Final report surili 2007

Page 1

Volume 1 : Laporan Ilmiah

Eksplorasi Budaya, Flora, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros - Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimuru Bantimurungng-Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 10 – 26 Augustus Augustus 2007

HIMAKOVA

DEPHUT-RI

KERJASAMA ANTARA HIMPUNAN MAHASISWA KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA (HIMAKOVA) FAKULTAS KEHUTANAN, INSTITUT PERTANIAN BOGOR DENGAN DENGAN DEPARTEMEN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN WORLD WILDLIFE WILDLIFE FUND FUND FOR NATURE NATURE (WWF - USA) 2007


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

LAPORAN ILMIAH STUDI KONSERVASI LINGKUNGAN (SURILI) 2007

“ Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros - Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimuru Bantimurungng-Bulusaraung”

Taman Nasional bantimurung– bantimurung–Bulusaraung, Prov Provinsi insi Sulawesi SELATAN

KERJASAMA ANTARA

HIMPUNAN Mahasiswa KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA (HIMAKOVA) FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR DENGAN DEPARTEMEN KEHUTANAN, INDONESIA DAN WORLD WIldlife WIldlife FUND for nature nature - usa (WWF - usa) 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Referensi : HIMAKOVA IPB, Departemen Kehutanan, Indonesia dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF – USA). 2007. Laporan Ilmiah Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007: Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan, Laporan Ilmiah Volume 1. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan, Indonesia dan World Wildlife Fund For Nature - USA (WWF - USA), Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan. 10–26 Agustus 2007.

Kegiatan ini Disponsori oleh : Departemen Kehutanan, Indonesia Dan World Wildlife Fund For Nature – USA (WWF - USA)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


@ Copyright 2007 Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Departemen Kehutanan, Indonesia World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA) Judul

Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan Tim Editor Dr. Ir Rinekso Soekmadi, M. Sc. F Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M. Sc. F Prof. Dr. Ir. E. K. S. Harini Muntasib, M. S Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.Sc.F Ir. Dones Rinaldi, M.Sc Layout and Graphic Design Iska Gushilman Febia Arisnagara Sopian Hidayat Heru Masrukhin Nisa Syachera Nur Syamsiah Trisna U. Lestari Gambar Jilid oleh Iska Gushilman Gambar-gambar oleh HIMAKOVA


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 di Taman Nasional BantimurungBulusaraung, Propinsi Sulawesi Selatan yang merupakan kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dengan World Wildlife Fund for Nature (WWF-USA) dan Departemen Kehutanan sebagai salah satu partner program kehutanan. Kami harap bahwa laporan ini berguna dan bermanfaat bagi tim SURILI 2007 dan semua pihak yang terkait. Semoga laporan ini dapat menjadi sebuah panduan bagi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, perlindungan sumberdaya alam hayati dan konservasi serta pemanfaatan kawasan untuk ekowisata. Untuk Pemerintah Kabupaten Maros-Pangkep kami berharap laporan ini menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan pengembangan kawasan khususnya dalam mendirikan program Kabupaten Konservasi.

Bogor, Desember 2007

TIM SURILI 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

i


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada : 1. Departemen Kehutanan Indonesia atas kepercayaannya kepada HIMAKOVA dan pemberian dana kegiatan Studi Konservasi lingkungan (SURILI) 2007 di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN-BaBul). 2. World Wildlife Fund for Nature (WWF - USA) atas kepercayaannya kepada HIMAKOVA untuk bekerjasama dalam kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 di TN-BaBul. 3. Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas dukungan fasilitas dan kepercayaannya kepada HIMAKOVA untuk bekerjasama dalam kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 di TN-BaBul. 4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB periode 20022007 dan Dr. Ir. Hendrayanto selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB periode 2007-2012 serta Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi selaku Wakil Rektor III IPB atas dukungannya kepada HIMAKOVA dan untuk mengizinkan kegiatan SURILI 2007. 5. Bapak Darsono selaku Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung atas dampingan selama di lapangan. 6. Seluruh staf di TN-BaBul, atas semua bantuan dan dukungannya. 7. Pemerintah Daerah Kabupaten Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. 8. Keluarga besar PC Sylva Universitas Hasanuddin , Makassar atas kerjasama dengan TIM SURILI 2007 dan pendampingan di Makasar. 9. Birdlife International Indonesian Program (BI-IP) atas bantuan peralatannya . 10. LIPI atas bantuannya dalam mengidentifikasi spesimen. 11. HIMAKOVA dan Pembina Kelompok Pemerhati (KP) yang telah membantu dalam persiapan, kegiatan dilapangan, dan penyusunan laporan kegiatan SURILI: Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc (Pembina HIMAKOVA and KPG), Dr.Ir.Abdul Haris Mustari, M.Sc.F (Pembina HIMAKOVA and KPM), Prof. Dr. Ir. E.K.S. Harini Muntasib, MS and Eva, S. Hut ( Pembina KPE), Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSii (Pembina KPH), Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si (Pembina KPK), Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc (Pembina KPF) and Dr. Ir. Yeni, M.Sc.F (Pembina KPB), Ir. Dones Rinaldi, M.Sc F (Pembina FOKA). Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

ii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

12. Semua pihak yang telah bersedia memberi kuliah pembekalan untuk TIM SURILI: Nur Cahyo A,S.Hut, M Yazid, S.Hut, Grace Serepina, S.Hut, Siti Maria Ulfa, S.Hut, Chandra I, S.Hut, Reisky Maulana, Rachmad Purnawjaya, Dwi Warni, dan Sutopo. 13. Semua anggota TIM SURILI 2007 atas kekompakan dan kerjasamanya di lapangan. 14. Seluruh pengurus Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). 15. Seluruh pihak-pihak yang telah memberikan bantuan hingga SURILI 2007 dapat dijalankan dengan lancar yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

iii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

RINGKASAN EKSEKUTIF 1. ORGANISASI Eksplorasi ilmiah ini merupakan kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasii Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Fakultas Kehutanan,IPB, dengan World Wildlife Fund for Nature (WWF - USA) dan Departemen Kehutanan sebagai salah satu partner program kehutanan. Mahasiswa dari PC Sylva, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanudin. 2. IMPLEMENTASI KEGIATAN Kegiatan pengamatan dilakukan pada tanggal 10 - 26 Agustus 2007. Pengamatan burung dilakukan di Panaikang dan Leangronrong, pengamatan mamalia dilakukan di Leangronrong dan Panaikang, pengamatan herpetofauna dilakukan di Bantimurung dan Pattunuang, pengamatan kupu-kupu dilakukan di Bantimurung, Panaikang, pengamatan bentuk pemanfaatan flora di Panaikang, Pattunuang, Karenta dan Mallawa, dan pengamatan fauna gua serta pendataan dan pemetaan gua di Bantimurung, Salukkang kallang, Pattunuang dan leang lonrong. Pengumpulan data dan informasi sosial budaya dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang diambil dari masyarakat lokal yang tinggal di delapan desa sekitar wilayah Taman Nasional 3. TEMUAN ILMIAH Pengamatan yang dilakukan merupakan eksplorasi keanekaragaman hayatii pertama di TN-BaBul. Studi eksplorasi ilmiah ini ditujukan untuk melengkapi data dan informasi yang berhubungan antara keanekaragaman dan budaya, yang berdasarkan pengembangan ekowisata di TN BaBul. Dokumentasi dan specimen diambil untuk diindentifikasi lebih lanjut dan untuk mendukung kevalidan data. Selanjutnya hal tersebut dihubungkan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat local memberikan suatu pemahaman yang lebih baik dengan berjalannya waktu dan hubungan antara keanekaragaman hayati dan budaya. Semua penemuan menunjukan keanekaragaman hayati yang tinggi dan nilai budaya TN-BaBul dan pentingnya keberadaan Taman Nasional dalam mengungkap sisi kehidupan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

iv


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

prasejarah masyarakat lokal, yang terkait dengan keanekaragaman flora dan fauna masa lalu dan dinamika kebudayaan masyarakat. Secara keseluruhan, hasil dari eksplorasi mencapai tujuan yang telah ditentukan. 3.1

Identifikasi mamalia, burung, herpetofauna, kupu-kupu dan fauna gua. Inventarisasi Mamalia menemukan sebanyak 13 jenis, dimana ditemukan

sebanyak 10 jenis melalui pengamatan langsung dan 3 jenis dari hasil wawancara. dimana 3 jenis diantaranya merupakan endemik Pulau Sulawesi, sebanyak 69 jenis burung yang tercatat terdiri atas 27 famili dari total 650 individu, 13 diantaranya merupakan endemic Pulau Sulawesi. Eksplorasi mencatat total 6 jenis amfibi dari 4 famili dan 19 reptil dari 8 famili. 2 amfibi dan satu reptil merupakan endemic Pulau Sulawesi yaitu Rana celebensis, Bufo celebensis dan Hydrosaurus amboinensis. Pengamatan mencatat 54 jenis kupu-kupu yang terdiri atas 4 famili dari total 514 individu. Ditemukan tiga yang merupakan spesies hampir punah dan merupakan spesies dilindungi yaitu Troides helena, T. Haliphron, dan Cethosia myrina. Inventarisasi fauna gua dilakukan di 5 gua dan sebanyak 3 kelas ditemukan di 3 gua dari 5 gua yang diteliti, yaitu serangga, mamalia dan amfibi. Keanekaragaman hayati yang ditemukan merupakan data pertama untuk Taman Nasional. 3.2 Identifikasi pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional, termasuk dalam pengobatan dan tanaman hias. Banyak tipe pemanfaatan tumbuhan di TN-Babul oleh masyarakat local yang diidentifikasi sebagai (i)bahan bangunan, (ii) bahan kerajinan tangan, keranjang, dan anyaman, (iii) bahan pangan, (iv) tanaman obat, (v) tanaman aromatic, (vi) tanaman hias dan pemanfaatan lain, yang diambil berasal dari liana, epifit, dan pohon. Hasil pengamatan ditemukan 17 jenis bahan pangan, 32 jenis tumbuhan obat dari hasil wawancara berdasarkan atas pengetahuan tradisional masyarakat mengenai tumbuhan obat , 7 jenis tanaman hias dan 6 jenis termasuk pemanfaatan lain. Pemanfaatan tumbuhan digunakan oleh generasi muda hingga tua. Selain itu TNBaBul memiliki beberapa jenis yang memiliki potensi sebagai ekowisata seperti Aren Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

v


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

(Arenga pinnata Merr.) di Pattunuang dan koleksi penangkaran anggrekmsecara alami di Baregae. Aren adalah salah satu tumbuhan yang memiliki manfaat yang banyak, bagian aren yang biasanya digunakan oleh masyarakat adalah daun, buah, dan nira (air dari tumbuhan). 3.3 Identifikasi pemanfaatan lokal mamalia, burung, herpetofauna (amfibi dan reptil), kupu-kupu dan fauna gua. Ada beberapa pemanfaatan secara local kekayaan fauna di TN-BaBul. Mamalia setelah diburu untuk dijual atau dikonsumsi, kebanyakan jenis yang diburu adalah tarsius dan musang sulawesi yang termasuk dalam jenis yang dilindungi. Beberapa digunakan untuk penggunaan pengobatan dan hewan peliharaan. Burung juga dikonsumsi dan ditangkap untuk hewan peliharaan, walaupun jenis-jenis tersebut memiliki nilai keindahan yang digunakan untuk tujuan komersil karena sebagian besar termasuk dalam Apendiks I dan II CITES. Beberapa jenis kupu-kupu juga dimanfaatkan sebagai souvenir yang dijual kepada pengunjung dalam bentuk gantungankunci, juga offsetan serta T-Shirt.

Beberapa jenis kupu-kupu yang dimanfaatkan sebagai

gambar pada T-shirt juga ditemukan selama penelitian ini, yaitu Papilio blumei, Ornithoptera rotschildi, Trogonoptera brokiana dan sebagainya. Tidak ada pemanfaatan fauna gua maupun herpetofauna yang ditemukan di kawasan Taman Nasional.

3.4 Identifikasi dan justifikasi nilai penting gua Gua-gua yang telah dikembangkan sebagai objek wisata maupun yang belum menunjukkan keindahan-keindahan alam yang terkandung di dalamnya. Diantaranya staktit, stalagmite, gourdam, tiang, serta bentukan-bentukan lainnya yang menarik. Sayangnya beberapa gua telah salah dimanfaatkan sebagi tempat untuk pacaranserta beberapa gua telah mengalami degradasi lingkungan dengan banyaknya vandalisme. Selama pengamatan, tidak ditemui adanya lukisan gua yang terkait dengan budaya masyarakat setempat.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

vi


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

3.5 Mempelajari status perlindungan hidupan liar Beberapa fauna yang ditemukan dalam studi ini termasuk dalam kategori hidupan liar yang dilindungi, baik Apendiks I, II maupun oleh Pemerintah Indonesia. Sebanyak lima spesies mamalia dari total 13 ditemui merupakan satwa dilindungi yang termasuk dalam Apendiks II, diantaranya Tarsius spectrum, Macaca maura dan Sus celebensis serta satu spesies yang termasuk dalam Apendiks I. Delapan spesies termasuk dalam Daftar Merah IUCN sebagai satwa dilindungi. Sebanyak 24 spesies dari 69 spesies burung yang teridentifikasi merupakan endemik Wallace yang terdiri dari 13 jenis endemik Pulau Sulawesi, 4 endemik Sulawesi dan Sula, 5 endemik Pulau Sulawesi dan Maluku serta 2 endemik Sulawesi, Sula dan Maluku. Dari semua spesies burung yang ditemukan, sebanyak 6 spesies merupakan burung dalam kategori terancam kepunahan dan termasuk dalam Apendiks II. Sedangkan untuk fauna reptil, terdapat dua spesies yang dilindungi berdasarkan kategori CITES, yaitu Hydrosaurus amboinensis (Apendika II), Varanus salvator (Apendika II) dan satu spesies lainnya yang dicatat berdasarkan wawancara dengan masyarakat tetapi tidak ditemui selama pengamatan yang juga merupakan satwa dilindungi adalah Phyton reticularis. Meskipun demikian, tidak dijumpai adanya pemanfaatan untuk tujuan komersial dari semua spesies kecuali kupu-kupu . Terdapat 3 spesies dari 84 spesies kupu-kupu yang dilindungi oleh undangundang yaitu; Troides helena, Troides haliphron, dan Cethosia myrina sarnada. Genus Troides memiliki nama lokal ”Kupu-kupu Raja”dan genus Chethosia memiliki nama local “Kupu-kupu Bidadari”. Ketiga spesies tersebut biasanya ditemukan di kawasan hutan pada saat hinggap atau sedang terbang tinggi. 3.6 Menentukan sumberdaya yang potensial dikembangkan untuk ekowisata Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung memiliki keanekaragaman hayati yang rendah jika dibandingkan dengan hasil eksplorasi yang dilakukan di empat kawasan karst lainnya di dunia. Meskipun demikian, keberadaan keanekaragaman hayati ini memberikan peluang bagi pengembangan ekowisata, karena kawasan ini merupakan kawasan taman nasional pertama di Indonesia yang dieksplorasi kekayaan hayatinya. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

vii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Partisipasi masyarakat setempat dalam pengembangan ekowisata juga sangat disarankan untuk membina hubungan antara masyarakat sekitar taman nasional dengan pihak balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Ekowisata yang bisa dikembangkan dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati di taman nasional ini diperuntukkan untuk menambah pengetahuan lebih bagi pengunjung kawasan sambil berwisata. Selain itu pengunjung bisa memperlajari hubungan masyarakat dengan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Dari semua lokasi pengambilan contoh, kawasan Pattunuang merupakan kawasan dengan potensi keanekaragaman hayati yang paling tinggi. Oleh karena itu, di kawasan Pattunuang sebaiknya dibangun sebuah rencana interpretasi seperti pusat pengunjung, peta penyebaran potensi wisata, fotografi fauna, display specimen, jalur interpretasi, papan dan label interpretasi, fasilitas, publikasi dan alatalat interpretasi untuk self-guidance. Objek wisata lainnya yang bisa mendukung wisata hidupan liar di kawasan Pattunuang adalah budaya masyarakatnya. Pengunjung ke kawasan ini bisa mengikuti beberapa kegiatan wisata budaya berupa acara-acara pernikahan, mapadendang (pesta setelah panen beras), upacara sebelum menanam padi, peringatan Maulid dan Isra’ Mi’raj oleh umat Islam.

Bentuk arsitektur tradisional

rumah, juga bahasa daerah dari Bugis maupun Makassar, serta wisata kuliner (coto makassar, sop konro, saraba, gogos, es pisang ijo, dll) dapat disajikan untuk menambah nilai bagi pengembangan wisata hidupan liar di taman nasional ini. Selain itu, tempat penyewaan baju-baju trasional juga bisa didirikan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

viii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR ISI hal KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i UCAPAN TERIMA KASIH …............................................................................................................ ii RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................... iv DAFTAR ISI .......................................................................................................................................ix DAFTAR TABEL ..............................................................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... xv I.

STUDI KONSERVASI LINGKUNGAN ............................................................................ I-1 I. Pendahuluan ..................................................................................................... I-1 II. Bentuk dan Tema Kegiatan ........................................................................... I-4 III. Luaran dan Tujuan Eksplorasi ........................................................................ I-4 IV. Anggota Kelompok ........................................................................................ I-5 V. Bentuk Kegiatan............................................................................................... I-7 VI. Waktu dan Tempat ......................................................................................... I-7 VII. Kondisi Umum Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung .................... I-9 Daftar Pustaka .......................................................................................................................... I-12 II.

MAMALIA I. Pendahuluan ................................................................................................ II-1 I.1 Latar Belakang ......................................................................................... II-1 I.2 Tujuan ......................................................................................................... II-2 II. Metode Pengamatan .................................................................................... II-2 II.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ II-2 II.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... II-3 II.3 Metode Pengambilan Data .................................................................. II-3 II.4 Analisis Data ............................................................................................ II-5 III. Hasil dan Pembahasan ................................................................................. II-7 III.1 Hasil .......................................................................................................... II-7 III.2 Pembahasan ........................................................................................ II-13 IV. Kesimpulan dan Saran ............................................................................. II-28 IV.1 Kesimpulan ......................................................................................... II-28 IV.2 Saran .................................................................................................... II-28 Daftar Pustaka ......................................................................................................................... II-29 III.

BURUNG I. Pendahuluan .................................................................................................. III-1 I.1 Latar Belakang ..................................................................................... III-1 I.2 Tujuan ....................................................................................................... III-2 II. Metode Pengamatan ................................................................................... III-2 II.1 Waktu dan Tempat .............................................................................. III-2 II.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... III-2 II.3 Metode Pengambilan Data ................................................................ III-2 II.4 Data yang di ambil ............................................................................ III-3 II.5 Analisis Data .......................................................................................... III-3

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

ix


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.

Hasil dan Pembahasan ................................................................................ III-6 III.1 Hasil ......................................................................................................... III-6 III.2 Pembahasan ....................................................................................... III-15 IV. Kesimpulan dan Saran ............................................................................ III-20 IV.1 Kesimpulan ........................................................................................ III-20 IV.2 Saran ................................................................................................... III-20 Daftar Pustaka.......................................................................................................................... III-21 Lampiran .................................................................................................................................... III-23 IV.

HERPETOFAUNA I. Pendahuluan ............................................................................................... IV-1 I.1 Latar Belakang ....................................................................................... IV-1 I.2 Tujuan ....................................................................................................... IV-2 II. Metode Pengamatan .................................................................................. IV-2 II.1 Waktu dan Tempat .............................................................................. IV-2 II.2 Jenis dan Metode Pengambilan Data .............................................. IV-2 II.3 Alat dan Bahan ..................................................................................... IV-5 II.4 Analisis Data .......................................................................................... IV-6 III. Hasil dan Pembahasan ............................................................................... IV-7 III.1 Hasil ........................................................................................................ IV-7 III.2 Pembahasan .......................................................................................IV-20 IV. Kesimpulan dan Saran ............................................................................IV-24 IV.1 Kesimpulan ........................................................................................IV-24 IV.2 Saran ...................................................................................................IV-25 Daftar Pustaka ........................................................................................................................IV-25 V.

KUPU-KUPU I. Pendahuluan ................................................................................................ V-1 I.1 Latar Belakang ........................................................................................ V-1 I.2 Tujuan ........................................................................................................ V-2 II. Metode Pengamatan ................................................................................... V-2 II.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... V-2 II.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... V-3 II.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ............................................................. V-3 II.4 Metode Pengambilan Data ................................................................. V-4 II.5 Analisis Data ........................................................................................... V-7 III. Hasil dan Pembahasan ................................................................................ V-9 III.1 Hasil ......................................................................................................... V-9 III.2 Pembahasan ........................................................................................V-15 IV. Kesimpulan dan Saran .............................................................................V-30 IV.1 Kesimpulan .........................................................................................V-30 IV.2 Saran ....................................................................................................V-31 Daftar Pustaka .........................................................................................................................V-32 Lampiran .....................................................................................................................................V-33

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

x


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

VI.

GUA I.

Pendahuluan ................................................................................................. VI-1 I.1 Latar Belakang ....................................................................................... VI-1 I.2 Tujuan ....................................................................................................... VI-2 II. Metode Pengamatan .................................................................................. VI-3 II.1 Waktu dan Tempat .............................................................................. VI-3 II.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... VI-3 II.3 Metode Pengambilan Data ................................................................ VI-4 III. Hasil dan Pembahasan ............................................................................... VI-7 III.1 Hasil ........................................................................................................ VI-7 III.2 Pembahasan .......................................................................................VI-19 IV. Kesimpulan dan Saran ............................................................................VI-38 IV.1 Kesimpulan ........................................................................................VI-38 IV.2 Saran ...................................................................................................VI-38 Daftar Pustaka ........................................................................................................................VI-39 Lampiran ....................................................................................................................................VI-40 VII.

FLORA I.

Pendahuluan ............................................................................................... VII-1 I.1 Latar Belakang ...................................................................................... VII-1 I.2 Tujuan ...................................................................................................... VII-2 II. Metode Pengamatan ................................................................................. VII-2 II.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. VII-2 II.2 Alat dan Bahan .................................................................................... VII-3 II.3 Flora Karst ............................................................................................. VII-3 II.4 Kajian Etnobotani ................................................................................. VII-3 II.5 Data yang diambil .............................................................................. VII-4 III. Hasil dan Pembahasan .............................................................................. VII-4 IV. Kesimpulan dan Saran ...........................................................................VII-11 IV.1 Kesimpulan .......................................................................................VII-11 IV.2 Saran ..................................................................................................VII-11 Daftar Pustaka .......................................................................................................................VII-12 Lampiran ...................................................................................................................................VII-13 VIII.

EKOWISATA I. Pendahuluan .............................................................................................. VIII-1 I.1 Latar Belakang ..................................................................................... VIII-1 I.2 Tujuan ..................................................................................................... VIII-2 II. Metode Pengamatan ................................................................................ VIII-2 II.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ VIII-2 II.2 Alat dan Objek kajian ....................................................................... VIII-2 II.3Jenis Data .............................................................................................. VIII-2 II.4 Metode Pengambilan Data .............................................................. VIII-3 II.5 Analisis Data ........................................................................................ VIII-4 III. Kondisi Umum Lokasi Studi ...................................................................... VIII-5 III.1 Sejarah Kawasan............................................................................... VIII-5 III.2 Kondisi Fisik ......................................................................................... VIII-5 III.3 Kondisi Biologi ................................................................................... VIII-7

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xi


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IV

Hasil dan Pembahasan ............................................................................ VIII-7 VI.1 Identifikasi Objek .............................................................................. VIII-7 VI.2 Rekomendasi .................................................................................... VIII-33 VI.3 Program Wisata..............................................................................VIII-42 VI. Kesimpulan dan Saran ..........................................................................VIII-47 IV.1 Kesimpulan ......................................................................................VIII-47 IV.2 Saran .................................................................................................VIII-47 Daftar Pustaka .................................................................................................................... VIII-48 Lampiran .................................................................................................................................VIII-49

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR TABEL Tabel Teks Hal II.1. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners .................................... II-6 II.2. Jenis mamalia yang ditemukan di lokasi pengamatan dan penyebarannya .. II-11 II.3. Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kemerataan jenis mamalia yang ditemukan pada tiga titik pengamatan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ............................................................................................ II-12 II.4. Status perlindungan satwa mamalia yang ditemukan di TN Bantimurung Bulusaraung....... .............................................................................................................II-19 II.5. Populasi tarsius di blok hutan Pute, Pattunuang, TN BaBul ....................................II-23 III.1. Kisaran nilai kelimpahan jenis burung ...................................................................... III-11 III.2. Nilai dominasi jenis burung ......................................................................................... III-11 III.3. Nilai indeks keanekaragaman jenis burung dan indeks kemerataan di setiap lokasi penelitian ........................................................................................... III-13 III.4. Indeks Kesamaan Jenis Burung Pada Setiap Lokasi Pengamatan ...................... III-14 III.5 Penemuan jenis burung per lokasi pengamatan ..................................................... III-14 III.6. Daftar kekayaan jenis burung di lokasi pengamatan........................................... III-23 IV.1. Alat dan bahan yang digunakan selama pengamatan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, kabupaten Maros, Sulawesi Selatan .......................... IV-5 IV.2. Daftar Jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di TWA Bantimurung dan TWA Pattunuang.......................................................................................................... IV-11 IV.3. Posisi Herpetofauna pada jalur terestrial saat ditemukan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan ......................................... IV-18 V.1. Daftar Kekayaan Jenis Kupu-kupu di TN Babul ..................................................... V-12 V.2. Jumlah individu (ekor) masing-masing famili pada semua habitat ..................... V-17 V.3. Jumlah individu (ekor) masing-masing famili pada semua lokasi......................... V18 V.4. Nilai keragaman jenis kupu-kupu di Bantimurung, Panaikang, dan Patunuang ...................................................................................................................... V-19 V.5. Nilai keragaman jenis kupu-kupu di beberapa tipe habitat ............................... V-20 V.6. Jenis-jenis vegetasi di sekitar kandang penangkaran .......................................... V-26 VI.1. Data yang diambil dan metode yang digunakan .................................................. VI-4 VI.2. Suhu Kering ..................................................................................................................... VI-9 VI.3. Suhu Basah .................................................................................................................... VI-10 VI.4. Kelembaban Relatif .................................................................................................... VI-10 VI.5. Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Batu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung .......................................................................................... VI-10 VI.6. Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Mimpi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ........................................................................................... VI-10 VI.7. Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Pattunuang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ........................................................................................... VI-11 VI.8. Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Leang Lonrong Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ........................................................................................... VI-11 VI.9. Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Salukkang Kallang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ........................................................................................... VI-12 VI.10.Hasil pemetaan Gua Batu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ............ VI-12 VI.11.Hasil Pemetaan Gua Mimpi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ......... VI-14 Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xiii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

VI.12.Hasil Pemetaan Gua Pattunuang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung VI-17 VII.1. Famili dominan di lokasi kajian .................................................................................. VII-6 VII.2. Jumlah Famili dan spesies yang ditemukan di lokasi kajian .............................. VII-13 VII.3. Daftar Spesies ............................................................................................................. VII-16 VII.4. Data Responden ......................................................................................................... VII-26 VII-5.Jenis-Jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Panaikang, Pattunuang, Karaenta dan Mallawa ...................................................................... VII-27 VIII.1.Karekteristik Objek Wisata ....................................................................................... VIII-7 VIII.2.Tabulasi Potensi Wisata Tiap Lokasi ..................................................................... VIII-12 VIII.3.Rekapitulasi Wawancara Penduduk Patunuang ................................................. VIII-49

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xiv


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR GAMBAR Gambar Teks Hal I.1 Lokasi Pengamatan ................................................................................................. I-11 II.1 Peta lokasi pengamatan mamalia ........................................................................ II-2 II.2 Inventarisasi mamalia dengan metode jalur ....................................................... II-4 II.3 Lokasi pengamatan Pattunuang............................................................................. II-8 II.4 Lokasi pengamatan Karaenta ................................................................................ II-9 II.5 Lokasi pengamatan Bantimurung ......................................................................... II-10 II.6 Rekapitulasi penemuan jenis satwa mamalia di TN. BaBul............................. II-12 II.7 Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kemerataan jenis mamalia tiap lokasi pengamatan ................................................................................................. II-14 II.8 Bislap di blok Patunuang....................................................................................... II-18 II.9 Tarsius spectru .......................................................................................................... II-22 II.10 Macaca maura ......................................................................................................... II-25 II.11 Ailurops ursinus ........................................................................................................ II-26 III.1 Ilustrasi Penggunaan Kombinasi Metode IPA dan Metode Jalur.................... III-3 III.2 Tipe habitat jalur 1 di Panaikang ........................................................................ III-7 III.3 Tipe habitat jalur 2 di Panaikang ........................................................................ III-7 III.4 Tipe habitat jalur 3 di Panaikang ........................................................................ III-8 III.5 Tipe habitat jalur 4 di Panaikang ........................................................................ III-9 III.6 Tipe habitat jalur Leang Lonrong ......................................................................... III-9 III.7 Kurva penemuan jenis burung dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon ... III-10 III.8 Jumlah jenis burung menurut kategori dominansi pada setiap lokasi Penelitian ................................................................................................................. III-12 III.9 Dendrogam kesamaan jenis burung antar lokasi ............................................ III-14 IV.1 Pengukuran Jalur Aquatik di TWA Pattunuang ................................................ IV-5 IV.2 Kondisi Habitat Jalur Aquatik Bantimurung Atas .............................................. IV-8 IV.3 Kondisi Habitat Jalur Aquatik Bawah TWA Bantimurung ............................... IV-8 IV.4 Kondisi Habitat Jalur Aquatik Pattunuang ......................................................... IV-9 IV.5 Kondisi Jalur Terestrial Bantimurung ................................................................... IV-9 IV.6 Kondisi Habitat Jalur Terestrial Pattunuang .................................................... IV-10 IV.7 Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Herpetofauna ................ IV-14 IV.8 Kelimpahan Jenis Herpetofauna di TWA Bantimurung ................................. IV-15 IV.9 Kelimpahan Jenis Herpetofauna di TWA Pattunuang ................................... IV-16 IV.10 Aktivitas diam Polypedates leucomystax ........................................................... IV-17 IV.11 Aktivitas Hydrosaurus amboinensis pada pagi hari (Basking) ...................... IV-18 V.1 Habitat pinggiran tebing ....................................................................................... V-3 V.2 Habitat pinggiran sungai ....................................................................................... V-3 V.3 Habitat hutan alam sekunder ................................................................................ V-3 V.4 habitat hutan alam primer ..................................................................................... V-3 V.5 Inventarisasi kupu-kupu dengan menggunakan metode time-search ............ V-5 V.6 Kupu-kupu dalam kertas papilot segitiga .......................................................... V-6 V.7 kupu-kupu hasil offset Graphium rhesus Papilionidae ....................................... V-6 V.8 Telaga pusat aktivitas kupu-kupu ....................................................................... V-10 V.9 Graphium androcles pada habitat pinggiran sungai....................................... V-16 Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xv


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

V.10 V.11 V.12 V.13 V.14 V.15 V.16 V.17 V.18 VI.1 VI.2 VI.3 VI.4 VI.5 VI.6 VI.7 VI.8 VI.9 VI.10 VI.11 VI.12 VI.13 VI.14 VI.15 VI.16 VI.17 VI.20 VI.21 VI.22 VI.23 VII.1 VII.2 VII.3 VIII.1 VIII.2 VIII.3 VIII.4 VIII.5 VIII.6 VIII.7 VIII.8

Diagram struktur komunitas kupu-kupu di TN BaBul........................................ V-21 Salah satu bentuk penangkaran kupu-kupu ..................................................... V-25 Vegetasi pakan yang terdapat di dalam kandang Citrus sp. (Jeruk) ........ V-26 Kandang penangkaran kupu-kupu yang terabaikan ..................................... V-27 Skema kerangka pemikiran masyarakat dengan analisis SWOT ............... V-27 Wawancara dengan penangkar yang juga berdagang kupu-kupu di depan pintu gerbang kawasan wisata air terjun ............................................ V-28 Gantungan Kunci @ Rp.4000-Rp.5000 ........................................................... V-29 Bingkai dan spesies kupu-kupu langka Senilai Rp.3.000.000,00 ................ V-29 Kepompong kupu-kupu siap dijual ..................................................................... V-30 Peta Gua Batu (tampak atas) ............................................................................ VI-13 Peta Gua Mimpi (tampak atas) ......................................................................... VI-16 Peta Gua Pattunuang (tampak atas) ................................................................ VI-18 Bentukan mulut gua yang dapat dilalui melalui celah kanan kiri batu ..... VI-19 Stalagmit membentuk tiang ................................................................................ VI-20 Stalaktit menyerupai cakar hewan buas.......................................................... VI-20 Bentukan ruangan yang digunakan kelelawar tempat tinggal ................... VI-20 Vandalisme dan pencahayaan berlebihan dari lampu blitz yang merusak warna asli batuan di Gua................................................................... VI-21 Mulut Gua Mimpi memiliki bentukan citra artistik ornamen gua yang khas ......................................................................................................................... VI-22 Bentukan heliktit .................................................................................................... VI-22 Lorong Berlian ....................................................................................................... VI-22 Mulut II Gua Pattunuang ...................................................................................... VI-23 Stalagmit yang membentuk bentangan kaktus.............................................. VI-24 Tiang gua yang menyerupai Menara Pisa ...................................................... VI-24 Kelelawar Gua Batu ............................................................................................ VI-26 Katak ....................................................................................................................... VI-28 Laba-laba .............................................................................................................. VI-28 Gecko ...................................................................................................................... VI-29 Contoh Papan Interpretasi Gua Batu................................................................ VI-40 Contoh Papan Interpretasi Gua Mimpi............................................................. VI-41 Contoh Papan Interpretasi Gua Pattunuang ................................................... VI-42 Jumlah Spesies Tumbuhan yang Dimanfaatkan di Panaikang, Pattunuang, Karaenta dan Mallawa ........................................................................................ VII-7 Proses pembuatan gula aren di Pattunuang .................................................. VII-10 Penangkaran alami anggrek di Barugae ....................................................... VII-10 Rumah Adat ......................................................................................................... VIII-15 Baju Adat ............................................................................................................. VIII-16 Sop Konro............................................................................................................. VIII-16 Tarian Gandrang Bulo ....................................................................................... VIII-17 Beberapa Sisi Bantimurung ............................................................................... VIII-20 Tarsius ................................................................................................................... VIII-21 Kuskus beruang ................................................................................................... VIII-21 Bisseang Labboro (Bislab) ................................................................................. VIII-23

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xvi


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

VIII.9 VIII.10 VIII.11 VIII.12 VIII.13 VIII.14

Salah Satu Mulut Gua Pattunuang .................................................................. VIII-23 Beberapa Sisi Pattunuang................................................................................. VIII-24 Tangga Menuju Mulut Gua ............................................................................... VIII-25 Lukisan Prasejarah di Dinding Gua Pettakere .............................................. VIII-27 Beberapa Variasi Jenis Anggrek Hutan Yang Dibudidayakan ................. VIII-32 Panorama Air Terjun Makka Junenggeh ........................................................ VIII-33

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

xvii


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. STUDI KONSERVASI LINGKUNGAN (SURILI) 2007 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan karst tropis, dari aspek biologis, masih sedikit dipahami. Belum banyaknya penelitian dibidang ini menyebabkan penafsiran keanekaragaman hayati lokalnya hanya didasarkan pada informasi yang tidak lengkap. Dari seluruh kawasan karst yang ada di Asia Tenggara, karst Indonesia merupakan kawasan karst terluas. Kawasan karst dibawah kondisi kelembaban kawasan tropis, seperti Indonesia, merupakan tempat tumbuh berbagai macam spesies tumbuhan dan satwa, dengan penyebaran yang terbatas dan luar biasa. Spesies yang berada di daerah karst terdiri dari spesies yang mampu bertahan hidup pada lingkungan dengan kadar garam serta kalsium karbonat yang tinggi; spesies yang dapat bertahan terhadap kondisi tanah yang keras dan kering sepanjang tahun; dan spesies yang bertahan dengan menyukai gua-gua kapur, dimana beberapa diantaranya bertahan di bukit-bukit tunggal atau sistem perguaan. Kondisi lingkungan yang ekstrim pada permukaan karst tropis, bentuk topografi karst (sisi bukit yang curam, gua dan lain-lain); kondisi iklim yang ekstrim dan kering; patahan yang ekstrim pada permukaan karst, menyebabkan tekanan ekologi yang kuat terhadap spesies. Walaupun demikian, kondisi-kondisi tersebut telah menghasilkan keanekaragaman spesies yang tinggi di kawasan karst seperti yang telah ditegaskan dari hasil penelitian Clement et al (2006) mengenai keanekaragama hayati di Asia Tenggara. Clement et al (2006) menyatakan kawasan karst di Asia Tenggara merupakan �bahtera� keanekaragaman hayati yang mengandung tingkat endemisme yang tinggi. Dibandingkan dengan kawasan karst lainnya di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kawasan yang paling luas dengan total 145.000 km2, dengan 22.000 km2 merupakan kawasan yang dilindungi (Day dan Urich, 2000). Total kawasan karst di Asia Tenggara seluas 408.000 km2 yang tersebar di 8 negara di Asia Tenggara, dimana seluas 52.650 km2 telah ditetapkan secara hukum sebagai kawasan karst yang dilindungi. Di samping itu, UNESCO (2005) telah mengeluarkan daftar klasifikasi 4 situs alam Warisan Dunia kawasan karst di Asia Tenggara, dimana

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

setiap kawasan studi karst memliki keanekaragaman hayati

yang tinggi.

Disayangkan, Indonesia tidak termasuk ke dalam 4 area kajian tersebut. Salah satu menara karst yang menakjubkan di Indonesia terletak di Sulawesi Selatan, tepatnya di kawasan Maros-Pangkep. Karst yang berlokasi di wilayah Kabupaten Maros dan Pangkep memiliki formasi karst dengan ciri khas menyerupai menara. Kawasan ini merupakan kawasan karst terbesar kedua di dunia setelah Cina dan terbesar di Indonesia. Menyadari pentingnya kawasan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan Indonesia menunjuk kawasan ini menjadi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Taman Nasional ini termasuk taman nasional baru dan merupakan kawasan karst pertama yang ditetapkan menjadi taman nasional. Sebagai sebuah taman nasional baru, kantor Taman Nasional BantimurungBulusaraung membutuhkan data dan informasi yang komprehensif mengenai sumberdaya alam sebagai referensi untuk membuat rencana manajemen yang melindungi nilai-nilai kawasan, termasuk aspek sosial dan ekologi. Data dan informasi tentang kawasan karst di Indonesia beserta keanekaragaman hayatinya masih sangat terbatas. Melihat luasnya kawasan karst di Indonesia dibandingkan dengan kawasan karst di negara Asia Tenggara lainnya, maka Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati karst yang sangat tinggi. Hal inilah yang menjadi landasan dari dilaksanakannya studi ilmiah ini. I.2 Tujuan dan manfaat I.2.1 Tujuan Tujuan utama dari kegiatan eksplorasi ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi terbaru mengenai keanekaragaman hayati bagi pengembangan ekowisata di TN BaBul yang mencakup : I.2.1.1 Spesies a. Keanekaragaman, penyebaran dan kelimpahan jenis fauna meliputi mamalia, burung (aves), herpetofauna (reptil dan ampibi), kupu-kupu, dan fauna gua. b. Keanekaragaman Flora (tumbuhan) dengan kajian khusus tumbuhan endemik, tumbuhan obat, tumbuhan langka, dan pemanfaatannya secara tradisional.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I.2.1.2 Manfaat Konservasi a. Menghasilkan informasi mengenai daerah-daerah yang memiliki biodiversitas tinggi dan menjadi prioritas perlindungan. b. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang arti penting keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung untuk mendukung keberlanjutan fungsi taman nasional. c. Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat, pemerintah daerah dan Perguruan Tinggi dalam melestarikan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. I.2.1.3 Ekowisata a Meningkatkan dan mengembangkan potensi ekowisata yang berbasiskan sumberdaya alam dan kekayaan spesies yang ada di kawasan. b Mengidentifikasi sumberdaya wisata di TN Bantimurung-Bulusaraung sebagai penunjang dalam pengembangan kegiatan ekowisata di kawasan karst. I.2.2 Manfaat I.2.2.1 Konservasi Spesies a. Data dan informasi yang diperoleh akan memberikan kontribusi yang cukup penting bagi ilmu pengetahuan tentang kenekaragaman hayati ekosistem karst secara umum di level nasional dan internasional, khususnya bagi Taman Naional Bantimurung-Bulusaraung. b. Secara relevan menghasilkan data dan informasi mengenai spesies flora dan fauna di habitat karst yang termasuk kedalam daftar jenis yang dilindungi. c. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam dunia konservasi tentang kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem karst. I.2.2.2 Pengelolaan Taman Nasional a. Data dan informasi yang dikumpulkan merupakan data awal yang mendukung nilai-nilai perlindungan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dan keberlanjutan pengelolaannya. Pengelolaan ini akan menjadi langkah awal bagi pengelolaan kawasan karst lainnya di Indonesia. b. Pelatihan bagi pengelola dan masyarakat lokal sebagai kader konservasi yang dapat menafsirkan dan mengidentifikasi keberadaan keanekaragaman hayati yang ada dalam kawasan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

c. Data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi pengelola kawasan dalam pengembangan ekowisata di TN Bantimurung-Bulusaraung. I.2.2.3 Pengelolaan Karst di Indonesia a. Data yang dihasilkan dari penelitian ini akan memberikan kontribusi yang penting terhadap keanekaragaman hayati karst, khususnya di Indonesia. b. Hasil dari kegiatan eksplorasi ini dapat digunakan sebagai panduan untuk membandingkan kekayaan hayati di ekosistem karst dengan kekayaan hayati karst di tempat lain. c. Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dapat menjadi manajemen taman nasional yang pertama di Indonesia dan menjadi model untuk manajemen ekosistem karst lain di Indonesia yang merupakan areal konservasi. I.2.2.4 Peserta a. Memberikan kemampuan dan keterampilan khusus tentang metode survey keanekaragaman hayati. b. Meningkatkan kemampuan peserta dalam mengeksplorasi dan menganalisis potensi sumber daya hayati dan ekosistemnya. 2. BENTUK DAN TEMA KEGIATAN Eksplorasi ilmiah ini merupakan kerjasama Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan RI dan WWF Amerika sebagai bagian dari program kehutanan. Kegiatan ini dinamakan Studi Konservasi Lingkungan 2007 dengan tema �Eksplorasi Budaya, Flora dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional BantimurngBulusaraung�. 3. LUARAN DAN TUJUAN EKSPLORASI Penelitian ilmiah ini akan menghasilkan data dan informasi yang lengkap tentang hubungan antara keanekaragaan hayati dan kebudayaan, sebagai dasar pengembangan ekowisata di TNBaBul. Tujuan dari kegiatan ini adalah menghasilkan data dan informasi terbaru mengenai keanekaragaman hayati TNBaBul yang terdiri dari:

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

a. Keanekaragaman, penyebaran dan kelimpahan jenis fauna meliputi mamalia, burung (aves), herpetofauna (reptil dan amfibi) dan kupu-kupu serta peranannya dalam ekosistem. b. Keanekaragaman flora (tumbuhan) dengan kajian khusus tumbuhan endemik, tumbuhan obat dan tumbuhan langka serta pemanfaatannya secara tradisonal. c. Karakteristik dan tipe ekosistem Karst dengan fokus pada ekosistem gua serta kaitannya dengan endemisitas flora fauna. d. Mempelajari bentuk-bentuk kearifan tradisional dan kekhasan budaya lokal. e. Studi potensi ekowisata yang berbasiskan konservasi, sosial budaya dan kearifan masyarakat lokal. 4. ANGGOTA KELOMPOK Eksplorasi ilmiah ini diikuti oleh partisipasi aktif anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor; beberapa mahasiswa dari Pengurus Cabang Sylva, Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Universitas lokal); seorang ahli speleologi dan staf Taman Nasional. Anggota HIMAKOVA Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor: No Nama

No Nama

1 Agung Irmansyah

43 Rizqiah Makmur

2 Agustina Roswita

44 Rudi Hermansyah

3 Ardiansyah

45 Safinah Surya Hakim

4 Arif Prasetyo

46 Serasi Marito

5 Berry Lira

47 Sherly Sandra

6 Betriroza

48 Sopian Hidayat

7 Bobi Riharno

49 Tubagus Maulana

8 Dera Syarifudin

50 Welni Dwista

9 Diana Puspawati

51 Wiramah Hypanda

10 Dieta Arbaranny

52 Yusi Indriani

11 Evi Heriyaningtyas

53 Andri Ginting

12 Fitri handayani

54 Tommy

13 Hajah Ainah

55 Azhari Purba

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

14 Harri Purnomo

56 Edward Usboko

15 Hayatul Fitri

57 Febia Arisnagara

16 Herna Hamidu

58 Hendry Pujiani

17 Ika Satyasari

59 Heru Kurniawan

18 Ine Wasillah

60 Heru Masrukhin

19 Ino Haryanti

61 Rofadia K

20 Irwan Dwi Susanto

62 Inama

21 Irwani Gustina

63 Ivan Ezwardi

22 Irzal Fakhrozi

64 Lanjar Wijiarti

23 Iska Gushilman

65 Maria Rosdalima

24 Iwan Kurniawan

66 Nisa Syachera

25 Jadda Muthiah

67 Nur samsiah

26 Lina Kristina

68 Puji waluyo

27 Luthfi Nuraini

69 R Yosi Zainal

28 M Farikhin

70 Rahayu Oktaviani

29 M Iqbal

71 Sangkot VR Sitongkir

30 Mardiana Wachyuni

72 Sulfan Ardiansyah

31 Merzyta Septiyani

73 Trisna Utami

32 Meutia Esti handini

74 Zulfan

33 Mietra Ayu

75 Dwi Warni Idaman

34 Mutia Ramadhani

76 Sutopo

35 Neneng Muliya

77 Nur Cahyo A,S.Hut

36 Nugroho Ari

78 Rachmad Purnawjaya

37 Nur Anita Gusnia

79 M Yazid, S.Hut

38 Reni Srimulyaningsih

80 Grace Serepina, S.Hut

39 Rika Setiabudi

81 Siti Maria Ulfa, S.Hut

40 Rikto

82 Chandra I, S.Hut

41 Risto Laksono

83 Reisky Maulana

42 Rizki Ratna Ayu

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Pembina dari HIMAKOVA Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor: 1. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc 2. Dr. Ir. Abdul Haris Muntasib, M. Sc. F 3. Prof. Dr. Ir. E. K. S. Harini Muntasib, M. S 4. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si 5. Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si 6. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc 7. Dr. Ir. Yeni, M.Sc.F 8. Ir. Dones Rinaldi, M.Sc 5. BENTUK KEGIATAN Bentuk kegiatan mengangkat luar dalam lapangan yang terdiri dari : 1. Keanekaragaman hayati difokuskan kepada herpetofauna (reptil dan ampibi), kupu-kupu, burung, mamalia, tumbuhan obat, tanaman hias dan spesies tumbuhan langka. Dan kita melakukan eksplorasi gua yang penting untuk menunjang ekosistem di dalam dan di luar gua. Bentuk kegiatan ini terdiri dari pengamatan dan inventarisasi. Kesempatan untuk menemukan spesies baru sangat tinggi, karena tingginya angka keanekaragaman hayati dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Oleh karena itu diperlukan koleksi terhadap spesimen. 2. Eksplorasi potensi ekowisata yang berbasiskan konservasi, sosial budaya dan kearifan masyarakat lokal. 3. Diskusi, wawancara dan pengamatan sosial budaya di sekitar tempat eksplorasi untuk mempelajari hubungan antara manusia dengan lingkungan. 4. Mendokumentasikan keanekaragaman hayati dan sosial budaya di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung 5. Menggabungkan data dari setiap pengamatan kelompok sebagai komponen ekosistem agar dapat dianalisis secara ilmiah dan didiskusikan untuk menambah pengetahuan mahasiswa sehingga mereka dapat memecahkan masalah lingkungan. 6. WAKTU DAN TEMPAT Waktu dilapangan antara 11 – 26 Agustus 2007, kemudian identifikasi spesies, analisis data, dan penulisan laporan bertempat di Bogor mulai dari Agustus–

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Desember 2007. SURILI 2007 dilaksanakan di Taman Nasional BantimurungBulusaraung, Kabupaten Maros–Pangkep, Sulawesi Selatan. Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dipilih sebagai tempat pelaksanaan kegiatan dengan beberapa alasan : 1. Eksplorasi keanekaragaman hayati difokuskan kepada mamalia, burung, herpetofauna (repti dan ampibi), kupu-kupu, dan eksplorasi flora. Disamping itu, difokuskan juga kepada eksplorasi flora fauna endemik. 2. Eksplorasi tipe dan karakteristik ekosistem karst dengan eksplorasi khusus pada ekosistem pendukung yang sangat penting untuk mendukung keberadaan ekosistem di dalam dan di luar area. 3. Eksplorasi potensi ekowisata yang berbasiskan konservasi, sosial budaya, dan kearifan masyarakat lokal. 4. Wawancara dan diskusi serta pengamatan sosial budaya masyarakat lokal 5. Mendokumentasikan keanekaragaman hayati serta objek ekowisata dan kondisi sosial budaya masyarakat lokal di TN BaBul. Pembagian tim SURILI di lapangan berdasarkan kepada keahlian tim dengan tempat : 1. Panaikang untuk eksplorasi burung, kupu-kupu, dan tumbuhan serta ekowisata. 2. Leang Lonrong merupakan tempat eksplorasi burung dan gua serta survey sosial budaya. 3. Pattunuang merupakan tempat survey kupu-kupu, gua, ekplorasi tumbuhan, hepetofauna, dan ekowisata. 4. Bantimurung tempat untuk survey kupu-kupu, gua, herpetofauna, dan ekowisata. 5. Karaenta dan Mallawa merupakan tempat untuk eksplorasi tumbuhan dan ekowisata.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

7. KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung terletak di Sulawesi Selatan dengan luas 43.750 ha, ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan konservasi sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 398/ Menhut-II/ 2004 pada tanggal 18 Oktober 2004. Menurut peraturan daerah, wilayah taman nasional meliputi Kabupaten Maros dan Kepulauan Pangkajene (Pangkep). Secara geografis terletak di antara 119034’17’’ – 119055’13’’ BT dan di antara 4042’49’’ – 5006’42’’ LS. Secara teritorial, batas-batas taman nasional: sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Pangkep, Buru dan Bone, sebelah timur berbatasan dengan Maros dan Bone, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros, dan sebelah barat berbatasan dengan Maros dan Pangkep. Sejarah Kawasan Pengukuhan wilayah Maros-Pangkep dan hutan Gunung Bulusaraung menjadi taman nasional memerlukan proses yang cukup panjang. Proses dimulai pada tahun 1993 ketika UNESCO mendesak pemerintah Indonesia untuk melindungi ekosistem karst secepatnya dengan menetapkan kawasan konservasi, untuk diusulkan sebagai situs warisan dunia. Salah satu kawasan karst yang sudah terkenal secara internasional adalah kawasan karst Maros-Pangkep. Karst di kawasan ini memiliki bentuk menara yang juga merupakan kawasan karst terbesar kedua di dunia. Sebelumnya, BKSDA I Sulawesi Selatan sebagai pengelola kawasan konservasi di Sulawesi Selatan mengelola 5 unit konservasi yang terletak di kabupaten Maros dan Pangkep, yaitu: Bantimurung, Taman Wisata Alam Gua Pattunuang, Karaenta, Bantimmurung, dan Cagar Alam Bulusaraung. Keanekaragan hayati kelima kawasan secara umum hampir sama dan bahkan mempunyai tipe ekosistem yang sama karena secara geografis berhubungan satu sama lain. Setelah itu kawasan tersebut dan sekitarnya ditetapkan sebagai taman nasional, saat itu bernama TN Hasanuddin, diambil dari nama seorang pahlawan terkenal Sulawesi Selatan. Pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri kehutanan menyetujui dan mengeluarkan keputusan No. 398/ Menhut/ 2004 sehubungan dengan perubahan fungsi dari Cagar Alam, Taman Wisata Alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap menjadi Taman Nasional Bantimurung, kabupaten Maros dan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan, seluas 43.750 ha. Sebelumnya kawasan taman nasional terdiri dari Cagar Alam seluas 10.282,65 ha, Cagar Alam seluas 1.624,25 ha, Hutan Lindung seluas 21.343,10 ha, Hutan Produksi terbatas seluas 145 ha dan Hutan Produksi tetap seluas 10.355 ha Setelah penunjukan kawasan, untuk sementara pengelolaan Taman Nasional Bantimurung dilaksanakan oleh BKSDA I Sulawesi Selatan berdasarkan keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) No.SK 140/IV/Set3/2004 pada tanggal 30 Desember 2004. Pada tanggal 1 Februari 2007 Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri No. P.03/Menhut –II/2007 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pengelolaan Taman Nasional Bantimurung. Seperti halnya kawasan dengan lanskap karst pada umumnya, hampir sebagian besar bentuk permukaan Taman Nasional Bantimurung bergelombang, berbukit sampai bergunung. Wilayah yang bergunung terletak di bagian tenggara atau di

blok pegunungan Bulusaraung. Titik tertinggi berada di bagian utara

pegunungan Bulusaraung dengan ketinggian 1.565 mdpl. Penduduk lokal menamakan gunung ini Gunung Liang Mangangae (1.330 mdpl). Karakteristik pada lokasi ini menampakan topografi dengan relief yang tinggi, bentuk lereng yang terjal, dan tekstur topografi yang kasar. Karakteristik dari wilayah yang berbukit memiliki tekstur topografi halus sampai sedang, bentuk lereng sedang sampai landai, bentuk punggung bukit dengan lembah yang sempit sampai luas. Wilayah perbukitan dapat dikelompokkan ke dalam bukit intrusi, sedimentasi, dan kawasan karst. Inventarisasi berlangsung di wilayah Panaikang, bantimurung dan Pattunuang di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar I-1. Lokasi Pengamatan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia: A Checklist (Peters’ Sequence). Kukila Checklist No. 1. Indonesian Ornithological Society. Jakarta. Asriady, D. 2005. Konservasi Kawasan Karst. LONTRA, Buletin Balai KSDA Sulsel I Edisi 2:2-6. Clements, R., Sodhi, N. S., Schilthuizen, M. and NG, P.K.L. 2006. Limestone Karsts of Southeast Asia: Imperiled Arks of Biodiversity. Bioscience 56 (9): 733-742. Coates, B.J., K.D. Bishop. & D. Gardner. 2000. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea. BirdLife International – Indonesian Programme & Dove Publication Pty. Bogor. Day, M.J an Urich, P. B. 2000. An Assessment of Protected Karst Landscapes in Southeast Asia. Cave and Karst Science 27: 61-70 Indrawan, M. &. S. Somadikarta. 2004. A New Hawk-Owl from the Togian Islands, Gulf of Tomini, central Sulawesi, Indonesia. Bulletin of the British Ornithologists’ Club (BBOC) 124(3): 160-171. Iskandar, D. T. 2005. Sulawesi Terbentuk dari Tujuh Pulau. http://www.republika.co.id. Edisi 25 Nopember 2005. Diakses tanggal 25 Maret 2006. Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Yayasan Pengembangan Wallacea. Supriatna, J. & E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. [UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 2005. Natural Properties on The World Heritage List. 14 July 2006; http://whc.unesco.org/sites/natural Whitten, A.J., M. Mustafa., & G.S. Anderson. 1987. Ekologi Sulawesi. G. Tjitrosoepomo (Terj). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

I-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Mamalia merupakan salah satu kelas dalam kingdom animalia yang memiliki beberapa keistimewaan baik dalam hal fisiologi maupun dalam susunan saraf dan tingkat intelegensinya. Mamalia dari kata mammilae artinya kelenjar susu, hanya satwa dari kelas ini yang memiliki kelenjar susu. Ciri lain mamalia yaitu terdapatnya rambut (hair) pada kulitnya (Vaughan, 1978). Selain itu mamalia mampu bertahan hidup pada kondisi cuaca yang ekstrim sekalipun, bahkan di kutub utara dan selatan dapat dijumpai mamalia karena adanya kemampuan mengatur suhu tubuhnya (homoitherm). Karena itu tidak mengherankan apabila di setiap sudut bumi ini dapat dijumpai mamalia (Attenborough, 2002). Keanekaragaman mamalia tergolong tinggi dimana saat ini tercatat 26 ordo, 136 famili, 1135 genera dan 4629 spesies ( Nowak, 1991; Wilson et al. 1996). Di Indonesia tercatat sekitar 550 spesies mamalia (Bappenas, 1993) dan salah satu pusat keanekaragaman mamalia di Indonesia adalah Sulawesi, pulau terbesar dalam Bioregion Wallacea yang tercatat sebanyak 127 spesies mamalia dimana 76 spesies (62%) diantaranya adalah endemik dan persentase ini meningkat menjadi 98% apabila mamalia ordo Chiroptera tidak dimasukkan dalam hitungan (Whitten et al, 1987). Diantara jenis mamalia endemik Sulawesi adalah Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), Anoa gunung (B. Quarlesi), Babirusa (Babirousa babyrussa), enam jenis Tarsius (Tarsius spp.), tujuh jenis Monyet hitam (Macaca spp.), Kuskus beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus sulawesi (Strigocuscus celebensis). Salah satu pusat keanekaragaman mamalia di Sulawesi adalah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul). Taman nasional ini memiliki karakteristik habitat dan jenis-jenis mamalia yang sangat khas, terutama karena ekosistemnya yang didominasi oleh batuan karst. Data dasar mengenai habitat, populasi dan penyebaran mamalia pada ekosistem karst yang terbesar di Indonesia ini masih sangat sedikit, bahkan data tersebut juga belum tersedia untuk semua kawasan karst di Indonesia kecuali untuk ordo Chiroptera yang banyak ditemukan di dalam gua. Sementara data tersebut sangat diperlukan dalam rangka pengelolaan mamalia yang lestari. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pengumpulan data terbaru dalam hal habitat, populasi dan penyebaran mamalia serta faktor eksternal (persepsi masyarakat) sehingga dapat dibuat strategi pengelolaan yang lebih baik, termasuk kemungkinan pengembangan ekowisata berbasis keanekaragaman mamalia

yang menjadi daya

tarik utama kawasan konservasi ini. I.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Keanekaragaman jenis mamalia di TN Bantimurung-Bulusaraung. 2. Kondisi habitat dan penyebaran mamalia di TN Bantimurung-Bulusaraung 3. Spesies kunci mamalia di TN Bantimurung-Bulusaraung. 4. Mengetahui jenis-jenis yang merupakan karst-dependent II. METODE PENGAMATAN II.1 Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kabupaten Maros-Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 10 sampai dengan 20 Agustus 2007. Pengamatan dilakukan di kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Pattunuang, CA Karaenta dan TWA Bantimurung.

Gambar II.1 Peta Lokasi Pengamatan Mamalia Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II.2 Alat dan Bahan II.2.1 Alat Alat yang digunakan selama pengamatan adalah : 1. Binokuler untuk membantu identifikasi jenis mamalia 2. Kompas Brunton untuk menentukan sudut posisi satwaliar dengan arah transek 3. Meteran untuk mengukur dan menentukan panjang transek 4. Tali rafia dan tambang sebagai batas areal pengamatan 5. Kamera foto untuk dokumentasi 7. Senter dan baterai sebagai penerang pada saat pengamatan malam 8. Patok sebagai batas pengamatan 9. Tally sheet untuk memudahkan pendataan hasil pengamatan 10. Gunting dan pinset untuk identifikasi jenis mamalia kecil 11. Sarung tangan karet pengaman untuk identifikasi rodentia 12. Buku panduan mamalia untuk membantu identifikasi mamalia II.2.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Alkohol untuk pengawetan spesimen 2. Kloroform untuk pembiusan spesimen 3. Kapas dan tissue II.3 Metode Pengambilan Data Studi mamalia di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung ini tidak meliputi jenis-jenis mamalia dalam gua. Data yang dikumpulkan yaitu jenis dan jumlah individu jenis, penyebaran jenis, waktu perjumpaan, aktivitas dan penggunaan habitat serta fungsi dan manfaat vegetasi bagi kehidupan mamalia. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data di lapangan adalah : II.3.1 Pengamatan langsung a). Metode Transek Jalur (Strip Transect). Metode transek jalur merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam pengumpulan data jenis dan jumlah individu satwaliar (Gambar II-2). Panjang Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

jalur yang digunakan 1,5 km. Data yang dikumpulkan berdasarkan pada perjumpaan langsung dengan satwa mamalia pada saat pengamatan yang berada pada lebar jalur 50 m. Pengamatan pada satu transek terdiri dari dua kali pengulangan, yaitu pada periode pagi hari (pukul 05.30-08.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00-18.00 WIB). Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan yaitu kurang lebih 10 m/menit.

S T0

P

Ta

Arah lintasan pengamat

Gambar II.2 Inventarisasi mamalia dengan metode jalur Keterangan : To = titik awal jalur pengamatan, Ta = titik akhir jalur pengamatan, P = posisi pengamat, S = posisi mamalia b). Trapping Metode ini digunakan untuk mamalia kecil di lantai hutan, seperti tikus. Perangkap dipasang pada lokasi-lokasi yang diduga merupakan habitat utama bagi berbagai jenis mamalia kecil, seperti cerukan-cerukan, bekas sampah, dan sebagainya . Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar. Tiap lokasi pengamatan dipasang perangkap dengan jumlah yang sama. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing tipe habitat bisa dibandingkan kelimpahannya. c). Concentration count (Fokus area) Pengamatan dilakukan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersedianya pakan, air untuk minum dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut dapat diketahui berdasrkan survei yang terlebih dahulu dilakukan atau berdasarkan hasil wawancara dengan masyarkat setempat.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

d). Metode kuadrat Metode kuadrat merupakan variasi dari metode strip transect. Metode kuadrat biasa digunakan untuk menghitung kepadatan mamalia pada suatu luasan kuadrat tertentu yang berbentuk persegi. Pengamatan dilakukan dengan cara membuat petak pengamatan berbentuk persegi dengan panjang sisi ditentukan oleh pengamat, biasanya 50 meter atau 100 meter tergantung dari kerapatan vegetasi pada habitat dan kemampuan dari pengamat. Penghitungan populasi mamalia hanya dilakukan pada mamalia yang terdapat di dalam kuadrat. Kepadatan mamalia di dalam kuadrat bisa diketahui dengan cara membagi total populasi mamalia yang ditemukan di dalam kuadrat dengan luasan kuadrat. Metode ini biasa digunakan pada satwa mamalia terestrial dan arboreal. II.3.2 Wawancara Pengambilan

data

dengan

metode

wawancara

dilakukan

dengan

mewawancarai masyarakat sekitar mengenai keberadaan dan jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan. II.4 Analisis data II.4.1 Kelimpahan Relatif Individu per Jenis Kelimpahan individu jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu persatuan luas, dengan persamaan sebagai berikut : n Di = i A Dimana : Di = Kelimpahan individu jenis ke-i (ind/m2) ni = Jumlah individu jenis ke-i yang diperoleh A = Luasan total areal pengambilan contoh II.4.2 Kelimpahan Relatif Penghitungan dilakukan dengan cara menggunakan beberapa kombinasi dari spesies yang tercatat (S) dan jumlah individu seluruh spesies yang tercatat (N), perhitungan kelimpahan dianalisis dengan menggunakan indeks Margalef (DMg) dan indeks Menhinick (DMn) dengan persamaan :

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

S −1 D = Mg ln(N)

S D = Mn N

Keterangan : DMg = Indeks keanekaragaman Margalef DMn = Indeks keanekaragaman Menhinick N

= Total jumlah individu seluruh spesies tercatat

S

= Jumlah spesies yang tercatat

Penghitungan kelimpahan relatif satwa mamalia ini bertujuan untuk mendapatkan data mengenai jumlah individu mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan. II.4.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Kekayaan

jenis

mamalia

ditentukan

dengan

menggunakan

Indeks

keanekaragaman Shannon-Wiener, yang dikelompokkan kedalam berbagai kategori (Tabel II-1) dengan rumus : H’ = - ∑ pi ln pi Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis pi = Proporsi nilai penting Ln = Logaritma natural

Pi

=

Jumlah mamalia spesies ke-i Jumlah total mamalia

Tabel II.1 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners Nilai indeks Shanon >3 1–3 <1

Kategori Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II.4.4 Indeks Kemerataan (E’) Untuk menentukan proporsi kelimpahan jenis mamalia dari masing-masing tipe habitat dan lanskap lahan digunakan indeks kemerataan (index of equitability or evennes) yaitu : E = H’ / ln S; Keterangan : E

= Indeks Kemerataan

H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis S

= Jumlah jenis.

II.4.5 Analisis Deskriptif Selain analisis kuantitatif beberapa hal diuraikan dalam bentuk deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan untuk aktifitas primata serta gambaran atau paparan habitat. III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 HASIL III.1.1 KONDISI HABITAT a). TWA Pattunuang Secara umum bentang alam lokasi pengamatan berupa aliran sungai (daerah riparian) yang diapit oleh tebing-tebing curam dengan kelerengan ≥ 80 0. Tebing yang berada di kiri kanan sungai mempunyai ketinggian 25-30 meter. Tebing ini juga ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan yang tersedia sebagai makanan mamalia diantaranya Arenga pinata, Ficus spp,

Flacourtia rucam, berbagai jenis bambu

(Bamboosa sp.) dan Artocarpus sp. Formasi bebatuan di pinggir sungai tersusun oleh batu kapur. Apabila diamati lebih teliti bongkahan-bongkahan batu di kanan kiri sungai membentuk lubang-lubang gua. Daerah sempadan sungai ditumbuhi oleh beberapa jenis vegetasi mulai dari tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang, pohon dan tumbuhan bawah (Gambar II-3).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar II.3 Lokasi pengamatan Pattunuang Tutupan tajuk di sepanjang jalur pengamatan 60 % - 70 %. Terdapat beberapa tingkat strata tajuk vegetasi yaitu strata B, strata C, Strata D, dan Strata E. Strata B mempunyai ketinggian 20-30 m, Strata C mempunyai ketinggian 8-20 m, strata D mempunyai ketinggian 1,5- 8 m, dan strata E mempunyai ketinggian ≤ 1,5 m. Pengamatan dilakukan di dua jalur yang berbeda. Pada jalur pertama yaitu menelusuri pinggiran sungai yang sering dilewati, baik oleh pengunjung maupun penduduk. Kondisi habitat pada jalur ini sudah kurang mendukung sebagai habitat mamalia, selain gangguan kebisingan dan keramaian pengunjung juga teramati banyak sampah. Berbeda halnya dengan jalur kedua. Jalur dua pengamatan dilakukan sepanjang aliran sungai Pattunuang. Kondisi vegetasinya relatif baik dan gangguan dari aktivitas manusia relatif kurang. Pada jalur dua selain menyusuri sungai, pengamatan juga dilakukan memotong kontur. Daerah ini merupakan kumpulan vegetasi hutan sekunder dan hutan tanaman. Tutupan vegetasinya cukup rapat dan cukup lembab dan banyak ditemukan beberapa vegetasi yang dapat dimakan dan dimanfaatkan oleh mamalia. b). CA Karaenta Sebelum berubah status menjadi taman nasional, Karaenta merupakan sebuah kawasan cagar alam. Bentang alam lokasi pengamatan berupa deretan tebing-tebing curam dengan tingkat kelerengan mencapai 90° dan terdapat beberapa daerah yang Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

landai. Kawasan ini terfragmentasi menjadi dua bagian oleh jalan raya antar provinsi (Gambar II- 4). Kondisinya sangat ramai oleh kendaraan-kendaraan yang lalu lalang.

Gambar II.4 Lokasi pengamatan Karaenta Jalur pengamatan dibagi menjadi dua bagian yang dibatasi oleh jalan raya antar provinsi. Namun kedua jalur mempunyai kondisi yang tidak jauh berbeda. Jalur pengamatan juga dibatasi oleh bentangan-bentangan karst. Beberapa vegetasi yang menjadi sumber makanan mamalia diantaranya pohon aren (arenga pinnata) dan beberapa pohon yang berbuah lainnya. c). TWA Bantimurung Bantimurung pada awalnya merupakan taman wisata alam yang sejak tahun 2004 ditunjuk menjadi bagian dari Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Kawasan ini dimanfaatkan oleh pengelola sebagai tempat wisata massal bagi masyarakat. Terdapat beberapa obyek menarik yang dapat menarik pengunjung. Namun beberapa objek utama diantaranya adalah air terjun Bantimurung, Gua Mimpi, dan Gua Batu serta keberadaan kupu-kupu yang mudah sekali dijumpai menjadi daya tarik tersendiri (Gambar II-5).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar II.5 Lokasi pengamatan Bantimurung Secara umum bentang alam kawasan ini berupa tebing-tebing dengan kelerengan mencapai 90º yang mengapit daerah aliran sungai. Pembangunan Bantimurung berupa penambahan jalan dan shelter dengan maksud untuk mengelola potensi wisata membuat habitat di kawasan ini menjadi terganggu. Jalur pengamatan yang digunakan terbagi atas dua bagian. Jalur pengamatan pertama merupakan kawasan jalur wisata yang biasa dilewati pengunjung dan jalur pengamatan kedua merupakan hutan yang mempunyai vegetasi yang masih cukup rapat. Jenis vegetasi yang dimanfaatkan mamalia diantaranya aren (Arenga pinnata) dan beringin (Ficus sp.). Kiri kanan jalur dibatasi oleh tebing dan sungai. Lebar sungai sekitar 10 – 13 meter dengan persentase penutupan tajuk sekitar 45%. III.1.2 PENYEBARAN MAMALIA Satwa yang berhasil diamati memiliki penyebaran yang berbeda-beda di lokasi pengamatan. Terdapat beberapa satwa yang penyebarannya terbatas pada satu lokasi pengamatan saja, namun cukup banyak pula satwa yang memiliki penyebaran yang merata. Tabel II-2 menunjukan berbagai jenis satwa yang berhasil diamati beserta penyebarannya di tiga lokasi pengamatan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Tabel II.2 Jenis mamalia yang ditemukan di lokasi pengamatan dan penyebarannya. No Nama Jenis

Nama ilmiah

Nama Inggris

Famili

Penyebaran K √ √

Tarsius spectrum Macaca maura

Spectral Tarsier Moor Macaque

Tarsiidae Cercopithecidae

Sus celebensis Viverra tangalunga Callosciurus sp. Cervus timorensis

Celebes wild boars Malayan Civet

Suidae Viverridae

√ √

5 6

Tarsius Monyet hitam dare Babi hutan sulawesi Tenggalung malaya Bajing Rusa timor

P √ √

Plantain Squirel Timorensis Deer

Sciuridae Cervidae

√ √

7 8

Kuskus beruang Kuskus sulawesi

Sulawesi Bear Cuscus Sulawesi Dwarf Cuscus

Phalangeridae Phalangeridae

√ √

9

Viverridae

11 12 13

Tikus rumah Tikus rumah Munggis rumah

The Sulawesi Palm Civet Palm Malay Civet House Rat House Rat House Shrew

Viverridae

10

Musang sulawesi Musang luwak

Ailurops ursinus Strigocuscus celebensis Macrogalidea mussenbracecki Paradoxurus hermaphroditus Rattus tanezuni Rattus hoffmanni Suncus murinus

Muridae Muridae Muridae

√ √ √

1 2 3 4

Keterangan B √ √

ST, K,CC, W ST, CC, W

ST, J, W ST, W

√ √

ST, CC W ST W W

ST, F

LT LT LT

Keterangan: P : Pattunuang, K: Karaenta, B: Bantimurung ST: Strip Transect, K: Kuadrat, W: Wawancara, CC: Concentration Count, J: Jejak, F: Feses, LT: Life trap

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sebagian besar satwa mamalia ditemukan di Pattunuang, yakni tiga belas jenis (Gambar II-6). Sedangkan di Karaenta ditemukan enam jenis satwa mamalia dan Bantimurung ditemukan tujuh jenis satwa mamalia. 84

90

81

80 70 56

N

60 50

Jumlah jenis

40

Jumlah individu

30 20

13 7

10

6

0 Patunuang

Bantimurung

Karaenta

Lokasi Studi

Gambar II.6 Rekapitulasi penemuan jenis satwa mamalia di TN. BaBul III.1.3 KEANEKARAGAMAN JENIS Keanekaragaman jenis satwa mamalia tiap lokasi pengamatan berbedabeda. Keanekaragaman jenis tertinggi adalah di Pattunuang (Tabel II-3). Tabel. II.3 Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kemerataan jenis mamalia yang ditemukan pada tiga titik pengamatan Taman Nasional BantimurungBulusaraung Lokasi pengamatan Pattunuang

Karaenta Bantimurung

Nama Lokal Tangkasi Monyet hitam dare Babi hutan sulawesi Bajing

Nama Latin Tarsius spectrum Macaca maura Sus celebensis Callosciurus sp.

∑ H' E H' Total 60 1.030 0.495 12 4 1

Kuskus beruang Tikus rumah

Ailurops ursinus Rattus tanezuni

3 1

Tikus rumah

Rattus hoffmanni

2

Mungis rumah

Suncus murinus

3

Monyet hitam dare

Macaca maura

Tikus rumah

Rattus hoffmanni

Monyet hitam dare

Macaca maura

Bajing

Callociurus notattus

6

Mungis rumah

Suncus murinus

1

Mungis rumah

Suncus murinus

1

1.447

54 0.091 0.131 1 75 0.327 0.297

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Keterangan: H’: Indeks keanekaragaman jenis E: Indeks kesamaan jenis H’ total : Indeks keanekaragaman jenis total

III.2 PEMBAHASAN III.2.1 Observasi Lapangan Prinsip hidup satwaliar adalah memerlukan tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembang biak. Kerusakan habitat dapat disebabkan beberapa hal antara lain aktifitas manusia, satwaliar ataupun manusia, atau bencana alam (Alikodra, 2002). Pada dasarnya hal ini dapat dibuktikan dari hasil yang didapat dari pengamatan. Pattunuang mempunyai keanekaragaman spesies yang paling tinggi dengan jumlah individu cukup banyak (Tabell II-2). Walaupun daerah ini pada awalnya merupakan daerah taman wisata alam, namun masih dapat memenuhi kebutuhan makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembang biak bagi satwa mamalia. Kartono et al. (2003) menyatakan bahwa kerusakan habitat dapat menyebabkan penurunan kekayaan jenis. Hal inilah yang terjadi di daerah Karaenta. Daerah ini mempunyai jumlah individu yang sedikit dan keanekaragaman yang terendah (Gambar II-6). Padahal daerah ini pada awalnya merupakan cagar alam. Daerah Bantimurung pengelolaannya lebih intensif dibandingkan kedua tempat lainnya. Pembangunan Bantimurung dengan maksud untuk menambah potensi wisata namun membuat habitat di kawasan ini menjadi terganggu. Banyak tempat-tempat yang disemen dan tebingtebing yang dipotong untuk pembangunan jalan pengunjung.

III.2.2 Keanekaragaman Jenis Pattunuang merupakan lokasi pengamatan dengan kekayaan jenis satwa mamalia yang paling tinggi. Walaupun pada awalnya daerah ini merupakan taman wisata alam (TWA) namun masih cukup baik untuk dijadikan habitat mamalia. Beberapa wilayah tersebut diantaranya blok hutan Pute dan Pappang, yang terletak jauh dari jalan raya mempunyai keadaan habitat masih cukup bagus, belum terlalu banyak mendapat gangguan dari manusia dan masih mampu mendukung kehidupan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-13


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

satwa mamalia (shelter, cover dan penyedia makanan) karena keaslian habitat dan kondisi vegetasinya. Analisis data menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis mamalia pada Karaenta dan Bantimurung ≤ 1. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitasnya juga rendah. Pattunuang merupakan lokasi dengan keanekaragaman jenis paling tinggi. Teramati sebanyak 13 jenis mamalia di Pattunuang. Hasil analisis data menunjukkan nilai indeks keanekaragaman jenis mamalia pada lokasi tersebut paling tinggi dibanding lokasi lain yakni sebesar 1.030 (Gambar. II-7). Ini menunjukkan bahwa keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang. Nilai keanekaragaman ini menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antar komponen dalam komunitas. 0,9 0,8

1,030

0,7 0,6

0,131

0,327

Indeks keanekaragaman jenis

0,5 0,4

0,495

0,091

0,297,

Indeks kesamaan jenis

0,3 0,2 0,1 0

Pattunuang Karaenta

Bantimurung

Gambar II.7 Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kemerataan jenis mamalia tiap lokasi pengamatan Kondisi vegetasi atau habitat di Pattunuang mampu mendukung keberadaan satwa yang ada di dalamnya. Ketersediaan bahan makanan untuk satwa mamalia, seperti buah-buahan, biji-bijian, dedaunan dan sumber pakan hewani (serangga), tempat istirahat (shelter), tempat berlindung (cover) dan ketersediaan air cukup. Makanan bagi satwaliar merupakan faktor pembatas. Makanan harus selalu tersedia dengan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Jika tidak maka akan terjadi perpindahan satwaliar untuk mencari daerah baru yang banyak makanannya (Alikodra, 1990). Elton (1998) menyatakan bahwa vegetasi mempunyai peranan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

utama dalam habitat, yaitu sebagai bagian dari makanan dan tempat berlindung satwaliar serta untuk berkembang biak, sedangkan Gilese (1971) menyatakan bahwa vegetasi merupakan aspek lingkungan yang paling penting untuk banyak satwaliar dan merupakan indikator dari kondisi suatu habitat. Keanekaragaman jenis berhubungan dengan keseimbangan jenis dalam komunitas (Pielou, 1995) Apabila nilai keanekaragaman tinggi, maka keseimbangan dalam komunitas itu juga tinggi. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku sebaliknya yaitu apabila keseimbangan tinggi belum tentu menunjukkan tingginya keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut. Atas dasar hal tersebut, Pattunuang merupakan tipe lokasi pengamatan dengan keseimbangan jenis dalam komunitas terbaik. Sebelum

ditetapkannya

Taman

Nasional

Bantimurung-Bulusaraung,

Pattunuang berstatus sebagai Taman Wisata Alam dan Karaenta berstatus Cagar Alam. Secara teoritis, Karaenta yang berstatus Cagar Alam memiliki perlindungan habitat dan sumberdaya yang lebih ketat dibandingkan dengan Pattunuang yang berstatus Taman Wisata Alam. Tetapi berdasarkan pengamatan yang dilakukan, jenis spesies yang ditemukan lebih banyak di Pattunuang dibandingkan dengan di Karaenta. Karaenta tidak mempunyai sumber air yang melimpah seperti di Pattunuang serta terfragmentasinya habitat di Karaenta menyebabkan mobilitas satwa terbatas. Gangguan yang disebabkan oleh suara bising kendaraan yang melintasi jalan utama yang membelah kawasan Karaenta menyebabkan sedikitnya satwaliar yang ditemukan. Kondisi habitat di Bantimurung relatif baik sebagai tempat tinggal satwa yang umumnya berada tidak jauh di sepanjang aliran sungai. Macaca maura ditemukan di puncak pepohonan di sekitar sungai membentuk kelompok-kelompok. Sedangkan Kuskus beruang ditemukan di cabang pepohonan yang rendah dengan posisi ketinggian ¹ 18 m. III.2.3 Pola Penyebaran Pola penyebaran satwa merupakan strategi individu atau kelompok organisme dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra, 2002). Keberadaan satwa yang ada di lokasi pengamatan memiliki pola penyebaran yang berbeda-beda. Jenis yang penyebarannya terluas adalah Monyet hitam dare (Macaca maura). Jenis ini ditemukan pada semua lokasi pengamatan dan jumlah Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

individu jenis pada tiap perjumpaan relatif tinggi yakni rata-rata 47 individu/lokasi pengamatan (rata-rata total pengamatan di Pattunuang, Karaenta dan Bantimurung. Jenis ini cenderung menyenangi daerah pinggiran sungai, sekitar puncak bukit karst dan daerah ekoton yaitu batas ekosistem hutan dan daerah terbuka. Wilayah jelajah merupakan daerah tempat tinggal satwa (menetap mencari makan, dan memelihara anak) yang tidak dipertahankan terhadap satwa lain dari spesies sama dan apabila daerah tersebut mulai dipertahankan dan dijaga terhadap masuknya satwa lain dari spesies yang sama maka daerah tersebut menjadi daerah teritorinya. Hal ini berlaku dalam kehidupan individu pasangan, maupun kelompok (Odum, 1959). Sedangkan Whitten (1982) menyatakan bahwa wilayah jelajah didefinisikan sebagi suatu areal yang merupakan gudang sumber daya yang dimanfaatkan oleh satwa untuk aktifitas yang berbeda-beda pada waktu yang berbeda pula. Wilayah jelajah yang terbatasi bisa mengakibatkan inbreeding karena perkawinan antar kerabat dan hal ini akan mengakibatkan degradasi genetik dari keturunannya. Penyebaran mamalia mempunyai kecenderungan untuk dibatasi oleh penghalang-penghalang fisik seperti sungai, samudera, dan gunung serta adanya penghalang ekologis seperti batas tipe hutan dan persaingan (Alikodra, 1990). Penghalang penyebaran satwa mamalia di Karaenta juga dapat disebabkan oleh keberadaan jalan raya yang membelah habitat. Tetapi ditemukan suatu fenomena yang menarik, ternyata monyet tersebut sudah mampu beradaptasi dengan keadaan habitat yang demikian. Monyet tersebut mempunyai kemapuan untuk menyebrang jalan raya tersebut seperti halnya manusia menyebrang jalan raya. Tetapi hal ini tentu saja cukup berbahaya terhadap resiko kecelakaan yang dapat dialami oleh monyet. Aktivitas jenis-jenis dari famili muridae yakni tikus-tikusan pada umumnya adalah nokturnal. Payne (1985) mengemukakan bahwa dari seluruh jenis famili muridae yang ada di Kalimantan pada umumnya adalah nokturnal. Jenis-jenis ini adalah satwa terestrial walaupun ada yang arboreal.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2.4 Pemanfaatan Mamalia oleh Masyarakat a) Ekonomi Tidak ada pemanfaatan mamalia yang menghasilkan keuntungan ekonomi secara langsung bagi masyarakat. Kegiatan jual beli satwa yang memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat sudah tidak dilakukan, terutama setelah pengukuhan TN BaBul. Pada tahun 1980-an masyarakat memperjualbelikan Tarsius dan Kuskus beruang dengan harga Rp. 25.000 atau sekitar Rp. 1,5 juta jika dirupiahkan saat ini. Secara tidak langsung, pemanfaatan mamalia oleh masyarakat setempat yakni dilakukan dengan menjadi guide bagi para peneliti dan wisatawan yang datang ke TN BaBul dengan memberikan informasi-informasi mengenai keberadaan dan perilaku umum mamalia yang mereka ketahui. b) Kearifan tradisional Masyarakat setempat mempercayai bahwa Kuskus beruang (Ailurops ursinus) makan dan turun ke sungai pada malam-malam tertentu yaitu pada malam Senin, Rabu dan Jumat dengan kondisi dan suasana tertentu (tidak setiap malam tersebut turun ke sungai). Pada saat-saat tersebut masyarakat percaya bahwa malam tersebut adalah malam keberkahan Pemandu lokal (khusus) di Karaenta dapat mengetahui keberadaan Macaca maura dan memanggilnya dengan cara-cara tertentu. Adanya interaksi antara masyarakat lokal dan Macaca maura ini memperlihatkan suatu pengetahuan tradisional masyarakat setempat. III.2.5 Ancaman a). Perburuan Perburuan mamalia pada saat ini sudah jarang ditemui. Pada tahun 1980an perburuan satwaliar yang terjadi di TN BaBul dikarenakan adanya tekanan ekonomii pada masyarakat dan adanya populasi satwaliar yang cukup berlimpah, sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat. Menurut hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, mamalia yang banyak diburu adalah Tarsius dan Kuskus beruang. Satwa tersebut diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Kawasan yang banyak terjadi perburuan adalah Pattunuang terutama di blok hutan Pute dan Pappang. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

b). Kegiatan manusia TN BaBul merupakan salah satu kawasan wisata yang ramai oleh pengunjung. Seringkali, pengunjung yang datang kurang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan sehingga menimbulkan gangguan pada habitat satwaliar, seperti polusi suara dan sampah. Pada daerah Pattunung gangguan ditimbulkan oleh kegiatan wisata dari pintu masuk sampai Bislap (obyek wisata berupa batu yang menyerupai perahu) dan lalu lintas penduduk lokal yang tinggal di perkampungan yang terletak di atas Bislap (Gambar II-8). Sementara di Karaenta, potensi gangguan terhadap mamalia lebih besar, Karaenta merupakan habitat utama bagi Monyet hitam dare meskipun dilalui oleh jalan lintas provinsi yang cukup padat. Hal ini membuat habitat satwa tersebut menjadi terfragmentasi karena koridor yang menghubungkan kedua habitat terpotong oleh lalu lintas jalan raya sehingga pergerakan wilayah jelajah satwa menjadi terbatasi sehingga monyet ini seringkali terlihat di tepi-tepi jalannya. Sama halnya dengan blok Bantimurung, daerah ini mengalami berbagai gangguan terutama oleh kegiatan wisata. Padahal daerah ini juga merupakan daerah jelajah dan habitat Macaca maura.

Gambar II.8 Bislap di blok Patunuang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2.6 Status Perlindungan Tabel. II.4 Status perlindungan satwa mamalia yang ditemukan di TN BantimurungBulusaraung No

Nama Jenis

Nama Ilmiah

Famili

Status Perlindungan CITES

IUCN

RI

1

Tarsius

Tarsius spectrum

Tarsiidae

II

DD

2

Monyet Hitam

Macaca maura

Cercopithecidae II

CE

Sus celebensis

Suidae

L

Tenggalung

Viverra

Viverridae

LR

Malaya

Tangalunga

5

Bajing

Callosciurus sp.

Sciuridae

L

6

Rusa Timor

Cervus timorensis

Cervidae

II

7

Kuskus Beruang

Ailurops ursinus

Phalangeridae

I

8

Kuskus Sulawesi

Strigocuscus

Phalangeridae

Dare 3

Babi Hutan

II

Sulawesi 4

√ DD DD

celebensis 9

Musang Sulawesi

Viveridae

Macrogalidea

II

V

mussenbracecki 10

Musang Luwak

Viveridae

Paradoxurus

LR

hermaphroditus

Keterangan : RI

: PP No.7 tahun 1999

DD

: Data Deficient/tidak ada data

CE

: Critically Endangered/dalam bahaya

L

: Lower

LR

: Lower Risk

V

: Vulnerable/Rawan

I

: Appendix I

II

: Appendix II

: Dilindungi oleh Pemerintahan RI

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Data belum lengkap (Data Deficien = DD) diterapkan pada takson yang kondisi biologinya mungkin telah diketahui, tetapi data persebaran dan populasinya belum lengkap sehingga analisis status kelangkaannya kurang memadai. Kritis (Critically Endangered = CE) diterapkan pada takson yang keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu yang sangat dekat jika tidak ada upaya penyelamatan yang berarti untuk melindungi populasinya. Appendix I berarti bahwa jenis tersebut jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikawatirkan akan punah sehingga jenis ini dilarang untuk diekspor sedangkan Appendix II berarti jenis tersebut dapat diperjualbelikan ke negara lain (ekspor) namun harus menggunakan kuota yang ditetapkan. III.2.7 Focal Point (daerah penting) Kriteria penilaian terhadap suatu daerah penting didasarkan pada penilaian lapang terhadap keberadaan spesies penting dan keanekaragaman spesies mamalia. Selain itu, ancaman dan potensi serta upaya konservasi sejak dini untuk mendeteksi kemungkinan dampak merugikan yang ditimbulkan pada masa yang akan datang. a). Pattunuang Daerah Pattunuang merupakan lokasi yang dinilai sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman spesies mamalia yang ditemukan bervariasi baik jumlah maupun jenisnya. Hampir semua spesies mamalia yang teramati (sembilan jenis dari sepuluh jenis satwa mamalia yang teramati) adalah jenis yang dilindungi. Kondisi habitat mamalia pada daerah Pattunuang relatif masih bagus walaupun pada beberapa titik lokasi telah mengalami kerusakan. b) Bantimurung dan Karaenta Kawasan ini teramati dimanfaatkan oleh Monyet hitam dare (Macaca maura). Jenis tersebut merupakan spesies kunci dalam jejaring makanan dan berperan sebagai penyeimbang ekosistem. c) Spesies Kunci (Key Spesies) Kriteria penilaian terhadap spesies penting didasarkan pada tingkat intensitas kebutuhan dan penilaian terhadap jejaring ekologi, habitat dan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

keberadaan satwa tersebut di alam. Berbagai satwa mamalia yang dikategorikan kedalam spesies kunci berdasarkan hasil pengamatan yaitu : 1. Tarsius (Tarsius spectrum) a. Karakteristik Sulawesi merupakan rumah sedikitnya 5 spesies tarsius, salah satu diantaranya yaitu Tarsius spectrum terdapat di TN BaBul (Gambar. II-9). Hal ini semakin menambah bobot taman nasional ini selain sebagai taman nasional dengan kawasan karst terluas di Indonesia juga sebagai gudang biodiversity satwa endemik Wallacea. Tarsius yang dalam bahasa lokal Suku Makassar, dikenal dengan nama Balau’ Cangke’ (balau=tikus; cangke=duduk) artinya sejenis tikus yang dapat duduk. Penduduk lokal di sekitar TN BaBul, sepintas mengenal tarsius menyerupai tikus, dan dapat duduk sambil berpegangan pada batang/ranting kayu. Tarsius merupakan jenis primata yang paling kecil bobot badannya, hanya sekitar 100 g. Seseorang yang melihat tarsius, kesan pertama yang muncul adalah lucu dan menarik. Pupil matanya yang sangat besar dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, meyakinkan bahwa satwa ini aktif malam hari. Tarsius dapat memutar kepala dan lehernya 180 derajat tanpa menggerakkan badannya. b. Habitat Secara umum, tarsius dapat dijumpai di seluruh kawasan hutan TN BaBul, akan tetapi satwa ini lebih mudah dijumpai di sepanjang hutan riparian Pattunuang mencakup obyek wisata Bislap dan Gua Pattunuang, mulai dari HM 1000 sampai HM 2500, pada tebing karst dimana terdapat tumbuhan karst dan berbagai jenis liana. Habitat tarsius yang cukup bagus juga terdapat di kawasan hutan berbatasan dengan Kampung Pute dan Pappang. Kedua kampung ini merupakan kampung yang paling dekat dengan TN BaBul di bagian hulu Sungai Pattunuang. Tarsius juga dijumpai di kawasan hutan air terjun Bantimurung.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar II.9 Tarsius spectrum Jenis tumbuhan yang dominan di kawasan hutan Bislap (Bisseang Labboro) dan Gua Pattunuang diantaranya Aren (Arenga pinnata), Kenanga (Canangium odoratum), Spathodea campanulata, Arthocarpus sp., Jabon (Antocephalus cadamba), Planchonia valida, berbagaii jenis beringin (Ficus spp.). Sedangkan di blok hutan Pute dan Pappang, habitat tarsius didominasi oleh Bambu (Bambusa spp.), terdiri dari beberapa jenis seperti bambu duri, bambu biasa, bulo karisa dan tellang. Rumpun bambu digunakan kelompok tarsius sebagai tempat tidur dan tempat berlindung (cover), dimana tarsius membangun sarang di bagian bawah rumpun bambu yang cukup rapat dan terlindung dari kemungkinan serangan predator, misalnya ular. Pada saat tidur, tarsius menempati bagian bawah rumpun bambu. Satwa ini keluar dari tempat tidurnya pada pukul 6 sore hari, kemudian mereka mencari makan serta berbagai aktivitas lainnya dan kembali ke tempat tidur/sarang sekitar pukul 5 dinihari. Tempat tidur tarsius dapat diketahui dengan mudah karena ketika keluar dari sarang, tarisus mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama dilakukan ketika kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika mereka sedang mencari makan (foraging), memberitahu keberadaan dari pasangan masing-masing. Selain itu, keberadaan tarsius di suatu pohon atau rumpun bambu dapat diketahui dari bau urinenya yang sangat khas. c. Populasi Pada inventarisasi yang dilakukan pada jalur sepanjang 1,5 km mulai dari jembatan dekat Bislap ke Gua Pattunuang (HM 1000-HM 2500), mengikuti aliran sungai ke arah hulu, tercatat sedikitnya 6 kelompok tarsius, atau minimal 12 ekor tarsius (2 ekor/kelompok) sehingga laju perjumpaan (encounter rate) adalah 4 kelompok/km (6 kel/1,5 km). Berdasarkan angka ini, seseorang yang berjalan di Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

jalur Pattunuang (Bislap-Gua Pattunuang) berpeluang menemukan 4 kelompok setiap berjalan sejauh 1 km. Sedangkan di blok hutan Pute dan Pappang digunakan metode kuadrat/plot ukuran 50mx50m (2500 m2) per plot untuk menghitung populasi tarsius. Jumlah kuadrat yang digunakan masing-masing tiga kuadrat di Pute dan satu kuadrat di Pappang, sehingga luas total kuadrat/plot contoh 4x2500m2 (1 ha). Dalam luasan 1 ha tersebut tercatat 3 kelompok tarsius di Pute dan 1 kelompok tarsius di Pappang (Tabel II-5).

Kepadatan kelompok adalah 4 kelompok/ha. Kelompok-kelompok

tarsius ditemukan di beberapa rumpun bambu di dalam kuadrat/plot. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dalam satu rumpun terdapat 2-8 ekor tarsius, yang masih merupakan satu keluarga. Dalam satu plot terdapat rata-rata 18,8 rumpun bambu dari semua jenis, tetapi jenis bambu yang dominan digunakan sebagai sarang oleh tarsius adalah bambu duri. Tidak teramati adanya kaitan antara Tarsius dengan karst Tabel . II.5 Populasi tarsius di blok hutan Pute, Pattunuang, TN BaBul Plot/kuadrat ke1 2 3 4

Lokasi

Jumlah kelompok

Jumlah individu (ekor)

Pute Pute Pute Pappang

2 1 1

6 4 2

d. Perilaku Seseorang yang masuk ke hutan, lebih sering mendengar suara tarsius daripada melihat satwa itu sendiri, karena itu hanya orang yang cukup pengalaman dengan tarsius yang dapat mengenali suara tarsius, apalagi suara satwa ini sepintas seperti suara serangga (nada crit-crit-crit‌‌., secara repetitif) atau suara kelelawar kecil (microchiroptera) yang terbang malam hari.

Tarsius aktif mencari

makan pada malam hari (nokturnal), makanan utamanya adalah berbagai jenis serangga yang aktif pada malam hari.

Selain serangga, tarsius juga makan

berbagai jenis reptilia kecil serta burung berukuran kecil dintaranya burung kacamata (Zosterops sp.). Ketika mencari makan, tarsius mengintai mangsanya, sambil mengendap perlahan, kemudian secara tiba-tiba dengan gerakan yang sangat cepat menyergap Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

mangsanya dengan cara kedua tangan memegang mangsa, dan kedua kaki membantu kedua tangan menekan mangsa sampai mangsa bisa dikuasai sepenuhnya. Seperti halnya jenis primata lainnya, tarsius dapat menggenggam sempurna mangsanya dengan kedua tangannya secara sempurna karena satwa ini memiliki lima jari tangan dan lima jari kaki. Pada jari kaki tengah, terdapat kuku yang menonjol, seperti gigi agak melengkung yang memudahkan tarsius mencengkram mangsanya. Karena makanan tarsius adalah berbagai jenis serangga, satwa ini tidak dianggap hama oleh petani dan pemilik kebun di sekitar hutan. Tarsius hidup berpasangan atau membentuk kelompok kecil dimana dalam satu kelompok hanya terdapat satu ekor jantan dan betina dewasa. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari dua individu, maka dapat dipastikan bahwa kelompok tersebut terdiri dari jantan dan betina dewasa serta anak yang sudah beranjak dewasa dan anak yang masih kecil yang masih disapih oleh induknya. Setiap kelompok tarsius memiliki daerah teritori yang jelas, dimana teritori dapat ditandai dengan air seni dan kotorannya serta bau badannya.

Teritori dijaga

secara ketat dari masuknya kelompok tarsius yang lain, dimana pelanggaran teritori dapat menyebabkan perkelahian antar kelompok. 2. Monyet hitam dare (Macaca maura) a. Karakteristik Macaca maura merupakan salah satu primata yang hidup berkelompok dengan jumlah 9 – 53 ekor yang dipimpin oleh seekor jantan dominan (Supriatna, 2000). Satwa ini hidup di pepohonan (arboreal) namun terkadang sering dijumpai sedang berjalan di tanah (terestrial). Menurut hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat diketahui terdapat 40 kelompok Macaca maura di Karaenta (Gambar. II-10). Karaenta pada awalnya merupakan sebuah cagar alam dengan satwa utama yang dilindungi adalah Macaca maura. Jumlah Macaca maura di daerah ini menurut masyarakat setempat cukup banyak bahkan jalan yang melewati daerah ini dinamai jalan Macaca maura.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar II.10 Macaca maura b. Habitat Kondisi hutan tidak rapat dan mempunyai beberapa strata tajuk yaitu strata tajuk B (pohon dengan ketinggian 20-30 m), strata tajuk C berupa pohon, palma (aren) dan strata tajuk D diwakili semak belukar dan liana. Macaca maura teramati sering ke daerah aliran sungai. Kondisi tersebut didukung kondisi vegetasi disekitar sungai banyak teramati pakan Macaca maura antara lain Ficus sp, Arenga pinnata, Tamarina indica dan beberapa jenis Myrtaceae. Macaca maura lebih menyukai vegetasi yang relatif terbuka. Jenis tumbuhan yang dominan di daerah Karaenta diantaranya jenis Ficus Sp, Arenga pinnata, beberapa jenis semak belukar dan liana. Lantai hutan tertutup oleh serasah – serasah daun. Lokasi penemuan Macaca maura di Bantimurung diantaranya berupa daerah riparian. Pepohonan selain menyediakan makanan juga digunakan sebagai jembatan untuk menyebrangi sungai. Pohon – pohon tersebut diataranya jenis Ficus, aren dan Myrtaceae (jambu- jambuan). Sedangkan di Pattunuang Macaca maura berada pada pohon – pohon yang tinggi yang berada diantara tebing – tebing yang curam. c. Populasi Pada pengamatan metode jalur (stripe transect) sepanjang 1,5 km. Pada blok hutan Karaenta hanya ditemukan 2 kelompok dengan jumlah total 18 ekor. Sedangkan di Bantimurung ditemukan sebanyak 3 kelompok dengan jumlah total 75 ekor. Laju perjumpaan di Karaenta sekitar 1 kelompok/km sedangkan di Bantimurung sebangak 2 kelompok/km. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-25


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Pada Bislap di Patunuang tercatat sedikitnya 12 ekor Macaca maura yang teramati dari tiga titik pengamatan dengan menggunakan metode concentration count yang berbentuk lingkaran dengan diameter 50 meter (luasan 0,2 ha). Sehingga kepadatan populasi diduga sebanyak 61 ekor/ha. d. Perilaku Aktivitas Macaca maura pada saat perjumpaan diantaranya makan, mencari kutu, lompat dari pohon ke pohon, berjalan dari ranting ke ranting dan turun dari batang pohon ke tanah. Macaca maura dijumpai pada pukul 07.30 – 10.00. Selain itu ada hal yang menarik ketika pengamatan, kehadiran Macaca maura selalu diikuti dengan kehadiran burung Kadalan sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus). Interaksi kedua satwa tersebut merupakan simbiosis mutualisme. Kehadiran Macaca maura memberikan kemudahan bagi burung Kadalan sulawesi dalam mencari serangga karena aktivitas Macaca maura di pepohonan menyebabkan serangga– serangga yang ada di daun beterbangan. Sedangkan kehadiran burung Kadalan sulawesi berperan sebagai alarm call bagi Macaca maura terhadap berbagai kemungkinan ancaman. 3. Kukus beruang (Ailurops ursinus) Kuskus beruang adalah satwa pemakan daun yang hidup diantara pepohonan di bukit-bukit karst (Gambar II-11). Perilaku makannya sangat unik, satwa ini bisa melilitkan ekornya sambil menggantungkan tubuhnya (prehensil) untuk memakan daun-daun muda di puncak pepohonan. Perilaku ini sangat menarik apabila ditawarkan menjadi objek ekowisata.

Gambar II.11 Ailurops ursinus Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-26


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2.8. Pengembangan Ekowisata Potensi mamalia yang dapat dikembangkan di TN Bantimurung-Bulusaraung cukup besar. Agar dapat dirasakan manfaatnya secara berkelanjutan diperlukan suatu

usaha

ekowisata

yang

berbasis

konservasi,

sehingga

kelestarian

keanekaragaman hayati khususnya mamalia di Taman Nasional BantimurungBulusaraung dapat terjaga dengan baik. Beberapa potensi yang dapat dikembangkan, antara lain : 1. Wisata minat khusus di Pattunuang berupa kegiatan ekspedisi Tarsius Tarsius merupakan primata terkecil di dunia. Morfologinya yang khas dan unik dapat menimbulkan keingintahuan untuk mempelajarinya lebih lanjut. Habitatnya yang tidak biasa (rumpun bambu yang umumnya berduri) membuat Tarsius semakin sulit untuk ditangkap sehingga pengamat akan semakin penasaran untuk melihat Tarsius secara langsung. 2. Mengamati perilaku unik Kuskus beruang Kuskus beruang adalah satwa pemakan daun yang hidup diantara pepohonan di bukit-bukit karst. Perilaku makannya sangat unik dengan menggantungkan salah satu bagian tubuhnya berupa tangan, kaki, bahkan buntutnya untuk memakan daun-daun muda di puncak pepohonan. Hal tersebut sangat menarik untuk diamati dan dapat dijadikan sebagai objek wisata. 3. Mengenal lebih jauh Monyet hitam dare di Karaenta Karaenta merupakan kawasan yang dikelilingi oleh pepohonan yang relatif rapat. Kawasannya terfragmentasi oleh jalan raya lintas provinsi yang menyebabkan gangguan pada satwa-satwa yang ada di sekitarnya. Namun, keberadaan Monyet hitam dare di kawasan ini masih dapat ditemui dalam jarak sekitar 1-2 Km dari jalan raya. Apalagi jika disertai oleh pemandu lokal yang dapat memanggil kelompok-kelompok Monyet hitam dare tersebut. Selain dapat menjumpai Monyet hitam dare secara langsung juga dapat mengetahui adanya pengetahuan mengenai interaksi yang terjadi antara Monyet hitam dare dan masyarakat lokal (kearifan tradisional) 4.

Wisata Malam Bantimurung Pengamatan malam di Bantimurung merupakan kegiatan yang cukup menarik sembari menikmati keindahan alam Bantimurung yang indah diiringi suara gemuruh aliran air, indahnya lampu, suara serangga dan yang paling menarik

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-27


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

kita bisa bertemu dengan jenis-jenis mamalia nokturnal di Bantimurung seperti Tenggalung malaya (Viverra tangalunga). IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan 1. Mamalia pada ekosistem karst umumnya adalah jenis mamalia arboreal, sedangkan jenis mamalia terestrial adalah mamalia kecil ordo rodentia. 2. Kondisi habitat yang dijadikan daerah jelajah oleh satwa mamalia pada ekosistem karst yaitu pepohonan yang bercabang untuk melakukan pergerakannya, didominasi oleh bukit-bukit kapur dengan vegetasi yang jarang. 3. Key species di TN Bantimurung Bulusaraung adalah Macaca maura, Tarsius spectrum dan Ailurops ursinus. 4. Key species tersebut dapat menunjang ekowisata, khususnya wisata ilmiah dan wisata minat khusus. 5. Tidak ditemukan satwa mamalia yang berstatus karst-dependent IV.2 Saran 1. Fokus pengelolaan pada habitat penting berbagai spesies mamalia utamanya key species. 2. Dilakukan inventarisasi berkelanjutan / monitoring populasi satwaliar. 3. Kampanye mengenai perlindungan berbagai satwa liar

terhadap

masyarakat sekitar TN Babul, melalui leaflet, brosur, buklet, film dokumenter key species, dan media-media lainnya 4. Pengembangan track ekowisata yang tidak mengganggu lanskap habitat key species.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-28


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. _____________. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor Attenborough, D. 2002. The life of mammals. BBC Worldwide Ltd. London [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Jakarta: BAPPENAS. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2004. Kebijakan Departemen Kehutanan Dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Makalah. Disampaikan pada kuliah perdana Program Magister Profesi Konservasi Biodiversiti.Dep KSHE. Fak Kehutanan. IPB. 5 Oktober. Elton, C. 1966. The Ecology of Animals. Butler dan Taner Ltd. London. Gilese, R. H. 1971. The Wildlife Management Techniques. The Wildlife Society. Washingthon D. C. Kartono, A.P. 2000. Teknik Inventarisasi Satwaliar dan Habitatnya. Laboratorium Ekologi Satwaliar. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kartono AP, I Maryanto, and MA Jayasilan. 2003. Diversity of Big Mammals in Pa’Raye, Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan. Joint Biodiversity Expedition in Kayan Mentarang National Park. Hal 137152 Odum, E. P. 1959. Fundamentals of Ecology. W. B. Saunders Co. London Samingan, T. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta Vaughan, T.A. 1978. Mammalogy. Sec Ed. W.B. Saunders Company. Philadelpia. Wilson, D.E., F.R. Cole, J.D. Nichols, R. Rudran and M.S. Foster (Eds.). 1996. Measuring and monitoring biological diversity; standard methods for mammals. Smithsonian Institution Press. Washington and London. Whitten, A. J. 1982. Home Range Use By Kloss Gibbon (Hylobates klosii) on Siberut Island, Indonesia. Animal Behaviour Yasuma, S. dan H. S. Alikodra.1990. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest publication No.1. Pusrehut : Samarinda Yasuma, S. 1994. An Invitation to the Mammals of East Kalimantan publication No.3. Pusrehut : Samarinda

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

II-29


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sulawesi merupakan pulau di Indonesia yang memiliki tingkat keendemikan burung yang tinggi dibandingkan pulau-pulau lain di Wallacea. Indonesia menempati urutan kelima di dunia dalam hal keanekaragaman jenis burung dengan jumlah total 1561 spesies, dimana 28% atau 425 spesies dan 16 marga diantaranya merupakan endemik Sulawesi (Coates dan Bishop, 1997). Endemisitas burung di Sulawesi terutama berasal dari barat, dengan 67% jenis endemiknya berasal dari Asia (Whitten et al, 1987). Sujatnika dkk (1995) mengatakan Sulawesi memiliki 380 jenis burung, diantaranya 115 jenis endemik Indonesia dan 96 jenis endemik Sulawesi. Sulawesi merupakan sebuah wilayah dengan bentang alam dan kekayaan hayati yang unik dan khas. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengungkap berbagai kekayaan hayati yang ada, namun masih banyak pula hal yang belum terungkap sehingga informasi yang dimiliki masih sangat sedikit dan tertinggal jauh dibanding wilayah lainnya di Indonesia, terutama Indonesia bagian barat. Sulawesi memiliki kawasan karst terbesar di Indonesia yang terletak di Kabupaten Maros-Pangkep dimana salah satunya berupa kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN BaBul). Kawasan karst merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan endemik yang dihuni oleh berbagai jenis burung endemik pula. Data sebelumnya yang membahas mengenai keanekaragaman burung di Sulawesi sudah cukup lengkap, namun sampai saat ini data mengenai keanekaragaman burung dikawasan karst Sulawesi dirasa belum memadai. Dua penelitian sebelumnya pernah yang dilakukan oleh dua orang mahasiswa Universitas Hasanudin, mengenai burungburung di kawasan karst Bantimurung. Wilayah kajiannya adalah Pattunuang dan Bantimurung. Kawasan karst Maros-Pangkep merupakan kawasan karst terbesar di dunia setelah Cina. Kemungkinan terdapatnya spesies burung yang belum teridentifikasi bisa terjadi. Apalagi studi mengenai burung-burung di kawasan karst belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh

karena

itu

perlu

diadakan

penelitian

untuk

mengetahui

keanekaragaman, kelimpahan, dan dominansi jenis-jenis burung yang ada di Karst Maros-Pangkep dan pemanfaatan habitatnya oleh burung tepatnya di TN BaBul.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Diharapkan kegiatan ini dapat menghasilkan data dan informasi terbaru mengenai kekayaan jenis burung dikawasan karst, terutama di Sulawesi. I.2 Tujuan Kegiatan eksplorasi ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui keanekaragaman, kelimpahan, dan dominansi jenis-jenis burung yang ada di Karst Maros-Pangkep dalam kawasan TN BaBul. 2. Mengetahui bentuk pemanfaatan habitat karst oleh beragam jenis burung. 3. Mengetahui status endemisitas jenis-jenis burung yang ada di TN BaBul. 4. Mengetahui pengaruh ekosistem karst terhadap tingkat keragaman jenis burung. II. METODE PENGAMATAN II.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10–25 Agustus 2007 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Pengambilan data dilakukan dalam dua periode waktu yaitu pada tanggal 13-16 Agustus 2007 di Panaikang, Kabupaten Maros, dan tanggal 21-24 Agustus 2007 di Leang Lonrong, Kabupaten Pangkep. Pemilihan lokasi penelitian di Panaikang karena pada awalnya kawasan ini diduga memiliki kelimpahan jenis burung yang tinggi. Sedangkan lokasi Leang Lonrong merupakan sampel lokasi penelitian yang mewakili ekosistem karst yang ada di Maros. II.2 Alat dan Bahan Objek pengamatan mencakup seluruh jenis burung beserta habitatnya yang terdapat di Panaikang dan Leang Lonrong TN BaBul. Peralatan dan bahan yang digunakan yaitu binokuler, handycam, kamera digital, recorder, buku panduan lapang: Pengenalan jenis burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan oleh Mackinnon et all. 1998, dan pengenalan jenis burung Wallacea. II.3 Metode Pengambilan data Metode yang digunakan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi jenis burung adalah metode jalur (transect) dan metode titik. Metode jalur digunakan untuk penelitian di Panaikang dan Leang lonrong dengan lebar 50 meter. Jalur pengamatan berupa jalan setapak menuju lokasi pengamatan, dengan satu tipe Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

habitat untuk satu jalur. Metode titik yang digunakan yaitu IPA (Index Point of Abundance). Pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan diam pada titik tertentu kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung dalam rentang waktu tertentu dan luas area tertentu. Radius pengamatan untuk setiap titik pengamatan sejauh 50 meter dengan jarak antar titik 200 meter dan rentang waktu pengamatan selama 20 menit. Selain itu digunakan juga daftar jenis Mackinnon (MacKinnon, 1993). Untuk satu daftar berisi 10 jenis burung berbeda dan selama pengamatan diperoleh 14 daftar jenis MacKinnon.

r=50m m 200m 1000m

Gambar III.1 Ilustrasi Penggunaan Kombinasi Metode IPA dan Metode Jalur II.4 Data yang diambil Data yang diambil meliputi data burung dan habitatnya. Data burung yang diambil mencakup jenis, kelimpahan individu, penyebaran, dan aktivitas serta penggunaan habitat dan vegetasi. Data habitat yang diambil melalui kondisi habitat secara umum, baik fisik maupun vegetasinya. II.5 Analisa Data Analisa yang digunakan yaitu: 1.

Kelimpahan burung (Pi) Kelimpahan burung merupakan total jumlah individu burung yang ditemukan

selama pengamatan. Perhitungan jumlah dari setiap jenis burung yang ada dengan menggunakan rumus menurut van Balen (1984). Penentuan nilai kelimpahan ini untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis burung yang melimpah (banyak) atau tidak.

Pi

=

Jumlah burung spesies ke-i Jumlah total burung

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

2.

Dominansi (Di), berfungsi untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis

burung yang dominan. Rumus yang digunakan mengikuti van Helvoort (1981) yaitu :

Di =

ni N

X 100%

Keterangan: Di

= indeks dominansi suatu jenis burung

ni

= jumlah individu suatu jenis

N

= jumlah individu dari seluruh jenis

Kriteria dominansi yaitu:

3.

Di =

0–2%

jenis tidak dominan

Di =

2–5%

jenis subdominan

Di =

>5%

jenis dominan

Indeks keanekaragaman jenis (H’) menggunakan Indeks Keanekaragaman

Shannon-Wiener dengan rumus : H’ =

- ∑ pi ln pi

Keterangan:

4.

H’

= indeks keanekaragaman jenis

Pi

= proporsi nilai penting

Ln

= logaritma natural

Indeks Kemerataan (E’), untuk melihat proporsi kelimpahan jenis burung

dihitung dengan menggunakan Indeks Kemerataan (Index of Evennes) yaitu: E Keterangan :

=

H’/ln S

E = Indeks Kemerataan H’= Indeks keanekaragaman jenis S = jumlah jenis

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

5.

Indeks kesamaan jenis (IS), untuk melihat kesamaan komunitas jenis burung

antar lokasi penelitian. Indeks yang digunakan adalah indeks kesamaan jenis Jaccard, dengan rumus:

IS

Keterangan :

C a+b+c

=

a = jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 1 b = jumlah jenis yang hanya terdapat di lokasi 2 c =

jumlah jenis yang terdapat di lokasi 1 dan 2

Selanjutnya, untuk melihat tingkat kesamaannya, digunakan dendogram dari komunitas burung antar lokasi penelitian. Penggunaan dendrogram ini akan mempermudah dalam melihat hubungan antar lokasi. 6.

Status jenis burung Sebanyak 24 jenis merupakan endemik kawasan Wallacea. Jumlah ini terdiri

dari 13 jenis endemik subkawasan Sulawesi, 4 jenis endemik subkawasan Sulawesi dan Kepulauan Sula, 5 jenis endemik subkawasan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, 2 jenis endemik subkawasan Sulawesi, Maluku dan Sula. 6 jenis burung termasuk kategori Near-Threatened yaitu mendekati terancam punah secara global. Dalam penelitian ini dijumpai 13 jenis burung yang merupakan endemik kawasan

Sulawesi

yaitu,

Kadalan

sulawesi

(Phaenicophaeus

calyorhynchus),

Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix), Srigunting sulawesi (Dricrurus montanus), Gagak sulawesi (Corvus typicus), Pelanduk sulawesi (Trichastoma celebense), Kacamata makassar (Zosterops anomalus), Blibong pendeta (Streptocitta albicollis), Cabai panggul-kuning (Dicaeum aureolimbatum), Anisbentet sangihe (Colluricincla sanghirensis), Tlang sayap-cokelat (Butastur liventer), Taktarau iblis (Eurostopodus diabolicus) dan Tuwur sulawesi (Eudynamies scolopacea). Jenis yang merupakan endemik subkawasan Sulawesi dan Kepulauan Sula adalah Cabai-panggul kelabu (Dicaeum celebicum), Elang-ular Sulawesi (Spilornis rufipectus),

Kapasan

sulawesi

(Lalage

leucopygialis),

Merpati-hitam

sulawesi

(Turacoena manadensis). Jenis endemik disubkawasan Sulawesi dan Maluku adalah Bondol rawa (Lonchura malacca), Delimukan timur (Chalcophaps stephani), Burung madu-hitam Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

(Nectarinia spacia), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), dan Uncal ambon (Macropygia amboinensis). Burung-burung endemik subkawasan Sulawesi, Maluku dan Sula adalah Gagak hutan (Corvus enca) dan Srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus). Jenis-jenis yang dilindungi termasuk dalam Appendix II, yaitu spesies yang boleh diperdagangkan selama Manajemen Authorithy (Dirjen PHKA) mengeluarkan izin ekspor yang disarankan oleh Scientific Authority (LIPI). Spesies-spesies tersebut yaitu Elang paria (Milvus migrans), Elang kelelawar (Macheiramphus alcinus), Elang sayap-coklat (Butastur liventer), Alap-alap sapi (Falco moluccensis), Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix), dan Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus). III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 Hasil III.1.1 Kondisi habitat III.1.1.1 Panaikang III.1.1.1.1 Jalur 1 Panaikang Jalur Panaikang terletak di sebelah timur laut wilayah Panaikang. Medan yang dilewati berupa jalur melewati bukit dengan melewati bebatuan karst yang besar, tajam dan licin. Pada beberapa bagian dari lokasi ini berupa tanah yang relatif datar dan menurut informasi dari pemandu merupakan bekas wilayah perkebunan penduduk (dimulai sebelum wilayah ini ditetapkan sebagai bagian dari taman nasional). Ketinggian lokasi ini antara 42 – 80 m dpl. Semakin ke atas, transek semakin tinggi mengikuti lereng bukit. Vegetasi yang ditemui diantaranya pepohonan seperti jampu salok, kokosan monyet, ajuwara (pohon ara), sugi manaik dan didominasi oleh jenis gmelina (Gmelina arborea) yang oleh penduduk disebut dengan jati putih. Jenis ini tumbuh teratur pada sisi kanan jalur yang dulunya merupakan areal hutan tanaman milik penduduk yang saat ini telah menjadi milik taman nasional. Topografi mendatar pada jalur 1 saat pengamatan didominasi oleh hamparan pasanda juga lokasi perkebunan tanaman wijen milik penduduk, serta digunakan sebagai lokasi penggembalaan hewan ternak seperti sapi dan kambing. Hal ini dilakukan pada saat areal tersebut tidak digunakan untuk bertani.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar III.2 Tipe habitat jalur 1 di Panaikang 3.1.1.1.2 Jalur 2 Panaikang Lokasi ini mengikuti aliran anak sungai dari sungai di Pegunungan Bantimurung. Pada jalur ini terdapat aliran irigasi ke persawahan penduduk. Sungai yang ditemui keadaannya cukup kering karena pada saat pengamatan sedang musim kemarau. Terdapat jalan setapak yang relatif datar dan berbatu (gambar III.3). Tanahnya liat dan kasar pada beberapa bagian dan tanah berpasir pada bagian yang terletak dipinggir sungai. Pada ketinggian tertentu yang lokasinya datar, dapat melihat pemandangan langsung ke arah Pegunungan Buluparia. Vegetasi riparian (tumbuhan yang berada di tepi sungai) yang dijumpai masih didominasi oleh tanaman Gmelina yaitu pada sisi kanan transek. Jenis pohon lainnya seperti langoting, mara-mara siapa, jampu salok, kapuk, alakkan, alekangale dan lica-lica. Terdapat juga tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi seperti Jambu, Mangga (Mangifera indica), Kelapa (Cocos nucifera), jambu mete (Anacardium accidentale) dan aren yang sengaja ditanam oleh penduduk. Semak belukar yang dijumpai umumnya berupa pasanda, cabarente, Bbiccoro (Melastoma malabatricum), mali-mali dan tara-tara manu.

Gambar III.3 Tipe habitat jalur 2 di Panaikang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

3.1.1.1.3 Jalur 3 Panaikang Jalur ini dicapai dengan menyeberangi sungai lalu lurus ke arah timur menuju punggung bukit, dimana masih dijumpai aliran sungai yang tergenang. Jalur ini merupakan jalur yang treknya mempunyai ketinggian maksimal dibandingkan dengan ketiga jalur lainnya. Tipe hutan yang ditemui adalah hutan primer dengan jenis-jenis tumbuhan seperti cenna, bancek, jambul sungai, alakkan, ajuwara, rotan dan masih banyak ditemui pohon jati. Tebing-tebingnya curam dengan kemiringan 30 – 45 o dan ketinggian 30 – 102 m dpl. Topografinya berupa tanah keras berpasir dengan bebatuan karst dikanan dan kiri plot, batu-batu karstnya berukuran besar dan tajam. Pada beberapa titik ditemukan area terbuka sehingga memudahkan pengamat untuk menemukan beberapa jenis burung seperti julang dan kangkareng sulawesi, hal ini karena area terbuka tersebut ada pada topografi yang cukup tinggi, dan merupakan habitat yang disukai oleh Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus) dan Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix).

Gambar III.4 Tipe habitat jalur 3 di Panaikang 3.1.1.1.4 Jalur 4 Panaikang Lokasi ini terletak diseberang sungai, sama dengan jalur 3 hanya mengarah ke barat wilayah Panaikang. Jalur ini merupakan hutan sekunder dengan hutan tanaman jati putih yang ditanam teratur, semak belukar yang djumpai hanya berupa hamparan pasanda (gambar III.5). Tanahnya kering berpasir karena masih terletak di tepi sungai. Lokasi ini merupakan tepi hutan yang berdekatan dengan persawahan dan pemukiman penduduk yang terletak diluar kawasan taman nasional. Pada habitat persawahan ini umumnya berupa hamparan lahan pertanian yang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

keadaannya sangat kering akibat musim kemarau, dengan tanaman budidaya padi dan wijen. Lahan pertanian dikelilingi langsung pemandangan karst Maros.

Gambar III.5 Tipe habitat jalur 4 di Panaikang 3.1.1.5 Jalur 5 Leang Lonrong Lokasi pengamatan berada disekitar Gua Leang Lonrong (gambar III.6) dan dibatasi oleh bukit-bukit kapur pada seluruh sisi. Tipe vegetasi didominasi oleh pohon gmelina yang ditanam masyarakat disekitar gua sebagai lahan milik pribadi sampai akhirnya lahan-lahan tersebut diresmikan menjadi bagian dari kawasan taman nasional. Jenis vegetasi lain yaitu Pulai (Alstonia scholaris), pasanda, keceng, dan Mangga (Mangifera indica). Pada lokasi pengamatan ini terdapat sumber air yang mengalir dari mulut Gua Leang Lonrong.

Gambar III.6. Tipe habitat jalur Leang Lonrong III.1.2 Kekayaan Jenis Burung Hasil pengamatan menunjukkan adanya kekayaan jenis burung yang relatif tinggi di lokasi penelitian. Pada lokasi pengamatan di Panaikang dengan metode Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IPA diperoleh 31 jenis burung yang terdiri dari 20 suku, yang merupakan jumlah total jenis burung yang diperoleh dari 4 jalur yang digunakan untuk pengamatan sedangkan untuk metode Mackinnon diperoleh 58 jenis dan 29 suku. Sementara untuk lokasi pengamatan Leang Lonrong dengan metode IPA diperoleh 26 jenis dari 18 suku, dan metode Mackinnon diperoleh 30 jenis. Sehingga jumlah total burung dari kedua lokasi diperoleh 69 jenis burung yang terdiri dari 27 suku, hasil ini gabungan dari metode IPA dan metode Mackinnon. Suku yang memiliki jenis paling banyak yaitu Accipitridae dan Alcedinidae, masing-masing sebanyak lima jenis. Sisanya terdiri dari satu hingga tiga jenis setiap suku (Lampiran 1). III.1.3 Kurva Penemuan Jenis Selama 8 hari pengamatan, dihasilkan 18 Daftar Jenis MacKinnon, yaitu mencatat semua burung yang dijumpai selama pengamatan berlangsung baik di dalam maupun diluar jalur sebanyak 10 jenis burung dalam satu list atau satu halaman kertas. Burung yang dijumpai sebanyak 69 jenis (Gambar III.7).

Jum lah Jenis Burung

60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

Daftar ke-

Gambar III.7. Kurva penemuan jenis burung dengan Metode Daftar Jenis MacKinnon Kurva penemuan jenis burung menunjukkan hubungan antara daftar list ke-i burung dengan jumlah jenis burung yang ditemukan. Jumlah daftar jenis burung tersebut bertambah sesuai dengan bertambahnya jenis burung yang ditemukan. III.1.4 Kelimpahan Jenis Burung Setiap jenis burung yang teramati menunjukkan jumlah yang bervariasi. Total jumlah individu yang ditemukan adalah 650 individu. Kelimpahan relatif jenis burung Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

pada seluruh lokasi penelitian berkisar antara 0,006 – 0,709. Angka ini menunjukkan jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah total individu jenis yang ditemukan. Nilai kelimpahan terbesar yaitu Walet sapi (Collocalia esculenta). Sebaliknya, nilai kelimpahan terkecil didapat oleh 9 jenis burung sebesar 0,006. Nilai kelimpahan menunjukkan dominasi tidaknya jenis tersebut. Semakin tinggi nilai kelimpahan semakin dominan pula jenis tersebut. Pada setiap lokasi penelitian didapat nilai kelimpahan jenis burung yang berbeda. Nilai terendah 0,006 di jalur-5, sedangkan nilai tertinggi 0,709 di jalur-4 (Tabel III.1). Tabel III.1 Kisaran nilai kelimpahan jenis burung No.

Lokasi Penelitian

Nilai Kelimpahan (%)

1.

Jalur-1

0,006 – 0,440

2.

Jalur-2

0,010 – 0,515

3.

Jalur-3

0,093 – 0,452

4.

Jalur-4

0,012 – 0,709

5.

Jalur-5

0,006 – 0,299

III.1.5 Dominansi Burung Dalam tabel berikut dapat diketahui nilai dominansi jenis burung di seluruh lokasi penelitian. Dominansi jenis burung menunjukkan bahwa komunitas burung yang ada di lokasi pengamatan relatif merata dan tidak di dalam lokasi penelitian Berdasarkan kategorinya dibagi ke dalam kategori tidak dominan (0-2%), subdominan (2-5%), dominan (>5%). Terdapat tiga jenis burung yang termasuk kategori dominan, 7 jenis termasuk kategori sub-dominan dan 26 jenis termasuk kategori tidak dominan. Nilai dominasi yang didapat berkisar antara 0,17% – 5,2 % Tabel III.2 Nilai Dominansi Jenis Burung Kategori No

1

2.

Dominasi

Nilai Dominasi

Jenis Burung

(%) 49,5

Collocalia esculante

7,97

Collocalia sp.

5,37

Lochura molucca

Sub-

4,5

Oriolus chinensis

dominan

3,98

Pycnonotus aurigaster, Dicrurus hottentottus

Dominan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

2,07

Ictinaetus malayenis, Ptilinopus melanospila

3,3

Ardeilla speciosa

2,25

Nectarinia aspasia

1,9

Phaenicophaeus calyorhynchus

1,38

Anthreptes malaccensis

1,2

Penelopides exarhartus, Coracina novaehollandiae

1,03

Spilornis lufipectus

0,86

Alcedo meninting, Lonchura punctulata

0,69

Trichastoma celebense, Streptocitta albocollis Butastur livente,

0,52 3

Dicrurus montanus, Lonchura malacca

Tidak

Ciconia

dominan

suscitator,

episcopus,

Dicrurus

leucophaeus,

Turnix

Treron vernans, Corvus typicus 0,35

Halcyon chloris, Hypothymis azurea Merops superciliosus, Dicaeum aureolimbatum Dicaeum aureolimbatum, Lalage leucopygialis

0,17

Turacoena manadensis, Zosterops anomalus Rhyticeros cassidix

Jenis burung yang mendominasi setiap habitat berbeda-beda. Jumlah setiap kategori dominasi juga berbeda untuk setiap lokasi, tergantung pada jumlah jenis burung yang ada. (Gambar III.8). 14

13

Jumlah jenis burung

12 12 10

9 8

8

7 6

6

5

Subdominan

5 4

4

Dominan

4

Tidak dominan

3 2

2

2 1 0

0 Plot 1

Plot 2

Plot 3

Plot 4

Plot 5

Lokasi Pengamatan

Gambar III.8 Jumlah jenis burung menurut kategori dominansi pada setiap lokasi penelitian. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.1.6 Keanekaragaman Jenis Burung Menurut Magurran (1988), nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung berkisar antara 1,5 – 3,5. Nilai < 1,5 menunjukkan indeks keanekaragaman jenis yang rendah, selanjutnya nilai yang berkisar 1,5 – 3,5 menunjukkan indeks keanekaragaman sedang dan nilai > 3,5 menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung (H) tertinggi adalah pada pengamatan di Leang Lonrong (2,453). Maka dapat dikatakan bahwa jenis burung di lokasi Leang Lonrong memiliki keanekaragaman jenis burung yang sedang. Keanekaragaman jenis berhubungan dengan keseimbangan dalam komunitas. Jika nilai keanekaragaman tinggi, maka keseimbangan dalam komunitas tersebut juga tinggi. Sebaliknya, jika nilai keseimbangan tinggi belum tentu menunjukkan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut juga tinggi. Nilai Indeks Kemerataan Jenis burung (E’) yang tertinggi yaitu jalur Leang Lonrong sebesar 0,61, relatif tinggi karena mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi jenis burung yang ada disetiap lokasi memiliki penyebaran yang merata, sebaliknya semakin mendekati 0, maka penyebaran semakin tidak merata dan terdapat jenis yang sangat dominan (tabel III.3). Tabel III.3 Nilai indeks keanekaragaman jenis burung dan indeks kemerataan di setiap lokasi pengamatan No.

Lokasi

H

E

1

Jalur-1

2.161

0.710

2

Jalur-2

1.876

0.662

3

Jalur-3

1.338

0.522

4

Jalur-4

1.002

0.482

5

Jalur-5

2.453

0.772

III.1.7 Indeks Kesamaan Jenis Indeks kesamaan jenis burung dan dendrogram menunjukkan seberapa kesamaan antar komunitas burung di lokasi penelitian. Lokasi yang memiliki kesamaan paling tinggi adalah jalur 2 dengan jalur 3 sebesar 40% (tabel III.4). Hal ini berarti bahwa komunitas burung dikedua lokasi sangat mirip. Hal ini didukung oleh kondisi habitatnya yang relatif mirip juga. Untuk memudahkan melihat tingkat kesamaannnya, dibuat dendogram (Gambar III.9).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-13


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Tabel III.4 Indeks Kesamaan Jenis Burung Pada Setiap Lokasi Pengamatan Lokasi jalur 1

jalur 1

jalur 2

jalur 3

1

0,32

0,32

0,16

0,15

1

0,4

0,22

0,19

1

0,2

0,17

1

0,06

jalur 2 jalur 3

jalur 4

jalur 4 jalur 5

jalur 5

1

Jalur 2 Jalur 3 Jalur 1 Jalur 4 Jalur 5 Gambar III.9 Dendrogam kesamaan jenis burung antar lokasi III.1.8 Penemuan Jenis Burung Jumlah jenis burung paling banyak adalah pada jalur pengamatan 1 Panaikang dengan jumlah 21 jenis, sedangkan jenis yang paling sedikit dijumpai pada lokasi pengamatan jalur 4 di Panaikang dengan jumlah 8 jenis. Tabel III.5 Penemuan jenis burung per lokasi pengamatan No

Jalur

Suku

Marga

Jenis

1

1

16

19

21

2

2

14

16

16

3

3

10

11

12

4

4

7

8

8

5

5

17

20

24

III.1.9 Status Jenis Burung Sebanyak 24 jenis merupakan endemik kawasan Wallacea. Jumlah ini terdiri dari 13 jenis endemik subkawasan Sulawesi, 4 jenis endemik subkawasan Sulawesi dan Kepulauan Sula, 5 jenis endemik subkawasan Sulawesi dan Kepulauan Maluku, 2 Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

jenis endemik subkawasan Sulawesi, Maluku dan Sula. 6 jenis burung termasuk kategori Near-Threatened yaitu mendekati terancam punah secara global. Dalam penelitian ini dijumpai 13 jenis burung yang merupakan endemik kawasan

Sulawesi

yaitu,

Kadalan

sulawesi

(Phaenicophaeus

calyorhynchus),

Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix), Srigunting sulawesi (Dricrurus montanus), Gagak sulawesi (Corvus typicus), Pelanduk sulawesi (Trichastoma celebense), Kacamata makassar (Zosterops anomalus), Blibong pendeta (Streptocitta albicollis), Cabai panggul-kuning (Dicaeum aureolimbatum), Anisbentet sangihe (Colluricincla sanghirensis), Elang sayap-cokelat (Butastur liventer), Taktarau iblis (Eurostopodus diabolicus) dan Tuwur sulawesi (Eudynamies scolopacea). Jenis yang merupakan endemik subkawasan Sulawesi dan Kepulauan Sula adalah Cabai-panggul kelabu (Dicaeum celebicum), Elang-ular Sulawesi (Spilornis rufipectus),

Kapasan

sulawesi

(Lalage

leucopygialis),

Merpati-hitam

sulawesi

(Turacoena manadensis). Jenis endemik disubkawasan Sulawesi dan Maluku adalah Bondol rawa (Lonchura malacca), Delimukan timur (Chalcophaps stephani), Burung madu-hitam (Nectarinia spacia), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), dan Uncal ambon (Macropygia amboinensis). Burung-burung endemik subkawasan Sulawesi, Maluku dan Sula adalah Gagak hutan (Corvus enca) dan Srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus). Jenis-jenis yang dilindungi termasuk dalam Appendix II , yaitu spesies yang boleh diperdagangkan selama Manajemen Authorithy (Dirjen PHKA) mengeluarkan izin ekspor yang disarankan oleh Scientific Authority (LIPI). Spesies-spesies tersebut yaitu Elang paria (Milvus migrans), Elang kelelawar (Macheiramphus alcinus), Elang sayap-coklat (Butastur liventer), Alap-alap sapi (Falco moluccensis), Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix), dan Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus).

III.2 PEMBAHASAN Kondisi habitat dikedua lokasi pengamatan (Panaikang dan Leang Lonrong) umumnya berupa hutan sekunder dan banyak terdapat lahan terbuka yang merupakan bekas lahan perkebunan penduduk. Secara umum kondisi habitat keduanya berbukit terjal, dikelilingi karst. Khusus di Panaikang, masih dijumpai hutan primer pada ketinggian-ketinggian tertentu.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Terdapat banyak sumber air pada kedua lokasi tersebut seperti anak sungai dan alirannya. Ini menyebabkan tingkat kelembaban di hutan Panaikang dan Leang Lonrong relatif tinggi, ketersediaan sumber air ini ikut mendukung kehidupan berbagai macam spesies burung yang menggantungkan hidupnya di hutan tersebut. Tetapi terdapat

perbedaan mendasar dari kedua lokasi pengamatan yaitu

kemudahan akses untuk melalui daerah pengamatan. Panaikang memiliki topografi yang relatif datar, tingkat kecuraman rendah, dan lebih terbuka sedangkan Leang Lonrong memilki topografi yang curam terdiri dari tebing-tebing karst yang terjal, sehingga lebih mudah mengakses jalur pengamatan di Panaikang daripada di Leang Lonrong. Dilihat dari medan pengamatan, Panaikang memiliki kondisi medan yang mudah untuk diakses karena lokasinya relatif datar, tidak curam dan lebih terbuka jika dibandingkan dengan Leang lonrong yang terdiri dari tebing-tebing karst terjal sehingga sulit untuk diakses. Kondisi semacam inilah yang menyebabkan perbedaan jumlah jalur pengamatan, yaitu 4 jalur di Panaikang dan 1 jalur di Leang Lonrong. Inventarisasi burung yang dilakukan dengan total 5 jalur

menemukan

sebanyak 57 jenis di Panaikang dan 24 jenis di Leang Lonrong. Bila dibandingkan dengan jumlah jenis burung yang ditemukan oleh Achmad dan Nurkin dalam Amran (2002) yang menemukan 10 jenis burung dikawasan karst Maros Pangkep. Namun jika dilihat berdasarkan tiap jalur pengamatan maka jalur 5 (Leang Lonrong) memiliki jumlah jenis terbanyak (lihat tabel III.5). Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa keanekaragaman jenis burung di Leang Lonrong yang habitatnya cenderung tertutup oleh bukit-bukit karst yang tinggi dikawasan hutan sekunder adalah 2,453, sedangkan pada lokasi di Panaikang yang habitatnya banyak ditemukan areal-areal terbuka sebesar 2,161. Perbedaan angka ini disebabkan perbedaan tipe habitat. Habitat di Panaikang cenderung terbuka, hutan-hutan primer banyak yang sudah dikonversi menjadi lahan perkebunan penduduk. Tipe habitat yang ada di Panaikang terbilang dekat dengan pemukiman manusia, penduduk dekat kawasan mempunyai aksesibilitas yang mudah dan bebas untuk keluar masuk kawasan, terlihat dari banyaknya jalan-jalan setapak yang bisa dilalui oleh penduduk yang masuk kawasan dengan tujuan berkebun, bertani, berburu kupu-kupu, atau sekedar melakukan aktivitas sehari-hari di sungai seperti mandi, mencuci, dan memandikan hewan ternak mereka. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan sebagian besar burung-burung yang tingkat

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

sensitifitasnya tinggi terhadap lingkungan akan merasa terganggu dengan keberadaan manusia. Menurut Seng dan Dana (1997), kerusakan hutan akan mempengaruhi kehidupan burung liar atau bahkan akan memaksa mereka keluar dari relungnya untuk mencari cadangan makanan atau untuk tempat bertelur yang aman. Baral dan Ramji (2002) juga mengatakan bahwa kerusakan habitat atau perubahannya mungkin merupakan faktor utama perpindahan burung ke habitat lain. Habitat yang ada di Leang Lonrong cenderung tertutup, banyak sekali terdapat bukit-bukit karst yang menjulang tinggi, curam, dan terjal sehingga sulit sekali untuk meningkatkan fasilitas atau akses masuk kawasan. Habitat yang demikian memberikan cover yang aman bagi burung-burung untuk tinggal di kawasan tersebut. Jenis burung pemangsa (top predator) seperti Elang-ular sulawesi (Spilornis rufipectus) yang dijumpai dikedua lokasi menunjukkan masih seimbangnya ekosistem daerah tersebut. Kehadiran burung top predator merupakan ciri yang menunjukkan hubungan rantai makanan pada semua tingkatan ekosistem masih seimbang. Thiollay (1994) mengatakan bahwa burung pemangsa, sebagaimana satwa pemangsa lainnya, dalam beberapa hal menjadi penting bagi strategi konservasi secara umum. Pertama, mereka memainkan peran sebagai “spesies payung” karena daerah jelajah mereka besar. Kedua, burung pemangsa merupakan “flag-ship species” (jenis simbol yang dimanfaatkan untuk pengelolaan konservasi) yang meningkatkan keingintahuan publik dan menyokong program konservasi yang lebih luas. Ketiga, burung pemangsa seringkali merupakan bio-indikator yang sensitif atas perubahan lingkungan atau kualitas habitat, jauh sebelum diketahuinya sensitivitas burung pemangsa terhadap kontaminasi rantai makanan yang kronis. Jika kestabilan ekosistem karst TNBabul terganggu, akan menurunkan bahkan menghilangkan populasi burung-burung pemangsa. Kurva penemuan jenis menunjukkan tingkat penemuan keseluruhaan jenis burung yang ada pada suatu kawasan. Grafik penemuan jenis cenderung meningkat dan belum mencapai kondisi stabil (gambar III.6). Hal ini menunjukkan masih ada kemungkinan untuk menemukan jenis-jenis lain dilokasi. Kelimpahan jenis burung dilokasi 1 lebih besar dibandingkan lokasi 2 (tabel III.1). Kelimpahan relatifnya berkisar antara 0,006 – 0,709. Kelimpahan jenis yang paling tinggi adalah Walet sapi. Semakin mendekati tebing karst, jumlah Walet sapi

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

yang ditemui semakin banyak. Lubang-lubang dan gua-gua kecil yang terdapat pada sisi karst merupakan habitat yang sangat mendukung keberadaan jenis ini. Jumlah jenis yang ditemui beragam, namun dengan populasi yang sedikit dihabitatnya. Jenis dominan dikedua lokasi adalah Walet sapi (Collocalia esculenta) (tabel III.2). Khusus di Leang Lonrong, Bondol taruk (Lonchura molucca) juga termasuk jenis yang dominan. Faktor lingkungan yang mendukung keberadaan jenis ini adalah banyaknya terdapat persawahan penduduk yang ditanami padi. Padi merupakan makanan yang sangat disukai burung Bondol taruk. Dengan sedikitnya jenis burung yang dominan, maka penyebaran burung dikedua lokasi pengamatan tersebar merata. Kekayaan jenis burung dapat diketahui dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis burung (H’) (tabel III.3). Kekayaan jenis yang ditemukan berkisar antara 1,002,45. Hal ini menunjukkan nilai keanekaragaman yang rendah menyebabkan keseimbangan dalam komunitas tersebut juga rendah. Namun, jika keseimbangan tinggi belum tentu menunjukkan tingginya keanekaragaman jenis yang tinggi dalam komunitas tersebut. Nilai yang tinggi justru ditemukan oleh HIMAKOVA (2004) di TN Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung (yaitu sebesar 2,4-3,4). Dan nilai yang lebih tinggi yaitu 3,76 di Taman Nasional Betung Kerihun, provinsi Kalimantan Barat (Kurnia et al. 2005). Nilai E (lihat tabel III.3) yang ditunjukkan semakin mendekati 1, menggambarkan komposisi jenis burung yang ada semakin merata, sedangkan yang mendekati nol semakin tidak merata (Mac Arthur 1972). Nilai E menunjukkan bahwa dikedua habitat hampir tidak ada jenis burung yang dominan. Nilai kekayaan jenis burung yang lebih rendah tersebut dapat disebabkan karena kondisi bentang alam yang didominasi batuan karst yang kurang mendukung kehidupan flora penghasil pakan burung. Keadaan ini menunjukkan kondisi komunitas tidak seimbang dibandingkan dengan kedua TN lainnya, TNBBS dan TNWK. Indeks kesamaan jenis yang paling besar adalah jalur 2 dan jalur 3 dengan nilai indeks kesamaan jenis 0,4 (lihat tabel III.4). Hal ini dapat disebabkan karena lokasi pengamatan yang berdekatan dan kondisi habitat yang hampir sama. Kedua lokasi tersebut sama-sama dilalui oleh anak sungai. Nilai indeks kesamaan jenis yang paling kecil adalah antara jalur 4 dan jalur 5. Ini berarti bahwa komunitas burung di kedua lokasi berbeda satu sama lain.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Tingkat endemisitas Sulawesi sangat tinggi. Jenis-jenis burung yang tergolong endemik Sulawesi yang ditemukan di lokasi studi jumlahnya relatif sedikit yaitu 13 jenis dan tidak dominan bila dibandingkan dengan penelitian Kurnia (2007) yang menemukan burung endemik Sulawesi sebanyak 16 jenis, sehingga jenis-jenis burung tersebut perlu mendapat perhatian serius. Burung-burung endemik tersebut adalah Kadalan sulawesi (Phaenicophaeus calyorhynchus), Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix), Srigunting sulawesi (Dricrurus montanus), Gagak sulawesi (Corvus typicus), Pelanduk sulawesi (Trichastoma celebense), Kacamata makassar (Zosterops anomalus), Blibong pendeta (Streptocitta albicollis), Cabai panggul-kuning (Dicaeum aureolimbatum), Anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis), Elang sayap-cokelat (Butastur liventer), Taktarau iblis (Eurostopodus diabolicus) dan Tuwur sulawesi (Eudynamies scolopacea). Pembagian atau distribusi burung sangat diatur oleh kesesuaian habitatnya. Setiap famili dan jenis harus beradaptasi dengan masing-masing tipe habitatnya yang sesuai untuk makan dan bertelur. Begitu juga dengan perilaku sosial dan kebiasaan mereka sangat bergantung dengan habitatnya (Strange dan Allen, 1996). Kawasan karst dimanfaatkan oleh jenis-jenis burung tertentu untuk berkembang biak, tempat tinggal, dan juga sebagai tempat makan seperti Walet sapi, Julang sulawesi, Kangkareng sulawesi, dan juga Kadalan sulawesi. Selain itu peranan burung dalam ekosistem tersebut sebagai penyebar biji, sehingga dikawasan karst yang berbukit bisa dilihat pepohonan yang tumbuh. Ada juga jenis burung di kawasan karst yang memiliki hubungan yang unik dengan Macaca maura yaitu jenis Kadalan sulawesi dimana burung ini ada pada habitat Macaca maura berada. Pada saat mencari makan, Kadalan sulawesi memanfaatkan aktivitas Macaca maura. Kadalan sulawesi hanya bisa memakan serangga pada saat serangga-serangga tersebut beterbangan, ini terkait dengan bentuk paruhnya yang besar, sehingga sulit untuk menangkap mangsa kecil seperti serangga dalam keadaan diam. Waktu sekumpulan Macaca maura mencari makan dari satu pohon ke pohon lainnya yang menyebabkan dahan dan ranting pohon bergerak, maka serangga yang ada di dahan dan ranting pohon akan beterbangan dan Kadalan sulawesi akan terbang sambil menangkapi serangga-serangga tersebut. Keunikan lainnya adalah, jenis burung ini cenderung ditemui berpasangan saat mencari makan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan 1. Terdapat 650 individu burung (69 spesies dan 27 familia) pada lokasi Panaikang dan Leang Lonrong. 2. Keanekaragaman jenis burung pada setiap lokasi pengamatan bervariasi. Namun secara umum, dari dua lokasi yang berbeda yaitu Panaikang dan Leang Lonrong, keanekaragaman jenis yang paling tinggi terdapat di Panaikang. Hal ini disebabkan karena beragamnya tipe habitat pada lokasi tersebut. Jika dilihat per tipe habitat, lokasi pengamatan jalur 5 di Leang Lonrong memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibanding jalur lainnya. 3. Jenis burung yang paling melimpah dan paling mendominansi adalah Wallet sapi (Collocalia esculenta). 4. Nilai indeks keanekaragaman jenis burung (H) terbesar terdapat di Leang Lonrong yaitu 2, 453. 5. Ekosistem karst sangat mempengaruhi kekayaan jenis burung dihabitatnya. Hanya spesies-spesies yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi yang akan bertahan hidup di wilayah ekstrim seperti karst. Hal ini dibuktikan oleh angka keanekaragaman jenis burung di TNBabul yang tergolong rendah jika dibandingkan dengan burung-burung di TNBK dan TNWK. IV.2 SARAN Habitat-habitat burung yang terdapat di TN BaBul (khususnya Panaikang dan Leang Lonrong) sangat rentan terhadap kerusakan. Perubahan fungsi hutan akibat aktivitas penduduk (seperti perkebunan) perlu mendapat perhatian khusus, terutama terhadap pengaruhnya kepada kehidupan satwa avifauna didalamnya. Upaya pelestarian jenis-jenis burung terutama yang berperan sebagai spesies kunci (key species) seperti Julang sulawesi (Rhyticeros cassidix). Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanut, terutama populasi berbagai jenis burung di TN Babul, sebagai tolak ukur jumlah dan status keberadaannya di alam. Hal ini juga sebagai langkah untuk mengetahui pola penyebarannya.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA Amran A. 2002. Kerapatan, Pola Sebara, Assosiasi dan Keragaman Beberapa Jenis Burung di Taman Wisata Alam Gua Pattunuang Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Majalah Ilmiah Flora dan Fauna vol: 13 Baral N. and Ramji Gautam. 2002. Status of White-rumped Vulture Gyps Bengalensi in Rampur Valley, Nepal. Oriental Bird Club. UK. Buletin 36, Desember 2002. van Balen B. 1984. Bird Counts and Bird Observation in the Neighbourhood of Bogor. Nature Conservation, Department Agriculture University Wageningan. Wageningen – The Netherlands. Bibby C, Martin J & Stuart M. 2000. Teknik-Teknik Lapangan Survei Burung. Birdlife Indonesia Programme. Bogor Coates, BJ and Bishop, K.D. 1997. A Guide of The Bird of Wallacea. Dove Publication. Ardelay. HIMAKOVA. 2004. Laporan Kegiatan Studi Konservasi Lingkungan: Eksplorasi Ilmiah Keanekaragaman Hayati Satwa Indikator Kesehatan Lingkungan Hutan dan Tumbuhan di Taman Nasianal Bukit Barisan Selatan, Lampung. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kurnia I, Fadly H, Kusdinar U, Gunawan WG, Idaman DW, Dewi RS, Yandhi D, Saragih GS, Ramadhan GF, Djuanda TD, Risnawati R dan Firdaus M. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung di Taman Nasional Betung Kerihun Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi Vol. X (2): 37-46 Kurnia, Insan.2007. Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan Konsesi PT. INCO Tbk. Sorowako Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi Selatan. Fakultas Kehutanan IPB. Mac Arthur R.H. 1972. Geographical Ecology : Patterns in Distribution of Species. Harper & Row Publisher. New York. MacKinnon J., Karen Philips, Basvan Balen. 1993. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. Maguran , A.E. 1988. Ecological Diversity and It’s Measurement. Croom Helm Limited. London. 35, 36, 39. Seng, L.K and Dana Gandner . 1997. An IllustrationFieldguide of The Singapore. Sun Tree. Singapore. 21 p. Strange, M. and Allen Jayatajasingan. 1996. A Photographic Guide to The Bird of Peninsular Malaysia and Singapore. Sun Tree Publishing Limited. Singapore. 4 & 29 pp. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sujatnika, Jepson P, Soehartono T.R, Crosby M.J., Mardiastuti A. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayat Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik. PHPA/Birdlife International-Indonesia Programme. Jakarta. Thiollay, J.M. 1994. A World Review of Tropical Forest Raptors Current Trends, Research Objective and Conservation Strategy. Pp. 231-240. On Meyburg, B.U. & D. Chencellor eds. 1994. Raptors Conservation Today WWGBP?The Pica Press. Whitten, A.J. Mustafa F. And G.S. Hendersen. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

LAMPIRAN Tabel III.6 Daftar kekayaan jenis burung di lokasi pengamatan. No 1 2 1 2 3 4 5 1 2 1 1 2 3 1 2 1 1 2 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 1 2 1

Suku/Nama Indonesia Ardeidae Blekok sawah Bangau sandang-lawe Accipitridae Elang paria Elang bondol Elang-ular Sulawesi Elang sayap-cokelat Elang hitam Phasianidae Ayam-hutan merah Gemak loreng Raliidae Kareo padi Columbidae Merpati-hitam Sulawesi Punai gading Walik kembang Cuculidae Tuwur Sulawesi Kadalan Sulawesi Tytoniidae Celepuk Sulawesi Caprimulgidae Taktarau iblis Cabak Sulawesi Apodidae Walet sarang-putih Walet sapi Walet sp. Tepekong jambul Alcedinidae Cekakak-hutan tunggirhijau Cekakak sungai Udang-merah api Udang-merah sulawesi Raja-udang meninting Meropidae Kirik-kirik laut Bucerotidae Kangkareng Sulawesi Julang Sulawesi Picidae Caladi Sulawesi

Nama Ilmiah Ardeola speciosa Ciconia episcopus Milvus migrans Haliastur indus Spilornis lufipectus Butastur liventer Ictinaetus malayensis Gallus gallus Turnix suscitator Amaurornis phoenicurus Turacoena manadensis Treron vernans Ptilinopus melanospila Eudynamys melanorhyncha Phaenicophaeus calyorhynchus Otus manadensis Eurostopodus diabolicus Caprimulgus celebensis Collocalia fuciphagus Collocalia esculenta Collocalia linchi Hemiprocne longipennis Actenoides monachus Halcyon chloris Ceyx erithacus Ceyx fallax Alcedo meninting Merops superciliosus Penelopides exarhatus Rhyticeros cassidix Dendocopus teminckii

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

2 1 2 3 4 1 2 3 1 1 2 1 1 2 3 1 1 1 2 1 1 2 3 1 2 1 1 2 3

Hirundinidae Layang-layang batu Campephagidae Kepudang-sungu besar Kepudang-sungu Sulawesi Kapasan Sulawesi Pycnonotidae Cucak kutilang Dicruridae Srigunting kelabu Srigunting Sulawesi Srigunting jambul-rambut Oriolidae Kepodang kuduk-hitam Corvidae Gagak hutan Gagak Sulawesi Timaliidae Pelanduk Sulawesi Turdidae Cingcoang coklat Decu belang Anis-bentet Sangihe Silviidae Remetuk laut Muscicapidae Kehicap ranting Artamidae Kekep babi Kekep Sulawesi Sturnidae Blibong pendeta Nectariniidae Burung-madu kelapa Burung-madu hitam Burung-madu sriganti Dicaidae Cabai panggul-kuning Cabai panggul-kelabu Zosteropidae Kacamata Makasar Ploceidae Bondol peking Bondol taruk Bondol rawa

Hirundo tahitica Coracina novaehollandiae Coracina morio Lalage leucopygialis Pynonotus aurigaster Dicrurus leucophaeus Dricrurus montanus Dricrurus hottentottus Oriolus chinensis Corvus enca Corvus typicus Trichastoma celebense Brachypteryx leucophrys Saxicola caprata Colluricincla sanghirensis Gerygone sulphurea Hypothymis azurea Artamus leucorhynchus Artamus monachus Streptocitta albicollis Anthreptes malaccensis Nectarinia aspasia Nectarinia jugularis Dicaeum aureolimbatum Dicaeum celebicum Zosterops anomalus Lonchura punctulata Lonchura molucca Lonchura malacca

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

III-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

1. PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Herpetofauna merupakan satwaliar yang penting bagi keseimbangan ekosistem yaitu merupakan salah satu komponen penting dalam rantai makanan dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan penutupan tajuk. Sifat herpetofauna yang sangat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan perubahan lingkungan menyebabkan beberapa jenis herpetofauna dapat dijadikan bio-indikator kesehatan lingkungan. Penyebaran jenis herpetofauna di seluruh dunia bervariasi yaitu meliputi wilayah dengan iklim tropis, subtropis dan dingin. Hampir 80% dari keseluruhan jenis herpetofauna berada pada wilayah tersebut. Hal ini berkaitan dengan adaptasi terhadap wilayah yang memiliki temperatur rendah sampai sedang (Cogger, 1999). Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki 1300 spesies herpetofauna (Iskandar, 2000), jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis herpetofauna di Australia yang berjumlah 960 spesies (Cogger, 1994) maka menunjukkan bahwa keanekaragaman

jenis

herpetofauna

di

Indonesia

tergolong

tinggi.

Jenis

herpetofauna dapat dijumpai di berbagai tipe habitat, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan perbukitan hingga hutan pegunungan (Mistar dalam Nasir, 2004). Jenis herpetofauna dapat ditemukan di habitat lain seperti kawasan karst. Salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki ekosistem karst yang terbesar adalah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul), Provinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan pulau lainnya karena merupakan peralihan antara wilayah Asia dan wilayah Australia. Daerah peralihan tersebut menyebabkan keunikan flora, fauna dan ekosistem di dalamnya. TN BaBul merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. TN BaBul memiliki beragam potensi flora dan fauna khas dan beberapa diantaranya bersifat endemik yang dapat menjadi daya tarik bagi kegiatan ekowisata karena merupakan bagian dari kawasan karst Maros-Pangkep. TN BaBul ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2004 dan membutuhkan data mengenai potensi yang dimiliki kawasan termasuk satwaliar dan ekosistemnya. Herpetofauna merupakan salah satu keanekaragaman satwaliar yang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

terdapat di kawasan TN BaBul yang belum dieksplorasi. Di Indonesia, eksplorasi mengenai keanekaragaman herpetofauna di ekosistem karst belum pernah dilakukan sehingga hasil eksplorasi yang dilakukan merupakan hasil eksplorasi pertama mengenai keanekaragaman herpetofauna pada ekosistem karst di Indonesia. Keterbatasan

data

mengenai

potensi

keanekaragaman

hayati

terutama

herpetofauna, merupakan hambatan dalam kegiatan pengeloaan herpetofauna di kawasan taman nasional ini. Ketersediaan data menjadi hal yang penting dalam perlindungan herpetofauna dan pengelolaan kawasan. I.2 Tujuan Tujuan eksplorasi ini adalah : 1.

Mengetahui

dan

mempelajari

keanekaragaman

dan

kelimpahan

herpetofauna di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan bagi pengembangan ekowisata. 2.

Mengetahui status konservasi herpetofauna di Taman Nasional BantimurungBulusaraung.

3.

Mengetahui Karst Dependent Herpetofauna Species.

II. METODE PENGAMATAN II. 1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada tanggal 13-18 Agustus 2007 di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama 8 hari (empat hari di TWA Bantimurung dan empat hari di TWA Pattunuang). II.2 Jenis dan Metode Pengambilan Data II.2.1

Jenis Data Jenis data yang diambil berupa data primer dan sekunder. Data primer yang

diambil meliputi data satwa herpetofauna dan data habitat. Parameter yang dicatat dalam pengambilan data satwa herpetofauna meliputi nama jenis, jumlah individu tiap jenis, aktifitas saat ditemukan, substrat saat ditemukan, waktu ditemukan, dan posisi vertikal dan horizontal serta jarak dari badan air. Data sekunder yang diambil adalah wawancara kepada masyarakat setempat mengenai keberadaan dan jenis

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

herpetofauna yang paling banyak ditemukan oleh masyarakat sebagai data penunjang. Dalam pengambilan data habitat, parameter yang dicatat meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, topografi, penutupan tajuk (cover), intensitas cahaya, substrat lantai hutan, vegetasi pohon, dan tumbuhan bawah dominan di setiap lokasi. II.2.2 Metode Pengambilan Data a. Survei Lapang Survei lapang dilakukan tanggal 10-12 Agustus 2007. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lapang lokasi yang akan dijadikan tempat pengamatan sehingga pengambilan data dapat dilakukan dengan lebih mudah. Survei lapangan dilakukan pada dua tempat yaitu Taman Wisata Alam Bantimurung dan Taman Wisata Alam Pattunuang. Kedua lokasi tersebut dipilih karena pada lokasi tersebut belum pernah dilakukan kegiatan eksplorasi herpetofauna sebelumnya. Selain itu, kedua lokasi tersebut merupakan daerah tujuan wisata dengan kedatangan pengunjung

yang

akan

memberikan

pengaruh

terhadap

keanekaragaman

herpetofauna di dalamnya sehingga perlu kajian lebih lanjut. Survei dilakukan dengan melihat kondisi fisik dan biologi kawasan secara umum untuk menentukan lokasi pengamatan yang sesuai. Penentuan lokasi pengamatan didasarkan pada kesesuaian ekologi herpetofauna dengan kawasan serta kemudahan akses untuk mencapainya. b. Pengamatan Kegiatan pengamatan dilakukan pada malam dan pagi hari. Pada pagi hari dilakukan pada pukul 09.00 – 11.00 WITA dan malam hari dilakukan pada pukul 19.30 – 22.00 WITA. Pengamatan malam dilakukan untuk mengambil data amfibi dan reptil nokturnal. Pengamatan pagi difokuskan untuk menemukan reptil yang sedang berjemur (basking) dan mencari makan. Pengamatan malam dilakukan terkait dengan aktivitas jenis herpetofauna yang merupakan jenis nokturnal. Pengamatan dilakukan pada tempat-tempat yang memiliki potensi keberadaannya seperti di bawah bebatuan pada jalur akuatik, lubang-lubang dalam tanah, diantara rantingranting pohon, diantara serasah, di bawah batang-batang pohon lapuk, dan kubangan-kubangan air.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Pengambilan data herpetofauna menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) pada habitat terestrial dan habitat akuatik (Heyer et al, 1994). Jalur yang digunakan selama pengamatan merupakan jalur pada kawasan hutan. Pengamatan pada habitat terestrial dilakukan dengan menggunakan metode time search yaitu pengamatan herpetofauna dengan menggunakan waktu penuh selama dua jam tanpa waktu pencatatan data satwa. Pengamatan di habitat akuatik Pattunuang menggunakan metode transek pada jalur sungai sepanjang 400 meter, sedangkan pada lokasi pengamatan Bantimurung dilakukan di jalur sungai atas sepanjang 300 meter dan jalur sungai bawah sepanjang 200 meter yang ditandai dengan flagging tape setiap 10 meter. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pencatatan posisi koordinat sungai (Y) pada saat menemukan herpetofauna. Pengamatan herpetofauna di Bantimurung dilakukan pada dua lokasi akuatik untuk melihat pengaruh adanya kegiatan wisata terhadap keanekaragaman jenis herpetofauna. Pembagian jalur di TWA Bantimurung berdasarkan kondisi fisik perairan dan pengaruh manusia. Semua spesies herpetofauna yang diperoleh kemudian diidentifikasi menggunakan buku “The Reptils of The Indo-Australian Archipelago” karangan Dr. Nelly De Rooij, “The Amphibia of The Indo-Australian Archipelago” karangan Dr. P. N. Van Kampen, dan “The Snake of Sulawesi” karangan Ruud de Lan dan Gernot Vogel. Beberapa individu yang tidak dapat langsung diidentifikasi di lapangan, maka dijadikan spesimen

dengan melakukan preservasi. Hal ini dilakukan untuk

identifikasi lanjut apabila jenis yang ditemukan tidak diketahui secara jelas oleh pengamat. Berikut ini adalah tahapan dalam membuat spesimen: 1. Menyuntikkan alkohol pada bagian belakang kepala amfibi dan reptil. 2. Mengeluarkan organ

dalam

amfibi dengan membedah

perutnya

dan

menjahitnya kembali, sedangkan untuk reptil tidak perlu mengeluarkan organ dalam. 3. Memasukkan kapas yang telah diberi alkohol pada mulutnya. 4. Memasangkan data spesimen pada kakinya, data yang diperlukan yaitu jenis satwa, tanggal pembuatan spesimen, nama yang membuat spesimen, dan lokasi penemuan satwa.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar IV.1 Pengukuran Jalur Akuatik di TWA Pattunuang II. 3 Alat dan Bahan Alat dan bahan selama pengamatan dikelompokkan berdasarkan kegiatan yang dilakukan, meliputi pengambilan data satwa herpetofauna dan data habitat, dokumentasi, identifikasi, serta preservasi atau pengawetan spesimen (Tabel IV.1). Tabel IV.1 Alat dan bahan yang digunakan selama pengamatan di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kegiatan

Alat dan Bahan

Kegunaan

Pengambilan

Senter dan Baterai

Penerangan

Data Satwa

Plastik transparan dan kantong kain

Tempat

penyimpanan

sementara spesimen

Pengambilan

Spidol permanen

Labeling pada plastik

Jam

Pengukur waktu

Higrometer, meteran.

Pengukur

Data Habitat Dokumentasi

Identifikasi

suhu

dan

kelembaban udara Tally sheet, buku catatan lapangan,

Pencatatan data lapangan

dan pensil

Pengambilan

Kamera

dan spesimen

Buku identifikasi jenis herpetofauna

Panduan

foto

identifikasi

habitat jenis

herpetofauna Preservasi

Benang, jarum, alat suntik, kapas, botol

Pembuatan spesimen

spesimen, kertas label dan pisau bedah

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II.4 Analisis Data II.4.1 Analisis Habitat Data habitat dianalisis secara deskriptif sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. II.4.2. Herpetofauna Keanekaragaman Jenis Jenis yang ditemukan ditentukan Indeks Keanekaragaman Jenis dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Brower & Zar, 1997): H’= -∑ Pi Ln Pi dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = Proporsi jenis ke-i dengan kriteria : H’ < 1

= Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah

1 < H’ < 3 = Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang H’ > 3

= Menunjukan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi

Kemerataan Jenis Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi digunakan Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks Kemerataan Jenis (Brower & Zar, 1997) adalah : E = H’/ Ln S dimana : E = Indeks Kemerataan Jenis H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kelimpahan Jenis Relatif Untuk mengetahui kelimpahan jenis relatif, digunakan persamaan Persentase Kelimpahan Relatif (Brower & Zar, 1997): Psi = n/N x 100 % dimana : Psi = Nilai persen kelimpahan jenis ke-i n

= Jumlah individu jenis ke-i

N

= Jumlah individu total

Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis Untuk mengetahui pola aktivitas dan penyebaran jenis herpetofauna dilakukan pencatatan data aktivitas yang dilakukan dan posisi (vertikal dan horizontal) pada setiap lokasi pengamatan. Data aktivitas dan posisi yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 Hasil III.1.1 Habitat Herpetofauna sangat menyukai tempat-tempat yang kondisi kelembabannya relatif tinggi dan dekat dengan badan air. Taman Wisata Alam Bantimurung dan Taman Wisata Alam Pattunuang merupakan tempat yang memiliki kelimpahan air dan kelembaban yang relatif tinggi sehingga dapat dipastikan kelimpahan jenis herpetofauna tinggi. Habitat amfibi relatif bervariasi seperti habitat sawah, rawa dan kolam (Fitri, 2002) disesuaikan dengan morfologi masing-masing jenis. Amfibi dapat dikelompokan berdasarkan pemisahan habitat yaitu jenis yang berkaitan dengan kehidupan manusia, di atas pepohonan, habitat terganggu, sepanjang sungai dan air yang mengalir, hutan primer, dan hutan sekunder (Iskandar, 1998). Sama seperti Amfibi, reptil sangat menyenangi habitat lembab dengan tajuk pohon yang rapat. Jenis-jenis reptil dapat hidup di laut, perairan tawar, gurun bahkan pegunungan. Penyebaran reptil sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah tersebut (Halliday dan Adler, 2000 dalam Endarwin, 2006).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Jalur pengamatan akuatik pada Taman Wisata Alam Bantimurung dibagi menjadi dua jalur yaitu akuatik atas sepanjang 300 m dan akuatik bawah sepanjang 200 m. Pada akuatik atas memiliki karakteristik kondisi air yang tenang, substrat dasar sungai berupa lumpur berpasir dan bagian sisi sungai berupa tebing. Bagian badan sungai memiliki karakteristik lumpur berpasir. Vegetasi yang dominan yaitu palem-paleman dan semak belukar dengan tajuk relatif rapat pada bagian tepi sungai dan terbuka pada badan sungai sehingga intensitas cahaya relatif tinggi. Lebar badan sungai mencapai 6–7 m dengan kedalaman rata-rata 1-2 meter (Gambar IV.2).

Gambar IV.2 Kondisi Habitat Jalur Akuatik Bantimurung Atas Akuatik bawah memiliki karakteristik kondisi air yang berarus, substrat dasar sungai batu-batu kecil, memiliki vegetasi dominan yaitu dengan tajuk terbuka sedang sehingga intensitas cahaya cukup tinggi. Lebar sungai mencapai 3-3,5 m dengan kedalaman rata-rata 0,5 m. Suhu pada lokasi pengamatan sekitar 24-25oC (Gambar IV.3).

Gambar IV.3 Kondisi Habitat Jalur Akuatik Bawah TWA BAntimurung

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Habitat akuatik pada Taman Wisata Alam Pattunuang (Gambar IV.4 ) memiliki karakteristik kondisi substrat dasar sungai batu sungai dan pasir, kondisi airnya jernih dan mengalir relatif deras, memiliki lebar badan sungai dan sungai yaitu 6-7 m dan 2-3 m. Vegetasi dengan tajuk terbuka menyebabkan intensitas cahaya relatif tinggi. Kelembaban dan suhu pada lokasi pengamatan mencapai 26oC.

Gambar IV.4 Kondisi Habitat Jalur Akuatik Pattunuang Habitat terestrial pada Taman Wisata Alam Bantimurung (Gambar IV.5) didominasi oleh jenis vegetasi palem yang kerapatan tajuknya sedang sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk cukup tinggi. Jenis tanah pada lokasi pengamatan adalah liat berpasir. Suhu pada lokasi pengamatan yaitu 24-26oC.

Gambar IV.5 Kondisi Jalur Terestrial Bantimurung Sedangkan habitat terestrial di Taman Wisata Pattunuang (Gambar IV.6) memiliki karakteristik antara lain suhu udara pada lokasi pengamatan mencapai 2324oC serta vegetasi dengan tajuk yang relatif terbuka dengan intensitas cahaya matahari tinggi.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar IV.6 Kondisi Habitat Jalur Terestrial Pattunuang Komposisi Jenis Di Taman Wisata Alam Bantimurung ditemukan 4 jenis amfibi dan 12 jenis reptil dan di Taman Wisata Alam Pattunuang ditemukan 4 jenis amfibi dan 14 jenis reptil. Secara keseluruhan jenis yang ditemukan di Taman Nasional BantimurungBulusaraung adalah 6 jenis amfibi dan 17 jenis reptil. Dari semua jenis herpetofauna yang ditemukan, terdapat dua jenis amfibi endemik Sulawesi yaitu Bufo celebensis dan Rana celebensis, dan untuk jenis reptil ditemukan Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), yang termasuk spesies dilindungi dengan status perlindungan sesuai dengan SK Menteri Pertanian nomor 66/Kpts/Um2/1973. Boiga irregularis yang merupakan endemik daerah wilayah timur yaitu meliputi Pulau Sulawesi, Ambon, Halmahera, Togian, Seram, Ternate dan Waigen sedangkan Cylindrophis melanotus dan Psamodynastes pulverulentus merupakan endemik Sulawesi.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Tabel IV.2 Daftar Jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di TWA Bantimurung dan TWA Pattunuang Kelas

Famili

Nama ilmiah

Common name

Nama lokal

Lokasi Pengamatan TWA Pattunuang

Keterangan

TWA BAntimurung

Amfibi

Bufonidae

Bufo melanostictus

Kodok

Asian toad

Sulawesi Toad

-

Striped tree frog

buduk Bufo celebensis

Kodok buduk sulawesi

Rhacophoridae

Polypedates

Katak

leucomystax

pohon bergaris

Microhylidae

Oreophryne sp.

-

-

-

Ranidae

Fejervarya limnocharis

Katak

Grass frog

-

Sulawesi Frog

-

Rough Mabuya

Kadal hutan

Forest skink

Kadal

Green tree skink

-

tegalan Rana celebensis

Katak Sulawesi

Reptil

Scincidae

Eutropis rudis

Kadal kasap

Sphenomorphus variegans Lamprolepis

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Gekkonidae

smaragdinum

pohon hijau

Cyrtodactylus

Tokek-

Sulawesi

jellesmae

Tanah

gecko

ground √

Soil lizard, Fin tailed √

sulawesi Agamidae

Hydrosaurus

Soa soa

amboinensis

lizard

Draco walkeri. Varanidae

Varanus salvator

Wilayah

bagian timur √

Oriental Whipsnake

Gunther’s keelback

-

Mangrove Snake

Brown tree snake

-

Biawak air Asian water monitor

Endemik

asia Colubridae

Ahaetula prasina

Ular pucuk, Ular gadung

Rhapdophis chrysargoides Boiga dendrophylla

Cincin Emas

Boiga irregularis

Endemik

wilayah

bagian timur Dendrelaphis pictus

Lidah api

Painted bronzeback

-

Psamodynastes

Mok Viper

Common mock viper

-

pulverulentus

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Enhydris plumbea

Ular air

water √

-

pitviper, √

Plumbeous snake

Viperidae Typhlopidae

Tropidolaemus wagleri Ramphotyphlops

Ular

punai Temple

Irian

Wagler’s pitviper

Ular kawat

Brahminy

braminus

Snake,

Blind -

Common

blind

snake,

flowerpot

snake,

bootlace snake Cylindrophiidae Cylindrophis melanotus Ular kepala Black Pipe snake

-

Endemik Sulawesi

dua

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-13


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.1.3 Nilai Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Herpetofauna Total individu yang ditemukan sebanyak 141 diantaranya 59 individu di TWA Patunuang dan 82 individu di TWA Bantimurung. Nilai keanekaragaman herpetofauna yang diperoleh di TWA Pattunuang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai keanekaragaman herpetofauna di TWA Bantimurung (2,508) yaitu sebesar 2,396 dengan nilai keanekaragaman sebesar 2,061 untuk reptil dan 1,19 untuk amfibi. Kemerataan jenis herpetofauna di TWA Bantimurung adalah 0.736, sedangkan nilai kemerataan di TWA PAttunuang adalah 0.858. Nilai kemerataan untuk amfibi dan reptil di TWA Pattunuang lebih besar daripada nilai kemerataan amfibi dan reptil di TWA Bantimurung (nilai kemerataan amfibi sebesar 0.858 dan reptil 0.822), walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyebaran jenis-jenis herpetofauna merata tanpa terdapat jenis yang dominan. (Gambar IV.7). 3 2.396

2.5 2.061

2.058

2 1.69

H'

1.5 1.19 1

E 0.858

0.822

0.800

0.899 0.648

0.676

0.726

0.5

0 Amfibi

Reptil

Herpetofauna

Amfibi

Pattunuang

Reptil

Herpetofauna

Bantimurung

Gambar IV.7 Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Herpetofauna 3.1.4 Nilai Indeks Kelimpahan Berdasarkan hasil pengolahan data, terlihat bahwa di TWA Bantimurung jenis amfibi yang paling banyak ditemukan adalah Bufo melanostictus dengan nilai indeks kelimpahan sebesar 23% dan jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Oreophryne sp. dan Fejervarya limnocharis, masing-masing sebesar 1,2 %. Bufo melanostictus paling banyak ditemukan di habitat terestrial yang banyak dikunjungi wisatawan pada siang harinya, hal tersebut didukung oleh adaptasi yang tinggi terhadap keberadaan manusia. Sedangkan jenis reptil yang nilai indeks

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

kelimpahannya tertinggi adalah jenis Sphenomorphus variegans yaitu sebesar 36% dan jenis dengan kelimpahan terendah antara lain jenis Cyrtodactylus jellesmae, Tropidolaemus wagleri, Hydrosaurus amboinensis, Boiga dendrophylla, dan Rhapdophis chrysargoides yaitu sebesar 1,2% (Gambar IV.8). Dendrelapis pictus Boiga 2% dendrophylla 1%

Rhapdophis chrysargoides 1%

Ramphotyphlops braminus 2% Tropidolaemus wagleri 1%

Bufo melanoctistus 23%

Ahaetula prasina 5% Varanus salvator 2%

Oreophryne sp 1%

Hydrosaurus amboinensis 1%

Polypedates leucomystax 13%

Draco walkeri 4% Cyrtodactylus jellesmae 5%

Sphenomorphus variegans 36%

Eutropis rudis 2%

Fejevarya limnocharis 1%

Gambar IV.8 Kelimpahan Jenis Herpetofauna di TWA Bantimurung Penelitian di TWA Pattunuang diperoleh data jenis amfibi yang paling banyak kelimpahannya yaitu Bufo celebensis dengan indeks kelimpahan 17%, sedangkan nilai indeks kelimpahan terendah yaitu Bufo melanostictus dengan nilai 1,7%. Reptil dengan indeks kelimpahan tertinggi adalah Cyrtodactylus jellesmae yaitu 27% dan indeks kelimpahan terendah yaitu Sphenomorphus variegans, Lamprolepis smaragdinum, Ahaetula prasina, Boiga irregularis, Psamodynastes pulverulentus, Tropidolaemus wagleri, Cylindrophis melanotus, Varanus salvator, dan Draco walkeri dengan nilai 1.7% (Gambar IV.9). Kelimpahan Herpetofauna sangat dipengaruhi oleh faktor instrinsik yaitu amplitudo dan frekuensi jumlah katak dalam satu populasi dan faktor ekstinsik yaitu variasi curah hujan (Voris & Inger, 1995).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Cylindrophis melanotus 2%

Varanus salvator 2%

Tropidolaemus wagleri 2%

Bufo melanoctistus 2%

Psamodynastes pulverulentus 2%

Polypedates leucomystax 8%

Enhydris plumbea 3%

Rana celebensis 10%

Boiga dendrophylla 3% Boiga irregularis 2%

Bufo celebensis 17%

Ahaetula prasina 2%

Hydrosaurus amboinensis 7% Draco walkeri 3%

Eutropis rudis 5% Sphenomorphus variegans 2%

Cyrtodactylus jellesmae 27% Lamprolepis smaragdinum 2%

Gambar IV.9 Kelimpahan Jenis Herpetofauna di TWA Pattunuang Kelimpahan jenis Herpetofauna di TWA Pattunuang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelimpahan di Bantimurung, hal ini dapat dilihat dengan jumlah individu yang diperoleh. Jumlah individu yang ditemukan di Pattunuang sebesar 59 individu, sedangkan di Bantimurung sebanyak 82 individu. Sesuai dengan teori ekologi yang menyebutkan bahwa jika nilai keanekaragaman jenis tinggi pada suatu daerah maka kelimpahan jenisnya rendah, hal tersebut sesuai dengan kondisi Bantimurung yang memiliki nilai keanekaragaman lebih rendah dengan nilai kelimpahan lebih tinggi daripada Pattunuang. Kelimpahan jenis yang tinggi menunjukkan kemampuan jenis tersebut dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang tertekan (Kusrini, 2007). 3.1.5 Pola Aktifitas Aktivitas merupakan hasil interaksi makhluk hidup dengan faktor-faktor yang terdapat di lingkungan tinggalnya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor fisik dan faktor biologis. Faktor fisik antara lain suhu udara, kelembaban, dan intensitas cahaya matahari. Faktor biotik diantaranya pengaruh predator, dan daya dukung lingkungan seperti persediaan makanan. Secara umum aktivitas yang dijumpai pada

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

saat pengamatan untuk amfibi adalah diam dan bersuara, sedangkan reptil kebanyakan diam dan berjemur. Dari empat jenis amfibi yang dijumpai: Rana celebensis, Bufo celebensis, Polypedates leucomystax, dan Bufo melanostictus aktivitas dominan yang dilakukan adalah diam (Gambar IV.10). Hal ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis tersebut adalah jenis yang tidak terlalu peka terhadap gerakan atau suara yang ditimbulkan pengamat ketika melakukan pengamatan. Aktivitas amplexus dijumpai pada jenis Rana celebensis di Pattunuang. Menurut Goin et al (1978) dalam Yazid (2006), reproduksi pada amfibi sangat dekat hubungannya dengan curah hujan dan temperatur. Umumnya reproduksi amfibi terjadi pada musim hujan yaitu berkisar pada bulan November hingga April, namun tidak menutup kemungkinan terjadi amplexus di luar musim kawin seperti yang terjadi pada Rana celebensis tersebut. Selain itu, jenis ini juga banyak dijumpai dalam aktivitas bersuara. Aktivitas bersuara ini berkaitan dengan aktivitas reproduksi pada amfibi, yaitu amfibi berjenis kelamin jantan akan bersuara untuk menarik lawan jenisnya.

Gambar IV.10 Aktivitas diam Polypedates leucomystax Dari 17 jenis reptil yang dijumpai mencakup kadal, cicak, dan ular aktivitas dominan yang dilakukan adalah diam. Aktivitas diam pada jenis kadal berkaitan dengan kebutuhannya akan sinar matahari (basking) dan hanya dijumpai pada pengamatan pagi hari (Gambar IV.11). Aktivitas berenang dijumpai pada ular jenis Enhydris plumbea karena habitat dari jenis ini adalah perairan. Sedangkan aktivitas lainnya adalah diam.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar IV.11 Aktivitas Hydrosaurus amboinensis pada pagi hari (Basking) 3.1.6 Sebaran Ekologis Sebaran ekologis berkaitan dengan posisi setiap jenis herpetofauna yang ditemukan pada saat pengamatan. Posisi tersebut terdiri atas posisi horizontal dan vertikal. Posisi horizontal menggambarkan posisi setiap jenis terhadap badan perairan sedangkan posisi vertikal menggambarkan posisi jenis dari atas permukaan tanah (Heyer et al, 1994). Kisaran posisi setiap jenis herpetofauna yang ditemukan pada saat pengamatan disajikan pada Tabel IV.3. Tabel IV.3 Posisi herpetofauna pada jalur terestrial saat ditemukan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan Posisi NO

Nama Jenis

Terestrial V

1

Bufo melanostictus

2

Polypedates leucomystax

3

0,2-0,6

Akuatik H

0,3-3

X (m)

Y (m) 180

0

Tanah

1-7

5-280

1

Daun, batang

0-7

47-450

0,1-

0-5 Rana celebensis

5

Oreophryne sp.

6

Fejervarya limnocharis

7

Eutropis rudis

0-0,3

Z (m)

0

Bufo celebensis

4

Substrat

1,5-450

0,5

Batu

0,1-

Batu,pohon,

0,5

dahan

Tanah,

2-9

air,kayu

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Posisi NO

Nama Jenis

Terestrial V

Substrat

Akuatik H

X (m)

Y (m)

H

Z (m)

8

Sphenomorphus variegans

0

2

Batu

9

Varanus salvator

0

0

Tanah,air 0-5

10

Cyrtodactylus jellesmae Hydrosaurus amboinensis

Batu, pohon 0,1-2

0-7 11

10-420

0,5-1

80-360

0-3

Batu, dahan, 0-5

1 12

Ahaetulla prasina

13

Boiga dendrophylla

2-5

,batang pohon Dahan, batu,

1-2

besi 0

15

1

Air Dahan dan

14

Tropidolaemus wagleri

5

2

pohon

15

Dendrelaphis pictus

2

1

Pohon, dahan

16

Boiga irregularis

Pohon 0-7

40-171

0-2

Air, celah

17

Enhydris plumbea

batu

18

Lamprolepis smaragdinum

Pohon , jati

Psamodynastes 19

pulverulentus

20

Cylindrophis melanotus Batu, dahan ,

21

Rhapdophis chrysargoides

22

Ramphotyphlops braminus

pohon

Keterangan : V : posisi vertikal, H: posisi horizontal, X: lebar sungai, Y: panjang sungai, Z: ketinggian dari badan air. Catatan : Beberapa jenis tidak diukur posisi vertikal dan horizontal dikarenakan sulit tertangkap.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2 Pembahasan III.2.1 Komposisi Jenis Komposisi jenis amfibi di TWA Bantimurung dan TWA Pattunuang tidak terlalu jauh berbeda, hanya berbeda tiga jenis yaitu Rana celebensis yang hanya ditemukan di Pattunuang serta Oreophryne sp dan Fejevarya limnocharis yang hanya di temukan di Bantimurung. Untuk komposisi jenis reptil yang ditemukan cukup berbeda. Pada lokasi pengamatan di

Pattunuang terdapat 5 jenis yang tidak ditemukan di

Bantimurung yaitu Boiga irregularis, Enhydris plumbea, Lamprolepis smaragdinum, Psamodynastes pulverulentus dan Cylindrophis melanotus. Sedangkan di Bantimurung terdapat 3 jenis reptil yang tidak ditemukan di Pattunuang yaitu Rhapdophis chrysargoides, Ramphotyphlops braminus dan Dendrelaphis pictus. Penelitian mengenai herpetofauna di Sulawesi telah banyak dilakukan namun penelitian di Sulawesi Selatan khususnya di TN BaBul belum banyak dilakukan. Jenis herpetofauna yang ditemukan di TN Babul, Provinsi Sulawesi Selatan juga ditemukan di Taman Nasional Lore Lindu (TNLR), Sulawesi Tengah yang menemukan 21 jenis ular endemik dari total 68 jenis (Ramdanil, 2002). Satu jenis ular endemik yang juga ditemukan adalah Psamodynastes pulverulentus. Penelitian lainnya dilakukan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara telah ditemukan 11 spesies katak dari 4 famili yaitu famili Ranidae, Bufonidae, Microhylidae, dan Rhacophoridae, 17 spesies ular dari 5 famili yaitu famili Colubridae, Crotalidae, Cylindrophidae, Phytonidae, dan Typhlopidae dan 12 jenis kadal dari 4 famili yaitu famili Agamidae, Gekkonidae, Scincidae, dan Varanidae (Gillespie dkk, 2003). Pada Tabel IV.2 menunjukkan bahwa semua famili herpetofauna yang ditemukan di TN BaBul ditemukan pula di Pulau Buton. Bahkan ada satu jenis lain yang ditemukan di TN Babul yang tidak ditemukan di Pulau Buton, yaitu species Tropidolaemus wagleri dari famili Viperidae. Lang & Gernot (2005) mencatat jenis ular yang terdapat di Sulawesi yaitu sebanyak 54 jenis ular dari 12 famili. III.2.2 Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Nilai keanekaragaman di TWA Pattunuang lebih tinggi dibandingkan dengan Bantimurung yang disebabkan kondisi habitat. TWA Bantimurung merupakan suatu kawasan taman wisata alam yang banyak dikunjungi orang sehingga memungkinkan rusaknya sebagian habitat alami kawasan tersebut seperti banyaknya sampah yang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

menumpuk dan kondisi fisik perairan yang kurang baik. Karakteristik kondisi air sungai di Bantimurung berbeda pada bagian atas dan bawah sehingga pada pengamatan jenis herpetofauna dilakukan pada dua jalur akuatik yaitu jalur akuatik atas dan jalur akuatik bawah. Jalur akuatik atas memiliki sumber air yang berasal dari mulut gua dengan aliran air sungainya yang deras dan sangat jernih, sedangkan jalur akuatik bawah memiliki air yang kotor akibat digunakan sebagai pemandian pada air terjun oleh pengunjung dan sampah yang ditinggalkan pengunjung. Dari pengamatan yang dilakukan hanya didapat 4 spesies amfibi yang ditemukan yaitu Polypedates leucomystax, Oreophryne sp, Bufo melanostistus dan Fejervarya limnocharis yang tiga diantaranya merupakan jenis yang dapat beradaptasi dengan kegiatan manusia (Iskandar, 1998). Tiga jenis tersebut adalah Polypedates leucomystax, Fejervarya limnocharis dan Bufo melanostistus, sedangkan jenis Oreophryne sp hanya ditemukan pada jalur akuatik atas TWA Bantimurung. Berbeda dengan kondisi habitat di Bantimurung, kondisi habitat di Pattunuang masih alami karena belum banyak campur tangan manusia sehingga menyediakan habitat bagi jenis-jenis alami. Selain itu didukung juga dengan aliran air sungainya tidak terlalu deras dan dangkal sehingga ditemukan jenis herpetofauna yang lebih beragam. Nilai keanekaragaman herpetofauna di Pattunuang tidak jauh berbeda dengan nilai keanekaragaman di Taman Nasional Way Kambas (TN WK) dengan nilai keanekaragaman di TN WK sebesar 2,21 untuk amfibi dan 2,32 untuk reptil (Himakova, 2006). Hasil penelitian amfibi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TN BBS) yang dilakukan oleh Ul-Hasanah (2006) dengan nilai keanekaragaman berkisar dari 0,87 sampai 2,26 di habitat tidak terganggu dan 1,04 sampai 2,38 pada habitat terganggu dan Endarwin (2006) yang melakukan penelitian tentang reptil dengan nilai berkisar 1,12 sampai 2,15. Nilai keanekaragaman di beberapa tempat tersebut tergolong dalam tingkat keanekaragaman sedang yaitu nilai keanekaragaman antara 1 dan 3. Sedangkan penelitian yang dilakukan Ul-Hasanah (2006) pada habitat terganggu termasuk dalam tingkat keanekaragaman rendah karena nilainya < 1 untuk jenis amfibi. Nilai keanekaragaman jenis herpetofauna di TN BBS memiliki nilai yang hampir mendekati dengan TN BaBul yaitu 1,91 untuk TN BaBul, hal tersebut dikarenakan kondisi cuaca yang panas pada bulan Agustus di TN

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

BaBul yang menyebabkan kondisi habitat kering khususnya pada jalur terestrial. Sedangkan untuk jenis reptil nilai keanekaragaman di TN WK dan TN BaBul memiliki nilai yang berdekatan yaitu 2,38 dan 2,061 dan nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan TN BBS, hal tersebut dikarenakan iklim mikro yang dimiliki TN WK dan TN BaBul relatif lebih tinggi dibandingkan dengan TN BBS, hal tersebut dikarenakan TN WK dan TN Babul memiliki habitat yang lebih bervariasi dibandingkan dengan TN BBS. Nilai kemerataan menunjukkan sebaran individu antar jenis tersebar merata atau tidak di lokasi pengamatan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa semua jenis herpetofauna tidak menunjukkan dominansi terhadap jenis lainnya karena faktor yang mempengaruhi keberadaannya di alam terhadap semua jenis sama yaitu suhu, kelembaban, dan keberadaan air. Apabila lokasi pengamatan yang dipilih merupakan lokasi yang sesuai dengan tipe habitat jenis herpetofauna, maka nilai kemerataan jenis pada lokasi tersebut cenderung seragam yang ditandai dengan nilai kemerataan yang mendekati 1. III.2.3 Sebaran Ekologis Sebaran ekologis suatu jenis satwa berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya suatu habitat yang sesuai dengan kebutuhan satwa tersebut. Untuk jenis amfibi, banyak ditemukan di tepi-tepi perairan (sungai), seperti jenis Rana celebensis dan Bufo Celebensis. Sementara jenis Polypedates leucomystax banyak dijumpai di atas daun dan di batuan tepi sungai. Katak jenis ini jarang dijumpai di perairan karena memang merupakan jenis katak pohon yang banyak menghabiskan waktu hidupnya di pohon. Jenis katak ini dapat beradaptasi dengan aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Selain itu, amfibi yang ditemukan tidak pada badan perairan adalah jenis Bufo melanostictus. Hal ini berkaitan dengan ekologi jenis ini yang mampu berasosiasi dengan pemukiman penduduk dan mampu beradaptasi dengan aktivitas manusia yang tinggi. Sebaran ekologis untuk reptil lebih beragam. Enhydris plumbea dijumpai di perairan yang merupakan habitat alaminya. Jenis ular lainnya yang banyak dijumpai di pohon merupakan satwa arboreal, seperti Ahaetula prasina, Tropidolaemus wagleri, Dendrelapis pictus, dan Boiga irregularis. Selain di habitat arboreal dan akuatik dijumpai pula jenis ular pada habitat terestrial seperti

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Rhapdophis chrysargoides, Ramphotyphlops braminus, Psamodynastes pulverulentus, dan Cylindrophis melanotus. Tidak seperti ular, kadal-kadalan banyak dijumpai beraktivitas pada siang hari (diurnal), dan dijumpai beristirahat di dahan pohon pada malam hari. Kadal-kadalan banyak ditemukan di serasah (tanah) dan di batu (pada saat berjemur) karena memanfaatkan sinar matahari dan substrat untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh. Substrat reptil dan amfibi tidak terlalu jauh berbeda yaitu berada di atas daun, batang, dan pohon kecuali untuk beberapa jenis ular yang berada di air dan darat. III.2.4 Status Konservasi bagi Jenis Herpetofauna Jenis herpetofauna yang ditemukan di TN Babul terdiri dari 6 jenis amfibi dan 17 jenis reptil yang tidak termasuk dalam daftar list IUCN ataupun CITES yang berkaitan dengan ijin perdagangan legal karena jumlahnya yang melimpah di alam dan memiliki tingkat reproduksi yang tergolong sedang sampai tinggi. Status perlindungan yang dimiliki soa soa (Hydrosaurus amboinensis) dengan SK Menteri Pertanian pada tahun 1973 dan masuk dalam daftar apendiks II CITES. Untuk jenis amfibi, belum ada spesies yang termasuk dalam daftar IUCN, sedangkan untuk reptil ada beberapa jenis yang masuk daftar IUCN yaitu jenis ular python (Python reticulatus) yang biasa ditemukan oleh warga sekitar. III.2.5 Pengaruh Kawasan Karst Terhadap Keanekaragaman Jenis Herpetofauna Ekosistem karst merupakan ekosistem yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena substratnya yang mengandung kalsium

tinggi menyebabkan hanya spesies tertentu yang dapat hidup pada

ekosistem ini. Seharusnya keberadaan fauna khususnya herpetofauna yang hidup pada ekosistem ini memiliki keunikan dibandingkan jenis herpetofauna yang ditemukan pada ekosistem lain. Namun hasil yang didapat tidak seperti hipotesis yang diduga sebelumnya. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan di kawasan karst TN BaBul telah ditemukan 23 jenis herpetofauna yang bukan merupakan karst dependent species. Hal ini dikarenakan spesies tersebut dapat ditemukan di tipe ekosistem lainnya seperti Bufo melanostictus, Fejevarya limnocharis, Ahaetulla prasina, dan Dendrelapis pictus. Jenis-jenis herpetofauna tersebut tidak hanya ditemui pada ekosistem karst, namun

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

dapat ditemui Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan dengan tipe habitat persawahan, perkebunan, hutan campuran, lapangan bahkan areal pemukiman. Penelitian lain mengenai herpetofauna di kawasan karst pernah dilakukan di Buffalo National River, dataran tinggi Ozark, Arkansas Tengah bagian utara. Wiggs dan Diana (2003) mengatakan bahwa kawasan karst memiliki pengaruh terhadap amfibi, karena di dalam gua-gua yang terbentuk pada kawasan karst terdapat aliran air bawah tanah, dengan kondisi yang lembab dapat menunjang kehidupan amfibi, terutama salamander. Pada habitat yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan ditemukan tujuh jenis amfibi yaitu pada ekosistem lainnya yaitu kolam, air terjun, dan seep. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan jenis herpetofauna bukan pada ekosistem karst secara khusus namun pada aliran air bawah tanah yang biasanya terdapat pada ekosistem karst. IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan 1. Eksplorasi yang dilakukan menemukan 6 jenis amfibi dan 17 jenis reptil dengan jumlah individu 141. Taman Wisata Alam Pattunuang memiliki keanekaragaman herpetofauna yang lebih tinggi (4 jenis amfibi dan 14 jenis reptil) dan kelimpahan yang lebih rendah (59 individu) daripada Taman Wisata Alam Bantimurung dengan ditemukannya jenis herpetofauna lebih banyak yaitu 4 jenis amfibi dan 12 jenis reptil sebanyak 82 individu. 2. Jenis amfibi endemik Sulawesi yang ditemukan di TN BaBul yaitu Rana celebensis dan Bufo celebensis serta ditemukan juga jenis reptil endemik wilayah Indonesia Bagian Timur yaitu Hydrosaurus amboinensis (soa soa) yang merupakan salah satu reptil yang dilindungi dan masuk dalam daftar apendiks II CITES. Jenis reptil lainnya adalah Boiga irregulari, Psamodynastes pulverulentus, dan Cylindrophis melanotus (endemik Sulawesi). 3. Jenis herpetofauna yang ditemukan di TN BaBul merupakan jenis yang biasa ditemukan pada ekosistem lainnya seperti diantaranya Bufo melanostictus, Fejevarya limnocharis, dan Ahaetulla prasina yang ditemukan pada ekosistem sawah dan perkebunan sehingga tidak ada satupun jenis herpetofauna yang merupakan Karst Dependent Species.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IV.2 Saran Pengelolaan habitat merupakan salah satu pengelolaan populasi bagi jenis herpetofauna. Penggunaan air sungai pada kedua tempat tersebut sangat mempengaruhi keberadaan jenis herpetofauna seperti penggunaan air sungai untuk mencuci dan mandi yang menyebabkan pencemaran terhadap air sungai khususnya bagi jenis herpetofauna yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan memberitahukan kepada pengunjung taman wisata alam agar tidak melakukan sesuatu yang merusak dan mencemari lingkungan. Kegiatan wisata yang ditawarkan yaitu membuat Safari Mini dengan menampilkan beberapa spesimen hidup herpetofauna yang dimodifikasi sesuai dengan habitatnya masingmasing pada lokasi yang telah ditentukan dan tidak mengganggu flora dan fauna beserta ekosistem lainnya. DAFTAR PUSTAKA Cogger, H. G. 1999. The Little Field Guide : Reptils and Amphibians. The Library of Congress. Fog City Press. San Fransisco. Washington DC. Cogger,H. G. 1994. Reptil and Amphibian of Australia. Reed Books : a DiIVsion of Reed International Book. Cornell University Press. New York. Endarwin, W. 2006. Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi Cyrtodactylus ef fumosus Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, Bengkulu. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Tidak Dipublikasikan. Fitri, A. 2002. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Tidak Dipublikasikan. Gillespie, G.R. Howard, S. Lockie, D. & Scroggie, M. 2003. A survey of the Herpetofauna of offshore islands of south-east Sulawesi, Indonesia and examination of patterns of species assemblages and habitat modification. Journal of Herpetology. Heyer WR, Donnelly MA, Mc Diarmid, Hayek LC, dan Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington. Himakova. 2006. Studi Keanekaragaman Hayati Flora dan Fauna di Taman Nasional Way kambas. Laporan Kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI). Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor : Bogor.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-25


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali-Seri Panduan lapangan. Puslitbang LIPI. Bogor. Iskandar DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Palmedia Citra. Bandung. Kusrini, M. D. 2007. Mata Kuliah : Pencemaran Lingkungan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. IPB : Bogor. Lang, R & Vogel, G. 2005. The Snake of Sulawesi : A Field Guide to The Land Snakes of Sulawesi Identification Keys. Chimaira Buchhandelsgesellschaft mbH. Serpents Tale : Natural History Book Distribution. Germany. Ramadhanil. 2002. Keanekaragaman hayati Sulawesi: Potensi, Usaha Konservasi dan Permasalahan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. IPB : Bogor. Ul-Hasanah. 2006. Keanekaragaman Jenis Amfibi Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, Bengkulu. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Tidak Dipublikasikan. Voris, H. K & R. F Inger. 1995. Frog Abundance Along Streams in Bornean Forest Conservation Biology 9 (3) : 679-683. Wiggs, R. L & Diana, R. A. 2003. Herpetofaunal Inventory of Buffalo National River. Available URL : http//www.cnah.org (Down Loaded at November 2007, 12) Yazid, M. 2006. Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & Van Hasselt, 1822) Di Kampus IPB Darmaga. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Tidak Dipublikasikan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wide Fund for Nature – USA (WWF - USA)

IV-26


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kupu-kupu merupakan salah satu dari beberapa golongan serangga yang secara taksonomi digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera yang memiliki kombinasi corak warna yang variatif sehingga banyak diminati oleh masyarakat. Kupu-kupu merupakan bagian dari kehidupan di alam, yaitu sebagai salah satu satwa penyerbuk pada proses pembuahan bunga. Hal ini secara ekologis turut memberi andil

dalam

mempertahankan

keseimbangan

ekosistem

dan

memperkaya

keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, perubahan keanekaragaman dan kepadatan populasinya bisa dijadikan sebagai salah satu indikator kualitas lingkungan. Kupu-kupu juga merupakan salah satu serangga bernilai ekonomis yang dimanfaatkan sebagai cendramata dan aksesori lainnya. Bentuknya yang indah dan warnanya yang menarik membuat keberadaan kupu-kupu makin dibutuhkan sebagai komoditi ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Kondisi ini berakibat pada peningkatan perburuan untuk koleksi maupun perdagangan sehingga apabila tidak ada upaya dan pengelolaan populasi, dapat mengancam kelestariannya di alam. Keragaman jenis kupu-kupu di Indonesia menempati urutan kedua setelah Brazil, dan diperkirakan 1200 jenis kupu-kupu di dunia ditemukan di Indonesia (Cortbert dan Pendleburry, 1956 dalam Jurnal PHKA, 2005). Salah satu kawasan yang merupakan habitat kupu-kupu di Indonesia adalah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul). Kawasan ini termasuk ke dalam Bioregion Wallacea yang secara geologis menjadi habitat bagi fauna campuran Oriental dan Australia, sehingga kawasan ini pernah dijuluki sebagai The Kingdom of Butterfly. Keanekaragaman kupu-kupu di kawasan ini turut didukung oleh keragaman ekosistem yang terdapat di dalam kawasaan hutan, sungai, tanah terbuka, dan keanekaragaman tumbuhan inang. Namun populasi kupu-kupu yang sejak dahulu meramaikan mozaik keindahan alam di kawasan tersebut kini telah berkurang seiring menurunnya daya dukung lingkungan. Selain itu, kawasan tersebut belum memiliki catatan secara lengkap dan tertata tentang keanekaragaman jenis kupu-kupu. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, perlu dilakukan studi ilmiah mengenai potensi keanekaragaman jenis kupukupu di TN BaBul. Eksplorasi ini merupakan langkah awal untuk memperoleh data Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

tentang keanekaragaman jenis kupu-kupu secara lengkap dan tertata berdasarkan tipe habitat yang ada.

Selain itu data yang telah diperoleh dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kawasan TN BaBul khususnya program pengembangan ekowisata nantinya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. I.2 Tujuan Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui potensi keanekaragaman jenis kupu-kupu di TN BaBul untuk menghasilkan data dan informasi terbaru mengenai keanekaragaman jenis, penyebaran, kelimpahan kupu-kupu, dan kondisi habitat di TN BaBul. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk mengetahui keanekaragaman kupukupu di ekosistem karst. II. METODE PENGAMATAN II.1 Waktu dan Tempat Kegiatan inventarisasi kupu-kupu dilakukan selama 8 hari dari tanggal 14-21 Agustus 2007 pada jam aktif kupu-kupu yaitu pukul 09.00 WITA sampai dengan 12.00 WITA. Lokasi inventarisasi dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul) meliputi tiga tempat yaitu kawasan Panaikang, kawasan Bantimurung, dan kawasan Pattunuang. Penentuan lokasi tersebut dipilih berdasarkan pada dua tipe habitat yang mendominasi di kawasan taman nasional ini yaitu pinggiran sungai (ekoton) dan hutan perbukitan. Penelitian yang dilakukan pada kawasan Panaikang mewakili habitat hutan alam primer / tertutup (gambar V.1) dan habitat pinggiran sungai / riparian (gambar V.2), sedangkan penelitian yang dilakukan pada kawasan Pattunuang mewakili habitat hutan alam sekunder / terbuka (gambar V.3) dan juga pada habitat pinggiran sungai (riparian). Sedangkan pada kawasan Bantimurung mewakili habitat pinggiran tebing / perbukitan (gambar V.4).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Berikut adalah gambar-gambar kondisi habitat yang dapat mewakili secara umum kondisi habitat yang terdapat di TN BaBul :

Gambar V.1 Habitat pinggiran tebing

Gambar V.3 Habitat hutan alam sekunder

Gambar V.2 Habitat pinggiran sungai

Gambar V.4 Habitat hutan alam primer

II.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu jaring serangga, tabung racun, tallysheet, timer watch, bahan, kotak spesimen, jarum, pinset, kertas papilot dan styrofoam. Bahan yang digunakan adalah alkhohol 70%, kertas papilot, fieldguide dan kapur barus. II.3 Jenis Data yang Dikumpulkan II.3.1. Data Primer Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung di lapangan. Data primer yang dikumpulkan adalah jenis dan populasi kupu-kupu pada setiap tipe habitat. Tipe-tipe habitat tempat pengumpulan data yaitu habitat hutan alam primer dan habitat riparian sungai pada kawasan Panaikang dan Pattunuang. Kawasan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Bantimurung tempat pengumpulan data meliputi habitat hutan pinggir tebing (perbukitan) dan habitat sekitar telaga. II.3.2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari kondisi fisik dan biologi kawasan TN BaBul. Kondisi fisik kawasan meliputi letak dan luas lokasi. Untuk kondisi biologis meliputi kondisi flora dan fauna. Data kondisi flora meliputi jenis flora di TN BaBul terutama flora yang menjadi habitat kupu-kupu antara lain Aristolachia sp., Citrus sp., Annona muricata, dan Annona squamosa. Pengambilan data kondisi penangkaran, museum, dan pemanfaatan kupukupu diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait. II.4 Metode Pengambilan Data II.4.1 Metode Inventarisasi Pengambilan data populasi kupu-kupu dilakukan dengan metode time-search yaitu metode inventarisasi dengan menggunakan batasan waktu (menit) tertentu yang ditetapkan dan konsisten. Metode ini ditujukan sebagai alternatif pengganti plot yang pada umumnya menggunakan batasan jarak (luasan) tertentu. Dalam perencanaan calon kawasan Taman Nasional Karaenta (Dephutbun, 2001), Topografi TN Babul dikelompokkan ke dalam tiga bagian besar, yakni daerah dengan topografi pegunungan, perbukitan, dan daratan. Luas wilayah daerah dengan topografi daratan hanya meliputi kira-kira 25% dari luas total Kabupaten Maros-Pangkep. Inventarisasi umumnya dilakukan pada daerah pegunungan dan perbukitan sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan metode plot. Oleh karena itu, metode yang cocok digunakan yaitu metode timesearch yang dalam inventarisasi ini batasan plot waktu yang dipilih adalah 15 menit (gambar V.5).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Plot 15 menit pertama

Plot 15 menit ketiga

Plot 15 menit kedua

Plot 15 menit seterusnya

Keterangan

Arah perjalanan (jalur utama) pada habitat yang sama

Inventarisasi pada plot waktu (selama 15 menit)

Gambar V.5 Inventarisasi kupu-kupu dengan menggunakan metode time-search Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan dan penanganan sampel inventarisasi kupu-kupu, yaitu penentuan lokasi pengamatan, melakukan pengambilan data kupu-kupu, identifikasi, dan perhitungan jumlah individu kupukupu.

Setelah

pengambilan

data

kupu-kupu,

kemudian

diidentifikasi

dan

ditabulasikan berdasarkan jenis, jumlah yang ditemukan, dan lokasi ditemukan. Pengamatan dan penghitungan waktu 15 menit dimulai saat kupu-kupu tertangkap atau terlihat oleh pengamat (hanya bila pengamat telah mengenal dengan

baik

nama

spesies

kupu-kupu

tersebut)

pada

habitat

tersebut.

Pengamatan/inventarisasi waktu berhenti setelah 15 menit berakhir, kupu-kupu yang terhitung selama 15 menit tersebut selanjutnya dimasukkan dalam satu plot. Hitungan menit pada 15 menit (plot) berikutnya dimulai sejak kupu-kupu pertama tertangkap atau terlihat oleh pengamat di luar hitungan 15 menit (plot) sebelumnya. Kupu-kupu yang terlihat dicatat nama spesiesnya pada tallysheet dan yang sulit dikenali pada saat terbang harus ditangkap. Kupu-kupu yang tidak dapat Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

teridentifikasi di lapangan akan dikoleksi sebagai spesimen untuk identifikasi lebih lanjut di Laboratorium serangga LIPI Cibinong serta didokumentasikan (foto). Acuan yang digunakan untuk tata urutan taksonomi kupu-kupu mengacu pada buku yang berjudul The Butterfly Handbook. II.4.2 Pembuatan Spesimen Proses pembuatan spesimen kupu-kupu diawali dengan penangkapan kupukupu kemudian disuntik dengan alkohol 70% pada bagian toraks. Hal ini bertujuan agar kupu-kupu tersebut mati dan tidak mudah rusak. Kupu-kupu yang telah disuntik, dimasukkan ke dalam kertas papilot segitiga dengan kondisi sayap tertutup untuk menghindari kerusakan spesimen (gambar V.6). Pada kertas papilot ditulis keterangan mengenai lokasi, waktu dan nomor urut ditemukannya kupu-kupu. Semua tahap ini dilakukan langsung di lapangan saat inventarisai.

Gambar V.6 Kupu-kupu dalam kertas papilot segitiga Pembuatan spesimen yang ditujukan untuk identifikasi jenis adalah dengan mengoffset kupu-kupu yang telah ditangkap pada steroform dengan bantuan jarum, pinset dan tetap dilengkapi dengan kode spesies seperti yang tertera pada kertas papilot (Gambar V.7). Kupu-kupu yang dioffset sayapnya direntangkan untuk memudahkan identifikasi jenis.

Gambar V.7 Kupu-kupu hasil offset Graphium rhesus Papilionidae

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kupu-kupu yang telah dioffset pada styrofoam kemudian dijemur atau dikeringkan agar spesimen lebih awet. Setelah tahap penjemuran, spesimen dimasukkan ke dalam plastik spesimen yang dilengkapi dengan keterangan spesies yang ada. Seluruh spesimen yang telah diletakkan dalam plastik disimpan dalam kotak (box) spesimen yang telah diberi kapur barus. II.4.3 Metode Wawancara Metode wawancara dilakukan dengan mengambil narasumber dari berbagai pihak (informan kunci). Pihak yang menjadi narasumber adalah dari pihak penangkaran TN BaBul, pengusaha penangkaran kupu-kupu komersil, pengunjung TN BaBul, dan penjual souvenir di TN BaBul. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data penunjang bagi data lapangan, seperti data yang berhubungan dengan pemanfaatan kupu-kupu di TN BaBul atau data mengenai upaya konservasi yang telah dilakukan di TN BaBul. Wawancara dilakukan langsung dengan narasumber selain pengunjung karena untuk data dari pengunjung diperoleh melalui penyebaran kuesioner. II.4.4 Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data sekunder

yang berupa

kondisi umum dari TN BaBul. Kondisi umum ini mencakup kondisi fisik dan biologi kawasan. Studi literatur juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi spesies dan mendapatkan deskripsi jenis kupu-kupu yang berhasil ditemukan. II.5 Analisis Data Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu Keanekaragaman kupu-kupu akan dianalisa berdasarkan kelimpahan, penghitungan indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan pada setiap lokasi. Indeks kesamaan pada jenis-jenis yang ditemukan pada waktu dan lokasi yang berbeda dianalisis dengan kesamaan Jaccard (CJ ) dan indeks Sorenson Persamaan

yang

digunakan

dalam

menentukan

kelimpahan

(Pi)

(CS ) . dan

keanekaragaman (H’) jenis kupu-kupu adalah:

Pi =

∑ kupu - kupu spesies ke - i ; H’ = -∑ Pi ln Pi ∑ total kupu - kupu

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Keterangan: H’

= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

Indeks kemerataan jenis (E) berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis dalam setiap komunitas. Persamaan yang digunakan adalah: E = H’ / ln S Keterangan: E

= indeks kemerataan (nilai antara 0 – 10)

H’

= keanekaragaman jenis serangga

Ln

= logaritma natural

S

= jumlah jenis Nilai atau indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu dari tiap-tiap lokasi

dibandingkan untuk dapat membandingkan pengaruh tipe habitat (hutan dan sungai) dengan nilai keanekaragaman jenis kupu-kupu. Keanekaragaman juga dapat diukur sebagai variasi dalam komposisi spesies antar komunitas atau area (beta-diversity). Pengukuran kesamaan yang paling mudah diindikasi berbasis pada keterwakilan atau kehadiran spesies di komunitas yang sedang dibandingkan (Magurran, 1983). Indeks Jaccard (CJ ) dikalkulasikan dengan persamaan:

CJ = j / (a + b − j ) , dan indeks Sorenson (CS ) dengan persamaan: CS = 2 j / (a + b ) ,

Keterangan : j = jumlah spsies yang ditemukan di kedua lokasi a = adalah jumlah spesies di lokasi pertama b = adalah jumlah spesies di lokasi kedua. Teknik multivariasi statistika yang ditujukan sebagai pembanding komunitas dapat menggunakan Cluster analysis dari keterwakilan-kehadiran (presence-absence) atau data kuantitatif. Tiap pasang lokasi dievaluasi dalam derajat kesamaan, kemudian dikombinasikan secara berkesinambungan ke dalam rangkaian/cluster dalam bentuk dendrogram dengan titik yang bercabang mewakili ukuran kesamaannya.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 Hasil III.1.1 Kondisi Habitat Sulawesi dikenal sebagai salah satu pulau yang memiliki geologi yang beragam di dunia (Audhey-Charles dalam Whitter dkk, 1987). Selain itu pulau ini memiliki tingkat keragaman kupu-kupu yang tertinggi di kepulauan Indonesia. TN Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul) di Sulawesi Selatan merupakan salah satu diantaranya. TN BaBul memiliki komponen habitat yang cocok bagi berbagai jenis kupukupu. Menurut Alikodra (1983) habitat merupakan suatu tempat yang digunakan oleh satwa untuk makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembangbiak. Habitat terdiri dari 2 komponen yaitu komponen fisik dan biotik. Komponen fisik meliputi iklim, udara, temperatur, radiasi surya, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik meliputi vegetasi dan satwa. Menurut Mattimu dkk (1977) dalam Hardiyansyah (2001) komponen habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu adalah faktor cahaya, udara yang bebas polusi, dan kelembaban lingkungan. Tipe habitat yang terdapat di TN BaBul meliputi hutan, perairan, tanah terbuka, dan ekoton (peralihan). Beragamnya tipe habitat yang ada akan mempengaruhi tingkat keanekaragaman, kemerataan, dan kepadatan jenis kupukupu. Selain berbagai potensi habitat di atas, kondisi kawasan karst memiliki struktur bebatuan kalsium karbonat (kalsit) yang mudah terlarut oleh air yang mengandung asam lemah yang berasal dari air rembesan pelapukan jasad organik pada tanah di lapisan atas. Pada habitat pinggiran tebing yang terdapat di Bantimurung terdapat juga telaga yang di atasnya mengalir air terjun (gambar V.8), disinilah aktivitas kupu-kupu terpusat. Penelitian tidak dilakukan pada tipe habitat ekoton karena umumnya kupukupu tidak terbang pada daerah peralihan habitat yang sehat dengan yang rusak. Jika habitat ekoton merupakan daerah peralihan 2 habitat berbeda yang sehat maka kupu-kupu dapat hidup di daerah ini. Hal ini disebabkan karena habitat yang sehat mampu memenuhi kebutuhan hidup kupu-kupu dan kondisi lingkungan tidak jauh berbeda.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar V.8 Telaga pusat aktivitas kupu-kupu III.1.2 Vegetasi Vegetasi merupakan salah satu komponen biotik habitat yang sangat penting dan berpengaruh terhadap siklus ekologi kupu-kupu. Vegetasi yang ditemukan pada habitat kupu-kupu di tiga lokasi pengamatan tidak jauh berbeda. Umumnya pada ketiga lokasi pengamatan tersebutditemukan vegetasi dari suku-suku Myrtaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, dan Lauraceae. Salah satu tipe vegetasi yang terdapat di TN BaBul adalah vegetasi Nipah (Nifa fruticans) (PT. BATCELINDO PERKASA, 1996). Beberapa jenis tanaman pakan antara lain: Aristolachia sp., Citrus sp., Annona muricata, Annona squamosa, Cassia siamea, Passiflora sp., dan Colona sp.. Tanaman Aristolachia sp. adalah jenis tanaman pakan untuk spesies kupu-kupu Troides helena dan Troides haliphron, sedangkan Passiflora sp. adalah jenis tanaman pakan untuk kupu-kupu Cethosia myrina sarnada. Kedua jenis pakan larva tersebut umumnya ditemukan pada habitat hutan alam primer maupun sekunder. III.1.3 Iklim Iklim

merupakan

salah

satu

komponen

fisik

habitat

yang

sangat

mempengaruhi populasi kupu-kupu. Perubahan iklim mempunyai efek yang besar pada tahap yang berbeda dari satu siklus hidup, misalnya musim hujan dengan curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kupu-kupu tidak bebas melakukan aktivitasnya. Pengamatan ini dilakukan pada bulan Agustus 2007. Pada bulan ini, daerah di Maros sedang mengalami musim kemarau dengan curah hujan minimum dan temperatur harian tertinggi. Hal ini mempengaruhi hasil inventarisasi keanekaragaman jenis kupu-kupu. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Keuntungan melakukan pengamatan pada musim kemarau adalah karena kupu-kupu merupakan satwa berdarah dingin dan mendapatkan panas dari luar tubuhnya. Kupu-kupu dapat memanaskan tubuhnya dengan cara berjemur, biasanya dengan sayap terbuka sehingga tubuh dapat menyerap cahaya. Hal ini terkait dengan tingginya mobilitas kupu-kupu yang berdampak dengan munculnya berbagai macam spesies. Namun kerugiannya (Smart, 1976 dalam Hardiyansyah, 2001) adalah apabila musim kemarau berkepanjangan, pertumbuhan dan perkembangan kupukupu akan terhenti (hibernasi). Periode ini kadang-kadang dijadikan masa pemulihan bagi serangga. Faktor lain yang timbul akibat musim kemarau yang berkepanjangan adalah tanaman pakan kupu-kupu tidak dapat tumbuh subur akibat kurangnya curah hujan yang turun di daerah tersebut, sehingga ada kemungkinan serangga tersebut bermigrasi ke tempat lain yang menyediakan pakan lebih banyak. III.1.4 Kekayaan Jenis Kupu-kupu di TN BaBul Keanekaragaman kupu-kupu dari tiga lokasi pengamatan disajikan pada Tabel V.1. Jumlah total populasi kupu-kupu yang didapatkan selama pengamatan di kawasan TN BaBul sebanyak 514 ekor. Jumlah total kupu-kupu yang berhasil diidentifikasi terbagi dalam 4 famili, yaitu: Papilionidae (15 spesies), Pieridae (19 spesies), Nymphalidae (47 spesies), dan Lycaenidae (3 spesies).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Tabel V.1 Daftar Kekayaan Jenis Kupu-kupu di TN Babul

No.

1

Famili

Nama ilmiah

Lokasi Panaikang

Bantimurung

Pattunuang

9

4

1

1

0

0

Papilionidae Graphium milon G. aristeus

2

parmatum

3

G. meyeri

3

6

4

4

G. androcles

0

1

1

5

G. rhesus

0

2

0

6

G. deucalion

0

0

1

7

Papilio gigon

1

0

4

8

P. peranthus

0

0

3

9

P. veiovis

0

0

1

10

P. ascalaphus

0

0

1

11

P. lowi

2

0

1

1

0

0

Pachliopta

12

polyphontes

13

Losaria coon

0

0

1

14

Troides helena *

0

0

3

15

T. haliphron *

1

0

0

1

0

1

12

0

12

Appias nero

3

15

20

A. ithome

1

0

0

20

A. paulina

0

1

0

21

Catopsilia pomona

5

0

18

22

C. scylla

0

0

4

5

0

1

Saletara liberia

16

panda Hebomia

17

glaucippe

18 19

23

Pieridae

C. pomona pomona

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Lokasi No. Famili

Nama ilmiah Panaikang

Bantimurung

Pattunuang

24

C. pomona rivalis

1

1

0

25

Eurema alitha

1

0

38

26

E. hecabe

0

0

4

27

E. alitha alitha

1

0

0

0

1

0

0

0

4

E.

28

blanda

vallivolans E.

29

hecabe

sankapura

30

E. sarilaca sarilaca

0

0

1

31

E. sarilata sarilata

0

0

2

0

2

1

Delias

32

baracasa

baracasa

33

Gandaca butyrosa

1

0

0

34

Aoa affinis

0

0

3

35

Junonia atlites

2

34

5

36

J. almana

2

0

1

37

J. hedonia ida

0

1

0

0

1

0

J.

38

hedonia

intermedia

39

Faunis menado

7

10

11

40

Ideopsis juventa

3

1

9

I. juventa koleri

2

0

0

I. juventa tawaya

6

3

2

5

4

0

0

1

0

1

0

0

3

0

0

41 42 43 44 45 46

Nymphalidae

I.

juventa

tontoliensis I. vulgaris Arhopala admete eucolpis Cohora

pandea

deianitina

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-13


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No. Famili

Nama ilmiah

Lokasi Panaikang

Bantimurung

Pattunuang

Chersonesia rahria

2

0

0

48

Cyrestis strigata

2

0

1

49

C. acilia

0

0

1

50

Cethosia myrina *

2

0

0

3

0

1

47

51

Nymphalidae

C. myrina sarnada *

52

Melanitis leda

1

0

0

53

Charaxes affinis

0

0

1

54

Pantoporia antara

1

3

0

55

Euploea algea

1

1

0

56

E. algea horsfieldi

10

13

2

10

1

1

0

1

1

1

0

1

57 58 59

E.

eleusina

mniszechii E.

latifasciata

latifasciata E.

leucostictos

westwoodi

60

Euthalia aconthea

0

0

1

61

E. aeetes

0

9

2

62

Lohora dinon

0

15

0

63

Idea blanchardi

0

5

0

64

Limenitis lymeri

0

13

2

65

Neptis ida

0

3

22

66

N. miah

0

0

1

0

2

1

67

Phaedyma columella

68

Cirrochroa tyche

0

1

0

69

Pareronia palena

0

0

10

0

0

70

Vindula

dejone

javana

3

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Lokasi No.

Famili

Nama ilmiah

Nymphalidae

Panaikang

Bantimurung

Pattunuang

V. dejone erotella

0

0

1

72

Danaus genutia

0

0

2

73

D. choaspes

0

0

1

74

Hypolimnas nerina

1

0

0

0

0

1

71

Lasippa

75

neriphus

tawayana

76

Lasiva neriphus

1

1

0

77

Ypthima philomela

0

0

2

0

1

0

0

0

1

0

12

2

Arhopala thamyras

1

0

0

Jamides aratus

0

2

2

0

4

1

116

175

223

Phalanta

78

aurcca Tirumala ishmoides

79

ishmoides Yoma

80

sabina

vasilia

81 82

alcippe

Lycaenidae

83

Catochrysops strabo

Jumlah individu (ekor) Keterangan: * Dilindungi III.2 Pembahasan

Penelitian-penelitian yang digunakan sebagai pembanding yaitu penelitian yang dilakukan oleh Mattimu (1977) dalam Achmad (1998) menyebutkan bahwa kawasan TN BaBul (30 tahun yang lalu) memiliki sebanyak 103 spesies kupu-kupu dengan jenis endemik yang ditemukan antara lain Papilio blumei, P. polites, P. satapses, dan Troides hypolites. Spesies-spesies endemik ini tidak ditemukan pada saat dilakukan pengamatan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh musim, cuaca, dan waktu pengambilan data yang tidak disebutkan dalam Achmad (1998).

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Penelitian yang dilakukan oleh Harlina (2005) pada bulan Juli hingga Agustus tercatat 71 spesies termasuk 4 spesies dilindungi oleh undang-undang yaitu Troides helena, T. haliphron, T. hypolitus, dan Cethosia myrina. Penelitian ini dapat dibandingkan karena dilakukan pada bulan yang sama. Spesies yang ditemukan oleh Harlina lebih sedikit karena tujuan dari penelitiannya yaitu untuk mengetahui alternatif pengelolaan kupu-kupu yang dapat dijadikan objek wisata bukan untuk mengetahui potensi keragaman kupu-kupu. Dari 83 spesies terdapat 3 spesies yang dilindungi oleh Undang-Undang, (Protected Butterfly in Indonesia, 1990) yaitu: Troides helena, Troides haliphron, dan Cethosia myrina sarnada. Graphium androcles menurut Whitten (1987) juga merupakan salah satu spesies kupu-kupu dilindungi. Genus Troides memiliki nama lokal kupu-kupu raja dan genus Cethosia memiliki nama lokal kupu-kupu bidadari. Ketiga jenis kupu-kupu tersebut merupakan jenis kupu-kupu yang terdapat di dalam hutan, bergerak gesit/lincah, dan selalu terbang tinggi. Jenis kupu-kupu endemik Sulawesi yang juga terdapat di TN BaBul adalah : Troides helena, T. haliphron, dan Graphium androcles. Troides helena dan T. haliphron merupakan spesies yang memiliki sebaran yang sangat sempit yaitu pada habitat di pinggiran sungai. Sedangkan Graphium androcles (gambar V.9) selain dilindungi spesies ini juga termashur karena deskripsi yang dibuat oleh Wallacea (Whitten dkk, 1987) dimana spesies ini pernah menghilang selama 45 tahun sebelum ia muncul kembali di Bantimurung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Achmad (1998) spesies ini hanya hadir pada pertengahan sampai akhir musim kemarau yaitu pada bulan-bulan antara Agustus hingga November.

Gambar V.9 Graphium androcles pada habitat pinggiran sungai

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Selain itu terdapat jenis-jenis kupu-kupu yang dinyatakan langka dalam Rencana Karya Dua Puluh Tahun Wisata Alam Propinsi Sulawesi Selatan oleh Fakultas Kehutanan UGM tahun 1984 untuk famili Nymphalidae meliputi Argyreus hyperbius, Vindula cyenei, V. erota, dan Neptis proslini. Untuk famili Papilionidae meliputi Graphium rhesus, G. mendana, Ornithoptera priamus, O. Poeidon, Papilio albinus, dan Troides plato. Semakin lama kelangkaan spesies tersebut meningkat. Beberapa hal diantaranya dikarenakan dalam rentang waktu tersebut banyak sekali terjadi faktor alam yang dapat menyebabkan menghilangnya spesies tersebut, misalnya turunnya daya dukung lingkungan hidup kupu-kupu dan rusaknya habitat spesies-spesies tersebut. Famili yang mempunyai jumlah genus dan spesies terbanyak adalah dari famili Nymphalidae. Hal ini disebabkan famili Nymphalidae merupakan salah satu famili terbesar dalam ordo Lepidoptera. Menurut Smart (1991) dalam Jurnal PHKA (2005) famili Nymphalidae termasuk famili dengan jumlah besar dan populasinya dapat ditemukan di berbagai daerah di dunia. Famili tersebut terdiri dari ribuan spesies. Cortbert dan Pendleburry (1956) menyatakan bahwa famili Nymphalidae umumnya mempunyai penyebaran yang luas, menyukai tempat-tempat terang, daerah kebun, dan hutan serta beberapa jenis menyukai tempat berbau busuk. Kondisi habitat merupakan aspek penting untuk mengetahui keberadaan kupu-kupu (Tabel V.2). Komponen-komponen habitat yang terdiri dari komponen fisik dan biotik, seperti yang telah diuraikan diatas secara garis besar sudah ada pada habitat pinggiran sungai (riparian), habitat pinggiran tebing (perbukitan), habitat hutan alam primer (tertutup), dan habitat hutan alam sekunder (terbuka). Berdasarkan hasil penelitian, pada masing-masing habitat ditemukan total populasi yang berbeda dari keseluruhan famili. Tabel V.2 Jumlah individu (ekor) masing-masing famili pada semua habitat Famili

Habitat A

B

C

D

Papilionidae

46

14

4

6

Pieridae

87

18

2

48

Nymphalidae

66

115

52

45

Lycaenidae

2

6

1

2

Jumlah individu

201

153

59

101

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Keterangan : A. Habitat pinggiran sungai (riparian); B. Habitat pinggiran tebing (perbukitan); C. Habitat hutan alam primer (tertutup); D. Habitat Hutan alam sekunder (terbuka). Berdasarkan Tabel V.3, korelasi antara populasi kupu-kupu dengan habitatnya jumlah jenis kupu-kupu tertinggi berada pada lokasi pengamatan Pattunuang. Tinggi atau rendahnya tingkat kekayaan jenis kupu-kupu pada suatu habitat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar habitat terutama jenis vegetasi pakan kupu-kupu (Saputro, 2007). Kondisi lingkungan habitat di lokasi Pattunuang yang sangat mendukung untuk hidup kupu-kupu, berkaitan dengan besarnya populasi spesies kupu-kupu yang lebih banyak ditemukan. Ketersediaan jenis vegetasi pakan yang banyak dan beragam, dekat dengan aliran sungai yang bersih, jauh dari aktivitas manusia, jauh dari jalan raya sehingga udara tidak terpolusi dan intensitas matahari yang cukup akan menarik lebih banyak jumlah, kehadiran, dan keragaman jenis kupu-kupu di kawasan tersebut. Tabel V.3 Jumlah individu (ekor) masing-masing famili pada semua lokasi Famili

Lokasi Panaikan

Bantimurun

g

Pattunuan

g

g

Papilionidae

18

13

21

Pieridae

31

20

109

Nymphalidae

66

136

90

Lycaenidae

1

6

3

Jumlah individu

116

175

223

II.2.1 Nilai Keanekaragaman Kupu-Kupu Keanekaragaman jenis bisa dijadikan patokan dalam menilai kekayaan alam hayati pada kawasan tertentu. Dalam observasi keanekaragaman jenis kupu-kupu di TN BaBul ini digunakan pengukuran keragaman jenis dengan indeks ShannonWienner (Tabel V.4) yang sesuai untuk pengukuran metode time-search yang merupakan salah satu inventarisasi pengambilan sample secara acak (random). Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Tabel V.4 Nilai keragaman jenis kupu-kupu di Bantimurung, Panaikang, dan Patunuang Lokasi

Shannon-Wienner

Evenness

Bantimurung

3.063361638

0.56314

Panaikang

3.516804297

0.716522

Pattunuang

3.641980383

0.681558

Index Shannon-Wienner merupakan gambaran tingkatan skor seberapa besar ketidaktentuan (uncertainty) spesies-spesies yang terkandung dalam suatu lokasi. Sehingga semakin besar indeks, semakin banyak spesies yang mungkin dapat ditemukan maka semakin besar nilai keragaman pada lokasi tersebut. Sebaliknya, nilai nol (0) mengindikasikan bahwa spesies yang akan ditemukan sudah dapat dipastikan, dengan kata lain hanya akan ada 1 spesies pada lokasi tersebut. Nilai keragaman jenis berdasarkan indeks Shannon-wienner menunjukkan bahwa ketiga lokasi tersebut memiliki nilai keragaman jenis yang relatif tinggi, dengan asumsi nilai maksimal Shannon-Wienner adalah 5, karena sampai saat ini di seluruh dunia belum pernah ditemukan lokasi dengan indeks Shannon-Wienner melebihi 5 (Krebs, tanpa tahun). Dari ketiga lokasi tersebut, Pattunuang memiliki keragaman spesies yang paling tinggi, namun hanya sedikit lebih tinggi dari lokasi Panaikang. Nilai keragaman jenis kupu-kupu sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat, komponen penyusun habitat seperti tanaman pakan dan intensitas matahari. Nilai keragaman jenis di Pattunuang dan Panaikang yang hampir seimbang disebabkan oleh miripnya tipe habitat yang dilalui dalam observasi acak (random) dan akses yang mudah untuk inventarisasi, yaitu tipe habitat pinggiran sungai (riparian) dan hutan. Perbedaannya hanya pada tipe hutan dimana Panaikang memiliki tajuk yang lebih rapat dari Pattunuang, sehingga intensitas cahaya matahari di Pattunuang lebih besar. Cahaya matahari membuat sayap kupu-kupu lebih kering dan ringan, sehingga kupu-kupu dapat terbang lebih leluasa dan gesit. Cahaya matahari yang menembus tajuk hingga ke dasar hutan juga menjadi faktor tambahan ruang gerak bagi kupu-kupu untuk terbang lebih rendah di bawah tajuk bahkan hinggap dipermukaan sehingga kupu-kupu lebih mudah diamati dan dihitung. Selain faktor cahaya, sungai juga menjadi tempat favorit bagi kupu-kupu untuk beraktivitas. Pattunuang memiliki sungai yang lebih besar dari Panaikang,

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

sehingga kupu-kupu yang beraktivitas di sepadan sungai di Pattunuang lebih banyak. Faktor tersebut dapat terlihat dari Tabel V.5 yang menunjukan bahwa nilai keragaman jenis kupu-kupu tertinggi terdapat di tipe habitat riparian sungai. Nilai keragaman jenis di Bantimurung adalah yang terkecil diantara ketiga lokasi meskipun nilai indeks tersebut menggambarkan keanekaragaman jenis yang relatif tinggi. Hal ini disebabkan tipe habitat yang terobservasi di Bantimurung hanya berupa riparian sungai, meski di Bantimurung juga terdapat hutan namun lanskap dan hambatan vegetasi tidak memungkinkan bagi peneliti untuk menginventarisasi. Nilai keragaman jenis kupu-kupu juga berbeda pada masing-masing tipe habitat seperti yang ditunjukan dalam Tabel V.5. Habitat hutan primer dan hutan sekunder memiliki keanekaragaman spesies yang hampir sama, hal itu dikarenakan pada ketiga lokasi memiliki tipe vegetasi yang serupa namun hanya memiliki perbedaan kerapatan tajuk dan intensitas cahaya matahari yang berbeda. Tabel V.5 Nilai keragaman jenis kupu-kupu di beberapa tipe habitat. Habitat

Shannon-Wienner

Evenness

Hutan sekunder

2.924592104

0.689874

Hutan primer

2.932327

0.750849

Riparian sungai

3.666617142

0.52159

Habitat pinggiran sungai memiliki nilai keragaman jenis yang paling tinggi dari tipe habitat yang lain, dikarenakan habitat ini memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi, dan sering ditemukan kupu-kupu yang berkumpul pada tepian sungai yang mengambil sedimen nutrisi yang terlarut dalam air sungai. Jenis kupukupu yang berkumpul tidak dapat diidentifikasi jenis kelaminnya karena diperlukan upaya penangkapan dan identifikasi tentang hal ini sedangkan, pengamatan hanya sampai tahap keanekaragaman jenis belum mencapai perbedaan jenis kelamin. Namun seorang peneliti kupu-kupu dari Universitas Vienna, Prof. Konrad, pernah berpendapat dalam pelatihan Island Biogeography di Krakatau, bahwa pada umumnya kupu-kupu terutama yang jantan sering ditemukan menghisap mineralmineral yang terdapat pada pinggiran sungai sebagai tambahan nutrisi untuk

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

metabolisme tubuhnya, salah satunya adalah potasium yang baik untuk reproduksi sperma sang pejantan. Nilai Evenness merupakan nilai kemerataan dengan nilai minimal nol (0) yang mengindikasikan bahwa setiap jenis yang ditemukan pada lokasi tersebut memiliki jumlah individu yang berbeda banyaknya (tidak pernah sama jumlahnya), sedangkan nilai maksimal satu (1) mengindikasikan bahwa setiap jenis yang ditemukan pada lokasi tersebut memiliki jumlah individu yang sama banyaknya. Nilai kemerataan di ketiga lokasi dapat dikategorikan sedang sampai cukup merata, dengan kata lain terdapat dominansi suatu spesies tertentu terhadap spesies-spesies yang lain pada lokasi tersebut namun tidaklah terlalu mencolok atau tertimpang jauh. Nilai kemerataan pada masing-masing lokasi dapat dilihat dari Gambar V.10 yang menunjukkan struktur komunitas kupu-kupu di TN BaBul.

Phaedyma columella, 1.10% pareronia tritaea tritaea, 1.10%

Struktur komunitas kupu-kupu Bantimurung

catopsilia pomona rivalis, 0.55% Cirrochroa tyche, 0.55%

phalanta alcippe aurcca, Ypthima philomela, Catochrysops strabo, 0.55% 1.65% 0.55% Yoma sabina vasilia, 6.59% Appias nero, 7.69%

delias baracasa baracasa, 1.10% Euploea algea, 0.55% euploea algea horsfieldi, 7.69%

Pareronia palena, 3.30% Pantoporia antara, 1.65%

euploea eleusina mniszechii, 0.55%

P. grasilis, 0.55% Neptis ida, 1.65%

euploea latifasciata latifasciata, 0.55%

Losaria coon, 0.55%

eurema blanda vallivolans, 0.55%

Lohora dinon, 8.24% Limenitis lymire, 7.14%

euthalia aeetes, 4.95%

lasiva neriphus, 0.55%

Faunis menado, 6.59%

junonia hedonia intermedia, 0.55%

Graphium androcles, 0.55% graphium meyeri, 3.85%

Junonia hedonia ida, 0.55% Junonia atlites, 17.03%

Graphium milon, 1.65% ideopsis juventa tawaya, 1.65%

Jamides aratus, 1.10% Ideopsis vulgaris, 0.55%

Graphium rhesus, 1.10% Idea blanchardi, 2.75%

ideopsis juventa tontoliensis, 2.20%

Ideopsis juventa, 0.55%

Gambar V.10 Diagram struktur komunitas kupu-kupu di TN BaBul

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2.2 Studi Penangkaran Kupu-kupu Kerusakan habitat kupu-kupu berakibat buruk terhadap ekosistemnya (Amir dan Noerdjito, 1990), sehingga perubahan habitat menjadi salah satu faktor internal yang menyebabkan kepunahan kupu-kupu. Selain faktor tersebut, penangkapan dan perdagangan kupu-kupu secara liar yang dilakukan masyarakat setempat menjadi faktor eksternal yang juga menyebabkan kepunahan kupu-kupu. Berdasarkan wawancara dengan pedagang, mereka pada umumnya yaitu masyarakat asli kawasan ini. Keberadaan kupu-kupu di Bantimurung saat ini mengalami penurunan jumlah dan populasi jenis. Pada tahun 1857 Wallace mencatat sebanyak Âą 270 jenis kupukupu pada kawasan ini (Anonim, 1998). Namun setelah 120 tahun berselang, Mattimu dkk. (1977) dalam Hamidun (2001) melaporkan bahwa hanya Âą 108 jenis yang masih tersisa, sedangkan data yang dihasilkan dari kegiatan penelitian ini hanya mencatat sebanyak 84 jenis kupu-kupu . Selain sebagai obyek yang memiliki keindahan, keanekaragaman kupu-kupu dapat memberikan informasi yang baik dalam studi lingkungan, misalnya sebagai indikator lingkungan. Penggunaan

bioindikator atau indikator ekologis bertujuan

untuk menggambarkan keterkaitan kondisi faktor biotik dengan abiotik lingkungan (Shahabuddin, 2003). Kupu-kupu umumnya sensitif dan memperlihatkan gejala terpengaruh terhadap tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik. Perdagangan komersial kupu-kupu telah meningkat. Perburuan kupu-kupu di Indonesia untuk kepentingan perdagangan telah menimbulkan permasalahan yang serius, salah satunya di kawasan TN BaBul ini. Berbagai jenis kupu-kupu indah mengalami tekanan buru yang sangat besar diantaranya Chetosia myrina, Troides halipron, dan Hebomia glaucippe (Hamidun, 2001). Chetosia myrina dan Troides halipron merupakan jenis kupu-kupu yang dilindungi oleh Undang-Undang di Indonesia. Dorongan masyarakat setempat untuk menangkap kupu-kupu yang kemudian diperdagangkan semakin meningkat karena kegiatan ini dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan (Aidid, 1991). Memperhatikan akibat yang mungkin timbul dari pengambilan kupu-kupu di alam, maka diperlukan upaya untuk menjaga kupu-kupu dari bahaya kepunahan. Pengeksploitasian yang kurang/tidak bijaksana menyebabkan kelangkaan bahkan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

mencapai kepunahan. Tiga usaha pelestarian yang dapat ditempuh untuk mempertahankan populasi kupu-kupu meliputi konservasi, penangkaran, dan perlindungan secara legal terhadap kupu-kupu (Aidid, 1991). Ketiga usaha pelestarian ini telah ada sejak tahun 1976 (Tangim, 1986). III.2.3 Konservasi Primarck (1998) dalam Hamidun (2001) menyebutkan tiga kriteria penentuan prioritas konservasi yaitu kekhasan : prioritas terhadap jenis endemik daripada jenis yang secara umum tersebar luas, keterancaman : jenis yang terancam kepunahan akan lebih penting dibanding dengan yang tidak terancam kepunahan, kegunaan : jenis yang memiliki potensial tinggi diprioritaskan daripada yang tidak memiliki kegunaan yang jelas. Kepunahan suatu jenis satwa sebagai sumberdaya alam hayati merupakan kesalahan yang sangat serius dalam memperlakukan alam, karena jenis yang punah tidak akan pernah datang kembali, untuk menyikapi hal tersebut perlu ditetapkan habitat kupu-kupu sebagai kawasan konservasi, baik konservasi di dalam kawasan (In-situ) maupun konservasi di luar kawasan (Ex-situ). III.2.4 Penangkaran Penangkaran

adalah

segala

kegiatan

yang

berhubungan

dengan

pengembangbiakan kupu-kupu, yang meliputi kegiatan penangkaran, pengelolaan, sampai dengan pemasaran hasil penangkarannya (Hamidun, 2001). Sedangkan menurut Thohari (1987) dalam Aidid (1991) penangkaran berkaitan dengan pengembangbiakkan flora dan fauna liar yang bertujuan memperbanyak populasi dengan mempertahankan kemurnian jenisnya. Konsep penangkaran kupu-kupu yang juga merupakan konsep konservasi dijabarkan melalui tiga kegiatan : (1) restorasi, bertujuan mengembalikan jenis kupukupu yang telah hilang dari habitatnya; (2) preservasi, pelestarian dengan pemeliharaan dan perlindungan terhadap kupu-kupu dan ekosistemnya; (3) pemungutan hasil, pemanenan kupu-kupu dari hasil penangkaran untuk perdagangan dan perbanyakkan populasi di alam. Penangkaran kupu-kupu di Bantimurung telah ada sejak dahulu, ini diketahui dari hasil wawancara dengan salah satu anggota keluarga penangkar, Danil anak dari Haji Beddu Rewa. Hal ini diperkuat Aidid (1991) melalui hasil studi Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

penangkaran kupu-kupu-nya yang menyatakan bahwa penangkaran kupu-kupu di Bantimurung telah dilakukan sejak tahun 1967 oleh keluarga Haji Beddu Rewa. Tujuan

utamanya

adalah

pengadaan/persediaan

jenis

kupu-kupu

untuk

perdagangan, selain itu juga ditujukan untuk membatasi penangkapan kupu-kupu secara liar di alam. Melalui wawancara yang telah dilakukan, hal senada juga diungkapkan Ali seorang penangkar dan pengedar kupu-kupu yang sudah tertarik dengan kegiatan memanfaatkan kupu-kupu sejak duduk di kelas empat Sekolah Dasar (SD) dan kini mengetuai penangkaran KSM (Kelompok Sumberdaya Masyarakat) Nirwana Alam Bantimurung yang berdiri pada tahun 2002. Alasan didirikannya penangkaran adalah karena melihat nilai ekonomi kupu-kupu yang tinggi sehingga memotivasi masyarakat

dan

belajar

bersama

membuat

penangkaran

dalam

rangka

mensejahterakan masyarakat dengan menjadikan kupu-kupu sebagai sumber pendapatan. Selain itu diakui Ali, bahwa tidak semua kupu-kupu hasil tangkarannya dimanfaatkan untuk kepentingan komersil tetapi sekitar 30% dilepas kembali ke alam untuk pemulihan. Karena melihat populasi kupu-kupu yang saat ini menurun drastis. Walaupun demikian, ia juga menyadari bahwa tidak sedikit masyarakat yang juga memiliki penangkaran sendiri tidak berperan serta dalam proses pemulihan atau dengan kata lain seutuhnya hasil penangkaran dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Pentingnya kawasan Bantimurung sebagai tempat penangkaran kupu-kupu antara lain karena : •

Memiliki komponen habitat yang penting bagi kehidupan berbagai jenis kupu-

kupu. Komponen tersebut adalah faktor cahaya yang cukup, udara yang tidak terpolusi, air untuk kelembaban dan vegetasi sebagai sumber pakan dan pelindung. •

Untuk tujuan perdagangan, kupu-kupu yang dihasilkan dari usaha penangkaran

mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi karena memiliki anggota badan yang lengkap, salah satunya pertumbuhan sayap yang sempurna. Keterangan yang memperkuat hal di atas yang diperoleh dari Danil yaitu faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap nilai jual kupu-kupu adalah ukuran dengan kelengkapan anggota badan, status kelangkaan, dan musim atau waktu. Menurutnya, keragaman kupu-kupu sangat tinggi pada saat musim penghujan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sila (1993), Tikupadang dan Gunawan (1997), dalam Hamidun (2001) memaparkan faktor-faktor khusus pada kegiatan penangkaran kupu-kupu adalah sebagai berikut : 1)

Penyediaan sarana penangkaran kupu-kupu, berupa kandang atau penangkaran dengan luas yang optimal, sumber air untuk menunjang kehidupan kupu-kupu, dan perlindungan dari sinar matahari.

2)

Penyedia tumbuhan pakan larva atau ulat, tumbuhan pelindung, dan tumbuhan sumber nektar bagi imago (kupu-kupu dewasa).

3)

Tehnik penangkaran, meliputi teknik penanganan pakan, pemeliharaan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan pre-pupa dan pupa, serta pemeliharan imago (kupu-kupu dewasa).

4)

Tehnik pengawetan kupu-kupu yang akan dibuat koleksi, meliputi teknik membunuh, teknik pelemasan, dan teknik penataan. Bentuk dan ukuran kandang untuk penangkaran yang terdapat di

Bantimurung bermacam-macam (Gambar V.11). Bahan yang digunakan umumnya tersusun dari ulatan kawat dengan tiang-tiang kayu dan pemasangan jaring nilon. Fungsi kandang utamanya sebagai tempat penampungan dan pemeliharaan kupukupu yang akan bertelur, hingga telur menjadi kupu-kupu dewasa (imago).

Gambra V.11 Salah satu bentuk penangkaran kupu-kupu Ali dan Danil sebagai penangkar keduanya memberikan keterangan bahwa keberhasilan baik taman maupun penangkaran kupu-kupu adalah pemilihan jenis tanaman inang dan vegetasi pakan yang cocok (Gambar V.12). Jenis-jenis vegetasi yang ditanam di dalam kandang berbeda dengan yang disekitar kandang (Tabel 6). Vegetasi dalam kandang merupakan sumber pakan bagi larva, sedangkan vegetasi sekitar kandang ditanami selain vegetasi sumber pakan bagi larva juga

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-25


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

vegetasi tempat mencari makan bagi imago yakni dari tumbuhan yang mempunyai nektar.

Gambar V.12 Vegetasi pakan yang terdapat di dalam kandang Citrus sp. (Jeruk) Tabel V.6 Jenis-jenis vegetasi di sekitar kandang penangkaran No.

Jenis vegetasi

Nama daerah

Famili

1

Citrus sp.

Jeruk

Rutaceae

2

Teobroma cacao

Coklat

Sterculiaceae

3

Mangifera sp.

Mangga

Anacardiaceae

4

Ceiba petandra

Kapuk

Bombacaceae

5

Annona mucirata

Sirsak

Annonaceae

6

Tamarindus indica

Asam

Fabaceae

7

Psidium Guajava

Jambu

Myrtaceae

8

Hibiscus rosasinensis

Kembang sepatu

Euphorbiaceae

9

Phalaenopsis venosa

Anggrek

Orchidae

10

Calliandra surinamensis

Kaliandra

Fabaceae

11

Eugenia aromatica

Cengkeh

Myrtaceae

12

Euphobia pulcherima

-

Euphorbiaceae

13

Aristalochia sp.

Sirih hutan

Aristalochiae

Keadaan penangkaran yang terdapat di Bantimurung saat ini telah banyak mengalami kemunduran (Gambar V.13), terutama penangkaran yang dikelola oleh Pemkab Maros, baik dari segi kondisi fisiknya maupun pengelolaan. Faktor-faktor penyebabnya antara lain kurangnya rasa memiliki pekerja, tidak tersedianya tenaga ahli yang profesional, kurangnya motivasi pekerja karena sebagian besar hasil tangkaran dilepaskan kembali ke alam untuk kepentingan pemulihan, serta kurang tegasnya pengawasan terhadap penangkapan kupu-kupu secara liar. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-26


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar V.13 Kandang penangkaran kupu-kupu yang terabaikan Sedangkan umumnya, penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat setempat lebih terawat dengan hasil yang lebih berkualitas. Hamidun (2001) berusaha menggambarkan skema kerangka pemikiran kegiatan penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat setempat :

Sumber : Hamidun (2001)

Gambar V.14 Skema kerangka pemikiran masyarakat dengan analisis SWOT

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-27


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2.5 Perlindungan secara legal Pelindungan kupu-kupu penting untuk dilakukan sebagai pencegahan terhadap eksploitasi yang berlebihan. Amir dan Noerdjito (1990) dalam Aidid (1991) berpendapat bahwa taman kupu-kupu seperti di Papua New Guinea perlu dikembangkan di Indonesia yang bertujuan untuk perdagangan, disamping dapat juga dimanfaatkan sebagai sarana penelitian. Taman kupu-kupu dapat dibangun di berbagai tempat, terutama pada daerah-daerah dengan populasi kupu-kupu yang khas seperti di dekat air terjun Bantimurung dan sekitar sungai di Pattunuang. III.2.6 Perdagangan Kupu-kupu Menurut Ali sebagai penangkar dan pengedar kupu-kupu, para penangkar yang berada di sekitar kawasan TN BaBul mengeksploitasi potensi ekonomi yang dimiliki

kupu-kupu.

Umumnya,

pemanfaatan

kupu-kupu

yang

ditangkarkan

dimanfaatkan untuk offsettan dan gantungan kunci (Gambar V.15). Keberagaman pemanfaatan lainnya yang berupa barang yaitu bingkai berisi berbagai macam jenis kupu-kupu langka maupun yang lazim ditemukan, baju bergambar kupu-kupu ada beberapa jenis yang digunakan sebagai gambar pada baju namun tidak ditemukan dalam studi keragaman, seperti Papilio blumei, Ornithoptera rotschildi, Trogonoptera brokiana, dan beberapa jenis lainnya.

Gambar V.15 Wawancara dengan penangkar yang juga berdagang kupu-kupu di depan pintu gerbang kawasan wisata air terjun Perdagangan kupu-kupu saat ini telah menjadi bisnis yang penting. Sejumlah besar kupu-kupu dari berbagai jenis di wilayah penyebarannya di Indonesia telah menjadi komoditi internasional yang dalam waktu singkat kebutuhannya makin meningkat. Masuknya kupu-kupu dalam dunia perdagangan menyebabkan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-28


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

perburuan kupu-kupu dari alam tidak dapat dihindarkan (Amir dan Noerdjito, 1990), selain itu tingginya harga-harga dalam perdagangan menyebabkan peningkatan jumlah penangkapan. Perdagangan kupu-kupu menurut Morris et al (1986) dalam Oja (2003) dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu: 1.

Perdagangan Dekoratif Kupu-kupu digunakan untuk membuat hiasan dengan sasarannya adalah orangorang yang menghargai keindahan dan keunikan. Umumnya tidak memerlukan spesimen bermutu, penyediaannya dari sumber yang berlimpah serta mudah dipanen.

Gambar V.16 Gantungan Kunci @ Rp.4000-Rp.5000 2.

Perdagangan Spesialis Penekannan kupu-kupu yang dijual sebagai hiasan adalah pada jenis-jenis yang langka dan bermutu baik.

Gambar V.17 Bingkai dan spesies kupu-kupu langka Senilai Rp.3.000.000,00 3.

Perdagangan Hidup Para agen menjual telur, larva, dan ulat kupu-kupu serta ngengat. Perdagangan kupu-kupu di TN BaBul mencakup dua kategori yaitu

perdagangan dekoratif dan perdagangan spesialis. Sesuai yang disebutkan di atas yaitu perdagangan dekoratif berupa gantungan kunci dan specimen dalam bingkai. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-29


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sedangkan perdagangan spesialis yang biasanya hanya dilakukan untuk para kolektor.

Gambar V.18 Kepompong kupu-kupu siap dijual

IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan Keanekaragaman jenis kupu-kupu di ketiga lokasi pengamatan sebanyak empat famili dengan 54 spesies terdiri dari Papilionidae (11 spesies), Pieridae (9 spesies), Nymphalidae (29 spesies), dan Lycaenidae (3 spesies). Jumlah individu yang tertangkap di Pattunuang adalah yang terbanyak (223 ekor) dibandingkan dengan individu yang tertangkap di Panaikang (116 ekor) dan Bantimurung (175 ekor) dengan indeks keragamannya berturut-turut adalah 3.64, 3.52, dan 3.06. Ditemukan tiga spesies langka dan dilindungi yaitu Troides helena, T. Haliphron, dan Cethosia myrina. Keanekaragaman kupu-kupu di TN BaBul tidak hanya dipengaruhi oleh letaknya pada Bioregion Wallace, tetapi juga dipengaruhi oleh komponen habitatnya, terlebih dikarenakan sebagian besar kawasan berupa karst yang secara proses alami memberikan nutrisi tambahan bagi kupu di habitat pinggiran sungai. Tiga usaha pelestarian yang dapat ditempuh untuk mempertahankan populasi kupu-kupu yaitu konservasi, penangkaran, dan perlindungan terhadap kupu-kupu. Dari hasil penangkaran, kupu-kupu dapat dimanfaatkan baik secara komersil maupun untuk pemulihan. Kupu-kupu dimanfaatkan secara komersil untuk dijadikan souvenir yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pariwisata. Hasil penangkaran kupu-kupu yang dikelola oleh Pemkab dilepaskan kembali ke alam sebagai upaya pemulihan populasi kupu-kupu.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-30


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IV.2 Saran Peranan kupu-kupu sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati, potensi perdagangan kupukupu yang bernilai ekonomi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul). Selain itu, kupu-kupu juga dapat dijadikan sebagai objek wisata yang menarik. Oleh karena itu, sebaiknya di dalam kawasan TN Babul dilakukan hal-hal yang dapat menunjang peningkatan dan pengembangan potensi kupu-kupu, antara lain : 1. Pembuatan trail untuk mengamati atraksi kupu-kupu disepanjang sungai Pattunuang, lokasi pembutan trail sebaiknya berdekatan dengan bongkahan batu yang menyerupai perahu terbalik atau masyarakat lazim menyebutnya dengan Bisseang laboro. Pada lokasi ini, kupu-kupu sangat mudah dijumpai sedang melakukan aktivitas baik berjemur maupun memenuhi kebutuhan akan mineral. 2. Pembuatan papan informasi mengenai jenis kupu-kupu di lokasi Bantimurung dan Pattunuang. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut telah ditetapkannya kedua kawasan tersebut untuk lokasi wisata, sehingga para pengunjung dapat menyadari keberadaan kupu-kupu di kedua kawasan tersebut. 3. Perbaikan pusat penangkaran kupu-kupu yang sudah ada di lokasi Bantimurung dan Pattunuang baik untuk fungsi pemanfaatan maupun pelestarian kupu-kupu, sehingga selain dapat menunjang keadaan ekonomi masyarakat sekitar kawasaan, kupu-kupu juga tetap terjaga kelestariannya.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-31


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA

Aidid, Lomba. 1991. Studi penangkaran kupu-kupu di Bantimurung, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Skripsi fakultas kehutanan IPB. Bogor. Alikodra, H.S. 1979. Dasar-dasar Pembinaan Margasatwa. Yayasan Penerbit. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Amir, M. ; P. Taramingkem; W.A. Noerdjito; dan P. Nandika. 1995. Kupu-kupu Indonesia, permasalahan dan pelaksanaan pelestariannya. Duta rimba, Edisi September-Oktober, 51-55. Departemen Kehutanan. 1998. Usulan kegiatan penangkaran dan pengembangan taman kupu-kupu di Bantimurung, Kabupaten Maros, serta pengembangan wisata bahari di Taman Nasional Taka Bonerate. Kerjasama BIMP-EAGEA di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. .2005. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Diroctorate General of Forest Protection and Nature Conservation. 1990. Protected Butterflies in Indonesia. Ministry of Forestry R.I. Jakarta. Hamidun, M.S. 2001. Studi penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Intari, S.E dan M. Amir. 1997. Pelestarian Kupu-kupu yang diperdagangkan di Kawasan Cagar Alam Bantimurung, Sulawesi Selatan. Makalah diskusi Hasil-hasil penelitian tanggal 20-21 Maret 1997. 15 Hlm. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Krebs, C. J. Tampa tahun. Ecological Methodogy. Harper and Row Pub. New York. Miller, L.D and J.Y. Miller. 2004. The Butterfly Handbook. Grange Books Plc. United Kingdom. Oja, Andi Tenri. 2003. Pengelolaan pascapanen kupu-kupu di penangkaran kupu-kupu Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Tugas akhir Program Diploma III Fakultas kehutanan IPB. Bogor. Smart, P. 1975. The Illustrated Encyclopedra of The Butterfly World. Salamander Books Ltd. London. . 1976. The Illustrasted Encyclopedra of The Butterfly World. In Colour. Paul Smart Press. Sila, Mapatoba, A. Sadapotto dan Budiman. 1997. Studi Konservasi dengan Teknik Restorasi Jenis Kupu-Kupu di Taman Wisata Alam Gua Pattunuang, Kecamatan Bantimurung, Sulawesi Selatan. Laporan Proyek. Proyek Kerjasama Antara Lembaga Penelitian Unhas, BLH Selwilda Tk. I Prop. Sul-Sel, dan Asmen II Menteri Lingkungan Hidup. Ujung Pandang. Tangim, Nurhakim. 1986. Beberapa aspek ekologi kupu-kupu famili Papilionidae dan potensinya di Taman Wisata Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Skripsi Fakultas kehutanan IPB. Bogor. Tsukada, E. 1985. Butterfly of The South East Asian Island, part 3 : Satyridae and Lybytheidae. Plapac Co., Ltd. Japan. Tsukada, P. 1991. Butterfly of The South East Asian Island, part 5 : Nymphalidae (11). Azunimo butterfly Research Institute. Japan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-32


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

LAMPIRAN A.

Habitat-habitat pada lokasi pengamatan 1. Panaikang

Hutan primer (tertutup)

Pinggiran sungai (riparian)

2. Bantimurung

Hutan pinggiran tebing

Pinggiran telaga

3. Pattunuang

Pinggiran sungai (riparian)

Hutan sekunder (terbuka)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-33


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

B. Vegetasi pakan kupu-kupu

Sirih hutan (Aristalochia sp.) C.

Jeruk (Citrus sp.)

Pemanfaatan kupu-kupu untuk perdagangan

Bingkai dan spesimennya

Gantungan Kunci

Senilai Rp. 350.000,00

@ Rp.4000-Rp.5000

Berjualan di depan pintu

Spesimem kupu-kupu

Gerbang

yang diperdagangkan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

V-34


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul) merupakan bagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep yang merupakan kawasan karst terbesar kedua di dunia setelah Cina. Sehingga kawasan taman nasional ini didominasi oleh ekosistem karst. Ekosistem karst Maros-Pangkep memiliki kekhasan dan keunikan alami seperti endokarst (gua alam beserta ornamen-ornamen

dan fauna gua) dan eksokarst

(tower karst, flora dan fauna beserta dengan keunikan lainnya). Kawasan karst memiliki ekosistem yang berbeda bila di bandingkan dengan ekosistem lainnya yang berada di permukaan bumi. Gua-gua dalam kawasan TN Babul terbentuk dari sifat batuan karst yang mudah melarutkan air sehingga dapat menimbulkan sistem drainase bawah tanah dan dispursi dari sistem perlembahan. Pelarutan secara lokal menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan loronglorong bawah tanah, yang di kenal dengan gua atau sistem perguaan (HIKESPI, 1991). Kawasan karst dan gua memiliki manfaat yang tinggi ditinjau dari segi ekologis, ekonomis, sosial budaya maupun pendidikan. Seperti pada zaman purbakala, gua dijadikan sebagai tempat tinggal oleh manusia purbakala. Manfaat ekologis lain yang ada di dalam kawasan karst dan gua adalah tersedianya air tanah yang tertampung didalamnya sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, gua merupakan habitat berbagai satwa seperti kelelawar, satwa-satwa khas gua yang unik dan berbeda dengan satwa yang berada di luar gua. Ornamen-ornamen gua memiliki keindahan bentuk dan keunikan pada proses terbentuknya yang memerlukan waktu sangat lama. Ornamen-ornamen tersebut seperti stalaktit, stalagmit, flowstone, heliktit, pilar (couloumn) dan ornamen lainnya. Hal ini menyebabkan gua memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial, yang dapat digunakan untuk pendidikan, penelitian, laboratorium alam, objek wisata alam dan berbagai pemanfaatan lainnya. Seiring dengan banyaknya pemanfaatan gua oleh manusia yang menyebabkan kerusakan pada kealamian gua, maka perlu adanya pengelolaan yang baik sehingga kealamian dan potensi sumberdaya alam gua dapat terjaga kelestariannya.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Ada beberapa gua yang di manfaatkan secara langsung sebagai objek wisata gua. Keberadaan gua sebagai objek wisata dapat mendatangkan banyak keuntungan secara ekonomi. Akan tetapi disisi lain terdapat banyak ancaman kerusakan pada ekosistem gua yang disebabkan intensitas interaksi manusia yang tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang fungsi dan keindahan gua. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan inventarisasi terhadap potensi sumberdaya alam gua, sehingga diperoleh informasi dan data yang dapat digunakan dalam mengelola dan mengembangkan wisata gua dengan tetap menjaga kelestarian ekositem gua. Dalam wisata gua, agar

pengunjung yang

datang tidak hanya mendapatkan nilai keindahan gua tapi juga mendapatkan suatu pengetahuan (nilai pendidikan), perlu adanya interpretasi tentang potensi gua. Interprestasi ini dapat di buat dari informasi dan data yang telah dihasilkan. Dengan interpertasi ini, selain dapat memberikan kemudahan pengunjung untuk menikmati keindahan gua juga dapat menjadi daya tarik pengunjung terhadap nilai objek wisata gua. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam inventarisasi gua yaitu kegiatan pemetaan, fotografi, dan inventarisasi fauna gua. Kegiatan inventarisasi terhadap fauna gua dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis satwa yang ada didalam gua. Fauna gua yang unik menjadi daya tarik tersendiri sehingga dapat dikembangkan menjadi obyek wisata gua. I.2 Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk : 1. Melakukan inventarisasi fauna dalam gua wisata 2. Melakukan pemetaan gua 3. Membuat interpretasi wisata penelusuran gua

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II. METODE PENGAMATAN II.1 Waktu dan Tempat Inventarisasi gua di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dilakukan di beberapa gua yaitu: •

Gua Batu (Sabtu, 11 Juli 2007 pada pukul 08.00-12.00 WITA)

Gua Mimpi (Sabtu-Minggu, 11-12 Juli 2007 pada pukul 16.30-19.00 WITA dan 08.00-14.00 WITA)

Gua Pattunuang (Rabu, 15 Juli 2007 pada pukul 08.00-12.00WITA). Inventarisasi fauna gua juga dilakukan pada gua:

Gua Salukkang Kallang (Senin, 20 Juli 2007 pada pukul 16.00-17.30 WITA)

Gua Leang Lonrong (Rabu, 22 Juli 2007 pada pukul 09.00-12.00 WITA)

II.2 Alat dan Bahan ALat dan bahan yang digunakan selama eksplorasi ini anatara lain : • Botol specimen

• Kompas

• Pinset

• Kllino meter

• Kantong plastic

• Meteran

• Kantong Kelelawar

• Tali raffia

• Kuas

• Tally sheet

• Sarung tangan

• Papan jalan

• Alkohol 70%

• Milimeter block

• Aquades

• Kalkulator

• Jaring Kelelawar dan ikan

• Alat tulis

• Fieldguide kelelawar

• Termometer

• Kamera

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II.3 Metode Pengambilan Data Data yang akan diambil dan metode yang digunakan dapat dilihat pada tabel VI.1 dibawah ini. Tabel VI.1 Data yang diambil dan metode yang digunakan No 1

Data yang diambil • Spesimen • Jenis

dan

Metode Inventarisasi

jumlah

spesies • Dokumentasi 2

• Panjang gua

Pemetaan

• Lebar gua • Tinggi gua • Kemiringan lantai gua • Sudut

kompas

tiap

stasiun 3

Suhu gua

Pengukuran

4

Ornamen gua

Pengamatan dan dokumentasi

II.3.1 Suhu dan Kelembaban Gua Pengambilan data suhu dilakukan dengan menggunakan termometer basah dan kering. Pengukuran dilakukan selama 30 menit dan dicatat tiap 10 menit. Data yang didapatkan merupakan rata-rata pencatatan. Kelembaban didapat dengan menggunakan tabel RH yang telah tersedia pada termometer. Data yang digunakan untuk melihat tabel adalah suhu kering. Gua-gua yang dilakukan pengambilan data suhu dan kelembaban yaitu Gua Mimpi, Gua Batu, Gua Pattunuang dan Gua Leang lonrong, sedangkan pada Gua Salukkang Kallang tidak dilakukan pengukuran data suhu dan kelembaban karena karena inventarisasi pada gua ini hanya bertujuan untuk melihat dan menambah jenis fauna yang dapat ditemukan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II.3.2 Inventarisasi Fauna Gua Cara Kerja Inventarisasi fauna dilakukan dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut : a. Penelusuran dilakukan oleh 10 orang dengan lima orang selaku tim surveyor dan lima orang pembantu. b. Pencarian dan pengambilan spesies dilakukan disepanjang lorong gua serta tempat-tempat di dalam gua seperti lantai gua, dinding gua, langit-langit gua dan juga di ceruk. c. Spesies yang berukuran besar diambil dengan cara manual (tangan) ataupun dengan pinset sedangkan spesies yang berukuran kecil diambil dengan menggunakan kuas, kemudian dimasukkan kedalam botol spesimen atau kantong plastik. d. Untuk spesies yang sulit ditangkap surveyor hanya dapat mengabadikan dengan foto e. Setelah inventarisasi selesai dilakukan, spesies dikeluarkan dari dalam kantong plastik, dibersihkan dengan aquades, kemudian dimasukkan kedalam tabung spesimen yang telah berisikan alkohol 70%. f. Pemberian label pada botol spesimen g. Pengidentifikasian spesies dengan mencocokkan ciri-ciri khusus spesies melalui fieldguide h. Mencatat hasil identifikasi dan membuat laporan II.3.3 Pemetaan Gua Cara Kerja a. Survei dengan metode forward (forward method) Metode arah survey yang digunakan dalam kegiatan pemetaan yaitu forward method. Forward method yaitu suatu metode dimana pembaca alat dan pencatat pada sistem stasiun pertama, seorang lagi sebagai target pada stasiun kedua. Setelah pembacaan selesai, pembaca dan pencatat berpindah ke stasiun kedua. Kemudian target pindah ke stasiun terakhir, sedangkan untuk pengukuran pada saat pengumpulan data dimulai dari pintu gua sampai ujung lorong atau dasar dari gua atau sampai terakhir.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

b. Pelaksanaan Pemetaan Gua Pada saat pelaksanaan pemetaan dilakukan beberapa tahap kegiatan, yaitu sebagai berikut : a)

Penentuan stasiun oleh seorang leader

b)

Pembaca alat berada pada stasiun yang ditentukan oleh leader dan target berada pada stasiun berikutnya

c)

Pembidikan dilakukan oleh pembaca alat terhadap target sekaligus pengukuran jarak dan pembacaan alat

d)

Mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan gua oleh seorang deskriptor. Kondisi yang dicatat antara lain mulut gua, penampang melintang gua, ornament gua, dan sketsa lorong secara plan section.

e)

Mencatat data-data hasil pembacaan alat dan pengukuran oleh seorang pencatat.

f)

Demikian seterusnya sampai stasiun terakhir sesuai dengan metode yang digunakan (Forward Method).

c. Pembuatan peta Pengolahan data hasil pembacaan dan pengukuran menggunakan software VCOM 32 dan penggambaran peta dengan menggunakan metode plan section.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 Hasil III.1.1 Kondisi Umum Kawasan III.1.1.1 Gua Batu Gua Batu merupakan gua wisata yang terletak di Kecamatan Bantimurung. Gua ini berada dalam kawasan TWA Bantimurung berjarak 800 meter dari Taman Wisata Alam (TWA) Bantimurung. Menurut klasifikasi iklim Schmith dan Ferguson kawasan ini termasuk kedalam iklim D. Jenis tanahnya Eutropepts yang bewarna terang dan sangat dangkal. Lokasi gua batu dekat dengan Sungai Bantimurung yang mengalir didalam TWA Bantimurung, sungai ini merupakan daya tarik utama kunjungan wisata di TWA Bantimurung. Sungai Bantimurung merupakan sungai perairan persawahan (irigasi). Topografi

kawasan gua batu adalah perbukitan

yang dicirikan oleh kemiringan lereng sedang sampai rendah, bentuk bukit tumpul dengan lembah yang sempit sampai melebar dan bentuk relief dan tekstur topografi halus-sedang. III.1.1.2 Gua mimpi Gua Mimpi berada pada jarak 1000 meter dari pintu gerbang Taman Wisata Alam (TWA) Bantimurung. Gua Mimpi merupakan gua horizontal yang mulutnya terletak pada bagian bawah tebing karst, mulut gua sejajar dengan permukaan tanah. Gua ini memiliki dua pintu, yaitu pintu masuk dan pintu keluar. Topografi kawasan Gua Mimpi berupa daerah perbukitan yang lebih terjal dan curam dari Gua Batu. Akses menuju ke gua dengan berjalan kaki melewati kawasan hutan dengan kondisi jalannya berbatu dengan membentuk tangga-tangga. Di sekitar mulut gua ditemukan beberapa jenis fauna yang bisa dilihat seperti kadal yang sedang berjemur di bebatuan dan kupu-kupu yang sedang beterbangan. Sekitar Gua Mimpi terdapat bebatuan karst yang diatasnya tertutupi oleh jenis tanah berupa Litosol.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.1.1.3 Gua Pattunuang Gua Pattunuang terdapat dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gua Pattunuang. Kawasan TWA Gua Pattunuang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 59/kpts II/1987 tanggal 12 Maret 1987 dengan luas areal 1506,25 Ha. Kawasan TWA Pattunuang merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi dan keunikan bentang alamnya. Gua Pattunuang merupakan salah satu objek favorit yang dijadikan sebagai daya tarik wisata TWA Pattunuang. Untuk mencapai akses ke mulut Gua Pattunuang harus di tempuh dengan perjalanan menelusuri jalan setapak di dalam hutan sejauh lebih kurang 2900 meter dari mes utama TWA Pattunuang. Di sepanjang jalur menuju Gua Pattunuang banyak terdapat berbagai macam flora dan fauna khas Sulawesi serta melewati sungai. Gua Pattunuang memiliki dua mulut utama gua yang sulit ditemukan karena yang letaknya menjorok ke dalam dengan posisi lebih tinggi dari jalur yang dibuat oleh pengelola TWA Pattunuang. Gua Pattunuang memiliki dua mulut yang letaknya tidak terlalu jauh, yaitu sekitar 5 meter. Mulut ke dua Gua Pattunuang terletak sedikit lebih tinggi dibandingkan mulut gua utama yang sering dilewati oleh pengunjung untuk masuk ke dalam gua. III.1.1.4 Gua Leang Lonrong Kawasan di sekitar Gua Leang Lonrong didominasi oleh batuan karst dengan tebing-tebing tinggi yang curam, dengan kecuraman mencapai 75Âş. Pada umumnya vegetasi di sekitar gua ini didominasi oleh pohon-pohon dengan diameter kecil sampai sedang. Pada siang hari kadang terdengar suara ledakan yang berasal dari PT. Semen Bosowa yang sedang melakukan aktivitas pertambangan batu karst. Gua Leang Lonrong merupakan gua berair dengan sungai yang luas dan terdapat bebatuan yang terjal didalamnya. Kondisi air di dalam gua sangat dingin dan kedalamannya lebih dari 2 meter. Mulut gua ini akan tertutup oleh air jika sungainya penuh. Air sungai tersebut dimanfaatkan untuk sumber air minum yang disalurkan melalui pipa besi yang pangkalnya berjarak sekitar 100 meter dari mulut gua. Selain itu juga, aliran sungai dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar gua untuk kegiatan sehari-hari seperti manndi dan mencuci pakaian. Pengunjung yang datang ke Gua Leang Lonrong tidak hanya menikmati pemandangan guanya saja tetapi

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

pengunjung dapat memanfaatkan kolam buatan yang terletak di depan mulut gua untuk berenang dan bermain air lainnya. III.1.1.5 Gua Salukkang Kallang Gua Salukkang Kallang terletak di Dusun Labya desa Kappang, tepatnya di Cagar alam Karaenta. Gua tersebut terletak ± 1 Km dari jalan Poros Makasar-Bone tepatnya 58 Km dari kota Makasar. Waktu tempuh ± 30 menit dengan berjalan kaki dari jalan poros menuju ke gua tersebut. Topografi di kawasan Gua Salukkang Kallang di dominasi oleh pgunungan karst namun jalur menuju gua relatif datar ± 10 º. Gua terletak di ujung sungai yang membentuk lubang berukuran 1x2 m dilalui dengan jalan jongkok. Menurut penelitian terdahulu terdapat 4 mulut gua dengan panjang keseluruhan lorong ± 11.000 m. Gua ini dianggap sebagai gua terpanjang kedua yang dikenal di Indonesia hingga sekarang (R. KO, mantan ketua Hikespi). Mulut Gua Salukkang Kallang merupakan terusan sungai, gua ini merupakan gua berair dengan aliran yang lambat saat musim kering namun saat musim hujan arus menjadi deras. Bentukan gua dipengaruhi oleh arus air dari sungai, dengan batuan khas pembentuk dinding gua berupa batuan sungai yang melekat pada batu kapur. III.1.2 Suhu dan Kelembaban Dari hasil pengukuran suhu yang dilakukan pada beberapa gua diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel VI.2 Suhu Kering No

Nama gua

Lokasi pengamatan Mulut gua (oC)

Dalam gua (oC)

1

Gua Batu

24,5

24,75

2

Gua Mimpi

24,75

25,25

3

Gua Pattunuang

26,13

26,4

4

Gua Leang lonrong

26

-

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Tabel VI.3 Suhu Basah Lokasi pengamatan

Nama gua

No

Mulut gua (oC)

Dalam gua (oC)

1

Gua Batu

23,4

24

2

Gua Mimpi

24,5

24,25

3

Gua Pattunuang

24,25

25,88

4

Gua Leang lonrong

25,5

-

Tabel VI.4 Kelembaban Relatif No

Lokasi pengamatan

Nama gua

Mulut gua (oC)

Dalam gua (oC)

1

Gua Batu

89,38

92,25

2

Gua Mimpi

97,88

90,25

3

Gua Pattunuang

84,75

94,25

4

Gua Leang lonrong

92,5

-

III.1.3 Inventarisasi Fauna Gua Dari inventarisasi fauna gua yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel VI.5 Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Batu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung No

Nama satwa

Jumlah (ekor)

Lokasi di gua

Aktivitas

1

Jangkrik

4

Dinding gua

Diam

2

Kelelawar

2

Langit-langit

Diam

Tabel VI.6 Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Mimpi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung No

Nama satwa

Jumlah (ekor)

Lokasi di gua

Aktivitas

1

Katak

3

Lantai

Diam, lompat

2

Laba-laba

21

Dinding,atap

Diam,merayap

3

Jangkrik

97

Dinding,lantai

Jalan, diam

4

Tokek

3

Atap, antara stalaktit

Diam

5

Collembola

1

Dinding

Diam

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No

Nama satwa

Jumlah (ekor)

Lokasi di gua

Aktivitas

6

Kumbang kelapa

3

Dinding

Diam

7

Kelelawar

50

Atap

Diam

8

Amblyphigi

3

Dinding

Diam

Tabel VI.7 Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Pattunuang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung No

Nama fauna

Jumlah (ekor)

Lokasi di gua

Aktivitas

1

Geko

1

Dinding

Diam

2

Laba-laba

3

Dinding

Diam

3

Jangkrik

22

Dinding

Jalan

4

Kelelawar

15

Atap

Diam

5

Amblyphigi

3

Dinding

Diam

Tabel VI.8 Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Leang Lonrong Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung No

Nama fauna

Jumlah (ekor)

Lokasi di gua

Aktivitas

1

Laba-laba merah

2

Dinding

Diam

2

Laba-laba biasa

30

Dinding

Diam

3

Jangkrik

11

Dinding

Jalan

4

Amblyphigi

6

Dinding

Diam

5

Ular

2

Lantai

Diam

6

Ikan

6

Air

Berenang

7

Katak

33

Atap

Diam

8

Cicak

4

Atap

Diam

9

Kepiting

3

Air (lantai)

Jalan

10

Kelabang

1

Dinding

Diam

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Tabel VI.9 Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Fauna Gua Salukkang Kallang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung No

Nama fauna

Jumlah (ekor)

Lokasi di gua

Aktivitas

1

Laba-laba merah

3

Dinding

Diam

2

Laba-laba biasa

73

Dinding

Diam

3

Jangkrik

66

Dinding

Jalan

4

Amblyphigi

6

Dinding

Diam

5

Ikan

7

Air

Berenang

6

Katak

1

Atap

Diam

7

Kepiting

9

Air (lantai)

Jalan

8

Kaki seribu

11

Dinding

Diam

9

Keluing

4

Dinding

Diam

10

Ketonggeng

2

11

Udang

30

Air (lantai)

Berenang

12

Siput

2

Air, stalagmit

Diam

III.1.4. Pemetaan Gua Pemetaan gua di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dilakukan pada tiga gua wisata, yaitu : 1. Gua Batu-Bantimurung Nama Gua

: Gua Batu

Tanggal

: 11 Agustus 2007

Lokasi

: Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung

Surveyor

: KPG Hira

Tabel VI.10 Hasil Pemetaan Gua Batu Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung Stasiun

Jarak

Kompas

Clino

Tinggi

Dinding (Meter)

Dari

Ke

(Meter)

(°)

(°)

(Meter)

Kiri

Kanan

0

1

22,7

350

0

4,8

6,0

2,6

1

2

20,9

255

0

2,5

2,7

2,2

2

3

13,5

245

0

4,0

6,2

1,6

3

4

10

190

0

2,5

4,3

2,6

4

5

3,9

245

-14

1,4

0,3

0,5

5

6

10

280

0

2,3

6,3

1,4

6

7

7,1

300

0

3,5

6,0

8,0

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Utara

Skala 1 : 350 Keterangan ∆

: Posisi stasiun

__

: Jalur yang dilewati Gambar VI.1 Peta Gua Batu (tampak atas)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-13


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

2. Gua Mimpi-Bantimurung Nama Gua

: Gua Mimpi

Tanggal

: 11 Agustus 2007

Lokasi

: Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung

Surveyor

: KPG Hira

Tabel VI.11 Hasil Pemetaan Gua Mimpi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung Stasiun

Jarak

Kompas

Clino

Tinggi

Dinding (Meter)

Dari

Ke

(Meter)

(°)

(°)

(Meter)

Kiri

Kanan

0

1

16

280

-25

16

3,2

3,1

1

2

8,8

320

5

15

1,2

1,2

2

3

4,2

320

40

10,5

1,2

0,4

3

4

1,5

255

0

12

1,1

0,8

4

5

8,3

90

70

20

0,9

1

5

6

58

290

0

25

5,3

5,6

6

7

33,3

290

0

20

3,8

0,1

7

8

14,9

250

0

12,5

0,7

5,8

8

9

12,4

260

10

12,8

1,5

7,3

9

10

12,8

140

0

7,0

0,8

0,6

10

11

2,8

145

40

5,5

2,5

4,1

11

12

3,6

235

-40

10

2,7

7,5

12

13

12,3

220

-5

15

1,1

4,7

13

14

36,3

225

5

7,0

2,1

5,8

14

15

38

260

0

13

7,2

8,8

15

16

28

260

0

10

8,2

7,5

16

17

28

250

0

12,8

1,2

9,9

17

18

18,8

255

0

15

4,2

9,9

18

19

13,5

240

28

3,0

3,1

9

19

20

7,0

235

10

2,5

0,8

0,8

20

21

4,9

272

15

8

1,3

0

21

22

0

265

90

12

1,2

0,5

22

23

7,6

265

-8

4

4,5

1,1

23

24

11,4

242

-10

21

5,6

1

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Stasiun

Jarak

Kompas

Clino

Tinggi

Dinding (Meter)

Dari

Ke

(Meter)

(°)

(°)

(Meter)

Kiri

Kanan

24

25

13,5

180

0

21

3

1,4

25

26

9

160

2

19

1

2,0

26

27

15,3

200

0

20

4

0,9

27

28

25,1

215

0

18

2,6

1,4

28

29

21,8

280

0

11

6,6

0,7

29

30

5,2

275

30

6,0

0,9

2,5

30

31

4,4

272

-35

13

4,5

5,8

31

32

2,5

302

2

12,5

2,8

3,7

32

33

22,6

310

0

10,3

8

0,7

33

34

30

265

0

12

5,2

0,8

34

35

39,6

275

0

9,8

2,5

15,2

35

36

29,2

318

0

13,5

8,5

3,2

36

37

22,6

273

0

6

2,5

4,5

37

38

6,3

262

0

5,1

1

1,2

38

39

34,3

293

0

9

4,5

5,3

39

40

23,1

243

30

7

0,7

0,7

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Utara

Skala 1 : 3043 Keterangan ∆

: Posisi stasiun

__

: Jalur yang dilewati Gambar VI.2.Peta Gua Mimpi (tampak atas)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

3. Gua Pattunuang Nama Gua

: Gua Pattunuang

Tanggal

: 14 Agustus 2007

Lokasi

: Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung

Surveyor

: KPG Hira

Tabel VI.12 Hasil Pemetaan Gua Pattunuang Taman Nasional BantimurungBulusaraung Stasiun

Jarak

Kompas

Clino

Tinggi

Dinding (Meter)

Dari

Ke

(Meter)

(°)

(°)

(Meter)

Kiri

Kanan

0

1

6,5

245

2

4

12,11

3,7

1

2

8

189

25

2

4

1,2

2

3

9,3

269

27

2,5

19,69

6

3

4

8,6

275

21

8

19,69

6

4a

4

19

235

10

5

8,86

2,7

4

5

6,3

295

7

6,5

11,29

3,4

5

6

18,2

0

3

7

29,53

9

6

7

23,5

290

4

6,4

13,45

4,1

7

8

34

224

6

3,5

17,39

5,3

8

9

19,6

290

1

4

9,84

3

9

10

10

281

12

11,2

13,12

4

10

11

3,7

268

0

6

5,5

15,4

11

12

17

180

0

8

16,4

5

12

13

8,1

149

37

3,2

11,48

3,5

13

14

6,7

213

8

5

11,48

3,5

14

15

11,5

150

2

3

4,27

1,3

15

16

12,6

222

0

2,5

39,37

12

16

16a

9,3

68

0

2,2

0

0

16

16b

12

130

2

3

0

0

16

16c

6,4

165

0

0,6

0

0

16

17

9

240

0

1,2

13,45

4,1

17

18

8,6

280

1

1,8

6,82

2,1

18

19

16

264

3

2,5

4,92

1,5

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Stasiun

Jarak

Kompas

Clino

Tinggi

Dinding (Meter)

Dari

Ke

(Meter)

(°)

(°)

(Meter)

Kiri

Kanan

19

20

6,6

246

0

3,5

4,92

1,5

20

21

5,6

320

3

3

1,77

0,5

21

22

0

258

-90

7

13,12

4

22

23

6,3

319

22

8

14,11

4,3

23

24

17,9

355

17

1,6

13,12

4

Utara

Skala 1: 858 Keterangan ∆ : Posisi stasiun __ : Jalur yang dilewati Gambar VI.3 Peta Gua Pattunuang (tampak atas)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.2 Pembahasan III.2.1 Gua Batu Gua Batu adalah gua terpendek bila dibandingkan dengan Gua Mimpi dan Gua Pattunuang. Panjang lorong Gua Batu adalah 88 m akan tetapi gua ini memilki mulut yang lebar diantara dua gua lainnya yaitu 8.6 m. Lorong gua yang tidak terlalu panjang dan mulut gua yang lebar menjadikan gua ini cocok dijadikan wisata massal, selain itu kondisi gua Gua Batu yang kering dan dekat dengan pintu gerbang TWA Bantimurung semakin mempermudah pengunjung untuk datang ketempat ini. Ornamen yang dimiliki beraneka ragam, seperti bentukan stalaktit, stalagmit, gourdam, tiang dan bentukan lantai yang datar dan kering. meskipun gua ini memiliki keindahan namun banyak terjadi vandalisme (Gambar VI.8) dan penyalahgunaan tempat wisata sebagai tempat bermesraan/pacaran.

Gambar VI.4 Bentukan mulut gua yang dapat dilalui melalui celah kanan kiri batu Mulai mulut gua (Gambar VI.4) pengunjung diarahkan untuk melalui celah batu yang digunakan sebagai pintu masuk dan keluar. Sampai didalam gua pengunjung langsung dihadapkan pada ruangan yang cukup lebar dengan stalaktit yang megah. Ruangan yang cukup besar berakhir pada tikungan sempit yang dihiasi gordam yang sudah mati dan di kelilingi tiang. Batuan yang ada berupa batu coklat dengan lapisan lilin pada ujungnya.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Salah satu fenomena unik dan indah yang dapat ditemukan dalam gua adalah proses pembentukan tiang (Gambar VI.5) yang merupakan pertemuan antara stalaktit dan stalagmit. Selain itu, ditemukan juga stalaktit yang rapat membentuk paku–paku alam yang menyerupai cakar hewan buas (Gambar VI.6) sehingga menimbulkan kesan mencekam.

Gambar VI.5 Stalagmit membentuk tiang

Gambar VI.6 Stalaktit menyerupai cakar hewan buas

Terdapat kumpulan kelelawar yang hidup dan berkembang biak didalam Gua Batu. Kelelawar-kelelawar ini bertengger pada stalaktit yang menyerupai cakar hewan buas. Pada lokasi ini tercium bau yang berasal dari kotoran kelelawar (guano) yang terdapat di sekitar dinding dan lantai gua. Bau yang menyengat tersebut mengindikasikan bahwa kelelawar yang mendiami ruangan tersebut merupakan pemakan serangga.

Gambar VI.7 Bentukan ruangan yang digunakan kelelawar tempat tinggal Pengembangan Gua Batu sebagai tempat wisata memerlukan diterapkannya beberapa peraturan menyangkut vandalisme karena keindahan gua menjadi terganggu dengan banyaknya coretan didinding gua (Gambar VI.8). Pencahayaan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

sinar blitz juga merusak warna asli dari batuan. Pengembangan wisata massal memerlukan perhatian khusus terhadap para pengunjung berupa peringatan untuk tidak mencorat-coret ornamen gua. Menurut Cahyo Alkantana (2007), jika dibutuhkan, pengembangan berupa penerangan harus menggunakan lampu yang tidak merusak warna ornamen gua. Lampu yang digunakan dapat berupa lampu neon yang cahayanya tidak terlalu terang.

Gambar VI.8 Vandalisme dan pencahayaan berlebihan dari lampu blitz yang merusak warna asli batuan di Gua Batu. III.2.2 Gua Mimpi Gua ini merupakan gua wisata yang memang sudah dikelola oleh Pemda namun fasilitas yang ada masih perlu ditambahkan. Keindahan gua ini masih tetap terjaga meskipun kerusakan masih dapat ditemukan. Mulut gua memiliki lubang yang cukup besar (Gambar VI.9). Jika difoto dapat menghasilkan citra yang beragam, karena asupan cahaya yang masuk memiliki intensitas yang berbeda untuk setiap waktunya.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VI.9 Mulut Gua Mimpi memiliki bentukan citra artistik ornamen gua yang khas Jenis ornamen yang dapat ditemui adalah bentukan stalaktit dan stalagmit yang berwarna coklat, hijau, dan keabuan serta flow stone. Stalaktit yang dijumpai ada yang berbentuk papan, sementara flowstone berwarna putih mengkilap dan berbentuk seperti air yang mengalir pada bebatuan dengan ukuran besar dan tinggi. Pada gua ini juga ditemukan keindahan gua lain yang berupa lorong sempit dengan ornamen yang menawan yang disebut heliktit. (Gambar VI.10).

Gambar VI.10 Bentukan heliktit

Gambar VI.11 Lorong Berlian

Lorong ini diberi nama lorong berlian (Gambar VI.11) karena kerlip pantulan cahaya memiliki kemiripan kilauan dengan batu berlian. Lorong ini terbentuk karena proses pengendapan kapur oleh angin. Keindahan luar biasa juga dapat dilihat dari besarnya ruangan yang ada dan panjangnya lorong yang bentuknya relatif sama menyerupai gorong-gorong air. Keindahan juga terletak pada bentukan stalaktit dan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

stalagmit yang tumbuh dan menyatu membentuk tiang. Jalan keluar pada gua ini berupa lubang terjal dan harus dilewati dengan cara memutar. III.2.3 Gua Pattunuang Gua Pattunuang memiliki panjang 320,3 m dan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi karena topografi didalam gua tidak datar dan banyak terdapat reruntuhan dari dinding gua. Bentukan alam pada Gua Pattunuang dapat dijadikan wisata minat khusus dan penelitian. Terdapat dua mulut gua dengan ukuran yang berbeda. Mulut I dapat dilalui dengan merunduk. Meskipun pintu gua terlihat lebar namun ketika memasuki ruangan semakin mengecil dan pengunjung harus merunduk. Untuk pintu masuk yang pertama ini topografi relatif menanjak dan di akhiri pada bentukan tiang yang unik, yaitu bentukan tiang yang mirip dengan bunga-bunga pada pesta perkawinan. Setelah melalui tiang ini pengunjung dihadapkan pada ruangan yang cukup luas dengan kondisi ruangan yang remang–remang. Pada sisi kanan dijumpai sinar yang terang benderang. Pada mulut gua II (Gambar VI.12), lebih besar dari mulut I dan bisa dijumpai stalaktit dan gourdam yang menawan.

Gambar VI.12 Mulut II Gua Pattunuang Terdapat persimpangan jalan dalam lorong dengan lantai yang unik karena terdapat bentangan stalagmit yang menyerupai bentangan kaktus yang berjajar lurus di sepanjang lorong (Gambar VI.13). Lorong semakin menyempit dengan hiasan flowstone yang berwarna putih berkilauan dengan indahnya. Terdapat juga tiang yang berdiri tegak dan terkesan kekar.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VI.13 Stalagmit yang membentuk bentangan kaktus Pada ujung lorong, jalan mulai menurun namun pada turunan yang semakin tajam ditemukan ruangan bekas runtuhan. Ornamen tiang menghiasi sebagian besar isi ruangan namun pengunjung harus berhati-hati karena terdapat tiga lubang yang dalam dan sangat berbahaya. Ruangan di dalam Gua Pattunuang ini memiliki keunikan pada bebatuan pembentuk dindingnya yang apabila dipukul, menghasilkan bunyi-bunyian yang menggema keseluruh ruangan. Bentukan ornamen seperti menara juga menghiasi bagian dalam dari Gua Pattunuang, yang oleh masyarakat lokal disebut Menara Pisa (Gambar VI.14) karena bentuknya menyerupai Menara Pisa yang ada di Paris. Menara Pisa ini posisinya condong kesamping seolah-olah ada yang menopang, di sebelah Menara Pisa ini terdapat pancuran bebatuan yang membentuk flowstone mini yang membentuk taman berlian.

Gambar VI.14 Tiang gua yang menyerupai Menara Pisa

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Keindahan Gua Pattunuang dilengkapi dengan keberadaan sebuah ceruk yang diberi nama Ceruk Susu. Bentukan stalagmit yang aneh ini membentuk seperti susu sapi yang bergelantung tanpa ada empunya. Penelusuran dilakukan dengan berjalan jongkok dan harus menggunakan helm agar kepala tidak terbentur dengan batu susu. Setelah melewati susunan batu susu, pengunjung dapat beristirahat pada celah batu yang membentuk tempat duduk. Namun di samping jalan, penelusuran harus dilakukan dengan sangat berhati-hati karena terdapat jalan vertikal sedalam kurang lebih 10 meter meskipun dengan alat bantu tali, penelusuran harus sangat berhati-hati karena dinding tebing masih berlumpur. Setelah melewati penurunan ini pengunjung dapat melihat ujung gua yang membentuk ruangan yang sangat luas namun harus berhati-hati karena terdapat satu lubang yang cukup besar dengan lumpur sebagai alasnya. Sampailah pada ujung gua yang ditandai dengan ceruk yang menyempit tanpa ada lagi lubang terusan. Keadaan Gua Pattunuang masih alami karena tidak dijumpai adanya kerusakan. Banyak pengunjung datang ke gua ini untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah. Ekowisata yang dapat direkomendasikan adalah ekowisata minat khusus karena gua ini memiliki kriteria kesulitan yang cukup tinggi. Untuk keamanan setiap pengunjung harus dibekali peralatan standar masuk gua berupa baju coverall, senter dan helm. Daya tarik wisata minat khusus ini adalah keekstriman dari Gua Pattunuang, gua ini sulit untuk ditelusuri karena keadaan di dalam gua yang agak licin dan berlumpur disertai adanya bekas longsoran dan ruangan vertikal sehingga pada bagian-bagian tertentu lorong gua ini sempit dan susah untuk dilewati. Selain itu keindahan ornamen di dalam gua memberikan kesan tersendiri bagi penelusur gua. Gua ini ekstirm akan tetapi indah. Mengingat kawasan Taman Wisata Alam Pattunuang ini akan dibuka untuk kepentingan wisata massal dan Gua Pattunuang merupakan salah satu objek unggulan didalamnya, maka pengelolaannya harus lebih berhati-hati, Gua Pattunuang sebaiknya hanya boleh dikunjungi oleh kalangan terbatas yang telah memilki pengetahuan dan pemahaman dalam melakukan penelusuran gua yang baik sehingga gua ini akan tetap terjaga keaslian dan keindahannya. Pengunjung massal dapat diarahkan untuk menikmati keindahan alam lain di sekitar gua seperti keanekaragaman flora dan fauna Taman Wisata Alam Pattunuang dengan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-25


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

memberikan pemahaman bahwa kawasan karst dan gua memilki hubungan yang saling berkaitan dalam menjaga keseimbangan alam. Pembatasan jumlah pengunjung juga dianjurkan agar ornamen dan fauna yang ada di dalam gua tidak terganggu, Jumlah pengunjung yang masuk gua sebaiknya tidak lebih dari 10 orang dalam waktu yang bersamaan. III.2.4. Fauna Gua Dalam inventarisasi fauna yang dilakukan pada lima gua di Taman Nasional Bantimurunng Bulusaraung hanya tiga gua yang ditemukan kelelawar yaitu Gua Batu (Gambar VI.15), Gua Mimpi, dan Gua Pattunuang, kelelawar tersebut ditemukan pada atap gua. Kelelawar menurut Paulsoun dan White dalam Samodra (2001) termasuk kedalam Trogloxen yaitu binatang yang datang kedalam gua secara sengaja ataupun tidak sengaja. Kelelawar mempunyai peranan yang besar dalam kelangsungan ekosistem di luar gua. Menurut tim peneliti LIPI tahun 2002, ada beberapa jenis kelelawar yang merupakan �keystone species� yang berfungsi sebagai penghubung kehidupan di dalam dan luar gua.

Gambar VI.15 Kelelawar Gua Batu Sebagian besar fauna penghuni gua adalah serangga yang telah beradaptasi dengan kondisi gua, seperti jangkrik, laba-laba, collembola, amblyphigi. Jangkrik merupakan fauna dominan di temukan di semua gua yang di inventarisasi. Jangkrik yang ditemukan termasuk dalam famili Raphidoporidae. Menurut Samodra (2001) jangkrik gua memakan jamur yang tumbuh pada endapan guano. Jangkrik gua termasuk kedalam komunitas Artophodaguanofag yang berarti masih memiliki mata dan pigmen. Jangkrik ini di temukan pada lantai, dinding gua dan ceruk.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-26


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Berdasarkan derajat adaptasi terhadap lingkungan jangkrik dan laba-laba menurut Poulson dan White dalam Samodra (2001) termasuk ke dalam kelompok Troglophile yaitu binatang yang secara teratur memasuki gua tetapi tidak sepenuhnya hidup dalam gua dan sebagian siklus hidupnya berlangsung di dalam atau di luar gua. Colembolla termasuk ke dalam binatang gua Troglobite atau troglobion yaitu binatang yang telah beradaptasi secara penuh terhadap lingkungan gua dan merupakan penghuni tetap gua. Menurut Ko dalam KPG (2005) ciri dan sifat binatang Troglobite atau troglobion antara lain : 1.

Menghemat energi, dalam artian hanya bergerak untuk mencari mangsa ; beberapa bagian tubuh yang diperlukan tetap dipertahankan, mempunyai alat peraba yang sempurna, jumlah telurnya sedikit tetapi berukuran besar Karena tidak ada pemangsa.

2. Berevolusi mundur, yaitu kembali ke bentuk tidak dewasa yang cenderung primitive dan spesies baru yang dihasilkan sama sekali berbeda dengan spesies yang berada di luar gua. 3. Mempunyai fisologi yang sama sekali berbeda dengan binatang di luar gua, dan Karena tidak mengenal periode gelap terang circadium maka selama 24 jam ia dapat bergerak terus mencari mangsa atau sebaliknya tidur. 4. Tidak mempunyai jam biologi, sehingga birahinya dipengaruhi banjir di musim hujan. 5. Jumlah antara makanan dan bintang itu sendiri berimbang Sebanyak delapan jenis fauna ditemukan di Gua Mimpi di sepanjang lorong gua. Sebagian besar dari fauna gua ini tergolong dalam Troglophile yang tersebar merata, diantaranya ada yang hidup di dinding, lantai, dan di atap gua. Hal tersebut disebabkan tersebar meratanya pakan fauna gua tersebut. Fauna yang dominan penghuni gua mimpi yaitu jangkrik dan kelelawar, jenis fauna lain yang ditemukan adalah katak (gambar VI.16), laba-laba (gambar VI.17), kumbang kelapa, collembola, tokek, dan amblyphigi.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-27


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VI.16 katak

Gambar VI.17 Laba-laba Fauna yang ditemukan di Gua Batu jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan fauna di Gua Mimpi, ini dikarenakan aktivitas manusia seperti jumlah pengunjung pada Gua Batu lebih banyak dari pada Gua Mimpi. Selain itu, di Gua Mimpi terdapat trial kayu yang dibangun, tetapi tidak langsung menempel ke dinding dan lantai gua. Fauna gua yang ditemukan di Gua Batu adalah jangkrik dan kelelawar, dan jenis yang mendominasi adalah jangkrik. Gua Pattunuang merupakan gua alam yang baru dikembangkan menjadi gua wisata. Dilihat dari kedalamannya termasuk gua dengan keanekaragaman fauna yang rendah. Hal ini dapat diketahui dari jumlah fauna yang ditemukan jauh lebih sedikit dari Gua Mimpi, Gua Leang Lonrong dan Gua Salukkang Kallang. Banyaknya bagian gua yang runtuh merupakan penyebab utama sehingga keberadaan fauna didalam gua sering terganggu. Fauna Gua Pattunuang didominasi oleh jangkrik dan kelelawar. Fauna lain yaitu geko dan hanya ditemukan di Gua Pattunuang.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-28


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VI.20 Gecko Saat musim hujan Gua Salukkang Kallang dipenuhi air karena mulut gua dilalui oleh sungai. Saat musim kering, sungai yang melewati gua kering tetapi masih ada genangan-genangan air yang dihuni oleh satwa akuatik seperti ikan dan kepiting. Fauna Gua Salukkang Kallang didominasi oleh katak, laba-laba dan satwa akuatik. Gua Salukkang Kallang dan gua Leang Lonrong merupakan gua yang tidak bisa dikembangkan menjadi tempat wisata massal. Untuk memasuki kedua gua tersebut diperlukan peralatan tambahan. Gua Leang Lonrong juga dipenuhi oleh air yang sudah dimanfaatkan sebagai sumber air minum. Menurut Ko dalam Samodra (2001), fauna yang terdapat di Gua Leang Lonrong didominasi oleh fauna-fauna yang termasuk kedalam golongan : a. Golongan Arthropoda ; termasuk udang, kepiting, serangga, dan laba-laba. b. Golongan Ikan c. Golongan Herfetofauna III.2.5 Wisata dan Interpetasi Gua 3.2.5.1. Wisata Gua Samodra (2001) mengatakan bahwa kawasan karst memiliki tiga nilai yang unik yaitu nilai ilmiah, ekonomi dan kemanusiaan. Nilai ekonomi dapat diketahui dari aspek pariwisata tentang alam kawasan karst yang menawarkan keindahan, keunikan dan kelangkaan yang bernilai jual tinggi. Diantara fenomena karst lainya (bukit, lembah, telaga, pantai), gua merupakan fenomena alam yang paling diminati karena menyajikan tantangan tersendiri untuk dimasuki, ditelusuri dan dieksplorasi.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-29


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Admin (2005) menyatakan salah satu bentuk pemanfaatan kawasan karst yang mempunyai prospek ekonomis yang menjanjikan adalah dalam bidang kepariwisataan asalkan pengembangannya selalu berpegang pada konsep berkelanjutan. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan kawasan karst menjadi wisata adalah dapat mendatangkan tambahan pendapatan, tanpa kehilangan fenomena alam karst tidak seperti halnya dengan penambangan batu gamping untuk bahan bangunan. Salah satu motivasi mengembangkan kawasan konservasi adalah untuk memberikan kesempatan rekreasi kepada masyarakat di suatu kawasan dengan lingkungan yang menarik. Wisata dapat dimanfaatkan untuk melestarikan dan menguatkan identitas budaya serta memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan ekonomi. Oleh karena itu maka perlu adanya ekowisata gua yang dapat membantu dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam gua, selain juga dapat mendatangkan keuntungan aspek ekonomi. Keberadaan gua yang memiliki keunikan alami inilah yang menjadikan gua menjadi objek wisata umum. Selain wisata umum, dapat juga dikembangkan wisata minat khusus. Menurut Ko (2001) wisata minat khusus merupakan wisata yang hanya diminati oleh segmen pasar terbatas dan kegiatan wisata yang mengandung resiko bahkan bahaya. Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk perjalanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai suatu jenis atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan dilokasi atau didaerah tujuan khusus tersebut (Wacik, 2004). Beberapa alasan mengenai pentingnya penerapan konsep daya dukung lingkungan dalam kegiatan rekreasi hal ini dimaksudkan agar: 1. Rekreasi memberikan jasa tertentu terhadap masyarakat 2. Jasa merupakan hasil antara interaksi pengguna dengan sumberdaya 3. Sampai batas tertentu, sumberdaya akan di pengaruhi oleh kerusakan sumberdaya akibat kesesakan atau perusakan sumberdaya. Empat komponen daya dukung gua menurut Forsell (1997) adalah : 1. Tujuan manajemen Harus di identifikasi tipe-tipe pengalaman rekreasi yang diharapkan dari pembukaan gua tersebut dan harus dievaluasi mengenai derajat bahaya serta Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-30


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

nilai-nilai unik serta mudah terganggu agar dampak negatif terhadap sumberdaya yang ada bisa diminimalisir. 2. Perilaku pengunjung Tidak semua pengunjung mempunyai nilai pengalaman caving yang sama dan tujuan manajemen rekreasi adalah memaksimalkan kepuasan pengunjung serta memberi batasan perilaku pengunjung yang negatif. 3. Dampak rekreasi terhadap fisik sumberdaya Faktor pembatas yang paling utama dari keempat komponen daya dukung gua dan pasti ada trade off antara tekanan sosial dengan pengawetan sumberdaya alam. Tetapi jika terdapat obyek-obyek yang harus dilindungi, maka tujuan manajemen harus mampu melindungi obyek-obyek ini. 4. Dampak sumberdaya terhadap pengunjung Menyangkut bahaya-bahaya fisik yang ada dalam gua dan menjadi sangat penting karena kondisi-kondisi yang telah disebutkan diatas dan bahaya – bahaya ini cenderung menurunkan daya dukung gua Perencanaan yang demikian berkaitan dengan sifat kawasan karst yang memiliki daya dukung rendah sehingga mudah rusak dan terbarui dalam waktu yang sangat lama (Samodra,2001). Pengembangan gua menjadi obyek wisata mempunyai aneka tujuan dan sasaran : 1. Diversifikasi produk wisata. Gua sebagai salah satu obyek wisata yang kegiatan wisatanya berbeda dengan kegiatan-kegiatan wisata yang dilakukan ditempattempat wisata lain. Produk-produk wisata yang ditawarkan juga sangat berbeda dengan produk wisata yang ada pada umumnya sehingga perlu dipromosikan. 2. Memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal, agar pemanfaatnya optimal dan berkelanjutan sistem zonasi dalam kawasan perlu diterapkan sesuai dengan ciri-ciri fisik maupun budaya setempat. 3. Sebagai tempat pendidikan, latihan, penelitian, dan permasyarakatan aspek speleologi dan pariwisata gua. 4. Menciptakan

masyarakat

yang

menghargai

dan

mencintai

alam

dan

lingkungannya. 5. Mengembangkan obyek wisata gua yang memenuhi prinsip perencanaan secara alamiah. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-31


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

6. Mengumpulkan data dan informasi gua yang memberi manfaat bagi pengelola objek wisata gua secara efektif dan efisien. 7. Menciptakan, mengembangkan dan mengelola salah satu menjadi suatu model yang didasarkan pada aspek pelestarian lingkungan dan prinsip-prinsip ekosistem. 8. Menciptakan sistem pengelolaan objek wisata gua secara terpadu Dari lima gua yang telah diteliti hanya empat gua (Gua Batu, Gua Mimpi, Gua Pattunuang, dan Gua Leang Lonrong) sedangkan Gua Salungkang Kalang tidak bisa di jadikan objek wisata karena gua ini merupakan tempat aliran sungai yang apabila hujan maka tempat ini akan di banjiri oleh air dan keadaaan batuan dalam gua yang tidak kuat dan rawan runtuh, hal ini sangat berbahaya apabila di jadikan sebagai tempat objek wisata. III.2.5.2 Paket-paket Wisata Gua I Gua Batu Gua Batu telah dikembangkan menjadi wisata alam umum, akan tetapi bila ditinjau dari segi keamanan pengunjung kegiatan penelusuran yang dilakukan kurang aman karena alat yang digunakan hanya sekedar senter/alat penerang tanpa disertai helm pengaman. Selain itu kegiatan yang dilakukan hanyalah kegiatan penelusuran gua belaka tanpa ada pemahaman lebih kepada pengunjung tentang pembentukan gua, ornamen-ornamen yang ada didalamnya dan satwasatwa yang ada didalam gua tersebut. Keberadaan Gua Batu sebagai salah satu objek wisata yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung memberikan dampak positif terhadap perekonomian beberapa orang penduduk yang tinggal disekitar kawasan yang menawarkan jasa peminjaman senter dan pamandu. Hal yang menarik di Gua Batu adalah ruangnya yang luas serta gua ini tidak terlalu panjang untuk ditelusuri dan di dalamnya terdapat objek-objek yang menarik yang dapat dinikmati pengunjung seperti stalaktit, stalagmit, ornamen-ornamen gua dan fauna gua. Untuk pengembangan kegiatan wisata yang dilakukan di Gua Batu dimasa yang akan datang adalah wisata alam umum yang aman dan nyaman dengan kelengkapan alat-alat dalam kegiatan penelusuran gua, perlu adanya pemberian Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-32


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

pengetahuan tentang terbentuknya karst kepada pemandu agar mereka bisa menyalurkan pengetahuan itu kepada pengunjung sehingga kelestarian gua atau kawasan karst sekitar bisa terjaga. •

Kegiatan : melakukan penelusuran gua dengan melihat ornamen gua dan fauna gua

Objek wisata : Stalaktit, stalagmit, dan fauna gua (kelelawar dan jangkrik)

Peralatan dan bahan : Alat penerang(senter, headlamp, alas kaki (sepatu, sepatu bud), dan pelindung kepala (helm).

2. Gua mimpi Gua mimpi juga telah dikembangkan sebagai gua wisata. Untuk memberikan kenyamanan kepada pengunjung dari pihak pengelola telah dibuat jalan dari mulut gua hingga kira-kira pertengahan gua. Akan tetapi kondisi trail/jalan sudah rusak, lapuk dan licin sehingga sangat membahayakan keselamatan pengunjung yang datang. Gua mimpi memiliki banyak ornamen-ornamen gua yang menarik serta menakjubkan. Dipintu masuk dapat dilihat sebuah mahakarya nan elok dari Sang Pencipta berupa keindahan stalaktit dan stalagmit, kira-kira 200 meter dari pintu masuk sebuah flowstone terpampang indah di samping kanan gua. Semakin ke dalam semakin indah ornamen gua yang dapat dinikmati, belum lagi fauna gua yang ada di dalam Gua Mimpi merupakan suatu pengalaman menarik dan mengesankan bagi para pengunjung tentunya. Untuk pengembangan wisata dimasa yang akan datang, jenis wisata alam yang ditawarkan adalah wisata alam minat khusus seperti petualangan, penelitian dan pendidikan karena gua mimpi memiliki ornamen-ornamen yang menarik, unik dan menakjubkan. Sarana dan prasarana yang ada didalam gua seperti trail/jalan sebaiknya dibongkar karena keberadaannya didalam gua membahayakan pengunjung karena sudah rusak dan licin, kealamian gua juga menjadi berkurang karena adanya trail/jembatan ini. •

Nama wisata : Wisata alam Minat Khusus

Kegiatan : melakukan penelusuran gua dengan melihat ornamen gua dan fauna gua

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-33


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Objek wisata : Stalaktit, stalagmit, gourdam, flowstone, lantai gua yang menyerupai petak-petak sawah, lorong gua berlian, batu menyerupai orang yang sedang beribadah, senjata tajam sejenis keris, cerek tempat air minum yang berukuran cukup besar, batu yang mirip sebuah mulut buaya atau yang nampak seperti kembang kol dan kain hordeng yang tergantung di langit-langit gua, dua buah bongkahan batu yang saling berdekatan yang jelas sekali tampak menyerupai sepasang alat kelamin manusia dan fauna gua (seperti katak, labalaba, jangkrik, tokek, collembola, kumbang kelapa, kelelawar, dan amplipigi)

Peralatan dan bahan : Alat penerang(senter, headlamp, alas kaki (sepatu, sepatu bud), dan pelindung kepala (helm).

3. Gua Pattunuang Gua ini belum dikembangkan secara optimal sebagai wisata gua, padahal banyak wisatawan domestik ataupun mancanegara yang sering mengunjungi gua ini baik hanya untuk sekedar berekreasi ataupun pendidikan/penelitian. Memiliki dua pintu masuk, dengan medan yang menentang untuk ditaklukan gua ini memiliki kelebihan dari gua yang ada di kawasan Maros–Pangkep. Kegiatan penelusuran yang dilakukan di gua ini tidak hanya berjalan tegak saja ada saatnya pengunjung harus berjalan jongkok, merayap karena langit-langit guanya rendah. Keselamatan pengunjung sangat bergantung pada kelengkapan alat yang dibawa karena gua ini memiliki langit-langit gua yang rendah dan rawan longsor. Untuk pengembangan wisata alam dimasa yang akan datang jenis wisata yang baik dikembangkan untuk wisata adalah wisata alam yang bersifat petualangan, penelitian dan pendidikan karena gua ini masih alami dan keindahannya masih tetap terjaga. Keamanan dan kenyamanan pengunjung sangat penting dalam wisata Gua Pattunuang hal ini karena gua ini rawan runtuh dan ada bagian-bagian didalam gua yang mengharuskan kita untuk berjalan jongkok. Kelengkapan alat-alat penelusuran gua seperti alat pelindung kepala, alas kaki, serta alat penerang wajib diperhatikan dan dilengkapi. •

Nama wisata : Wisata alam Minat Khusus

Kegiatan : melakukan penelusuran gua dengan melihat ornamen gua dan fauna gua Objek wisata : Stalaktit, stalagmit, kumpulan stalaktit yang membentang dan membentuk seperti kumpulan tanaman kaktus, bentuk batu menyerupai kepala

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-34


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

anak anjing, tiang yang menyerupai menara pisa, kumpulan stalaktit yang menbentuk seperti susu sapi, bentukan lorong-lorong dalam gua dan fauna gua (seperti geko, laba-laba, jangkrik, kelelawar, dan amplipigi) •

Peralatan dan bahan : Alat penerang(senter, headlamp, alas kaki (sepatu, sepatu bud), dan pelindung kepala (helm).

4.

Leang Lonrong Pengembangan Gua Leang Lonrong sebagai gua wisata minat khusus memiliki

prospek yang cukup bagus, gua ini berbeda karena kondisi guanya yang sangat ekstrim dengan lorong-lorong yang jauh dan panjang serta aliran air yang mengalir dari sungai didalam gua yang dalam dan besar. Gua ini hanya dapat ditelusuri dengan baik apabila menggunakan perahu karet ataupun dengan melakukan penyelaman ( diving ). •

Nama wisata : Wisata minat khusus

Kegiatan : melakukan penelusuran gua dengan cara penyelaman (diving) karena tipe gua ini adalah gua berair, melihat ornamen gua dan fauna gua

Objek wisata : Stalaktit, stalagmit, keindahan dan keunikan gua berair, pemandangan gua bawah dan fauna gua ( laba-laba merah, laba-laba biasa, jangkrik, amplipigi, ular, ikan, katak, cicak, kepiting, dan kelabang)

Peralatan dan bahan : Peralatan diving (Alat penerang, alas kaki dan pelindung kepala (helm) dan lainnya). Dalam wisata gua sangat diperlukannya seoarang pemandu dari masyarakat

sekitar yang lebih mengetahui dan mengenal lebih jauh akan keunikan dan potensi gua yang ada. Sebagai objek wisata umum, pengembangan gua dan kawasan karst membutuhkan beberapa persyaratan yang berlaku umum, diantaranya (Ko,1997) : 1. Melakukan AMDAL 2. Menghitung daya dukung dinamisnya, yaitu jumlah pengunjung dalam satuan luas dan waktu tertentu 3. Menyusun zona-zona dasar yang terdiri dari zona umum, zona penyangga, zona peralihan, zona terbatas, zona inti dan zona terlarang 4. Menyusun bagian sirkulasi pengunjung gua

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-35


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

5. Mengikutsertakan

penduduk

setempat,

dalam

rangka

pemberdayaan

masyarakat 6. Memberi perlindungan secara nyata terhadap bentuk alam yang unik dan langka, termasuk budaya setempat dan biota gua yang mempunyai nilai ilmiah penting 7. Menyusun sistem pengelolaan yang baik, dengan meggunakan tenaga yang profesional 8. Melakukan evaluasi dan perbaikan secara terbatas 9. Memperhatikan masukan dan saran pengunjung 10. Melakukan pemasaran dan promosi yang tepat Sedangkan

untuk

pengembangannya

sebagai

wisata

minat

khusus,

pengembangan gua membutuhkan persyaratan yang lebih ketat (Ko, 1997) 1. Melakukan kajian derajat kesulitan penelusuran dan bahaya yang sewaktu-waktu timbul terutama pada musim hujan 2. Meneliti keterampilan pada penelusur gua serta perlengkapan yang digunakan 3. Menyediakan peta gua 4. Mengingatkan kepada para penulusur untuk senantiasa bertanggung jawab dan memenuhi kode etik penelusuran yang berlaku 5. Kejelasan sistem perijinan dan SAR oleh instansi terkait 6. Melakukan kajian berkala terhadap tingkat kerusakan dan pencemaran gua. Prinsip pengembangan kegiatan ekowisata dikawasan konservasi secara garis besar meliputi: 1. Memajukan

etika

positif/afresiasi

terhadap

lingkungan

serta

mengembangkannya dalam tingkah laku pengunjung. 2. Tidak merusak lingkungan 3. Konsentrasi pada nilai hakiki 4. Orientasi pada lingkungan bukan manusia 5. Menguntungkan/mendatangkan kontribusi hidupan liar dan lingkungan 6. Memberikan peluang merasakan hidup berada di alam 7. Secara aktif melibatkan peran serta masyarakat setempat 8. Tingkat kepuasan dinilai dari aspek pendidikan dan atau apresiasi

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-36


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

9. Memerlukan persiapan yang luar biasa dan pengetahuan yang cukup dalam baik dari pihak pemandu maupun wisatawan. Tingkat kesuksesan mengkomersialkan suatu obyek wisata alam secara berkelanjutan (Ko,2001): 1. Identifikasi aneka daya tarik semberdaya alam dan potensi pengembangannya. 2. Penitik beratkan pada praktek lapangan dan bekal teori terapan 3. Pembangunan fisik wajib berdasarkan analisis dampak lingkungan Hubungan antara kegiatan wisata dengan kawasan konservasi adalah: 1. Wisata dan konservasi alam menjadi suatu konflik jika kegiatan wisata membahayakan keutuhan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan tersebut. 2. Wisata dan konservasi alam berjalan berdampingan. 3. Simbiosis (hubungan saling menguntungkan) antara wisata dan konservasi alam memungkinkan

jika

kegiatan

wisata

dan

konservasi

dipadukan

untuk

mendatangkan keuntungan dari perpaduan tersebut. 3.2.5.3. Interpretasi Gua Intrepretasi merupakan gabungan berbagai informasi yang berguna sebagai penghubung pengunjung dengan sumberdaya alam yang memiliki nilai seni dengan harapan tergugahnya sensitifitas pengunjung. Tujuan dari interpretasi gua ini adalah agar pengunjung mudah mengetahui dan mengenali nilai-nilai yang terdapat pada objek wisata yang dimiliki gua dan supaya sumberdaya tidak rusak. Dari semua gua yang dijadikan sebagai objek wisata maka perlu dibuat interpretasi sumberdaya alam. Interpretasi tersebut adalah : 1. Peta gua 2. Sejarah dan mitos kawasan 3. Ornamen-0rnamen gua Stalaktit ( gambar photo beserta penjelasan) Stalagmit ( gambar photo beserta penjelasan) Gourdam ( gambar photo beserta penjelasan) Flowstone ( gambar photo beserta penjelasan) Helektit ( gambar photo beserta penjelasan) Serta keunikan-keunikan lainya ( gambar photo beserta penjelasan) Pembuatan interpretasi ini dapat dibuat dalam bentuk papan interpretasi dan media elektonik ( internet, radio, televisi, dll). Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-37


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan kegiatan pemetaan dan inventarisasi flora fauna gua menghasilkan sebuah data yang diperlukan dalam membuat paket wisata gua baik wisata umum maupun wisata minat khusus. Dalam suatu objek wisata diperlukan suatu interpretasi agar pengunjung mudah mengenali dan mengetahui nilai-nilai yang dimiliki objek wisata dan agar sumberdaya alam gua tidak rusak. IV.2 Saran Untuk mengembangkan ekowisata gua di kawasan taman nasional babul sebagai suatu objek wisata yang memiliki daya tarik tinggi kepada pengunjung serta tetap menjaga kelestarian gua, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Inventarisasi dan identifikasi sumberdaya alam gua yang memiliki potensi sebagai ojek wisata 2. Adanya pengelola yang selalu bertanggung jawab dalam mengelola kawasan gua tersebut 3. Membuat interpretasi tentang potensi wisata gua 4. Diadakanya promosi terhadap keberadaan ekowisata gua baik melalui media cetak atau media elektronik 5. Untuk menjaga kelestarian gua maka setiap orang yang masuk gua, pengunjung khususnya harus menjunjung tinggi nilai kode etik dalam menelusuri gua, ada tiga yaitu : •

Dilarang mengambil sesuatu kecuali foto

Dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak

Dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-38


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA HIKESPI. 1991. Laporan Lokakarya Standardisasi pendataan Gua Secara Nasional. Tidak dipublikasikan. Sumarlin O. 2001. Dunia Bawah Tanah. Perhimpunan Pencinta Alam Jantera, Geografi UPI. Keindahan. Samodra H. 2001. Nilai Strategi Kawasan Kars di Indonesia ; Pengelolaan dan Perlindungannya.Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Bandung. Rahmadi C. 2005. O : Sebuah Tinjauan. Gunung Sewu; Indenoseian Cave and Karst Jaurnal. Vermeulen, Jaap and Tony Whitten.1999. Biodiversity and Cultural Property in the Management of Limestone Resources ; Lesson from East Asia. The World Bank.Washington,D.C. DIK-S Dana reboisasi BKSDA Sulsel I . 2004. Kars Maros Pangkep : Potensi Gua. Departemen Kehutanan. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Konervasi Sumberdaya Alam Sulawesi Selatan. Kelompok Pemerhati Gua ‘Hira’. 2005. Gua dan Kawasan Kars : Pengenalan dan Petunjuk Lapangan. Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/22/cakrawala/utama01.htm/ [15 September 2007].

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-39


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

LAMPIRAN Gambar VI.21 Contoh Papan Interpretasi Gua Batu

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-40


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Gambar VI.22 Contoh Papan Interpretasi Gua Mimpi

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-41


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Gambar VI.23 Contoh Papan Interpretasi Gua Pattunuang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VI-42


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ekosistem hutan bukit kapur (karst) merupakan salah satu ekosistem hutan hujan dataran rendah yang unik karena memiliki kondisi morfologi dan sifat batuan yang berbeda dengan tipe ekosistem lainnya. Bukit kapur terdiri dari batuan kapur yang mengandung karbonat kalsium/kalsit yang mudah larut oleh air hujan sehingga membentuk retakan-retakan dan terowongan yang menyerupai relief, yang menjadikan daerah karst menjadi unik (Ahmad, 2002). Pada umumnya tanah pada batu gamping kaya akan basa, khususnya kalsium dan magnesium, dengan kapasitas tukar kation yang lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah lainnya pada kondisi yang serupa yang dibentuk dari bahan induk yang berbeda. Pada lereng yang terjal dan puncak-puncak bukit yang bertebing batu biasanya mempunyai lapisan tanah yang tipis. Pada tanah-tanah yang tipis yang subur dan kaya akan basa, pada permukaan yang kasar, licin, retak-retak dan dinding-dinding cadas yang terjal, dapat dihuni oleh vegetasi yang khas dan endemik bagi bukit kapur tersebut, dan hal inilah yang menyebabkan komposisi hutan bukit kapur agak berbeda dengan hutan dataran rendah lainnya. Vegetasi

merupakan

bagian

dari

ekosistem

yang

sangat

penting

keberadaannya. Banyak hal yang bermanfaat bisa didapatkan dengan adanya vegetasi. Peran vegetasi untuk di dalam kawasan hutan juga sangat banyak, yaitu sebagai penyerap gas CO2, penyedia oksigen, penyeimbang dan penahan air, penutupan tajuk, habitat satwa, dan penyelaras siklus hidrologi, tapi juga dapat bermanfaat ekonomi bagi masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Kondisi kawasan karst, hanya memungkinkan spesies tumbuhan tertentu yang memiliki toleransi terhadap kerasnya tebing kapur untuk hidup dan berkembang biak (survive), sebagai contoh adalah vegetasi yang tumbuh di kawasan TN BaBul, Sulawesi Selatan. Sampai saat ini, belum banyak kajian tentang vegetasi karst, termasuk di TN BaBul. Kajian vegetasi karst ini penting dilakukan untuk mendapatkan informasi kekayaan spesies sebagai dasar bagi pengelolaan kawasan. Kawasan TN BaBul memiliki keunikan tersendiri, terutama dari segi vegetasi yang tumbuh hampir di semua kawasan karst. Keberadan masyarakat di kawasan TN BaBul juga memberikan pengaruhi terhadap keberadaan kawasan tersebut. Banyak hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat terhadap kawasan hutan karst Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

sebagai penunjang kehidupan mereka sehari-hari. Walaupun pembangunan dan modernisasi sudah mulai tampak dan berkembang di daerah sekitar TN BaBul, tampaknya masyarakat masih banyak yang memanfaatkan potensi tumbuhan yang terdapat di kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari sesuai dengan kearifannya. Keunikan tersebut memiliki daya tarik tersendiri bagi kepentingan pengembangan TN BaBul ke depan, agar kearifan tradisional yang ada di tengah masyarakat dapat berjalan terus, tanpa terputus karena perubahan status kawasan hutan yang ada di sekitar mereka. Oleh karena itu, kearifan tradisional masyarakat dalam memanfaatkan tumbuh-tumbuhan penting untuk digali dan dikembangkan agar bisa menjadi obyek wisata alam (ekowisata) yang menarik sesuai fungsi taman nasional dan mendukung pembangunan daerah yang bersangkutan. 1.2 Tujuan Tujuan utama dari kajian flora dan etnobotani ini ialah mengetahui keanekaragaman spesies flora karst dan menggali potensi flora yang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat sekitar TN BaBul untuk keperluan pengembangan ekowisata.

II. METODE PENGAMATAN Kajian dilakukan di kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul), Sulawesi Selatan dari 11-26 Agustus 2007. Alokasi waktu dan tempat selama melakukan kajian flora karst dan etnobotani di TN BaBul adalah sebagai berikut: II.1 Waktu dan Tempat Survei lapangan

: 11 dan 12 Agustus 2007

Panaikang

: 13 – 14 Agustus 2007

Pattunuang

: 15 – 17 Agustus 2007 dan 20 – 22 Agustus 2007

Karenta

: 18 Agustus 2007

Mallawa

: 19 – 22 Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

II.2 Alat dan Bahan Kamera digital

Benang

Meteran

Field guide

Parang

Tali tafia

GPS

Ketapel

Koran bekas

Altimeter

Gunting

Alkohol 70%

Haga hypsometer

Alat tulis

Kantung spesimen

Kompas

Tambang

Spesimen herbarium

II.3 Flora Karst 1. Eksplorasi: Mengumpulkan spesimen tumbuhan yang ditemui di sepanjang jalur pengamatan (2 km di Panaikang dengan titik pengamatan 4˚57,588’LS dan 119˚42’ BT dan 2 km di Pattunuang dengan titik pengamatan 5˚4,258’ LS dan 119˚43,199’ BT). 2. Analisis Vegetasi: Dilakukan di tiga (3) lokasi, yaitu Panaikang, Pattunuang dan Karaenta dengan panjang jalur setiap lokasi pengamatan 20 m x 80 m. Metode eksplorasi digunakan karena lokasi dan topografi yang sulit dijangkau serta kekayaan jenis yang diperoleh akan lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan analisis vegetasi. Analisis vegetasi cenderung untuk mendapatkan komposisi struktur tegakan yang meliputi kekayaan jenis, kelimpahan dan dominansi dan kekayaan jenis yang diperoleh sangat terbatas pada plot contoh yang ada. Ukuran plot pada setiap analisis vegetasi hanya berukuran 20 m x 80 m dikarenakan lokasi yang banyak tebing dan dataran yang ada sangat sempit, dan hal ini juga menjadi kendala dalam pembuatan plot dengan panjang jalur 100 meter. II.4 Kajian Etnobotani Kajian etnobotani dilakukan dengan cara wawancara secara langsung kepada masyarakat sekitar di tiga lokasi pengamatan yaitu Panaikang, Pattunuang, dan Mallawa. Masyarakat yang dijadikan sasaran wawancara yaitu tokoh masyarakat, dukun dan masyarakat biasa. Pengambilan data etnobotani di Panaikang dan Karaenta dilakukan dengan mewawancarai warga dan Ketua RT sekitar kawasan, di Pattunuang mewawancarai keluarga dukun dan masyarakat biasa; di Mallawa mewawancarai lurah dan ketua

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

RT; sedangkan di Karaenta tidak dilakukan wawancara karena pemukiman berada jauh dari lokasi pengamatan. Dari wawancara yang dilakukan diperoleh informasi mengenai pemanfaatan berbagai jenis tanaman dan tumbuhan. Pemanfaatan tumbuhan dan tanaman yang dijadikan sebagai bahan makanan, bahan bakar, tanaman hias, tumbuhan obat, pewarna, konstruksi bangunan dan peralatan rumah tangga lainnya. II.5 Data yang Diambil Data yang diambil dari responden meliputi: 1. Biodata responden 2. Jenis tumbuhan obat yang biasa dikonsumsi 3. Kegunaan dan manfaat jenis tumbuhan 4. Data bagian tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat dan data dalam bentuk spesimen (herbarium).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III.1 Kondisi Umum Lapangan III.1.1 Panaikang Panaikang merupakan kawasan berbukit kapur dengan kondisi iklim yang kering. Di kawasan ini mengalir sungai yang pada musim kemarau akan berkurang debit airnya sehingga sebagian wilayah sungai pada musim kemarau akan terlihat seperti jalan berbatu. Diantara bukit-bukit kapur yang sebagian tertutupi vegetasi, terhampar petak-petak sawah milik penduduk yang ketika tidak sedang ditanami akan berubah fungsi menjadi padang penggembalaan hewan ternaknya. III.1.2 Pattunuang Taman Wisata Alam Gua Pattunuang terletak di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Dati II Maros, Propinsi Sulawesi Selatan dengan luas sekitar 1.506,25 Ha. Kawasan ini memiliki topografi bergelombang ringan hingga sedang dengan kemiringan rata-rata 60o dan ketinggian 120 - 200 m di atas permukaan laut (dpl). Kondisi iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata 3.000 - 3.500 mm per tahun dan suhu udara rata-rata 25째 C. Berdasarkan hasil observasi, keragaman flora di Pattunuang didominasi oleh

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

jenis-jenis seperti eboni (Diospyros celebica) biti (Vitexcofassus), kemiri (Aleurites moluccana) dan kasra (Eucalyptus sp). III.1.3 Karaenta Karaenta merupakan kawasan cagar alam yang memiliki luas sekitar 1000 hektar. Karaenta berada tidak jauh dari kawasan Gua Pattunuang dan kawasan Bantimurung. Dari tepian jalan poros Maros-Bone yang membelah dua kawasan, terlihat kerimbunan pepohonan dengan pemandangan batuan karst yang kokoh. Berdasarkan hasil observasi, keanekaragaman flora yang ada di kawasan ini meliputi kayu hitam (Dyospyros celebica), beringin (Ficus sp), aren (Arenga pinnata), rotan (Calamus sp), kemiri (Aleurites moluccana) dan anggrek alam. III.1.4 Mallawa Mallawa merupakan lokasi yang letaknya terjauh dari kawasan Bantimurung disbanding tiga lokasi lainnya. Kawasan ini memiliki panorama air terjun dan keragaman jenis floranya yang menarik yaitu beberapa jenis anggrek alam yang saat ini sedang dalam tahap pembudidayaan. III. 2 Flora Ekosistem Karst Jenis vegetasi yang hidup di ekosistem karst merupakan jenis yang dapat beradaptasi dengan kondisi karst yang berbatu dan lapisan tanah yang tipis dan terdapat kandungan kapur. Tumbuhan yang tumbuh pada puncak bukit karst mempunyai perakaran yang kuat yang dipakai untuk menarik dan menyimpannya dalam jaringan pada saat musim kemarau (Roemantyo dan Noerdjito, 2006). Secara alami jenis-jenis pohon yang tingginya mencapai 30 meter atau lebih, umumnya tumbuh di tempat-tempat yang lapisan tanahnya agak tebal yakni di lembah, sedangkan jenis yang berukuran sedang dengan tinggi antara 15-20 meter biasanya menempati kawasan yang tipis dan tumbuh di antara pohon-pohon besar. Jenis-jenis ini umumnya pohon yang tergolong dalam suku Euphorbiaceae, Fabaceae, Moraceae, Meliaceae, Sapindaceae dan Anacardiaceae (Roemantyo dan Noerdjito, 2006). Hasil eksplorasi ini berbeda dengan hasil kajian Amran (2006). Dari 199 spesimen herbarium yang dikumpulkan pada habitat berbatu TN BaBul berhasil diidentifikasi sebanyak 167 spesies flora, dari 107 marga dan 48 famili, yang mana anggota famili yang mendominasi adalah Euphorbiaceae, Moraceae dan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Rubiaceae termasuk sejumlah famili yang mendominasi. Perbedaan mengenai hasil yang diperoleh juga tidak terlepas pada metode yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Amran (2006) menggunakan metode analisis vegetasi dengan plot berukuran 20m x 30m, dan lebih terfokus pada sejumlah karakter habitat yaitu lereng atas, lereng bawah, punggung bukit, lorong patahan, bukit sisa dan tebing. Sedangkan penelitian ini difokuskan pada eksplorasi jenis. Berdasarkan hasil eksplorasi dan analisis vegetasi di tiga kawasan yaitu Panaikang, Pattunuang dan Karaenta ditemukan sekitar 85 famili yang mencakup 280 spesies. Famili yang mendominasi yaitu Moraceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Sapindaceae dan Rubiaceae (Tabel VII.1), sedangkan jenis-jenis yang mendominasi yaitu Ficus sp (Moraceae), Syzygium sp. (Myrtaceae), dan piper sp. (Piperacea). Tabel VII.1 Famili dominan di lokasi kajian No.

Famili

Jumlah spesies

1.

Moraceae

22

2.

Euphorbiaceae

21

3.

Fabaceae

19

4.

Sapindaceae

11

5.

Rubiaceae

9

Menurut Satrio (2005), keragaman famili pohon yang dapat tumbuh pada kawasan karst sangat dipengaruhi oleh ketinggian lokasi, iklim setempat, kedalaman tanah, tipe batuan induk serta kandunga air. Famili Moraceae, Fabaceae, Lauraceae, Euphorbiaceae dan Myrtaceae merupakan famili yang sering ditemukan, sedangkan Ficus (Moraceae) merupakan jenis yang hampir selalu dijumpai pada kawasan karst. Ficus sp. (beringin dan awar-awar) merupakan jenis yang mampu tumbuh pada celah-celah batuan kapur. Jenis ini dapat mengeluarkan cairan tertentu sehingga dapat menghancurkan batu kapur maupun karang sehingga dapat diperoleh air yang cukup (Roemantyo dan Noerdjito, 2006). Kondisi alam yang berbatu di kawasan tersebut merupakan habitat yang cocok untuk jenis seperti Ficus yang memiliki akar rambat. Akar-akar ficus ini membentuk sulur-sulur di tebing karst. Keberadaan vegetasi sangat penting bagi ekosistem karst. karena perannya dalam penangkapan air di kawasan berbatu sebagai dan sumber air kawasan tersebut. Jika tidak ada vegatasi di atas karst maka proses penyimpanan air pada Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

batuan karst tidak akan sempurna dan akibatnya ketika kemarau tiba kebutuhan air tidak dapat terpenuhi. Vegetasi karst juga memiliki peran besar bagi kelangsungan komponen ekosistem lainnnya. Jenis vegetasi yang menghasilkan biji-bijian terutama sangat penting keberadaannya bagi kelangsungan hidup burung rangkong (Nicticeros cassidix) yang ada di kawasan Pattunuang. Di Karaenta, terdapat Macaca maura yang juga sangat tergantung pada keberadaan vegetasi sebagai tempat hidup dan sumber pakannya. Beragamnya jenis flora yang ada juga dapat dijadikan sebagai obyek penelitian dan wisata alam (ekowisata). Dalam hubungannya dengan ekowisata, keindahan vegetasi dengan kerindangan yang memberikan kesejukan menawarkan pesona alam yang menarik. III.2.1 Etnobotani Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat di wilayah Panaikang, Pattunuang, dam Mallawa, diperoleh data mengenai jenis-jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan masyarakat sebanyak 66 spesies seperti yang terdapat dalam tabel VII-3 di bawah. Jenis-jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan masyarakat dapat dikelompokan menjadi: 1. Tumbuhan Pangan 17 spesies 2. Tumbuhan Obat 32 spesies 3. Tanaman hias 7 spesies 4. Bahan bangunan (konstruksi) 13 spesies 5. Lainnya (peralatan, pohon peneduh, shampoo) 6 spesies. Pemanfaatan tumbuhan pada masing-masing kawasan tersebut dapat dilihat juga pada gambar VII.1 Pangan

16 14 12 10 8 6 4 2 0

Tum buhan obat Bahan k ons truk s i bangunan Tanam an hias

Panaik ang

lainnya

Karae nta

Gambar VII.1 Jumlah Spesies Tumbuhan yang Dimanfaatkan di Panaikang, Pattunuang, Karaenta dan Mallawa.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

III.3 Etnobotani Etnobotani menurut Martin (1998) merujuk pada kajian interaksi antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Hasil kajian etnobotani di TN BaBul menunjukkan sebanyak 66 spesies tumbuhan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pangan, pengobatan tradisional dan tanaman hias. Spesies tumbuhan pangan yang ditemukan antara lain Arenga pinnata, Caladium sp. dan Dioscorea sp. Untuk spesies tumbuhan obat antara lain Alstonia scholaris dan Phyllanthus niruri. Adapun tumbuhan yang memiliki fungsi hias adalah anggrek (Orchidaceae), seperti Phalaenopsis spp dan Vanda spp. Terdapat dua aspek etnobotani yang dianggap lebih menonjol dan berpotensi untuk dijadikan sebagai obyek ekowisata di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung

yaitu pemanfaatan aren (Arenga pinnata Merr.) di

Pattunuang dan koleksi penangkaran anggrek secara alami di Baregae. Aren dapat tumbuh subur di Pattunuang dan Karaenta meskipun kedua lokasi tersebut merupakan kawasan karst yang cenderung memiliki lapisan tanah yang tipis. Hal ini karena aren memiliki susunan perakaran yang dangkal (Soeseno, 2000). Lokasi tumbuhnya aren di TN BaBul tidak jauh dari sumber air. Aren termasuk jenis pohon yang kaya manfaatnya. Banyak hal yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dari tumbuhan aren. Mulai dari daun, buah, hingga air nira yang dihasilkan oleh tumbuhan ini. Daun biasa digunakan oleh masyarakat, khususnya dalam kawasan TWA Pattunuang untuk membuat kerajinan tangan (anyaman) yang bisa digunakan sebagai atap dan sekat. Aren tumbuh bergerombol, berbentuk bulat peluru, ujung melengkung ke dalam, dan memiliki diameter 3-5 cm dengan warna hijau kecokelatan. Buah aren dapat menjadi kolang-kaling yang bisa didapatkan dengan cara merebus atau membakar buah tersebut, kemudian diambil bagian dalamnya. Selain daun dan buahnya, aren juga menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi minuman dan gula aren. Minuman yang dibuat dari nira dikenal dengan sebutan balok. Balok merupakan minuman khas Sulawesi Selatan yang memiliki rasa asam dengan warna air agak keputihan seperti air kelapa. Rasa balok yang unik dan khas akan terus mengalami perubahan rasa jika semakin lama disimpan karena mengalami fermentasi. Menurut Sunanto (1993), nira aren segar yang manis jika dibiarkan masih tetap di dalam bumbung bambu akan mengalami proses fermentasi,

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

karena di dalam nira terdapat sel-sel ragi Saccharomyces tuac dan mempunyai kadar etanol 4%. Manfaat lain

dari Arenga pinatta Merr. adalah sebagai bahan baku

pembuatan gula aren. Pembuatan gula aren yang berangsung di Pattunuang masih bersifat tradisional, mulai dari pengambilan bahan baku berupa nira yang diambil langsung dari pohon aren hingga proses pengolahannnya yang dimasak dalam tungku. Pada proses pengambilan nira dari pohon, harus dilakukan dengan cara memanjat sampai pada ketingian dimana terdapat tongkol (tandan) pada batang yang akan dipotong dan diambil airnya untuk ditampung di bumbung bambu. Bumbung bambu yang digunakan untuk menampung nira memiliki volume kurang lebih 30 liter. Terdapat perlakuan khusus agar air nira yang dihasilkan dari batang yang telah dipotong tadi lebih banyak, yaitu dengan cara dipukul-pukul. Bumbung bambu yang digantungkan untuk menampung nira dipasang pada pagi hari dan akan diambil kembali pada siang hari untuk kemudian digantikan dengan bambu baru yang berukuran lebih besar. Dalam proses pengangkutan nira menuju tempat pembuatan gula, dicelupkan daun kirasa ke dalam bumbung bambu untuk mencegah penguapan nira tersebut. Biasanya dibutuhkan waktu selama 6 jam untuk memenuhi satu tabung bambu. Setelah pengumpulan air nira selesai, maka nira tersebut langsung dibawa ke gubuk untuk diolah menjadi gula aren. Nira yang telah dikumpulkan akan dimasak dalam ketel besar yang diberi kaleng berukuran besar yang kedua sisi atas dan bawahnya terbuka. Kaleng ini berfungsi untuk mencegah meluapnya nira ketika dimasak diatas tungku. Nira akan dimasak selama kurang lebih 8 jam, dari pukul 07.00 hingga pukul 15.00 menjelang sore hari. Ketika nira telah masak dimasukan dua butir kemiri untuk menambah rasa. Setelah itu baru nira yang telah berbentuk menjadi seperti keramel dan dalam bentuk liat ini dicetak dalam batok-batok kelapa. Untuk dua batok kelapa yang dibelah dua, rata-rata memiliki berat sekitar satu kilogram. Gambar VII.2 menunjukkan proses pembuatan aren secara tradisional di Pattunuang. Pembuatan nira menjadi gula aren ini dilakukan di tengah kawasan hutan, dekat dengan lokasi tumbuhnya aren yang menjadi sumber penghasil nira. Proses pengambilan nira dan pembuatannya yang masih tradisional ini merupakan suatu potensi kekayaan budaya yang unik untuk dijadikan sebagai bagian dari paket

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

wisata etnobotani di kawasan Pattunuang. Disini, pengunjung yang datang dapat melihat langsung proses pembuatannya dan dapat mencicipi gula aren yang dihasilkan.

Gambar VII.2 Proses pembuatan gula aren di Pattunuang. Selain aren, anggrek di Desa Barugae, Kecamatan Mallawa menarik untuk dikaji, khususnya mengenai pembudidayaan anggrek. Di kawasan tersebut, penangkaran anggrek dilakukan secara alami dengan menggunakan media pohon sebagai tempat hidup anggrek sebagai mana kehidupannya di alamnya. Hal ini berbeda dengan kebiasaan orang banyak yang membudiyakan anggrek dengan media buatan. Penangkaran anggrek tersebut dimulai dengan penanaman pohon sebagai media tumbuh anggrek. Jenis pohon yang dijadikan media tumbuh berupa pohon yang cepat tumbuh dan mampu hidup di tanah yang terbuka, gersang dan miskin hara. Gambar VII.3 menunjukkan spesies anggrek yang dibudidayakan secara alami di Barugae, Mallawa.

Gambar VII.3 Penangkaran alami anggrek di Barugae. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan 1. Flora karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul), kaya akan flora karstnya dengan berbagai macam spesies tumbuhan dari berbagai habitus, tidak kurang dari 280 spesies tumbuhan ditemukan di dalam kawasan. 2. Masyarakat sekitar TN BaBul memanfaatkan 66 jenis tumbuhan untuk keperluan sehari-hari, terutama untuk pangan, obat tradisional, tumbuhan hias, konstruksi bangunan dan manfaat lainnya. 3. Kekayaan flora karst TN BaBul dan kearifan masyarakat di sekitarnya dalam memanfaatkan tumbuhan, berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek ekowisata, terutama pembuatan gula aren dan penangkaran anggrek alami. IV.2 Saran 1. Kawasan Karst

TN BaBul menyimpan kekayaan flora yang khas dan unik, untuk

itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih bersifat komprehensif dan kuantitatif. 2. Pihak pengelola, perlu mengembangkan potensi pembuatan gula aren dan balok yang ada di kawasan Pattunuang sebagai obyek ekowisata. Untuk jangka panjang, perlu adanya pembudidayaan jenis tanaman ini di lahan pertanian atau kebun yang mereka miliki. 3. Dalam pengelolaan dan pelaksanaannnya, pengawasan dampak dari adanya pengunjung dan kegiatan wisata terhadap kelestarian alam diperlukan perhatian dan pengawasan yang lebih.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA Ahmad. 2002. Vegetasi Karst. Makalah Pelatihan Tekhnik Eksplorasi Gua dan Lingkungan Karst Se-Indonesia Timur di Makasar. 21-25 April --------. 2001. Analisis Vegetasi karst di Wilayah Rekreasi Hutan Gua Pattunuang Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Majalah Ilmiah Flora dan Fauna vol 12 no 1 Juli. Martin, G.J. 1998. Etnobotani. penerjemah: Maryati Mohamed. Kinabalu: Natural History Publications (Borneo) Roemantyo dan Noerdjito, M. 2006. Keanekaragaman Flora Kawasn Karst di Indonesia. Makalah Manajemen Bioregional : Karst, masalah dan Pemecahannya. Bogor. Pusat Penelitian Biologi. LIPI Satrio, E.A. 2005. Pemanfaatan Flora Karst Cagar Alam Kakinauwe. Studi Kasus Desa Kakinauwe, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi. Departemen Konsrvasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Di Publikasikan Soeseno, Slamet. 2000. Bertanam Aren. Depok: Penebar Swadaya. Sunanto, Hatta. 1993. Aren- Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Kanisius

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-12


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

LAMPIRAN Lampiran 1. Tabel VII.2 Jumlah Famili dan spesies yang ditemukan di lokasi kajian No.

Famili

Jumlah spesies

1

Acanthaceae

8

2

Actinidiaceae

1

3

Adianthaceae

1

4

Alangiaceae

1

5

Amaranthaceae

1

6

Amaryllidaceae

1

7

Anacardiaceae

5

8

Annonaceae

9

9

Apocynaceae

5

10

Araceae

5

11

Araliaceae

5

12

Arecaceae

7

13

Asclepiadaceae

2

14

Aspidiaceae

1

15

Asteraceae

5

16

Bignoniaceae

3

17

Bischofiaceae

1

18

Boraginaceae

1

19

Burseraceae

1

20

Capparaceae

1

21

Celastraceae

1

22

Clusiaceae

6

23

Combretaceae

2

24

Commelinaceae

1

25

Connaraceae

1

26

Convolvulaceae

3

27

Crassulaceae

1

28

Cyperaceae

1

29

Datiscaceae

1

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-13


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No.

Famili

Jumlah spesies

30

Dilleniaceae

2

31

Dipterocarpaceae

1

32

Ebenaceae

2

33

Euphorbiaceae

21

34

Fabaceae

19

35

Flacourtiaceae

2

36

Flagellariaceae

1

37

Gnetaceae

1

38

Hypericaceae

1

39

Icacinaceae

1

40

Ixonanthaceae

1

41

Lamiaceae

2

42

Lauraceae

7

43

Lecythidaceae

2

44

Leeaceae

2

45

Liliaceae

2

46

Loranthaceae

1

47

Lythraceae

1

48

Malvaceae

3

49

Maranthaceae

4

50

Melastomataceae

1

51

Meliaceae

6

52

Moraceae

22

53

Musaceae

1

54

Myristicaceae

2

55

Myrsinaceae

6

56

Myrtaceae

6

57

Nyctaginaceae

1

58

Olaxaceae

1

59

Pandanaceae

1

60

Piperaceae

6

61

Pittosporaceae

1

62

Poaceae

7

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No.

Famili

Jumlah spesies

63

Polygalaceae

2

64

Pteridaceae

1

66

Rhizophoraceae

1

66

Rosaceae

2

67

Rubiaceae

9

68

Rutaceae

2

69

Sapindaceae

11

70

Sapotaceae

1

71

Schizaeaceae

1

72

Selaginellaceae

1

73

Simaroubaceae

1

74

Smilaxaceae

1

75

Solanaceae

3

76

Sterculiaceae

5

77

Symplocaceae

1

78

Thelipteridaceae

2

79

Thymealeaceae

1

80

Tiliaceae

1

81

Urticaceae

7

82

Verbenaceae

3

83

Violaceae

1

84

Vitaceae

2

85

Zingiberaceae

3

Jumlah

280

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Lampiran 2 Tabel. VII.3 Daftar Spesies NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

1

Acanthaceae

Gandarussa vulgaris Nees

2

Acanthaceae

Hemigraphis alternata (Burm.f.) T. Andrs.

3

Acanthaceae

Pseuderanthemum acuminatum Radlk.

4

Acanthaceae

Rostellularia obtusa Ness.

5

Acanthaceae

Strobilanthes sp. 1

6

Acanthaceae

Strobilanthes sp. 2

7

Acanthaceae

Hypoestes decaisneana Nees.

8

Acanthaceae

Rungia blumeana Vahl.

9

Actinidiaceae

Saurauia bracteosa DC.

10

Adianthaceae

Adianthum sp.

11

Alangiaceae

Alangium salvinifolium (L.f.) Wang

12

Amaranthaceae

Cyathula prostrata (L.) Bl.

13

Amaryllidaceae

Crinum sp.

14

Anacardiaceae

Anacardium ocidentale L.

15

Anacardiaceae

Buchanania arborescens (Bl.) Bl.

16

Anacardiaceae

Dracontomelon dao (Bl.) Merr. & Rolfe

17

Anacardiaceae

Mangifera pedicellata Kosterm.

18

Anacardiaceae

Spondias cyatherea Sonnerat.

19

Annonaceae

Alphonsea javanica Scheff.

20

Annonaceae

Annona muricata L.

21

Annonaceae

Cananga odorata Hook.f. & Thoms.

22

Annonaceae

Meiogyne virgata (Bl.) Miq.

23

Annonaceae

Orophea celebica Miq.

24

Annonaceae

Polyathia celebica Miq.

25

Annonaceae

Polyathia lateriflora King

26

Annonaceae

Polyathia sp.

27

Annonaceae

Sageraea lanceolata Miq.

28

Apocynaceae

Alstonia scholaris (L.) R. Br.

29

Apocynaceae

Chilocarpus sp.

30

Apocynaceae

Ichnocarpus serpyllifolius (Bl.) P.I. Forst.

31

Apocynaceae

Lepiniopsis ternatensis Valeton

33

Apocynaceae

Wrightia pubescens R. Br.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

34

Araceae

Pothos roxburghii de Vriese

35

Araceae

Pothos sp.

36

Araceae

Rhaphidophora pinnata Schott.

37

Araceae

Schimatoglottis calyprata (Roxb.) Z. & M.

38

Araceae

Scindapsus sp.

39

Araliaceae

Gastonia serratifolia (Miq.) W.R. Philipson

40

Araliaceae

Osmoxylon masarangense Philipson

41

Araliaceae

Schefflera elliptica Harms.

42

Araliaceae

Schefflera polybotrya Koord.

43

Araliaceae

Schefflera sp.

44

Arecaceae

Arenga cf. pinnata (Wurmb.) Merr.

45

Arecaceae

Calamus sp. 1

46

Arecaceae

Calamus sp. 2

47

Arecaceae

Calamus sp. 3

48

Arecaceae

Caryota mitis Lour.

49

Arecaceae

Pinanga sp.

50

Arecaceae

Salaca zallaca (Gaertn) Voss.

51

Asclepiadaceae

Thylophora sp.

52

Asclepiadaceae

Marsdenia sp.

53

Aspidiaceae

Tectaria sp.

54

Asteraceae

Ageratum conyzoides L.

55

Asteraceae

Blumea balsamifera (L.) DC.

56

Asteraceae

Blumea sp.

57

Asteraceae

Eupatorium odoratum L.f.

58

Asteraceae

Pseudelephantopus spicatus (B. Juss. ex Aubl.) C.F. Baker

59

Bignoniaceae

Crescentia cujete L.

60

Bignoniaceae

Dolichandrone spathacea (L.f.) Beauv.

61

Bignoniaceae

Spathodea cf. campanulata Beauv.

62

Bischofiaceae

Bischofia javanica Bl.

63

Boraginaceae

Cordia blancoi Vid.

64

Burseraceae

Canarium hirsutum Willd.

66

Capparaceae

Capparis micrantha DC.

66

Celastraceae

Salacia sp.

67

Clusiaceae

Calophyllum celebicum P.F. Stevens

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

68

Clusiaceae

Calophyllum cf. macrocarpum Hook.f.

69

Clusiaceae

Garcinia

70

Clusiaceae

Garcinia balica Miq.

71

Clusiaceae

Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz.

72

Clusiaceae

Garcinia parviflora (Miq.) Miq.

73

Combretaceae

Combretum sp.

74

Combretaceae

Terminalia

75

Commelinaceae

Forrestia mollisima (Bl.) Kds.

76

Connaraceae

Connarus monocarpus L.

77

Convolvulaceae

Merremia peltata (L.) Merr.

78

Convolvulaceae

Merremia umbellata (L.) Hallier.f.

79

Convolvulaceae

Merremia vitifolia (Burm.f.) Hallier.f.

80

Crassulaceae

Kalanchoe integra (Medik.) O.K.

81

Cyperaceae

Cyperus eragrostis Vahl.

82

Datiscaceae

Tetrameles nudiflora R. Br.

83

Dilleniaceae

Dillenia serrata Thunb.

84

Dilleniaceae

Tetracera scandens (L.) Merr.

85

Dipterocarpaceae

Hopea gergaria Slooten

86

Ebenaceae

Diopsyros malabarica (Desr.) Kostel.

87

Ebenaceae

Diospyros celebica L.

88

Euphorbiaceae

Alchornea rugosa (Lour.) Muell. Arg.

89

Euphorbiaceae

Aleurites moluccana (L.) Willd.

90

Euphorbiaceae

Antidesma montanum Bl.

91

Euphorbiaceae

Baccaurea javanica Muell. Arg.

92

Euphorbiaceae

Breynia cernua Muell. Arg.

93

Euphorbiaceae

Croton verreauxii Baill.

94

Euphorbiaceae

Claoxylon brachyandrum Pax. & K. Hoffm.

95

Euphorbiaceae

Croton oblongus Burm.f.

96

Euphorbiaceae

Drypetes longifolia (Bl.) Pax. & K. Hoffm.

97

Euphorbiaceae

Drypetes neglecta (Koord.) Pax. & K. Hoffm.

98

Euphorbiaceae

Glochidion philippicum C.B. Roxb.

99

Euphorbiaceae

Homonia riparia Lour.

100

Euphorbiaceae

Jatropha curcas L.

101

Euphorbiaceae

Mallotus floribundus (Bl.) Muell. Arg.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

102

Euphorbiaceae

Mallotus repandus (Willd.) Muell. Arg.

103

Euphorbiaceae

Mallotus sp.

104

Euphorbiaceae

Melanolepis multiglandulosa (Reinw. ex Bl.) Rchb.f. & Zoll.

105

Euphorbiaceae

Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit.

106

Euphorbiaceae

Phyllanthus niruri L.

107

Euphorbiaceae

Pimeleodendron amboinicum Hassk.

108

Euphorbiaceae

Trigonostemon cf. malayana Hook.f.

110

Fabaceae

Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.

111

Fabaceae

Albizia saponaria (Lour.) Bl. ex Miq.

112

Fabaceae

Archidendron sp.

113

Fabaceae

Cassia ocidentalis L.

114

Fabaceae

Cassia timorensis DC.

115

Fabaceae

Cynometra cauliflora L.

116

Fabaceae

Dalbergia sp. 1

117

Fabaceae

Dalbergia sp. 2

118

Fabaceae

Desmodium triquetrum (L.) DC.

119

Fabaceae

Diospyros malabarica (Desr.) Kostel.

120

Fabaceae

Erythrina cf. subumbrans (Hassk.) Merr.

121

Fabaceae

Flemingia stronbilifera R.Br.

122

Fabaceae

Glyricidia sepium (Jacq.) Kunth ex Walp.

123

Fabaceae

Leucaena leucocephala (Lmk.) de Wit.

124

Fabaceae

Mimosa pudica L.

125

Fabaceae

Peltophorum pterocarpum (DC.) Baker ex K. Heyne

126

Fabaceae

Phanera cf. fulva (Bl. ex Korth.) Bth.

127

Fabaceae

Phanera finlaysoniana Grah. ex Bth.

128

Fabaceae

Pterocarpus indicus Willd.

129

Flacourtiaceae

Flacourtia inermis Roxb.

130

Flacourtiaceae

Ryparosa javanica (Bl.) Kurz.

131

Flagellariaceae

Flagellaria indica L.

132

Gnetaceae

Gnetum cuspidatum Bl.

133

Hypericaceae

Cratoxylum formosum (Jack) Dyer

134

Icacinaceae

Iodes cirrhosa Turcz.

135

Ixonanthaceae

Ixonanthes sp.

136

Lamiaceae

Hyptis capitata Jacq.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

137

Lamiaceae

Anisomeles indica (L.) O.K.

138

Lauraceae

Actinodaphne intermedia (Elmer) Kosterm.

139

Lauraceae

Cinnamomum subavenium Miq.

140

Lauraceae

Cryptocarya sp.

141

Lauraceae

Dehaasia caesia Bl.

142

Lauraceae

Litsea sp. 1

143

Lauraceae

Litsea sp. 2

144

Lauraceae

Litsea timoriana Span.

145

Lecythidaceae

Barringtonia sp.

146

Lecythidaceae

Planchonia valida (DC.) Bl.

147

Leeaceae

Leea aequata L.

148

Leeaceae

Leea indica (Burm.f.) Merr.

149

Liliaceae

Cordyline fruticosa (L.) A. Chev.

150

Liliaceae

Pleomele angustifolia (Roxb.) N.E. Br.

151

Loranthaceae

Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.

152

Lythraceae

Lagerstroemia speciosa (L.) Pers.

153

Malvaceae

Hibiscus schizopetalus (Mast.) Hook.f.

154

Malvaceae

Sida acuta Burm.f.

155

Malvaceae

Urena lobata L.

156

Maranthaceae

Donax cannaeformis (G. Forst.) K. Schum.

157

Maranthaceae

Phrynium 1

158

Maranthaceae

Phrynium 2

159

Maranthaceae

Phrynium 3

160

Melastomataceae

Melastoma polyanthum Bl.

161

Meliaceae

Aglaia

162

Meliaceae

Aglaia argentea Bl.

163

Meliaceae

Aglaia tomentosa T. et B.

164

Meliaceae

Aphnamixis polystachya (Wall.) R. Parker

166

Meliaceae

Chisocheton cf. cumingianus (DC.) Harms.

166

Meliaceae

Dysoxylum arborescens (Bl.) Miq.

167

Moraceae

Artocarpus sp.

168

Moraceae

Artocarpus teysmannii Miq.

169

Moraceae

Ficus benjamina L.

170

Moraceae

Ficus fulva Reinw. ex Bl.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

171

Moraceae

Ficus glomerata Roxb.

172

Moraceae

Ficus hispida L.

173

Moraceae

Ficus lepicarpa Bl.

174

Moraceae

Ficus miquellii King

175

Moraceae

Ficus sp. 1

176

Moraceae

Ficus sp. 2

177

Moraceae

Ficus sp. 3

178

Moraceae

Ficus sp. 4

179

Moraceae

Ficus sp. 5

180

Moraceae

Ficus sp. 6

181

Moraceae

Ficus sp. 7

182

Moraceae

Ficus sp. 8

183

Moraceae

Ficus sundaica Bl.

184

Moraceae

Ficus tinctoria G. Forst.

185

Moraceae

Ficus variegata Bl.

186

Moraceae

Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner

187

Moraceae

Steblus asper Lour.

188

Moraceae

Trophis philippinensis (Burrett) Corner

189

Musaceae

Musa acuminata Colla

190

Myristicaceae

Horsfieldia lancifolia W.J. de Wilde

191

Myristicaceae

Knema cinerea (Poir.) Warb.

192

Myrsinaceae

Ardisia elliptica Thunb.

193

Myrsinaceae

Ardisia sanguinolenta Bl.

194

Myrsinaceae

Ardisia sp. 1

195

Myrsinaceae

Ardisia sp. 2

196

Myrsinaceae

Embelia javanica DC.

197

Myrsinaceae

Maesa ramentacea Wall.

198

Myrtaceae

Psidium guajava L.

199

Myrtaceae

Syzygium cuminii (L.) Skeels

200

Myrtaceae

Syzygium pseudoformosum (King) Merr. & Perry

201

Myrtaceae

Syzygium cf. semarangense Alston

202

Myrtaceae

Syzygium sexangulatum (Miq.) Ams.

203

Myrtaceae

Syzygium subglauca K. et V.

204

Nyctaginaceae

Pisonia umbellifera (G. Forst.) Seem.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

205

Olaxaceae

Anacolosa frutescens Bl.

206

Pandanaceae

Pandanus sp.

207

Piperaceae

Piper baccatum Bl.

208

Piperaceae

Piper caninum Bl.

209

Piperaceae

Piper majusculum Bl.

210

Piperaceae

Piper miniatum Bl.

211

Piperaceae

Piper sp. 1

212

Piperaceae

Piper sp. 2

213

Pittosporaceae

Pittosporum moluccanum (Lam.) Miq.

214

Poaceae

Centhotheca lappacea (L.) Desv.

215

Poaceae

Oplismenus compositus (L.) Beauv.

216

Poaceae

Paspalum conjugatum Berg.

217

Poaceae

Pogonnatherum paniceum (Lamk.) Hack.

218

Poaceae

Schizostachyum sp. 1

219

Poaceae

Schizostachyum sp. 2

220

Poaceae

Undet.

221

Polygalaceae

Xanthophyllum tenuipetalum Meijden

222

Polypodaceae

Drynaria sparsisora Desv. Moore

223

Pteridaceae

Pteris tripartita Sw.

224

Rhizophoraceae

Carallia brachiata (Lour.) Merr.

225

Rosaceae

Rubus fraxinifolius Poir.

226

Rosaceae

Rubus moluccanus L.

227

Rubiaceae

Anthocephalus chinensis (Lam.) Rich. ex Walp.

228

Rubiaceae

Lasianthus sp.

229

Rubiaceae

Morinda citrifolia L.

230

Rubiaceae

Nauclea subdita (Korth.) Steud.

231

Rubiaceae

Neonauclea excelsa (Havil.) Merr.

232

Rubiaceae

Neonauclea sp.

233

Rubiaceae

Psychotria malayana Jack

234

Rubiaceae

Tarenna fragrans (Bl.) Koord. & Valeton

235

Rubiaceae

Uncaria acida Roxb.

236

Rutaceae

Citrus sp.

237

Rutaceae

Melicope latifolia (DC.) T.G. Hartley

238

Sapindaceae

Arythera littoralis Bl.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

239

Sapindaceae

Erioglossum rubiginosum Bl.

240

Sapindaceae

Euphorianthus euneurus Leenh.

241

Sapindaceae

Ganophyllum falcatum Bl.

242

Sapindaceae

Harpulia arborea Radlk.

243

Sapindaceae

Lepisanthes fruticosa (Roxb.) Leenh.

244

Sapindaceae

Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh.

245

Sapindaceae

Mischocarpus sundaicus Bl.

246

Sapindaceae

Pometia pinnata J.R. Forst. & Forst.

247

Sapindaceae

Trigonoceras sp.

248

Sapindaceae

Tristiopsis sp.

249

Sapotaceae

Palaquium maliliense P. Royen

250

Schizaeaceae

Lygodium circinatum (Burm.f.) Sw.

251

Selaginellaceae

Selaginella plana Hieron

252

Simaroubaceae

Ailanthus integrifolius Lam

253

Smilaxaceae

Smilax leucophylla Bl.

254

Solanaceae

Lycianthes sp.

255

Solanaceae

Lysianthes sp. 2

256

Solanaceae

Solanum torvum Swartz.

257

Sterculiaceae

Kleinhovia hospita L.

258

Sterculiaceae

Pterocymbium tinctorium (Bl.) Kosterm.

259

Sterculiaceae

Pterospermum celebicum Miq.

260

Sterculiaceae

Pterospermum diversifolium Bl.

261

Sterculiaceae

Pterygota horsfieldii (R. Br.) Kosterm.

262

Symplocaceae

Symplocos odoratissima Choisy ex Zoll.

263

Thelipteridaceae

Christella sp.

264

Thelipteridaceae

Pneumatopteris callosa Hout.

266

Thymealeaceae

Phaleria capitata Jack

266

Tiliaceae

Grewia acuminata Juss.

267

Urticaceae

Dendrocnide stimulans (L.f.) Chew.

268

Urticaceae

Elatostema sinuatum (Bl.) Hassk.

269

Urticaceae

Elatostema sp.

270

Urticaceae

Leucosyke capitellata (Poir.) Wedd.

271

Urticaceae

Poikilospermum sp.

272

Urticaceae

Poikilospermum suaveolens (Bl.) Merr.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

NO.

FAMILY

GENUS & SPECIES

273

Urticaceae

Villebrunea rubescens (Bl.) Miq.

274

Verbenaceae

Gmelina sp.

275

Verbenaceae

Lantana camara L.

276

Verbenaceae

Stachytarpheta jamaicense (L.) Vahl.

277

Violaceae

Rinorea horneri (Korth.) Kuntze

278

Vitaceae

Cayratia

279

Vitaceae

Tetrastigma lanceolarium Planch.

280

Zingiberaceae

Alpinia sp.

281

Zingiberaceae

Costus speciosus (Koenig) Smith

282

Zingiberaceae

Etlingera sp.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Lampiran 3 PANDUAN WAWANCARA ETNOBOTANI Data Responden: 1. Nama

:

2. Usia

:

3. Jenis kelamin

:

4. Status

:

5. Alamat

:

6. Pekerjaan

:

7. Status di masyarakat : Data Etnobotani: 1. Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan: 2. Asal tumbuhan :

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-25


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Lampiran 4 Tabel VII.4 Data Responden No

1

Nama

Nurdin

Usia

Jenis

(anak-anak/

Kelamin

dewasa/tua)

(L/P)

Dewasa

L

Status

Alamat

Pekerjaan

Status masyarakat

menikah

Panaikang

Petani

dan Ketua RT

Penambang batu 2

Asri

Dewasa

L

menikah

Panaikang

Petani

Warga

3

Rabiah

Dewasa

P

menikah

Panaikang

Pedagang

Warga

4

Pak Haji

Tua

L

menikah

Panaikang

Pegawai di Warga Situs Sejarah LeangLeang

5

Siti

Anak-anak

P

Aminah

belum

Panaikang

Pelajar

Warga

menikah

Ansor 6

Itun

Tua

L

menikah

Patunuang

Petani

Dukun

7

Acu

Dewasa

L

menikah

Patunuang

Penyadap

Warga

nira 8

Yusuf

Dewasa

L

menikah

Patunuang

Penyadap

Warga

nira 9

Sulaiman

Dewasa

L

menikah

Patunuang

Pembuat

Warga

gula aren 10

Pado

Dewasa

L

menikah

Patunuang

Petani

Tokoh masyarakat

11

Asar

Dewasa

L

menikah

Mamappang,

Petani

Ketua RT

Malawa

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-26

di


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Lampiran 5 Tabel VII.5 Jenis-Jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Panaikang, Pattunuang, Karaenta dan Mallawa No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

1

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

Anggrek

x

tus

Vanda sp.

Epifit

Phalaenops

Anggrek

x

Epifit

Arenga

Pemanfaatan

Liar

Budi

Tanaman

X

Tanaman

X

hias

Anggrek

x

Epifit

is sp. 4

Status

hias

vanda 3

Cara

daya

Dupa 2

Manfaat

Tanaman

X

hias Aren

x

x

Palem

pinnata

Pangan

Nira untuk

diambil x diolah

menjadi

gula

aren dan balao, buahnya

dibuat

kolang-kaling dengan

cara

direbus

atau

dibakar

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-27


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

5

Asam

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Tumbuh

Tumbu

Daun

Bertolak

an

Han Obat

kemudian

Belakang

bawah

(melan

rebusan diminum

(Cempa

carkan

Sibokori)

kencing dan

direbus x air

Obat penyakit dalam) 6

Mangifera

Bacang

x

Pohon

foetida

Tumbuhan

Kulit batang di x

Obat (Obat ambuil sakit perut)

untuk

direbus dua

gelas

hingga satu

dengan air

tersisa gelas

air

kemudian airnya dimasak

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-28


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.4) No

7

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal Bambu

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Bambu

Pangan dan Rebung Peralatan

dapat x

dimakan

dan

buluhnya digunakan sebagai penampung nira 8

Banga

x

Pandan

Tumbuhan

Pangkal

Obat

ditumbuk

(disengat

kemudian

tawon)

dibalurkan pada bagian

daun x

yang

disengat tawon 9

Banyoro

x

Pohon

Konstruksi

Kayu

dapat x

bangunan

dibuat papan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-29


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

10

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Averrhoa

Belimbing

bilimbi

wuluh

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pohon

Tumbuahn

Daun

direbus

x

Obat (Obat kemudian darah

diminum airnya

tinggi) 11

Bodong-

x

Tumbuhan

bodong

x

Obat (Obat panas)

12

Bukang-

x

Pohon

Bukang

Tumbuhan

Daun

dapat x

Pangan dan digulai

untuk

Obat (Obat dimakan,

untuk

mencret

obat kulit kayu

darah)

ditoreh kemudian direbus

dan

diminum

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-30


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

13

Cakar

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

ayam 14

Santalum

Cendana

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Tumbuh

Tumbuhan

an

Obat

bawah

(Diabetes)

Pohon

Tumbuhan

album

x

x

Obat (Obat sakit gigi)

15

16

Daun Birah

Smilax

Gadung

x

x

Tumbuh

china

Tumbuhan

Daun

direbus Daun

Obat

kemudian

(Diabetes)

rebusan diminum

Pangan

Umbi

air Birah dapat x

an

dimakan dengan

bawah

cara pengolahan tertentu

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-31


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

17

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Gmelina

Gmelina

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pohon

arborea

Pohon

Ditanam

di

x

peneduh

pekarangan sebagai

x

rumah 18

Psidium

Jambu Biji

x

Pohon

guajava

Tumbuhan

Daun

Obat (Obat Obat diare dan diare) dan buahn ya dapat Pangan

20

Anacardium

Jambu

accidentale

mete

x

Pohon

dimakan

Tumbuhan

x

Obat

/Jambu monyet 21

Jamur

x

Jamur

Tipisi

Tumbuhan

Dimasak biasa

x

Pangan dan Obat (Obat penyakit dalam)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-32


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

22

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Tectona

Jati

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pohon

grandis

Pohon

Ditanam

di

x

peneduh

pekarangan untuk

x

rumah 23

Jeruk Bali

x

Pohon

Pangan

Buah dimakan

24

Kadaka

x

Tumbuhan

x

Obat 25

Kalelendi

x

Tumbuhan

di

x

Obat (Jamu)

26

Kananga

x

Pohon

Bahan

Kayu

Konstruksi

bahan

sebagai x

bangunan 27

Ceiba

Kapuk

x

Pohon

pentandra

Tumbuhan

Getahnya

obat (obat diambil sakit gigi)

kemudian dioleskan

ke

gigi yang sakit Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-33


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

28

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

Katondeng

x

Manfaat

Cara Pemanfaatan

tus

Status Liar

Budi daya

Pohon

Konstruksi

Kayu untuk tiang

x

bangunan 29

Kayu Rita

x

Pohon

Tumbuhan

Kulit kayu direbus x

Obat (Obat lalu 30

Keladi

x

Tumbuh

demam)

diminum

Pangan

Umbinya

an

dapat

x

dimakan

bawah 31

Keladi

x

Tikus

Tumbuh

Tanaman

an

hias

x

bawah 32

Cocos

Kelapa

x

x

x

Pangan dan Buah untuk

nucifera

peralatan

dimakan, batok

mencetak

kelapa untuk

gula aren

cetakan dalam

x

membuat gula aren

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-34


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

33

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Aleurites

Kemiri

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

x

tus

Kere

x

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pohon

moluccana 34

Manfaat

Pohon

Pangan,

Ditambahkan

x

Tumbuhan

pada pembuatan

Obat

gula aren

Konstruksi

Kayu untuk tiang

x

bangunan 35

Kirasa

x

x

Pangan

Daun dimasukkan x 7dalam

wadah

penampung untuk

nira

mencegah

nira menguap 36

Orthosiphon

Kumis

stamineus

kucing

x

Tumbuh

Tumbuhan

Kumis kucing dan x

an

Obat

sambiloto direbus

bawah

kemudian airnya diminum

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-35


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

37

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal Kupu

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

x

Tumbuhan

sanda

x

Obat (Obat luka)

38

Langir

x

Kosmetik

x

dan aromatik (shampoo tradisional) 39

Languting

x

x

Pohon

Bahan

Kayu

sebagai x

Konstruksi

bahan bangunan untuk tiang

40

Langotinta

x

Pohon

ndru

Bahan

Kayu

Konstruksi

dimanfaatkan sebagai

dapat x tinag

rumah

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-36


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

41

Lokasi Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

Londrong

42

Habi-

x

MaraliMangifera

Mangga

x

x

indica

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pohon

king 43

tus Pohon

x

Manfaat

Konstruksi

Kayu

dapat x

bangunan

dibuat triplek

Bahan

Kayu

Konstruksi

dijadikan papan

Tumbuhan

Getahnya

untuk x x

Obat (obat dioleskan sakit

ke

gigi) bagian gigi yang

,Pangan

sakit,

buahnya

dan

dapat

dimakan,

konstruksi

kayu

bangunan

dimanfaatkan untuk

dapat kayu

bangunan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-37


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama Ilmiah

Nama Lokal

44

Arthocarpus

Nangka

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pohon

heterophyllus

Pangan dan Buahnya

dapat

konstruksi

dimakan

bangunan

batangnayn dapat

x

dan dapat

digunakan sebagai

kayu

bangunan 45

Nypa fruticans

Nipah

x

Atap

x

Bangunan 46

Padakka

x

Pohon

Tumbuhan

x

Obat (Obat kudis)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-38


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

47

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Rhoeo

Nanas

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Manfaat

tus

Cara Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pangan dan Buah

discolor

Status

dapat

Tumbuhan

dimakan

Obat

ujung daun nya

x

dan

dapat menyembukan bengkak diujung jari dengan cara menggosokkan ujung daun nanas yang

telah

direndam dalam air

dingin

dan

dilumatkan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-39


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

48

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Dicranopter

Paku-

is

pakuan

dichotoma

(Paku

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Epifit

Tanaman

x

Hias

andam) 49

Paliasa

x

Pohon

Tumbuhan

Daunnya

dapat x

Pangan dan dijadikan lalapan Obat (Obat penyakit dalam, penyakit kuning ) 50

Pasando

x

Tumbuh

Tumbuhan

Daun

ditumbuk x

an

Obat (Obat kemudian

bawah

luka)

dibalurkan pada bagian

tubuh

yang luka

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-40


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

51

Pegagan / daun

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

Liu-

liu

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Tumbuh

Tumbuhan

Daun dilumatkan,

an

Obat (Obat kemudian diperas

bawah

sakit

hingga keluarnya

telinga)

air,

air

keluar

yang

ditetskan

ke dalam bagian telinga 52

Areca

Pinang

x

Pinang

catechu 53

Andrograph Sambiloto

Tumbuahan

x

Obat x

Tumbuh

Tumbuhan

Kumis kucing dan

aris

an

Obat

sambiloto direbus

paniculata

bawah

kemudian airnya diminum

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-41


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

54

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Musa

Lokasi

Pisang

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

x

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pisang

paradisiaca

Pangan,

Buah

Tumbuhan

dimakan,

Obat

untuk

( anakannnya

menghentik

dapat digunakan

an

untuk

pendarahan menghentikan karena

pendarahan

luka)

dengan

cara

menempelkan potongan anakan pada luka 55

Ageratum

Ruku-ruku

conyzoides

Bembe

x

x

/

Bandotan

Tumbuh

Tumbuhan

Daun ditempelkan x

an

Obat (Obat langsung

bawah

luka)

atau

ditumbuk kemudian dibalurkan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-42


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

56

Rumbia

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla

kang

nuang

enta

wa

Manfaat

Cara

tus

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

x

Atap

x

Bangunan 57

Sangitan /

x

Tumbuhan

Jabe-jabe

Ditumbuk dan dicampur

Obat (Obat sedikit

air

kemudian

turun panas) dikompreskan 58

Nasturtium

Sawi tanah

x

montanum

Tumbuh

Tumbuhan

Daun

direbus

dan

an

Obat (Obat diminum airnya pada

bawah

Kencing

pagi dan sore hari

batu) 59

Blumea

Sembung

x

balsamifera

Tumbuh

Tumbuhan

an

Obat

x

bawah 60

Sua-Sua

x

Tali

Kulit

Kulit

dapat

Pengikat

dijadikan tali pengikat

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-43


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

61

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

Simeng

x

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

Pangan

Buahnya

dapat x

dimakan dengan dicampur gula 62

Tali Balao

x

Tumbuhan Obat (Diabetes)

63

Tabulapo

x

Tumbuhan Obat (Tipes)

64

Tebu

x

Lanceng

Tumbuhan

Pelepah

Obat

dibakar

(penurun

kemudian

panas)

direbus,lalu

daun x

airnya diminum

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-44


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

(Sambungan Tabel VII.5) No

66

Nama

Nama

Ilmiah

Lokal

Achasma

Tepus

Lokasi

Habi-

Panai-

Pattu-

Kara-

Malla-

kang

nuang

enta

wa

Manfaat

tus

Cara

Status

Pemanfaatan

Liar

Budi daya

x

Pangan

x

megalocheli os 66

Tiga Daun

x

Pohon

Konstruksi

Kayu

dapat x

bangunan

dibuat papan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF - USA)

VII-45


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perhatian terhadap kawasan wisata alam kini semakin berkembang dan menjadi bagian yang penting dalam bisnis pariwisata. Pada dasawarsa ini, semakin banyak orang menghabiskan waktu berliburnya untuk menikmati keindahan alam, misteri budaya yang eksotik, kehidupan, dan aktivitas masyarakat lokal yang mempunyai nilai lebih. Kegiatan wisata tersebut selain memberikan kepuasan pribadi juga dapat meningkatan aktivitas pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi lingkungan. Saat ini konservasi lingkungan merupakan hal yang penting dan harus mendapatkan perhatian lebih serius. Apabila tindakan pelestarian lingkungan tidak dilaksanakan, maka pembangunan wisata tidak akan bertahan lama. Sementara itu, permintaan

akan

mengupayakan

pariwisata

pembangunan

semakin sektor

meningkat. pariwisata

Banyak

untuk

turut

negara

terus

mendongkrak

perekonomiannya. Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul) yang terletak di kabupaten Maros-Pangkep merupakan kawasan karst terluas kedua di dunia, sesudah karst di Cina bagian Tenggara. Ekosistem karst merupakan ekosistem unik karena terdiri dari ekosistem endokarst dan eksokarst yang saling ketergantungan. Keunikan ekosistem karst Maros-Pangkep dapat terlihat dari bentang lanskap yang beraneka ragam, gua-gua berornamen, bukit-bukit terjal, panorama alam yang eksotik, dan flora-fauna endemik. Sebagai daerah Wallacea, kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Akses menuju kawasan ini tergolong mudah. Bandar Udara Sultan Hasanuddin sebagai salah satu bandar udara internasional merupakan pintu masuk yang menjadikan wilayah ini mudah dijangkau dibanding kawasan Indonesia timur lainnya. Letak kawasan ini sangat strategis ¹ 1 jam perjalanan dari kota Makasar dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Sejarah kawasan yang juga merupakan peleburan taman wisata alam menjadikan wisata daerah ini cukup berkembang dan masih potensial untuk ditingkatkan. Dibanding wisata massal, wisata konservasi memiliki batasan kegiatan dan peraturan ketat. Tetapi, wisata terbatas ini lebih menarik dengan mengedepankan keunikan alami dan peningkatan pengetahuan serta pengalaman. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-1


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

TN BaBul memiliki keanekaragaman yang unik, pemandangan yang indah, serta memiliki budaya yang menarik. I.2 Tujuan Tujuan dilaksanakannya kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) oleh Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) adalah mengidentifikasi sumberdaya wisata di TN Bantimurung-Bulusaraung (TN BaBul) sebagai penunjang dalam pengembangan kegiatan ekowisata di kawasan karst. II. METODE PENGAMATAN II.1 Waktu dan Tempat Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 10-26 Agustus 2007 bertempat di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Rincian waktu dan tempat studi adalah: •

Kecamatan Bantimurung (11 Agustus-12 Agustus 2007)

Kecamatan Pattunuang dan Panaikang (13 Agustus-16 Agustus 2007)

Desa Tompobulu (15 Agustus-17 Agustus 2007)

Desa Samaenre, Mallawa (20 Agustus-23 Agustus 2007)

II.2 Alat dan Objek kajian Alat yang dipergunakan dalam kegiatan ini adalah perekam, kamera digital, GPS, kompas, tape recorder dan alat tulis. Sedangkan objek kajian kegiatan eksplorasi ini adalah seluruh objek wisata dari lima lokasi yang dinilai telah cukup mewakili potensi wisata TN BaBul baik yang sudah maupun yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata. Bahan yang diperlukan dalam kegiatan yaitu panduan wawancara (pengelola TN BaBul, tokoh masyarakat, masyarakat dan pengunjung) dan peta kawasan TN BaBul II.3 Jenis Data II.3.1 Data Primer Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan serta wawancara kepada :

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-2


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

a. Pengelola (Key informant) Wawancara dengan pengelola dilakukan untuk memperoleh data tentang sumberdaya alam berpotensi menjadi objek wisata, sistem pengelolaan objek wisata serta informasi lainnya yang dibutuhkan untuk perencanaan paket wisata. b. Pengunjung Data yang dikumpulkan dari wawancara dengan pengunjung, meliputi: latar belakang, karakteristik, objek wisata yang disukai, frekuensi kunjungan, kepuasan pengunjung, serta saran pengunjung untuk pengelolaan yang lebih baik. c. Masyarakat sekitar Wawancara dengan masyarakat sekitar kawasan dilakukan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap objek wisata yang dikembangkan, kebudayaan masyarakat yang berpotensi sebagai objek wisata budaya, dan saran masyarakat untuk pengembangan kawasan wisata kedepannya. II.3.2 Data Sekunder Data sekunder diproleh melaui studi literatur dari data- data yang sudah ada sebelumnya. Literatur yang diperoleh bersumber dari: Pemerintah Daerah Makasar, pengelola kawasan, buku-buku yang relevan dan internet. Adapun data sekunder yang dikumpulkan meliputi: a. Keadaan Umum 1) Letak, luas, dan batas wilayah 2) Kondisi topografi dan geologi tanah, iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan), pola penggunaan lahan, serta flora dan fauna. b. Keadaan umum sekitar 1) Jumlah penduduk 2) Matapencaharian 3) Kondisi budaya masyarakat II.4 Metode Pengambilan Data 1. Observasi/Pengamatan Lapang Kegiatan observasi lapang dilakukan dengan melakukan kegiatan observasi lapang atau mengunjung lokasi penelitian. Kegiatan observasi lapang ini dilakukan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-3


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

untuk mengetahui kondisi fisik, biologis, dan sosial budaya dari lokasi yang bersangkutan. 2. Wawancara a. Wawancara Responden Wawancara dilakukan di Bantimurung, Tompobulu, Panaikang, Pattunuang, dan Mallawa dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur kepada masyarakat di sekitar kawasan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penarikan contoh acak (random sampling) yaitu semua responden mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan contoh. b. Wawancara key informant Wawancara yang dilakukan untuk mengetahui kebijakan dan kegiatan pengelola kawasan Bantimurung, Tompobulu, Panaikang, Pattunuang, dan Mallawa. Wawancara key informant meliputi pengelola, kepala desa dan pemuka adat. c. Wawancara Masyarakat Wawancara dilakukan untuk mengetahui tentang persepsi dan bentuk interaksi masyarakat terhadap TN BaBul. Bentuk interaksi ini adalah bentuk interaksi positif maupun negatif 3. Studi Literatur Kegiatan studi literatur yang akan dilakukan adalah segala bentuk tulisan yang dapat menunjang dalam menyusun laporan SURILI yakni yang sesuai dengan tema dan topik yang dimiliki. 4. Pengumpulan informasi lain Pengumpulan ini dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dan data maupun informmasi terkait dari kelompok pemerhati-kelompok pemerhati lain dalam kegiatan eksplorasi yang sama (SURILI 2007) II.5 Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah deskriptif. Deskriptif kualitatif dilakukan dengan cara menceritakan secara terstruktur dan jelas suatu potensi sumberdaya wisata yang dimiliki TN BaBul. Data yang diolah dengan menggunakan analisis yakni kearifan tradisional masyarakat Bantimurung, Samaenre, Tompobulu, Panaikang, Pattunuang, dan Mallawa. Deskriptif kuantatif yakni menjelaskan suatu data dengan menggunakan angka-angka (nominal) dengan tujuan agar dapat mudah untuk dibaca dan dipahami. Data yang diolah dengan menggunakan analisis Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-4


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

kuantitatif yakni data sekunder pengunjung yang kemudian disimpulkan dalam persentase-persentase. Potensi wisata yang terdapat di TN BaBul selain dideskripsikan juga disajikan melalui beberpa parameter yang lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan antar variabel dengan sumber informasi dan teknik pengambilan data. III. KONDISI UMUM LOKASI STUDI III.1 Sejarah Kawasan Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas ± 3.879.771 ha merupakan kawasan hutan di provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi wilayah Kabupaten Maros dan Pangkep. Terdiri dari cagar alam Karaenta, Bantimurung dan Bulusaraung, Taman Wisata alam Bantimurung dan Gua Pattunuang, dan selebihnya berupa hutan lindung, hutan produksi terbatas serta hutan produksi tetap. Pada tahun 2004, hutan Bantimurung Bulusaraung dirubah fungsinya menjadi taman nasional dengan luas kawasan ± 43.750 ha. Taman Nasional ini merupakan peleburan dari cagar alam seluas ± 10.282,65 hektar, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 ha, hutan lindung seluas ± 21.343,10 ha, hutan produksi terbatas seluas ±145 ha, dan hutan produksi tetap seluas ± 10.355 Kecamatan Bantimurung terletak di Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan, dan berjarak ± 40 km ke arah timur dari Kota Makassar. Kecamatan Bantimurung mempunyai luas ± 279 Km2 dan terdiri atas 14 desa/kelurahan. (Dephut, 1998). III.2 Kondisi Fisik Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung berada dalam koordinat 9°34'11" 119°55'13" BT dan04°43'10" - 05°07'12" LS. Beberapa aspek kondisi fisik dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Geologi Geologi kawasan ini dikelompokkan berdasarkan jenis batuan yang didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi dari setiap satuan batuan. Formasiformasi tersebut antara lain adalah: a)

Formasi Balang Baru; yang terdiri dari perselingan serpih dengan batu pasir, batu lanau, dan batu lempung.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-5


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

b)

Batuan Gunung Api Terpropilitkan; yang terdiri dari breksi dan lava.

c)

Formasi Malawa; yang terdiri dari batu pasir kuarsa, batu lanau, batu lempung dan konglomerat dengan sisipan atau lensa batu-bara.

d)

Formasi Tonasa; terdiri dari batu-gamping pejal, bioklastik, kalkarenit, koral, dan kalsirudit bersisik.

e)

Formasi Camba; terdiri dari perselingan batuan sedimen laut dan batuan gunung api, yaitu batu pasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau, dan batulempung.

f)

Batuan Gunung Api Formasi Camba; terdiri dari breksi, lava, dan konglomerat. Terdiri dari pragment andesit dan basal, matrik, dan semen tufa halus hingga pasir.

g)

Batuan Gunung Api Baturape-Cindako; terdiri dari lava dan breksi gunung api, bersisipan tufa dan konglomerat.

h)

Batuan trobosan; terdiri dari granodiorit, andesit, diorit, trakit, dan basal piroksin.

i)

Endapan Alluvium pantai dan sungai; berupa pasir, lempung, bongkah, kerakal, kerikil, dan pasir. 2. Tanah Ada dua jenis tanah yang umum ditemukan di Bukit Kapur Maros Pangkep, dimana keduanya kaya akan kalsium dan magnesium, yaitu:

a)

Rendolit yang mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, dan

b)

Eutropepts yang merupakan turunan dari inceptisol, berwarna terang dan sangat dangkal. 3. Topografi Topografi kawasan ini dikelompokan ke dalam tiga bagian besar, yakni:

a) Pegunungan. Terletak di bagian Utara dan Tengah dengan puncak tertinggi Gunung Bulusaraung (1.300 m dpl), yang dicirikan berupa kenampakan topografi relief tinggi, terjal, dan tekstur topografi kasar. b) Perbukitan. c) Dataran rendah

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-6


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

4. Iklim Daerah Bantimurung-Bulusaraung memiliki tipe iklim C (Schnidt & Fergusson). Suhu rata-rata harian 29oC. Musim hujan berlangsung dari November-April. Musim kemarau antara Juli-September. Kecepatan angin rata-ata 3 knot bisa mencapai 20 knot. 5. Hidrologi Kawasan ini merupakan hulu dari beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan, antara lain Sungai Walanae, Sungai Pute, Sungai Pangkep dan Sungai Bantimurung/Maros. Disamping itu juga ditemukan beberapa mata air dan sungai kecil, terutama di wilayah karst, serta air bawah tanah/danau bawah tanah pada sistem guanya. III.3 Kondisi Biologi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki jenis flora dan fauna. Jenis telah diketemukan 4 jenis amfibi dan 13 jenis reptil, 6 jenis mamalia dan terdapat 4 famili kupu-kupu yaitu, Papilinoidae, Pieridae, Nymphalifdae dan Lycanidae. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Taman Nasional yang terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep memiliki daya tarik dan potensi objek wisata cukup beragam. Daya tarik merupakan suatu faktor yang membuat orang berkeinginan untuk mengunjungi dan melihat secara langsung ke tempat yang mempunyai daya tarik tersebut, sehingga tempat tersebut mempunyai nilai pengembangan wisata. IV.1 Identifikasi Objek Sebagai lokasi yang memiliki keunikan berbeda, masing-masing lokasi ini memiliki beberapa objek ataupun daya tarik unggulan yang secara umum dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel VIII.1 Karekteristik Objek Wisata No. 1.

Lokasi Bantimurung

Objek

Karakteristik

Air Terjun

Air tersedia sepanjang tahun, jernih.

Bantimurung

Lebar dinding air terjun ± 15 m, tinggi ± 10 m ± 200 m dari pintu gerbang

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-7


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No.

Lokasi

Objek

Karakteristik Jalan beton, kondisi baik. Dikelilingi pepohonan dan tebing karst Kegiatan

wisata

pemandangan,

:

Menikmati

bermain

air,

foto

pernikahan Layanan interpretasi : papan peringatan untuk berhati-hati Air Terjun Kasikebo

Air tersedia sepanjang tahun, jernih Lebar ± 5m, tinggi ± 15 m, mempunyai kubangan dalam, ada pusaran air. ± 800 m dari pintu gerbang. Jalan beton, tangga, mulai air terjun Bantimurung sempit ± 2 m. Dikelilingi

pepohonan,

tebing

karst,

danau Kegiatan

wisata

:

menikmati

pemandangan, fotografi, bermain air. Layanan interpretasi : papan larangan berenang Gua Batu

Kering Panjang ± 88 m, landai, satu mulut gua. Ornamen : stalaktit, stalakmit, dinding gua menyerupai bentukan monyet, kaki gajah, dll ± 700 m dari pintu gerbang Jalan ke air terjun kasikebo Kegiatan wisata : selusur gua Layanan interpretasi : Pemandu Banyak fandalisme

Gua Mimpi

Kering Panjang ± 687 m, agak curam, dua mulut gua, jalan buatan dalam objek Ornamen : Stalaktit. Stalakmit, flowstone, lantai

gua

menyerupai

sawah

dan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-8


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No.

Lokasi

Objek

Karakteristik bentukan batu mirip benda benda lain ± 100 m dari pintu gerbang Jalan menuju objek menaiki tangga Kegiatan wisata : selusur gua Layanan interpretasi : pemandu

Center for Butterfly

Terdiri dari museum kupu-kupu dan

Breeding

penangkaran kupu-kupu. Tiket masuk museum Rp. 5000, Dua

penangkaran

kupu-kupu

namun

kondisinya Rusak

± 50 m dari pintu gerbang

Kegiatan wisata : menikmati koleksi spesimen kupu-kupu, pendidikan. Layanan interpretasi : Blanko nama spesies 2.

Pattunuang

Gua Pattunuang

Gua berair Panjang ± 320 m, dua pintu gua Ornamen : stalaktit (susu sapi), stalakmit (kaktus),

tiang

gua

(menara

pisa),

jelajah

gua,

gordam. Letak tersembunyi Akses jalan setapak Kegiatan

wisata

:

pendidikan, penelitian. Pelayanan interpretasi belum ada Biseang

Labboro

Batu berbentuk perahu permukaannya

(Bislab)

tertutup tumbuhan Letak : tepi sungai Pattunuang Akses : dari jalan utama

berupa

Jalan setapak Dikelilingi pepohonan Memiliki mitos Kegiatan wisata : Menikmati keindahan Bislab, panorama alam Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-9


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No.

Lokasi

Objek

Karakteristik Layanan interpreasi belum ada

3.

Panaikang

Gua Leang-leang

Gua Pettakere dan Pettae Ornamen:

stalaktit,

stalakmit,

dan

gordam yang sudah mati. Lukisan gua, Pettakere. Perkakas purbakala, pettae Tangga menuju mulut gua. Setengah

jam

perjalanan

dengan

kendaraan bermotor dari jalan utama. Jalan

aspal,

beberapa

bagian

kondisinya rusak Kegiatan wisata: wisata sejarah, selusur gua Pelayanan interpretasi: Papan penunjuk arah Tanah lapang

Luas ± 1 ha, di samping sungai (air tersedia sepanjang tahun) Dikelilingi bukit karst Akses jalan ± 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari jalan raya. Jarang dilalui kendaraan umum Kegiatan wisata belum ada

4.

Tompobulu

Desa unik

Di kaki Gunung Bulusaraung Desa terbersih kedua di sulawesi selatan Mayoritas penduduk Islam Keunikan: Keseragaman dan kerapihan Pagar bambu putih, kebun buah, bunga, dan atau tumbuhan obat.

5.

Mallawa

Air

Terjun Makka

Junenggeh

± 5 jam perjalanan dari desa Samaenre Akses jalan tidak ada, menyusuri badan air, pemandu jalan penduduk lokal. Tinggi air terjun ± 100 m Batu cadas, terjal, sangat curam Terlihat dua air terjun lain Dikelilingi pepohonan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-10


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

No.

Lokasi

Objek

Karakteristik Kegiatan wisata belum ada

Pemandian

Air

Letak:

Hangat

Desa

Samaenre

2-3

Jam

perjalanan dengan kendaraan bermotor dari kantor taman nasional. Âą 200 m dari kantor desa Samaenre. Pemandian

terbuka,

air

tersedia

sepanjang tahun Pelayanan wisata: ticketing, pemandu Kegiatan wisata: main air, menikmati pemandangan Fasilitas: kamar mandi, selter Kebun

Anggrek

Hutan

Luas hampir 1 ha Pengembang: penduduk lokal Tidak kurang dari 20 jenis anggrek hutan Masih dalam taraf pengembangan Akses: telah ada jalan, Kegiatan wisata belum ada

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa objek-objek di Bantimurung letaknya berdekatan satu sama lain, dapat dikunjungi dengan sekali kunjungan. Sampai saat ini pengelolaanya lebih menekankan pada wisata massal. Pattunuang kondisi sekitar objek masih sangat alami, perubahan bentang alam sangat kecil kecuali untuk jalan setapak dan beberapa shelter. Pengelolaan wisata di Panaikang telah mapan untuk wisata prasejarah Leang-leang sedangkan untuk tanah lapang masih belum dikembangkan sama sekali. Tompobulu juga bukan merupakan daerah wisata namun keunikan desa ini menjadi potensi wisata. Mallawa memiliki potensi yang belum dikembangkan yaitu air terjun Makka Junenggeh namun objek ini rawan dikembangkan sebagai daerah wisata karena merupakan sumber air bagi masyarakat desa di kaki gunung Bulusaraung. Kebun anggrek hutan dikelola langsung oleh kepala desa Barugae saat ini memiliki tidak kurang dari dua puluh jenis anggrek khas gunung Bulusaraung yang dibudidayakan. Selain dengan tabel karakteristik objek diatas, potensi masing masing lokasi dapat terlihat lebih rinci pada tabel berikut.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-11


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Tabel VIII.2 Tabulasi Potensi Wisata Tiap Lokasi Potensi Wisata No. 1.

Lokasi Bantimurung

Fisik

Biologi

Akses Sosial

(Dari ibukota

budaya

propinsi)

Sarana

Pengelola

Pengunjung

Gua Mimpi,

Kera hitam

Suku dominan

5-10 km jalur

Loket ticketing, shelter,

Pemerintah

Ada

Gua Batu, Air

dare, kus-kus

Bugis dan

darat, jalan

warung wisata,

daerah

sepanjang

Terjun

beruang,

Makassar,

beraspal, mulus,

lapangan parkir,

tahun dengan

Bantimurung,

Trenggalung

Upacara

lebar jalan Âą5m,

kamar mandi/WC,

jumlah

Air Terjun

malaya,

adat, rumah

dilalui kendaraan

pusat informasi,

banyak setiap

Kasikebo,

Berbagai jenis

adat,

umum dengan

papan penunjuk arah,

harinya.

Center for

burung, kupu-

pakaian adat

intensitas sering

jalan antar objek,

Peningkatan

Butterfly

kupu, dan

jumbatan, troli

pengunjung

Breeding

herpetofauna

barang, mushala

pada

stabil

musim

libur dan bulan puasa 2.

Pattunuang

Gua

Kera hitam

Suku dominan

Âą 10 km jalur

Loket ticketing, pusat

Pemerintah

Pada

Pattunuang,

dare, kus-kus

Bugis dan

darat, jalan

informasi, jalan

daerah

waktu tertentu

Biseang

beruang,

Makassar,

beraspal, mulus,

setapak penghubung

Labboro

Tarsius, babi

Upacara

dilalui kendaraan

objek, kamar

hutan sulawesi,

adat, rumah

umum walau

mandi/WC

Julang

adat,

jumlahnya sedikit

Sulawesi, Raja

pakaian

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-12

waktu-


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Potensi Wisata No.

Lokasi

Fisik

Biologi

Akses Sosial

(Dari ibukota

budaya

propinsi)

udang

adat,

meninting,

pembuatan

Gagak hitam,

gula aren

Sarana

Pengelola

Pengunjung

soa-soa, dan berbagai jenis kupu-kupu aneka warna 3.

Panaikang

Gua

Tidak kurang

Suku dominan

10-15 km jalur

Taman prasejarah

Pemerintah

Pada

prasejarah

dari 50 jenis

Bugis dan

darat, jalan aspal,

leang-leang: Loket

daerah

waktu tertentu

Leang-leang,

burung : alap-

Makassar,

setengah jalan

ticketing, pusat

Tanah lapang

alap sulawesi,

Upacara

mulus, batu yang

informasi, mushala,

julang sulawesi,

adat, rumah

dipadatkan, lebar

kamar mandi/WC,

dll, berbagai

adat,

jalan Âą 4m, dilalui

taman, tempat duduk,

jenis kupu-kupu

pakaian adat

kendaraan umum

tangga menuju gua

sampai jarak

pettakere, papan

tertentu sedangkan

penunjuk arah.

lokasi tanah lapang hanya dilalui

Tanah lapang:-

kendaraan umum

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-13

waktu-


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Potensi Wisata No.

Lokasi

Fisik

Biologi

Akses Sosial

(Dari ibukota

budaya

propinsi)

Sarana

Pengelola

Pengunjung

pada hari pasar 4.

Tompobulu

Desa

Suku dominan

Jalan beraspal

Bugis dan

mulus Salahsatu

Makassar,

jalur pendakian

Upacara

Gunung

adat, rumah

Bulusaraung

-

-

-

-

adat, pakaian adat 5.

Mallawa

Air Terjun

Suku dominan

Âą 4 jam perjalan

Air terjun: -

penduduk

Makka

Bugis dan

dengan kendaraan

Pemandian: jalan

setempat

Junenggeh,

Makassar,

bermotor, sebagian

beton, ticketing, kamar

Pemandian Air

Upacara

jalan beraspal

mandi/WC, saung.

Hangat, kebun

adat, rumah

sisanya jalan rusak,

Kebun: jalan,

anggrek hutan

adat,

dan batu yang

pakaian adat

dipadatkan. Tidak dilalui kendaraan umum

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-14


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Kebudayaan di tiap lokasi memiliki banyak kesamaan. Hal ini karena secara umum keseluruhan masyakat taman nasional ini dominan suku Bugis dan Makassar. Kebudayaan ini dapat dilihat dari beberapa kategori seperti rumah adat, pakaian adat, makanan tradisional, upacara adat, dan kesenian. 1. Rumah adat Rumah panggung yang atapnya memiliki timpalaja. Timpalaja adalah sejenis sekat pada segitiga atap yang semakin banyak menunjukkan semakin tinggi derajat pemilik rumah. Perpaduan budaya daerah dengan budaya modern dapat terlihat dari model rumah modern, dalam arti terbuat dari semen

dan

bukan

merupakan

rumah

panggung,

namun

tetap

mempertahankan adanya timpalaja dan gapura rumah.

Gambar VIII.1 Rumah Adat 2. Pakaian adat Pakaian adat untuk perempuan adalah baju bodo sedangkan untuk prianya tidak ada yang khusus, hanya setelan jas yang umum dipakai dimana saja ditambah tutup kepala dan sarung khusus. Baju adat ini dipakai saat ada acara khusus terutama pada upacara pernikahan. Baju bodo memiliki aneka pilihan warna antara lain merah muda, hijau, biru, dll. Baju bodo saat ini telah mengalami modifikasi dengan pengaruh baju moderen. Saat ini banyak yang lengannya transparan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-15


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VIII.2 Baju Adat 3. Makanan Tradisional Ada berbagai jenis makanan khas ataupun makanan tradisional seperti coto makassar, sop konro, gogos, dan saraba. Makanan-makanan ini ada yang dikonsumsi sehari-hari maupun pada acara khusus.

Gambar VIII.3 Sop Konro 4. Upacara Adat Beberapa upacara adata yang menarik adalah upacara pernikahan, upacara tumbuh padi atau yang biasa dikenal secara umum dengan nama mapadendang dan upacara turun sawah (mapalili).

Upacara pernikahan

dilaksanakan dengan menyembelih kerbau, banyaknya sesuai dengan derajat keluarga tersebut. Pesta bisa berlangsung dalam satu hari bahkan samapai tujuh hari tujuh malam. Ada suatu kepercayaan yang unik di Pattunuang dimana pada malam sebelum resepsi pernikahan berlangsung kedua calon mempelai di rumahnya masing-masing dirias dan tidak boleh tidur semalaman. Hal ini dikarenakan mereka percaya jika ada yang tidur, maka dia akan meninggal mendahului pasangannya. Kemudian, selesai

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-16


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

upacara pernikahan kedua mempelai dan keluarga pergi ke Bisseang Labboro untuk mengadakan ritual menabur bunga . Mapadendang dilaksanakan dengan menumbuk padi muda. Upacara ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas panen yang berhasil. Mapadendang dilaksanakan setiap panen musim hujan. Pada upacara ini dibuat makanan dari ketan yang ditaburi parutan kelapa dan dimakan bersama sama. Mapadendang merupakan kegiatan menumbuk padi dengan menggunakan tongkat. Proses menumbuk ini menghasilkan irama yang biasanya diiringi dengan nyanyian para penumbuk. Mapalili adalah suatu upacara yang mengiringi proses musyawarah menetapkan waktu menanam padi. Mapalili di mallawa dilakukan dengan membuat makanan khusus yang dibungkus daun letto (bahasa daerah). Daun letto merupakan tanaman yang hanya bisa hidup di dekat aliran air. Nama makanan ini yaitu Kandrejawa (makanan jawa). Upacara ini biasanya dilakukan di mesjid dengan berdoa bersama untuk dapat menentukan tanggal yang baik untuk mulai mengolah sawah (turun sawah) supaya mendapatkan hasil sawah yang baik. Mappalili umunya sering diadakan pada bulan November. 5. Kesenian Kesenian tradisional yang menarik antara lain tarian Gandrang Bulo. Tarian ini merupakan tarian perang namun disajikan sangat halus. Penari menggunakan pakaian khusus dengan topi Pangeran Hasanuddin dan berbaris rapi. Penari keseluruhan laki-laki.

Gambar VIII.4 Tarian Gandrang Bulo

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-17


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Informasi lebih lengkap dari tiap lokasi studi diuraikan sebagai berikut: Bantimurung 1) Letak dan Luas Bantimurung merupakan salah satu kecamatan yang terletak di kabupaten Maros, terdiri atas 8 desa/kelurahan, 126 RT dan 34 RW. Wilayah ini memiliki luas ± 173,70 Km2. Wilayahnya berbatasan dengan daerah lain yaitu: Sebelah barat

: Kecamatan Turikale dan Kecamatan Lau

Sebelah timur

: Kecamatan Cenrana

Sebelah utara

: Kecamatan Maros Utara dan Kabupaten Pangkep

Sebelah selatan

: Kecamatan Simbang

2) Sejarah Kawasan Bantimurung memiliki beberapa fersi asal kata. Pertama dari kata “Anti murung” dan kedua dari suara “air terbanting bergemuruh” yang merupakan bunyi dari air terjun yang ada di lokasi ini. Di kawasan Bantimurung terdapat Taman Wisata Alam Bantimurung (TWA-Bantimurung) yang dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 ditetapkan sebagai taman nasional. 3) Kondisi Fisik Topografi beragam, terdapat batuan dan bukit karst. Mamiliki gua, air terjun, dan kolam alam. 4) Kondisi Biologi Beberapa jenis mamalia yang dapat ditemui antara lain kera hitam dare, bajing, kus-kus beruang, tenggalung malaya. Disampaing itu, berbagai jenis burung juga terlihat sedangkan untuk herpetofauna diperkirakan terdapat 4 jenis amfibi dan 13 jenis reptil untuk kupu-kupu sebagai maskot tempat ini kira-kira memiliki kekayaan dari 4 jenis dari famili Papilinoidae, 5 jenis dari famili Pieridae, 23 jenis dari famili Nymphalidae dan 2 jenis dari famili Lycanidae. 5) Keadaan Penduduk Data tahun 2006 menyatakan jumlah penduduk kecamatan Bantimurung sebanyak 27.973 jiwa yang terdiri dari 13.640 laki-laki dan 14.333 perempuan. Mata pencaharian utamanya adalah bertani. Lahan pertanian yang digunakan terdiri dari lahan sawah dan lahan bukan sawah. Lahan sawah yang diusahakan untuk pertanian merupakan lahan pengairan non teknis seluas 181 ha dan lahan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-18


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

sawah tadah hujan seluas 1.026 ha, Selebihnya lahan bukan sawah yang terdiri dari ladang/ tegal seluas 1.513 ha, perkebunan 194 ha, hutan rakyat 317 ha dan lainnya 778 ha. Dari data ini menandakan sebagian luas pertanian mengandalkan pengairan dari hujan yang artinya musim tanam hanya dilakukan saat musim penghujan saja (Dokumen). Selain

pertanian,

sektor

ekonomi

lain

yang

berkembang

adalah

pertambangan dan penggalian dengan produk terbesar adalah marmer dan batu bara, industri pengolahan : listrik, gas, dan air, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, penyediaan akomodasi dan penyediaan makan dan minum, transportasi, pergudangan, dan komunikasi, pennyetara keuangan, real estate; usaha persewaan; dan jasa perusahaan, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Lembaga keuangan juga cukup tersedia, terdiri dari bank umum dan koperasi. Jenis ternak yang dihasilkan adalah sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, ayam buras, ayam ras, dan itik. Sedangkan hasil pertaniannya adalah padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, jeruk, jambu, mangga, nenas, pisang, salak, pepaya, kedondong, rambutan, alpukat, nangka, semangka, sukun, dan sirsak. Fasilitas jalan dan transportasi cukup memadai walau kondisi jalan ke daerah terpencil sangat minim. Fasilitas pendidikan berdasarkan data tahun 2006 terdapat dua puluh delapan Sekolah Dasar yang terdiri dari tiga belas SD Negeri dan lima belas SD impres. Delapan Sekolah Menengah Pertama yang terdiri dari tiga SMP Negeri, empat SMP swasta dan satu SMP terbuka. Sedangkan Sekolah Menengah Atas hanya terdapat satu. Selain itu, terdapat fasilitas pendidikan yag disediakan oleh Departemen Agama Kabupaten Maros yaitu dua Madrasah Ibtidaiyah, satu Madrasah Tsanawiyah dan dua Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Fasilitas kesehatan terdiri dari lima puskesmas, satu polides, serta dua apotik. Didukung dengan tenaga kesehatan yang terdiri dari empat dokter, tujuh belas para medis, dua belas bidan, dan tiga puluh tiga orang dukun bayi. 6) Daerah Wisata Taman Wisata Alam (TWA) Bantimurung terletak di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Luas kawasan Bantimurung yaitu sekitar 43.750 ha. Sedangkan untuk luas kawasan TWA Bantimurung yaitu 18 ha. Pada kawasan TWA Bantimurung terdapat bangunan-bangunan yang merupakan fasilitas TWA. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-19


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Total lahan yang digunakan untuk bangunan yaitu sebesar 4 ha, dan total luas efektif TWA Bantimurung untuk obyek wisata sebesar 14 ha. Akses masuk ke dalam kawasan TWA hanya 1 pintu. Pengelola utama TWA ini adalah pemerintah daerah setempat (Silamba, 2006). Fenomena yang ada di daerah Bantimurung yang menjadi objek wisata adalah Air Terjun, Gua Batu, Gua Mimpi dan Kolam renang alami masing-masing dari lokasi tersebut memiliki keunikan tersendiri.

Gambar VIII.5 Beberapa Sisi Bantimurung Pattunuang 1) Letak dan Luas Taman Wisata Alam Gua Pattunuang memiliki luas 1.506,25 Ha, merupakan daerah perbukitan kapur yang berlereng sangat curam dengan lembah-lembah yang sempit. Kawasan ini memilki gua-gua dengan stalagtit-stalagmitnya yang sangat indah dan mempesona yang jarang diketemukan di muka bumi ini. Pattunuang terletak di desa Samangki kecamatan Simbang. 2) Sejarah Kawasan Cerita Pattunuang bermula dari pada zaman Belanda. Banyak orang Jawa yang bekerja di daerah ini, dan suatu ketika bahan makanan mereka habis lalu mereka memutuskan untuk memakan anjing yang terdapat di sekitar daerah ini dengan cara dibakar. Maka daerah ini dinamakan Pattunuang asu yang berarti tempat pembakaran anjing. 3) Kondisi Fisik Kondisi fisik pada daerah Pattunuang, dilewati oleh daerah aliran sungai yang tidak terlalu deras, dan memiliki penutupan lahan yang berbatu, dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi. Memiliki jalan yang cenderung menanjak. Terdapat satu gua yang bernama gua Pattunuang. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-20


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

4) Kondisi Biologi fauna yang terdapat dipatunuang antara lain jenis kupu-kupu, burung, mamalia dan herpetofauna. Terdapat 4 jenis famili kupu-kupu, beberapa jenis burung antara lain Julang Sulawesi, Raja udang meninting serta Gagak hitam banyak diketemukan di daerah ini. jenis mamalia dapat diketemukan seperti Tarsius (Tarsius spectrum), Kus-kus beruang ( Ailurops ursinus) atau Sulawesi Bear cuscus, Monyet Hitam Dare (Macaca maura), Bajing (Callosciurus sp), Tikus. Sedangkan jenis herpetofaunanya dapat diketemukan antara lain Soa-soa, ular Pithon, Ular Welang dan Kadal. Spesies-spesies tersebut merupakan spesies yang mendominasi di daerah Patunuang menurut jenisnya faunanya. Pada jenis flora spesies yang ada antara lain Rao, talpadare, daun ratu, maledurian, pacipoda, tara-tara jangan, lopalasa, potontong, katelaporo, pasui, bintao, palasakali, balung batang, bunga-bunga, londrong, lacu-lacuna, paku (pterophyta), malik-malisi, kaendrang, rotan tambung, buerung/patat, mapala, pala, launtang tambang-tambang, kaleleng paci, kaleleng getah, kaleleng bunga dan keragaman flora di Pattunuang didominasi oleh jenis-jenis seperti eboni (Diospyros celebica) Biti (Vitex cofassus), Kemiri (Aleurites moluccana) dan Kasra (Eucalyptus sp).

Gambar VIII.6 Tarsius

Gambar VIII.7 Kuskus beruang

Kekayaan biologis ini menjadi suatu daya tarik yang sangat kuat untuk kegiatan wisata minat khusus seperti pengamatan satwa. Dapat dilihat bahwa jenis tertentu memiliki ukuran yang besar untuk diamati dengan jelas dan jenis lain memiliki bentuk yang unik dan mengundang kekaguman. Kondisi Pattunuang yang bentangnya masih alami juga menjadikannya potensial sebagai pusat pengamatan kehidupan alami, baik flora maupun fauna.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-21


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

5) Keadaan Penduduk Penduduk di kawasan Patunuang sebagian besar bermata pencaharian petani dan pedagang, warung di sekitar kawasan wisata Patunuang. Di daerah tersebut didominasi dengan penduduk asli 80% dan penduduk yang pendatang 20%. Tingkat pendidikan masyarakat Patunuang sebagian besar maksimal sampai di SMA. 6) Daerah Wisata •

Legenda Bislab Bislab (Biseang Labboro) adalah sebutan dari perahu batu, dimana cerita

bislab ini bermula dari datangnya Sargading seorang saudagar dari Cina yang tiba dengan menggunakan kapalnya di daerah Pattunuang. Anak Sargading menyukai gadis Pattunuang tetapi tidak diperbolehkan oleh Sargading dikarenakan alasanalasan tertentu, yaitu alasan pertama adalah anak Sargading dan gadis itu satu air susu ketika mereka masih bayi, alasan yang kedua Sargading melihat tempat menumbuk daun sirih berupa bambu yang hanyut di sungai, Sargading mengira bambu itu adalah sebagai alat yang digunakan untuk merawat mulut si gadis padahal si gadis menggunakan sirih yang telah ditumbuk untuk perawatan mulutnya. Sargading salah sangka dan mengira gadis tersebut bukan gadis baik-baik. Sarding mengutuk anaknya apabila dia tetap ingin menikahi gadis itu maka terkutuklah dia dan kapalnya menjadi batu. Dari cerita Biseang Labboro, tempat ini berpotensi sebagai objek wisata budaya dengan menjual cerita rakyat serta panorama keindahan sungai dan tebing. Pengunjung

Pattunuang

diantaranya

siswa,

mahasiswa,

masyarakat

lokal,

peneliti/pengamat, dan lain sebagainya. Motivasi untuk berkunjung ke Pattunuang yaitu untuk berekreasi ke Bislab, masuk Gua Pattunuang, dan pengamatan satwa. Pengunjung banyak berdatangan di Pattunuang pada waktu liburan sekolah ataupun liburan akhir pekan (sabtu-minggu). Pengunjung yang mendominasi adalah para pemuda yang berkemah di sekitar bislab serta pengamatan satwa dan berasal dari daerah sekitar Kabupaten Maros.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-22


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VIII.8 Bisseang Labboro (Bislab) •

Gua Pattunuang Gua Pattunuang ini memiliki potensi wisata yang cukup baik. Hal ini dapat

terlihat dari kondisi gua pattunuang sendiri yang memiliki batuan stalakmit, stalaktid serta bentuk gordam yang unik dan masih alami. Bentuk-bentuk dari batuan tersebut, antara lain: terdapat batuan seperti tiang yang menyerupai menara pisa, kumpulan stalakmit yang membentang dan membentuk kumpulan tanaman kaktus, dan batuan stalakmit yang menyerupai susu sapi.

Gambar VIII.9 Salah Satu Mulut Gua Pattunuang 7) Data Pengunjung Pengunjung Pattunuang diantaranya siswa, mahasiswa, masyarakat lokal, peneliti/pengamat, dsb. Motivasi mereka untuk berkunjung ke Pattunuang yaitu untuk berekreasi ke bisslab, masuk Goa Pattunuang, pengamatan satwa. Pengunjung banyak berdatangan di Pattunuang pada waktu liburan sekolah ataupun liburan sabtu minggu. Pengunjung yang mendominasi adalah para pemuda yang berkemah di sekitar Bislab serta pengamatan satwa

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-23


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VIII.10 Beberapa Sisi Pattunuang Panaikang 1) Letak dan Luas Panaikang terletak di kelurahan Leang-leang, memiliki kemiringan lahan sekitar 300. Kondisi jaln menuju Panaikanng sendiri belum terlalu bagus. Sarana yang dapat digunakan untuk menuju ke sana adalah pete-pete (angkot). Angkutan umum yang melewati daerah ini tidak secara pasti, hanya ada pada jam-jam tertentu. Kondisi jalan berupa tanah berbatu. Akses sekitarnya berupa semak dan sebagian berupa perkebunan milik penduduk, seperti tanaman pisang, kelapa, dan nangka. Lebih ke dalam lagi menuju Taman Nasional, aksesnya berupa cekungan-cekungan karst, yang merupakan sungai di musim penghujan. Leang-leang ditetapkan menjadi kelurahan sejak 11 September 1992 menggantikan Kalakbirang. Adapun batas wilayahnya adalah sebagai berikut: •

Utara

Selatan : Kelurahan Kalangbirang

Barat

: Desa Mangeloreng

Timur

: Desa Labuaja

: Kecamatan Balacci

Orbitasi letak Leang-leang 5 km dari ibukota kecamatan, 15 km dari ibukota kabupaten, dan 41 km dari ibukota propinsi. Kelurahan ini terdiri dari 2 dusun (lingkungan), yang dibagi lagi menjadi 10 rukun tetangga (RT). Jumlah penduduk saat ini adalah 1836 jiwa. Jumlah ini mengalami penurunan dari 2086 jiwa berdasarkan data pada tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penduduk desa yang merantau ke daerah lain, seperti Ambon dan Papua. Sebagian penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Berdasarkan penggunaan lahan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-24


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

di kelurahan Leang-leang 3, 13% untuk pemukiman dan bangunan; 31, 25% persawahan; 2, 18% perkebunan; dan 63, 44% merupakan hutan lindung. 2) Sejarah Kawasan Di kelurahan Leang-leang terdapat situs prasejarah yang berupa gua-gua kapur peninggalan nenek moyang. •

Gua Pettakere Akses gua ini dapat dicapai dengan tangga yang telah disediakan menuju mulut gua. Gua ini terdapat lukisan-lukisan yang berupa telapak tangan dan babi rusa. Diperkirakan gua ini digunakan oleh nenek moyang sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pemujaan.

Gambar VIII.11 Tangga Menuju Mulut Gua •

Pettakere Gua Pettae Gua ini bersebelahan dengan gua Pettakere. Dahulu ditemukan peninggalanpeninggalan nenek moyang yanng berupa peralatan meramu. Akan tetapi benda-benda tersebut kini dipindahkan dan diamankan oleh pengelola karena sering adanya pengunjung yang tidak bertanggung jawab.

3) Kondisi Fisik Panaikang memiliki potensi fisik & biologis yang cukup menarik. Berdasarkan pengamatan, ditemukan beberapa plot yang berpotensi untuk ekowisata. 1. Lembah lapang. Lembah ini dibatasi oleh tembok karst alami yang membentang luas dan berbagai vegetasi. Tumbuhan yang mendominasi di sekitar plot ini adalah tumbuhan bawah dan rerumputan. Tempat ini diduga merupakan suatu kebun karena terdapat pohon kelapa yang tertata cukup rapi di sekelilingnya dan terdapat sebuah gubug kecil di tengahnya. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-25


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

2. Bebatuan karst besar. Pada plot ini ditemukan bebatuan karst yang besar dan unik dengan ditumbuhi vegetasi endemik. Air menetes dari bebatuan tersebut. Sungai pada bagian atas mengering tetapi tidak sepenuhnya. Bisa juga pada musim kemarau, air meresap ke dalam tanah dan kembali muncul ke permukaan berupa tetes-tetesan air yang merembes dari bebatuan. Pada plot ini juga banyak ditemukan banyak spesies kupu-kupu dan burung. 3. Tebing Terdapat sebuah tebing terjal dengan ketingian kurang lebih 10 meter. Plot ini berpotensi dan cocok sekali untuk olahraga panjat tebing. 4. Sungai Debit air sungai di musim kemarau memang tidak besar. Arus sungai juga tidak besar dan tidak ditemukan satwa air selain udang dan kepiting kecil. Namun sunngai-sungai yang ada memiliki panorama yang indah karena kejernihannya. Selain itu di sepanjang sungai juga banyak dijumpai berbagai spesies kupu-kupu yang menarik. 5. Ladang wijen Ladang wijen diusahakan penduduk setempat selama 3 bulan dari bulan April. Ladang ini diusahakan secara tradisional, cocok untuk wisata pertanian. 4) Kondisi Biologi Terdapat

keanekaragaman hayati

yang tinggi

dapat

dilihat

dari

ditemukannya empat jenis kupu-kupu dari famili Papilonidae, sepuluh jenis dari famili Pieridae, 21 jenis dari famili Nymphalidae, dan satu jenis dari famili Lychaenidae. Keanekaragaman burungnya pun sangat tinggi. Sedangkan untuk jenis tumbuhan tidak ada yang endemik. 5) Keadaan Penduduk Kelurahan ini terdiri dari dua dusun yang dibagi menjadi sepuluh RT. Jumlah penduduk sampai saat ini 1836 jiwa. Jumlah ini mengalami penurunan dari 2086 jiwa berdasarkan data pada tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh banyak penduduk desa yang merantau ke daerah lain. Sebagian besar penduduk Leang-leang bermata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan penggunaannya lahannya 3,13% merupakan pemukiman dan bangunan, 31,25% persawahan, 2,8% perkebunan dan 63,44% merupakan hutan lindung. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-26


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

6) Daerah Wisata •

Gua Leang-leang yaitu gua Pattakere dan gua Pattae. Pada kedua gua tersebut terdapat

peninggalan pra sejarah berupa fosil-fosil manusia dan hewan buruan. Untuk fosil yang ditemukan telah dipindahkan ke benteng Makassar sedangkan yang masih tersisa di dalam gua hanya berupa jejak, bekas telapak tangan dan gambar binatang buruan.

Gambar VIII.12 Lukisan Prasejarah di Dinding Gua Pettakere 7) Data Pengunjung Menurut wawancara dengan Pengelola pengunjung banyak datang pada bulan Juli dan pada hari sabtu dan Minggu. Tompo Bulu 1) Letak dan Luas Desa Tompo Bulu terletak di Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas sebesar 5752 ha. 2) Sejarah Kawasan Sejarah tentang daerah Tompo Bulu awalnya ditulis di daun lontar, tetapi daun tersebut terbakar sewaktu ada pemberontakan DI/TII dimana semua daerah perkampungan ini dibakar oleh tentara dari Jawa yang bertujuan untuk mengusir Kahar Musakar yang merupakan pemimpin dari DI/TII tersebut yang berambisi menjadikan Indonesia Timur sebagai negara Islam. Daerah ini disebut Tompobulu karena merupakan daerah yang berada di atas gunung. 3) Kondisi Fisik Desa ini terletak pada ketinggian 700 meter diatas permukaan laut. Jumlah penduduk : 1791 orang (tahun 2006) dengan 440 Kepala Keluarga. Terdiri dari 2

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-27


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Dusun, 4 RK (Rukun Kampung), dan 12 RT (Rukun Tetangga). Keadaan rumah penduduk tertata dengan baik. Rumah mengikuti adat Bugis yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan tinggi dari tanah 9-15 m. Setiap rumah dipagar bambu dan dicat putih. Dan di masing-masing rumah ada taman dan perkebunan pribadi. Jalan desa ini ada yang sudah diaspal sepanjang 12,8 km, dan sisanya masih berupa jalan tanah sepanjang 3,7 km. Selain rumah penduduk, di desa ini juga terdapat beberapa bangunan seperti TK 1 unit, SD 4 unit, Koperasi 1 unit, Poskamling 7 unit, Puskesmas 1 unit, TPA 3 unit, Masjid 6 unit, 1 buah meja pingpong, lapangan sepakbola, dan lapangan voli. Desa ini dialiri 3 sungai yaitu Sungai Minggi, Sungai Parung, dan Sungai Paenre. Selain itu juga terdapat Gunung Bulusaraung. 4) Kondisi Biologi Di pekarangan rumah penduduk ada beberapa tanaman yang seringkali ditemukan yaitu pohon pisang, pepaya, ubi kayu, kelapa, sirih, nangka, nanas, salak, mangga, jambu air, cokelat, kopi, lada, kumis kucing, belimbing wuluh, katuk, bitotoeng, jeruk (lemo), cabe, kunyit, tebu, kapuk, rambutan, markisa, kemiri, bunga terompet, onau, sukela, dan rongembung. Sedangkan tanaman komoditas desa ini yaitu jagung, kacang tanah, padi ladang, ubi kayu, ubi jalur, bawang merah, tomat, sawi, mentimun, buncis, terong. Dan tanaman kehutanan/ hasil hutan yaitu madu lebah dan bambu. Satwa yang ditemukan di desa ini yaitu anjing, kucing, ayam, sapi, kuda, kerbau, bebek, dan kambing. 5) Keadaan Penduduk •

Struktur organisasi desa (Ditambahkan pembanding yang ada di Jawa misalnya) Kepala Desa->Kepala Urusan-->Kepala Dusun-->Rukun Kampung--> Rukun Tetangga

Mata pencaharian penduduk Petani, pegawai negeri, pengrajin, pedagang, montir, bidan desa, dan dukun terlatih. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua lembaga adat Desa Tompo Bulu,

Naga Daeng Intan yang berusia ± 80-an, masyarakat Tompo Bulu memiliki kearifan tradisional. Penduduk desa ini 100% Islam yang sudah turun temurun dan semua perempuan apabila keluar rumah wajib memakai jilbab. Rumah di Desa Tompobulu Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-28


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

mengikuti adat Bugis yaitu rumah panggung yang bertujuan untuk menghindari binatang buas. Desa ini memiliki makanan khas, yang hanya dibuat apabila ada upacara Mappalili (musyawarah menentukan waktu untuk turun ke sawah). Makanan ini dibungkus dengan daun letto. Daun letto merupakan tanaman yang hanya bisa hidup di dekat aliran air. Nama makanan ini yaitu kandrejawa (makanan jawa). Upacara ini biasanya dilakukan di mesjid dengan berdoa bersama untuk dapat menentukan tanggal yang baik untuk mulai mengolah sawah (turun sawah) supaya mendapatkan hasil sawah yang baik. Mappalili umunya sering diadakan pada bulan November. Selain upacara mappalili, juga terdapat upacara mappadendang, yaitu acara tumbuk padi muda. Sebelum panen, padi muda diambil kemudian digoreng yang seterusnya akan ditumbuk. Hasil dari tumbukan padi muda tersebut disebut Rambulung. Dulunya kegiatan ini sangat ramai dan dilakukan secara turun temurun tetapi sejak terjadi baku tikam di kegiatan tersebut maka kegiatan ini dihentikan. Baku tikam ini terjadi ketika seorang warga menemukan kecapinya yang hilang dimainkan oleh orang lain. Kejadian ini sudah terjadi lebih dari 40 tahun yang lalu. Mappadendang juga diadakan pada saat 17 Agustus tetapi padi yang ditumbuk merupakan padi yang sudah tua. Setiap warga desa Tompo Bulu dianjurkan untuk menanam pohon yang berguna di pekarangan rumah mereka oleh kepala desa. Selain itu, terdapat kebiasaan dimana kalau ada yang menikah dianjurkan untuk menanam pohon di pekarangan rumahnya untuk melestarikan alam. Bahasa yang dipakai sehari-hari oleh penduduk desa Tompo Bulu ialah bahasa dentong (bahasa Bugis-Makasar). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti beras dan sayuran diambil dari hasil kebun sendiri. Sedangkan kebutuhan ikan dan sejenisnya membelinya dari yang berkeliling menggunakan sepeda motor. 6) Daerah Wisata Daerah wisata yang berada di desa Tompo Bulu adalah pemandangan yang berdindingkan batuan karst yang terjal dan Gunung Bulusaraung. Gunung Bulusaraung merupakan salah satu gunung tertinggi di Sulawesi Selatan selain gunung Latimojang. Ketinggian gunung Bulusaraung sekitar 950 meter diatas permukaan laut. Tompo Bulu sendiri merupakan jalur pendakian menuju puncak Gunung Bulsaraung yang sering dilalui. Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-29


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

7) Data Pengunjung Dari data pengunjung yang hanya didapatkan sebanyak lima orang responden, data yang diperoleh yaitu frekuensi berkunjung mereka kebanyakan pada saat HUT RI. Mereka berkunjung untuk melakukan upacara bersama. Kunjungan di hari lainnya kebanyakan dilakukan untuk rekreasi biasa yang kebanyakan hanya untuk menghilangkan kejenuhannya, seperti melihat pemandangan dan makan-makan bersama keluarga. Desa Samaenre 1) Letak dan Luas Desa Samaenre terletak di Kecamatan Mallawa, kabupaten Maros 2) Sejarah Kawasan Sebelum pemerintahan resmi nagara masuk dan membentuk struktur organisasi yang umum terdapat di setiap tempat, desa ini telah memiliki pemerintaha sendiri yang dipimpin olah tokoh masyarakat dan kepala suku. Sekarang pengaruh dari orang-orang tersebut masih terlihat dan biasanya tokoh masyarakat ini tidak jarang diangkat menjadi perangkat desa. Hingga saat ini ada dua kepemimpinan yang berjalan berdampingan yaitu kepala desa dan kepala suku. 3) Kondisi Fisik Topografi beragam, khas daerah di kaki gunung. Batuan banyak yang cadas. Terdapat atr terjun, kolam pemandian air hangat, gunung, dan sungai. 4) Kondisi Biologi Banyak buah jeruk bali ditanam di pekarangan. Desa ini merupakan peghasil coklat disamping padi. 5) Keadaan Penduduk Penduduk Desa Samaenre, Kecamatan Mallawa ini hampir sama dengan penduduk Makassar lainya, yaitu masih menganut sistem kasta. Kasta-kasta ini masih berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kecamatan Mallawa. Dalam upacara pernikahan kasta yang tertinggi (puan) melakukan upacara pernikahan yang lebih lama, lebih meriah dan memerlukan biaya yang cukup mahal dan dilaksanakan selama ¹5 hari dibarengi alunan musik tradisional. Selain itu, disepanjang jalan yang dilewati oleh pengantin dialasi dengan kain putih. Hal ini dilakukan supaya pengantin tidak menginjak tanah, sedangkan pada kasta yang biasa upacara pernikahan hanya dilakukan selama satu hari dan tidak boleh Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-30


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

memakai alat musik tradisional serta tidak beralaskan kain putih. Adat istiadat ini tetap mereka pelihara dan mereka jaga sampai sekarang. Selain upacara pernikahan, juga terdapat upacara turun sawah, yang dilakukan untuk memperkirakan tanggal yang baik untuk menanam padi. Upacara ini dilakukan secara berurutan dari rumah ke rumah dan setiap tuan rumah melakukan syukuran yang dilaksanakan secara bergiliran. Setelah panen padi masyarakat Desa Samaenre,

pada

umumnya

melakukan

upacara

mapadendang.

Upacara

mapadendang ini memiliki keunikan dari upacara-upacara lainnya. Upacara mapadendang ini berupa kegiatan penumbukkan padi ketan putih/hitam tua (yang berasal dari panen sebelumnya) untuk dijadikan beras putih/hitam hitam. Upacara ini dilakukan oleh ibu-ibu berusia sekitar 40-50 tahun, karena biasanya ibu-ibu yang masih muda belum terampil untuk melakukan kegiatan tersebut. Sehingga suara penumbukkan padi pun enak untuk didengar, seperti alunan musik tradisional. Upacara ini biasanya dilakukan dari pagi hingga malam hari. Setelah acara penumbukkan selesai, padi yang telah menjadi beras tersebut digoreng dan biasanya dicampur dengan parutan kelapa atau dengan air santan. Setelah berasnya masak, lalu dimakan bersama-sama dengan warga lainnya. Di sebelah Desa Samaenre juga terdapat sebuah pertambangan batu bara yang dikelola oleh perusahaan swasta. Pertambangan batu bara ini berada di luar kawasan Taman Nasional. Masyarakat setempat tidak mempersalahkan keberadaan penambangan batu bara tersebut karena penambangan tersebut merupakan salah sumber pendapatan bagi Kecamatan Mallawa. 6) Daerah Wisata a. Desa Samaenre terletak di Kecamatan Mallawa, kabupaten Maros dengan memilki panorama alam sebagai berikut: b. Sebanyak 3 Air Terjun, salah satunya dikenal dengan nama Makka junenggeh. c. Pemandian air panas d. Budidaya anggrek hutan (20 jenis)

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-31


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VIII.13 Beberapa Variasi Jenis Anggrek Hutan Yang Dibudidayakan a. Potensi hasil buah-buahan b. Budaya masyarakat (upacara mappalili, padeko, dan pernikahan) •

Air terjun Makka Junenggeh Air terjun yang terdapat di Mallawa ini memiliki pemandangan yang sangat

indah dan menarik untuk dijadikan sebagai objek wisata. Air terjun yang terdapat di Kecamatan Mallawa ada 3, namun yang menjadi pusat pengamatan KPE yaitu air terjun terbesar diantara ketiga air terjun tersebut, yaitu air terjun Makka Junenggeh. Perjalanan menuju Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros dapat ditempuh dengan kendaraaan bermotor yaitu sekitar 3 jam dari bandara International Makasar. Di pinggir sepanjang perjalanan menuju kawasan, pengunjung juga dapat melihat panorama karst dan kawasan TN. BaBul yang indah. Perjalanan yang akan dilewati oleh pengunjung juga akan menimbulkan rasa kekaguman karena melewati pinggiran jalan yang terdapat batu-batuan karst dan pinggir jurang. Perjalanan menuju air terjun hanya bisa dilalui dengan jalan kaki dengan mengikuti arus air sungai. Perjalanan menuju air terjun dengan mengikuti arus air dari kantor Kepala Desa Samaenre, yaitu sekitar 4 jam jalan kaki (2,5 km/jam) dengan jarak sekitar 10 Km.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-32


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Gambar VIII.14 Panorama Air Terjun Makka Junenggeh •

Pemandian air panas Pemandian air panas ini memiliki akses yang sudah baik dan dapat ditempuh

dengan kendaraaan bermotor dari kantor Kepala Desa Samenre. Waktu yang diperlukan yaitu sekitar 15 menit dengan jalan kaki atau dengan dengan kendaraan sekitar 5 menit. Air panas ini dikelola oleh masyarakat setempat. Tetapi dalam pengelolaannya masih belum maksimal karena belum didukung oleh sarana dan prasana yang memadai untuk dijadikan sebagai objek wisata. Selain itu, promosi yang dilakukan masih bersifat dari mulut ke mulut. Pengunjung yang datang ke pemandian air panas ini pada umumnya berasal dari kawasan sekitar Kabupaten Maros dan Pangkep. Pengunjung juga berkunjung dalam bentuk rombongan keluarga/kerabat dan paling ramai dikunjungi pada hari libur. Biasanya pengunjung datang hanya menikmati air panas yang dihasilkan dari air terjun tempat objek wisata tersebut. 7) Data Pengunjung Pada saat melakukan surve tidak terdapat pengunjung, yang mengunjungi pemandian air panas. IV.2 REKOMENDASI Rekomendasi yang dapat kami ajukan untuk tiap-tiap lokasi pengamatan ini adalah: •

Rekomendasi di Pattunuang Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di TN BaBul, perencanaan interpretasi yang kami ajukan antara lain:

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-33


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

a) Perencanaan sehubungan pengelolaan kawasan. 1. Pusat pengunjung dan ticketing Pusat pengunjung telah ada dikawasan ini, letaknya sekitar 30 meter dari pintu gerbang dengan kondisi baik dan masih baru namun belum terawat sepenuhnya. Pusat pengunjung ini belum digunakan sesuai dengan fungsinya, sistem pelayanan terhadap pengunjung seperti ticketing belum berjalan. Pusat pengunjung merupakan suatu tempat yang seharusnya dapat digunakan untuk melayani pengunjung dalam pemberian informasi tentang kawasan tersebut. Pengaktifan pusat pengunjung dan ticketing di Pattunuang penting diadakan. Walaupun pusat pengunjung dan ticketing di Pattunuang sampai saat ini belum intensif namun pada hari-hari tertentu, terutama bila ada kunjungan dari luar, pihak pengelola terlihat melakukan patroli terhadap kawasan dan menggunakan ruangan pusat pengunjung ini. Untuk fasilitas didalam pusat pengunjung sendiri sebaiknya disediakan buku tamu, peta kawasan, booklet, famlet, dan media informasi kawasan lainnya. Informasi ini dapat berupa keunikan yang dapat ditemui di lokasi, tempat-tempat menarik, dan informasi penting lainnya. 2. Peta kawasan wisata di Pattunuang Peta kawasan penting dalam publikasi dan sebagai salah satu media penyampaian informasi yang penting diketahui pengunjung. Peta ini dapat memuat informasi mengenai objek wisata potensial, aksesibilitas, sarana prasarana dan lain sebagainya yang menunjang kegiatan wisata. 3. Jalur interpretasi Jalur interpretasi merupakan jalur yang khusus dibuat dengan melalui objekobjek yang menarik. Sepanjang jalur ini terdapat informasi-informasi yang penting dan menarik guna mendukung kegiatan wisata. 4. Sign dan label interpretasi Sign dan label ini baru beberapa yang terdapat di TWA Pattunuang seperti tanda yang menunjukkan lokasi dari titik tolak, beberapa papan larangan dan petunjuk tentang blok-blok di dalam kawasan. Rekomendasi : -

Tanda masuk dan gapura kawasan di pintu gerbang. Hal ini penting untuk memperjelas kawasan wisata dan sebagai perwujudan ucapan selamat datang kepada pengunjung.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-34


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

-

Papan yang berisi peta dan sketsa kawasan di depan pusat pengunjung

-

Tanda interpretasi tentang pengenalan jenis pohon yang ada

-

Tanda interpretasi tentang fauna yang ada di kawasan di sepanjang jalur

-

Papan interpretasi dan papan penunjuk arah tentang objek wisata kawasan seperti bislap, goa pattunuang. Tempat pengamatan tarsius terutama papan penunjuk arah di persimpangan ke goa pattunuang dan wilayah pendakian keatas bukit menuju ke wilayah perkampungan penduduk.

Untuk fasilitas di kawasan itu sendiri umumnya sudah ada dan masih baru seperti shelter dan toilet, hanya perlu peningkatan dalam perawatannya. 5. Publikasi Promosi tentang kawasan ke luar daerah

dan di dalam daerah sendiri.

Publikasi penting untuk mengundang pengunjung dan untuk memastikan bahwa masyarakat luas mengetahui keberadaan suatu tempat wisata. 6. Bentuk pelayanan Bentuk pelayanan dapat berupa penyediaan booklet, famlet, field guide satwa dan flora serta info kawasan lainnya. Metode interpretasi langsung dilaksanakan dengan penyediaan beberapa orang interpereter dalam pengenalan jenis flora dan fauna kawasan. b) Perencanaan Interpretasi fauna di Taman Wisata Alam Pattunuang. 1. Foto-foto fauna Foto-foto fauna yang menarik di kawasan dapat digunakan sebagai daya tarik tersendiri guna menarik pengunjung untuk masuk ke kawasan. Foto-foto ini dapat dipajang di pusat pengunjung untuk menambah informasi bagi pengunjung tentang Pattunuang. Foto yang dipajang dapat berupa foto Julang Sulawesi, Raja udang meninting, Gagak hitam, Tarsius (Tarsius spectrum), Kus-kus beruang (Ailurops ursinus) atau Sulawesi Bear cuscus, Monyet Hitam Dare (Macaca maura), Bajing (Callosciurus sp), Soa-soa, ular Python, dan Ular Welang. 2. Off set spesimen Off set spesimen diperbolehkan di kawasan hanya untuk tujuan penelitian tetapi tidak merusak kelestarian fauna di dalam kawasan. Off set spesimen ini dapat dipajang sebagai pengenalan satwa dan menambah pengetahuan pengunjung.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-35


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

3. Jalur pengamatan satwa Salah satu cara interpretasi fauna adalah dengan menerapkan jalur pengamatan satwa. Jalur ini tidak harus melewati semua habitat satwa, terutama satwa yang mudah terganggu. Cukup melalui salah satu habitat sehingga dengan demikian kelestarian habitat satwa terjamin. Jalur interpretasi satwa ini dapat dilengkapi dengan papan interpretasi guna menerangkan satwa tertentu sebab satwa bersangkutan tidak dapat selalu ditemui di tempat tersebut. Jalur ini diharpakan dapat menambah pengetahuan pengujung tentang satwa. Selain melalui jalur, pengamatan satwa juga dapat dilakukan dengan mendirikan menara pengamatan satwa. Perbaikan atau penambahan penangkaran juga memungkinkan untuk dilakukan. Perbaikan penting pada penangkaran kupu-kupu yang kondisi nya sudah memprihatinkan. c) Rekomendasi Budaya Pattunuang Secara umum budaya Pattunuang tidak berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini terlihat dari upacara pernikahan, mapadendang (upacara tumbuk padi), upacara turun sawah, peringatan Maulid Nabi dan Isra Mi’raj, arsitektur rumah menggunakan timpa’laja, bahasa Bugis dan Makassar, makanan dan minuman khas Makasar misalnya: coto makassar, sop konro, saraba, gogos, dan lain-lain. Berdasarkan potensi budaya ini dapat direkomedasikan pengembangan wisata budaya Pattunuang yang berbasis masyarakat. Pengunjung dapat menikmati sajian pertunjukan upacara adat disesuaikan dengan waktu pelaksanaan yang sebenarnya. Untuk pengunjung yang tidak dapat menyaksikan langsung jalannya upacara adat karena wakktu yang tidak tepat, dapat diputarkan filem terkait. Pengunjung dapat menikmati wisata budaya dan sajian makanan tradisional. Selain itu, dapat juga dibuat suatu persewaan baju adat dimana pengunjung dapat berfoto dengan baju adat di depan rumah adat. Paket wisata ini akan lebih menarik apabila dilaksanakan pada satu tempat yang telah ditentukan. d) Rekomendasi Interpretasi flora. Interpretasi flora dapat dilaksanakan seiring dengan interprtasi fauna. Interpretasi flora dapat dilaksanakan dengan pemasangan poster atau foto-foto pada pusat informasi, pemberian papan pengenal di sepanjang jalur interpretasi dan pemberian materi perkenalan.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-36


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

e) Rekomendasi fenomena alam 1. Perahu Batu “Biseang Labboro (Bislab)” Perahu batu ini merupakan objek yang memiliki sejarah tersendiri. Sebagai objek yang unik, Bislab menjadi daya tarik tersendiri untuk Pattunuang. Wisata yang dapat ditawarkan adalah mengunjungi perahu batu ini. Batu yang menyerupai perahu ini penuh ditumbuhi tumbuhan bawah tetapi malah menjadi penambah daya tarik terutama saat musim penghujan dimana tumbuhan itu subur dan berwarna hijau. 2. Gua Pattunuang Gua Pattunuang memiliki ornamen gua yang sangat fantastik. Wisata yang dapat dilaksanakan adalah wisata khusus jelajah gua. Interpretasi dapat diwujudkan melalui papan interpretasi yang diletakkan di dekat gua ataupun dengan peta gua yang disertakan pada leaflet. •

Rekomendasi Panaikang. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di TN BaBul, perencanaan interpretasi yang kami ajukan antara lain: a) Perencanaan seubungan dengan pengelolaan

1. Pusat pengunjung dan ticketing Panaikang belum memiliki pengelolaan wisata apapun kecuali di taman purbakala Leang-leang. Pada taman purbakala inipun pusat pengunjung dan ticketingnya belum berjalan dengan intensif. Untuk paket maupun program wisata yang terstruktur, sistem ticketing yang diterapkan tidak harus tiket masuk. Bisa saja sistem ticketingnya dikenakan pada orang atau kelompok orang yang akan mengikuti suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan tertentu. Terutama apabila program wisata yang ditawarkan adalah rangkaian kegiatan dengan pemandu. Walaupun begitu, keberadaan pusat pengunjung sebagai sarana pengunjung memperoroleh informasi tetap sangat penting. Di pusat pengunjung ini pengunjung dapat memperoleh informasi penting untuk wisata yang akan dilaksanakan. Di sini, pengunjung harus dipastikan memperoleh penjelasan dan pelayanan yang memuaskan. Tempat ini dapat juga digunakan merangkap sebagai tempat ticketing

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-37


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

2.

Peta kawasan, jalur interpretasi, sign dan label interpretasi, publikasi serta

bentuk pelayanan tidak berbeda dengan rekomendasi Pattunuang. b) Perencanaan Interpretasi flora-fauna Panaikang Interpretasi flora fauna di Panaikang dapat dilaksanakan seperti interpretasi flora fauna di Pattunuang. Untuk interpertasi fauna Panaikang intensitasnya tidak perlu sebanyak Pattunuang sebab kekayaan jenis faunanya jauh dibawah Pattunuang. Interpretasi ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan foto satwa, jalur pengamatan satwa dan off set spasimen. Foto satwa dan off set spesimen dapat diletakkan di pusat pengunjung. Sedangkan untuk interpretasi flora dapat dilaksanakan dengan papan pengenal. c) Rekomendasi Budaya Wisatawan dapat dipandu mengenal kehidupan sederhana masyarakat Panaikang yang sebagian besar bermata pencaharian di bidang agraris. Sangat menarik turut serta dalam kegiatan pertania, peternakan, menunggang kuda, upacara tertentu dan pesta setempat. Sebagai masyarakat suku Bugis-Makassar, budaya penduduk Panaikang tidak berbeda dengan daerah lain. d) Rekomendasi fenomena alam Fenomena alam Pattunuang yang tergolong menarik adalah Situs sejarah Leang-leang Leang-leang memiliki situs prasejarah yang berupa gua-gua kapur. Gua-gua yang ada diduga merupakan tempat tinggal atau tempat lindung nenek moyang pada zaman prasejarah. Di dalamnya ditemukan bukti-bukti fisik secara jelas. Bukti fisik tersebut berupa lukisan primitif dan peralatan meramu. 1. Gua Pettakere Gua ini terdapat pada ketinggian kurang lebih 10 meter dari permukaan tanah. Akses gua ini dapat dicapai denngan tangga yang telah disediakan menuju mulut gua. Gua ini terdapat lukisan-lukisan yang berupa telapak tangan dan babi rusa. Diperkirakan gua ini digunakan oleh nenek moyang sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pemujaan. Lukisan telapak tangan melambangkan kegiatan pemujaan, sedangkan babi rusa berwarna merah yang mungkin merupakan hewan yang dipuja. 2. Gua Pettae Gua ini bersebelahan dengan gua pettakere namun aksesnya tidak perlu naik tangga. Dahulu, di gua ini ditemukan peninggalan-peninggalan nenek moyangang Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-38


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

berupa peralatan meramu. Akan tetapi bebda-benda tersebut kini dipindahkan dan diamankan oleh pengelola karena sering adanya pengujung yang tidak bertanggungjawab. Beberapa kasus sebelumnya, pengunjung yang datang seringkali mengambil benda-benda peninggalan yang ada. •

Rekomendasi Bantimurung Bantimurung merupakan kawasan wisata yang sudah terkelola dengan baik,

walaupun arah kegiatannya lebih banyak ke arah wisata masal. Rekomendasi yang dapat kami berikan hanya berupa penambahan atau perbaikan kecil sebagai berikut: a) Rekomendasi sehubungan dengan pengelolaan kawasan •

Perbaikan penangkaran kupu-kupu Melihat kondisi penangkaran yang kurang terawat dan kurang menarik maka diperlukan beberapa perubahan baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam pengelolaannya.

Penurunan harga tiket masuk museum kupu-kupu Harga tiket masuk di TN BaBul yang diberlakukan bagi pengunjung tidak berlaku untuk keseluruhan objek wisata di dalam kawasan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ticketing yang juga diberlakukan di museum kupu-kupu. Pengunjung dikenakan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan tiket masuk kawasan taman nasional sendiri sehingga menimbulkan keraguan bagi pengunjung untuk mengunjungi objek tersebut.

Penambahan koleksi spesimen museum kupu-kupu Sebagai kingdom of butterfly di Indonesia, TN memilki banyak koleksi jenis kupu-kupu. Namun jika berkunjung ke museum keterwakilan jenis kupu-kupu ini belum terlihat. Jumlah spesimen yang ada termasuk kurang.

Pengembangan program di museum kupu-kupu : Desain bangunan dibuat lebih terkait dengan kupu-kupu Pemutaran film tentang daur hidup kupu-kupu yang dibuat seperti tampilan bioskop mini. Anak-anak menggunakan kacamata tiga dimensi.

Pengaktifan kembali kolam ikan geseng

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-39


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Berdasarkan pengamatan, kolam ikan geseng yang terdapat di TN BaBul tidak layak disebut kolam ikan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya air, ikan dan batas-batas yang jelas antara kolam dengan jalan setapak. Tetapi di sekitar kawasan ditemukan papan interpretasi tentang keberadaan kolam tersebut. Padahal kolam ikan ini juga dapat dijadikan penambah daya tarik wisata TN BaBul. b) Perencanaan Interpretasi fauna Interpretasi fauna di Bantimurung telah cukup banyak, hanya perlu penggiatan dan publikasi yang lebih menarik sehingga pengunjung mau mengetahuinya. Dapat juga dilaksanakan dengan lebih memusatkan pada pengamatan langsung satwa, bukan melalui media tak langsung c) Rekomendasi Budaya Tak ada penambahan. d) Rekomendasi Interpretasi flora. Bisa lebih ditekankan pada pengenalan secara langsung yang dapat digunakan pada self guide. Misalnya papan pengenal. Diusahakan papan pengenal ini berdiri sendiri, tidak dipakukan pada pohon. e) Rekomendasi fenomena alam Fenomena alam menarik di Bantimurung antara lain air terjun, kolam ikan gesseng, bukit terjal, gua mimpi dan gua batu. •

Rekomendasi Malawa Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di TN BaBul, perencanaan interpretasi yang kami ajukan antara lain: a) Perencanaan Interpretasi fauna

Tidak ada penambahan b) Rekomendasi Budaya Upacara Mapadendang, mapalili, dan upacara pernikahan. Jika kujungan tidak bertepatan dengan pelaksanaan upacara ini cukup dilakukan interpretasi dengan pemutaran film dan acara keliling desa. c) Rekomendasi Interpretasi flora. Malawa memiliki potensi anggek hutan yang dibudidayakan oleh penduduk asli. Potensi ini belum dikembangkan sama sekali, hanya sebatas masyarakat sekitar Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-40


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

saja. Anggrek hutan ini dapat dikembangkan sebagai wisata pendidikan dimana wisatawan belajar keindahan dan keunikan dari tidak kurang dari dua puluh jenis anggerek dan cara perawatannya. Jika dapat dikembangkan secara besarbesaran, anggerk hutan ini juga dapat dikemas dengan apik dan dijual sebagai oleh-oleh. d) Rekomendasi fenomena alam Fenomena alam menarik yang dapat direkomendasikan di malawa antara lain: 1. Air terjun Terdapat tiga air terjun yang sangat fantastik baik panorama nya, tinggi air terjunnya, debit airnya, maupun menantangnya medan menuju lokasi. Wisata yang dapat ditawarkan untuk potensi ini adalah wisata terbatas dan termasuk wisata minat khusus. Pemanfaatan harus sangat berhati-hati, jalan menuju lokasi yang sulit menjadikan sebaiknya wisatawan ditemani pemandu dari masyarakat lokal. 2. Pemandian air hangat Pemandian ini sudah dikelola namun pengunjungnya tidak banyak dikarenakan desa Samaenre relatif sulit dijangkau dari jalan besar. Pemandian ini merupakan kolam buatan dengan lantai keramik. Memang suhu air tidak cukup hangat tetapi berendam di pemandian terbuka menikmati pemandangan alam sangatlah mengasikkan. Akan lebih baik jika desain pemandian dibuat lebih terlihat alami. 3. Gunung Bulusaraung Gunung ini termasuk gunung tertinggi ketiga di sulawesi selatan. Kealamiannya dan medannya cocok digunakan untuk kegiatan pendakian. Gunung ini paling ramai saat tujuh belas agustus, sebab di atas gunung diadakan upacara peringatan hari kemerdekaan oleh pecinta alam, pramuka, dan lain-lain walau tidak ada partisipasi dari masyarakat setempat. •

Rekomendasi Tompobulu Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di TN BaBul, perencanaan interpretasi yang kami ajukan antara lain: a) Perencanaan Interpretasi fauna

Tidak ada penambahan Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-41


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

b) Rekomendasi Budaya Tompobulu merupakan desa terbersih kedua di Sulawesi Selatan dengan nuansa islami yang kuat. Desa ini tertata sangat rapi dan indah. Di setiap rumah terdapat taman buah, bunga dan tanaman obat yang didesain menarik. Untuk desa yang seperti ini kami rekomendasikan wisata keliling desa dengan santai dan dipandu penduduk lokal untuk menjelaskan hal-hal penting atau menarik yang ada di sekitar sambil menikmati pemandangan gunung Bulusaraung yang langsung terlihat. c) Rekomendasi Interpretasi flora. Dengan potensi tumbuhan buah, obat dan hias yang besar, sangat menarik jika dijadikan suatu wisata. Wisatawan dapat ikut menanam tumbuhan hias, memetik buah, dan meramu obat-obatan alami. Ini juga bisa dijadikan oleh-oleh. d) Rekomendasi fenomena alam Batu besar Batu terdapat di tepi jalan tepat di pinggir persimpangan jalan desa biasa. Batu ini dipercaya penduduk memiliki kekuatan misterius yang membuat kuda tidak mau melewati batu itu. Dahulu pernah ada acara untuk menyambut pejabat yang datang dengan menggunakan kuda namun ketika harus melewati batu tersebut kuda-kuda itu berhenti. IV.3 Program Wisata Program wisata yang dapat dijadikan alternatif pengembangan wisata di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung ini antara lain:

Bantimurung Wisata di Bantimurung telah terprogram dengan baik. Untuk sementara tidak diperlukan adanya penambahan paket/program wisata.

Pattunuang Jelajah Gua Judul program

: “Mengenal Gua�

Deskripsi

: Wisatawan dipandu menjelajahi gua pattunuang, mengamati setiap ornamen gua dan mempraktekkan langsung kegiatan seorang penjelajah gua dengan peralatan lengkap.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-42


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sasaran

: Pecinta alam, orang- orang dengan minat khusus terhadap gua, pelajar SMU keatas

Waktu

: Jelajah gua dilakukan pada pagi-siang hari dengan mematuhi tanda-tanda keamanan yang berlaku. Jelajah gua saat musim hujan harus dipastikan aman dan dengan pengawasan ketat.

Animal Watching - Judul program Deskripsi

: “Animals Kingdom In Pattunuang” :Pengamatan Potensi satwaliar Pattunuang yaitu mamalia, burung, kupu-kupu, dan herpetofauna. Pengamatan dilakukan berkelompok dengan pemandu. Pengamatan dilakukan bersamaan dengan kegiatan camping dengan api unggun di malam hari.

Sasaran

: Pecinta alam, Dewasa dan remaja.

Waktu

: Wisata dilakukan selama dua hari satu malam

- Judul program Deskripsi

: “Animals Watching” : Pengamatan salah satu Kelas satwaliar. Pengamatan dilakukan berkelompok dengan pemandu.

Sasaran

: semua umur

Waktu

: Pengamatan mamamlia dan burung di pagi/sore hari (05.3008.00/ 16.00-18.00), pengamatan kupu-kupu pagi/sore hari (08.00-10.00/ 15.00-17.00)

pengamatan herpetofauna di

malam hari Wisata budaya -Judul program

: Budaya Masyarakat Pattunuang

Deskripsi

: Melihat berbagai wujud budaya masyarakat Pattunuang dalam pertujukan mapadendang, mapalili, maupun upacara perkawinan atau bahkan terlibat langsung jika waktu pelaksanaan bertepatan dengan kedatangan wisatawan. Jika tidak

dapat

diusahakan

pertunjukan

sederhana

atau

pemutaran film terkait. Menikmati makanan dan jajanan khas setempat. Sasaran

: Semua umur, wisatawan domestik dan manca negara.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-43


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Waktu

: fleksibel

-Judul program

: Biseang Labboro (Bislab)-Perahu batu

Deskripsi

: wisatawan mengunjungi Perahu batu dan diceritakan legenda Bislab. Bislab ini berwujud batu yang benar-benar menyerupai perahu. Jika musim penghujan, tumbuhan yang memenuhi bislab berwarna hijau subur dan terlihat indah walaupun di musim kemarau warnanya menjadi coklat.

Sasaran

: Semua umur, wisatawan domestik dan manca negara

Waktu

: Fleksibel

Panaikang Camping Ground -Judul program

: Semalam di Panaikang

Deskripsi

: Peserta berkemah dan menikmati keindahan alam serta keanekaragaman hayati sekitar. Malam hari ada pesta api unggun. Dapat pula digbung dengan outbond.

Sasaran

: Pecinta alam

Waktu

: Fleksibel

Wisata budaya / wisata Pertanian -Judul program

: Wisata Agraris di Panaikang

Deskripsi

: Wisatawan dapat mencoba secara langsung kegiatan kegiatan pertanian seperti mambajak, menanam, memanen dan sebagainya disesuaikan dengan jadwal pengerjaan lahan pertanian di Pannaokang. Selain itu, wisatawan dapat mencoba kegiatan beternak dan menunggang kuda.

Sasaran

:Semua umur, wisatawan domestik dan mancanegara

Waktu

: Fleksibel

Fotografi -Judul program

: Fotografi Panaikang

Deskripsi

:

Kegiatan

bagi

pecinta

fotografi

untuk

berlomba

menghasilkan hasil foto yang bagus dari Panaikang. Dapat pula diadakan jasa pemotretan wisatawan menggunakan baju adat (baju bodo) di depan rumah adat Sasaran

: Semua umur, wisatawan domestik dan mancanegara.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-44


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Waktu

: Fleksibel, bisa juga dengan peringatan suatu hari khusus

Wisata Sejarah -Judul program

: Jelajah kehidupan purba

Deskripsi

: Wisatawan menjelajahi gua leang leang dan mengamati ornamen-ornamen gua serta peninggalan prasejarah.

Sasaran

: Semua umur

Waktu

: Fleksibel.

Tompobulu Wisata Religi -Judul program

: Wisata Desa Tompobulu

Deskripsi

: Menikmati kehidupan di sebuah desa yang kental nuansa keislamannya. Sosial budaya masyarakat Tompobulu yang penuh rasa kekeluargaan dan panorama alam yang indah. Menikmati hidangan tradisional masyarakat dan mencoba membuatnya.

Sasaran

: Semua umur

Waktu

: Fleksibel

Hiking -Judul program

: Mendaki Gunung Bulusaraung

Deskripsi

: Kegiatan pendakian Gunung Bulusaraung. Dilaksanakan secara berkelompok dengan atau tanpa pemandu. Menikmati suasana alami pegungungan.

Sasaran

: Pecinta alam

Waktu

: Fleksibel

Mallawa Hiking -Judul program

: Wisata minat khusus mendaki Gunung Bulusaraung

Deskripsi

: Wisatawan dipandu penduduk lokal melalui medan yang terjal dan menantang dari pegunungan di Malawa dengan tujuan air terjun. Tujuan paket dapat disesuaikan air terjun yang menjadi tujuan dari tiga air terjun yang ada atau menuju ketiganya. Jumlah wisatawan dibatasi sebab sumber air ini merupakan pemenuh kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-45


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

Sasaran

: Pecinta alam, peneliti.

Waktu

: Fleksibel

Wisata Sosial Budaya -Judul program

: Kehidupan Malawa

Deskripsi

: Wisatawan selama sehari semalam tinggal di desa Malawa, menikmati keindahan alam yang belum tercemar, mandi di pemandian air hangat, mencoba membuat dan menikmati masakan tradisional bersama masyarakat lokal, turut serta dalam upacara atau pesta yang sedang berlangsung.

Sasaran

: Semua umur, wisatawan domestik dan manca negara.

Waktu

: Disesuaikan dengan waktu pelaksanaan mapadendang dan mapalili (masa awal tanam dan masa panen)

Wisata Pendidikan -Judul program

: Air dan Anggrek Hutan Mallawa

Deskripsi

: Wisatawan melihat langsung pentingnya sumber air bagi masyarakat kaki gunung, pengenalan satwa dan tumbuhan terutama yang dimanfaatkan oleh masyarakat, mengunjungi kebun anggerek dan belajar cara memelihara anggek.

Sasaran

: Semua umur.

Waktu

: Fleksibel

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-46


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan salah satu Taman Nasional kars terbesar yang terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan ini memiliki kondisi fisik dan biologi yang berpotensi untuk pengembangan wisata alam. Kondisi masyarakat yang beberapa diantaranya masih lekat dengan kehidupan tradisional dan budayanya turut menjadikan kawasan tersebut berpotensi pula untuk pengembangan wisata budaya. Beberapa tempat yang menjadi objek eksplorasi yaitu Bantimurung, Pattunuang, Panaikang, Topobulu dan Malawa memiliki daya tarik tersendiri yang berbeda. Ada kawasan yang objeknya lebih mengedepankan ojek fisik dan biologi ada pula juga yang lebih mengedepankan objek budaya masyarakan setempat. Meskipun beberapa diantantaranya telah dikembangkan sebagai objek wisata di sekitar Taman Nasional, namun masih diperlukan beberapa rekomendasi dan penambahan beberapa paket wisata untuk pengembangan di masing-masing daerah baik di dalam Taman Nasional itu sendiri ataupun di daerah sekitarnya. V.2 Saran Karakteristik yang unik dan berbeda dari tiap lokasi di TN. BaBul baik untuk dikembangkan. Pengembangan wisata dipusatkan pada Pattunuang sebagai sentra kehidupan alami dan budaya. Pengembangan wisata harus direncanakan secara matang dan pelaksanaanya pun memerlukan pengawasan ketat agar tidak mengalami kerusakan atau degradasi lingkungan. Penambahan papan interpretasi penting sebagai salah satu cara menyampaikan informasi kepada pengunjung.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-47


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Agustus 2007

DAFTAR PUSTAKA Damanik, J dan H. F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata. Pusat Studi Pariwisata UGM dan Penerbit ANDI: Yogyakarta. Departemen Kehutanan. 1998. Usulan kegiatan penangkaran dan pengembangan taman kupu-kupu di Bantimurung, Kabupaten Maros, serta pengembangan wisata bahari di Taman Nasional Taka Bonerate. Kerjasama BIMP-EAGA di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. Fandeli, C dan M Nurdin. 2005. Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Oktadiyani, Poppy. 2006. Skripsi. Alternatif Strategi Pengelolaan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institit Pertanian Bogor. Istanto dan Ae Priatna. 2001. Pedoman Pengembangan Pariwisata alam di Taman Nasional. Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan: Bogor. Resti Meilani. 2007. Makalah. Unsur Kebudayaan dan Wujudnya Sebagai Potensi Pengembangan Wisata. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Santoso, Budi dan Hessel N. S. Tangkilisan. Strategi Pengembangan Sektor Pariwisata. YPAPI: Yogyakarta.

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-48


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

Lampiran Tabel VIII.3 Rekapitulasi Wawancara Penduduk Patunuang No

Nama

Usia

Pekerjaan

Asal

Harapan

Persepsi

Setuju/tidak

Pendidikan

dikembangkan kawasan wisata 1.

Ginitung

Petani

Bugis

Ekosistem

diperbaiki Baik, ikut memiliki Setuju

dan

dapat dan bertanggung

mensejahterakan

jawab

masyarakat sekitar 2.

Aso

40

Petani

Asli

Aman dan sejahtera

Memperbaiki kondisi

Setuju

kawasan

serta

bisa

melindungi ekosistem 3.

Asnah

45

Pedagang

Asli

Akses

ke

diperbaiki

dalam Kondisi

membaik setuju

karena jalan raya membaik

4.

Tamrin

23

pedagang

asli

Akses

ke

dalam Semakin baik

Setuju

diperbaiki 5.

Sangkala

53

Buruh padi)

(pemotong Sinjai

Ada perubahan yang Sama saja tidak Setuju

Tidak

lebih baik

sekolah

ada perubahan

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-49


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Eksplorasi Budaya, Flora, dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurng-Bulusaraung, Sulawesi Selatan

6.

Sainah

55

Pedagang

Lebih

berkembang Sama saja tidak

tempat wisata 7.

Darra

53

Buruh

Lebih

ada perubahan

berkembang Sama saja tidak

tempat wisata 8.

Rari

25

Pedagang

asli

Lebih

baik

supaya

Setuju

sekolah Setuju

ada perubahan wisata Sama saja tidak

Tidak Tidak sekolah

Setuju

SMP

Setuju

Tidak

banyak ada perubahan

pengunjung 9.

Ane

55

pedangang

asli

Lebih baik wisata

Sama saja tidak

supaya banyak

ada perubahan

sekolah

pengunjung 10.

Rohani

23

pedangang

asli

Lebih baik wisata

Sama saja tidak

supaya banyak

ada perubahan

Setuju

SD

Setuju

Tidak

pengunjung 11

Sarmiah

25

pedangang

asli

Lebih baik wisata

Sama saja tidak

supaya banyak

ada perubahan

sekolah

pengunjung

Kerjasama antara Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Departemen Kehutanan dan World Wildlife Fund for Nature – USA (WWF - USA)

VIII-50


Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2007 Kerjasama antara Himpunan konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia Dan World Wildlife Fund for Nature - USA (WWF – USA)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.