang-undang desa, karena mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menjalankan amanat undang-undang desa tersebut. Pada tanggal 09 september 2014 lalu, Dewan Riset Pemerintah Daerah Jawa Timur mengadakan Seminar dan Lokakarya tentang tantangan dan peluang pasca diberlakukannya UU
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
217
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Desa tersebut. Pada pertemuan itu, sejumlah kepala desa menyampaikan kegelisahan mereka terhadap minimnya kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan amanat undang-undang desa. Hasil kajian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (PPKOD) tahun 2012 menemukan (1) Belum semua pemerintah desa menyusun dokumen-dokumen perencanaan, hanya beberapa desa yang telah menyusun RKP Desa (tahunan), akan tetapi tidak memiliki RPJM Desa (lima tahunan), (2) Pelaksanaan manajemen keuangan dan kekayaan desa dapat dikatakan belum dapat terselenggara dengan baik, (3) Kapasitas aparatur desa dalam penyusunan kebijaksanaan desa masih sangat rendah, (4) Buruknya kepemimpinan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Persoalan-persoalan pemerintahan desa di atas, juga terjadi pada sejumlah pemerintah desa di Kabupaten Malang. Hasil kajian Krishno Hadi dan Salahudin (2012) tentang kapasitas Pemerintahan Desa Banjararum Kab. Malang menunjukkan: (1) minimnya kemampuan kepala desa dalam membuat dan merumuskan kebijakan (Peraturan Desa) sebagai payung hukum penyelenggaraan pembangunan desa, (2) minimnya kemampuan sekretaris desa dalam mengatur dan mengelola administrasi desa seperti pendataan dan pengendalian aset-aset pembangunan desa, dan (3) minimnya inovasi dan kreatifitas staf pemerintah desa dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Penelitian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Kabupaten Malang juga menunjukkan minimnya kapasitas pemerintahan desa (Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan BPD) dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Hasil penelitian MIPI menunjukkan (1) buruknya relasi kepala desa dan sekretaris desa dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi masing-masing, (2) Kepala desa cenderung mendominasi penyelenggaraan pemerintahan desa, (3) Sekretaris desa tidak mampu menjalankan fungsi administrasinya dengan baik, dan (4) BPD tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai legislasi desa dengan baik dan benar. Penelitian Tri Sulistyaningsih dan Salahudin (2012) di Desa Gading Kulon Kab. Malang juga menunjukkan hal yang sama yakni (1) minimnya kemampuan staf desa seperti Kaur Pembangunan dan Kaur Kesejahteraan dalam menjalankan tugas. Mereka minim inisiatif dan inofatif dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi masing-masing, dan (2) Kepala Desa, Sekretaris Desa, BPD belum mengedepankan peran kemitraan dalam menjalankan tugas dan fungsi sesuai peraturan hukum yang berlaku. Hasil penelitian terbaru Krishno Hadi dan Salahudin (2014) tentang kapasitas pemerintah desa landungsari juga menunjukkan pemerintahan desa Landungsari menghadapi sejumlah persoalan dalam manajemen pemerintahan desa terutama terkait penataan administrasi desa. Kepala Desa hasil Pilkades 06 April 2013 lalu, Saipul Imam, M.Ag., mengatakan “Saya pribadi mengakui pemahaman staf pemerintah desa dalam hal manajemen pemerintahan desa masih sangat minim. Terutama terkait bagaimana staf pemerintah desa menata dan mengelolaa administrasi desa yang efektif dan efesien�. Lebih jauh ia mengatakan “saya sebagai kepala desa hasil pemilihan langsung masyarakat desa harus bertanggungjawab terhadap berjalannya manajemen pemerintahan desa yang baik. Karena itu, saya harus berusaha untuk mendorong staf desa agar memahami tugas pokok dan fungsing masing-masing�.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian di atas dapat disimpulkan pemerintah desa belum memiliki kemampuan memadai dalam menjalankan fungsi manajemen pemerintahan, yaitu: (1) manajemen perencanaan pembangunan desa, (2) menejemen administrasi desa dan (3) manajemen pengelolaan keuangan pemerintah desa. Padahal di era otonomi desa melalui undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, pemerintah desa dituntut untuk memiliki kemampuan menjalankan tiga manajemen pemerintahan desa tersebut. Tiga manajemen pemerintahan desa tersebut sangat menentukan keberhasilan pemerintah desa dalam membangun desa yang berkemajuan dan berdaya saing sesuai yang dicita citakan dalam UU Desa. Penelitian ini menjelaskan dan memetakkan tentang kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan fungsi manajemen pemerintahan. Penjelasan dan pemetaan masalah kapasitas pemerintah desa tersebut
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
218
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
bertujuan untuk merumuskan model kebaruan penguatan kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan fungsi manajemen pemerintahan desa. Model tersebut diarahkan pada pemerintahan yang berbasis electronic government (E-Government). Di era otonomi desa, E-Government dinilai sebagai instrumen yang tepat untuk mendukung berjalannya tugas dan fungsi pemerintah desa secara efektif, efesien, tepat sasaran, berdaya guna, transparan, dan berkeadilan sesuai UU Desa. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji “Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Menjalankan Fungsi Pemerintahan Berbasis E-Government Menuju Pembangunan Desa Berdaya Saing�. Sesuai Rencana Strategis Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang
dan
berdasarkan pemetaan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini menjelaskan dan memetakkan persoalan tentang minimnya kapasitas pemerintah desa dalam bidang manajemen perencanaan pembangunan desa, pengelolaan administrasi desa, dan manajemen keuangan desa. Berdasarkan penjelasan dan pemetaan masalah kapasitas pemerintah desa pada aspek tersebut, penelitian ini melahirkan model kebaruan penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan desa dalam bidang manajemen perencanaan pembangunan, pengelolaan adminisrasi desa, dan manajemen keuangan desa. Model kebaruan penguatan kapasitas pemerintah desa bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis E-Government sehingga pemerintah desa mampu menjalankan fungsi perencanaan pembangunan, pengelolaan administrasi desa, dan pengelolaan keuangan desa secara efektif, efesien, transparan, partisipatif, berkeadilan, dan berdaya saing. Karena itu, rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Menjalankan Fungsi Pemerintahan Berbasis E-Government Menuju Pembangunan Desa Berdaya Saing�. Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan pemetaan persoalan-persoalan kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan pemerintahan desa, yaitu perencanaan pembangunan desa, pengelolaan administrasi desa, dan pengelolaan keuangan desa. Sedangkan, tujuan khusus penelitian ini yaitu Mendesain model kebaruan penguatan kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan fungsi manajemen pemerintahan berbasis electronic government (e-Government) menuju pembangunan desa berdaya saing.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
219
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Metode dan Kajian Pustaka Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Karena itu, penelitian ini meggambarkan dan memaparkan permasalahan-permasalahan kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan fungsi manajemen pemerintahan. Unit analisis penelitian ini yaitu pemerintah Desa Landungsari Kecamatan Dau Kabupaten Malang-Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan selama 3 tahun (tahun 2016, 2017, 2018). Artikel ilmiah ini adalah bagian dari laporan hasil penelitian tahun pertama. Penelitian tahun pertama diarahkan untuk menganalisis dan memetakkan kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan fungsi manajemen pemerintahan desa, dengan rincian sebagai berikut: Analisis dan pemetaan kemampuan (kapasitas) pemerintah desa dalam menjalankan fungsi perencanaan program pembangunan desa, Analisis dan pemetaan kemampuan (kapasitas) pemerintah desa dalam menjalankan fungsi pengelolaan administrasi desa, dan Analisis dan pemetaan kemampuan (kapasitas) pemerintah desa dalam menjalankan fungsi pengelolaan keuangan desa. Perdebatan Tentang Otonomi Desa Tanggal 18 Desember 2013 lalu adalah awal dari sejarah keberlanjutan perkembangan desentralisasi di Indonesia, yaitu disahkannya RUU Desa menjadi UU Desa. Perkembangan penerapan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan pernyataan teoritis Conyer (1983) yaitu desentralisasi perlu diartikulasikan sebagai suatu yang dinamis yang terus menyempurnakan diri sejalan perkembangan ruang dan waktu. Disyahkannya UU Desa adalah bentuk dari perkembangan positif desentralisasi di Indonesia. Seperti pada umumnya, proses politik pembuatan peraturan perundang-undangan termasuk UU Desa menuai pro kontra. UU Desa diawali perdebatan panjang antar berbagai pihak yang terlibat didalamnya. Pertanyaan yang diperdebatankan tentang UU Desa adalah “siapkah pemerintah desa menerima dan menjalankan otonomi desa sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 06 tahun 2014 tentang desa�. Sebagian besar masyarakat menilai undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa merupakan produk hukum yang “memanusiakan� warga dan pemerintah desa. Panilaian ini berangkat dari isi undang-undang tersebut yang memberikan hak dan kewenangan desa secara luas. Pemerintah dan warga desa dapat menyelenggarakan pemerintahan desa secara mandiri berdasarkan prinsip-prinsip otonomi desa. Penilaian tersebut datang dari kalangan pro demokrasi, pembangunan, dan pemberdayaan desa. Pada umumnya profesi kalangan ini ialah
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
220
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi, Politisi, dan organisasi masyarakat keagamaan. Pada sisi lain, beberapa kalangan menilai UU Desa adalah sarana pencitraan politik politisi untuk meraih dan mempertahkan kekuasaan pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2014. Lebih jauh lagi, mereka mengatakan undang-undang desa adalah sarana pemerintah pusat dan DPR RI untuk memperburuk tatakelola pemerintah kabupaten/kota. Pandangan ini datang dari kalangan birokrat terutama kepala daerah Kabupaten/Kota beserta pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada wilayah masing-masing. Kedua pandangan tersebut di atas memiliki argumentasi dan alasan sesuai tujuan dan persepsi masingmasing. Secara umum pandangan pihak pertama berlandaskan pada argumentasi dan alasan bahwa negara Indonesia sebagai sebagai Negara demokrasi maka seharusnya menempatkan pemerintah desa sebagai lembaga pemerintahan yang otonom sehingga desa mampu mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi dan dapat memberdayakan kearifan lokal sesuai potensi masing-masing. Selain itu, pandangan ini juga meyakini bahwa otonomi desa tidak akan mampu mewujudkan demokrasi dan memberdayakan kearifan lokal, jika tidak diikuti pelimpahan sumber daya ekonomi atau dalam ilmu pemerintahan sering disebut desentralisasi fiskal di tingkat desa. Pandangan pihak kedua atau pihak yang tidak menghendaki adanya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa yaitu berlandaskan pada suatu kenyataan bahwa kemampuan pemerintah desa untuk menjalankan otonomi luas sebagaimana yang diatur dalam undangundang tersebut masih diragukan. Selama ini kinerja pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dinilai belum menunjukkan kinerja yang maksimal. Selain alasan teknis tersebut, pihak kedua juga memiliki keyakinan bahwa undang-undang desa adalah hanya menciptakan masalah baru terutama dalam tatakelola pemerintahan desa. Mereka meyakini, hak dan kewenangan yang dimiliki pemerintah desa adalah memungkinkan
pemerintah desa
menyalahgunakan hak dan kewenangannya itu baik disengaja maupun tidak, sehingga nantinya akan banyak pemerintah desa yang terjebak dalam tindakan korupsi. Lebih jauh lagi alasan yang cukup menarik dari kalangan kedua khususnya pemerintah Kabupaten/Kota adalah dengan berlakunya undang-undang desa yang menerapkan asas desentralisasi fiskal kepada pemerintah desa maka keberdaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat Kabupaten/Kota “tidak bermakna� karena tidak ada lagi program dan anggaran yang dapat dikelola sebagaimana sebelumnya. Berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah Kabupaten secara langsung Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
221
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
menyerahkan sebagian dana pembangunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada pemerintah desa. Pada konteks ini, pemerintah kabupaten/kota tidak rela jika anggaran pembangunan diserahkan kepada pemerintah desa. Pemerintah Kabupaten khawatir tidak mendapatkan bagian anggaran pembangunan sebagaimana yang mereka dapatkan selama ini. Perdebatan antara dua pandangan di atas adalah bukan perdebatan baru namun telah muncul sebelum undang-undang desa diberlakukan. Bahkan, jauh sebelum era reformasi, perdebatan dua pandangan tersebut telah mewarnai proses berjalannya kekuasaan selama ini yaitu sejak era orde lama, orde baru, hingga era reformasi. Di akhir kekuasaan orde lama, pemerintah sempat membuat undang-undang khusus yang mengatur tentang desa yaitu undang-undang nomor 19 tahun 1965 tentang Desa Praja. Namun karena kondisi politik pada saat itu tidak mendukung maka undang-undag tersebut tidak dapat diimplementasikan hingga berakhirnya kekuasaan orde lama. Memasuki orde baru, pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang tersebut diimplementasi selama 32 tahun. Sayangnya, undang-undang tersebut mengatur desa secara setralistik, yaitu desa ditempatkan sebagai unit pemerintah terendah yang wajib menjalankan segala bentuk kebijakan dan program pembangunan nasional secara total dan tuntas. Undang-undang tersebut tida memberikan hak dan keweangan secara otonom kepada pemerintah desa. Justru UU tersebut menempatkan desa secara seragam sehingga banyak kearifan lokal di setiap desa tidak dapat diberdayakan secara baik. Memasuki era reformasi, pemerintah tidak secara khusus mengatur desa dalam bentuk undang-undang. Pemerintah pusat mengatur desa melalui Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Melalui PP tersebut, desa mendapatkan angin demokrasi dan otonomi yang lebih baik jika dibandingkan dengan undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa di era orde baru. Kendati demikian, otonomi desa melalui PP 72/2005 tersebut dinilai tidak memberikan hak dan kewenangan pemerintah desa secara penuh untuk mengelola potensi masing-masing. Bahkan pemerintah desa dinilai tidak memiliki asas desentralisasi sebagaimana yang dikenal dalam konsep otonomi, justru asas yang diterapkan melalui PP tersebut adalah asas tugas pembantuan, yaitu pemerintah desa hanya menjalankan tugas untuk membantu pemerintah Kabupaten/Kota, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Pusat. Melalui proses politik yang panjang, pada akhirnya tanggal 18 Desember 2013 pemerintah dan DPR RI mensyahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, dan diimplementasikan pada tahun 2015. Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
222
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Undang-undang ini dinilai sebagai bentuk kemenangan politik pihak (stakholders) pertama yang memiliki pandangan bahwa desa harus diberi otonomi yang seluas-luasnya dan berasaskan desentralisasi kewenangan dan anggaran. Hemat kami kedua pandangan yang berbeda sebagaimana yang dijelaskan di atas memiliki alasan masing-masing yang keduannya dapat dibenarkan, yaitu alasan pertama dianggap sebagai suatu kebenaran karena searah dengan sistem demokrasi sebagaimana yang dituangkan dalam konstitusi negara bahwa desa merpakan kesatuan masyarakat hukum yang harus dihormati hak dan kewengannya. Alasan kedua dianggap sebagai suatu kebenaran karena pada praktiknya kinerja pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dinilai belum menunjukkan kinerja yang baik. Teori Desentralisasi Dalam sejarah suatu negara pasti mengalami perdebatan tentang sistem tatakelola pemerintahan, yaitu apakah tatakelola pemerintahan mengedepankan asas desentralisasi atau sentralisasi. Pada umumnya suatu negara memilih diantara kedua asas tersebut berdasrkan pada sistem politik dan pemerintahan dianut. Jika suatu negara menganut demokrasi maka asas penyelenggaraan pemerintahan yang dikedepankan yaitu desentralisasi, sebaliknya. Namun tidak selamanya suatu negara menganut sistem politik demokrasi secara langsung menganut desentralisasi dalam tata kelola pemerintahanya. Indonesia di era orde baru, misalnya, menganut sistem politik demokrasi namun tata kelola pemerintahannya sentralistik. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa perdebatan asas tatakelola pemerintahan selalu terjadi dalam negara yang menganut bentuk sistem politik apapun. Tingginya tuntutan dunia terhadap penerapan demokrasi mempengaruhi Negara-negara berkembang untuk menerapkan sistem tatakelola pemerintahan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah adalah dua konsep pemerintahan yang mendukung terimplementasinya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sistem tatakelola pemerintahan desentralisasi berdampak luas pada perkembangan pembangunan daerah. Para sarjana politik dan pemerintahan telah mendiskusikan dan memperdebatkan tentang implikasi desentralisasi terhadap pembangunan daerah. Kacung Marijan (2010: 143), misalnya, menjelaskan implikasi desentralisasi terhadap pembangunan, dalam artian yang luas telah menjadi perdebatan di dalam literarur yang membahasnya, yakni apakah memiliki nilai positif atau negatif. Sebagian besar literatur yang mendefinisikan desentralisasi sebagai alternatif dari sentralisasi melihat sisi positif dari kebijakannya.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
223
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pengalaman gagalnya strategi perencanaan pembangunan tersentral yang dianut oleh banyak negara yang sedang berkembang pada 1950-an adalah karena dianggap sebagai cara yang rasional dan efektif di dalam mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, sering dijadikan rujukan pada argumen ini. Rondinelli dan Cheema (1983:13), misalnya, berpendapat bahwa sebab utama dari strategi perencanaan yang memusat (sentralistik) di masa lalu adalah karena strategi demikian sangat rumit. Selain itu, di dalam strategi demikian juga sering terumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan yang tunggal. Konsekuensinya, strategi demikian tidak mampu mendorong kebijakan
pembangunan
yang
menguntungkan
semua
pihak,
termasuk
untuk
yang
berpenghasilan rendah (Kacung, 2010:143). Olowo (1989:202) mendukung pendapat Rondinelli dan Cheema itu dengan mengatakan bahwa keuntungan-keuntungan dari upaya sentralisasi pembangunan di negara-negara afrika bukan untuk kaum miskin di pedesaan yang merupakan mayoritas pendukungnya. Desentralisasi sebagai alternatif sering dianggap sebagai kekuatan yang mampu membawa kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat, selain itu mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui transfer urusan-urusan pemerintahan ke daerah dan desa, berbagai prosedur yang menghadapi interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk pasar, dapat diminimalisasi. Karena itulah Rondinelli dan Cheema (1983:14-16) sampai pada kesimpulan bahwa melalui desentralisasi, pemerintah daerah akan dapat bekerja lebih efektif dan efesien, termasuk dalam penyediaan barang-barang dan layanan publik (Kacung Marijan, 2010:144). Argumen lain datang dari para sarjana yang mendasrkan argumentasinya pada teori pilihan publik (theory of public choice) yang mengatakan bahwa desentralisasi merupakan instrumen penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Landasan teori pilihan publik ini dikembangkan oleh Tieobout (1956), Oates (1972), dan Smith (1985). Argumen dasar dari teori pilihan publik dipakai untuk menjelaskan bahwa pemerintahan yang terdesentralisasi mampu menyediakan barang-barang dan pelayanan publik yang lebih baik daripada pemerintahan yang tersentralisasi. Penjelasan ini diletakan dalam konteks persaingan antar pemerintah daerah dan agen-agen pelayanan di dalam pemerintahan daerah (Kacung Marijan, 2010:144). Disamping mampu menciptakan ‘allocative efficiensy’ seperti di atas, desentralisasi juga dipandang mampu menciptakan suatu pemerintahan yang memiliki akuntabilitas, mendorong demokratisasi, bahkan mampu menghasilkan ‘cost revocery’. Elinor Ostrom, Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
224
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
misalnya, berpendapat
bahwa desentralisasi mampu mendorong adanya akuntabilitas
pemerintahan serta mereduksi korupsi di dalam pemerintahan. Hal ini terjadi karena melalui desentralisasi, masyarakat di daerah memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap apa yang dilakukan pemerintahannya. Ketika pemerintahannya dianggap gagal, bisa saja mereka mencabut dukungannya. Sementara itu, adanya pelayanan dan penyediaan barang-barang publik yang lebih baik diharapkan mampu mendorong keinginan kuat masyarakat untuk membayar pelayanan yang telah diberikan pemerintah itu. Konsekensinya, hal ini dapat mendorong tertutupinya biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (cost recovery) (Kacung Marijan, 2010:145). Meskipun demikian, literatur yang melihat sisi positif desentralisasi juga menyadari bawha implementasi kebijakan itu tidaklah mudah. Olowu (1989:202), misalnya, terang-terangan menyebut bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi di sejumlah negara Afrika pada tahun 1960-1970-an telah gagal. Tidak hanya itu, di negara-negara lain, termasuk, Indonesia, kebijakan desentralisasi pada tahun-tahun itu juga pernah gagal. Kacung Marijan (2010:146) menjelaskan sebab-sebab negara, termasuk Indonesia, mengalami kegagalan dalam implementasi desentralisasi sebagai berikut. Pertama, kurangnya komitmen dan dukungan elite politik nasional. Desentralisasi berarti adanya kehilangan kekuasaan dan otoriter elit politik nasional. Untuk itu, tidak jarang, mereka enggan melaksanakan kebijakan desentralisasi karena takut kehilangan kekuasaan. Kalaupun ada kebijakan mereka enggan mewujudkan sebagai sebuah realitas. Kedua, miskin sumber daya. Selama masa sentralisasi kekuasaan, sumber daya manusia yang berkualitas biasanya menumpuk di birokrasi pemerintahan pusat. Konsekuensinya, ketika desentralisasi dilaksanakan, pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa memiliki sumber daya manusia yang kurang berkualitas. Di samping itu, pelaksanaan desentralisasi juga terhadang oleh masalah berkurangnya sumber daya finansial. Padahal, transfer brbagai kewenangan pemerintahan ke daerah tidak akan bermakna banyak tanpa diringi oleh transfer sumber daya finansial (desentralsasi fiskal). Ketiga, berkurangnya perangkat kelembagaan yang menyertai pelaksanaan desentralisasi. Implikasi dari dipakainya salah bentuk desentralisasi, tarulah desentralisasi administrasi, hanya melibatkan satu kelembagaan saja, yakni birokrasi. Padahal, agar desentralisasi berjalan secara baik, perlu diringi oleh perangkat kelembagaan lainnya, seperti adanya kelembagaan yang membuat pemerintah daerah memiliki responsibility dan accountability. Desentralisasi adalah sistem tatakelola pemerintahan yang mengedepankan share kekuasaan dan kewenangan antara lembaga-lembaga pemerintahan guna mewujudkan Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
225
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efesien, partisipatif, dan berkeadilan. Sistem tatakelola pemerintahan tersebut membutuhkan komitmen politik (goodwill) elit politik, sumber daya manusia yang mumpuni, dan lembaga birokrasi yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan sesuai asas desentralisasi. Redesign Manajemen Pemerintahan Desa Taliziduhu (1999) berbicara panjang soal beberapa kondisi yang terjadi di masyarakat desa. Taliziduhu mendekonstruksikan dan menemukan prasyarat-prasyarat baru dalam pemerintahan desa masa depan. Menurutnya ada 6 ciri dalam pemerintahan desa sistem sentralisasi di era orde baru, yaitu permata, tidak ada option (pilihan) bagi rakyat. Kebijakan yang ada sifatnya paket, sehingga masyarakat mau tidak mau harus memilih yang satu itu. Kedua, rakyat juga tidak diberikan kebebasan untuk memilih. Misalnya, rakyat yang menjadi petani tidak bisa memilih jenis padi apa yang akan ia tanam. Keberadaan proyek Tebu Rakyat Intensivikasi (TRI), misalnya, telah memaksa rakyat untuk menyewahkan tanahnya untuk ditanami tebu, walau hasilnya tidak terlalu produktif secara ekonomis. Ketiga, rendahnya kontrol sosial. Demokrasi mensyaratkan adanya hak rakyat untuk mengontrol kekuasaan dan itu tidak terjadi dalam sistem pemerintahan orde baru. Keempat, tidak adanya petepatan janji, dan Keenam rendahnya kepercayaan. Krisis kepercyaan ini terjadi dimana-mana, penurunan Kepala Desa di berbagai daerah sebenarnya merupakan manifestasi atas ketidak percyaan rakyat terhadap kepala desa dan kekuasaan pemerintahan pada umumnya. Karena itu, berdasarkan masalah-masalah pemerintah desa yang terjadi pada sistem lama, Taliziduhu membicarakan tentang tiga jurus menuju desa masa depan; pertama, pengembalian fungsi desa sebagai fungsi sosial. Kedua, perlunya pemberdayaan desa dalam berbagai aspek, politik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Ketiga, pentingnya desa sebagai pusat latihan demokratisasi. Bagaimanapun desa sebagai struktur kekuasaan terendah dan punya akses langsung ke rakyat sangatlah cocok untuk dijadikan latihan demokrasi di tingkat basis masa. Sesuai dengan Taliziduhu, Soetandyo (2009) menjelaskan mengenai kesiapan lokal untuk mengakomodasi perubahan mestinya dapat dilakukan tidak hanya dengan cara mendengar pertimbanganpertimbangan politis para elit, akan tetapi juga mendengarkan apa yang disuarakan rakyat dikalangan masyarakat hukum adat beserta para pemukannya.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
226
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Secara tidak langsung, di era reformasi, jurus-jurus desa masa depan yang disampaikan Taliziduhu di atas telah diakomodir secara komprehensif oleh pemerintah melalui UU No.06 tahun 2014 tentang Desa. UU Desa desa tersebut memposisikan desa sebagai wilayah otonom, memberikan anggaran desa untuk pemberdayaan masyarakat desa, dan memberikan kebebasan (demokrasi) kepada masyarakat desa untuk memilih kepala desa secara langsung, untuk ikut terlibat dalam penyusunan program pembangunan dan anggaran desa, dan untuk ikut terlibat dalam pengawasan pembangunan desa. Electronic Government (e-Government) Otonomi desa menuntut pemerintah desa untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan desa secara efektif, efesien, partisipatif, transparan, dan berkeadilan. Pemerintah desa harus mampu mengaktualisasikan tuntutan tersebut dalam menjalankan kewenangankewenangan yang dimiliki sebagimana dalam Pasal 33 UU Desa tentang kewenangan desa. Untuk mewujudkan tuntutan otonomi desa di atas adalah pemerintah desa dapat melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan tuntutan otonomi desa di atas adalah menjadikan teknologi informasi sebagai sarana peneyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan desa (perencanaan, tatakelola administrasi, dan pengelolaan keuangan desa). Karena itu, seiring tuntutan otonomi desa, pemerintah desa dituntut menjalankan fungsi pemerintahan berbasiskan teknologi informasi atau Electronic Government (e-Government). Tuntutan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kapasitas pemerintah yang mampu menjalankan fungsinya secara efektif dan efesien, dan pada akhirnya berdampak pada kemudahan akses masyarakat terhadap informasi publik sebagai bagian dari hak-hak- publik dalam bidang pemerintahan. Dewasa ini konsep dan definisi Electronic Government (e-Government) telah banyak dikemukakan oleh para ahli termasuk praktisi pemerintah diberbagai negara. Bank Dunia (Word Bank) mendefinisikan eGovernment sebagai berikut: “E-Governament refers to the usu by government agencies of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) tha have the ability to transform relations with sitizens, bussinesse, and other arms of governtment (Richardus Eko, 2002).� Word Bank mendefinisikan e-Government sebagai bentuk kemampuan pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan teknologi informasi dengan tujuan untuk mendekatkan hubungan pemerintah dan warga masyarakat. Selanjutnya secara sederhana UNDP (United Nation Development Programme) mendefinisikan e-Government sebagai berikut: “E-Government is the aplication of information and communication technology (ICT) by government agencies.�
Berdasarkan penjelasan definisi UNDP di atas, e-Government dipandang sebagai sarana pemerintah yang dijadikan sebagai alat informasi dan komunikasi.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
227
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Jim Flyzik dalam Richardus (2002:5) mendefinisikan e-Government secara mendalam dan menarik sebagai berikut: “E-Government is about bringing the government into the word of the internet, and work on internet time.� Richardus (Ketua Sekolah Tinggi Manajemen dan Komputer PERBANAS), mendefinisikan e-Government sebagai berikut “Merupakan suatu mekanisme interaksi baru (moderen) antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan (stakholder), dimana melibatkan teknologi informasi (terutama internet), dengan tujuan memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan publik.�
Richardus (2002:5) menjelaskan manfaat penerapan e-Government bagi negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris yang dikutip dari penjelasan Al Gore dan Tony Blair sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5.
6.
Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada pada stakholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efesiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Coorporate Governance. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakholdernya untuk keperluan aktivitas sehari-hari. Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan tren yang ada. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara merata dan demokratis. Sejalan dengan Al Gore dan Tony Blair, Anwar (2004:126) menjelasankan tujuan dari
penerapan e-Government bagi pemerintah (terutama pemerintah daerah) adalah: (1) Terciptanya hubungan secara elektronik antara pemerintah dengan masyarakatnya sehingga mengakses berbagai informasi dan layanan dari pemerintah. (2) Melaksanakan perbaikan dan peningkatan pelayanan masyarakat ke arah yang lebih baik dari apa yang telah berjalan saat ini. (3) Menunjang implementasi good governance. (4) Meingkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Menurut Anwar (2004:126) manfaat yang dapat dipetik dari pengembangan e-Government bagi pemerintah daerah adalah: (1) Menghilangkan prosedur birokrasi yang selama ini dianggap berbelit, lamban, biaya tinggi, dan inefesien sehingga pada akhirnya akan menghambat optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah. (2) Fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat bisa dilakukan secara transparan sehingga diharapkan akan tercipta aparatur pemerintahan yang kredibel, bersih, dan bertanggung jawab (good governance). (3) Memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan informasi sebanyak-banyaknya dari pemerintah. (4) Mendorong masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi pada proses pembangunan dengan memenuhi Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
228
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kewajiban-kewajiban yang ada. (5) Menjembatani antara produsen dan konsumen, penjual dan pembeli, penyedia dan pengguna teknologi, potensi daerah dan investor, pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan penjelasan tentang definisi, tujuan, dan manfaat e-Governamnet seperti di atas menunjukkan bahwa e-Governamnet adalah proses transformasi teknologi informasi dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, implementasi e-Government dalam bidang pemerintahan dibutuhkan elemen-elemen pendukung sehingga tujuan dan manfaat dari penerapan e-Governmnet dapat diraih dan dicapai dengan baik. Menurut hasil kajian dan riset dari Harvad JFK School of Government, untuk menerapkan konsep-konsep e-Government dibutuhkan tiga elemen yaitu: Support, Capacity, dan Value. Support Menurut Richardus elemen utama dan paling krusial yang harus dimiliki oleh pemerintah adalah keinginan (intent) dari pejabat publik dan elit politik untuk benar-benar menerapkan konsep e-Government, bukan hanya sekedar mengikuti trend. Mereka harus memiliki goodwill dan inisiatif untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan berbasis pada prinspi-prinsip e-Government. Secara umum pemerintah Indonesia telah mendukung langkah-langkah strategis untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan berbasis teknologi informasi (e-Government). Minimal hal ini dintunjukkan melalui undang-undang no. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan undang-undang no. 04 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Undangundang tersebut menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan
pelayanan publik berbasis
teknologi informasi. Meskipun demikian, Implementasi e-Government di Indonesia dinilai belum efektif karena disebabkan oleh berbagai permasalahan-permasalahan politis dan teknis. Pemerintah diharapkan konsisten untuk mengimplementasikan undang-undang di atas dalam rangka mendukung dan mewujudkan pemerintahan berbasis teknologi informasi sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai tuntutan otonomi daerah dan desa. Menurut Richardus dukungan pemerintah yang diharapkan dalam implementasi eGovernment adalah: (1) Disepakatinya e-Government sebagai salah satu kunci sukses negara dalam mencapai visi dan misi bangsanya, sehingga harus diberikan prioritas tinggi sebagaimana kunci-kunci sukses lain diperlakukan. (2) Dialokasikannya sejumlah sumber daya (manusia, finansial, tenaga, waktu, informasi, dan lain-lain) di setiap tataran pemerintahan untuk membangun konsep ini dengan semangat lintas sektoral. (3) Dibangunnya berbagai infrastruktur
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
229
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
dan superstruktur pendukung agar tercipta lingkungan kondusif untuk mengembangkan eGovernment. (4) Disosialisasikan konsep e-Government secara merata kontinyu, konsisten, dan menyeluruh kepada seluruh kalangan birokrat secara khusus dan masyarakat secara umum melalui berbagai upaya kampanye secara yang simpatik. Capacity Elemen capacity dimaksud adalah adanya unsur kemampuan atau keberdayaan dari pemerintah setempat dalam mewujudkan tujuan e-Government menjadi kenyataan. Menurut Richardus, ada tiga hal minimum yang harus dimiliki oleh pemerintah sehubungan dengan elemen ini, yaitu: (1) Ketersediaan sumber daya yang cukup untuk melaksanakan berbagai inisiatif e-Government, terutama yang berkaitan dengan sumber daya finansial. (2) Ketersediaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai karena fasilitas ini merupakan 50% dari kunci keberhasilan penerapan konsep e-government. (3) Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan agar penerapan e-Government dapat sesuai dengan asas manfaat yang diharapkan. Eleman capacity menuntut pemerintah untuk menyediakan tiga sumber daya penting yaitu sumber daya finansial, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang memadai. Tiga sumber daya tersebut dipandang penting untuk disediakan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi e-Government pada bidang penyelenggaraan pemerintahan (terutama pelayanan publik). Value Elemen value dimaksud adalah desain e-Government harus berorientasi pada asas manfaat yang akan didapatkan pihak-pihak terkait terutama masyarakat penerima jasa pelayanan pemerintah. Karena itu, menurut Richardus, pemerintah harus benar-benar teliti dalam memilih prioritas jenis aplikasi e-government apa saja yang harus didahulukan pembangunannya agar benar-benar memberikan value (manfaat) yang secara signifikan dirasakan oleh masyarakatnya. Tiga elemen (support, capacity, value) di atas dipandang penting dimiliki pemerintah untuk menerapkan e-Government dalam penyelenggaraan pemerintahan. Apabila tiga elemen ini tidak dimiliki pemerintah maka besar kemungkinan e-Government tidak dapat diimplementasikan secara baik dalam bidang pemerintahan. Karena itu, penelitian ini mendesain model penguatan kapasitas pemerintah desa dalam menjalankan fungsi pemerintahan berbasis E-Government.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
230
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Desain model ini diawali dengan pemetaan dan analisis data tentang kapasitas pemerintah desa. Hal ini dilakukan untuk memahami kesiapan dan orientasi (support, capacity, value) pemerintah desa dalam memandang konsep e-Government. Pembahasan dan Analisis Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa Landungsari Perencanaan pembangunan Desa Berdasakan UU Desa, salah satu tugas pemerintah desa adalah menyusun program pembangunan desa dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) dan Rencana Kegiatan Pemerintah Desa (RKP Des). Pada dasarnya, sebelum diberlakukan UU Desa, pemerintah desa juga berkewajiban menyusun RPJM Des dan RKP Des. Namun di era UU Desa ,mekanisme penyusunan program pembangunan Desa (RPJM Des dan RKP Des) lebih komprehensif dari sebelumnya. Saipul Imam, Kepala Desa Landungsari, mengatakan: “Kami menilai UU Desa sangat kompleks mengatur tatakelola pemerintahan desa termasuk dalam perencanaan pembangunan desa. Dalam penyusunan RPJMDes, kami harus melewati delapan tahap kegiatan, mulai dari pembentukan Tim hingga penetapan RPJMDes perubahan. Setiap proses-proses itu terdapat proses kegiatan yang harus dilalui dan dikerjakan�.
Berdasarkan penjelasan Saipul, kepala Desa Landungsari, menunjukkan pemerintah desa landungsari sudah cukup paham tentang prosedur perencanaan pembunganan desa sesuai UU Desa. Menurutnya kompleksitas tatakelola pemerintahan desa adalah konsekuensi langsung dari otonomi dan pembangunan desa yang diatur dalam UU Desa tersebut. Lebih lanjut Saipul menjelaskan: “Menurut kami panjangnya proses perencanaan pembangunan desa dikarenakan adanya tujuan pembangunan desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui: Pemenuhan kebutuhan dasar, Pembangunan sarana dan prasarana Desa, Pengembangan potensi ekonomi lokal, Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Tujuan pembangunan desa tersebut harus dijawab melalui perencanaan pembangunan desa yang baik�.
Menurut Saiful perencanaan pembangunan desa merupakan langkah awal untuk menentukan arah pembangunan desa yaitu menentukan prioritas program dan kegiatan desa yang dapat mendukung terwujudnya pembangunan desa sesuai visi-misi pemerintah desa. Menurutnya jika pemerintah desa tidak mampu melakukan perencanaan dengan baik, maka dipastikan arah pembangunan desa tidak dapat mewujudkan visi-misi pemerintah desa, pada akhirnya tujuan UU Desa tidak dapat diwujudkan dengan baik. Karena itu, pemerintah desa harus memahami dan melakukan perencanaan pembangunan desa dengan baik dan benar.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
231
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
“Perencanaan pembangunan merupakan proses penentuan cara terbaik dalam pengelolaan pembangunan yang menyangkut prioritas kegiatan, orang, sarana prasarana, biaya dan waktu dalam rangka mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang diharapkan bersama�.
Lebih lanjut, menurut Saiful untuk mewujudkan perencanaan pembangunan desa yang baik (good planning development) dibutuhkan peran aktif masyarakat di dalamnya. Sebagaimana definisi otonomi desa dalam UU Desa bahwa pemerintah desa memiliki hak untuk mengelola potensi desa dengan melibatkan masyarakat, karena itu perencanaan pembangunan desa wajib melibatkan masyarakat. Salah satu tujuan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan adalah untuk merumuskan dan membuat program kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa setempat. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan proses pengambilan keputusan secara kolektif untuk menganalisis peluang pengembangan dan merumuskan masalah yang dihadapi, mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki sekaligus merumuskan arah dan tujuan pembangunan yang diinginkan, merumuskan strategi pendayagunaan sumber daya yang ada maupun pengelolaan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan suatu program. Perencanaan partisipatif yang dijelaskan di atas adalah sebagai bagian dari prinsip dasar dalam penyusunan (perencanaan) program pembangunan desa baik RPJMDes maupun RKPDes. Berdasarkan temuan lapangan, peneliti menemukan bahwa pemerintah desa telah menerapkan konsep perencanaan partisipatif sebelum UU Desa disyahkan atau diimplementasikan. Menurut pemerintah desa landungsari konsep perencanaan partisipatif adalah bukan konsep baru namun konsep ini lahir seiring gerakan reformasi 1998 lalu. Siswono, sekretaris desa landungsari, menjelasakan: Pada dasarnya perencanaan partisipatif telah diterapkan secara konsisten oleh kami dalam perencanaan pembangunan desa landungsari jauh sebelum UU Desa disyahkan. Kami melihat UU 24 tahun 2004, UU 23 tahun 2004 dan PP No 27 Tahun 2005 telah tegas mengatur tentang konsep perencanaan partisipatif. Karena itu, setiap penyusunan program pembangunan desa melalui kegiatan Musrenbang, kami selalu melibatkan masyarakat.
Memasuki tahun 2015, tahun dimulainya penerapan UU Desa, pemerintah desa landungsari semakin konsisten menjalankan fungsi perencanaan pembangunan berbasiskan partisipasi aktif masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dan data dokumentasi, peneliti menemukan bahwa pemerintah desa landungsari dinilai sangat konsisten menjalankan fungsi perencanaan pembangunan dengan melibatkan masyarakat desa (planning development based society needs). Menurut Siswono, Sekretaris Desa Landungsari, UU Desa adalah UU yang sangat menjunjung tinggi konsep perencanaan partisipatif. Menurutnya hal ini dapat dilihat dari
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
232
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
penjelasan UU Desa terhadap keberadaan desa. Dalam UU Desa, desa diposisikan sebagai komunitas sosial yang memiliki hak dalam proses pembangunan. UU No. 6 tahun 2014 memberikan pengakuan dan penghormatan, kejelasan hukum, melestarikan dan memajukan adat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, mengembangkan potensi untuk menuju masyarakat yang sejahtera dan menghapus kesenjangan.
Penjelasan Siswono di atas menunjukkan pemerintah desa landungsari memiliki pemahaman yang baik (good understanding) terhadap UU Desa yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Karena itu, pemerintah desa landungsari meyakini bahwa melalui UU Desa pembangunan desa dapat berjalan dengan baik dan dapat mewujudkan pembangunan desa yang mandiri dan berdaya saing. Saya sebagai sekretaris desa pemerintah desa landungsari meyakini melalui UU Desa, pemerintah desa dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai potensi adat masyarakat desa itu sendiri dan sesuai dengan kemampuan desa untuk memberdayakan potensi desa.
Pemahaman
pemerintah
desa
landungsari
tentang
perencanaan
pembangunan
sebagaimana yang dijelaskan di atas membuat pemerintah desa landungsari berhasil menyusun program pembangunan desa dalam bentuk RPJMDes dan RKPDes. RPJMDes dan RKPDes pemerintah desa landungsari disusun sesuai mekanisme UU Desa sebagaimana bagan berikut ini. Gambar 1. Alur Penyusunan RPJMDes
Sumber: Diolah dari UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa Berdasarkan data wawancara, Pemerintah desa landungsari telah dan sedang melakukan perencanaan pembangunan desa sesuai prosedur dan mekanisme UU Desa seperti bagan di atas. Siswono mengatakan: Kami pemerintah desa landungsari telah dan sedang menyusun RPJMDes dan RKPDes sesuai mekanisme yang diatur dalam UU Desa. Kami telah membentuk Tim, melakukan musyawarah desa, diskusi publik, dan melakukan kegiatan-kegiatan lain. Target kami adalah bagaimana melahirkan RPJMDes dan RKPDes yang benar yaitu memuat program dan kegiatan pemerintah desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa landungsari.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
233
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Upaya-upaya pemerintah desa landungsari sebagaimana yang dijelaskan di atas melahirkan RPJMDes dan RKPDes sesuai amanat UU Desa. Di bawah ini dijelaskan format, maksud dan tujuan, dan program kegiatan pemerintah desa landungsari yang dituangkan dalam RPJMDes dan RKPDes. RPJMDes Pemerintah Desa Landungsari Pada tahun 2016, pemerintah desa landungsari melakukan revisi Peraturan Desa Landungsari Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Landungsari Tahun 2013 dan 2019. Tujuan revisi tersebut adalah menyesuaikan format RPJMDes sesuai UU No. 6 tahun 2014 tentang desa. Muffarin, Kaur pembangunan pemerintah desa landungsari, mengatakan: Pada tahun 2016 ini kami melakukan revisi RPJMDes 2013-2019. Tujuan revisi ini adalah menyesuaikan format RPJMDes sesuai UU Desa. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang cukup nampak. Kami hanya menyesuaikan langkah-langkah kegiatannya, tapi program kegiatan tetap sama dengan RPJMDes sebelum diberlakukan UU Desa.
Alasan pemerintah desa tidak merubah program kegiatan yang tertuang dalam RPJMDes 2013-2019 yaitu karena program kegiatan tersebut dipandang relevan dengan visi dan misi pemerintah desa landungsari. Visi pemerintah landungsari yaitu “Terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan Desa yang Baik dan Bersih Guna Mewujudkan Desa Landungsari yang Adil, Makmur dan Sejahtera�. Sedangkan misi pemerintah desa landungsari yaitu: 1. Melakukan revitalisasi birokrasi di jajaran aparatur pemerintahan desa guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 2. Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, terbebas dari korupsi serta bentuk-bentuk penyelewengan lainnya. 3. Meningkatkan perekonomian masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja seluas luasnya dengan berbasiskan pada potensi asli desa. 4. Meningkatkan mutu kesejahteraan masyarakat untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik dan layak. Pemerintah desa landungsari dapat menyusun dan menetapkan program kegiatan pemerintah desa untuk 5 tahun kedepan berdasarkan visi-misi di atas . Hasil observasi peneliti, revisi RPJMDes tersebut dilakukan dengan baik namun berdasarkan hasil wawancara, hasil revisi RPJMDes tersebut belum ditetapkan dalam bentuk Perdes. Berdasarkan hasil kajian Tim peneliti terhadap hasil revisi tersebut menunjukkan RPJMDes hasil revisi sudah memenuhi prosedur sesuai UU Desa. Kami menjelaskan ringkasan RPJMDes hasil revisi kedalam tabel berikut ini.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
234
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Tabel 2 Ringkasan RPJMDes Sistimatika RPJMDes
:
Tujuan dan Maksud RPJMDes
:
Bab I Pendahuluan Bab II Kondisi Umum Bab III Visi dan Misi Bab IV Peta Permasalahan dan Potensi Bab V Prioritas Masalah dan Pilihan-Pilihan Tindakan Bab VI Rencana Tindak Lanjut Kegiatan Pembangunan Bab VII Penutup 1. Sebagai alat untuk mengukur hasil kerja pemerintah desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Sebagai alat untuk mengantisipasi perkembangan suatu tuntutan masyarakat. 3. Sebagai pedoman tindakan dalam kurun lima tahun kedepan. 4. Sebagai alat bagi pemanfaatan dana yang efektif dan efesien. 5. Sebagai alat yang efektif untuk mewujudkan Visi dan Misi desa. 6. Sebagai sarana untuk menjaga kesinambungan dan pengembangan desa.
Sumber: Buku Profil Pemerintah Desa Landungsari, 2014. Berdasarkan UU Desa, prinsip utama yang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan desa adalah merumuskan program kegiatan berdasarkan permasalahanpermasalahan yang dihadapi masing-masing wilayah di desa landungsari. Permasalahanpermasalahan tersebut harus berdasarkan hasil survei yang dilakukan di masing-masing wilayah. Berikut ini dijelaskan tentang permasalah-permasalahan di masing-masing dusun di Desa Langsungsari Kabupaten Malang. Tabel 3 Permasalahan di Dusun Rambaan No. 1
Bidang Permasalahan Bidang Ekonomi
Permasalahan-Permasalahan 1. 2. 3. 4.
2
Bidang Pendidikan
3
Bidang Ketertiban Keamanan
4
Masalah pembangunan
1.
dan
2. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Potensi dusun Ramba’an tidak bisa dirasakan semua warga setempat. Tingkat kecemburuan warga di dusun Ramba’an sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh pemerataan pembangunan yang tidak sehat. Kurang tersediannya lapangan kerja yang sesuai dengan potensi warga desa setempat. Hampir 90% kegiatan Dasa Wisma yang menonjol adalah simpan pinjam dengan bunga yang tinggi sehingga tidak bisa mensejahterakan keluarga bagi warga dusun Ramba’an. Rendahnya kesadaran pelajar SMU (tamatan SMU) untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tingginya angka putus sekolah Minimnya kesadaran pengandara motor untuk hati-hati dalam mengendarai motor di tengah keramaian (kepadatan warga). Tingginya angka curian motor (Curanmor) Belum tertibnya administrasi kependudukan yang ada di lingkungan desa. Belum tertatanya sarana dan prasarana jalan yang memadai. Sarana dan prasarana umum tidak terjaga dan terrawat dengan baik. Banyaknya pembangunan ruko yang belum menyediakan tempat parkir yang nyaman sehingga seringkali mengganggu pengguna jalan.
Sumber: Dokumen Rencana Kegiatan Pemerintah Desa Tahun 2016. Permasalahan-permasalahan yang ada di Dusun Ramba’an di atas berbeda dengan permasalah-permasalahan di Dusun Bendungan sebagaimana tabel berikut ini:
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
235
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
No 1
2
3
4
Bidang Pendidikan
Masalah Banyaknya pemuda atau warga yang putus sekolah karena disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman mereka akan pentingnya pendidikan baik dalam bentuk biaya maupun manfaat dari pendidikan tersebut. 2. Rendahnya kreatifitas para pelajar dan sarjana dalam memaksimalkan potensi mereka untuk pembangunan desa. 3. Tingginya biaya pendidikan di lingkungan Kota dan Kabupaten Malang. Saran dan Prasarana 4. Potensi desa belum dikelola dan diberdayakan dengan baik dan maksimal. 5. Belum tersediannya fasilitas umum yang memadai. Kesehatan dan Lingkungan 6. Minimnya kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. 7. Fasilitas olah raga sebagai sarana kesehatan belum tersedia. 8. Pelayanan posyandu belum maksimal. Lingkungan Hidup 9. Pengelolaan sampah belum berjalan dengan baik 10. Minimnya ruang terbuka hijau 11. Minimnya kesadaran warga untuk hidup teratur sesuai peraturan pemerintah. 1.
Sumber: Dokumen Rencana Kegiatan Pemerintah Desa Tahun 2016. Sedangkan permasalahan-permasalahan di Dusun Klandungan adalah sebagai berikut: Tabel 5 Permasalahan di Dusun Klandungan No
Bidang
1
Pendidikan
2
Kesehatan dan Lingkungan
3
Sosial dan Budaya
4
Keamanan
5
Pariwisata
Masalah 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tingginya angka putus sekolah Minimnya keterampilan warga Minimnya pembinaan mental bagi warga Minimnya kesadaran untuk hidup bersih dan sehat Pelayanan Posyandu belum dijalankan secara maksimal Minimnya kesadaran pemuda atau warga untuk ikut organisasi sosial. Meningkatnya masalah rumah tangga Masih sering terjadi pencurian hewan sapid an lainnya. Kondisi jalan yang sempit dan ramainya kendaraan sering terjadi kecelakaan. Banyaknya warga kontrak atau kos kosan yang tidak ada laporan ke RT, RW, dan Kades sehingga mengakibatkan krawanan keamanan. Kepedulian warga atau untuk jaga malam sudah menurun. Belum diperhatikannya bangunan situs makam Ki Ageng Ndokowono, sebagai asal usul muncul dan terbetuknya desa Landungsari. Minimnya anggaran acara rutinitas tahunan Bersih Desa.
Permasalahan-permasalahan yang ada di setiap dusun (wilayah) di atas merupakan hasil temuan pemerintah desa melalui kegiatan survei, diskusi wilayah (dusun), hearing dan dengar pendapat dengan warga setempat. Pemerintah desa menjadikan permasalahan-permasalahan tersebut sebagai bahan untuk memformulasikan kebijakan kedalam bentuk program kegiatan pemerintah desa. Di bawah ini adalah bentuk-bentuk progam kegiatan pemerintah desa landungsari yang dituangkan dalam RPJMDes berdasarkan hasil survey tentang permasalahanpermasalahn di masing-masing dusun (wilayah) di Landungsari seperti yang dijelaskan dalam bentuk tabel di atas.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
236
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Tabel 6. Bentuk-bentuk progam kegiatan pemerintah desa landungsari dalam RPJMDes. Bidang Program Pendidikan
Kesehatan
Lingkungan Hidup
Sosial Budaya
Nama Kegiatan Pendidikan kejar paket A, B, dan C Pengadaan Perpustakaan Masy Pelatihan keterampilan (life skill) Pengadaan prasarana TPQ Penjegahan demam berdarah Pengadaan gedung Posyandu Pengadaan sarana dan prasarana olah raga Kerja bakti kebersihan lingkungan Pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat kurang mampu Penyuluhan arti penting hidup sehat Penanaman ulang seribu 1000 pohon Pembuatan tempat pembuangan sampah Pengelolaan limbah sampah dan pemanfaatannya Pengadaan gerobak sampah Pembangunan TPST Pembuatan peraturan sewa menyewa rumah kos/ rumah kontrakan Rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan Melestarikan budaya daerah Pemberikan kesejahteraan LINMAS Pendataan warga kos dan kontrakan
Lokasi Klandungan Klandungan Klandungan Klandungan RW 09 Tiap RW Klandungan Bendungan Rambaan Rambaan Jl. Tirto Sari RT 02 RW 08 RT 03 RW 08 RW 09 Klandungan Klandungan Klandungan Bendungan Bendungan Bendungan
Sumber: Dokumen Rencana Kegiatan Pemerintah Desa Tahun 2016. Bentuk-bentuk program kegiatan di atas dipandang sangat relevan dengan permasalahan-permasalahan yang berkembang di setiap dusun seperti yang dijelaskan pada tabel sebelumnya. Karena itu, pemerintah desa landungsari dinilai sangat responsif dalam mengakomodir persolan-persolan yang ada dalam kehidupan masyarakat desa. RKPDes Pemerintah Desa Landungsari Pasca diterapkan UU Desa, pemerintah desa landungsari telah dua kali menyusun RKPDes sesuai format UU Desa. Menurut Darwis, kepala badan pemberdayaan masyarakat desa bahwa pada tahun 2015 banyak pemerintah desa di kabupaten Malang tidak memiliki RKPDes sesuai UU Desa. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesiapan pemerintah desa yang belum optimal. Pada tahun 2015 lalu, awal diterapkan UU Desa, saya menilai pemerintah desa belum siap menerima UU Desa. Pada saat itu, pemerintah desa di kabupaten Malang belum memiliki RPJMDes dan RKPDes sesuai format UU Desa. Hanya beberapa desa saja yang memiliki RKPDes salah satunya adalah pemerintah Desa Landungsari. Pemerintah kabupaten Malang menilai bahwa Pemerintah Desa Landungsari memiliki kapasitas yang baik dalam
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
237
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
menindaklanjuti ketentuan-ketentuan UU Desa. Karena itu, kami jadikan pemerintah desa landungsari sebagai contoh bagi pemerintah desa lain. Penjelasan kepala BPMD di atas menunjukkan bahwa pada awal diterapkan UU Desa, pemerintah desa di kabupaten Malang belum memiliki kesiapan yang matang dalam menindaklanjuti ketentuan-ketentuan UU Desa. Namun menurutnya, pemerintah desa landungsari dinilai memiliki kemampuan dalam menanggapai dan menindaklanjuti ketentuanketentuan UU Desa. Kemampuan pemerintah desa landungsari seperti dijelaskan kepala badan di atas adalah ditunjukkan melalui kemampuannya dalam menyusun RKPDes. Pada tahun 2016 ini, pemerintah desa landungsari mampu menyusun RKPDes sesuai format UU Desa. RKPDes tersebut diperdakan dalam Peraturan Desa No. 1 tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) Desa Landungsari tahun 2016. Mengacu pada UU Desa, RKPDes disusun oleh Pemerintah Desa sesuai informasi dari pemerintah daerah kabupaten berkaitan dengan pagu indikatif Desa dan rencana kegiatan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten. Berikut ini adalah bagan alur (mekanisme) penyusunan RKPDes sesuai UU Desa. Gambar 2 Alur Penyusunan RKPDes sesuai UU Desa. Musyawarah Desa penyusunan perencanaan pembangunan Desa
Pembentukan TIM Penyusunan RKPDES
Pencermatan pagu indikatif Desa dan penyelarasan program/kegiatan masuk ke Desa
Pencermatan ulang dokumen RPJM Desa
Perubahan RKP Desa
Penetapan RKP Desa
Penyusunan RKP Desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan Desa
Penyusunan rancangan RKP Desa
Pengajuan daftar usulan RKP Desa.
Sumber: Diolah dari UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pemerintah desa landungsari menyusun RKPDes sesuai mekanisme yang diatur dalam UU Desa. Menurut pemerintah desa landungsari, penyusunan RKPDes sesuai UU Desa adalah salah satu tugas dan kewajiban pemerintah desa yang harus dilaksanakan setiap tahun anggaran. RKPDes dianggap sangat penting karena RKPDes adalah sarana untuk merealisasikan RPJMDes di setiap tahun anggaran. Siswono, sekretaris desa landungsari, mengatakan:
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
238
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Mengacu pada UU Desa, keberadaan RKPDes adalah penting bagi pembangunan desa. RKPDes itu adalah hadir untuk merealisasikan RPJMDes di setiap tahun anggaran. Selain itu, RKPDes juga dijadikan acuan dalam penyusunan APBDes. Jadi pemerintah desa haru siap dan memahami proses penyusunan RKPDes hingga ditetapkan dalam bentuk Perda tentang RKPDes.
Sejalan dengan penjelasan di atas, maksud dan tujuan RKPDes dalam Perdes No. 01 Tahun 2016 tentang RKPDes Desa Landungsari adalah sebagai berikut. Maksud: RKPDes disusun dengan maksud untuk memberikan pegangan atau pedoman bagi pemerintah desa tentang kegiatan-kegiatan pembangunan yang akan dan sedang dilaksanakan dalam jangka satu tahun. Sedangkan tujuan RKPDes adalah: 1. Menyediakan dokumen strategis tentang program dan rencana tindakan yang akan dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah desa, organisasi kemasyarakatan desa, masyarakat luas maupun berbagai pameran pembangunan yang lain melalui kerjasama secara terpadu. 2. Memberikan pegangan dan indikator kinerja pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah desa. 3. Menyediakan dokumen usulan program strategis dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat dan diselaraskan dengan program prioritas pemerintah kabupaten. 4. Sebagai masukan bagi Dinas instansi pemerintah dan berbagai pemeran pembangunan lain dalam rangka membangun kemitraan maupun investasi di Desa. RKPDes yang dijelaskan di atas adalah disusun oleh Tim Penyusun RKPDes Desa Landungsari. Adapun nama-nama Tim tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 7. Tim Penyusun RKPDes Pembina Ketua Sekretaris Anggota
: : : :
Saipul Imam, S.Ag. Siswono Ir. Yusuf Wahyudi, MT. Saiful Hidayat, S.Ag. Tobat Darmanu Suharmanto Sugiyono ST. Yeni Erniati, SE Hariono Aksan Buhari
Sumber: Buku Profil Pemerintah Desa Landungsari, 2014. Tim di atas melaksanakan tugas yaitu: pencermatan pagu indikatif dan penyelarasan program/kegiatan masuk ke desa, pencermatan ulang dokumen RPJMDes, penyusunan rancangan RKPDes, dan penyusunan rancangan daftar usulan RKPDes. Berdasarkan pengamatan dan data dokumentas, Tim peneliti dapat mengatakan bahwa Tim penyusun RKPDes Desa Landungsari sukses menjalankan tugasnya. Mereka mampu menyusun RKPDes sesuai alur dan format UU Desa. RKPDes terdiri dari lima Bab yaitu: BAB I Pendahuluan, BAB II Gambaran Umum Kebijakan Umum, BAB III Evaluasi Pelaksanaan RKPDES dan Permasalahan Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
239
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pembangunan, BAB IV Rencana Program dan Kegiatan Pembangunan Desa, dan BAB V Penutup. Sesuai dengan RKPDes Desa Landungsari, rencana prioritas program desa landungsari tahun 2016 adalah pembangunan diarahkan pada pengembangan pusat-pusat pertumbuhan untuk mendorong pengembangan perdesaan yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi serta. Rencana prioritas tersebut diwujudkan melalui program kegiatan pada masing-masing bidang pembangunan desa sebagaimana berikut: Bidang 1: Penyelenggaraan pemerintahan desa: menfasilitasi peningkatan kapasitas pemerintah desa, memfasilitas peningkatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga-lembaga lainnya di tingkat desa, mempersiapkan data, informasi, dan indeks desa yang digunakan sebagai acuan bersama dalam perencanaan dan pembangunan, serta monitoring dan evaluasi kemajuan perkembangan desa, memastikan secara bertahap pemenuhan alokasi dana desa, dan menfasilitasi kerjasama antar desa. Bidang 2: Pelaksanaan pembangunan desa: memenuhi kebutuhan dasar masyarakat desa dalam hal perumahan, sani tasi, dan air minum, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan dasar, meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dasar dalam menunjang kehidupan sosial ekonomi, meingkatkan kualitas sarana transportasi, dan meningkatkan pelestarian lingkungan hidup guna menunjang perekonomian masyarakat. Bidang 3: Pembinaan kemasyarakatan: meningkatkan kapasitas masyarakat miskin dan rentan dalam pengembangan usaha berbasis potensi local, memberikan dukungan bagi masyarakat miskin dan rentan melalui penyediaan lapangan usaha, modal bergulir, kewirausahaan, dan lembaga keuangan mikro. Bidang 4: Pemberdayaan masyarakat desa: Melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan sosial budaya masyarakat dan keadilan gender, perwujudan kemandirian pangan dan pengelolaan SDA-LH yang berkelanjutan dengan memanfaatkan inovasi dan teknologi tepat guna di perdesaan, meningkatkan kegiatan ekonomi yang berbasis komuditas unggulan melalui pengembangan rantai nilai, peningkatan produktivitas, serta penerapan ekonomi hijau, menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan pasar desa, meningkatkan akses masyarakat desa terhadap modal usaha, pemasaran, dan informasi pasar, dan mengembangkan lembaga pendukung ekonomi desa seperti koperasi, BUMDES, dan lembaga ekonomi mikro lainnya.
Keempat bidang prioritas di atas adalah bagian dari amanah UU Desa untuk dilaksanakan oleh pemerintah desa. Dalam UU Desa ditegaskan bahwa pemerintah desa harus mampu mewujudkan pembangunan desa melalui keempat bidang pembangunan di atas dan harus berbasikan pada aspirasi masyarakat desa setempat. Pemerintah desa landungsari menyusun program prioritas di atas adalah berbasisikan partisipasi masyarakat melalui kegiatan musyawarah desa yang diadakan pada tanggal 27 Januari 2016. Musyawarah tersebut dihadiri 90 orang warga desa landungsari. Berdasarkan penjelasan dan temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa pemerintah desa landungsari: (1) memahami tujuan perencanaan pembangunan desa sesuai UU Desa, (2) memahami mekanisme perencanaan pembangunan desa, (3) mampu menyusunan RPJMDes dan RKPDes sesuai ketentuan UU Desa, dan (4) mampu merumuskan program pembangunan desa sesuai kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang ada pada masing-masing dusun di desa landungsari.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
240
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Tatakelola administrasi desa Tatakelola adminitrasi desa adalah pengelolaan segala bentuk administrasi desa yang berkaitan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan yaitu urusan struktur pemerintah, perkantoran, data dan informasi, dan pembangunan desa. Tatakelola administrasi desa adalah diselenggarakan oleh pemerintah desa sebagai penunjang dan pendukung berjalannya pelayanan publi. Berdasarkan pasal 62 PP 43 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Desa, penanggung jawab tatakelola administrasi desa adalah sekretaris desa dan dibantu oleh staf-staf lainnya. Siswono, sekretaris desa landungsari, mengatakan: “Kalau mengacu pada PP 43, yang bertanggung jawab terhadap segala bentuk tatakelola administrasi desa adalah sekretaris desa. Sekretaris desa memiliki peran yang paling penting dalam melakukan tatakelola administrasi desa, dalam hal ini sekretaris desa dibantu oleh staf-staf desa.
Sekretaris desa sebagai pembantu kepala desa harus mampu menjalankan fungsi tatakelola organisasi melalui kerjasama dengan sejumlah staf-staf desa. Salah satu pekerjaan yang paling penting untuk dilaksanakan oleh sekretaris dan staf-staf desa adalah menyediakan data dan informasi tentang kependudukan dan kondisi kemasyarakatan. Data dan informasi mengenai hal tersebut dinilai sangat penting bagi kelangsungan tatakelola pemerintahan desa terutama yang berhubungan dengan pembangunan dan pelayanan. Berdasarkan hasil observasi dan data dokumentasi, peneliti menemukan kelengkapan data dan informasi pemerintah desa landungsari dalam bentuk dokumen-dokumen kebijakan yang dimiliki pemerintah desa landungsari. Adapun dokumen-dokumen kebijakan yang dimaksud adalah Buku Profil Desa, Buku Rencana Strategis Desa Landungsari 2013-2019, Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES), dan buku Rencana Kegiatan Pemerintah Desa (RKPDES) Desa Landungsari tahun 2016. Dokumen-dokumen kebijakan di atas memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya. Buku profil desa memuat data dan informasi penting sebagai acuan penyusunan RPJMDES dan RKPDES. Selain itu, data dan informasi dalam buku profil desa dapat dijadikan sebagai acuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa tanpa dilengkapi data dan informasi dipastikan terselenggara tanpa arah dan tujuan yang jelas sehingga pelayanan publik tidak berjalan dengan baik. Muffarih, Kaur pemerintahan desa, mengatakan: “Tugas utama kami sebagai perangkat desa adalah menyediakan data dan informasi yang lengkap. Data dan informasi yang lengkap dapat mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik. Karena itu, kami berusaha mengumpulkan dan menyediakan data dan informasi yang lengkap, akurat, dan up to date.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
241
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Di bawah ini kami himpun data dan informasi tentang kependudukan pemerintahan desa landungsari. Data di bawah ini adalah hasil dari kinerja perangkat desa landungsari. Berdasarkan data administrasi pemerintahan desa tahun 2014, jumlah penduduk desa landungsari adalah 1912 jiwa, dengan rincian 4642 laki-laki dan 4480 perempuan. Jumlah penduduk tersebut tergabung dalam 2161 KK. Sedangkan kepadatan penduduk mencapai 681 per km2. Pemerintah desa landungsari mendeskripsikan data kependudukan tersebut berdasarkan klasifikasi usia sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia No 1 2 3 4 5 6 Jumlah Total
Usia 0-12 1-5 0-7 7-18 18-56 >56
Jumlah 121 Orang 624 Orang 1003 Orang 1518 Orang 4841 Orang 2247 Orang 9122 Orang
Prosentase 1,3% 6,8% 10,9% 16,6% 53% 24,6% 100%
Sumber: Buku Profil Pemerintah Desa Landungsari, 2014. Pemerintah desa landungsari juga menyadari bahwa data tentang pendidikan adalah penting untuk diperhatikan dalam perencanaan pembangunan desa. Mengenai hal ini, Siswono menjelaskan seperti berikut ini: “Eksistensi pendidikan adalah satu hal penting dalam memajukan tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan tingkat perekonomian pada khususnya. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan memacu tingkat kecakapan masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan kewirausahaan dan lapangan kerja baru. Karena itu, kami harus memastikan berapa data tingkat pendidikan masyarakat di desa landungsari. Ini adalah tugas kami�.
Berikut ini adalah data tentang tingkat pendidikan masyarakat desa landungsari yang dihimpun oleh pemerintah desa landungsari. Tabel 9. Tamatan Sekolah Masyarakat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tingkat Pendidikan Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK Usi 3-6 tahun yang sudah masuk TK Usia 7-18 tahun yang tidak sedang sekolah Usia 18-56 tahun pernah SD tapi tidak tamat Tamat SD/Sederajat Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SMP Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat D-1 Tamat D-2 Tamat D-3 Tamat S-1
Laki-Laki 2 Orang 191 Orang 767 Orang 3 orang 681 Orang 461 Orang 231 orang 261 orang 291 orang 21 orang 15 orang 4 orang 211 orang
Perempuan 1 Orang 181 Orang 751 Orang 6 Orang 671 Orang 531 Orang 197 orang 243 orang 310 orang 17 orang 13 orang 7 orang 247 orang
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
242
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id 14 15 16 17
Tamat S-2 Tamat S-3 Tamat SLB C (tuna mental) Tamat SLB G (tuna ganda)
31 orang 18 orang 1 Orang 1 orang
46 orang 17 orang -
Sumber: Buku Profil Pemerintah Desa Landungsari, 2014. Data tentang tingkat pendidikan di atas berguna untuk menganalisis dan menentukan kebijakan pembangunan desa landungsari dalam bidang pendidikan. Menurut Siswono data tentang pendidikan yang dihimpun dan direkap bertujuan untuk merumuskan kebijakan dalam rangka mendorong pembangunan pendidikan bagi masyarakat desa landungsari. “Kami berhasil menghimpu data tingkat pendidikan warga desa landungsari. Dari dara tersebut kami dapat menyimpulkan bahwa rendahnya kualitas pendidikan di desa landing sari, tidak terlepas dari terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, disamping tentu masalah ekonomi dan pandangan hidup masyarakat�.
Dari data di atas, pemerintah desa dapat membuat kebijakan berupa meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat melalui pelatihan dan kursus gratis bagi warga yang tidak memiliki kualitas pendidikan yang tinggi, dan menyediakan lapangan kerja bagi warga yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi melalui kerjasama dengan sejumlah pengusahapengusaha di wilayah Kabupaten Malang (baca RKPDes tahun 2016 desa landungsari). Disamping data-data di atas, pemerintah desa juga harus menghimpun dan mengetahui data dan informasi tentang mata pencaharian warga desa landungsari. Pemerintah desa landungsari berhasil menghimpun data-data tersebut sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 4.10 Macam-macam pekerjaan dan jumlahnya di Desa Landungsari No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Pekerjaan Petani Buruh Tani PNS Pedagang keliling Peternak Montir Dokter Swasta PRT TNI POLRI Pensiun PNS/TNI/POLRI UKM Jasa Pengobatan Alternatif Dosen Swasta Karya Perushaan Swasta Sopir Tukang Becak Tukang Ojek
Laki-Laki 207 orang 102 orang 281 orang 71 orang 140 orang 17 orang 3 orang 11 orang 6 orang 47 orang 3 orag 1 orang 9 orang 4 orang 17 orang 3 orang 42 orang
Perempuan 169 orang 57 orang 240 orang 83 orang 2 orang 78 orang 2 orang 38 orang 1 oranng 8 orang 8 orang -
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
243
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id 19 20 21
Tukang Cukur Tukang Batu Kusir Dokar
6 orang 452 orang 2 orang
-
Sumber: Buku Profil Pemerintah Desa Landungsari, 2014. Data dan informasi di atas dijadikan oleh pemerintah desa sebagai landasan dalam menyusun program pembangunan baik program pembangunan jangka panjang, menengah, maupun tahunan. Pada konteks ini, keberhasilan pemerintah desa menyediakan data seperti di atas adalah langkah yang baik untuk merencanakan dan merumuskan program pembangunan serta penganggaran desa menuju desa sejahtera dan mandiri sebagimana tujuan UU No. 6 tahun 2014 tentang desa. Disamping data-data di atas, pemerintah desa landungsari juga menyediakan data-data lain seperti tingkat pendapatan warga desa per tahun, dan data hasil evalusi pembangunan desa per tahun. Berdasarkan data dokumentasi dan hasil wawancara di atas, menunjukkan kesadaran pemerintah desa landungsari tentang pentingnya melakukan tatakelola administrasi desa dengan baik. Pemerintah desa landungsari meyakini bahwa tatakelola administrasi desa yang baik akan berpengaruh baik pada perencanaan pembangunan desa. Karena itu, pemerintah desa landungsari melakukan upaya-upaya maksimal dalam mewujudkan tatakelola administrasi desa dengan menyediakan data dan informasi desa yang lengkap. Pengelolaan keuangan desa Pengelolaan keuangan desa adalah salah satu tugas wajib pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengelolaan keuangan desa dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, penataan, dan pelaporan (pertanggung jawaban). Di era otonomi Desa, pemerintah desa diamanahkan oleh pemerintah pusat melalui UU Desa untuk mengelola anggaran desa yang jauh lebih banyak dibandingkan sebelum UU Desa disyahkan. Pasal 2 Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia menjelaskan tentang asas-asas pengelolaan keuangan desa yaitu (1) Keuangan desa dikelola berdasarkan a sas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. (2) Pengelolaan keuangan desa dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 6o tahun 2014 tentang dana desa yang bersumber dari APBN menegaskan bahwa dana desa harus dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efesiensi, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
244
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serat mengutamakan kepentingan masyarakat setempat. Memperhatikan peraturan perundang-undangan di atas maka pemerintah desa harus memiliki kemampuan dan kecakapan yang baik dalam pengelolaan keuangan desa. Siswono, sekretaris desa landungsari, menjelaskan: “UU Desa perupakan aturan yang disediakan untuk mewujudkan tujuan pembangunan desa, tapi semua itu sulit untuk dapat dicapai tanpa adanya pembangunan sumber daya manusia secara keselutuhan”.Penjelasan sekretaris desa tersebut, secara eksplisit menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah desa, termasuk kewenangan mengelola keuangan desa, harus diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia pemerintah desa yang baik. Menurut Siswono pemerintah desa landungsari belum memiliki SDM pemerintah desa yang mumpuni untuk menjalankan fungsi pengelolaan keuangan desa. SDM pemerintah desa landungsari sangat terbatas. Urusan pengelolaan keuangan desa di desa landungsari hanya dilaksanakan oleh satu orang yaitu Kaur Keuangan Desa. Kaur-kaur lain menjalankan tupoksinya masing-masing. Kepala Desa Landungsari, Saipul, mengatakan: “Coba dibayangkan, urusan keuangan desa hanya dilaksanakan oleh satu orang Kaur keuangan desa. Kaur tersebut tidak memiliki staf yang membantu berjalannya tupoksi yang dimiliki. Ini pasti berdampak pada pengelolaan keuangan desa. Karena itu kami sangat menyayangkan implementasi UU Desa tidak didahului penataan, pembinaan, dan pendampingan penguatan sumber daya manusia bagi pemerintah desa”.
Dibawah ini digambarkan kondisi sumber daya manusia pemerintah desa landungsari dalam tabel berikut ini. Tabel 4.11. Susunan Organisasi Pemerintah Desa Landungsari No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Saipul Imam, S.Ag. Siswono Muffarih Hanaur Rosyid, SHI. Sunaryo Sugiyono ST Yahudi Saiful Hidayat S.Ag. Ramu Sugiarto Tobat Darmanu Suharmanto Tri Anjar Wulansari
Jabatan Kepala Desa Sekdes Kaur Umum Kaur Keuangan Kebayan Yuwono Modin Kepetengan Kamituwo Klandungan Kamituwo Bendungan Kamituwo Rambaan Staf Desa
Sumber: Buku Profil Pemerintah Desa Landungsari, 2014. Sumber daya manusia organisasi pemerintah desa di atas dinilai tidak mendukung terselenggaranya pemerintahan desa dengan baik. Secara kuantitas sumber daya manusia pemerintah desa landungsari tidak mampu menjangkau besarnya kewenangan pemerintah desa Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
245
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
dalam pengelolaan keuangan desa (perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban). Selain itu, pemerintah pusat melalui UU Desa, secara langsung memberikan sejumlah anggaran (dana desa) kepada pemerintah desa untuk dikelola secara akuntabel. Kendati kepala desa sebagai penanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan desa termasuk pengelolaan keuangan desa, namun kepala desa tidak terlibat secara langsung pada kegiatan-kegiatan administratif pengelolaan keuangan desa. Sekretaris desa juga meskipun sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan keuangan desa namun peran sekretaris desa adalah hanya terbatas pada kegiatan monitoring dan pengawasan. Keberadaan Kaur umum Kebayan, Yuwowo, Modin, Kepetengan, Kamituwo Klandungan, Kamituwo Bendungan, Kamituwo Rambaan, dan Staf Desa adalah juga menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing diluar urusan keuangan desa. Karena itu, pengelolaan keuangan desa di desa landungsari hanya dijalankan oleh satu orang perangkat desa (Kaur Keuangan Desa). Satu orang perangkat desa tersebut menjalankan tugas-tugas berikut ini: 1.
Mengelola administrasi keuangan desa, mempersiapkan data guna menyusun rancangan anggaran, perubahan dan perhitungan, penerimaan dan pengeluaran keuangan desa, melaksanakan tata pembukuan secara teratur. 2. Menyelesaikan administrasi pelaksanaan pembayaran, upah dan gaji perangkat desa. 3. Mengadakan penilaian pelaksanaan APBDes dan mempersiapkan secara periodik program kerja di bidang keuangan. 4. Memabantu kelancaran pemasukan pendapatan desa, menginventarisir kekayaan desa (luas, status, penggunaan, dll). 5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada sekretaris desa dalam bidang keuangan. 6. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh sekretaris desa.
Tugas-tugas Kaur Keuangan Desa di atas adalah dijalankan oleh satu orang perangkat desa. Keterbatasan SDM ini sangat tidak mendukung terselenggaranya pengelolaan keuangan desa yang baik (good budget management). Sunaryo, Kaur keuangan desa, mengatakan: “Saya mengakui tidak mampu menjalankan tugas saya secara efektif dan efesien. Hal ini bukan karena saya tidak bekerja atau malas namuan karena memang tugas saya sebagai Kaur keuangan sangat banyak. Pengelolaan keuangan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban, adalah hanya dijalankan oleh saya sendiri. Tentu saja hal ini tidak dapat dijalankan secara maksimal�.
Kondisi sumber daya manusia pemerintah desa sebagaimana yang digambarkan di atas tidak sebanding dengan besarnya kewenangan pemerintah desa yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui UU Desa. Karena itu, pemerintah desa landungsari mengakui bahwa saat ini mereka masih dalam tahap penguatan kelembagaan pemerintah desa dalam rangka mewujudkan tatakelola keuangan desa secara baik dan benar sebagaimana amanat UU Desa. Selain keterbatasan sumber daya manusia pemerintah desa secara kuantitas sebagaimana yang digambarkan di atas, pemerintah desa landungsari juga menghadapi persoalan lain yaitu
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
246
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
minimnya sumber daya manusia pemerintah desa secara kualitas. Hal ini diakui oleh Sekretaris Desa, Siswono, sebagaimana penjelasannya berikut ini: “Sebenarnya kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa adalah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Saat ini, semua pemerintah desa di Indonesia menghadapi persoalan yang sama yaitu minimnya sumber daya manusia. Aparat pemerintah desa belum sepenuhnya dapat memahami dan menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing sehigga masih banyak tumpang tindih dalam melaksanakan tugas”.
Senada dengan penjelasan Siswono di atas, Mufarrin juga menjelaskan bahwa kendala utama dalam penyelenggaraan pemerintahan desa adalah minimnya kualitas sumber daya manusia pemerintah desa. Perangkat desa belum memahami dan mengerti tugos, pokok dan fungsi masing-masing baik di sekretariat, teknis, maupun di kewilayahan. Dampak dari minimnya kualitas sumber daya manusia sebagaimana yang dijelaskan di atas adalah buruknya pengelolaan keuangan desa. Pengelolaan keuangan desa tidak dapat berjalan dengan baik sesuai amanat UU Desa. Mufarrin menjelaskan: “Pencairan keuangan selama satu tahun anggaran kurang bagus, yang mengakibatkan munculnya biaya-biaya tidak terduga dalam satu tahun anggaran, dimana biaya tersebut tidak sedikit.” Sejalan dengan Mufarrin di atas, Siswono menjelaskan: “Kurang disiplin dalam pengunaan keuangan sehingga banyak anggaran yang dikeluarkan kurang sesuai dengan rencana. Ini semua diakibatkan oleh minimnya sumber daya manusia pemerintah desa baik secara kuantitas maupun secara kualitas.” Dampak lain dari minimnya sumber daya manusia seperti yang dijelaskan di atas, adalah kualitas laporan keuangan yang dituangkan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah Desa Tahun 2016 melalui Peraturan Desa No. 1 tahun 2016 dinilai masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana diatur dalam UU Desa. Tim peneliti menemukan bahwa laporan keadaan APBDes hanya digambarkan secara singkat, tidak informatif, dan tidak dijelaskan secara komprehensif. Laporan keadaan APBDes yang dibuat oleh pemerintah desa landungsari hanya menjelaskan definisi-definisi tentang kebijakan dan tatakelola keuangan desa. Seharusnya laporan keadaan APBDes adalah mengandung informasi mengenai pendapatan desa dan perkiraan penggunaan pendapatan desa. Evaluasi realisasi anggaran juga belum dijelaskan secara komprehensif yaitu mengenai informasi tentang tantangan, hambatan, dan capaian penggunaan anggaran yang sudah berjalan. Evaluasi realisasi anggaran yang dibuat pemerintah desa landungsari masih memaparkan daftar realisasi dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) dalam bentuk tabel kode, uraian, dan jumlah. Mengacu pada UU Desa, pemerintah desa harus
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
247
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
memaparkan realisasi anggaran dana desa dan alokasi dana desa secara komprehensif yang mencerminkan amanat UU Desa dan peraturan perundang-undangan lain. Mengacu pada datadata di atas, menunjukkan pemerintah desa landungsari dalam menjalankan fungsi pengelolaan keuangan desa menghadapi persolan-persoalan serius yaitu keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Persoalan tersebut berdampak pada buruknya pengelolaan keuangan desa yaitu ditunjukkan melalui laporan keuangan desa yang belum mencerminkan tatakelola keuangan desa yang baik dan benar sesuai UU Desa dan peraturan pemerintah yang terkait. Pemerintah Desa Landungsari menuju E Government Temuan penelitian sebagaimana yang paparkan pada bagian A di atas adalah menggambarkan bahwa di era otonomi desa (pasca diberlakukan UU Desa), pemerintah desa memiliki hak dan kewenangan yang sangat besar dari sebelumnya (sebelum diberlakukan UU Desa). Pemerintah desa menilai UU Desa tersebut adalah kesempatan bagi pemerintah desa untuk membangun desa yang lebih maju dan sejahtera. Karena itu, pemerintah desa landungsari dapat melakukan perencanaan pembangunan dan melakukan tatakelola administrasi desa secara baik dan benar. Disisi lain, pemerintah desa landungsari merasa belum memiliki kemampuan yang memadai untuk menjalankan dan mewujudkan visi UU Desa. Sumber daya manusia pemerintah desa, baik secara kuantitas maupun secara kualitas, dinilai tidak mendukung terselenggaranya pemerintahan desa sesuai visi UU Desa. Dampak dari persoalan ini adalah masih buruknya penyelelenggaraan pemerintahan desa terutama pada bidang pengelolaan keuangan desa. Temuan-temuan di atas tidak dapat disimpulkan bahwa pemerintah desa dinilai gagal menjalankan amanat peraturan perundang-undangan desa. Menurut Darwis, Kepala Badan Pemerintah Desa Kab. Malang, menilai ketidak mampuan pemerintah desa menjalankan kewenangan yang dimilikinya bukan dalam arti kegagalan pemerintah desa. Justru menurutnya pemerintah pusat dinilai sumber kegagalan implementasi UU Desa. Pemerintah pusat, sebelum UU Desa diimplementasikan, tidak melakukan gajian mendalam tentang kemampuan pemerintah desa dalam menjalankan amanat UU Desa. Darwis mengatakan: “Pemerintah Desa belum siap menjalankan UU Desa. Pemerintah pusat menghendaki U No. 6 tahun 2014 tentang desa dapat impelementasikan di tahun 2015. Ketidak siapan pemerintah desa menjalankan UU Desa dapat dilihat dari kebingungan mereka dalam menjalankan UU Desa. Pemerintah desa belum memiliki petunjuk teknis menjalankan segala bentuk kewenangan sebagaimana yang diatur dalam UU desa. Pada pertengahan tahun 2015 lalu, belum ada satupun pemerintah desa di Kabupaten Malang mengajukan
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
248
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Rancangan APBDes kepada Pemerintah daerah kabupaten Malang. Hal ini dikarenakan pemerintah desa tidak memahami bagaimana cara penyusunan APBDES sesuai perintah UU Desa�.
Karena itu, Darwis menganggap pemerintah pusat tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang kemampuan pemerintah desa menjalankan UU Desa. Menurutnya, pada tahun 2015 lalu hingga sekarang ini, pemerintah desa masih dihadapkan sejumlah persoalan-persoalan teknis yang membingungkan mereka. Darwis mengungkapkan: “Pemerintah daerah kabupaten Malang menilai pemerintah pusat tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang persoalan-persoalan pemerintah desa. UU Desa tidak terlalu banyak mengatur secara teknis bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah desa. Pengaturan aset desa, misalnya, UU Desa tidak mengatur tentang aset-aset desa yang seperti apa menjadi hak milik desa? Kalau semuannya yang ada di desa bagian dari aset desa, maka apa yang perlu di atur dan dimiliki pemerintah daerah�.
Kendati pemerintah kabupaten Malang menganggap implementasi UU Desa dinilai gagal bukan dalam arti UU Desa tidak diperlukan. Justru menurut Darwis UU Desa sangat dibutuhkan untuk menuju pembangunan desa yang lebih baik. Langkah yang perlu dikedepankan adalah melakukan koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan desa. Selain itu mendorong pemerintah desa untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Darwis menjelaskan: “Pada saat ini pemerintah daerah Kabupaten Malang terus berupaya melakukan koordinasi secara langsung dengan Kemendagri. Tujuan koordinasi ini adalah supaya kami mendapatkan penjelasan yang jelas tentang petunjuk dan teknis pengaturan dan tata kelola pemerintah desa. Pemerintah Kabupaten Malang tidak mau salah mengambil keputusan tentang pemerintah desa. Pada saat ini juga pemerintah kabupaten Malang giat melakukan sosialisasi dan dialog langsung dengan pemerintah desa. Pemerintah desa juga harus mampu melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa seperti memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana penyelengraan pelayanan publik�.
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan permasalah-permasalahan pemerintahan desa sebagaimana yang dijelaskan di atas, Tim penelitian menarik sebuah kesimpulan bahwa keberadaan UU Desa adalah sangat dibutuhkan oleh pemerintah desa untuk menuju pembangunan desa yang lebih baik. Melalui UU Desa, pemerintah desa memiliki ruang untuk mengelola desa secara mandiri dan partisipatif. Di era diberlakukannya UU Desa, pemerintah desa membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa secara mandiri dan partisipatif, membutuhkan dukungan pemerintah pusat untuk memperkuat kelembagaan pemerintah desa, dan membutuhkan dukungan pemerintah Kabupaten untuk mendorong pembangunan desa mewujudkan tatakelola pemerintahan desa yang baik (good management village government). Salah satu langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah kabupaten dan pemerintah desa untuk mendukung penyelenggaraan Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
249
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
pemerintahan desa yang baik adalah melakukan inovasi tatakelola pemerintahan melalui teknologi informasi. Pemerintahan berbasis teknologi informasi (e-government) adalah penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui teknologi informasi (terutama melalui jaringan internet). Tujuan penerapan e-government di lingkungan pemerintahan desa adalah membantu pemerintah
desa
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan desa terutama dalam perencanaan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan desa. Pemerintah desa landungsari menilai, di era otonomi desa dan mengingat permasalahan keterbatasan sumber daya manusia pemerintah desa, penerapan e-government adalah salah satu jawaban tepat untuk menyelesaikan permaslahan tersebut. Muffarin, Kaur umum pemerintah desa landungsari, mengatakan: “Seharusnya di era otonomi desa ini perlu menerapkan konsep pemerintahan berbasis computerized yaitu pelayanan publik dapat diaskses dimana-mana. Syaratnya tentu saja sarana dan prasarana yang mendukung�. Sebagaimana penjelasan aparat desa di atas, penerapan e-government membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Egovernment membutuhkan tiga elemen penting yaitu dukungan pemerintah, kemampuan SDM, dan pemahaman pemerintah dan masyarakat terhadap tujuan dan fungsi e-government. Ketiga elemen tersebut adalah kunci kesuksesan penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis teknologi informasi (e-government).
Langkah-langkah Pemerintah Desa untuk Mewujudkan E Government Berdasarkan hasil kajian dan riset dari Harvad JFK School of Government bahwa ada tiga elemen penting yang harus dimiliki dan diperhatikan sungguh-sungguh dalam penerapan electronic government, yaitu: Support (dukungan pemerintah), Capacity (kemampuan SDM pemerintah), dan Value (manfaat e government).Pemerintah desa landungsari telah menunjukkan komitmen (support) untuk mendukung e government dalam penyelenggaraan pemerintahan desa (perencanaan pembangunan desa, tatakelola administrasi desa, dan pengelolaan keuangan desa). Komitmen tersebut ditunjukkan melalui visi misi yang diusung pemerintah desa untuk pembangunan desa landungsari. Adapun visi-misi yang dimaksud adalah: Visi pemerintah desa landungsari yaitu “Terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan Desa yang Baik dan Bersih Guna Mewujudkan Desa Landungsari yang Adil, Makmur dan Sejahtera�. Visi di atas menggambarkan goodwill pemerintah desa untuk mewujudkan tatakelola pemerintahan desa yang baik dan bersih (good village government). Visi tersebut dapat Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
250
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
diaktualisasikan dalam bentuk kebijakan yang mencerminkan prinsip-prinsip good governance, yaitu partisipasi dan transparansi. Salah satu sarana untuk menerapkan prinsip partisipasi dan transparansi adalah teknologi informasi (e government). Komitmen-komitmen tersebut dirumuskan dan diwujudkan melalui misi pemerintah desa landungsari berikut ini: (1) Melakukan revitalisasi birokrasi di jajaran aparatur pemerintahan desa guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, (2) Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, terbebas dari korupsi serta bentuk-bentuk penyelewengan lainnya, (3) Meningkatkan perekonomian masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja seluas luasnya dengan berbasiskan pada potensi asli desa, dan (4) Meningkatkan mutu kesejahteraan masyarakat untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik dan layak. Misi poin (1) yaitu melakukan revitalisasi birokrasi di jajaran aparatur pemerintahan desa guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan poin 2 yaitu menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, terbebas dari korupsi serta bentuk-bentuk penyelewengan lainnya, dapat direalisasikan melalui konsep e government. Revitalisasi birokrasi untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik harus dilakukan melalui teknologi informasi. Pemerintah desa harus menyediakan homebase melalui website resmi sebagai sarana interaksi antara warga dan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. E government juga dapat membantu pemerintah untuk mewujudkan pemerintah yang bersih, terbebas dari korupsi serta bentuk-bentuk penyelewengan lainnya. Sejak tahun 2013 lalu, pemerintah desa landungsari berupaya membuat sebuah website sebagai sarana penerapan e government. Website tersebut mengandung konten diantaranya kumpulan peraturan desa, program pembangunan desa, prosedur pelayanan administrasi seperti pembuatan kartu keluarga, surat domisili, dan akta kelahiran. Berdasarkan hasil kajian peneliti, peneliti menemukan bahwa pemerintah desa landungsari adalah satu-satunya pemerintah desa di Kabupaten Malang yang memiliki website sebagai sarana penyelenggaraan pelayanan public. Keberadaan website tersebut sangat membantu pemerintah desa dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Masyarakat atau warga desa landungsari yang membutuhkan data dan informasi pelayanan cukup melalui website resmi pemerintah desa landungsari. Mereka cukup membuka website desa untuk mencari data-data desa yang diperlukan dan dibutuhkan. Selain itu, keberadaan website juga membantu pemerintah desa dalam melakukan sosialisasi dan publikasi informasi tentang pembangunan desa kepada warga desa. Pada tahun 2014, website tersebut semakin bermanfaat bagi penyelenggaraan pemerintahan desa. Warga desa landungsari yang Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
251
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
membutuhkan pelayanan pemerintah desa dapat menggunakan website untuk mengetahui segala prosedur dan syarat-syarat pelayanan publik. Mesri, warga desa landungsari dan pengurus LPMD, mengatakan: “Website pemerintah desa landungsari lumayan membatu warga desa. Warga desa dapat mengakses informasi pelayanan melalui website tersebut. Mestinya website ini harus dikembangkan menjadi lebih baik dan berkembang menjadi lebih baik sehingga nilai manfaatnya semakin meluas dirasakan warga desa yang membutuhkan pelayanan pemerintah desa�. Penjelasan Mesri di atas menunjukan keberadaan website sangat dibutuhkan untuk memperlancar proses penyelenggaraan pelayanan publik. Namun sangat disayangkan, website tersebut tidak lagi berfungsi dengan baik, dan tidak lagi dikembangkan menjadi lebih baik sesuai harapan warga seperti penjelasan Misri di atas. Siswono mengatakan “saat ini website kami tidak lagi berfungsi seperti tahun 2013 dan 2014. Website tersebut tidak dapat dikembangkan karena pemerintah desa tidak memiliki dana yang cukup untuk mendukung pengembangan website tersebut. Selain persoalan dana, pemerintah desa juga tidak memiliki sumber daya manusia yang professional untuk mengelola website tersebut�. Gambar 2 Website Resmi Pemerintah Desa Landungsari
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2016. Keterbatasan dana dan minimnya sumber daya manusia adalah kembali menjadi penghambat penyelenggaraan pemerintahan desa dalam bidang pelayanan publik berbasis e government. Pada dasarnya, menurut hemat peneliti dan berdasarkan temuan lapangan, permasalahan tersebut dapat di atasi melalui kerjasama dengan perguruan tinggi dan pemerintah desa dapat memaksimalkan dana desa sebagai biaya operasional website. Dalam proses
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
252
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
pengumpulan data melalui FGD, Tim peneliti menawarkan kepada pemerintah desa untuk mengembangkan
konsep
e
government
melalui
kerjasama
dengan
universitas
dan
memaksimalkan dana desa. Tawaran Tim peneliti tersebut diterima secara baik oleh pemerintah desa landungsari. Melalui FGD tersebut, Tim peneliti dan pemerintah desa menyepakati kerjasama antara pemerintah desa landungsari dengan laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan menyepakati program kegiatan pengembangan website dianggarkan kedalam APBDes tahun anggaran 2017 melalui Dana Desa (DD) serta didukung oleh anggaran tim peneliti melalui anggaran biaya bahan habis pakai. Hasil kesepakatan melalui FGD tersebut dijadikan sebagai landasan kebijakan untuk pengembangan konsep e government di pemerintahan desa landungsari. Tim peneliti dan pemerintah desa landungsari mendesain website resmi lebih menarik dari sebelumnya. Webiste ini dikoneksikan lintas unit-unit pemerintah kabupaten Malang dan lembaga pemerintah pusat yang terkait dengan urusan pemerintahan desa. Menurut pemerintah desa landungsari, langkahlangkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk pengembangan konsep e government di pemerintah desa landungsari adalah pelatihan yang berkelanjutan bagi perangkat desa sehingga mereka mampu memahami basis elektronik dalam pelayanan masyarakat, dan membudayakan pemerintah dan warga desa untuk menggunakan komputer internet. Berdasarkan identifikasi dan pemetaan masalah di atas, Tim peneliti mendesain luaran penelitian dalam bentuk Model Penyelenggaran Pemerintahan Desa berbasis E Government (Gambar 4.3). Kerangka model ini dijadikan sebagai roadmap untuk mengembngkan E Government (Website) di Pemerintah Desa Landungsari. E Government didesain untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik terutama dalam penyelenggaraan pelayanan publik. E Government akan didesain secara komprehensif pada tahap penelitian berikutnya.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
253
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Gambar 4.3. Model Penyelenggaran Pemerintahan Desa berbasis E Government UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Pemerintah desa memiliki otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan (perencanaan pembangunan, tatakelola administrasi desa, dan pengelolaan keuangan desa
Penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis partisipasi dan transparansi
Penyelenggaraan pemerintahan desa berbasis informasi teknologi (E Goverenment): Support, Capacity, Value
Permasalahan-permasalahan penyelenggaraan pemerintahan desa: Minimnya SDM Pemerintah Desa, Perangkat Desa belum maksimal menjalankan tupoksi masing-masing
Desain E Government melalui kerjasama dengan Laboratorium Ilmu Pemerintahan UMM dan Menganggarkan program kegiatan pengembangan website melalui APBDes TA 2017
Website pelayanan pemerintah desa landungsari: Pembuatan KK, Pembuatan Akta Kelahiran, Pembuatan Domisili, dan Pembuatan Ijin mendirikan bangunan

Penyelenggaraan pemerintahan Desa efektif dan efesien.

Keterbatasan SDM dapat diatasi melalui fungsionalisasi website.

Pelayanan mudah, murah, dan cepat.
The Citizenship of Langdungsari Government Village
Sebagaimana yang dijelaskan pada Bab I bagian 1.3. tentang metode penelitian bahwa penelitian ini dilaksanakan selama 3 tahun. Penelitian tahun pertama (2016) telah berjalan selama empat bulan yaitu Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Selama empat bulan tersebut, peneliti
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
254
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
melakukan identifikasi dan pemetaan masalah penyelenggaraan pemerintahan desa dalam perencanaan pembangunan desa, tatakelola administrasi desa, dan pengelolaan keuangan desa. Identifikasi dan pemetaan masalah tersebut melahirkan rancangan model penyelenggaraan pemerintahan desa seperti bagan Bagan 4.3. Model Penyelenggaran Pemerintahan Desa berbasis E Government. Kesimpulan Temuan penelitian selama empat bulan terakhir (Mei s/d Agustus, 2016) adalah pemerintah desa landungsari dalam penyelenggaraan pemerintahan desa pasca penerapan UU Desa pada tahun 2015 lalu menunjukkan bahwa pemerintah desa sangat konsisten dan responsif terhadap UU Desa tersebut. Pemerintah desa telah melakukan langkah-langkah strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai UU Desa. Pemerintah desa melakukan perencanaan pembangunan sesuai amanat UU Desa. Pemerintah desa menyusun RPJMDes dan RKPDes sesuai mekanisme yang diatur dalam UU Desa. Pemerintah desa melakukan tatakelola administrasi desa dengan baik. Pemerintah desa melakukan pengelolaan keuangan desa sesuai dengan ketentuan UU Desa. Meskipun pemerintah desa mampu menjalankan penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik namun pemerintah desa menghadapi masalah serius dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa yaitu minimnya kapasitas sumber daya manusia pemerintah desa, jumlah perangkat desa yang terbatas, dan perangkat desa belum memahami tupoksinya masing-masing. Pemerintah desa telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan menerapkan konsep e government dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pada awalnya penerapan konsep tersebut dinilai berhasil namun pada prosesnya konsep tersebut tidak dapat dikembangkan dengan baik karena minimnya sumber daya manusia profesional pada bidang informasi dan teknologi, dan minimnya anggaran operasional untuk program tersebut. Karena itu, Tim penelitian melakukan FGD pengembangan konsep e government. FGD tersebut menghasilkan kesepakatan:
pemerintah desa
bekerjasama
dengan
laboratorium
ilmu
pemerintahan UMM, dan program pengembangan e government dianggarkan dalam APBDes tahun 2017. Saran kami sebagai peneliti adalah pemerintah desa harus membuat regulasi yang mengatur tentang mekanisme pelayanan publik berbasis internet (e government). Regulasi tersebut mendorong masyarakat desa landungsari untuk membiasakan diri memanfaatkan
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
255
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
pelayanan berbasis internet, pemerintah daerah kabupaten Malang harus memberikan dukungan terhadap
pemerintah
desa
yang
melakukan
inovasi-inovasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, dan pemerintah pusat harus mendukung pemerintah desa untuk memperkuat kelembagaan pemerintahan desa seperti penambahan perangkat desa.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
256
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Khoirul, 2005. Sistem Informasi Pemerintahan. Malang: Penerbit Ilmu Pemerintahan. Fasial, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar – Dasar dan Aplikasinya, Malang: Yayasan Asah Asih Asuh. Gulo, W. 2002. Metode Penelitian, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Hanif Nurcholis. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Grasindo Gramedia. HAW. Widjaja, 2005.Otonomi Desa merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 3. HAW. Widjaja, 2005, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lexey, Moleong, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakaria. Marijan, Kacung, 2012. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Richardus Eko Indrajit, 2002.Electronic Government Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta. Sajogyo dan Pudjiwati Sajpgyo. 1991. Sosiologi Pedesaan Jilid I. Yogyakarta: Gadja Mada University. . 1996. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadja Mada University. Soehartono, Irawan. 2002. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja UUNomor 5 Tahun1979 Tentang Desa
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
257
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 Surat Edaran Mendagri 5/1/1969, tepat pada tanggal 29 April 1969, tentang Pokok-pokok Pembangunan Desa Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Desa Buku Profil Desa Landungsari, 2014. Dokumen Rencana Kegiatan Pemerintah Desa (RKPDes) Desa Landungsari Tahun 2016 Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Desa Landungsari Tahun 2013-2019. Laporan Penelitian, Tri Sulistyaningsih, “Pembangunan Desa Kedungkulon Dau Malang” Tahun 2012-2013. Laporan Penelitian, Krishno Hasi, “Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa Landungsari”, Tahun 2013-2014. Laporan Penelitian, MIPI, “Pemetaan Permasalahan Pemerintahan Desa di Kab. Malang”, Tahun 2010-2011. www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/governance/article/.../448/422, Diakses Desember 2015 www.forumdesa.org, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa FPPD, Desember 2015.
Sulismadi, Wahyudi, Muslimin, Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa /02/Vol. 5/ No.1 Juni 2017
258
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Relasi Gender dalam Kolom Humor “Si Palui” di Banjarmasin Post (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough pada Kolom Humor Si Palui di Banjarmasin Post) Irene Santika Vidiadari Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta irenevidiadari@gmail.com Abstract As well as a result of cultural perception, humour can also be seen as a kind of text representing the culture of society which produces it. The humour column of “Si Palui” in Banjarmasin Post is not an exception. Reflecting the culture of the people of Banjar, the stories in Si Palui are strongly related to women and how men, as the dominant gender in Banjar culture, deal with women in daily life. Inasmuchas text is firmly connected with discourse, using Norman Fairclough’s Critical Discourse Analysis, in this paper I will see the discourse of gender relation in Si Palui on three levels—micro (text), mezzo (text producent), and macro (sociocultural). On micro level the representation is seen from the using of language. On the second level, mezzo, how women are represented is studied from the view point of the text producent, namely Banjarmasin Post. Meanwhile on the third level which is macro, the representation of women in Si Palui is comprehended from broader perspective, namely the Banjar culture which can not be separated from Islam Banjar. It is concluded from this research that: (1) On micro level men are always more dominant than women, (2) on mezzo level the sexist humor of Si Palui is strongly related to the fact that all of the writer of Si Palui are men, and (3) on macro level, the gender relation narrated on Si Palui is firmly connected with patriarchal ideology adopted by the people of Banjar, which is legitimated by Islam Banjar. Keywords: Humour, Gender Relation, CDA Norman Fairclough Abstraksi Selain sebagai hasil dari sebuah persepsi budaya, humor yang juga bisa dipandang sebagai sebuah teks juga merepresentasikan budaya masyarakat yang menghasilkannya, tak terkecuali kolom humor Si Palui di Surat Kabar Banjarmasin Post. Cerminan dari budaya Banjar, cerita-cerita dalam kolom humor Si Palui terkait erat dengan perempuan dan bagaimana lelaki, sebagai gender yang dominan dalam budaya Banjar, memperlakukan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari pemahaman bahwa teks berkaitan erat dengan wacana, dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough peneliti akan mencoba melihat wacana relasi gender dalam kolom humor Si Palui dalam tiga level—mikro (teks), mezzo (produsen teks), dan makro (sosiokultural). Di ranah mikro, representasi akan dilihat dalam penggunaan bahasa. Pada level berikutnya yakni mezzo, bagaimana perempuan direpresentasikan akan dilihat dari sudut pandang pencipta teksnya, yakni pihak Banjarmasin Post itu sendiri. Sementara di ranah ketiga yakni makro, representasi perempuan dalam Si Palui akan dilihat dari perspektif yang lebih luas, yakni budaya Banjar yang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Islam Banjar. Kesimpulan yang diperoleh adalah: (1) Pada level teks laki-laki selalu saja tampil lebih dominan dibanding perempuan, (2) pada level produsen teks humor Palui yang Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
259
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
seksis tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa semua penulis Si Palui adalah laki-laki, dan (3) pada level sosiokultural relasi gender dalam kolom Si Palui tidak dapat dipisahkan dari praktik ideologi patriarki yang sampai sekarang masih dianut masyarakat Banjar, yang juga dilegitimasi oleh Islam Banjar. Kata Kunci: Humor, relasi gender, CDA Norman Fairclough. Submite Review Accepted Surel Corespondensi
: : : :
15 Jan 2017 2 April 2017 29 Mei 2017
rebbeka.risma@gmail.com
Pendahuluan Humor pada pengertian awam merujuk pada sesuatu yang lucu, menggelikan, dan menimbulkan tawa (Rahmanadji, 2007: 215). Oleh karena humor berdasar pada sesuatu yang lucu, maka humor merupakan sarana yang paling baik untuk menghibur diri karena secara naluriah manusia selalu saja berusaha untuk mencari kegembiraan dan hiburan (Hendarto, 1990). Cara untuk memperoleh hiburan dari humor adalah dengan menjadikan sesuatu yang tidak biasa menjadi bahan humor. Kelucuan dalam humor berlaku bagi manusia normal, karena pada dasarnya hiburan merupakan kebutuhan mutlak untuk ketahanan diri dalam proses pertahanan hidupnya (Widjaja, 1993 dalam Rahmanadji, 2007: 213). Berangkat dari pengertian humor dan cara memperolehnya, secara teoretis humor kemudian terbagi menjadi tiga teori besar (Manser, 1990 dalam Rahmanadji, 2007: 215-216). Tiga teori tersebut adalah: (1) teori superioritas dan meremehkan, yaitu jika yang menertawakan berada pada posisi super, sedangkan objek yang ditertawakan berada pada posisi dihina; (2) teori mengenai ketidakseimbangan, putus harapan, dan bisosiasi; (3) teori mengenai pembebasan ketegangan atau pembebasan tekanan, yakni humor yang muncul dari sebuah kebohongan dan tipuan muslihat. Untuk itulah, menurut Danadjaja (1989: 498) humor dalam sebuah masyarakat menjadi sarana untuk menghadapi ketimpangan sosial melalui canda tawa. Sehingga humor yang disajikan berupa cerita, dongeng, teka teki, puisi, karikatur, dan sebagainya. Melihat teori humor yang dikemukakan oleh Manser di atas, maka sesungguhnya humor merupakan salah satu wujud aktivitas yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia (Wijana, 1995). Selanjutnya Wijana menjelaskan bahwa humor tidak saja bermanfaat sebagai wahana hiburan, tetapi berguna pula sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial bagi semesta ketimpangan yang akan, sedang, atau telah terjadi di tengah masyarakat penciptanya. Merujuk
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
260
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
pada Fairclough (1995: 4) yang menganggap bahwa segala artefak kebudayaan manusia bisa disebut sebagai teks, maka humor juga adalah sebuah teks. Teks—sebagai sesuatu yang tidak pernah lepas dari konteks sosial—juga dipahami sebagai sesuatu yang selalu membawa nilai dan ideologi. Pada proses pemanfaatan humor, bahasa menjadi sarana yang paling tepat, yang dipakai dalam mengemukakan humor tersebut. Bahasa merupakan alat komunikasi sosial yang merupakan hasil budaya masyarakat sehingga identitas bahasa sebagai humor hanya dapat dimaknai sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri (Rizkie, 2013: 1). Humor pada dasarnya adalah hasil dari sebuah persepesi budaya, baik individu maupun kelompok. Humor amat bergantung pada konsep budaya yang dimiliki bersama, sehingga amat sulit memahami sebuah humor tanpa adanya kesamaan latar belakang, konsep budaya, dan konteksnya (Pormes, 2015: 2). Pada ranah komunikasi, humor juga digunakan untuk menyampaikan pesan. Pada proses komunikasi persuasif, humor dimasukkan pada salah satu aspek untuk membangun kredibilitas komunikator (Larson, 2010: 321).Pada media massa, televisi misalnya, humor juga dijadikan program-program acara hiburan, salah satunya adalah komedi monolog melalui stand up comedy (Papana, 2012: 159). Pada media cetak, koran misalnya, terdapat juga rubrik-rubrik humor melalui karikatur—komik strip seperti Beny dan Mice dan Sukribo di Kompas, cerita kolom seperti ‘Sungguh-Sungguh Terjadi’ di Kedaulatan Rakyat, cerita ‘Tapaleuk’ di Pos Kupang, rubrik ‘Mesem’ di Warta Jateng, dan kolom humor ‘Si Palui’ di Banjarmasin Post. Di surat kabar Banjarmasin Post, Si Palui adalah cerita humor yang hadir setiap hari. Cerita humor Si palui ini dipertahankan karena Palui telah sejak awal dinobatkan sebagai maskot surat kabar ini (Tim Penulis Banjarmasin Post, 2011). Tokoh-tokoh yang hadir dalam kolom Si Palui tidak hanya Palui dan kedua temannya, Garbus dan Tulamak, namun juga para perempuan. Si Palui menceritakan tentang laki-laki Banjar yang senang melucu dengan teman-temannya. Tema humor yang diceritakan Si Palui merupakan kejadian-kejadian dalam kehidupan seharihari (Vidiadari, 2013: 2). Tema yang sering diangkat dalam kolom Si Palui adalah cerita tentang kehidupan rumah tangganya. Misalnya saat Si Palui diam-diam melakukan poligami, Palui yang suka menggoda perempuan, menceritakan kehidupan seks suami istri, dan lainnya. Salah satu cerita humor Si Palui yang membicarakan tentang kehidupan seks adalah yang berjudul ‘Kahilangan Hayam’ (Kehilangan Ayam) yang terbit pada tanggal 28 Maret 2016. Pada edisi ini, Palui bercerita bahwa pada saat ia baru saja menikah, mertuanya sempat kecurian ayam satu Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
261
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kandang. Kecurian itu terjadi karena istri Si Palui tidak berani membangunkan Si Palui. Palui mengemukakan alasan istrinya yang tidak mau membangunkannya sebagai berikut: “Rupanya istriku membiarkan saja karena aku tidur sampai makan sahur karena kalau dibangunkan, katanya, dia sudah tidak kuat lagi, karena makin kelelahan melayani aku.. maklumlah pengantin baru masih serakah kalau bertemu,� ujarnya. (Banjarmasin Post, 28 Maret 2016)
Potongan cerita di atas menegaskan pendapat Juhaidi (2008: 17) bahwa cerita Si Palui juga disebut-sebut sebagai cerita humor porno. Pada akhirnya cerita-cerita Si Paluilah yang kemudian membuat humor khas banjar mendapat stigma sebagai humor yang porno atau berbau sex.Sebagai humor yang dikatakan porno dan berbau sex, kolom Si Palui terkait erat dengan perempuan. Oleh sebab itu, adalah menarik untuk melihat relasi gender yang muncul dalam cerita-cerita Si Palui. Penelitian mengenai relasi gender dalam kolom humor Si Palui ini menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Biasanya, metode analisis wacana sering kali diaplikasikan untuk menganalisis teks berita di surat kabar. Namun Fairclough (1995: 4) menekankan definisi teks yang ia maksud tidak terbatas pada suatu produk tulisan saja—apalagi pada pengertian sempit hanya berupa berita—melainkan juga artefak lain berupa musik, patung, gambar, film, dan sebagainya. Fleksibilitas definisi atas teks inilah yang kemudian memungkinkan analisis wacana kritis Norman Fairclough dipakai pada teks-teks nonberita yang memiliki keterkaitan yang erat dengan konteks sosiokultural di mana teks itu berada. Analisis wacana kritis Norman Fairclough menekanankan pada adanya hubungan erat antara teks yang sifatnya mikro dengan proses dan relasi sosial yang sifatnya makro (Fairclough, 1995: 97). Pada kerangka analisis Norman Fairclough, level mikro, mezzo, dan makro tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dalam semesta teks. Level makro dan mezzo menjadi pendukung dan penentu seperti apa teks yang akan lahir. Analisis wacana kritis Norman Fairclough menggunakan pendekatan dialektika-rasional yang melihat bahwa ada hubungan yang erat antara realitas sosial dan wacana, sehingga wacana dan realitas sosial akan saling mempengaruhi satu sama lain (Fairclough 1989: 22-23). Menurut Fauzan (2014: 131) ada empat hal yang menjadi penekanan dalam analisis wacana Norman Fairclough: pertama, wacana membentuk dan dibentuk oleh masyarakat; kedua, wacana membantu membentuk dan mengubah pengetahuan beserta objek-objeknya, hubungan sosial dan identitas sosial; ketiga, wacana dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi;
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
262
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
keempat, pembentukan wacana menandai adanya tarik ulur kekuasaan. Karakteristik analisis wacana milik Norman Fairclough ini yang kemudian dipilih untuk menganalisis relasi kuasa yang terdapat dalam teks Si Palui. Karakteristik analisis wacana Norman Fairclough ini berbeda dengan analisis wacana Teun van Dijk yang menekankan pada kognisi sosial pembuat wacana dan menekankan pada tema-tema utama yang ditonjolkan pada teks berita oleh pembuat wacana yang kemudian akan menjadi pemaknaan global (Fauzan, 2014:133). Tokoh analisis wacana yang lain, Sara Mills misalnya, mengemukakan bahwa kerangka analisisnya dipakai untuk teks-teks yang bias gender—menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan salah (Eriyanto, 2011: 1990). Oleh karena penelitian ini sejak semula ingin melihat relasi gender yang disajikan dalam teks Si Palui yang merupakan teks nonberita dan peneliti tidak ingin terburu-buru memberi penilaian bahwa teks ini merupakan teks yang bias gender—juga karena teks ini memiliki kaitan erat dengan sosiokultural masyarakat Banjar—maka dipilihlah kerangka
analisis Norman
Fairclough untuk membedah wacana tentang relasi gender yang muncul dalam teks Si Palui. Metode dan Kajian Pustaka Metode penelitian yang dipakai adalah perangkat analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) dari Norman Fairclough. Analisis wacana Norman Fairclough berusaha menghubungkan antara analisis teks pada level mikro dengan konteks yang lebih besar atau level praktik sosiokultural. Analisis pada level teks bertujuan untuk mengungkap makna melalui pembedahan atas pilihan kata, kalimat, dan cerita yang berlangsung. Sedangkan pada level praktik diskursus akan mengantarai teks dengan konteks sosial budaya atau level praktik sosiokultural (Eriyanto, 2011: 325). Oleh karena itu, analisis diskursus ini akan dilakukan dalam tiga tahapan analisis yang dapat dilihat dalam tabel berikut:
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
263
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Tabel 1. Kerangka Analisis Norman Fairclough
Process of Production Text
Description (text analysis)
Process of Interpretation
Interpretation (processing analysis)
Discourse Practice Explanation (social analysis) Situational, Institutional, Societal Sumber: ProFairclough (1995: 98)
Pada kerangka analisis wacana Norman Fairclough (1995: 98), tahap mikro atau tahap analisis teks disebut sebagai proses deskripsi. Proses ini dilakukan karena proses pemilihan kata dan potongan percakapan dalam cerita akan menjadi data untuk menganalisis relasi gender dalam teks Si Palui.Tahap analisis pada level ini akan menjelaskan teks tanpa dipengaruhi oleh aspek lain (Eriyanto, 2011: 326). Teks dan Wacana Kajian budaya merupakan sebuah ranah kajian yang mengemukakan bahwa sebuah budaya tidak terbatas pada segala sesuatu yang bersifat adiluhung, melainkan dipahami sebagai sebuah teks dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari (Storey, 2007:2). John Storey (2007:34) mengemukakan kajian budaya berakar pada Marxisme yang menerangkan kajian budaya pada dua ranah yang amat mendasar. Pertama, kajian tentang teks dan praktik budaya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan sejarah produsen pesan dan konsumennya. Bahwa kemudian budaya menghasilkan sebuah struktur masyarakat setempat. Kedua, Marxisme menjelaskan bahwa dalam konteks masyarakat yang kapitalis, selalu saja terjadi penyekatan dan pembagian kelas yang tidak adil. Pembagian ini antara lain karena perbedaan gender, ras, keturunan, maupun kelas. Praktik-praktik budaya yang tidak dapat terpisah dari konteks inilah yang kemudian dikenal sebagai wacana. Pada pemahaman mengenai teks, Fairclough (1995:4) mengemukakan bahwa setiap artefak yang dihasilkan oleh manusia adalah sebuah teks.Dalam teks yang bukan hanya berupa Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
264
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kata-kata namun juga dalam bentuk hasil-hasil budaya sehingga merupakan multisemiotik, analisis wacana menjadi sebuah bentuk analisis yang membangun semiotik sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu.Memahami teks bukanlah sebatas memahami maksud dalam teks tersebut, namun secara lebih menyeluruh dan lebih luas, harus melihat pula bagaimana tekstur dari teks tersebut, bentuk, serta organisasi yang melatarbelakangi kemunculannya. Teks merupakan sebuah proses sosial yang secara simultan muncul dalam sebuah masyarakat.Oleh karena itu, teks menjadi sebuah gambaran dari pola pikir dan representasi dari sebuah masyarakat.Teks juga merupakan sebuah fungsi ideal dalam sistem pengetahuan dan kepercayaan masyarakat setempat dan, oleh sebab itu, adalah wacana—menggunakan bahasa sebagai sebuah tindakan sosial—yang melihat bagaimana kerja sebuah teks dalam tindakan sosiokultural masyarakatnya. Norman Fairclough (1993:134) mengemukakan bahwa diskursus merupakan sebuah rangkaian praktik sosial yang tercermin dalam berbagai macam teks. Sedangkan Foucault (Foucault dalam Eriyanto, 2011:65) mendefiniskan wacana sebagai pembentukan ide, opini, konsep, dan pandangan hidup yang sistematis dibentuk dalam suatu konteks yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak. Wacana tidak serta merta hadir, tetapi dibentuk oleh konstruksi sosial, budaya, dan ideologi yang berperan di dalamnya. Medium yang dipakai untuk praktikpraktik diskursus adalah bahasa. Sebagai medium komunikasi untuk berbagi pesan, bahasa sendiri memainkan peran yang penting dalam pembentukan wacana. Dalam praktik sosiokultural, Fairclough (1995:1-2) menekankan bahwa selalu ada relasi yang tidak seimbang yang hadir baik dalam praktik di masyarakat maupun yang direpresentasikan melalui teks yang kemudian dikenal dengan istilah kekuasaan (power). Poweradalah sebuah istilah untuk menunjukkan relasi yang tidak seimbang (asimetris) dalam berbagai peristiwa diskursus dan menunjukkan suatu kapasitas yang tidak setara, di mana selalu terjadi dominasi dan subordinasi untuk mengontrol bagaimana teks budaya diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi. Ideologi dan bahasa merupakan sebuah basis yang melahirkan sebuah teks. Bahasa secara simultan digunakan untuk membentuk identitas sosial, relasi sosial, dan sistem pengetahuan dan kepercayaan (Fairclough, 1993:134). Fairclough sendiri mengemukakan bahwa diskursus merupakan kompleksitas dari tiga elemen: praktik sosial (social practice); praktik diskursus (discourse practice) yang terkait dengan produksi teks, distribusi dan konsumsi; dan teks itu Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
265
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
sendiri (Fairclough, 1995:74). Dari tiga elemen ini, ideologi berada pada ketiga elemen yang memengaruhi bagaimana produksi dan interpretasi teks, dan mengartikulasikannya dalam tatanan diskursus. Pada kajian budaya, ideologi menjadi titik sentral. Louis Althusser (2008:10) mengemukakan bahwa dalam sebuah masyarakat industri, selain alat produksi secara fisik, diperlukan juga ideologi untuk membentuk sebuah tatanan melalui order/perintah. Ideologi menjadi penting untuk membangun sebuah kepatuhan massal yang menggerakkan manusia untuk melakukan proses produksi pada masa itu. Praktik yang menunjukkan kepatuhan ini kemudian menghadirkan dua tokoh: Aparatus Negara Ideologis (Ideological State Apparatus/ISA) dan Aparatus Negara Represif (Repressive State Apparatus/RSA). Keduanya berperan sangat penting dalam keberlangsungan masyarakat. Aparatus negara represif adalah pihak yang memberikan tekanan dan menciptakan ketakutan tertentu pada masyarakat. Sedangkan aparatus negara ideologis memberikan suatu kepercayaan tertentu kepada masyarakat. Meskipun tidak tampak sebagai sesuatu yang sifatnya represif, aparatus negara ideologis bergerak secara masif dalam tataran ide, memiliki muatan represif namun hadir dalam bentuk simbolik. Beberapa bentuk aparatus negara ideologis yang hadir antara lain keluarga, agama, dan media massa. Berangkat dari tataran ide yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari inilah yang kemudian membuat ideologi menjadi sentral dalam kajian budaya. Merujuk pada konsep Aparatus Negara Ideologis yang dicetuskan oleh Louis Althusser, Norman Fairclough juga mengemukakan hal serupa. Fairclough (1995:38) mengusulkan sebuah konsep aparatus pada interaksi verbal (yang dalam buku Fairclough dikenal sebagai order of discourse) yang berwujud pada institusi sosial. Setiap institusi sosial ini memiliki identitas, norma, tujuan, serta terus menerus mencari partisipan ke dalam institusi sosial itu sendiri. Setiap institusi sosial kemudian mengonstruksi setiap partisipannya untuk kemudian menjadi bagian dari subjek diskursus dan ideologi (Fairclough, 1995:39). Wacana yang dibentuk oleh relasi kuasa dan pertarungan atasnya membuat pemahaman mengenai wacana tidak akan lepas dari praktik hegemoni dalam masyarakat. Fairclough (1995:44) mengemukakan bahwa dalam setiap interaksi selalu terdapat irisan dari kepercayaan, nilai, dan ideologi yang terangkum dalam pengetahuan itu sendiri. Ideologi sendiri, dilihat dari perspektif kepentingan tertentu, terkait juga pada representasi mengenai dunia. Sedangkan
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
266
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
hegemoni merupakan sebuah proses naturalisasi dan otomatisasi dari ideologi (Fairclough, 1995:76). Gramsci (Gramsci dalam Hall, 1988:55) menyebutkan bahwa ideologi terikat pada tindakan, yang kemudian dinilai oleh dampak sosial. Dari sini, ideologi menjadi sebuah konsep yang di dalamnya selalu saja terjadi konflik, tumpang tindih, dan saling memotong yang menyebabkan ideologi akan menjadi struktur yang terus diperbarui, diartikulasi, dan mengalami artikulasi ulang dalam sebuah proses pertarungan ideologi. Sedangkan Fairclough sendiri menekankan adanya relasi antara sebuah struktur diskursus dengan ideologi. Artinya, ideologi yang dipraktikkan melalui wacana menghasilkan sebuah efek material, di mana wacana memiliki kontribusi untuk memproduksi dan mereproduksi subjek dan objek dalam dunia sosial (Fairclough, 1995:73). Dari pemahaman di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah pesan terdapat sebuah pemaknaan yang terus dibangun dengan melihat konteks sosial masyarakat sekitarnya. Media massa dikemukakan pula sebagai salah satu bentuk aparatus negara ideologis yang menyebabkan sebuah pesan dapat dibagikan secara serentak dengan jangkauan yang luas. Artinya, sebuah makna dan pertarungan ide dari kelompok dominan dan subordinat juga ikut meluas seiring distribusi pesan tersebut. Kajian budaya menjadi sebuah wahana untuk mengkaji pertarungan makna dan ideologi yang dibagikan melalui media massa. Poin penting yang perlu dicatat adalah ideologi dan praktiknya dalam memahami pesan. Berangkat dari ideologi, kemudian dapat dilihat bagaimana praktiknya serta pertarungan yang muncul antara kedua kubu: dominan dan subordinat. Representasi Genderdalam Media Memahami representasi berarti memahami tentang keterwakilan sesuatu di sebuah medium tertentu. Stuart Hall (1997:17) mengemukakan bahwa representasi merupakan produksi makna dari satu konsep tertentu di dalam pikiran kita melalui bahasa. Representasi adalah jembatan antara konsep dan bahasa yang memungkinkan kita membedakan antara sesuatu yang nyata dan fiksi. Produksi yang terjadi secara terus menerus inilah yang kemudian tertanam dan secara otomatis membawa pemaknaan tertentu didalam diri seseorang ketika pancaindranya menangkap satu stimulus yang dapat dimaknai.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
267
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pada proses konstruksi makna, manusia menggunakan tanda dan simbol untuk kemudian direpresentasikan terhadap sesuatu. Makna merupakan sebuah produksi sosial, suatu praktik dalam kehidupan manusia. Mendefinisikan budaya merupakan sebuah hal yang cukup sulit, mengingat bahwa terdapat banyak cara untuk mendefinisikannya. Nilai-nilai yang dibagikan antara satu kelompok masyarakat terhadap masyarakat lain juga berbeda karena budaya masingmasing kelompok tidak sama. Oleh sebab itu, pemaknaan terhadap sesuatu akan membuat seseorang paham akan identitasnya dalam kelompok masyarakat tertentu. Representasi, sebagai bagian dari praktik diskursus, tidak pernah lepas dari efek struktural yang menyertainya. Oleh karena itulah Fairclough (1989:74) mengemukakan pembagian sistematis yang kemudian menghasilkan sebuah relasi sosial. Pembagian ini melihat bagaimana (1) subjek yang memiliki efek untuk mencirikan sebuah identitas sosial, (2) relasi antarsubjek yang merepresentasikan relasi sosial, dan (3) konten yang merepresentasikan sebuah pengetahuan. Pembagian sistematis di atas kemudian dapat menjadi acuan bagaimana relasi dan identitas yang hadir melalui representasi di dalam teks media. Representasi ini hadir baik dengan menggunakan gambar maupun bahasa dan narasi untuk mendeskripsikan sesuatu. Terkait dengan penjabaran Fairclough di atas, antara representasi, relasi, dan identitas memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ketiganya menjadi bagian dalam teks yang mengonstruksikan makna atas segala sesuatu. Representasi tentang gender juga selalu hadir dalam media. Terlebih tentang perempuan. Fenomena kultural tentang gender melihat bahwa perempuan hidup dalam eksistensi sosial yang terkungkung dan terkekang oleh budaya patriarki (Anwar, 2009:51). Pada fenomena ini hadir sebuah kondisi di mana perempuan hidup dalam dualitas kultural: sebagai anggota kultur umum laki-laki dan dalam kultur perempuan yang spesifik. Dualitas kultural yang menyelimuti kehidupan perempuan tersebut yang kemudian menimbulkan konflik subjek-objek, yang dalam kebudayaannya didominasi oleh laki-laki, sementara perempuan dianggap sebagai jenis kelamin kedua (liyan) dalam sistem kebudayaan patriarki. Penempatan subjek-objek ini tidak juga lepas dari bagaimana perempuan direpresentasikan di media (Anwar, 2009: 52). Ketika perempuan direpresentasikan di media, identitas perempuan banyak diatur oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Thornham (2010: 174) mengemukakan bahwa perempuan kerap kali menjadi benda yang dipertukarkan, dibentuk, dan dikonsumsi oleh laki-laki dan Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
268
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
budaya patriarki yang berlaku. Hal ini yang membuat perempuan kehilangan kuasa, termasuk kuasa untuk menentukan identitasnya. Penghilangan kuasa atas identitas ini yang menyebabkan perempuan berada pada posisi objek. Relasi antara perempuan sebagai objek dan laki-laki sebagai subjek mengukuhkan keliyanan perempuan dalam berbagai bentuk teks, termasuk teks media. Penelitian mengenai representasi perempuan di media massa banyak dilakukan oleh tokoh - tokoh feminis. Laura Mulvey (1975) adalah salah satunya. Pada penelitiannya mengenai representasi
perempuan
dalam
film,
Mulvey(Mulvey,
dalam
Storey
2015:141-
142)mengemukakan bahwa posisi perempuan dalam suatu media ditampilkan sebagai objek erotis (erotic object) dalam dua level. Pertama, sebagai objek erotis dalam narasi media, yakni bahwa karakter perempuan dalam media ditransformasikan sebagai objek hasrat dari tokoh lakilaki. Kedua, perempuan menjadi objek erotis dari penonton itu sendiri. Citra perempuan dalam media tidak pernah lepas dari sudut pandang laki-laki sebagai penonton. Kenikmatan menonton ini yang menyebabkan perempuan berada pada posisi pasif (sebagai yang ditonton) dan laki-laki berada pada posisi aktif (pihak yang menonton). Sebagai penonton yang aktif, sudut pandang laki-laki dan fantasinya dipakai untuk memproyeksikan perempuan sedemikian rupa pada figurfigur perempuan di media yang telah diatur sehingga kehadiran perempuan dalam representasi media memiliki posisi bukan sebagai subjek yang memiliki kekuasaan atas dirinya melainkan sebagai objek dengan sudut pandang bagaimana laki-laki ingin melihat perempuan menurut citranya. Pada penelitian yang lain, relasi gender juga muncul melalui representasi laki-laki dan perempuan di media. Gambaran tentang keduanya amat jauh berbeda. Wood (2008: 259) mengemukakan bahwa di televisi, penggambaran laki-laki cenderung aktif, mencintai petualangan, berkuasa, agresif secara seksual, dan tidak terikat dengan relasi tertentu. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai tokoh pasif, terikat, sebagai objek seksual, bodoh dan tidak kompeten. Merujuk pernyataan Wood di atas, dalam sebuah relasi antara laki-laki dan perempuan, perempuan condong dipandang sebagai tokoh yang pasif, sedangkan laki-laki aktif. Perempuan dipandang terikat dengan relasi, sedangkan laki-laki bebas.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
269
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Ketimpangan dalam Relasi Gender Jika istilah seks dimaknai sebagai jenis kelamin secara biologis dan bersifat kodrati, maka istilah gender lebih mengarah pada perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat tertentu (Fakih, 1996: 8). Alexander Downer (Downer dalam Omara, 2004:150) mengemukakan bahwa gender merujuk pada konstruksi sosial yang membagi peran dan relasi antara laki-laki dan perempuan dan selalu berubah sepanjang waktu. Pembagian peran dan pengaturan atas relasi ini seringkali dirujuk harus linier dengan jenis kelaminnya.Karena merupakan sebuah konstruksi, maka seorang individu belajar mengenai perbedaan perilaku ini melalui masyarakat di sekitarnya sejak kecil. Keluarga memiliki peranan yang dominan dalam sosialisasi nilai-nilai tentang peran dan tanggung jawab individu sesuai dengan budaya dan konstruksi masyarakat di sekitarnya. Peran dan tanggung jawab yang dibebankan inilah yang mempengaruhi cara berelasi antarindividu. Terutama jika dikaitkan dengan gender. Sebuah relasi antargender tidak pernah lepas dari budaya yang melingkupinya. Relasi gender merupakan pola hubungan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial (Wiyatmi, 2008: 6). Tidak jarang, karena adanya relasi gender ini, terjadi pula relasi yang timpang. Ada pihak yang mendominasi, dan sebaliknya, ada pihak yang berada pada posisi subordinat. Pada masyarakat patriarki, laki-laki dipandang memiliki posisi yang lebih tinggi dan dominan dibanding perempuan. Menurut pandangan Foucault (dalam Setyobudi dan Alkaf 2011:40), jalinan kuasa, termasuk di dalamnya mengenai peran, mewujud dalam kebudayaan. Kebudayaan menjadi tempat di mana kuasa dan pengetahuan selalu berkelindan. Dari sinilah kemudian persoalan mengenai konstruksi gender bermain. Hal ini juga yang muncul dalam relasi gender. Setyobudi dan Alkaf (2011:41-42) mengemukakan bahwa persoalan mengenai kontrol terhadap tubuh memunculkan kuasa dan pengetahuan atas tubuh itu sendiri. Tubuh kemudian menjadi sarat akan muatan tanda dan simbol kultur, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral, dan kerap menjadi kontroversial. Selain itu tubuh menjadi identitas pula. Persoalan estetika dan tubuh serta perilaku perempuan menjadi bagian yang dibahas dalam feminisme. Menurut Foucault (dalam Setyobudi dan Alkaf, 2011:43-44) membincangkan tubuh selalu berhubungan dengan produksi, transmisi, resepsi, dan legitimasi pengetahuan atas
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
270
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
seksualitas dan seks. Perempuan direkayasa untuk membenahi tubuh mereka agar menjadi sempurna dan membuat erotik sejumlah bagian tubuhnya, sedangkan laki-laki kemudian melihat perempuan sebagai objek seks. Hal inilah yang kemudian menyebabkan konsep tentang gender lekat dengan praktik diskriminasi dan proses pelabelan pada gender tertentu terkait tingkah laku dan sikapnya dalam masyarakat (Omara, 2004: 150). Dalam hubungan yang sifatnya struktur sosial, tampak bahwa laki-laki dan perempuan berada pada dua kelompok sosial yang relasinya tidak sejajar dan eksploitatif (Jackson dan Jones, 2009:231-232). Perbedaan perlakuan atas laki-laki dan perempuan ini kemudian memunculkan sebuah pandangan bahwa akar dari tindakan diskriminatif ini berasal dari pola pikir patriarki yang berfungsi untuk melakukan pembenaran dan menutupi eksploitasi atas perempuan. Dari ketimpangan gender yang terjadi itulah muncul gerakan feminisme yang memberikan perhatian pada upaya-upaya untuk memahami ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan. Dasar pemikirannya adalah dominasi laki-laki yang berasal dari tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang khas dalam masyarakat tertentu. Model teoresasi ini memunculkan konsep dan metodenya dari ilmu-ilmu sosial dan menitikberatkan perhatian pada kehidupan perempuan dan proses ideologi yang mengesahkan dan turut melanggengkan subordinasi perempuan (Jackson dan Jones, 2009:21). Veronica Beechey (1979:66) menuliskan mengenai patriarki yang memiliki banyak makna. Secara umum, patriaki merupakan sebuah konsep yang menunjukkan dominasi serta relasi kuasa di mana laki-laki mendominasi perempuan. Berangkat dari konsep tersebut, patriaki diadopsi pula oleh para feminis Marxist yang menunjukkan relasi kuasa di mana terjadi subordinasi terhadap perempuan sebagai kelas pekerja dalam sistem produksi. Dengan kata lain, konsep patriaki ini memandang bagaimana subordinasi perempuan juga sebagai bentuk eksploitasi kelas. Marla Mies (Mies dalam Omara, 2004:149) mengemukakan bahwa ideologi patriarki merupakan serangkaian sistem nilai yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini yang kemudian menempatkan posisi laki-laki dalam sebuah budaya sebagai pihak yang dominan sedangkan perempuan pada pihak yang subordinat. Ideologi patriarki sendiri tidak bekerja secara langsung melainkan terkandung dalam berbagai praktik— agama, pendidikan, budaya, sosial, bahkan melalui bahasa. Bahasa yang seksis menunjukkan bahwa bahasa sendiri tidak netral (Lan, Susetiawan, dan Abrar, 2001:358). Bahasa yang seksis Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
271
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kemudian membentuk pengetahuan yang seksis. Pengetahuan yang seksis kemudian menghasilkan praktik-praktik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan menyebabkan relasi antargender menjadi timpang. Pembahasan Dan Analisis Pada penelitian ini, ada empat judul cerita yang akan dianalisis: Judul Kolom Humor Si Palui No 1
Tanggal Terbit 10 Januari 2016
2
10 Februari 2016
3
9 Maret 2016
4
28 Maret 2016
Judul Japai Bumbunannya (Pegang Dahinya) Paling Manunjul (Paling Menonjol) Satungging-Tungging (Menungging-Nungging) Kahilangan Hayam (Kehilangan Ayam)
Peran Tokoh Perempuan Istri Tulamak Janda-janda di kampung. Istri Garbus Istri Palui
Level kedua adalah level praktik diskursus. Menurut Fairclough (1995: 97) ini merupakan level analisis yang pusat perhatiannya adalah interpretasi, menghubungkan teks dengan proses produksi teks tersebut. Fokus pada proses interpretasi ini adalah menemukan bagaimana relasi yang muncul antara proses diskursif dan teks itu sendiri. Pada tahapan ini, dilakukan wawancara dengan pihak redaksi Banjarmasin Post sebagai produsen teks. Studi pustaka merupakan salah satu metode pengumpulan data yang digunakan pada level praktik sosiolkultural untuk menjelaskan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat Banjar, lingkungan teks Si Palui diproduksi dan dikonsumsi. Fairclough (1995: 97) mengemukakan bahwa level sosiokultural adalah tahap eksplanasi, yang menjelaskan relasi antara proses diskursif yang interpretatif dengan proses sosial. Praktik-praktik budaya yang erat kaitannya untuk memahami sebuah teks diproduksi dan dipahami. Pemahaman mengenai sosiokultural masyarakat Banjar sangat berkaitan erat dengan produksi teks-teks Si Palui. Representasi Relasi Gender dalam Kolom “Si Palui� Level analisis yang pertama adalah level mikro yang akan membedah teks tanpa melihat aspek lain (Eriyanto, 2011: 326). Pembedahan teks akan melihat relasi antartokoh dalam cerita dan pilihan kata yang dipakai untuk merujuk tokoh-tokoh tersebut. Pada teks Si Palui, relasi gender ditunjukkan pada keterlibatan tokoh laki-laki dan perempuan dalam cerita. Wood (2008:
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
272
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
259) pada penelitiannya mengenai representasi laki-laki dan perempuan di televisi mengemukakan bahwa penggambaran laki-laki cenderung aktif, mencintai petualangan, berkuasa, agresif secara seksual, dan tidak terikat dengan relasi tertentu. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai tokoh pasif, terikat, sebagai objek seksual, bodoh dan tidak kompeten. Wood juga menjelaskan bahwa representasi aktif-pasif antara laki-laki dan perempuan inilah yang kemudian menjadi ciri kedua gender tersebut. Selaras dengan yang dikemukakan oleh Woods di atas, representasi tokoh laki-laki dalam cerita Si Palui adalah aktif dalam perbincangan, bersifat dominan, dan hanya mendengarkan pendapat dari sesama laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada cerita Japai Bumbunannya (Banjarmasin Post, 10 Januari 2016) berikut ini: “Aku ingat sekali nasihat Palui pada malam pertama setelah menikah itu benar-benar kulaksanakan,” ujar Tulamak tertawa. “Nasihat yang mana, Mak? Palui itu memang banyak menasihati, ada yang benar tapi banyak yang menjengkelkan,” ujar Garbus. “Nah, si Palui nya datang. Ayo kamu tanya langsung. Sama atau tidak nasihatnya sejak kita menikah tadi,” kata Tulamak. (Japai Bumbunannya, p.7-9)
Pada cerita ini, tokoh yang terlibat dalam percakapan seluruhnya laki-laki. Perempuan tidak hadir sebagai tokoh yang ikut terlibat dalam percakapan. Hal serupa juga terjadi pada cerita yang lain, Kahilangan Hayam (Banjarmasin Post, 28 Maret 2016) yang hanya menghadirkan tokoh laki-laki dalam cerita, sedangkan tokoh perempuan tidak. Pada dua cerita ini, tokoh perempuan dijadikan bahan perbincangan antara tokoh laki-laki. Cerita Japai Bumbunannya menceritakan pengalaman malam pertama Tulamak dan istrinya yang masuk angin “Iya, sekuat tenaga aku lakukan dengan harapan benar-benar bisa menikmati malam pertama. Ehh... ternyata nasihat Palui itu luput, aku tidak jadi berhubungan badan dengan istriku. Kupegang dahinya istriku, ternyata berlubang seperti dahi anak kecil. Jadi terpaksa tidak jadi bersenang-senang dengan istri. Terpaksa berubah jadi memijat dan kerokan karena istriku masuk angin karena kelamaan menunggu,” ujar Tulamak malu-malu. (Japai Bumbunannya, p.15)
Kahilangan Hayam menceritakan tentang pengalaman Palui dan istrinya yang baru saja menikah dan istri Palui takut membangunkan Si Palui yang sedang tidur “Tadi kamu bilang bahwa kita sering kurang tidur, tapi aku saat tertidur kelelahan lalu tidak bisa bangun,” sahut Palui. “Maklum baru menikah jadi setelah selesai tarawih dan setelah bercanda dengan istriku aku banyak berdiam di rumah. Paham,‘kan,” ujar Palui dengan malu-malu.(p.10) “Rupanya istriku membiarkan saja karena aku tidur sampai makan sahur karena kalau dibangunkan katanya dia sudah tidak kuat lagi, karena makin kelelahan melayani aku. Maklumlah pengantin baru masih serakah kalau bertemu,” ujarnya. (p.18)
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
273
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Merujuk pada Wood, tokoh perempuan dalam kedua cerita merupakan tokoh yang pasif dan menjadi objek seks dari laki-laki. Hal ini juga diteguhkan oleh Thornham (2010: 174) yang mengemukakan bahwaketika perempuan direpresentasikan di media, identitas perempuan banyak diatur oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Perempuan kerap kali menjadi benda yang dipertukarkan, dibentuk, dan dikonsumsi oleh laki-laki dan budaya patriarki yang berlaku. Hal ini yang membuat perempuan kehilangan kuasa, termasuk kuasa untuk menentukan identitasnya. Penghilangan kuasa atas identitas ini yang menyebabkan perempuan berada pada posisi objek. Pada dua cerita yang lain, Paling Manunjul dan Satungging-Tungging, perempuan terlibat dalam perbincangan. Namun terlibat aktif tidak menjamin perempuan akan menjadi subjek dominan maupun memiliki argumentasi yang seimbang dengan tokoh laki-laki dalam cerita. Perempuan secara aktif berdialog tetapi argumennya masih didominasi oleh Si Palui. Salah satu contohnya adalah pada cerita Satungging-Tungging yang menceritakan istri Garbus yang hamil dan suka menungging, yang kemudian diistilahkan Palui sebagai ‘ngidam jenis kuda betina.’ Pada cerita-cerita dengan relasi pasif, Palui dan teman-temannya menjadikan perempuan sebagai objek humor. Artinya, perempuan menjadi bahan obrolan dalam humor tersebut. Perempuan pada cerita-cerita itu dideskripsikan dari sudut pandang laki-laki. Deskripsi yang dilakukan oleh laki-laki selalu saja seputar bentuk tubuh perempuan. Perbincangan tentang perempuan oleh Si Palui dan teman-temannya menunjukkan pula adanya relasi yang tidak seimbang yang hadir baik dalam praktik di masyarakat maupun yang direpresentasikan melalui teks yang kemudian dikenal dengan istilah kekuasaan atau power (Fairclough,1995:1-2).Power merupakan sebuah istilah untuk menunjukkan relasi yang tidak seimbang (asimetris) dalam berbagai peristiwa diskursus dan menunjukkan suatu kapasitas yang tidak setara, di mana selalu terjadi dominasi dan subordinasi untuk mengontrol bagaimana teks budaya diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi. Dominasi pada teks Si Palui ditunjukkan melalui cerita tentang perempuan yang diberikan dari sudut pandang tokoh-tokoh laki-laki. Kekuasaan yang dimiliki oleh tokoh laki-laki dalam cerita ini ditunjukkan melalui Palui sebagai tokoh utama memiliki porsi yang dominan untuk berargumen. Sedangkan tokoh perempuan memiliki ‘suara’ dan dapat berargumen ketika perempuan tersebut dihampiri oleh Si Palui (contohnya pada judul Satungging-Tungging). Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
274
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Ketika laki-laki berkumpul dan menceritakan perempuan, topik pembicaraan adalah dua hal berikut: perempuan sebagai objek seks dan bentuk tubuh perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan label ‘montok’ dan ‘janda kembang’ yang dikenakan kepada perempuan-perempuan janda yang menjadi bahan pembicaraan Si Palui dan teman-temannya. Ketika Si Palui dan teman-temannya membicarakan tentang istri mereka, yang dikemukakan adalah persoalan kegiatan seksual yang mereka lakukan dengan istri mereka, tanpa memberikan label tentang tubuh perempuan lagi. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam berbagai percakapan di teks Palui, perempuan selalu saja berada pada posisi objek dan laki-laki berada posisi subjek. Representasi dalam teks tidak lepas dari bahasa yang dipakai. Bahasa secara simultan digunakan untuk membentuk identitas sosial, relasi sosial, dan sistem pengetahuan dan kepercayaan (Fairclough, 1993:134).Bahasa merupakan medium yang dipakai untuk praktikpraktik diskursus. Sebagai medium komunikasi untuk berbagi pesan, bahasa sendiri memainkan peran yang penting dalam pembentukan wacana.Ideologi dan bahasa merupakan sebuah basis yang melahirkan sebuah teks. Pada teks-teks Si Palui, kata yang dipilih adalah kata-kata yang merujuk pada perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kata-kata yang langsung merujuk pada perempuan adalah kosakata-kosakata yang dipakai untuk melabeli tubuh perempuan dan status perempuan itu sendiri. Dari empat cerita, kosakata tersebut antara lain: ‘montok,’ ‘janda kembang,’ ‘janda beranak satu,’ ‘susu’(untuk merujuk pada payudara), ‘kada kaawakan,’ dan ‘kauyuhan malayani aku’ yang merujuk pada perempuan yang tidak sanggup melayani kebutuhan seksual laki-laki. Laura Mulvey (Mulvey, 1975 dalam Storey 2015:141-142) mengemukakan bahwa posisi perempuan dalam suatu media ditampilkan sebagai objek erotis (erotic object) dalam dua level. Pertama, sebagai objek erotis dalam narasi media, yakni bahwa karakter perempuan dalam media ditransformasikan sebagai objek hasrat dari tokoh laki-laki. Kedua, perempuan menjadi objek erotis dari penonton itu sendiri. Pada teks Si Palui, penempatan perempuan sebagai objek erotis ditunjukkan dalam kata-kata yang ditujukan kepada perempuan. Kata-kata tersebut memiliki kecenderungan mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas. Kata-kata tersebut antara lain ‘kimpoi’ dan ‘kuntau’ (pada cerita Japai Bumbunannya) yang merujuk pada berhubungan seksual. Kuntau sendiri memiliki makna harafiah sebagai perkelahian satu lawan satu. Tetapi di cerita Si Palui, kuntau dimaknai sebagai berhubungan seksual. Selain dua kata tersebut, berhubungan seksual juga dirujuk dengan kosakata lain seperti ‘bahintaluan’ (pada Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
275
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
cerita Satungging-Tungging) yang mengasosiasikan berhubungan seksual dengan bertelur pada binatang, ‘ngidam tipe kuda betina’ (pada cerita Satungging-Tungging) yang menunjukkan perilaku aneh pada ibu hamil, ‘mandi basah’ (pada cerita Kahilangan Hayam) yang merujuk pada tradisi mandi setelah berhubungan seksual, ‘banyak bapatak di rumah’ (pada cerita Kahilangan Hayam) untuk menunjukkan kegiatan seksual berkali-kali dalam satu hari. Terkait dengan seksualitas, frasa ‘dua buah pabriknya tokcer’ (pada cerita SatunggingTungging) merujuk pada organ reproduksi yang berfungsi dengan baik dan tidak ada pihak yang mandul. Pada persoalan seksualitas, kata ‘bagandakan’ atau berpacaran, ‘diparai’ atau nikah siri dan ‘jujuran’ (mas kawin) juga disebutkan dalam kolom Si Palui sebagai salah satu bentuk proses pendekatan antara perempuan dan laki-laki. Jujuran atau mas kawin merupakan syarat dalam pernikahan adat Banjar. Sebaliknya, pada cerita Si Palui juga terdapat kosakata yang merujuk pada laki-laki. Kosakata yang menunjukkan sifat laki-laki antara lain ‘liur baungan’ (mata keranjang, yakni laki-laki yang bernafsu ketika melihat perempuan), ‘lanji wan kidasnya’istilah untuk laki-laki yang sangat genit, dan ‘baliur’ yang berarti ‘bernafsu’. Kosakata lain yang terdapat di kolom Si Palui adalah yang merujuk pada organ kelamin laki-laki. Penis tidak disebut dalam cerita Si Palui sebagaimana namanya, melainkan diganti dengan sebutan lain, misalnya ‘barangnya,’ ‘Si Utuh,’ maupun‘bagaganalan ganggam’ yang bermakna penis yang besar. Dari Kacamata Banjarmasin Post Penelitian tentang analisis wacana tidak bisa lepas dari elemen pembuat teks. Pada level mezzo atau levelpraktik diskursus, dilakukan wawancara dengan redaksi Banjarmasin Post sebagai produsen teks Si Palui. Kolom Si Palui di Banjarmasin Post melewati perjalanan panjang, jauh lebih panjang dari usia surat kabarnya. Berangkat dari budaya tutur lisan yang sarat dengan nilai budaya Banjar, Si Palui kemudian hadir di Banjarmasin Post sebagai salah satu rubriknya. Dari mula ketika ditulis oleh Yustan Aziddin, salah seorang pendiri Banjarmasin Post, hingga sekarang, Palui terus melakukan ‘perjalanan’ bersama alam pikiran penulisnya. Hingga generasi ketiga, semua penulis Si Palui merupakan redaktur Banjarmasin Post (wawancara dengan pemimpin redaksi Banjarmasin Post, 22 Juni 2016). Setelah meninggalnya penulis ketiga Si Palui (Husni Thamrin), Si Palui tidak memiliki penulis tetap. Meskipun begitu, Banjarmasin Post terus berusaha agar Si Palui tetap ditulis oleh
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
276
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
wartawan Banjarmasin Post sebagai produsen kolom tersebut. Melihat bahwa hingga kini Si Palui terus menerus bertahan dengan menerbitkan ulang cerita-ceritanya, maka pada bagian ini akan dilihat bagaimana ketiga tokoh tersebut menulis Palui, latar belakang penulis yang mempengaruhi isi cerita Si Palui, tentang nilai yang dibagikan dalam kolom Si Palui, serta karakter tokoh dan sudut pandang budaya Banjar di dalamnya. (...)penulis awalnya Yustan Aziddin sebagai penggagas dan beliau yang mengisi setiap hari dengan katakata bijaknya karena latar belakangnya guru. Setelah meninggalnya Yustan Aziddin kemudian Abi Karsa. Beliau ini yang mengisi dengan warna politik karena beliau pernah menjabat sebagai anggota dewan dan di partai politik sehingga sentilan-sentilannya lebih ke muatan politik praktis, sehingga guyonannya lebih berbau politik kalau bisa dibilang generasi kedua Palui seperti itu. Generasi ketiganya itu pekerja sosial. Husni Thamrin ini pekerja sosial sehingga lebih merangkum kepada cerita kehidupan orang, baik yang dituturkan orang kemudian diadopsi, sehingga warna Si Palui di generasi ketiga ini lebih umum, dari kalangan bawah hingga kalangan atascerita dan leluconnya.(wawancara dengan pemimpin redaksi Banjarmasin Post, 22 Juni 2016).
Generasi ketiga Si Palui ditulis oleh Husni Thamrin, seorang pekerja sosial yang kemudian bekerja sebagai wartawan Banjarmasin Post. Pada generasi ketiga ini, tema Si Palui kembali ‘bebas’ dari konteks politik dan lebih cenderung ke cerita lucu mengenai kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Pada masa penulisan Husni Thamrin, konteks politik pada masa itu telah memasuki era reformasi. Pada saat itu kekangan terhadap pers tidak seketat sebelumnya sehingga cerita-cerita Si Palui pun lebih bebas. Husni Thamrin sendiri, merujuk pada latar belakangnya sebagai pekerja sosial, justru lebih dekat dengan masyarakat Banjar pada saat itu. Berbagai persoalan dalam kehidupan seharihari banyak yang ditangkap oleh Husni Thamrin dan dijadikan cerita Si Palui. Mulai dari persoalan masalah rumah tangga, pekerjaan, termasuk persoalan gender. Kalau yang ketiga mengangkat perempuan katakanlah sebagai simbol yang digambarkan ada nyelenehnya, perempuan itu misalnya diejek pakaiannya. Memang seperti itu yang ditampilkan di cerita-cerita rakyat kita. Nah, itu yang ditangkap oleh Paluinya Pak Husni Thamrin. Sehingga muncullah image di masyarakat mulai generasi kedua dan ketiga itu kesannya cerita Palui itu ceroboh, ya.. Nah, porno,seksis. Jadi lebih kepada mengeksplorasi perempuan menjadi objek penderitanya.(...)Yang ketiga ini lebih lagi pornonya. Kalau sekarang sudah hilang, agak berkurang. Karena bahasa simbol perempuan seperti kutang jadi kacamata itu termasuk menjadi ejekan yang membangun citra buruk. Lebih pada cerita-cerita rakyat. Karena humoran porno ini katanya banyak peminatnya. (wawancara dengan pemimpin redaksi Banjarmasin Post, 22 Juni 2016).
Tulisan Husni Thamrin memberi rombakan yang besar pada tema-tema cerita Si Palui. Tema yang diangkat lebih umum, berasal dari tuturan kebanyakan orang Banjar dan menceritakan kisah dari berbagai kalangan kelas sosial. Sehingga pada generasi ketiga ini cerita Palui bisa dinikmati oleh banyak kalangan, mulai dari kalangan bawah hingga atas.Pada generasi
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
277
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
ketiga ini, isu rumah tangga dan lingkungan masyarakat mulai lebih sering muncul. Salah satu isu terkait rumah tangga adalah isu tentang perempuan. Pada teks Si Palui yang ditulis oleh Husni Thamrin, pembahasan mengenai seksualitas mulai muncul. Seksualitas yang dibahas dalam teks Si Palui sangat beragam. Mulai dari pembahasan mengenai alat kelamin hingga hubungan suami istri. Hal ini dapat dilihat pada bab sebelumnya, bagaimana alat kelamin pria atau penis diberi sebutan dengan kata lain seperti ‘barang,’‘utuh,’ dan ‘bagaganalan ganggam.’ Selain itu, pembahasan mengenai hubungan seksual suami istri disebutkan melalui analogi seperti ‘kuntau’ (berkelahi) dan ‘bahintaluan’ (bertelur). Membicarakan humor Si Palui yang mengalami rombakan ini tidak pernah bisa lepas dari konteks kelas sosial yang ada di masyarakat. Suwito (1985, dalam Maslakhah dan Wijana, 2004: 580) mengemukakan bahwa penggunaan bahasa ditentukan oleh faktor-faktor linguistik dan nonlinguistik. Pada faktor nonlinguistik, penggunaan bahasa dipengaruhi oleh status sosial, tingkat pendidikan, usia, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Konteks kelas sosial dalam penggunaan bahasa berkonsekuensi pada status dan peran dalam masyarakat. Melihat faktor-faktor nonlinguistik tersebut, dapat dilihat bahwa humor yang dipakai dalam kolom Si Palui merupakan humor yang biasa dipakai masyarakat kelas bawah. Klasifikasi kelas bawah dalam humor Si Palui ini dapat dilihat dari penokohan dan setting dalam cerita. Palui diceritakan sebagai tokoh yang tidak memiliki pekerjaan tetap, lebih sering bertandang ke warung kopi ketimbang mencari nafkah, dan tidak memiliki banyak properti. Cerita berlangsung di kampung, yang transportasinya menggunakan transportasi air. Palui tidak diceritakan sebagai tokoh yang memiliki kedudukan tertentu di kampungnya, bukan tokoh agama yang disegani masyarakat, tidak bersekolah berpendidikan tinggi, dan juga tidak diceritakan sebagai tokoh yang kaya. Dari dimensi ekonomi, Palui masuk dalam golongan kelas bawah dan humornya pun masuk dalam humor kelas bawah atau humor rendah. Humor rendah merupakan klasifikasi humor berdasarkan kriteria estetis (Rahmanadji, 2007:218). Humor rendah memiliki kecenderungan kasar dan eksplisit dalam mengemukakan sesuatu. Salah satu contohnya adalah humor sex. Bagi masyarakat puritan, humor seks merupakan hal yang dianggap tabu dan kampungan. Hal ini berbeda pada masyarakat kelas bawah, humor seks merupakan salah satu humor yang bisa dinikmati. Terkait dengan dengan hal
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
278
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
ini, humor Si Palui yang ditulis oleh Husni Thamrin termasuk dalam humor kelas bawah yang menyinggung persoalan seksualitas. Secara teoretis, humor kemudian terbagi menjadi tiga teori besar (Manser, 1990 dalam Rahmanadji, 2007: 215-216). Tiga teori tersebut adalah: (1) teori superioritas dan meremehkan, yaitu jika yang menertawakan berada pada posisi super; sedangkan objek yang ditertawakan berada pada posisi dihina; (2) teori mengenai ketidakseimbangan, putus harapan, dan bisosiasi; (3) teori mengenai pembebasan ketegangan atau pembebasan tekanan, yakni humor yang muncul dari sebuah kebohongan dan tipuan muslihat. Humor dalam kolom Si Palui merupakan humor pada teori superioritas, yang ditunjukkan oleh superioritas Si Palui yang menertawakan tokoh perempuan yang berada pada posisi sebaliknya. Perempuan disubordinasi dan direpresentasikan sebagai tokoh yang lemah. Hal ini dapat dilihat dari sifat perempuan, yang mudah dibohongi, tidak memiliki otoritas atas tubuh, tidak berwenang dalam keputusan rumah tangga, dan hanya diletakkan pada ranah-ranah domestik saja. Relasi Gender dalam Bingkai Masyarakat Banjar Pada level makro atau level praktik sosiokultural, pembahasan dilakukan melalui studi literatur yang akan memberikan deskripsi tentang masyarakat Banjar dan nilai-nilai budayanyaFauzan(2014:131) mengemukakan level praktik sosiokultural menjadi level yang paling luas untuk melihat wacana dan dihubungkan dengan teks yang lebih kecil. Analisis pada praktik sosiokultural akan mencakup ranah ekonomi, politik, dan budaya yang menjadi bentukbentuk praktik ideologi. Pada eksplanasi di level sosiokultural, sudut pandang historis menjadi patut untuk dipaparkan. Berangkat dari sisi historis, masyarakat Banjar adalah masyarakat Melayu yang mendiami pesisir pantai.Pada masa penjajahan Belanda, penduduk Kalimantan dibagi dalam dua kelompok besar: muslim dan nonmuslim. Kelompok muslim adalah kelompok suku Melayu dan yang nonmuslim adalah suku Dayak. Suku Banjar sendiri adalah salah satu suku dari rumpun Melayu yang termasuk dalam kelompok muslim(Ideham,2003). Kebudayaan Urang Banjar(sebutan untuk masyarakat Banjar) terintegrasi dengan agama Islam. Oleh karena itu, Islam di daerah Kalimantan Selatan dikenal sebagai Islam Banjar yang memberi penegasan bahwa agama Islam yang dianut Urang Banjar tidak berhenti pada statusnya sebagai institusi agama saja. Idwar Saleh (1991:19) mengemukakan bahwa pandangan hidup
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
279
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
orang Banjar didasarkan pada agama Islam. Dalam hal ini, ajaran dalam agama Islam benarbenar melekat dan dipraktikkan dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat Banjar. Mulai dari penggunaan penanggalan Hijriah untuk melaksanakan hajat tertentu, banyaknya jumlah masjid dan surau yang dibangun di daerah Kalimantan Selatan sehingga daerah ini disebut Kota Seribu Masjid (di samping sebutan Kota Seribu Sungai), banyaknya kegiatan keagamaan yang dilaksanakan seperti pengajian dan kuliah agama, adat istiadat seperti ‘Maayun Maulud,’1 sistem kekerabatan yang patriarki, 2 hingga nilai dan norma yang diajarkan selalu berpedoman pada ajaran agama Islam. Relasi perempuan dan laki-laki dalam ajaran Islam Banjar tampak dalam aturan-aturan adat istiadat Banjar, terutama pada aturan mengenai pernikahan dan perceraian. Idwar Saleh (1991) mengemukakan bahwa masyarakat Banjar mempraktikkan ajaran Islam bahwa seorang laki-laki diizinkan menikah empat kali atau berpoligami asalkan dapat bertindak adil. ‘Adil’ dalam kacamata masyarakat Banjar merujuk pada adil secara ekonomi. Tidak heran, poligami sering dilakukan oleh laki-laki yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Pada praktiknya, poligami di masyarakat Banjar kerap dilakukan dengan menikah siri dan tanpa sepengetahuan istri pertama (Vidiadari, 2013:56). Pada persoalan perceraian, Idwar Saleh (1991: 88-89) mengemukakan beberapa persoalan yang menyebabkan perceraian di masyarakat Banjar. Persoalan tersebut lebih banyak menitikberatkan pada perempuan yang dianggap tidak bisa berperan sebagai istri yang baik, antara lain: istri merupakan ibu rumah tangga yang jelek, pemarah, suka bertengkar, tidak bermoral, sering menerima tamu laki-laki, sakit-sakitan dan suami mendapatkan gadis yang lebih muda dan cantik. Pada perkembangannya, perempuan Banjar sekarang ini lebih berani untuk meminta cerai dengan suaminya (Barjie B, 2011). Pada tulisannya mengenai refleksi budaya Banjar, Barjie B mengemukakan bahwa pada masa kini persoalan perceraian di Kalimantan Selatan lebih banyak disebabkan oleh persoalan ekonomi, yakni perempuan yang mandiri secara finansial dan laki-laki yang tidak bertanggung jawab secara ekonomi kepada keluarga. Pada persoalan ini, kembali 1
Maayun Maulud: upacara untuk seorang anak yang baru pertama kali diayun dalam ayunan, dilaksanakan setiap bulan Maulud. Selama upacara berlangsung, seorang anak yang diayun akan dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran. 2 Pada dasarnya sistem kekerabatan patriarki berarti ‘aturan ayah,’ ketika laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Ayah menjadi kepala keluarga. Namun sistem kekerabatan patriarki dalam masyarakat Banjar dikukuhkan pada ajaran agama Islam. Segala pembagian tugas dan kewajiban dalam sistem kekerabatan patriarki di masyarakat Banjar berpedoman pada agama Islam. Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
280
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
perempuan seperti menempati posisi yang salah. Keberanian perempuan untuk menggugat cerai dipandang sebagai tindakan yang tidak tepat. Bahwa perempuan seharusnya mengurus anak di rumah dan meletakkan tanggung jawab ekonomi kepada suami. Tindakan ini kembali lagi merujuk kepada pandangan agama Islam yang menganjurkan perempuan untuk tidak bertemu lelaki lain selain suaminya. Dalam interpretasi selanjutnya, perempuan dilarang bekerja di luar rumah (Barjie B, 2011). Setelah perceraian pun pandangan agama Islam kembali menjadi dasar dari tindakan bercerai dan pascacerai, seperti mengenai hak asuh anak, tanggung jawab setelah bercerai, dan lain-lain. Meskipun begitu, persoalan poligami ini dianggap sebagai hal yang biasa. Sebaliknya, ketika perempuan meminta cerai hal tersebut dianggap sebagai masalah. Ahmad Barjie B (2011:327) pada kumpulan tulisan Refleksi Banua Banjar mengemukakan bahwa: Bagi suami daripada bercerai, barangkali lebih baik berpoligami bila memang mampu dan adil. Bagi istri, daripada bercerai, lebih baik bersabar untuk keutuhan tumah tangga dan kelanggengan pengasuhan anak. (Barjie B, 2011: 327)
Merefleksikan tulisan di atas, dapat dilihat adanya ketimpangan atas solusi perceraian yang ditulis. Ketika laki-laki diberi solusi untuk berpoligami daripada bercerai, perempuan justru diberi solusi untuk tetap bersabar. Ketimpangan ini terus terjadi dan dibagikan melalui banyak media, salah satunya melalui media agama dan budaya. Foucault (dalam Hall, 1997:50) mengemukakan bahwa relasi kuasa dipraktikkan dalam berbagai level kehidupan sosial dan bersifat produktif, artinya dibagikan secara terus menerus. Pada masyarakat Banjar, praktik relasi kuasa ini dilegitimasi melalui agama dan dipraktikkan melalui adat istiadat Islam Banjar melalui sistem kekerabatan dan praktik patriarki. Pembangunan nilai budaya melalui fiksi tidak hanya dilakukan oleh Si Palui, tetapi juga pada berbagai bentuk tokoh lain yang dijadikan bahan bercerita. Beberapa di antaranya adalah Sarawin (Zainudin, 2010) dan Sumambing (Juhaidi, 2010). Jika Si Palui membahas persoalan rumah tangga dengan kecerdikannya, Sarawin mengisahkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya, sedangkan Sumambing bercerita tentang orang Banjar yang polos. Kisah-kisah yang dituturkan tokoh-tokoh tersebut, meskipun hanya fiksi tetapi mengandung nilai yang dianut budaya setempat serta menjadi refleksi tentang apa yang terjadi di masyarakatnya. Hal ini pula yang tercermin di dalam cerita Si Palui. Pada kaitannya dengan tokoh-tokoh perempuan dalam cerita Si Palui, hal ini juga menjadi refleksi bagaimana masyarakat Banjar memosisikan perempuan di masyarakatnya. Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
281
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Budaya Banjar terintegrasi dengan agama Islam sejak masuknya Islam ke nusantara. Penetrasi Islam di wilayah pesisir pantai Kalimantan begitu kuat sehingga pada masa itu penyebaran Islam sangat cepat di wilayah Kerajaan Banjar. Pada berbagai segi kehidupan, masyarakat Banjar melandaskan tindakannya sesuai ajaran agama, termasuk relasi gender dalam masyarakatnya. Dalam cerita Si Palui, perempuan diceritakan sebagai objek humor dan tidak memiliki suara apalagi berargumen. Vidiadari (2013:79) mengemukakan bahwa hal yang sama juga terjadi di masyarakat Banjar, perempuan yang baik adalah perempuan penurut dan tidak berani membantah. Sedangkan di sisi lain, karena budaya Banjar terintegrasi dengan Islam, lakilaki juga dipandang memiliki posisi yang lebih tinggi dan superior dibanding perempuan karena perannya sebagai imam keluarga. Ketertundukan perempuan ditambah dengan superioritas laki-laki dalam mengambil keputusan dan memberikan sudut pandang menyebabkan perempuan tidak memiliki ruang untuk memberikan argumentasi atas dirinya sendiri. Hal ini ditunjukkan pula dalam kolom Si Palui melalui bagaimana laki-laki mendeskripsikan tubuh perempuan dari sudut pandangnya, sedangkan perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mendeskripsikan tubuhnya sendiri. Fenomena lain yang terjadi dalam masyarakat Banjar adalah poligami. Poligami bagi laki-laki Banjar ditujukan bagi mereka yang kuat secara ekonomi sehingga mampu membiayai dua istri atau lebih. Sedangkan bagi perempuan, poligami dapat saja dilakukan jika perempuan tersebut sakit dan tidak bisa memberikan keturunan. Ketimpangan lain yang dihadapi oleh perempuan adalah posisinya dalam mengajukan keinginan untuk bercerai. Jika laki-laki memiliki kuasa untuk menjatuhkan talak, maka perempuan hanya mendapat kesempatan untuk menggugat. Sementara gugatan ini sendiri belum tentu mendapat persetujuan, talak (cerai yang ditujukan pada istri) bersifat mutlak. Pada masa penulisan Husni Thamrin, perempuan mulai hadir sebagai objek cerita. Terlebih lagi, perempuan hadir sebagai objek erotis dari laki-laki. Perempuan digambarkan suka menggoda laki-laki, mudah dibohongi, dan selalu saja dinilai dari bentuk tubuhnya. Pada masa penulisan Husni Thamrin ini, tema-tema seksualitas banyak dieksplorasi karena banyaknya peminat humor dengan tema tersebut. Di sisi lain, tema seksualitas juga dianggap dekat dengan kehidupan masyarakat Banjar karena Husni Thamrin sendiri berlatarbelakang pekerja sosial dan dianggap dekat dengan masyarakat. Urusan seksualitas menjadi salah satu bagian dari kehidupan rumah tangga.Pada masa penulisan Husni Thamrin, perempuan dieksplorasi sebagai objek Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
282
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
cerita—sebagai istri muda, simpanan, janda, maupun istri si Palui. Representasi perempuan sebagai objek cerita Si Palui ini juga beragam. Bahwa penggambaran perempuan, terutama tentang tubuhnya dilakukan oleh tokoh laki-laki. Selain itu, perempuan digambarkan sebagai penggoda laki-laki. Pembahasan mengenai perempuan dalam kolom juga menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Penggambaran perempuan sebagai objek inilah yang kemudian menunjukkan bahwa pada teks Si Palui relasi gender yang muncul adalah relasi gender yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Tokoh laki-laki ditempatkan pada posisi dominan, penjaga alur cerita, sedangkan perempuan menjadi tokoh yang diceritakan, bahkan ditertawakan. Perempuan dalam kolom tidak memiliki kekuatan untuk menandingi ujaran laki-laki dalam cerita. Pada kolom Si Palui, dominasi laki-laki dalam cerita atas tokoh-tokoh perempuan sangat kental. Selain perempuan tidak hadir secara langsung dalam dialog dengan Palui, terkadang perempuan hadir dan ikut berdialog tetapi tidak mampu menandingi ujaran dan memberikan argumen tandingan terhadap si Palui dan teman-temannya. Bentuk representasi perempuan di media, dalam hal ini media humor, menjadi salah satu pembentukan pengetahuan yang dibagikan kepada konsumen media. Representasi tentang perempuan yang disubordinasi dalam cerita juga membentuk pengetahuan tentang posisi perempuan di lingkungan sosialnya. Pada aspek institusional, praktik produksi wacana sangat dipengaruhi oleh institusi yang memproduksi wacana tersebut, yang dalam dalam hal ini adalah Banjarmasin Post. Ideologi merupakan pusat dari analisis wacana. Gramsci (Gramsci dalam Hall, 1988:55) menyebutkan bahwa ideologi terikat pada tindakan, yang kemudian dinilai oleh dampak sosial. Dari sini, ideologi menjadi sebuah konsep yang di dalamnya selalu saja terjadi konflik, tumpang tindih, dan saling memotong yang menyebabkan ideologi akan menjadi struktur yang terus diperbarui, diartikulasi, dan mengalami artikulasi ulang dalam sebuah proses pertarungan ideologi.Pada praktiknya, ideologi tercermin dalam praktik-praktik sosiokultural masyarakat yang meliputi berbagai aspek, termasuk aspek sosial dan budaya. Si Palui merupakan sebuah cerita yang berangkat dari budaya tutur masyarakat Banjar. Pada awal kehadirannya, Palui menjadi tokoh cerita yang memberikan pesan tertentu. Kehadirannya dalam budaya tutur biasanya melalui pertunjukkan budaya madihin. Cerita yang disampaikan dalam bahasa Banjar dengan rima tertentu dan diiringi tabuhan tarbang. Karena kehadiran Si Palui lebih banyak pada
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
283
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
acara-acara penting seperti pada saat hajatan pernikahan, isi tuturannya lebih banyak berisikan nasihat namun disampaikan melalui cerita lucu. Cerita Si Palui pada masa itu mengandung nilai moral dan budaya, tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik sesuai adat dan norma yang berlaku di masyarakat Banjar. Pembahasan mengenai adat dan norma dalam masyarakat Banjar tidak dapat terlepas dari budaya Banjar yang terintegrasi dengan agama Islam. Bagi masyarakat Banjar, agama Islam tidak hanya menjadi agama yang dianut, tetapi lekat sebagai bagian dari hidup karena berbagai tingkah laku yang dipandang baik dalam adat istiadat Banjar merujuk pada ajaran agama Islam. Pandangan hidup, relasi/sistem kekerabatan, dan cara hidup masyarakat juga erat dengan ajaran agama Islam sehingga Islam yang berkembang di masyarakat Banjar dikenal sebagai Islam Banjar. Si Palui, sebagai salah satu narasi yang hadir dalam masyarakat Banjar, yang sekarang menjadi kolom di surat kabar juga tidak lepas dari pengaruh praktik budaya di dalamnya. Relasi gender dalam kolom Si Palui juga menjadi refleksi dari kehidupan masyarakat Banjar. Bahwa persoalan rumah tangga, mulai dari persoalan pernikahan hingga poligami dan perceraian merupakan persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat Banjar sendiri. Ketika di kolom Si Palui perempuan digambarkan sebagai pihak yang mengalami subordinasi, hal yang sama juga terjadi di masyarakat. Relasi gender merupakan pola hubungan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial (Wiyatmi, 2008: 6). Tidak jarang, karena adanya relasi gender ini, terjadi pula relasi yang timpang. Ada pihak yang mendominasi, dan sebaliknya, ada pihak yang berada pada posisi subordinat. Pada masyarakat patriarki, laki-laki dipandang memiliki posisi yang lebih tinggi dan dominan dibanding perempuan. Hal ini ditunjukkan melalui praktik sosiokultural masyarakat Banjar yang memiliki pandangan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang penurut dan tidak berani membantah merupakan salah satu nilai yang disepakati bersama di dalam masyarakat. Pada hubungan yang sifatnya struktur sosial, tampak bahwa laki-laki dan perempuan berada pada dua kelompok sosial yang relasinya tidak sejajar dan eksploitatif (Jackson dan Jones, 2009:231-232). Perbedaan perlakuan atas laki-laki dan perempuan ini kemudian memunculkan sebuah pandangan bahwa akar dari tindakan diskriminatif ini berasal dari pola pikir patriarki yang berfungsi untuk melakukan pembenaran dan menutupi eksploitasi atas perempuan. Pada masyarakat Banjar, ideologi patriarki yang dipraktikkan dan dilegitimasi oleh Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
284
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
aturan-aturan agama semakin mengukuhkan posisi dominan laki-laki atas perempuan. Ketika di kolom humor Si Palui, perempuan digambarkan sebagai objek seksual dan perempuan tidak memiliki kuasa untuk memberikan argumen tandingan, dalam praktik sosiokultural masyarakat Banjar pun demikian. Pada budaya Banjar serta ajaran Islam Banjar, laki-laki sebagai imam keluarga memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding perempuan. Hak untuk berpoligami juga diberikan kepada laki-laki, terutama laki-laki yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup (Saleh,1991). Selain itu, istri diajarkan untuk mengizinkan praktik poligami terutama jika seorang istri tidak mampu memberikan keturunan, sakit, dan sudah tua sehingga tidak dapat melayani kebutuhan seksual suaminya. Hal ini kemudian dilegitimasi dengan ajaran bahwa menikah lebih baik, sah di mata agama, dibandingkan berselingkuh dan melakukan zina. Pada persoalan lain seperti perceraian juga terdapat ketimpangan. Perempuan, pada posisinya yang tidak setara dengan laki-laki, menghadapi ketimpangan pada saat ia ingin bercerai dari suaminya. Gugatan ini sendiri belum tentu mendapat persetujuan, sedangkan talak bersifat mutlak, yakni cerai yang dijatuhkan kepada istri. Menghadapi persoalan perceraian, tulisan dari Barjie B (2011) menilai bahwa perempuan yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi dari suaminya cenderung berani meminta cerai. Persoalan perceraian kemudian dilihat sebagai tingkah laku yang tidak pantas jika dilakukan oleh perempuan dan dipandang sebagai hal lumrah jika dilakukan laki-laki. Pada ajaran mengenai perceraian (Saleh, 1991: 88-89) dikemukakan bahwa laki-laki menceraikan istrinya dikarenakan tindakan buruk yang dilakukan oleh istrinya. Kalaupun rujuk, maka istri akan dibatasi ruang geraknya. Istri akan diwajibkan untuk tidak bekerja di sektor publik dan dilarang bertemu laki-laki lain selain suaminya. Sebaliknya, ketika seorang perempuan mengajukan untuk bercerai karena suaminya tidak mampu memenuhi tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, maka hal ini dianggap tidak benar dan tabu. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam konteks sosial masyarakat Banjar kemudian direfleksikan dalam kolom Si Palui. Posisi laki-laki yang lebih dominan dalam menghadapi persoalan rumah tangga, dalam kolom Palui direfleksikan melalui cerita-cerita humornya. Relasi yang tidak imbang antara perempuan dan laki-laki direpresentasikan pada humor-humor dengan tema seksualitas ini memunculkan stigma terhadap humor khas masyarakat Banjar yang dianggap sebagai humor porno (Juhaidi, 2008: 17). Di sisi lain, para pemuka agama kerap membawa kisah yang berbau ‘porno’ ini ke mimbar-mimbar agama Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
285
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
sebagai bahan ceramah meskipun cerita tersebut tidak memiliki hubungan apa-apa dengan tema ceramah. Hal ini pula yang menyebabkan tema humor yang dianggap ‘porno’ ini terus diminati karena kehadirannya yang terus menerus. Teks Si Palui juga memiliki kaitan erat dengan proses pembagian makna tentang seksualitas dalam humor bahasa Banjar. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh luasnya cakupan Banjarmasin Post, melainkan juga karena teks Si Palui dijadikan bahan ceramah oleh beberapa pemuka agama di Kalimantan Selatan. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong meluasnya wacana tentang perempuan dan asosiasinya dengan seksualitas dalam kolom Si Palui. Bahasa secara simultan digunakan untuk membentuk identitas sosial, relasi sosial, dan sistem pengetahuan dan kepercayaan (Fairclough, 1993:134). Kolom humor Si Palui yang dibaca oleh konsumen media membangun sebuah pengetahuan,salah satunya adalah tentang relasi gender. Representasi tentang relasi gender antara tokoh perempuan dan laki-laki dalam kolom Si Palui ini merupakan refleksi dari relasi gender yang terjadi dalam masyarakat Banjar. Proses resepsi pembaca untuk menerima pengetahuan dari teks kolom Si Palui ini memegang peranan penting dalam mengukuhkan ideologi patriarki dan memperluas praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Representasi dalam kolom Si Palui tidak berhenti pada pembentukan pengetahuan tentang relasi gender, tetapi juga pembentukan stereotip kepada perempuan. Pada teks ini, perempuan ditempatkan sebagai objek cerita, sebagai tokoh yang digoda laki-laki, menjadi bahan obrolan di antara laki-laki, dan sangat jarang hadir untuk ikut berargumen dengan laki-laki. Pada kolom Si Palui, terdapat beberapa stereotip tentang perempuan—perempuan janda mendapatkan sterotip sebagai perempuan yang buru-buru ingin segera menikah; seorang istri memiliki stereotip sebagai pemuas kebutuhan seksual suami, penakut, dan bertanggung jawab atas adanya keturunan dalam keluarga; ibu mertua direpresentasikan sebagai tokoh yang cerewet. Makna tentang perempuan dan relasi gender dalam kolom Si Palui tidak hanya dibagikan kepada pembaca Si Palui. Beberapa pemuka agama di Kalimantan Selatan menggunakan kolom Si Palui sebagai bahan ceramah. Dari mimbar agama yang menghadirkan Si Palui sebagai bahan ceramah, dikukuhkan pula wacana-wacana tentang perempuan dan relasi gender di masyarakat. Pada level yang terkecil, wacana tersebut dipraktikkan dalam kehidupan berkeluarga.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
286
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kesimpulan Membahas persoalan relasi gender dalam teks Si Palui, tokoh laki-laki selalu saja dominan dibandingkan dengan tokoh perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran perempuan yang cenderung diam, tidak berargumen dan disalah-salahkan. Tidak jarang, perempuan tidak hadir secara fisik dalam cerita namun hadir sebagai bahan pembicaraan dan dilihat dari kacamata laki-laki. Pada level produksi teks, teks yang diproduksi oleh Banjarmasin Post adalah teks-teks dari penulis ketiga, Husni Thamrin. Melalui tulisan dari penulis yang sama, maka ide-ide yang disampaikan juga relatif tidak jauh berbeda, termasuk ide-ide tentang relasi gender dan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam relasi tersebut. Timpangnya representasi antara perempuan dan laki-laki dalam teks Si Palui tidak lepas dari faktor penulis Si Palui yang semuanya adalah laki-laki dan tidak pernah ada penulis perempuan yang terlibat dalam penulisan kolom Si Palui. Oleh karena itulah, humor-humor yang hadir dalam teks Si Palui adalah humor yang sifatnya seksis. Pada level sosiokultural, wacana tentang relasi gender tidak bisa lepas dari praktik ideologi patriarki yang ada di tengah masyarakat. Praktik ideologi ini salah satunya dilakukan dengan penanaman nilai-nilai agama dan legitimasi dari kitab suci untuk mengukuhkan posisi laki-laki dalam masyarakat Banjar—sebagai kepala keluarga dan diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari perempuan. Hal ini yang menyebabkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan di berbagai level kehidupan. Budaya yang dipraktikkan dalam masyarakat Banjar terintegrasi dengan ajaran agama Islam, sehingga bagi masyarakat Banjar agama Islam tidak hanya menjadi agama yang dianut tetapi juga lekat sebagai bagian dari hidup sebab berbagai tingkah laku yang dipandang baik dalam adat istiadat Banjar merujuk pada ajaran agama Islam yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Banjar.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
287
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Althusser, Louis. (2008). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,Cultural Studies.(Olsy Vinoli Arnof, Terjemahan).Yogyakarta: Jalasutra. Anwar, Ahya. (2009). Geneologi Feminis: Dinamika Pemikiran Feminis dalam Novel Pengarang Perempuan Indonesia 1933-2005. Jakarta: Republika. Barjie B, Ahmad. (2011). Refleksi Banua Banjar: Kumpulan Tulisan SeputarKesultanan Banjar, Sejarah Agama dan Sosial Budaya. Martapura:PustakaAgung Kesultanan Banjar. Beechey, Veronica. (1979). On Patriachy.Feminist Review. Vol (3) hlm. 66-82. Danandjaja,J. (1989). Humor. Dalam Ensklopedia Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Eriyanto.(2011).Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta: LKiS. Fairclough, Norman. (1989). Language and Power. London: Longman. -------------------------.(1992). Discourse and text: Linguistic and Intertextual Analysis Within Discourse Analysis. Discourse and Society. No. 3, hlm 193-219. -------------------------. (1993). “Critical Discourse Analysis and the Marketizationof Discourse: The Universities�. Discourse and Society. No. 4 (2), hlm 133-168.
Public
-------------------------. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman. Fakih, Mansour .(1996).Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Fauzan, U. (2014). Analisis Wacana Kritis dari Model Fairclough Hingga Mills. Jurnal Pendidik Vol. 6 (1) hlm. 123-137. Hall, S. (1988). The Toad in the Garden: Thatcherism among the theorists. dalam C. Nelson dan L.Grossberg (ed)Marxism and the Interpretation of Culture. London: Macmillan. ---------. (1997). Representation. London: Sage Publication. Hendarto, P. (1990). Filsafat Humor. Jakarta: Karya Megah. Ideham et al. (2003). Sejarah Banjar. Kalimantan Selatan: Balitbangda. Jackson, Stevi dan Jackie Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer. (Tim Penerjemah Jalasutra, Terjemahan).Yogyakarta: Jalasutra.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
288
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Japai Bumbunannya (2016, Januari 10). Banjarmasin Post hlm. 14 diakses melalui https://issuu.com/deny_bpost/docs/bp20160110 Juhaidi, Ahmad. (2008). Nilai-Nilai Humor Urang Banjar dalam Kisah HidupSumambing. AlBanjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 8 (2) diakses dari http://idr.iainantasari.ac.id/335/ pada tanggal 2 Agustus 2016 Kahilangan Hayam (2016, Maret 28). Banjarmasin Post hlm. 14 diakses melalui https://issuu.com/deny_bpost/docs/bp20160328 Lan, Mey, Susetiawan dan A. N. Abrar. (2001). “Budaya Patriarki dalam Pers Indonesia Masa Orde Baru”. Sosiohumanika. No 14 (2), hlm 353-368. Larson, Charles U. (2010). Persuasion:Reception and Responsibility (12th ed). Boston: Wadsworth. Maslakhah, Siti dan I Dewa Putu Wijana. (2004). Bahasa Jawa dalam Ketoprak Humor RCTI (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Humanika no. 17 (4) hlm 577-596. Omara, Andy. (2004). “Perempuan, Budaya Patriarki, dan Representasi”. Mimbar Hukum, No.2, hlm 148-165. Paling Manunjul (2016, Februari 10). Banjarmasin Post hlm. 14 diakses melalui https://issuu.com/deny_bpost/docs/bp20160210 Papana, Ramon. (2012). Kiat Tahap Awal Belajar Stand Up Comedy. Jakarta: Media Kita. Pormes, F.S. (2015). Analisis Humor Epen Kah Cupen To. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Rahmanadji, Didiek. (2007). Sejarah, Teori, Jenis dan Fungsi Humor. Jurnal Bahasa dan Seni, no.2 (35), hlm 213-221. Rizkie, I.H. (2013). Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Wacana Humor dalam Rubrik “Mesem” Surat Kabar Harian Warta Jateng. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saleh, Idwar et al. 1991. Adat Istiadat dan Adat Perkawinan Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Setyobudi, Imam dan Mukhlas Alkaf. (2011). Antropologi Feminisme dan Polemik Seputar Tubuh Penari Perempuan Jaipongan Menurut Perspektif Foucault. Humaniora. No. 1 vol. 23, hlm 37-48.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
289
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Satungging-Tungging (2016, Maret 9). Banjarmasin Post hlm. 14 diakses melalui https://issuu.com/deny_bpost/docs/bp20160309 Storey, John. (2007). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta:Jalasutra. Storey, John. (2015). An Introductory Guide To Cultural Theory and Popular Culture. New York: Routledge. Thornham, Sue. (2010). Teori Feminis dan Cultural Studies. (Asma Bey Mahyuddin, Terjemahan).Yogyakarta: Jalasutra. Tim Penulis Banjarmasin Post. (2011). 40 Tahun Banjarmasin Post. Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan. Vidiadari, Irene Santika. (2013). Resepsi Pembaca Perempuan Banjar Muslim Terhadap Kolom Si Palui dengan Tema Perceraian dan Poligami di Surat Kabar Harian Banjarmasin Post dengan Pendekatan Encoding-Decoding Stuart Hall. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Wijana, I Dewa Putu. (1994). “Pemanfaatan Homonimi dalam Humor�. Humaniora No 1, hlm. 21-28 Wijana, I dewa Putu. (1995). Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Wiyatmi. (2008).Representasi Peran Dan Relasi Gender Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Dan Nayla Karya Djenar Maesa Ayu, Laporan Penelitian, Universitas Negeri Yogyakarta. Wood. J.T. (2008). Gendered Lives: Communication, Gender and Culture (8th ed). Boston: Wadsworth. Zainuddin, Muhammad. (2010).Nilai Budaya dalam Sarawin Cerita Rakyat Banjar: Analisis Sosiologi Sastra. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Zulkifli. (2009). Nilai Budaya Banjar dalam Cerita Si Palui. Disertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Irene Santika Vidiadari, Relasi Gender dalam Kolom Humor /03/Vol.5 / No. 02/ Juni 2017
290
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Aktivasi Keterlibatan Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dinarsafa@gmail.com, skarlinah@yahoo.com, pandanpramesti@gmail.com Abstract This research entitled Activation of The Public Engagement in `NET 10` News Program. An intrinsic case study by Robert E. Stake on Activating The Public Engagement in `NET 10` Citizen Journalism NET TV’s News Program. This research aimed to understand NET TV’s public management strategy in 'NET 10' news program. In addition, this research also aimed to determine how the editorial staff considere the standard of news value and news judgment on citizen journalist news, and the function of public sphere in the mass media of citizen journalism. The method used qualitative research with intrinsic case study approach by Robert E. Stake to NET TV’s editorial. The results showed the editorial’s strategy of public management by following action: (1) provided easily of joining 'NET CJ', (2) created campaigns to increase the number of CJ, (3) nature CJ by keeping good and giving relationship evaluations, (4) provides rewards for the creator of CJ news aired in 'NET 10', and (5) educates CJ in making a citizen journalism news. NET TV used curation techniques in the process of citizen journalism news gatekeeper to keep the news value and news judment standard of citizen journalism news. Unfortunately, ‘NET 10’’s citizen journalism news rate of the proportion of news comprehensive continues to fall down because the editorial put loyalty forward. 'NET CJ' act as a opinions catalyst of the citizens to the government. Keywords: Citizen Journalism, .NET 10, Public, Activation
Abstraksi Penelitian ini berjudul Activation of The Public Engagement dalam `NET 10` News Program. Studi kasus intrinsik oleh Robert E. Stake on Activating The Public Engagement di `NET 10` Program Jurnalisme Wartawan Komunitas TV Nirkabel. Penelitian ini bertujuan untuk memahami strategi pengelolaan publik NET TV dalam program berita 'NET 10'. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana staf redaksi menganggap standar nilai berita dan penghitungan berita berita wartawati, dan fungsi ranah publik di media massa jurnalisme warga. Metode penelitian kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus intrinsik oleh Robert E. Stake terhadap editorial NET TV. Hasilnya menunjukkan strategi editorial manajemen publik dengan melakukan tindakan: (1) dengan mudah bergabung dengan NET CJ ', (2) menciptakan kampanye untuk meningkatkan jumlah CJ, (3) sifat CJ dengan tetap menjaga dan memberikan evaluasi hubungan, (4) memberikan penghargaan bagi pencipta berita CJ yang ditayangkan di 'NET 10', dan (5) mendidik CJ dalam membuat berita jurnalisme warga. NET TV menggunakan teknik curation dalam proses citizen journalism news gatekeeper untuk menjaga nilai berita dan standar berita berita kewarganegaraan jurnalistik. Sayangnya, tingkat berita jurnalisme warga negara 'NET 10' dari proporsi berita yang komprehensif terus merosot karena tajuk rencana membuat kesetiaan maju. 'NET CJ' bertindak sebagai katalisator opini warga terhadap pemerintah. Kata Kunci: Jurnalisme Warga, NET 10, Publik, Aktivasi. Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
291
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Submite Review Accepted
: 20 Jan 2017 : 20 April 2017 : 30 Mei 2017
Surel Corespondensi : winda86@gmail.com Pendahuluan Media massa kadang melewatkan sebuah berita karena isu yang terjadi bukan menjadi minat ekonomi-politik media yang bersangkutan, keterbatasan jumlah jurnalis, momentum peristiwa yang sukar didapat, serta tak terjangkaunya letak geografis. Inilah sebab mengapa keterlibatan jurnalisme warga dianggap penting oleh institusi media. Axel Bruns menggunakan istilah “Pro-Am” Journalism , yakni penggabungan dari kerja professional serta amatir dalam jurnalistik bagi junalisme warga (Nasrullah, 2014: 52). Liputan dalam jurnalisme warga menurut Burns (Nasrullah, 2014: 52) pada dasarnya bisa menjadi bahan, masukan, atau data awal yang digunakan untuk melengkapi berita yang dipublikasikan. Di sisi lain, berita jurnalisme warga bisa menjadi sumber alternatif audiences yang selama ini hanya bersandar pada media tradisional. Burns juga mengatakan jurnalisme warga merupakan sumber yang bisa mengakses informasi dan peristiwa selama 24 jam nonstop. Berbeda dengan keterbatasan media konvensional yang penayangannya sesuai dengan jadwal, jurnalisme warga bekerja dengan melibatkan seluruh warga yang ada di dunia dan terhubung dengan jaringan warga dalam jaringan komputer melalui internet tanpa dibatasi waktu. Jurnalisme warga telah berkembang dan merambah ke seluruh medium yakni media cetak, media elektronik, dan juga media dalam jaringan (daring). Tak hanya itu, konten peristiwa yang diberitakan jurnalisme warga terus bertambah seperti informasi, data, kritik, opini, dan lainnya yang mana dikenal dengan konten yang dihasilkan dari pengguna media siber. Salah satu media yang menggunakan konsep jurnalisme warga untuk salah satu programnya adalah NET TV. Jurnalisme warga yang diusung NET TV berbeda dengan televisi lain. NET TV membuat sebuah sistem yang membuat jurnalis warga dan redaksi NET TV saling berkorelasi. Sejak awal kemunculan NET TV pada Mei 2013, televisi ini membuat program berita bernama “NET 10 Citizen Journalist” yang lebih dari 70% konten beritanya berasal dari platform jurnalisme warga http://netcj.co.idyang memungkinkan orang untuk menemukan, menonton, dan berbagi informasi melalui video yang mereka produksi sendiri. Berita dari jurnalisme warga yang telah masuk ke http://netcj.co.id kemudian dipilih dan ditentukan berita Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
292
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
mana yang layak ditayangkan di televisi oleh redaksi NET TV yang diperankan oleh redaksi ‘NET CJ’ dan redaksi ‘NET 10’. Beberapa video akan dipilih dan ditampilkan di NET TV setiap hari. Jurnalis warga yang berhasil dipublikasikan videonya akan mendapatkan poin bonus dan hadiah uang tunai yang akan dikirim langsung ke rekening bank pemilik. Kemudian video yang tidak dipilih tetapi memiliki nilai jurnalistik yang baik, akan tetap dipublikasikan di website ‘NET CJ’ di http://netcj.co.id. Sejak awal berdiri NET TV telah konsisten mengedepankan berbagai format program yang relatif baru atau kontemporer dalam program pertelevisian, seperti jurnalisme warga dalam ‘NET CJ’. NET TV juga memberikan porsi jurnalisme warga yang cukup besar dalam sebuah program berita ‘NET 10’. Dalam setiap harinya NET TV memberikan porsi lebih-kurang 70% untuk berita dari jurnalis warga. Hal ini menyebabkan jurnalisme warga NET TV menjadi yang paling populer dibandingkan dengan jurnalisme warga di televisi lainnya. Keunikan ini membuat program ‘NET 10’ memiliki segmentasi penonton khusus. Terbukti pada tahun 2014 dan 2015 program berita ‘NET 10’ memiliki share paling tinggi dibandingkan program berita lain di NET TV. Pengelolaan jurnalisme warga membutuhkan strategi khusus agar selain mampu meningkatkan antusiasme warga atau untuk terlibat, juga menjaga kualitas produk agar sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalisme. David L. Marburger mengatakan biasanya jurnalis warga kurang berhati-hati dalam menulis. Mereka memiliki resiko lebih besar dalam hal pelanggaran karena mereka kurang kritis dalam menganalisis hasil kerja mereka dibanding editor (Gilmor, 2004: 192). Maka dibutuhkan sebuah sistem kurasi jurnalisme warga untuk menyeleksi berita jurnalisme warga. Berita jurnalisme warga juga mampu menjadi opini publik, dalam hal ini media berperan memfasilitasi mereka sebagai wadah independen. Media juga harus bebas dari pengaruh kelompok-kelompok dalam publik, kepentingan negara dan juga tekanan pasar. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan mengetahui aktivasi keterlibatan publik dalam program ‘NET 10’. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diungkapkan diatas, penelitian ini difokuskan untuk mengetahui sistem atau cara yang dibangun NET TV dalam pelibatan publik sebagai jurnalis warga dalam program “NET.10 Citizen Journalist”. Berdasarkan fokus penelitian tersebut, maka didapatkan identifikasi masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana strategi NET TV dalam pengelolaan Jurnalisme Warga di program ‘NET 10’? (2) Bagaimana redaksi Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
293
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
NET TV menjalankan standar news value dan news judgment pada berita jurnalisme warga? (3) Bagaimana redaksi NET TV menjalankan fungsi ruang publik dalam media massa jurnalisme warga? Metode dan Kajian Pustaka Penelitian ini menggunakan metode studi kasus Robert E. Stake (2005). Stake dalam (Denzim dan Lincoln, 2005: 443) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan cara umum untuk melakukan penyelidikan kualitatif. Penelitian studi kasus bukanlah sesuatu yang bary maupun kualitaif serta esensial. Studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis, melainkan sebuah pilihan akan apa uang hendak dikaji. Stake (2005: 443-444) mencatat ada lima persyaratan dalam pelaksanaan studi kasus, yaitu pemilihan isu, triangulasi, pengetahuan berdasar-pengalaman (experiential knowledge), konteks, dan aktivitas. Bagi komunitas penelitian, studi kasus mengoptimalkan pemahaman dengan
mengejar
pertanyaan-pertanyaan
penelitian
ilmiah.
Studi
kasus
memeroleh
kredibilitasnya lewat melakukan triangulasi menyeluruh terhadap deskripsi dan interpretasi secara terus menerus sepanjang masa penelitian. Untuk komunitas penelitian kualitatif, studi kasus berkonsentrasi pada pengetahuan berdasar-pengalaman dari kasus tersebut dan perhatian teliti pada pengaruh konteks-konteks sosial, politik, dan lainnya. Untuk hampir semua khalayak, mengoptimalkan pengalaman terhadap suatu kasus membutuhkan perhatian yang mendetail pada setiap aktivitasnya. Adapun tanggung jawab konseptual utama dari penelitian studi kasus kualitatif, menurut Stake (2005: 459-460), termasuk pada hal-hal berikut: a. Merangkai kasus, mengonseptualisasi objek kajian; b. Memilih fenomena, tema dan isu (contoh: pertanyaan penelitian yang ditekankan); c. Mencari pola data untuk mengembangkan isu; d. Melakukan triangulasi hasil observasi kunci dan dasar-dasar untuk menginterpretasi; e. Memilih alternatif interpretasi untuk dicari ; dan f. Mengembangkan penyataan atau generalisasi terhadap kasus tersebut. Uraian studi kasus yang dirumuskan Robert E. Stake berfokus pada pendekatan kualitatif dan bernuansa konstruktivis. Hal ini menjadi sesuai dan selaras dengan pertanyaan penelitian dalam penelitian ini. Dengan demikian, rumusan studi kasus Stake diputuskan untuk digunakan Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
294
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
demi mempertahankan koherensi dengan paradigma konstruktivis. Stake mengidentifikasi studi kasus ke dalam tiga tipe. Ketiga tipe tersebut adalah studi kasus intrinsik, studi kasus instrumental, dan studi kasus kolektif. Menurut Stake (2005: 447), tujuan kategorisasi yang dilakukannya bukanlah taksonomik, melainkan untuk menekankan varisai terkait dan orientasi metodologis terhadap kasus. Dalam penelitian ini, studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Dalam studi kasus ini peneliti mengingikan pemahaman yang lebih baik terhadap kasus tertentu. Studi kasus intrinsik tidak dilakukan karena kasus mewakili atau menggambarkan sifat atau masalah, namun alih-alih demikian karena kasus tersebut, dalam segala kekhasan dan kelazimannya, dengan sendirinya memiliki daya tarik. Kasus-kasus dalam studi kasus intrinsik biasanya telah menjadi perhatian penting sebelum studi formalnya dimulai. Studi kasus intrinsik bisanya dimulai dengan kasus-kasus yang telah terindentifikasi dengan jelas. Tujuan studi kasus intrinsik bukan untuk memahami suatu kontruksi abstrak atau fenomena umum, bukan pula untuk membangun teori. Studi kasus intrinsik dilaksanakan karena ada daya tarik atau kepentingan intrinsik mengenai objek tertentu. Mengacu pada penjabaran Stake, penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus intrinsik. Penulis ingin lebih memahami aktivasi keterlibatan publik dalam program ‘NET 10’. Selain itu, sesuai apa yang dijelaskan oleh Stake bahwa studi kasus intrinsik ini ditempuh bukan karena menggambarkan sifat tertentu, namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaanya kasus itu sendiri menarik minat. Kekhususan kasus aktivasi keterlibatan publik dalam news room NET TV menjadi kekhususan yang menarik minat penulis karena jurnalisme warga di NET TV adalah satu-satunya jurnalisme warga pada media massa televisi yang menggunakan platform media baru sebagai wadah penghubung antara jurnalis warga dengan redaksi NET TV. Kurasi yang dilakukan media berhubungan dengan berbagai aspek yang dimiliki media itu sendiri. Aspek atau faktor tersebut dapat berasal dari dalam (internal) atau luar (eksternal) organisasi media. Berita yang disampaikan media ke khalayak adalah kombinasi dari program internal, keputusan manajerial dan editorial, serta pengaruh eksternal yang berasal dari sumbersumber nonmedia, seperti individu-individu berpengaruh secara sosial, pejabat pemerintah, pemasang iklan dan sebagainya.
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
295
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese merangkum berbagai faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi kebijakan dan produk media dalam bukunya yang berjudul The Message, Theories Of Influences On Mass Media Content, atau lebih dikenal dengan istilah Teori Hierarki Pengaruh Isi Media. Teori ini menjelaskan bahwa isi media dipengaruhi oleh individual level, media routines level, organizational level, outside media level dan ideology level (Shoemaker, 1996:60). Jurnalisme warga adalah bagian dari ruang publik. Pada perkembangannya ruang publik tak hanya menyangkut ruang yang bersifat fisik, seperti media massa. Tumbuhnya kebebasan berbicara dan memberikan informasi seperti yang dilakukan oleh jurnalisme warga sebagai tanda bahwa ruang publik sudah tercipta. Jurgen Habermas (Schneider, 1997: 17-18) merumuskan ruang publik dalam beberapa formulasi. Terdapat 4 variasi pengertian ruang publik yakni: 1) Suatu aktivitas dalam kehidupan sosial dimana semacam opini publik dibentuk; 2) Orang-orang privat yang berkumpul sebagai suatu publik untuk mengartikulasikan kepentingan masyarakat kepada Negara; 3) Ruang publik merupakan ruang dimana orang-orang privat berkumpul sebagai public; 4) Orang-orang privat yang menggunakan rasionya secara public. Namun menurut Liu, Zheng dalam papernya yang berjudul Propaganda, Grassroots Power, or Online Public Sphere? A Study of the Weblog for the NPC and the CPPCC Session in China mengakatan bahwa ruang publik ideal ialah ruang yang memediasi masyarakat dan negara, dimana publik mengorganisasikan diri mereka secara mandiri sebagai pengusung opini publik (Liu, 2007:14). Ruang publik ideal berfungsi untuk memungkinkan warga negara menemukan kepentingan bersama mereka, sedangkan ruang publik liberal berfungsi untuk memanajemen konflik-konflik antara warga negara dan pasar dalam cara-cara yang adil dan pantas. Ruang publik ideal, sekali lagi, mengacu pada ruang publik borjuis Habermasian; ruang publik liberal merujuk pada ruang publik ideal yang telah terdegradasi atau mengalami kemerosotan (Schneider, 1997: 17-26). Media massa selama beberapa dekade ini sudah menguasai aktifitas ruang publik di dunia. Alhasil public sphere sering kali berkembang sesuai dengan agenda atau kepentingan media, bukan kepentingan publik. Media massa cenderung mengangkat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan bisnis (iklan) ataupun kepentingan politisnya masingmasing. Setelah datangnya media sosial kemudian menjadi salah satu transformasi dalam penerapan public sphere. Namun, apa mungkin media sosial jurnalisme warga http://netcj.co.id Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
296
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
mampu menjadi wadah warga untuk berpartisipasi dalam berbagai wacana di forum publik, yang mana setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan agendanya sendiri, memberikan komentar, maupun argumentasi. Seperti apa yang ada dalam elemen jurnalistik ke-10 yakni masyarakat punya hak dan kewajiban ketika berhadapan dengan berita. Setiap jurnalis warga memiliki keinginan untuk menyuarakan peristiwa dengan versinya masingmasing. Untuk itu, konsep ruang publik Habermas sangat relevan dikaji pada media jurnalisme warga yang korelasi dengan media massa nasional. Burns (Nasrullah, 2014:52) mengatakan berita yang dihasilkan warga pada dasarnya merupakan hasil kerja individual frame. Peristiwa yang terjadi di lapangan juga dikonstruksi menurut pandangan dan hasil seleksi, namun perbedaan yang lebih tegas antara jurnalis di media tradisional dan jurnalisme warga yaitu hasil konstruksi terhadap realitas bisa dikatakan secara independen dilakukan oleh warga sendiri tanpa campur tangan birokrasi redaksi. Opini jurnalis tidak bisa masuk dalam dalam tubuh berita, namun dalam jurnalisme warga, setiap warga bebas mengungkapkan ekspresinya, opininya, pendapatnya, bahkan kritik pedasnya yang diselipkan dalam tubuh berita yang dibuat. Hal ini terkait dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan manusia pada dasarnya dikaruniai dua naluri utama yakni naluri rasa ingin mengetahui dan naluri ingin memberitahukan. Semua naluri ini merupakan hak yang disusun dalam Pasal 19 DUHAM berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Dalam pasal 28F Undang-undang Dasar (UUD) 1945 juga menyatakan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, dan mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh sebab itu, pembentukan realitas oleh jurnalis warga dalam media jurnalisme warga merupakan realitas yang langsung dikonstruk oleh warga itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain sebagaimana yang terjadi di dalam institusi industry media tradisional. Khalayak dengan segala pertimbangan dan tujuannya, mempublikasikan realitas yang berada di luar dirinya menjadi realitas yang menurutnya layak untuk diketahui oleh orang lain di media Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
297
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
jurnalisme warga. Berita yang diterima redaksi butuh dipilih dan disaring, untuk itu perlu dijalankan sistem kurasi. Proses kegiatan kurasi media yang diusulkan oleh Rosenbaum merujuk pada kegiatan mengidentifikasi, memilih, memverifikasi, pengorganisasian, menjelaskan, mempertahankan, dan melestarikan artefak yang ada serta mengintegrasikan mereka ke sumber daya holistik (Rotman, Procita, Hansen, Parr, & Preece, 2011; Liu 2010 dalam Stanoevska 2012:4) Mindy McAdam (2008) membuat konsep sendiri dalam proses kurasi jurnalistik yang diadopsi dari kurasi museum. Menurutnya terdapat tujuh tahap dalam kurasi jurnalistik, yakni Selection,Culling, Provide context, Arrangement of individual objects, Organization of the whole, Expertise, dan Updating. Dalam dunia jurnalistik, hal yang paling mendasar alasan dipublikasikannya berita dilihat dari kebijakan redaksi mengukur news value dan news judgment. Dalam hal ini, McQuail (2000) mengajukan suatu kerangka kerja dalam memberikan penilaian terhadap kualitas media yang terbagi atas empat kriteria yaitu: (a) kebebasan media, (b) keragaman berita, (c) gambaran realitas, dan (d) objektivitas berita. Unsur-unsur dalam berita memiliki sifat informatif, layak dipublikasikan, dan sebagai hasil kerja jurnalistik, bukan opini wartawan. Sedangkan kriteria umum nilai berita adalah keluarbiasaan, kebaruan, akibat, aktual, kedekatan, informasi, konflik, orang penting, kejutan, human interest, dan adanya unsur seks (Brook dalam Yunus, 2010: 18 ). Selain itu, dalam menentukan berita mana yang layak disiarkan, berikut kriteria yang yang harus diikuti, yakni: (1) Dampak, (2) Kedekatan, (3) Aktualitas, (4) Popularitas, (5) Konflik, (6) Kesederhanaan (Morissan, 2008:19-24). Tak hanya itu, pegangan dasar jurnalis adalah pada sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Rosenstiel. Sembilan elemen ini sangat penting sebagai kitab jurnalis dalam membuat berita. Berikut sembilan elemen jurnalistik, yakni pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme kepada warga. Ketiga, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Keempat, para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Kelima, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal penting, menarik dan relevan. Kedelapan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan porposional. Kesembilan, para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka (Kovach & Rosenstiel, 2003: 6).
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
298
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Aturan dasar jurnalistik tak hanya sampai di situ, jurnalis Indonesia juga harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik yang diputuskan oleh Dewan Pers No. 03/ SK-DP/III/ 2006 yang mengandung empat asas, yakni (1) Asas Demokratis, berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan
kepentingan
publik.
(2) Asas
Profesionalitas,
wartawan Indonesia harus
menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. (3) Asas Moralitas, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan. (4) Asas Supremasi Hukum, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah. Pembahasan dan Analisis NET Citizen Journalist atau NET. CJ adalah sebuah platform media sosial jurnalisme warga milik NET TV yang dirilis sejak Mei 2013. Platform ini mejadi wadah masyarakat untuk menemukan, menonton, dan membagikan informasi yang mereka buat sendiri. Berawal dari ide yang diusung oleh CEONET TV, Wishnutama lahirlah sebuah platform media sosial jurnalis warga yang bertujuan menjebatani penonton dan media agar mereka memiliki hubungan dua arah. NET. CJ memfasilitasi interaksi antar-anggota, tidak hanya memberikan komentar, memberikan peringkat dan berbagi video, tetapi juga bergabung dalam forum diskusi. Pada awal dirintisnya platform ini belum seberkembang seperti sekarang dan masih banyak orang yang tak mengetahui program ini. Pada enam bulan pertama penanyangannya, eksistensi NET.CJ belum seperti saat ini. Pada masa yang menjadi target NET yang terpenting ada yang mengirimkan video dan ada yang bisa naik tayang di ‘NET 10’. Kemudian setelah enam bulan berjalan terjadi pergantian produser yang menjadi tonggak awal bekembangnya ‘NET CJ’. Produser ‘NET CJ’ Adrian dalam wawancaranya mengatakan bahwa ia bersama tim membentuk ulang sistem ‘NET CJ’ dari nol lagi. Berawal dari itu maka pada tahun 2014 program berita ‘NET 10’ mendapatkan hasil yang memuaskan.‘NET 10’ merupakan program berita yang memiliki share paling tinggi di NET TV pada tahun 2014. Adrian mengatakan tingginya nilai share ‘NET 10’ dikarenakan program news ini unik dan memiliki segmentasinya sendiri. Banyak CJ yang penasaran dan menunggu-nunggu video siapa yang akan tayang setiap harinya. Pada tahun 2015 member ‘NET CJ’ ditargetkan Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
299
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
mencapai angka 60.000, namun hasil yang mereka capai diluardugaan. Member ‘NET CJ’ pada tahun 2015 mencapai 92.000 member, terdapat 2000 member aktif dan 200 member yang rutin setiap harinya mengirim video ke netcj.co.id. Atas hasil yang dicapai ini bisa dikatakan ‘NET CJ’ menjadi platform video Citizen Journalist yang terintegrasi dengen televisi terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Hasil penelitian ini dimulai dari strategi redaksi dalam mengaktivasi pelibatan publik dalam program berita ‘NET 10’. Dalam melibatkan publik, redaksi memberikan kemudahan publik untuk bergabung menjadi ‘NET CJ’ dari portal http://netcj.co.id/ atau juga melalui applikasi ‘NET CJ’ dari smartphone android atau iOS. Selanjutnya dalam mengaktivasi pelibatan publik, redaksi memiliki strategi memeliharan dan mengasuh member ‘NET CJ’ agar kualitas mereka terus meningkat. Strategi jurnalis dalam mengasuh jurnalis warga dilakuakan dengan cara melibatkan jurnalis warga secara maksimal. Setiap hari rata-rata redaksi mendapatkan kurang lebih dari 200 berita dari junalis warga yang kemudian akan dipilih dan ditayangkan sekitar 20 berita setiap harinya di program ‘NET 10’. Bagi jurnalis warga yang videonya tayang di program berita ‘NET 10’ mereka akan dihubungi langsung oleh NET TV dan diberikan honorarium. NET TV telah menentukan besaran honorarium untuk berita hardnews atau feature dengan area peliputan wilayah Indonesia akan mendapat Rp250.000,-, untuk wilayah Asia akan mendapat Rp500.000-Rp750.000,-, untuk wilayah Eropa, Amerika, Afrika, dan Australia akan mendapat Rp1.000.000,-, dan bagi berita dengan katagori eksklusif akan dibayar serendah-rendahnya Rp1.000.000,-. Tak hanya itu, strategi berikutnya agar kualitas berita jurnalis warga terus terjaga, redaksi membina jurnalis warga dengan melakukan sejumlah treatment yakni panduan kepada jurnalis warga dalam membuat berita yang baik, serta bagi jurnalis warga yang beritanya tayang dalam ‘NET 10’ mereka akan selalu diberikan evaluasi oleh redaksi. Redaksi juga melakukan strategi mendidik CJ dengan membuat sebuah program jambore tiap tahunnya bersama member ‘NET CJ’ yang dinamakan dengan ‘NET CJ Camp’. Program ini dilakukan untuk mengikat tali persaudaraan ‘NET CJ’ dan juga sebagai wadah pelatihan jurnalis warga NET TV. Selain itu, NET TV juga mengadakan kunjungan ke beberapa daerah untuk mempromosikan ‘NET CJ’, serta juga medidik para jurnalis warga di daerah untuk membuat berita yang sesuai dengan standar NET TV.
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
300
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan bahwa NET.TV menggunakan proses kurasi dalam menjalankan standar news value dan news jugment berita. Dalam proses kurasi berita jurnalisme warga di NET TV menggunakan dua peran produser (‘NET CJ’ dan ‘NET 10’) yang saling berkesinambungan. Secara prinsip, proses kurasi yang dilakukan redaksi NET TVmenggunakan prinsip-prinsip tentang proses kurasi yang disampaikan oleh Mindy McAdam, meski tidak melewati urut-urutan yang sama. Mindy McAdam menyampaikan tentang proses kurasi yang terdiri dari tujuh tahap yakni menyeleksi, mengeleminasi (culling), memberikan konteks (provide context),menata (arrange), mengorganisir (organize), keahlian (expertise), dan memperbaharui (updating). Kurasi jurnalisme warga NET TV dimulai dari proses jurnalisme warga mengirimkan beritanya ke netcj.co.id. Berita yang dikirimkan ini berupa video dan juga naskah berita. Berita tersebut akan masuk ke dalam database ‘NET CJ’ yang dinamakan nsys.netcj.co.id, dari laman inilah produser ‘NET CJ’ mulai bekerja mengurasi berita kiriman dari CJ.
Gambar 1. Proses Kurasi Berita Jurnalisme Warga dalam news room NET TV, Sumber: Peneliti Tahapan pertama kurasi ‘NET CJ’ adalah pemilihan berita. Ini adalah proses dimana produser ‘NET CJ’ akan memilih berita mana yang layak masuk ke layar kaca NET TV. Bisa kita lihat, tahapan ini sama seperti konsep kurasi jurnalistik Mindy McAdam yang pertama yakni memilih perwakilan berita terbaik. Menurut Mindy berita terbaik adalah berita yang jelas kebenarannya dan sifatnya paling up-to-date. Jika kita kaji tahapan pertama ini hampir sama. Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
301
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Produser ‘NET CJ’ akan memilih berita yang menurut mereka layak tayang berdasarkan pada agle berita, momentum, keunikan dan kualitas video. Tak lupa kebenaran berita tersebut itu ada juga harus diuji terlebih dahulu. Mengedepankan kebenaran menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah elementer sebab berita adalah materi yang digunakan orang untuk memperlajari dan berpikir tentang dunia di luar diri mereka, maka kualitas terpenting berita adalah bisa digunakan dan diandalkan. Kebenaran menciptakan rasa aman yang tumbuh dari kesadaran seseorang, dan kebenaran inilah yang jadi intisari sebuah berita (Kovach & Rosenstiel, 2001: 39). Tahap kedua kuarasi berita CJ adalah tahap eleminasi berita. Berita yang tidak sesuai dengan standar NET TV akan dimusnahkan. Tahapan ini bergantung pada pertimbangan kurator atau pada kasus ini adalah produser mengeleminasi berita CJ yang menurut mereka tak sesuai dengan syarat redaksi.Tahapan ketiga kurasi berita jurnalisme warga terjadi pengalihan kurator. Posisi kurator yang tadi dipegang oleh produser ‘NET CJ’ diambil alih oleh produser ‘NET 10’ untuk diteruskan dalam program ‘NET 10’. Sedangkan produser ‘NET CJ’ tetap melanjutkan kurasi berita CJ yang sebelumnya telah dieleminasi atau gagal tayang ke televisi untuk tetap ditayangkan dalam platform netcj.co.id. Pada tahapan pengalihan ini seluruh hasil kurasi yang telah dikerjakan oleh produser ‘NET CJ’ diteruskan oleh produser ‘NET 10’. Peran produser ‘NET 10’ adalah sebagai kurator khusus berita jurnalisme warga yang akan tayang dalam ‘NET 10’. Tahapan sebelumnya yang dilakukan oleh produser ‘NET CJ’ bukanlah tahapan yang kaku, produser ‘NET 10’ juga bisa melakukan kurasi berita jurnalisme warga dari awal seperti yang dilakukan oleh produser ‘NET CJ’. Namun tindakan ini bisa dilakukan dengan alasan untuk mengurasi berita-berita khusus yang belum terkurasi oleh produser ‘NET CJ’. Tahapan keempat adalah menata dan membuat rundown berita atau agenda berita yang akan tayang para hari tersebut. Pada tahapan ini kurator akan menata berita-berita mana yang akan tayang, dan bagaimana bentuk berita yang akan ditayangkan. Tahapan
berikutnya
yang
kelima adalah verifikasi berita. Pada tahapan ini dilakukan kembali pengecekan kebenaran berita dan akurasi berita. Hal pertama yang dilakukan oleh produser adalah dengan mengeceknya melalui media massa mainstream, media online, atau mendia sosial. Jika informasi yang dicari kurang melengkapi isi berita yang dibutuhkan, produser akan menghubungi CJ untuk memastikan informasi yang ia berikan sudah cukup akurat atau tidak. Langkah terakhir jika tak Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
302
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
juga mendapatkan informasi lengkapnya, produser akan menghubungi kontributor yang berada dekat pada lokasi tersebut untuk mencari informasi lebih perihal berita tersebut. Langkah lainnya jika masih nihil informasi yang didapat, produser akan mehubungi langsung dinas terkait yang berhubungan langsung dengan berita tersebut. Dalam tahapan ini, kurator mengunakan keahliannya dalam proses memperbaiki kesalahan dalam proses pengecekan fakta dan verifikasi berita. Dalam tahapan ini terdapat salah satu elemen jurnalistik yang dikedepankan yakni intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Namun dalam bukunya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyinggung sedikit metode verifikasi dari internet. Menurutnya mereka yang mencari data melalu internet menjadi kian pasif, lebih menjadi penerima ketimbang pengumpul. Untuk melawan ini, pemahaman melawan ini, pemahaman yang lebih baik tentang makna asli objektivitas bisa membantu menempatkan berita pada pijakan yang lebih kukuh (2001: 96). Tahapan keenam adalah proses pengeditan. Pengeditan ini memiliki beberapa tahapan diantaranya pengeditan naskah, pengeditan suara, dan pengeditan gambar. Pada tahap ini kurator mengedit naskah berita CJ dengan tetap membuat berita sesuai dengan padangan jurnalis warga. Setelah naskah selesai dibuat kemudian diteruskan oleh dubber untuk dibuat voice over. Kemudian masuk ke proses editing video oleh editor didampingi dengan produser.Tahap terakhir adalah proses publikasi atau menyiarkan berita jurnalisme warga. Proses ini adalah masuk ke tahap penyiaran berita ke layar kaca ‘NET 10’. Ini adalah proses terakhir dalam produksi berita jurnalisme warga di ‘NET 10’. Pada tahapan ini proses produksi ‘NET 10’ telah selesai, tugas produser tinggal memantau proses siaran di control room. Tahapan yang dilalui dalam kurasi berita jurnalisme warga ternyata tak hanya berhenti di situ. Seperti yang sudah dipaparkan di awal, dalam proses kurasi berita jurnalisme warga di news roomNET.TV memiliki beberapa faktor lain yang memengaruhi berita jurnalisme warga di layar ‘NET 10’. Seperti dinyatakan Teori Hierarki Pengaruh Media atau Influences on Media Content dari Shoemaker & Reese, terdapat beberapa faktor yang berhubungan dalam kebijakan media mempublikasikan berita ke khalayak, diantaranya yakni faktor individual, faktor rutinitas media, faktor organisasi, faktor eksternal media, dan faktor ideologi. Faktor individual dalam penelitian ini adalah para jurnalis warga. Jurnalis warga dalam berita keberhasilan program ‘NET 10’ dan ‘NET CJ’ sangatlah berperan besar. Setiap harinya terdapat lebih kurang 200 CJ yang mengirimkan berita ke netcj.co.id. Inilah alasan mengapa peran CJ sanggat besar karena mereka yang bertugas mengisi layar kaca ‘NET 10’ dan juga web Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
303
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
‘NET CJ’. Menurut Shoemaker & Reese faktor yang paling memengaruhi sebuah produksi berita adalah berdasarkan latar pendidikan. Orang yang memiliki pengalaman dalam bidang komunikasi atau jurnalistik dianggap lebih baik dari pada orang yang memiliki latar pendidikan lainnya. Latar pendidikan jurnalistik dan personal karakter pada individu memberikan efek yang besar ketika berperan dalam organisasi media. Salah satunya dalam kasus ini latar belakang pendidikan CJ yang bermacam-macam menyebabkan berita yang mereka buat kualitasnya bermacam-macam dan cenderung dibawah standar jurnalistik. Meski semakin hari kualitas berita jurnalisme warga terus meningkat, namun ada satu hal penting yang tak semua CJ menerapkannya, yakni etika jurnalistik. Bagi orang yang berlatar pendidikan jurnalistik pastinya mereka akan mengerti tentang etika jurnalistik dibanding orang yang tidak berada pada ranah ini. Faktor media rutinitas pada penelitian ini dipegang oleh para produser yang bertanggung jawab pada penayangan berita CJ. Peran produser adalah sebagai gatekeeper untuk memfilter segala berita CJ agar sesuai dengan kode etik yang berlaku. Berdasarakan analisa peneliti, media rutinitas dalam redaksi NET TV mencoba mengembangkan eksklusifitas berita dengan menggunakan peran jurnalis warga. Menurut Shoemaker, keeksklusifitas berita bisa terus berkembang jika organisasi terus melakukan evaluasi kepada para jurnalis. Peneliti menemukan sebuah garis merah bahwa jelas NET.TV menggunakan jurnalis warga dan terus mengevaluasi kinerja mereka agar terus mendapatkan berita eksklusif dari mereka. Terlebih anggota CJ NET sekarang sudah berada di seluruh dunia, hal ini tentu menambah nilai eksklusifitas berita yang dimiliki oleh NET.TV. Faktor organisasi media dalam penelitian ini terfokus pada pengaruh pemilik media pada aktivitas keredaksian NET TV. Menurut Hadini Amalia, senior produser NET 10, sejauh ini pemilik media sering memberikan ide atau gagasan dalam keredaksian. Namun ide yang mereka berikan tidak secara mutlak harus dikerjakan, pemilik media masih memberikan kebebasan redaksi dalam memutuskan kebijakan keredaksian. Shoemaker dan Reese (1996: 257) mengatakan bahwa sikap pribadi dan nilai-nilai dari pemilik media berita dapat tercermin tidak hanya dalam editorial dan kolom tetapi juga berita dan feature. Dalam kasus ini sikap pemilik media tidak begitu terlihat sebab apa yang ada dalam pemberitaan keseluruhan masih pada batas normal dan tak terlihat adanya intervensi dari pemilik media. Peran eksternal media peneliti kaji dengan peran pengiklan dalam program ‘NET 10’. Pemimpin Redaksi NET TV Dede Apriyadi menyatakan bahwa pengiklan dan redaksi tidak Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
304
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
pernah berhubungan, begitu juga redaksi dengan pihak ketiga. Redaksi hanya bekerja mengikuti arahan dari bagian tim sales marketing dan public relation, news hanya sebagai eksekusi saja. Pada kasus ini terlihat pengiklan ternyata mempengaruhi apa yang ada dalam media konten. Menurut Soemaker dan Reese (1996: 259) semakin banyak pengiklan yang bekerjasama, maka akan semakin banyak macam konten yang media tersebut tawarkan. Sebagai contoh pada saat peneliti melakukan observasi di lapangan terdapat sebuah konten katagori tambahan yakni “Ayo Beraksi” yang berelasi dengan PMI sebagai kampanye hari donor darah nasional. NET memberikan bentuk iklan dengan mengajak pada CJ untuk membuat berita seputar aksi kemanusiaan yang nantinya akan dipilih berita terbaik dan mendapatkan hadiah. Ini adalah salah satu bentuk iklan menggunakan konten sebagai salah satu cara memasarkan iklan tersebut. Hal ini tentu terlihat sangat mempengaruhi isi konten ‘NET 10’, walau tak begitu menonjolkan iklan namun karena adanya iklan dalam sebuah konten mempengaruhi isi dari sebuah program berita. Pada peran ideologi level terlihat ideologi NET TV sangat kuat diterapkan dalam berita jurnalis warga yang dilakukan oleh gatekeeper. Kadang banyak CJ yang melenceng dari ideologi NET.TV, tetapi redaksi terus bertindak agar terus berada pada ideologi NET.TV. Menurut Shoemaker & Reese (1996: 261) ideologi sangat berperan penting untuk menjaga batasanbatasan tatanan sosial. Menurut mereka orang-orang menyimpang jika dimasukan dalam konten media akan menyebabkan dampak stereotip. Media berfungsi sebagai gatekeeper agar semua berita sesuai dengan ideologi, apalagi ideologi berita di televisi lebih dibebankan dibanding media cetak. Dalam menetapkan standar news value dan news judgment redaksi memiliki kebijakan sendiri dalam menentukan berita yang akan tayang. Dalam hal ini segala bentuk berita yang akan naik harus berdasarkan rapat perencanaan redaksi dan juga perkembangan berita di lapangan. Proses pertimbangan berita ini dibuat dari pengumpulan berita peliputan, kemudian membuat ranking materi berita berdasarkan tingkat pentingnya berdasarkan kebijakan stasiun televisi yang bersangkutan. Pada proses ini, berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa redaksi memiliki beberapa kriteria dalam memutuskan layak atau tidaknya berita berdasarkan sudut pandang, momentum, keunikan dan kualitas video. Dalam Shoemaker & Reese (1996: 106) yang bersumber dari (Baskette, Sissors, & Brooks, 1982; Dennis & Ismach, 1981) terdapat enam nilai berita terpenting yakni importance, interest, controversy, the unusual, timeliness, dan proximity. Menurutnya, hal terpenting pertama dari berita adalah seberapa banyak orang yang berdampak. Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
305
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kedua, ketertarikan manusiawi yang tidak berdampak pada dirinya sendiri seperti selebriti, politik, dan human dramas lebih menarik perhatian khalayak. Ketiga, konflik lebih terlihat menarik dibanding dengan berita positif. Keempat, sesuatu yang tak biasa dan unik juga menjadi daya tarik khalayak. Kelima, berita terbaru menjadi hal yang selalu ditunggu-tunggu oleh khalayak. Keenam, nilai berita terakhir adalah kedekatan berita dengan khalayak menjadi daya tarik penonton. Melvin Mencer (2003:68) juga menjelaskan bahwa ada delapan faktor yang kelayakan berita yakni timeliness, impact, prominence, proximity, conflict, the unusual, currency, dan necessity. Mencer juga menjelaskan bahwa berita juga harus accurate, properly attributed, complete, balanced and fair, objective, brief and focused, dan well-written.Pertimbangan pertama redaksi memilih berita yang layak untuk dinaikan dengan kriteria agle berita atau sudut pandang berita. Agle berita dalam The Oxford Pocket Dictionary (2009) adalah sudut pandang perspektif sebuah peristiwa yang membuat bernilai berita atau patut dijadikan berita. Sudut pandang menjadi garis pembatas untuk mengarahkan fakta mana yang diperlukan bagi jurnalis. Sudut pandang dalam pemilihan berita CJ sangat penting, sebab banyak berita CJ yang bertemakan sama namun hanya berita-berita yang memiliki sudut pandang paling menarik yang akan ditayangkan. Pertimbangan kedua adalah momentum berita. Waktu atau kebaruan menjadi nilai berita yang pertama. Menurut Melvin Mencer (2003: 68) media mencari dan mempertahankan khalayaknya dengan cara memberikan apa yang terbaru. Mencer (2003:68) menjelaskan bahwa media adalah perusahaan komersial yang menjual ruang dan waktu atas dasar kemampuan mereka untuk menjangkau orang-orang dengan cepat, dengan komoditi yang mudah rusak. Media elektronik sangat dituntut dalam kecepatan informasi dibandingkan dengan media cetak, sebab media elektronik memiliki waktu siar yang 24 jam, tidak seperti media cetak yang memiliki periodisasi. Mencer (2003:69) menjelaskan sisi lain yang harus kita ketahui dari nilai kebaruan berita adalah pentingnya dalam demokrasi. Masyarakat perlu tahu tentang kegiatan pejabat mereka secepat mungkin sehingga mereka dapat menilai arah di mana pemimpin mereka bergerak. Diberitahu bagaimana mereka sedang dipimpin, warga dapat bereaksi sebelum tindakan menjadi ireversibel. Dalam kasus ekstrim, masyarakat dapat melepaskan diri dari seorang pejabat korup atau tidak efisien. Dengan informasi yang cepat pemerintah juga dapat memiliki umpan balik Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
306
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
dari masyarakat dengan cepat pula. Interaksi ini adalah salah satu alasan konstitusi melindungi pers. Tanpa memberi dan mengambil ide, demokrasi tidak bisa bekerja. Selanjutnya redaksi juga mempertimbangkan berita yang sifatnya unik atau tidak biasa. Mencer (2003:72) menjelaskan peristiwa yang tidak biasa adalah peristiwa yang menyimpang tajam dari yang diharapkan, yang berangkat jauh dari pengalaman kehidupan sehari-hari membuat berita. Semakin besar suatu peristiwa terjadi maka akan semakin besar juga nilai berita yang ditimbulkan. Pada kasus ini kejadian unik atau luar biasa sering kali ditemui oleh para CJ dikarenakan letak geografis mereka yang sudah tersebar ke seluruh Indonesia, bahkan dunia. Oleh karena itu, keunikan akan sangat mudah didapatkan karena para CJ memiliki kesempatan yang sama dalam meliput berita yang unik di lokasi mereka yang berlatarkan budaya, waktu, dan musim yang berbeda. Syarat selanjutnya berita CJ layak tayang adalah dari segi kualitas video yang mereka kirimkan. Sebenarnya kualitas gambar adalah hal yang paling utama ditampilkan dalam NET TV karena televisi ini sudah mengedepankan kualitas video dengan standar high definition. Namun karena alasan terbatasnya infrastruktur contohnya seperti kualitas internet di lokasi CJ buruk sehingga sulit untuk mengirimkan video dalam kualitas baik. Dalam hal seperti ini, redaksi memiliki kebijakan lain yakni membiarkan CJ mengeksplorasi dan dengan harapan lama kelamaan kualitas video CJ akan terus meningkat. Ini adalah salah satu cara NET untuk mejaga loyalitasnya kepada para CJ-nya, namun langkah ini kurang strategis karena menurunkan proporsi dan komprehensifitas berita. Walau hal ini sifatnya subjektif, namun kedua hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas berita ‘NET CJ’. Dari hasil penelitian juga didapatkan sebuah fakta bahwa redaksi kurang apik memilih berita-berita yang memiliki nilai berita yang besar. Dari hasil observasi di lapangan terlihat redaksi masih memilih berita yang nilai beritanya kecil, bahkan tidak ada nilai kepentingannya. Shoemaker dan Resee (2001:218) menjelaskan bahwa seorang warga atau wartawan mungkin berbeda pendapat mengenai pilihan-pilihan yang mereka buat tentang apa yang penting. Namun warga bisa menerima perbedaan itu jika mereka yakin bahwa sang wartawan sedang mencoba membuat penilaian berita untuk melayani apa yang dibutuhkan dan diinginkan pembaca. Jadi langkah yang diambil oleh redaksi untuk menayangkan video-video yang dibawah standar mungkin sebuah niat baik dalam menjalankan salah satu elemen jurnalisme yakni kesetiaan
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
307
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kepada warga, namun tetap saja melanggar salah satu elemen jurnalistik yakni jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan. Berdasarkan hasil penelitian peneliti di lapangan ternyata program ‘NET 10’ memiliki lima segmen pada setiap harinya. Setiap segmen memiliki kapasitas untuk memuat berita-berita yang terdiri dari Business, Inspiring, Muslim Corner, Kids, Environment, Travelling, Public Affairs, Culinary, Sport, Moment, Unique, Culture, Hobby, Health, Entertaiment, Short Movie dan Other. Namun redaksi paling sering menaikan berita yang berdasarkan katagori Moment, Public Affair dan Travelling. Setiap katagori tersebut diletakkan pada segmennya masingmasing. Untuk berita-berita yang bersifat hardnews atau berita-berita terhangat yang ada di katagori Moment dimasukan pada segmen pertama dan kedua. Selanjutnya untuk katagori softnews atau berita ringan seperti pada katagori Public Affair dan Travelling akan dimasukkan pada segmen ketiga, keempat, dan kelima. Pembagian segmen dan katagori berita dikelompokkan seperti ini sesuai dengan fungsi utama pers. Menurut Haris Sumadiria (2011: 32) terdapat lima fungsi utama pers yang berlaku universal yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi, dan mediasi. Diletakkannya berita yang bersifat hardnews dimaksudkan untuk menjalankan fungsi pers yang pertama yakni menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat. Berita hardnews bersifat urgent atau harus cepat disebarkan oleh sebab itu berita ini diletakkan pada segmen kepertama dan kedua. Untuk segmen ketiga biasa redaksi menyisipkan berita softnews Public Affair yang bertujuan untuk wadah koreksi, edukasi dan mediasi. Pers adalah pilar demokrasi yang berfungsi untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan pemerintah, selain itu juga pers juga berfungsi sebagai edukator dan fasilitator. Pada segmen keempat dan kelima diletakkan berita-berita yang sifatnya ringan seperti travelling, hal ini dimaksudkan untuk menjalankan fungsi rekreasi yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. ‘NET 10’ pada hari selasa hingga jumat memiliki sebuah segmen khusus yang berisi modul. Modul adalah berita khas komprehensif yang mengisi satu segmen, biasa diletakkan pada segmen keempat. Modul dikerjakan oleh reporter dan video journalist ‘NET 10’, setiap harinya mereka pergi ke lapangan untuk membuat berita khas ini. Modul di ‘NET 10’ selalu memiliki tema yang berbeda-beda setiap harinya yakni pada hari selasa modul bertemakan public affair, pada hari rabu bertemakan beauty, pada hari kamis bertemakan food hunter, dan pada hari jumat bertemakan public affair. Keberadaan modul secara langsung mengakibatkan berkurangnya Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
308
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
berita CJ yang tayang. Tetapi menurut Dini, keberadaan modul memiliki tujuan untuk mengedukasi para CJ agar membuat berita yang lebih bagus lagi. Kebijakan redaksi jika dikaji dalam Sembilan Elemen Jurnalistik oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang berisi prinsip–prinsip yang diharapkan dapat diterapkan oleh wartawan untuk mewujudkan tujuan utama jurnalisme, terlihat ada beberapa kebijakan redaksi yang mengedepankan prinsip jurnalistik tersebut pada berita jurnalisme warga. Seperti poin pertama dalam elemen junalistik yang menjelaskan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Pada proses kurasi sudah terlihat jelas redaksi melakukan proses kurasi yang cukup matang agar berita yang disebarkan benar-benar akurat tanpa merusak kebenaran. Hal ini penting karena menurut Shoemaker dan Reese (2001: 39) berita adalah materi yang digunakan orang untuk mempelajari dan berpikir tentang dunia luar diri mereka, maka kualitas terpenting berita adalah bisa digunakan dan diandalkan. Kebenaran jurnalistik adalah lebih dri sekedar akurasi. Pencarian kebenaran dilakukan dengan pekerjaan menyortir informasi yang berkembang antara cerita pertama dan interaksinya di tengah publik, pembuat cerita, dan wartawan sepanjang waktu. Akurasi berita bukan satu-satunya ujian bagi ihwal kebenaran, terdapat dua langkah lainnya menurut para filsuf yakni kesesuaian dan konsistensi yang masuk akal. Jack Fuller dalam (Shoemaker & Reese, 2001: 46) menjelaskan bahwa hal ini diterjemahkan menjadi memberitakan fakta tanpa melenceng dan membuat fakta itu masuk akal. Fuller mengatakan konsistensi yang masuk akan menjadi ujian tertinggi bagi kebenaran jurnalistik. Prinsip jurnalistik yang kedua ialah loyalitas pertama jurnalisme kepada warga. Bisa dilihat jurnalis warga bekerja menurut keyakinanannya sebagai warga, maka sudah jelas jurnalis warga bertujuan untuk mengedepankan loyalitas kepada warga sebab jurnalis warga bukanlah seorang wartawan yang bekerja untuk media, jurnalis warga bekerja bebas dan tak berada pada kendali manapun. Prisip ketiga adalah intisari jurnalisme pada disiplin verifikasi. Seperti yang sudah peneliti jelaskan pada proses kurasi berita jurnalis warga yang dilakukan dalam redaksi NET TV memiliki tahapan verifikasi yang cukup melibatkan banyak pihak. Dalam tahapan verifikasi yang terdapat dalam kurasi berita membutuhkan peran produser ‘NET CJ’ dan juga produser ‘NET 10’. Verifikasi dalam jurnalisme warga adalah sebuah kewajiban sebelum berita tersebut tayang ke televisi. Sama halnya dengan prisip kebenaran berita, verifikasi menjadi langkah untuk membuktikan sebuah kebenaran berita. Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
309
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Prisip keempat adalah para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Jurnalis warga juga harus menjaga independensinya terhadap suber berita. Redaksi mengaku banyak jurnalis warga yang meliput berita dikarenakan memiliki hubungan dengan narasumbernya. Namun menurut Hadini itu bukan masalah, hal terpenting mereka tidak memihak. Prinsip kelima adalah jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. Dalam ‘NET CJ’ terdapat katagori Public Affair yang berita-beritanya berfungsi sebagai pemantau pemerintah. Menurut Thomas Herda, katagori public affair ini berguna sebagai kritik pemerintah agar segala hak waga negara terpenuhi dan menjadi Indonesia yang lebih baik. Prinsip keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Jurnalis warga NET.TV juga membuat wadah ruang publik untuk kritikan dan juga dukungan warga. Melalui netcj.co.id memungkinkan semua warga dapat berkomentar dan berdiskusi dalam forum, tak hanya itu jurnalis warga juga bisa berkomentar melalui sosial media ‘NET CJ’. Prinsip ketujuh jurnalis warga harus berupaya membuat hal penting, menarik dan relevan. NET terus berupaya agar berita jurnalisme warga yang disajikan memiliki nilai berita yang besar, untuk itu dalam rundown berita setiap harinya disajikan berita-berita yang berbentuk hardnews dan juga terbaru, sayang redaksi masih sering menampilkan berita-berita yang kurang menarik dengan alasan mengedepankan loyalitas kepada jurnalis warga.Prinsip kedelapan jurnalis harus menjaga agar berita komprehensif dan porposional. Redaksi NET selalu berusaha membuat berita menjadi koprehensif dan proposional salah satunya dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Redaksi tidak akan menaikan berita yang berpihak dan tidak porposional. Berita yang naik tayang juga harus mengikuti etika. Kadang CJ mengirimkan berita yang belum mengikuti etika jurnalistik seperti pada saat peneliti berada di lapangan, terdapat sebuah berita yang memperlihatkan darah. Pertimbangan redaksi pada saat itu adalah dengan memverifikasi kebenaran gambar darah itu dan dari mana darah tersebut, setelah selesai terverifikasi gambar darah tersebut masuk ke proses editing dan baru bisa tayang dalam ‘NET 10’. Prinsip kesembilan jurnalis harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka. Pada berita jurnalis warga dibebaskan kepada warga untuk mengambil sudut pandang dari kacamata mereka sendiri. Berita jurnalis warga selalu dibuat agar sesuai dengan frame warga yang berasal dari hati nurani mereka. Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
310
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Sebagian elemen jurnalisme dari Bill Kovach & Tom Rosenstiel telah berhasil dijalankan oleh jurnalisme warga NET TV. Tentunya elemen ini harus terus dijaga oleh redaksi dalam mengurasi berita yang dikirimkan oleh para CJ. Peran redaksi sangat penting menjadi penyaring informasi yang akan dibagikan oleh khalayak. Peneliti menilai redaksi juga telah baik dalam menjalankan Kode Etik Jurnalistik terlihat dari belum adanya teguran dari regulator selama penyiaran berita ‘NET 10’ berjalan. Peneliti menggap peranan redaksi sangat penting dalam menjalankan etika jurnalistik karena hampir semua berita jurnalisme warga jika tidak dikurasi oleh redaksi hasilnya tidak akan mengikuti pedoman Kode Etik Jurnalistik. Fungsi produser ini sebagai kurator berita dan sebagai gatekeeper berita. Pekerjaan gatekeeper pada berita jurnalisme warga tak semudah menjadi gatekeeper pada berita yang berasal dari wartawan profesional. Langkah-langkah kurasi diperlukan agar tahapan dalam memilih, memfilter, dan memverifikasi berita berjalan dengan semestinya dan tak ada yang terlewat. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa sesuai dengan salah satu misi utama terbentuknya program ‘NET CJ’, redaksi ingin memberikan wadah untuk menampung aspirasi jurnalis warga di media massa. Redaksi berusaha menjadi jembatan agar penonton tidak lagi pasif dan bisa memanfaatkan wadah ini sebagai bentuk ruang publik pada media massa televisi. Kritik sosial yang disampaikan oleh jurnalis warga adalah sebuah gerakan kepada pemerintah. Langkah yang dilakukan oleh jurnalis warga dinilai dapat mendorong pemerintah untuk membangun daerahnya.Salah satu usaha NET untuk memberikan wadah ruang publik menjadi kritik pemerintah adalah dengan membuat katagori berita public affair. Katagori berita ini berfungsi untuk melaporkan aspirasi dan kritik mengenai kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimaksud seperti fasilitas publik, infrastruktur publik, kepentingan publik, dan segala hal yang menyangkut kepentingan publik. Katagori ini bukan hanya berfungsi untuk melaporkan hal-hal yang negatif, tetapi juga menampung hal-hal positif. NET memberikan fasilitas kepada jurnalis warga untuk memberikan aspirasinya kepada pemerintah setempat melalui wadah ‘NET CJ’ dan ‘NET 10’. Menurut Habermas, Public sphere yang ideal harus menjamin terjadinya diskursus nasional untuk mencapai konsensus publik yang sah. Apalagi ketika media menjalankan fungsi idioligisnya yang menentukan kepentingan apa, masalah siapa, perspektif mana yang akan diakses ke dalam media mereka (ruang publik media).
Hal lain yang perlu dikaji adalah
mengkaji sejauh mana diskursus publik yang ditampilkan melalui pencarian rekonsiliasi, atau Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
311
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
konsensus, terbebas dari distorsi, irrasionalitas, primordialisme dan sebagainya, ataupun distorsi rasionalitas permainan politik dan ekonomi (Kadarsih, 2008: 3). Untuk mewujudkan tujuan ini, NET membuat sebuah program kerjasama dengan pemerintah untuk menjamin diskursus nasional untuk mencapai konsensus publik yang sah dengan cara menjadi jembatan antara jurnalis warga dan pemerintah. Menurut Thomas program ini sudah berjalan lama, bahkan Ridwan Kamil, Walikota Bandung sudah memiliki video promo untuk warga Bandung yang punya keluhan atau lainnya untuk mengirimkan keluhannya ke ‘NET CJ’, nanti keluhan tersebut akan dijawab oleh Kang Emil. Tak hanya Ridwan Kamil, terdapat beberapa video promo dari pemimpin daerah lainnya seperti Wakil Gubernur DKI, Djarot Saiful Hidayat, Walikota Bogor, Bima Arya, dan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Sayangnya program ini belum begitu maksimal, program hanya berlaku pada instansi pemerintah yang telah bekerjasama dengan NET TV. Instansi daerah yang belum bekerjasama dengan NET menjadi penghambat mutu pelayanan publik untuk menjadi maksimal. Kerjasama dengan pemerintah juga tak lupa dengan menjalankan fungsi kontrol. Bagi masyarakat yang telah mengirimkan keluhannya ke ‘NET CJ’, kemudian dipublikasikan ke ‘NET 10’, maka CJ dapat memberitakan kembali berita tersebut apakah pemerintah telah melakukan tindakan atau belum. Dengan usaha diskursus nasional ini diharapkan dapat mencapai konsensus publik yang diharapkan oleh masyarakat dalam mengaspirasikan opini publiknya. Media massa harus memiliki kemandirian serta bebas dari pengaruh dan dominasi kelompokkelompok yang ada dalam publik, kepentingan negara serta tekanan pasar. Dalam analisis ini akan dikaji sejauh mana dirkursus publik yang ditampilkan melalui konsesus terbebas dari distorsi irrasionalitas, primodrialisme ataupun distorsi rasionalitas permainan politik dan ekonomi. Menurut Mc Nair dalam Kadarsih (2008:10), fungsi ideal yang harus dijalankan media komunikasi dalam mendukung demokrasi, yakni: (1) Menginformasikan pada warga negara apa yang tengah terjadi di sekitar mereka; (2) Mengedukasi makna dan signifikasi sebuah fakta dengan menjaga objektifitas; (3) Memberikan platform bagi diskusi publik mengenai politik, memfasilitasi terbentuknya opini publik, dan mengembalikan opini itu ke publik kapanpun; (4) Pers harus bisa menjalankan fungsinya sebagai penjaga. (5) Media sebagai saluran advokasi bagi beragam pandangan politik.Menurut Mc Nair jika hal tersebut dapat diwujudkan niscaya ruang publik akan terlindungi dari intervensi ataupun pasar sehingga akses ke kawasan ruang publik Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
312
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
akan terbuka lebar bagi semua masyarakat dan tidak ada pengistimewaan untuk pihak-pihak tertentu. Temuan penelitian menunjukkan bahwa redaksi NET TV melalui standar kebijakan dan proses produksi acara ‘NET 10’ telah berupaya menjalankan fungsi ideal dalam demokrasi tersebut. Namun ada hal lain di luar lima fungsi tersebut yang mempengaruhi kebijakan media dalam memanfaatkan ruang publik, yaitu peran ekonomi politik media.Vincent Mosco (1998) mendefinisikan pendekatan ekonomi politik pada media, salah satunya disebut dengan komodifikasi. Kegiatan komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai guna menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Secara mendasar, NET TV sebagai media sesungguhnya menggunakan program berita ‘NET 10’ sebagai bagian dari kepentingan bisnisnya. Komodifikasi berlangsung melalui strategi menarik publik untuk berperan serta ikut memberikan berita jurnalis warga yang berfungsi sebagai opini publik. Program ini disukai masyarakat sehingga memiliki nilai rating yang tinggi. Pada tahun 2014 dan 2015 program ini menjadi program berita dengan nilai share paling tinggi dibanding program berita lain di NET TV. Karena hal ini NET TV mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari pengiklan melalui program ‘NET 10’. Sebelumnya pada tahun 2013 ketika ‘NET 10’ belum mendapatkan share tinggi seperti sekarang, program ini belum begitu menjalankan fungsinya sebagai wadah ruang publik. Pada saat itu redaksi belum berperan aktif sebagai jembatan antara warga dan pemerintah dalam menyambungkan kritikannya seperti hari ini. Jadi, bisa dikatakan berkembangnya peran NET TV sebagai wadah opini publik berkaitan dengan strategi ekonomi politik media melalui cara membangun daya tarik melalui ajakan terhadap publik untuk berpartisipasi dalam proses demokratisasi melalui program citizen journalist. Untuk meningkatkan kredibilitas, program ini dikelola dengan standar kerja jurnalistik yang baik melalui keterlibatan redaksi sebagai jembatan antar warga dan pemerintah. Strategi membangun kredibilitas melalui peran redaksi sebagai jembatan ini sukses, dibuktikan melalui peningkatan perolehan share penonton. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal mengenai Aktivasi keterlibatan publik sebagai jurnalis warga dalam program ‘NET 10’:
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
313
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
1. Strategi NET dalam pengelolaan publik pada program berita ‘NET 10’ dilakukan sebagai berikut: (a) NET TV memberikan kemudahan bagi warga yang ingin bergabung menjadi jurnalisme warga melalui platfom netcj.co.id atau dengan aplikasi ‘NET CJ’ di smartphone. (b) NET TV terus membuat kampaye setiap bulannya untuk meningkatkan jumalah member ‘NET CJ’. (c) NET TV mengasuh jurnalis warga dengan cara menjalin hubungan erat dan juga memberikan evaluasi di setiap hasil kerja mereka. (d) NET TV memberikan reward bagi jurnalis warga yang videonya berhasil tayang di ‘NET 10’. (e) NET TV mendidik CJ dalam membuat berita jurnalisme warga dengan cara membuat panduan bagi jurnalis warga dan mengadakan pelatihan. 2. Berita yang memenuhi kriteria news value dan news judment Net 10 adalah berita dengan sudut pandang yang menarik, mengandung momentum kejadian unik, dengan kualitas video high definition (HD). Agarstandar news value,news judgement, serta etika produk jurnalis warga terjaga, redaksi melakukan kurasi berita jurnalisme warga. Sesekali berita jurnalisme warga yang tidak sesuai dengan pertimbangan tersebut juga bisa tayang dengan alasan menjaga loyalitas kepada jurnalisme warga. Pengecualian ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola ‘NET 10’ untuk menjaga kepentingan minat warga yang berkaitan dengan kepentingan bisnis media serta menjaga kualitas produk jurnalismenya. 3. Program berita ‘NET 10’ yang berisi berita jurnalisme warga berfungsi sebagai wadah opini publik. Redaksi berperan sebagai katalisator opini dari warga kepada pemerintah. NET TV sebagai sebuah televisi nasional berhasil menjadi sarana publisitas kritis dalam mengedepankan demokrasi bangsa, meski memang belum mencapai dirkursus yang maksimal yaitu pada tahap tercapainya konsesus publik. Selain itu, kebijakan redaksi dalam mengedepankan fungsi ruang publik masih dipengaruhi oleh ekonomi politik media. Secara praktis, penelitian ini menyampaikan beberapa saran untuk melengkapi dan meningkatkan kualitas produk jurnalisme, yaitu : redaksi dapat membuat standar berita jurnalis warga yang tayang ke ‘NET 10’ agar berita yang ditampilkan di televisi tetap proporsional dan komprehensif; meningkatkan kecermatandalam mengurasi berita agar tetap mengikuti kode etik jurnalistik.Jurnalis warga dalam ‘NET 10’ merupakan salah satu faktor pendorong keberhasilan konsensus publik. Untuk itu, NET TV dapat membina kerjasama lebih luas lagi khususnya dengan berbagai aparatur pemerintahan di Indonesia, untuk Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
314
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
meningkatkan kualitas wadah publisitas kritis hingga tahap terciptanya konsensus publik. Fenomena menarik lainnya dalam jurnalisme warga di NET TV adalah terbentuknya komunitas ‘NET CJ’ di setiap daerah dan sejauh mana keberhasilan program konsesus publik pada berita kritik sosial di ‘NET 10’ pada tingkat pemerintah daerah maupun pusat. Untuk itu secara akademik, dapat dilakukan penelitian lanjutan tentang dua topik tersebut.
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
315
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. 2005. Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publication. Gilmor, Dan. 2004. We The Media: Grassroots Journalism by The People, for The People. CA: O’Reilly Media. Kovach, Bill and Rosentiel. Tom (2001). The Elements of Journalism. New York: Three rivers Press. Liu, Zheng. 2007. Propaganda, Grassroots Power, or Online Public Sphere? A Study of the Weblog for the NPC and the CPPCC Session in China. London: Media @LSE, Electronic MSc Dissertation Series. McAdam, Mindy. 2008. Curation and Journalist as Curator. http://mindymcadams.com/tojou/2008/curation-and-journalists-as-curators/ (12/5/2016). Mencher, Melvin. 2003 News Reporting and Writing (9th edition). New York. McGraw Hill. Book. Morissan, M.A. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Moscow, Vincent. 1998. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. University of Winconsin Press. Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber (Cibermedia). Jakarta: Kencana Ristiana Kadarsih. 2008. Demokrasi dalam Ruang Publik. JURNAL DAKWAH, Vol. IX No. 1. Schneider, Steven Michael. 1997. Expanding the Public Sphere through Computer-Mediated Communication: Political Discussion about Abortion in a Usenet Newsgroup. Cambridge, MA: Massachusetts Institute of Technology. Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (1996). Mediating the message:Theories of influences on mass media content (2nd ed.). White Plains, N.Y.: Longman. Stake, Robert E. 2005. “Qualitative Case Studies”. In Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publication. Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
316
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Stanoevska-Slabeva, Katarina, Vittoria Sacco, and Marco Giardina. "Content Curation: a new form of gatewatching for social media." Proceedings of the 12th International Symposium on Online Journalism. 2012. Sumadiria, As.Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya Bandung.
Dinar Safa Anggraeni, Siti Karlinah, Pandan Yudhapramesti, Aktivasi Publik dalam Program Berita ‘NET 10’ /04/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
317
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan Drina Intyaswati, Mansur FISIP UPN “Veteran” Jakarta nanazain@gmail.com Abstract The mass media bring news about the various issues that arise in the community, including those related to communication styles of President Jokowi in communicating policies. The last case, in which ministers make "political noise" that attacked each other in front of the public, many people questioned about coordination between Jokowi and his officials. Furthermore, researchers set problems taken in the study, 1) How is the characteristic of Jokowi’s communication style in communicating policies 2) How is the communication competencies possessed by Jokowi?. Research using qualitative research methods with a macrostruktural discourse analysis approach. The population are news about communications by President Jokowi, where the medium used is the online media. Online media selected in sampling are News.detik.com and Kompas.com which is the most popular news providers (version ALEXA per February 18, 2015). The results showed that the characteristic of Jokowi’s communication style in communicating policies in general is controlling style, although in some situations also use communication styles in accordance with existing conditions. Based on an analysis of the communication’s Jokowi in communicating policies, Jokowi’s communication competence covering aspects of commitment and confidence, empathy, flexibility, senstivity of consequences, and proficiency. Keywords: Communication Style, Jokowi, Discourse Analysis, Communication Competence Abstraksi Media massa memunculkan berita tentang berbagai isu yang timbul dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan gaya komunikasi Presiden Jokowi dalam pengambilan kebijakannya. Kasus terdahulu, dimana para menterinya membuat “gaduh politik” yang saling menyerang di didepan publik, membuat banyak kalangan mempertanyakan koordinasi komunikasi Jokowi beserta jajarannya. Selanjutnya peneliti menetapkan permasalahan yang diambil dalam penelitian, yaitu : 1) Bagaimana karakteristik gaya komunikasi Jokowi dalam pengambilan kebijakannya 2) Bagaimana kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh Jokowi ?. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis wacana makrostruktural. Populasi dalam penelitian ini adalah berita- berita tentang komunikasi yang dilakukan Presiden Jokowi, dimana media yang digunakan adalah mediaonline. Media online terpilih dalam pengambilan sampel adalah News.detik.com dan Kompas.com yang merupakan penyedia berita terpopuler (versi ALEXA per 18 Februari 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik gaya komunikasi Jokowi dalam pengambilan kebijakan secara umum adalah gaya mengendalikan (controlling style).Berdasar analisis terhadap komunikasi Jokowi dalam Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
318
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
menyampaikan kebijakannya, Jokowi memiliki kompetensi komunikasi yang meliputi aspek komitmen dan keyakinan, empati, fleksibilitas, sensibilitas konsekuensi, dan kecakapan. Kata Kunci: Gaya Komunikasi, Jokowi, Analisis Wacana, Kompetensi Komunikasi. Submite Review Accepted
: 20 Jan 2017 : 20 April 2017 : 30 Mei 2017
Surel Corespondensi : winda86@gmail.com Pendahuluan Komunikasi terjadi jika seeorang (komunikan) mendapatkan pesan atau informasi yang dilakukan oleh individu yang lain sedemikian hingga tingkah laku komunikan menjadi terpengaruh oleh stimulus atau rangsangan yang diterimanya. Komunikasi dapat dilakukan melalui media yang berbeda-beda. Komunikasi sendiri terdiri dari komunikasi verbal yang berupa tulisan dan lisan, serta komunikasi nonverbal, yaituterjadinya pertukaran pesan yang tanpa menggunakan lisan atau ucapan, layaknya komunikasi yang memakai gerakan badan, sikap tubuh, vokal yang tidak memiliki makna yang umum, tatapan mata, tampilan muka, dan faktor posisi. Dengan bahasa yang lain dapat dikatakan konteks yang ada di sekitar komunikasi yang tidak ada relevansinya dengan apa yang disampaikan melalui kata-kata maupun tulisan. Saat ini di berbagai media massa muncul berita tentang bagaimana berbagai isu timbul yang berhubungan dengan gaya komunikasi Presiden Jokowi dalam pengambilan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri ataupun luar negeri, karena tampak ketidakharmonisan komunikasi khususnya dalam kabinet Presiden Jokowi. Banyak pihak yang mengemukakan pendapat bagaimana seharusnya Jokowi bersikap dalam komunikasinya. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa orang memiliki perbedaan dalam gaya komunikasi dipengaruhi oleh budaya yang berbeda (Sanchez-Burks et al., 2003). Indonesia sendiri terdiri dari beragam suku, di mana juga akan mempengaruhi gaya komunikasi seseorang. Berdasarkan perbedaan budaya ada istilah low-context dan high-context. Pesan eksplisit digunakan oleh orang-orang dari budaya dengan konteks rendah, mereka kurang memperhatikan informasi yang melatarbelakangi komunikasi (kontekstual), sementara orang-orang dari budaya konteks tinggi tidak bergantung pada informasi langsung dan lebih memperhatikan informasi kontekstual (Hall, 1990) . Gaya komunikasi sering menggunakan dimensi eksplisit dan implisit, yang menggambarkan bagaimana pembicara mengungkapkan niat mereka melalui pesan Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
319
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
eksplisit atau pesan langsung. Gaya komunikasi yang eksplisit adalah orang yang berbicara langsung menyatakan perasaan, niat, dan keinginannya, sedangkan gaya komunikasi implisit adalah orang yang berbicara secara lisan dengan kamuflase dan menyembunyikan niat sejatinya (Gudykunst et al., 1988).Domain kompetensi komunikasi berada dalam kognitif manusia, namun muncul dalam keterampilan seseorang dalam ekspresi komunikasi verbal dan nonverbal, dan proses produk kognitif manusia ditunjukkan melalui penggunaan keterampilan ini. Mekanisme pemrosesan internal pesan komunikasi terjadi dalam kecerdasan kognitif sementara domain kognitif mencakup perilaku komunikatif. Sebuah studi tentang kompetensi komunikasi oleh Choon (2004) menemukan bahwa kompetensi komunikasi memiliki tiga dimensi: kepercayaan diri, citra diri, dan rasa hormatrelasional. Selanjutnya Lailawati (2006) yang melihat gaya komunikasi orang Melayu berpendapat bahwa bagi orang Melayu Malaysia, agama yang mereka anut akan membentuk komunikasi mereka. Asma (1996) sebelumnya merekomendasikan bahwa para pemimpin Melayu diharapkan dapat menjadi teladan perilaku mereka berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya bawahan mereka, dalam upaya untuk memenangkan hati dan pikiran mereka. Dapat dikatakan bahwa kelayakan kompetensi komunikasi berdasar pada kontekstual, situasional, dan batasan budaya. Masalah perilaku komunikatif yang tepat berbeda dari satu situasi dan situasi lainnya. Namun, seberapa baik seseorang dapat menggunakan kemampuan dalam konteks atau situasi yang berbeda akan mempengaruhi perilaku yang sesuai. Saat ini dalam media massa muncul kabar tentang bagaimana berbagai isu yang diangkat terkait dengan gaya komunikasi Presiden Jokowi dalam pembuatan kebijakan, baik dalam kebijakan dalam negeri maupun luar negeri, karena terlihat komunikasi tidak harmonis terutama di kabinet Presiden Jokowi. Banyak dari mereka yang menyatakan pendapatnya bagaimana Jokowi harus bersikap dalam komunikasinya. Berdasar pada berita – berita yang muncul maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah ; (1) bagaimana karakteristik gaya komunikasi Presiden Jokowi dalam pengambilan. (2) bagaimana kompetensi komunikasi yang dimilki Presiden Jokowi. Dengan dilakukanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana karakteristik gaya komunikasi Presiden Jokowi dalam mengkomunikasikan kebijakannya, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri, serta mengetahui bagaimana kompetensi komunikasinya. Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
320
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Dalam cara berpikir yang kritis pemahaman tentang wacana adalah bagaimana bahasa digunakan dalam praktek sosial. Pemahaman wacana harus dipahami sebagai satu kesatuan dari tiga dimensi yang membahas tentang wacana itu sendiri; wacana, teks, dan praktek sosial kultural (Jufri,2008:22). Dimensi teks meliputi bahasa lisan dan tulisan, dimensi praktek wacana berhubungan dengan bagaimana memproduksi dan intepretasi teks, dan dimensi praktek sosial kultural berkaitan dengan perubahan aspek sosial kemasyarakatan, kelembagaan, dan sistem budaya yang berlaku, ketiga hal tersebut turut memberikan arah bagaimana bentuk dan pemaknaan dari suatu wacana.Analisis wacana itu mengkaji hubungan bahasa dengan kontekspenggunaannya. Untuk memahami sebuah wacana perlu diperhatikan semuaunsur yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut. (Arifin & Rani, 2000 : 14). Secara makrostruktural, analisis wacana lebih menekankan pada gambaran umum darisusunan wacana itu secara global untuk memahami teks secara keseluruhan.Disamping memperhatikan keterkaitan antarepisode dan paragraf, jugadipertimbangkan bagaimanan latar belakang dan pandangan kedepannya. Pendekatan makrostruktural mencakup konteks, leksis, dan struktur tekstual,yang dimaksudkan konteks secara makrostrukturaladalah konteks situasi dan budaya (Sumarlam, 2003 : 195). Metode dan Kajian Pustaka Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis wacana makrostruktural. Populasi dalam penelitian ini adalah berita- berita tentang komunikasi yang dilakukan Presiden Jokowi baik yang menyangkut kebijakan dalam negeri maupun luar negeri, dimana media yang digunakan adalah media online. Pengambilan sampel menggunakan metode judgement sampling, dengan sampel terpilih yaitu berita yang diambil dari News.detik.com dan Kompas.com yang merupakan dua peringkat pertama penyedia berita terpopuler (versi ALEXA per 18 Februari 2015). Pengambilan data dilakukan selama JanuariFebruari 2017. Gaya Komunikasi Gaya komunikasi (communication style) dapat dipahami sebagai serangkaian dari bagaimana seseorang berperilaku dengan orang lain yang terspesialisasi digunakan dalamsuatu situasi tertentu. Gaya dapat dipahami sebagai penggunaan kata-kata atau verbal maupun nonverbal yang dapat berupa bahasa tubuh, vokalik, penggunaan ruang, penggunaan waktu dan Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
321
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
jarak (Widjaja,2000: 57). Sedangkan gaya Komunikasi yang akan kita jadikan acuhan dalampenelitian ini adalah sebagai berikut (Hariyana, 2009:14-18) : 1) The Controlling Style, komunikatormemiliki kecenderungan berkomunikasi dengan sifat mengendalikan, dengan maksud untuk mengatur pikiran, tangggapan, dan perilaku orang lain. 2) The Equalitarian Style, komunikator berkomunikasi secara terbuka sehingga terjadi interaksi dua arah antara pengirim dan penerima pesan, gaya komunikasi ini ditandai adanya landasan kesamaan. 3) The Structuring Style,komunikator menyampaikan pesan dengan maksud sesuatu yang sudah terstruktur bisa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada. 4) The Dynamic Style, komunikator menyampaikan pesan agar sesuatu hal bisa dikerjakan lebih efektif dan cepat. 5) The Relinguishing Style, komunikator menyampaikan pesan kepada penerima pesan yang memiliki pengetahuan yang luas sehingga komunikator bisa menerima gagasan atau umpan balik yang diterima. 6) The Withdrawal Style, komunikator memiliki masalah atau kesulitan dalam berkomunikasi antar pribadi, sehingga cenderung tidak mau untuk berkomunikasi. Kompetensi Komunikasi Kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seseorang dalam menyampaikan pesan dan menunjukkan bagaimanan tujuan akan dicapai,dimana komunikasi tersebut disampaikan kepada khalayak (Rowley, 1999). Komunikator berusahamenselaraskankan komunikasi yang terjadi sehingga mendapatkaninteraksi komunikasi yang produktif, mulus, dan akan menyenangkan. Kompetensi ini merupakan kemampuan dan cara bersikap yang perlu dimiliki, meliputi: (1) Keyakinan serta komitmen (Good faith and commitment), (2) Empathy: kemampuan yang dimiliki untuk dapat memahami situasi dari cara pandang orang lain. (3) Flexibility: kemampuan komunikator untuk menyesuaikan danmengembangkan berbagai kemampuan komunikasi. (4)
Sensitivitas
untuk
konsekuensi :
pemilihan komunikasi
kemungkinan memberikan keberhasilanpada suatu kondisi tertentu dan ketidakberhasilan dalam kondisi yang berbeda. Berdasar penelitian sebelumnya, kompetensi komunikasi akan mendapatkan kecakapan yang lebih baikjika dapat menangani gangguan yang ada dengan menggunakan bermacam keterampilan mengatasi situasi yang rumit. (5) Adeptness: dengan pengalaman yang kita miliki, kita akan lebih memilki kecakapan. Efektifitas komunikasi sebagian dihubungkan dengan bagaimana kita
meresponnya
secara spontan.
Dapat
Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
322
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
mengintegrasikan pilihan-kata, waktu, ritma, dan penekanan dengan baik dan dilakukan secara natural, maka keterampilan komunikasi akan didapatkan. Komunikasi Internasional Komunikasi internasional merupakan bidang ilmu yang memfokuskan kajiannya pada proses aliran informasi dan data secara keseluruhan yang melintasi batas antar negara. Yang menjadi kajian telaah tidak hanya arus informasi dan data, juga melihat bagaimana struktur arus yang dihasilkan, personal yang ikut di dalamnya, penggunaan sarana, efek yang terjadi, serta dasar motivasi yang menjadi acuan. Pendekatannya bersifat makro, dengan unit analisanya adalah aktor-aktor yang bersifat non-individual, dan kajiannya berkaitan dengan wilayah kajian ilmu hubungan internasional dan juga ilmuekonomi politik internasional. Kajian komunikasi internasional lebih melihat interaksi dipengaruhi oleh kepentingan negara yang melahirkan kebijaksanaan untuk memenuhi kepentingan tersebut. Selanjutnya bentuk komunikasi yang dilakukan antar bangsa lebih mengarah kepada hubungan yang bersifat politik yang nantinya dikembangkan ke hubungan di bidang lainnya. Mengkaji komunikasi internasional dapat dimudahkan dengan membaginya dalam tiga perspektif yaitu perspektif, jurnalistik, diplomatik, dan propagandistik. Pembahasan dan Analisis Berdasar analisis berita-berita tentang Jokowi di News.detik.com dan Kompas.com diperoleh hasil sebagai berikut : 1) Isu Status hukum Ahok Berdasar berita detikNews selasa 14 Februari 2017 dengan judul “Jokowi Perintahkan Mendagri Konsultasi ke MA Soal Status Ahok�. "Oleh Pak Jokowi (Mendagri) diperintah untuk konsultasi ke MA. Besok pagi pak Menteri akan konsultasi dengan MA sebelum menghadiri ratas dengan presiden RI," kata Kapuspen Kemendagri, Dodi Riyatmadji. Dalam berita ini tidak dicantumkan pernyataan Jokowi secara langsung. 2) Isu penyadapan telepon SBY Berdasar berita detikNews rabu 1 Februari 2017 dengan judul �Seskab: Pemerintah Tak Pernah Instruksikan Penyadapan SBY�, pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi melalui Sekretaris kabinet Pramono Anung menyatakan, bahwa yang jelas dalam isu tersebut tidak pernah ada Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
323
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
instruksi atau permintaan penyadapan yang ditujukan kepada SBY. Topik kasus ini juga diangkat oleh kompas.com pada tanggal 9 Februari 2017 dengan judul “SBY Bertanya, Jokowi Menjawab...”. Jokowi di sela sela perjalanannya di pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi masyarakat di Kota Ambon sempat memberi pernyataan dengan sambil bergurau, menurut Jokowi semua sekarang ditanyakan kepada Kapolri dan Presiden. Begitu banyak pertanyaan yang menyangkut segala hal. Selanjutnya Jokowi mempertanyakan kepada siapa dia bisa bertanya. Pernyataan lanjutannya, Jokowimenyatakan akan lebih baik jika hal-hal yang berhubungan dengan masalah negara di bicarakan atau dimusyawarahkan dalam forum tertentu yang kemudian dicarikan penyelesaiannya dan masyarakat mengetahui hasilnya, cara seperti itu akan lebih baik. 3) Isu tertangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi oleh KPK Berdasar berita detikNews selasa 31 Januari 2017 dengan judul “Jokowi Ingin Pansel MK Terbuka agar Kasus Patrialis Tak Terulang” , Sekretaris kabinet Pramono Anung atas nama pemerintah menyatakan bahwa Presiden Jokowi ingin agar proses pemilihan hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar, yang tertangkap tangan oleh KPK, dilakukan secara terbuka. Topik kasus ini juga diangkat oleh kompas.com pada tanggal 28 Januari 2017 dengan judul yang agak provokatif yang dipilih oleh penulis “Tidak seperti SBY, Ini Cara Jokowi Angkat Hakim MK Pengganti Patrialis”. Penulis juga menambahkan bahwa pengangkatan Patrialis Akbar sebagai Hakim MK pada tahun 2013 lalu, menggunakan cara penunjukan langsung yang merupakan hak SBY selaku presiden waktu itu, dan sekarang Jokowi akan mencari orang sebagai pengganti Patrialis melalui cara yang terbuka dan terukur 4) Isu komunikasi hasil kerja kepada publik Berdasar berita detikNews rabu1 Februari 2017 dengan judul “Jokowi: Kerja Keras Kita Perlu Diketahui Rakyat”, presiden Jokowi menyatakan melalui sidang kabinet paripurna yang dipimpinnya bahwa apa yang telah dicapai pemerintahan melalui kinerja yang dilakukan perlu diinformasikan kepada masyarakat. Jokowi juga meminta kepada semua jajaran menteri dan lembaga terkait untuk meningkatkan kegiatan komunikasi publik, Jokowi menyatakan bahwa dia sudah berulang kali meminta hal tersebut dilakukan, Jokowi. juga menambahkan jangan sampai pemerintah sudah bekerja keras sampai pagi, tetapi Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
324
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
masyarakat tidak mengetahui apa yang sudah dilakukan. Topik berita ini juga diangkat oleh kompas.com pada rabu 1 Februari 2017 dengan judul ”Jokowi Minta Johan Budi Beri Arahan ke Menteri soal Komunikasi Publik.”Johan Budi mendapat kesempatan berbicara diakhir rapat kabinet untuk memberi arahan sesuai judul yang diambil. 5) Isu Hak Asasi Manusia Berdasar berita detikNews jumat 10 Februari 2017 dengan judul “Sumarsih Akan Terus Menagih Janji Kampanye Jokowi”. Berdasar pada apa yang tertera pada Nawacita disitu tercatat bahwa Jokowi-JK memiliki komitmen menyelesaikan kasus-kasus tentang pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu secara adil. Dalam tulisan tersebut tidak ada kutipan langsung dari pernyataan Jokowi tentang penyelesaian kasus HAM, akan tetapi apa yang dirasakan Sumarsih dan keluarga korban HAM adalah tidak ada kemauan Jokowi untuk berkomunikasi dengan mereka. 6) Isu Terorisme Berdasar berita detikNews jumat 10 Februari 2017 dengan judul “Kumpulkan Jajaran TNI dan Polri, Jokowi: Terorisme Harus Dicegah”. Presiden Jokowi telah mengumpulkan Babinsa serta Babinkamtibmas di Jawa Tengah, tepatnya di kota Solo. Menurut Jokowi jika informasi yang disampaikan dari atas bisa diterima di bawah secara utuh maka pesan dari atas akan bisa dimengerti semuanya dan dilakukan oleh yang dibawah seperti yang diharapkan. Karena itu, pertemuan tersebut dilakukan agar melalui penyampaian langsung pesan yang disampaikan bisa diterima secara utuh. 7) Isu Harmonisasi Menhan-Panglima TNI Berdasar berita kompas.com rabu 8 Februari 2017 dengan judul ”Bantah JK, Jokowi Mengaku
Belum
Instruksikan
Harmonisasi
Menhan
–
Panglima
TNI”. Presiden Jokowi menyatakan bahwa pernyataan Jusuf Kalla tentang adanya perintah presiden agar dilaksanakan harmonisasi antara Panglima TNI Jendral Gatot Nurmayanto dan Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu belum dilakukan. 8) Isu Kebijakan Donald Trumph Berdasar berita kompas.com rabu 30 Januari 2017 dengan judul “Jokowi menyatakan soal Kebijakan Anti - imigran Donald Trump”, Presiden Joko Widodo merespons kebijakan Presiden AS Donald Trump dengan menyatakan "Prinsip konstitusi saya sudah jelas, yang Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
325
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
namanya kesetaraan, dan juga keadilan
harus tetap diperjuangkan". Meski demikian,
Jokowi yakin kebijakan yang kontroversial itu tidak akan memberikan efek bagi rakyat dan warga negara Indonesia. "Kita tidak terkena dampak dari kebijakan itu, kenapa resah?" ujar Jokowi. 9) Isu Bantuan untuk negara tetangga Berdasar berita kompas.com rabu 1 Januari 2017 dengan judul “Jokowi Lepas 10 Kontainer Bantuan untuk Warga Rohingya”. Pemerintah Indonesia mengirimkan paket bantuan kemanusiaan kepada warga Rohingya yang berada di Rakhine State, Myanmar. Bantuan tersebut
merupakan
bentuk hubungan diplomasi kemanusiaan dimana Indonesia
berkontribusi pada negara-negara di dunia "Segera akan kami berangkatkan 10 kontainer barang-barang yang akan dikirim ke Myanmar untuk membantu saudara-saudara kita di Rakhine State, khususnya komunitas Muslim," ujar Jokowi. Terdapat isu yang serupa berdasar berita detik.com selasa 14 Februari 2017 dengan judul “Kirim Lima Ribu Ton Beras, Menlu: Bentuk Persahabatan Sri Lanka – RI.”.Presiden Jokowipernah mengatakan bahwa bantuan yang diberikan adalah permintaan langsung dari Presiden Sri Lanka yang bernama Maithripala Sirisena melaluiKedutaan Besar Sri Lanka di Jakarta. Indonesia sebagai sahabat dan juga sebagai negara besar di kawasan Asia, sudah selayaknya terlibat membantu mengirimkan bantuan. Jokowi menyatakan cepat merespon permintaan bantuan tersebut, karena situasi di sana memang sangat memerlukan bantuan, dan telah meminta menteri yang terkait untuk mempersiapkannya. “Alhamdulillah kita bisa berangkatkan," kata Jokowi. 10) Isu Freeport Berdasar berita kompas.com rabu 23 Februari 2017 dengan judul “Jokowi: Kalau Freeport Sulit Diajak Berunding, Saya Akan Bersikap”.Jokowi menyatakan bahwa proses perundingan antara Freeport dan pemerintah masih terus berjalan,proses negosiasi masih berlangsung dan Jokowi menyerahkannya urusan tersebut kepada menteri terkait. Untuk saat ini menteri saja dulu yang menanganinya. Pada dasarnya, Pemerintah Indonesia mengharapkan adanya solusi yang berimbang, tidak ada yang dirugikan.Jokowi mengharapkan solusi yang win-win,karena ini masalah bisnis.Jokowi menyatakan jika pihak Freeport susah untuk diajak berunding, musyawarah, atau diskusi, maka Jokowi akan bersikap, ditegaskan kembali apa yang sudah pernah dinyataan. Sedangkan PT Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
326
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Freeport Indonesia memberi peryataan bahwa mereka tidak dapat menerima apa yang menjadi syarat-syarat yang diajukan oleh pemerintah Indonesia, mereka akan tetap berpegang teguh kepada status Kontrak Karya (KK). Jika terjadi sengketa dan tidak ada jalan keluar maka akan diselesaikan di Mahkamah Arbitrase Internasional. Persoalan ini dimulai ketikapemerintah mengumumkan adanya perubahan status operasi PT. Freeport dari awal status KK berubah menjadi status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dikeluarkan pada 10 Februari 2017. Adanya perbedaan antara kedua status operasi tersebut terletak pada posisi negara dengan perusahaan adalah setara dalam ketentuan KK, sedangkan posisi pemerintah sebagai perwakilan negara lebih tinggi selaku yang memberi izindalam IUPK,saham perusahaan juga wajib dilepaskan sedikitnya 51 persen untuk dimilikiswasta nasional atau pemerintah Indonesia. Dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, yang bisa melakukan ekspor konsentrathanyalah perusahaan pemegang IUPK. Tabel 1. Ringkasan Analisis Wacana Makrostruktural ISU Status hukum Ahok
SISTEM LEKSIS (PEMILIHAN KATA) Jokowi Perintahkan Mendagri Konsultasi ke MA
KONTEKS (SITUASI – BUDAYA) Terdapat perbedaan pendapat ahli hukum
GAYA KOMUNIKASI JOKOWI Mengendalikan (controlling style)
Penyadapan telepon SBY
Pemerintah Tak Pernah Instruksikan Penyadapan SBY
Beredar isu penyada-pan telepon SBY
Mengendalikan style)
SBY Bertanya, Menjawab
Pertanyaan SBY kepada Jokowi-Kapolri melaui twitternya
Dinamis (dinamic style)
MK
Proses pemilihan hakim MK dipertanyakan
Menerima saran atau gagasan orang lain (relinguishing style). Mengendalikan (controlling style
Tidak seperti SBY, Ini Cara Jokowi Angkat Hakim MK
Proses pemilihan hakim MK
Mengendalikan style
Kita sudah bekerja sampai pagi, tapi tidak terkomunikasikan dengan baik.
Kebututuhan partisipasi publik terhadap program pemerintah
Landasan kesamaan (egalitarian style
Nanti saya minta 5 menit Juru Bicara Presiden
Efektivitas komunikasi antar kementrian –
Tertangkapnya hakim MK oleh KPK
Komunikasi hasil kerja kepada publik
Jokowi Ingin Terbuka
Jokowi
Pansel
(controlling
(controlling
Tidak ada kemauan untuk berkomunikasi (withdrawal style)
Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
327
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
menyampaikan di akhir
lembaga
HAM
Sumarsih Menagih Jokowi
Penyelesaian HAM terdahulu
Terorisme
Kumpulkan Jajaran TNI dan Polri, Jokowi: Terorisme Harus Dicegah
Harmonisasi Menham – Panglima TNI
Mengendalikan style)
(controlling
Pencegahan terorisme
Mengendalikan style)
(controlling
Bantah JK, Jokowi Mengaku Belum Instruksikan Harmonisasi MenhanPanglima TNI
Kisruh pembelian helikopter Agusta Westland AW101
Mengendalikan style)
(controlling
Kebijakan Anti-imigran Donald Trump
Kata Jokowi soal Kebijakan Anti-imigran Donald Trump
Kontroversi kebijakan Donald Trump
Mengendalikan style)
(controlling
Bantuan untuk negara tetangga
Permintaan tersebut secara cepat saya respons karena kondisinya sangat memerlukan sekali
Diplomasi kemanusiaan
Mengendalikan style)
(controlling
Kita ingin dicarikan solusi yang menang-menang, solusi yang win-win......�.
Perdebatan pergantian bentuk ijin operasi Freeport
Freeport
Akan Terus Janji Kampanye
kasus
Hasil penelitian yang diperoleh dikaitkan dengan permasalahan yang diambil yaitu ingin mengetahui karakteristik gaya komunikasi Jokowi, diperoleh bahwa gaya komunikasi yang sering digunakan oleh Jokowi adalah gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan (controlling style). Hal ini bisa dipahami bahwa selaku presiden dalam pengambilan kebijakan pada berbagai situasi keadaan Jokowi harus bisa mengendalikan situasi, dimana hal tersebut di manifestasikan dalam berkomunikasi. Akan tetapi selain gaya mengendalikan, Jokowi juga menggunakan gaya komunikasi yang lain yaitu dinamis (dinamic style), pada penggunaan gaya ini Jokowi bisa mengubah jenis penggunaan kata-kata dalam pernyataannya dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, misalkan pernyataan yang awalnya dimulai dengan kata-kata yang bersifat gurauan (guyonan) beralih pada pengggunaan kata yang formal. Gaya komunikasi lainnya digunakan jenis yang sifatnya mau menerima saran atau gagasan orang lain (relinguishing style), jenis ini memungkinkan Jokowi mengkomunikasikan kebijakannya berdasar pertimbangan atau Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
328
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
masukan dari orang-orang disekitarnya, juga Gaya komunikasi landasan kesamaan (egalitarian style) dimana Jokowi memberi kesempatan oarng lain untuk menggantikannya dalam kesempatan berkomunikasi. Gaya komunikasi yang juga digunakan oleh Jokowi adalah jenis yang sifatnya ketidakmauan atau keengganan untuk berkomunikasi (withdrawal style). Gaya komunikasi ini digunakan bila Jokowi harus menanggapi tentang kebijakan yang belum dapat diselesaikannya, misalkan kasus HAM. Permasalahan lainnnya dalam penelitian ini adalah bagaimana kompetensi komunikasi yang dimiliki Jokowi. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan menyampaikan berita dan mempromosikan pencapaian tujuan secara sosial (Richard D. Rowley ; 1999).Berdasar pernyataan-pernyataan yang disampaikan dalam mengkomunikasikan kebijakannya, kompetensi komunikasi dapat dilihat dari sikap, yang meliputi : komitmen dan keyakinan, empati, fleksibilitas, sensibilitas konsekuensi, dan kecakapan. Sebagian besar gaya komunikasi Jokowi bersifat mengendalikan, hal ini berarti sudah memiliki kompetensi sikap yakin dan berkomitmen, contoh dalam isu bantuan untuk negara tetangga Jokowi yakin dengan kebijakan diplomasi kemanusiaan yang diwujudkan dengan bantuan kemanusiaan berupa pengiriman bantuan beras, bantuan ini juga merupakan wujud dari sikap berempati terhadap rakyat negara srilangka dan myanmar, contoh lainnya adalah dalam isu Freeport. Kompetensi fleksibilitas terlihat pada pernyataan di kasus penyadapan telpon SBY, disana Jokowi bisa merubah gaya komunikasi yang pada awalnya berupa gurauan dilanjutnya dengan pernyataan yang formal. Kompetensi lainnya adalah sensibilitas konsekuensi, pada kasus status hukum Ahok Jokowi menyerahkannya kepada MA keputusan tentang pemberhentian Ahok sebagai gubernur, penyerahan tersebut dengan segala resikonya yang tentunya Jokowi siap menerimanya. Kompetensi terakhir adalah kecakapan, Jokowi punya cukup kecakapan dalam berkomunikasi, dapat dilihat pada kasus Harmonisasi Menham – Panglima TNI. Pada kasus itu Jokowi berusaha untuk bisa meredam ketidak harmonisam antara jajaran dibawahnya. Sehingga dapat dilihat bahwa Jokowi memiliki kompetensi komunikasi yang meliputi aspek komitmen dan keyakinan, empati, fleksibilitas, sensibilitas konsekuensi, dan kecakapan.
Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
329
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kesimpulan Berdasar pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik gaya komunikasi Jokowi dalam pengambilan kebijakan secara umum adalah gaya mengendalikan (controlling style), meskipun di beberapa situasi juga menggunakan gaya komunikasi sesuai dengan kondisi yang ada, seperti gaya komunikasi dinamis (dinamic style), menerima saran atau pendapat orang lain (relinguishing style), adanya landasan kesamaaan dalam berkomunikasi (egalitarian style) dan juga tidak ada kemauan berkomunikasi (withdrawal style). Berdasar analisis terhadap komunikasi Jokowi dalam menyampaikan kebijakannya, Jokowi memiliki kompetensi komunikasi yang meliputi aspek komitmen dan keyakinan, empati, fleksibilitas, sensibilitas konsekuensi, dan kecakapan.
Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
330
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Asma, Abdullah. (1996). Going Global : Cultural dimensions in Malaysian Management. Kuala Lumpur. Malaysian Institute of Management. Choon, Mooi,Choa.(2004). The Malaysian Communication Competence Construct. Journal of Intercultural Communication Research, 33, 131-146. Dewi, Fitriana, Utami. (2011). Urgensi Komunikasi Cerdas Dalam Birokrasi Publik. Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1). Gudykunst, W. B. & Ting-Toomey, S. (1988).Culture and Interpersonal Communication. Newbury Park, CA: Sage Publications. Hall, E. T. & Hall, M. R. (1990). Understanding Cultural Differences: Germans, French, and Americans. Yarmouth, ME: Intercultural Press. Hariyana, et.al,. (2009). Komunikasi Dalam Organisasi, Makalah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Indrawan, M.Isa. (2009). Pengaruh Kompetensi Komunikasi dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja SDM. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol.2 No.1. ISSN: 1979-5408. Jufri. (2008). Analisis Wacana Kritis. Makassar. Badan Penerbit UNM. Effendi, Onong, Uchjana. (2005). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Richard, D. Rowley. (1999). Communicative Competence and Interpersonal Control. In M. L. Knapp & G. R. Miller (Eds), Handbook of Interpersonal Communication (2nd ed) (pp. 589618). Thousand Oaks, CA: Sage. Sanchez-Burks, Jeffrey, Lee Fiona, Nisbett, Richard, Choi, Incheol, Zhao, Shuming, & Koo, Jasook. (2003). Conversing Across Cultures: East-West Communication Styles in Work and Nonwork Contexts. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2), 363-372. Sumarlam. (2009). Analisis Wacana. Surakarta. Pustaka Cakra.
Drina Intyaswati, Mansur, Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Jokowi Dalam Pengambilan Kebijakan /05/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
331
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata. Haidar Fikri Program Magister Administrasi Publik, FISIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta haidar_shiro@yahoo.com Abstract Branding becomes important in introducing something that you want to offer to masayarakat.Tentu, the government should look at it all because if you want to introduce to the local travel nationally and internationally should give a brand easily recognized and remembered as well as a differentiator with lain.Cirikhas area of a branding is what will be the strategy for the government to offer travel how an area will be known. As well as the use of branding Banyuwangi "The Sunrise Of Java", as the tourism marketing strategy, and thus increase.Sehingga is where branding is very important in a marketing included in marketing pariwisata.Bentuk of all strategies that can said as a government innovation banyuwangi a way to market their tourism through branding. Keywords: Innovation, Branding, Marketing Strategy, Tourism Abstraksi Branding menjadi yang penting dalam memperkenalkan sesuatu yang ingin di tawarkan kepada masayarakat.Tentu,pemerintah harus melihat itu semua karena jika ingin memperkenalkan wisata lokal kepada nasional maupun internasional harus memberikan brand yang mudah dikenal dan diingat serta menjadi pembeda dengan daerah lain.Ciri khas dari sebuah branding inilah yang akan menjadi strategi bagi pemerintah untuk menawarkan bagaimana wisata suatu daerah akan dikenal.Seperti halnya kabupaten Banyuwangi yang menggunakan branding “The Sunrise Of Java”,sebagai strategi pemasaran pariwisatanya,hingga mengalami peningkatan Sehingga disinilah branding sangat penting dalam sebuah pemasaran termasuk dalam pemasaran pariwisata.Bentuk dari semua strategi itulah yang dapat dikatakan sebagai inovasi pemerintah banyuwangi dengan cara memasarkan pariwisatanya melalui branding.
Kata Kunci: Inovasi, Branding, Strategi Pemasaran, Pariwisata Submite Review Accepted
: 12 Jan 2017 : 22 April 2017 : 31 Mei 2017 Surel Corespondensi : rebbekarisma@gmail.com
Pendahuluan Dewasa ini strategi branding merupakan salah satu proses pemasaran yang sering kali diterjemahkan sebagai kegiatan promosi. Berbicara tentang branding maka akan terpusat pada Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
332
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
pasar dan berhubungan dengan transaksi.Tentu, pengertian branding disini lebih merupakan aktivitas menetukan sesuatu yang ingin dibentuk melalui berbagai macam kegiatan promosi (Iklan, publisitas, dan lain sebagainya) seiring dengan pembenahan fitur produk yang sesuai dengan pasar.Bentuk dari branding ini dapat berupa barang,jasa dan juga suatu konsep yang menarik masyarakat. Branding bersifat strategis dan khas untuk mencapai tujuan jangka panjang. Tujuan dari pemberian branding sendiri bukan hanya mengenalkan keungulan dari produk, namun lebih menekankan pada aspek bagaimana branding tersebut dapat lebih dikenal dan selalu diingat oleh masyarakat. Keberadaan City Branding sekarang menjadi fenomena yang menarik untuk dilihat dalam persaingan inovasi pemerintah lokal di Indonesia.Tentu,semua ini menjadi kekuatan tersendiri dikalangan daerah yang ingin membangun eksistensinya di pemerintahan nasioanal. Adanya otonomi daerah yang memberikan keluasan daerah dalam mengelolah daerahnya menjadi dasar beberapa daerah di Indonesia berani membranding daerahnya agar mudah dikenal serta diingat di lingkup nasioanal. Bukan tanpa tujuan bagi daerah dalam membranding dirinya. Keinginan untuk semakin dikenal dengan brandingnya mempunyai harapan besar dibalik hal tersebut. Promosi melalui brandingnya tersebut, daerah dapat dengan mudah memasarkan potensinya baik berupa Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, hingga potensi budaya serta kepariwisataan kepada publik dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian masyarkatat daerah tersebut. Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu daerah yang sedang berkembang tidak mau ketinggalan dalam hal membranding daerahanya. Pemberian nama “Banyuwangi The Sunrise Of Java”, Banyuwangi dengan semangatnya sebagai daerah yang sedang berkembang menggunakan julukan tersebut sebagi tag line untuk mengenalkan dirinya.Tentu, bukan tanpa maksud Banyuwangi membranding dirinya dengan julukan “ Banyuwangi, The Sunrise Of Java”, secara geografis, Posisi Banyuwangu sangat strategis karena berada di pesisir pulau Jawa ini menjadidkan salah satu alasan mengapa branding daerah ini “The Sunrise Of Java”. Dengan asumsi bahwa letaknya yang berada di ujung timur pulau Jawa ini, Banyuwangi mendapat sinar matahari paling awal dari daerah lain pulau jawa. Dengan mendaopat sinar matahari yang paling awal, maka secara otomatis masyarakat Banyuwangi bangun lebih awal dan memulai pekerjaan lebih awal dari daerah lain di pulau Jawa ini. Hangatnya sinar matahari pagi juga yang membakar semangat kerja masyarakat Banyuwangi dalam bekerja. Filosofi tersebut Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
333
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
menggambarkan bagaimana masyarakat Banyuwangi membangun daerahnya agar mampu bersaing dengan daerah lain. Semangat inilah yang membuat Banyuwangi berani membranding dirinya sebagai “The Sunrise Of Java”. Branding “The Sunrise Of Java” yang diinovasi oleh pemerintah Banyuwangi memberikan dampak yang signifikan dengan mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) dalam ajang "12th UNWTO Awards Forum" di Madrid, Spanyol dan mendapatkann Awards for Excellence and Innovation in Tourism di tahun 2016 ini (Travel.Kompas.com,2016) . Tentu dalam penerapanya pemerintah Banyuwangi memiliki strategi pemasaran tersendiri sehingga mendapat penghargaan di tingkat Internasional. Banyak sekali
strategi
pemasaran
pada
bidang
pariwisata
misalnya
seperti
penentuan
pasar,segmentasi,positioning maupun (Meidan, 1989:43). Berbicara tentang branding sangat menarik menurut Kotler & keller (2009:.42), keunikan yang ditawarkan kepada konsumen sehingga konsumen memikirkan dan merasa tertarik kepada sebuah barand. Sehingga istilah Brand personality ketertarikan manusia kepada produk atau jasa yang ditawarkan oleh produsen.Tentu dalam penelitian menunjukkan bahwa branding sangat diperlukan untuk menarik konsumen atau masyarakat untuk menikmati produk ( wisata) dari produsen ( Pemerintah ). Melihat Keberhasilan pemerintah kabupaten Banyuwangi dengan branding “The Sunrise Of Java, bagaimana menerapkan strategi dalam pemasaran kepada masyarakat dan faktor apa saja yang menghambat dan mendukung dalam upaya pelaksanaan city branding sehingga mendapatkan peringkat pertama di tingkat internasional. Metode dan Kajian Pustaka Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif.Lokasi penelitian berada pada Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi. Data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Sedangkan untuk Pengumpulan Data menggunakan metode
wawancara dan dokumentasi. Tahapan terahir yakni analisis data
menggunakan Model Interaktif Milles and Hubberman. Tahapan yang dilakukan yaitu pengumpulan data, penyajian data, dan kesimpulan.
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
334
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pembahasan dan Analisis Banyuwangi The Sunrise Of Java Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang terletak paling ujung timur di pulau Jawa. Daerahnya terbagi atas dataran tinggi yang berupa pegunungan, dataran rendah yang berupa lahan pertanian, serta sekitar garis pantai yang membujur dari Utara ke Selatan. Dengan kondisi geografis seperti inilah, Banyuwangi memiliki segudang kekayaan serta potensi yang melimpah untuk dikembangkan guna mewujudkan kesejaheteraan masyarakatnya.Sebagai wilayah yang terletak di ujung pulau jawa, Banyuwangi memang yang merasakan lebih dulu terbitnya sinar matahari dibanding wilayah lainnya di pulau Jawa. Disaat yang lain masih lelap dalam peraduan, Banyuwangi telah bergegas menyambut hangatnya mentari pagi. Nah, kondisi inilah yang membuat Banyuwangi dijuluki sebagai “The Sunrise Of Java”. Secara geografis Banyuwangi memang srategis. Bagaimana tidak, Banyuwangi berbatasan langsung dengan selat Bali. Jadi, Banyuwangi itu sebagai pintu gerbang Pulau Jawa disebelah timur. Menjadi pintu gerbang tentulah amat menguntungkan. Banyak orag hilir mudik melalui Pelabuhan Ketapang menuju Pelabuhan Gilimanuk dan sebaliknya. Bukan hanya itu, di sebelah utara Banyuwangi berebatasan langsung dengan Kabupaten Situbondo, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten jember. Disisi selatan Banyuwangi terbentanglah Samudera Indonesia yang amat luas. Kondisi inilah yang membuat letak goegrafis Banyuwangi sangat menguntungkan jika daerah ini dikelola dengan baik(Let’s Go To Banyuwangi,2014:9) . Sabagai wilayah yang mempunyai potensi di bidang pertanian dan perkebunan, tak salah jika Banyuwangi dapat berbangga dan bersyukur. Daerah yang pernah mendapat julukan “Kota Pisang” ini juga salah satu penghasil komoditas pisang kepok atau biasa orang Banyuwangi menyebutnya dengan “Pisang Sobo” yang sangat terkenal. Namun, karena perubahan zaman dan berkurangnya hasil komoditas pisang inilah yang membuat julukan sebagai “Kota Pisang” tak lagi disandang Banyuwangi. Di sektor yang lain, potensi perkebunan Banyuwangi juga amat sangat berpotensi untuk dikembangkan yakni kopi. Komoditi kopi robusta Banyuwangi hingga saat ini sudah menembus pasar ekspor diberbagai negara. Maka tak heran, jika terdapat wacana untuk membranding Banyuwangi sebagai “Kota Kopi”. Namun, wacana tersebut masih terus Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
335
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
digodok serta dirundingkan dengan berbagai elemen masyarakat agar tidak menjadi masalah dikemudian hari. Disisi lain, Banyuwangi yang memiliki garis pantai sepanjang 175 kilometer ini juga menyimpan potensi bahari yang cukup mumpuni. Potensi laut tersebut bahkan menyumbang sebagian besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dijuluki “The Sunrise Of Java” ini. Terdapat Pelabuhan Tradisional Muncar yang merupakan kawasan pelabuhan ikan terbesar kedua di Indonesia dan pusat industri perikanan di Banyuwangi. Tak berlebihan rasanya jika kita menyebut Banyuwangi sebagai daerah dengan paket komplit potensi untuk terus dikembangkan dalam rangka pembangunan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, Banyuwangi merupakan dearah dengan komposisi penduduk yang heterogen. Keadaan penduduk yang terdiri dari beragam suku, etnis, dan agama tidak menutup kemungkinan terjadinya akulturasi budaya di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya budaya maupun kearifan lokal yang tersebar di wilayah administratif Kabupaten Banyuwangi. Hampir setiap daerah di Banyuwangi memiliki budaya serta kearifan lokal yang menarik untuk kita eksplorasi. Budaya-budaya tersebut hingga saat ini masih terus dijaga kelestariannya baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Ranacangan Peraturan Daerah (Raperda) yang masih digodok di DPRD tentang perlindungan cagar budaya di Banyuwangi. Terletak paling ujung timur pulau Jawa membuat Banyuwangi menjadi daerah pertama di Jawa yang mendapat sinar matahari saat pagi hari. Dengan mendapat sinar matahari pertama kali, otomatis masyarakat Banyuwangi terbangun lebih awal dan memulai aktifitasnya lebih awal pula dari pada masyarakat lain di Jawa. Dengan semangat inilah yang menjadi filosofi dari lahirnya kata-kata “Banyuwangi The Sunrise Of Java” sebagai brand baru Banyuwangi. “Banyuwangi The Sunrise Of Java” yang dijadikan pemerintah sebagai brand Banyuwangi yang baru ini bukan hanya keinginan pemerintah untuk mencitrakan daerahnya agar dikenal luas, namun terlebih lagi, dengan adanya brand baru ini akan membawa semangat baru bagi masyarakat Banyuwangi untuk terus membangun dan melestarikan apa yang telah dicapai masyarakat dan pemerintah selama ini.Tentu inilah yang di maksud oleh Chaniago konsep city brandingmemberikan taglan (slogan) (Blain, et al., 2005) kepada kota untuk mencirikhaskan kabupaten Banyuwangi Harapan ini tidak berlebih rasanya mengingat Banyuwangi merupakan daerah yang masih berkembang dalam pembangunan. Disisi lain Banyuwangi ingin merubah dearahnya yang selama ini hanya menjadi daerah lintasan para wisatan yang ingin berlibur ke Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
336
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
bali menjadi pintu gerbang destinasi wisata baru di pulau Jawa. Potensi alam serta kekayaan budaya dan kearifan lokalnya yang masih terjaga hingga saat inilah yang mendorong Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk terus membangun citra daerahnya agar dikenal luas. Disamping itu, pembenahan demi pembenahan sarana-prasaran maupun infastruktur penunjang yang dilakukan pemerintah semata-mata untuk memberikan bukti nyata bukan hanya pepesan kosong dari semangat pemerintah dan masyarakat Banyuwangi untuk memperkenalkan Banyuwangi kepada publik agar dikenal secara luas. Penggagas Inovasi Branding The Sunrise Of Java Mendengar kalimat “Banyuwangi The Sunrise Of Java” bagi kita masyarakat luar daerah Banyuwangi mungkin terdengar biasa dan hanya sebatas branding daerah Banyuwangi saja. Tetapi, kata-kata “Banyuwangi The Sunrise Of java” tersebut bagi masyarakat Banyuwangi merupakan motivasi dan semangat baru bagi mereka. Setelah beberapa waktu lalu terjadi pembantaian besar-besaran kepada orang yang diduga dukun santet di Banyuwangi yang pada akhirnya kabupaten di ujung pulau Jawa ini dikenal sebagai “Kota Santet” yang mencitrakan Banyuwangi sebagai daerah yang kental akan nuansa ilmu hitamnya yang berimbas pada cap negatif di masyarakatnya. Dengan brand yang baru ini nampaknya membawa efek positif baik kepada citra daerah maupun masyarakat Banyuwangi untuk terus bergerak maju dan membangun daerahnya yang lebih baik. Penggunaan kata yang penuh dengan makna serta mempunyai filosofi tentang realita kehidupan masyarakat di Banyuwangi ini pertama kali tercetus oleh Samsudin Adlawi. Samsudin adalah seorang budayawan lokal Banyuwangi sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Blambangan periode 2014-2018. Mengapa “The Sunrise Of Java” ? pertanyaan itu yang sering terlontar oleh banyak kalangan bahkan pihak pemerintah. Menurut
Daryanto,
Kasubag Pemasaran Pariwisata Banyuwangi yang “ Banyuwangi The Sunrise Of Java “ ?. Mengingat letaknya yang berada di ujung timur pulau Jawa, maka konsekuensinya, Banyuwangi akan mendapat sinar matahari yang lebih dahulu dari pada daerah yang lain di Jawa. Selain itu, semangat masyarakat Banyuwangi juga akan terlihat karena merekalah yang lebih awal bangun (jenggirat tangi) dari masyarkat lainnya. Semangat itulah yang ingin ditanamkan dalam membangun Banyuwangi ke arah yang lebih baik.
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
337
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Branding “Banyuwangi The Sunrise Of Java” yang dijadikan tag line sekaligus branding baru Banyuwangi saat ini juga tak luput dari peran serta pemerintah yang aktif dalam memasarkan daerahnya lewat pariwisata. Pemerintah dengan bangga menggunakan kata-kata tersebut dalam setiap tag line, event, hingga situs resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dengan harapan Banyuawngi dapat dikenal luas dan berimplikasi terhadap naiknya kunjungan wisata ke daerah yang sering juga disebut “Bumi Blambangan” ini. Selain pemerintah dan komunitas budayawan, dukungan dan peran serta masyarakat Banyuwangi dalam mendukung program-program yang ada di dalam semangat branding ini juga sangat berpengaruh dalam suksesnya Banyuwangi dalam membranding daerahnya. Disisi lain, peranan swasta juga sangat mendukung berbagai program promosi Banyuwangi ini. Dapat dilihat dari adanya industri kreatif yang mengusung tema tentang Banyuwangi. Dengan demikian, usaha Pemerintah
Kabuptaen
Banyuwangi
dalam
mengenalkan
daerahnya
lewat
branding
“Banyuwangi The Sunrise Of Java” ini bukan hanya usaha satu pihak saja dalam konteks ini pemerintah, namun program ini berjalan berkat peran serta semua pihak terkait dalam rangka mengembangkan dan mengenalkan Banyuwangi ke tingkat yang lebih luas lagi. Media Online sebagai promosi Branding The Sunrise Of Java Kemajuan teknologi dimanfaatkan oleh pemerintahan Banyuwangi untuk mendukung promosi branding The Sunrise Of Java.Bentuk dari pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini menggunakan website yang didesain semenarik mungkin. Mengutip Kavaratzis (2004:66-69) komunikasi dalam city branding dibagi menjadi tiga tahapan komunikasi mulai dari primer, sekunder, dan tersier. Tentu dengan adanya website masayarakat dapat secara langsung memperoleh informasi dari web dan dapat menghubungi pemerintah melalui web dan nomor telpon yang tercantum dalam website, Penyajian website yang menarik ini dilengkapi menu destinasi apa saja yang dapat dikunjungi oleh masayarakat.Wisata kuliner pun juga dapat dilihat dalam websitesehingga wisatawan mengerti makanan apa yang dapat di nikmati di kabupaten Banyuwangi.Penampilan website dengan nama banyuwangi tourism ini termasuk kedalam branding The Sunrise Of Java ,dapat di lihat dibawah ini:
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
338
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Gambar 1. Tampilan Website Banyuwangi Tourism (Sumber diolah dari: Dokumentasi Peneliti)
Teknologi informasi dan komunikasi lainya yang dimanfaatkan ialah media sosial.Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
menggunakan beberapa media sosial untuk
mempromosikan wisata lokal dengan branding The Sunrise Of Java. Media sosial yang diggunakan oleh pemerintah ada Facebook,Twetter,Instagaram ,Path,Google+ dan juga Youtube.Tentu pemilihan media sosial ini untuk menarik wisatawan dari dalam dan luar negri.Masyarakat yang lebih aktif di media sosial
akan semakin mengerti wisata yang
ditawarkan oleh kabupaten Banyuwangi melalui pengguna media sosial ini.
Gambar 2. Media sosial yang digunakan pemerintah untuk mempromosikan wisata melalui branding The Sunrise Of Java. (Sumber diolah dari: Dokumentasi Peneliti)
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java� Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
339
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Semakin majunya teknologi,promosi branding The Sunrise Of Javatidak hanya melalui website
dan
media
sosial
melainkan
dengan
menggunakan
ponsel
pintar
atau
smartphone.Pemerintah membuat aplikasi untuk handphone agar dapat mengakses pariwisata kabupaten Banyuwangi dimana saja.Aplikasi pariwisata ini dapat diperoleh dengan mengakses playstore,disini masyarakat dapat mengakses dimana saja dan kapan saja seperti dibawah ini :
Gambar 3. Aplikasi banyuwangitourism di playstore (Sumber diolah dari: Dokumentasi Peneliti)
Branding The Sunrise Of Java tentu tidak akan berhasil tanpa adanya pelayanan publik yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.Pelayanan publik di kabupaten Banyuwangi ini tidak jauh berbeda dengan promosi pariwisata dengan menggunakan teknologi informasi.Banyak sekali pelayanan public di Banyuwangi yang menggunakan teknologi seperti , e-Planning merupakan inovasi pemerintah kabupaten Banyuwangi dalam menyusun APBD sehingga tidak ada lagi transaksi ketika pengesahannya karena telah disusun berdasarkan hasil Musrenbang dari desa sampai kecamatan dengan menggunakan instrumen TI (Kompas 2016).Tentu tidak hanya e-planning di bidang pendidikan memiliki SIAP (Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan) online merupakan layanan sistem informasi dan aplikasi pendidikan online yang menghubungkan orang tua, siswa, guru, sekolah, dinas daerah dan pusat secara terpadu dan akuntabel untuk kemajuan pendidikan Indonesia. SIAP online mampu mengelola data dan informasi pendidikan dengan lebih cepat, mudah, akurat, terpadu dan berkesinambungan dari mulai tingkat sekolah, dinas pendidikan kota, kabupaten, provinsi, hingga pusat yakni Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Prilly,Suryadi, Romula:2014). Melihat promosi yang dilakukan pemerintah Banyuwangi ini merupakan suatu manajemen pemasaran sebagai seni dan ilmu untuk menentukan sasaran pasar dan membangun Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java� Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
340
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
relasi antara konsumen dan produsen (Kolter dan Keller 2009:62).Tentu pemanfaatan teknologi sebagai penyampaian dan pengkomunikasian kepada masyarakat yang di dewasa ini sudah tidak asing lagi dengan media sosial dan teknologi informasi sehingga promosi dapat di terima secara langsung dan dimanapun masyarakat atau wisatawan berada. Strategi Pemasaran Pariwisata Melalui Branding The Sunrise Of Java Penghargaan internasional yang diterima oleh kabupaten Banyuwangi ini tentu tidak terlepas dari strategi penggunaan brand The Sunrise Of Java terhadap pariwisata dan inovasi pelayanan public.Sektor pariwisata di Banyuwangi meningkat dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015.Meningkatnya jumlah wisatawan lokal mencapai 161 persen dari 651.500 orang pada tahun 2010 dan menjadi 1.701.230 orang (2015). Sedangkan dari mancanegara melonjak 41.000 wisatawan dibandingkan tahun 2010 kisaran 13.200.(Travelkompas.com 2016) Kemajuan pariwisata ini tentu adanya promosi dan strategi dari pemerintah melalui branding The Sunrise Of Java. Pertama, menjadikan Banyuwangi sebagai "produk" unggulan dibidang pariwisata. Produk disini sama halnya seperti Cardwell and Freire, (2004) bahwasnya produk barang atau jasa harus dikemas secara baik untuk menarik masyarakat. Selanjutnya, menentukan
strategi pemasaran yang sesuai dengan konsumen.KabupatenBanyuwangi
menawarkan wisata alam dan festival yang dikemas secara menarik oleh pemerintah sebagai daya tarik wisatawan .Menurut Kolter dan Keller , “Secara umum manajemen pemasaran dapat diartikan sebagai suatu seni dan ilmu untuk dapat memilih pasar sasaran, dan mendapatkan, mempertahankan, dan menumbuhkan pelanggan melalui penciptaan, penyampaian, dan pengkomunikasian nilai yang unggul kepada pelanggan� (2009:62).Ketiga, inovasi berkelanjutan dibidang ini pemerintah banyuwangi membuat wisata baru baik wisata alam maupun wisata buatan yang dikonsep dengan pemasaran melalui aplikasi online yang dapat diakses oleh siapa saja.Terahir, Pengelolaan dan penngkatan wisata melalui budaya yang dikemas dalam festival Banyuwangi dapat mendatangkan wisatawan baik lokal maupun mancanegara,karena disini budaya lokal baik Banyuwangi semua dikeluarkan dalam festival ini.
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java� Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
341
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Gambar 4. Jadwal Festifal Banyuwangi 2016 (Sumber diolah dari: Dokumentasi Peneliti)
Kesimpulan Branding merupakan bentuk salah satu dari inovasi pemerintahan yang dapat ditawarkan kepada masayrakat.Tentu,brand ini menjadi pilihan untuk menginggatkan masyarakat kepada suatu daerah dan menjadi cirri khas tersendiri dengan daerah lain.Kabupaten Banyuwangi sebagai daereh dipesisir paling timur pulau jawa memiliki brand The Sunrise Of Java.Inovasi branding ini mengantarkan Kabupaten Banyuwangi mendapatkan penghargaan dari dunia Internasional.Perolehan
penghargaan
ini
tentu
memiliki
startegi
tersendiri
untuk
meraihnya.Promosi pariwisata dan inovasi pelayanan public salah satunya.Promosi pariwisata melalui branding The Sunrise Of Javabanyak menarik wisatawan lokal dan internasional.Hal ini terbukti dengan peningkatan jumlah wisatawan selama tahun 2010-2015.Peningkatan jumlah wisatawan ini tentunya dibantu oleh kemajuan dari teknologi informasi yang ada.Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi ini diggunakan untuk media promosi brand The Sunrise Of Javamelalui website ,media sosial dan aplikasi smartphone.Selain itu inovasi pelayanan public berbasis E-govjuga menjadi salah satu media untuk mempromosikan The Sunrise Of Javake dunia internasional. Strategi pemasaran pariwisata melalui brand The Sunrise Of Javadilakukan melalui empat strategi.Pertama mengemas banyuwangi sebagai produk dengan kata lain memberikan merk atau brand banyuwangi menjadi cirikhas tersendiri dibandingkan kabupaten lain.Kedua adanya strategi pemasaran yang tepat sehingga jumlah wisatawan meningkat.Ketiga keberlanjutan inovasi dan menciptkan inovasi baru.Terahir Mengelola pariwisata dengan
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java� Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
342
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
mengemas acara Banyuwangi festival.Sehingga dengan strategi yang baik melalui branding ini pemerintah Banyuwangi mendapatkan banyak sekali penghargaan.
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java� Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
343
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Blain,C.,Levy,S., dan Ritchie,JRB.2005. Destination Branding:Insights and Practices from Destination management Organization.Journal of Travel Research.Vol 43,No.4, PP.328338. Kasali, Renald. 1998. Membidik Pasar Indonesia. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Kavaratzis, Mihalis.2004.From City Marketing to City Branding:Towards a Theoretical framework for developing city brands.Place Branding,Vol.1,No.1. Knape,Ellen dan Lundell, Hanna.2011.The Brand Identity and Brand Image Of Gothenburg-A Case Study Of Way Out West.Bachelor Programme In Business Study Goteborg University. Kotler, Philip. 2005. Manajamen Pemasaran. Jakarta, PT. Indeks. Kelompok Gramedia Let’s Go To Banyuwangi,2014.Dinas Pariwisata Banyuwangi Lexy J.Melong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: Rosda Karya. Moilanen, Teemu & Rainisto. 2009. How to Brand Nations, Cities and Destinations, A Planning Book for Place Branding. USA: Palgrave Macmillan. Philip Kotler & Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen pemasaran. Jakarta, erlangga. Travel.Kompas.com,2016http://travel.kompas.com/read/2016/01/22/104123127/Empat.Strategi.Ban yuwangi.Raih.Pen hargaan.Pariwisata.PBB
Haidar Fikri, Inovasi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Melalui City Branding “The Sunrise Of Java” Sebagai Strategi Pemasaran Pariwisata /06/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
344
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah Mahathir Muhammad Iqbal Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Islam Raden Rahmat Malang iqbalz_mm@yahoo.com Abstract The concept of decentralization which manifests the concept of local autonomy has implications for efforts to strengthen regional governance based on local potential, including strengthening resource management apparatus is characterized by the process and implementation of personnel management started from procurement personnel consisting of; planning, formation, recruitment and selection, development, promotion, remuneration, discipline, and dismissal or retirement. Procedures and implementation of recruitment candidates for Civil Servants (CPNS) from internal sources (Workers Honorary) and from external sources (the general public) or a common path, and potentially very susceptible to spoil the practice of system and Nepo system. One of the efforts that must be made to minimize all forms of deviation in the framework of the process of recruitment and implementation is to implement a merit system, as the antithesis of giving jobs on the basis of race, ethnicity, religion, political award, gender discrimination, personal favoritism, or the selection of equipment valid. Keywords: System Recruitment, Candidate for Civil Servants (CPNS), Local Government and the Merit System, Bureucracy. Abstraksi Konsep desentralisasi yang memanifestasikan konsep otonomi daerah yang berimplikasi terhadap upaya penguatan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada potensi lokal, termasuk penguatan manajemen sumberdaya aparatur yang ditandai dengan proses dan pelaksanaan manajemen kepegawaian ini dimulai dari pengadaan pegawai yang terdiri dari; perencanaan, formasi, rekrutmen dan seleksi, pengembangan, promosi, remunerasi, disiplin, dan pemberhentian atau pensiun. Prosedur dan pelaksanaan sistem rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari sumber internal (Tenaga Honorer) dan dari sumber eksternal (masyarakat umum) atau jalur umum, sangat rentan dan potensial terhadap praktek spoil system dan nepo system. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisir segala bentuk penyimpangan dalam rangka proses dan pelaksanaan rekrutmen adalah dengan cara menerapkan merit system, sebagai antitesis dari memberikan pekerjaan atas dasar ras, etnis, agama, penghargaan politik, diskriminasi jenis kelamin, favoritisme personal, ataupun peralatan seleksi yang valid. Kata Kunci: Merit System, Pemerintahan Lokal, Disentralisasi, Otonomi Daerah, Birokrasi Submite Review Accepted
: 10 Jan 2017 : 20 April 2017 : 30 Mei 2017
Surel Corespondensi : hayat.150318@gmail.com Pendahuluan Perubahan lingkungan strategis abad ke-21 mengakibatkan perubahan besar dalam berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia, di antaranya adalah ketersediaan sumberdaya Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
345
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada level Pemerintah maupun level Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak penyelengaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peranan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selaku aparat pemerintah sangat penting, mengingat bahwa eksistensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu unsur paling dominan dan strategis dalam proses pencapaian tujuan Nasional. Sebab itu diperlukan suatu usaha untuk menjaga ketersediaan dan peningkatkan kualitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar dapat menjamin mutu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja pada instansi pemerintah. Untuk mendapatkan pegawai yang berkompeten diperlukan adanya sistem pengadaan pegawai agar dapat memperoleh Pegawai yang efisien dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitasnya agar tujuan yang ditetapkan dapat terwujud. Landasan pengadaan Pegawai Negeri Sipil ini di atur oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yakni Undang-undang tentang pokok-pokok Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah Nomor 98 tahun 2000 dan mengalami perubahan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Hasil penelitian Madelin, tentang kajian “Analisis Kebijakan Rekrutmen dan Seleksi PNS (2008)� membuktikan bahwa proses penerimaan PNS di Indonesia masih diwamai penyuapan dan nepotisme, sehingga saat diterima ada motif untuk mengembalikan modal yang berdampak pada korupsi. Sebagaimana Madelin menulis dalam ringkasan disertasi itu bahwa rekrutmen dan seleksi PNS cenderung nopotisme. Hal ini berdasarkan rendahnya kualitas pegawai negeri sipil (PNS) yang dihasilkan dari proses rekrutmen PNS yang buruk dan tidak profesional dimana proses penerimanannya masih diwamai KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) melalui jalinan politik, keluarga dan hubungan kekerabatan. Temuan Madelin berbeda dengan penelitian Gossett (2002) yang berjudul 'Civil Service Reform: The Case of Georgia', penelitian ini adalah meneliti tentang reformasi aparatur di negara Georgia melalui pemberlakuan UU Reformasi Sistem Merit. Hasil penelitian ini yaitu dengan pemberlakukan sistem merit telah membawa perubahan mulai dari rekrutmen sampai pada penempatan, desen-tralisasi atau tanggungjawab moral pegawai. Reformasi ini juga telah meminimalkan campur tangan dan pengaruh politik dalam manajemen kepegawaian negara. Reformasi kepegawaian yang dimaksud adalah adalah membebaskan pegawai dari kroni politik sehingga mereka dapat menjadi profesional dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan publik. Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
346
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Dengan sistem merit yang lepas dari intervensi politis, maka proses rekrutmen dilakukan mulai dari penentuan kebijakan pengadaan pegawai sampai pada pelaksanan dilakukan melalui proses penjaringan, seleksi dan penempatan hanya pada mereka yang secara objektif memang unggul karena semua proses tersebut dilaksanakan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat. Selain itu kebijakan ini mampu mengubah 'karakter pegawai dan membebaskan mereka dari berbagai bentuk diskriminasi ras, kulit, asal daerah, seks, usia, kecacatan dan agama. Masalah umum yang seringkali muncul dalam rekrutmen CPNS di era Orde Baru adalah maraknya praktek perkoncoan, percaloan dan semacamnya. Praktek demikian telah berlangsung lama, karena tertanamnya pemahaman bahwa PNS adalah profesi terhormat di tengah-tengah masyarakat, yang di masa lalu (masa patrimonial) pegawai negeri adalah penguasa yang dilayani oleh rakyat. Bila disederhanakan, ada dua praktek tercela yang kerap kali terjadi dalam rekrutmen CPNS, yakni kolusi dan korupsi. Kolusi disini dapat diartikan sebagai adanya persekongkolan antara para pelamar CPNS dengan pihak lain yang menjanjikan akan meluluskan dan meloloskannya menjadi CPNS dengan imbalan tertentu. Sedang makna korupsi disini lebih kepada korupsi jabatan yakni orang yang karena jabatannya dalam struktur pemerintahan tertentu melakukan persekongkolan dengan pelamar CPNS untuk meluluskan dan meloloskan menjadi CPNS tanpa melalui standar prosedur yang berlaku. Praktek kolusi dan korupsi bisa saja dilakukan bersamaan karena kedua konsep tersebut sangat tipis perbedaannya, identik dengan praktek spoil sytem yang telah membudaya di tengah-tengah masyarakat. Di Era reformasi kehidupan PNS banyak berubah, tuntutan untuk bekerja sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. PNS sekarang juga mendapat tanggungjawab yang berat terutama dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai abdi negara. Pengawasan masyarakat yang semakin menunjukkan kemajuannya menjadikan PNS harus bekerja dengan berbasis kinerja. Selain itu juga harus bekerja secara transparan, akuntabel dan menjunjung tinggi nilainilai demokrasi. Apalagi memasuki era otonomi daerah keberadaan PNS semakin tidak jelas terutama dengan buruknya manajemen sistim kepegawaian di daerah. Kondisi ini yang seringkali tidak dibarengi dengan peningkatan standar kompetensi PNS. Kenyataan ini mengakibatkan PNS tidak memiliki standar kerja yang jelas. Jadi tidak heran apabila masih adanya PNS terlihat sering bermain game ataupun hanya duduk-duduk sambil “ngerumpi�. Kenyataan ini masih banyak terlihat di beberapa lembaga pemerintahan. Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
347
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kondisi demikian sebenarnya tidak terjadi kalau pemerintah mampu merencanakan kebutuhan PNS secara tepat dan profesional. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan keberadaan PNS sangat kompleks. Permasalahan tersebut dimulai dari proses rekrutmen yang tidak mengedepankan analisis dan kebutuhan, sistem penempatan yang tidak memperhatikan kinerja, sistem penggajian dan penghargaan yang kurang memperhatikan prestasi dan kinerjanya. Belum lagi permasalahan karier PNS, sistem pendidikan dan pelatihan serta berkaitan dengan sistim pemberhentian PNS. Berbagai permasalahan tersebut diperlukan langkah-langkah yang nyata dalam mewujudkan aparatur birokrasi yang bersih, profesional dan berperan sebagai pelayan masyarakat. Fenomena faktual
tentang animo Masyarakat untuk menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) nampak masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini sangat terlihat dengan
jelas dari membludaknya aktivitas masyarakat mengurus berbagai kelengkapan
administrai untuk memenuhi syarat di terima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Selain itu aktivitas masyarakat juga cukup ramai mengikuti prosedur penerimaan CPNS tersebut. Sistem rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selama ini yang mengutamakan pendekatan normati (Regulasi) nampak belum sepenuhnya dipedomani oleh pemerintah daerah/instansi terkait terutama pihak-pihak (recruiter) yang diberikan wewenang untuk melakukan rekruitmen Calon Pegwai Negeri Sipil (CPNS). Selain itu, aktivitas dalam proses rekruitmen masih di warnai saling intervensi dan terjadi comflc interest antara pejabat legislatif dan eksekutif dalam mempengaruhi keputusan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sangatlah urgen yang
pelaksanaan perekrutannya
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002, perlu menerapkan prinsip merit system dalam proses dan pelaksanaan sistem rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Metode dan Kajian Pustaka Akar permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting: (1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempe-ngaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara, dan situasi problematik terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepega-waian negara.
Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
348
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan
reformasi
terkait
dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan
birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan
kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of com-
petencies) Prasojo, (2006). Pembahasan dan Analisis Prasojo, (2006), mengeukakan bahwa terkait dengan persoalan rekrutmen, dapat disebutkan beberapa situasi problematik yang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Proses rekrutmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubunganhubungan kolusi, korupsi dan nepotisme. Rekrutmen pegawai masih dipandang seakanakan mejadi kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa job analylis sebagai per-syaratan untuk menentukan job requitment masih belum dimiliki oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah menyebabkan rekrutmen dilakukan secara serampangan dan tidak memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Itu sebabnya, meskipun dirasakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia tidak tahu apa yang dikerjakan, tetapi rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tetap terus dilakukan. Untuk dapat melakukan dengan baik proses perekrutan, maka spesifikasi tugas dan jabatan hares diketahui secara baik. Ironisnya, banyak sekali PNS yang tidak mengetahui kebutuh-an analisis jabatannya, Sumber saya manusia (SDM) aparatur pada satuan organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengang-guran tidak kentara yang sesungguhnya berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang dibutuhkan terhadap jumlah pendidik (risiko beban kerja) masih belum dapat dihitung secara baik untuk menentukan jumlah pegawai yang hares direkrut setiap tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya rekrutmen pegawai masih dilaku-kan dengan caracara yang tidak menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon yang potensial. Hal ini disebabkan karena rekrutmen masih
Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
349
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
dilakukan pemerintah dan bukan oleh sebuah Iembaga yang independen (seperti civil service commission). Dengan situasi birokrasi yang sarat dengan
Kolusi Korupsi
Nepotisme (KKN), maka proses rekrutmen yang demikian tidak dapat menghasilkan calon-calon yang terbaik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekrutmen di Indonesia dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi. Budaya perekrutan yang demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya yang tidak memadai. Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak bebas dari masalah. Kuatnya egoisme daerah dan masih menonjolnya hubungan-hubungan persaudaraan dan afiliasi, juga telah menyebabkan proses rekrutmen tidak menghasilkan PNS-PNS yang memenuhi syarat kualifikasi dan akhlak yang balk. Bahkan kecenderungan untuk menguta-makan putra daerah dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) saat ini semakin menonjol. Itu sebabnya beberapa waktu lalu proses perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di beberapa daerah telah menimbulkan demonstrasi dan situasi chaos Layanan Publik, Prasodjo (2006). Situasi problematik lainnya dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi politik dalam proses rekrutmen. hal ini disebabkan karena biro-krasi di Indonesia masih belum terpisah secara total dengan politik.
Ke-inginan pihak-pihak tertentu misalnya partai politik untuk
menjadikan birokrasi sebagai mesin politik, juga ikut mempengaruhi sukarnya mela-kukan reformasi rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Prasojo (2006). Paling tidak, komiitmen partai politik untuk mendorong terjadinya perubahan proses dan substansi rekrutmen akan membantu percepatan perbaikan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Persoalan kedua yang menjadi acuan dalam kepegawaian adalah sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tingkat kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang rendah sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku Pegawai Negeri Sipil (PNS). Persoalannya terletak pada tidak seimbangnya antara kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang diterima. Hal senada jugs dikemukakan oleh Prasojo (2006) dan Efendi (1993) tentang masalah tersebut. Prasojo (2006) dan Efendi (1993) merincikan beberapa masalah dalam reformasi kepegawaian Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
350
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
antara lain: Pertama, sistem rekrutmen pegawai yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang yang didasarkan pada job analisis, standar kom-petensi, analisis kebutuhan yang nyata, proses seleksi dan penem-patan pegawai serta masih kuatnya nuansa politis terhadap rekrutmen pegawai. Kebijakan yang demikian memiliki implikasi yakni tidak terpenuhinya tuntutan 'the right man on the right place' dan pegawai yang tidak profesional, efektif dan efisien karena rekrutmen yang demikian Iebih condong kepada 'spoil system' daripada 'merit system'. Kuatnya egoisme daerah dan rriasih menonjolnya hubungan-hubungan persaudaraan dan afliasi, juga telah menyebabkan proses rekrutmen tidak menghasilkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi syarat kualifikasi dan ahlak yang baik. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) saat ini semakin menonjol. Situasi problematik lainnya dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah kekuatan eskternal yang mendorong terjadinya intervensi politik dalam proses rekrutmen. Hal ini disebabkan karena birokrasi di Indonesia masih belum terpisah secara total dengan politik. Kedua, sistem penempatan atau alokasi yang tidak memenuhi standar kesesuaian kompetensi, dan keahliannya melainkan hanya dida-sarkan normative administrative yaitu kepangkatan dan golongan.
Impli-kasinya sulit untuk melakukan pengembangan karir,
karena pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kompetensi dan keahlian yang dimilikinya. Selain sistem penempatan yang tidak sesuai kompetensi dan keahliannya, penempatan pegawai dan pengangkatan pegawai dalam jabatan dan 'penu-gasan juga Iebih banyak didasarkan pertimbangan like and dislike dengan mengabaikan keahlian profesi, pengetahun, dan penga-laman yang diperlu-kan organisasi. Ketiga, pola pengembangan aparatur yang belum diorientasikan pada sistem karir, dan tidak adanya rancana pengembangan karir secara jelas. Yang tertuang dalam kebijakan pengembangan karir, oleh karenanya diktat-diktat yang diselenggarakan tidak memiliki arah yang jelas, dan disamping itu jajaran birokrasi tidak dapat mengidentifikasikan kebutuhan jenis diktat yang dibutuhkan bagi pengembangan karir, sehingga diktat-diktat yang dilaksanakan selama ini tidak Iebih hanya merupakan sebuah program kegiatan. Keempat, sistem yang selama ini digunakan dalam penelitian kinerja pegawai adalah DP3, sehingga sangat sulit untuk mencari ukuran bahwa PNS di Indonesia memiliki karakter profesionalisme dalam Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
351
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kinerja, hal ini dikarenakan ukuran-ukuran kinerja dalam DP3 sangat bersifat umum dan sangat memungkinkan memasukkan unsur-unsur like and dislike pimpinan kepada bawahan. Ketidakjelasan pengukuran kinerja mempunyai dampak berupa ketidakjelasan standart promosi jabatan, seseorang dipro-mosikan dalam bobotan tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi Iebih ber-dasarkan kesetiannya dan kedekatannya dengan atasan. Sistem penilaian kinerja seperti ini tidak akan dapat memotivasi dan memompa aspirasi, mengembangkan inovasi dan sikap progresif pegawai, karenanya sistem penilaian ini justru bersifat kontra produktif. Kelima, sistem kenaikan pangkat, yang berjalan secara otomatis menjadikan pegawai bersikap apatis, pasif dan menerima apa adanya, tanpa ada suatu tantangan, untuk meningkatkan prestasi kerja. Implika-sinya adalah pegawai bekerja tanpa beban artinya bekerja hanya melakukan suatu kewajiban tanpa berpikir bagaimana cara meningkatkan prestasi kerja karena kenaikan pangkat tanpa memperthaikan prestasi kerja dan prestasi kerja hanya dilihat dari DP3 serta kenaikan pangkat diberla-kukan sama kepada setiap pegawai, kecuali mereka yang memegang jabatan struktural ataupun fungsional. Keenam, sistem penggajian atau imbalan yang diberikan sama sesuai dengan pangkat, ruang dan golongan, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji PNS Indonesia
dibayarkan
sama
tanpa
di
mem-perhatikan dan mengakomodasi perbedaan
prestasi kerja, tingkat kompe-tensi dan kinerja pegawai yang lebih baik. Dengan bahasa yang sangat lugas dapat disebut `pinter goblok gaji sama (PGGS) akibatnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak jelas tugasnya atau yang bekerja asal-asalan dengan PNS yang rajin bekerja memiliki penghasilan sama, kondisi tersebut rentan menimbulkan kecemburuan sosial. Selain itu gaji yang diberikan kepada PNS, belum dapat memenuhi tingkat kesejahteraan Pedawai Negeri Sipil (PNS) karena tidak adanya keseimbangan antara gaji yang diterima dengan kebutuhan yang harus dikeluarkan, sehingga gaji yang diterima oleh pegawai tidak memberikan insentif bagi pelaksanaan kinerja semakin baik, dan gaji atau imbalan yang rendah dijadikan sebagai alasan terhadap buruknya kinerja pelayanan dan patologi birokrasi. Ketujuh, peraturan disiplin pegawai yang tidak mampu mengikat secara tegas, karena kurangnya pengawasan dari unsur pimpinan serta ketidakjelasan sistem rekrutmen, penggajian, pengukuran kinerja dan pro-mosi yang berdampak pada Iemahnya penegakan pengawasan terhadap perilaku dan pengawasan. Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
352
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Sulitnya mengadakan pengawasan terhadap pegawai sehingga banyak pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin de-ngan alasan kondisi ekonomi serta suasana kerja yang tidak kondusif, dan merupakan hal yang Iumrah apabila banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melakukan bisnis di dalam jam kerja untuk menambah penghasilan dan kehadiran pegawai menjadi tidak penting lagi. tunjangan yang diterima Pegawai Negeri Sipil (PNS) semakin sulit diukur dan semakin tidak trans-paran. Sumber-sumber pembiayaan gaji pun sangat beragam sehingga membuat income seseorang dalam jabatan negara tidak transparan. Bahkan besarnya gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya berkisar 20-30 persen dari take home pay yang diterima oleh seseorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ini pula yang menyebabkan pemberian suap dan gratifikasi pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Hal lain yang turut mewarnai carut marutnya sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia adalah koneksi sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gaji PNS di Indonesia dibayarkan secara sama tanpa memperhatikan kinerja yang dilakukan.
Dengan bahasa lugas, seringkali
disebut 'pinter goblok, penghasilan sama (PGPS). Tidak berlebihan untuk mengatakan hal tersebut, bahkan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak memiliki tugas pasti, juga mendapatkan gaji seperti halnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melaksanakan tugas dengan baik. Akhirnya seringkali gaji yang diterima Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak memberikan insentif bagi pelaksanaan kinerja yang semakin baik. Dalam pengertian lain, sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) beium berdasar pengukuran kinerja. Hal ini pula yang mematikan kreativitas dan inovasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam bekerja. Ketiadaan analisis jabatan dan kiasifikasi jabatan menyebabkan penggajian masih belum berbasis pada bobot pekerjaan. Selanjutnya terkait erat dengan persoalan kepegawaian negara adalah sistem penilaian kinerja. Sangat sulit mencari ukuran untuk mengatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia memiliki karakter profesioanalisme dalam kinerja. Karena profesionalisme dalam kinerja memiliki ukuran-ukuran yang bisa secara kuantitatif terukur dan dapat diperbandingkan. Selama ukuran yang dijadikan sebagai indikator kinerja seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) maka sulit rasanya mengukur kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
353
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
karena ukuran-ukuran kinerja
dalam
DP3 sangat
bersifat
umum
dan
sangat
memungkinkan memasukkan unsur-unsur like and dislike pimpinan kepada bawahan. Ketidakjelasan pengukuran kinerja mempunyai dampak berupa ketidakjelasan standar promosi jabatan. Seseorang dipromosikan dalam jabatan tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi lebih berdasarkan kesetiaannya dan kedekatannya dengan seorang atasan, bahkan sampai saat ini kita tidak memiliki stock nama pejabat dan pegawai dengan kompetensi dan kinerja yang menjadi dasar promosi jabatan. Persoalan internal
dalam
sistem
kepegawaian adalah lemahnya pengawasan
terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Sebagai suatu sistem maka sub sistem kepegawaian saling terkait. Artinya ketidakjelasan sistem rekrutmen, penggajian, pengukuran kinerja dan promosi juga berdampak pada pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Keterkaitan ini ibarat lingkaran setan yang sulit ditentukan ujung pangkalnya. Lemahnya penegakan pengawasan disebabkan oleh ketiadaan standar kinerja, rendahnya gaji, dan promosi yang kental dengan afiliasi. Dalam praktiknya yang terjadi adalah sulitnya mengawasi membengkaknya kekayaan dan harta pegawai, penerimaan hadiah dan gratifikasi menjadi hal yang Iumrah dan kehadiran pegawai menjadi tidak penting lagi. Secara eksternal carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia juga diwarnai
oleh
kooptasi
partai
politik
terhadap
Pegawai
Negeri
Sipil
(PNS).
Ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil (PNS) seringkali menye-babkan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sulitnya membedakan antara tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan keberpihakannya pada partai politik, menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system.
Anggaran negara tidak digunakan semestinya melainkan atas
kepentingan-kepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemanan politik. Sebagaimana dikemukakan oleh Thoha (2005) kondisi kepegawaian yang ada saat ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan penerimaan pegawai di masa lalu, karena proses penataan kepegawaian mulai dari rekturmen, pembinaan dan pensiun banyak diwarnai aroma politik dimana pemerintah membutuhkan pegawai karena didorong oleh keinginan untuk memper-banyak jumlah sehingga semakin banyak pegawai yang bisa dibina untuk mendukung kekuatan golongan Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
354
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
politik tertentu. Baik problem internal sistem kepegawaian maupun problem kooptasi politik terhadap birokrasi akan mempengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan, karena beberapa reformasi kepegawaian harus diarahkan untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional, indepen-den dan berbudaya melayani masyarakatnya. Konsep sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang me-makai metode
desentralisasi
mempunyai kewenangan yang sangat luas, yang merupakan antitesa pembangunan dan pemberdayaan daerah sesuai dengan perkembangan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang belajar dan mengembangkan demokrasi di berbagai segi, khususnya demokrasi politik. Desentralisasi merupakan proses pengurangan atau peng-hapusan peran dan wewenang pemerintah pusat guna menciptakan pem-berdayaan pemerintah daerah dan masyarakat daerah untuk bisa me-ngembangkan daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah atau de-sentralisasi merupakan dua hal yang saling melengkapi dengan semua sudut multidimensi yang melingkupinya. Sejak
diberlakukannya
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, terjadi perubahan kebijakan yang mendasar di bidang kepegawaian. Perubahan kebijakan tersebut merupakan salah satu bagian dari reformasi administrasi, Caiden (1969).
Reformasi
admi-nistrasi. pada hakekatnya menyangkut dimensi dan
spektrum yang sangat luas serta bertujuan sangat jelas yaitu meningkatkan administrative perfor-mance dari birokrasi pemerintah, Caiden (1970). Reformasi administrasi di bidang kepegawaian antara lain perubahan tentang kewenangan peng-angkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang semula merupakan kewenangan pemerintah pusat,
maka pada era otono-mi daerah kewenangan tersebut merupakan kewenangan
pemerintah kabupaten dan kota. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 98 tahun 2000 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Kewenangan pengangkatan
Calon
Pegawai
Negeri
Sipil
(CPNS)
sebelum
dikeluarkannya
undangundang tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka kewenangan pengangkatan Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
355
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pegawai Negeri Sipil (PNS) diserahkan kepada Kabupaten dan Kota. Hal ini sebagaimana dijelaskan Warsito (2006), berikut ini: “Dan meskipun pasal 129 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatakan bahwa pemerintah melaksanakan pembinaan manaje-men pegawai negeri sipil daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, pene-tapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kedu-dukan, pengembangan komptensi dan pengendalian jumlah, itu-lah yang juga menjadi pelaksanaan tugas dari BKD di daerah�.
Berdasarkan kriteria pembagian urusan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III (Pasal 10 s.d. Pasal 18) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, maka kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan adalah sebagai beri-kut: a. Pusat: berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, moni-toring dan
evaluasi, supervisi, fasilitasi, pengawasan dan
urusan-urus-an pemerintahan dengan eksternalitas nasional; b. Provinsi: berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas Kabupaten/Kota); c. Kabupaten/Kota: berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kabupaten/Kota). Pembagian kewenangan tersebut termasuk berlaku dalam konteks manajemen sumber daya aparatur publik. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan sistem desentralisasi, maka pemerintah pusat memainkan kebijakan yang bersifat penentuan standar, norma, prosedur, monitoring dan pengawasan. Sedangkan pemerintah daerah menjalankan sepenuhnya manajemen kepegawaian daerah. Kesimpulan Internalisasi nilai-nilai demokrasi dalam reformasi kepegawaian publik, karena administrasi publik sesungguhnya dipandang sebagai bagian dari aktivitas masyarakat, sebab birokrasi dan organisasi pemerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan sistem politik, sosial, ekonomi, dan se-bagainya. Adanya internalisasi nilainilai demokrasi akan berimplikasi pada terkonstruksinya pola bottom up didalam proses dan pelaksanaan sistem rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan fidak semata-mata top down dengan tetap mengadopsi teori merit system Leveriza (1990). Dan Undang-Undang Pendleton 2301 huruf (b) bab 5 Tentang konsep Merit system.
Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
356
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Antoft, K. & Novack, J. 1998, Grassroots Democracy : Local Government in the Maritimes, Nova Scotia: Henson College. Dalhousie University. Baedhowi. 2007. Revitalisasi Sumber Daya Aparatur dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Layanan Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No.2 (Mei). Bryant, Coralie & White Louise.1987.Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang. LP3ES.Jakarta. Islamy, Irfan 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Naskah Pidato Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik, FIA Universitas Brawijaya Malang. ______2001. Agenda Kebijaksaan Reformasi Administrasi Negara. Journal Administrative Negara: Good Governance, Vol. II No 1, September 2001. FIA Unibraw Malang. Irawan, Prasetya, Suryani S.F.Motok, Sri Wahyu Krida Sakti, 1997 Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: STIA LAN Press. Ivancevich, John M. 2001, Human Resource Management, New York: Mc. Grow Hill Companies. Mathis. Robert I, Jackson John H. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Salemba Empat. Mathis, Robert L and John H Jackson. 2000. Human Rosources Management, Nineth Edition, South-Western College Publishing United State. ______2002, Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan oleh Jimmy Sadeli. Salemba Empat. Jakarta. Mawhood, Philip. 1983. Decentralization : the Concept and the Practice: in Philip Mawhood, Local Government in the Wolyd: the Experience of Tropical Africa, First Edition, John Wiley & Sons Ltd, Afrika Selatan. 1987. Local Government in the Third World, John Wiley & Sons: New York. Mondy, Wayne & Robert M, Noe. 1996. Human Resource Management, New Jersey: Prentice Hall Inc. Mondy, Wayne & Robert M, Noe. 1996. Human Resource Management, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
357
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Muluk, Khairul MR. 2000. Reformasi Manajemen Personalia Publik, Journal I Adminsitrasi Negara. Vol 1. No 1, September 2000. FIA Unibraw MalangAdministrasi Negara. Muluk, Khairul, M. R. 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, ITS Press. Surabaya. Pamudji, Suparni, (1984), “Pelaksanaan Asas Desentralisasi dan Otonomi Daerah di dalam Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia�, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan. Sondang P. Siagian, 1994. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, Shafritz, Jay M and E.W. Russel.1996. Introducing Public Administration. Addison-Wesley Publishing Company. ______.2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Simamora, Henry.1999.Manajemen Sumber Daya Manusia.Yogyakarta:YKPN Syamsudin, Sadili (2006); Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Pustaka Setia/ Tjokroamidjojo, B. 1987. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES,Jakarta. Referensi Dari Internet http://www.indonesia.go.id/in/lpnk/badan-kepegawaian-negara/2477-profile/363-badankepegawaian-negara www.bkn.go.id. Proses Perekrutan CPNS di Indonesia. www.fajar.co.id. Mekanisme Penerimaan CPNS secara Nasional. www.waspada.co.id. CPNS dan Mental Wiraswasta.
Mahatir Muhammad Iqbal, Membangun Sistem Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil Pada Era Otonomi Daerah /07/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
358
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional Melalui Peran Opinion Leader Niken Lestarini Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Ponorogo lestarini.niken@gmail.com Abstract This study aims to develop a model of socialization of the National Health Insurance through the role of Opnion Leader. The development of socialization model of National Health Insurance through the role of Opinion Leader is important because with the inclusion of communication technology in Rural areas has led to the emergence of social distance between opinion leaders (Opinion Leader) with the community. Although acknowledged that opinion leaders in Indonesia are still very instrumental in influencing the attitude and behavior of followers in the village. This research is also important to assist the Ponorogo Regency Government in implementing the National Health Insurance (JKN) Act organized by Social Security Administering Board (BPJS). This research is a continuation of research of Opnion Leader role which shows that its role is very high in socialization about Naional Health Insurance in the village. This research uses qualitative research paradigm. Data collection techniques used are in-depth interviews, observation and dukumentasi.Teknik Determination Informants using snowball technique, ie without determining the number of informants but based on information provided in accordance with the data required. Then the method of data analysis using Interactive Analysis Model. The results of research and discussion can be concluded that the Government set a target that in 2019 all Indonesian people have registered and have a card of National Health Insurance - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). So it has become a necessity for the socialization model that can really touch the people so that the target of the government can be achieved. Because JKN-KIS has become the thing that is needed by the society in carrying out their life to be healthy and prosperous and has been poured in Government regulation, the socialization model used belongs to the Represif socialization model. This socialization runs in one direction from one person to another. The implementation of the socialization of JKN -KIS should not only be the responsibility of the central and regional governments but the responsibility of all parties including the community as a whole. Through the role of Opinion Leader both formally and formally in the village community is needed because Opinion Leader is very close to the community and the place to ask related to all aspects of village life, in addition to understanding JKN-KIS there is awareness to become a participant of JKN-KIS both government-financed As well as pay dues independently. Keywords: Socialization Model of National Health Insurance, Role of Opinion Leader Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk menyusun pengembangan model sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional melalui peran Opnion Leader. Pengembangan model sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional melalui peran Opinion Leader penting dilakukan karena dengan masuknya teknologi komunikasi di Pedesaan telah menyebabkan munculnya jarak sosial antara pemimpin Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
359
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
opini (Opinion Leader) dengan masyarakatnya. Meski diakui bahwa pemimpin opini di Indonesia masih sangat berperan dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pengikutnya di desa. Penelitian ini juga penting dilakukan untuk membantu Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam menerapkan Undang-Undang tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian tetang peran Opnion Leader yang menunjukkan bahwa perannya sangat tinggi dalam sosialisasi tentang Jaminan Kesehatan Naional di desa. Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kualitatif.Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi dan dukumentasi.Teknik Penentuan Informan menggunakan teknik bola salju, yaitu tanpa menentukan jumlah informan tetapi berdasarkan informasi yang diberikan sesuai dengan data yang dibutuhkan. Kemudian metode analisis data menggunakan Model Analisis Interaktif. Hasil penelitian dan pembahsan dapat diambil kesimpulan bahwa Pemerintah menetapkan target bahwa tahun 2019 semua masyarakat Indonesia telah terdaftar dan mempunyai kartu Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Maka sudah menjadi keniscayaan perlunya model sosialisasi yang benar-benar bisa menyentuh rakyat agar target pemerintash bisa tercapai. Karena JKN-KIS sudah menjadi hal yang sangat dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya agar sehat dan sejahtera dan telah dituangkan dalam peraturan Pemerintah maka model sosialisasi yang dipakai tergolong ke dalam Model sosialisasi Represif. ssosialisasi ini berjalan dengan satu arah dari sesorang kepada orang yang lainnya. Pelaksanaan sosialisasi tentang JKN-KIS seharusnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja baik pusat maupun daerah tetapi tanggung jawab semua pihak temasuk masyarakat secara keseluruhan. Melalui peran Opinion Leader baik secara formal maupun diformal di masyarakat desa sangat dibutuhkan karena Opinion Leader sangat dekat dengam masyarakat dan tempat bertanya terkait dengan semua aspek kehidupan masyarakat desa, selain memahami JKN-KIS tersebut ada kesadaran untuk menjadi peserta JKN-KIS baik yang dibiayai pemerintah maupun membayar iuran secara mandiri. Kata Kunci: Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Peran Opinion Leader Submite Review Accepted
: 17 Jan 2017 : 30 April 2017 : 30 Mei 2017
Surel Corespondensi : ayubdwianggoro86@gmail.com Pendahuluan Kesehatan merupakan hal yang sangat penting karena menjadi kebutuhan dasar dalam kehidupan ini, masyarakat baik di desa maupun di kota mulai menyadari betapa mahalnya harga tubuh yang sehat. Hal tersebut bisa terlihat makin banyaknya tempat-tempat pusatkebugaran, baik fitnes, aerobik, berenang, footsal, bulu tangkis dan sebagainya. Semua itu adalah untuk memperoleh badan yang bugar dan sehat karena dengan badan yang bugar dan sehat manusia bisa menikmati kehidupannya. Terkait dengan kesehatan masyarakat Indonesia, baru-baru ini Pemerintah menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai amanat UndangNiken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
360
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Undang No 40/2004, yang diawali dengan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014. Sesuai dengan amanat UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Askes dan Jamsostek akan beralih dari badan usaha milik negara menjadi badan hukum publik BPJS Kesehatan (1 Januari 2014) dan BPJS Ketenagakerjaan (1 Juli 2015). Awal pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai pada tanggal 1 Januari 2014. Secara bertahap, semua penduduk Indonesia akan tercakup dalam program JKN pada tahun 2019. Ada aturan yang mengharuskan semua perusahaan swasta mendaftarkan karyawannya
menjadi
peserta
JKN.Perusahaan
yang
menolak
bisa
dikenai
sanksi
administratif.Sejumlah peraturan pemerintah dan keputusan presiden terkait dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (24/12/2013).Dengan demikian, jaminan kesehatan nasional siap dilaksanakan pada 1 Januari 2014. Meskipun program tersebut telah mulai dilaksanakan, namun dalam kenyataannya masyarakatsecara umum masih belum mengerti tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang diseelenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tersebut. Karena sosialisasi tentang Undang-Undang tersebut masih terbatas melaui media massa baik elektronik maupun media cetak. Masyarakat di desa perlu sosialisasi secara langsung agar benar-benar paham dan hal ini nampaknya sulit dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) karena jumlah pegawainya sangat terbatas. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka agar Undang-Undang tentang Jaminan Kesehatan Nasional berhasil disosialisaikan dan dilaksanakan khususnya pada masyarakat desa, maka peran Opinion Leader ( pemuka pendapat ) atau disebut sebagai pemimpin informal dalam melaksanakan sosialisasi Undang-Undang tersebut sangat penting. Oleh karena itu Oleh karena itu penelitian tentang pengembangan model sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional melalui peran Opnion Leader sangat penting. Sosialisasi menurut Bruce J.Cohen adalah proses sosial tempat seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku yang sesuai dengan perilaku baik sebagai individu maupun sebagai anggota dari orang-orang di sekitarnya. Proses sosialisasi merupakan proses mempelajari dan menanamkan suatu nilai, norma, peran dan pola perolaku dari satu generasi ke generasi lain dalam hal sebuah kelompok atau masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
361
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Berdasarkan jenisnya sosialisasi menurut Soerjono Soekano dibagi menjadi dua, yaiu sosialisasi Primer yaitu sosialisai pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Dua sosialisasi Sekunder, yaitu proses sosialisasi lanjuta setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu. Tipe sosialisasi juga dibedakan menjadi dua, yaitu : pertama sosialisasi Formal, terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan Negara. Kedua Informal, terdapat dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, atau kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Menurut George Herbert Mead, ada emapt tahapan proses sosialisasi yang dilalui seseorang adalah sebagai berikut : Pertama,Tahap Persiapan (prepatory stage) yakni proses memperoleh pemahaman terhadap sesuatu di lingkungan sosialnya. Kedua, tahap meniru (play stage) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain yang dianggap sebagai panutan. Ketiga, Tahap Memainkan (game stage) peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan diganti oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Keempat, Tahap Penerimaan Norma Kolektif (generalized stage). pada tahap ini seseorang telah dianggap mampu menmpatkan dirinya menjadi warga masyarakat dalam arti yang sesungguhnya. Bentuk atau Model Sosialisasi bisa digolongkan menjadi dua, yaitu model
system
sosialisasi partisipatif dan model sosialisasi Represif. Model system partisipatif,
model
sosialisasi ini secara sadar telah melibatkan orang lain dengan sukarela. Model ini dikembangkan oleh seseorang yang berkeinginan untuk sesuatu bentuk komunikasiserta hubungan dengan orang lain tanpa adanya paksaan.
Inti dari sosialisasi ini ada kepentingan dua orang yang saling
bersosialisasi satu sama lainnya, ada unsur kesadaran untuk melakukan komunikasi dan bersosialisasi.bentuk
sosialisasi
ini
merupalkan
suatu
kebebasan
yang
tidak
untuk
dipaksakanoleh pihak manapun dan oleh siapapun. Kedua adalah model sosialisai Represif, ssosialisasi ini berjalan dengan satu arah dari sesorang kepada orang yang lainnya. Hubungan seperti ini bisa dilihat di dalam suatu pola ataupun hubungan struktural yang ada di dalam suatu organisasi. Pengembangan Model sosialisasi dalam penelitian ini adalah Pengembangan dari sosialisasi atau proses pemahaman tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang dilakukan oleh pemerintah melalui media massa Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
362
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kemudian dikembangkan melalui peran opinion leader dalam memberikan pemahaman dan pembentukan sikap untuk berperilaku kepada masyarat desa di Kabupaten Ponorogo terkait dengan Jaminan Kesehatan nasional yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Kajian tentang Pemimpin masyarakat dalam Ilmu Komunikasi disebut Opinion Leader atau pemimpin opini, yang termasuk dalam hal ini adalah para tokoh-tokoh masyarakat desa, kiai ulama, bahkan dukun dan sebagainya. Di awal perkembangannya muncul di Amerika seperti yang telah ditunjukkan oleh Paul Lazarfeld dan kawan-kawan. Oleh karena itu, model-model arus informasi yang lebih mendekati untuk membahas pemimpin opini ini adalah model two step flow asumsi dasarnya adalah media massa tidak langsung mengenai audience tetapi melalui pemimpin opininya. Kemudian pemimpin itu meneruskan informasi tersebut kepada para pengikutnya. (Ardial,2008:198). Peran Opinion Leader dalam kehidupan sosial di Indonesia juga tidak bisa dibilang rendah. Karena pemimpin opini sangat dipercaya masyarakatnya, ia ikut menentukan berbagai perilaku masyarakatnya. Di Indonesia pemimpin opini ikut menentukan apakah Program Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan pemerintah pada tahun 70-an sukses atau tidak. Nyata bahwa kesuksesan program KB tidak lepas dari peran pemimpin opini ini. Bahkan, secara terang-terangan di kantor Kepala Desa di Patalan Jetis Bantul Yogjakarta ditulis bahwa para kiai dan tokoh masyarakat lain mendukung gerakan program KB pemerintah. Bahkan menyatakan bahwa KB halal dah sah.Kampanye lewat tulisan ini penting agar masyarakat yang semula ragu terhadap program KB tidak sangsi memakai alat kontrasepsi. Hal tersebut bisa dilihat dari perkembangan penurunan angka kelahiran rata-rata penduduk di Indonesia. Pada periode 1961-1971 pertambahan penduduk rata-rata setahun sebesar 2,1% pada periode 1971-1980 sebesar 2,32% dan pada periode 1980-1990 menurun menjadi 1,98% (Masri Singarimbun,1996:3). Meskipu Masri Singarimbun tidak menyatakan secara eksplisit apa yang mempengaruhi penurunan angka kelahiran rata-rata per tahun, dalam hal ini pemimpin opini tidak bisa dianggap sedikit perannya. Ini artinya bahwa pemimpin opini khususnya di desa akan menjadi faktor utama berhasil tidaknya penurunan angka kelahiran yang menjadi salah menjadi salah satu program KB. Bisa dibayangkan bagaimana jika program KB tersebut tidak mendapat dukungan dari para pemimpin opini. Sekuat apapun keinginan pemerintah atau dipaksa dengan cara apaun, masyarakat tentu akan menganggap KB merupakan Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
363
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
program baru yang justru membatasi jumlah anak. Padahal di desa, filsafat hidup yang pernah berkembang adalah banyak anak banyak rejeki. Pemimpin opini juga berperan dalam menentukan hari apa yang baik untuk bercocok tanam bagi warga desa. Bukan berarti bahwa warga desa khususnya tidak mengetahuinya, tetapi meminta legitimasi pemimpin opini akan lebih mantab daripada diputuskan sendiri. Apalagi tidak jarang para pemimpin opini itu melegitimasi dirinya dengan “kekuatan gaib�.Misalnya, ketika ada orang meminta bantuan “kekuatan gaib� sebelum memutuskan. Cara seperti ini tentu akan semakin menguatkan kedudukan pemimpin opini di mata masyarakat.(Ardial,2008:202) Kiai punya alasan dikatakan sebagai pemimpin opini yang punya kekuatan M.Munandar Soelaiman (1998:148) mengemukakan setidak-tidaknya bisa dilihat dari dua hal : 1. Memiliki kemampuan perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi (highty developed social sense). 2. Selalu melandaskan sesuatu pada kesepatan bersama (general consensus). Itu berarti kiai dianggap punya kekuatan yang tinggi di dalam mempengaruhi masyarakat karena bisa memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya. Kiai sanggup menjawab berbagai macam persoalan yang ingin diketahui masyarakat.Kiai juga mampu “mengasuh masyarakat dengan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Kiai dianggap orang yang punya pengaruh karena keilmuannya.Ia ahli dalam bidang agama sehingga sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan ia menjadi patron masyarakat atau ia sanggup melayani kliennya (masyarakat). Bahkan ia bisa berperan sebagai pressure group dan rulling class di pedesaan. Ia mampu menolak kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan adat istiadat, aspirasi, atau norma di wilayahnya. Ia dengan kemampuan kharismatiknya melakukan perlawanan terhadap kebijakan tertentu. Opinion Leader pada umumnya dibandingkan dengan masyarakat biasa mempunyai kharakteristik-kharakteristik diantaranya: pendidikan yang lebih formal, status social dan ekonomi yang lebih tinggi, lebih inovatif dalam mengadopsi gagasan-gagasan baru, lebih banyak bersentuhan dengan media massa, kemampuan empati yang lebih besar, partisipasi social yang lebih banyak dan lebih kosmopolitan. Keunggulan yang lain yang dimiliki oleh opinion leader dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan adalah lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Oleh karena itu Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
364
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
metode atau model sosialisasi dari Pemimpin Opini kepada masyarakat desa tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah, perlu dilakukan agar masyarakat desa benar-benar memahami dan menjalankan aturan tersebut. Metode dan Kajian Pustaka Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena data yang hendak dikumpulkan dalam penelitian ini adalah tentang Pengembangan Model sosialisai para tokoh masyarakat atau pemimpin baik formal maupun informal yang dalam ilmu komunikasi disebut opinion leader atau pemuka pendapat kepada masyarakat di desa tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. Jelas yang dikehendaki adalah informasi dalam bentuk deskripsi tentang bagaimana Pengembangan Sosialisasiyang digunakan oleh opinion leader tersebut tentang JKN. Penelitian ini meruapakan penelitian yang telah dilakukan di Desa Nglumpang Kecamatan Mlarak kabupaten Ponorogo dengan alasan bahwa meskipun masuknya teknologi komunikasi di pedesaan telah menyebabkan terancamnya keberadaan pemimpin opini atau pemimpin informal (opinion leader), namun pemimpin opini
di Kabupaten Ponorogo masih sangat berperan
terutama di daerah pedesaan biasanya melalui musyawarah di desa atau kelompok tani atau menghadiri pengajian-pengajian yasinan yang diadakan setiap minggu dan di setiap dusun di desa. Data yang digali lewat penelitian ini, sebagaimana disebutkan di atas adalah tentang Pengembangan Model Sosialisasi tentang Jaminan Kesehatan Nasional melalui peran opinion leader. Oleh karena itu sumber data primer akan digali melalui sosialisasi
para tokoh
masyarakat di desa Nglumpang Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo dan data pendukung dari sosialisasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam hal ini dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan ( BPJS ) di Ponorogo.
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
365
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Informan dalam penelitian ini adalah Para pegawai BPJS Kabupaten Ponorogo dan beberapa tokoh masyarakat (opinion leader) yang terlibat dalam sosialisasi JKN biasanya melalui pengajian yasinan rutin baik yang diadakan oleh kelompok ibu-ibu maupun kelompok bapak-bapak.Beberapa ibu anggota yasinan juga beberapa bapak sebagai anggota kelompok tersebut. Penentuan informan tersebut akan dilakukan melalui teknik snowball (bola salju), dimana penggalian data akan dilakukan kepada para tokoh masyarakat tanpa menentukan jumlahnya, tetapi mencukupkan diri dengan kualitas informasi yang diberikan, artinya jika informasi dirasa sudah jenuh (tidak ada informasi baru lagi) dari informan yang diinterview, maka penggalian data akan dihentikan. Sementara itu, jika informasi yang digali dari para tokoh masyarakat atau pemimpin informal tersebut masih terus berkembang dan memenuhi kebaruan sesuai dengan fokus penelitian, makapenggalian data akan terus bergulir dan terus mencari informan baru sesuai dengan petunjuk yang diberikan informan lain yang telah diwawancarai. Demikian juga dengan informan pendukung yaitu anggota kelompok yasinan atau kelompok tani dan masyarakat. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk menggali data tentang Pengembangan Model sosialisai melalui peran opinion leader kepada masyarakat desa tentang Jaminan Kesehatan Nasional.Wawancara mendalam digunakan untuk menggali data tentang berbagai pandangan dan pendapat tentang Model sosialisasi opinion leader kepada masyarakat tentang JKN di desa Nlumpang Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo, yang melatari pandangan dari berbagai aspek, sesuai dengan ruang dan waktu subyek. Sedangkan dokumentasi digunakan untuk pendokumenan baik berupa catatan kecil,buku, arsip tentang penelitian tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, mengacu pada pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa, pokok penelitian bukanlah kepada gejala gejala sosial, tetapi lebih menekankan kepada memahami makna-makna yang terkandung dibalik tindakan individu yang mendorong terwujudnya gejala-gejal sosial tersebut. (Istbsyaroh,2004:14) Pembahasan dan Analisis Identifikasi Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional oleh Pemerintah melalui BPJS Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
366
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.Di Ponorogo JKN diselenggarakan oleh Badan Pehyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) saat ini berada di Jalan Bhayangkara no. 26 Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Sosialisasi tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) timgkat nasional bisa dilihat di media social internet www.jkn.kemkes.go.id di Ponorogo sudah dilakukan melalui instansi terkait, yaitu Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah Bagian Kesejahteraan Rakyat, di Kecamatan, Puskesmas dan dipublikasikan lewat media social interrmet BPJS.Keshatan.go.id terkait alamat dank ode fasilitas kesehatan Ponorogo Tingkat 1 ( Puskesmas, rumah sakit, optic, apotek dan faskes lainnya) per Januari 2016 Puskesmas Mlarak jalan Raya Mlarak Kabupaten Ponorogo, namun realisasinya berdasarkan hasil penelitian bahwa sosialisasi tersebut masih belum menyentuh langsung kepada masyarakat Desa. Pemerintah menetapkan target bahwa tahun 2019 semua masyarakat Indonesia telah terdaftar dan mempunyai kartu Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Maka sudah menjadi keniscayaan perlunya model sosialisasi yang benar-benar bisa menyentuh rakyat agar target pemerintash bisa tercapai. Karena JKN-KIS sudah menjadi hal yang sangat dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya agar sehat dan sejahtera dan telah dituangkan dalam peraturan Pemerintah maka model sosialisasi yang dipakai tergolong ke dalam Model sosialisasi Represif. ssosialisasi ini berjalan dengan satu arah dari sesorang kepada orang yang lainnya. Hubungan seperti ini bisa dilihat di dalam suatu pola ataupun hubungan struktural yang ada di dalam suatu organisasi.
Maka Model Sosialisasi Partisipatif juga diperlukan
karena masyarakat sesuai dengan hasil penelitian, apabila terkena sakit yang harus ke dokter atau rumah sakit
sangat membutuhkan JKN-KIS kesadaran masyarakat diharapkan tumbuh dari
bawah bukan karena semaa-mata menjadalnkan aturan dari pemerintah. Tipe sosialisasi juga dibedakan menjadi dua, yaitu : pertama sosialisasi Formal, terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan Negara. Kedua Informal, terdapat dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, atau kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah tentu ini merupakan sosialisasi yang Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
367
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
formal, oleh karena itu peran opinion leader yang dilakukan secara informal diperlukan untuk melengkapi sosialisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah atau Negara. Menurut George Herbert Mead, ada empat
tahapan proses sosialisasi yang dilalui
seseorang adalah sebagai berikut : Pertama,Tahap Persiapan (prepatory stage) yakni proses memperoleh pemahaman terhadap sesuatu di lingkungan sosialnya. Kedua, tahap meniru (play stage) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain yang dianggap sebagai panutan. Ketiga, Tahap Memainkan (game stage) peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan diganti oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Keempat, Tahap Penerimaan Norma Kolektif (generalized stage). pada tahap ini seseorang telah dianggap mampu menmpatkan dirinya menjadi warga masyarakat dalam arti yang sesungguhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosialiasasi JKN-KIS telah dilakukan dengan melibatkan instansi terkait dan melalui media baik elektronik maupun cetak serta media social masih berhenti pada pemimpin formal di desa itupun mereka masih merasa kurang paham karena sosialisasi mulai tahun 2014 sampai sekarang hanya dilakukan dua kali di tingkat kecamatan sesuai jawaban bapak Sucipto Kepala Desa Nglumpang dan Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Nglumpang Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo. Jadi sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah yang telah dilaksanakan melalaui BPJS dan melibatkan instansi terkait secara formal telah dilakukan tetapi belum menyentuh langsung dengan masyarakat, apalagi di masyarakat desa. Masyarakat di desa masih banyak yang belum atau tidak memanfaatkan media yang telah disiapkan oleh pemerintah atau BPJS. Masyarakat mengetahui dan memahami JKN dan sampai memjadi anggota atau memiliki kartu JKN-KIS karena sakit dan dirawat di rumah sakit karena biaya mahal dan tidak mampu mebayar secara tunai maka mereka langsung mendaftarkan diri JKN-KIS agar bisa membayar lebih ringan dan murah karena dibayarkan setiap bulan sesuai dengan kelas yang diinginkan berdasarkan aturan terbaru yaitu kelas 1 per bulan emembayar Rp. 80.000,- kelas 2 Rp. 51.000,- dan kelas 3 Rp. 25.500,Disamping
permasalahan iuran yang dirasa tinggi oleh masyarakat di desa bahkan
perangkat desa Nglumpang Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo belum menjadi peserta JKN-KIS, permaslahan pelayanan juga masih belum maksimal sehingga masyarakat masih Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
368
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
merasa belum puas tetapi sebagian masyarakat juga sudah merasa puas dengan pelayanan JKN yang benar-benar gratis. Identifikasi Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional melalui Peran Opinion Leader Pemerintah telah mencanangkan bahwa pada tahun 2019 semua masyarakat Indonesia harus sudah terdaftar dan menjadi anggota JKN-KIS baik yang dibiayai oelh pemerintah maupun mandiri. Sosialisasi tentang JKN-KIS harus dilakukan secara intensif dan tepat sasaran agar apa yang diharapkan oleh pemerintah bisa terwujud. Sosialisasi JKN-KIS yang dilakukan oleh Pemerintah melalui BPJS dan dinas Kesehatan masih dirasa kurang oleh instansi terkait utamanya di tingkat kecamatan dan desa apalagi oleh masyarakat secara langsung. Oleh karena itu perlu pengembangan model sosialisasi agar Sosialisasi bisa mengena langsung pada masyarakat. Di tingkat desa adalah tempat paling dekat dengan masyarakat, maka sosialisasi JKN-KIS sebaiknya diteruskan oleh Kepala Desa dan Kaur Kesra atau di desa dikenal dengan Modin dan tokoh masyarakat atau para pemimpin di desa dalam Ilmu Komunikasi di sebut sebagai Opinion Leader. Di dalam komunikasi massa dalam hal ini tentang JKN-KIS kurang efektif dalam pembentukan sifat personal karena komunikasi tidak kemudian dapat langsung diterima oleh massa, tetapi melalui Opinion Leader
ialah yang kemudian menterjemahkan apa yang
disampaikan dalam komunikasi massa itu pada komunikan dalam hal ini kepada masyarakat di desa.pada komunikasi massa Opinion Leader
secara langsung akan diduduki oleh pelaku
komunikasi organisasi, demikian juga komunikasi organisasi memiliki opinion leader dari levellevel di bawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa opinion leader memiliki posisi yang cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak kekuatan itu dapat berasal faktor budaya, agama dan pengalaman. Kehadiran sosok opinion leader menunjukkan adanya keterlibatan yang kuat dari komunikasi interpersonal dalam proses komunikasi massa secara keseluruhan. Di dalam teori komunikasi Two Step Flow Model sebagaiman dijelaskan dalam kajian teori pada bab terdahulu bahwa dengan model alir komunikasi massa dua tahap, opinion leader merupakan orang-orang tertentu de dalam khalayak yang mempunyai pengaruh besar atas anggota-anggota khalayak yang lain, baik dalam pembentukan opini maupun dalam proses pembentukan keputusan.
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
369
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Opinion leader adalah orang-orang yang secara informal membimbing dan mengarahkan suatu opini tertentu kepada masyarakat. Opinion leadermenjadi tempat bertanya masyarakat desa dalam hal atau masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Opinion leader merupakan individu dalam masyarakat yang menerima informasi dari media dan meneruskannya dalam kelompok asalnya. Juga dikatakan sebagai orang yang secara informal dapat mempengaruhi tindakan atau sikap dari orang-orang lain baik mereka orang yang sedang mencari-cari informasi (opinion seeker)atau yang sekedar menerima informasi secara pasif (opinion recipient). Opinion leader dalam sosialisasi JKN-KIS sebagaimana hasil penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama Opinion leader Aktif ( Opinion Giving) disini para opinion leader dalam hal ini para perangkat desa dan tokoh-tokh masyarakat desa tersebut sengaja memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang JKN-KIS tersebut. Kedua opinion leader pasif (opinion seeking) dalam hal ini masyarakat desa lebih aktif mencari informasi tentang JKN-KIS kepada opinion leader sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi terkait dengan pentingnya JKN-KIS terutama pada saat mengalami sakit yang memerlukan pengobatan lebih intensif. Oleh karena itu kedua-duanya baik masyarakat di desa maupun para tokoh atau opinion leader bisa termadsuk dalam kelompok yang aktif maupun pasif. Sebagaimana tipe sosialisasi yang dibedakan menjadi dua, yaitu : pertama sosialisasi Formal, terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan Negara. Kedua Informal, terdapat dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, atau kelompok -kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah tentu ini merupakan sosialisasi yang formal, oleh karena itu peran opinion leader yang dilakukan secara formal maupun informal diperlukan untuk melengkapi sosialisasi tenang JKN-KIS yang telah dilakukan oleh pemerintah atau Negara. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa sosialisasi tentang JKN-KIS yang dilakukan oleh opinion leader di Desa Nglumpang Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo dengan cara formal melalui rapat di desa, posyandu, PKK. Dan uyang informal melalui pengajian Yasinan baik kelompok bapak-bapak dan kelompok ibu-ibu, takziah bersama, menjenguk orang sakit bersama, kerja bakti, dan macam-macam kenduren,
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
370
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kesimpulan Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia, Pemerintah Indonesia berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Diantaranya telah Menyeleng garakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai amanat Undang-undang No.40/2004, yang
diawali dengan
Jaminan Kesehatan Nasional per Januari 2014 sesuai amanat UU no.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Askes dan Jamsostek akan beralih dari Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Hukum Publik BPJS Kesehatan (1 Januari 2014) dan BPJS Ketenagakerjaan (1Juli 2015). Secara bertahap, semua penduduk Indonesia akan tercakup dalam program JKN pada tahun 2019. Pemerintah menetapkan target bahwa tahun 2019 semua masyarakat Indonesia telah terdaftar dan mempunyai kartu Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Maka sudah menjadi keniscayaan perlunya model sosialisasi yang benar-benar bisa menyentuh rakyat agar target pemerintash bisa tercapai. Karena JKN-KIS sudah menjadi hal yang sangat dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya agar sehat dan sejahtera dan telah dituangkan dalam peraturan Pemerintah maka model sosialisasi yang dipakai tergolong ke dalam Model sosialisasi Represif. ssosialisasi ini berjalan dengan satu arah dari sesorang kepada orang yang lainnya. Hubungan seperti ini bisa dilihat di dalam suatu pola ataupun hubungan struktural yang ada di dalam suatu organisasi.
Maka Model Sosialisasi Partisipatif juga diperlukan
karena masyarakat sesuai dengan hasil penelitian, apabila terkena sakit yang harus ke dokter atau rumah sakit sangat membutuhkan JKN-KIS maka kesadaran masyarakat diharapkan tumbuh dari bawah bukan karena semaa-mata menjalankan aturan dari pemerintah. Pelaksanaan
sosialisasi tentang JKN-KIS seharusnya bukan hanya tanggung jawab
pemerintah saja baik pusat maupun daerah tetapi tanggung jawab semua pihak temasuk masyarakat secara keseluruhan. Melalui peran Opinion Leader baik secara formal maupun diformal di masyarakat desa sangat dibutuhkan karena Opinion Leader sangat dekat dengam masyarakat dan tempat bertanya terkait dengan semua aspek kehidupan masyarakat desa, selain memahami JKN-KIS tersebut ada kesadaran untuk menjadi peserta JKN-KIS baik yang dibiayai pemerintah maupun membayar iuran secara mandiri. Dengan menggunakan model asuransi JKN-KIS diharapkan ada keseimbangan bahwa yang mempunyai kelebihan di aspek ekonomi bisa membantu dan tumbuh rasa gotong royong
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
371
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
agar
masyarakat
yang masih kekurangan bisa terbantu., sehingga masyarakat yang status
ekonomi yang kurang dibiayai oleh pemerintah sedangkan yang status ekonomi menengah ke atas membayar secara mandiri. Data peserta JKN-KIS di BPJS maupun di Kecamatan Puskesmas dan di Desa belum belum tercatat secara terperinci terutama JKN-KIS yang mandiri. Data JKN-KIS yang dibiayai pemerintah sudah terperinci tetapi masih banyak masyarakat yang belum terdaftar karena perbedaan persepsi dalam menggolongkan tentang penetapan kondisi keadaan atau status ekonomi masyarakat dari berbagai instansi terkait. Berdasarkan temuan penelitian tentang Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional melalui Peran Opinion Leader di desa Nglumpang Kecamatan Mlarak Kabupten Ponorogo, maka disarankan sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan Instansi terkait tetang Jaminaa Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat diharapkan lebih insten dalam pelaksanaan sosialisasi karena masih banyak masyarakat yang belum memahami terutama JKN-KIS Mandiri. 2. Dalam melaksanakan sosialisassi JKN-KIS agar melibatkan peran Opinion Leader terutama di tingkat desa baik dengan formal maupun informal karena mereka sangat dekat dengan rakyat. 3. Pemerintah dan Dinas terkait meninjau kembali dalam menentukan status ekonomi masyarakat sehingga memiliki persepsi yang sama dalam menentukan masyarakat mana yang didaftar JKN-KIS yng dibaiayai oleh Pemerintah.
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
372
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Abu Ahmadi, Psikologi Sosial,PT.Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007 Ardial, Komunikasi Politik, PT. Indeks, Jakarta, 2010. Deddy Mulyana, Komunikasi Massa, Kontroversi, Teori dan Aplikasi, Widya Padjadjaran, Jakarta 2008 Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif, edisi II, Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004. Jusuf Harsono dan Rony handayanto, Penyusunan Pedoman Pembuatan Perangkat Kesenian Reyg Ponorogo Sebagai Upaya Mempertahankan dan Melestarikan Budaya Adiluhung, Laporan Penelitian Hibah Bersaing 2009. Nurudin, dkk.Agama Tradisional, Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Malang, LKIS dan FISIP UMM, 2003 Rahardjo Hadisasmita, Membangun Desa Partisipatif, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006 Redi Panuju,M.Si., Komunikasi Organisasi, dari Konseptual-Teoritas ke Empirik, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2001. Totok Mardikanto, Komunikasi Pembangunan, Acuan bagi Akademisi, Praktisi dan Peminat Komunikasi Pembangunan, UNS Press, Solo, 2010
Niken Lestarini, Pengembangan Model Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, Melalui Peran Opinion Leader /08/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
373
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang Nai.ng@yahoo.com, hayat.150318@gmail.com
Abstract The development of small and micro enterprises have a very important role in the development of the regional economy. it can be seen from the amount of employment opportunities provided by UMKM for the community. UMKM existence cannot be under timed, because UMKM have a proven able to with stand the economic crisis that occurred in Indonesia. However, in the development of UMKM cannot be separated from in habiting fact that hit existence of UMKM. Several classic problems that occur in UMKM is lack of capital in the developing the business, unhealthy market competition that still happening until now is the market competition with product made in china. Lack of information about the market network and still lack of innovation in creating new product-products. UMKM therefore very much require the role of government in the developing small andmiddlebusiness. Keywords: UMKM, UMKM development; Regional income. Abstraksi Perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah(UMKM) memilki peran yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian daerah.Hal ini dapat dilihat dari besarnya peluang pekerjaan yang disediakan oleh UMKM bagi masyarakat.Dimana tujuan dari UMKM adalah untuk memajukan perekonomian daerah.Keberadaan UMKM tidak bisa dianggap remeh, dikarenakan UMKM telah terbukti mampu bertahan terhadap krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.Namun dalam perkembangan UMKM tidak lepas dari faktor penghambat yang melanda keberadaan UMKM. Beberapa permasalahan klasik yang terjadi di UMKM adalah kurangnya modal dalam menggembangkan usaha tersebut, persaingan pasar yang tidak sehat antara pengrajin UMKM dan persaingan pasar yang masih terjadi sampai saat ini yaitu persaingan dengan produk buatan cina. Kurangnya informasi tentang jaringan pasar serta masih kurangnya inovasi dalam menciptakan produk-produk baru.Olehkarena itu UMKM sangat memerlukan peran pemerintah dalam mengembangkan Usaha Mikro kecil dan Menengah. Kata Kunci: UMKM; Pengembangan UMKM; Pendapatan Daerah Submite Review Accepted
: 21 Jan 2017 : 25 April 2017 : 25 Mei 2017
Surel Corespondensi : ayubdwianggoro86@gmail.com
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
374
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pendahuluan Permasalahan ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan hal yang belum dapat terselesaikan oleh pemerintah.Hal ini terjadi dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan. Terutama yang terjadi pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Banyak para karyawan yang di PHK oleh para pemilik perusahaan besar.Dampak yang disebabkan dari krisis ekonomi ini adalah banyak perusahaan besar yang bangkrut.akibatnya semakin besarnya angka pengangguran yang juga menagkibatkan banyaknya kemiskinan. Namun pada krisis ekonomi tersebut sebagian usaha tidak memiliki dampak negative dan masih mampu bertahan.Usaha tersebut adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah.UMKM merupakan kegiatan yang dapat membantu perekonomian suatu daerah. Adanya UMKM bukan saja hanya meningkatkan penghasilan tetapi juga meratakan pendapatan di daerah tersebut. Ini dapat dilihat karena UMKM melibatkan banyak orang dan menghasilkan beragam usaha. UMKM merupakan urat nadi perekonomian daerah. Sesuai dengan undang-undang 20 tahun 2008 tentang usaha Mikro, kecil dan menengah (UMKM) menyebutkan pengertian UMKM dibagi menjadi tiga yaitu Usaha Mikro adalah suatu usaha produktif milik perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteia usaha kecil sebagaimana yang di atur dalam undang-undang ini. Sedangkan Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang di lakukan oleh orang-perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang di miliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung . Usaha mikro, kecil dan menengah memiliki tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Usaha Mikro Kecil dan Menengah ini merupakan peran penting dalam membantu perkembangan perekonomian daerah,selain itu Usaha mikro, kecil, dan menengah telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejarah membuktikan ketika tejadinya krisis moneter
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
375
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
di tahun 1997.Hal ini dikarenakan UMKM dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan juga mampu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memajukan daerahnya.Dikarenakan UMKM ini masih memilki ciri-ciri yaitu merupakan usaha milik keluarga, masih menggunakan teknologi tenaga manusia, dan masih memiliki jiwa persaudaraan.Seperti halnya yang terjadi di UMKM sentra kerajinan keramik dinoyo.sebagian besar para pengrajin keramik dan karyawan di UMKM sentra kerajinan keramik berasal dari daerah Dinoyo dan sekitarnya. Ini merupakan bukti bahwa UMKM dapat menjadi peluang usaha dan peluang pekerjaan bagi masyarakat disekitarnya.Hal ini dapat mendorong pendapatan daerah. Pengembangan UMKM di sentra kerajinan keramik dinoyo tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat pelaksanaan UMKM.Permasalahan yang terjadi pada UMKM merupakan permasalahan klasik yang harus dihadapi. Permasalahannya antara lain adalah permasalahan kurangnya sarana dalam memasarkan produk. Hal ini berkaitan dengan berapa banyak produk yang akan dipasarkan. Pengrajin UMKM masih belum dapat memahami jaringan pasar mana yang akan ditembus. Sehingga produk yang akan di pasarkan sebagian besar masih daerah lokal saja dan para pembeli masih sekitar daerah saja, walaupun sudah ada beberapa yang sudah dipasarkan keluar kota. Permasalahan lainnya yaitu persaingan pasar yang masih menjadi permasalahan umum yang terjadi di UMKM.Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan para pengrajin UMKM tentang strategi pemasaran dan strategi pasar.sehingga masih belum dapat bersaing dengan produk-produk luar terutama produk cina. Dimana produk-produk cina sangat menarik perhatian para pembeli hal ini dikarenakan produk buatan cina memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan produk lokal, dan para pengrajin produk cina memiliki strategi pemasaran, dan juga memiliki berbagai ide-ide kreatif dalam mendesain produknya. Berbeda dengan produk-produk lokal yang dimiliki oleh Indonesia kebanyakan produk Indonesia masih kurang memiliki ide-ide kreatif untuk mendesain produk mereka.Kurangnya pelatihan yang dilakukan oleh paguyuban kerajinan keramik Dinoyo merupakan dasar dari permasalahan tersebut.paguyuban dibuat hanya sebagai formalitas dari adanya UMKM tersebut, kurangnya kesadaran dari pengurus paguyuban tersebut sehingga kurang optimalnya perkembangan UMKM.
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
376
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pada
dasarnya
paguyuban
dibuat
untuk
menampung
ide-ide
kreatif
untuk
mengembangkan produk dan memberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan daya saing produk terhadap produk lainnya.Permasalahan selanjutnya yang paling klasik adalah masalah permodalan.Modal adalah bagian terpenting untuk mengembangkan UMKM.Nyatanya dilapangan untuk mendapatkan pinjaman modal para pengrajin masih kesulitan untuk mendapatkannya.Modal yang didapat oleh para pengrajin hampir seluruhnya berasal dari modal sendiri.sehingga para pengrajin masih kurang mengembangkan usahanya dikarenakan seringnya menyatukan modal usaha dengan keperluan sehari-hari. Selanjutnya permasalan berikutnya adalah kurangnya strategi .Strategi dalam menjalankan suatu usaha sangatlah penting, salah satunya adalah
tempat usaha. Tempat usaha merupakan penentu keberhasilan dalam
memasarkan produk tersebut. Lokasi bisnis yang strategis merupakan incaran bagi para wirausahawan untuk menjual produknya.
Namun dalam hal ini, peneliti melihat kurang
strategisnya tempat usaha yang ada di UMKM sentra kerajinan keramik dinoyo tersebut. Menurut peneliti tempat yang di jadikan tempat usaha oleh para pengrajin terlalu sempit. Tempat pemasaran UMKM yang di jual di rumah-rumah mengakibatkan kurang adanya lahan untuk parkir sehingga mengakibatkan kurangnya konsumen.Dari permasalahan diatas peneliti ingin mengetahui tentang bagaimana peranan usaha mikro kecil dan menengah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Metode dan Kajian Pustaka Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan kualitatif dimana di dalamnya menggunakan teknik-teknik pengumpulan data utama yang terdiri atas tiga teknik yaitu pengamatan, wawancara yang mendalam dan dokumentasi. Menurut Furchan (2007), adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan guna menjawab persoalan yang dihadapi. Metode penelitian ini digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah .batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut sebagai focus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum. Dalam mempertajam penelitian, peneliti menetapkan focus.
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
377
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Spradley dalam sugiyono (2012) mengemukakan ada empat alternative untuk menetapkan focus penelitian.Yaitu : (1). Meetapkan focus pada permasalahan yang disarankan oleh informan, (2).Menetapkan fokus berdasarkan domain-domain tertentu, (3).Menetapkan fokus yang memiliki nilai temuan untuk mengembangkan iptek, (4).Menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan teori-teori yang telah ada. Seperti penelitian kali ini fokus penelitiannya, yaitu: mengidentifikasi dan menggambarkan peranan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sentra industry keramik Kelurahan Dinoyo Kecamatan Lowokwaru Kota Malang yang memiliki potensi sebagai sumber pendapatan asli daerah, memiliki potensi sebagai sumber lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar UMKM, memliki potensi sebagai memajukan daerah dengan upaya dan strategiyang dilakukan masyarakat setempat untuk mengembangkan UMKM. Selain itu focus permasalahannya juga mengindentifikasi dan mengganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Peranan UMKM terhadap pertumbuhan ekomi daerah. Penelitian ini dilaksanakan pada sentra kerajinan keramik dinoyo kelurahan dinoyo kecamatan lowokwaru kota malang dan paguyuban sentra kerajinan keramik serta masyarakat sekitar lokasi, dan yang menjadi sumber datanya berasal dari masyarakat sekitar daerah UMKM Dinoyo. Masyarakat Dinoyo pertahunnya mengalami peningkatan pendapatan, Hal ini dapat dilihat dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kota Malang pada tahun 2013 memiliki pendapatan asli daerah sebesar Rp. 317.850.423.684,26. Sedangkan pada tahun 2014 mengalami kenaikan pendapatan asli daerah sebesar Rp. 372.550.096. 292,03. Pada tahun 2015 pendapatan asli daerah kota malang sebesar Rp. 424.937.346.938,06 .Dan pada pendapatan tahun 2016 pendapatan asli daerah mencapai Rp. 477.332.655.834,88. Pendapatan asli daerah tersebut terdiri dari hasil pajak daerah, hasil pengelolaan retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yag dipisahkan dari lain-lain. Hal ini juga tak lepas dari Peran UMKM. Seperti UMKM di Dinoyo pendapatan terbesar Asli daerahnya berasal dari kegiatan UMKM. Hal ini dapat dilihat dari mata pencaharian masyarakat sekitar UMKM memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta/pedagang. Menurut Moleong (2012), Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menggunakan kata-kata, tindakan dan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-
lainnya.Dalam penelitian ini adalah sumber data terbagi 2 yaitu sumber data primer dan sumber
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
378
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data langsung yang diambil dari sumbernya yang asli yang memiliki informasi dan data. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah para pengrajin keramik dinoyo, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya biasanya melalui perantara ataupun data yang dicatat oleh pihak lain. Selanjutnya, terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian yaitu, kualitas instrument penelitian dan kualitas pengumpulan data.Kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara
yang
digunakan untuk
mengumpulkan data.
Penggumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai setting, sumber dan berbagai cara. Selanjutnya, Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik dasar yaitu dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sutrisno (1986) bahwa dalam metode wawancara yaitu: (1). Bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri, (2). Bahwa apa yang dikatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya, (3). Bahwa subyek tentang pertanyaanpertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peeliti.Pada penelitian ini menggunakan wawancara terstruktur dan tertutup.Dimana ketiga objek ini bertujuan untuk meggambarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian seperti perkembangan, tingkah laku dan lain sebagainya tentang peranan UMKM serta mendapatkan data yang pasti dilapangannya. Dalam penelitian Kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam, dan dilakukansecara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi sekali. Menurut Susan Stainback dalam Sugiyono (2012) mengemukakan analisis data merupakan hal yang kritis dalam proses penelitian kualitatif. Analisis digunakan untuk memahami hubungan dan konsep dalam data sehingga hipotesis dapat dikembangkan dan dievaluasi. Pada Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis data, adanya analisis data ini dapat menjadi upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan yang penting dan apa yang dipelajari.Teknik analisis data kualitatif pada penelitian ini menggunakan model analisis data interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1994). Dimana model analisis data tersebut terdiri dari tiga alur
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
379
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kegiatan yang terjadi secara besamaan, yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan Penarikan kesimpulan/verifikasi. Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak untuk itu maka perlu dicatat secara teliti. Mereduksi data merupakan peneliti merangkum, memilih hal-hal pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, dan menbuang data apabia tidak penting. Selanjutnya menyajikan data yaitu berupa data yang diuraikan singkat, dengan bagan. Tujuannya untuk memudahkan untuk dipahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. Langkah selanjutnya yaitu menarik kesimpulan. Ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis. Pengumpulan data ini terdiri dari kegiatan wawancara, observasi dan dokumentasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Reduksi data dimaksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabsahan dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dilapangan. Dan penyajian data dimaksudkan sebagai sekumpulan imformasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan baik peyajian data bentuk tabel maupun naratif yang menggambungkan informasi yang tersusun kedalam bentuk yang terpadu. Pendekatan Penelitian yang dilakukan pada UMKM sentra kerajinan Keramik dinoyo berdasarkan dengan apa yang dilakukan oleh para pelaku UMKM. Seperti yang diungkapkan pada teori pertumbuhan ekonomi klasik menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barangbarang dan modal, Luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat tekonologi yang digunakan. Maka perubahan ekonomi UMKM Keramik Dinoyo dapat meningkat lebih baik berdasarkan 4 faktor tersebut. dari tahun ke tahun terjadinya peningkatan pendapatan melalui
jumlah
penduduk.berdasarkan data dari Monografi Kelurahan Dinoyo 2016 mengatakan di Kelurahan Dinoyo Masyarakat yang telah bekerja sebanyak 9.459 jiwa dan sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta/pedagang sebanyak 6.511 jiwa hal ini dikarenakan besarnya peluang usaha dari kegiatan UMKM keramik dinoyo tersebut. Pada era modern ini telah mempermudah para usaha untuk meningkatkan pendapatannya melalui teknologi, seperti halnya beberapa para pelaku UMKM sentra kerajinan keramik juga telah memanfaatkan teknologi sebagai cara untuk meningkatkan pendapatannya.
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
380
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pembahasan dan Analisis Kota Malang Merupakan Kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kota Malang memiliki cita-cita yang disebut sebagai Tri Bina Cita Kota Malang yaitu Malang sebagai Kota pendidikan, Malang sebagai Kota Industri dan Malang sebagai Kota Pariwisata. Sebagai Kota Industri yang, Kota Malang memiliki pola pertumbuhan Industri yang unik, dimana sebagian besar industrinya disokong oleh sektor Industri Kecil dan Mikro. Salah satu Industri unggulan kota malang adalah Industri keramik dan gerabah yang berada di kelurahan dinoyo dan kelurahan pananggunan Kota Malang. Sejarah Industri Keramik di Kota Malang dimulai pada tahun 1953 saat pembentukan Lembaga Penyelenggara Perusahaan-Perusahaan Industri Dapertemen Perindustrian (LEPPIN). Kemudian muncul perusahaan keramik percontohan di daerah-derah. Tahun 1957, LEPPIN mendirikan pabrik Keramik Dinoyo yang berada di Kota Malang di resmikan Wakil Presiden Moh. Hatta dengan Nama Ky 5. Pabrik keramik Dinoyo merupakan pilot project pengolahan keramik dengan memanfaatkan teknologi baru yang lebih maju pada sat itu, yait dengan system cetak tuang & putar tekan. Produk yang dihasilkan antara lain : piring, cangkir, moci, basi, sehingga dikenal dengan pabrik piring. Tahun 1962 keramik dinoyo memproduksi barang setengah jadi. Pada tahun 1968 unit-unit memisah diri dari induk untuk mengembangan usahanya sendiri tetapi masih menggantung pembinaan dan suplay bahan baku dari induk. Seiring berjalannya waktu, pabrik keramik yang berlokasi di Dinoyo mengalami stagnasi dan akhirnya ditutup. Penyebab tutupnya pabrik masih menjadi misteri. Penutupan Industri keramik Dinoyo berdampak pada masyarakat sekitar yang bekerja sebagai pengrajin. Banyak diantara mereka yang merintis Industri keramik skala rumah tangga yang tersebar di Kelurahan Dinoyo dan Kelurahan Pananggunan. Dan sekarang Industri rumah tangga berkembang menjadi sentra Industri keramik di Kota Malang dan dikenal oleh masyarakat luas. Perkembangan Industri Keramik Dinoyo tidak lepas dari keuletan pengrajin yang terus berinovasi terhadap produk-produk keramik yang dihasilkan. Ciri khas produk keramik Dinoyo terletak pada warna dan Desain naturalnya yang mencirikan Negara teropis. Produk-produk keramik dinoyo banyak dipasarkan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Medan. Kondisi tersebut memberikan dampak positif baik ekonomi, sosial, dan budaya kepada masyarakat sekitar Kelurahan Dinoyo khususnya pengrajin. Hal tersebut, menjadikan pemerintah
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
381
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
kota Malang menjadikan sentra kerajinan keramik Dinoyo menjadi wisata yang dikemas dengan konsep Kampung Keramik Dinoyo. Sebagian besar UMKM sentra kerajinan keramik Dinoyo telah berdiri sejak sebelum terjadinya krisis ekonomi.Hal yang melatar belakangi terbentuknya UMKM sentra kerajinan keramik dinoyo ini adalah untuk menciptakan peluang kerja bagi masyarakat dan yang paling utama adalah sebagai penopang pendapatan masyarakat.Menurut Kadariahh pendapatan adalah hasil-hasil yang diterima oleh masyarakat sebagai hasil jerih payah mereka selama bekerja , baik berupa barang atau pun berupa uang. Besar kecilnya pendapatan setiap orang tidak sama disesuai kan dengan kemampuan dan keterampilan yang ia miliki, sehingga akan timbul suatu penghargaan terhadap kemampuan seseorang.Dengan adanya UMKM kerajinan keramik ini dapat memberikan dampak dalam meminimalisir angka penganguran yang ada di daerah dinoyo, dan dengan adanya sentra kerajinan keramik dinoyo ini dapat menambah pendapatan ekonomi daerah di Dinoyo dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dikarenakan sentra kerajinan keramik dinoyo dapat menjadi sumber pendapatan yang diminati oleh masyarakat dinoyo untuk melakukan kegiatan ekonominya.Sebagian besar karyawan dan pengrajin berasal dari daerah Dinoyo dan sekitarnya. Hal ini juga dikarenakan kelurahan dinoyo merupakan tempat yang sering didatangi oleh para wisatawan.Produk-produk yang ada di UMKM kerajinan keramik ini bukan hanya keramik saja melainkan ada kerajinan yang dibuat dari gift sehingga tampilannya lebih menarik.Biasanya kerajinan keramik ini banyak diminati sebagai oleh-oleh da juga sebagai souvenir pengantin.UMKM kerajinan keramik Dinoyo termasuk kedalam sumber pendapatan yang berasal dari aktivitas utama. Hal ini dikarenakan kerajinan keramik dinoyo merupakan sumber pendapatan utama di daerah dinoyo seperti yang di ungkapkan oleh para narasumber bahwa sebagian besar masyarakat disekitar Dinoyo mendapatkan penghasilannya melalui kegiatan Kerajinan keramik. Namun dalam perkembangannya UMKM tidak berjalan dengan mulus terdapat beberapa permasalahan yang terjadi diantaranya yaitu kurangnya strategi pemasaran penjualan produk keramik.Pemasaran yang digunakan disentra kerajinan keramik Dinoyo masih sangat tergolong sederhana. Hal ini dikarenakan para pengrajin masih belum menggunakan media terknologi untuk sistem pemasaran. Permasalahan lainnya yaitu susahnya mendapatkan modal, sebagian besar para pengrajin tidak dapat mengembangkan usahanya dikarenakan modal yang
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
382
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
tersendat dan mengakibatkan penurunan produk yang dihasilkan.Modal usaha yang mereka miliki berasal dari modal usaha sendiri hal ini dikarenakan susahnya meminjam uang kepada pihak luar. Para pengrajin masih tidak dapat membedakan modal usaha dengan kebutuhan sehari-hari
sehingga
tidak
selanjutnya.Permasalahan
dapat
selanjutnya
memutar adalah
modal
untuk
permasalahan
kebutuhan mengenai
produksi persaingan
pasar.Persaingan pasar terjadi bukan hanya di luar saja melainkan juga terjadi dilokal.Persaingan pasar di luar yaitu persaingan pasar dengan produk china dan sebagainya dimana produk-produk cina ini diminati oleh masyarakat, dikarenakan harganya yang dapat terjangkau dan lebih rendah dari produk lokal dan juga desain dan bentuknya yang lebih menarik.Persaingan pasar lokal yang terjadi di UMKM sentra kerajinan keramik Dinoyo adalah dikarenakan para pengrajin masih ada yang bersaing secara tidak sehat. Selain permasalahan diatas ada permasalahan yang terjadi lainnya yaitu permasalahan menegemen sumber daya manusianya, hal ini dikarenakan kurangnya ide-ide kreatif dalam menciptakan karya yang baru, maka dari itu diperlukannya pelatihan dari paguyuban yang ada ditempat.Berdasarkan
papaaran
diatas
para
pengrajin
meminimalisir
permasalahan-
permasalahan dengan melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan UMKM sentra kerajinan keramik agar dapat mencapai tujuannya yaitu sebagai tempat untuk membuka peluang usaha kerja dan menjadi sumber pendapatan ekonomi daerah. Hal yang dilakukan para pengrajin UMKM sentra kerajinan keramik dinoyo adalah dengan memberdayakan sumber daya manusia agar dapat menciptakan berbagai macam produk yang mandiri dan dapat berdaya saing. Masyarakat harus di berdayakan agar nantinya dapat menciptakan produk-produk yang mempengaruhi kualitas barang dalam rangka dalam rangka menghasilkan peningkatan perekonomi masyarakat. Baik itu pemberdayaan melalui pelatihan agar dapat menciptakan ide-ide baru atau dengan meningkatkan kualitas barang dan juga pembekalan cara mempromosikan barang. Selain itu para pengrajin UMKM kerajiinan keramik Dinoyo mengupayakan Strategi pemasaran yang menarik perhatian para pembeli, salah satunya dengan mempertahankan kualitas barang yang akan dipasarkan. Selain itu dengan cara mengikuti event-event untuk mengenalkan produk-produk hasil karyanya.Sehingga peran UMKM sentra kerajinan keramik dinoyo dapat terealisasi sebagai pemberi peluang usaha dan juga peluang sebagai pendapatan ekonomi daerah.
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
383
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kesimpulan UMKM sentra kerajinan keramik dinoyo memilki beberapa kendala diantaranya yaitu dikarenakan kurangnya pemahaman tentang pemasaran, selain itu kurangnya modal untuk mengembangkan usaha kerajinan keramik, namun dalam hal ini UMKM dapat meminimalisir permasalahan yang terjadi dengan mengupayakan perkembangan UMKM agar dapat berjalan berdasarkan tujuannya. Salah satunya dengan memerdayakan sumber daya manusianya dalam menciptakan ide-ide kreatif dalam mendesain suatu produk, agar dapat menciptakan produkproduk yang baru yang lebih menjual. Namun permasalahan ini juga tidak boleh lepas dari keikut sertaanyya pemerintah untuk membantu permasalahan-permasalahn yang terjadi di UMKM sentra kerajinan keramik Dinoyo, salah satunya mungkin dengan cara memberikan bantuan berupa dana maupun pelatiha-pelatihan untuk para pengrajin keramik, serta mampu memasarkan produk yang dihasilkan. Dikarenakan UMKM merupakan penolong pertumbuhan perekonomian daerah dan juga data meminimalisir angka kemiskinan di daerah sekitar.
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
384
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Arief Furchan, Arief. 2007. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Malang : Pustaka Pelajar. Miles. Matthew; Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. Arizona state University. Moleong, lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sutrisno, Hadi. 1986. Metodologi Research, Bandung: UGM. Susan, Stainback. 1988. Understanding & Conducting Qualitative Research. Publishing Company. Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Miro, Kecil dan Menengah. Laporan Akuntansi Kinerja Instansi Pemerintah Kota Malang.
Khairina Nainggolan, Yaqub Cikusi, Hayat, Peningkatan Pendapatan Daerah Berbasis Pada Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah /09/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
385
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara Restu Rahmawati, Firman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta restu.rahmawati3@gmail.com Abstract This writing going to talk about analysis the implementation of application qlue in region North Jakarta. Reason the study is done to see how the implementation of application qlue that is part of the program smart city in jakarta especially in tanjung priok. Research methodology used is the method the qualitative study descriptive to technique data collection of interview. The research results show that the implementation of the application of qlue have not been effective. It was because, the community tanjung priok many cannot discern between qlue application, is that supposed to mean lack of socialization for the public regarding the application of qlue. In addition, obliging heads of the neighborhood report three times a day also is not effective. Of the aspect of the achievement of the policy implications of the (output), application qlue policy it is implemented still not 100 percent, based on the data populi center of the community can only 35.8 % of being contented with the implementation of the application of qlue. This indicates that the target not maximum. Thus, the implementation of application qlue in North Jakarta rudimentary and consequently need to there had been improvements forward to create good governance. Keywords: The implementation of policy, application qlue, e-government. Abstraksi Tulisan ini akan membahas tentang analisis implementasi aplikasi qlue diwilayah Jakarta Utara. Alasan penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana implementasi aplikasi qlue yang merupakan bagian dari program smart city di DKI Jakarta terutama di Kecamatan Tanjung Priok. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi aplikasi qlue belum efektif. Hal ini dikarenakan, masyarakat Tanjung Priok banyak yang belum mengetahui tentang aplikasi qlue, itu artinya kurang sosialisasi kepada masyarakat terkait aplikasi qlue. Selain itu, mewajibkan ketua RT dan RW melapor tiga kali sehari juga masih belum efektif. Dari aspek pencapaian target kebijakan (output), kebijakan aplikasi qlue implementasinya masih belum 100%, karena berdasarkan data dari Populi Center masyarakat hanya 35.8 % yang puas dengan implementasi aplikasi qlue. Ini mengindikasikan bahwa pencapaian target belum maksimal. Dengan demikian, implementasi aplikasi qlue di wilayah Jakarta Utara belum sempurna sehingga masih perlu ada perbaikan ke depan untuk menciptakan good governance. Kata Kunci: Implementasi kebijakan, Aplikasi Qlue, E-Government Submite Review Accepted
: 30 Jan 2017 : 22 April 2017 : 30 Mei 2017
Surel Corespondensi : darwisnasution69@gmail.com
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
386
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Pendahuluan Tulisan ini akan membahas tentang analisis implementasi aplikasi qlue diwilayah Jakarta Utara. Alasan penelitian ini dilakukan mengingat aplikasi qlue ini merupakan bentuk kebijakan yang baru diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan pada tahap implementasinya sangat beragam pendapat dari masyarakat dalam menanggapi qlue tersebut. Selain itu alasan penulis mengambil case study di Wilayah Jakarta Utara dikarenakan wilayah Jakarta Utara cenderung mempunyai permasalahan publik yang banyak terutama masalah sampah, jalan yang rusak, dan tingginya tingkat kriminalitas. Atas dasar itu maka kajian ini penting untuk dilakukan, sehingga output penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik lagi dan tepat sasaran. Barangkali hal semacam ini disebut oleh Ian Patrick Agustin 1 sebagai sebuah model pragmatisme dalam kebijakan publik yakni sebuah pola yang banyak diadopsi oleh negara-negara berkembang dan disetarakan dengan model kebijakan yang menggunakan rasio untung-rugi dari sebuah kebijakan seperti yang diperkenalkan dalam paradigm cost benefit analysis2. Pada praktiknya memang demikian, setiap kebijakan harus mengandung unsur untung-rugi dalam hal nilai kebaikan dan keburukan dari sebuah kebijakan. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta baru saja meluncurkan Qlue, yakni aplikasi yang memungkinkan warga melaporkan keluhannya kepada aparat pemerintah dengan menggandeng CEO qlue yakni Rama Raditya. Aplikasi ini terintegrasi dengan smartcity.jakarta.go.id dan bisa di unduh di android play store. Rencananya, aplikasi ini terintegrasi dengan aplikasi Crop yang diunduh aparat pemerintah. Qlue adalah aplikasi media sosial untuk melaporkan permasalahan kota kepada pemerintah, pihak swasta ataupun saling berbagi informasi sesama warga di lingkungan sekitarmu demi terciptanya smart city. Laporan warga yang masuk melalui aplikasi qlue akan diteruskan kepada pihak terkait dan tetap bisa dipantau perkembangannya di dalam aplikasi qlue maupun di dashboard mycity.qlue.id. akan tetapi, penggunaan aplikasi qlue ini masih ditanggapi secara beragam. Tidak semua ketua RT/RW menyetujui adanya aplikasi qlue.
Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan�. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal 273. 1
2
Boardman, Anthony,et.al,2001, cost benefit analysis: Concept and Practices, New York: Prentice Hall.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
387
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Bagi ketua RT/RW yang belum melek internet maka aplikasi qlue ini hanya menambah beban pekerjaan mereka saja3. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta meluncurkan aplikasi qlue guna merespon laporan masyarakat untuk memperbaiki kota Jakarta. Sampah berserakan dan coretan liar dibersihkan dalam hitungan jam berkat laporan masyarakat lewat aplikasi qlue yang terhubung dengan program Jakarta Smart City. Ada lebih 30 pelaporan yang bisa ditujukan bagi pemerintah dan pihak swasta. Dalam sehari laporan warga yang masuk melalui qlue mencapai angka 3.000. Data yang telah diolah dikirimkan kepada pemprov DKI Jakarta tiap bulan sebagai bahan solusi permasalahan kota.4Oleh karena itu, setiap kali laporan masuk pemerintah setempat langsung menindaklanjutinya. Komitmen Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk menindaklanjuti setiap laporan tidak main - main, karena kinerja pegawai terlihat jelas lewat layar yang dipantau setiap saat. Dengan demikian, hadirnya aplikasi mobile berbasis media sosial pelaporan, Qlue, di tengah-tengah sibuknya warga Jakarta, kini memberikan ruang yang pasti untuk segera mengadukan permasalahan atau kejadian yang ditemukan penggunanya. Warga yang kerap protes ini dan itu terhadap lingkungan sekitarnya, dapat melaporkan permasalahannya melalui platform digital ini, yang akan diteruskan kepada pihak yang berwenang. Komitmen Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk menciptakan Jakarta lebih baik lagi melalui qlue, berarti menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah mengikuti trend aplikasi e-government. E-government digunakan sebagai bentuk inovasi pemerintah daerah dalam memperbaiki pelayanan publik. Hal ini tentunya sejalan dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk menjamin perbaikan pemerintahan secara keseluruhan. Aplikasi Qlue ini digagas dan dikembangkan oleh Rama Raditya, yang terinspirasi dari permasalahan Kota Jakarta dan Bulan Desember 2014 diluncurkan. Saat ini Qlue telah memiliki 160 ribu pengguna terdaftar, dengan total persentase keaktifan sebanyak 91% dan 30-34% aktif 3 http://m.liputan6.com/tv/read/2499802/video-rama-raditya-aplikasi-qlue-pertama-di-Indonesia&Ic=idID&s=1&m=974%host=www.google.co.id&ts=1492405163&sig=AJsQQ1Cqus3RqrrtZnSbyfR6yUTN6NM3rw. Diakses tanggal 17 April 2017 pukul 13.05 WIB 4
http://m.liputan6.com/tv/read/2499802/video-rama-raditya-aplikasi-qlue-pertama-di-Indonesia&Ic=idID&s=1&m=974%host=www.google.co.id&ts=1492405163&sig=AJsQQ1Cqus3RqrrtZnSbyfR6yUTN6NM3rw. Diakses tanggal 17 April 2017 pukul 13.05 WIB
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
388
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
per harinya. Walaupun setiap harinya bertambah jumlah pengguna hingga 1000 pengunduh, namun Rama menilai bahwa angka tersebut hanya mencapai 3% dari total pengguna ponsel pintar di Jakarta5. Berdasarkan data yang disampaikan di atas, maka kiranya perlu untuk mengkaji persoalan aplikasi qlue ini lebih lanjut. Hal ini dikarenakan, fakta dilapangan menunjukkan masyarakat belum siap dengan adanya aplikasi qlue sehingga keberadaan qlue itu sendiri belum digunakan secara optimal dan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun masih terus berupaya untuk memformulasikan mengenai bagaimana seharusnya qlue ini digunakan untuk perbaikan Jakarta. Menyoal permasalahan tersebut maka penulis ingin mengkaji tentang implementasi aplikasi qlue di wilayah Jakarta Utara, dengan harapan melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar - benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan dengan merujuk pada model evaluasi yang mencakup efektivitas, efisiensi, kecukupan, equity, responsivitas, dan ketepatan. 6 Merujuk pada penjelasan diatas, maka penelitian ini akan mengangkat tentang bagaimana analisis implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara. Metode dan Kajian Pustaka Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Alasan penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, yakni dikarenakan dapat memudahkan penulis memperoleh deskripsi, atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat. Selain itu, penulis menyadari bahwa dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, maka penulis akan mudah memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau kelompok yang telah diteliti. Atau dengan kata lain, analisis deskriptif ini lebih menekankan kepada latar belakang perilaku individu atau kelompok yang diteliti secara keseluruhan. Berdasarkan penjelasan di atas maka observasi dan teknik wawancara mendalam menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu, penelitian ini secara general menggunakan pendekatan Studi Kasus (case study). Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini adalah peneliti dapat melakukan penelitian 5
http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-perkotaan-dengan-aplikasi-qlue. Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33 wib. 6
Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan�. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal 497 Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
389
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
terhadap beberapa atau seluruh aspek potensial dari suatu unit atau serangkaian kasus yang terbatas. Adapun lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Wilayah Jakarta Utara yang meliputi Kelurahan Tanjung Priok, Semper, Sunter Agung, dan Cilincing.Informan utama dalam penelitian ini adalah Lurah, ketua RT/RW, operator aplikasi qlue di kelurahan, dan masyarakat Tanjung Priok, Semper, Sunter Agung, dan Cilincing. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, dan wawancara mendalam. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti telah melakukan observasi terlebih dahulu yakni dengan melihat aktivitas kepala sekolah, guru, dan para siswa yang mengindikasikan adanya sebuah resistensi. Observasi lapangan ini dilakukan guna mengetahui informasi-informasi, isu-isu aktual nilai-nilai, pola tingkah laku, dan perilaku sosial politik dari para informan penelitian. Setelah itu, kemudian ditentukan informan mana saja yang layak untuk diteliti dengan memperhatikan juga kesediaan mereka untuk bekerjasama dan memberikan data yang akurat. Teknik kedua yakni wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan utama. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam ini dilakukan karena peneliti meyakini bahwa melalui wawancara mendalam suatu pandangan, perilaku, dan pola kultural dapat diketahui. Pengumpulan data ini, dilakukan dengan melalui alat perekam. Oleh karena itu, isu-isu penelitian yang terungkap dalam penelitian ini digunakan sebagai data primer. Adapun data sekunder yang dijadikan data pendukung yakni berupa data agregat, buku-buku, majalah, dan jurnal yang terkait dengan masalah politik bahasa dan resistensi masyarakat yang relevan dengan fokus penelitian. Data dianalisis dengan menggunakan empat tahap yakni pertama, tahap pemilahan (sortiring) data yang terkait dengan resistensi kelompok pendidik. Kedua, tahap klasifikasi (categorizing) dengan melakukan perbandingan antara data yang satu dengan yang lain. Ketiga, tahap komparasi yakni dengan melakukan perbandingan antara data yang satu dengan yang lain. Dan keempat tahap sintesis (synthesizing) dengan melakukan penafsiran terhadap data resistensi dan mengaitkannya dengan kerangka teori sehingga dapat dipahami fenomena resistensi tersebut7.
7
Newman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.Allyan & Bacon, Needham Heights. hal. 427 Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
390
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Kebijakan Publik Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public policy. Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan 8 mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a projected program of goals, values, and practice. Sementara David Easton 9 mendefinisikan kebijakan publik sebagai akibat aktivitas pemerintah (the impact of government activity). Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijakan publik adalah: “…..setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan”. 10 Berdasarkan penjelasan diatas, maka tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya atau resources yakni antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusikan sumber daya negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan kebijakan publik adalah11: a) Mendistribusikan sumber daya Negara kepada masyarakat, termasuk alokatif, realokatif, dan redistribusi versus mengabsorpsi atau menyerap sumber daya kedalam Negara. b) Regulative versus deregulatif. c) Dinamisasi versus stabilisasi. d) Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar. Pada praktiknya, kebijakan publik mengandung multi tujuan yakni untuk menjadikan kebijakan itu sebgai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama. Meskipun pemahaman ini penting, hal yang lebih penting lagi bagi pemerintah atau lembaga publik adalah berkenaan dengan perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Pada tahap perumusan masalah maka yang harus dipahami bahwa masalah adalah nilai, kebutuhan, 8
Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. 1970. Power And Society, New Heaven: YaleUniversity Press.
9
Easton, David. 1965. A System Analysis of Political Life, New York: Willey. Hal 212.
Hal: 71.
10
Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal: 123. 11
Ibid hal 140.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
391
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
atau kesempatan yang belum terpenuhi yang dapat diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Fase perumusan masalah terdiri dari proses pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Lalu berikutnya adalah implementasi kebijakan. Penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengkaji implementasi kebijakan publik, oleh karena itu penulis akan menjelaskan tentang makna implementasi kebijakan terlebih dahulu. Implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 12 Kebijakan Publik z d Kebijakan Publik Program z Penjelas d z d Proyek z d zz dd Kegiatan z d z d Pemanfaat z d z Dalam mengkaji implementasi suatu kebijakan, kiranya penting menggunakan suatu d
model implementasi kebijakan, guna menganalisis bagaimana implementasi kebijakan aplikasi qlue. Terkait penelitian ini, penulis akan mencoba memaparkan beberapa model implementasi kebijakan seperti model van meter dan van horn yakni model yang menjelaskan bahwa sebuah 12
Ibid Hal 675
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
392
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
implementasi kebijakan akan dipengaruhi oleh komunikasi antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi ekonomi, sosial, dan politik serta kecenderungan pelaksana. Lalu model berikutnya yakni model mazmanian dan Sabatier yakni suatu model yang melihat bahwa implementasi kebijakan akan dilihat dari beberapa faktor diantaranya ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana dan komitmen kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Berikutnya model Hogwood dan Gunn melihat bahwa model ini menjelaskan bahwa yang harus dilihat dari implementasi kebijakan adalah ketersediaan sumber daya yang memadai, termasuk sumber daya waktu, dan perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada. Lalu model goggin, Bowman dan Lester menjelaskan bahwa penggerak implementasi kebijakan adalah faktor komunikasi. Terakhir adalah model Grindle yakni indikator implementasi sebuah kebijakan adalah kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana kebijakan, dan sumber daya yang dikerahkan. 13 Dari beberapa uraian tentang model kebijakan tersebut, maka penulis akan menggunakan model implementasi Grindle untuk mengkaji implementasi kebijakan aplikasi qlue. Tahap berikutnya dari kebijakan publik tahap evaluasi kebijakan publik. Evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi yaitu eksplanasi, kepatuhan, audit, dan akunting. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi, evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan eksplanasi. Melalui evaluasi, dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para pelaku baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standard dan prosedur yang ditetapkan kebijakan kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau ada bocoran, penyimpangan (audit) serta melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut (akunting) 14. Dengan demikian, hasil yang dicapai dapat diukur dalam ukuran jangka pendek atau output, dan jangka panjang outcome.
13
Op cit hal 685.
14
Ibid hal 497.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
393
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
E-Government Dalam sebuah masyarakat dan ekonomi yang semakin digerakkan oleh inovasi teknologi, birokrasi di 394egara-negara sedang berkembang harus berhadapan dengan proses tuntutan yang baru yaitu efisiensi, produktivitas, akses rakyat terhadap informasi yang ada dalam birokrasi serta tuntutan kepastian dan rasa aman dan rasa nyaman (convenience). Dalam proses 394egara yang menuju demokrasi selalu terdapat tuntutan dan kepastian dan bahkan kebutuhan akan hakhak “masyarakat yang diperintah� harus diletakkan seiring dengan tujuan-tujuan pembangunan. Secara umum diketahui bahwa diluar lingkungan birokrasi, secara historis, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan kualitas kehidupan yang meningkat dengan kata lain kalau mau maju ya harus ada inovasi15. Bagi seorang pemimpin pemerintahan yang baik, pelayanan yang baik adalah visi yang ingin selalu diciptakannya dalam menjamin perbaikan pemerintahan secara keseluruhan, dan dalam perkembangannya yang sekarang e-government berhasil menjadi alternative yang umum diterapkan di 394 egara sedang berkembang dalam reformasi pemerintahannya. Dengan demikian, dari sisi akademis aplikasi e-governmentdalam pemerintahan serta hasil yang telah dicapai oleh beberapa Negara maju mengesankan bahwa Negara yang ingin memperbaiki pelayanan publiknya, sedikit atau banyak ia harus berani berinovasi dalam manajemen pelayanan dan peningkatan mutu pelayanan publiknya. Dengan kata lain seolah da adagium: “Tidak ada perbaikan mutu pelayanan 394egara tanpa inovasi. Tidak ada inovasi tanpa aplikasi IT dalam birokrasi. Dengan kata lain tidak ada pelayanan yang baik tanpa e-government�. 16 Merujuk pada penjelasan diatas, maka e-government adalah aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam dan dengan pihak luar diharapkan meningkatkan performance pemerintahan dan memenuhi ekspektasi masyarakat akan peningkatan kualitas pemerintahan. Selain itu, terbukti bahwa semakin maju suatu 394egara maka semakin tinggi tingkat aplikasi egovernment. Berikut data yang menunjukkan seberapa jauh suatu negara siap terhadap egovernment.
15
Said, Mas’ud. 2012. Birokrasi di Negara Birokratis. Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi di Indonesia. Malang: UMM Press. Hal 214. 16
Ibid hal 213.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
394
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Tabel 2 Peringkat Kesiapan E-Government Secara Global No.
Nama Negara
Indeks Kesiapan Government
1
Amerika Serikat
0,927
2
Swedia
0,840
3
Australia
0,831
4
Denmark
0,820
5
Inggris
0,814
6
Kanada
0,806
7
Norwegia
0,778
8
Swiss
0,764
9
Jerman
0,762
10
Finlandia
0,761
11
Belanda
0,746
12
Singapura
0,746
13
Republik Korea
0,737
14
Selandia Baru
0,718
15
Islandia
0,702
16
Estonia
0,697
17
Irlandia
0,697
18
Jepang
0,693
19
Perancis
0,690
20
Italia
0,685
21
Austria
0,676
22
Chili
0,671
23
Belgia
0,670
24
Israel
0,663
Sumber : United Nations, World Public Sector Report, 2003.
Berdasarkan tabel di atas, maka gambaran kesiapan e-government diseluruh dunia adalah terletak pada tingkatan pembangunan ekonomi, sosial dan politik dari negara-negara yang bersangkutan. Sehingga salah satu faktor primer yang turut berperanan dalm menyumbangkan angka kesiapan e-government yang tinggi ialah investasi di masa lalu dalam sumber daya telekomunikasi dan manusia.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
395
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Aplikasi Qlue Aplikasi Qlue merupakan sebuah terobosan yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta sesuai Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 903 Tahun 2016 tentang mekanisme pelaporan elektronik melalui aplikasi Qlue sebagai wadah bagi warganya untuk melaporkan segala bentuk pengaduan masalah yang ada di DKI Jakarta.Besar kemungkinan aplikasi Qlue ini akan diterapkan secara Nasional.Jika Anda warga DKI Jakarta, Anda bisa ikut berpartisipasi untuk melaporkan segala jenis masalah yang ada, seperti kemacetan, sampah, banjir, pelanggaran, kebakaran, jalan rusak, pengemis, kaki lima liar, kriminal, lampu jalan rusak, pohon tumbang, fasilitas umum, parkir liar, pelanggaran izin bangunan, joki 3 in 1, kawasan bebas rokok. Qlue adalah aplikasi yang dibuat untuk menjadi jembatan antara warga dan pemerintah yang bertujuan untuk membangun Jakarta agar lebih baik lagi. Dengan aplikasi ini kita bisa bebas untuk menyampaikan keluhan tentang apa yang tidak wajar pada kota Jakarta. Kita sendiri suka mengeluh tentang jalan yang macet, lampu yang digunakan untuk menerangi jalan sering mati, jalan yang kita lalui sering terjadi pembegalan pada malam hari, atau masalah lainnya yang sering terjadi di Ibukota. Cara Menggunakan Aplikasi Qlue: 1) Pilih icon plus pada aplikasi Qlue yang letaknya dibawah tengah layar; 2) Akan ada 3 pilihan. Pilih salah satu untuk siapa keluhan akan ditujukan, untuk pemerintah, swasta, atau hanya sekedar untuk berdiskusi.Jika keluhan yang ingin kamu sampaikan itu tidak ada hubungannya dengan pihak perusahaan maka pilih lapor ke pemerintah saja.Lapor ke swasta hanya digunakan jika kejadian atau keluhan yang ingin kamu sampaikan itu bersangkutan dengan sebuah perusahaan.Pilih buat forum untuk mendiskusikan masalah yang mungkin perlu pendapat untuk menyelesaikannya; 3) Ambil foto sebagai bukti tentang keluhan yang ingin kamu sampaikan. 4) Pilih topik yang bersangkutan tentang keluhan yang ingin kamu laporkan; 5) Beri judul dan penjelasan yang lengkap tentang kejadian atau masalah dari keluhan yang ingin kamu laporkan, dan 6) Upload lalu tunggu untuk ditindaklanjuti, jika keluhan kamu benar-benar berkualitas pasti akan segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Warna merah adalah masih menunggu, Warna kuning berarti sedang dalam proses dan Warna hijau tandanya telah selesai menangani keluhan yang kamu laporkan.Berikut contoh dari aplikasi qlue17. 17
http://www.liputan6.com/tag/aplikasi-qlue. Diakses tanggal 6 Mei 2017
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
396
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Sumber: https://images.search.yahoo.com/search/images; Hasil dan Pembahasan Berbicara implementasi kebijakan maka berbicara bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Terkait penelitian ini maka implementasi kebijakan aplikasi qlue akan berbicara bagaimana pelaksanaan aplikasi qlue ini diterapkan di wilayah Jakarta Utara dengan rentan waktu penelitian sampai bulan Maret 2017. Menyoal implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara, maka penulis akan menggunakan model Grindle dalam mengkaji implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara. Model Grindle melihat bahwa indikator untuk melihat implementasi sebuah kebijakan adalah kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana kebijakan, dan sumber daya yang dikerahkan. Berdasarkan data di lapangan dijelaskan bahwa kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan adalah: kepentingan masyarakat yang menginginkan mudah dalam melaporkan keluhan terkait urusan publik kepada pemerintah. Lalu jenis manfaat yang akan diterima
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
397
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
masyarakat dengan adanya aplikasi qlue adalah masyarakat akan mudah untuk melaporkan segala jenis masalah yang ada, seperti kemacetan, sampah, banjir, pelanggaran, kebakaran, jalan rusak, pengemis, kaki lima liar, kriminal, lampu jalan rusak, pohon tumbang, fasilitas umum, parkir liar, pelanggaran izin bangunan, joki 3 in 1, kawasan bebas rokok. Namun berdasarkan data yang didapatkan dari lapangan, implementasi kebijakan aplikasi qlue belum maksimal dikarenakan beberapa persoalan misalnya salah satunya Lukman Rimadi seorang karyawan swasta di kawasan Tanjung Priok. Luqman mengaku berhasil meng-instal aplikasi ini. Hanya, ia gagal melakukan registrasi. Pas install dan memasukkan nama dan umur, qlue nya menjelaskan “name has been used” itu artinya nama yang bersangkutan sudah terdaftar. Tapi pas mencoba login maka ada keterangan “your account is not active” sudah berkali-kali dicoba sampai kapok. Padahal saat peluncuran aplikasi ini ia ingin melaporkan banyak permasalahan dikawasannya. Namun, pada implementasinya aplikasi qlue ini masih ada kendala dalam sistemnya. Ini penting untuk menjadi catatan bagi Gubernur DKI Jakarta dalam menyempurnakan kebijakan qlue. Lalu, informan berikutnya Abdul Rozak, (28) juga gagal melakukan registrasi. Warga Kelurahan Tanjung Priok ini akan mengadukan terkait kerusakan jalan yang sudah parah menuju akses pelabuhan.Jalan raya Cilincing-Tanjung Priok ini sangat membahayakan pengendara mobil dan motor karena lubang jalan raya sudah parah sehingga rawan terjadi kecelakaan. Terkait dengan persoalan tersebut, sebenarnya sudah ada warga yang melaporkan yakni Abdul Rozak namun karena persoalan sistemnya sehingga informan kesulitan masuk ke dalam aplikasinya maka hal ini menjadi kendala tersendiri bagi sebagian warga Jakarta Utara. Dari informasi yang didapatkan dari kedua informan tersebut, maka dapat dilihat bahwa ada sebagian warga yang merasa mendapatkan kendala dari system aplikasi qlue itu sendiri yang menyebabkan mereka kesulitan untuk melakukan registrasi dan melaporkan keluhannya. Ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta supaya berkoordinasi ulang dengan CEO Aplikasi Qlue untuk memperbaiki system aplikasi qlue itu sendiri. Namun, bukan hanya itu saja, warga juga harus terus mengupgrade informasi dan mengikuti sosialisasi terkait aplikasi qlue sehingga kendala yang tadi dihadapi bisa dipecahkan. Selain kedua informan tersebut, Syafi’i warga Warakas juga menyayangkan lurah dan camat yang tidak tanggap atas pengaduan warga melalui teknonologi canggih ini. Persoalan ini dihadapi Syafi’i karena informan sudah melapor namun tidak ada respon dari lurah dan
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
398
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
camatnya. Dari kasus tersebut, penulis melihat bahwa lurah kurang tanggap dengan persoalan yang dilaporkan warga, atau lurah tersebut tidak selalu update dengan permasalahan yang ada di dalam qlue setiap harinya sehingga pelaporan warga hanya masuk sampai pada aplikasi qlue saja tanpa ada tindak lanjutnya. Mengapa demikian? Karena dari temuan dilapangan menunjukkan bahwa tidak semua lurah yang pro aktif dengan aplikasi qlue ada juga sebagian dari lurah yang tidak melek teknologi. Inilah kemudian yang menyebabkan kurang tanggapnya lurah atau camat dalam menanggapi pelaporan warga. Syarifudin ketua RW 5 Kelurahan Kebon Bawang, ia menyoal kewajiban RT/RW melapor sebanyak 3 kali sehari. Keluhannya menjelaskan bahwa hal kewajiban melapor itu tidak efektif karena menurut mereka belum tentu terdapat pelanggaran atau keluhan yang terjadi dalam jangka waktu sehari. Ini tentu saja membebani mereka karena dengan adanya kewajiban tersebut maka seolah-olah mereka dipaksakan untuk menciptakan persoalan setiap harinya untuk dinilai oleh Gubernur. Hal ini mengingat, bahwa RT/RW yang tidak ada laporan maka dianggap tidak bekerja. Semakin banyak laporan maka semakin dianggap bagus kinerjanya. Padahal banyak laporan belum tentu kinerja RT/RW bagus karena banyak juga keluhan warga tidak direspon RT/RW setempat. Inilah kemudian yang menjadi pro kontra adanya aplikasi qlue dikalangan masyarakat Jakarta Utara. Berdasarkan beberapa penjelasan informan diatas, dapat dilihat bahwa implementasi aplikasi qlue mengundang banyak pendapat dari masyarakat Jakarta khususnya Jakarta Utara. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh pengamat Kebijakan publik Amir Hamzah18mengatakan bahwa laporan publik digital bernama “qlue� (Jakarta smart city) terkesan menciptakan perang opini antar wilayah, bisa saja karena ulah oknum yang dibayar dalam melakukan pemetaan laporan publik. Misalnya karena kebodohan posting didunia maya masak lurah harus fokus pada jawaban terhadap operator yang tidak tahu wilayah sementara tugas itu tekait SKPD lain yang berwenang. Fakta juga menunjukkan bahwa laporan qlue kini sudah mengarah pada persaingan antar wilayah. Seolah qlue hanya program pengawasan saja bukan bagian dari pelayanan public sevice. Kinerja lurah pun hanya didasarkan pada banyaknya laporan qlue serta penyelesaian permasalahan wilayah. Sementara ada juga wilayah kelurahan yang tidak
http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-perkotaan-dengan-aplikasiqlue. Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33 wib. 18
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
399
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
tersentuh oleh laporan qluetapi juga banyak permasalahan yang tidak selesai. Selain itu, aplikasi qlue berbentuk laporan dengan memakai istilah saran, jawaban serta nama samara nampaknya terkondisikan untuk menjadi alat propaganda menjatuhkan istitusi. Beberapa lurah di Jakarta barat dan pusat menyampaikan bahwa posting warna baik merah, kuning dan biru untuk ditindaklanjuti lurah terkadang salah dalam pemetaan oleh yang memposting (pelapor) walaupun lurah sudah menyatakan jawaban qlue sesuai teknis jawaban. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memberlakukan qlue untuk RT/RW dan memberikan Rp 10.000 untuk sekali pelaporan, namun karena warga banyak yang protes maka pemberlakukan qlue untuk RT dan RW dihapus sehingga pemberlakukan insentif Rp 10.000 pun dihapus dengan alasan RT/RW itu sifatnya pengabdian masyarakat jadi lebih ke ketokohan tidak perlu diberikan insentif cukup uang operasional. Untuk itu, posisi RT/RW dikembalikan kesemula yakni menempati bagian ketokohan masyarakat yang sangat dihargai. Pada awalnya qlue menjadi tolok ukur kinerja RT/RW. Namun karena sosialisasi dan implementasi yang kurang tepat maka banyak RT dan RW yang mengunggah laporan spam seperti laporan yang diunggah merupakan informasi pribadi seperti KTP warga baru atau surat undangan untuk warga sekitar. Oleh karena itu, dalam beberapa bulan terkahir laporan RT/RW itu tidak lagi ditampilkan secara langsung. Qlue membuat laporan tersebut hanya bisa diakses oleh pihak terkait sehingga tidak membingungkan pengguna lain. Dengan kewajiban untuk melapor tiga kali sehari, kira-kira 90 ribu laporan dari 30 ribu RT/RW di DKI Jakarta. Sementara pengguna Qlue secara keseluruhan ada 700 ribu dan tidak semuanya aktif melapor. Jadi dapat dibayangkan, laporan qlue yang berasal dari RT/RW terbilang cukup besar. Kondisi ini secara tidak langsung juga membingungkan pengguna lain. Sebab qlue sendiri merupakan platform berbagi untuk umum. Tidak semua masyarakat yang tidak puas dengan adanya aplikasi qlue. Misalnya saja informan berikut yang penulis temui. Endah adalah warga Kelurahan Semper yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan sangat terbantu dengan adanya aplikasi qlue. Hal ini dikarenakan, warga jadi bebas untuk melaporkan tanpa harus datang ke kantor kelurahan langsung. Ada beberapa laporannya terkait sampah yang langsung direspon oleh ketua RT/RW. Ini menjadi catatan positif dari warga Semper terkait implementasi aplikasi qlue.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
400
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Indikator berikutnya untuk melihat implementasi kebijakan aplikasi qlue adalah derajat perubahan yang diinginkan. Artinya ini berbicara seberapa besar harapan yang ingin dicapai oleh Pemprov DKI Jakarta dengan adanya Aplikasi Qlue tersebut. Harapan yang besar dari Pemprov DKI Jakarta dengan adanya aplikasi qlue ternyata pada tataran implementasinya menurut data Populi Center tingkat kepuasan masyarakat terhadap aplikasi qlue sebesar 35,8 persen19. Berdasarkan hal tersebut, maka derajat perubahan yang diinginkan oleh Pemerintah DKI Jakarta sangat besar terhadap masyarakat Jakarta namun kenyataannya tingkat kepuasan masyarakat dengan adanya aplikasi qlue masih rendah. Lalu indikator kedudukan pembuat kebijakan aplikasi qlue dalam hal ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaya Purnama. Dengan kedudukannya sebagai gubernur maka Gubernur DKI Jakarta tersebut mengeluarkan kebijakan e-governance untuk memudahkan masyarakat Jakarta melapor tentang keluhannya. Sedemokratis apapun formulasi kebijakan publik, pada akhirnya yang memutuskan adalah pemimpin 20 peran pemimpin dalam kebijakan publik teramat vital karena hanya pemimpinlah yang mempunyai tugas pokok memastikan perumusan kebijakan dibuat sesuai dengan seharusnya. Oleh karena itu, begitu pentingnya peran Gubernur DKI Jakarta dalam mengawasi dan menjawab semua permasalahan yang disampaikan warga Jakarta. Pelaksana kebijakan ini adalah seluruh masyarakat DKI Jakarta. Namun, pada penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada masyarakat Jakarta Utara saja. Selaku pelaksana kebijakan tentunya banyak pendapat dari masyarakat DKI Jakarta terhadap implementasi aplikasi qlue tersebut. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa ada masyarakat yang pro dan kontra. Masyarakat yang pro sebagian besar merasa diuntungkan dengan adanya kebijakan aplikasi qlue dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang sudah melek teknologi yang paham akan mengoperasionalisasikan aplikasi qlue. Namun, bagi masyarakat yang merasa terbebani dengan adanya aplikasi qlue ini tentu saja kontra dan menganggap ini sulit dijalankan oleh mereka seperti para ketua RT yang merasa terbebani dengan adanya kewajiban wajib lapor. Dengan banyaknya pendapat dari masyarakat terkait aplikasi qlue tersebut, maka ini harus 19
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/24/03450051/tingkat.kepuasan.masyarakat.terhadap.pempro v.dki.jakart. Diakses tanggal 18 April 2017. Pukul 09.00 WIB. 20
Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan�. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal: 287. Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
401
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
menjadi catatan untuk Pemerintah DKI Jakarta dalam melakukan evaluasi terhadap kebijakan aplikasi qlue. Catatan ini kemudian yang menjadi dasar bagi proses evaluasi kebijakan aplikasi qlue. Evaluasi kinerja kebijakan publik juga dilakukan dengan melakukan penilaian komprehensif terhadap pencapaian target kebijakan (output), pencapaian tujuan kebijakan (outcome), kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian, pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang berhasil, dan identifikasi faktor pendukung keberhasilan dan kegagalan sehingga menyebabkan kesenjangan, dan memberikan rekomendasi untuk menanggulangi kesenjangan. Berdasarkan data mengenai implementasi aplikasi qlue yang dijelaskan diatas, maka evaluasi implementasi aplikasi qlue di Wilayah Jakarta Utara adalah sebagai berikut: 1) Dari aspek pencapaian target kebijakan (output), kebijakan aplikasi qlue implementasinya masih belum 100%, karena berdasarkan data dari Populi Center masyarakat hanya 35.8 % yang puas dengan implementasi aplikasi qlue. Ini mengindikasikan bahwa pencapaian target belum maksimal. Selain, itu banyaknya keluhan warga Jakarta Utara yang dijelaskan pada bagian sebelumnya mengisyaratkan bahwa aplikasi qlue msih jauh dari target yang diharapkan; 2) Kebijakan aplikasi qlue ini jika dilihat dari pencapaian tujuan kebijakan (outcome) sudah sesuai dengan tujuan kebijakannya yakni untuk tujuan reformasi birokrasi sehingga dapat menciptakan Jakarta lebih baik. Menurut penulis, tujuan adanya aplikasi qlue pada dasarnya baik, namun segala kekurangan yang ada itu persoalan waktu dan proses yang akan menyempurnakan. Sekalipun outputnya juga belum maksimal; 3) Kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian dapat dilihat dengan membandingkan target pencapaian kebijakan dengan pencapaian tingkat kepuasan masyarakat terhadap kebijakan aplikasi qlue tersebut. Jika targetnya adalah 100% sasaran maka yang puas dimata publik adalah 35.8% maka masih ada sekitar 64.2% target yang harus direalisasikan dengan berbagai pembenahan yang ada. Data tersebut menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara target dan pencapaian dari kebijakan aplikasi qlue. Oleh karena itu, perlu ada upaya pembenahan supaya tujuan kebijakan yakni Kota Jakarta yang tertata dapat terealisasi.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
402
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
4) Pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang berhasil yakni bisa kita lihat dan bandingkan dengan program smart city yang telah berhasil sukses dilakukan di Surabaya. Seharusnya aplikasi qlue ini lebih berhasil di Jakarta karena Jakarta merupakan representasi masyarakat perkotaan yang memiliki akses yang mudah terhadap internet apalagi Jakarta merupakan ibu kota negara. Namun pada implementasinya, masih banyak yang harus diperbaiki. 5) Kebijakan aplikasi qlue ini pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang bagus dan patut untuk didukung oleh masyarakat Jakarta. Mengapa demikian? Karena potensi kebijakan ini akan berhasil sangat tinggi sebab semua perangkat yang mendukung aplikasi qlue terfasilitasi namun perlu dioptimalkan saja. Sedangkan faktor yang mungkin akan menjadi penghambat dari kebijakan tersebut adalah perihal kurangnya sosialisasi, masih adanya ketua RT/RW yang belum melek teknologi, dan rendahnya pengawasan. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan diatas, maka kesimpulannya adalah implementasi kebijakan aplikasi qlue apabila dilihat dengan model grindle masih harus terus diperbaiki karena pada tataran implementasinya belum maksimal. Hal ini dikarenakan, sebagian masyarakat Jakarta Utara menganggap bahwa kebijakan aplikasi qlue masih ada kekurangan dalam hal sistemnya yakni susah untuk melakukan registrasi, sosialisasi untuk aplikasi qlue ini masih minim sehingga tidak semua warga yang mengetahui bagaimana cara mengoperasionalisasikan aplikasi qlue sehingga sebagian masyarakat kurang memanfaatkan aplikasi qlue ini dengan baik. Dari sisi RT/RW, dan lurah juga belum melek teknologi secara keseluruhan. Lalu, sebagian lurah juga banyak yang mengeluh terkait wajib lapor 3 kali setiap hari. Berdasarkan implementasi kebijakan aplikasi qlue tersebut, maka rekomendasinya sebagai hasil dari evaluasi kebijakan aplikasi qlue adalah perbaiki sistemnya supaya mudah registrasi, perlu sosialisasi yang intensif harus ke seluruh warga agar layanan ini dapat dimanfaatkan lebih baik, lurah dan camat harus tanggap dan melek gadget, perlu pengawasan yang extra terhadap implementasi aplikasi qlue, harus jelas terkait tujuan dari adanya pelayanan publik yang berbentuk aplikasi qlue supaya kemanfaatannya jelas.
Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
403
Sosial Politik Humaniora http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
DAFTAR PUSTAKA B. Mattey Miles and Michael Huberman. 2004. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Charles O. Jones, An Introduction to the Study of Public Policy. Third Edition, 1984, Monterey: Books/Cole Publishing Company. Easton, David. 1965. A System Analysis of Political Life, New York: Willey. Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. 1970. Power And Society, New Heaven: Yale University Press. Moleong, 2002. Metode Penelitian Kualitatif. PT Rosdakarya, Bandung. Newman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Allyan & Bacon, Needham Heights. Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nugroho, Riant. Public Policy “Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nugroho,Riant. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang”. 2006, Jakarta, Gramedia Said, Mas’ud. 2012. Birokrasi di Negara Birokratis. Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi di Indonesia. Malang: UMM Press. Tangkilisan, Hessel Nogi S., 2003, Kebijakan Publik: Untuk Pemimpin Berwawasan Internasional, Yogyakarta: Balairung. Wahab, Solichin Abdul, 2002. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Sinar Grafika http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-perkotaan-denganaplikasi-qlue. Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33 wib. http://m.liputan6.com/tv/read/2499802/video-rama-raditya-aplikasi-qlue-pertama-diIndonesia&Ic=idID&s=1&m=974%host=www.google.co.id&ts=1492405163&sig=AJsQ Q1Cqus3RqrrtZnSbyfR6yUTN6NM3rw. Diakses tanggal 17 April 2017 pukul 13.05 WIB http://youngsters.id/technopreneur/rama-raditya-ingin-membantu-masalah-perkotaan-denganaplikasi-qlue. Diakses tanggal 17 April 2017. Pukul 13.33 wib Restu Rahmawati, Firman, Analisis Impelementasi Kebijakan Aplikasi Qlue Di Wilayah Jakarta Utara /10/Vol. 05/No. 02 Juni 2017
404
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
UCAPAN TRIMAKASIH KEPADA PEER – REVIEW PADA TERBITAN JURNAL ARISTO (SOSIAL, POLITIK, HUMANIORA) VOLUME 5 NO 02 JUNI 2017 Dr. Fernandes Simangunsong, S.STP, S.AP, M.Si (IPDN Jatinangor Indonesia) Dr. Oman Sukmana, Drs., M.Si. (Universitas Muhammadiyah Malang) Dr. Teguh Yuwono, (Universitas Diponegoro Semarang) Dr. Habib Ahmad, S.Sos, M.A (Universitas Muhammadiyah Malang) Drs. Jusuf Harsono, M.Si (Universitas Muhammadiyah Ponorogo) Andri Putra Kesmawan, S.IP, MIP (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) Dr. Adde Oriza Rio, M.IKom (Universitas Kristen Indonesia) Mochammad Tanzil Multazam, S.H, M.H (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo) Achmad Zulfikar, S.IP, M.Si (Universitas Hasanudin Makassar) Cahyo Seftyono, S.Sos, M.A (Universitas Negeri Semarang) Nurudin AB, S.Sos, M.Si (Universitas Muhammadiyah Malang) Rachmat Kriyantono, Ph.D (Universitas Brawijaya Malang) Alamsyah, S.AP, M.AP (Universitas Sriwijaya Palembang) Decky Kuncoro, M.IP (AMIKOM Yogyakarta)
405
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
AUTHOR GUIDELINES / GAYA SLINGKUNG JURNAL ARISTO (SOSIAL, POLITIK, HUMANIORA) Masterplan reserves cultural policy development in the Ponorogo district Masterplan kebijakan pengembangan cagar budaya di kabupaten Ponorogo (Article Title: Indonesian or English Lenguange, Times New Roman 14 pt, bold, centered / Huruf Besar, Bahasa Indonesia ataupun Inggris, Times New Roman 14 pt, di hitamkan) (The title of the article should be brief and informative and it should not exceed 20 words / Judul artikel harus singkat dan informatif dan tidak melebihi 20 kata). Yusuf Adam Hilman, Imam Prasojo, dan Jimly Assidiqi. (Author Name / Nama Penulis: First Author, Second Author, and Third Author: Times New Roman 12 pt)
Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. (Affiliations: Times New Roman 12 pt)
adamhilman@umpo.ac.id , Imam@ui.ac.id & Jimly@mk.ac.id (Email Author: Times New Roman 12 pt)
Abstract & Abstraksi (Article Title: English and Indonesian Lenguange, 200 Times New Roman 11 pt, Single Space Lines, Justify) (Keyword / Kata Kunci : 3 – 5 Kata,
Keyword Regency of ponorogo having natural resources, as well as the potential typical culture, and a society that can be develop into the tourism. The potential can be then developed, that can bring up the optimal and into factors that supports the construction of tourism in district Ponorogo. In carrying out development of tourism in Ponorogo, there are several constraint or factors barrier, including: 1. Access Of Transportation Facilities And Infrastructure Who Are Still Minimal And Not Optimal. 2). To access the road facilities and cross is still far from expectation, disturbing visitors to access tourism in the Ponorogo. Keyword: The Community Development, Development Of Tourism, The Potential Of The Region.
Kata Kunci Kabupaten ponorogo memiliki sumber daya alam, serta potensi budaya yang khas, dan masyarakat yang dapat berkembang menjadi pariwisata. Potensi tersebut dapat kemudian berkembang, yang dapat memunculkan faktor optimal dan menjadi yang mendukung pembangunan pariwisata di Kabupaten Ponorogo. Dalam melaksanakan pembangunan pariwisata di Ponorogo, ada beberapa kendala atau faktor penghalang, termasuk: 1. Akses atas fasilitas Transportasi Dan Infrastruktur Siapa
406
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Masih Minimal Dan Tidak Optimal. 2). Untuk mengakses fasilitas jalan dan lintas masih jauh dari harapan, mengganggu pengunjung untuk mengakses pariwisata di Ponorogo. Kata Kunci: Pengembangan Komunitas, Pengembangan Pariwisata, Potensi Kawasan. Submite Review Accepted Surel Corespondensi
: : : :
14 Nov 2016 14 Nov 2016 01 Jan 2017 adamhilman@umpo.ac.id
The organization of the manuscript includes Introduction, Methods, Results and Discussion, Conclusions and References. Organisasi naskah meliputi Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Referensi. Pendahuluan / Introductions Metode / Methode Hasil dan Pembahasan / Result and Discussion
( 12 pt, di hitamkan / 12 pt, bold)
Kesimpulan / Conclusion The first letter of headings and subheadings are capitalized and headings are numbered in Arabic numerals. The manuscript is written with Times New Roman font size 10, single-spaced, left and right alligned, on one-sided pages and on A4 paper (210 mm x 297 mm) with the upper margin of 3.5 cm, lower 2.5 cm, left and right each 2 cm. The manuscript including the graphic contents and tables should be no longer than 15 pages, including pictures and tables. The use of subheadings is discouraged. Between paragraphs, the distance is one space. Huruf pertama dari judul dan subjudul dikapitalisasi dan judul diberi nomor dengan angka Arab, Naskah ditulis dengan ukuran font Times New Roman 12, spasi tunggal, kiri dan kanan alligned, pada satu sisi halaman dan di atas kertas A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Naskah termasuk isi grafik dan tabel harus tidak lebih dari 15 halaman, termasuk gambar dan tabel. Penggunaan subpos tidak disarankan. Antara paragraf, jarak adalah satu ruang.
407
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Abbreviations/Terms/Notations/Symbols. The use of abbreviations is permitted, but the abbreviation must be written in full and complete when it is mentioned for the first time and it should be written between parentheses. Terms/foreign words or regional words should be written in italics. Notations should be brief and clear and written according to the standardized writing style. Symbols/signs should be clear and distinguishable, such as the use of number 1 and letter l (also number 0 and letter O). Singkatan / Istilah / Notasi / Simbol. Penggunaan singkatan diperbolehkan, tapi singkatan harus ditulis lengkap dan lengkap ketika disebutkan untuk pertama kalinya dan itu harus ditulis dalam tanda kurung. Syarat / kata-kata asing atau kata-kata daerah harus ditulis dalam huruf miring. Notasi harus singkat dan jelas dan tertulis sesuai dengan gaya penulisan standar. Simbol / tanda-tanda harus jelas dan dapat dibedakan, seperti penggunaan nomor 1 dan huruf l ( juga angka 0 dan huruf O ) Tables (12 pt, bold) (one blank single space line, 10 pt) Tables are written with Times New Roman font size 10 and single spaced below the title of the table. The title of the table is written with font size 10 (boldface) above the table as prescribed in the format given below as example. The table is numbered in Arabic numerals. There is one single space line between the table and the paragraph. The table is placed immediately after it is referred to in the text. The frame of the table uses 1 font-size line. If the title in each table column is long and complex, the columns are numbered and the notes are given below the table. (one blank single space line, 10 point font) Tabel (12 pt, bold) (Kosong satu spasi, 10 pt) Tabel ditulis dengan ukuran font Times New Roman 10 dan tunggal spasi di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan ukuran font 10 ( huruf tebal) di atas meja seperti yang ditentukan dalam format yang diberikan di bawah ini sebagai contoh. tabel diberi nomor dengan angka Arab. Ada satu spasi tunggal antara meja dan paragraf. meja ditempatkan segera setelah disebut dalam teks. Bingkai meja menggunakan 1 font-size line. Jika judul di setiap kolom tabel panjang dan rumit, kolom diberi nomor dan catatan yang diberikan di bawah meja. (Kosong satu spasi, 10 pt) 408
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Table 1. Number of Testing of WFF Triple NA=15 or NA=8 (9 pt, bold) (one blank single space line, 6 pt) Tabel 1. Jumlah Pengujian WFF Tiga NA = 15 atau NA = 8 (9 pt, bold) (Kosong satu spasi, 6 pt) NP NC 3 4 8 10 3 1200 2000 2500 3000 5 2000 2200 2700 3400 8 2500 2700 16000 22000 10 3000 3400 22000 28000 (two blank single space lines, 10 point font) (Dua kosong satu ruang baris, huruf 10 point) Graphic Contents (12 pt, bold) (one blank single space line, 10 pt) Graphic contents are placed symmetrically on the page and there is one blank single space line between the graphic content and the paragraphs. A graphic content is placed immediately after it is referred to in the body of the text and is numbered in Arabic numerals. Caption for the graphic content is written below it and there is one blank single space line between it and the graphic content. The caption is written in font size 9, boldface, and placed as in the example. Between the graphic content with the body of the text there are two blank single space lines. Isi grafis (12 pt, bold) (Kosong satu spasi, 10 pt) Isi grafis ditempatkan secara simetris pada halaman dan ada satu kosong spasi tunggal antara konten grafis dan paragraf. Sebuah konten grafis ditempatkan segera setelah disebut dalam tubuh teks dan nomor dalam angka Arab. Caption untuk konten grafis yang tertulis di bawah itu dan ada satu kosong spasi tunggal dan konten grafis. caption yang ditulis dalam ukuran font 9, tebal, dan ditempatkan seperti pada contoh. Antara konten grafis dengan tubuh teks ada dua spasi tunggal.
409
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
(one single space, 6 point font) (Satu spasi tunggal, 6 titik font) Figure 1. The Interaction of Job Insecurity and Employability against Work Satisfactory on Outsourced Employees (9 pt, bold) (two single space, 10 pt) For any graphic contents which have been published by another author, the corresponding author must obtain a written permission from that other author and his/her publisher. Include one graphic content which is printed in good quality in a full-size page or scanned graphic content in good resolution in the format as follows {name of file}.jpeg, or {name of file}.tiff. If the graphic content is in the form of photograph, include one original photograph. The photograph is printed in black and white unless the photograph will appear in color. The author will be charged an additional fee for color printing of more than 1 page. The font face to be used in the graphic content or graph should be the one generally available in each word processor and operational system such as Symbol, Times New Roman and Arial with the font size not less than 9 point. Gambar 1. Interaksi Job Insecurity dan Employability melawan Kerja Memuaskan dari outsourcing Karyawan (9 pt, bold) (dua spasi tunggal, 10 pt) Untuk setiap isi grafis yang telah diterbitkan oleh penulis lain, penulis yang sesuai harus mendapatkan izin tertulis dari yang penulis lain dan / nya penerbitnya. Sertakan satu gambar yang dicetak dengan kualitas yang baik dalam satu halaman penuh atau hasil scan konten grafis resolusi baik dalam format sebagai berikut {nama file} .jpeg, atau {nama file} .tiff. Jika gambar dalam bentuk foto, termasuk satu foto asli. foto itu dicetak dalam warna hitam dan putih kecuali foto itu akan muncul dalam warna. Penulis akan dikenakan biaya tambahan untuk cetak warna lebih dari 1 halaman. Font face yang akan digunakan dalam konten grafis atau grafik harus menjadi salah satu umumnya tersedia di setiap pengolah kata dan sistem operasional seperti Symbol, Times New Roman dan Arial dengan ukuran font tidak kurang dari 9 titik.
410
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Daftar Pustaka / The reference The reference writing must be in accordance with APA (American Psychological Association) format. The references should use the primary sources (journals or books). Can use the mendeley, Endnote, and Zotero application. Penulisan referensi harus sesuai dengan APA (American Psychological Association) format. Referensi harus menggunakan sumber - sumber primer (jurnal atau buku). Dapat menggunakan aplikasi mendeley, Endnote, dan Zotero.
Examples: Books: Creswell, J.W. (2008). Educational research: Planning, conductiong, and evaluating quantitative and qualitative research (3rd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. Book chapter: Markus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.), Social psychology: Handbook of basic principles. New York: The Guilford Press. Online document: Van Wagner, K. (2006). Guide to APA format. About Psychology. Accessed on November 16, 2006 from http://psychology.about.com/od/ apastyle/guide. Journal Article: Wassman, J., & Dasen, P.R. (1998). Balinese spatial orientation. Journal of Royal Anthropological Institute, 4, 689-731. Online journal: Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of Internet Psychology, 4. Accessed on November 16, 2006 from http://www.Journalofinternetpsychology.com/archives/ volume4/3924.html. 411
Sosial Politik Humaniora ISSN (Cetak) : 2338 - 5162 / ISSN (Online) : 2527 - 8444 http://www.journal.umpo.ac.id/index.php/aristo / aristo@umpo.ac.id
Article from a Database: Henriques, J.B., & Davidson, R.J. (1991) Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diambil 16 November 2006 dari PsychINFO database. Online Forums, Discussion Lists, or Newsgroups: Leptkin, J.L. (2006, November 16). Study tips for psychology students [Msg. 11]. Message were rely on http://groups.psychelp.com/forums/messages/48382.html. Research Report: Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does education play a role in body image dissatisfaction? Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional.
412