[ Focus Group Discussion ] Resolusi Hukuman Mati di Dewan HAM PBB dan PBB
Jakarta, 27 Oktober 2016
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
2
Focus Group Discussion (FGD) tentang Resolusi PBB terkait Hukuman Mati dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan peranan pelbagai pihak dalam mendorong sikap Pemerintah Indonesia di level internasional agar lebih sesuai dengan kewajiban internasional HAM-nya.
FGD dimulai dengan pembukaan oleh Muhammad Hafiz, Pjs. Direktur Eksekutif, Human Rights Working Group (HRWG), sebuah Koalisi NGO HAM Indonesia untuk Advokasi HAM internasional, mewakili HRWG dan Imparsial sebagai pelaksana kegiatan FGD. Indonesia telah telah cukup maju di level internasional dalam hal moratorium hukuman mati ketika mengubah posisinya dari Againts (Menolak) menjadi Abstaint (abstain) pada Resolusi PBB tentang Moratorium Hukuman Mati. Meskipun tidak pada posisi In Favour (mendukung), perubahan tersebut positif mengingat sebelumnya Indonesia bersikap menolak. Hal ini terjadi pada tahun 2012, yang ditandai sebagai titik awal perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri dalam
hukuman mati, terutama pasca moratorium dari tahun 2008 – 2012. Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia saat itu, mengeluarkan statemen bahwa kecenderungan global moratorium hukuman mati memang tidak bisa dihindari, sehingga Indonesia sebagai negara yang demokratis dan selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, merubah posisinya.
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
3 Presentasi I
“Hukuman Mati dalam Konteks Global dan Nasional� oleh Bapak Dicky Komar, Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri RI
penting yang disampaikannya adalah:
Dicky Komar adalah Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri, direktorat yang paling banyak terlibat dalam penyiapan kebijakan luar negeri di tingkat internasional, terutama PBB, dalam wacana hak asasi manusia. Direktorat ini akan terlibat dalam sejumlah pembahasan resolusi-resolusi di Dewan HAM PBB ataupun di Majelis Umum, terutama dalam beberapa Resolusi yang dianggap krusial dan strategis bagi kepentingan nasional. Dalam kesempatan FGD ini, Dicky Komar diminta untuk menjelaskan tentang proses yang tengah terjadi di PBB terkait dengan resolusi hukuman mati dan konstelasi politik yang tengah berlangsung menuju adopsi di bulan Desember 2016. Beberapa poin
o Selama ini, prakarsa-prakarsa (resolusi di PBB) tentang hukuman mati, baik terkait dengan abolition maupun moratorium, merefleksikan kesenjangan posisi yang sangat hitam-putih di antara Negara-negara di PBB. o Ada satu area abu-abu yang bisa menjadi titik temu, yaitu pada “kesepakatan secara umum� di antara negara-negara tersebut, yaitu perlunya penegasan terhadap koridor (safeguard) penerapan hukuman mati dan kampanye untuk dilakukan moratorium pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Tujuannya adalah bagaimana memperkuat dan menjamin adanya safeguard yang mencegah terjadinya hukuman matid alam sistem penegakan hukum. Hal ini pula yang didorong dan diharapkan dapat terlaksana dalam konteks Indonesia. o Menurut Dicky Komar, merujuk pada Laporan Amnesty International, bila dilihat dengan skema global Indonesia tidak termasuk dalam
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
#EndCrimeNotLive Hukuman mati menjadikan kita semua sebagai pembunuh. Hapuskan hukuman mati.
kategori yang parah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. o Dicky Komar sangat mengapresiasi masyarakat Indonesia yang mendukung penghapusan hukuman mati, sehingga banyak even-even sejenis yang berfokus pada penghapusan hukuman mati di Indonesia. Sebelumnya, Pemeirntah Indonesia juga melakukan pembahasan atau diskusi dengan kedutaan Belanda dan Swiss. Hal ini akan pula dilanjutkan dengan Uni Eropa pada tahun ini. Fokus yang diberikan pemerintah sejauh ini adalah tentang safeguard dan penegakan hukum dan alternative punishment, selain hukuman mati. o Di level nasional, pembahasan hukuman mati sebagai suatu diskursus, proses deliberasi, argumentasi, dan perdebatan tetap terus berlangsung. Indonesia akan tetap berupaya untuk terus demokratis. Hal ini pula yang menjadi alasan Pemerintah Indonesia untuk tetap membuka diskusi dan dialog dengan Belanda dan Swiss untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan bersama mengenai hukuman mati di Indonesia.
4
o Pemerintah Indonesia juga tetap berbagi pengalaman dengan negaranegara, baik yang telah melakukan penghapusan ataupun tidak. Di satu sisi Pemerintah Indonesia menyelenggarakan kegiatan dengan Swiss dan Belanda, Indonesia pun juga tetap berdiskusi dengan negaranegara yang masih memberlakukan hukuman mati, contohnya dengan Singapura. o Perdebatan masyarakat internasional sekarang masih berada pada negosiasi di Komite III PBB dan Majelis Umum PBB, yang dimuat dalam sebuah Resolusi dengan judul: Moratorium used of the death penalty. Majelis Umum PBB membahasi resolusi tentang hukuman mati ini setiap dua tahun sekali. o Trend yang ada sekarang di tingkat internasional, kedua kubu posisinya saling mengeras. Hal ini ditengarai dengan adanya negosiasi-negosiasi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa, dengan mengusung substansi dan memperkenalkan kembali paragraf mengenai “abolition� di dalam resolusi yang sedang dibahas. o Sampai saat ini, Indonesia masih dalam tahap ‘melihat’ seberapa jauh substansi dari Resolusi tersebut dan hingga saat ini pula posisi Indonesia masih belum berubah dari tahuntahun, yaitu Abstain. Sebagai informasi, Singapura – sebagai salah satu negara yang masih menerapkan
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
5
“Berdasarkan fakta, terdapat peningkatan tajam dari kebijakan pemerintah internasional untuk menghapuskan hukuman mati karena tidak sesuai dengan HAM. Indonesia sendiri sudah menuju ke arah sana (penghapusan hukuman mati).� (Marty Natalegawa, Menlu RI, Jakarta, Selasa, 16/10/2012).
hukuman mati – juga semakin dilanjutkan untuk memberikan mengeras untuk menolak resolusi pemahaman, perspektif, mungkin juga tersebut. dengan melibatkan aparat penegak o Realita yang ada saat ini di hukum, aparat penegak keamanan Indonesia, hukuman mati masih yang terlibat langsung dalam isu ini. Ini menjadi hukuman positif. Di dalam merupakan upaya capacity building RUU KUHP juga masih memasukan yang sangat bermanfaat dan bisa kita hukuman mati sebagai punishment, meskipun sebagai alternative Posisi Indonesia di Majelis Umum PBB (2007 – 2014) punishment. o Untuk itu, Pemerintah terkadang melihat hal tersebut secara realistis. Hingga saat ini, sikap di PBB terhadap Resolusi Majelis Umum tersebut belum dapat dipastikan, masih tetap berpegang pada fakta dan situasi yang ada, baik di tingkat nasional atau internasional. Meskipun secara faktual trend dari resolusi ke resolusi, negara yang sudah moratorium juga semakin banyak dan bertambah terus. o Di akhir-akhir presentasi, Dicky Komar menyampaikan saran agar kegiatan-kegiatan seperti FGD ini dapat
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
6
Posisi Indonesia di Dewan HAM PBB terhadap Resolusi Hukuman Mati •
•
Sesi ke-22 (21 Maret 2013), Dewan HAM mengadopsi Resolusi 22/11 tenting Panel on the human rights of children of parents sentenced to the death penalty or executed (tanpa voting). Belgia sebagai negara sponsor, didukung oleh sekitar 60 Negara co-sponsor. Sesi ke-26 (2014) Dewan HAM mengadopsi Resolusi No. 26/2 tentang The question of the
death penalty. Divoting (29-10, 8 abstain). Indonesia pada posisi against. •
Pada Sesi ke-30, Dewan mengadopsi kembali Resolusi No. 30/5 tentang The question of the death penalty melalui voting 26, 13, 8 abstain. Indonesia kembali menolak Resolusi tersebut.
Situasi Sidang Dewan HAM PBB (Foto: UNHRC)
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
7
Presentasi II
Oleh Rafendi Djamin, Senior Adviser Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia, Regional Director Amnesty International Southeast Asia and Pacific Regional Office
Rafendi Djamin hadir sebagai narasumber dalam FGD tersebut mewakili Senior Advisor HRWG dan sekaligus pula sebagai Direktur Regional Amnesty International (AI). AI adalah salah satu organisasi internasional yang banyak terlibat dalam kampanye hukuman mati dan secara global mengeluarkan laporan terkait dengan pelaksanaan hukuman mati di seluruh dunia. o Rafendi menegaskan posisi Amnesty International sudah jelas dan tegas, yaitu abolitionist. Posisi ini sudah cukup paten digunakan oleh AI semenjak Resolusi PBB mengenai Hukuman Mati pada tahun 2007. o Ia menegaskan bahwa pada prosesnya, perdebatan hukuman mati memang berlangsung, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hanya saja, kali ini, ia akan lebih fokus dalam perdebatan yang ada di New York saat ini. o Menurutnya, trend dukungan (terhadap resolusi moratorium hukuman mati) pada tahun 2007 hingga 2014 terus meningkat, terutama bagi negara-negara yang in favour of moratorium. Sementara, posisi against terhadap Resolusi tersebut kemudian menurun dan sekaligus bertahan hingga tahun
2014. o Sikap Abstentionts menambah, salah satunya Indonesia yang sudah 4 tahun mengambil posisi abstaint. Namun, posisi ini masuk ke dalam Pemerintahan Indonesia yang lama. Lalu, kemudian bagaimana posisi Pemerintahan Indonesia yang baru saat ini? Yang sangat jelas bertolak belakang dengan kebijakankebijakan pada pemerintahan sebelumnya. Dimana eksekusi hukuman mati dilakukan secara drastis. o Indonesia menjadi pusat perhatian di radar internasional, karena Indonesia sebagai negara demokratis, dipandang sebagai negara yang memiliki soft power oleh Negara-negara yang kuat, khususnya dalam persoalan HAM dan demokrasi. Konsekuensinya sebagai negara yang kuat, Pemerintah Indonesia memiliki tanggung
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
8
jawab yang tinggi. Ini yang hilang dalam Pemerintahan Indonesia dalam era Jokowi. Sebagai negara yang memiliki soft power yang besar dalam hal demokrasi, seharusnya Indonesia dapat lebih bertanggung jawab dan memegang peranan yang sangat besar, baik di tingkat dunia maupun di level ASEAN untuk mendorong dan mempromosikan HAM. Jadi, tidak hanya mengurus infrastruktur saja, ekonomi dan pembangunan tetap penting, namun tanggung jawab (HAM di level global dan regional) tersebut yang masih hilang. Ini bukan hanya kesalahan Kementerian Luar Negeri, tetapi juga stakeholders secara lebih luas. o Amnesty International telah merumuskan agenda advokasi khusus untuk sidang Majelis Umum PBB yang akan membahas rancangan Resolusi moratorium hukuman mati. Bagi Amensy International tujuan advokasinya adalah: paling tidak, posisi negara-negara Against berkurang menjadi Abstaint atau in Favour; lebih banyak negara-negara yang menjadi co-sponsor untuk resolusi hukuman mati (dengan tingkatan political will lebih tinggi) dan terakhir substansi dari teks Resolusi PBB mengenai moratorium death penalty itu sendiri. o Negosiasi di antara negara-negara PBB (terutama antara negara pendukung dan penolaj resolusi) di New York sudah berlangsung, namun yang perlu dicurigai posisi Indonesia yang terlihat sangat dekat dengan Singapura. Harapannya, Indonesia tidak merubah posisi dari Abstaint menjadi Against di dalam Resolusi PBB mengenai moratorium death penalty tersebut, karena yang menentukan posisi di New York adalah Kantor Kemenlu di Jakarta yang dikoordinasikan oleh Dit. HAM dan Kemanusiaan, Bapak Dicky Komar. o Tanggal 4 November (2016), Sidang Komite III PBB sudah dimulai. Hal ini sangat penting, voting yang akan dilakukan oleh Komite III, seperti yang kita ketahui, Komite III merupakan Komite yang membahas mengenai hal-hal kemanusiaan, sebelum dibawa ke Sidang Pleno PBB pada bulan Desember 2016. Tanggapan Dicky Komar atas Presentasi Rafendi Djamin o Eksekusi pertama kali masih pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2013, tetapi tidak mempengaruhi posisi Pemerintah Indonesia saat itu. o Tahun 2015, pada saat UN GA sudah Pemerintahan Jokowi, eksekusi pasca moratorium terjadi saat Pemerintahan Jokowi, sehingga hal tersebut tidak akan mengubah posisi Indonesia di UNGA.
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
9
Sesi
Diskusi dan Tanya Jawab
Tanggapan Molan Tarigan (Ditjen. HAM, Djamin. Pertanyaan saya, bagaimana Direktur Instrumen) mekanisme Kemenlu untuk pengambilan o Ada kecenderungan untuk menguatkan keputusan? Apakah ada mekanisme spesifik metodologi assessment (mengukur yang kemudian memutuskan sikap dukungan terhadap hukuman mati). Jadi, Indonesia? Apakah sudah ada draft resolusi ini yang harus kita bangun, termasuk yang akan dibahas nanti, apakah kami dari bagaimana proses peradilan itu CSO dapat mengaksesnya untuk didiskusikan berlangsung. lebih lanjut? o Pemerintah khususnya Kementerian o Untuk bapak Molan Tarigan, opini publik Hukum dan HAM sudah melakukan ini, Indonesia boleh menjadi pertimbangan, namun kita belum melakukan secara tetapi tidak menjadi satu-satunya. Tapi nasional, bagaimana mengumpulkan harus juga diperhatikan elemen-elemen aspirasi masyarakat terhadap hukuman lainnya seperti penyiksaan, problem unfair mati dan dampak dari keluarga yang trial, dll. Kalaupun itu dilakukan, jangan menjadi korban hukuman mati. Ini juga sampai itu dijadikan patokan, karena kita kita jelaskan sebagai bahan edukasi jadi mundur lagi. untuk masyarakat, paling tidak menjadi lebih objektif. Yuniati Chuzaifah, Komisioner Komnas o Di dalam perbincangan belum ada satu Perempuan bukti pun bahwa hukuman mati o Ide untuk menjajaki pandangan publik menimbulkan efek jera bagi si pelaku boleh dan sah-sah saja. Namun, yang kejahatan. Namun, saya kira kita harus menjadi kekhawatiran, masyarakat tetap membuat satu mekanisme lengkap indonesia cenderung lebih berkiblat pada dengan metodologi mengenai proses sosial media dan Google, apa yang peradilan yang berlangsung. Assessment dikatakan dan dituliskan di kedua media ini bisa kita lakukan bersama, sehingga tersebut, masyarakat dapat dengan ini juga dapat menjadi masukan kepada mudahnya mempercayainya. Jadi, Kemlu sebagai Kementerian yang memang kita harus lebih menjadi corong diplomasi RI di forummempertimbangkan faktual dari situasi forum internasional. yang terjadi dan apakah peradilan sudah cukup adil untuk melaksanakan hukuman Daniel Awigra, Program Manager HRWG mati o Saya sepakat dengan tanggung jawab o Menurut saya, pejajakan harus lebih besar Indonesia sebagai negara edukatif, bukan menentukan posisi demokrasi yang dinyatakan oleh Rafendi negara.
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
Q: Julius Ibrani (YLBHI) o Kami mendapatkan suatu persepsi yang berbeda dari publik dengan apa yang disampaikan Pemerintah di forum-forum internasional, yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM dalam hukuman mati yang terjadi di Indonesia. Padahal ada faktafakta dan putusan peradilan yang kita temukan banyak sekali temuan pelanggaran-pelanggaran. Yang ingin saya ketahui insight dari Kemenlu dan Kemenkumham dalam menyikapi temuantemuan tersebut seperti apa? Perdebatan dan substansi apa saja yang dibahas mengenai hal tersebut? Jadi, kita juga tahu sebetulnya di posisi apa dan dengan apa CSO dapat mendukung kebijakan negara sesuai tanggung jawabnya. Apa saja kebutuhannya? o Bagaimana pula terkait dengan Keadilan bagi korban? Q: Raynov (Peneliti Reprieve UK) o Mengenai survey hukuman mati dan opini
10
publik, yang saya takutkan jika hasil survey masyarakat atau publik secara luas terus-menerus dijadikan patokan, lalu kita akan tetap pada posisi seperti saat ini bahkan lebih parahnya akan mundur posisinya. Tetapi opini publik ini bisa dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan kebijakan. o Untuk bapak Dicky Komar: apa yang sudah dilakukan oleh Kemenlu dalam mengambil sikap di forum-forum internasional? Mengenai nasib TKI di luar negeri, apakah sebelumnya Menteri Luar Negeri sudah melakukan review-review terhadap kasus-kasus yang terjadi di luar negeri dan mengkajinya secara komprehensif? Hal ini penting karena hal ini tentu akan terkait dengan pengambilan keputusan Kemenlu di dalam forum-forum internasional. Tanggapan dari Bapak Dicky Komar o Mekanisme pengambilan keputusan di Kemenlu, kita selalu bersikap secara
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
konsisten. Ketika ada perubahan yang begitu mendasar mengenai suatu resolusi, baru kita membahas bersama dengan Kementerian/Lembaga secara komprehensif, dengan beberapa lembaga dan kementerian lainnya atau forum-forum seperti ini. Saat ini kita juga masih wait and see mengenai perdebatan di Majelis Umum PBB. Biasanya, biasanya kalau tidak ada perubahan secara signifikan, kita hanya mendiskusikan secara internal dengan Ibu Menteri (Luar Negeri) sebagai pengambil keputusan. o Dalam hal ini, kita harus menjaga konsistensi posisi, keputusan apa yang diambil, melihat resolusi sebelumnya, perkembangan substansi seperti apa, kalau memang tahapannya kurang-lebih tidak menuntut kita untuk merubah posisi, jadi kita akan tetap konsisten. o Menghadapi situasi sekarang ini, ada sedikit perbedaan dari draft paling awal. Nanti, kami akan minta teman-teman (Perwakilan Tetap Republik Indonesia/PTRI) di New York untuk draft paling akhir agar dapat dibagikan ke teman-teman masyarakat sipil. Dari sini, biasanya, jika mengharuskan kita untuk mengubah posisi, kita akan mengadakan rapat dengan Kementerian/Lembaga terkait. Dari situ, kita
11
coba lihat perkembangannya seperti apa hingga tahapan menjelang voting. o Seingat saya, biasanya pada setiap intervensi terkait dengan hukuman mati, kita selalu bilang kita mencoba due proses of law yang maksimal dan menjamin safeguard-nya itu terpenuhi. Kita tidak pernah meynampaikan proses kita sempurna, paling tidak due process of law terpenuhi. Paling penting, jaminan safeguard terpenting dan menjunjung tinggi due process of law. o Pengambilan keputusan oleh Presiden, Kemenlu melalui Ibu Menteri (Luar Negeri), khususnya mengenai temanteman buruh migran yang berada di luar negeri, kita juga terus membela teman-teman yang menghadapi hukuman mati di negara lain. Tentu ada tantangan saat kita harus membela buruh migran yang juga menghadapi hukuman mati. From time to time kita juga terus mengupdate ke Presiden mengenai pandangan dan informasi sekomprehensif mungkin sebagai masukan. Tanggapan dari Rafendi Djamin o Fokus kita sekarang, posisi indonesia terhadap rancangan Resolusi (hukuman mati) di UNGA yang di-vote pada minggu depan, 4 november 2016. Semoga draft dapat segera di-sharing ke kita. Jangan sampai, Indonesia yang masih sangat terbuka dan demokratis menjadi lebih keras dan tertutup. Argumen-argumen untuk mempertahankannya juga harus lebih dibahas kembali.
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
o Tahun 2012 dan 2014 Indonesia abstain, sehingga setidaknya pada tahun 2016 posisi Indonesia akan konsisten untuk abstaint. o Mengacu pada Rancangan Resolusi (RanRes), kita lihat saja pada dasarnya berbasis pada resolusi tahun 2014. Kita lihat paragraf operasional No. 5 call upon member states mengenai
safeguarding dan hak-hak terpidana hukuman mati. Ini menjadi kerja besar. Bayangkan kajian yang sudah dilakukan oleh ICJR, AI, sudah membuktikan hampir seluruh kasus terpidana mati itu telah dilanggar hak asasi manusianya (unfair trial), mulai dari proses peradilan yang tidak adil, penyiksaan, dll. o Untuk drugs policies juga harus ditindaklanjuti dengan serius. Harus direview semua kasus terpidana mati. Ini merupakan tugas Kemenlu untuk kemudian mereview kajian-kajian tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan o Safeguarding principles harus diterapkan dan ada perhatian khusus mengenai hak-hak tersangka yang akan terancam hukuman mati bisa dikawal.
12
Masih banyak hakim-hakim dan jaksa yang menggunakan putusan hukuman mati, hanya karena euphoria di Indonesia sedang mengarah kesana. Ini yang menjadi pelajaran besar bagi tingkat nasional. o Safeguard ini yang harus kita pertahankan, dalam situasi kata imposing akan mengarah pada memaksakan untuk adanya abolition. Tanggapan Al Araf, Direktur Eksekutif Imparsial o Terkait dengan Resolus di PBB ini, saya juga berharap jangan sampai posisi Indonesia juga mundur dari resolusi hukuman mati PBB sebelumnya. o Terlepas dari perdebatan itu, IMPARSIAL dan Koalisi HATI, telah menyusun satu kajian tentang kasus-kasus yang kami nilai unfair trial. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan ke depannya. o Kasus yang kita teliti berasal dari negaranegara lain, 9 kasus ini menunjukan bahwa proses hukum Indonesia ini cacat. Khususnya kasus Zulfikar Ali, yang ditangani oleh Imparsial. Kemenkumham sendiri juga sudah melakukan penelitian sendiri pada Zulfikar Ali, dan menyatakan ia tidak bersalah. o Kami juga mengerti sekali bahwa Kemenlu tidak memiliki otorisasi untuk memberikan hukuman mati, tapi setidaknya kasus ini dapat menjadi masukan dan kacamata bagi Kemenlu untuk dapat menjadi pertimbangan ke depannya. o Kantor Staff Kepresidenan (KSP), melalui Ifdhal Kasim dan Todung Mulia Lubis sempat menyampaikan kepada Presiden mengenai rekomendasi-rekomendasi terkait hal ini.
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
Tanggapan dari Dicky Komar: o Satu hal saja, saya sangat mengapresiasi pertemuan kita kali ini. Bahwa sebelum memutuskan sesuatu kita harus melalui proses yang sangat komprehensif, dan diskusi ini sangat bermanfaat, karena saya merupakan orang yang juga mengambil bagian terhadap proses keputusan itu. Sehingga mudah-mudahan keputusan yang diambil, jelas tidak ideal, tetapi keputusan tersebut merupakan kepentingan dari Negara Indoensia. Keputusan apapun yang kita hasilkan sangat independen, khususnya merupakan Indonesia. *Setelah diskusi dan tanya jawab, Acara ini ditutup oleh Muhammad Hafiz sebagai moderator FGD.
13 Peta Negara-negara dalam Resolusi UN GA 2012
Peta Negara-negara dalam Resolusi UN GA 2014
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
14
FGD Resolusi PBB tentang Hukuman Mati
15
Lorem Ipsum
Lorem Ipsum Dolor [Street Address] [City], [State][Postal Code] [Web Address]