"ASA YANG TAKKAN PADAM" Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban

Page 1

Sobat KBB


ASA YANG TAKKAN PADAM Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia



Penyunting : Omen Bagaskara

ASA YANG TAKKAN PADAM Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Jihan Fauziah | Sinta Djuwita | Maria Stefani Pewali | Eldad Mesakh Pramono Franyudi Berutu | Fia Maulidia | Muhammad Sidiq Pramono | Muhammad Bahesti Alkaff Ahmad Khasan Basri | M. Masrofiqi M. | Darma Tri Hadi Prayitno | Kinanti Suarsih

Sobat KBB


Asa yang Takkan Padam:

Refleksi dan Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia Penulis: Ahmad Khasan Basri, Darma Tri Hadi Prayitno, Eldad Mesakh Pramono, Fia Maulidia, Franyudi Berutu, Jihan Fauziah, Kinanti Suarsih, Maria Stefani Pewali, Muhammad Sidiq Pramono, Muhammad Bahesti Alkaff, M. Masrofiqi M., Sinta Djuwita Pendamping & Fasilitator Diskusi: Muhammad Hafiz Firdaus Mubarik Editor & Prolog: Omen Bagaskara Penyelaras Isi & Proof-reader: Jesse Adam Halim Alysa Sampul & Ilustrasi: Linggar Gitraja Omen Bagaskara Penata Isi: Linggar Gitraja Diterbitkan oleh: Human Rights Working Group (HRWG) Sobat Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) Yayasan TIFA Bekerjasama dengan: Cantrik Pustaka Gg. Kutilang 2, Ploso Kuning II, Minomartani, Ngaglik, Sleman, DIY Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2021 xxvi + 89 hlm., 14,8 x 21 cm ISBN 978-623-6063-24-8 Cetakan Pertama, September 2021


KATA PENGANTAR “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi semboyan bangsa Indonesia yang tertulis dan tergambarkan pada lambang Garuda Pancasila yang berarti ‘berbeda-beda tetap satu jua’. Semboyan ini lahir karena Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman mulai dari banyaknya kepulauan, keberagaman suku, adat istiadat, bahasa, ras, kebudayaan sampai agama dan keyakinan. Hanya saja, semboyan ini seringkali hanya sebagai slogan semata, sehingga pada tataran implementasi masih sangat minim. Hal ini sering kali berujung pada sikap-sikap intoleransi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam kehidupan sosial. Jaminan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih terus diperjuangkan terutama bagi kelompok-kelompok minoritas. Pemerintah masih sering kali mengabaikan, tidak menganggap, bahkan menjadi pelaku utama pelanggaran hak minoritas. Di samping itu pada tatanan sosial, masyarakat masih banyak yang tidak siap untuk hidup berdampingan dengan perbedaan agama dan keyakinan. Bahkan sering kali kelompok minoritas agama dianggap menyesatkan karena menjalankan kegiatan agamanya yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini semestinya menjadi perhatian pemerintah melakukan tugasnya sebagai pemangku kewajiban untuk melakukan proteksi kepada kelompok minoritas.

v


Asa yang Takkan Padam

vi

Ragam tindakan intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan ini masih kerap terjadi, seperti penolakan tempat ibadah, tindakan kekerasan, penyebaran kebencian atas agama dan keyakinan tertentu, dan tindak diskriminasi lainnya yang dilakukan oleh aparatur Negara, termasuk di bidang pendidikan. Salah satu contohnya adalah yang dialami oleh anak muda yang merupakan penghayat Marapu di Sumba Barat yang diceritakan dalam buku ini. Anak tersebut terpaksa harus mengikuti mata pelajaran agama Katolik dan pergi ke gereja karena keperluan nilai sekolah disebabkan sekolahnya tidak menyediakan pelajaran untuk kelompok penghayat. Selain itu, terdapat pula anak muda yang mengalami diskriminasi karena tidak tersedianya kolom penganut agama kepercayaan pada berkas administrasi sekolahnya. Hal ini mengakibatkan anak tersebut terpaksa harus memilih agama Islam dan terpaksa menjalani kegiatan-kegiatan agama di sekolah. Tidak hanya itu, kekerasan dan penyerangan juga sering dirasakan oleh kelompok minoritas, seperti pembakaran rumah ibadah gereja di desa Mandumpang, Aceh Singkil, pada tahun 2015 lalu. Cerita ini hanya beberapa dari sekian banyak orang yang masih mengalami tindakan intoleransi, diskriminasi, maupun kekerasan, baik dilakukan oleh masyarakat, pendidik, hingga birokrasi pemerintah. Yang patut disayangkan, penanganan pada tatanan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Bahkan, impunitas kasus-kasus kekerasan ini kerap terjadi, yaitu tidak adanya upaya penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran. Penyelesaian secara damai


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

seringkali bahkan tidak berpihak pada korban, apalagi untuk memberikan jaminan pemulihan secara utuh atas penderitaan dan kerugian dari pelanggaran tersebut. Akibatnya, tindakan intoleransi dan diskriminasi di Indonesia tidak kunjung usai karena penegakan hukum yang belum maksimal. Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak dasar manusia yang tidak dapat dikurangi pada kondisi apapun. Oleh karena itu, HRWG (Human Right Working Group) sebagai lembaga advokasi HAM memiliki tujuan untuk terus mengkampanyekan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok minoritas agama. Penguatan kolaborasi antara organisasi masyarakat sipil (OMS), stakeholder, dan kelompok korban dalam melakukan kampanye pemenuhan HAM kelompok minoritas sangat penting untuk hasil yang maksimal. Hadirnya buku ini karena adanya semangat untuk terus memperjuangkan hak-hak korban kelompok minoritas agama. Melalui buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan anak muda yang menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain dapat menjadi “ruang cerita” buku ini juga diharapkan dapat menjadi acuan pemangku kewajiban dalam melakukan perlindungan, pemenuhan, dan promosi terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Atas nama HRWG, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Sobat KBB yang menjadi mitra utama kami, Yayasan Tifa yang telah mendukung proses

vii


Asa yang Takkan Padam

penerbitan buku ini, seluruh penulis yang berasal dari komunitas anak-anak muda progresif yang tak kenal lelah memperjuangkan hak-haknya, anak muda korban KBB yang telah bersedia berbagi cerita, tim editor, dan para ahli yang telah memberikan masukan dan saran atas buku ini hingga buku ini bisa tersusun secara sempurna. Selain itu, rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada seluruh pihak yang tidak terlibat langsung, namun tetap memiliki peran pada buku ini, yaitu seluruh organisasi masyarakat sipil (OMS) dan akademisi yang bekerja untuk advokasi hak asasi manusia. Kami berharap buku ini dapat menjadi literatur baru, dan membantu sebagai alat advokasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG

viii


PROLOG: MEMBANGUN POLITIK REPRESENTASI KORBAN DAN PENYINTAS TINDAK PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN DI INDONESIA *** Tatkala sedang bertungkus-lumus merampungkan penyuntingan naskah ini, tersiar informasi perihal suntikan dana untuk program promosi isu ‘Moderasi Agama’ yang dikerjakan pemerintahan Joko Widodo, dalam sisa-sisa ujung kekuasaannya (International Religious Freedom Report, USDS, 2020). Sumber dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2021, yang diteken Presiden langsung, untuk segera dialokasikan kepada Kementerian Agama (Kemenag), dengan jumlah yang terbilang fantastis. Sontak, saya berusaha untuk mengakses secara lebih terperinci informasi tersebut; melacaknya melalui pelbagai kanal website publik lintas-kementerian: sejak kementerian keuangan, sekretariat negara, JDIH, sampai kementerian agama sendiri, tak lain dan tak bukan, demi bertujuan mencocokkan informasi yang saya terima dengan data yang terpublikasikan, dan hasilnya: yap, betul. Pemerintahan Joko Widodo telah sedemikian perhatian mengkampanyekan isu moderasi agama sebagai

ix


Asa yang Takkan Padam

x

pandangan negara, dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang mereka punya, termasuk mengalokasikan anggaran belanja negara di dalamnya. Dalam praktiknya, ibarat perbandingan angka 11-12 cara kerja birokrasi kita, yang sesungguhnya amat gampang ditebak, dana tersebut dialokasi ke dalam kegiatan penelitian, program pelatihan jangka pendek, menengah dan panjang, belanja rutin pegawai, biaya perawatan akun media sosial pejabat yang terkait program tersebut, atau juga kunjungan kerja ke sana-sini. Bilamana pun ada yang patut direspon perihal informasi ‘isu moderasi agama’ yang pajak kita sebagai warga negara ikut berkontribusi di sana, tentu kita perlulah berterimakasih. Berterimakasih dengan sikap terpaksa, sambilsambil diam-diam mengernyitkan dahi dan bertanya kritis: maksud kalian apa? Adakah proyek tersebut cukup relevan dan koheren dengan problem utama dalam konteks relasi negara dan umat beragama atau justeru yang ada sebaliknya? Sebelum jauh menyoroti maksud di balik apa dan bagaimana operasionalisasi terhadap pengarusutamaan wacana moderasi beragama oleh pemerintahan periode kedua Joko Widodo pada kehidupan berbangsa dewasa ini –termasuk melihat konsekuensi setelahnya–, ada baiknya, saya ingin mengajak para pembaca yang baik nan budiman untuk sedikit melihat konteks yang menyertai mengapa wacana tersebut bergulir. Moderasi beragama sebagai suatu tema atau isu, yang paling tidak, tertampakkan dalam alur proyeksi program negara yang dirancang, dikerahkan, serta


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

diamplifikasikan oleh pemerintahan Joko Widodo pada saat ini dan tiga tahun ke depan berangkat dari dan melalui sebuah asumsi mendasar perihal masalah ekstrimisme agama. Ia diletakkan secara fondasional sebagai tesis utama, yang berusaha direspon oleh moderasi beragama sebagai antitesis jawabannya. Paradigma yang dipancakkan dalam merespon problematika ekstrimisme agama itu didasari atas pelbagai peristiwa bersejarah yang dialami Indonesia dalam menghadapi ancaman, baik yang berbentuk langsung, seperti serangkaian aksi teror yang mengatasnamakan identitas agama tertentu, atau dalam bentuknya yang asimetris, seperti kampanye dan mobilisasi kebencian melalui medium virtual. Ekstremisme agama, karenanya, telah dianggap sebagai musuh bersama bangsa Indonesia (common enemy) yang wajib dilawan dan ‘diperangi’, sekalipun kendali utama dalam melawan ekstrimisme agama itu dilakukan oleh negara. Indonesia tidak sendiri menghadapi apa yang dianggap sebagai ancaman ekstrimisme agama dalam konteks kehidupan modern sekarang ini. Ia telah jadi isu global di dunia yang kian menggurita –baik secara sistematis atau sporadis– yang sedang, telah dan akan melakukan serangkain kegiatan dan aksi teror untuk menciptakan tujuan akhir kekuasan dan pengaruhnya dengan menggunakan pola dan strategi instabilitas sentimen politik identitas keagamaan tertentu. Yang paling mutakhir, tentu saja, masyarakat dunia ramai-ramai dikejutkan dengan ulah para kombatan NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah) atau masyhur disebut

xi


Asa yang Takkan Padam

xii

ISIS. Untuk sedikit menyebutkan soal tersebut di dalam negeri, ekstrimisme agama sesungguhnya memiliki akar historiografi yang panjang, dan punya genealogi, jejaring aktor kekuasan dan pengetahuan yang panjang pula, seturut Indonesia pelan-pelan meredefinisikan ‘kehidupan bernegara’ pasca lepas dari kolonialisme. Tiap-tiap rezim pemerintahan sejak awal kemerdekaan sampai bergulirnya reformasi menghadapi ‘isu ekstrimisme agama’ yang, satu sama lain, berbedabeda secara konteks dan dinamika sosial-politik, tetapi untuk mempersingkat saja –semoga tidak diartikan menyederhanakan masalah– setidaknya dua momentum politik yang, pada akhirnya mendesak pemerintah Joko Widodo memberi perhatian serius terhadap ‘ekstremisme agama’: pertama, penggunaan isu penodaan agama sebagai trigger dalam efektifnya kampanye hitam pada kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017, kedua, masifnya pola sentimen agama dalam perhelatan elektoral presiden dan wakil presiden pada 2019. Dua momen itu cukup jadi ‘sinyal keras’ kepada Joko Widodo, yang pada tahap berikut, meletakkan fondasi ‘isu moderasi agama’ dianggap sebagai suplemen untuk menangkal ekstremisme agama yang terjadi saat itu, dan kini. Sampai di sini, dapatkah kita katakan bahwa ekstrimisme agama betulbetul valid merupakan masalah utama (main problem) yang ada dan dihadapi dalam konteks relasi negara, agama dan masyarakat, sehingga pengarusutamaan moderasi beragama oleh negara dianggap koheren sebagai jawaban tunggalnya?


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Ketika Wacana Menafikan Masalah: Pemulihan Korban Tindak Pelanggaran KBB Tak ada yang sepenuhnya salah atas wacana ‘moderasi beragama’ yang selama ini diintrodusir untuk serta dioperasionalisasikan secara lebih massif oleh negara beserta perangkat dan alat kekuasaannya, tetapi sebuah kekeliruan fatal jikalau wacana itu diterima secara taken for granted sebagai solusi satu-satunya terhadap jawaban atas problem relasi negara dan umat beragama, terutama ketika dilihat dari sudut pandang kewargaan. Sebuah wacana, apapun itu, terutama yang datang dan dioperasikan oleh negara mengandung satu relasi kuasa pengetahuan yang bekerja di dalamnya. Manakala wacana yang awalnya dimulai dari diskursus publik kemudian telah menjadi pandangan negara, maka ia berubah wajah menjadi sebuah sistem yang mapan, sehingga menyitir seorang filsuf poststrukturalis; Michel Foucault, ia punya tujuan untuk meregulasi bagaimana tatanan kehidupan dibicarakan dan dikonstruksikan. Artinya, moderasi beragama kita hari ini kental dengan konstruksi model keberagaman ala negara. Masih dengan nada yang sama, Foucault juga memblejeti bahwa terdapat asumsi-asumsi dasar yang bekerja dari sebuah wacana –terutama yang dikonstruksi oleh kekuasaan dan negara–, karena ia mengandung satu bidang di mana pengetahuan tak lagi dapat secara bebas dan bertransformasi secara apa adanya, tetapi

xiii


Asa yang Takkan Padam

xiv

ia telah mengkanalisasi batas-batas mengenai apa saja dan siapa saja yang berbicara, siapa yang punya otoritas memproduksi dan menyebarkannya, siapa yang memiliki otoritas untuk berbicara dan di mana dan dalam konteks apa ‘kebenaran dapat diungkapkan’. Implikasinya, ketika batas-batas itu sudah ditetapkan, maka penetrasi atas regulasi pengetahuan yang kita terima hari-hari cenderung tidak disadari. Acapkali kita sekadar merasa sedang mengungkapkan sebuah ‘kebenaran’ secara apa adanya, atau merasa mengalami segala sesuatu berdasarkan perasaan atau gagasan yang secara spontan lahir dari dalam diri kita sendiri, seakan-akan alami saja. Dalam konteks wacana moderasi beragama, pada perkembangannya dalam dinamika kehidupan berbangsa kita hari ini, ia tidak dapat lagi sepenuhnya alami lahir dari kebutuhan-kebutuhan fundamental kita sebagai warga negara. Aparatur negara sudah selalu menciptakan satu wacana sebagai sebuah narasi tunggal, untuk selanjutnya menyembunyikan dan mengabaikan fakta atas kebenaran-kebenaran lain yang, bisa jadi, justru lebih relevan dibicarakan sebagai konsumsi kita dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah bangsa. Pada saat wacana moderasi beragama diterimabegitu-saja tanpa ada kontrol, tanpa ada koreksi, tanpa ada penyeimbang yang berarti sebagai arus utama yang diintervensi oleh negara, pada saat itulah kita, dengan atau tanpa sadar, menerima itu, dan mengabaikan serta menafikan fakta lain, yang hari-hari ini terdengar samar, bahwa negara masih punya tanggungjawab untuk memberikan keadilan dan pemulihan terhadap


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

para korban dan penyintas kebebasan beragama dan berkepercayaan, yang selama ini, menjadi korban struktural dari pelanggaran-pelanggaran konstitusional hak-hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Menjelang tiga tahun masa terakhir Joko Widodo menjabat sebagai presiden, selama dua periode berturutturut di bawah kepemimpinannya, banyak persoalan pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia yang belum terselesaikan. Hal ini termasuk di antaranya persekusi anti-Syiah di Sampang-Kepulauan Madura, Warga Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat, Komunitas Jemaat Kristen di Aceh SingkilSumatera Utara. Mereka terpaksa mengungsi dari kampung halaman mereka, dan kehilangan hak-hak dasar yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi negara untuk mengekspresikan dan menjalankan aktivitas agama sesuai dengan keyakinannya. Pada wilayah lain, masalah serupa di Pulau Jawa, terutama menyoroti apa yang terdapat dalam dinamika kehidupan keagamaan di wilayah Jawa Barat dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan tinggi ketimbang provinsi-provinsi lain, sehingga mendapat kategori ‘zona merah’ intoleransi dan radikalisme agama yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir. Di wilayah ini, komunitas-komunitas yang diidentifikasi sebagai syiah, Ahmadiyah, penganut kepercayaan agama lokal, serta komunitas minoritas agama seperti Kristen, mengalami diskriminasi struktural karena identitas keagamaan mereka. Masalah-masalah

xv


Asa yang Takkan Padam

tersebut meliputi pelarangan aktivitas beribadah, pembatasan pelayanan publik dalam urusan administrasi kependudukan sipil, hingga masalah yang mencakup ruang ekonomi dan budaya mereka. Selama bertahun-tahun, jika bukannya puluhan tahun, negara membiarkan masalah-masalah tersebut berlalu tanpa adanya ganti rugi yang jelas, tanpa adanya tindakan pemulihan. Para penyintas KBB (Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan) mengalami kerugian, baik secara materiil dan nonmaterial, pasca mereka dipersekusi, menghadapi ancaman kekerasan dan persekusi karena stigmatisasi yang dibiarkan berlarut sebagai kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Sebagian besar suara penyintas KBB tidak cukup didengar oleh negara, dan semakin dibungkam. Menata-ulang Barisan: Mengamplifikasi Suara Korban Bersama Para Penulis Muda

xvi

Tulisan pertama berjudul “Mengawamkan Beda: Bersikap Inklusif Meski Tak Sama”, datang dari seorang remaja perempuan asal Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) wilayah Tasikmalaya, Jawa Barat. Karya ini dibuat dalam kurun waktu kurang dari satu bulan –semoga saya tidak salah ingat. Jihan Almira, begitu nama penulisnya, merupakan satu dari sekian penulis lain yang kali pertama menyetorkan naskah, untuk saya baca, lalu kemudian memfasilitasi sedikit-banyaknya masukan, arahan, pendapat, evaluasi secara komplementer, baik secara sistematika ataupun konten tulisan.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Sedari awal manakala ide mengenai tulisan tersebut muncul, betapa sesungguhnya penulisnya punya intensi ingin sekali menarasikan cerita tentang pengalaman sewaktu masih kanak-kanak. Saat itu, sebuah insiden yang tidak menyenangkan ia lihat sendiri dengan mata telanjang: segerombolan orang, yang menurut ceritanya, entah datang dari mana, menyerang secara membabi-buta rumah ibadah (masjid) beserta area bangunan lainnya milik komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang berlokasi di dekat rumahnya. Sebagaimana kita semua mafhum, pada dua periode berturut-turut pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SB), di berbagai tempat di tanah air, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menghadapi serangan dan persekusi bertubi-tubi: penyerangan rumah warga, pengusiran warga dari kampung halaman, penyerangan rumah ibadah. Di tempatnya Jihan, segerombolan orang tersebut merusak bangunan masjid beserta seluruh isinya. Akibatnya, pasca penyerangan itu, selain secara fisikmaterial area bangunan mengalami kerusakan, juga sampai hari ini, jemaat Ahmadiyah di sana dilarang menggunakan masjid tersebut. Kendati insiden telah terjadi bertahun-tahun lalu, tentu hal itu tetap saja punya dampak, dan tidak dapat dicatat menurut ukuran ‘angka’ saja. Karya ini, berupaya menghadirkan ingatan kembali itu, ingatan khas ala penulis remaja, yang saat Anda baca, akan punya makna tersendiri. Adakah dampak bagi anak-anak dan perempuan tiap terjadi insiden penyerangan rumah ibadah dan pengusiran

xvii


Asa yang Takkan Padam

suatu komunitas agama dari tempat tinggalnya itu terlalu kecil, atau bahkan sama sekali dianggap tak terlalu penting, sehingga kita pun luput memperhatikannya, dan melupakannya begitu saja? Bilamana kemungkinan besar Anda terlambat menyadari (kondisi) keluputan tersebut, saya memaklumi sepenuhnya itu bukan kesalahan Anda, karena ada ragam kompleksitas dari situasi tersebut, dengan demikian, marilah kita simak karya Eldad. Pada suatu waktu, El meminta sedikit waktu kepada saya untuk mengobrol panjang alias curhat. Saya kebetulan tinggal di Kota Cirebon, dan El sendiri, bersama keluarganya, berdomisili di Gunung Kidul, Yogyakarta. Obrolan dilakukan melalui sambungan telepon. Sebagian konten obrolan, pada waktu itu, ia bercerita dengan asyik-masyuk perihal aktivitas kesehariannya, sejak aktivitas di gereja maupun sekolah; selebihnya soal bagaimana rencana ia akan menuliskan sebuah cerita mengenai perjalanan gereja, sejak masamasa remaja sampai dewasa sekarang. “Pak Omen, aku belum pernah menulis cerita dalam bentuk esai panjang atau artikel populer, jadi aku nggak terlalu yakin apakah bisa membuat tulisan dari ceritaku.” tuturnya di sela-sela obrolan. “Juga, aku sendiri,” lanjut El, “Belum sepenuhnya ‘selesai’ dengan peristiwa kelam itu, yang menimpaku sewaktu masih anak-anak.”

xviii

Mendengar pernyataan tersebut, saat itu, saya menghela nafas. Hanya pasif mendengar, tanpa respon apapun. Ketika usai percakapan, di ujung telpon saya


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

sedikit berpesan,”Kamu bisa kok El, santai saja.” Selang beberapa minggu setelah obrolan tersebut, kami berdua menyepakati soal jadwal dan waktu asistensi penulisan, di antara kesibukan kami berdua, yang ternyata proses asistensi berjalan nyaris tiga bulan. Ada banyak hal yang ingin El utarakan sebagai anak yang tumbuh dalam lingkungan komunitas agama yang mengalami persekusi, ada banyak hal ingin El sampaikan sebagai pribadi yang tangguh menghadapi peristiwa kelam, sembari proses pemulihan diri dalam peristiwa traumatik berjalanberiringan. Tulisan El memiliki sudut pandang khas dari seorang remaja gereja yang tumbuh-besar dalam perjalanan satu institusi gereja yang mengalami tindak intoleransi dan persekusi. “Aku pengin aktif menyebarkan pesan kasihsayang dan solidaritas kepada semua orang sebagaimana ajaran agamaku di gereja,” Ujar suatu ketika kepada saya, “Agar generasi muda di masa depan,” lanjutnya, “nggak mengalami peristiwa yang pernah kami alami.”

Kesulitan menulis pada satu sisi, serta ikhtiar mentransformasi peristiwa traumatik di masa lalu menjadi pesan narasi yang positif dan (semoga) inspiratif pada sisi lain, rata-rata dihadapi oleh sebagian kawan-kawan penulis muda dari komunitas agama dan kepercayaan yang saya temani dalam proses produksi naskah ini. Soal kesulitan menulis; sependek pengetahuan saya, kalau dipetakan secara nasional dalam konteks pendidikan di Indonesia, sesungguhnya berurat-akar pada sistem

xix


Asa yang Takkan Padam

xx

pendidikan Indonesia yang tidak sepenuhnya meletakkan kemampuan menulis kreatif peserta didik sejak di bangku sekolah dasar, ditambah lagi, tradisi sosial-budaya kita yang dominan dengan tradisi lisannya. Di luar itu, saya mesti bilang: soal aksesibilitas pemajuan dan penguatan kualitas pendidikan yang tidak merata, hanya berfokus di Pulau Jawa, adalah masalah fundamental lain yang tak kalah penting. Di Pulau Jawa, jika Anda kebetulan berada di sini, sesungguhnya privilege itu tersedia di depan mata: jenis sekolah dan pengajar dengan kemampuan yang bermacam, bahan bacaan, jaringan, apalagi perhatian intensif dari negara. Bagi Franyudi Berutu, teringat momen awal kali pertama terhubung dengan saya, adalah kegirangan dia bertambah kawan dan pengetahuan baru, yang itu tidak pernah didapatkan selama hidup di Aceh Singkil. Selama proses asistensi penulisan, berulang-kali Franyudi mengemukakan bahwa dirinya tak sanggup menulis, karena baginya itu hal pertama yang akan dilakukannya sebagai anak muda, yang tidak pernah ia dapat di bangku sekolah dan lingkungannya. Sesering ia mengeluh untuk berkata tidak bisa menulis, sesering itu juga saya katakan bahwa ia bisa. Ada pelbagai metode yang kami berdua sepakati, dalam prosesnya, meliputi: merekam pembicaraan melalui alat bantu Recording Handphone (rekaman HP) kemudian ditulis kembali secara verbatim, sampai menempuh proses melalui media percakapan aplikasi Whatsapp. Setiap kali ia punya ide dan energi menulis, saya minta untuk diketik melalui percakapan tersebut, dan akhirnya selama tiga


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

bulan lebih, naskah tersebut berhasil! Lantas, apa yang dia ceritakan dalam naskah tersebut? Secara umum, ia bercerita soal peristiwa traumatik yang ia dan keluarganya di komunitas kristen Aceh Singkil alami: penyerangan rumah ibadah, pembakaran tempat tinggal, sampai pengusiran warga dari kampung halamannya. Secara spesifik, Anda berhak mendapat sentuhan pengalaman langsung dengan membaca cerita Franyudi. Saat Anda punya aksesibilitas sumber daya menulis yang tersedia-melimpah: lingkungan akademik, pertemanan, bahan bacaan, serta peralatan memadai, dan Anda memiliki (keinginan) dan kemampuan menulis kreatif itu hal yang biasa-biasa saja, tetapi jika sebaliknya, maka Anda punya kesempatan untuk mencoba. Sesekali tengoklah pengalaman saya bersama Stefani. Fani, begitu saya biasa menyapanya, tinggal di sebuah perkampungan di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kesehariannya terfokus sebagai anggota adat di komunitas Agama Marapu. Dalam proses asistensi penulisan, Fani melakukannya dengan cukup ‘tertatih-tatih’ dan ‘berdarah-darah’. maksudnya coba Anda bayangkan: Tak ada peralatan tambahan pendukung untuk menulis, seperti laptop atau komputer misalnya, jaringan sinyal yang seringkali terhambat, ataupun kesulitan menyediakan waktu di tengah kesibukan. Satu minggu pertama, Fani menyetor tulisan dengan jumlah satu paragraf kalimat, kemudian saya baca lalu memberikan sedikit pendapat. Satu minggu kedua, Ia juga melakukan hal yang sama, dengan respon dari saya sebagai asisten penulisan yang juga sama. Dua minggu,

xxi


Asa yang Takkan Padam

xxii

tiga minggu dan seterusnya, satu dua halaman akhirnya terlampaui. Fani berhasil melewati kesulitan-kesulitan yang dihadapi secara teknis dalam urusan menulis, selagi dia memang bersungguh. Cerita yang menyublim dalam karya fani, selain memiliki kekuatan orisinalitasnya sebagai sudut pandang orang pertama yang menceritakan soal-soal kehidupan yang dihadapi oleh Agama Marapu di lingkungannya, juga kekuatan itu ada pada kesungguhannya menuliskan cerita. Sekali lagi, kekuatan itu ada kesungguhannya. Ada Jihan Almira yang telah berupaya menghadirkan kembali secara segara peristiwa persekusi yang dialami remaja di Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Ada Eldad yang telah sedemikian berhasil menceritakan soal apa saja intoleransi yang berdampak bagi lingkungan gerejanya di daerah Gunungkidul, Yogyakarta, Ada pula Franyudi, yang merekam kembali melalui tulisan sejarah hidup beserta peristiwa kelam yang dialami warga Kristen di Aceh Singkil, serta melalui Fani, pembaca diajak untuk menghidupkan narasi kecil perihal eksistensi Agama Marapu di Nusantara. Selain nama-nama yang disebutkan, anak-anak muda lain hadir membawa cerita dan pesannya masingmasing: ada yang bercerita soal pengalaman religiusitas sebagai penghayat kepercayaan Sapta Darma, ada yang berusaha melawan intoleransi negara yang dialami agama Bahai dan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Tengah melalui ulasan reportase, ada yang berbicara soal stigma dari sudut pandang etnis minoritas di satu kota. Cerita-cerita, satu-sama lain, memiliki kekuatan dan


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

orisinilitasnya sendiri, yang satu sama-lain, telah berhasil memadukan bagaimana narasi-narasi ‘yang terlihat’ kecil, pinggiran, dibungkam, niscaya terus disuarakan, dituliskan serta ditransformasikan menjadi gerakan bersama anak muda yang peduli terhadap kemandirian di komunitasnya. Seluruh sumbangsih tulisan dalam naskah ini, pada awalnya dimulai dari pelatihan penguatan anak muda dalam perspektif kebebasan beragama dan berkepercayaan yang diselenggarakan oleh jaringan Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (SOBAT KBB) yang berkolaborasi dengan Human Right Watching Group (HRWG) atas dukungan Yayasan TIFA, yang diselenggarakan pada bulan Maret 2021. Naskah ini, sekali lagi, berhasil menggagas sebuah awal dari ‘politik representasi’ yang disuarakan oleh anak muda yang berasal dari komunitas yang mengalami dampak langsung atas pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan, mulai dari Aceh Singkil sampai wilayah Sumba. Sebuah ‘politik representasi’ yang ingin mengekspresikan pertanyaan epistemologis mengenai siapa, di mana, kapan dan mengapa berbicara, penilaian dan pemahaman tentang kondisi-kondisi riil yang mereka alami. Pada saat moderasi beragama dibicarakan terlalu mainstream, maka gerakan atas tuntutan keadilan korban barangkali sebuah model pengetahuan baru yang patut dipertimbangkan. Sekali lagi, dan lagi. Omen Bagaskara, Cirebon, 05 Juni 2021 xxiii


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PROLOG: DAFTAR ISI

v ix xxiv

Mengawamkan Beda; Bersikap Inklusif Meski Tak Sama Jihan Fauziah

1

Eksistensi Penghayat Marapu Hari Ini Stefani Tarung

9

Berbeda Tidak Harus Kehilangan Warna Sinta Djuwita

14

Terusir dari Kampung Halaman Sendiri: Ceritaku sebagai Warga Kristen Aceh Singkil Franyudi Berutu

18

Ketika Kami Mengungsi dari Gereja Sendiri Eldad Mesakh

28

Perjalanan Rohaniku Menjadi Penghayat Sapta Darma Darma Tri Hadi Prayitno

34

Mau Dibawa Kemana Toleransi Kita? Muhammad Bahesty Al-Kaff

45

Mengenang Diperlakukan Liyan di Sekolah Kinanti Suarsih xxiv

51

Saya Hanya Punya Empati untuk Umat Baha’i Fia Maulidia

59


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Ceri(t)aku Ahmad Khasan Basri

66

Memori, Kisah dan Pelanggaran HAM atas Jemaat Ahmadiyah Kendal Muhammad Sidik Pramono

71

Perjuangan Pemulihan Hak-Hak Penghayat di Tulang Agung M. Masrofiqi M.

Tentang Penulis

77

86

xxv


Asa yang Takkan Padam

xxvi


MENGAWAMKAN BEDA; BERSIKAP INKLUSIF MESKI TAK SAMA JIHAN FAUZIAH Ketika melintasi tepian jalan itu, segera ilalang bergoyang menyejukkan mata. Sesekali gerakannya mengenai rok seragam abu-abu kami. Saya dan seorang kawan tengah berjalan bersisian sepulang sekolah. Sejenak saya perhatikan wajahnya yang serius memperbincangkan kebiasaannya mengaji kitab. Entah sejak kapan, selalu ada cemas yang tak dapat dibahasakan ketika seseorang membicarakan agama di hadapan saya, terutama dengan kawan yang belum lama saling mengenal. Selalu dalam pandangan saya, topik agama identik dengan elemen perbedaan antar-sekte, lalu mengerucut pada konsepsi benar-salah yang tak jarang ditutup dengan ketidakterimaan terhadap perbedaan. “Kamu juga sering ngaji kitab?” Saya menggeleng pelan, “Aku biasa ngaji AlQur’an.” “Oh. Tapi kalau boleh tahu, kamu NU, kan?” Saya menggeleng, dan detik berikutnya ia tanyakan golongan apa saya ini. Bibir saya

1


Asa yang Takkan Padam

terkatup.

Dibalik jeda yang tak bersuara, terdapat linimasa sejarah yang mengulur panjang di belakang. Ada pasang surut eksistensi persekusi dan stereotype yang saya alami meski berangsur-angsur surut saat ini. Saya Ahmadiyah, Kerap Mendapat Perlakuan Liyan di Sekolah

2

Semuanya berawal sejak saya masuk sekolah dasar. Di kampung, hanya ada satu sekolah dasar dan terletak di kaki gunung cadas. Murid-muridnya pun merupakan anak-anak setempat dan beberapa anak dari kampung sebelah. Secara otomatis, mereka pasti tahu bahwa saya adalah seorang Ahmadi. Tahun 2007, bertepatan dengan saya masuk sekolah dasar, masjid Ahmadiyah Sukapura dirusak massa. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu karena anak-anak dan perempuan Ahmadi disarankan untuk tetap berada di rumah. Saya pikir, kejadian itu tak akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial saya di sekolah. Rupanya saya keliru. Sangat keliru. Sebab setelah tahun berganti pun, saya dan kawan-kawan Ahmadi lain tetap merasakan persekusi. Masih membekas dalam ingatan, di bulan Ramadhan ketika saya sudah duduk di kelas tiga, setiap siswa diwajibkan mengikuti pesantren Ramadhan di madrasah setempat. Teman-teman saya yang non-Ahmadi bersorak


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

dan cepat-cepat mendaftar di tempat mereka biasa bersekolah agama. Sementara saya dan kawan-kawan lain jelas paham, anjuran guru tersebut tidak berlaku bagi kami. Kendati sudah tahu akan ditolak, kami tetap berusaha mendaftar. Ketika teman-teman saya memasuki masjid dan berebut tempat duduk, saya dan kawankawan Ahmadi hanya mampu menatap mereka tanpa bisa berkata apa-apa. Salah seorang teman non-Ahmadi mengajak saya untuk segera masuk. Namun, temannya yang lain segera menyela, “Hush! Dia itu Ahmadi. Haram katanya menginjakkan kaki di masjid kita.” Akhirnya, kami tetap mengikuti pesantren Ramadhan tetapi bertempat di sekolah dan diajar oleh guru agama yang selalu baik kepada anak-anak Ahmadi. Sayangnya, kegiatan tersebut merupakan hari terakhir perjumpaan kami karena beliau pindah (entah dipindahkan) ke daerah lain. Sebagai gantinya, ada guru agama baru yang justru menambah persekusi kepada kami. Setiap belajar, tak jarang beliau mengalamatkan kata kafir dan murtad kepada ajaran Ahmadiyah. Pendidikan agama di rapor anak-anak Ahmadi pun selalu mendapat nilai merah. Semua itu memiliki bias pada perlakuan teman-teman kepada murid Ahmadi; mengolok-olok, mengkafirkan, dan setuju bahwa orang-orang Ahmadi halal untuk dilukai. Jalsah Tenjo Waringin Sudah

menjadi

rutinitas

bagi

Ahmadiyah

3


Asa yang Takkan Padam

4

mengadakan pertemuan rohani. Salah satu pertemuan tersebut akrab dengan sebutan Jalsah. Tahun 2013, Jalsah diadakan di Tenjowaringin. Ibu dan beberapa anggota lain sudah berangkat untuk menghadiri kegiatan yang akan berlangsung tiga hari itu. Sementara saya berencana menyusul setelah pulang sekolah. Sebelum berangkat ke sana, saya sudah mendengar desas-desus akan ada penyerangan dari oknum intoleran. Namun, kabar angin itu tidak membuat seorang gadis tiga belas tahun seperti saya membatalkan keberangkatan. Tersimpan dalam ingatan saya, malam itu saya bermimpi ketika terlelap. Dalam mimpi itu saya merasakan diri saya tengah berbaring, lalu masuk seorang perempuan berbaju merah mendekat dan berbisik, “Pukul satu akan ada massa ke sini. Ayo, bangun.” Seketika saya terjaga dalam keadaan resah. Sekilas mimpi itu terasa nyata. Saya lirik jam, masih pukul dua belas malam. Namun, alih-alih membangunkan Ibu, saya justru menarik selimut tinggi-tinggi hingga menutupi kepala dan berusaha kembali terlelap. Berharap bahwa mimpi tersebut hanyalah bunga tidur karena saya mendengar desas-desus penyerangan sebelum berangkat tadi. Beberapa waktu kemudian, tubuh saya diguncangkan seseorang. Ibu membangunkan saya dengan raut panik yang berusaha ditutupinya. Samar beliau berkata, “Ada penyerangan.” Jantung saya berdegup. Ketika melirik jam, jarumnya tepat menunjuk angka satu. Sekujur tubuh saya meremang, dari ujung kaki hingga puncak rema. Samar-


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

samar terdengar teriakan takbir, disusul bunyi kaca pecah dan tangis perempuan pemilik rumah. Ibu saya mengintip dari jendela ruang tamu yang lampunya sudah dimatikan sejak sebelum tidur, saya ikut-ikutan mencuri lirik. Jumlah mereka tidak terlalu banyak, berjalan sembari menghancurkan rumah-rumah di sepanjang jalan menuju lokasi masjid yang lokasinya berada di bagian atas. Sementara rumah yang saya tempati menjorok dari bibir jalan serta jauh dari masjid, sehingga cukup leluasa memperhatikan keadaan. Dari siluet nya, tampak mereka mengenakan helm, membawa balok kayu, dan sesekali memungut batu sebelum mengagungkan nama-Nya sambil merusak rumah penduduk. Tangisan anak-anak dan perempuan Ahmadi tampak seperti lolongan serigala di pekatnya malam, bersahutan dengan denting kaca pecah yang jatuh berserakan. Ibu menyeret saya serta anak-anak lain bersembunyi di kamar paling ujung dan menganjurkan ibu-ibu lain untuk tetap tenang. Dari kamar yang saya tempati, suara-suara memekakkan dari luar kalah saing dengan gema air mengalir dari areal sawah di belakang kamar. Gemericik itu tak sedikitpun membuat saya merasa tenang. Detik jarum terasa berdetak lambat seakan kian memperburuk keadaan, lalu Ibu muncul di ambang pintu dan memelukku. Saat itu juga, saya dapati sedikit ketenangan saya kembali. Namun air mata saya merebak, saya menangis. “Kita pulang besok,” bisiknya. Saya tidak bertanya lebih lanjut dan hanya mengangguk.

5


Asa yang Takkan Padam

Keesokan paginya, dengan wajah layu kami berkemas dan berkumpul di pinggir jalan menunggu jemputan tiba. Saya menyaksikan beberapa aparat berseragam ada di sana, sebagian duduk sembari merokok di atas kap mobil dinasnya. Tepat di samping mereka rumah-rumah berderet tanpa kaca jendela, pecahannya masih berserakan di jalanan. Saya lirik Ibu, “Bu, kenapa kita pulang sekarang? Bukannya tugas mereka menjaga kita?” Ibu tidak menjawab. Barangkali memang tidak semua pertanyaan mendapat jawaban secara instan. Menjadi Muslim tanpa Masjid

6

Selepas dirusak tahun 2007, seluruh kegiatan peribadatan JAI Sukapura terhenti. Baru beberapa tahun setelahnya kami mencoba merangkak dengan menjadikan rumah salah satu anggota sebagai pusat kegiatan pengganti masjid. Tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku; dibatasi jumlah jamaah-nya dan tidak menandakan hendak shalat. Anak-anak yang akan mengikuti kelas keagamaan di sana pun mesti menyembunyikan buku dan mukena ke dalam baju, lalu masuk ke rumah satu per satu. Ada masanya saya merasa cemburu melihat anakanak non-Ahmadi pergi ke masjid dalam keadaan mengenakan mukena secara terang-terangan. Berbanding terbalik dengan apa yang kami alami. Rasa syukur dapat kembali beribadah tentu satu-satunya alasan untuk berhenti membandingkan. Namun, badai itu kembali datang ketika massa mencium kegiatan peribadahan kami di rumah itu.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Rumah anggota tersebut disegel dan dipasangi garis polisi. Kegiatan kami kembali vakum. Beberapa tahun kemudian, kami kembali merangkak untuk bangkit. Anak-anak bisa mengikuti kelas pendidikan agama dengan tetap bersembunyisembunyi dan dilakukan berpindah-pindah di beberapa rumah anggota. Diskriminasi terhadap Ahmadiyah (dan golongan keagamaan lain) menjadi tinta hitam di atas kertas sejarah bangsa Indonesia yang mungkin akan terus dikenang. Namun, sudah saatnya kita mengawamkan beda, menghapus stigma, dan menghentikan persekusi. Jika kita telaah, semua agama tentu mengajarkan dignity; menghargai sesama manusia dalam prinsip kesetaraan. Doktrin egalitarianism tersebut juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw., “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan.” Tidak ada yang lebih unggul dan mengungguli. Tidak ada yang perlu ditakutkan dengan dicap kafir dan diperlakukan secara liyan sekali lagi. Selepas mendapatkan suara saya kembali, saya menjawab, “Saya seorang Ahmadi. Ahmadiyah.” Responnya jelas di luar dugaan, “Bukan, aku pasti salah dengar. Kamu Muhammadiyah.” “Saya Ahmadiyah.” 7


Asa yang Takkan Padam

“Ngga mungkin! Bagiku kamu Muhammadiyah.” “Kenapa ngga mungkin? Sejak lahir saya memang seorang Ahmadiyah.” “Karena aku sering lihat kamu shalat dan mengaji. Kamu tidak kafir seperti apa yang orang-orang katakan.” “Kamu sudah melihat kenyataannya, bukan hanya mendengar ucapan orang-orang.” “Jadi, Ahmadiyah itu Islam?” “Ya,” jawab saya mantap. Saya menyadari, barangkali mereka membenci sesuatu tanpa tahu kenyataan yang sebenarnya. Tidak perlu eksklusif hanya karena pernah diperlakukan berbeda.

Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda. (Kambing dan Hujan) ***

8


EKSISTENSI PENGHAYAT MARAPU HARI INI STEFANI TARUNG Di tempat tinggal saya, terdapat sebuah kampung besar yang membentang dari selatan ke utara, namun memiliki dua nama yaitu Kampung Tarung dan Kampung Weetabara. Kampung ini sangat strategis karena berada di tengah-tengah kota Waikabubak dan sering kali orangorang menjulukinya sebagai jantung kotanya Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kampung Tarung dan kampung Weetabara juga unik karena perumahan pada dua kampung ini masih sangat asli dengan menggunakan atap dari alang-alang dan dinding serta lantai dari papan, kayu dan bambu. Rata-rata warga yang berada di dalam kampung Tarung dan Weetabara mayoritas masih menganut kepercayaan Marapu atau agama lokal. Seiring berjalannya waktu kami mulai masuk ke bangku pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD), kami anak-anak yang berada di kampung Tarung dan kampung Weetabara serta sekitarnya mendaftarkan diri ke salah satu sekolah Katolik, dan kebetulan sekolah tersebut jaraknya tidak begitu jauh dari kampung tempat kami tinggal. Selama kami berada di sekolah, kami seringkali merasa kebingungan pada saat jam mata pelajaran agama, karena sejujurnya, mata pelajaran Agama Marapu juga

9


Asa yang Takkan Padam

10

kami tidak mendapatkannya di sekolah formal. Hari demi hari kami mencoba beradaptasi untuk mengikuti jam mata pelajaran agama katolik, atas izin guru agama, tetapi seperti yang kita ketahui bersama, jika mengikuti pelajaran agama bagi umat kristiani, guru agamanya akan memeriksa buku mingguan sebagai bukti bahwa setiap hari minggu kami harus ke gereja. Dan itu artinya kami harus masuk gereja setiap hari minggu dengan tujuan untuk mendapatkan buku mingguan tersebut. Karena mengingat buku mingguan tersebut ada nilai tambahnya untuk kami dan itu adalah kewajiban yang harus dituruti untuk dilaksanakan, kami mulai mencoba berpikir untuk masuk gereja dan tentunya atas izin orang tua, tetapi di awal-awal saat kami hendak meminta izin kepada orang tua kami untuk ke gereja, orang tua kami masih sangat keberatan, karena mereka takut kalau kami semua sudah masuk gereja, kepercayaan Marapu juga akan ikut hilang. Karena pandangan kami sebagai penghayat marapu adalah warisan leluhur yang harus dijaga turuntemurun dan keberadaannya sangatlah nyata di dalam kehidupan kami. Pada suatu hari orang tua saya bertanya kepada saya, “Kalau saat pelajaran agama di sekolah, berarti kamu mengikuti pelajaran Agama Katolik?” Dengan penuh rasa takut dan keraguan, saya memberanikan diri untuk menjawab “iya” saja, karena sebelum orang tua saya bertanya, saya sudah memikirkan untuk memberitahu mereka terlebih dahulu, namun saya betul-betul mengetahui kalau orang tua saya belum menginginkan saya untuk masuk gereja, akhirnya saya


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

kebingungan bagaimana caranya dan harus memulai dari mana saya menyampaikan hal tersebut. Pada saat tadi, saya menjawab iya, saya hanya tertunduk dengan rasa takut, lalu orang tua saya berkata kepada saya dengan suara lirih, kamu boleh mengikuti pelajaran agama katolik selama kamu masih merasa nyaman akan tetapi jika tidak, di saat kamu lagi tidak senang, kamu jangan memaksakan kehendak, kata mereka. Di saat orang tua saya mengatakan hal tersebut saya terus tertunduk dan dengan penuh rasa takut serta kebingungan. Namun di sini saya tetap memberanikan diri untuk memberitahukan alasan saya yang sebenarnya adalah bahwa kalau saya tidak mengikuti mata pelajaran agama katolik saya tidak akan mendapatkan nilai agama. Di sini juga bukan karena paksaan dari guru agama melainkan atas niat kami sendiri karena satu-satunya mata pelajaran yang ada di sekolah kami adalah mata pelajaran agama katolik. Setelah saya selesai berbicara suasana menjadi hening sesaat dan kemudian orang tua saya mulai berbicara lagi dengan mengatakan kepada saya, “Mulai sekarang kamu boleh mengikuti mata pelajaran Agama Katolik akan tetapi kamu harus ingat bahwa kamu belum bisa dibaptis.” Ujar lagi orang tua Pada saat mendengar pernyataan itu, hati saya sedikit lega, karena saya sudah mengikuti mata pelajaran agama Katolik dengan izin orang tua yang walaupun masih ada batasan-batasan dari orang tua. Jikalau saat itu juga saya harus dibaptis, saya juga akan menolak karena saya

11


Asa yang Takkan Padam

12

belum siap secara batin dan saya juga masih dalam proses adaptasi. Tetapi ada beberapa orang teman saya yang terpaksa harus dibaptis, dalam proses tersebut. Suatu saat juga kami diberi informasi oleh guru wali kelas bahwa kami harus mengumpulkan akte kelahiran, informasi tersebut saya sampaikan kepada orang tua saya dan keesokan harinya bapak ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) setempat untuk mengurus akte kelahiran, sesampainya di sana. ternyata harus disertai dengan beberapa persyaratan antara lain fotocopy kartu keluarga (KK), kartu tanda penduduk (KTP) dan surat nikah. Karena orangtua saya tidak punya surat nikah, akhirnya bapak saya pulang dan menyampaikan kepada saya bahwa harus ada surat nikah untuk bisa mengurus akte kelahiran. Pada suatu hari bapak saya pergi menemui kenalannya yang kebetulan orang tersebut adalah teman bapak saya, dan beliau juga bekerja di Dukcapil. Ia menceritakan hal tersebut dan beliau bersedia untuk membantu. Beberapa bulan kemudian akte saya sudah dikeluarkan oleh pihak Disdukcapil, akta tersebut saya fotocopy, untuk diperbanyak, lalu saya masukan ke sekolah. Saya masih mengingat persis, pada saat itu, saya sedang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Sampai dengan keadaan saat ini persyaratan itu masih tetap berlaku jika kami hendak mengurus akta kelahiran di Disdukcapil. Sedangkan pada sisi lain, keberadaan warga penghayat Marapu masih terus mengalami diskriminasi, yang walaupun sudah ada keputusan Mahkamah


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Konstitusi (MK) bahwa kepercayaan Marapu sudah diakui di Indonesia, namun kenyataannya di daerah-daerah yang mempunyai agama lokal belum diberlakukan secara baik dan benar. Yang menarik di sini juga, bahwa kami seringkali mendapat himbauan dari pemerintah agar kami tetap menjaga dan melestarikan budaya, bagaimana kami menjaga dan melestarikan budaya kalau hak-hak kami sebagai pemeran dalam budaya harus mendapat diskriminasi. Seru kami. Pada 2018 kami dari komunitas Umma Yamme, kebetulan saya juga bergabung dan beraktivitas di dalamnya, bersama dengan para tokoh-tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan serta tim dari ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) pergi untuk menemui Bapak Bupati dengan tujuan mengawal dan membawa hasil keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa kepercayaan Marapu sudah diakui di Indonesia. Pada saat itu bapak bupati hanya merespon dengan mengatakan ya, tetapi pada pelaksanaannya sampai dengan saat ini, pada 2021, belum kami rasakan adanya tindak lanjut dari pelaksana pemerintah sebagai pemimpin wilayah di daerah kami. Kami hanya berharap kepada pemerintah setempat bahwa kami juga ingin merasakan adanya kebebasan dan keadilan atas hak-hak kami sebagai penghayat Marapu. Salam kami penghayat Marapu.

13


BERBEDA TIDAK HARUS KEHILANGAN WARNA SINTA DJUWITA Bias, disamarkan, dan dipaksa menunjukkan identitas lain. Diskriminasi semacam itu seolah menjadi konsekuensi minoritas menjalani kehidupan sehari-hari di negeri ini. Apalagi hal itu terjadi pada saat belia dan menempuh pendidikan, seperti yang aku alami. Diskriminasi dan stigmatisasi yang kualami ketika bersekolah bermula hanya karena aku tidak memeluk agama-agama yang ‘diakui’ oleh negara. Aku, Penghayat!

14

Semua berawal sejak aku masuk Sekolah Dasar, tidak tersedianya kolom penganut kepercayaan pada berkas administrasi sekolah menjadikan aku terpaksa memilih agama Islam. Tentu tidaklah mudah aku jalani, sebab sejak saat itu aku terpaksa mengikuti pelajaran dan kegiatan peribadahan Islam yang sebenarnya tidak aku pahami. Begitu pun ketika masuk SMP. Aku tetap terpaksa menjadi Muslim hanya untuk memenuhi pencatatan administrasi. Adanya aturan melaksanakan shalat Dhuha dan mengaji Al-Qur’an sebelum belajar kian menambah


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

‘ketidaknyamanan’ tersendiri. Belum lagi dengan shalat tarawih saat Ramadhan dan ujian mengaji atau hafalan. Biar bagaimanapun, hal itu bertentangan dengan apa yang kuyakini dan tidak sesuai dengan kata hati. Karenanya, aku menjelma sebuah koin yang memiliki dua sisi. Di sekolah, aku seakan memeluk agama Islam. Sementara begitu tiba di rumah, aku tetap sebagai penghayat kepercayaan. Jujur saja hal itu membuatku tertekan. Namun, itu adalah satu-satunya solusi yang harus kujalani. Barangkali hidup memang sangat dinamis. Kendati diterima bersekolah dengan status agama yang sesuai, Memasuki jenjang SMA, tantangan itu kembali datang dari guru dan teman-teman. Pada mulanya, guru-guru dan teman-teman tidak mengetahui apa itu penghayat— meski jarak antara sekolah dan rumahku tidak begitu jauh. Lambat laun, mereka mulai mempertanyakan agama seperti apa yang aku anut. Masih segar dalam ingatanku, ketika kelas 10 semester 2, teman-teman bertanya, “Kenapa kamu nggak pakai kerudung? Temantemanmu semuanya pakai kerudung.” Kubilang, “Karena aku bukan Islam.” “Terus agama kamu apa?” “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” “Agama seperti apa kepercayaan itu?”

Ku jelaskan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kepercayaan yang berasal dari

15


Asa yang Takkan Padam

nusantara, ajaran leluhur; dimana kepercayaan ini sudah ada jauh sebelum adanya agama-agama lain seperti Islam, Kristen, dan agama lainnya. Namun, tudingan animisme, dinamisme, penyembah batu, agnostik, dan atheis justru dilayangkan terhadapku. Bahkan, salah seorang teman berkata, “Agama kamu mah agama yang pasti masuk neraka.” Perundungan itu terulang ketika kelas 11, salah seorang guru komputer menginterogasi soal kepercayaan yang aku anut selama pelajaran tersebut berlangsung. Mereka bersikap seakan-akan tahu segalanya. Tidak Perlu Takut Menunjukkan Identitas Diri

16

Pengalaman ‘menjadi Muslim’ selama SDSMP, pernah membuatku giat pergi ke masjid; belajar sembahyang dan mengaji. Bukan atas kemauan sendiri, melainkan karena ajakan teman. Lama-kelamaan, orang tuaku merasa kasihan melihat ketidaknyamanan aku melakukan itu semua. Meski tidak melarang pergi ke masjid, jika aku berada di rumah, orang tuaku selalu mengingatkan kembali tentang kepercayaan yang selama ini aku yakini. Bahwa agama kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah agama dengan doktrin utama yang bersumber dari silih asah, silih asih, dan silih asuh. Mereka mengajarkan, diskriminasi yang kualami adalah pelajaran berharga untuk melatih kesabaran. Di sisi lain, pengalaman itu bisa diubah menjadi bentuk percaya diri untuk tidak lagi berpura-pura dan mencoba


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

jadi diri sendiri. Namun, masih ada satu ketakutan yang bersarang di dalam diriku jika membuka diri sebagai seorang penghayat. Hingga suatu ketika, dimana penghayat kepercayaan sudah memiliki penyuluh—semacam guru, peristiwa yang dialami salah seorang teman penghayat menjadi titik awal yang mengubah segalanya. Saat itu, temanku mendapat pertanyaan dari guru agama, “Kenapa kamu ngga bisa shalat dan ngaji? Padahal udah dewasa.” Temanku seakan-akan nggak nyaman dengan situasi tersebut dan ingin membuka jati diri bahwa sebenarnya dia adalah penghayat kepercayaan. Menyikapi hal itu, seorang penyuluh mengubah kolom agama temanku di administrasi sekolah sebagai penghayat. Akhirnya, orang tuaku berembug bersama penyuluh untuk mengganti status keagamaan semua siswa penghayat di sekolahku dan memberikan kesempatan kami untuk lebih terbuka kepada publik. Meski aku khawatir dan takut mendapat perundungan, tetapi kedua orang tuaku selalu berada di garis terdepan untuk mendukungku. Bahkan, merekalah yang memberi tahu teman-teman terdekatku bahwa aku ini seorang penghayat dan menjelaskannya secara perlahan. Syukurlah, mereka bisa menerimanya dengan bijak. Hal tersebut membuatku sadar, seberapa sering pun aku pergi ke masjid dan berpura-pura menjadi Muslim, hati dan jiwaku tetaplah sebagai penghayat. Dan kini aku sadar, bahwa aku tidak perlu meminjam identitas lain hanya karena berbeda.

17


TERUSIR DARI KAMPUNG HALAMAN SENDIRI: CERITAKU SEBAGAI WARGA KRISTEN ACEH SINGKIL FRANYUDI BERUTU

18

Aceh singkil adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki jumlah penduduk sekurang-lebihnya 120 (seratus dua puluh ribu) jiwa, di mana –di kabupaten kecil– ini hidup beragam kebudayaan ataupun suku-suku, meliputi Suku Singkil, Suku kampong, Suku toba, Suku pakpak, serta Suku Nias. Di antara yang disebutkan itu, terkhusus Suku Pakpak, kehadirannya sudah sejak zaman dahulu. Ada sebutan yang khas di mana wilayah Aceh singkil dan Subulussalam di Pakpak itu disebut Suku Boang yang berasal dari beberapa marga Pakpak. Secara keagamaan, suku Pakpak itu sendiri memiliki warga yang memeluk berbagai agama dan kepercayaan, di antaranya Kristen, Islam, Katolik serta Penghayat Kepercayaan Parmalim. Orang-orang Kristen yang berasal dari suku Pakpak


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

mendiami wilayah Aceh Singkil sejak lama, dan karenanya mereka tidak dapat sebagai kelompok pendatang. Menurut cerita orang tua kami, secara turun-temurun mereka sudah tinggal jauh sebelum pembukaan lahan PT. Socfin. Perusahan ini bergerak di bidang perkebunan, yang dimiliki oleh negara Belgia, yang bermula mendirikan lahan sekitar tahun 1908. Semenjak adanya aktivitas perusahaan perkebunan tersebut, orang orang yang beragama Kristen dari luar daerah masuk ke Aceh Singkil, sehingga pada waktu itu terbangun-lah sebuah gereja di wilayah Kuta Kerangan yang merupakan gereja pertama daerah Aceh Singkil, dan pada saat itu gereja pertama adalah gereja Hungaria Kristen Batak Protestan (HKBP), sehingga lambat laun, banyak dari orang yang belum beragama resmi yang diakui negara, kala itu, seperti, sipele begu, yakni kepercayaan menyembah nenek moyang dan orang-orang Parmalim beralih memilih menjadi umat agama Kristen, dan sebagian lagi masih ada yang beragama kepercayaan Parmalim sampai sekarang. Jumlah penduduk Kristen dan Katolik di Aceh Singkil juga terbilang tidak sedikit karena, dari seratus dua puluh ribu masyarakat Aceh Singkil terdapat lebih kurang sepuluh persennya adalah beragama Kristen dan katolik atau dua belas ribu jiwa. Dengan jumlah yang terbilang minoritas, umat Kristen di Aceh singkil pun mendapat perlakuan yang ‘khusus’ dari pemerintah maupun masyarakat mayoritas, di mana pendirian rumah ibadah yang sangat sulit di Aceh Singkil. Soal kesulitan mendirikan bangunan rumah ibadah bagi komunitas Kristen di Aceh Singkil sebagai

19


Asa yang Takkan Padam

20

zonasi dari penerapan aturan Syariat Islam di provinsi Aceh. Aceh Singkil adalah salah satu kabupaten yang secara administratif masuk provinsi Aceh, kendati secara zonasi sesungguhnya lebih dekat ke wilayah Sumatera Utara. Cerita ini memuncak ketika pada tahun 2015, pada bulan Agustus, tepatnya di hari kemerdekaan, umat Kristen yang katanya, warganegara Indonesia yang sah dan selalu berkontribusi mulai dari ikut memerdekakan hingga mempertahankan kemerdekaan dari zaman dahulu hingga sekarang mendapat sebuah hadiah yang spesial di hari ulang tahun RI yakini sebuah insiden pembakaran rumah ibadah gereja di desa Mandumpang. Kejadian tersebut diduga dibakar oleh orang yang tak bertanggung jawab karena terjadi dini hari. Pada saat pagi harinya, setelah malam nahas itu, menurut cerita dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga, didapati sebuah pisau dan jerigen solar di sekitaran gereja yang terbakar. Kemudian cerita ini berlanjut, pada oktober 2015, dengan arak-arakan sejumlah masyarakat dan ormas yang menuju ke sebuah gereja HKI di Desa Gunung Meriah dan membakar gereja tersebut secara sepihak tanpa berkompromi, jemaat yang tidak berdaya mempertahankan rumah ibadahnya hanya bisa menangis dan pasrah melihat gerejanya dibakar oleh ormas yang katanya menjunjung tinggi nilai pancasila. Tidak hanya berhenti sampai situ saja, kami orangorang Kristen Aceh singkil sudah dua kali mengungsi gara-gara urusan pengusiran rumah ibadah, banyak sekali alasan kami tidak bisa mendirikan rumah ibadah, kata


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

mereka. Kemarin aku cerita dengan Bou-ku yang berusia 60-an tahun, kakak kandung dari bapakku, di mana kata dia, dulu ketika mengungsi pertama pada tahun 1979, gereja mereka di GKPPD Gunung Meriah dihancurkan dan dibakar oleh masyarakat non-kristen sambil membawa parang. Dan mereka pun mengungsi, mereka mengungsi ke Seragih, Kabupaten Tapanuli Tengah. Perjalanan mereka pada masa itu sangat berbeda dengan zaman sekarang. Dulu kata beliau, belum ada jalan ke sana, sehingga perlu menempuh perjalanan sejak jam empat sore dan mereka masuk hutan. Jalan setapak untuk menyelamatkan diri dari kampung Gunung Meriah itu. Mereka sampai ke daerah Biskang pada jam sebelas malam, setelah itu sampai ke desa Napagaluh jam satu malam. Dan esok harinya baru melanjutkan ke seragih. Kalau untuk ukuran zaman sekarang ini, jarak tempuh Gunung Meriah ke Biskang Napagaluh hanya berkisar satu jam. Pada saat itu, Bou-ku baru punya anak satu dan masih umur setahunan, kata beliau. Aku sendiri tidak bisa membayangkan kisah mereka pada zaman-zaman itu. Yang jelas, kata beliau mereka mengungsi di Seragih sampai beberapa bulan. Sepertinya tahun 1979 itu adalah puncak dari ketidaksukaan mereka, para penyerang itu, terhadap kehadiran orang-orang Kristen di Aceh Singkil, karena pada tahun 1967 adalah tahun kelahiran bapak saya, dan nenek saya menamai bapak saya Muslim Berutu, padahal agamanya kristen sejak terlahir. Menurut cerita bapak dan saudaranya, namanya itu dibuat seperti demikian, menggunakan frase ‘Muslim’,

21


Asa yang Takkan Padam

22

karena bapak saya lahir pada masa-masa yang bisa dibilang sudah mulai ada tekanan dari pihak umat Muslim untuk Orang Kristen Aceh Singkil. Oleh karena itu, nenek saya memberi nama itu kepada bapak saya. Tapi nama itu menjadi berkah pada keluarga kami di awal bapak dan ibuku menikah. Ketika zaman pembabatan hutan di daerah Simpang Sosor pada tahun 1995 sampai 1997, di sana banyak pekerja dan orang tuaku membuka warung makan, dan kebetulan pekerja di sana rata-rata muslim, jadi mereka memilih beli makan ditempat orang tua saya, alhasil kata orangtua saya jualannya setiap hari laris karena namanya Muslim. Mereka, para pembeli itu, mengira bapak saya adalah Islam. Kemudian setelah beberapa tahun kemudian mereka mengetahui ternyata bapak saya warga Kristen, setelah itu mereka tidak mau lagi beli makan di tempat orangtua saya. Setelah itu warung bapak saya katanya tutup karena tidak ada lagi pembeli. Kedua kali umat Kristen mengungsi gara-gara penyerangan rumah ibadah terjadi pada tahun 2015 silam. Di mana puncaknya pada bulan Oktober yang sampai memakan korban jiwa. Tahun 2015 itu adalah tahun diskriminatif yang aku rasakan, kenapa? Karena memang banyak kejadian diskriminatif yang aku dan saudaraku alami. Waktu itu tanggal 18 agustus 2015, satu gereja terbakar di Mandumpang yaitu GKPPD Mandumpang. Aku tidak bergereja di sana namun aku sangat merasakan apa yang dirasakan jemaat gereja itu, dan aku yakin jemaat kristen Aceh Singkil merasakan hal yang sama sepertiku. Saat aku melihat postingan orang orang di media sosial


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

aku sebagai orang kristen merasa dihadiahi ini dihari ulang tahun negara tercinta ini. Tetapi waktu itu, aku tidak mau berpikir negatif tentang gereja yang terbakar, aku tidak mau bersangka buruk kalau gereja itu dibakar sengaja karena banyak kabar angin yang mengatakan gereja itu dibakar, tetapi beberapa hari aku membaca berita di media mengatakan kalau menurut jemaat gereja, gereja itu sengaja dibakar oleh oknum, karena ditemukan sebuah rencong di belakang gereja, tapi waktu itu masih diselidiki oleh kepolisian. Kendati tetap tidak membuatku berpikir negatif kalau gereja itu dibakar, bisa saja karena konsletnya aliran listrik di gereja itu. Aku belum mengetahui informasi resminya dari kepolisian kenapa gereja itu terbakar mungkin aku kurang informasi, hanya saja memang itu sangat menyedihkan jemaat yang beribadah disana, GKPPD Mandumpang, karena setelah gerejanya terbakar mereka terpaksa beribadah di bawah tenda, bukan tidak mampu membangun gereja lagi, tetapi lebih dikarenakan memang tidak diberi izin mendirikan bangunan rumah ibadah kristen disana. Berselang dua bulan pasca terbakarnya Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Mandumpang, kami masyarakat Kristen dikejutkan lagi dengan arakarakan ormas yang sangat ramai terjun ke sebuah gereja di gunung meriah yaitu gereja HKI gunung meriah, ormas ini dengan arogan langsung membakar gereja tersebut dengan bom Molotov tanpa berkoordinasi dengan pihak gereja. Mereka dengan arogan membakar dan mengangkat senjata tajam di tangan mereka, menurut mereka gereja itu tidak ada IMB-nya dan lingkungan

23


Asa yang Takkan Padam

24

tersebut sudah menjadi daerah kristenisasi. Oleh sebab itu, mereka tidak terima padahal di lingkungan gereja itu memang mayoritas Kristen dan malangnya jemaat gereja juga hanya bisa pasrah dan tidak mampu melawan, karena ormas yang banyak juga membawa sajam dan hanya bisa melihat gerejanya dibakar massa yang sangat banyak. Dan ormas ini juga mengancam akan menghancurkan gereja yang lain di Aceh Singkil. Nah, kemudian ceritanya waktu di Medan tahun 2015, waktu aku baru memasuki perkuliahan di Medan dan aku bergabung dengan sebuah organisasi yang biasa kami sebut Persada. Sebenarnya cerita ancaman pasca pembakaran gereja HKI di Gunung Meriah berlanjut dan ormas tadi mau melanjutkan ke gereja-gereja yang lain, nah menyikapi itu kami beberapa anak muda asal Aceh Singkil biasanya kami menyebutnya Persada yaitu persekutuan pemuda pemudi asal Aceh Singkil, berkumpul di sekretariat persada di jalan pintu air IV, kwala bekala, berdiskusi sambil memantau informasi dari orangtua masing-masing terkait keadaan di sana. Beberapa orang tua dari temanteman lain ada yang menelpon dan mengatakan suasana semakin keruh, sebagian jemaat di setiap gereja masingmasing ingin melawan pendemo dengan menghadang dan memohon untuk tidak membongkar gerejanya. Waktu itu aku juga ditelpon oleh mamaku, lalu kami berbicara dan berdiskusi. Dan mamaku bilang, “Irit-irit pakai uang, karena suasana di sini (Aceh Singkil) sangat kacau, kami tidak bisa pergi ke bank kalau mau mengirim uang.” Mendengar pernyataan tersebut, ya aku sebagai anak tetap saja merasa khawatir pada waktu itu, karena


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

semua keluarga mengungsi ke Manduamas, adik-adikku dan keluarga juga. Kata mamaku mereka di sana, di tempat pengungsian, makan dengan indomie dan ikan asin aja. Waktu semua orang desaku mengungsi ke daerah Manduamas, sebagian lelaki memilih untuk tinggal di desa untuk menjaga rumah. Setelah mengetahui ormas akan merayap ke beberapa gereja di Aceh singkil dan Jemaat gereja di desaku juga membuat persiapan perlawanan untuk menghadang pendemo tadi. Persiapan yang dilakukan adalah dengan menyiapkan bambu runcing, dan air di dalam drum berisi cabai giling dan mesin doorsmeer yang dimaksudkan akan disiram kepada pendemo jika mendekat ke gereja. Tapi semua rencana itu gagal, ketika terdengar berita bahwa terjadi kerusuhan di desa Dangguran ketika jemaat gereja membela gereja mereka supaya tidak dibongkar massa tetapi pendemo justeru makin ribut dan ingin memaksa masuk ke daerah perkampungan yang kebetulan desa Dangguran itu masuk kedalam lagi, tidak di pinggir jalan raya. Jemaat Danggurang yang ingin mempertahankan rumah ibadah mereka memblokir jalan masuk menuju desa mereka dan dijaga oleh aparat keamanan, dan waktu itu jemaat desa Dangguran sudah membuat kesepakatan dengan aparat keamanan supaya tidak membolehkan pendemo melewati batas yang sudah dibuat dengan ancaman jika pendemo melewati batas itu, masyarakat Dangguran tidak segan-segan untuk mengeksekusi pendemo. Kemudian pendemo justru makin panas apalagi dengan seruan takbirnya, dan mereka pun menerobos

25


Asa yang Takkan Padam

26

ingin masuk, tanpa kompromi dengan masyarakat yang ingin mempertahankan gerejanya langsung mengeksekusi salah seorang pendemo dengan senapan angin berburu babi hutan sampai meninggalnya. Indahnya hutan itu, kalimat yang muncul di benakku saat hujan turun, aku sedang berbaring sambil menatap dari pondok ladangku dan menyandarkan kakiku di salah satu tiang pondok itu. Banyak pohon yang tumbuh dengan jenis dan ukuran yang berbeda namun di hamparan tanah yang sama. Perbedaan ukuran dan jenisnya yang membuat pepohonan itu yang menjadikan hutan itu indah. Apalagi pas hujan turun dan burung burung berterbangan di atasnya. Apa tidak bisa aku dan semua orang di kabupatenku ini hidup seperti pepohonan itu, walau kami berbeda kami bisa hidup berdampingan? Kan kami hidup di hamparan tanah dan langit yang sama. Alif ba ta jim, begitu lah kadang aku menyebut huruf dalam Bahasa Arab di pelajaran Agama Islam ketika duduk sekolah dasar. Aku terkadang mengantuk ketika memulai pelajaran agama Islam di kelas di SD negeri. Karena aku sama sekali tidak mengerti yang diajarkan guru agama Islam kami. Dalam kelas itu kami ada tiga puluh lebih kurang siswa dan yang muslim hanya tiga orang, dan yang lainnya kristen tapi kami diwajibkan untuk ikut pelajaran agama Islam. Tapi itu bukan satu masalah yang serius bagi kami karena kami juga masih belajar agama Kristen di sekolah itu pada waktu itu dan aku ingat jelas ketika aku ujian pelajaran agama Islam, kebetulan di sampingku adalah temenku perempuan yang muslim, di kelas dia termasuk siswa yang pintar waktu itu dan sering mengaji.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Jadi, pas ujian agama Islam itu aku yang aslinya tidak mengerti sedikit pun berusaha untuk meminta jawaban dari dia, dan dia tidak mau memberi jawabannya. Ya aku menjawab soalnya dengan permainan kancing baju, jadi kalau aku mau menjawab nomor 10 misalnya, aku tentukan dulu di baju itu mana A, B, C, dan D. Kemudian aku hitung sampai sepuluh dimana nanti berhenti hitungan kesepuluh, ya aku meyakini kalau itu jawabannya. Begitu lah dulu aku. Untuk nilai agama Islam dulu selalu di angka 60 an dan teman muslim pastinya jauh di atas itu. Tapi seiring berjalan waktu, aku tidak tau persis kapan mulai pelajaran agama Kristen itu dihapuskan dari pelajaran di semua sekolah negeri yang ada di Aceh Singkil ini meski sebagian sekolah adalah mayoritas kristen. Saat ini pelajaran agama yang katanya wajib bagi penganutnya, malahan adik-adik kami yang mengecap pendidikan di tanah kelahirannya sendiri justeru harus meminjam agama orang lain supaya bisa mengisi nilai agama di raport. Adakah umat Kristen di Aceh Singkil mesti menghadapi kesulitan terus-menerus secara turuntemurun?

27


KETIKA KAMI MENGUNGSI DARI GEREJA SENDIRI ELDAD MESAKH

28

Lahir dan besar di tengah hiruk-pikuk kehidupan mayoritas masyarakat muslim memang membutuhkan adaptasi dan penyesuaian yang tidak mudah, tetapi semua itu adalah bagian dari proses untuk membaur serta melebur dalam masyarakat yang plural. Gereja Pantekosta di Indonesia atau disingkat menjadi GPDI adalah denominasi gereja kekristenan yang berkembang dan tersebar di banyak penjuru Indonesia, yang juga sudah terlebih dahulu merambah ke berbagai negara-negara di luar negeri. Sekurang-lebihnya empat puluh lima kilometer dari pusat administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terdapat salah satu gereja pantekosta yang bernama GPDI EbenHaezer. Tepatnya terletak di daerah Tunggul Barat, Semanu Kabupaten Gunung Kidul. Di tempat inilah aku dibesarkan dan mendapat pendidikan kekristenan. Tiap minggunya, pada jam tujuh pagi, secara rutin gereja mengadakan ibadah umum yang dihadiri warga jemaat yang berdomisili di pelbagai wilayah di sekitar Kecamatan


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Semanu, Kabupaten Gunung Kidul. Ayahku seorang pelayan gereja. Familiar disebut sebagai hamba tuhan, gembala atau yang lemah masyhur dinamakan seorang pendeta kekristenan. Ibuku jua pun sama, beliau menjadi pelayan utama di gereja bersamasama ayah, menjadi hamba tuhan yang lebih hangat disapa akrab sebagai ibu pendeta. Mereka berdua sering mengajakku dalam berbagai kesempatan aktivitas di gereja yang melibatkan partisipasi masyarakat luas, baik yang datang dari warga jemaat ataupun warga sekitar yang rata-rata umat Muslim. Meliputi kegiatan bakti sosial, pengobatan gratis, ataupun pembagian sembako. Tak jauh dari tempat kami tinggal, dan kebetulan kami tinggal di rumah pastori atau rumah kependetaan, sekitar empat kilometer jaraknya, ibuku mengajar di sebuah sekolah luar biasa (SLB), di daerah Ngeposari. Menjadi anak yang memang dibesarkan dari ayah dan ibu seorang pemuka agama atau pemimpin gereja adalah sebuah anugerah yang luar biasa, walaupun di satu sisi, aku sendiri merasa punya sedikit beban moral tersendiri yang harus dibawa kemanapun berada sebagai suatu hal yang melekat dan tak terelakkan. Butuh waktu bagiku untuk tidak menjadikan itu sebagai beban tapi mengubah kondisi demikian menjadi suatu hal yang mempunyai makna dan bernilai berharga di hidup ini. Treatment yang diberikan orangtua kami untuk mendidik anak-anaknya memang disiplin dan tegas di berbagai kesempatan dan kondisi waktu tertentu, seperti ketika dulu aku harus merasakannya. Sebagai anak aku juga belajar banyak teladan dan cara hidup, baik cinta

29


Asa yang Takkan Padam

30

maupun bahasa kasih serta tentang dedikasi waktu, tenaga bahkan sampai materi dan sebuah tanggung jawab untuk bagaimana berakar dan bertumbuh dalam membangun relasi dengan sesama dan Tuhan sebagai suatu dasar untuk merangkai sebuah proses dan progres puzzle di masa depan. Pernahkah teman-taman pembaca bermain ke Gunung Kidul? Kota yang sangat indah akan banyaknya objek wisata alam yang didominasi oleh pegunungan Kapur dan pantai. Aku yang sejak kecil terbiasa hidup di desa yang notabene hidup santai dan tak tergesa-gesa seperti kebiasan serba cepat masyarakat kota adalah sebuah anugerah yang aku syukuri sampai detik ini. Aku tergolong anak yang ceria juga melakukan banyak aktivitas yang melibatkan fisik seperti bermain petak umpet, layangan, gobak-sodor, dan lain-lain, laiknya kehidupan akrab anak desa pada masa itu yang bermain sampai lupa waktu dan tak kenal lelah untuk melakukan kegiatan bermain bersama teman, karena memang saat masa kecilku aku belum mengenal apa yang namanya gadget, game mobile yang biasa anak generasi sekarang mainkan, sehingga kebanyakan anak lupa untuk bersosialisasi dan bertemu dengan teman yang sebaya. Pengalaman masa kecil yang berbekas sampai ingatanku waktu ini. Masa-masa bersekolah di bangku sekolah dasar negeri, yang kebetulan satu angkatan ada enam puluh siswa yang berbeda keyakinan, cuma saya saja berjalan biasa dan menyenangkan setiap waktunya. Sampai aku duduk di bangku kelas empat ada kejadian yang tak terduga,


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

yang membuat aku sedikit tertekan dan kebingungan pada situasi dan kondisi waktu itu, yang mengharuskan aku terusir secara paksa, mengungsi ke daerah lain dan tidak menempati tempat tinggalku yang seharusnya aku tinggali sekarang ini, dikarenakan ada penolakan kehadiran gereja dari beberapa oknum masyarakat yang tidak suka akan kegiatan dan keberadaan Gereja. Semua berawal ketika ada beberapa mahasiswa yang melakukan praktek kerja lapangan di tempat gereja kami dan melakukan berbagai kegiatan di masyarakat Di berbagai kondisi atau kesempatan, sesungguhnya mental saya belum siap karena merasa down karena persoalan ini. Banyak hal yang saya korbankan ketika harus pindah dari rumah yaitu teman dan cerita pengalaman ketika teman-teman di berbagai kesempatan selalu bercerita tentang pengalaman bermain saat sepulang sekolah dan saya hanya bagian dari pendengar saja karena memang tidak paham apa yang mereka ceritakan, sehingga tidak bisa menanggapi apa yang mereka ceritakan. Menarik ketika teman teman saya bertanya apa yang terjadi dengan gereja dan keluarga saya sehingga saya terusir dari gereja. Mereka membrondong saya dengan berbagai pertanyaan, padahal saya pada waktu itu tidak paham apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarga dan gereja Aku, bapak, dan ibu harus menyusul kakak saya yang sudah duluan mengungsi di tempat keluarga teman pendeta dari bapak dan ibu yang jaraknya dari rumah kami yang asli sekitar tiga belas kilometer. Ketika itu, kami mengungsi harus dibantu jemaat gereja yang mempunyai kendaraan roda empat, aku pikir dulu hanya sementara

31


Asa yang Takkan Padam

32

pindahnya ternyata berlanjut sampai mengontrak di tempat lain yang belum saya kenal dan harus beradaptasi lagi dengan suasana yang baru, padahal aku sudah merasa nyaman dengan keluarga teman, bapak, ibu. Ini yang menyebabkan aku dulu sering malas buat ke sekolah karena harus bangun pagi buat ke sekolah dikarenakan jarak yang cukup jauh untuk ditempuh, sehingga aku harus membuat berbagai alasan untuk tidak pergi ke sekolah. Di waktu itu, aku sangat dibatasi dan terbatas oleh keadaan dan kondisi yang membuat pikiran dan badan lelah secara fisik maupun secara psikis. Namun fase itu dapat aku lewati dengan adanya support system yang terus menguatkanku untuk terus berjuang melalui berbagi tempaan rintangan dan hadangan Insiden pengusiran Pendeta Agustinus dan Penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Tunggul Semanu, terjadi pada 2011. Pada awalnya, siswasiswa The School of ACTS Indonesia, sedang beraktivitas melakukan praktik lapangan interdenominasi di wilayah Gunung Kidul, yang diselenggarakan sejak 2 Agustus sampai 2 September 2011. Semula kegiatan melibatkan anak-anak tersebut dilakukan di Balai Dusun Tunggul Barat, tetapi karena adanya penolakan dari organisasi masyarakat (ormas) Masyarakat Muslim Tunggul (MMT). Atas kejadian tersebut, pendeta Agustinus, ayahku, terpaksa membuat surat pernyataan pindah tempat tinggal dan diharuskan meninggalkan gereja. Surat pernyataan tersebut dibuat atas dasar desakan dari pihak desa, pemerintah kabupaten, beserta forum kerukunan umat beragama. Dampak dari insiden pengusiran ini adalah


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

terhambatnya aktivitas dan pelayanan di gereja, bahkan lebih parahnya lagi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah gereja yang telah dipaksa untuk dicabut lagi, atas desakan dari ormas yang menolak. Perjuangan untuk memulihkan hak-hak konstitusional kami berjalan sampai tiga tahun setelah insiden tersebut.

33


PERJALANAN ROHANIKU MENJADI PENGHAYAT SAPTA DARMA DARMA TRI HADI PRAYITNO

34

Terlahir sebagai anak dari kedua orangtua kandung yang memiliki kepercayaan penghayat Sapta Darma, aku diabadikan dengan nama Darma Tri Hadi Prayitno. Masih kuingat ketika masa-masa kecil dulu, pada saat duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak, tak ada pemahaman apapun yang dapat ditangkap mengenai ‘ apa itu agama’, baik secara definisi maupun praktik ibadahnya. Secara ritus, aku kecil melakoni praktik-praktik keberagamaan sebagaimana umumnya orang-orang di lingkunganku yang beragama Islam. Kedua orangtua-ku pun mendukung hal tersebut, dengan memberikan fasilitas peralatan sholat dan mengaji, seperti sajadah dan kain putih. Meski aku difasilitasi untuk beramal ibadah sesuai orang pada umumnya, keluarga besar melakukan hal yang sebaliknya. Sejak kecil melihat keluarga besar melakukan satu aktivitas dengan cara bersama-sama: duduk, lalu sujud, diulang terus sampai tiga kali. Praktis, aku-pun mengikutinya. Mulanya aku tak mengetahui sama-


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

sekali, seiring berjalannya waktu, baru memahaminya bahwa apa yang mereka lakukan disebut dengan ritus Sujudan, sebuah ritual kesehariannya wajib bagi pemeluk penghayat Kepercayaan Sapta Darma. Pernah satu ketika aku mengikutinya sampai-sampai tertidur pada keesokan paginya, dan kedua orangtuaku pun bertanya perihal tersebut. Kondisiku saat itu bercucuran keringat “Piye rasane sujud?” Tanya mereka “Sumuk.” Jawabku, dengan reaksi yang agak sedikit bingung. Kebingunganku semakin bertambah manakala orangtua menimpali jawaban itu dengan mengatakan,”Ya Sudah bagus. Sudah bisa merasakan Sujudan langsung,” Tegasnya lagi

Pada saat kelas tiga di tingkatan sekolah dasar (SD), aku menekuni ajaran agama Islam. Hingga pada suatu hari terjadi insiden kecil yang menimpaku, yakni AlQuran yang kepunyaanku raib dicuri orang tak dikenal di masjid sekolah. Sejak saat itu, aku pun ‘mutung’ alias kesal karenanya. Dan tidak pernah lagi datang ke masjid tersebut. Hari-hari itu cukup menggelisahkan buatku, ditambah lagi, setiap malam harinya aku suka merenung mengenai agama apa yang cocok buatku. Pada saat proses perenungan berlangsung, ketika sedang tertidur pula, sebuah peristiwa mimpi menghampiriku. Dalam mimpi tersebut, aku didatangi seekor kucing di dalam sebuah kardus. Ketika kubuka kardus tersebut, si kucing tersebut sedang bersedekap dengan posisi kaki bersila. Sebuah

35


Asa yang Takkan Padam

36

posisi yang sama persis seperti yang aku lihat ketika keluarga melakukan ritual ajaran Sapta Darma. Masih dalam mimpi yang sama, ada bisikan yang kudengar, “Kucing wae iso, kok kowe ra iso!” (Kucing saja bisa, masa kamu tidak bisa bersedekap) Mengapa seekor Kucing yang hadir dalam tidurku, ini yang lantas jadi pertanyaan. Selayang kemudian aku ingat, pernah memiliki seekor kucing dengan corak bulu putih yang dominan di sekujur badannya. Ia mempunyai kedua mata dengan jenis kelopak warna yang berbeda satu sama lain, antara bagian kelopak mata sebelah kanan dengan sebelah kirinya. Awalnya, kucing tersebut datang ke rumah. Ibuku, memberi makan ikan asin kepadanya. Tanpa diduga, si Kucing malah bereaksi dengan jinak, sampai-sampai, betah tinggal dan kemudian menetap di rumah kami. Tanpa diduga pula, kucing pada waktu selanjutnya, seringkali membangunkan ibuku setiap kali jam satu malam tiba. Ia minta keluar rumah, sehingga di waktu yang sama pula, ibu memiliki aktivitas rutin beribadah Sujudan Si Kucing yang kuceritakan ini ialah seekor kucing betina. Yang karena kebiasaan hidup bereproduksi dan berkembang-biak ala hewan, ia akhirnya memiliki tiga anak yang kesemuanya lahir di dalam rumahku. Ketiga anak kucing tersebut memiliki jenis warna yang berlainan pula, ada yang berwarna putih dengan corak warna mata seperti induknya, ada yang berbulu warna hitam corakcorak putih, serta satunya berwarna kuning keemasan. Nahas, pada suatu hari, manakala bapakku sedang perjalanan pulang ke rumah selepas beraktivitas peronda


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

malam, bapak membangunkanku di sela-sela tidur. Yang kuingat saat itu pukul tiga pagi. setelah bangun, bapak mengajakku ke depan teras rumah, yang ternyata, ada indukan kucing putih terkapar tak bernyawa. Kami menyimpulkan bahwa kucing kami itu mati diracun orang, soal motif dan siapa pelakunya, kami pun tak tahumenahu. Akhirnya, tinggal tiga anak kucing kecil yatim piatu di rumahku. Setiap aku berangkat sekolah di taman kanak-kanak dan diantar ibuku menaiki sepeda, tiga anak kucing tersebut mengikuti sampai perempatan dekat rumah. Ketika ibuku pulang dari mengantarku, kucing itu-pun mengikuti ibu ke rumah. Hingga suatu pagi, anak kucing yang berwarna hitam putih ini tertabrak sepeda motor di depan rumah. Beberapa minggu setelah insiden mengenaskan itu, malam-malam harinya terasa mencekam. Kebetulan, saat itu, di rumah hanya ada tiga orang penghuni: bapak, ibu, dan aku sendiri; kakak aku sedang berkemah di wilayah Turi, waktu itu. Nah, itulah malam meninggalnya anak kucing warna putih. Jenazah kucing ini di kubur di bawah Pohon Nangka yang sudah mati. Setelah peristiwa-peristiwa itu, ibuku mengalami mimpi bahwa kucing putih tersebut dibawa di atas bantal mewah dengan memakai kaca mata hitam dan dikawal bodyguard kekar yang membawa payung emas. Payung emas tersebut diberikan kepada ibu. Paginya ibuku bercerita tentang mimpinya semalam. Tersisa satu ekor kucing orange yang masih hidup. Kucing ini berhasil lolos dari insiden-insiden keracunan, tersedak tulang sampai

37


Asa yang Takkan Padam

38

sekarat. Hingga akhirnya kucing ini tidak pulang kurang lebih tiga hari. Setelah sampai rumah kucing ini sudah sempoyongan dan akhirnya meninggal dengan mulut berbusa. Kembali ke mimpi yang menghampiriku di waktu kecil, ketika itu tanggapan ibu demikian, “ngimpi kucing putih, putih artine suci. Kucing e sedakep karo sila artine wong sujud. Kucing wae iso kok kowe ora iso!” (Memimpikan kucing putih serupa artinya, putih itu suci. Kucing bersedekap sambil bersila artinya itu orang sujud. Kucing saja bisa masak kamu tidak bisa). Sedangkan bapakku merespon dengan berkata, “Yo wis apik. Terserah kowe arep milih agama opo sek penting ditekuni.” (Ya, itu bagus. Terserah kamu saja mau pilih agama apa, yang penting serius dan tekun). Soal arti kehidupan dari mimpi, pada akhirnya, menurut aku semua itu tergantung masing masing orangnya akan memandang seperti apa dan bagaimana. Ada sebagian yang menganggap bahwa mimpi itu bisa jadi pertanda, perlambang atau gambaran atau petunjuk. Ada juga yang menganggap mimpi itu hasil dari pikiran, lucid dream atau impen impenen. Ada juga mendapat pertanda, perlambang atau gambaran atau petunjuk pada waktu sujud. Kalau pada waktu ibadah sujud Sapta Darma kemungkinan sembilan persin valid akan tetapi sangat jarang sekali didapatkan oleh Warga Sapta Darma sendiri. Bagaimana bisa warga Sapta Darma jarang mendapat mimpi dengan serupa, menurutku didasari faktor rohani yang juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Jadi tidak semua warga kerokhanian Sapta Darma bisa selalu


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

mendapatkan pertanda, perlambang atau gambaran atau petunjuk. Ketika mendapat mimpi dengan konten didatangi seekor Kucing Putih, setelah bangun, akhirnya aku sendiri mulai yakin terhadap kepercayaan Sapta Darma tetapi di waktu yang bersamaan, masih belum terlalu menekuni baru pada tahap meyakininya saja. Aku bertanya-tanya apakah mimpi itu sebuah petunjuk atau bukan. Aku sendiri kurang puas dengan jawaban orang tua mengenai mimpi itu tapi berusaha bersikap diam saja dan mencoba mengartikan sendiri. Selama dua tahun masih merasa mengalami kebimbangan dalam memilih agama apa yang harus aku tekuni. Aku dua tahun bisa disebut sebagai atheis, karena tidak terlalu percaya pada agama dan Tuhan, karena menurutku, saat itu seperti tidak masuk akal saja, begitu pikirku saat itu. Saat menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), bertepatan kenaikan kelas satu mau naik kelas dua, ada kemah satu angkatan selama tiga hari. Di sana aku mengalami pembuktian pentingnya agama pada manusia. Pulang dari kemah aku langsung bilang sama ibu, bahwa aku akan menekuni kepercayaan Sapta Darma. Kilas-balik pada penyelenggaraan kemah sekolah yang aku ikuti, kegiatan kemah dari satu angkatan selama tiga hari dua malam. Pada malam kedua, ada acara api unggun dan pentas seni. Sebelum acara itu dimulai aku mengantarkan seorang teman ke kamar mandi. Saat itu, aku menemukan buku kecil dengan banyak tulisan berbahasa arab. Aku merasa bahwa ini mesti kuberikan ke pembina, jadi aku masukan buku tersebut ke dalam saku celana. Aku dan temanku kembali ke lapangan.

39


Asa yang Takkan Padam

40

Di sana para panitia sedang bersiap membakar kayu namun anehnya kayu tersebut tidak menyala walau sudah disiram bensin. Tiba-tiba aku mendengar sebuah bunyi bisikan ke telingaku,“Neng kono kui ono sek penunggune!” Seketika itu aku menyadari dan ternyata tengah duduk sendirian di pinggir lapangan. Aku takut, lalu mencari teman-temanku. Setelah aku memindah posisi api unggun, api dapat menyala. Saat aku melihat api itu badan bereaksi merinding dan merasa ketakutan sangat. Aku merasa bahwa api itu hidup namun aku mencoba untuk berpikir positif. Acara api unggun dimulai dengan menyanyi dan dilanjutkan dengan pentas seni. Setiap regu menampilkan seninya. Hingga ada salah satu regu yang bermain musik dengan alat dapur. Di tengah-tengah penampilan pentas seni ada yang kesurupan hingga hampir semua penonton di barisan depan juga kesurupan. Panitia langsung menghentikan acara dan mengumpulkan peserta yang tidak kesurupan untuk membaca beberapa surat di Alquran. Saat itu aku semakin panik, mulut aku mengucap sebuah kalimat tetapi aku mendengar bisikan “kapok kowe ora Islam ya ora Sapta Darma, saiki nek kowe kesurupan sek arep nambani sapa? nek kowe mati rohmu arep ning endi? apa arep dadi roh penasaran.” (Kapok kamu, memeluk agama Islam ya tidak, memeluk Sapta Darma juga tidak, sekarang kami kesurupan yang mau mengobati kamu siapa?” Ketika kamu mati, rohmu mau ditempatkan di mana? Mau jadi roh penasaran atau bagaimana) Seketika aku menangis dan menyesal se-dalam-


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

dalamnya karena tidak meyakini agama sebagai pedoman hidup. Saya Aku bisa pasrah pada tuhan saat itu. Suasana semakin mengerikan hingga secara tiba-tiba aku merasa tenang dan damai. Saat itu aku mendengar bisikan kembali “Saiki ibumu neng omah sujud. Ibumu sing sujud kowe iso kroso tenang, apa meneh nek kowe sing sujud.” (Sekarang ibu kamu di rumah sedang sujud. Ibu kamu yang sujud saja kamu merasa tenang, apalagi kamu sendiri yang sujud). Setelah mendengar bisikan itu, aku melihat jam, ternyata jam sembilan lebih. Biasanya ibuku rutin sujud ketika jam sembilan malam. Keesokan harinya adalah hari terakhir kemah. Pulang dari kemah aku langsung bertanya pada ibu saya, “Ibu mau bengi sujud jam 9?” Ibu menjawab, “Iya”. Aku menceritakan kejadian itu kepada ibu, lalu disarankan untuk ke Sanggar Candi Sapta Rengga. Aku sujud di sana terasa sangat tenang hingga ketiduran. Setelah itu aku bilang pada ibuku bahwa saya yakin untuk menekuni Sapta Darma. Pada tanggal empat juli bulan kesepuluh tahun dua ribu tujuh belas, saya ikut sebagai peserta Sujud Penggalian atau dikenal Penataran Rohani Wanita Dan Remaja Tingkat Nasional di Sanggar Candi Sapta Rengga untuk lebih mendalami Sapta Darma. Saat sekolah menengah pertama sesungguhnya secara administrasi aku dituliskan dengan identitas agama Islam dalam kolom agama tetapi tidak menekuninya secara mendalam. Pernah suatu hari aku mendeklarasikan kepada teman teman bahwa saya murtad alias keluar dari agama Islam. Beruntung aku tidak pernah didiskriminasi secara langsung, bahkan teman temanku bertanya tentang

41


Asa yang Takkan Padam

42

Sapta Darma. Pada saat aku menginjak kelas delapan ada aturan dari pemerintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV Terkait Kolom Agama Dalam Dokumen Kependudukan dengan keluarnya peraturan kolom agama penghayat kepercayaan muncul dan tertulis di KTP. Keluargaku segera langsung memperbarui data diri. Pada saat saya kelas 9 yang awalnya kolom agama berubah jadi kepercayaan. Di kelas 1 SMK saya sudah beragama kepercayaan di pelajaran Pada saat saya kelas sembilan kami satu keluarga mengalami kejadian aneh di rumah. Hari itu adalah hari senin, saat menjelang maghrib di rumah saya tercium gondo mayit atau bau mayat. Kami sekeluarga tidak menghiraukan aroma itu. sampai pada pukul dua puluh satu malam kami bertiga beribadah sujud bersama. Setelah sujud biasanya kami tidur di kamar masingmasing tetapi suasana di rumah menjadi mencekam dan tidak bisa tidur. Karena tidak bisa tidur akhirnya pada jam 23.00 kami bertiga beribadah sujud bersama lagi. Setelah ibadah tersebut, kami mencium gondo mayit lagi. Kami kembali ke kamar masing masing untuk tidur. Ketika ibuku masuk ke kamarnya, beliau memberanikan diri untuk memadamkan lampu kamar. Seketika ibu berteriak dan lari ke ruang tengah. Mendengar Ibu yang berteriak, aku dan kakak merasa kaget dan langsung keluar kamar dan bertanya kepada beliau. Aku bertanya pada ibu ada apa. Ibu menjawab saat lampu kamar dipadamkan terlihat ada sosok hitam berdiri di dekat lemari. Suasana di dalam rumah semakin menakutkan. Kami bertiga duduk di tempat sujud sambil


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

cerita sana-sini untuk membuat suasana rumah normal kembali namun waktu terasa sangat lambat sekali. Aku berusaha meminta bantuan teman dekatku yang berada di daerah Wonogiri, temanku ini memiliki kelebihan di bidang spiritual, praktis jadi dia bisa mengusir sosok hitam yang di kamar ibu. Kami bertiga menunggu sampai pukul satu malam untuk ibadah sujudan tetapi karena waktu terasa sangat lambat kami ibadah jam setengah satu malam. Kami meminta perlindungan dan ketentraman di rumah kami pada Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya setelah ibadah suasana di rumah mulai membaik dan waktu kembali berjalan seperti semula. Kami masih belum juga bisa tidur dan memutuskan untuk ibadah lagi pada pukul tiga paginya setelah ibadah, lalu pulas tertidur. Pada cerita pengalaman lain, mengenai respon dari teman-temanku mengenai kepercayaanku adalah Sapta Darma di sekolah tidak ada yang berpengaruh, karena yang aku informasikan sekadar lingkaran teman satu kelas di kelas delapan SMP, dan kesemuanya laki-laki. Laki lakinya saja tidak semua hanya kebetulan letak tempat duduknya itu dekat terus ngobrol-ngobrol dan bincangbincang tentang Agama di Indonesia dan akhirnya aku ceritakan bahwa aku pernah memiliki fase tertentu dalam soal kehidupan keagamaan. Entah itu bisa dibilang murtad atau tidak, aku juga tidak mengetahuinya secara persis, karena waktu itu, pemikiranku masih terbilang kekanakkanakan. Tepat pada hari pertama masuk sekolah untuk mengikuti kegiatan ospek, pada saat itu, waktu istirahat dengan cara bergabung dengan kawan-kawan yang

43


Asa yang Takkan Padam

44

beragama non-muslim. Setelah itu, aku mengisi absen dan tertulis pada absen tersebut ada kolom agama. Saya menuliskan Penghayat Kepercayaan. Beberapa saat kemudian aku dipanggil kemudian dibawa ke ruang bagian kesiswaan. Sesampainya di sana, di ruang kesiswaaan, aku ditanya-tanya mengenai Penghayat Kepercayaan dan pihak sekolah juga bertanya mengenai ketersediaan guru agama dari organisasi penghayat yang tinggal di sekitar wilayah kami. Aku hanya menjawab bahwa proses yang kutau adalah pihak sekolah meminta konfirmasi ke orang tua siswa penghayat, bahwa siswa tersebut memang benar penghayat, jika sudah terkonfirmasi pihak sekolah melapor pada dinas yang bersangkutan, dari dinas baru ke MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia), sebuah organisasi payung bagi penghayat kepercayaan di Indonesia. Dari pihak MLKI mengutus penyuluh atau guru penghayat untuk datang ke sekolah dan membimbing murid penghayat. Ternyata setelah satu minggu berlangsung setelah kejadian pemanggilan tersebut, kemudian masuk pelajaranku dapat surat dari kesiswaan untuk orang tua a. Keesokan harinya bapak saya datang ke sekolah untuk menghadiri undangan dari kesiswaan tersebut. Setelah beberapa hari aku dipanggil kembali menghadap ke bagian kurikulum sekolah untuk bertemu dengan penyuluh atau guru penghayat yang akan mengajar aku. Peraturan bagi pendidikan penghayat sudah diatur dalam Permendikbud nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


MAU DIBAWA KEMANA TOLERANSI KITA? Muhammad Bahesty Al-Kaff

Capek sudah bicara soal toleransi atau betapa kemajemukan itu niscaya dan tak bisa dihindari. Apalagi ketika yang kita bicarakan sifatnya aksiomatik – sebuah kebenaran atau kenyataan yang tak perlu pembuktian. Mereka yang nyaman dengan kefanatikan akan tetap fanatik, dan mereka yang bodo amat akan tetap diam tak peduli. Saya pribadi merasa seperti burung kakak tua yang hanya bisa mengulang ucapan-ucapan dan menjadi objek atas orang lain. Kadang menjadi objek hiburan yang ditertawakan oleh penempuh jalan fanatisme, kadang juga jadi objek orang yang dituduh sebagai aktivis atau pegiat isu-isu sosial dan kemanusiaan – menjadi objek kegiatan dan laporan organisasi. No hard feeling, sebab saya pernah secara tidak sadar menjadikan minoritas lain sebagai objek. Dulu saat lagi asik-asiknya nulis di facebook, saya tak pernah terlambat mengucapkan ”Selamat Natal” kepada kenalankenalan nasrani – bahkan cenderung kecepetan. Saya biasa menulis puisi-puisi pujian kepada Nabi Isa as, dan terkadang menulis puisi sindiran pada mereka yang

45


Asa yang Takkan Padam

46

imannya lemah. Namun pada satu titik, antusiasme teman nasrani saya di facebook mulai menurun. Saat itu saya sadar, bahwa sebenarnya, yang sedang saya puji dalam puisi saya bukanlah sosok penting bagi orang nasrani, tapi diri saya sendiri – citra diri yang berpikiran terbuka dan toleran. Di situ saya merasa terhina oleh keadaan. Betapa kalimat indah yang dirangkai jadi puisi ternyata bisa terlihat sebagai lelucon. Luar biasa memuakkan. Sejak saat itu saya berhenti bicara soal toleransi dan kemajemukkan. Bukan apa-apa, bukannya tak peduli juga, namun ketulusan rasanya jadi lebih utama ketimbang meramaikan panggung sandiwara dengan kata-kata toleran. Tentu kita semua akan jauh lebih menghargai orang yang hadir dan menemani kita dikala sulit ketimbang ucapan dan broadcast dari orang-orang yang mengatakan dirinya peduli. Karena kalau mau dicari, lingkungan yang ramai dengan orang-orang yang kita suka atau berpikiran sama itu cenderung mudah ditemukan saat ini – walau bukan di dunia nyata. Namun mereka yang benar-benar akan hadir dan menemani kita, tentu tak banyak jumlahnya. Mungkin kita harus memikirkan kembali, apa yang kita harapkan dari kampanye toleransi? Apa yang kita harapkan dari terjaganya kemajemukan yang ada saat ini? Relevan tidak relevan, saya ingin mengajak anda menengok apa yang terjadi di Lebanon setelah sekitar 70 tahun merdeka. Lebanon dinobatkan sebagai ruang bernapas pluralisme di timur tengah. Beirut, ibukota Lebanon dijuluki Paris of Middle East bukan serta-


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

merta karena keindahan lanskap bekas mandat Perancis, namun juga nuansa liberal di jalan-jalan setapak yang sulit dimiliki kota-kota di timur tengah. Ia jadi tempat percetakan masif pertama dibuka di kawasan. Pertukaran pikiran dan budaya begitu aktif di sana salah satunya karena Beirut adalah kota pelabuhan. Sudah sejak jaman kekaisaran ottoman kota itu difokuskan menerima seluruh manusia dari dunia untuk berlabuh dan berdagang. Dari situ, warga lokal dan sekitar sudah sangat terbiasa dengan kemajemukan. Waktu berlalu, Lebanon mendeklarasikan dirinya merdeka dan tidak terikat siapapun – tidak Perancis tidak Suriah. Kemerdekaan itu dicapai dengan kesepakatan hampir seluruh kelompok agama yang berkuasa di Lebanon. Ada sekitar 18 sekte yang terpencar di seantero Lebanon. Mereka sepakat melakukan sensus penduduk untuk mengetahui sekte dan agama mana yang jumlahnya paling banyak. Juara satu kristen dengan 12 sekte, disusul islam dengan 4 sekte, lalu yahudi, dan sisanya yang bermacammacam dikumpulkan jadi satu. Dari situlah struktur politik dibangun. Sebagaimana negara demokrasi lainnya, mayoritas yang menang. Maka dibagi sekte mana yang boleh menduduki kursi kepresidenan, perdana menteri, ketua parlemen, dan jumlah representasi dalam total keseluruhan kursi parlementer. Sudah, sampai situ saja Lebanon sudah bangga bukan main sebab jadi negara pertama dan satu-satunya sampai sekarang yang punya presiden arab kristen. Pada awalnya, kebanggaan itu bukan isapan jempol

47


Asa yang Takkan Padam

48

belaka. Masyarakat Lebanon nyatanya memang biasa sekali dengan perbedaan. Sebab sejak bergenerasi mereka sudah terbiasa tetanggaan dengan yang beda sekte dan agama. Beda dengan indonesia yang satu agama punya dominasi total di segala lini. Hampir sulit kita hidup sampai mati sempat merasakan tetangga yang beda agama. Namun akhirnya kemajemukan yang sebelumnya jadi percontohan dan banyak bahan studi ilmiah malah jadi bencana. Struktur masyarakat yang terlanjur dibentuk oleh hegemoni kuantitas kelompok agama, berbalik jadin perang membawa embel-embel agama. Karena meski mereka terbiasa berbagi cangkir kopi dan tempat duduk dengan sekte-sekte lain, nyatanya dalam diri mereka tetap tertanam logika kesukuan yang kental. Gesekan terjadi dan perang sipil selama belasan tahun menjadi. Sebenarnya ada pengaruh berdirinya Israel di permulaan ledakan perang itu namun itu lain cerita. Yang pasti, perang sipil antai faksi politik yang sarat sektarian berlangsung sampai tahun 2000an. Berdarah-darah lebanon sejak tahun 1948. Kemajemukan yang kita banggakan mungkin sedikit berbeda dengan yang dimiliki mereka di sana. Namun jika kita sedikit mengambil pelajaran, tidak ada kemajemukan tanpa konflik. Bisa jadi, konflik juga bersifat aksiomatik sebagai akibat dari kemajemukan. Boleh saja beranggapan bahwa politik lah yang menyebabkan apa yang terjadi di Lebanon. Memang betul, tapi bukan satu-satunya sebab. Rasa kepemilikan dalam komunitas agama itu lumayan kuat. Dan adalah hal yang wajar jika konflik terjadi dari ketersinggungan atau gesekan-gesekan di jalanan. Karena meski politik berperan cukup besar dalam


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

menumpahkan darah atas nama agama, namun kasuskasus perkelahian bahkan pembunuhan antar sipil tanpa ada unsur politiknya bukannya jarang juga. Selama ini kita bergerak dengan kepercayaan dan pengetahuan bahwa agama selalu membawa nilai perdamaian dan kerukunan – karena memang begitu adanya. Namun berkaca pada sejarah sejak entah kapan, sepertinya tidak salah jika hal itu kita ambil sebagai keadaan ideal dari keberagamaan. Maksudnya, nilainilai tersebut adalah tujuan yang ingin dicapai oleh agama. Maka dalam konflik dan kekacauan yang terjadi dalam lingkungan keberagamaan bisa dilihat sebagai hal yang wajar – karena bagian dari proses, bukan ketidak beragamaan. Karena jika memang semudah itu agama menanamkan nilai kerukunan dan perdamaian, sepertinya buku-buku sejarah kita tidak akan penuh dengan berjilidjilid perang selama ratusan tahun. Agak utopis kan? Tulisan ini bukan untuk menghentikan atau melawan perjuangan mendamaikan dan merukunkan kemanusiaan, hanya mengingatkan bahwa nilai-nilai itu cukup tinggi dan memang bukan jalan yang mudah. Bisa jadi, kita tidak akan merasakan ujung dari usaha ini sampai mati. Masih banyak sekali hal yang harus dipoles dan diperjuangkan untuk mencapai sebuah masyarakat yang tenang dan damai. Dan yang paling utama dan penting bisa jadi berasal dari dalam diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan di atas mungkin memang harus dipikirkan kembali. Sampai mana kita ingin memperjuangkan toleransi dan perdamaian ini? Bagaimana caranya?

49


Asa yang Takkan Padam

Dengan siapa? Kepada siapa? Untuk siapa? Terakhir, untuk sedikit mewarnai buku ini dari perspektif Komunitas Syiah, ada satu gambaran yang menarik dan mungkin mendukung tulisan di atas – entahlah. Dalam beberapa riwayat tentang keadaan yang akan kita rasakan setelah kemunculan Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu itu, kita dijanjikan untuk merasakan situasi damai dan harmonis di mana rusa akan makan rumput dengan tenang disamping kumpulan singa. Saya memahami ini sebagai analogi, sebab janji tentang Imam Mahdi berpusat pada keseimbangan di segala lini. Tidak akan yang kelaparan, tidak akan ada yang serakah, tidak akan ada yang kesusahan, bahkan istilahnya, kebutuhan utama singa sudah terpenuhi sehingga ada kesempatan bagi rusa untuk makan dekat mereka dan tidak lagi merasa terancam. Wallahu ‘alam.

50


MENGENANG DIPERLAKUKAN LIYAN DI SEKOLAH KINANTI SUARSIH Tidaklah mudah menjadi seseorang yang diperlakukan sebagai liyan di tempat kita menjalani kehidupan sehari-hari. Apalagi hal itu terjadi pada masa remaja pada saat menempuh pendidikan yang hasilnya di harapan menjadi bekal menyongsong masa depan. Hidup bahkan menjadi terasa sangat berat manakala para guru, pendidik yang kita hormati, justru terus-menerus memperlakukan kita secara berbeda hanya karena kita menganut keyakinan yang berbeda. Semua berawal saat aku memasuki bangku SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di kampung halamanku di Kabupaten K. Sebenarnya aku selalu menganggap sekolah sebagai rumah kedua. Rasa seperti itu muncul sejak aku duduk di bangku SMP. Aku selalu menganggap para guru sebagai orangtua kedua dan teman-teman sekolah sebagai kakak-adikku sendiri. Namun apa jadinya jika di rumah kedua itu, selama tiga tahun beberapa guru memandang dan memperlakukan aku secara berbeda “hanya” karena aku menganut keyakinan yang berbeda? Pengalaman itu menancap kuat pada ingatanku bahkan kesadaranku

51


Asa yang Takkan Padam

hingga hari ini. Aku, Sunda Wiwitan

52

Hari Senin, 16 Juli tahun 2012 adalah hari pertama aku masuk sekolah baru. Aku menyambut hari itu dengan antusias. Bagiku bertemu teman-teman dan guru baru selalu menjadi hal yang mengesankan. Aku yakin hal yang sama juga terjadi pada banyak remaja seusiaku. Namun kenyataan berbicara lain. Berbeda dengan teman-teman lain yang menurutku mendapatkan kesan manis pada hari pertama bersekolah, aku justru mendapatkan hal sebaliknya. Semua dimulai ketika seorang guru yang kemudian menjadi wali kelas memasuki kelas kami. Aku masih ingat, saat itu perhatianku terus tertuju kepada beliau. Aku juga ingat pelajaran pertama yang beliau kerjakan di kelas setelah mengucapkan salam dan selamat datang: perkenalan. Ada yang menarik perhatian kami ketika acara perkenalan berlangsung. Setelah menyebutkan nama sesuai dengan urutan yang ada pada buku presensi --kami menyebutnya daftar absen-- Wali Kelas menanyakan hobi atau kesukaan siswa yang dikenalkan. Perkenalan dimulai dengan cara memanggil siswa yang namanya dimulai dengan huruf A. Namaku sendiri dimulai dengan huruf K sehingga harus menunggu giliran sesuai abjad. Tibalah giliran itu. Sama seperti siswa lain aku ingin namaku dipanggil kemudian diperkenalkan dan ditanya hobi atau kesukaanku. Aku juga sudah menyiapkan jawaban. Itu wajar karena setiap siswa pasti ingin diakui


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

keberadaannya di sekolah. Tapi dalam sekejap aku mulai merasakan keanehan. Terasa terjadi perbedaan perlakuan. Kepadaku Wali Kelas mengajukan pertanyaan lebih dibandingkan pertanyaan untuk siswa lain. Beliau tidak hanya menanyakan hobi atau kesukaanku, tetapi juga bertanya, “Apakah aku bukan Muslim?” Mungkin pertanyaan itu beliau ajukan karena cara berpakaianku. Aku tidak mengenakan kerudung seperti siswi lain. “Apa keyakinanmu?” lanjut beliau. Aku mulai seperti diinterogasi. “Keyakinan saya Sunda Wiwitan, Pak,” jawabku sambil diam-diam melemparkan pandanganku ke teman-eman sekelas.

Seluruh isi kelas tampak seperti keheranan. Itu terlihat pada wajah mereka. Anehnya keheranan mereka menular padaku. Aku juga merasa terkejut sekaligus terheran-heran. Apa yang salah pada jawabanku? Sejak duduk di SD hingga SMP tak pernah kutemui wajah seperti itu setelah aku mengatakan bahwa aku penganut Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan? Itu mungkin pertanyaan yang ada di benak mereka ketika itu. Tapi akhirnya aku segera sadar bahwa diriku sedang berada di lingkungan orang-orang yang belum tahu adanya orang-orang yang memiliki keyakinan seperti kami. Setelah kejadian itu banyak pertanyaan yang diajukan guru dan teman-teman. Aku mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan tenang. Kuakui

53


Asa yang Takkan Padam

pada satu sisi aku merasa senang memberikan jawaban atas pertanyaan mereka. Tapi pada sisi lain aku merasa seperti alien yang baru turun ke bumi. Sunda Wiwitan itu apa? Memang ada agama seperti itu? Apa kitabnya? Di mana dan bagaimana cara beribadahnya? Bahkan jenis makanan yang kami konsumsi pun mereka tanyakan. Sunda Wiwitan, kataku mulai menjawab pertanyaan, merupakan keyakinan masyarakat Sunda yang masih menjaga tradisi leluhurnya. Sebagian kalangan, kataku melanjutkan, menyebut kepercayaan kami sebagai agama lokal. Kami menyembah Tuhan Yang Maha Esa (YME). Kemudian untuk pertanyaan yang menyangkut tempat ibadah, aku menjawabnya dengan ringkas bahwa kami bisa beribadah di mana saja dan kapan saja, setiap waktu. Sedang terkait dengan jenis makanan, aku menjawab singkat. “Sama seperti kalian, kami juga makan nasi”. “Aku sama seperti kalian,” jelasku sambil tersenyum. Mengambil Hati Guru

54

Hari-hari selanjutnya aku bertemu dengan guru-guru lain yang mengajar di kelas kami. Ketika itu aku sudah siap. Pasti akan ada pertanyaan lagi tentang keyakinanku. Ada hari yang membuatku tak akan bisa melupakan satu peristiwa yang terjadi seumur hidupku. Peristiwa itu adalah pertemuanku dengan guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Guru Pkn! Saat mengawali perkenalan, tanpa asap tanpa api, Guru PKn tiba-tiba memanggilku dengan panggilan “Konghucu”. Saat itu aku tidak bisa menangkap maksudnya.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Setelah memanggilku demikian, beliau bertanya apa agamaku. Aku menjawab singkat, “Sunda Wiwitan, Pak.” Sampai di situ tak ada pertanyaan lagi. Tetapi pada pertemuan selanjutnya Guru PKn itu selalu memanggilku “Konghucu!”. Tindakan guru itu terus berlangsung hingga aku duduk di kelas tiga. Sering aku berpikir mungkin guru itu hanya ingin membuat lelucon atau membuat nama panggilan khusus untuk membuat suasana lebih akrab. Aku berusaha berpikir positif. Namun kemudian aku tahu bahwa semua murid yang tidak memakai kerudung beliau panggil dengan nama “Konghucu”. Ketidakpahaman berlanjut. Puncaknya terjadi saat sekolah menyelenggarakan acara halal bihalal di sekolah. Saat itu semua guru dan siswa sudah berkumpul di halaman sekolah. Setelah melewati berbagai acara seremonial tibalah kami pada acara saling memaafkan, antara guru dan siswa. Tak terkecuali aku. Tetapi saat giliranku bersalaman dengan Guru PKn, “kejutan” kembali terjadi. Ketika dengan hormat kedua tangan ku ulurkan untuk bersalaman, beliau bertanya “Apakah Konghucu boleh bersalaman dengan yang lain?” katanya dengan sedikit tersenyum. Tapi senyuman itu tak dapat kupahami. Entah kenapa sejak itu aku tidak menyukai tindakan beliau. Aku langsung meninggalkan halaman sekolah. Bergegas ke kelas dengan hati tak karuan. Kelak ketika aku duduk di perguruan tinggi baru kupahami mengapa aku tidak menyukai tindakan beliau. Sore harinya sepulang sekolah aku bercerita kepada orang tuaku tentang kejadian itu. Kedua orangtuaku

55


Asa yang Takkan Padam

sempat terbawa suasana cerita. Namun akhirnya mereka menasihatiku agar tidak menanggapi tindakan Guru Pkn dengan cara yang sama. Aku diminta tetap bersikap santun dan hormat, dan tidak membuat masalah bertambah rumit. Aku terima nasihat kedua orangtuaku. Hari-hari selanjutnya aku selalu berusaha belajar dengan baik dan bertindak sopan. Meskipun hingga kelas tiga, Guru PKn itu tetap memanggilku “Konghucu” aku tetap bersikap sopan dan hormat kepada beliau. Menjadi berguna melalui Seni Tari

56

Sejak terus-menerus menerima perlakuan sebagai liyan yang tidak diterima oleh beberapa guru, aku berpikir keras dan mencari cara agar keberadaanku diakui dan dihargai. Aku merasa belum cukup hanya dengan bertindak sopan. Harus berbuat lebih. Kegiatan ekstrakurikuler (eskul) Karawitan dan Seni Tari bisa menjadi jembatan. Dengan sadar aku memilih ekskul ini. Di ekskul ini aku berlatih lebih keras dibandingkan teman-temanku. Apalagi aku sangat suka menari. Di komunitas Sunda Wiwitan, seni tari adalah salah satu kegiatan yang menurut pemahamanku menjadi salah satu budaya yang dirawat dengan baik. Bagi kami, khususnya kaum perempuan Sunda Wiwitan, seni tari adalah salah satu bagian dari budaya inti yang dirawat dengan baik. Aku memang menerima informasi bahwa keberadaan ekskul Karawitan masih dipersoalkan di sekolah. Informasi yang kuterima menyebutkan bahwa belum semua koordinator ekskul menerima kehadiran


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

bidang yang satu ini. Konon juga eskul ini tidak disukai sebagian guru dengan berbagai alasan. “Sayang”-nya setiap sekolah menggelar acara perpisahan untuk kelas tiga yang dinyatakan lulus, kehadiran seni karawitan dan tari sudah seperti keharusan untuk ditampilkan. Setiap acara perpisahan pula aku selalu dilibatkan. Kelak aku juga merasa gembira karena pada angkatan adik kelasku keberadaan ekskul Karawitan resmi diakui. Selain acara perpisahan, sekolah juga punya program pentas seni. Pada acara itu aku juga selalu dilibatkan. Bahkan kelompok tari angkatanku pernah mewakili kabupaten ke tingkat provinsi. Prestasi ini membuatku memperoleh dukungan banyak teman, terutama terkait jati diri. Untuk kebaikan itu aku tak pernah lupa untuk berterima kasih kepada mereka yang mendukungku untuk terus bertahan Lebih dari bangga, pengalaman ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagiku. Tidak mudah bagi seseorang yang dianggap liyan dalam sebuah lingkungan memperoleh perlakuan yang adil. Mengatakan bahwa di dunia ini tak ada yang seragam mungkin saja mudah. Tapi ketika kita dianggap liyan dalam satu lingkungan, kita harus punya keberanian dan keteguhan yang kuat untuk menghadapinya dengan sikap terjaga. Tentu juga dengan usaha keras dan sikap yang cerdas. Aku belajar untuk tidak pernah berputus asa dalam memperjuangkan nilainilai kebaikan meski aku tergolong anak yang emosional. Aku juga sadar bahwa pas satu sisi berjuang untuk bisa diterima oleh lingkungan yang berbeda bukanlah hal mudah. Tapi pada sisi lain ia juga bukan

57


Asa yang Takkan Padam

hal yang mustahil untuk dicapai. Selain itu aku merasa yakin bahwa di setiap tempat selalu ada orang baik yang bersedia memberikan dukungan. Karena itu aku juga percaya bahwa suatu hari perjuangan yang dilakukan dengan baik pasti membuahkan hasil. Aku ingat kata bijak yang disampaikan oleh dosenku. Kebaikan, katanya, selalu punya jalan sendiri untuk mencapai tujuannya. Tapi jalan itu harus diperjuangkan. Aku juga melihat sendiri pentingnya sikap untuk tetap menghormati setiap orang apalagi seorang guru meskipun selama tiga tahun beliau telah memperlakukanku secara berbeda hanya karena menganggapku sebagai liyan yang mungkin tak boleh terlihat dalam pandangan hidupnya. Tapi lebih dari itu di akhir sekolah menengahku, di balik langkah-langkah kecilku selama tiga tahun, aku melihat ada banyak orang menyadari bahwa isi dunia ini tidak seragam. Bersama mereka aku meyakini bahwa taman dunia hanya akan menjadi indah justru karena adanya perbedaan. Ya berbeda itu indah.

58


SAYA HANYA PUNYA EMPATI UNTUK UMAT BAHA’I FIA MAULIDIA

November tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti Workshop Pers Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) periode Banyuwangi. Sayang, sebab pandemi yang menerpa, satu minggu pelatihan kami habiskan via zoom saja. Eh jebul, dua jam pelatihan di tiap sesinya itu terasa begitu asyik dan menyenangkan. Salah satu materi yang begitu kuat tertancap dalam jiwa saya adalah “Jurnalisme Keberagaman”, sebagai persma amatiran, materi ini berpengaruh besar dalam perjalanan saya yang baru menapak dunia jurnalistik. Saya bersyukur, walau dalam realitanya saya banyak sambat, tapi tugas akhir “kelulusan” workshop itu menjadi gerbang pembuka saya untuk secara langsung mengasah empati dan keberpihakan pada mereka yang selama ini dikebiri hak-haknya. Inilah setitik kisah dari Bapak Sugiarto yang saya temui via WhatsApp, saya hanya bisa menuliskannya, berharap bisa menjadi medium alternatif, penyampai

59


Asa yang Takkan Padam

60

suara saudara kita yang selama ini jarang kita beri ruang untuk bersuara. *** Srek.. srek.. bunyi lembar demi lembar kertas yang dibuka dan ditutup terdengar dari ujung panggilan suara. Di sana, Sugiarto, seorang umat Baha’i yang bermukim di Bogor sedang memeriksa kembali dokumen-dokumen yang menjadi saksi bisu perjuangannya mencatatkan perkawinan selama 14 tahun. Ya, kalian tidak salah dengar. Sugiarto harus menghabiskan waktu selama empat belas tahun untuk memperoleh pengakuan bahwa pernikahannya dengan Muamaroh, sah di hadapan hukum. Kisah ini bermula delapan belas tahun silam, saat Sugiarto menikah dengan Muamaroh di Jakarta Selatan. Laiknya pernikahan pada umumnya, ia menuju Suku Dinas (Sudin) Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Selatan untuk mencatatkan perkawinan. Sayang, ia harus gigit jari. Catatan sipil tidak bisa mencatat perkawinannya, ia hanya memiliki surat nikah Baha’i’ yang dikeluarkan oleh Majelis Rohani Setempat (MRS) Jakarta selatan. Sugiarto juga sempat membuat Kartu Keluarga dan mengisi kolom agama pada formulir pendaftaran dengan “Baha’i”. Sekali lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa Kartu Keluarga yang ada di tangan justru tertulis “Islam”. Jamak diketahui, agama Baha’i dianggap sebagai sempalan agama Islam, sekte yang sesat dan berbagai stigma yang ironisnya, diproduksi dari “atas” dan ditelan bulat-bulat oleh masyarakat kita.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Setahun kemudian, Sugiarto dan Muamaroh dikarunia seorang putra. Lagi-lagi ia harus menelan pil pahit bahwa akta kelahiran putra pertamanya itu hanya tercantum nama Muamaroh sebagai Ibu, akta kelahiran semacam itu lazimnya diberikan pada anak yang lahir di luar nikah. Tentu saja, Ini adalah imbas dari tidak tercatatnya perkawinan Sugiarto dan Muamaroh di catatan sipil. Sejak itu, ia gigih menempuh prosedur panjang dalam waktu yang tidak sebentar. Sugiarto tidak mau kelak anak keduanya mendapat akta serupa kakaknya yang hanya tercantum nama Ibu sebagai orang tua. Sebelas tahun sudah Sugiarto berusaha mencatatkan perkawinan, mulai ke Catatan Sipil, KUA setempat, sampai Sudin Kependudukan Jakarta Selatan, namun semuanya nihil, tanpa hasil. Pada 2015 ia mendengar kabar bahwa perkawinannya bisa dicatatkan, tapi ternyata Sugiarto kembali dihadapkan pada serangkaian prosedur panjang. Itu bukan kali pertama Sugiarto ditolak oleh pihak Kelurahan untuk mencatatkan diri sebagai umat agama Baha’i. Apalah daya, untuk memperoleh pengakuan hukum, ia harus mengubah Kartu Keluarga, KTP, dan dokumen lain yang sebelumnya tertulis agama Islam, ke agama lain, sebab buku nikah miliknya adalah buku nikah agama Baha’i. Demi penolakan tersebut, Sugiarto menuju Sudin sebagaimana arahan yang ia terima. Di sana, pihak Sudin justru menyarankan ia untuk menulis strip (-) saja di kolom agama catatan sipilnya. Gayung bersambut walau berisi kegetiran, ia akhirnya memperbarui semua dokumen dan

61


Asa yang Takkan Padam

melengkapi surat pengantar nikah untuk diproses. Satu minggu kemudian ia datang dengan menghadirkan tiga saksi untuk ‘menikah’ lagi di sana. Sampai pada 2017, dua tahun sejak sejak ‘menikah’ untuk ‘kali kedua’ dengan perempuan yang sama. Akta nikah itu belum juga ia terima sampai lahir putra keduanya. Realita seperti mengamini kekhawatiran Sugiarto bertahun-tahun silam, bahwa putra keduanya akan memiliki akta kelahiran ‘tak lazim’ seperti putra pertamanya dulu, demi mengingkari kenyataan pahit, ia kembali ke Sudin untuk ‘menagih’ haknya tersebut. “Ternyata mereka tidak berani mengeluarkan (akta nikah) karena Kemendagri belum memberi instruksi dan tidak ada juklak (petunjuk pelaksanaan) untuk mencatatkan (akta nikah untuk agama Baha’i),” kenang Sugiarto dari ujung telepon. Pria 47 tahun itu pun menempuh mediasi agar perkawinannya bisa dicatatkan dan anak keduanya mendapat akta kelahiran sebagaimana mestinya. “Kamu harus ke pengadilan.”

62

Setitik asa itu ia dapatkan saat mendatangi Kantor Kemendagri Jakarta Selatan di Pasar Minggu. Tak kenal lelah, Sugiarto akhirnya mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendapatkan dokumen negara itu. Beberapa kali sidang dalam sebulan telah ia tempuh, pada sidang terakhir, permohonan Sugiarto dikabulkan oleh Pengadilan. 27 Maret 2018, Sugiarto akhirnya mendapatkan akta nikah resmi sekaligus akta kelahiran


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

putranya. “Alhamdulillah urusan administrasi jadi lebih gampang, prosesnya 14 tahunan,” ujarnya dibarengi derai tawa.

Usaha panjangnya memang membuahkan hasil. Sayang, empat belas tahun itu hanya ditulis dengan strip (-) pada kolom agama di KTP dan akta nikahnya. Sebagaimana warga negara lain, Sugiarto berharap selanjutnya agama yang ia yakini bisa ditulis apa adanya dalam administrasi kependudukan (adminduk): Baha’i. “Harus diperjuangkan, supaya kita (umat Baha’i) tertib administrasi. Kita bisa jujur kalau kita agama Baha’i, identitas kita jelas, tidak sampai salah paham ketika ditanya pihak lain. Kalau strip juga tidak mewakili apa-apa,” tukasnya. *** Saya mengakhiri panggilan suara WhatsApp dengan hati yang bergemuruh, ini pertama kalinya bagi saya, mendengar langsung kisah seorang warga negara yang sama-sama membayar pajak, namun hak dasar berupa melangsungkan perkawinan berikut pengakuan di depan hukum harus ditempuh sepanjang 14 tahun. Ternyata, sugiarto bukan satu-satunya. Saya berkabar dengan seorang senior di LPM yang mempunyai banyak kenalan umat Baha’i di Pati. Di sana, umat Baha’i juga tidak dapat mengakses dokumen sipil dengan alasan klasik; tidak ada juklak untuk agama Baha’i. Bahkan, beberapa tahun silam umat Baha’i Pati turut mengalami perundungan oleh masyarakat setempat seperti bullying

63


Asa yang Takkan Padam

64

pada anak-anak mereka di sekolah, dan penolakan pemakaman di TPU setempat. Setali tiga uang, umat Baha’i di Banyuwangi juga belum bisa mengakses dokumen sipil yang seharusnya dimiliki oleh tiap warga negara itu. Ponirin dan Mursiti, sepasang suami istri penganut agama Baha’i di Banyuwangi menerima dengan bahagia ketika akhirnya mereka bisa mendapatkan Kartu Keluarga. Walau tercantum Mursiti sebagai kepala keluarga dan Ponirin sebagai anggota keluarga sebab akta nikah mereka pun tidak bisa dicatatkan, mereka bersyukur dan lega secara resmi telah berstatus sebagai warga negara yang sah. Padahal, pengabaian negara pada satu hak, akan berdampak pada hak-hak lain yang juga terabaikan. Seperti kasus di atas, sebab Sugiarto tidak dapat mengakses akta pernikahan, akta kelahiran putranya pun menjadi ‘tak lazim’, bahkan dalam kasus-kasus tertentu turut pula mereduksi hak warga negara dalam sosial-budaya, ekonomi & politik. “Sebab hak asasi itu sifatnya interdependent. Satu hak tidak diberi, hak lain bisa hilang. Maka jika akhirnya menerima, itu sifatnya kompromi. Daripada tidak dapat KTP, tidak bisa dicatatkan perkawinannya, tidak bisa mengakses PDAM, misal. Maka ya menerima saja,” jelas Awi, sapaan akrab Daniel Awiegra, Deputi Direktur Human Rights Working Groups (HRWG) saat saya berkesempatan mewawancarainya. Masih dalam wawancara tersebut, menurut Awi, pangkal persoalan terkait kolom agama di adminduk yang


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

menelurkan banyak masalah seperti tidak tercatatnya perkawinan, akta kelahiran, adalah intervensi negara yang tidak pada tempatnya. Sebab dalam konteks agama, kewajiban negara itu negative intervention, cukup dengan respect saja. Karena ini wilayah internum, urusan paling intim warga negaranya. Maka, ketika negara masuk malah keliru. Lebih lanjut, sikap ‘kompromis’ yang ada dalam masyarakat, seperti bersedia ditulis sebagai penganut salah satu dari tujuh agama ‘resmi’ pemerintah, masih menurut Awi, adalah upaya untuk mendapatkan hak sipil yang saling terkait dengan hak sosial budaya. Sikap ‘kompromis’ itu juga bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat kita hopeless, voiceless, untuk bersuara dan mengupayakan hak-hak mereka. “Kebebasan beragama menjadi semacam pemberian oleh Pemerintah, padahal itu bukan pemberian, itu adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang,” ujar Awi yang sangat saya ingat sampai sekarang. Ucapan selamat dari Menag yang baru pada Umat Baha’i saat hari raya Nawruz beberapa waktu lalu turut menggembirakan hati saya. Semoga kedepan, perjuangan umat Baha’i dalam memperoleh haknya sebagai warga negara bersambut dengan kebijakan negara yang lebih akomodatif. Menulis dengan perspektif dan keberpihakan semacam ini adalah satu-satunya hal yang bisa saya lakukan, karena saya tidak punya kuasa apa-apa untuk menggerakkan perubahan, maka menulis adalah jalan ninja-ku.

65


CERI(T)AKU AHMAD KHASAN BASRI

66

Aku merupakan perempuan muda yang dilahirkan dari keluarga katolik. Aku tinggal di tengah-tengah masyarakat muslim di salah satu desa yang berada di kota Cirebon. Dari aku kecil hingga sekarang menginjak usia dewasa, aku belum pernah sekalipun bertegur sapa dengan tetangga rumahku. Alasanya, karena Tuhanku berbeda dengan Tuhan yang diyakini oleh tetangga rumahku. Mereka selalu sinis. Aku dan keluarga-ku dianggap seperti tidak berada di tengah-tengah masyarakat di desa tempat ku tinggal. Peristiwa itu yang membuatku memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Latar belakang kota pelajar itulah yang membuatku tertarik dan bisa memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiranku di Cirebon. Aku percaya ketika orang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang sangat luas, orang tersebut bisa bijak dalam merespon situasi dan kondisi sekalipun itu genting. Walaupun, sedikit ada kekhawatiran pasti. Ketika sedang kongkow bareng teman, tiba-tiba ngobrol perihal pengalaman bersama tetangga di kampung halaman misalnya. Bagaimana kehidupan teman-teman dengan tetangga rumahnya?


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Pertanyaan seperti itu selalu membuatku insecure. Banyak cerita yang suka mampir di kehidupanku tentang relasi teman-temanku dengan tetangga rumahnya. Mereka saling bertegur sapa, saling bantu-membantu, sampai ada di antara mereka yang saling tukar-menukar makanan jika tetangga sedang memasak dan membuat jajanan ringan. Aku sering kali terdiam ketika teman-temanku menceritakan satu pengalaman ini dalam hidupnya. Mereka terlihat bahagia dan aku selalu khawatir jika pertanyaan itu nantinya tertuju padaku. Sekali lagi, aku sangat insecure pada cerita temanteman bersama tetangga rumahnya. Sejak aku kecil, aku merasa hidup seorang diri dengan keluarga besarku. Cerita pengalaman-pengalaman indah bersama tetangga hingga saat ini masih menjadi ruang kosong dalam hidupku. Tidak ada satu pun cerita atau moment-moment mesra bersama tetangga seperti yang banyak diceritakan oleh teman-temanku di kampus. Dalam hati aku sering berpikir, mengapa perilaku orang-orang suka berbeda dengan orang yang tidak seagama. Padahal, aku dan tetanggaku satu RT/RW, satu desa, satu kecamatan, satu kota, satu provinsi, dan satu tanah air dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dari aspek ini, sebenarnya banyak sekali kesamaan dengan tetangga rumahku. Hanya karena aku beragama katolik kenapa kehadiranku tidak dianggap? Seringkali aku tidak bisa tidur karena hal ini. Terus terang saja, aku ingin menjelaskan kepada tetangga rumahku kalau aku dan keluargaku tidak seperti apa yang dipikirkan oleh mereka. Aku ingin menjelaskan

67


Asa yang Takkan Padam

68

kepadanya jika kami pun sama dengan mereka. Semua agama baik dan mengajarkan cinta kasih. Kalau pun ada rasa trauma pada pengalaman hidup dengan orang-orang Katolik, aku ingin membuktikan bahwa tidak semua orang Katolik seperti yang berada dalam pikiran dan pengalaman buruknya. Kesempatan seperti itu belum ada hingga saat ini. Kadang, aku ingin membuat moment sendiri untuk sekedar bisa ngobrol santai dengannya. Sekedar bertegur sapa mungkin. Pernah aku berencana membuatkan ketupat untuknya. Tepatnya ketika hari-hari besar Islam tiba, Ketika bulan puasa atau hari lebaran agar aku dan keluargaku dianggap sebagai tetangga rumah. Aku tidak menyalahkan agama yang dianutnya. Kembali lagi, bahwa semua agama itu baik. Kesadaran itu yang membuatku ingin terus berusaha agar bisa bertegur sapa dengan tetangga rumahku. Aku mempunyai mimpi itu. Namun, apakah mimpi yang ada dalam pikiranku ini juga ada dalam pikiran tetanggaku? Sebenarnya apa sih sebab orang-orang ini berjarak. Acuh tak acuh hanya karena perbedaan cara beribadah. Kan yang berbeda hanya caranya. Aku masih percaya dengan adanya Tuhan, begitupun tetanggaku. Aku yakin mereka juga sama meyakini adanya Tuhan. Terbukti mereka sholat. Kegelisahan itu tak kunjung usai di kepalaku. Bertahuntahun aku memikirkannya, alih-alih toleransi hanya menjadi kampanye bagi orang-orang berkepentingan saja. Di kehidupan nyata dalam aktivitas keseharian toleransi tidak benar-benar ada dalam kehidupanku.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Bagaimana bisa aku menjelaskan tentang kebenaran agamaku jika bertegur sapa saja tidak pernah. Coba mereka mau ngobrol dan menerima keberadaanku dengan keluarga, mungkin nggak sesakit ini. Kita bisa bantu-membantu, gotong-royong, menjenguk ketik sakit, begitulah aku berandai-andai. Seperti masyarakat pada umumnya, mereka saling mengerti keadaan satu sama lain di lingkungan mereka tinggal. Namun, kenyataan membuatku tidak betah jika berada di lingkungan rumah. Bertahun-tahun, aku dianggap seperti musuh oleh tetangga rumahku. Dewasa ini, masyarakat sekarang sangat mengedepankan pendapat umum. Dimana kebanyakan orang membicarakan satu hal, di situlah letak orang-orang mengamini, walaupun tanpa alasan yang jelas. Emosi dan imajinasi sangat bisa untuk memproduksi pendapatpendapat umum menjadi satu tindakan nyata. Sedangkan informasi dan rasio hingga saat ini belum cukup bisa menjawab persoalan-persoalan intoleran. Salah satunya, tentang stigma. Entah sampai kapan aku harus berada dalam pergulatan-pergulatan hidup semacam ini. Semoga Tuhan dengan cinta kasihnya merahmati semua makhluk yang berada di muka bumi. Aku, perempuan muda Katholik yang ingin terus membuktikan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, cinta kasih, dan saling menghargai. Semoga perbedaan cara dalam peribadatan kepada Tuhan YME tidak menjadi masalah lagi untuk kita saling bertegur sapa, mengasihi, dan menghormati. Hubungan antara aku, keluarga, dan tetangga

69


Asa yang Takkan Padam

rumahku mudah-mudahan tidak terjadi di kehidupan teman-teman. Beruntunglah kalian yang bisa berhubungan baik dengan tetangga rumah kalian. Apalagi kepada kalian yang tetangga rumah nya beda agama tapi bisa berdampingan dengan baik. Semoga ceritaku ini menjadi semangat kita bersama untuk terus berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang perbedaan identitas. Sebagaimana judul tulisan ini, aku dan semua prasangka buruk orang yang lahir dalam imajinasi namun tidak pernah ada usaha untuk mengklarifikasi.

70


MEMORI, KISAH DAN PELANGGARAN HAM ATAS JEMAAT AHMADIYAH KENDAL MUHAMMAD SIDIK PRAMONO Puing-puing bangunan, serakan buku-buku, lubang pada dinding berwarna putih dan juga kayu-kayu yang berantakan bekas perusakan, masih terpampang nyata di Masjid Ahmadiyah Dukuh Laban, Desa Purworejo, RT 01 RW 01, Kecamatan Ringinarum, Kabupaten Kendal. Ketika itu, pada 23 Mei 2016 dini hari, Masjid AlKautsar miliki Jemaat Ahmadiyah Desa Purworejo, Kendal, dirusak dan dihancurkan oleh massa yang tidak dikenal. Berdasarkan penuturan dari Ketua Jemaat Ahmadiyah Al-Kautsar, Ta’ziz pada 2014 silam, masjid yang dibangun pada 2003 tersebut pernah disegel oleh sekelompok orang. Namun, Pak Ta’ziz membuka segel tersebut agar jemaat Ahmadiyah yang lain bisa menggunakannya untuk ibadah. Namun, pasca melakukan pembukaan segel tersebut, beliau dilaporkan oleh beberapa oknum dan ditahan untuk beberapa waktu di Polres Kendal. Padahal, Masjid Al-Kautsar didirikan di atas tanah yang legal dan memiliki surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada 2004. Namun, pembangunan mangkrak atau

71


Asa yang Takkan Padam

72

sering berhenti karena kerap mendapat penolakan dari warga. Hingga kini, masjid tersebut hanya menyisakan puing-puing bangunan yang sudah tidak bisa digunakan kembali. Sebelum terjadi perusakan, pada tanggal 16 Mei 2016, pihak pengurus ketika itu memutuskan untuk menyelesaikan pembangunan agar dapat digunakan. Ketika itu, imbuh Pak Ta’ziz, baru beberapa hari bekerja, camat dan lurah mendatangi masjid dan meminta kepada pengurus untuk berhenti melakukan pembangunan. Di samping mengalami perusakan, dan penghancuran masjid yang hampir selesai tersebut, Jemaat Ahmadiyah yang ada di daerah tersebut juga mengalami tekanan. Tekanan tidak hanya datang dari masyarakat saja, namun tekanan juga berasal dari pemerintah. Bahkan tekanan juga datang dari negara bersama dengan kelompok masyarakat yang intoleran terhadap Jemaat Ahmadiyah. Dari penuturan Pak Ta’ziz kepada volunteer YPK ELSA Semarang ketika itu menerangkan, jika tekanan dan penolakan terjadi pasca lengsernya Gus Dur yang mana semakin menguat tatkala MUI memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar islam. Penolakan semakin menjadi-jadi ketika Departemen Agama (Depag) pada tanggal 20 September 2014 mengeluarkan Surat Edaran yang menyatakan jika Ahmadiyah merupakan aliran sesat dan menyesatkan, karena jemaat Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Dari ceritanya, Pak Ta’ziz menuturkan jika; hasutan, prasangka, yang diperkuat dengan adanya surat edaran tersebut membatasi aktivitas dan ruang gerak para jemaat Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah terasingkan secara


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

sosial dan terbatasi perekonomian. Selain berakibat pada kondisi sosial hingga perekonomian, jemaat Ahmadiyah merasakan intoleransi juga ketika proses mediasi. Proses mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah daerah lebih mengakomodir kepentingan kelompok intoleran daripada membela Jemaat Ahmadiyah. Suara Jemaat Ahmadiyah tidak didengar bahkan tidak diterima ketika proses mediasi. Parahnya lagi, ada kelompok yang enggan dan tidak mau melakukan dialog. Hal tersebut semakin menguatkan intensitas kekerasan dan intoleransi kepada Jemaat Ahmadiyah. Pemerintah yang diharapkan mampu memberikan perlindungan dan melakukan pemenuhan hak-hak masyarakat yang dilemahkan seperti Jemaat Ahmadiyah Kendal, malah melakukan hal yang berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan Jemaat Ahmadiyah. Sebab, pemerintah malah mengeluarkan surat keputusan bersama tentang pelarangan aliran atau ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hingga puncaknya adalah terjadinya penyegelan dan penghancuran masjid AlKautsar pada 2014 dan 2016 secara berturut-turut. Intoleransi dan Diskriminasi di ranah Pendidikan Intoleransi dan diskriminasi yang diterima oleh Jemaat Ahmadiyah Kendal tidak hanya berlangsung di kehidupan sehari-hari atau di desa saja tapi juga di ranah pendidikan. Putri pertama dari Pak Ta’ziz, Khajar Ummu Fatikh merupakan korban diskriminasi dan intoleransi di ranah pendidikan. Diskriminasi dan intoleransi sudah

73


Asa yang Takkan Padam

74

didapatkannya ketika dirinya masih kecil. “Ketika itu, saya masih kecil dan belum terlalu paham tentang diskriminasi dan intoleransi,” tuturnya. Berdasarkan penuturan dari perempuan yang akrab dipanggil Fatikh tersebut menjelaskan, hal yang paling dirinya ingat adalah ketika guru Sekolah Dasar tempat dirinya bersekolah menyindir Fatikh tentang Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Tak berhenti sampai di situ, ketika ditanyai volunteer ELSA Semarang pada Jumat 26 Maret 2021 berkaitan dengan perlakuan diskriminasi dan intoleransi yang dirinya dapatkan, Fatikh menceritakan pengalaman traumatis ketika dirinya berada di bangku SD. Kala itu, ada demonstrasi di balai desa yang menolak Ahmadiyah. Sekolah Fatikh yang berdampingan dengan balai desa. Mendengar dan mengetahui demo tersebut, dirinya kaget, menangis dan langsung pulang. Dirinya juga menceritakan bagaimana dirinya dilempari krikil sewaktu pulang dari sekolah. “Sewaktu pulang sekolah, kadang saya dilempari krikil. Tapi saya diam,” ungkap Fatikh. Sewaktu di dalam kelas, Fatikh mendapatkan perlakuan berbeda dari kawan sebayanya ataupun gurunya. Di dalam kelas, tak jarang Fatikh didiamkan dan diacuhkan. Selain itu, dirinya sering menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Jemaat Ahmadiyah kepada teman atau sahabatnya. Dirinya juga mendapatkan bullying dari temanteman dan para gurunya. Dirinya juga mendapat judgment yang tidak-tidak sewaktu duduk di bangku SMP. Sampai pada akhirnya, ketika dirinya ingin meneruskan jenjang pendidikannya, Fatikh memutuskan untuk melanjutkan


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

sekolah di Jawa Barat yang mana mayoritas adalah anakanak Jemaat Ahmadiyah. Menurut penuturan Pak Ta’ziz, saat ini desa dan Jemaat AHmadiyah mulai bangkit dan menjalin hubungan baik. Sekarang, kegiatan masyarakat yang ada di desa sering melibatkan Jemaat Ahmadiyah untuk bersamasama melakukan kegiatan. Bahkan, adik kandung dari Pak Ta’ziz saat ini dipilih dan dipercaya untuk menjadi ketua RT. Bagi Pak Ta’ziz, hal tersebut membuktikan jika warga sekitar mulai terbuka dengan Jemaat Ahmadiyah yang ada di sana dan melunturkan anggapan jika Ahmadiyah terdiri dari orang-orang yang memiliki paham ekstrem. Akan tetapi, hingga saat ini juga, bangunan Masjid Al-Kautsar belum diperbaiki ataupun dibangung. Sisa-sisa perusakan masih terlihat jelas. Selain itu, bukti serta tanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi perusakan yang jelas tidak manusiawi dan tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun. Pelanggaran HAM Dalam kasus yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah Kendal, dapat kita ketahui bersama bahwasannya pemerintah yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten melakukan pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut dilakukan by Commission dan by omission. Pelanggaran HAM yang dilakukan negara by commission pada saat negara turut ambil bagian dalam upaya melarang dan bahkan menyesatkan Jemaat Ahmadiyah. Jelas ini bertentangan dengan kewajiban negara dalam obligation

75


Asa yang Takkan Padam

to protect (kewajiban untuk melindungi) dan obligation to fulfill (kewajiban untuk memenuhi) dalam kasus Jemaat Ahmadiyah negara absen dalam pemenuhan dan perlindungan HAM jemaat Ahmadiyah. Harusnya negara berada di pihak Jemaat Ahmadiyah serta berusaha memenuhi hak kebebasan dalam beragama dan mengekspresikan keberagamaannya. Ini dibuktikan dengan pemerintah malah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan Ahmadiyah adalah aliran sesat. Di samping itu, pemerintah juga seakan turut ambil bagian dalam melanggengkan pelanggaran HAM ini. Sebagai bukti adalah ketika audiensi pemerintah lebih condong mengakomodir suara penolak Jemaat Ahmadiyah daripada mendengar apa yang diinginkan oleh Jemaat Ahmadiyah. Negara melakukan pelanggaran HAM by omission karena negara membiarkan perusakan dan tidak melakukan upaya untuk mencegah terjadinya perusakan dan penghancuran Masjid Al-Kautsar. Dalam konteks pelanggaran omission negara tidak melakukan kewajibannya yakni obligation to respect (kewajiban untuk menghormati). Negara seolah abai atas kejadian tersebut dan tidak berupaya kejadian tersebut terjadi.

76


PERJUANGAN PEMULIHAN HAK-HAK PENGHAYAT DI TULANG AGUNG M. MASROFIQI M.

Keragaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Keragaman ini telah lama mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keragaman ini terlihat dari keragaman dan perbedaan suku, bahasa, ras, dan agama serta keyakinan. Menjadi bangsa pluralis bukanlah melulu soal kebanggaan, melainkan adalah soal kemampuan menjaga, merawat rasa toleransi di tengah perbedaan yang ada. Perbedaan yang sering bersinggungan dengan masalah toleransi adalah perbedaan dalam beragama dan berkeyakinan. Indonesia secara resmi mengakui adanya tujuh agama, yakni Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katholik, Konghucu, serta Penghayat Kepercayaan. Sekilas mereka dengan segala perbedaan yang ada dapat hidup berdampingan dikarenakan kemajemukan dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama

77


Asa yang Takkan Padam

78

dan kepercayaan masing-masing.” Namun di akar rumput sering terjadi konflik keagamaan baik secara terus terang maupun di balik sebuah toleransi semu. Hal ini dikarenakan dengan konsep “agama” yang terus mengalami sebuah kontestasi dalam sebuah kehidupan. Saling klaim kebenaran inilah yang mencederai sebuah keharmonisan dan toleransi. Bahkan negara pun terkadang acuh dan permisif akan praktikpraktik intoleran ini. Klaim-klaim ini biasanya terfokus pada diskursus agama samawi yang diasosiasikan dengan agama Semitik dan agama ardhi atau agama non semitik. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa agama non samawi adalah praktik filsafat bukan sebuah agama yang jelas berdasarkan wahyu dari Tuhan. Bahkan menganggap agama non samawi adalah sekedar budaya saja. Hal ini cukup logis karena negara kita juga memfasilitasi pemahaman keagamaan yang eksklusi ini. Departemen Agama atau Kementerian Agama pada 1961 merumuskan kriteria yang bisa disebut sebagai agama. Unsur-unsur agama menurut Depag, ada unsur Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. Kriteria ini yang membuat beberapa agama yang tidak terdapat konsep nabi menjadi “tersingkirkan” dari makna ‘agama’. Dengan kata lain, negara telah mempolitisasi agama. Kriteria agama yang dibuat Depag merupakan hasil pergulatan politik sebagai respon berkembangnya kelompok keagamaan yang disebut oleh pemerintah aliran kepercayaan.


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Niels Mulder menegaskan bahwa latar belakang Depag mengeluarkan rumusan agama dikarenakan faktor politis. Mulder mengingatkan, kebijakan tersebut dilatari tumbuh suburnya kelompok kepercayaan/kebatinan pada kurun 1950-1965. Depag melaporkan pada tahun 1953 ada lebih dari 360 kelompok kepercayaan/kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok kepercayaan ini memainkan peran menentukan pada Pemilu 1955 dimana suara partaipartai Islam gagal memperoleh suara mayoritas dan hanya mendapat 42 persen suara (Mulder: 1983, 5-10). Dalam hal ini agama memasuki wilayah historisinterpretatif dan menjadi ajang mewujudkan kepentingan politik, ekonomi, budaya, maupun sosial kemasyarakatan. Dalam kompleksitas persoalan dan ajang konflik kepentingan, agama menjadi wadah pertarungan fisik. Orang-orang yang memiliki keteguhan yang dogmatis dan doktrin ajaran agamanya akan merasa bahwa yang dilakukannya adalah misi religi yang dianggap suci. Atas nama keyakinan, bahkan atas nama Tuhan, umat beragama terjebak dalam perilaku agresif dan penuh dengan ambisi penaklukan terhadap agama lain. Namun seiring perkembangan dan pergulatan politik keagamaan yang tak kunjung usai dan sudah menjadi benang kusut, pemerintah secara perlahan namun pasti mengurangi sikap intoleran dan diskriminatif di dalam kehidupan masyarakat. Tahun 2017 penghayat kepercayaan semakin diakui oleh negara dan pemerintah lewat putusan MK No.97/PUU/XIV/2016. Hal ini tidak lain karena perjuangan penghayat sendiri dalam memperjuangkan hak-haknya pada negara dan pemerintah.

79


Asa yang Takkan Padam

80

Dulu sebelum putusan ini muncul, pemeluk Penghayat Kepercayaan mengalami diskriminasi di segala hal terutama adminduk. Bagaimana tidak, masih banyak penghayat yang dipaksa dan terpaksa bersembunyi di balik kerudung salah satu agama agar dipermudah dalam segala hal. Sapta Darma misalnya, mereka ditakuttakuti terutama dalam 2 hal pokok yaitu perkawinan dan pemakaman. Para pemuda penghayat akan ditakuttakuti dengan dipersulitnya pengurusan adminduk, sedangkan yang para tetua ditakut-takuti dengan tidak akan diurusnya jenazah mereka saat meninggal oleh perangkat setempat (modin). Padahal dalam ajaran Sapta Darma tentang bagaimana tata cara perkawinan dan pemulasaraan jenazah (pangrukti layon) sudah diatur dalam buku pedoman tersendiri. Sebelum putusan ini muncul, kolom agama mereka kosong atau tanda strip (-), sesuai UU Adminduk No. 24 th 2013 perubahan atas UU. No. 23 th. 2006. Karena kolom agama yang kosong inilah para penghayat sering disebut sebagai seorang “komunis” karena dianggap tidak beragama. Mereka juga sering dianggap sesat dan kafir oleh penganut agama. Saat putusan MK No.97/PUU/XIV/2016 keluar pertama kali ke publik, pemeluk penghayat di Ponorogo begitu antusias untuk merubah kolom agama mereka menjadi penghayat kepercayaan. Mereka berharap pemerintah mampu menerapkan hal ini ke dalam semua pelayanan publik, namun asumsi tersebut terpatahkan saat pemeluk penghayat memutuskan untuk merubah agama di kolom agama KTP mereka. Seakan-akan pemerintah


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

mempersulit mereka dengan berbagai alibi dan alasan. Bahkan Kabid UPTD Dispendukcapil Kec. Kota Ponorogo mengaku jika masyarakatnya tidak ada yang disetrip pada bagian kolom agama dalam KTP-nya dan tetap ditulis Islam, padahal warga Sapta Darma yang ada di Kec. Kota hampir seluruhnya sejak tahun 2013 sudah mengganti kolom agama mereka dengan tanda setrip (-). Memang sulit untuk memperoleh pengakuan pada awalnya namun sejak 3 bulanan baru bisa terlayani. Dulu kami sempat membantu advokasi hal ini, sempat langsung menghadap Kepala Dukcapil saat itu untuk memperjelas regulasi terkait kolom agama ini. Namun Kepala Dukcapil melempar ke Kepala Bidang Pencatatan dengan dalih bahwa biar lebih enak dan lebih tahu masalah pencatatan sipil, terutama terkait converting status kolom agama di KTP mereka dari agama menuju kepercayaan. Hari berikutnya menghadap Kepala Bidang namun hal yang sangat mengejutkan adalah Kepala Bidang Capil menyatakan bahwa kewenangan perubahan ini bukan wewenangnya namun wewenang Kepala Dinas, bahkan disuruh untuk menunggu keputusan kepala dinas yang saat itu sedang rapat dengan MUI terkait Putusan MK tersebut. Seakan pejabat pemerintah enggan dan saling lempar tanggung jawab atas hal ini. Pernah juga mengadu ke Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI ) kabupaten kala itu yang kita anggap sebagai rumah perlindungan bagi penghayat, namun saat diminta bantuan dan usaha terkait hal ini justru malah menyuruh untuk bertanya ke MLKI Provinsi. Akhirnya Tiga Lembaga Kerokhanian Sapta Darma, yaitu Tuntunan

81


Asa yang Takkan Padam

82

Kabupaten, Persada, dan Yasrad menghadap ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk melakukan konversi atau perubahan status kolom agama. Dan kebetulan ada beberapa kolega yang berada di Disdukcapil, walaupun dengan jatuh bangun dan perjuangan, akhirnya perubahan ini bisa dilakukan. Awal perubahan warga yang menginginkan perubahan sekitar 50 orang, kloter berikutnya 30 orang. Namun saat pengajuan yang ke dua kalinya, tuntunan kabupaten diberi masukan oleh Disdukcapil agar warga yang ingin mengubah kolom agama di KTP langsung saja mengurus ke Disdukcapil, dan pasti akan terlayani. Sekarang sudah puluhan warga Sapta Darma di kolom agama KTP sudah berubah menjadi Penghayat Kepercayaan. Perubahan ini disambut gembira oleh seluruh warga. Meskipun Sapta Darma tidak mewajibkan warganya untuk mengubah kolom agama mereka, namun antusias warga untuk mengubah juga besar meskipun di antara mereka masih ada yang tetap ber-KTP agama tertentu karena alasan keluarga dan lingkungan, namun tidak menyurutkan untuk selalu mengamalkan ajaran Sapta Darma dalam keseharian. Menurut pengakuan tokoh Sapta Darma yaitu Bapak Servas, Sapta Darma sendiri sudah memperjuangkan hal ini sejak lama, namun baru sekarang bisa terealisasikan. Dan menurut Tuntunan Agung Sapta Darma, Bapak Saekoen Partowijono dan Tuntunan Kabupaten Ponorogo, Bpk. Budi hal ini merupakan anugerah terbesar Tuhan yang telah memberi keadilan bagi umat-Nya. Diskriminasi dan tindakan intoleran yang pernah


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

terjadi di Kabupaten Ponorogo tidak hanya itu saja, hal serupa juga dialami oleh warga Hindu yang tergabung di Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Ponorogo. Bahkan sampai sekarang, PHDI Ponorogo belum memiliki rumah ibadah sendiri. Informasi ini didapatkan saat acara Lintas Iman yang diadakan di Sekretariat PHDI Ponorogo. “Untuk beribadah saja, kami harus ke kabupaten sebelah yakni Magetan, karena pura terdekat adalah Pura Sanggha Bhuwana di Lanud Iswahyudi, Maospati, Magetan,” tutur Bli Gde Eka Widyantara, Sekretaris PHDI Ponorogo. Ketua PHDI Pak Langgeng juga bercerita tentang pembangunan rumah ibadah pura ini saat kita menyambangi di kediamannya di Keluarahan Keniten, “Dulu kami sempat mau membangun Pura bahkan tanah sudah terbeli, ya dibelakang sana itu. Padahal dulu sudah disetujui oleh bupati Amin kala itu, dan sudah mendapatkan 60 tanda tangan warga sekitar sesuai PBM, namun secara tiba-tiba terjadi penolakan oleh warga setempat yang sebelumnya menyetujui pembangunan, ya karena ada yang memprovokasi. Akhirnya pihak PHDI memutuskan untuk menggagalkan pendirian pura namun sebagai sekretariat PHDI, masih tertolak lagi, bahkan warga memagari tanah tersebut dengan batang bambu, ya sampai sekarang belum bisa punya pura,” ujar Pak Langgeng Yoyok Supeno, Ketua PHDI Ponorogo. Salah seorang penganut Hindu di pedesaan Ponorogo, Pak Puja Tantra, saat kita sambangi bercerita bahwa sebenarnya rencana pendirian pura itu sudah mendapat persetujuan dari Bupati kala itu, namun ditengah pengerjaan konstruksi, proyek pembangunan

83


Asa yang Takkan Padam

84

pura ini digagalkan. Proyek tersebut masih dalam tahap pendirian pondasi. Padahal dana pembangunan proyek ini juga dibantu didanai oleh kabupaten. Ia bercerita bahwa diskriminasi tidak berhenti di saat pendirian pura saja saja, “Saat anak saya mau mantu saja izinnya dipersulit oleh pihak desa setempat. Pernah lo setelah mengurus KTP tiba-tiba saja kolom agama di KTP tertera Islam. Saat saya mantu saja saudara saya masih beragama Hindu, wong dia menjadi saksi perkawinan anak saya, saat ini dia sudah beralih menjadi Islam karena alasan agar ketika mengurus apa-apa bisa lebih mudah, apalagi saat mantu. Saya gak tahu mas nanti saat mantu lagi bagaimana. Dulu itu bahkan pernah kita ditakut-takuti oleh naib, dengan konsep surga dan neraka yang intinya agar warga mengikuti agama Islam di wilayah tersebut,” tutur Pak Puja Tantra. Ada juga pengurus PHDI yang anak-anaknya malah justru di sekolahkan di SMP Katolik setempat karena khawatir akan hijabisasi di sekolah negeri, yang kemudian berujung pada tindakan-tindakan intoleran. Mereka justru lebih percaya untuk menyekolahkan ke sekolah swasta yang non-Islam karena bagi mereka, sekolah tersebut sangat toleran kepada agama mereka dan lebih mau menerima segala perbedaan yang ada. Diakui atau tidak ketakutan demi ketakutan akan terus tetap berlanjut, begitu pula stigma negatif dan perlakuan intoleran dan diskriminatif atas minoritas akan tetap terjadi. Dari semua kejadian-kejadian tersebut seolah pemerintah tutup mata dan telinga bahkan sebagian dari mereka menjadi bagian dari tindakan intoleran. FKUB


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

bentukan pemerintah yang bekerja dibawah naungan Depag pun mandul, yang seharusnya ia menjadi penengah atas segala konflik yang timbul dari sikap-sikap intoleran justru diam dan apatis. Jika kemudian pemerintah acuh dan sangat permisif terhadap tindakan-tindakan intoleran bukankah pemerintah belum melakukan dan menjalankan amanat UUD dengan sepenuh hati. Ya mungkin hal inilah yang disebut oleh kaum millenial sebagai “Itulah Indonesia”.

85


Asa yang Takkan Padam

Tentang Penulis Jihan Fauziah Lahir di Tasikmalaya, 27 Januari 2000. Aktif sebagai freelance writer. Menulis puisi dan cerita pendek. Beberapa karyanya sempat menjuarai lomba tingkat lokal dan nasional. Sisanya terdapat di media dan buku antologi bersama. Stefani Tarung Aktif sebagai anggota di UMMA YAMME, Komunitas perempuan Marapu Sinta Djuwita Aktif sebagai anggota Penghayat Kepercayaan Budidaya Indonesia. Franyudi Berutu Aktif di komunitas PERSADA, Aceh Singkil Eldad Mesakh Lahir pada 22 April 2001, Pemuda GPdI Eben-Haezer, saat ini berkuliah di Sekolah Tinggi Teologi Injil Indonesia (STTII) Yogyakarta. Senang Olahraga dan desain.

86

Darma Tri Hadi Prayitno Panggil saja Wisnu, lahir di Yogyakarta, 10 Mei 2004. Saya se-


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

kolah di SMK N 2 Yogyakarta jurusan Multimedia. Hobi saya berawal dari videografi terus mencoba beljar tentang multimedia dan ternyata multimedia sangat luas sekali. Untuk saat ini saya baru aktif di bidang desain 3D dan animasi 2D. Saya dari Sapta Darma. Cita cita saya adalah dengan membuat media yang dapat memberikan edukasi tentang keberagaman dan juga perbedaan baik dari suku, ras, dan agama yang dapat diterima semua orang melalui animasi komedi. Jika berkenan mari kita berdiskusi di instagram @wisnuu.tomo M. Bahesty Al-Kaff Tahun ini berusia 25 tahun. Asal dari Bandung, lahir dan dibesarkan di tengah komunitas Syiah sebagai bagian dari mereka. Dulu sempat dipanggil penulis karena punya beberapa karya. Sekarang lebih dikenal sebagai Bahesyti saja. pernah menimba pengalaman di lebanon Tidak ada predikat-predikat lain. Terima kasih. Kinanti Suarsih Biasa dipanggil Kinan, lahir pada tanggal 26 Juni 1997 di Kota Garut, Jawa Barat, dari pasangan Ibu Sulastri dan Bapak Gunardi. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara. Lahir dari keluarga sederhana, kedua orangtuanya adalah petani. Iapun tumbuh dewasa di sudut Kaki Gunung Ciremai. Kinanti bersekolah di SDN Yos Sudarso Cibunut, SMP Tri Mulya Cigugur, SMKN 2 Kuningan, serta masih mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina Cirebon jurusan Ekonomi Syariah. Selain memiliki kesibukan mencari jati diri melalui belajar menari tradisi. Kini, kegiatan sehari-harinya sering menjemur bunga untuk dijadikan teh bersama ibu dan neneknya. Ia juga bekerja di salah satu Hotel Cirebon sebagai admin keuangan. 87


Asa yang Takkan Padam

Fia Maulidia Fia Maulidia, sedang kuliah di LPM Justisia. Penggemar berat nasi goreng, seblak, dan mi ayam. Santri bodoh yang tak kunjung pandai~ Ahmad Khasan Basri Scooterist Indonesia asal Brebes jawa tengah kelahiran, 02Mei-1997. Senang bekerja untuk gerakan sosial dan keberagaman untuk anak muda sejak bergabung dengan perkumpulan SOFI Intitiative. Ketertarikan utamanya pada dunia kepenulisan, riset, dan artivisial intelegent. Terlibat sebagai anggota serial mini riset anak muda dan jalan terjal demokrasi di kota cirebon pada 2019. Saat ini, sedang fokus pada penguatan kapasitas anak muda dari ragam identitas di kota Cirebon. Dapat dihubungi: Ahmadkhasba79@gmail.com M. Sidik Pramono Volunteer ELSA Semarang dan Kru LPM Justisia, lahir di Sragen. Sidik saat ini sedang menempuh jenjang S1 di Jurusan Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. Saya teramat suka bermain Playstation (PS). M. Masrofiqi M.

88

Remaja Kerokhanian Sapta Darma, Lahir: Soma Kasih, 17 Mulud 1928 (Be)/14 Agustus 1995 M), berlamat di Jalan Gadung Melati, Dusun Suwatu, Ds. Siman, Kec. Siman, Kab. Ponorogo. Surel: Muhrofiki127@gmail.com. No Hp: 083125298823. Baru saja menyelesaikan studi Pascasarjananya di IAIN Tulungagung (2018-2021) dengan Tesis berjudul “Mistisisme Jawa dalam Penafsiran Kyai Mustojo atas Al-Fatihah”, yang selesai pada tahun “Catur Marga Trus Manunggal” (Jimakir 1954).


Refleksi dan Langkah Pemulihan Diri Anak Muda Korban dan Penyintas Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Beberapa tulisannya dimuat di media cetak maupun online yaitu: Wanita Karier dalam Islam (2017); Kirab Bedhol Pusaka Kabupaten Ponorogo (2018); Kili Suci dalam Sejarah Reog Ponorogo (2018); Versi Lain, Cerita Lisan Reyog (2019); Kisah Reyog Ponorogo yang Sudah Paten (2019); Penafsiran Sufistik-Kejawen atas Surat Al-Fatihah (Studi Analisis atas Manuskrip Kyai Mustojo)(2020), Kosmologi Sedulur Papat Lima Pancer (2021). Ia juga aktif di beberapa organisasi seperti Paguyuban Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat (PAKASA) “Gebang Tinatar”, Karang Taruna Kabupaten Ponorogo, Debog Wengker, Penyambung Jiwa Lintas Iman (PENJALIN), DMD MLKI Kabupaten Ponorogo, dan Institute for Javanese-Islam Research

Editor & Desain Cover: Omen Bagaskara Aktif belajar menulis di media massa nasional dan lokal sejak 2012, dengan konsen pada isu anak muda, gender, seksualitas, kebebasan beragama dan berkepercayaan serta demokrasi. Sejak 2012 juga terlibat sebagai anggota jaringan di komunitas SOBAT KBB (Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan). Saat ini, bekerja di Perkumpulan SOFI Inisiatif Muda Indonesia. Dapat dikontak melalui: omenbagaskara@gmail.com atau www.omenbagaskara.wordpress.com Linggar Gitraja Pria pencinta kopi yang menekuni dunia desain, ilustrasi, fotografi, videografi, serta musik sejak 2014. Saat ini bekerja sebagai pengelola media di Perkumpulan SOFI Inisiatif Muda Indonesia. Dapat dihubungi melalui gilang.trj@gmail.com atau media sosial instagram @gitraja.rhs

89


Sobat KBB


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.