Wawancara Imajiner : Pelarangan Cadar & Penolakan Menara Masjid

Page 1

HUMAN RIGHTS WORKING GROUP

Wawancara Mendalam dengan Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWGÂ

PELARANGAN CADAR & PENOLAKAN MENARA MASJID Perbincangan yang akan memberikan perspektif baru tentang penggunaan cadar dan menara masjid dalam konteks hak asasi manusia

Sumber foto: Suara Muslim


Wawancara Pelarangan cadar & penolakan menara masjid

Muhammad Hafiz executive Director of human rights working group (HRWG) Dalam rentang satu bulan terakhir, setidaknya ada dua peristiwa yang menarik untuk dilihat secara lebih mendalam. Pengaturan tentang cadar oleh UIN Yogyakarta dan adanya polemik penolakan pendirian menara masjid di Jayapura yang dianggap melebihi tingginya gereja. Dua kejadian ini sempat memunculkan polemik serius di masyarakat, terutama di media sosial. Tak sedikit yang menolak, tapi juga banyak yang mendukung pembatasan ini, dengan pelbagai pertimbangan. Bahkan tidak jarang yang menggunakan hak asasi manusia sebagai dalih, baik yang menolak maupun yang mendukung. Lalu, bagaimana seharusnya pengaturan tentang cadar atau menara masjid seharusnya dilakukan menurut hak asasi manusia? Apakah pembatasan ekspresi keagamaan yang demikian dapat dibenarkan? Apa yang seharusnya dilakukan oleh negara, tokoh agama dan tokoh masyarakat, termasuk pula masyarakat luas menyikapi kasus-kasus seperti ini? Berikut ini Redaksi www.hakberagama.or.id menghadirkan catatan wawancara mendalam dengan Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG, sebuah oranisasi koalisi HAM di Indonesia, yang banyak terlibat dan berjibaku dalam isu-isu hak beragama atau berkeyakinan.

1


Q: Selamat siang mas Hafiz. Apa kabar? Melihat polemik yang akhirakhir ini terjadi terkait pelarangan cadar, Bagaimana anda melihat orang menggunakan cadar? Siang. Kabar baik, Alhamdulillah. Cadar itu bagian dari pakaian perempuan yang memang digunakan sebagai simbol keagamaan atau budaya. Faktanya saat ini, cadar menjadi simbol keagamaan yang menguat di kalangan generasi baru Indonesia, terutama sejak tahun 2000-an. Dulu, kita masih merasa aneh dengan orang bercadar, tapi tidak sekarang. Bagi saya, orang yang menggunakan cadar sama halnya orang yang menggunakan simbol keagamaan lainnya, kalau dalam Islam ada jilbab, pakaian bagi laki-laki yang menutup aurat, pakaian biksu bagi Budha, turban bagi orang Sikh, dan sebagainya. Yang perlu diingat, pakaian, atribut atau simbol keagamaan itu digunakan berdasarkan pada keyakinan atau kepercayaan seseorang.

Q: Ada pembedaan antara hak internum dan eksternum dalam kebebasan beragama, menurut anda, apakah cadar termasuk internum atau eksternum jadinya?

Misalnya mendirikan tempat ibadah, berangkat haji, memakai simbol atau atribut keagamaan, penyiaran agama, merayakan hari-hari keagamaan, dan lain sebagainya. Konsekuensinya, berbeda misalnya ketika anda dilarang untuk melaksanakan salat dengan dilarang untuk salat menggunakan sarung. Dua larangan ini, meskipun mirip, kadarnya berbeda, tak bisa disamakan, karena larangan salat itu berarti melarang orang melakukan suatu tindakan yang menurutnya wajib. Bila tidak dilaksanakan, dia merasa berdosa. Berbeda dengan larangan menggunakan sarung, orang tetap bisa melakukan salat dan dalam situasi tertentu merasa sah sepenuhnya bila salat menggunakan celana atau pakaian penutup aurat lain. Nah, di situ pembedaan ini dianggap penting. Dalam konteks ajaran agama, seperti Islam, mana yang kemudian termasuk sebagai internum dan eksternum juga berbeda. Dalam menentukan rukun suatu ibadat, misalnya, para ulama berbeda pendapat. Maka itu, di dalam Islam dikenal adanya mazhab, setidaknya empat kan, Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali atau Hanabilah. Keempatnya punya pendapat dan aliran hukum masing-masing, dengan metode, cara, dan alat bantu masing-masing.

Yang terpenting dari segala perbedaan itu adalah Iya, untuk memudahkan aspek mana yang dapat pada metodologi, sejauh mana kemudian metode dibatasi atau restricted oleh Negara dan mana yang digunakan itu memenuhi prinsip dan asas yang tidak, hukum HAM membedakan antara hak ijtihad yang ditetapkan. Jadi ini soal otoritas internum dan eksternum. Sebelum saya ke cadar, pandangan yang melalui proses perumusan yang perlu saya perjelas, forum internum itu bersifat obyektif dan taat pada asas yang disepakati. Maka abstrak, karena berada di sanubari manusia itu, adalah keliru kalau menyalahkan suatu yang memiliki keyakinan atau kepercayaan itu, pandangan yang dihasilkan dari proses yang ia mencakup hak beragama, berfikir dan hati obyektif dan sistematis, karena masing-masing nurani yang dianggap sebagai hak mutlak pendapat memiliki metode, alat, dan cara yang orang beragama. Artinya, forum internum ini berbeda-beda dalam melihat suatu kasus atau terhubung dengan keyakinan terdalam seseorang, menafsirkan apa yang tertulis di dalam teks yang kalau diintervensi (misalnya dibatasi, keagamaan, terutama Alquran dan Sunnah Nabi dihalang-halangi, apalagi dilarang), maka hal itu Muhammad SAW. akan menyebabkan keyakinan terdalam orang beragama terlanggar. Jadi maksud saya, suatu tindakan yang dilakukan Sementara eksternum, ia adalah manifestasi atau oleh seseorang seringkali tak serta merta bisa pengamalan dari keyakinan itu. Eksternum itu dihukumi dengan satu hukum saja. adalah kebebasan menjalankan praktik keagamaan dan keyakinan sebagai manifestasi.

2


Q: Bagaimana maksud dari soal melihat suatu permasalahan hanya dengan satu sikap atau hukum saja? Maksudnya, ada saja perbedaan dalam melihat suatu masalah atau perbuatan, sesuai dengan keyakinan yang ia miliki. Dulu misalkan, pertama kali telepon ditemukan, para Ulama berbeda-beda pandangan, ada yang melarang malah karena dianggap bi'dah.

Pelarangan cadar bisa berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika seseorang menggunakan cadar merupakan suatu keyakinan dalam menjalankan perintah agama. - Muhammad Hafiz

Tapi sekarang, sebagian ulama mungkin menggunakan hape sebagai alat komunikasi. Mungkin ada yang masih mengganggap hape itu bidah dan haram, tapi sekiranya itu dipaksakan untuk diterapkan kepada penduduk Muslim di Indonesia, kira-kira akan banyak yang mengkritik tidak? Atau sebaliknya, orang akan mencemooh pandangan tersebut dan lambat laun ditinggalkan. Sama halnya dengan pakaian, dulu umat Islam di masa-masa kolonial sempat dilarang untuk menggunakan baju dan celana, termasuk dasi, karena dianggap pakaian kebarat-baratan dan bukan ajaran Islam. Sekarang, saya rasa tidak ada satupun orang Indonesia yang mengganggap dasi atau jas itu haram dipakai. Tapi boleh juga dicek lagi sekiranya masih ada yang masih berpendapat demikian [sambil tertawa]. Kita lanjut ya, ketika cadar dihukumi oleh ulama secara berbeda-beda, maka tidak boleh memaksakan satu pandangan saja terhadap permasalahan ini, baik pandangan yang menyatakan cadar itu wajib, sunnah, mubah, atau makruh sekalipun.

Begitu pula, bagi yang memiliki pandangan tertentu tidak boleh menyalahkan, apalagi mengejek suatu pandangan yang berbeda dengannya. Ini memang perlu kedewasaan. Belum lagi banyak yang menggunakan ini sebagai propaganda, orang yang beda pendapat di-bully habis-habisan, dihina, atau malah dihujat, padahal kita tak pernah mempelajari lebih jauh bagaimana pandangan Islam - dalam hal ini para ulama - terhadap masalah tersebut. Jadi soal cadar, pembatasan atau pelarangan ini tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau pukul rata. Dia harus rigid, jelas dan tepat, dan terarah, selain dengan tujuan dan prinsip kehati-hatian. Dengan tujuan maksudnya, pelarangan itu hanya bisa dilakukan bila dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kekerasan, pelanggaran HAM lain yang lebih serius, penghilangan nyawa, atau alasan lain seperti kesehatan publik. Detail maksudnya pelarangan dilakukan setelah melihat dan mengetahui satu per satu secara mendalam tentang pandangan setiap orang yang menggunakan cadar itu, apakah sebagai kewajiban, sebagai suatu anjuran, hanya alasan kenyamanan, karena dorongan budaya atau sosial, atau hanya sebatas trend. Jelas dan tepat artinya pelarangan dilakukan untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Misalnya, tujuannya adalah untuk mengetahui identitas setiap orang di suatu wilayah atau komunitas karena kekhawatiran penggunaan cadar untuk melakukan kejahatan, maka pelarangan harus jelas-jelas dapat menjawab permasalahan itu dan cara yang paling tepat menjawab persoalan. Jadi misalkan, setiap orang yang menggunakan cadar harus didaftar dan difoto tanpa menggunakan cadar, sekaligus dengan sidik jari agar setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi dapat dikonfirmasi dan dibuktikan. Kebutuhan data tersebut tidak boleh digunakan untuk tujuan lain, apalagi dengan sengaja untuk menyebarluaskan identitas orangorang yang menggunakan cadar, baik sebagai bentuk profiling, bullying, atau tindakan lain yang merugikan seseorang.

3


Sama halnya misalkan untuk mencegah adanya joki siswa/i atau mahasiswa yang hadir ke ruang kelas untuk mengisi absensi atau mengikuti ujian. Karena bisa saja terjadi, karena tidak ada identifikasi otentik setiap individu yang menggunakan cadar, maka untuk mengikuti ujian kemudian digantikan oleh orang lain untuk tujuan kecurangan. Meskipun jarang, tapi ini mungkin terjadi atau setidaknya peluangnya terbuka. Nah, jadi, pelarangan itu harus jelas dan tepat sasaran, tidak serampangan atau disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Q: Seandainya ada yang menganggap cadar sebagai kewajiban dan tidak boleh dilepaskan dalam situasi apapun, gimana mas? Ini menarik. Harus berangkat dari prinsip dasar, pembatasan hanya boleh dalam hal forum eksternum, tidak internum. Bila ada yang menganggap cadar sebagai forum internum dan tidak mau melepaskannya dalam situasi apapun, pihak yang memiliki otoritas harus mencari jalan keluar agar kebutuhan untuk membuka cadar itu bisa disiasati tanpa harus melanggar forum internum. Bila forum internum tadi yang terkait dengan keyakinan terdalam, maka forum eksternum digunakan untuk menggambarkan aspek eksternal keagamaan atau pengalaman atau disebut juga manifestasi. Jadi, forum eksternum ini semacam ekspresi dari keyakinan yang dimiliki seseorang dan biasanya berbentuk ritual, upacara, dan perayaan lainnya di bidang keagamaan. Bisa jadi dia merupakan bagian dari ajaran atau pengamalan keagamaan, namun bukan berarti dia menjadi suatu yang hakiki, tak bisa ditawar-tawar, dan mutlak. Forum eksternum bisa dibatasi, asalkan dengan tujuan yang absah, dengan batas waktu tertentu, dan ditegaskan melalui undang-undang. Namun yang harus dipastikan, apakah aspek yang dibatasi itu betul-betul aspek eksternal.

Bicara soal keyakinan harus melihat dalam kerangka itu, apakah suatu atribut itu masuk dalam kategori forum internum atau forum eksternum, sehingga kebijakan yang diambil oleh Negara konsisten dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Q: Apakah forum internum boleh dibatasi? Dan apakah hak beragama termasuk boleh dibatasi? Forum internum mutlak tidak boleh dibatasi dalam situasi apapun. Ini sering disebut dengan non-derogable right dalam konsep hak asasi manusia artinya, hak-hak yang termasuk dalam kategori non-derogable right ini sama sekali tidak boleh dibatasi, dikurangi, apalagi dihilangkan. Selain karena melekat pada diri manusia, hak-hak tersebut merupakan kebutuhan asasi manusia yang bila dikurangi akan menciderai martabat, kehormatan, atau bahkan kehidupannya. Termasuk hak beragama, tapi hanya yang masuk dalam lingkup internum. Di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), kita ketahui bahwa hak untuk berfikir, berhati nunari, dan beragama termasuk dalam forum internum. Maka itu, ICCPR melarang adanya koersi, yaitu pemaksanaan atas keyakinan orang, baik untuk meninggalkan agama yang dianutnya, mengikuti agama tertentu yang bukan dianutnya, berpindah dari satu agama ke agama yang lain, atau paksaan untuk tidak menganut agama atau keyakinan tertentu. Nah, bila keyakinan terdalam seseorang berpandangan bahwa suatu atribut keagamaan itu wajib hukumnya dan dipaksa untuk dilepaskan atau sebaliknya suatu atribut dipandang sebagai bukan sebuah kewajiban, misalnya dianggap kelayakan, kenyamanan atau bahkan hiasan, maka orang tersebut tidak bisa dipaksa untuk mengenakan atribut tersebut. Bila salah satu dari kedua kasus di atas terjadi, maka pelanggaran HAM telah terjadi. Dalam melihat menara masjidpun demikian seharusnya.

4


Q: Oh, berarti HAM itu, terutama hak beragama atau berkeyakinan, sebetulnya tidak anti ajaran agama mas ya? Ini yang kadang keliru. HAM itu justru melindungi setiap orang untuk beragama secara bebas, siapapun, dengan keyakinan yang ia miliki. Itu artinya, HAM berbeda dengan sekularisme atau paham laicete seperti di Perancis yang mencoba memisahkan agama sejauhjauhnya dari ruang publik. Artinya juga, bagi HAM, pelarangan simbol atau atribut agama yang dimiliki oleh sekularisme atau laicete tadi justru melanggar HAM.

Q: Sekarang saya masuk ke masalah cadar dan menara masjid mas, apakah sama seperti penjelasan di atas?

Jawa Pos Sumber foto:

Dalam hal menara masjid misalkan, harus merujuk pada hukum fikih bagaimana para ulama menempatkan menara dalam pembangunan masjid, hukumnya apa; wajib, sunnah, atau seperti apa. Hukum yang ditetapkan ulama ini menentukan pembatasan boleh dilakukan atau tidak.

Iya, persis. Hukum cadar dalam Islam itu beragam, tidak satu. Itu yang saya ketahui. Ada yang menyatakan wajib, ada yang mengganggap itu bukan sebuah kewajiban, mungkin ada pula Q: Seandainya nih, mas, bila ada yang mengganggap itu sebagai suatu hal yang anggapan cadar mencerminkan makruh, dengan pelbagai pertimbangan dan argumentasi. komunitas tersebut radikal Dalam kajian hukum Islam, dalam Ushul Fiqh terutama, perbedaan pandangan ini suatu hal yang lumrah, bahkan niscaya. Adanya perbedaan metode, cara dan alat melihat teks keagamaan dan situasi, serta faktor lainnya dalam proses perumusan atau istinbath hukum Islam, menyebabkan perbedaan produk hukum yang dihasilkan. Misalkan, alasan bahwa cadar harus digunakan adalah karena muka termasuk sebagai aurat. Dalam konteks cadar, misalnya, berlaku bagi lawan jenis saja, sehingga bila kebutuhan identifikasi itu dilakukan oleh perempuan juga, hal itu sama sekali tidak akan mengurangi komitmennya untuk taat beragama, karena yang tahu identitas sebenarnya adalah perempuan, bukan laki-laki. Itu artinya, hak pengguna cadar menggunakan atribut keagamaannya sesuai dengan ajaran yang dia yakini tetap terjaga, tapi kepentingan untuk mencegah terjadinya kecurangan atau kejahatan juga bisa dilakukan. Jadi berimbang. Itulah kenapa harus detail, jeli, dan jelas. Susah memang dan rumit, tapi untuk melindungi hak manusia itu memang harus demikian.

bagaimana? Misalkan, pelarangan cadar dilakukan untuk meminimalisasi stigma terhadap komunitas itu? Ini yang juga dilematis dan harus detail. Karena situasi Indonesia saat ini sedang berubah. Ada kecenderungan meningkatnya arus intoleransi dan radikalisme, setidaknya menurut sejumlah survey. Hal ini tentu mengkhawatirkan, mengingat Indonesia ini negara yang sangat beragam, di sisi yang lain, ini yang terpenting sebetulnya, peningkatan kadar keimanan dan kesalehan seseorang tidak semestinya juga meningkatkan sikap intoleran dan ekstrimisme kita. Terkait dengan pertanyaan tadi, dalam konteks hak asasi manusia, upaya penggunaan atau penanggalan atribut keagamaan hanyalah dapat dilakukan melalui cara-cara yang absah dan wajar, tentu tanpa paksaan, diskriminatif, dan konsekuensi negatif apapun. Dia tidak boleh dipaksakan, apalagi dengan konsekuensi negatif seperti sanksi. Dalam tulisan yang saya buat tentang simbol agama, saya tegaskan di situ bahwa otoritas tertentu hanya bisa membuat anjuran penggunaan atau penanggalan atribut keagamaan, tanpa ada paksaan atau diskriminatif.

5


Q: Lalu, bagaimana bila untuk kepentingan yang sangat mendesak, seperti tadi mencegah kejahatan dan kecurangan, ada yang tetap mempertahankan cadarnya meski sudah melalui proses di atas?

Sumber fo to: Globaln ews

Untuk itu, bila sebuah otoritas berniat untuk mengatur kehidupan keagamaan kita, hal itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Otoritas apapun hanya bisa memberikan arahan dan anjuran, bukan perintah yang berkonsekuensi apapun. Dalam konteks cadar, misalnya, otoritas negara, perusahaan, lembaga pendidikan, dan sebagainya yang ingin membatasi penggunaan cadar seperti yang anda katakan di atas, hanya dapat dilakukan melalui pengarahan dan dialog yang dilakukan secara setara, dengan memperkenalkan pandangan baru, lebih luas, dan terbuka. Hal serupa dengan menara masjid. Maka itu, otoritas apapun, termasuk pemerintah, hanya bisa menyiapkan sarana dan forum yang memfasilitasi pemahaman keagamaan seseorang. Jadi yang ditegaskan adalah prosesnya, bukan hasilnya. Cadar atau menara masjid ini kan soal pemahaman dan keyakinan, nah keyakinan ini tergantung informasi dan pengetahuan yang diterimanya. Tugas otoritas yang berkepentingan ini untuk menyediakan informasi sebanyak-banyaknya terhadap setiap orang, mengajak diskusi, konseling, hingga menghadirkan argumenargumen keagamaan yang legitimite (absah).

Nah, di sini harus ada ketegasan. Selain misalkan dengan prosedur yang sempat saya katakan sebelumnya, yaitu misalkan diperiksa oleh seorang petugas, dosen, atau karyawan yang perempuan, bila tetap menolak, maka otoritas negara, kampus, atau perusahaan bisa mengambil langkah tegas. Jadi, langkah tegas ini bukan sebagai desakan atau sanksi atas penggunaan cadar yang digunakannya, namun sebagai upaya terakhir atas kemungkinan terjadinya mudharat yang lebih besar. Misalnya, di suatu negara yang memang ancaman tindakan terorisme atau kejahatan lainnya tinggi, mengidentifikasi setiap orang dengan identitas asli menjadi suatu kewajiban, karena membatasi hak orang untuk bercadar kadar kerugiannya tidak lebih besar dibandingkan melindungi nyawa orang dari aksi-aksi terorisme. Ini hanya contoh, artinya mencegah mudharat dari kejahatan yang potensial terjadi itu lebih penting daripada menjaga hak orang untuk mempertahankan hak keyakinannya, apalagi bila sudah diberikan pilihan untuk diidentifikasi oleh petugas yang perempuan.

Selain itu, forum diskusi yang dibuka sebetulnya membuka ruang pemahaman bersama di antara semua orang yang ada di komunitas itu. Bahkan, hal ini bisa meminimalisasi stigma dan profiling terhadap orang yang bercadar. Nih, anda misalkan, ketika melihat orang yang bercadar pasti memiliki persepsi tertentu, bahkan mungkin tak jarang langsung menstigma dengan identitas tertentu sebagai radikal, ISIS, atau identitas negatif lainnya. Itu wajar. Nah, dialog dan diskusi adalah ajang bagi setiap orang di komunitas itu untuk mengetahui argumentasi dan pemahaman keagamaan orang yang bercadar tersebut dan sebaliknya orang Bila di akhir proses kemudian tak juga berhasil yang bercadar juga memahami bagaimana persepsi orang di luarnya terhadap dirinya. dan mereka yang menggunakan cadar tetap Ketika diskusi terjadi, ada pertukaran informasi dalam sikapnya, otoritas manapun harus dan argumen, ada keterbukaan di antara menerima itu secara legowo. Demikian masing-masing, hal ini akan memunculkan sebaliknya bila kemudian kesalingpahaman. Bila ini terjadi, streotyping seseorang memutuskan untuk membuka cadarnya, siapapun harus menerima itu sebagai atau labeling dapat diminimalisasi. keputusan bebas orang tersebut.

6


Q: Oh, jadi sebetulnya proses yang mas Hafiz jelaskan di atas sebetulnya juga menguntungkan orang-orang yang bercadar ya? Betul, itu maksudnya. Kerangka HAM itu, ketika dirumuskan dan diterapkan secara konsisten, pada akhirnya dia akan melindungi setiap orang. Tinggal lagi masalahnya, bisa gak kita konsisten dan obyektif dalam menyikapi sesuatu. Bisa gak kita adil dalam bersikap dan menekan sendikit ego atau sentimen keagamaan yang kita miliki. Maksudnya, kita harus fair dan jujur dalam melihat masalah hak asasi bila mau mencapai hasil yang positif.

Pelarangan itu hanya bisa dilakukan bila dibutuhkan untuk tujukan yang absah dan jelas, non diskriminatif, dan untuk batas waktu tertentu. Tujuannya hanya untuk mencegah terjadinya kekerasan, pelanggaran HAM lain yang lebih serius, penghilangan nyawa, atau alasan lain seperti kesehatan publik. Pengaturannya harus melalui undang-undang, karena pembatasan harus absah dan memiliki legitimasi. Misalnya, ketika kita ribut dengan kebijakan yang melarang penggunaan cadar, atau jilbab misalkan, maka seharusnya kita juga tidak diam ketika ada kebijakan yang memaksakan seseorang atau individu yang ada di komunitas tersebut untuk menggunakan atribut tertentu seperti cadar. Karena prinsipnya, setiap orang berhak memiliki pemahaman dan keyakinan keagamaan tertentu sesuai dengan kadar pengetahuan dan informasi yang dimilikinya. Bila keyakinan seseorang untuk melepaskan cadar tak bisa dipaksakan, demikian halnya untuk menggunakannya, bukan? Jadi harus konsisten dalam melihat masalah dan tidak double standard. Dalam hal menara masjid juga demikian, seharusnya Negara atau dalam hal ini pemerintah pusat atau daerah harus mampu membangun dialog konstruktif di antara para tokoh agama dan umat beragama

Bukan soal bagaimana membatasi hak orang untuk beribadat atau beragama, tetapi untuk mebangun kesepahaman bersama terkait dengan pembatasan yang akan dilakukan. Dari diskusi ini semua pihak akan tahu bagaimana sesungguhnya hukum menara dalam Islam dan bagaimana seharusnya dia disikapi, apakah sebagai bagian dari rukun (wajib) masjid atau dia sama sekali tidak memengaruhi ibadat seseorang di masjid itu bila ditiadakan. Selain itu, di Indonesia saat ini memang kita belum melihat lembaga peradilan itu penting sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini. Akibatnya, tidak ada ruang untuk membahas hal tersebut secara obyektif. Semua diserahkan ke media sosial yang sangat brutal dan intimidatif, tidak ada akal jernih untuk melihat suatu permasalahan. Padahal, pengadilan atau forum dialog ini akan memberikan pelajaran bagi semua.

mendiskusikan bagaimana seharusnya dan sebaiknya menara masjid dibangun.

7


Kalau ada proses ini, umat Islam juga akan belajar dari sini, bahwa keberadaan masjid sebagai tempat untuk melakukan ibadat wajib tertentu seperti salat Jumat itu jauh lebih penting dibandingkan meributkan permasalahan menara. Di sisi yang lain, umat yang tidak beragama Islam pun memiliki pemahaman bagaimana mereka seharusnya menghormati ajaran dan keyakinan umat Islam yang memang sama sekali tidak bisa diganggu guat dan mutlak adanya. Harus saling berdiskusi, saling memahami, dan akhirnya menerima perbedaan dengan menahan diri untuk tidak mencampuri atau menghalang-halangi keyakinan orang lain.

Q: Jadi, maksudnya, melarang membangun menara masjid itu tidak melanggar HAM, mas?

Q: Sepertinya memang ruang dialog itu yang tidak kita miliki ya ? Iya betul, kita jarang memiliki ruang diskusi terbuka dan mendalam untuk mendiskusikan hal-hal yang sebetulnya biasa-biasa saja, tapi menjadi luar biasa dengan ragam propaganda di dunia maya dan media sosial. Padahal kita tahu, media sosial akan sangat jarang memberikan kita pemahaman yang lengkap atas sesuatu. Apalagi, saat ini kita sedang dihadapkan pada situasi politisasi agama yang akut. Sesuatu yang tak berhubungan saja dijadikan alat provokasi, apalagi sesuatu yang memang dapat mengundang emosi publik untuk bersikap. Jadi, kita harus mulai menahan diri untuk tidak begitu emosional menyikapi sesuatu, memperbanyak ruang diskusi, dan menyikapi suatu masalah dengan kepala dingin dan rasional. Itu saja.

Belum bisa disimpulkan demikian. Kembali lagi, pembatasan itu harus absah dan memiliki alasan

Sebelum kita tutup diskusinya, mas, adakah

yang kuat, karena walau bagaimana melarang

pesan yang mau disampaikan?

pendidiran menara yang menjadi bagian rumah ibadat itu tidak bisa semena-mena. Ia tetap harus

Menurut saya, kita sebagai umat beragama

memiliki alasan yang kuat, misalkan, apakah

harus mulai sadar untuk tidak mudah bereaksi

berpotensi memunculkan pelanggaran HAM

berlebihan terhadap sesuatu yang sebetulnya

yang lebih serius, potensi konflik yang akan

bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Saya

mengemuka, atau menyangkut kesehatan dan

merujuk pada praktik Nabi Muhammad Saw

keamanan publik. Ini harus tegas, selain

yang lebih mengutamakan pendekatan yang

memang harus dengan skema sementara, tidak

damai dan ramah, bahkan beliau memaafkan

permanen.

orang-orang yang berbuat zalim kepadanya dan umatnya dengan alasan bahwa mereka tidak

Nah dalam rentang yang sementara itu

tahu.

kemudian Pemerintah harus membangun skema dialog dan diskusi yang berkelanjutan di antara

Dalam situasi kehidupan sosial keagamaan kita

para pihak dengan harapan suatu saat semua

saat ini, saatnya kita yang memulai untuk

pihak ini bisa menerima pendirian menara. Jadi

membuka ruang dialog dan diskusi itu agar

harus tegas, tidak bisa dengan "pokoknya" saja.

apapun yang kita lakukan betul-betul matang

Di sini lah titik krusial dialog itu hingga akhirnya

dan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat dan

semua pihak bisa saling memahami keyakinan

bangsa ini.

dan ajaran agama masing-masing yang tidak bisa saling diganggu.

7


Human Rights Working Group (HRWG) adalah sebuah Koalisi NGO HAM untuk advokasi HAM internasional. Fokus advokasi HRWG adalah advokasi nasional untuk sejumlah isu, dengan memperkuat advokasi di level ASEAN dan internasional PBB. HRWG terdiri dari 40 lembaga masyarakat sipil di Indonesia yang bekerja untuk pelbagai isu HAM, mulai dari hak asasi manusia secara umum, lingkungan, anak, perempuan, masyarakat adat, buruh migran, kebebasan beragama, ekspresi, Aceh dan Papua, serta isu-isu HAM lainnya.

SEKRETARIAT HRWG Gedung Yarnati 2nd Floor Room 207D, Jl. Proklamasi No.44 Menteng, Jakarta Pusat 10320 Telp: +6221 299 22459 HRWG_Indonesia HRWG.Indonesia www.hrwg.org hrwg.indonesia@gmail.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.