RP TN BABUL 2008-2027

Page 1

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

BALAI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Jl. Poros Maros – Bone Km. 12 Bantimurung Telp. : (0411) 3880252, 3881699 Fax : (0411) 3880139 Email : tnbabul@tnbabul.org Website : www.tnbabul.org

M A R O S

RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG PERIODE 2008 – 2027 KABUPATEN MAROS DAN PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

Maros, Juni 2008


RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG PERIODE 2008 – 2027 KABUPATEN MAROS DAN PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

Dinilai di Pada Tanggal

: :

Jakarta

Disusun di Pada Tanggal

: Maros : 27 Juni 2008

Oleh :

Oleh :

Direktur Konservasi Kawasan

Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Ir. Noor Hidayat, M.Sc NIP. 080044011

Ir. D a r s o n o NIP. 710007319

Disahkan di : Jakarta Pada Tanggal : Oleh : Direktur Jenderal PHKA Departemen Kehutanan

Ir. Darori, MM NIP. 080049355



Rencana Pengelolaan

Ringkasan Eksekutif Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah menetapkan beberapa bagian dari kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Kawasan konservasi sendiri, berdasarkan fungsi pokoknya dibagi menjadi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya) serta taman buru. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Sebelum berubah fungsi menjadi taman nasional, kawasan ini berfungsi sebagai cagar alam seluas ± 10.282,65 Ha, taman wisata alam seluas ± 1.624,25 Ha, hutan lindung seluas ± 21.343,10 Ha, hutan produksi tetap seluas ± 10.355 Ha serta hutan produksi terbatas seluas ± 145 Ha. Alih fungsi kawasan-kawasan tersebut menjadi taman nasional didasarkan atas pertimbangan bahwa : kawasan tersebut merupakan ekosistem karst yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan jenisjenis flora dan fauna endemik, unik dan langka; keunikan fenomena alam yang khas dan indah; serta ditujukan untuk perlindungan sistem tata air. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan segala potensi, keunikan dan permasalahannya perlu dikelola sesuai kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Agar pengelolaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka tujuan, sasaran dan langkah-langkah implementasi pencapaiannya harus dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi pedoman dan arahan dalam pengelolaan jangka panjang. Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan pedoman dan arahan pengelolaan dalam kurun waktu 20 tahun terhitung sejak tahun 2008 sampai dengan 2027. Rencana pengelolaan ini bersifat komprehensif dan indikatif dengan tahapan pelaksanaannya yang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

i


Rencana Pengelolaan

dikelompokkan kedalam rencana karya lima tahunan (RKL) I, II, III dan IV, berdasarkan skala prioritas dan urutan kegiatan. Tahapan pelaksanaan kegiatan untuk pencapaian tujuan dan sasaran pengelolaan juga dirumuskan dengan mempertimbangkan potensi kawasan, kondisi ekosistem, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan beserta permasalahannya, serta prediksi kondisi di masa yang akan datang. Rencana pengelolaan ini menguraikan kondisi biofisik kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, kondisi pengelolaan saat ini, permasalahan-permasalahan yang dihadapi, kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan taman nasional (baik di tingkat regional maupun nasional), visi dan misi pengelolaan, hasil-hasil analisa dan proyeksi, serta rencana kegiatan pengelolaan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Berdasarkan hasil-hasil evaluasi dan analisa lebih lanjut atas data dan informasi serta kondisi faktual dan permasalahan pengelolaan kawasan secara menyeluruh, maka disusunlah rancangan kegiatan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara makro dan indikatif yang memuat seluruh aspek pengelolaan menuju taman nasional yang mandiri, mantap, lestari, serasi dan harmonis bersama para stakeholder terkait. Aspek-aspek pengelolaan yang termuat di dalam rencana pengelolaan jangka panjang ini terdiri dari upaya pemantapan kawasan, pemantapan perencanaan pengelolaan, pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan, pengembangan pengelolaan data dan informasi, pengelolaan potensi kawasan, upaya perlindungan dan pengamanan kawasan, pengembangan pengelolaan kegiatan penelitian dan pendidikan, pengelolaan wisata alam dan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan, upaya pengembangan dan pemantapan koordinasi, integrasi dan kolaborasi, upaya pengembangan dan pembinaan daerah penyangga kawasan, upaya restorasi, rehabilitasi dan reklamasi ekosistem, serta upaya-upaya monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

ii


Rencana Pengelolaan

Tim Penyusun Penanggung Jawab : Ir. Darsono (Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung) Tim Pengarah

: 1. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc (Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin) 2. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Sc (Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin) 3. Ir. Sri Winenang, MM 4. Ir. Suminarto (Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung) 5. Abdul Rajab, S.TP (Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung) 6. Dedy Asriady, S.Si (Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung)

Tim Pelaksana

:

Iskandar, S.Hut

Hariady Siswantoro, S.Si

Siti Maryam, S.Pi

Erna Ristyanti, SP

Suci A. Handayani, S.Hut

Ida Parida, S.Hut

Yopi Bali, S.TP

Mahdi, S.Hut

Iqbal A. Rasjid, S.Pt

Nur Buana, S.Hut

Chaeril, S.Hut

Sahruddin, S.Hut

Tahari, S.Hut

Rusman Mulyadi

Usman, S.Hut

Saiful Bachri

Safiuddin, S.Hut

Samsuriati Ahmad

Muh. Nur Hidayat

Alamsyah

Muh. Yunus

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

iii


Rencana Pengelolaan

Kata Pengantar Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karuniaNya yang telah diberikan kepada kami semua sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Periode 2008 – 2027. Penyusunan rencana pengelolaan ini memerlukan proses yang cukup panjang dengan tidak sedikit sumber daya yang dicurahkan dalam pelaksanaannya. Sejak pertengahan tahun 2006 telah dilakukan pengumpulan data dan informasi primer dan sekunder serta penyusunan draft rencana pengelolaan ini. Pada tahun 2007, dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dengan memanfaatkan data dan informasi terbaru, hasil-hasil kajian di lingkup internal dan eksternal Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, serta hasil-hasil konsultasi publik yang diadakan pada berbagai tingkatan (kalangan masyarakat dan birokrasi di tingkat kabupaten dan provinsi). Pada tahun 2008, draft rencana pengelolaan jangka panjang ini kemudian kembali dicermati dan disempurnakan karena banyaknya data dan informasi yang perlu diperbaharui serta dengan memperhatikan perubahan kebijakan-kebijakan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Periode 2008 – 2027 disusun berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor : 59/Kpts/DJ-VI/1993 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional dan Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor : 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung. Dalam perjalanannya, muatan dari rencana pengelolaan ini kemudian disempurnakan dengan berpedoman pada draft Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kami sangat mengharapkan rencana pengelolaan ini dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta diperoleh hasil dan manfaat yang optimal. Kepada seluruh pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas kerja kerasnya selama ini. Akhir kata, semoga rencana pengelolaan ini dapat bermanfaat.

Maros, 27 Juni 2008 Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Darsono NIP. 710007319

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

iv


Rencana Pengelolaan

Daftar Isi Ringkasan Eksekutif........................................................................................................ Tim Penyusun ................................................................................................................. Kata Pengantar ............................................................................................................... Daftar Isi .......................................................................................................................... Daftar Tabel ....................................................................................................................

i iii iv v vi

I.

PENDAHULUAN....................................................................................................... A. Latar Belakang ................................................................................................... B. Maksud dan Tujuan............................................................................................ C. Ruang Lingkup ................................................................................................... D. Batasan Pengertian............................................................................................

1 1 3 4 5

II. DESKRIPSI KAWASAN ........................................................................................... A. Risalah Kawasan ............................................................................................... B. Kondisi Umum Kawasan .................................................................................... C. Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat ......................................................... D. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Telah Berkembang ............................. E. Kelembagaan Masyarakat ................................................................................. F. Permasalahan Kawasan ....................................................................................

8 8 27 43 47 49 49

III. KEBIJAKAN .............................................................................................................. 53 A. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional ........................................................... 53 B. Kebijakan Pembangunan Daerah ...................................................................... 86 IV. VISI DAN MISI PENGELOLAAN .............................................................................. 93 A. Visi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung .......................... 93 B. Misi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.......................... 94 V. ANALISA DAN PROYEKSI ...................................................................................... 98 A. Faktor Kekuatan, Kendala, Peluang dan Tantangan......................................... 98 B. Analisa ............................................................................................................... 99 VI. RENCANA KEGIATAN............................................................................................. 102 A. Pemantapan Kawasan ....................................................................................... 102 B. Perencanaan...................................................................................................... 105 C. Pengembangan Sarana dan Prasarana ............................................................ 106 D. Pengelolaan Data dan Informasi........................................................................ 106 E. Pengelolaan Potensi Kawasan .......................................................................... 107 F. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan......................................................... 110 G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan ............................................. 113 H. Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan ........................ 114 I. Pengembangan Integrasi, Koordinasi, dan Kolaborasi...................................... 118 J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga ....................................... 118 K. Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi Ekosistem............................................ 121 L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan .................................................................. 121 VII. PENUTUP................................................................................................................. 133 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 134 LAMPIRAN

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

v


Rencana Pengelolaan

Daftar Tabel Tabel 1

: Kondisi Kependudukan pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006....................................................... 44

Tabel 2

: Kondisi Pendidikan Masyarakat pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006........................................ 45

Tabel 3

: Rencana

Kegiatan

Pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung................................................................................................. 122

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

vi


I Pendahuluan A. Latar Belakang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Upaya yang dilakukan secara sistematis ini bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui: perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karenanya, berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu : (1) menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraannya; dan (3) mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan lahan serta belum berhasilnya


Rencana Pengelolaan

sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, serta degradasi potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan menetapkan beberapa bagian dari kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Kawasan konservasi sendiri, berdasarkan fungsi pokoknya dibagi menjadi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), serta taman buru. Salah satu di antara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah Republik Indonesia adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman nasional ini ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung - Bulusaraung Seluas ± 43.750 (empat puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh) Hektar terdiri dari Cagar Alam Seluas ± 10.282,65 (sepuluh ribu dua ratus delapan puluh dua enam puluh lima perseratus) Hektar, Taman Wisata Alam Seluas ± 1.624,25 (seribu enam ratus dua puluh empat dua puluh lima perseratus) Hektar, Hutan Lindung Seluas ± 21.343,10 (dua puluh satu ribu tiga ratus empat puluh tiga sepuluh perseratus) Hektar, Hutan Produksi Terbatas Seluas ± 145 (seratus empat puluh lima) Hektar, dan Hutan Produksi Tetap Seluas ± 10.355 (sepuluh ribu tiga ratus lima puluh lima) Hektar terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Penunjukan kawasan ini sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati dan DPRD Kabupaten Maros, Bupati dan DPRD Kabupaten Pangkep, serta Gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan Hutan Bantimurung Bulusaraung di Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk menjadi taman nasional antara lain dengan pertimbangan: keunikan ekosistemnya yang sebagian besar berupa ekosistem karst yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati dengan keanekaragaman yang tinggi serta keunikan dan kekhasan gejala alam dengan fenomena alam yang indah; berbagai jenis flora dan fauna endemik, langka dan unik; serta untuk keperluan perlindungan sistem tata air beberapa sungai besar dan kecil di Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan bentang alam karst terluas kedua di dunia setelah bentang alam karst yang ada di China bagian Selatan. Atas dasar potensi dan keunikan itu pula maka kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung perlu dikelola dengan baik sesuai kaidah-kaidah atau

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

2


Rencana Pengelolaan

norma-norma yang berlaku, dengan arah, tujuan dan sasaran yang jelas, serta sedapat mungkin mampu mengakomodir berbagai kepentingan berdasarkan fungsi pokoknya secara lestari, seimbang dan berkesinambungan. Pengelolaan kawasan taman nasional diarahkan pada pencapaian multi manfaat kawasan dengan tetap mengacu para prinsip-prinsip kelestarian. Pada awal pelaksanaan pengelolaan, telah dilaksanakan evaluasi dan analisa terhadap kondisi pengelolaan kawasan dengan memanfaatkan data dan informasi yang semakin faktual. Berdasarkan hasil evaluasi dan analisa tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kondisi pengelolaan kawasan masih jauh dari kondisi optimal, bahkan dapat dikategorikan sebagai kawasan yang masih dalam tahap pemantapan prakondisi. Kondisi kelembagaan pengelola kawasan juga demikian adanya dengan sekian banyak kelemahan dari segala aspek. Agar pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat berjalan pada arah yang benar, mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan secara efektif dan efisien, serta pencapaian multi manfaat kawasan berdasarkan fungsi pokoknya, maka diperlukan suatu dokumen perencanaan pengelolaan untuk keperluan jangka panjang (dalam hal ini untuk keperluan 20 tahun) yang bersifat komprehensif dan indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka menengah, rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung disusun sebagai perangkat lunak pengelolaan kawasan yang menyeluruh serta memperhatikan skala prioritas dan kebutuhan pengelolaan di masa yang akan datang. Dokumen perencanaan pengelolaan ini merupakan pedoman dan arahan pengelolaan kawasan taman nasional dengan berbagai macam potensi di dalamnya serta potensi sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya, yang sekiranya berpengaruh terhadap kelestarian kawasan dan sebaliknya. Rencana pengelolaan taman nasional ini diharapkan dapat mengakomodir dengan baik prinsip-prinsip keilmuan (baik secara ilmiah maupun teknis) serta nilai-nilai estetika menuju kepada kemandirian

pengelolaan

taman

nasional,

keseimbangan berbagai komponen di dalamnya, juga

Pintu Gerbang Bantimurung

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

B. Maksud dan Tujuan Penyusunan Nasional

Rencana

Bantimurung

Pengelolaan

Bulusaraung

Taman

dimaksudkan

untuk menyediakan perangkat lunak pengelolaan taman nasional sebagai landasan untuk melaksanakan upaya-upaya pengelolaan menuju kemantapan fungsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

3


Rencana Pengelolaan

dan manfaat kawasan, baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial dan budaya secara serasi dan seimbang. Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bertujuan untuk memberikan pedoman dan arahan bagi pengelolaan kawasan dan seluruh potensinya secara komprehensif dan indikatif untuk keperluan jangka panjang (20 tahun), yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka menengah, rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis.

C. Ruang Lingkup Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 20082027 memuat : 1. Deskripsi kawasan, yang memuat informasi mengenai : a. Risalah kawasan, meliputi sejarah kawasan, progres pengukuhan, dan karakteristik penunjukan kawasan (flag species atau ekosistem); b. Kondisi umum, meliputi kondisi fisik, dan bioekologi : - Kondisi fisik kawasan, meliputi

letak dan luas kawasan, letak

astronomis/geografis, administratif, uraian batas kawasan, iklim, geologi dan tanah, topografi dan kelerengan, hidrologi, potensi wisata, sarana prasarana, dan aksesibilitas; - Kondisi bioekologi meliputi tipe ekosistem, flora dan fauna; c.

Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di dalam/ sekitar kawasan;

d. Praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam yang telah berkembang; e. Kelembagaan masyarakat yang ada; f.

Permasalahan kawasan.

2. Kebijakan, yang memuat informasi mengenai : a. Kebijakan pengelolaan kawasan; b. Kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten. 3. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan 4. Analisa dan proyeksi, yang berisi data dan informasi yang diolah dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait secara komprehensif melalui analisa SWOT, untuk mendapatkan alternatif kegiatan dalam perencanaan yang dapat dituangkan berdasarkan prioritas. 5. Rencana kegiatan, yang menguraikan rencana kegiatan jangka panjang yang dapat dijabarkan dalam rencana pengelolaan jangka menengah dan jangka pendek, meliputi kegiatan-kegiatan antara lain: a. Pemantapan kawasan (pengukuhan, pemeliharaan batas, penataan zona/ blok); b. Penyusunan rencana;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

4


Rencana Pengelolaan

c.

Pembangunan sarana dan prasarana;

d. Pengelolaan data dan informasi; e. Pengelolaan potensi kawasan (pengelolaan, pembinaan, dan konservasi genetik, spesies, komunitas, dan habitat/ ekosistem); f.

Perlindungan dan pengamanan;

g. Pengelolaan kegiatan penelitian dan pendidikan; h. Pengelolaan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan; i.

Pengembangan integrasi, koordinasi, dan kolaborasi;

j.

Pengembangan dan pembinaan daerah penyangga;

k.

Restorasi, rehabilitasi, dan reklamasi ekosistem; serta

l.

Monitoring, evaluasi, dan pelaporan.

6. Peta-peta kawasan yang terdiri dari : peta situasi; peta topografi; peta geologi; peta tanah; peta curah hujan; peta penutupan vegetasi; peta sebaran flora dan fauna penting; peta sarana dan prasarana yang sudah ada serta peta rencana pengembangan sarana dan prasarana (site-plan); dan peta sebaran obyek wisata.

D. Batasan Pengertian 1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. 2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 5. Hutan/ kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 6. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. 7. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

5


Rencana Pengelolaan

8. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. 9. Tumbuhan alam adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya. 10. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifatsifat liar baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. 11. Habitat

adalah

lingkungan

tempat

tumbuhan atau satwa dapat hidup dan

Air Terjun Bantimurung

berkembang secara alami. 12. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. 14. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. 15. Perencanaan

kehutanan

adalah

proses

penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan

Giant Label

perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan

secara

pedoman

dan

lestari arahan

untuk

memberikan

guna

menjamin

tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 16. Sistem rangkaian

perencanaan penyusunan,

kehutanan penilaian

adalah dan

penetapan jenis-jenis rencana kehutanan yang menyangkut substansi, mekanisme dan proses, dalam rangka mewujudkan rencana-rencana kehutanan yang sinergi, utuh dan menyeluruh serta menjadi acuan bagi pembangunan sektor kehutanan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

6


Rencana Pengelolaan

17. Penyusunan rencana pengelolaan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. 18. Rencana pengelolaan taman nasional adalah panduan yang memuat tujuan, kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan taman nasional. 19. Rencana pengelolaan jangka panjang taman nasional adalah rencana makro yang bersifat komprehensif dan indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana

pengelolaan

jangka

menengah,

rencana

pengelolaan

jangka

pendek/tahunan dan rencana-rencana teknis di kawasan taman nasional. 20. Rencana pengelolaan jangka menengah taman nasional adalah rencana yang bersifat strategis, kualitatif dan kuantitatif yang disusun berdasarkan rencana pengelolaan jangka panjang. 21. Rencana pengelolaan jangka pendek/ tahunan adalah rencana pengelolaan yang bersifat teknis operasional, kualitatif dan kuantitatif, yang disusun berdasarkan dan merupakan penjabaran rencana pengelolaan jangka menengah. 22. Pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah upaya terpadu

dalam

penataan,

pengembangan,

pemanfaatan,

pemeliharaan,

pengawasan, perlindungan, dan pengendaliannya. 23. Sistem zonasi/ blok adalah pembagian wilayah Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjadi zona-zona/ blok-blok guna menentukan kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran sesuai dengan fungsinya. 24. Zona/ blok kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah wilayah di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang dibedakan menurut fungsi dan kondisinya.

Bantimurung “The Kingdom of Butterfly�

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

7


II Deskripsi Kawasan A. Risalah Kawasan 1. Sejarah Kawasan Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang pernah menjelajah Kepulauan Indo-Malaya dari tahun 1856 sampai dengan 1862. Wallace melakukan ekplorasi flora dan fauna di kawasan Bantimurung dari tanggal 11 Juli 1857 sampai dengan awal Nopember 1857 dan berhasil mengumpulkan cukup banyak koleksi speciemen di wilayah Maros. Sejak kembalinya ke Inggris sampai dengan tahun 1886, Wallace menerbitkan delapan belas dokumen, baik berupa catatan maupun proceeding untuk Linnaean Zoological

and

Entomological

Societies

yang

menggambarkan

atau

mendeskripsikan koleksi speciemennya. Setelah itu, ia kemudian menuliskan dan menerbitkan jurnal perjalanan selama enam tahunnya ke Kepulauan Indo-Malaya yang berjudul “The Malay Archipelago”. Sejak kembali ke Inggris dan mulai menuliskan laporan-laporan perjalanan dan koleksi speciemennya sampai dengan terbitnya “The Malay Archipelago”, sejak saat itu pulalah keanekaragaman hayati kawasan Indo-Malaya terutama kawasan Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya mulai dikenal oleh para naturalis, ilmuan serta masyarakat di kawasan Eropa bahkan mungkin ke seluruh dunia. Deskripsi kawasan Karst Maros-Pangkep dan keanekaragaman faunanya dianggap sudah cukup lengkap pada saat itu, dan Wallace sendiri memberikan julukan “The Kingdom of Butterfly” untuk kawasan Bantimurung dan sekitarnya.


Rencana Pengelolaan

Begitu terkenalnya “The Malay Archipelago� karangan Wallace, buku ini dicetak ulang sampai edisi yang kesepuluh pada bulan Oktober 1890 dan masih terus direproduksi hingga saat ini. Di masa-masa berikutnya deskripsi Wallace dijadikan acuan untuk membatasi zona biogeografi di kawasan Indo-Malaya. Zona Oriental di bagian Barat mencakup daratan Asia dan Kepulauan Sunda Besar yang terdiri dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura serta Bali. Papua dan Kepulauan Aru yang terletak di paparan benua Australia menjadi bagian dari Zona Australia. Diantara kedua zona tersebut terdapat suatu zona peralihan yang terdiri dari Sunda Kecil, Sulawesi, Kepulauan Maluku serta Wilayah Kepulauan Philipina. Kawasan peralihan ini membentuk suatu zona geologis aktif yang sudah terisolasi untuk sekurang-kurangnya beberapa ratus ribu tahun. Kawasan peralihan ini disebut zona biogeografi Wallacea karena formasi faunanya yang berbeda dari kedua zona tadi (Alikodra, 1990). Zona Wallacea merupakan daerah peralihan yang dibatasi oleh Garis Wallace di sebelah Barat dan Garis Lydekker di sebelah Timur (Sastrapradja dkk, 1989 dalam Alikodra, 1990). Deskripsi yang dibuat oleh Wallace tentang kawasan Sulawesi dan pulaupulau satelitnya serta garis imaginer yang membatasi zona biogeografis antara kawasan Oriental dengan kawasan Wallacea kemudian banyak mengundang para ilmuan dari seluruh dunia datang ke Sulawesi. Para ilmuan tersebut selalu saja kembali menapaki tempat-tempat yang digambarkan oleh Wallace serta bagian lain pulau Sulawesi. Hal lain yang menarik dari kawasan ini adalah bentang alam karst yang berbangun menara. “The Spectacular Tower Karst�, begitu kemudian orangorang memberikan nama pada kawasan karst Maros-Pangkep. Memang berbeda dengan

kebanyakan

kawasan

The Spectacular Tower Karst

karst di tempat-tempat lain yang pada

umumnya

berbentuk

Conicall Hill Karst, karst MarosPangkep menara

berbentuk yang

berdiri

menarasendiri

maupun berkelompok membentuk gugusan

pegunungan

batu

gamping. Ko (2001) menginformasikan bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep sudah dikenal oleh dunia internasional sejak sebelum perang dunia II. Kawasan ini antara lain juga dikenal melalui publikasi ahli geografi Danes. Kawasan ini dikatakan memiliki bentukan alam (geomorfologi) yang amat khas dan tidak dijumpai di tempat lain.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

9


Rencana Pengelolaan

Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan kawasan karst menara yang memiliki keunikan geomorfologi yang tiada duanya di Indonesia, keindahan panorama alamnya serta potensi biodiversitynya juga sangat kaya. Di kawasan ini terdapat tidak kurang dari 284 species tumbuhan berkayu, 103 species Kupukupu yang beberapa diantaranya merupakan jenis endemik, serta 29 gua yang dihiasi lukisan-lukisan manusia purba (Anonim, 2001). Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua terindah (ACS 1989; Anonim 1986, 1987, 1991; Deharveng & Bedos 1999; McDonald 1976; Whitten et al. 1987 dalam Suhardjono dkk 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng & Bedos 1999 dalam Suhardjono dkk 2007). Di awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun 1902-1903, Sulawesi Selatan kembali ramai dibicarakan. Kali ini oleh para ahli prasejarah. Frits Sarasin dan Paul Sarasin berhasil

menemukan

sisa-sisa

peralatan

manusia prasejarah berupa serpih, bilah, mata panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di Gua Cakondo, Ulu Leba dan Balisao Kabupaten Maros. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa pada masa

Situs Prasejarah

prasejarah, Sulawesi merupakan salah satu daerah lintasan yang strategis bagi perpindahan penduduk dari daratan Asia Tenggara ke kawasan Pasifik. Dalam perjalanan migrasi tersebut, Gua-gua payung atau rock shelter merupakan satu-satunya tempat yang ideal untuk berlindung. Baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit bagi para imigran (Gunadi, 1997 dalam Achmad, 2001). Gunadi (1997) dalam Achmad (2001) juga menginformasikan bahwa dari hasil survey dan pendataan di kawasan Karst Maros-Pangkep yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, diketahui sedikitnya ada 66 gua prasejarah yang terletak di Kecamatan Bantimurung, Balocci, Pangkajene, Labbakkang dan Kecamatan Bungoro. Berbeda dengan informasi tersebut, pada tahun 2007 Balai Peninggalan Prasejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan melaporkan 27 Situs Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-Pangkep dari total 89 gua prasejarah yang ada (Muh. Natsir pers. Comm.).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

10


Rencana Pengelolaan

Peta Sebaran Situs Purbakala di Kawasan Karst Maros-Pangkep (Atas). Lukisan-lukisan pada dinding gua prasejarah di Kawasan Karst Maros-Pangkep (bawah)

Pada awal abad keduapuluh, pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa atas Kepulauan Nusantara saat itu mulai menertibkan status kepemilikan lahan dan bukti-bukti administrasinya, termasuk pula penetapan dan penataan kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di wilayah Sulawesi, seluruh bagian kawasan karst Maros-Pangkep serta areal berhutan lain di sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

11


Rencana Pengelolaan

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan penyerahan kekuasaan secara penuh kepada Pemerintah Indonesia pada tahun 1949,

Pemerintah

Indonesia

masih

tetap

menggunakan

kelengkapan-

kelengkapan administrasi tersebut sebagai acuan pengelolaan sumber daya hutan yang berupaya dimanfaatkan secara bijaksana sebagai salah satu modal dasar pembangunan ekonomi. Belum adanya model pengurusan hutan yang jelas pasca kemerdekaan Indonesia membuat pemerintah mulai berpikir untuk menyusun suatu perangkat perundang-undangan yang mengatur hutan dan kehutanan. Pada tahun 1967, diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan sebagai dasar pengelolaan hutan dan kawasan hutan di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, kebutuhan akan lahan semakin meningkat dan ada banyak keinginan, tujuan dan kepentingan dari berbagai pihak terhadap hutan dan kawasan hutan. Bertolak dari kenyataan yang demikian tersebut, pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dipandang perlu untuk disinkronkan dengan kepentingan berbagai sektor. Untuk itulah kemudian mulai dilakukan pengumpulan, pengolahan data dan penyusunan tata guna hutan kesepakatan di Indonesia yang berisi peta kawasan hutan dan fungsinya serta areal-areal cadangan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan. Tahun 1976, Menteri Pertanian RI yang menangani urusan kehutanan pada saat itu menerbitkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di seluruh wilayah Republik Indonesia. TGHK kemudian juga ditindaklanjuti dengan pembagian kelompok-kelompok hutan di setiap wilayah propinsi. Pada tahun 1982, Menteri Pertanian menerbitkan Keputusan Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penetapan Kelompok-kelompok Hutan. Kurang lebih dua dekade kemudian, Pemerintah menerbitkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang antara lain mengatur tentang adanya tata ruang sebagai wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang di suatu wilayah administratif pemerintahan. Tata ruang tersebut dibedakan menjadi tata ruang nasional, tata ruang propinsi dan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan perundang-undangan ini maka setiap pemerintah propinsi dan kabupaten/kota kemudian menyusun rencana tata ruang wilayah. Namun patut disayangkan, rencana tata ruang wilayah yang disusun pada umumnya tidak sejalan dengan tata guna hutan kesepakatan yang telah disusun sebelumnya. Untuk menghindari berlanjutnya kontradiksi antara rencana tata ruang wilayah dengan tata guna hutan kesepakatan, maka pada tahun 1997 Departemen Kehutanan kemudian mulai melakukan sinkronisasi kedua dokumen

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

12


Rencana Pengelolaan

tersebut di setiap propinsi. Sulawesi Selatan berhasil menyelesaikan Paduserasi TGHK-RTRWP pada tahun 1999 dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor: 276/IV/Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 tentang Penetapan Hasil Paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut beserta peta lampirannya, Menteri Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Keputusan Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan Kembali Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan seluas Âą 3.879.771 Ha. Berdasarkan semua dokumen tersebut, kawasan Karst Maros-Pangkep dan kawasan lain di sekitarnya tetap merupakan kawasan hutan dengan fungsi lindung, produksi dan konservasi.

Karst MarosPangkep

Paduserasi TGHK – RTRWP Sulawesi Selatan (BPKH Wil. VII, 1999)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

13


Rencana Pengelolaan

Air terjun Bantimurung yang mulai terkenal sejak kunjungan Wallace dijadikan kawasan konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan Guvernements Besluits tanggal 21-2-1919 No. 6 Staatblad No. 90. Antara dekade 1970-1980, di kawasan Karst Maros-Pangkep telah ditunjuk dan/atau ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas Âą 11.906,9 Ha. Sebagian kawasan Bantimurung karena potensi wisata tirta, panorama alam dan gua-gua alamnya, ditunjuk kembali menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama TWA. Bantimurung seluas 118 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 237/Kpts/Um/3/1981 tanggal 30 Maret 1981. Kawasan hutan di sekitar Pattunuang Asue ditetapkan menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama TWA. Gua Pattunuang seluas 1.506,25 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 59/Kpts-II/1987 tanggal 12 Maret 1987. Penunjukan kawasan ini didasarkan pada potensi wisata tirta wilayah tersebut, keanekaragaman

hayatinya,

panorama

alamnya,

fenomena

tebing-tebing

karstnya yang ideal untuk wisata alam minat khusus, legenda tentang perahu yang membatu (Biseang Labboro) di Sungai Pattunuang, serta gua-gua alamnya. Sebagian

kawasan

karst

Bantimurung

(karena

mempunyai

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, ciri khas potensi yang merupakan contoh ekosistem karst yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi, komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang langka) ditunjuk menjadi kawasan konservasi cagar alam dengan nama CA. Bantimurung seluas 1.000 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 839/Kpts/Um/11/1980 tanggal 23 Nopember 1980. Tidak jauh berbeda dengan pertimbangan tersebut di atas, kawasan karst dan hutan pamah primer di wilayah sebelah Timur Bantimurung ditunjuk menjadi kawasan konservasi cagar alam dengan nama CA. Karaenta seluas 1.000 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 647/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober 1976. Berdasarkan hasil penataan batas CA. Karaenta yang dilaksanakan pada tahun 1979/1980, luasnya definitifnya berubah menjadi 1.226 Ha. Kawasan konservasi yang lain adalah CA. Bulusaraung. Kawasan ini memiliki komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistem yang memerlukan upaya konservasi. Kawasan ini terletak di wilayah paling Utara Kabupaten Maros yang berbatasan dengan wilayah administratif Kabupaten Bone. Kawasan seluas 5.690 Ha yang merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Bulusaraung ini ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/8/1980 tanggal 20 Agustus 1980. Berdasarkan hasil penataan batas CA. Bulusaraung yang dilaksanakan pada tahun 1999/2000,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

14


Rencana Pengelolaan

luasnya definitifnya berubah menjadi 8.056,65 Ha. Pada sebagian besar kawasan hutan konservasi tersebut beserta kawasan hutan dengan fungsi lindung dan produksi telah dilaksanakan penataan batasnya antara tahun 1975 sampai dengan tahun 2001 sepanjang 432,52 Km. Pada tahun 1989, kawasan-kawasan konservasi di Kabupaten Maros tersebut beserta kawasan karst dan kawasan hutan lainnya di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan untuk diubah fungsinya menjadi taman nasional dengan nama Taman Nasional Hasanuddin (melalui surat nomor 1238/Kwss-5/10/1989 tanggal 10 Oktober 1989 perihal Usulan Pembangunan dan Pengembangan Taman Nasional Hasanuddin dan ditujukan kepada Direktur Jenderal PHPA Departemen Kehutanan). Nama tersebut diambil dari nama pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan yang juga Raja Gowa. Dalam proses berikutnya, nama calon taman nasional ini berulang kali diubah berdasarkan berbagai pertimbangan. Pada bulan Nopember 1989, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan kembali mengusulkan pembangunan Taman Nasional Hasanuddin melalui Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan (surat nomor 1418/Kwss-5/11/1989 tanggal 9 Nopember 1989). Menindaklanjuti usulan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan tersebut, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan kemudian mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi Taman Nasional Hasanuddin dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap lokasi yang diusulkan (melalui surat nomor : 83/DJ-VI/TN/90 tanggal 17 Januari 1990). Sedikit berbeda dengan usulan sebelumnya dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan, Direktur Jenderal PHPA mengusulkan agar nama taman nasional di Sulawesi Selatan ini diberikan nama sesuai dengan nama wilayah geografisnya. Sayangnya, usulan ini belum sepenuhnya mendapat dukungan dari Menteri Kehutanan. National Conservation Plan for Indonesia Volume 6D Sulawesi Selatan Province (Juni 1995) yang merupakan review dan updating NCP 1982, menguraikan bahwa pada tahun 1993, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan menetapkan gabungan dari CA. Bulusaraung, TWA. Bantimurung, CA. Bantimurung, CA. Karaenta, TWA Gua Pattunuang serta Hutan Lindung di sekitarnya sebagai calon kawasan konservasi Taman Nasional Hasanuddin seluas 86.682 Ha (termasuk seluruh kawasan Dry

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

15


Rencana Pengelolaan

Lowland Forest on Limestone seluas 47.000 Ha dan Wet Lowland Forest on Limestone seluas 1.000 Ha) dengan pertimbangan perlindungan flora dan fauna, perlindungan fungsi hydrologis, pengembangan wisata alam serta membatasi perluasan perladangan di kawasan tersebut. Tujuan utama NCP 1995, yaitu untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas pengembangan kawasan konservasi, dan Calon Taman Nasional Hasanuddin mendapatkan prioritas pertama. Hasil skoring yang dilakukan memberikan nilai Genetik 115 dan socioeconomic justification 10. International

Union

of

Speleology

menyelenggarakan

Kongres

Internasional ke-11 di Beijing pada tanggal 8 Agustus 1993. Kongres ini dihadiri oleh para ilmuwan dan pemerhati kawasan karst dan gua dari 34 negara. Kongres ini secara aklamasi menyatakan karst Maros-Pangkep memiliki nilai dunia. Dalam rapat pleno, Presiden dan Sekretaris Jenderal International Union of Speleology mengesahkan surat himbauan kepada Pemerintah Indonesia agar kawasan Karst Maros-Pangkep dikonservasi dan diusulkan sebagai bentukan alam Warisan Dunia (Ko, 2001; Palaguna, 2001). Berbagai organisasi dan keahlian semakin meningkatkan dukungan untuk melindungi kawasan karst Maros-Pangkep yang unik untuk kepentingan internasional karena terbatasnya luasan karst di dunia yang memiliki keunikan layaknya Karst Maros-Pangkep. Alasan yang mendasari desakan tersebut adalah karena para ahli berpendapat adanya asosiasi secara langsung antara karst dengan kepurbakalaan serta antara karst dengan biodiversitynya. Permintaan-permintaan

tersebut

ditanggapi

dengan

melakukan

diskusi

internasional yang memfokuskan keadaan karst di Indonesia (Achmad, 2001). Oleh karena keistimewaannya, kawasaan karst Maros-Pangkep disarankan untuk diusulkan sebagai World Heritage Site (Achmad, 2001; Wong et al. 2001 dalam Suhardjono dkk 2006). Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Hasanuddin (Unhas) pada tanggal 19 Desember 1997 menyelenggarakan Seminar Lingkungan Karst di Makassar. PSL Unhas kembali menekankan pentingnya perlindungan ekosistem karst Maros-Pangkep dan melaporkan sedikitnya terdapat 29 gua di kawasan Karst Maros-Pangkep yang layak dilindungi. Melanjutkan dan menindaklajuti usulan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan dan NCP 1995, Unit Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sulawesi Selatan I kemudian membentuk tim penilaian potensi calon taman nasional yang melibatkan pihak Universitas Hasanuddin pada tahun 1999. Hasil penilaian dan pengkajian yang dilakukan oleh tim ini

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

16


Rencana Pengelolaan

kemudian memberikan rekomendasi layak untuk perubahan fungsi menjadi taman nasional. Pada tahun 2001, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan kembali mengajukan usulan penunjukan taman nasional di kawasan Maros-pangkep dengan nama Taman Nasional Karaenta (melalui surat nomor 259/Kwl-5/2001 tanggal 22 Pebruari 2001). Dalam usulan kali ini, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan juga menyampaikan kronologis pengusulan kawasan ini sejak tahun 1989 serta menyampaikan kembali kepada Menteri Kehutanan tentang rekomendasi dari International Union of Speleology yang mendesak agar Pemerintah Indonesia mengamankan dan melindungi ekosistem Karst Maros-Pangkep. Pada tanggal 15 Maret 2001, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan Nomor : 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Hutan, yang mengatur bahwa perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan pada hasil penelitian Tim Terpadu. Usulan perubahan fungsi dilampiri : (i) Rekomendasi Bupati/Walikota atau Gubernur untuk yang lintas Kabupaten/ Kota; (ii) Persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan DPRD Propinsi untuk yang lintas Kabupaten/Kota; serta (iii) Peta minimal skala 1 : 100.000. Dengan demikian, maka penilaian potensi harus dilakukan kembali dari awal dan dilaksanakan oleh Tim Terpadu. Yang dimaksud dengan Tim Terpadu adalah sebuah tim yang diketuai oleh seorang Pakar dari Scientific Authority setempat atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dengan beranggotakan para pihak dari sektor yang terkait. Pada bulan Mei 2001, IUCN Asia Regional Office dan UNESCO World Heritage Centre mengadakan The Asia-Pasific Forum on Karst Ecosystems and World Heritage di Gunung Mulu, Serawak, Malaysia. Forum ini dihadiri oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu serta dihadiri pula oleh para pejabat tinggi UNESCO dan World Bank. Forum ini bertekad menyatakan kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Warisan Dunia. Forum ini memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia agar mengkonservasi kawasan-kawasan karst, termasuk kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai-nilai warisan dunianya akan ditinjau kemudian dan kelayakan status perlindungannya akan diidentifikasi kemudian guna mendapatkan pengakuan internasional (Ko, 2001; Nitta, 2001; Samodra, 2003). Tanggal 12-13 Nopember 2001, Bapedal Regional III di Makassar menyelenggarakan Simposium Karst Maros-Pangkep yang bertema “Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah�. Melalui acara ini, Bapedal Regional III

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

17


Rencana Pengelolaan

berusaha membangun kembali komitmen dan menggalang kerjasama dengan berbagai pihak terkait dalam upaya mewujudkan kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai kawasan taman nasional dan situs warisan dunia. Beberapa kesimpulan dari simposium ini adalah bahwa Kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki berbagai

potensi

sumberdaya

yang

perlu

mendapat

perlindungan

dan

pengelolaan secara seksama, terpadu dan menyeluruh; Pemerintah Sulawesi Selatan, Maros dan Pangkep mendukung dan berkomitmen terhadap pengajuan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Taman Nasional maupun World Heritage Site; serta membentuk tim terpadu untuk menyusun rencana aksi dalam mewujudkan penetapan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Taman Nasional dan World Heritage Site. Untuk mempercepat proses penunjukan kawasan Karst Maros-Pangkep menjadi taman nasional (dalam dokumen ini disebutkan Taman Nasional Karaenta), Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak terkait di Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Januari 2002. Hasil dari pertemuan ini adalah adanya pembentukan Tim Terpadu yang terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Maros dan Pangkep, Unit KSDA Sulawesi Selatan I, Bapedal Regional III dan diketuai oleh Universitas Hasanuddin. Tim terpadu antara lain bertugas melakukan sosialisasi tentang rencana penunjukan taman nasional, melaksanakan kajian (feasibility study), mengusahakan penerbitan rekomendasi penunjukan taman nasional dari pemerintah kabupaten dan propinsi, serta menyusun proposal penetapan warisan dunia. Tim ini terus bekerja mengusahakan penunjukan taman nasional sampai dengan tahun 2004. Antara tahun 2002 sampai dengan 2004, terbitlah rekomendasi dari para pengambil kebijakan di kalangan pemerintah (Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep). Bupati Maros memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660.1/532/Set tanggal 13 Nopember 2002. DPRD Kabupaten Maros memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal 17 Desember 2002. Bupati Pangkep memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003. Ketua DPRD Kabupaten Pangkep memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003. Gubernur Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003. Keputusan DPRD Provinsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

18


Rencana Pengelolaan

Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003 memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional. Pada tanggal 5 Januari 2004, Gubernur Sulawesi Selatan (H.M. Amin Syam) melalui suratnya nomor 660/27/Set yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan

mengusulkan

kembali

kawasan

Karst

Maros-Pangkep

untuk

ditetapkan menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (dokumen ini menyebutkan nama Bantimurung Bulusaraung) dan menyampaikan Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Persetujuan Atas Rekomendasi Gubernur Sulawesi Selatan tentang Kawasan Karst Sebagai Kawasan Taman Nasional Maros, Pangkep Sulawesi Selatan. Pada tanggal 29 April 2004, Gubernur Sulawesi Selatan sekali lagi mendesak Menteri Kehutanan agar memproses penetapan kawasan Karst Maros-Pangkep menjadi taman nasional (surat nomor 660/1632/SET). Direktur Jenderal PHKA melalui suratnya nomor S.103/IV-KK/2004 tanggal 25 Pebruari 2004 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Kepala Badan Planologi Kehutanan mengusulkan kembali perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi taman nasional. Dalam proses koordinasi di Departemen Kehutanan yang berjalan cukup lama, akhirnya pada 5 Oktober 2004, Kepala Pusat Pembentukan Wilayah Pengelolaan dan Perubahan Kawasan Hutan Badan Planologi Kehutanan mengundang seluruh anggota Tim Terpadu untuk hadir pada hari Jumat tanggal 8 Oktober 2004 di Ruang Rapat Badan Planologi Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Pihak-pihak yang diminta untuk hadir pada saat itu adalah Pusat Penelitian Biologi LIPI, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Balitbang Kehutanan, Asisten Deputi Ekosistem Darat Kementerian Lingkungan Hidup, Direktur Konservasi Kawasan Ditjen PHKA, Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Ditjen RLPS, Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Badan Planologi Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Ketua Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, Asisten Deputi Urusan Wilayah Sumapapua Kementerian Lingkungan Hidup, Kepala Balai KSDA Sulawesi Selatan I, Ketua Tim Kajian Usulan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Amran Achmad, Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin), dan beberapa pejabat eselon III di lingkungan Badan Planologi Kehutanan serta Direktorat Jenderal PHKA. Pada tanggal 8 Oktober 2004 tersebut, diadakanlah pengkajian dan pembahasan oleh Tim Terpadu Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Bantimurung Bulusaraung dengan hasil memenuhi syarat untuk diubah fungsi menjadi kawasan pelestarian alam dengan fungsi taman nasional berdasarkan : (1)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

19


Rencana Pengelolaan

Laporan Hasil Pengkajian Tim Terpadu yang dipaparkan oleh Amran Achmad (Universitas Hasanuddin) selaku Ketua Tim Terpadu Daerah; (2) Surat Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 660/27/Set tanggal 5 Januari 2004 dan Rekomendasi nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003; (3) Rekomendasi Bupati Maros nomor 660.1/532/Set tanggal 13 Nopember 2002; (4) Surat Bupati Pangkep nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003; (5) Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003; (6) Rekomendasi DPRD Kabupaten Maros nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal 17 Desember 2002; serta (7) Surat Ketua DPRD Kabupaten Pangkep nomor 005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003. Setelah pembahasan tersebut, usulan penunjukan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kemudian dicermati kembali oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar. Dari hasil pencermatan tersebut, dilakukan koreksi-koreksi terhadap peta yang disajikan. Usulan tim terpadu seluas Âą 48.720 Ha kemudian diubah menjadi Âą 43.750 Ha karena pada peta tersebut terdapat areal non kawasan hutan yang diusulkan menjadi taman nasional.

Peta Paduserasi TGHK-RTRWP awal dan perubahan fungsi menjadi taman nasional

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

20


Rencana Pengelolaan

Pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Sulawesi

Setelah

Ha; 3,71%

Taman

penunjukan

kawasan,

pemangkuan dan pengelolaan Taman

Ha; 23,50% HP; 10.355 Ha; 23,67%

menjadi

Nasional Bantimurung Bulusaraung. TWA; 1.624,25

CA; 10.282,65

Selatan

Nasional

HL; 21.343,10 Ha; 48,78%

Bantimurung

Bulusaraung

untuk sementara dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi

HPT; 145 Ha; 0,33%

Selatan

I

berdasarkan

Keputusan

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK.140/IV/ Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004. Pada Tahun 2006, Menteri Negara Pemberdayaan

Aparatur

Negara

Republik

Indonesia

menyetujui

usulan

pembentukan unit kerja pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan membentuk Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung beserta 15 balai taman nasional baru lainnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional. Pada tanggal 1 Pebruari 2007, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang kemudian menjadi dasar pengelolaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

saat

ini.

Walaupun

telah

ditetapkan

pengelolanya

dan

diserahterimakan pengelolaannya sejak Nopember 2006, Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara efektif baru beroperasional melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan dan pembangunan sejak April 2007 karena personil dan sarana prasarana pendukungnya baru tersedia pada saat itu.

2. Progress Pengukuhan Kawasan Berdasarkan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 41 Tahun

1999

tentang

Kehutanan,

ditetapkan

bahwa

Pemerintah

menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan guna memberikan kepastian

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

21


Rencana Pengelolaan

hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatankegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Sejalan dengan definisi tersebut maka ruang lingkup pengukuhan kawasan hutan meliputi : a. penunjukan kawasan hutan, yaitu penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah propinsi atau partial per kelompok hutan; b. penataan batas kawasan hutan, yaitu kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, serta pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif; c.

pemetaan kawasan hutan, yaitu kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas;

d. penetapan kawasan hutan, yaitu suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap dengan keputusan Menteri Kehutanan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Diktum KEDUA keputusan tersebut berbunyi : �Batas sementara Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tersebut pada diktum PERTAMA, adalah sebagaimana terlukis pada peta lampiran keputusan ini, sedangkan batas tetapnya akan ditentukan setelah diadakan penataan batas di lapangan�. Pada dasarnya, walaupun belum dilakukan penataan batas di lapangan, perubahan fungsi suatu kawasan tetap berlaku karena batas-batas di atas peta yang dilengkapi dengan referensi posisinya secara geografis dapat diproyeksikan di lapangan. Namun demikian, sebagian besar kawasan hutan yang diubah fungsinya menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berdasarkan keputusan penunjukan tersebut sudah dilaksanakan penataan batas luarnya sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2001. Batas luar kawasan hutan yang telah di tata batas tersebut sebagian besar juga merupakan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat ini. Batas-batas tersebut pada tahun 2007 juga telah dilaksanakan rekonstruksinya oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar bersama Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Sampai dengan tahun 2008, perkembangan penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah mencapai 432,52 Km atau

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

22


Rencana Pengelolaan

90,44% dari total batas luar sepanjang 478,22 Km. Trayek batas yang belum dilaksanakan penataan batasnya secara definitif di lapangan hingga saat ini hanya tersisa pada batas fungsi di sisi Utara (wilayah administratif Kabupaten Pangkep) dan sisi Selatan (wilayah administratif Kabupaten Maros). Dengan realisasi penataan batas yang belum temu gelang, maka proses penetapan kawasan menjadi kawasan hutan tetap dengan keputusan Menteri Kehutanan juga belum dapat dilaksanakan.

Peta perkembangan penataan batas Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Selain tata batas yang belum dirampungkan, penataan zonasi pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga belum dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 30 ayat (2) menetapkan bahwa pengelolaan taman nasional didasarkan pada sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

23


Rencana Pengelolaan

atau zona lainnya. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi

publik,

perancangan,

tata

batas

dan

penetapan,

dengan

mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perancangan

zonasi

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung hingga tahun 2008 belum dapat dilakukan karena terbatasnya ketersediaan data potensi dan kondisi kawasan. Dengan kondisi keterbatasan berbagai sumberdaya yang ada pada Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,

maka

dibutuhkan

setidaknya

beberapa

tahun

untuk

mempersiapkan perancangan zonasi, yang didahului dengan pengumpulan data primer di lapangan dan data pendukung lainnya. Saat ini, untuk keperluan pengelolaan kawasan, tersedia draft rancangan zonasi yang belum dapat dikatakan

sempurna

karena

penyusunannya

yang

dilakukan

dengan

keterbatasan data dan informasi untuk bahan analisa.

3. Karakteristik Penunjukan Kawasan Areal yang saat ini merupakan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan sebagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep yang sudah terkenal ke seluruh dunia. Samodra (2003) menyampaikan bahwa singkapan batu gamping yang luas di Sulawesi Selatan ini membentuk tipe karst tersendiri. Bukit-bukit berlereng terjal (yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan atau Karstifikasi) membentuk bangun menara yang sangat khas (tower karst). Bukit-bukit menara Karst Maros-Pangkep serupa dengan karst yang ada di China Selatan dan Vietnam. Tipe Karst Maros-Pangkep memang berbeda dengan karst yang ada di tempat lain yang pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst atau perpaduan dari keduanya. Karakteristik eksokarst-nya dikatakan sebagai bentukan karst yang terindah kedua setelah kawasan karst yang telah ditetapkan sebagai warisan alam dunia di Halong Bay Vietnam. Karst Maros-Pangkep juga merupakan kawasan karst terluas kedua setelah karst yang ada di China Selatan.

Selain

keindahan

eksokarst,

kawasan

Karst

Maros-Pangkep

(sebagaimana pada umumnya kawasan karst) juga dihiasi oleh endokarst yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

24


Rencana Pengelolaan

tidak ternilai. Tidak kurang dari 400 gua di kawasan ini yang dapat menyajikan keindahan bentukan ornamen gua (speleotem). Gua-gua di kawasan Karst Maros-Pangkep, terutama gua fosil mempunyai nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia prasejarah yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan budayanya Samodra (2003). Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua terindah (ACS 1989; Anonim 1986, 1987, 1991; Deharveng & Bedos 1999; McDonald 1976; Whitten et al. 1987 dalam Suhardjono dkk 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng & Bedos 1999 dalam Suhardjono dkk 2007). Dari

segi

keanekaragaman

hayati,

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung dikenal dengan potensi Kupu-kupunya yang beranekaragam. Alfred Russel Wallace, setelah kunjungannya yang pertama pada tanggal 2 Agustus 1856 sampai dengan 13 Desember 1856, pada tanggal 11 Juli 1857 Wallace kembali ke Makassar untuk yang kedua kalinya. Setelah merampungkan pengepakan koleksi speciemen dari Kepulauan Aru, Wallace kemudian mengunjungi wilayah Maros yang berjarak kurang lebih 30 mil di utara Makassar, dimana

Jacob

Mesman

(seorang

saudara

sahabatnya)

bermukim

dan

membangunkan sebuah pondok penginapan tersendiri untuk Wallace di suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai Bantimurung. Selama berada di wilayah Maros dan sekitarnya, Wallace menemukan Rusa (Cervus timorensis), Babi (Sus celebensis), Kera Hitam Sulawesi Cynopthecus nigrescens (sekarang Macaca maura), Rangkong (Rhyticeros cassidix), Trichoglossus ornatus, burung Punai, Corvus advena, Idea tondana, Kumbang Macan (Therates flavilabris) dan berbagai jenis kumbang lainnya, tiga species Ornithoptera yang sayapnya berukuran 7 – 8 inchi (17 – 20 Cm), Papilio miletus, P. telephus, P. macedon, Papilio rhesus (sekarang Graphium rhesus), Papilio gigon, Tachyris zarinda (sekarang Appias zarinda), dan banyak lagi yang lainnya. Hal

yang paling

berkesan

bagi Wallace

di Bantimurung

adalah

pertemuannya dengan “The Magnificent Butterfly� Papilio androcles (sekarang Graphium androcles), salah satu jenis Kupu-kupu Swallow tailed terbesar dan terjarang ditemukan. Di suatu siang ketika matahari bersinar terik dan udara terasa sangat panas, setelah empat hari mengamati, pantai berpasir pada sisi kolam di atas air terjun Bantimurung (mungkin tempat yang oleh masyarakat sekarang disebut Kassi Kebo) menyajikan suatu pemandangan menakjubkan bagi Wallace. Kassi Kebo dihiasi oleh segerombolan Kupu-kupu yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

25


Rencana Pengelolaan

memeriahkan suasana. Oranye, kuning, putih, biru dan hijau. Formasi ratusan Kupu-kupu ini membentuk awan beraneka warna. Ketika makhluk yang indah ini terbang, the long white tails berkelap-kelip layaknya melambai-lambai. Kurang lebih begitulah yang dideskripsikan oleh Wallace tentang pertemuannya dengan Graphium androcles. Kolektor-kolektor

lain

kemudian

mengikuti jejak Wallace. 25 tahun kemudian, di tahun 1882 Graphium androcles tidak bisa lagi ditemukan, walaupun species-species lain tetap ada (Guillemard, 1889 dalam Whitten, 2002). Hal ini mungkin merupakan pengaruh iklim, sebab 45 tahun kemudian Kupu-kupu ini kembali banyak ditemukan (Leefmans, 1927 dalam Whitten, 2002). Mattimu, dkk (1977) kemudian melaporkan bahwa

dari

hasil

Graphium androcles penelitian

di kawasan wisata

Bantimurung, ia berhasil menemukan 103 species Kupu-kupu. Setelah kurang lebih empat bulan mengekplorasi wilayah Maros dan sekitarnya, di awal Nopember 1857 Wallace kembali ke Makassar untuk mengepak koleksinya lalu melanjutkan perjalanannya ke wilayah Ambon dan Ternate serta tempat-tempat lainnya. Selama lebih dari enam tahun perjalanan eksplorasi fauna di kawasan Kepulauan Indo-Malaya, Alfred Russel Wallace berhasil mengumpulkan sebanyak 125.660 koleksi speciemen, yang terdiri dari 310 speciemen Mamalia, 100 speciemen Reptilia, 8.050 speciemen Burung, 7.500 speciemen Kerang, 13.100 speciemen (ordo) Lepidoptera, 83.200 speciemen (ordo) Coleoptera, serta 13.400 speciemen serangga lainnya. Setelah lebih dari enam tahun di kawasan Indo-Malaya, pada musim semi di tahun 1862 Wallace tiba kembali ke negeri Inggris. Alfred Russel Wallace (1890) melaporkan bahwa ia menemukan 256 species Kupu-kupu dari kawasan Bantimurung. Berbeda dengan laporan tersebut, Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain adalah : Papilio blumei, P. polites, P. sataspes, Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad (1998) telah meneliti secara khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata Bantimurung selama satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupu-kupu Troides haliphron dan Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

26


Rencana Pengelolaan

Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga terkenal sebagai habitat beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin menurun di alam. Dare atau Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah salah satu jenis primata endemik Sulawesi yang habitatnya meluas hampir di seluruh kawasan. Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus Kecil (Stigocuscus celebensis) juga dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Primata terkecil di dunia, Tarsius spectrum atau oleh masyarakat setempat diberikan nama Balao-cengke, belum lama ini secara meyakinkan telah tercatat di dalam daftar jenis keanekaragaman hayati Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan ditemukannya beberapa sarang di dalam kawasan pada bulan Maret 2008 oleh staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Dari aspek tata air, kawasan karst merupakan reservoir air raksasa yang sangat strategis kedudukannya dalam

menunjang

berbagai

kepentingan. Kemampuan bukit karst dan mintakat epikarst pada umumnya mampu menyimpan air selama tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya Sungai Salenrang

musim penghujan, sehingga sebagian

besar sungai bawah tanah dan mata air di kawasan karst mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan formasi geologi utama berupa batuan kapur, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan catchment area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Beberapa sungai menghulu di kawasan ini, antara lain sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem hidrologi Danau Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung/Maros. Di samping itu juga ditemukan beberapa mata air dan sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta air bawah tanah pada sistem perguaan.

B. Kondisi Umum Kawasan 1. Kondisi Fisik Kawasan a. Letak dan Luas Kawasan Secara

administrasi

pemerintahan,

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung terletak di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis areal ini terletak antara 119° 34’ 17” – 119° 55’ 13” Bujur

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

27


Rencana Pengelolaan

Timur dan antara 4° 42’ 49” – 5° 06’ 42” Lintang Selatan. Secara kewilayahan, batas-batas TN. Babul adalah sebagai berikut : ¾

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru dan Bone;

¾

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone;

¾

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros;

¾

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berbatasan atau

berhimpitan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan 40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Daftar kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa yang berbatasan atau berhimpitan dengan Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilihat pada lampiran 1.

Peta wilayah administrasi pemerintahan di dalam dan sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

28


Rencana Pengelolaan

b. Iklim Berdasarkan perhitungan data curah hujan

yang dikumpulkan dari

beberapa stasiun yang ada disekitar kawasan Taman Nasional, ditemukan bahwa pada wilayah bagian Selatan terutama bagian yang berdekatan ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk ke dalam iklim D (Schmidt dan Ferguson) sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang Labboro, Tonasa dan Minasa Te’ne termasuk kedalam iklim tipe C, sementara pada bagian utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa termasuk kedalam tipe B. Peta

curah

hujan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

memperlihatkan adanya empat zona curah hujan, yakni curah hujan 2.250 mm, 2.750 mm, 3.250 mm dan 3.750 mm. Dari gambar di bawah ini terlihat bahwa curah hujan 2.250 mm sampai 2.750 mm berada dibagian timur kawasan taman nasional, dimana di wilayah inilah masyarakat banyak memanfaatkan kawasan hutan. Sebaliknya, curah hujan yang lebih tinggi yakni 3.250 mm sampai 3.750 mm, berada di bagian barat taman nasional dimana sekitar 75 % wilayah cakupannya merupakan arael karst. Di wilayah ini, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dalam kawasan hutan relatif kecil karena kondisi tanah yang tidak memungkinkan. Sisanya 25 % yang berupa ekosistem non karst dan menyebar di bagian selatan, juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Tingginya pemanfaatan lahan areal taman nasional oleh masyarakat pada wilayah yang mempunyai curah hujan tinggi, adalah merupakan ancaman terhadap sumberdaya lahan di wilayah taman nasional, terutama kaitannya dengan erosi tanah.

Puncak gunung Bulusaraung dengan ketinggian 1.353 m dpl

c.

Geologi dan Tanah Formasi geologi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dikelompokkan menurut jenis batuan, yang didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi dari setiap satuan batuan. Formasi-formasi tersebut adalah sebagai berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

29


Rencana Pengelolaan

Formasi Balang Baru. Formasi balang baru terdiri dari perselingan serpih dengan batu pasir, batu lanau dan batu lempung, dengan struktur batuan berlapis, menyerpih dan turbidit. Bentuk formasi ini menyebar di bagian Utara yaitu di Kecamatan Mallawa. Satuan batuan ini adalah batuan sedimen.

Batuan Gunung Api Terpropilitkan. Batuan ini terdiri dari breksi dan lava, menyebar pada bagian Selatan, yaitu Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Lava umumnya bersifat andesitik, sebagian trakit dan basal.

Formasi Mallawa. Formasi ini terdiri atas batu pasir kuarsa, batu lanau, batu lempung dan konglomerat, dengan sisipan atau lensa batubara. Penyebarannya berada di Kecamatan Watang Mallawa, di daerah Ammasangeng, dan Kecamatan Bantimurung. Batu pasir kuarsa umumnya bersifat rapuh dan kurang kompak, berlapis tipis. Batubara pada satuan batuan ini mempunyai ketebalan antara 0,5 - 1,5 meter.

Formasi Tonasa. Formasi ini terdiri dari batu gamping pejal, bioklastik, kalkarenit, koral dan kalsirudit bersisik. Di daerah Kecamatan Watang Mallawa batu gamping formasi tonasa ditemukan mengandung mineral glauconit dan napal dengan sisipan breksi batu gamping.

Formasi Camba. Formasi ini terdiri dari perselingan batuan sedimen laut dan batuan gunung api, yaitu batu pasir tufaan berselingan dengan tufa, batu pasir, batu lanau dan batu lempung. Di beberapa tempat dijumpai sisipan napal, batu gamping dan batu bara.

Batuan Gunung Api Formasi Camba. Batuan ini terdiri dari breksi, lava dan konglomerat. Breksi dan konglomerat terdiri dari pragment andesit dan basal, matriks dan semen tufa halus hingga pasiran.

Batuan Gunungapi Baturape-Cindako. Batuan ini terdiri dari lava dan breksi gunung api, bersisipan tufa dan konglomerat. Breksi gunung api umumnya berkomponen kasar berupa basal dan sedikit andesit dengan ukuran fragment 15 - 60 cm, tersemen oleh tufa berbutir kasar hingga lapilli dan banyak mengandung firoksin.

Batuan Terobosan. Batuan ini terdiri dari granodiorit, andesit, diorit, trakit dan basal piroksin. Batuan ini menyebar setempat-setempat dan menerobos batuan yang lebih tua di sekitarnya berupa retas, sill dan stok.

Endapan aluvium. Batuan ini terdiri dari endapan aluvium sungai. Endapan aluvium sungai berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

30


Rencana Pengelolaan

Ada dua jenis tanah yang umum ditemukan pada kawasan karst Maros-Pangkep, dimana keduanya kaya akan kalsium dan magnesium. Tanah jenis Rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai, terutama di bagian Selatan dari karst Maros. Eutropepts merupakan jenis tanah turunan dari inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat dangkal dan berwarna terang.

d. Topografi dan Kelerengan Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landskap karst, bentuk permukaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bervariasi dari datar, bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian kawasan yang bergunung terletak pada sisi Timur Laut kawasan atau terletak pada blok Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros dan Gunung Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep. Puncak tertinggi terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di sebelah Utara Pegunungan Bulusaraung. Puncak Gunung Bulusaraung sendiri terletak pada ketinggian 1.353 m.dpl. Sisi ini dicirikan oleh kenampakan topografi relief tinggi, bentuk lereng yang terjal dan tekstur topografi yang kasar. Daerah perbukitan dicirikan oleh bentuk relief dan tekstur topografi halus sampai sedang, bentuk lereng sedang sampai rendah, bentuk bukit yang tumpul dengan lembah yang sempit sampai melebar. Daerah perbukitan ini dapat dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan sedimen dan perbukitan karst. Kawasan dengan topografi dataran dicirikan oleh bentuk permukaan lahan yang datar sampai sedang dan sedikit bergelombang, relief rendah dan tekstur topografi halus. Bentuk permukaan seperti ini banyak dijumpai di antara perbukitan karst yang berbentuk menara.

e. Hidrologi Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan bagian dari hulu beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Sisi sebelah Timur antara lain merupakan hulu Sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem Danau Tempe. Pada bagian Barat terdapat Sungai Pangkep dan Sungai Bone di Kabupaten Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung di Kabupaten Maros. Sungai Bantimurung

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

31


Rencana Pengelolaan

adalah merupakan sumber pengairan persawahan di Kabupaten Maros serta dimanfaatkan untuk pemenuhan air bersih bagi masyarakat Kota Maros. Disamping itu, juga ditemukan beberapa mata air dan sungai-sungai kecil, terutama di wilayah karst, serta aliran air bawah tanah/danau bawah tanah pada sistem perguaan. Mata air berdebit besar dijumpai pada batu gamping pejal dengan debit 50 - 250 l/dtk, sedang mata air yang muncul di batuan sedimen terlipat dan batuan gunung api umumnya kurang dari 10 l/dtk. Fluktuasi debit air sungai-sungai besar dari dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih relatif stabil sepanjang tahun, namun berbeda dengan debit pada sungai di permukaan karst.

Bentuk relief dan kondisi hidrologi di dalam dan sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

f.

Potensi Wisata Beragam jenis kegiatan wisata dapat dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Aktifitas wisata yang telah lama berlangsung dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah kegiatan wisata tirta pada Air Terjun Bantimurung. Telah banyak fasilitas wisata yang tersedia di kawasan ini, yaitu antara lain tersedianya fasilitas Guest House,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

32


Rencana Pengelolaan

Baruga Bantimurung, kolam renang, shelter, pintu gerbang dan loket, jalan trail, kantor pengelola, Butterfly Breeding, pusat informasi, toko cindera mata, warung makan, fasilitas MCK, dan lain sebagainya. Aktifitas wisata tirta di kawasan Air Terjun Bantimurung tersebut dapat dirangkaikan pula dengan kegiatan penelusuran gua serta menikmati keindahan warna-warni Kupukupu di habitat aslinya. Selain pada kawasan Bantimurung, pada kawasan Pattunuang Asue/ Biseang Labboro juga dapat dilakukan aktifitas wisata yang beragam, mulai dari wisata tirta sampai dengan pengamatan satwa unik. Untuk wisatawan minat khusus, dapat dilakukan olah raga panjat tebing pada beberapa tempat terpisah. Tracking dapat dilakukan pada beberapa tempat, terutama banyak dilakukan pada kompleks Pegunungan Bulusaraung. Kawasan ini telah banyak dikenal oleh para pendaki gunung, terutama kalangan Pecinta Alam. Kegiatan pendakian Gunung Bulusaraung dapat diperuntukkan bagi para pendaki kelas pemula, bahkan dapat pula diperuntukkan bagi anak-anak dan seluruh keluarga. Caving atau selusur gua dapat dilakukan di banyak tempat pada kawasan ekosistem karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada beberapa tempat dapat ditemukan gua yang mempunyai nilai arkeologis dan historis sehingga memungkinkan adanya kegiatan wisata, baik sebagai obyek wisata khusus gua maupun sebagai usaha untuk mengembangkan kegiatan speleologi serta wisata budaya. Menurut para ahli sejarah kepurbakalaan, gua-gua merupakan bekas hunian manusia beribu-ribu tahun silam, sebelum mereka mengenal cara membangun rumah tempat tinggal. Sampai saat ini, telah tercatat 16 buah gua yang ditemukan pada eks kawasan TWA. Bantimurung, yaitu antara lain : Gua Anjing (panjang lorong ± 60 m), Gua Bantimurung (panjang lorong ± 150 m), Gua Anggawati 1 (panjang lorong ± 170 m), Gua Towakala (panjang lorong ± 80 m), Gua Baharuddin (panjang lorong ±137 m), dan Gua Watang (panjang lorong ± 440 m). Pada wilayah eks CA. Bantimurung terdapat 34 gua, satu diantaranya dan yang paling dikenal adalah Gua Mimpi yang panjangnya ± 1.415 meter dengan kedalaman ± 48 meter. Keseluruhan gua tersebut mudah dijangkau dan keindahannya sangat menarik. Di dalam gua terdapat stalaktit, stalakmit, flow-stone, helektit, pilar, dan sodastraw. Gua lainnya yang ditemukan pada eks CA. Bantimurung ini antara lain: Gua Lubang Air, Gua Lubang Kelu (panjang lorong ± 90 m), Gua Buttu (panjang lorong ± 500 m), Gua Nasir

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

33


Rencana Pengelolaan

(panjang lorong ± 800 m). Keseluruhan gua tersebut memiliki keindahan berupa stalaktit dan stalakmit serta sebagai tempat berkembang biak Burung Walet (Collocalia sp), kelelawar, laba-laba, lipan dan lain-lain. Pada eks TWA. Gua Pattunuang, telah ditemukan ± 40 gua. Gua-gua ini masih alami dan belum mengalami perubahan oleh aktivitas manusia. Panoramanya sangat indah, ornamen stalaktit dan stalakmitnya sangat mengagumkan, sehingga dapat memberikan kesan khusus kepada para pengunjung ataupun para peneliti yang datang ke kawasan ini. Umumnya, gua di kawasan ini dapat dijangkau dengan mudah dengan panjang lorong rata-rata 1.000 meter, dengan kedalaman 30 meter. Gua yang ada pada eks TWA. Gua Pattunuang antara lain adalah : Gua Anggawati 2 (panjang lorong ± 1.000 m), Gua Restaurant (panjang lorong ± 1.400 m), Gua de Lapisaine (panjang lorong ± 300 m), Gua Pattunuang 1 dan 2 (panjang lorong masing-masing 500 m), Gua Sambueja 1 dan 2 (panjang lorong masing-masing 300 m dan 1.400 m), Gua Kado (panjang lorong ± 1.400 m), Gua Jaria (panjang lorong ± 900 m), Gua Auxmain (panjang lorong ± 600 m) dan lain-lain. Di wilayah eks CA. Karaenta juga ditemukan banyak gua. Di wilayah inilah terdapat gua terpanjang di antara gua yang ada di Kabupaten Maros. Gua yang paling banyak di kenal di wilayah tersebut adalah Gua Salukkang Kallang. Menurut hasil ekspedisi gua ini, panjang lorongnya mencapai 12.463 m. Pemandangan di dalam gua ini sangat menakjubkan, terdapat sangat banyak ornamen gua serta genangan air. Dalam air tersebut terdapat ikan dan udang yang tidak mempunyai mata. Selain gua ini juga dikenal Gua Tanette. Gua ini panjang lorongnya mencapai ± 9.700 meter dengan ketinggian dinding ± 25 meter. Menurut hasil penelitian, Gua Tanette merupakan satu kesatuan dengan Gua Salukkang Kallang.

Penyebutan

nama hanya disebabkan oleh tempat di mana pintu gua berada. Apabila kedua gua ini ditelusuri dari satu arah maka panjangnya lorongnya mencapai ± 22 Km dan diduga merupakan gua terpanjang di Indonesia. Gua lainnya adalah Gua Gunung Batu, (panjang lorong ± 400 m), Gua Artaga (panjang lorong ± 1.900 m), Gua Lubang Gula Merah (panjang lorong ± 3.900 m), Gua Saripa (panjang lorong ± 1.736 m), Gua Pangea (3 buah) masing-masing panjang lorongnya 300 m, 500 meter, dan 1.000 m, Gua Monyet (panjang lorong ± 112 m), Gua Batu Merah (panjang lorong ± 749 m), dan Gua Kabut (panjang lorong ± 1.095 m).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

34


Rencana Pengelolaan

Di areal karst Mallawa (eks CA. Bulusaraung) juga terdapat potensi alam yang berupa gua, namun relatif sedikit jumlahnya dibandingkan dengan areal yang telah dijelaskan sebelumnya. Gua yang ada di wilayah ini antara lain adalah Gua Lumpia (panjang lorong ± 50 m), Gua Babi (panjang lorong ± 100 m), Gua Meocunge (panjang lorong ± 100 m), Gua Salame (panjang lorong ± 150 m), Gua Karabice (panjang lorong ± 350 m), Gua Mellopungi (panjang lorong ± 200 m), dan Gua Pangui (panjang lorong ± 760 m). Selain gua-gua tersebut di atas yang berpotensi untuk wisata alam selusur gua, pada kawasan TN. Babul

dapat

pula

dilakukan

selusur gua untuk tujuan wisata budaya. Kawasan arkeologis atau situs tersebut adalah kawasan yang mengandung peninggalan hasil budaya manusia di masa lalu Flowstone

atau cagar budaya yang harus diamankan,

dilindungi

dan

dimanfaatkan. Pada dasarnya benda cagar budaya dan situs mempunyai fungsi sebagai bukti sejarah, sumber sejarah, obyek ilmu pengetahuan, cermin sejarah, media pembinaan nilai-nilai budaya, media pendidikan, media untuk memupuk kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan ketahanan nasional, serta obyek wisata budaya. Benda cagar budaya dan situs mempunyai hubungan dengan beberapa faktor kepentingan lain seperti riset ilmiah, seni yang kreatif, pendidikan, rekreasi dan turisme, representasi simbolis, pengesahan tindakan, integrasi dan kesetiakawanan sosial, keuntungan ekonomi dan moneter. Oleh karena itu benda cagar budaya dan situs perlu diupayakan perlindungan dan pelestariannya. Secara geologis, perbukitan karst yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di dominasi oleh sebaran batu gamping yang terbentuk di dasar laut sejak awal masa Eosen, kemudian secara evolusi endapan ini terangkat ke permukaan laut. Sifat batu gamping yang mudah tertembus air memungkinkan terjadinya rongga-rongga yang kemudian membentuk gua-gua payung tersebut. Setelah ribuan atau bahkan jutaan tahun berlalu, bersamaan pula dengan surutnya air laut, maka guagua tersebut merupakan tempat hunian yang ideal pada saat itu. Bukti-bukti temuan seperti alat-alat litik, sisa-sisa makanan, dan perhiasan dapat memperkuat tentang fungsi gua pada suatu masa tertentu (masa prasejarah).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

35


Rencana Pengelolaan

Ciri yang menarik dari gua-gua prasejarah yang ditemukan di wilayah Maros-Pangkep, adalah adanya lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua yang menggambarkan cap tangan, binatang, serta obyek–obyek lain yang merupakan lambang kegiatan religi masyarakat pada masa itu, seperti alat-alat

berburu,

pertanian,

mengumpulkan

makanan,

nelayan

dan

peternakan, yang kesemuanya terbuat dari batu atau tulang belulang. Kegiatan wisata lain yang dapat dilakukan pada kawasan TN. Babul adalah wisata atraksi satwa, terutama untuk jenis-jenis Kupu-kupu dan Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura). Hal menarik yang baru saja terungkap di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah ditemukannya jenis Tarsius spectrum. Jenis ini dapat dengan mudah diamati karena letak sarangnya yang cukup mudah dijangkau. Selama ini, Tarsius hanya banyak diketahui di wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Dalam beberapa ekplorasi antara tahun 2007 hingga 2008, jenis ini banyak didokumentasikan dengan menggunakan kamera. Pada bulan Maret tahun 2008, staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berhasil menemukan salah satu sarangnya.

g. Sarana dan Prasarana Sarana prasarana pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung hingga saat ini masih sangat terbatas. Untuk kebutuhan perlindungan dan pengamanan kawasan hanya tersedia sebuah pondok kerja berukuran 70 M2, serta tiga buah pos jaga berukuran 20 M2. Untuk keperluan wisata pada Blok Bantimurung, telah tersedia beberapa fasilitas wisata yang memadai untuk wisatawan lokal namun belum representatif untuk wisatawan manca negara. Seluruh fasilitas wisata yang telah tersedia pada Blok Bantimurung juga adalah investasi Pemerintah Kabupaten Maros dan dikelola secara langsung oleh pemerintah setempat bersama masyarakat sekitar. Pada Blok Pattunuang telah tersedia loket karcis, beberapa shelter dan MCK serta jalan trail namun belum dilengkapi dengan fasilitas wisata penunjangnya, terutama jalan untuk akses mencapai loket, tempat parkir serta pengenal kawasan atau biasanya berbentuk pintu gerbang. Pada kawasan Pattunuang juga tersedia fasilitas demplot penangkaran Kupukupu, namun kondisinya tidak lagi menarik karena kurangnya pemeliharaan sejak dibangun pada tahun 1998. Pada Blok Bantimurung, tersedia sebuah demplot penangkaran Kupu-kupu yang cukup diminati oleh berbagai

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

36


Rencana Pengelolaan

kalangan, baik untuk keperluan penelitian, pendidikan, serta untuk kegiatan wisata bagi kalangan tertentu. Untuk keperluan operasional pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, sampai saat ini hanya tersedia 2 unit kendaraan roda-4 dan 5 unit kendaraan roda-2, serta sebuah kantor berukuran 800 M2 yang belum dilengkapi dengan sarana meubelair yang memadai. Sampai saat ini, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yang masing-masing berkedudukan di Balocci Kabupaten Pangkep dan Camba Kabupaten Maros belum memiliki gedung kantor tersendiri.

h. Aksesibilitas Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dicapai dari beberapa sisi, yaitu dari sisi Selatan (Bantimurung) dan dari sisi Barat (Balocci). Sisi Selatan atau tepatnya obyek wisata Air Terjun Bantimurung berjarak Âą 42 Km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak ini dapat ditempuh selama Âą

60 menit. Untuk pengunjung yang

berasal dari luar provinsi atau pengunjung manca negara, kawasan Bantimurung berjarak Âą 21 Km dari Bandar Udara Internasional Hasanuddin atau dapat dicapai dalam waktu Âą 30 menit. Tersedia banyak fasilitas angkutan umum untuk dapat mencapai lokasi ini sepanjang hari.

2.

Kondisi Bioekologi a. Tipe Ekosistem Berdasarkan tipe ekosistem hutan yang ada (mengikuti Sastrapradja dkk dan Whitten et al), kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dibagi ke dalam tiga tipe ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan di atas batuan karst (forest over limestone/ hutan di atas batu gamping) atau lebih dikenal dengan nama ekosistem karst, ekosistem hutan dataran rendah, serta ekosistem hutan pegunungan bawah. Batas ketiga tipe ekosistem ini sangat jelas karena hamparan batuan karst yang berdinding terjal dengan puncak menaranya yang relatif datar, sangat berbeda dengan topografi dataran rendah yang mempunyai topografi datar sampai berbukit, serta kondisi ekosistem hutan pegunungan yang ditandai oleh bentuk relief yang terjal atau terkadang bergelombang. Pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, terdapat dua lokasi ekosistem karst yang saling terpisah, yaitu di wilayah Maros Pangkep pada bagian barat taman nasional, dan di ujung Utara, yakni di wilayah Mallawa. Para ahli geologi membedakan kedua kelompok karst ini,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

37


Rencana Pengelolaan

yakni yang pertama dikenal dengan kelompok Pangkajene dan yang kedua disebut kelompok pegunungan bagian Timur. Kedua lokasi ini merupakan wilayah penyebaran vegetasi bukit karst (vegetasi bukit kapur) dan lainnya merupakan areal penyebaran vegetasi hutan dataran rendah. Geomorfologi

karst

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

berbentuk karst menara (pada beberapa referensi disebut sebagai The Spectacular Tower Karst), yang merupakan satu-satunya di Indonesia dan berbeda dengan tempat-tempat lain yang pada umumnya berbentuk karst kerucut (conicall hill karst) atau peralihan antara karst menara dan kerucut. Seperti pada umumnya kawasan karst, ekosistem karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki sangat banyak gua dengan ornamen stalagtit dan stalagmit serta ornamen endokarst lainnya.

b. Flora dan Fauna Tingginya kandungan kalsium dan magnesium dari batuan kapur yang mendominasi

areal

karst

di

wilayah

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung, menyebabkan terbatasnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat hidup pada ekosistem tersebut. Achmad (2001) melakukan penelitian vegetasi pada empat tipe habitat, yakni daerah puncak, tebing, lereng dan lorong patahan di wilayah yang dulu merupakan areal Taman Wisata Alam Gua Pattunuang. Ia melaporkan adanya variasi jenis yang menyusun kelompok vegetasi pada ke empat tipe habitat tersebut. Bahkan ada jenis yang ditemukan sangat spesifik berdasarkan tempat tumbuhnya. Jenis flora yang terdapat di dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sangat beraneka ragam dan di antaranya terdapat jenis-jenis dominan seperti palem wanga (Piqafetta filaris dan Arenga sp.) yang tidak dijumpai lagi pada ketinggian di atas 1.000 m.dpl. Jenis kayu-kayuan antara lain terdiri dari Uru (Elmerillia sp.), Casuaria sp., Duabanga moluccana, Vatica sp., Pangium edule, termasuk dijumpai tegakan murni Eucalyptus deglupta. Pada hutan pegunungan bawah dijumpai Litsea sp., Agathis philippinensis, berbagai jenis bambu dan Ficus sumatrana. Hutan primer bukan pada batuan kapur ditemukan pada kompleks Pegunungan Bulusaraung, hutan pendidikan Bengo-Bengo dan formasi hutan di Kecamatan Camba dan Mallawa, serta sedikit di bagian Selatan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Berdasarkan hasil eksplorasi, diketahui bahwa pada hutan dataran rendah tersebut dihuni oleh jenis-jenis Vitex cofassus (bitti), Palaquium obtusifolium (nyatoh), Pterocarpus indicus (cendrana), Ficus spp. (beringin), Sterqulia foetida, Dracontomelon dao

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

38


Rencana Pengelolaan

(dao), Dracontomelon mangiferum, Arenga pinnata (aren), Colona sp., Dillenia serrata, Aleurites moluccana (Kemiri), Pterospermum celebicum (bayur),

Mangifera

spp.

Cananga

odoratum

(kenanga),

Duabanga

moluccana, Eugenia spp., Garcinia spp., Zizigium cuminii, Arthocarpus spp., Diospyros celebica (kayu hitam), Buchanania arborescens, Antocephalus cadamba, Myristica sp., Knema sp., dan Calophyllum inophyllum. Masih sangat banyak potensi fauna yang belum berhasil diidentifikasi dengan baik di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kegiatan eksplorasi, identifikasi dan inventarisasi masih perlu lebih sering dilakukan,

baik

oleh

pengelola,

peneliti

maupun

pihak-pihak

yang

berkepentingan lainnya. Jenis mamalia yang telah berhasil diidentifikasi di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung antara lain beberapa jenis kelelawar, Kera Hitam Sulawesi, Tarsius, Kuskus Beruang, Kuskus Sulawesi, Musang Sulawesi, Babi Hutan dan Rusa. Kelelawar adalah jenis penting yang karena kedudukannya dalam ekosistem, satwa ini digolongkan sebagai “Key stone species� (Primarck, 1993). Ia menjelaskan bahwa keluarga kelelawar terdiri dari hampir 200 jenis, dimana 25% diantaranya adalah genus Pteropus. Jenis-jenis dari genus ini mempunyai peranan yang penting, dan mungkin hanya mereka yang melakukan penyerbukan dan penyebaran biji dari kurang lebih 100 jenis tumbuhan di daerah tropis. Di samping itu, kelelawar membawa sisasisa makanan ke dalam gua yang sangat dibutuhkan oleh organisme penghuni gua lainnya. Kuskus merupakan satu-satunya komponen mamalia Irian-Australia yang sebarannya sampai ke kawasan Sulawesi (batas bagian Barat). Wirawan (1993) menginformasikan bahwa Kuskus yang berada di Karaenta adalah jenis endemik Sulawesi, yakni Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebencis) dan Kuskus Beruang (Ailurops ursinus). Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii) adalah satwa yang terdiri dari satu genera dengan satu species, dan merupakan satwa endemik Sulawesi. Wirawan (1993) melaporkan bahwa Mastura (1993) telah menemukan satwa ini di wilayah Karaenta. Panjang kepala dan badannya kira-kira 1 meter, dengan panjang ekor 0,6 meter. Bagian tubuh atas (punggung) berwarna coklat muda sampai coklat tua, bagian bawah putih dengan dada kemerah-merahan dan bercak-bercak coklat di sisi kiri dan kanan badannya. Strip coklat dan coklat muda melingkari ekor. Musang ini memakan mamalia kecil dan buah-buahan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

39


Rencana Pengelolaan

Tarsius adalah merupakan primata terkecil di dunia. Wirawan (1993) melaporkan bahwa ia pernah melihat Tarsius di wilayah Karaenta. Walaupun hanya melihat 1 ekor, namun berdasarkan suara-suaranya ia yakin jika populasinya lebih dari satu. Hal ini diperkuat oleh seorang pegawai PPA di Karaenta yang pernah mengantar ahli Tarsius ke lokasi di mana satwa ini berada. Ada 2 species Tarsius yang hidup di Sulawesi, namun belum ada informasi tentang jenis apa yang ada di wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada saat itu. Panjang kepala dan badan satwa ini berkisar

antara

sedangkan

8,5-16,0

ekornya

cm,

bervariasi

antara 13,5-27,0 cm. Kera mungil ini memiliki mata bulat yang besar, serta jari-jari yang panjang untuk berpegangan. pohon Tarsius spectrum

(serangga

Mereka

dan

hidup

mencari

dan

di

makan

binatang

kecil

lainnya) di malam hari. Dalam beberapa eksplorasi antara tahun 2007 hingga 2008, jenis ini banyak didokumentasikan dengan menggunakan kamera. Tim eksplorasi kawasan karst IPB untuk kelompok Mamalia yang dipimpin oleh A. Haris Mustari

pada

bulan

Agustus

2007

untuk

mendokumentasikan keberadaan Tarsius

pertama

di dalam

kali

berhasil

Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung. Cahyo Alkantana dalam sebuah seminar kegiatan speleologi yang di selenggarakan oleh HIKESPI bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada tanggal 16 Agustus 2007, menginformasikan bahwa menemukan Tarsius di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sangat mudah dan tidak sesulit di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah. Pada bulan Maret tahun 2008, beberapa orang staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berhasil menemukan salah satu sarangnya dan berhasil membuat dokumentasi yang menarik. Meskipun belum ada laporan tentang species tikus yang ada di wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, namun Whitten et al (1987) menginformasikan adanya sebaran tikus yang cukup luas di Sulawesi. Ada 18 jenis tikus endemik di Sulawesi, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa ada diantara jenis-jenis tersebut yang

juga hidup dalam wilayah Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung. Berbagai jenis burung dapat ditemukan di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Achmad (2000) pernah melaporkan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

40


Rencana Pengelolaan

jenis-jenis burung yang ada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Jenis-jenis yang ditemukan di kawasan ini antara lain Rangkong

Sulawesi

(Rhyticeros

cassidix),

Kangkareng

Sulawesi

(Penelopides exarhatus), Elang, Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Kurcica (Saxicola caprata), Raja Udang (Halcyon chloris), Punai (Treron sp.), Pelatuk (Dendrocarpus teiminkii), Srigunting (Dicrurus hottentotus), Walet (Collocalia spp.), Burung hantu (Otus manadensis), Burung pipit 3 jenis (Loncura molucca, Loncura malacca, dan Loncura vallida), Burung tekukur (Micropaga amboinensis), Capili (Turacaena manadensis), Kakaktua Putih Jambul Kuning

(Cacatua

sulphurea),

Kakaktua

Hijau

“Danga”

(Tanignatus

sumatranus), serta Ayam Hutan (Ghallus gallus). Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) “Phyton” HIMAKOVA Institut Pertanian Bogor melakukan survey keanekaragaman herpetofauna sebagai bagian

dari

program

Konservasi

Herpetofauna

di

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung. Survei ini dilakukan selama 2 bulan, yakni pada bulan Juli sampai Agustus 2007. Berdasarkan hasil survei ditemukan 37 jenis herpetofauna, yang terdiri dari 24 jenis reptil dan 13 jenis katak, termasuk 3 jenis yang belum teridentifikasi. Di antara jenis yang dijumpai, termasuk jenis-jenis endemik Sulawesi seperti Kodok Bufo celebensis dan Rana celebensis, serta reptil endemik seperti Ular Kepala Dua (Cylindrophis melanotus), Calamaria muelleri dan Cicak Hutan (Cyrtodactylus jellesmae). Kadal akuatik yang disebut Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis) dapat dijumpai berjemur di batu-batu besar sepanjang sungai di Pattunuang. Di Bontosiri (Pegunungan Bulusaraung), katak jenis Limnonectes modestus meletakkan telurnya di daun-daun pada tumbuhan bawah sepanjang sungai, dan terkadang terdapat jantan yang sedang menjaga telurnya. Jenis lain yang dapat dijumpai adalah kadal terbang (Draco sp.) yang sering diawetkan dan dijual sebagai souvenir. Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain adalah : Papilio blumei, P. polites, P.sataspes, Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad (1998) telah meneliti secara khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata Bantimurung selama satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupukupu Troides haliphron dan Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

41


Rencana Pengelolaan

Sampai dengan tahun 2008, pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung telah terdaftar sebanyak 356 species satwa liar. Daftar jenis satwa liar tersebut dihimpun dari berbagai sumber yang dapat dipercaya serta hasil dari kegiatan identifikasi jenis yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sendiri. Jenis-jenis satwa liar tersebut terdiri dari 6 species Mamalia, 73 species Aves, 7 species Amphibi, 19 species Reptilia, 224 species Insecta,

serta 27 species Collembola,

Pisces, Moluska dan lain sebagainya. Dari 356 species satwa liar yang telah terdaftar pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 30 species diantaranya adalah species satwa liar yang dilindungi undang-undang, 1 species diantaranya adalah species satwa liar yang termasuk dalam Appendix I CITES, 9 species diantaranya adalah species satwa liar yang termasuk dalam Appendix II CITES, dan 1 species diantaranya adalah species satwa liar yang termasuk dalam Appendix III CITES. Selain jenis-jenis satwa liar, terdapat juga 302 species tumbuhan alam telah terdaftar pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terdiri dari 2 family kelas Monocotyledonae dan 43 family kelas Dicotyledonae. Dari 302 species tumbuhan alam yang telah terdaftar pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 1 species diantaranya adalah species tumbuhan alam yang dilindungi undang-undang, 1 species diantaranya adalah species tumbuhan alam yang termasuk dalam Appendix II CITES, dan 1 species diantaranya adalah species tumbuhan alam yang termasuk dalam Appendix III CITES. Suatu hal yang cukup unik dari keberadaan tumbuhan alam tersebut adalah adanya 43 species/ sub species tumbuhan alam dari marga Ficus. Jenis-jenis Ficus ini adalah makanan utama bagi banyak jenis satwa liar termasuk pula yang paling umum Kera Hitam Sulawesi/ Dare (Macaca maura). Daftar kekayaan jenis flora dan fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 2. Daftar keanekaragaman hayati di dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung masih akan terus bertambah panjang seiring dengan semakin intensifnya pelaksanaan identifikasi, inventarisasi ataupun sensus di dalam kawasan. Daftar jenis keanekaragaman hayati tersebut, hingga saat ini masih sebatas menjadi daftar. Upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati di dalam kawasan masih dalam tahap pengumpulan dan pengolahan data, serta pemetaan sebaran habitatnya di dalam kawasan. Kajian lebih lanjut tentang bagaimana kondisi populasinya di dalam kawasan, daya dukung habitat terhadap kelangsungan populasi jenis tersebut, serta hal-hal

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

42


Rencana Pengelolaan

lain yang terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati belum dapat diupayakan hingga saat ini. Belum lagi upaya untuk pengamanan populasi yang ada saat ini, serta peluang pemanfaatan atraksi keanekaragaman hayati untuk ikut mendukung pengembangan pariwisata alam. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dikenal ke segala penjuru dunia dengan potensi Kupu-kupunya. Jenis-jenis tersebut malah dapat dikatakan sebagai Flag Species taman nasional ini yang sudah dikenal sejak Alfred Russel Wallace mempublikasikan jurnal perjalanannya yang berjudul “The Malay Archipelago” pada tahun 1890. Namun sayang, karena termashurnya potensi tersebut, eksploitasi Kupu-kupu dilakukan secara berlebihan dengan memanfaatkan ‘stock alam’. Sampai dengan tahun 2004, belum ada upaya untuk membudidayakan jenis-jenis Kupu-kupu, sedangkan pemanfaatannya semakin berkembang dan merajalela. Untuk itu, telah dilakukan

upaya

penangkaran

sebagai

demplot

percontohan

bagi

masyarakat sejak tahun 2005 dan terus beroperasi hingga saat ini. Sampai saat ini, sedikitnya ada empat species yang telah ditangkarkan pada demplot percontohan

tersebut.

Selain

untuk

keperluan

budidaya,

demplot

penangkaran tersebut juga berfungsi sebagai tempat pengamatan atraksi Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk masyarakat umum. Telur

Pre-Pupa

Ulat

Pupa

Kupu-kupu Dewasa

Siklus Metamorfosis Kupu-Kupu

C. Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sebagaimana

telah

diuraikan

sebelumnya,

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung berada di dalam tiga wilayah administrasi kabupaten. Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan 40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Secara keseluruhan di tiap kecamatan yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat populasi penduduk sebanyak 171.785 jiwa yang terdiri dari 83.286 jiwa pria dan 88.499 jiwa wanita. Kepadatan populasi penduduk rata-rata di seluruh wilayah 2 kecamatan sebanyak 97 jiwa/Km . Dari setiap kecamatan, kepadatan populasi

penduduk tertinggi berada di Kecamatan Minasa Te’ne Kabupaten Pangkep dan Kecamatan Simbang Kabupaten Maros, sedangkan kepadatan populasi penduduk

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

43


Rencana Pengelolaan

terendah berada di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone dan Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros. Kecamatan Minasa Te’ne Kabupaten Pangkep dihuni oleh banyak populasi manusia karena di wilayah ini terdapat pusat-pusat perindustrian dan perdagangan. Sebagian wilayah Kecamatan Minasa Ten’e juga sangat dekat dengan wilayah Ibukota Kabupaten Pangkep. Di kecamatan ini terdapat pusat pemukiman perusahaan pertambangan milik PT. Semen Tonasa yang berkapasitas cukup besar. Berbeda dengan Kecamatan Minasa Te’ne, Kecamatan Simbang Kabupaten Maros juga memiliki kepadatan populasi penduduk yang cukup tinggi karena di wilayah ini telah lama berkembang kegiatan-kegiatan pariwisata, kegiatan pertanian yang Tambang yang berada di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

intensif

serta

kegiatan-kegiatan

pelayanan jasa. Pada kecamatan ini juga terdapat markas sebuah batalyon infanteri milik TNI Angkatan Darat. Kantor

Balai

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung juga berada di

dalam

wilayah

administrasi

Kecamatan Simbang. Adapun kondisi kependudukan di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone dan Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros yang cukup rendah, diasumsikan karena bentuk topografi yang berbukit dan bergunung, fasilitas infrastruktur yang minim, serta tingkat aksesibilitasnya yang rendah. Kondisi kependudukan pada wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada akhir tahun 2006 diuraikan pada tabel 1. Tabel 1

No.

: Kondisi Kependudukan pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006 Kabupaten/ Kecamatan

Pria (Jiwa)

Penduduk Wanita Jumlah (Jiwa) (Jiwa)

Sex Ratio

Luas Wilayah 2 (Km )

Kepadatan 2 (Jiwa/Km )

A. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

MAROS Bantimurung Simbang Cendrana Camba Mallawa Tompobulu

13.640 10.667 6.576 6.858 5.687 7.121

14.333 11.251 7.570 7.263 6.043 6.572

27.973 21.918 14.146 14.121 11.730 13.693

95 95 87 94 94 108

173,70 105,31 180,97 145,36 235,92 287,66

161 208 78 97 50 48

B. 1. 2. 3.

PANGKEP Balocci Minasa Te'ne Tondong Tallasa

8.008 13.835 4.567

8.286 15.589 4.966

16.294 29.424 9.533

97 89 92

143,48 76,48 111,20

114 385 86

C. 1.

BONE Tellu Limpoe

6.327

6.626

12.953

95

318,10

41

83.286

88.499

171.785

94

1.778,18

97

Jumlah Sumber : BPS, 2007

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

44


Rencana Pengelolaan

Kondisi pendidikan masyarakat pada wilayah-wilayah di sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai dengan tahun 2006 dapat dianggap masih cukup rendah. Berdasarkan data kondisi pendidikan sebagaimana tabel 2 di bawah, prosentase jumlah pelajar dari total populasi penduduk hanya sebesar 19,07%. Sebagai bahan perbandingan, jumlah populasi masyarakat seluruh Kabupaten Maros yang berada dalam usia sekolah (dengan asumsi usia 5 hingga 19 tahun) sebanyak 102.836 jiwa atau Âą 34,56% dari total populasi 297.618 jiwa. Dengan menggunakan angka prosentase populasi penduduk seluruh Kabupaten Maros yang berada dalam usia sekolah, dibandingkan dengan prosentase jumlah pelajar dari total populasi penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang hanya sebanyak 19,07%, maka terdapat sekitar 55% atau lebih dari separuh penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di sekitar kawasan taman nasional. Kenyataan yang demikian ini dapat digunakan sebagai salah satu peringatan atau indikasi bahwa tekanan terhadap kawasan taman nasional masih akan tetap tinggi hingga dua atau tiga dekade yang akan datang. Populasi penduduk ini sebagian besar masih akan menggantungkan kebutuhan ekonominya dari bidangbidang pertanian (yang membutuhkan lahan), yang disebabkan oleh lemahnya daya saing untuk memperoleh jenis pekerjaan lain yang mempersyaratkan pendidikan.

Tabel 2

No.

: Kondisi Pendidikan Masyarakat pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006 Kabupaten/ Kecamatan

Populasi Penduduk (Jiwa)

Jumlah Pelajar (orang) TK

SD

SLTP

SLTA

Jumlah

Prosentase Pelajar dari Populasi

A. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

MAROS Bantimurung Simbang Cendrana Camba Mallawa Tompobulu

27.973 21.918 14.146 14.121 11.730 13.693

270 210 157 269 92 0

3666 2985 1860 1673 1577 1637

1.606 687 380 530 375 353

808 62 0 487 147 0

6.350 3.944 2.397 2.959 2.191 1.990

22,70 17,99 16,94 20,95 18,68 14,53

B. 1. 2. 3.

PANGKEP Balocci Minasa Te'ne Tondong Tallasa

16.294 29.424 9.533

162 186 191

2443 3610 1083

973 1.137 307

523 263 91

4.101 5.196 1.672

25,17 17,66 17,54

C. 1.

BONE Tellu Limpoe

12.953

20

1813

130

0

1.963

15,15

Jumlah

171.785

1.557

22.347

6.478

2.381

32.763

19,07

Sumber : BPS, 2007

Masyarakat Kabupaten Maros, Pangkep dan Bone yang bermukim di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada umumnya merupakan Etnis BugisMakassar yang menganut agama Islam. Kabupaten Maros dan Pangkep merupakan daerah peralihan antara wilayah etnis Bugis dengan wilayah etnis Makassar,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

45


Rencana Pengelolaan

sehingga masyarakat yang berada di wilayah tersebut umumnya mampu berbahasa Bugis dan Makassar. Pada beberapa kecamatan di Kabupaten Maros dan Pangkep, terdapat komunitas yang menggunakan bahasa Dentong dan bahasa Makassar berdialek Konjo. Sistem kepercayaan dan budaya masyarakat Maros, Pangkep dan Bone sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Bugis-Makassar dan Islam. Nilai-nilai budaya yang berlaku masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah tersebut. Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Pelajar di sekitar TN Babul 30.000

25.000

20.000

15.000

10.000

5.000

Jumlah penduduk

Pelajar TK

Pelajar SD

Pelajar SLTP

Ta lla sa

Li m po e Te ll u

Te 'n e

ng To nd o

Ba lo cc i

M in as a

To m po bu lu

M al la w a

C am ba

en dr an a C

Si m ba ng

Ba nt im ur

un g

-

Pelajar SLTA

Sebagai masyarakat agraris, dikenal berbagai kegiatan kebudayaan yang berkaitan dengan aktifitas pertanian, mulai dari persiapan lahan, penanaman dan panen. Semangat gotong royong dalam pembuatan atau perbaikan saluran air, jalan desa dan ritual budaya masih terpelihara dengan baik. Dalam penentuan waktu musim tanam dilakukan kegiatan Tudang Sipulung yang dihadiri oleh masyarakat dan aparat desa. Sedangkan kegiatan Mappadendang merupakan acara syukuran yang dilaksanakan setelah musim panen padi. Disamping itu, dikenal berbagai budaya lokal yang terkait dengan sistem kepemilikan (sanra, teseng, dan pewarisan) dan perkawinan yang berkaitan dengan budaya agraris. Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional selain bekerja sebagai petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Bisa saja dikatakan bahwa tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, karena pada umumnya masyarakat ini juga mempunyai mata pencaharian ganda. Aktifitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan taman nasional umumnya adalah pembuatan gula aren, mencari madu, menangkap kupu-kupu, memungut kemiri, dan mengambil kayu bahan bangunan, bahkan sebagian masyarakat berkebun atau berladang di dalam kawasan taman nasional

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

46


Rencana Pengelolaan

karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang status lahan (pada umumnya di wilayah-wilayah yang dulunya adalah hutan lindung dan produksi). Pemungutan hasil hutan ikutan seperti gula aren, kemiri dan

madu merupakan aktifitas yang

memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat. Penangkapan kupu-kupu juga merupakan sumber pendapatan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan wisata Bantimurung (Kecamatan Bantimurung dan Simbang).

D.

Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Telah Berkembang Pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan sekitarnya, terutama di wilayah Kabupaten Maros dan Pangkep karena kedekatannya dengan ibukota

Provinsi

Sulawesi

Selatan,

telah

berkembang

berbagai

kegiatan

pemanfaatan sumber daya alam terutama untuk keperluan di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, perkebunan, pertambangan, serta sektor perindustrian dan perdagangan. Di bidang pertanian, usaha persawahan dan pertanian lahan kering sangat berkembang dan masyarakat pada umumnya masih sangat menggantungkan hidupnya pada usaha ini. Areal persawahan di Kabupaten Maros dan Pangkep merupakan areal sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menghasilkan dua kali panen dalam satu tahun. Di Kecamatan Bantimurung sendiri, pada tahun 2006 mampu memproduksi Gabah sebanyak 41.606,36 Ton, Jagung sebanyak 1.714,50 Ton, Ubi Jalar sebanyak 768,54 Ton, Ubi Kayu sebanyak 717,70 Ton, Kacang Tanah sebanyak 81,87 Ton, Kacang Kedelai sebanyak 852,69 Ton serta Kacang Hijau sebanyak 169,33 Ton (BPS, 2007). Dari aspek pertambangan, cadangan tereka endapan batuan karbonat di Indonesia yang jumlahnya mencapai 39 trilyun ton merupakan aset negara yang sangat menggiurkan bagi sektor pertambangan (Surono dkk, 1999 dalam Samodra, 2001). Batuan sebanyak itu memang tidak semuanya berupa batu gamping. Sebagian merupakan batuan sedimen gampingan (yang bercampur dengan material lain (pasir, lempung, tuf) serta dolomit. Dari seluruh singkapan batugamping yang ada di Indonesia, sekitar 70% mempunyai bentang alam karst (Samodra, 2001). Sebagai bahan galian, batu gamping di kawasan karst Maros-Pangkep mempunyai aneka manfaat. Masyarakat sekitar memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya sebagai bahan bangunan, terutama untuk keperluan pembuatan fondasi rumah, jalan, jembatan dan isian bendungan, serta bahan pembuatan kapur yang digunakan dalam konstruksi. Secara ekonomis, pemanfaatan seperti ini kurang menguntungkan namun masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah kebawah yang ada di sekitar kawasan karst Maros-Pangkep tidak punya pilihan lain. Model

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

47


Rencana Pengelolaan

pemanfaatan yang demikian ini terkadang juga menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, karena sedikit banyaknya akan menjadi ancaman di masa yang akan datang. Batu

gamping

yang

merupakan

bahan

baku

utama

industri

semen

dimanfaatkan oleh dua industri besar di kawasan Maros-Pangkep, yaitu PT. Semen Tonasa dan PT. Semen Bosowa. Areal kontrak karya kedua perusahaan ini berada di luar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Untuk menghasilkan semen dibutuhkan batu gamping, lempung dan pasir kuarsa yang kesemuanya itu tersedia di kawasan karst Maros-Pangkep. Batu Pualam atau di masyarakat awam lebih populer dengan sebutan marmer banyak tersedia di kawasan karst Maros-Pangkep. Menurut Samodra (2001) di dunia pertambangan, marmer mempunyai dua arti. Pertama sebagai hasil pemalihan batuan karbonat oleh suhu yang tinggi dan yang kedua adalah sebagai nama dagang untuk setiap batu gamping yang telah digosok menjadi mengkilap. Di kawasan karst Maros-Pangkep terdapat banyak perusahaan pertambangan yang mengusahakan batu gamping sebagai bahan pembuatan marmer. Usaha seperti ini banyak dilirik oleh kalangan investor karena keuntungan ekonomi yang menjanjikan. Dari segi pariwisata, kawasan karst Maros-Pangkep yang merupakan satusatunya karst menara di Indonesia menawarkan berbagai keindahan dan keunikan yang mempunyai nilai jual tinggi. Tidak hanya eksokarst yang menampilkan panorama alam yang indah dan unik, endokarst dengan berbagai ornamen spleleothem juga merupakan pesona alam yang indah di dalam perut bumi. Kawasan karst Maros-Pangkep, terutama yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sejak lama telah menjadi idola bagi para petualang. Kegiatan panjat tebing, penelusuran gua, hiking dan berbagai macam kegiatan kepecintaan alam telah banyak dilakukan. Selain gua-gua yang masih alami, terdapat pula sedikitnya 89 gua di kawasan karst Maros-Pangkep yang merupakan situs kepurbakalaan. Gua-gua ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Di kawasan Bantimurung terdapat air terjun yang sudah sangat di kenal kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Obyek wisata ini merupakan idola masyarakat Sulawesi Selatan karena tingkat aksesibilitasnya yang tinggi. Pada tahun 2007, tercatat 569.103 orang pengunjung yang terdiri dari 2.152 orang wisatawan mancanegara dan 566.951 orang wisatawan domestik. Obyek wisata ini di tahun 2007 mampu menghasilkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Maros sebesar Rp. 2.460.168.800,- hanya dari karcis pengunjung (belum termasuk jasa penggunaan lahan parkir, jasa penggunaan fasilitas penunjang dan lain sebagainya). Obyek wisata Bantimurung hingga tahun 2008 masih dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Maros yang sejak era 1970-an sudah dibuka untuk wisata. Setelah perubahan fungsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

48


Rencana Pengelolaan

kawasan menjadi taman nasional, kawasan ini diupayakan untuk dapat dikelola bersama karena sarana pendukung kegiatan wisata di kawasan ini adalah merupakan aset Pemerintah Maros, termasuk pula lahan di sekitar kawasan, sedangkan obyek wisata air terjun dan gua-gua sendiri berada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Upaya untuk pengelolaan secara kolaboratif ini telah dirintis sejak tahun 2007 dan pada tahun 2008 sudah tercapai kesepahaman tentang pengelolaan obyek wisata

ini

Kabupaten

antara Maros

pihak dan

Pemerintah

Balai

Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung (hingga Maret 2008, kesepahaman tersebut belum Towakala, Bantimurung

dapat

direalisasikan

karena

belum

mendapat persetujuan dari Bupati Maros).

E.

Kelembagaan Masyarakat Masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan masyarakat yang tergolong sudah dipengaruhi oleh modernisasi karena letaknya yang tidak jauh dari ibukota provinsi. Selain letaknya secara geografis, infrastruktur yang umumnya tersedia di wilayah perkotaan juga telah banyak tersedia di desa-desa sekitar kawasan. Sarana komunikasi telepon (termasuk juga telepon seluler) sudah menjangkau hampir seluruh bagian kawasan. Fasilitas listrik (baik yang disediakan oleh PLN maupun swadaya masyarakat) juga telah menjangkau pelosok pedesaan. Walaupun demikian, kebersahajaan hidup masyarakat pedesaan masih dapat dilihat di wilayah-wilayah tertentu, terutama di wilayah yang tingkat aksesibilitasnya masih rendah. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah tersebut pada umumnya berupa LKMD, kelompok tani dan koperasi. Pada daerah penyangga kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, di tahun 2006 dan 2007 telah dibentuk dua sentra penyuluhan kehutanan pedesaan (SPKP), yaitu di Desa Samangki Kecamatan Simbang dan Desa Pattanyamang Kecamatan Camba. Kedua desa tersebut juga merupakan model desa konservasi yang dicanangkan sejak tahun 2006.

F.

Permasalahan Kawasan Berbagai permasalahan masih menyelimuti upaya-upaya pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Permasalahan-permasalahan tersebut pada dasarnya merupakan dampak dari upaya pembangunan ekonomi yang belum

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

49


Rencana Pengelolaan

berpihak kepada upaya konservasi, dampak dari populasi dan semakin tingginya kebutuhan manusia akan sumber daya alam hayati, lemahnya koordinasi di kalangan pemerintah serta masih lemahnya kelembagaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Beberapa

permasalahan

yang

dihadapi

oleh

Balai

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut : 1. Kawasan-kawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum clear and clean. Masih terdapat tumpang tindih penggunaan atau kepemilikan lahan di dalam kawasan. Berdasarkan penafsiran citra satelit SPOT 4 hasil akuisisi tahun 2006, pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat setidaknya 1.195 Ha lahan kawasan yang bermasalah (2,73% dari total luas kawasan). Lahanlahan tersebut antara lain telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, areal persawahan, lahan pertanian dan perkebunan serta areal yang ditumbuhi semak belukar. Pada tahun 2007, telah diupayakan pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat dan aparat pemerintah daerah untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Awalnya, masyarakat dan pemerintah daerah pada umumnya menginginkan enclave di dalam kawasan, namun kemudian telah bersedia untuk menjadikannya zona khusus di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2. Penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum temu gelang. Sampai dengan tahun 2008, realisasi tata batas sudah mencapai 432,52 Km (90,44%) dari total panjang batas luar 478,22 Km. Penataan batas direncanakan akan dirampungkan hingga temu gelang pada tahun 2009. Karena belum terselesaikannya penataan batas maka penetapan kawasan juga belum dapat dilakukan. Dengan demikian, status hukum kawasan belum bersifat final dan pada umumnya kalangan awam belum paham tentang proses pengukuhan kawasan hutan (termasuk pula sebagian aparat pemerintah). Sebagian aparat pemerintah menganggap bahwa dengan belum adanya penetapan kawasan maka perubahan fungsi -atau bahkan pelepasan kawasan- masih dapat dilakukan. 3. Masih terkait dengan batas, hasil tata batas sebagian kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang dilaksanakan antara tahun 1975 sampai dengan tahun 2001, telah mengalami banyak perubahan. Pada tahun 2007 dilaksanakan rekonstruksi batas kawasan dan banyak ditemukan tumpang tindih penggunaan lahan di sekitar batas kawasan. Terkait dengan batas-batas kawasan di lapangan, sementara waktu ini sedang dilakukan identifikasi lahan-lahan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

50


Rencana Pengelolaan

bermasalah di sekitar batas untuk kemudian akan diupayakan untuk review/ reposisi batas apabila memungkinkan. 4. Di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat tanaman Kemiri (Aleurites moluccana) yang bagi masyarakat setempat merupakan komoditas penunjang usaha ekonominya. Selain itu terdapat pula tanaman Jati (Tectona grandis). Tanaman ini pada umumnya berada di dalam kawasan yang sebelumnya berfungsi lindung dan produksi. Masyarakat di sekitar kawasan mengakui tanaman kemiri dan jati tersebut sebagai milik mereka walaupun diakui berada di dalam kawasan hutan. Karena klaim kepemilikan tersebut, kelompokkelompok masyarakat ini menuntut untuk dapat memanfaatkan hasilnya. 5. Data dan informasi potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung masih minim. Untuk itu, sampai dengan tahun 2008 telah diupayakan untuk terus menghimpun data dan informasi yang ada serta terus diupayakan untuk melaksanakan eksplorasi secara langsung di lapangan. 6. Terkait dengan data dan informasi potensi kawasan yang masih terbatas, maka perancangan zonasi pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

juga

belum

dapat

diselesaikan.

Untuk

sementara

waktu,

pelaksanaan pengelolaan kawasan didasarkan pada fungsi kawasan hutan sebelum penunjukan sebagai kawasan taman nasional. Dengan demikian maka pelaksanaan pemanfaatan untuk keperluan wisata alam tetap dilakukan pada wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan taman wisata alam. 7. Bentang alam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang sebagian besar adalah kawasan karst menyebabkan sulitnya aksesibilitas ke dalam kawasan untuk berbagai keperluan, terutama untuk identifikasi dan inventarisasi potensi serta kondisi aktual kawasan. Penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk keperluan ini telah dilakukan namun belum dapat memberikan gambaran yang detail tentang kondisi aktual kawasan. Untuk keperluan ini dibutuhkan penggunaan citra satelit resolusi tinggi pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Citra Satelit Quickbird, Ikonos atau SPOT 5). 8. Fenomena alam di bawah permukaan karst (endokarst) sangat khas dan unik namun belum semua dapat diekplorasi karena keterbatasan sumberdaya. 9. Pemanfaatan Kupu-kupu dari habitat alaminya masih terus terjadi di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung karena harga jualnya yang cukup menjanjikan serta masih tingginya permintaan pasar. Untuk mengatasi permasalahan ini, telah diupayakan untuk mensosialisasikan upaya-upaya

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

51


Rencana Pengelolaan

penangkaran jenis Kupu-Kupu, termasuk salah satunya dengan pengembangan demplot penangkaran Kupu-kupu di kawasan Bantimurung. 10. Pengelolaan secara kolaboratif Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum sepenuhnya berjalan dengan baik. 11. Pengelolaan kawasan wisata Bantimurung masih dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Maros. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, serta Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Atas permasalahan ini, telah diupayakan komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan pihak pemerintah kabupaten. Upaya ini belum berhasil dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai dengan akhir tahun 2007. Pada tahun 2008 terus diupayakan koordinasi dengan pihak Pemerintah Kabupaten Maros dan untuk sementara waktu telah tercapai kesepahaman untuk melakukan pengelolaan secara kolaboratif pada obyek wisata Bantimurung antara pihak Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan pihak Pemerintah Kabupaten Maros. Kesepahaman ini belum dapat ditindaklanjuti karena belum adanya persetujuan dari

Bupati

Maros

dan

sementara

waktu

sedang

diupayakan

untuk

mengkoordinasikan hal ini secara langsung kepada Bupati Maros. 12. Kelembagaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum mapan. SDM yang ada masih sangat terbatas, sarana dan prasarana pengelolaan juga demikian adanya. Selain itu, struktur organisasi yang ada belum mampu mendukung kebutuhan pengelolaan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

52


III Kebijakan A. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya antara lain ditempuh melalui penetapan wilayah-wilayah tertentu, baik di daratan dan/atau perairan, sebagai kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) yang merupakan perwakilan habitat keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, kawasan untuk pemeliharaan keutuhan sumber plasma nutfah, serta sebagai kawasan untuk tujuan pemeliharaan keseimbangan ekosistem, keunikan dan keindahan alam, sehingga dapat terus mendukung pembangunan dan menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan hidup. Kebijakan penetapan dan pengelolaan KSA dan KPA ditujukan terutama untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya agar dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu, berfungsinya suatu KSA dan KPA sesuai dengan tujuan penetapannya merupakan suatu indikator keberhasilan pengelolaan kawasan tersebut. Upaya pencapaian tujuan pembangunan KSA dan KPA sesuai fungsinya selalu dikaitkan dengan embanan utama upaya konservasi, yaitu : 1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan Merupakan upaya untuk menjaga dan memelihara berbagai proses ekologis esensial guna kelangsungan kehidupan bagi kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, melalui usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan


Rencana Pengelolaan

jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam dan lain-lain. 2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan non-hayati (baik fisik maupun non-fisik). Semua unsur ini sangat berkaitan dan saling mempengaruhi. Hilang atau punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan

unsur

lain.

Usaha

dan

tindakan

konservasi

untuk

menjamin

keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ) atau di luar kawasan (konservasi ex-situ). Upaya pencegahan dari

kepunahan,

keanekaragaman

menjaga serta

dan

memelihara

memelihara

kemurnian

keseimbangan

genetik

ekosistem,

dan

secara

keseluruhan ditujukan untuk kesejahteraan dan kehidupan manusia secara berkelanjutan. 3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pemanfaatan kawasan konservasi, khususnya jenis pemanfaatan yang dikategorikan dapat menunjang budidaya, dimungkinkan untuk dapat dilaksanakan di dalam kawasan konservasi dengan embanan konservasi sebagai arahan pelaksanaannya. Sepanjang suatu kegiatan masih berada dalam kisaran bobot embanan konservasi, kegiatan tersebut dapat dilaksanakan, namun tentunya dengan tetap memperhatikan segi positif dan negatifnya.

Pembangunan KSA dan KPA merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional yang dalam pelaksanaannya tidak dapat mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar dan/atau di dalam KSA dan KPA. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan pada KSA dan KPA hendaknya selalu terintegrasi dan terkoordinasi dengan pembangunan sektor lainnya. Keterlibatan mitra atau stakeholders terutama masyarakat sekitar dan/atau di dalam kawasan harus dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan KSA dan KPA dan selalu diupayakan pembinaannya agar dapat berperan aktif di dalam setiap upaya konservasi disamping upaya-upaya peningkatan kesejahteraan perekonomian sekitar kawasan dimaksud.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

54


Rencana Pengelolaan

Secara umum, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi ditetapkan untuk : (1) mengupayakan terwujudnya tujuan dan embanan upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; (2) meningkatkan pendayagunaan potensi hayati kawasan konservasi untuk kegiatan yang menunjang budidaya; (3) memberdayakan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; (4) peningkatan integrasi dan koordinasi; serta (5) mengupayakan pelaksanaan evaluasi fungsi kawasan. Untuk mengupayakan perwujudan kebijakan tersebut, ditetapkan strategi : 1. Eksternal a. Peningkatan Peran Serta Stakeholders Sesuai kebijakan pembangunan KSA dan KPA yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat luas, maka partisipasi masyarakat sekitar dan/atau di dalam KSA dan KPA, Pemda setempat, para pelaku ekonomi (BUMN, koperasi, swasta, dan perorangan) perlu terus dikembangkan.

b. Integrasi dan Koordinasi Pembangunan konservasi dan wilayah yang terintegrasi dengan baik dapat menjadi potensi dan kekuatan pembangunan nasional. Koordinasi pembangunan di tingkat regional berada pada BAPPEDA Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

c.

Dukungan dan Perhatian Internasional Konsekuensi logis dari ratifikasi konvensi keanekaragaman hayati adalah Indonesia mendapat dukungan dan perhatian internasional terutama terkait dalam pendanaan, bantuan tenaga ahli, pelatihan dan pendidikan, maupun dukungan terhadap penyelesaian kasus-kasus kawasan.

2. Internal a. Peningkatan Daya Guna KSA dan KPA Daya guna KSA dan KPA dapat ditingkatkan melalui optimasi beberapa kegiatan, yaitu : peningkatan kegiatan inventarisasi dan kajian potensi kawasan; peningkatan kualitas dan kuantitas pengelola; penciptaan iklim swadana dalam menunjang kegiatan pengelolaan dan peningkatan manfaat

kawasan;

penegakan

peraturan

perundang-undangan

dan

penyiapan perangkat lunak yang mendukung berhasilnya tujuan penetapan kawasan; serta pemantapan sarana dan prasarana pengelolaan.

b. Penelitian dan Pendidikan Konservasi Kegiatan penelitian pada KSA dan KPA dititikberatkan pada pengkajian

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

55


Rencana Pengelolaan

potensi hayatinya yang hasil-hasilnya digunakan untuk perencanaan pengelolaan kawasan. Kegiatan penelitian dan pendidikan konservasi diharapkan akan meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap upaya konservasi.

c.

Pengkajian Fungsi Kawasan Terhadap KSA dan KPA yang diperkirakan telah mengalami pergeseran pemanfaatan dan fungsi serta tujuan penetapannya, harus dilakukan pengkajian untuk menetapkan penanganan pengelolaannya.

Secara umum, arahan pengelolaan kawasan konservasi ditetapkan sebagai berikut : 1. Perencanaan Perencanaan yang merupakan tahap awal dari suatu kegiatan dapat dijadikan piranti analisis yang strategis dalam pengambilan keputusan dan sekaligus dapat pula dijadikan indikator keberhasilan pencapaian kegiatan. Jenis rencana, cakupan wilayah perencanaan, dan mekanisme penyusunan, penilaian, dan pengesahannya, merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebaikbaiknya. a. Jenis Rencana Dalam pengelolaan kawasan konservasi diperlukan adanya beberapa rencana,

yaitu

rencana

pengelolaan

dan

rencana

teknis. Rencana

pengelolaan kawasan konservasi sendiri terdiri dari rencana pengelolaan jangka

panjang,

jangka

menengah

dan

jangka

pendek.

Rencana

pengelolaan jangka panjang merupakan rencana yang bersifat indikatif perspektif dan kualitatif-kuantitatif untuk jangka waktu dua puluh tahun. Rencana pengelolaan jangka menengah merupakan rencana yang memuat semua kegiatan yang akan dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun. Rencana pengelolaan jangka pendek merupakan rencana yang memuat semua kegiatan yang harus dilaksanakan dalam tahun yang bersangkutan. Rencana teknis merupakan penjabaran dari salah satu atau beberapa kegiatan teknis yang telah termuat dalam rencana pengelolaan. Berbeda dengan rencana pengelolaan, rencana-rencana teknis memuat detail pelaksanaan suatu kegiatan, yang antara lain berisi latar belakang pelaksanaan kegiatan, maksud dan tujuan kegiatan, metode pelaksanaan kegiatan,

serta

kebutuhan

waktu

dan

segala

sumber

daya

untuk

pelaksanaannya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

56


Rencana Pengelolaan

b. Cakupan Wilayah Perencanaan Pada dasarnya, setiap unit kawasan konservasi perlu dilengkapi dengan rencana pengelolaan, baik jangka panjang, menengah, ataupun tahunan. Namun demikian berdasarkan luas dan intensitas pengelolaannya, rencana pengelolan beberapa lokasi kawasan konservasi yang letaknya berdekatan dan dalam satu unit pengelolaan dapat disajikan dalam satu rencana pengelolaan.

2. Pengorganisasian Implementasi pengelolaan kawasan yang ideal dimulai sejak suatu areal ditunjuk sebagai kawasan konservasi yang kemudian disusul dengan kegiatan penyusunan rencana pengelolaan, penyelesaian pengukuhan dan penataan, dan pelaksanaan pengelolaan dan pengembangannya. Namun demikian, sesuai kondisi kawasan konservasi yang ada saat ini, yang mempunyai variasi potensi dan intensitas pengelolaan masing-masing, implementasi penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan dan pengembangannya dapat dilakukan secara simultan dengan memperhatikan kondisi tersebut. Organisasi pengelola cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Taman nasional pada prinsipnya dikelola oleh unit pelaksana teknis taman nasional, dan bagi taman nasional yang belum dikelola oleh unit pelaksana teknis taman nasional dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Kawasan taman hutan raya dan hutan lindung, pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan a. Tahapan Pengelolaan (1) Tahap Pembangunan Prakondisi ƒ

Pemantapan status hukum kawasan, yang merupakan proses penyelesaian pengukuhan kawasan sampai dengan penetapan kawasan sebagai kawasan hutan tetap dan bersifal final.

ƒ

Penataan kawasan, yang mencakup inventarisasi dan identifikasi kondisi kawasan yang dilanjutkan dengan penetapan zona atau blok pengelolaan. Hasil-hasil identifikasi, inventarisasi dan eksplorasi potensi kawasan dijadikan bahan rujukan untuk kegiatan penataan kawasan yang sebelumnya melalui proses pengkajian aspek ekologi,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

57


Rencana Pengelolaan

ekonomi dan sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. ƒ

Pembangunan sarana dan prasarana dasar yang diperlukan dalam tahap awal pelaksanaan pengelolaan, yang terdiri dari sarana dan prasarana

kelembagaan

pengelola,

sarana

dan

prasarana

perlindungan dan pengamanan kawasan, sarana dan prasarana penelitian dan pendidikan, serta wisata alam.

(2) Tahap Pengembangan Pengelolaan Kawasan Pengembangan pengelolaan kawasan mencakup : pengelolaan potensi kawasan; perlindungan dan pengamanan kawasan; pengelolaan pemanfaatan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, wisata alam, dan kegiatan yang menunjang budidaya; serta pemantapan koordinasi dan integrasi.

b. Arahan Pengelolaan Pengelolaan kawasan konservasi, sesuai dengan ragam situasi dan kondisinya, dapat dilakukan secara simultan dengan arahan-arahan sebagai berikut : (1) Pemantapan Kawasan Untuk terselenggaranya pengelolaan kawasan yang mantap, seluruh kawasan konservasi harus memiliki status legal formal yang kuat, yaitu status penetapan. Berangkat dan kondisi saat ini, secara bertahap kawasan konservasi yang ada harus segera diselesaikan proses pengukuhannya, dimulai dari proses penunjukan, penataan batas sampai temu gelang, penerbitan berita acara tata batas, dan penyelesaian penetapannya. Tanda atau pal batas yang sudah ada perlu dipelihara dan direkonstruksi bila tanda-tanda tersebut hilang atau rusak. Berdasarkan pada pentingnya fungsi dan tujuan pengelolaan kawasan, penetapan zona atau blok bukan hanya dapat dilakukan di kawasan pelestarian alam melainkan dapat pula dilakukan di kawasan suaka alam. Penetapan zona

atau blok pengelolaan

harus

selalu

didasarkan pada aspek potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sosial, ekonomi, dan

budaya

masyarakat,

pembangunan wilayah.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

dan

rencana Pal batas Taman Nasional

58


Rencana Pengelolaan

(2) Penyusunan Rencana Pengelolaan Sesuai

dengan

amanat

pembangunan

nasional

bahwa

pembangunan kawasan konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan sektor-sektor lain, maka penyusunan rencana pengelolaan diupayakan dapat mengakomodir berbagai peluang pembangunan. Dengan demikian, dalam persiapan dan penyusunan rencana

pengelolaan,

upaya

pelibatan

peran

serta

masyarakat

merupakan prasyarat untuk efektif dan efisiennya rencana pengelolaan yang disusun.

(3) Pembangunan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana pengelolaan merupakan kebutuhan dasar untuk terselenggaranya kegiatan pengelolaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Di setiap kawasan konservasi, khususnya suaka alam dan hutan lindung, yang sampai saat ini banyak yang belum terjamah oleh kegiatan pengelolaan, diperkenankan dibangun berbagai bentuk sarana dan prasarana pengelolaan sepanjang untuk kepentingan pencapaian tujuan penetapannya. Dalam pelaksanaannya, pembangunan fasilitas tersebut dapat dikerjasamakan dengan mitra kerja atau pihak-pihak lainnya. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan pelestarian alam dan taman buru, terutama sarana dan prasarana wisata alam, harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya

masyarakat,

serta

memperhatikan

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku.

(4) Pengelolaan Potensi Kawasan Pengelolaan potensi kawasan, yaitu tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya

diarahkan

pada

upaya

untuk

mempertahankan

keberadaan dan pemanfaatannya melalui : ƒ

Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan serta penanganan hasil-hasilnya melalui sistem managemen database;

ƒ

Pengembangan sistem pemantauan, evaluasi perkembangan, dan pelaporan data;

ƒ

Untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan habitat tumbuhan, satwa, atau ekosistem, di setiap kawasan konservasi pada prinsipnya dapat dilakukan pembinaan habitat

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

yang

dalam

59


Rencana Pengelolaan

pelaksanaannya

harus

tetap

memperhatikan

prinsip-prinsip

konservasi; ƒ

Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa agar tetap berada dalam keadaan seimbang dan dinamis, di setiap kawasan konservasi pada prinsipnya dapat dilakukan pembinaan populasi yang dalam pelaksanaannya harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi;

ƒ

Plasma nutfah, baik tumbuhan maupun satwa, yang ada di dalam kawasan konservasi dapat digunakan sebagai sumber genetik untuk kegiatan pemuliaan, penangkaran, dan budidaya di luar kawasan konservasi;

ƒ

Di dalam kawasan konservasi diperkenankan adanya kegiatan penangkaran dan pembinaan jenis sepanjang menggunakan jenis asli dari kawasan yang bersangkutan, tidak mengurangi dan merusak ekosistem kawasan, dan untuk tujuan penelitian;

ƒ

Hasil hutan ikutan dan non-kayu di dalam kawasan hutan lindung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya dengan pengaturan tertentu;

ƒ

Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan di setiap kawasan konservasi dengan tetap memperhatikan segi teknis dan ilmiah. Rehabilitasi dilakukan atas dasar adanya kebutuhan untuk memperbaiki kondisi kawasan yang rusak atau menurun potensinya. Penggunaan jenis asli merupakan syarat utama penyelenggaraan rehabilitasi di dalam cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, dan taman wisata alam.

Rehabilitasi

di

taman

buru

diarahkan

pada

kegiatan

pembinaan habitat dan populasi satwa buru, sedangkan rehabilitasi di hutan lindung ditujukan pada pembinaan atau peningkatan fungsi hidrologisnya.

(5) Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Perlindungan dan pengamanan kawasan pada dasarnya adalah upaya melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia, baik yang berada di sekitar maupun yang jauh dari kawasan namun mempunyai akses yang tinggi terhadap kawasan tersebut, atau bentuk gangguan lainnya, seperti kebakaran, gangguan ternak, hama, dan penyakit. Oleh karena itu, kegiatan perlindungan dan pengamanan perlu diarahkan pada : perlindungan dan pengamanan fisik kawasan; identifikasi daerah-daerah rawan gangguan; sosialisasi batas kawasan;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

60


Rencana Pengelolaan

pengembangan pengumuman

kemitraan dan

dengan

masyarakat;

pemasangan

tanda-tanda

larangan; penegakan hukum secara represif;

pencegahan

kebakaran;

serta pemusnahan hama dan penyakit serta jenis-jenis penggangu lainnya. Pemusnahan barang bukti

(6) Kegiatan Penelitian dan Pendidikan

Sesuai dengan fungsi kawasan konservasi, yang salah satunya adalah mengakomodasi kegiatan penelitian dan pendidikan, bentuk dan materi penelitian dan pendidikan perlu diarahkan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bentuk penelitian terapan, misalnya penelitian tentang teknologi konservasi

sumber

daya

alam, atau penelitian murni, misalnya penelitian tentang tingkah laku satwa, dapat dilaksanakan

di

dalam

kawasan konservasi. Untuk efektifitas pengelolaan

dan

efisiensi,

penelitian

dan Kegiatan penelitian Biota Gua

pendidikan diarahkan pada kegiatan, sebagai berikut : ƒ

Identifikasi objek dan jenis tumbuhan, satwa, ekosistem, dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat;

ƒ

Penyusunan

skala

prioritas

pelaksanaan

penelitian

yang

disesuaikan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan konservasi; ƒ

Pengembangan bentuk kerjasama dengan masyarakat; serta

ƒ

Pengembangan sistem promosi rencana penelitian dan hasil penelitian kepada masyarakat luas.

(7) Pengelolaan Wisata Alam Kegiatan wisata alam di dalam kawasan konservasi diarahkan pada upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam. Dengan demikian, kegiatan wisata alam dalam kawasan konservasi diarahkan pada beberapa kegiatan berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

61


Rencana Pengelolaan

Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata alam di dalam kawasan konservasi;

Inventarisasi, identifikasi, dan analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan;

Pengembangan obyek wisata alam tetap memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan;

Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya pemanfaatan kawasan konservasi, khususnya kawasan pelestarian alam

dan

taman buru,

diarahkan pada upaya

peningkatan

penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan.

(8) Pengembangan Koordinasi dan Integrasi Koordinasi dan integrasi memegang peranan penting dalam upaya memperkenalkan berbagai bentuk pembangunan kawasan konservasi kepada rnasyarakat luas. Oleh karena itu, integrasi dan koordinasi lintas sektor perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :

Integrasi

dan

koordinasi

lintas

sektor

harus

dimulai

sejak

penyusunan rencana pengelolaan kawasan sampai pada tahap pengembangannya;

Pengembangan sistem promosi tepat guna, baik melalui jalur resmi, misalnya pendidikan, maupun jalur informal, misalnya melalui brosur, leaflet, dan fasilitas elektronik, dilakukan bersama-sama organisasi pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam maupun luar negeri, serta masyarakat;

Pembinaan

daerah

penyangga

dititikberatkan

pada

upaya

peningkatan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan kawasan konservasi yang sedemikian rupa sehingga kehadiran kawasan konservasi dapat dirasakan manfaatnya.

4. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap seluruh tahap pengelolaan kawasan, yaitu sejak kegiatan perencanaan sampai pada tahap pengembangan potensinya yang diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

62


Rencana Pengelolaan

a. Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dilakukan oleh unit kerja pengelola, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Taman Nasional, dan Dinas Kehutanan; b. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi, unit kerja tersebut dapat bekerjasama dengan masyarakat, perguruan tinggi, atau lembaga lainnya; c.

Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam;

Berdasarkan

arahan

pengelolaan

kawasan

konservasi

secara

umum

sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pengelolaan kawasan taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi diarahkan secara khusus berdasarkan fungsi dan tujuan pengelolaannya. Arahan khusus pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut : 1. Fungsi Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditunjuk dan ditetapkan untuk dikelola dengan fungsi sebagai : kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan; kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; dan sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya

alam

hayati

dan

ekosistemnya.

Sebagaimana

karakter

penunjukannya, maka kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terutama diperuntukkan bagi perlindungan sistem-sistem alam yang ada di ketiga tipe ekosistem utama yang diwakilinya, dan secara lebih spesifik lagi di peruntukkan bagi perlindungan contoh ekosistem karst dengan geomorfologi menara yang terbatas sebarannya di Indonesia. Potensi keanekaragaman hayati yang diupayakan untuk dipelihara keberadaannya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdiri dari berbagai jenis tumbuhan alam dan satwa liar yang khas, unik dan terbatas sebarannya di wilayah mintakat biogeografi Sulawesi, bahkan di kepulauan nusantara. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung setidaknya merupakan habitat dari sedikitnya 356 species satwa liar serta 302 species tumbuhan alam. Jumlah keanekaragaman hayati tersebut masih akan terus bertambah seiring dengan semakin intensifnya dilakukan identifikasi, inventarisasi dan eksplorasi di dalam kawasan. Terkait dengan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mampu menyediakan sumber-sumber plasma nutfah yang dapat mendukung pengembangan budidaya, pengembangan ilmu pengetahuan serta menunjang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

63


Rencana Pengelolaan

budaya masyarakat. Dari segi ekonomi, kawasan ini menyimpan kekayaan yang tidak ternilai harganya apabila dapat dimanfaatkan secara bijaksana. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mampu menyediakan jasa-jasa lingkungan yang sangat potensial bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat secara keseluruhan, terutama dari bidang pengembangan pariwisata serta penyediaan sumber-sumber air.

2. Tujuan Pengelolaan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dilakukan dengan tujuan utama untuk : menjamin dan memelihara keutuhan dari keberadaan kawasan dan ekosistem taman nasional; menjamin dan memelihara keberadaan potensi dan nilai-nilai dari keanekaragaman tumbuhan, satwa, komunitas, dan ekosistem penyusun kawasan taman nasional; serta optimalisasi pemanfaatan kawasan dan potensi taman nasional secara berkelanjutan, lestari dan bijaksana untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, budaya, dan pariwisata alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Umumnya setiap lokasi kawasan taman nasional ditunjuk dan ditetapkan untuk kepentingan perlindungan, pengawetan, dan pelestarian dari keperwakilan keanekaragaman hayati, komunitas atau ekosistem, yang sangat khas dan spesifik. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dalam hal ini ditunjuk dan ditetapkan untuk kepentingan perlindungan, pengawetan, dan pelestarian potensi ekosistem karst di Kabupaten Maros dan Pangkep serta berbagai jenis keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

3. Prinsip Dasar Pengelolaan Prinsip-prinsip dasar pengelolaan taman nasional yang dilakukan, secara umum mencakup prinsip-prinsip pengelolaan : a. Pendayagunaan potensi taman nasional untuk kepentingan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan konservasi alam, penyediaan plasma nutfah untuk menunjang kepentingan budidaya, pariwisata alam dan rekreasi, serta pemanfaatan jasa lingkungan, melalui metoda dan cara yang diupayakan dan dilaksanakan dengan tidak merusak dan mengurangi luas kawasan, tidak menyebabkan berubahnya fungsi, dan tidak memasukkan jenis tumbuhan maupun satwa yang tidak asli (exotic species). b. Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan, kawasan taman nasional ditata ke dalam zona inti, zona rimba/zona bahari, zona pemanfaatan, dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

64


Rencana Pengelolaan

zona

lainnya.

Zona

lain

ditetapkan

berdasarkan

kebutuhan

untuk

kepentingan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penetapan zona pada kawasan taman nasional dilakukan sangat variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta berdasarkan kajian yang mendalam terkait dengan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. c.

Masyarakat sekitar kawasan secara aktif diikutsertakan dan dilibatkan dalam pengelolaan kawasan taman nasional

baik

sejak

proses

perencanaan, pelaksanaan, maupun pendayagunaan pemanfaatannya. d. Dalam hal dijumpai adanya kerusakan habitat dan/atau penurunan populasi satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi peraturan perundangan di dalam taman nasional, maka setelah dilakukan studi dan kajian yang seksama dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi dan restorasi habitat, populasi dan ekosistem taman nasional, yang antara lain mencakup : pembinaan habitat dan pembinaan populasi; rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli; reintroduksi jenis satwa sejenis dan asli; serta pengendalian dan/atau pemusnahan jenis tumbuhan dan/atau satwa yang tidak asli yang diidentifikasi telah dan akan mengganggu keutuhan dan kelestarian ekosistem kawasan.

4. Bidang Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional Bidang kegiatan pengelolaan taman nasional secara umum mencakup kegiatan : administrasi pengelolaan taman nasional; eksplorasi, survei dan inventarisasi potensi kawasan; pengelolaan data dan informasi; pemantapan kawasan

dan

penetapan

status

pengelolaan; penataan kawasan;

hukum

taman

nasional;

perencanaan

perlindungan dan pengamanan kawasan;

pengelolaan dan pembinaan konservasi jenis; restorasi dan rehabilitasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan; pemanfaatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan dan peningkatan kesadaran

konservasi;

pemanfaatan

untuk

kepentingan

pariwisata;

pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan; pengembangan pemanfaatan untuk menunjang kepentingan budidaya; pengembangan koordinasi, integrasi dan kemitraan; serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

65


Rencana Pengelolaan

Bidang kegiatan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :

a. Administrasi Pengelolaan Taman Nasional Merupakan kegiatan administrasi pendukung pelaksanaan teknis kegiatan pengelolaan taman nasional di lapangan. Kegiatan ini secara umum berkaitan dengan pengelolaan sumber daya fisik berupa administrasi persuratan, administrasi organisasi dan kepegawaian, administrasi sarana prasarana dan pengaturan urusan rumah tangga organisasi, administrasi keuangan dan anggaran, guna mendukung pelaksanaan pengelolaan taman nasional.

b. Eksplorasi, Survei dan Inventarisasi Potensi Taman Nasional Eksplorasi merupakan kegiatan penjelajahan setiap bagian dari kawasan taman nasional untuk memperoleh pengetahuan status dan keadaan dari fisik lapangan, jenis flora dan fauna, tipe komunitas atau ekosistem, kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional, disertai dengan identifikasi dan koleksi atas specimen unsur-unsur penyusun sumber daya alam hayati dan ekosistem. Kegiatan eksplorasi pada seluruh kawasan agar direncanakan dilakukan setiap lima tahun sekali. Survei lapangan merupakan kegiatan untuk pengumpulan data dan informasi secara spesifik dari komponen-komponen penyusun sumber daya alam hayati dan ekosistem, yang mencakup pengukuran atas jenis, populasi, penyebaran, sex-ratio, kerapatan/kelimpahan populasi, status kelangkaan, permasalahan dan sebagainya dari potensi dan kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistem, termasuk sosial ekonomi budaya masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Kegiatan survei lapangan pada seluruh kawasan sebaiknya diselesaikan bertahap maksimal dalam tiga tahun dengan selang waktu tiga tahun sekali. Inventarisasi potensi merupakan kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi mengenai potensi dan kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistem beserta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi

potensi

umumnya

dilakukan

melalui

tahapan

kegiatan

eksplorasi dan survei lapangan. Praktek kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring mencakup pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan penggunaan metoda dan teknik dalam pelaksanaan kegiatan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

66


Rencana Pengelolaan

eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring atas sumber daya alam dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Penggunaan metoda dan teknik

pelaksanaan

kegiatan

eksplorasi,

survei,

inventarisasi,

evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut di dalam pengelolaan taman nasional umumnya sangat bervariasi tergantung kepada kondisi spesifik dari jenis flora fauna, baik yang hidup di dalam perairan, lantai hutan, tajuk hutan maupun puncak pohon. Oleh karena variasi persyaratan dan teknik eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut sangat beragam dan banyak, maka diharapkan seseorang yang bekerja di kawasan taman nasional minimal memahami satu sampai tiga keahlian di bidang pembuatan disain ilmiah skema pelaksanaan kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/ penilaian dan monitoring atas aspek biologi konservasi, valuasi sumber daya alam, dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat. Kemampuan penguasaan atas metoda dan teknis pelaksanaan kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut penting untuk menjadi perhatian, karena banyak data dan informasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang telah lama tidak diperbarui kembali. Walaupun telah tersedia, terkadang data yang ada kurang akurat akibat kurang diperhatikannya metode dan teknik pengumpulan data di lapangan. Dalam

pelaksanaan

kegiatan

eksplorasi,

survei,

inventarisasi,

evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut ada beberapa kaitan aspek kepentingan yang dapat diidentifikasi untuk membantu pengembangan pengelolaan taman nasional, yang antara lain berhubungan dengan : (1) Aspek potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem

Memiliki ekosistem global yang terancam rusak/punah

Memiliki species global, regional dan lokal yang jarang, terancam punah atau punah

Memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi

Memiliki jumlah species endemik yang tinggi

Merupakan suatu fungsi ekosistem/landsekap yang kritis

Cukup luas untuk mampu mendukung minimal viabilitas populasi dari species payung atau species kunci atau relatif cukup luas untuk suatu wilayah

Merupakan ekosistem yang utuh dan dapat dijadikan percontohan

Memberikan sumbangan yang berarti terhadap keperwakilan suatu sistem konservasi kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

67


Rencana Pengelolaan

Merupakan habitat terpenting dan berkualitas untuk kehidupan species kunci

(2) Aspek sosial ekonomi dan kondisi masyarakat sekitar kawasan

Menyajikan kesempatan ekonomi bagi kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional

Memiliki

kesempatan

sebagai

percontohan

pembangunan

berkelanjutan dan konsisten dengan tujuan pengelolaan kawasan taman nasional

Memiliki potensi untuk mendukung pemanfaatan secara subsisten atau tradisional bagi masyarakat setempat

Memiliki nilai-nilai kepercayaan/agama dan spiritual

Memiliki keajaiban alam dan pemandangan/keindahan alam (seperti air terjun, sumber air panas, panorama alam, struktur geologi, dan lain-lain.)

Memiliki species tumbuhan dan satwa bernilai ekonomi tinggi (seperti bernilai bahan obat, bahan kimia, bahan makanan, keindahan, dan lain-lain.)

Memiliki nilai ilmu pengetahuan, penelitian dan pendidikan yang tinggi

Memiliki nilai-nilai rekreasi yang menarik

Memiliki fungsi ekosistem yang memberikan sumbangan berarti bagi kepentingan kehidupan sosial atau ekonomi masyarakat (seperti penyedian sumber daya air, pengaturan iklim, penyerapan bahan polutan, dan lain-lain.)

Memiliki sumber daya alam yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung

(3) Aspek pengaruh kondisi lokal, regional dan global terhadap kawasan taman nasional

Adanya

konflik

kepentingan

antara

penggunaan

tradisional,

agama/kepercayaan dan praktek budaya dengan tujuan pengelolaan kawasan taman nasional

Adanya nilai-nilai sumber daya alam kawasan taman nasional yang bernilai tinggi (seperti potensi kayu komersial berkualitas tinggi, kaya sumber daya mineral, potensial sebagai sumber daya energi, dan lain-lain.)

Adanya kemudahan akses untuk mencapainya (dekat dengan jalan raya utama, lapangan terbang, perkotaan, jalur perhubungan sungai/ perairan, dan lain-lain.)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

68


Rencana Pengelolaan

ƒ

Adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap produk-produk yang dapat diperoleh dari kawasan taman nasional (seperti species satwa yang memiliki nilai estetika tinggi, species kayu yang khas dan unik, species langka, tanaman hias, tumbuhan obat, dan lain-lain.)

ƒ

Areal sekitar kawasan taman nasional berada dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan atau pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi (seperti kepemilikan lahan sempit per KK, kekurangan lahan pertanian, penguasaan lahan oleh orang/ kelompok tertentu, kekurangan bahan makanan, populasi penduduk yang padat, banyaknya pengangguran, dan lain-lain.)

Hasil kegiatan inventarisasi potensi taman nasional selanjutnya dihimpun sebagai bahan penyusunan inventarisasi sumber daya alam hayati dan ekosistem pada tingkat unit pengelolaan, tingkat pemerintah kabupaten/ kota/ provinsi, tingkat daerah aliran sungai, tingkat bio-regional pulau, dan tingkat nasional. Hasil kegiatan inventarisasi potensi taman nasional antara lain dipergunakan pula sebagai dasar di dalam penyusunan rencana pengelolaan, kegiatan pengukuhan kawasan, kegiatan penataan zonasi kawasan, penyusunan neraca sumber daya alam hayati dan ekosistem, dan input data untuk sistem informasi konservasi alam taman nasional.

c.

Pengelolaan Data dan Informasi Taman Nasional Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan teknologi informasi, terutama dalam penggunaan aplikasi perangkat lunak dan perangkat keras yang berkaitan dengan pengelolaan dan komunikasi data dan

informasi

taman

nasional.

Praktek

kegiatan

ini

mencakup

pengembangan data base dan sistem informasi yang on-line, operasional dan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis (SIG), disain grafis untuk keperluan promosi dan informasi, dan lain sebagainya. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil inventarisasi potensi, dihimpun, dikelola dan dikembangkan dalam sistem informasi pada kawasan taman nasional, yang mencakup jenis data dan informasi, kecepatan proses pengolahan data menjadi informasi, tingkat detail informasi, performa informasi, volume dan transaksi informasi, penanggung jawab pengelola informasi dan sebagainya. Pengelolaan sistem informasi berupa kegiatan pengelolaan suatu kumpulan atau totalitas komponen-komponen yang saling berhubungan, pengaruh-mempengaruhi, sehingga dapat dihasilkan dan dialirkan suatu informasi yang berguna (akurat, terpercaya, detail, cepat,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

69


Rencana Pengelolaan

relevan dan sebagainya) untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan taman nasional.

d. Pemantapan Kawasan dan Penetapan Status Hukum Taman Nasional Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan proses pengukuhan status hukum kawasan taman nasional. Pengukuhan kawasan taman nasional merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas keberadaan dari kawasan taman nasional. Pelaksanaan kegiatan tersebut memerlukan keterlibatan dan partisipasi secara aktif dari masyarakat,

pemerintah

daerah,

dan

berbagai

pihak

terkait

dan

berkepentingan. Kegiatan pengukuhan kawasan tersebut mencakup : (1) Penataan batas kawasan Merupakan kegiatan pemancangan tanda batas kawasan taman nasional di lapangan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif.

(2) Pemetaan kawasan Merupakan kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan taman nasional berupa peta tata batas yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas kawasan taman nasional.

(3) Penetapan kawasan Merupakan kegiatan untuk penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap sesuai fungsinya sebagai kawasan taman nasional dengan Keputusan Menteri Kehutanan.

Apabila kawasan taman nasional telah ditetapkan secara pasti, pengelola taman nasional berkewajiban pula untuk melakukan kegiatan pemeliharaan batas dan tanda batas kawasan, yaitu suatu kegiatan untuk melakukan pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan jalur batas dan tanda batas kawasan, termasuk kegiatan rekonstruksi batas dan tanda batas kawasan. Kegiatan pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan alur batas dan tanda batas kawasan di lakukan minimal setiap tahun sekali dan kegiatan rekonstruksi batas dan tanda batas kawasan dilakukan minimal lima tahun sekali.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

70


Rencana Pengelolaan

e. Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional Untuk kepentingan pengelolaan taman nasional diperlukan adanya rencana pengelolaan, yang menurut jenis dan jangka waktunya, terdapat : rencana

pengelolaan

jangka

panjang;

rencana

pengelolaan

jangka

menengah; rencana pengelolaan jangka pendek; serta rencana teknis. Cakupan dan ruang lingkup rencana pengelolaan taman nasional umumnya meliputi seluruh kawasan taman nasional, serta memuat perencanaan, kegiatan pengelolaan, sarana dan prasarana, organisasi dan personil, pengusahaan,

pembinaan

masyarakat,

kemitraan

dan

koordinasi,

pemantauan, pengawasan dan evaluasi.

f.

Penataan Kawasan Taman Nasional Merupakan kegiatan rancang bangun pembagian kawasan taman nasional sesuai potensi dan fungsi pemanfaatannya dari sumber daya alam dan ekosistem di dalam setiap unit pengelolaan kawasan taman nasional, dengan memperhatikan hak-hak masyarakat setempat. Penataan kawasan taman nasional mencakup kegiatan pembagian dan pengelompokan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan tipe dan potensi yang terkandung di dalam ekosistem, fungsi dan rencana pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan tujuan untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan serta memperoleh manfaat fungsi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat secara bijaksana, lestari dan berkelanjutan. Penataan kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan dan spesifikasi kawasan taman nasional, karena itu penataan pembagian kawasan taman nasional ke dalam zonasi kawasan tidak selalu harus lengkap dan tidak selalu sama pada setiap kawasan taman nasional. Secara umum, prinsip pembagian zonasi pada kawasan taman nasional terdiri dari : (1) Zona inti ƒ

Di dalam zona inti hanya dapat dilakukan kegiatan monitoring sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

ƒ

Di dalam zona inti dapat dibangun sarana dan prasarana untuk kegiatan monitoring seperti tersebut pada butir di atas.

ƒ

Di dalam zona inti tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat merubah bentang alam.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

71


Rencana Pengelolaan

(2) Zona rimba

Di

dalam

zona

rimba

dapat

dilakukan

kegiatan

penelitian,

pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang budidaya.

Di dalam zona rimba dapat dibangun sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas.

Zona rimba tidak dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan yang bersifat merubah bentang alam.

Di dalam zona rimba diperkenankan adanya pemanfaatan yang bersifat tradisional.

(3) Zona pemanfaatan

Di dalam zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan

dan

potensinya

dalam

bentuk

kegiatan

penelitian,

pendidikan, dan wisata alam.

Kegiatan pengusahaan pariwisata alam dapat diberikan kepada pihak ketiga, baik koperasi, BUMN, swasta maupun perorangan.

Zona pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan restocking.

Di dalam zona pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam yang dalam pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur daerah setempat.

Zona

pemanfaatan

tidak

dapat

digunakan

sebagai

tempat

berlangsungnya kegiatan yang merubah bentang alam.

Di dalam zona pemanfaatan diperkenankan adanya pemanfaatan tradisional.

Untuk selanjutnya pembagian zona tersebut dapat dikembangkan sesuai derivatifnya menurut kondisi dan spesifikasi di setiap kawasan taman nasional, seperti adanya zona pemanfaatan khusus, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan restorasi, zona khusus, dan lain-lain. Penataan kawasan taman nasional umumnya dibuat berdasarkan kajian data dan informasi kawasan dan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem disertai bantuan penggunaan teknologi penginderaan jauh dan analisis sistem informasi geografis. Teknik pelaksanaan kegiatan ini adalah

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

72


Rencana Pengelolaan

dengan memanfaatkan jasa survei dan pemetaan dalam penataan ruang atau dikenal sebagai zonasi kawasan taman nasional. Kegiatan tersebut secara umum mencakup : (1) Pengumpulan data dan informasi berupa potensi fisik kawasan, sumber daya alam hayati dan ekosistem, serta kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat (baik yang tercermin dalam bentuk data sekunder spatial maupun non-spatial) yang akan melengkapi kepentingan analisis data keruangan (spatial) dari penggunaan teknologi penginderaan jauh (interpretasi citra satelit) maupun analisis informasi geografis. (2) Interpretasi citra satelit. (3) Analisa spatial. (4) Konsultasi dan pembahasan konsep zonasi kawasan taman nasional. (5) Finalisasi konsep usulan pengesahan penataan zonasi kawasan taman nasional dengan diskripsi pengelolaan dan pemanfaatannya. (6) Konsultasi publik usulan pengesahan penataan zonasi kawasan taman nasional kepada masyarakat dan berbagai pihak terkait. (7) Usulan pengesahan zonasi kawasan taman nasional.

Pengesahan zonasi kawasan taman nasional akan memuat peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas penataan zonasi dari kawasan taman nasional berikut diskripsi pengelolaan dan pemanfaatannya, yang disusun oleh pengelola taman nasional, dinilai oleh Direktur Konservasi Kawasan dan disahkan oleh Direktur Jenderal PHKA, yang selanjutnya ditindak lanjuti oleh pengelola melalui kegiatan penataan batas zonasi kawasan taman nasional di lapangan. Berdasarkan pengesahan penataan zonasi kawasan taman nasional oleh Direktur Jenderal PHKA, pengelola taman nasional menindaklanjutinya di lapangan dengan kegiatan : (1) Penataan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan kegiatan pemancangan tanda batas zonasi kawasan di lapangan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan tanda batas, dan pengukuran tanda batas zonasi definitif. (2) Pemetaan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas zonasi kawasan berupa peta tata batas zonasi yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan laporan kegiatan tata batas zonasi kawasan taman nasional.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

73


Rencana Pengelolaan

(3) Penetapan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan kegiatan untuk penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak, batas, luas zonasi, dan ketentuan peraturan penggunaan dan pengelolaan setiap zonasi kawasan yang telah ditetapkan sesuai fungsi dan kepentingan pengelolaannya sebagai taman nasional dengan Keputusan Menteri.

g. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Konservasi Perlindungan

dan

pengamanan

kawasan

merupakan

upaya

melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia maupun gangguan lainnya, seperti kebakaran hutan, gangguan ternak, hama dan penyakit, perburuan liar, perambahan hutan, dan penebangan liar. Oleh karena itu, kegiatan perlindungan dan pengamanan diarahkan pada hal-hal sebagai berikut : (1) Penjagaan, patroli, operasi fungsional dan gabungan dalam rangka perlindungan dan pengamanan fisik kawasan; (2) Perlindungan dan pengamanan fisik kawasan; (3) Identifikasi daerah-daerah rawan gangguan; (4) Ceramah, konsultasi dan sosialisasi batas dan peraturan perundangundangan pengelolaan taman nasional; (5) Pengembangan peran serta dan kemitraan dengan masyarakat; (6) Pemasangan pengumuman dan tanda-tanda larangan; (7) Penegakan hukum; (8) Pengendalian kebakaran hutan; (9) Pemusnahan dan/atau pengendalian hama dan penyakit serta jenis pengganggu lainnya; dan (10)Penyusunan rencana strategis, dan kebijakan perlindungan dan pengamanan kawasan.

Dalam kaitan tersebut, perlu diperhatikan bahwa ancaman dan tekanan perusakan terhadap kawasan dan potensi taman nasional telah cukup tercatat dan termonitor dengan baik selama sepuluh tahun terakhir. Data

dan

informasi

tersebut

dikaji

dan

dianalisis

sehingga

dapat

menunjukkan kemungkinan : (a) peningkatan secara tajam, (b) peningkatan secara perlahan-lahan, (c) peningkatan secara tetap, (d) berkurang perlahanlahan, (e) berkurang secara tajam, dan kemungkinan bentuk dampak kerusakan yang dapat ditimbulkannya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

74


Rencana Pengelolaan

h. Pengelolaan dan Pembinaan Konservasi Jenis Merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan habitat dan populasi hidupan liar, agar keberadaannya sebagai komponen ekosistem tetap dalam keadaan seimbang dan dinamis secara alami di dalam kawasan taman nasional. Hal tersebut juga merupakan upaya untuk menjaganya dari berbagai gangguan, agar keutuhan dan keaslian dari kawasan tersebut beserta keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa serta ekosistemnya dapat berjalan secara alami, yang dilaksanakan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya, yaitu : (1) Kegiatan konservasi jenis di zona inti taman nasional :

Perlindungan dan pengamanan.

Inventarisasi potensi kawasan.

Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, terutama untuk pemantauan dan evaluasi habitat dan populasi hidupan liar.

(2) Kegiatan konservasi jenis di zona pemanfaatan taman nasional :

Perlindungan dan pengamanan.

Inventarisasi potensi kawasan.

Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pariwisata alam.

(3) Kegiatan konservasi jenis di zona rimba taman nasional :

Perlindungan dan pengamanan.

Inventarisasi potensi kawasan.

Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, terutama untuk pemantauan dan evaluasi habitat dan populasi hidupan liar.

Pembinaan habitat dan populasi satwa, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan

dengan

tujuan

untuk

menjaga

dan

memulihkan

keberadaan populasi dan keragaman jenis satwa tertentu agar terjadi keseimbangan dengan daya dukungnya, yang dilaksanakan antara lain

melalui kegiatan : pembinaan habitat/vegetasi, pembinaan

populasi satwa, pembuatan fasilitas air minum dan/atau tempat berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohonpohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa, penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa asli, serta pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

75


Rencana Pengelolaan

Upaya pengawetan taman nasional dilaksanakan dengan ketentuan dilarang untuk melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi taman nasional, seperti kegiatan merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya, merusak keindahan alam dan gejala alam taman nasional, melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan/ atau rencana pengusahaan. Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi taman nasional, apabila melakukan perbuatan tanpa izin berupa : memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan

tanda

batas

kawasan;

membawa

alat

yang

lazim

dipergunakan untuk mengambil, menangkap, menebang, merusak, berburu, memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan; melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan; memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan; memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan; menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan; serta mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi satwa, pembinaan dan pengkayaan tumbuhan atau satwa tidak termasuk kegiatan seperti tersebut.

i.

Restorasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan tumbuhan, satwa atau ekosistem, agar tetap berada pada keadaan seimbang dan dinamis secara alami pada kawasan taman nasional. Kegiatan pembinaan, restorasi dan rehabilitasi tersebut umumnya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi, aspek teknis dan ilmiah konservasi, serta dilakukan atas dasar adanya kebutuhan untuk memperbaiki kondisi kawasan yang rusak atau menurun potensinya. Penggunaan jenis asli merupakan syarat utama penyelenggaraan kegiatan tersebut di kawasan taman nasional dan diarahkan pada kegiatan pembinaan habitat dan populasi satwa liar. Upaya tersebut merupakan proses untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman dan dinamika ekosistem guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan taman nasional yang dilindungi. Terdapat empat tipe tindakan untuk mengembalikan komunitas hayati dan ekosistem ke fungsi semula di dalam kawasan taman nasional, yaitu :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

76


Rencana Pengelolaan

(1) Tanpa tindakan, karena upaya pemulihan terlalu mahal dan selalu gagal. Pengalaman menunjukkan bahwa ekosistem alami akan dapat pulih dengan sendirinya; (2) Restorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara aktif dengan species yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi species seperti semula; (3) Rehabilitasi, ekosistem

merupakan dan

pemulihan

species

asli,

dari

seperti

sebagian

memperbaiki

fungsi-fungsi hutan

yang

terdegradasi melalui penanaman, sulaman, dan pengkayaan jenis ; serta (4) Penggantian,

merupakan

upaya

penggantian

suatu

ekosistem

terdegradasi dengan ekosistem lain yang lebih produktif, seperti mengganti hutan yang terdegradasi dengan padang rumput, dimana ekosistem tersebut telah ada sebelumnya.

j.

Pengembangan Sarana dan Prasarana Merupakan kegiatan

melengkapi

sarana

dan prasarana untuk

kepentingan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengusahaan di kawasan taman nasional. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan taman nasional,

harus

mempertimbangkan

aspek-aspek

lingkungan,

sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat serta memperhatikan ketentuan peraturan yang berlaku, keberadaannya diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan pengelolaan, pelayanan pengunjung dan pengusahaan, serta kemudahan pengunjung mencapai lokasi-lokasi yang menarik atau menjadi obyek kunjungan. Sarana

dan

prasarana

tersebut

umumnya

dibangun

di

zona

pemanfaatan taman nasional dan secara terbatas di zona rimba taman nasional, dengan tata letak didasarkan pada rencana tapak, atau sesuai tata letak sarana dan parasarana pada rencana karya pengusahaan pariwisata alam (RKPPA) yang telah disahkan. Pembangunan sarana dan prasarana tersebut diutamakan dapat menggunakan bahan-bahan dari daerah setempat yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi lingkungan. Apabila tidak memungkinkan maka dipergunakan bahan bangunan dari luar yang tidak merusak kelestarian lingkungan alam. Bentuk sarana dan prasarana yang dibangun agar bergaya arsitektur budaya setempat dan harmonis dengan lingkungan alam, dengan ketentuan : (1) Ukuran

panjang,

lebar

dan

tinggi

bangunan/sarana

prasarana

disesuaikan dengan perbandingan/ proporsi untuk setiap bentuk

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

77


Rencana Pengelolaan

arsitektur daerah/ lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut. (2) Pembangunan sarana yang diperkenankan maximum 2 (dua) lantai. (3) Tidak merubah karakteristik bentang alam yang ada. (4) Jenis-jenis sarana dan prasarana yang boleh dibangun di kawasan taman nasional, khususnya di zona pemanfaatan dan secara terbatas di zona rimba/bahari adalah berupa : ƒ

ƒ

ƒ

Sarana dan prasarana pokok pengelolaan : 9

Kantor pengelola

9

Pondok kerja/jaga/penelitian

9

Jalan patroli

9

Pusat informasi

9

Wisma cinta alam

9

Menara pengawas kebakaran

9

Menara pengintaian satwa

9

Stasiun rehabilitasi satwa

9

Kandang transit satwa

9

Peralatan navigasi

9

Peralatan komunikasi

9

Peta dasar dan peta kerja

9

Peralatan transportasi

9

Perlengkapan kerja

9

Laboratorium penelitian

Sarana dan prasarana penunjang pengelolaan : 9

Akomodasi

9

Transportasi

9

Pertunjukan kebudayaan

9

Sistem sanitasi

9

Fasilitas rekreasi alam

Jenis sarana dan prasarana pemanfaatan dan pariwisata alam : 9

Sarana pariwisata alam : -

Pondok wisata alam

-

Bumi perkemahan

-

Karavan

-

Fasilitas akomodasi, terdiri dari : o

Ruang pertemuan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

78


Rencana Pengelolaan

-

-

-

o

Ruang makan dan minum

o

Fasilitas untuk bermain anak

o

Gudang

Fasilitas pelayanan umum dan kantor, terdiri dari : o

Fasilitas pelayanan informasi

o

Fasilitas pelayanan telekomunikasi

o

Fasilitas pelayanan administrasi

o

Fasilitas pelayanan angkutan

o

Fasilitas pelayanan penukaran uang

o

Fasilitas pelayanan jasa pencucian

o

Fasilitas peribadatan

o

Pos PPPK/Poliklinik

o

Menara untuk pengintai dan pemandangan

o

Tempat sampah

o

Kantor

o

Mess karyawan

o

Pemadam kebakaran

Rumah makan dan minum, meliputi : o

Restoran.

o

Kedai.

o

Kios-kios.

Sarana wisata tirta, meliputi semua fasilitas kegiatan wisata tirta

-

Sarana wisata budaya, meliputi panggung pertunjukan seni budaya tradisional setempat

-

Kios

cenderamata,

berupa

bangunan-bangunan

yang

dipergunakan untuk mamajang dan menjual cinderamata 9

Sarana angkutan umum/transportasi

Sarana prasarana pengusahaan pariwisata alam : -

Jalan : o

Jalan utama, dengan ukuran maksimum lebar badan jalan 5 meter ditambah bahu jalan 1 meter kiri kanan, dengan sistim pengerasan menggunakan batu dan lapisan permukaan aspal.

o

Jalan cabang, dengan ukuran maksimum lebar jalan 3 meter, dengan sistim pengerasan batu dan lapisan permukaan aspal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

79


Rencana Pengelolaan

o

Jalan setapak, dengan ukuran maksimum lebar jalan 2 meter, dengan menggunakan bahan yang disesuaikan dengan kondisi setempat.

o

Jalan patroli, dengan ukuran maksimum lebar jalan 0,6 meter yang dibuat tanpa pengerasan.

o

Jalan pengaman, dibuat sebagai jalan alternatif untuk kondisi

darurat

yang

pembangunannya

dengan

menggunakan bahan yang disesuaikan dengan kondisi setempat. -

Jembatan, dilaksanakan dengan ketentuan bahwa bentang jembatan disesuaikan dengan lebar sungai atau lebar halangan.

-

Areal parkir, dibangun dengan ketentuan : o

Sejauh mungkin tidak menebang/merusak pohon.

o

Pengerasan areal harus dilakukan dengan konstruksi yang tidak mengganggu penyerapan air ke dalam tanah.

-

Jaringan listrik, diupayakan dibangun di dalam tanah dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang.

-

Jaringan air minum, diupayakan dibangun di dalam tanah dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang.

-

Jaringan telepon, diupayakan dibangun di dalam tanah dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang.

-

Jaringan drainase/saluran, dibangun dengan cara terbuka dan menggunakan pengerasan. Jika tidak memungkinkan maka dapat : o

Dilakukan

dengan

sistem

tertutup

dalam

hal

drainase/saluran air yang melewati bangunan atau untuk penggunaan lain. o

Dilakukan pengerasan apabila kondisi tanah mudah terjadi erosi atau longsor.

o -

Dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.

Sistim pembuangan dan pengolahan limbah, dibangun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sistim ini terdiri dari : o

Sistim pembuangan dan pengolahan limbah padat.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

80


Rencana Pengelolaan

o -

Sistim pembuangan dan pengolahan limbah cair.

Helipad,

dapat

dibangun

dengan

berpedoman

pada

ketentuan-ketentuan teknis dari instansi yang berwenang dan lokasinya berdasarkan rencana pengelolaan. 9

Fasilitas

pelengkap

sarana

dan

prasarana

pengusahaan

pariwisata alam : -

Penataan tanaman yang dibangun pada bagian-bagian tertentu dengan ketentuan hanya mempergunakan tanaman species asli yang ada pada kawasan tersebut.

-

-

Papan-papan petunjuk, berupa : o

Papan nama

o

Papan informasi

o

Papan petunjuk arah

o

Papan larangan/peringatan

o

Papan bina cinta alam

o

Papan rambu lalu-lintas

Ornamen-ornamen, monumen, bangku dan meja piknik, dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat.

-

k.

Fasilitas umum : o

Toilet

o

Hidran air minum

Pengelolaan Pemanfaatan Untuk Penelitian dan Ilmu Pengetahuan Meliputi

kegiatan

yang

berhubungan

dengan

upaya

untuk

mengakomodir kepentingan fungsi kawasan taman nasional untuk kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil kegiatan penelitian perlu diarahkan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan berkembang. Kegiatan penelitian terapan umumnya diarahkan untuk memberikan dukungan bagi upaya membantu penyelesaian masalah pengelolaan kawasan taman nasional, dan penelitian murni umumnya dilakukan dan diarahkan kepada upaya untuk pengembangan lebih lanjut dari ilmu pengetahuan, yang dapat dilangsungkan dalam kawasan taman nasional. Penelitian untuk menunjang pemanfaatan, meliputi : (1) Penelitian yang hasilnya untuk mendukung dan diperlukan untuk menunjang pemanfaatan jenis dan satwa serta budidaya di luar

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

81


Rencana Pengelolaan

kawasan,

seperti

penelitian

dalam

menunjang

pengawetan

dan

penangkaran jenis. (2) Penelitian yang hasilnya untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya, ditujukan terhadap seleksi jenis tumbuhan dan satwa yang karena kandungan unsur kimia maupun sifat genetiknya dapat dimanfaatkan, misalnya untuk : ƒ

Industri obat-obatan, zat pewarna, dan lain-lain.

ƒ

Benih atau bibit unggul dalam menunjang peningkatan produksi pangan, sandang dan papan.

ƒ

Perbanyakan dan peningkatan kualitas jenis melalui rekayasa genetik.

Ketentuan tentang kegiatan penelitian

di kawasan taman nasional

diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu

ketentuan yang

mengatur tentang tata cara dan instansi yang berwenang memberi rekomendasi dan/ atau izin untuk melaksanakan penelitian. Kewenangan yang terkait dengan penelitian pada saat ini dikoordinasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tidak mengurangi kewenangan Menteri Kehutanan yang bertanggung jawab untuk mengatur tata cara pelaksanaan penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi di kawasan taman nasional. Untuk mendukung pelayanan kegiatan penelitian, pengelola taman nasional antara lain melaksanakan : (1) Identifikasi obyek penelitian mengenai

tumbuhan, satwa, ekosistem,

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. (2) Penyiapan sistem pelayanan dan materi kegiatan penelitian. (3) Ketersediaan dan dukungan berupa penyediaan stasiun penelitian. (4) Penyiapan sistem data dasar informasi kegiatan penelitian. (5) Penyusunan rencana dan skala prioritas program penelitian. (6) Pengembangan bentuk kerjasama dalam penelitian. (7) Pengembangan sistem dokumentasi, publikasi dan promosi hasil-hasil kegiatan penelitian maupun referensi yang terkait.

l.

Pengelolaan pemanfaatan untuk pendidikan dan kesadaran konservasi Merupakan upaya pendayagunaan potensi kawasan taman nasional untuk kepentingan pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi atau dikenal sebagai bina cinta alam kepada penduduk dan pengunjung taman nasional. Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

82


Rencana Pengelolaan

(1) Pengenalan melalui program pemanduan dan interpretasi ekosistem taman nasional, berupa pengenalan secara langsung di lapangan mengenai tipe-tipe ekosistem maupun pengenalan jenis tumbuhan dan/atau satwa liar, atau komponen-komponen penyusun ekosistem alam; (2) Peragaan ekosistem taman nasional, melalui wujud fisik dan fungsinya yang dapat dilihat secara visual baik melalui material asli seperti spesimen herbarium dan satwa, maupun audiovisual, multimedia, slide, booklet, leaflet, dan poster; (3) Pendidikan yang dilakukan dalam bentuk karya wisata, widya wisata dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi taman nasional; (4) Kunjungan untuk memberikan pendidikan ke sekolah-sekolah dan forum pertemuan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional, mengenai kepentingan, tujuan dan sasaran pengelolaan taman nasional dan potensi sumber daya alamnya.

m. Pengelolaan Pemanfaatan Pariwisata dan Rekreasi Alam Merupakan upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan tetap

memperhatikan

prinsip

keseimbangan

antara

kepentingan

pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di dalam kawasan taman nasional diarahkan pada beberapa kegiatan berikut : (1) Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata alam dalam kawasan taman nasional; (2) Inventarisasi, identifikasi dan analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan; (3) Pengembangan obyek wisata alam tetap memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung di sekitar kawasan; (4) Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya pemanfaatan potensi obyek wisata alam kawasan taman nasional, dan diarahkan pada upaya peningkatan penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan dan pihak investor.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

83


Rencana Pengelolaan

Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan dalam rangka mempertahankan dan/atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelola taman nasional dapat menghentikan kegiatan tertentu dan/atau menutup kawasan taman nasional sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu bagi pengunjung taman nasional. Penghentian kegiatan dimaksud antara lain : (1) Keadaan dan situasi yang terjadi di kawasan taman nasional, karena bencana alam (antara lain gunung meletus, gas beracun, bahaya kebakaran) serta kerusakan akibat pemanfaatan terus-menerus yang dapat membahayakan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa. (2) Dalam hal pengaturan jumlah pengunjung, dimana jumlah pengunjung yang masuk ke dalam kawasan harus disesuaikan dengan daya dukung kawasan yang bersangkutan. Untuk itu dalam rangka pengendalian pengunjung yang masuk ke dalam kawasan, pemerintah menetapkan syarat dan tata cara memasuki kawasan.

n. Pengelolaan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Merupakan upaya pemanfaaatan dan pendayagunaan potensi jasa lingkungan

(sumber

daya

dan

spiritual)

kenyamanan

air,

udara,

dengan

oksigen, tetap

carbon,

keindahan,

memperhatikan

prinsip

keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan tersebut di dalam kawasan taman nasional diarahkan pada : (1) Inventarisasi dan identifikasi lokasi potensi jasa lingkungan seperti sumber daya air, udara, oksigen, carbon, keindahan, kenyamanan dan spiritual di dalam kawasan taman nasional; (2) Inventarisasi, identifikasi dan analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, dan ketersediaan sarana dan prasarana

pendukung

yang

berada

di

sekitar

kawasan

untuk

pendayagunaan jasa lingkungan; (3) Pengembangan potensi jasa lingkungan, seperti sumber daya air, udara, keindahan, kenyamanan dan spiritual dengan tetap memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor di daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan; (4) Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya pemanfaatan potensi jasa lingkungan, yang diarahkan pada upaya peningkatan penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

84


Rencana Pengelolaan

o. Pengelolaan Pemanfaatan untuk Menunjang Kepentingan Budidaya Merupakan upaya pemanfaatan dan pendayagunaan potensi flora dan fauna di kawasan taman nasional yang telah digunakan masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan dan atau penggunaan plasma nutfah (unsur-unsur genetik yang menentukan sifat kebakaan suatu jenis) tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan taman nasional. Dalam pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan plasma nutfah terikat pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan tentang pembenihan tanaman. Kegiatan tersebut di dalam kawasan taman nasional diarahkan pada : (1) Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa agar tetap berada pada keadaan seimbang yang dinamis serta dapat dimanfaatkan

secara

berkelanjutan

dan

lestari

dengan

tetap

memperhatikan prinsip konservasi; (2) Plasma nutfah, baik tumbuhan maupun satwa yang ada untuk dapat digunakan sebagai sumber bibit dan genetik untuk kegiatan pemuliaan, penangkaran dan budidaya di luar kawasan taman nasional; (3) Kegiatan penangkaran dan pembinaan jenis di dalam kawasan taman nasional sepanjang menggunakan jenis asli dari kawasan yang bersangkutan, tidak mengurangi dan merusak ekosistem kawasan, dan untuk tujuan penelitian dan pengembangan budidaya; (4) Pemanfaatan hasil hutan ikutan dan non-kayu di dalam kawasan taman nasional oleh masyarakat sekitarnya dengan pengaturan tertentu yang disepakati masyarakat dan pengelola taman nasional.

p. Pengembangan Integrasi, Koordinasi dan Kemitraan Integrasi dan koordinasi memegang peranan penting dalam upaya memperkenalkan berbagai bentuk pembangunan kawasan taman nasional kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, integrasi dan koordinasi lintas sektoral perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut : (1) Integrasi dan koordinasi lintas sektor harus dimulai sejak penyusunan rencana

pengelolaan

taman

nasional

sampai

pada

tahap

pengembangannya; (2) Identifikasi dan pemetaan permasalahan sosial, ekonomi, budaya, politik, serta interaksi masyarakat dengan akses pemanfaatan sumber daya

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

85


Rencana Pengelolaan

alam taman nasional yang mempengaruhi keutuhan dan eksistensi taman nasional; (3) Pengembangan sistem promosi tepat guna, baik melalui jalur resmi, misalnya pendidikan maupun jalur informal misalnya melalui brosur, leaflet dan fasilitas elektronik, dilakukan bersama-sama organisasi pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam maupun luar negeri dan masyarakat; (4) Pembinaan daerah penyangga dititikberatkan pada upaya peningkatan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan kawasan taman nasional sedemikian rupa sehingga kehadiran kawasan taman nasional dapat dirasakan manfaat dan kepentingannya oleh masyarakat dan pemerintah daerah; (5) Upaya menjalin kerjasama (collaborative management) dengan berbagai pihak di dalam upaya memperkuat kelembagaan pengelolaan taman nasional.

q. Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Pemantauan, evaluasi dan pelaporan merupakan upaya yang dilakukan oleh pengelola taman nasional untuk mengamati, mencermati, menelusuri dan menilai pelaksanaan pengelolaan taman nasional, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai secara optimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengelolaan taman nasional di masa mendatang.

B. Kebijakan Pembangunan Daerah Pengembangan wilayah adalah suatu proses, bagaimana status ekonomi dan sosial budaya dari suatu wilayah dapat dibangun melalui inisiatif pemerintah maupun swasta.

Untuk wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia, khususnya di luar Jawa,

aktivitas pengembangan wilayahnya dilaksanakan oleh pemerintah karena umumnya sektor swasta belum berkembang dengan baik. Pemerintah mencanangkan pembangunan ekonomi yang merupakan suatu kebijakan terpenting untuk mencapai tujuan dimaksud. Anggaran yang disiapkan untuk pengembangan wilayah di Indonesia mencakup program-program pembangunan yang sangat luas seperti infrastruktur, proyek-proyek sektoral, dan lain sebagainya. Pengembangan wilayah dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, tergantung pada ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, serta berbagai kombinasi dari aktivitas pembangunan yang ditargetkan. Perencanaan dan pengembangan wilayah merupakan dua dari banyak faktor yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

86


Rencana Pengelolaan

menciptakan lingkungan dimana taman nasional dikelola, serta membuat tugas dari pengelola taman nasional menjadi mudah atau bahkan lebih sulit untuk dilaksanakan. Pelaksanaan pembangunan dapat saja disesuaikan dengan pola pengelolaan taman nasional akan tetapi harus disadari bahwa pemerintah pada dasarnya lebih memprioritaskan program pembangunan ekonomi secara umum. Secara umum kebijakan pengelolaan kawasan karst tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan lingkungan. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan bahwa tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan sasaran antara lain adalah tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; tercapainya kelesetarian fungsi lingkungan hidup; dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Perspektif Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan adalah bahwa pengelolaan kawasan Karst Maros – Pangkep harus dilakukan secara terpadu oleh setiap pelaku pembangunan yaitu instansi pemerintah (propinsi dan kabupaten), lembaga penelitian termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat luas. Selain itu juga harus terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya dan keanekaragaman hayati. Sehubungan dengan hal tersebut maka Kawasan Karst Maros – Pangkep hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem yang mempunyai kaitan erat dengan kawasan yang lain maupun dengan komponen-komponen lingkungan seperti : siklus hidrologi dan iklim (komponen fisik/kimia), flora dan fauna (komponen hayati), serta pengaruhnya terhadap sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat (komponen sosekbud). Dengan demikian pengelolaan Kawasan Karst Maros-Pangkep harus diarahkan pada sasaran tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dengan kawasan tersebut; tercapainya kelestarian fungsi kawasan karst; dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya kawasan karst secara bijaksana. Dalam hal ini perlu adanya keterpaduan di dalam pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep dengan mempertimbangkan kebijakankebijakan di sektor lain, agar dampak lingkungan yang terjadi dari kegiatan-kegiatan di sektor lain dapat memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sejalan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, maka kegiatan pengelolaan sumberdaya alam nasional, termasuk sumberdaya karst, yang berada di wilayahnya menjadi kewenangan daerah dan daerah bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

87


Rencana Pengelolaan

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka bidang lingkungan hidup merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Kajian terhadap kebijakan dan peraturan perudangan-perundangan yang ada menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa kawasan karst sebagai sumber daya alam, baik sumber daya alam hayati maupun non hayati, dapat dipandang dari berbagai sudut, yaitu (Nurlini et. al, 1999 dalam Palaguna dan Rahman, 2001) : (1) sebagai suatu ruang, dengan batasan ruang seperti yang ditegaskan pada pasal 1 ayat (5) Undang-undang Penataan Ruang, yaitu “Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional�, sedangkan ayat (7) menguraikan bahwa “Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan�; (2) ekosistem sumber daya alam hayati dan batasannya sebagaimana pada Pasal 1 ayat (1) dan (3) Undangundang Nomor 5 Tahun 1990, yaitu : (a) Sumber daya alam hayati adalah unsurunsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama ekosistem, dan (b) Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi; (3) Dari sudut pandang ruang, kawasan karst dapat berfungsi sebagai kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Sedangkan dari segi ekosistem sumberdaya alam hayati, kawasan karst dapat berfungsi sebagai hutan konservasi maupun hutan produksi, dimana keadaannya sangat dinamis. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa komitmen Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan terhadap pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep sangat jelas dan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, fungsi dan potensi ekosistem karst, serta pemanfaatan dan perlindungan yang berkelanjutan. Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan suatu ekosistem yang wilayahnya mencakup Kabupaten Maros dan Pangkep. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah

otonom,

maka

Pemerintah

Propinsi

Sulawesi

Selatan

mempunyai

kewenangan terhadap pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep, setidaknya dalam perannya sebagai koordinator dalam perencanaan kebijakan pengelolaan dan pengawasan. Berbagai peran koordinasi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan antara lain dalam bidang-bidang koordinasi data dan informasi, kepastian hukum peruntukan kawasan karst, serta peningkatan peran serta masyarakat.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

88


Rencana Pengelolaan

Data dan informasi merupakan masalah paling mendasar dalam pengelolaan kawasan karst yang berwawasan lingkungan. Data dan informasi mengenai semua potensi yang ada di kawasan karst masih sangat jarang atau bahkan sulit sekali diperoleh. Data dan informasi yang ada sifatnya belum utuh, tapi tergantung dari sumber data dan kepentingan yang sifatnya sektoral. Sebagai contoh data dan informasi kawasan karst yang bersumber dari Dinas Pertambangan, yang muncul adalah data dan informasi kawasan karst sebagai bahan galian/tambang bahan baku semen, marmer, atau batu kapur. Informasi mengenai potensi sumberdaya air, kekayaan keanekaragaman hayati, sarang burung walet, potensi wisata alam, dan lain sebagainya sulit didapatkan. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sifatnya juga masih parsial, belum komprehensif, mengingat keterbatasan dana penelitian dan tujuan penelitian itu sendiri. Untuk kepentingan koordinasi data dan informasi ini, Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan menugaskan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) guna melaksanakan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait. Permasalahan pengelolaan karst yang juga penting untuk segera diselesaikan adalah ketidakjelasan peruntukan kawasan karst. Sejauh ini belum cukup tersedia kebijakan yang jelas tentang peruntukan suatu kawasan karst baik di tingkat nasional, apalagi di tingkat daerah. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan dapat berperan dalam memberi kepastian peruntukan di dalam kawasan Karst MarosPangkep sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Secara teknis masalah ini akan bisa diatasi bila masalah ketidaklengkapan data dan informasi bisa diselesaikan. Penyusunan penatagunaan Kawasan Karst Maros – Pangkep perlu dilakukan dengan koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang berperan. Beberapa waktu yang lalu, paradigma pembangunan yang ada lebih bersifat top-down dan sentralistik. Akibatnya peran masyarakat dan pemerintah daerah di tingkat lokal sangat lemah dalam menentukan kebijakan pembangunan, termasuk dalam menentukan peruntukan/ pendayagunaan suatu kawasan karst. Penyertaan masyarakat yang diwakili oleh LSM atau pakar dalam pembahasan AMDAL untuk pemanfaatan/eksploitasi suatu kawasan karst sering kurang bisa mewakili aspirasi masyarakat lokal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

89


Rencana Pengelolaan

Peran sumber daya manusia dalam pengelolaan kawasan karst tidak saja meliputi satu macam aspek yang terdapat dalam pengelolaan itu sendiri, melainkan meliputi berbagai macam aspek seperti halnya kebijakan yang berlaku pada Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa pengelolaan kawasan karst tidak terlepas dari proses perencanaan yang perlu mempertimbangkan peran sumber daya manusia secara bottom-up planning. Oleh karena itu perlu adanya

Foto : HIMAKOVA-IPB

pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan lingkungan kawasan karst secara terpadu dan berkelanjutan. Menyikapi kebutuhan peningkatan peran serta masyarakat dan sumber daya manusia di bidang pengelolaan kawasan karst,

Pemerintah

Selatan

akan

Propinsi

melakukan

Sulawesi

Foto : HIMAKOVA-IPB

koordinasi

dengan instansi terkait dan perguruan tinggi,

guna

melakukan

berbagai

sosialisasi dan pelatihan, baik untuk aparat pemerintah kabupaten maupun masyarakat luas. Untuk melaksanakan pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep, konsep kebijakan pengelolaan kawasan karst bagi

Pemerintah

Propinsi

Foto : HIMAKOVA-IPB

Sulawesi

Selatan pada dasarnya adalah sama dengan pengelolaan sumber daya alam secara umum yaitu : (a) Pengelolaan sumberdaya alam yang terbarukan di kawasan Karst Maros-Pangkep, yang meliputi flora, fauna, lahan, air dan udara dilakukan

secara

bijaksana

sehingga

Foto : HIMAKOVA-IPB

daya dukung dan kemampuannya berproduksi dapat dipelihara sepanjang waktu. Asasnya adalah bahwa dalam perspektif tatanan lingkungan hidup yang serasi, pelestarian dan konservasi harus setara dengan pemanfaatannya; (b) Pengelolaan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

90


Rencana Pengelolaan

sumberdaya alam yang tak terbarukan di wilayah Karst Maros-Pangkep yaitu kegiatan penambangan harus dilakukan secara hemat dan dengan menggunakan teknologi yang aman dan tidak merusak lingkungan. Kegiatan ini hendaknya diikuti dengan upaya pemulihan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan penambangan. Strategi pengelolaan kawasan karst pada dasarnya harus memperhatikan jenis dan kawasan karst itu sendiri. Masing-masing tipe kawasan akan mempunyai cara pengelolaan yang berbeda. Secara umum pengelolaan kawasan karst dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) kawasan karst sebagai kawasan lindung, dan (2) kawasan karst sebagai kawasan budidaya dan eksploitasi (pertambangan). Penetapan kawasan karst sebagai kawasan lindung didasarkan pada bentang alam dan luasannya, kondisi biogeografi, dan fungsinya dalam ekosistem kawasan. Dengan mengacu pada peraturan perudangan yang ada, bentuk kawasan lindung yang dapat diterapkan untuk kawasan karst adalah : taman nasional, cagar alam, taman wisata alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan situs warisan dunia (world heritage). Selain itu, dalam rangka perlindungan kawasan lain atau perlindungan setempat, kawasan karst juga dapat ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai, kawasan perlindungan danau/ waduk dan mata air. Mengingat kawasan karst merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap gangguan lingkungan, budidaya yang mungkin dapat dilakukan adalah budidaya tanaman kehutanan dan perkebunan. Sedangkan untuk kawasan karst yang tidak mengalami perkembangan karstifikasi, bentang alam umum dan banyak dijumpai ditempat lain, kondisi air bawah tanah tidak berkembang, tidak mempunyai ekosistem/ biota yang khas, bukan daerah perlindungan kawasan yang lain, dan bukan

daerah

untuk

pengawetan

keanekaragaman

hayati dapat

dilakukan

penambangan secara terkendali dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan terutama pada pasca penambangan. Perencanaan Penataan ruang kawasan karst Kabupaten Maros dan Pangkep belum dibuat secara khusus, dan sementara ini masih mengacu kepada arahanarahan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten (RUTRK), meskipun demikian pemerintah kedua kabupaten telah menyusun beberapa pokok pikiran mengenai arahan peruntukan dan pemanfaatan ruang di kawasan karst, sebagai berikut :

1.

Penentuan Kawasan Lindung a. Kawasan perlindungan setempat ; penekanannya pada daerah sekitar mata air, sungai, bendungan, waduk buatan, dan sungai bawah tanah.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

91


Rencana Pengelolaan

b. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan ; penekanannya pada daerah yang memiliki situs prasejarah, dan situs geologi. c.

Kawasan rawan bencana alam ; penekanannya pada daerah yang rawan tanah longsor dan rawan intrusi air laut.

2.

Penentuan Kawasan Budidaya a. Kawasan hutan dapat dikonversi ; penekanannya pada daerah-daerah ketinggian dan atau lembah yang memiliki potensi kehutanan, dan secara teknis dapat dikonversi menjadi hutan tanaman industri, perkebunan, serta hutan produktif lainnya, sehingga secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. b. Kawasan pertanian lahan basah ; penekanannya pada daerah-daerah disekitar aliran sungai, sekitar mata air, sekitar waduk buatan, dan atau dataran rendah yang secara teknis dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian. c.

Kawasan pertambangan ; penekanannya pada daerah-daerah yang memiliki potensi bahan galian yang layak untuk dikembangkan, baik secara teknis, ekonomis, dan ekologis.

d. Kawasan industri ; penekanannya pada daerah-daerah yang secara teknis dapat dijadikan kawasan industri, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama kawasan permukiman. e. Kawasan permukiman ; penekanannya pada daerah-daerah yang secara teknis dapat dikembangkan menjadi kawasan permukiman, serta memiliki tingkat aksesibilitas tinggi, dan ditunjang oleh sarana / prasarana lingkunga yang memadai. f.

Kawasan pariwisata ; penekanannya pada daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata ; baik wisata alam, maupun wisata budaya dan ilmu pengetahuan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

92


IV Visi dan Misi Pengelolaan A. Visi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai unit pelaksana teknis Departemen Kehutanan yang merupakan pengelola atau pemangku kawasan konservasi taman nasional baru berdiri sejak Nopember 2006 dan secara efektif baru mulai beroperasi pada bulan April 2007. Walau demikian, pada awal pelaksanaan pengelolaan, setelah diserahterimakan dari Balai KSDA Sulawesi Selatan I, telah dilakukan evaluasi efektifitas pengelolaan kawasan berdasarkan Kriteria dan Indikator Pengelolaan Taman Nasional. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan Taman Nasional Bantimurung belum benar-benar efektif bahkan masih dalam tahap penyiapan prakondisi. Atas dasar hasil evaluasi pengelolaan ini pula, maka Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mulai merancang suatu rencana pengembangan pengelolaan yang berisi langkah-langkah terukur untuk mencapai suatu visi jangka panjang. Karena kondisi pengelolaan yang masih jauh dari mapan, maka visi pengelolaan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk jangka panjang

adalah :

“Terwujudnya Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang Mantap, Serasi dan Seimbang dengan Dukungan Kelembagaan yang Efektif�


Rencana Pengelolaan

Dalam visi tersebut terkandung tiga kunci pokok landasan pemikiran dalam upaya pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, yaitu : 1.

Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang mantap. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang baru ditunjuk sebagai kawasan konservasi pada tanggal 18 Oktober 2004, proses penyiapan prakondisi pengelolaannya belum tercapai, terutama pengukuhan dan pemantapan status hukum kawasan yang merupakan pondasi utama upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, sampai

dengan

Bantimurung

tahun

2009,

Bulusaraung

prakondisi

harus

pengelolaan

dituntaskan

hingga

Taman

Nasional

terselesaikannya

pengukuhan kawasan serta tersedianya rancangan zonasi pengelolaan kawasan. Untuk tahap selanjutnya, pengelolaan akan diarahkan kepada pengembangan dan pemantapan pengelolaan sesuai dengan pemintakatan yang

telah

disusun,

terutama

pengembangan

sarana

dan

prasarana

pengelolaan, pengembangan pengelolaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta pengembangan pemanfaatan dan perlindungan kawasan; 2.

Keseimbangan dan keserasian. Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditujukan untuk menciptakan keseimbangan dan keserasian antar berbagai fungsi dan nilai kawasan. Keseimbangan dan keserasian nilai dan fungsi dimaksud diukur dari sisi ekologi, hidrologi, estetika, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

3.

Kelembagaan yang efektif. Kesiapan internal pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sangat bergantung pada ketersediaan SDM yang proporsional (kualitas dan kuantitas), ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, struktur organisasi dan prosedur kerja yang mantap, serta pendukung lainnya. Selain kesiapan internal lembaga pengelola, sinergitas dengan lembaga masyarakat serta stakeholder lain juga diperlukan guna mendukung pencapaian fungsi dan peran kawasan. Dengan kesiapan kelembagaan yang mantap maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilakukan secara efektif.

B. Misi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Dalam langkahnya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, diperlukan bentuk nyata implementasinya sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan. Dengan demikian, ditetapkan misi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

94


Rencana Pengelolaan

1.

Memantapkan status kawasan dan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

2.

Mengoptimalkan perlindungan hutan dan penegakan hukum;

3.

Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian;

4.

Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Status legal formal dan batas kawasan yang jelas merupakan prasyarat utama untuk mengimplementasikan upaya pengelolaan kawasan. Hal ini ditujukan untuk mengatasi adanya konflik terkait dengan penggunaan, kepemilikan dan status hukum kawasan. Seiring dengan pemenuhan prasyarat tersebut, upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya juga dapat diimplementasikan. Pada tahap awal ini, upaya konservasi jenis dan ekosistemnya dititikberatkan pada pemenuhan data dan informasi keanekaragaman hayati dan ekosistem pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Zonasi

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

juga

merupakan suatu bagian yang penting untuk mulai dipersiapkan karena taman nasional dikelola dengan sistem zonasi. Dengan tidak adanya rambu-rambu pengelolaan secara keruangan tersebut, sulit untuk mengefektifkan pelaksanaan pengelolaan. Dikhawatirkan, pelaksanaan pengelolaan tidak dapat mencapai keseimbangan apabila batas-batas pelaksanaan kegiatan dan pemanfaatan ruang di dalam kawasan tidak segera disediakan. Konflik penggunaan dan kepemilikan lahan di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih sangat tinggi. Karenanya, kawasan ini rentan terhadap gangguan keamanan, terutama kasus perambahan kawasan. Kejadian-kejadian gangguan keamanan cukup menyita banyak waktu dan tenaga untuk penyelesaiannya. Gangguan tersebut juga menjadi faktor penghambat pemantapan pengelolaan kawasan menuju pencapaian fungsi secara optimal. Dengan demikian, maka gangguan terhadap kawasan dan sumber daya alam hayati yang terkandung di dalamnya harus diupayakan sedemikian rupa untuk dieliminir. Upaya konservasi tidak terlepas dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, namun agar tercapai keadilan dan kelestarian dalam pemanfaatannya, maka perlu dikelola dengan bijaksana dan dikembangkan secara optimal. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah kekayaan alam yang harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat, dan karenanya untuk mendistribusikan hasil dan nilainya secara adil, maka diterapkan sistem provisi atas sumber daya alam yang dimanfaatkan. Di dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, provisi dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

95


Rencana Pengelolaan

bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diterapkan untuk berbagai kegiatan pemanfaatan kawasan. Sebagai organisasi yang baru terbentuk, aspek kelembagaan merupakan bagian penting yang harus ditata dengan baik. Dukungan peraturan perundangundangan, pedoman dan arahan pengelolaan perlu diterapkan dengan baik agar pengelolaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Karena pengelolaan kawasan yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pengelola/pemangku kawasan serta dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, maka penggalangan kemitraan dan kolaborasi harus senantiasa menjadi perhatian. Kondisi sumber daya manusia yang ada juga perlu terus dikembangkan kapasitas serta kuantitasnya. Dalam rangka mencapai sasaran pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, kebijakan pembangunannya mengacu pada Lima Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Walaupun tidak secara keseluruhan, namun sebagian besar kebijakan dimaksud terkait dengan pengelolaan taman nasional, yaitu : (1) Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan Perdagangan Kayu Ilegal; (2) Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan; (3) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan; (4) Pemantapan Kawasan Hutan. Mengacu pada program nasional sebagaimana tertuang dalam RPJP Kehutanan, RPJM serta program Departemen Kehutanan yang disarikan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, maka dalam pencapaian Visi dan Misi Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditetapkan beberapa program dan fokus kegiatan yang akan dilaksanakan. Program dan fokus kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :

1.

Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri Program

ini

berisikan

fokus

kegiatan

pengamanan

hutan

yang

dimaksudkan untuk melindungi kawasan dari berbagai tindakan illegal. Secara umum, fokus kegiatan ini merupakan upaya pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara khusus, fokus kegiatan ini berisikan upaya-upaya perlindungan dan pengamanan hutan secara preemtif, preventif, persuasif dan tindakan represif. Sebelum terselesaikannya

pengukuhan

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung, maka upaya-upaya perlindungan dan pengamanan kawasan lebih dititikberatkan pada tindakan preemtif, preventif dan persuasif. Adapun tindakan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

96


Rencana Pengelolaan

represif hanya dilakukan pada pelanggaran yang secara nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam kawasan.

2.

Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Program perlindungan dan konservasi sumber daya alam terdiri dari empat fokus kegiatan, yaitu pengendalian kebakaran hutan, pengelolaan kawasan konservasi, pengelolaan keanekaragaman hayati dan TSL, serta pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam. Fokus kegiatan pengendalian kebakaran hutan dimaksudkan untuk mencegah, memadamkan kebakaran hutan yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung serta melakukan tindakan-tindakan penanganan pasca kebakaran hutan. Upaya ini dilaksanakan baik secara internal maupun dengan melatih dan melibatkan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan taman nasional. Pengelolaan kawasan konservasi dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang didasarkan pada status hukum yang kuat, pengelolaan data dan informasi yang berbasiskan kawasan, mengembangkan pembinaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pengelolaan keanekaragaman hayati dan produk-produk tumbuhan dan satwa liar dimaksudkan untuk menjaga, mengawetkan dan mempercepat pemulihan jenis dan populasi di dalam kawasan. Pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam ditujukan untuk mengembangkan pemanfaatan produk-produk jasa lingkungan, memacu pengembangan pemanfaatan kawasan untuk tujuan wisata dan lain sebagainya.

3.

Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Program ini menampung kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemantapan kelembagaan dan perangkat penunjang pengelolaan kawasan.

4.

Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan Program ini menampung kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin untuk menunjang pelaksanaan administrasi perkantoran.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

97


V Analisa dan Proyeksi A. Faktor Kekuatan, Kendala, Peluang dan Tantangan Untuk

keperluan

penyusunan

rencana

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung, dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor kekuatan, kendala, peluang dan tantangan. Hasil-hasil dari identifikasi kemudian digunakan untuk menyusun rincian kegiatan berdasarkan analisa SWOT. 1. Kekuatan a. Eksistensi Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA, Balai Taman Nasional Bantimurung, serta perangkat yang ada di bawahnya. b. Perangkat peraturan perundang-undangan serta kebijakan Pemerintah Indonesia yang terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta lingkungan hidup. c.

Perangkat kebijakan internasional yang terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta lingkungan hidup.

d. Potensi

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

yang

merupakan ekosistem unik serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. e. Ketersediaan sumber daya manusia.

2. Kendala a. Belum terselesaikannya proses pengukuhan kawasan sehingga status hukum kawasan belum bersifat final.


Rencana Pengelolaan

b. Lemahnya

kelembagaan

pengelola

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung dari segi kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta prosedur kerja. c.

Birokrasi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi.

d. Lemahnya peran serta dan kelembagaan masyarakat. e. Isu permasalahan dan konflik di dalam kawasan yang lebih menonjol dibandingkan dengan potensi kawasan yang ada. f.

Masih lemahnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.

g. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi yang lemah antar berbagai sektor.

3. Peluang a. Komitmen para penentu kebijakan di tingkat nasional dan regional terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. b. Komitmen dan dukungan masyarakat internasional terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. c.

Dukungan lembaga-lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

d. Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang unik, langka, dan bernilai ekonomi tinggi serta tingginya minat masyarakat lokal dan manca negara. e. Peluang investasi ke kawasan konservasi dalam rangka pengembangan wisata alam.

4. Tantangan a. Masih tingginya tingkat kerawanan kawasan, baik dari aktifitas penebangan liar dan perdagangan kayu illegal, perambahan kawasan, kebakaran hutan dan kegiatan pertambangan tanpa izin. b. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan. c.

Kondisi perekonomian masyarakat yang masih sangat bergantung kepada ketersediaan sumber daya alam di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

d. Kebutuhan lahan yang sangat tinggi. e. Kebijakan investasi di dalam kawasan konservasi yang tidak menarik bagi para investor.

B. Analisa Berdasarkan hasil identifikasi faktor kekuatan, kendala, peluang dan tantangan serta dengan menggunakan analisa SWOT, diperoleh alternatif-alternatif strategi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

99


Rencana Pengelolaan

pengembangan melalui empat pengelompokan, yaitu : (1) strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang; (2) strategi menanggulangi kendala/ kelemahan dengan memanfaatkan peluang; (3) strategi menggunakan kekuatan untuk menghadapi tantangan; serta (4) strategi memperkecil kelemahan/kendala dan menghadapi tantangan. Alternatif strategi untuk pengembangan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara lengkap diuraikan sebagai berikut :

1. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Memanfaatkan Peluang a. Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait di pusat dan daerah dalam pengembangan pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. b. Peningkatan

kerjasama

dengan

lembaga-lembaga

internasional

dan

lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal yang peduli terhadap pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. c.

Pemberian insentif dan peluang sebesar-besarnya untuk merangsang minat investasi swasta pada pengembangan pengelolaan pariwisata alam di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

d. Pengembangan pemanfaatan aneka fungsi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. e. Percepatan pengembangan pengelolaan data dan informasi, serta promosi pemanfaatan berbagai sumber daya di dalam kawasan secara bijaksana.

2. Strategi Menanggulangi Kendala/Kelemahan dengan Memanfaatkan Peluang a. Percepatan proses pengukuhan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai dengan penetapan. b. Penyusunan rancangan zonasi pengelolaan kawasan dan implementasinya di lapangan. c.

Penyusunan

rencana

tapak

pengembangan

pengelolaan

dan

implementasinya di lapangan. d. Penguatan

kelembagaan

pengelola

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dibarengi dengan peningkatan kuantitasnya, pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan, serta penyusunan prosedur kerja yang aplikatif, efektif dan efisien. e. Mempermudah birokrasi dalam pengelolaan melalui usulan desentralisasi kewenangan perijinan dan pelayanan masyarakat kepada Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

100


Rencana Pengelolaan

f.

Mendorong

peningkatan

peran

serta

masyarakat

dengan

dukungan

kelembagaan yang mantap. g. Pengembangan model desa konservasi. h. Percepatan penyelesaian permasalahan dan konflik yang terjadi di dalam dan sekitar kawasan. i.

Merangsang pelaksanaan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

j.

Peningkatan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pembangunan antar berbagai sektor agar terjalin sinergisitas yang tinggi.

3. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Menghadapi Tantangan a. Optimalisasi perlindungan dan pengamanan kawasan yang dibarengi dengan pengembangan kualitas dan kuantitas Polisi Kehutanan, PPNS serta sarana dan prasarana penunjang operasionalnya. b. Optimalisasi penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran bidang kehutanan dan lingkungan hidup di dalam dan sekitar kawasan. c.

Peningkatan pelaksanaan pendidikan konservasi bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

d. Koordinasi pengusulan pemberian insentif beasiswa bagi pelajar yang potensial di dalam dan sekitar kawasan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. e. Optimalisasi pemanfaatan potensi jasa lingkungan yang bernilai ekonomis untuk mendukung peningkatan perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. f.

Penciptaan lapangan kerja baru melalui pengembangan pengelolaan pariwisata alam.

g. Pemberian masukan bagi perumusan regulasi pengembangan investasi swasta di dalam dan sekitar kawasan. h. Percepatan penyiapan data, informasi dan hasil-hasil kajian sebagai bahan penyusunan proposal pengajuan World Heritage Site pada kawasan Karst Maros-Pangkep.

4. Strategi Memperkecil Kelemahan/Kendala dan Mengatasi Tantangan a. Mendorong pengembangan usaha kecil dan koperasi masyarakat lokal untuk dapat ikut berinvestasi di dalam kawasan. b. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

101


VI Rencana Kegiatan A. Pemantapan Kawasan Pemantapan kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diharapkan dapat direalisasikan sedini mungkin sampai dengan penetapan kawasan sebagai kawasan hutan konservasi tetap serta penetapan pembagian ruang kelolanya. Pengukuhan kawasan sebagai salah satu bagian dari kegiatan pemantapan kawasan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan taman nasional. Oleh karenanya, esensi dari kegiatan pengukuhan kawasan menjadi sangat penting. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 merupakan perubahan dari beberapa fungsi kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan tersebut, sebagian besar telah dilaksanakan penataan batas luarnya antara tahun 1975 sampai dengan tahun 2001. Sampai dengan penyusunan rencana pengelolaan ini, kemajuan pelaksanaan penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah mencapai 432,52 Km atau 90,44% dari total batas luar sepanjang 478,22 Km. Batasbatas yang telah ditata tersebut, karena sebelumnya merupakan batas luar berbagai fungsi kawasan hutan, juga telah dilakukan rekonstruksinya pada tahun 2006 dan 2007, sehingga secara de facto di lapangan telah berubah menjadi batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Sisa dari batas kawasan yang belum dilaksanakan penataannya ditargetkan akan segera direalisasikan hingga temu gelang pada tahun 2009.


Rencana Pengelolaan

Dengan target penyelesaian penataan batas

Pal batas taman nasional

tersebut, kemudian direncanakan akan diupayakan untuk

segera

sebagai

dilakukan

kawasan

penetapan

hutan

kawasan

konservasi

tetap.

Penetapan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

akan

diupayakan

untuk

dapat

direalisasikan pada tahun 2010, dengan terlebih dahulu dilakukan reposisi batas yang disesuaikan dengan kondisinya secara nyata di lapangan. Batas-batas kawasan di lapangan, karena perannya yang begitu penting, perlu diupayakan untuk terus berfungsi sebagaimana mestinya dan dalam keadaan seperti sedia kala pada saat pelaksanaan penataan batas. Untuk keperluan tersebut,

akan

diupayakan

untuk

melakukan

pemeliharaan batas-batas kawasan di lapangan serta

rekonstruksi

Pemeliharaan

batas

batas

secara

diupayakan

berkala.

Dusun Tallasa di dalam kawasan taman nasional

untuk

dilaksanakan setiap tahun secara bergantian

Sekolah di Dusun Tallasa

dengan tetap memperhatikan prioritas lokasinya berdasarkan kondisi kerawanan kawasan. Adapun kegiatan rekonstruksi batas diupayakan untuk dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Di

dalam

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung masih terdapat konflik tumpang tindih kepemilikan lahan. Kawasankawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya menjadi

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung belum clear and clean, sehingga dibutuhkan upaya pencarian solusi yang paling tepat

untuk

penyelesaian

permasalahan

Sekolah di Dusun Tallasa

ini.

Beberapa alternatif solusi atas permasalahan ini

Peninjauan lokasi konflik

telah diupayakan untuk terus didiskusikan dengan para pihak terkait, termasuk dengan masyarakat yang menghuni kawasan hutan tersebut. Pada tahun 2008 sampai dengan 2010, akan dilakukan pengkajian yang difokuskan pada permasalahan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

103


Rencana Pengelolaan

ini, dan diharapkan dapat terselesaikan sampai dengan tercapainya kesepakatan penyelesaian masalah. Selain tata batas yang belum dirampungkan, penataan zonasi pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga belum dilaksanakan. Pengelolaan taman nasional yang didasarkan pada sistem zonasi menjadikan kegiatan ini penting untuk segera dilaksanakan pada tahap awal. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zonazona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Taman nasional adalah kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem zonasi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dengan demikian, zonasi taman nasional merupakan suatu perangkat penting dalam upaya-upaya pengelolaan. Dengan kata lain, zonasi taman nasional merupakan rule of the game atau management order. Penataan zonasi pada kawasan taman nasional diperlukan dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara efektif guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Penataan zonasi tersebut merupakan upaya penataan ruang untuk optimalisasi fungsi dan peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian kawasan taman nasional, serta penerapan dan penegakan ketentuan hukum yang dilaksanakan atas sanksi pelanggaran di setiap zona taman nasional secara tegas dan pasti. Penataan zonasi tersebut merupakan prakondisi yang harus diprioritaskan dalam kegiatan pemantapan kawasan, sebelum kawasan taman nasional tersebut dapat dikembangkan, dimanfaatkan, dan dikelola secara efektif sesuai fungsinya. Setelah penyusunan rancangan penataan zonasi dirampungkan sampai dengan pengesahannya oleh Direktur Jenderal PHKA, maka pada tahap selanjutnya akan dilaksanakan penataan batas zonasi. Penataan batas zonasi dilakukan dengan tujuan agar tersedia tanda batas secara pasti di lapangan yang dapat dipedomani oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan taman nasional. Serupa dengan penataan batas kawasan dalam proses pengukuhan, hasil penataan batas zonasi juga dilakukan penetapan atau pengesahannya oleh Menteri Kehutanan. Atas zonasi yang telah ditetapkan, secara berkala dalam rentang waktu tiga tahun dilakukan pemantauan dan evaluasi efektifitas penggunaan ruang berdasarkan zonasi yang ada. Apabila dalam perkembangan pengelolaan kawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian pengaturan penggunaan ruang, maka zonasi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat ditinjau kembali dan dilakukan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

104


Rencana Pengelolaan

perubahan-perubahan sebagaimana mestinya. Peninjauan kembali zonasi ini dilakukan berdasarkan kajian ilmiah terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat dengan menggunakan metode-metode tertentu berdasarkan konsep analisa spasial.

B. Perencanaan Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Adapun rencana pengelolaan taman nasional adalah panduan yang memuat tujuan, kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan taman nasional. Rencana pengelolaan taman nasional terdiri atas rencana pengelolaan jangka panjang, rencana pengelolaan jangka menengah, rencana pengelolaan jangka pendek, serta rencana-rencana teknis untuk keperluan tertentu secara spesifik. Rencana pengelolaan jangka panjang taman nasional adalah rencana makro yang bersifat komprehensif dan indikatif, untuk keperluan 20 tahun, yang menjadi acuan

bagi

penyusunan

rencana

pengelolaan

jangka

menengah,

rencana

pengelolaan jangka pendek/ tahunan dan rencana-rencana teknis di kawasan taman nasional. Rencana pengelolaan jangka menengah taman nasional adalah rencana yang bersifat strategis, kualitatif dan kuantitatif, untuk keperluan 5 tahun, yang disusun berdasarkan rencana pengelolaan jangka panjang. Rencana pengelolaan jangka pendek adalah rencana pengelolaan yang bersifat teknis operasional, kualitatif dan kuantitatif, untuk keperluan pengelolaan tahunan, yang disusun berdasarkan dan merupakan penjabaran rencana pengelolaan jangka menengah. Rencana aksi atau rencana teknis merupakan penjabaran dari salah satu atau beberapa kegiatan. Jenis rencana ini memuat detail pelaksanaan suatu kegiatan yang merupakan kebutuhan pengelolaan. Rencana-rencana teknis yang sekiranya dibutuhkan dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung antara lain berupa rencana pengembangan pariwisata alam, rencana tapak, rencana pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan kawasan, rencana pembinaan dan pengembangan daerah penyangga, rencana kegiatan rehabilitasi dan restorasi kawasan serta rencana-rencana lainnya. Dalam periode 2008-2027, terdapat sedikitnya 34 judul rencana pengelolaan yang akan disusun, yang terdiri dari rencana pengelolaan jangka panjang, menengah, rencana pengelolaan tahunan, serta rencana teknis. Efektifitas pencapaian target dan sasaran yang tercakup di dalam setiap rencana tersebut akan dilakukan evaluasinya setiap lima tahun. Selain pencapaian target dan sasaran, tidak tertutup pula kemungkinan adanya perubahan kebijakan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

105


Rencana Pengelolaan

pemerintah di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam periode perencanaan. Berdasarkan kepada hasil-hasil evaluasi yang telah dilakukan, maka tidak tertutup kemungkinan untuk diadakannya peninjauan kembali atas rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya.

C. Pengembangan Sarana dan Prasarana Dalam pengelolaan taman nasional, terdapat setidaknya tiga kelompok utama sarana dan prasarana yang dibutuhkan, yaitu sarana dan prasarana pokok, sarana dan prasarana penunjang pengelolaan, serta sarana dan prasarana pariwisata alam. Keseluruhan sarana dan prasarana ini saling terkait satu sama lain, dan di lain sisi terdapat keterbatasan dalam penyediaan anggaran untuk pemenuhannya, sehingga dibutuhkan kecermatan dalam menentukan skala prioritas pengembangan sarana dan prasarana tersebut. Untuk

kepentingan

efektifitas

pengelolaan

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan setidaknya 1 unit kantor balai taman nasional berukuran 600 M2 dan 2 unit kantor seksi pengelolaan taman nasional wilayah yang berukuran 400 M2. Karena pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan hingga kepada unit-unit terkecil maka telah dibentuk 7 resort taman nasional yang keseluruhan juga membutuhkan pondok kerja masing-masing berukuran 70 M2. Dalam rangka peningkatan efektifitas perlindungan dan pengamanan kawasan, dibutuhkan pula pospos jaga pengamanan hutan di sekeliling kawasan. Untuk kebutuhan tersebut, pada kawasan Taman Pondok Kerja Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Nasional Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan sedikitnya 10 unit pos jaga pengamanan hutan.

Secara keseluruhan, kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilihat pada tabel 3.

D. Pengelolaan Data dan Informasi Agar data dan informasi yang terkait dengan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan segala aspek pengelolaannya dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pihak yang berkepentingan, diperlukan suatu media yang tepat dan efisien. Dengan perkembangan teknologi informasi yang telah begitu pesat saat ini, situs web merupakan media yang tepat untuk keperluan ini, agar data dan informasi dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja dan kapan pun diperlukan. Selain pembangunan awal basis data dan informasi pada media ini, diperlukan pula pemutakhiran dan pemeliharaannya secara rutin sesuai dengan kebutuhan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

106


Rencana Pengelolaan

Disamping media penyebarluasan data dan informasi, pengumpulan dan pengolahan data dan informasi menduduki peranan yang lebih penting lagi. Pembangunan database manajemen sistem bukan suatu hal yang mudah, melainkan memerlukan proses yang cukup panjang serta ketersediaan berbagai sumber daya pendukungnya.

Pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

berhubungan dengan pemanfaatan ruang di atas permukaan bumi, sehingga selain data dan informasi yang sifatnya deskriptif dan naratif, diperlukan pula data dan informasi yang bereferensi keruangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan data spasial. Sangat diharapkan bahwa berbagai jenis data dan informasi yang telah disebutkan di atas dapat terintegrasi ke dalam suatu sistem perdataan yang dapat diakses dengan mudah. Untuk itulah kemudian dibutuhkan suatu perangkat lunak basis perdataan yang dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa memerlukan keterampilan khusus. Pada masa-masa selanjutnya, penyempurnaan dan pemutakhiran data dan informasi pada sistem basis data sebaiknya dapat dilakukan secara berkala. Media-media manajemen dan penyebarluasan data dan informasi seperti yang telah disebutkan di atas masih mempunyai kelemahan-kelemahan, terutama terkait dengan kebutuhan perangkat kerasnya serta belum familiernya teknologi informasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, pada saat ini masih dibutuhkan penyediaan media penyebarluasan data dan informasi secara manual berupa hardcopy. Media cetakan seperti itu antara lain dapat berbentuk buku informasi, booklet ataupun brosur-brosur. Hal lain yang juga perlu untuk mendapat perhatian adalah faktor ketersediaan perangkat keras dan sumber daya manusia pengelola data dan informasi. Untuk keperluan pengelolaan data dan informasi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diperlukan setidaknya komputer dengan spesifikasi yang khusus serta perangkat penunjangnya (antara lain Large Printer/Plotter), sumber data atau data dasar yang mutakhir, serta sumber daya manusia yang terlatih dengan baik.

E. Pengelolaan Potensi Kawasan Dalam rangka pengelolaan potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, hal pertama yang perlu untuk segera dilakukan adalah identifikasi dan pemetaan tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan. Hal ini menjadi penting, karena pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya didasarkan kepada potensi ekosistemnya serta potensi sumber daya alam yang ada di dalam ekosistem. Setiap tipe ekosistem mempunyai komponen-komponen penyusun yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Apabila batas-batas setiap tipe ekosistem serta komponen penyusunnya tidak diketahui secara pasti, maka dapat saja terjadi kekeliruan dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

107


Rencana Pengelolaan

manajemen kawasan. Contoh kekeliruan manajemen yang telah sering terjadi adalah pelaksanaan penanaman pohon pada ekosistem savana ataupun penanaman jenis bukan asli di dalam kawasan yang kemudian pada akhirnya menjadi species impasif/eksotik dan merusak tatanan alami ekosistem itu sendiri. Species yang ada di dalam kawasan, baik satwa liar maupun tumbuhan alam memerlukan pengelolaan yang baik. Oleh karenanya, pada tahap awal dibutuhkan data dan informasi yang valid terkait dengan kondisi populasi, sebaran dan keadaan

habitatnya

memenuhi

hal

secara

tersebut,

umum.

diperlukan

Untuk kegiatan

identifikasi dan inventarisasi yang intensif dan secara menyeluruh di dalam kawasan. Pada dasarnya, sumber

upaya daya

ini

yang

memerlukan cukup

CLP-KPH HIMAHOVA IPB

dukungan

besar.

Dengan

keterbatasan-keterbatasan yang terjadi selama ini, maka kegiatan-kegiatan pengumpulan data di lapangan sebaiknya dilaksanakan secara bertahap sehingga pada akhirnya akan dirampungkan pada

Boiga dendrophylla

suatu waktu tertentu. Pengulangan-pengulangan dalam

rangka

pemutakhiran

data

sebaiknya

dilaksanakan dalam jangka waktu setiap lima tahun. Tidak hanya sebatas itu, data-data dan informasi yang telah dikumpulkan dari lapangan sebaiknya

dipetakan

dengan

baik.

Dengan

langkah-langkah seperti itu maka kemudian dapat dikaji hubungan atau interaksi antar species di dalam habitat ataupun ekosistem (persaingan, predasi,

dan

komensalisme).

hubungan-hubungan ekosistem

tersebut

antar

Dapat

species

bersifat

di

positif

saja dalam namun

terkadang juga bersifat negatif. Apabila dampak dari interaksi antar species mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan degradasi populasi suatu species secara cepat, maka dengan segera dibutuhkan adanya intervensi dari pengelola melalui berbagai metode perbaikan ekosistem dan habitat, dalam hal ini dapat dilakukan pembinaan populasi dan habitat atau melalui upaya restorasi dan rehabilitasi.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

108


Rencana Pengelolaan

Di dalam suatu habitat atau ekosistem, terdapat jenis-jenis yang kemudian menjadi species kunci (Key Species). Species kunci tersebut memegang peranan penting di dalam ekosistem karena keberadaannya mendukung hampir semua komponen hayati yang ada di dalam habitat atau ekosistem tersebut. Sebagai contoh, jenis-jenis dari marga Ficus yang jumlahnya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mencapai 43 species (atau sub species), yang dikumpulkan dan diidentifikasi oleh Rasplus pada tahun 2007 (Deharveng et al, 2007). Jenis-jenis tersebut dikatakan sebagai species kunci pada kawasan ekosistem hutan di atas batu gamping (termasuk kawasan yang telah terkarstifikasi), karena kedudukannya sebagai makanan utama berbagai species yang mendiami ekosistem ini. Dari sudut pandang lain, di dalam suatu kawasan terdapat pula jenis-jenis yang kemudian dijuluki sebagai Flag Species, yaitu jenis-jenis hayati yang merupakan ciri khas potensi di dalam kawasan tersebut. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dikenal oleh berbagai kalangan di seluruh dunia dengan potensi kupu-kupunya. Dengan demikian, maka hingga saat ini species bendera Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah kupu-kupu, walaupun masih banyak species lain di dalam kawasan ini yang tidak kalah menariknya. Jenis-jenis yang merupakan Key Species dan Flag Species tersebut karena tingkat

kepentingannya

dalam

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung perlu untuk terus diupayakan identifikasi dan inventarisasinya. Hasilhasil dari pelaksanaan kegiatan ini hendaknya pada suatu saat akan terpetakan sebarannya dengan baik dan cermat sehingga dapat dimanfaatkan dalam penentuan kebijakan pengelolaan serta dalam rangka promosi pengembangan wisata alam di dalam kawasan. Untuk selanjutnya, dalam selang waktu tertentu perlu diupayakan untuk melaksanakan

pemantauan

dan

evaluasi

keseluruhan

tahapan

pengelolaan

kawasan. Pemantauan dan evaluasi ini dilaksanakan secara bertingkat dari species, habitat sampai dengan ekosistem di dalam kawasan. Pada suatu waktu tertentu di mana terjadi ketidaksesuaian antara potensi kawasan, pemanfaatan dan kondisinya secara nyata di lapangan, maka diperlukan suatu upaya untuk mengevaluasi potensi kawasan. Evaluasi fungsi kawasan ini bertujuan untuk memberikan bahan-bahan masukan bagi perumusan kebijakan perlu atau tidaknya dilakukan rasionalisasi kawasan konservasi. Rekomendasi yang dihasilkan dari evaluasi fungsi kawasan akan menjadi bahan untuk pelaksanaan rasionalisasi, yang mungkin saja akan menambah, mengurangi atau bahkan merubah penataan pemanfaatan ruang di dalam kawasan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

109


Rencana Pengelolaan

Obyek-obyek wisata yang potensial di dalam kawasan, baik yang berpeluang untuk dimanfaatkan dalam rangka wisata alam maupun wisata budaya perlu untuk diidentifikasi dengan baik. Selain identifikasi, dilakukan pula pengkajian atau study tentang kelayakannya untuk dikembangkan pemanfaatannya. Karena pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan ekologi, ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat, maka pengkajian atau study tersebut dilakukan dengan membuat permodelan hubungan dari ketiga unsur kepentingan tersebut. Ketiga unsur kepentingan tersebut seharusnya berjalan dengan seimbang dan kegiatan pengembangan tidak berpengaruh negatif terhadap salah satunya. Begitu pula dengan potensi obyek pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pengelolaan sampai dengan pemanfaatannya juga perlu untuk diidentifikasi dan dikaji sedemikian rupa sehingga pengaruh negatif dari kegiatan pemanfaatannya dapat ditekan seminimal mungkin terhadap kelangsungan proses ekologis di dalam ekosistem.

F. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditujukan untuk mencegah dan membatasi kerusakan kawasan yang antara lain disebabkan oleh perbuatan manusia, kebakaran hutan, daya-daya alam, hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas kawasan konservasi, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan. Pada prinsipnya, kegiatan ini meliputi pencegahan kerusakan kawasan serta mempertahankan hak-hak negara yang ada di dalam kawasan. Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sejauh ini masih difokuskan pada tataran perlindungan dan pengamanan serta pengkajian potensi (saving and studying), belum sampai pada upaya-upaya pemanfaatan secara intensif dan lestari (using). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan pada kawasan yang baru ditunjuk atau diubah fungsinya menjadi taman nasional, seperti Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kawasan yang ditunjuk menjadi taman nasional pada tanggal 18 Oktober 2004 ini, baru secara efektif dikelola oleh pemangku kawasan tersendiri, dalam hal ini Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, pada sekitar awal April 2007. Oleh karena kawasan ini baru pada tahap awal dikelola sebagai taman nasional, maka sudah barang tentu bahwa perhatian lebih ditujukan pada penyiapan prakondisi kawasan serta prakondisi sumber daya pengelolanya. Walaupun demikian, upaya perlindungan dan pengamanan kawasan dari segala macam gangguan tetap perlu mendapat perhatian serius secara terus menerus. Hal ini mengingat di masa reformasi yang lebih banyak ditunggangi oleh eforia, kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

110


Rencana Pengelolaan

hutan dan segala potensinya banyak mengalami tekanan dari berbagai pihak untuk dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi, baik secara legal maupun illegal. Gangguan dan tekanan ini tentu saja tidak mengenal kawasan yang masih dalam tahap prakondisi ataupun kawasan yang telah dikelola secara mapan. Kawasan baru dengan pengelola yang juga masih baru, kelembagaan yang masih lemah, sumber daya yang terbatas (terutama SDM dan sarana prasarana) menjadi kendala dan hambatan dalam mempertahankan fungsi dan tujuan utama penunjukan kawasan sebagai taman nasional. Oleh karenanya diperlukan strategistrategi khusus untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk meminimalisir gangguan dan tekanan yang berat tersebut. Salah satu strategi yang digunakan untuk mengefektifkan penggunaan sumber daya yang terbatas untuk mengoptimalkan upaya perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional ini adalah dengan menyiapkan perangkat-perangkat sistem peringatan dini (early warning system). Perangkat dimaksud dalam hal ini berupa identifikasi dan pemetaan indikasi kerawanan kawasan taman nasional. Peta Indikasi kerawanan kawasan ini dimanfaatkan sebagai salah satu perangkat yang dapat mengarahkan personil dan sarana prasarana yang terbatas ke lokasi-lokasi yang benar-benar memerlukan penjagaan dan patroli karena indikasi intensitas gangguannya yang telah diketahui. Identifikasi kerawanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dimaksudkan untuk mengumpulkan data, mengolah dan menyajikan informasi yang dapat menggambarkan tingkat kerawanan kawasan dari berbagai macam gangguan dengan menggunakan indikator-indikator yang berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya macam gangguan tersebut. Indikator-indikator yang dimaksud dalam hal ini terdiri dari kondisi penutupan lahan, tipe iklim, jarak dari pusat pemukiman masyarakat, tingkat aksesibilitas, kelas kelerengan serta potensi kawasan yang berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Identifikasi kerawanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditujukan sebagai salah satu bahan masukan perumusan kebijakan bagi upaya-upaya perlindungan dan pengamanan kawasan secara dini, efektif dan efisien serta lebih berorientasi pada upaya-upaya preventif. Output dari kegiatan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pelengkap tools pengambilan keputusan manajemen tentang perlunya tindakantindakan pencegahan serta tingkat kesiagaan para personil. Upaya perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dilakukan dengan berbagai tingkatan, yaitu dari tingkat preemtif, preventif, persuasif, dan represif. Sosialisasi tentang keberadaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, kebijakan pengelolaan dan pemanfaatannya, serta hal-hal lain yang terkait dengan kawasan dilakukan terhadap seluruh komponen pemangku kepentingan yang ada di sekitar kawasan. Sosialisasi penting dilakukan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

111


Rencana Pengelolaan

agar terjalin kesepahaman di antara para pemangku kepentingan tentang pengelolaan kawasan. Dengan kesepahaman yang telah terbangun, maka pengelolaan kawasan dan wilayah di sekitarnya dapat tersinskronisasi dengan baik. Sosialisasi sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pengamanan secara preemtif, persuasif dan preventif tidak hanya dilakukan terhadap para pemangku kepentingan di tingkat birokrasi, tetapi juga dilakukan secara langsung kepada masyarakat serta pemuda dan pelajar yang ada di dalam dan sekitar kawasan. Salah satu upaya preventif lain yang dilakukan dalam rangka perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah patroli di dalam dan sekitar kawasan serta penjagaan pada tempat-tempat strategis. Kegiatan ini dilaksanakan oleh seluruh personil yang tersedia dan tersebar sampai ke resort pengelolaan. Untuk kepentingan ini pula, maka penguatan sumber daya perlu dilakukan sampai ke tingkat resort, bahkan apabila memungkinkan dapat dijadikan prioritas. Apabila ditemukan adanya indikasi kuat terjadinya pelanggaran hukum di dalam kawasan dan sekitarnya, maka berdasarkan data intelijen yang valid dapat dilakukan operasi pengamanan hutan. Operasi ini dapat bersifat fungsional dengan melibatkan aparat internal Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung atau bersifat gabungan dengan bantuan aparat penegak hukum eksternal. Bila gangguan yang terjadi dapat diselesaikan oleh aparat internal, maka operasi pengamanan hutan cukup dilakukan secara fungsional, namun apabila gangguan cukup besar dan memerlukan sumber daya yang besar untuk penyelesaiannya maka operasi pengamanan hutan dilakukan secara gabungan. Hasil akhir dari pelaksanaan upaya represif adalah adanya alat-alat bukti dan tersangka pelaku pelanggaran hukum di dalam kawasan. Hasil ini kemudian ditindaklanjuti dengan pelaksanaan operasi yustisi. Operasi yustisi dilakukan secara berjenjang dari tahap penyelidikan, penyidikan, gelar perkara, persidangan sampai dengan terbitnya putusan pengadilan atas kasus tersebut. Salah satu persoalan lingkungan yang muncul hampir setiap tahun di Indonesia adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bentuk bencana yang makin sering terjadi, dan dampak yang ditimbulkan sangat merugikan bila dilihat dari aspek fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi maupun aspek ekologi (Syumanda, 2003 dalam Pratondo et. al, 2006; Anonim, 2007; Simanjuntak, 2007; Supriatna, 2007). Kebakaran hutan dan lahan juga kuat indikasinya untuk terjadi di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung apabila dilihat dari struktur vegetasi yang ada di atas kawasan karst. Kebakaran hutan dan lahan berakibat pada kerusakan sumber daya alam serta lingkungan. Kerugian yang ditimbulkannya tidak sedikit, mulai dari hilangnya sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

112


Rencana Pengelolaan

plasma nutfah penting, meningkatnya penderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut, hilangnya materi berharga milik masyarakat dan sebagainya. Dampak negatif yang dirasakan beragam, mulai dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Lingkup dampak negatifnya beragam pula, mulai dari tingkat regional, nasional maupun internasional. Bencana kebakaran hutan dan lahan menghasilkan polusi asap yang dapat melintasi batas negara (transboundary haze pollution) yang menyebabkan banyaknya protes dari negara-negara tetangga kepada Pemerintah Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan yang seharusnya dapat diantisipasi secara komprehensif oleh seluruh komponen yang terkait, baik pemerintah, masyarakat maupun kalangan swasta yang turut memberikan kontribusi terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Faktor-faktor yang berpengaruh ini sebaiknya diantisipasi sedini mungkin, karena antisipasi atau pencegahan kebakaran secara dini mungkin akan lebih menghemat penggunaan berbagai sumber daya dibandingkan apabila harus melakukan pemadaman. Untuk keperluan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, maka setidaknya diperlukan personil yang terlatih untuk keperluan tersebut, sarana dan prasarana pendukungnya serta dukungan pembiayaan. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat sebagian besar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah kawasan yang sangat rawan kebakaran hutan dan lahan. Dalam upaya perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, salah satu hal penting yang sebaiknya diperhatikan adalah kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang ada. Selain itu, diperlukan pula sarana dan prasarana yang memadai untuk pelaksanaan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan ini. Kedua jenis sumber daya ini sebaiknya diperhatikan dengan terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta pengembangan sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan hutan. Terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia yang terbatas, maka salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan memanfaatkan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan. Tenaga pengamanan hutan swakarsa serta masyarakat peduli api adalah dua perangkat pendukung yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan perlindungan dan pengamanan hutan yang efektif.

G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan Pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tidak terlepas dari perlunya dukungan penelitian dan pengembangan. Penelitian dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

113


Rencana Pengelolaan

pengembangan ini tidak hanya terbatas pada penelitian dasar namun termasuk pula kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi terapan. Agar kegiatan penelitian dan pengembangan yang seharusnya dilaksanakan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi dapat benar-benar mendukung upaya pengelolaan kawasan, maka diperlukan identifikasi dan penyusunan skala prioritas kebutuhan penelitian dan pengembangan di dalam kawasan. Hasil dari kegiatan ini dijadikan prioritas kegiatan penelitian dan pengembangan di dalam kawasan dan disosialisasikan kepada pihakpihak yang berkepentingan agar dapat terjalin sinkronisasi antara kebutuhan di dalam kawasan dan program penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Pengembangan kerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi juga perlu dirintis dengan baik agar kontinuitas kegiatan penelitian dan pengembangan di dalam kawasan dapat berjalan dengan baik. Pendidikan konservasi bagi masyarakat lokal menjadi esensial peranannya dan perlu diupayakan terus-menerus. Jika memungkinkan, pendidikan konservasi bagi masyarakat ini dilakukan sejak usia dini sehingga kesadaran konservasi dan pentingnya pengelolaan lingkungan yang baik sudah menjadi bagian dari hidup generasi bangsa ini. Pendidikan konservasi bagi masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai wadah. Upaya untuk menjadikan pendidikan konservasi sebagai muatan lokal pada program pendidikan dasar dan menengah adalah suatu hal yang penting untuk dilakukan. Dengan demikian, maka upaya konservasi tidak hanya dilaksanakan oleh pengelola kawasan konservasi melainkan juga menjadi bagian yang terintegrasi di dunia pendidikan. Metode lain yang dapat ditempuh untuk memasyarakatkan upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah dengan membentuk kader-kader penggerak upaya konservasi di kalangan masyarakat. Untuk itulah kemudian diperlukan upaya pembentukan kader konservasi serta pembinaan kalangan pecinta alam. Kader-kader konservasi dan pecinta alam ini akan turut menyuarakan pentingnya konservasi secara mandiri, dan dengan demikian maka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah.

H. Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Dalam rangka pengembangan pemanfaatan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, obyek-obyek wisata yang ada di dalam kawasan perlu dikembangkan dan ditata sedemikian rupa agar dapat menarik kunjungan wisatawan. Obyek-obyek wisata yang ada di dalam kawasan dapat dikelompokkan menjadi obyek wisata budaya, obyek wisata tirta, obyek wisata alam serta obyek wisata minat khusus. Keseluruhan obyek tersebut memerlukan pengelolaan dan pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

114


Rencana Pengelolaan

agar dapat bermanfaat secara optimal. Jalur-jalur wisata di dalam kawasan memerlukan rancangan yang memadai agar kunjungan dapat disesuaikan dengan waktu yang tersedia serta kebutuhan pembiayaan. Ekowisata merupakan salah satu bentuk pariwisata yang saat ini sedang trend dan banyak digunakan sebagai konsep dasar pengembangan suatu objek dan daya tarik wisata. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini konsep ekowisata merupakan salah satu konsep pengembangan pariwisata yang memperhatikan banyak hal. Sesuai dengan prinsip-prinsip yang selalu melekat dalam konsep pengembangan, ekowisata antara lain selalu memperhatikan: 1. Pengembangan yang dilakukan harus menguntungkan secara ekonomi bagi semua pihak yang berperan secara langsung ataupun tidak langsung; 2. Secara langsung dan tidak langsung harus memberikan kontribusi pada upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya); 3. Menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, bukan hanya sebagai objek yang tidak akan mendapat keuntungan. Menjadi subjek pembangunan dalam artian masyarakat juga harus diajak dalam proses perencanaan pengembangan, pengelolaan atau pelaksanaan dan pengontrol kegiatan pengembangan serta pelaksanaan; 4. Memberikan nilai pendidikan, baik pada para pengunjungnya, pelaku dan masyarakat sekitarnya, melalui program-program atau paket-paket yang dibuat yang harus memiliki bobot pendidikan yang dapat diterapkan oleh para pengunjung, pengelola dan masyarakat sekitar; 5. Memberikan nilai hiburan/rekreasi, seperti halnya pengembangan pariwisata lainnya yang salah satu tujuannya adalah memberikan nilai hiburan atau rekreasi. Dengan demikian maka pengembangan ekowisata juga harus memiliki porsi yang seimbang antara hiburan, pendidikan dan pelestarian alam.

Selain memperhatikan unsur-unsur tersebut, pengembangan ekowisata, juga harus mempertimbangkan beberapa faktor-faktor penting, antara lain: 1. Karakteristik lingkungan alam dan keanekaragaman hayati, hal tersebut harus dipertimbangkan karena akan sangat berpengaruh pada daya dukung lahan kawasan yang akan dikembangkan. Apabila hal tersebut diabaikan maka akan terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas dan tema kawasan dengan produk yang dikembangkan; 2. Karakterisitik daya tarik wisata dan sarana-prasarana pendukung, tema utama dari daya tarik wisata yang ada dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung harus diperhatikan, hal ini akan sangat berhubungan dengan konsep pengembangan ekowisata yang efektif dan efisien (dalam arti pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

115


Rencana Pengelolaan

yang dilakukan akan sedikit banyak menyesuaikan dengan hal-hal yang sudah tersedia dan tidak harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengadakan halhal yang belum ada); 3. Karakteristik budaya, tradisi dan agama setempat, yang sekaligus dapat dijadikan batasan-batasan dan pengatur cara-cara bersikap, cara berpakaian dan batas-batas waktu yang harus diperhatikan; 4. Pola pergerakan wisatawan, dari pola pergerakan wisatawan dapat ditetapkan program atau paket wisata yang seperti apa yang akan cocok atau sesuai untuk dikembangkan di daerah yang bersangkutan; 5. Pola pengembangan paket wisata, seperti telah tersebut di atas harus memiliki kesesuaian dengan kondisi pasar. Masing-masing segmen pasar yang dituju memiliki karakteristik tersendiri yang harus dipertimbangan dalam penyusunan paket, misalnya wisatawan yang kebanyakan kaum berumur akan lebih menyukai kegiatan di alam yang sifatnya ringan (soft), tidak menuntut penggunaan fisik terlalu tinggi, wisatawan dengan usia muda (anak sekolah) akan lebih menyukai kegiatan yang lebih aktif (mengandung tantangan). Pengembangan paket juga harus memperhatikan faktor kompetitif dari pesaing sehingga tidak mengulang tema yang sama yang telah dipakai oleh paket wisata lainnya; 6. Pola pengembangan sistem transportasi; 7. Pola pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan. Pola pengembangan wilayah tata ruang kawasan harus diperhatikan karena pengembangan pariwisata yang dilakukan akan menyesuaikan dengan pola pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan yang sudah ada; 8. Zonasi, zonasi akan mempengaruhi kawasan-kawasan mana saja yang boleh dan bisa dikembangkan.

Arahan pengembangan yang terutama dalam pengembangan ekowisata di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah untuk meningkatkan pendapatan alternatif bagi masyarakat di sekitar. Tujuan utama tersebut akan mengarahkan pembangunan kepada : 1. Mengupayakan pencapaian rencana strategis dan rencana pembangunan jangka panjang kehutanan; 2. Membuka peluang kerja baru, baik di sektor pariwisata secara umum maupun sektor penunjang pariwisata lainnya; 3. Mendorong investasi di sektor pariwisata dari para investor lokal maupun investor dari luar kawasan atau daerah (dan juga investor asing); 4. Mendorong upaya pelestarian sumber daya alam, tradisi dan budaya setempat;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

116


Rencana Pengelolaan

5. Mendorong pemerataan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan melalui pelibatan masyarakat secara merata.

Agar pengembangan pemanfaatan wisata di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat berjalan secara efektif dan efisien, dibutuhkan suatu rencana tapak yang sudah dilengkapi dengan desain teknis (engineering design) infrastruktur yang dibutuhkan. Rencana tapak dimaksudkan sebagai pedoman bagi pengelola

kawasan

sendiri

dan

para

pihak

yang

berkepentingan

dalam

mengoptimalkan dan memantapkan pemanfaatan potensi objek dan daya tarik wisata alam di dalam kawasan. Lebih lanjut, tujuan penyusunan rencana tapak kawasan ini diharapkan akan memberikan arahan bagi upaya: 1. Mengembangkan potensi kepariwisataan dan ekowisata kawasan sehingga dapat tumbuh dan berkembang sebagai destinasi wisata yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif secara regional dan nasional; 2. Meningkatkan peran dan kontribusi pariwisata dalam upaya pencapaian tujuantujuan yang telah tertuang dalam rencana strategis kehutanan sebagai salah satu sektor pembangunan yang handal yang mampu meningkatkan arus kunjungan dan pembelanjaan wisatawan ke kawasan taman nasional, peningkatan lama tinggal wisatawan, mendorong peningkatan kesejahteraan, serta membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas; 3. Mengembangkan potensi kepariwisataan kawasan melalui perencanaan secara terpadu

dan

dapat

berinteraksi

secara

komplementer

dengan

rencana

pengembangan pariwisata pada tingkat kawasan, tingkat nasional maupun rencana pengembangan sektoral di wilayah; 4. Mendorong perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan budaya, khususnya potensi alam dan budaya serta sejarah dengan pengelolaan dan pengembangan kegiatan yang relevan dan terkontrol, baik yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan pariwisata maupun kehutanan; 5. Mendorong pengembangan wilayah melalui pengembangan kegiatan ekowisata serta pemberdayaan masyarakat setempat (community based development).

Dalam pengembangan pemanfaatan kawasan taman nasional di bidang pariwisata, dibutuhkan sumber daya pendukung yang tidak sedikit jumlahnya. Pemerintah sendiri, dengan kondisi moneter yang belum benar-benar stabil, belum tentu mampu untuk menyediakan kebutuhan sumber daya tersebut. Oleh karena itu, pengembangan kerjasama perlu terus-menerus diupayakan dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Kepada para investor yang berminat dalam pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

117


Rencana Pengelolaan

wisata di dalam kawasan taman nasional, perlu diberikan stimulan-stimulan khusus, baik dari segi kebijakan atau regulasi pemerintah maupun dari segi-segi lain yang sekiranya dapat meningkatkan minat investasi. Informasi dan promosi menduduki peran yang signifikan dalam upaya pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Informasi dan promosi sebagaimana telah dibahas sebelumnya dibuat sedemikian rupa dan melalui berbagai media agar dapat mencapai berbagai tingkatan atau segmen pasar pariwisata.

I.

Pengembangan Integrasi, Koordinasi, Kolaborasi Integrasi pengelolaan bersama seluruh pihak, koordinasi yang mantap serta pengembangan kolaborasi perlu dilakukan secara konsisten dalam pengembangan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pihak-pihak terkait, terutama kalangan birokrat serta kalangan swasta dan masyarakat perlu terlibat secara aktif dalam pengembangan pengelolaan. Dengan demikian, pihak Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung perlu secara proaktif melaksanakan koordinasi dengan pihak-pihak tersebut.

J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga Dalam kehidupan manusia, peran alam tidak perlu dipertanyakan lagi nilai pentingnya. Namun seiring kemajuan peradaban manusia, kerusakan alam justru semakin menjadi. Bahkan era reformasi yang ditujukan untuk perbaikan, ternyata malah menjadi era perusakan terhadap alam yang tidak terkendali. Evoria reformasi dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung mempercepat degradasi sumber daya alam. Demikian pula halnya dengan kebijakan pengembangan ekonomi yang kurang memperhatikan kepentingan sosial dan ekologis. Walaupun tidak dapat dikatakan dalam kondisi prima, ekosistem kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung masih cukup utuh dan layak untuk mendapat perlindungan yang lebih baik lagi. Apabila tidak mendapatkan penanganan yang serius dan terstruktur, maka lambat laun kawasan ini juga akan mengalami kerusakan yang cukup parah. Potensi bentang alam karst di kawasan ini bernilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan untuk kepentingan penyediaan bahan tambang Marmer serta bahan baku pembuatan semen. Selain itu juga terdapat potensi tambang Batu Bara (walaupun tidak banyak) di dalam kawasan ini. Demikian pula halnya dengan potensi keanekaragaman hayati di dalamnya yang mempunyai nilai jual cukup tinggi dan banyak diminati oleh masyarakat domestik dan manca negara. Hal tersebut merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kelestarian ekosistem kawasan Bantimurung Bulusaraung. Potensi kawasan yang begitu

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

118


Rencana Pengelolaan

menggiurkan untuk kepentingan peningkatan perekonomian dengan mengeksploitasi sumber daya yang ada, memerlukan upaya-upaya secara serius untuk penanganannya dengan tetap mengedepankan keseimbangan antara faktor ekonomi, sosial dan ekologis. Dukungan dari berbagai pihak harus tetap dan terus dipupuk agar dapat membendung ancaman kerusakan kawasan. Disinilah peran-peran masyarakat di sekitar kawasan taman nasional menjadi sangat signifikan dan merupakan salah satu kunci keberhasilan perlindungan dan pelestarian kawasan. Sebuah peran yang bisa merupakan dukungan atau bahkan sebaliknya, sebagai ancaman atas kelestarian kawasan. Sebagai taman

nasional

definitif

baru, Taman

Nasional Bantimurung

Bulusaraung masih menjadi perdebatan pro-kontra bagi sebagian besar masyarakat di sekitarnya yang secara pasti menjadi penerima ekses terbesar dari penunjukan ini. Dukungan dan kepedulian masyarakat lokal terhadap upaya konservasi kawasan merupakan hal yang sangat diperlukan bagi terwujudnya kelestarian ekosistem dan fungsi kawasan. Untuk tetap menggalang dukungan dari masyarakat, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah adanya suatu bentuk kompensasi atas pembatasan akses masyarakat untuk memanfaatkan secara langsung barang produktif yang selama ini disediakan oleh alam di dalam kawasan taman nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan diversifikasi bentuk usaha ekonomi masyarakat. Bentuk usaha ekonomi ini diupayakan untuk tidak berbenturan dengan kepentingan perlindungan dan pelestarian kawasan, sehingga masyarakat dapat berinteraksi secara positif dengan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Memang tidak mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Dibutuhkan waktu, tenaga, pemikiran ekstra dan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Luasan kawasan dan jumlah populasi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan akan menjadi faktor pembatas. Apabila akan dilakukan secara keseluruhan dalam waktu yang bersamaan, maka upaya ini hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk direalisasikan menjadi sebuah kenyataan. Oleh karenanya, upaya tersebut harus dilakukan secara bertahap dari desa satu ke desa yang lainnya dengan mempertimbangkan tingkat prioritasnya. Penggalian alternatif kegiatan usaha yang lebih produktif secara ekonomi dan ramah lingkungan adalah salah satu strategi untuk mengurangi gangguan kawasan taman nasional. Pengembangan kapasitas dan keterampilan masyarakat desa di berbagai bidang, baik pengembangan alternatif usaha lain maupun peningkatan kesadaran dan pengetahuan konservasi merupakan strategi implementasinya di lapangan. Melalui pengembangan usaha perekonomian masyarakat, diharapkan akan terbentuk masyarakat yang mandiri dan sejahtera secara sosial ekonomi yang mampu

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

119


Rencana Pengelolaan

menjadi pendukung bahkan lebih jauh lagi sebagai pioneer kelestarian kawasan konservasi di sekitarnya. Tujuan akhir (goal) dari upaya pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung ini adalah mewujudkan “Masyarakat Desa yang Mandiri Ekonominya dan Peduli Konservasi yang Dapat Menjamin Hutan Lestari�. Tujuan antara yang diharapkan dapat mewujudkan goal tersebut adalah : (1) Mengembangkan jenis-jenis usaha ekonomi lokal produktif yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian alam; (2) Menumbuhkan budaya bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan terciptanya kader-kader di kampung tepi kawasan konservasi yang mampu mengapresiasi dan menjaga kelestarian lingkungan alam sekitarnya; (3) Membangun kesepahaman pengelolaan dan perencanaan bersama mengenai pembangunan desa yang berwawasan lingkungan; serta (4) Meningkatkan kesadaran konservasi masyarakat sekitar kawasan konservasi, terutama pada generasi muda sebagai tumpuan harapan bangsa di masa depan. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung akan melibatkan sumber daya desa secara keseluruhan, dengan sasaran utama yaitu : (1) Pemerintah setempat, terutama aparat pemerintahan di tingkat desa selaku salah satu penentu kebijakan; (2) Para tokoh masyarakat di desa bersangkutan sebagai suri teladan masyarakat; (3) Para pelaku perekonomian desa, terutama penangkap kupu-kupu, pengolah aren, petani kemiri, penjual cindera mata, dan lain-lain; (4) Para pemuda desa sebagai penggerak, pengemban dan penentu arah gerak peradaban dan budaya di masa yang akan datang; (5) Para pelajar di tingkat dasar guna menanamkan secara dini pemahaman dan kecintaan terhadap lingkungan; serta (6) Aparat pemerintah terkait, para akademisi, LSM dan kalangan swasta guna memfasilitasi dan memperlancar proses pencapaian tujuan. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diharapkan akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui usaha ekonomi produktif yang mampu bersaing, yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada menurunnya ketergantungan masyarakat dan tekanan terhadap kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada akhirnya, diharapkan akan tercipta suatu kondisi dimana kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung akan terlindungi secara lestari dengan dukungan penuh dari masyarakat yang mantap perekonomiannya, dan kawasan dapat berfungsi sebagai penopang kehidupan secara luas.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

120


Rencana Pengelolaan

K. Restorasi, Rehabilitasi dan Reklamasi Ekosistem Upaya restorasi, rehabilitasi dan reklamasi ekosistem kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diawali dengan pelaksanaan identifikasi dan inventarisasi kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan taman nasional. Identifikasi ini ditujukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan ekosistem di dalam kawasan. Apabila ditemukan kerusakan-kerusakan yang terjadi di dalam ekosistem, faktor penyebabnya serta sejauh mana dampaknya terhadap keseluruhan proses ekologis di dalam kawasan, maka akan dihasilkan rekomendasi tentang bentuk-bentuk intervensi pengelola yang perlu dilakukan untuk permasalahan tersebut. Pemetaan penutupan vegetasi dan batas-batas ekosistem serta sebaran keanekaragaman species menjadi penting sebagai dasar untuk menentukan tindakan intervensi yang dibutuhkan. Selain identifikasi dan inventarisasi kondisi habitat dan ekosistem, monitoring habitat dan populasi jenis di dalam kawasan juga perlu dilakukan secara berkala. Hasil dari kegiatan ini juga berperan dalam menentukan tindakan apa yang akan dilakukan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi di dalam kawasan. Pembinaan habitat dan populasi terutama diprioritaskan terhadap species kunci dan species penting lainnya. Rehabilitasi kawasan yang akan dilaksanakan sebaiknya dengan terlebih dahulu telah melalui kajian yang seksama tentang kondisi ekosistem, perkembangan suksesi ekosistem dan jenis di dalam ekosistem serta kesejarahan proses geologi dan edafologi kawasan.

L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Agar pelaksanaan pengelolaan kawasan beserta potensinya tetap berjalan pada arah yang benar secara efektif dan efisien, dibutuhkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap segala aspek pengelolaan dan setidaknya dilaksanakan setiap akhir atau awal tahun. Agar monitoring dan evaluasi dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan perangkatperangkat lunak monitoring dan evaluasi. Salah satu perangkat yang layak untuk digunakan adalah adanya suatu kriteria dan indikator pengelolaan kawasan yang efektif,

yang

disusun

sedemikian

rupa

sehingga

mampu

menggambarkan

sejauhmana efektifitas pengelolaan telah dilakukan. Monitoring dan evaluasi juga dilaksanakan terhadap realisasi pelaksanaan rencana-rencana

yang

telah

disusun

sebelumnya,

termasuk

pula

rencana

pengelolaan jangka panjang. Terhadap rencana-rencana yang telah disusun, monitoring dan evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir periode perencanaan. Hasilhasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi kemudian juga dijadikan bahan penyusunan laporan yang dilakukan secara berjenjang.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

121


Tabel 3 : Rencana Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung No. A.

Jenis Kegiatan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

KM

45,7

-

-

-

RKL IV

Pemantapan Kawasan

1.

Penataan Batas

2.

Reposisi Batas Kawasan

Paket

1

-

-

-

3.

Penetapan Kawasan

Paket

1

-

-

-

4.

Pemeliharaan Batas

KM

478,22

478,22

478,22

478,22

5.

Rekonstruksi Batas

KM

-

478,22

478,22

478,22

6.

Penyelesaian Konflik Kawasan

Paket

1

-

-

-

7.

Penyusunan Rancangan Zonasi

Paket

1

-

-

-

8.

Penataan Batas Zonasi

Paket

1

-

-

-

9.

Penetapan Batas Zonasi

Paket

1

-

-

-

10.

Pemantauan dan Evaluasi Zonasi

Paket

-

1

1

1

11.

Review Zonasi

Paket

-

PM

PM

PM

Judul

1

-

-

1

Judul

1

1

1

1

Judul

5

5

5

5

B.

Perencanaan

1.

Penyusunan Rencana Pengelolaan

2.

Penyusunan Rencana Pengelolaan

Jangka Panjang (20 Tahun)

Jangka Menengah (5 Tahun) 3.

Penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (1 Tahun)

122


No. 4.

Jenis Kegiatan Penyusunan Rencana Pengembangan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Judul

1

-

-

1

Judul

1

-

-

1

Judul

1

-

-

1

Judul

1

-

-

1

Paket

-

1

1

1

Judul

-

1

1

1

Unit

2

-

-

-

-

-

-

2

5

-

-

140

350

RKL IV

Pariwisata Alam (RPPA) dan Rencana Tapak 5.

Penyusunan Rencana Pengembangan

6.

Penyusunan Rencana Pembinaan dan

Sarana dan Prasarana Pengelolaan

Pengembangan Daerah Penyangga 7.

Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan

8.

Evaluasi Rencana Pengelolaan Jangka Panjang dan Menengah

9.

Review Rencana Pengelolaan Jangka Panjang

C. 1.

Pengembangan Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana Pokok : a.

Kantor SPTN Wilayah I & II (tipe 400)

M b.

c.

Rumah Jabatan SPTN Wilayah I dan

2

Unit 2

II (Tipe 70)

M

Pondok Kerja (Tipe 70)

Unit M

2

800 2 140

123


No.

Jenis Kegiatan d.

Pos Jaga (Tipe 20)

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Unit

-

M e.

Pusat Informasi dan Penelitian

Unit M

f.

Wisma

2

Unit M

-

2

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

RKL IV

5

5

100

100

-

2

-

-

-

-

240 -

2

2 300

g.

Jalan Patroli

KM

-

150

150

-

h.

Menara Pengawas Kebakaran

Unit

1

5

-

-

i.

Menara Pengintai Satwa

Unit

-

2

-

-

j.

Stasiun Penyelamatan dan

Unit

-

-

2

-

Rehabilitasi Satwa k.

Kandang Transit Satwa

Buah

-

3

3

3

l.

Peralatan Navigasi (GPS Navigasi)

Unit

25

-

25

-

m. Peralatan Navigasi (GPS Geodetic)

Unit

-

2

2

2

n.

Peralatan Komunikasi (SSB)

Unit

3

5

-

8

o.

Peralatan Komunikasi (RICK)

Unit

-

5

5

10

p.

Peralatan Komunikasi (HT)

Unit

30

20

20

20

q.

Peta Dasar dan Peta Kerja

Paket

2

2

2

2

r.

Citra Satelit Resolusi Tinggi

Km2

250

250

250

250

s.

Kendaraan Roda 4

Unit

5

-

5

-

t.

Kendaraan Roda 2

Unit

14

-

14

-

124


No.

2.

Jenis Kegiatan

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

RKL IV

u.

Perlengkapan Lapangan

Paket

3

3

3

3

v.

Meubelair

Paket

7

21

7

10

Unit

-

-

1

1

300

300

Sarana dan Prasarana Penunjang Pengelolaan : a.

Pembangunan Fasilitas Akomodasi

M b.

3.

Transportasi Pengunjung

2

Unit

-

-

2

2

Unit

-

2

2

2

200

200

200

Sarana dan Prasarana Pariwisata Alam : a.

Pondok Wisata

M

2

b.

Bumi Perkemahan

Unit

1

-

2

2

c.

Ruang Pertemuan

Unit

-

1

-

-

d.

Fasilitas Permainan Anak

Unit

-

2

2

-

e.

MCK

Unit

10

15

15

15

f.

Loket

Unit

1

2

-

-

g.

Jalan Trail Wisata

Km

5

5

5

5

h.

Areal Parkir

Buah

1

2

1

1

i.

Jalan Utama

Km

0,5

2

1

1

j.

Jembatan

Unit

1

-

-

-

k.

Karst Bridge

Unit

-

1

1

1

125


No.

Jenis Kegiatan l.

Bronjong

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

RKL IV

Unit

1

-

-

-

m. Kolam Renang

Unit

-

2

-

-

n.

Unit

1

1

-

-

Early Warning System Banjir pada Blok Bantimurung dan Pattunuang

D.

o.

Jaringan Listrik

Paket

1

2

-

2

p.

Papan nama kawasan

Buah

1

1

1

1

q.

Papan informasi/petunjuk/larangan

Buah

16

10

10

10

r.

Pintu Gerbang Kawasan

Buah

2

1

1

1

s.

Papan Nama dan Pagar Mulut Gua

Buah

10

20

20

20

Pengelolaan Data dan Informasi

1.

Pembuatan Website

Paket

1

-

-

-

2.

Pemeliharaan dan pemutakhiran informasi

Paket

5

5

5

5

Paket

5

5

5

5

Judul

1

1

1

1

Judul

10

10

10

10

pada Website 3.

Pengembangan dan pemutakhiran database spasial dan non spasial

4.

Penerbitan Buku Informasi Taman

5.

Penerbitan Leaflet dan Booklet

Nasional Bantimurung Bulusaraung

126


No. 6.

Jenis Kegiatan Pengembangan sarana dan prasarana

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Paket

1

1

1

1

Paket

2

2

2

2

RKL IV

pengelolaan data dan informasi (perangkat keras dan perangkat lunak) 7.

Peningkatan kapasitas pengelola data dan informasi

E.

Pengelolaan Potensi Kawasan

1.

Identifikasi dan pemetaan tipe ekosistem

Paket

1

-

-

-

2.

Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan

Paket

5

5

5

5

Paket

5

5

5

5

Paket

-

1

1

1

sebaran species satwa 3.

Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan sebaran species tumbuhan alam

4.

Identifikasi dan inventarisasi Key Species dan Flag Species

5.

Evaluasi fungsi kawasan

Paket

1

1

1

1

6.

Pemantauan dan evaluasi species, habitat

Paket

-

1

1

1

Paket

2

2

-

dan ekosistem 7.

Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan sebaran potensi obyek wisata alam dan wisata budaya

127


No. 8.

Jenis Kegiatan Identifikasi dan inventarisasi potensi jasa

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Paket

1

1

-

-

Paket

2

2

2

2

Paket

1

2

2

2

Paket

5

5

5

5

Paket

5

5

5

5

RKL IV

lingkungan kawasan taman nasional 9.

Valuasi ekonomi sumber daya alam di dalam taman nasional (beserta monitoringnya setiap lima tahun)

10.

Identifikasi kondisi sosial dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

F.

Perlindungan dan Pengamanan Kawasan

1.

Identifikasi tingkat kerawanan kawasan (penebangan liar, perburuan liar, perambahan kawasan, kebakaran hutan, dan penambangan liar)

2.

Sosialisasi kawasan taman nasional

3.

Patroli rutin dan penjagaan

Kali

1.825

1.825

1.825

1.825

4.

Operasi fungsional

Kali

25

25

25

25

5.

Operasi gabungan

Kali

5

5

5

5

6.

Operasi yustisi

Kali

5

5

5

5

7.

Pengendalian kebakaran hutan

Kali

5

5

5

5

8.

Pengendalian hama, penyakit dan jenis

Kali

5

5

5

5

eksotik

128


No. 9.

Jenis Kegiatan Pengembangan kapasitas petugas

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Paket

2

2

2

2

Paket

5

5

5

5

RKL IV

perlindungan dan pengamanan kawasan 10.

Pengembangan sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan kawasan

11.

Pembentukan Pamhut Swakarsa

Orang

90

30

30

30

12.

Pembentukan MPA

Orang

60

60

60

60

13.

Fasilitasi pembentukan forum masyarakat

Paket

1

1

-

-

Paket

1

1

1

1

Paket

1

1

1

1

Paket

1

1

1

1

Orang

150

150

150

150

peduli lingkungan taman nasional

G.

Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan

1.

Identifikasi dan penyusunan skala prioritas kebutuhan penelitian dan pengembangan

2.

Pengembangan kerjasama dengan lembaga penelitian

3.

Pengembangan pendidikan konservasi

4.

Pembentukan dan pembinaan kader-

bagi masyarakat lokal

kader konservasi dan kelompok pecinta alam

129


No. 5.

Jenis Kegiatan Pemantauan dan evaluasi kegiatan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Kali

1

1

1

1

Paket

1

1

1

1

Paket

1

1

1

1

Paket

1

1

1

1

RKL IV

penelitian dan pengembangan serta pendidikan konservasi

H.

Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan

1.

Pengembangan pemanfaatan obyek wisata alam

2.

Pengembangan kerjasama pengelolaan obyek wisata alam

3.

Pemberian stimulan kepada investor di bidang pengembangan wisata alam

4.

Promosi produk-produk wisata alam

Paket

5

5

5

5

5.

Pemberdayaan masyarakat lokal dalam

Paket

1

1

1

1

Paket

1

1

1

1

pengembangan wisata alam 6.

Pengembangan percontohan pemanfaatan jasa lingkungan

130


No. I.

Jenis Kegiatan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Paket

1

1

1

1

RKL IV

Pengembangan Integrasi, Koordinasi dan Kolaborasi 1.

Pengembangan pengelolaan kolaboratif obyek wisata alam di dalam kawasan taman nasional

2.

Pengembangan sistem promosi

Paket

1

1

1

1

3.

Pemantapan koordinasi

Paket

5

5

5

5

Judul

1

-

-

1

Paket

2

1

1

1

Paket

10

10

10

10

Paket

5

5

5

5

Paket

1

2

2

2

J.

Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga

1.

Penyusunan master plan pembangunan model desa konservasi

2.

Identifikasi dan inventarisasi potensi desadesa di dalam dan sekitar kawasan taman nasional

3.

Pembentukan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan

4.

Pembinaan usaha ekonomi produktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

5.

Pengembangan percontohan (demplot) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati

131


No. 6.

Jenis Kegiatan Peningkatan kapasitas masyarakat pada

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL) RKL II RKL III

Satuan Volume Kegiatan

RKL I

Paket

2

2

2

2

Paket

1

1

1

1

Paket

-

2

2

2

Paket

PM

PM

PM

PM

Ha

PM

PM

PM

PM

Paket

5

5

5

5

Paket

5

5

5

5

RKL IV

daerah penyangga kawasan taman nasional

K.

Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi Ekosistem

1.

Identifikasi dan inventarisasi kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan taman nasional

2.

Monitoring habitat dan populasi jenis di dalam kawasan

2.

Restorasi habitat dan ekosistem

3.

Rehabilitasi kawasan taman nasional

L. 1.

Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Monitoring dan evaluasi efektifitas pengelolaan taman nasional

2.

Pelaporan rutin

132


VII Penutup Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini merupakan pedoman dan arahan pelaksanaan pengelolaan yang masih bersifat makro dan indikatif. Karena sifat dan cakupan dari rencana ini, maka untuk selanjutnya masih diperlukan penjabaran lebih lanjut ke dalam rencana-rencana yang lebih rinci dan cakupan masa perencanaannya pendek. Rencana pengelolaan yang telah disusun ini diharapkan dapat dipedomani dengan baik, diaplikasikan secara konsisten serta terus dimonitor pencapaian pelaksanaanya. Perlu disadari bahwa masa perencanaan ini cukup panjang sedangkan kebijakan pemerintah akan terus berubah dan mengarah kepada perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang. Review terhadap rencana ini perlu terus dilakukan agar tetap sinkron dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.


Daftar Pustaka Achmad, Amran. 2001. Potensi dan Kondisi Kawasan Karst Maros-Pangkep. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar. Alikodra, H.S.. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. 1995. National Conservation Plan for Indonesia. Volume 6D Sulawesi Selatan Province. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Ministry of Forestry. Jakarta. Anonim. 2001. Kerangka Acuan (Term of Reference) Simposium Karst Maros-Pangkep. Prosiding

Simposium

Karst

Maros-Pangkep:

Menuju

Perlindungan

dan

Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar. Badan Pusat Statistik. 2005. Data GIS Kemiskinan Indonesia 2005. Sub Direktorat Pemetaan BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Maros Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros. Maros. Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Pangkep Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkajene.


Rencana Pengelolaan

Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bone Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. Watampone. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Formulir Data Non Spasial Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Rencana Strategis Balai Taman Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

2007-2009.

Balai

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Rencana Kerja Tahun 2008. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Kondisi Kawasan Konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Laporan Tahunan 2007 Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. LAKIP Tahun 2007 Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Statistik Tahunan 2007 Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan. Deharveng, et al. 2007. Zoological Investigations in The Karst of South and Southeast Sulawesi. Project Report. Museum National d’Histoire Naturelle de Paris. Paris. Unpublished. Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.56/MenhutII/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta. Direktorat Jenderal PHPA. 1996. Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor : 129/Kpts/DJ-VI/1996 Tentang Pola Pengelolaan KSA, KPA, Taman Buru, dan Hutan Lindung. Direktorat Jenderal PHPA, Departemen Kehutanan. Jakarta. Karim, Amiruddin. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Kabupaten Maros Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst MarosPangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

135


Rencana Pengelolaan

Ko, R.K.T. 2001. Kawasan Karst Maros-Pangkep, Nilai Lebihnya dalam Bidang Non Pertambangan.

Prosiding

Simposium

Karst

Maros-Pangkep:

Menuju

Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar. Lubis, M. Irfansyah, dkk. 2007. Kekayaan Jenis Herpetofauna Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung

Sulawesi

Selatan.

Departemen

Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor dan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Laporan sementara. Tidak dipublikasikan. Mattimu, A.A., H. Sugondo dan H. Pabittei. 1977. Identifikasi dan Inventarisasi Jenis Kupu-kupu di Daerah Bantimurung Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Nitta, K dan P. Delanghe. 2001. Introduction on Cultural and Natural World Heritage and World Heritage in Karst Areas. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar. Palaguna, H.Z.B dan Haruna Rachman. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst Maros-Pangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar. Patappe, H.A. Gaffar. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Kabupaten Pangkep Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst MarosPangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar. Pratondo, B. J., Hadi S. Alikodra, Bambang H. Sahardjo, Priyadi Kardono. 2006. Aplikasi Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimatan Barat). Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 12 No. 2 Desember 2006. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Cibinong.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

136


Rencana Pengelolaan

Samodra, Hanang. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia, Pengelolaan dan Perlindungannya. Publikasi Khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Nomor 25 Tahun 2001. Badan Litbang ESDM Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung. Samodra, Hanang. 2003. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia dan Usaha Pengelolaannya Secara Berkelanjutan. Suplemen tulisan pada Pelatihan Dasar Geologi untuk Pecinta Alam dan Pendaki Gunung, kerjasama IAGI dengan Klub Pecinta Alam. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Bogor. Simanjuntak, T. 2007. Hutan Terbakar Pasti Berlalu. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Tersedia online pada www.elsam.or.id diakses pada tanggal 19 Desember 2007. Sriyanto, Agoes. 2002. Pengelolaan Taman Nasional. Materi Pendidikan dan Pelatihan Dasar-Dasar Konservasi. Tidak dipublikasikan. Suhardjono, Yayuk R. Dkk. 2007. Laporan Teknik 2006. Inventarisasi dan Karakterisasi Biota Karst dan Gua Pegunungan Sewu dan Sulawesi Selatan. Proyek 212. Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Bogor. Supriatna, J. 2007. Strategi Menanggulangi Kebakaran Hutan. Tropika/Conservation International Indonesia. Tersedia online pada www.conservation.or.id diakses pada tanggal 19 Desember 2007. Wallace, Alfred Russel. 1890. The Malay Archipelago. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Whitten et al. 2002. The Ecology of Indonesia Series Volume IV: The Ecology of Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

137


Rencana Pengelolaan

L ampir an 1 :

Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten I. Maros

Kecamatan A. Bantimurung B. Simbang

C. Cendrana

D. Camba

E. Mallawa

F. Tompobulu

II. Pangkep

G. Tondong Tallasa

H. Balocci

I. Minasate’ne

III. Bone

J. Tellu Limpoe

Desa/Kelurahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.

Keterangan

Leang-leang Kalabbirang Jenetaesa Sambueja Samangki Lebbotengngae Labuaja Limampoccoe Rompegading Pattanyamang Mario Pulana Pattiro Cempaniga Timpuseng Bentenge Barugae Tellumpanuae Sabila Padaelo Samaenre Uludaya Gattarengmatinggi Wanuawaru Bontomanai Bontomatinggi Bontosomba Bantimurung Malaka Lanne Tonasa Majannang Balocci Baru Baleanging Tompobulu Panaikang Bontokio Kabba Biraeng Bontomasunggu Polewali

Sumber : Data primer setelah diolah, 2008

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

138


Rencana Pengelolaan

L ampir an 2 :

Daftar Flora dan Fauna A.

Daftar Fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Status Perlindungan

No.

Jenis Fauna

Mamalia 1 Macaca maura 2 Macrogalidia musschenbroeckii 3 Strigocuscus celebensis 4 Ailurops ursinus 5 Cervus timorensis 6 Tarsius spectrum Aves 7 Fregata sp. 8 Penelopides exarhatus 9 Rhyticeros cassidix 17 Spizaetus lanceolatus 10 Pycnonotus aurigaster 11 Saxicola caprata 12 Treron sp. 13 Dendrocarpus teiminkii 14 Collocalia sp 15 Collocalia esculenta 16 Otus manadensis 17 Loncura molluca 18 Loncura malacca 19 Loncura vallida 20 Turacaena manadensis 21 Tanignatus sumatranus 22 Ghallus gallus 23 Halcyon cloris 24 Oriolus chinensis 25 Ardea purpurea 26 Egretta sacra 27 Bubulcus ibis 28 Ardeola speciosa 29 Butorides striatus 30 Nycticorax caledonicus 31 Ixobrychus cinnamomeus 32 Spilornis rufipectus 33 Ictinaetus malayensis 34 Falco peregrinus 35 Turnix suscitator 36 Pluvialis fulva 37 Arenaria interpres 38 Tringa ochropus 39 Tringa glareola 40 Actitis hypleuca 41 Himantopus leucocephalus 42 Numenius phaepus 43 Ptilinopus melanospila 44 Trichoglossus ornatus

Prediksi Populasi

UU 5 / 1990

CITES

Tidak dilindungi

√ √ √ √ √ √

II I II

-

? ? ? ? ? ?

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

II III II -

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ -

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

139


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan No.

Jenis Fauna

45 Loriculus stigmatus 46 Phaenicophaeus calyorhynchus 47 Centropus celebensis 48 Centropus bengalensis 49 Caprimulgus affinis 50 Apus affinis 51 Actenoides monachus 52 Alcedo meninting 53 Merops philippinus 54 Merops ornatus 55 Coracias temminckii 56 Mulleripicus fulvus 57 Hirundo tahitica 58 Coracina morio 59 Lalage leucopygialis 60 Lalage sueurii 61 Dicrurus hottentottus 62 Oriolus chinensis 63 Corvus typicus 64 Trichastoma celebense 65 Zosterops chloris 66 Zosterops anomalus 67 Cyornis rufigastra 68 Hypothymis azurea 69 Artamus leucorynchus 70 Streptocitta albicollis 71 Basilornis celebensis 72 Myzomela saguinolenta 73 Nectarinia aspasia 74 Nectarinia jugularis 75 Aethopyga siparaja 76 Dicaeum aureolimbatum 77 Dicaeum celebicum 78 Passer montanus 79 Padda oryzivora Amphibi 80 Bufo melanostictus 81 Bufo celebensis 82 Phryne sp 83 Polypedates leucomystax 84 Fejervarya limnocharis 85 Fejervarya crancrivora 86 Rana celebensis Reptilia 87 Eutropis rudis 88 Sphenomorphus variegans 89 Sphenomorphus variagatum 90 Lamprolepis smaragdinum 91 Cyrtodactylus jellesmae 92 Cyrtodactylus sp 93 Draco sp 94 Draco volans 95 Hydrosaurus amboinensis 96 Ahaetulla prasina 97 Boiga dendrophyla 98 Boiga irregularis 99 Dendrelaphis pictus 100 Rhapdophis chrysargoides

Prediksi Populasi

UU 5 / 1990

CITES

Tidak dilindungi

√ √ √ √ √ -

II

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

-

-

√ √ √ √ √ √ √

? ? ? ? ? ? ?

√ -

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

140


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan No. 101 102 103 104 105 Insecta 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157

Jenis Fauna

Prediksi Populasi

UU 5 / 1990

CITES

Tidak dilindungi

Psammodynastes pulverulentus Tropidolaemus wagleri Ramphotyphlops braminus Python reticulatus Varanus salvator

-

II -

√ √ √ √ √

? ? ? ? ?

Morphotaenaris schoembargi Faunis menado Taenaris catops leanas Danaus chrysippus Danaus genetia Danaus melucina cythia Eupoea algae Eupoea blossomae Eupoea fibrician Eupoea leucostictos Eupoea modesta lagans Eupoea phaenereta unibrunnea Eupoea wallacei Eupoea sp Eupoea sp Idea blanchardi Idea tambusisi Idea idea Idea idea oza Idea novella Ideopsis juventa Ideopsis klassica Ideopsis vitrea Ideopsis sp Parantica aspasia Parantica cleona Pareronia valeria Lybithea geoffreyi Lybithea geoffreyi antipoda Azanus moriqua Bindahara phocides Denorix epiyarbas Freyeria trochilus Hypochrysops mioswara Jamides cyta amphissina Liphyra brassoli Argynnis sp Argyreus hyperbius Argyreus hyperbius inconstan Cethosia myrina Cethosia biblis Charaxes solon Charaxes affinis Charaxes nitebis Cirrochroa regina filder Cirrochroa regina princesa Cupha erymanthis Cupha maedonis Cyrestis acilia Cyrestis thyenneus Cyrestis strigata Euthalia aetes

√ -

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

141


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan No. 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215

Jenis Fauna

Euthalia amanda Euripus robustus Hypolimnas bolina Hypolimnas domea Helcyra celebensis Junenia almana Junenia atlites Junenia orithya Junenia erigone Junenia hedonia Limenitis lymire Melanitis ismene Mycalesis duphonceli Mycalesis malsarida Neptis nandina Neptis praslini Parthenos silvia Parthenos tigriana Phalanta alcippe araca Polyura clitarchus Polyura alpius Polyura cognata Pontoporia eulimene baudora Rohana macar Vagrans egista Vindula cycnei Vindula erota Vindula erota cycnea Vindula erota ricussa Vindula sp Yoma sabina sabina Yoma algina Yanesa buana Papilio peranthus Papilio gigon Papilio sataspes Papilio ascalapus Papilio fuscus Papilio polytes Papilio adamanthus Papilio albinos Papilio blumei Papilio canopsis Papilio castor Papilio cedrusmedon Papilio deiphobus dliphylus Papilio galucus turnus Papilio lorquinianus Papilio lowii Papilio memnon Papilio polites Papilio polyphontes Papilio sarpedon Troides hipolythus Troides helena Troides haliphron Graphium androcles Graphium cordus

UU 5 / 1990 √ √ √ -

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

CITES II II II -

Tidak dilindungi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Prediksi Populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

142


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan No. 216 217 218 219 220 221 222 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279

Jenis Fauna

UU 5 / 1990

CITES

Tidak dilindungi

-

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Graphium eupharates Graphium euryphylus Graphium milon Graphium agamemnon Graphium doson Graphium mendana Graphium meyery Graphium rhesus Graphium deucalion Graphium sarpedon Graphium tilacha Atrophaneura dixoni Lamproptera meges Pachlioca iris Appias albina Appias celastina Appias lyncida Appias nero Appias paulina Appias placidia Appias zarinda Appias hombroni Amathusia phidippus Delias alepa Delias hapalina Delias hyparete Delias isocharis Delias melusina Delias mesebloma Delias omytion Delias pasithoe Delias poecilia Cepora celebensis Cepora timnatha Chirrochoa semiramis Chirrochoa thule Delias rosenbergi Euploea eupator Euploea eleusina Euploea hewitsoni Euploea algea Euploea westwodi Delias sacha Delias zebuda Delias shupi Dixeia doxo costata Discopora bambusa Elodina equatia Eurema candida Eurema drona Eurema celebensis Gandaca harina niguina Hebomia glaucippe Hebomia glaucippe aurantiaca Hebomia leucippe daemonis Hestina divona Ixias reinwardti Ixias vollenhovii Leptosias nina

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi Populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

143


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan No.

Jenis Fauna

UU 5 / 1990

280 Lamesia lyncides 281 Papreronia valeria 282 Saletara cyninna 283 Saletara leberia 284 Saletara panda 285 Terias candida 286 Terinos taxiles 287 Tirumala choaspes 288 Tirumala hamata 289 Tacola eulimine 290 Valeria argotis 291 Valeria chinki 292 Valeria jobaea abiiana 293 Dicalleneura ekeike 294 Dicalleneura rebbei arfalensis 295 Praetaxilla segesia cariya 296 Praetaxilla statira dhyana 297 Praetaxilla statira statira 298 Attacus atlas 299 Elymnias thryallis 300 Elymnias hewitsoni 301 Geitoneura mynyas 302 Melanitis leda 303 Melanitis velutina 304 Mycalesis sirius 305 Batocera sp. 306 Aegus sp. 307 Catopsilia scylla 308 Catopsilia pomona 309 Pareronia tritaea 310 Parthenos sylvia 311 Dichorragia sp 312 Doleshallia bisaltios 313 Estina divona 314 Hypolimnas diomea 315 Lexias aetes 316 Moduza procris 317 Moduza lymire 318 Moduza libinites 319 Moduza licone 320 Mynes talboti 321 Mynes geoffroyi 322 Parthenos tigrina 323 Prothoe frank 324 Rhinipalpa polynice 325 Gehyra matilata 326 Mubaya rudis 327 Cosymbatus sp 328 Pachliopta polyponthes 329 Deudorix epijarbus Collembola, Pisces, Moluska dan lain-lain 330 Aracnida 331 Collembola 333 Polydesmida 333 Trombididoee 334 Armadillidia 335 Doratodesmidae 336 Amblipigii

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi Populasi

CITES

Tidak dilindungi

-

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

-

-

√ √ √ √ √ √ √

? ? ? ? ? ? ?

-

144


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan No. 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356

Jenis Fauna

UU 5 / 1990

CITES

Tidak dilindungi

-

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Heteropodidae Scutigeridae Rhaphidophora Pnaria sp Eustra sp Eustra saripaensis Cyclotus longipilus Cyclotus politus Cyclotus guttatus Hesta sp Planispira Leptopoma celebesianum Trichoptera Cancrocaeca xenomorpha Bostrychus sp 1 Bostrychus sp 2 Cirolana marosina Marosina longirostris Marosina brevirostris Pseudosinella maros

Prediksi Populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Sumber : Data Primer BTN Babul dan dihimpun dari berbagai sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

145


Rencana Pengelolaan

B. Daftar Flora Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

Jenis Flora

Status perlindungan UU Tidak CITES 5/1990 dilindungi

Agathis philippinensis Arthocarpus integra Arthocarpus communis Arthocarpus altiliis Arthocarpus elestica Arthocarpus incise Anthochepalus cadamba Anthochepalus macrophyllus Alstonia scholaris Anacardium occidentale Albizia saponaria Arenga pinnata Aleurites moluccana Annona muricata Aglaia lawii Aglaia odorattisima Aglaia tomentosa Aglaia korthalsii Aglaia argentea Aglaia ganggo Aglaia sp Archidendron sp Actinodaphne sp Abelmoschus moschatus Acmena acuminatissima Adina sp Alchornea rugosa Antiaris taxicaria Antidesma montanum Apania senegalensis Aporosa sp Arcangelisia flava Ardicia lanceolata Alangium salvinifolium Allophylus cobbe Aphanamixis polystachya Ardisia sp Alsodaphne sp Alphitonia incana Aralia sp Buchanania arborescens Bombax malabaricum Bambusa sp Bauhunia arborea Baringtonia asiatica Baccauirea sp Bischofia javanica Breidelia insulana Beilschmiedia gemmiflora Beilschmiedia sp Breynia virgata Casuarina junghuhniana Castanea acuminatissima Colona sp Cananga odorata Calophyllum inophyllum Calophylum sp Klenhovia hospita Ceiba petandra Citronella suaveoleus

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

-

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Prediksi populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

146


Rencana Pengelolaan

No. 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120

Jenis Flora Citronella sp Chionanthus celebicus Cinnamomum sp Cynometra ramiflora Chionanthus ramiflora Cratoxylon cochinchinensis Claoxylon sp Clorodendrum sp Canarium balsamiferum Canarium maluence Canthium didyma Caryota mitis Cassia siamea Celtis cinamomea Cleistanthus myrianthus Canthium didyma Chisocheton ceramicus Codiaeum variegatum Castanopsis buruana Castanopsis sp Coffea sp Caseria grewiaefolia Duabanga moluccana Dracontomelon dao Dracontomelon mangiferum Dillenia serrata Diospyros celebica Diospyros ferrea Diospyros korthalsiana Diospyros venenosa Dracaena multiflora Dehaasia caesia Dehaasia celebica Didymocheton nutans Drypetes glabridiscus Drypetes globosa Drypetes longifolia Drypetes subcubica Drypetes sp Dysoxylum densiflorum Denrocdine stimulans Derris trifoliate lour Dolichandrone spathacea Elmerillia sp Eucalyptus deglupta Eugenia jambolana Eugenia acuminatissima Eugenia cuminii Eugenia everettii Eugenia polycephaloides Euonymus javanicus Elastostema sinuatum Euvodia accendens Eupotarium odoratum Exocarpus latifolius Erythrina pusca Ellatostachys verrucosa Endiandra rubescens Ficus benjamina Ficus variegata

Status perlindungan UU Tidak CITES 5/1990 dilindungi √ -

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Prediksi populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

147


Rencana Pengelolaan

No. 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 44 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180

Jenis Flora

Status perlindungan UU Tidak CITES 5/1990 dilindungi

Ficus deltoidea Ficus subulata Ficus obcsura Ficus subtrinervia Ficus callosa Ficus anastomosans Ficus grewiifolia Ficus pisifera Ficus tinctoria Ficus virgata Ficus ampelas Ficus copiosa Ficus cumingii Ficus elmeri Ficus gul Ficus heteropoda Ficus adenosperma Ficus fistulosa Ficus hispida Ficus septica Ficus racemosa Ficus elestica Ficus miguelii Ficus callophylla Ficus chrsolepis Ficus cordatula Ficus crassiramea Ficus forstenii Ficus lawesii Ficus microcarpa Ficus subcordata Ficus sumatrana Ficus virens Ficus superba Ganopyllum falcatum Ganopyllum sp Garcinia mangostana Garcinia gaudichaudii Garcinia laterriflora Garcinia forbesi Garuga floribunda Gnetum gnemon Grewia acuminata Gendarussa vulgaris Gomphandraa mappioides Gluta rengas Glycosmis cochinchinensis Glycosmis pentapyllla Glycosmis sp Hernandia sp Hymenodyction excelsum Heriteria littorolis Hopea celebica Heckeria umbellata Hydnocarpus heterophylla Horsfieldia sp Homalium celebicum Ixora gandifolia Ixora javanica Ixora timorensis desaisne

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

-

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Prediksi populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

148


Rencana Pengelolaan

No. 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240

Jenis Flora

Status perlindungan UU Tidak CITES 5/1990 dilindungi

Ixonanthes petiolaris Itoa stapffi Jatropa curcas Knema cinerea Kadsura sp Laportea stimulans Leea indica Leea angulata Lepiniopsis ternatensisi Lepisanthes fruticosa Lepisanthes sp Leucosyke capitellata Lagerstromia speciosa Lagerstromia ovatifolia Lantana camara Lysianthes sp Litsea mappacea Litsea timoriana Litsea sp Mangifera indica Mangifera foetida Mangifera pedicellata Myristica fragras Mollutus floribondus Mollutus subpeltatus Mollotus sp Macaranga gigantea Matthaea sansta Meliosma nitida Memecylon edule Maranthes corymbosa Nauclea orientalis Nephelium lappaceum Orophea celebica Orophea hexandra Octomeles sumatrana Pangium edule Pangium obovatum Pinus merkusii Pandanus sp Palaquium obtusifolium Palaquium obovatum Pterocarpus indicus Pometia pinnata Pterospermum celebicum Pterospermum diversifolium Pterospermum javanicum Pometia acuminate Pometia serrata Polyalthia celebica Polyalthia coffeoides Polyalthia sp Polycias nodusa Pimeleodendron ambainicum Pseudoclausena chrisogyne Planchonia valida Planchonia natida Pisonia umbelifera Premna sp Psychotria sp

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

-

-

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Prediksi populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

149


Rencana Pengelolaan

No. 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300

Jenis Flora

Status perlindungan UU Tidak CITES 5/1990 dilindungi

Plectronia glabra Plectronia sp Riporosa caesia Phaleria capitata Picrasma javanica Pittosporum ramiflorum Poikilospermum sp Popowia sp Pothos rumpii Pavetta sp Podocarpus neriifolius Podocarpus imbricatus Podocarpus sp Phyllocladus hypophyllus Planchonella moluccana Planchonella firma Pterocymbium javanicum Schleichera oleosa Spatudea campanulata Sterqulia foetida Sterqulia comosa Sterqulia insularis Sterqulia oblongata Samanea saman Swietenia macrophylla Spondias pinnata Schefflera polybatrya Schefflera elliptica Sageraea lanceolata Sagerae glabra Solacia sp Santiria laevigata Santiria sp Scolopia spinosa Sloetia sp Strobilanthes blumei Semecarpus sp Tristania sp Tamarindus indicus Tectona grandis Talauma singaporensis Terminalia microcarpa Terminalia sp Tetrameles nudiflora Tarenna teysmanii Tarenna sp Timonius sp Tricalysia singularis Tristiropsis canaroides Tristiropsis sp Trichospermum pleiostigma Tabarnaemontana sp Tomoniu sp Vatica sp Vitex cofassus Vitex pubescens Villebrunea rubescens Vernonia arborea Walsura pinnata Wrightia pubescens

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

-

III II -

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Prediksi populasi ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

150


Rencana Pengelolaan

No. 301 302

Jenis Flora

Status perlindungan UU Tidak CITES 5/1990 dilindungi

Xanthophyllum sp Xylopia sp

-

-

√ √

Prediksi populasi ? ?

Sumber : Data Primer BTN Babul dan dihimpun dari berbagai sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

151


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.