Edisi ke-38 ď Ź Mei 2011
Jalinan Desa-Kota dalam Beragam Kesempatan Komunitas Siarkan Korban Lumpur Buku keliling di Bantul
ditorial dani yuniarto
E
S
atu miliar untuk satu desa. Duit melimpah itu digelon torkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, minggu kedua Mei ini. Digunakan untuk me rangsang desa agar mandiri dan ber peradaban, dengan mendirikan Ba dan Usaha Milik Desa. Tahap awal, ba ru seratus desa yang kebagian. Upaya tersebut patut diteladani. Apalagi jika prosesnya nirpenyim pangan: 1 miliar dari provinsi akan tetap 1 miliar setelah sampai di desa. Gebrakan Jawa Barat bukan perdana kali di Indonesia. Beragam program pemerintah telah lebih dulu berkeli aran dengan judul memberdayakan masyarakat desa. Kita kerap dengar jargon “Memberdayakan Desa dengan Kearifan Lokal”. Yang paling gres ada lah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Perlahan, desa kian dirasa perlu meningkatkan daya saing. Capnya se bagai pemasok tenaga kerja murah ke kota telah menimbulkan kejenuh an. Mereka dianggap sebagai pencip ta kawasan kumuh. Sampai kini ma sih banyak warga desa menilai, la han-lahan yang dianggap sudah man dul patut tak diacuhkan. Lahan yang sebenarnya masih sempat disubur kan kembali, itu, terlanjur tandus. Sajian utama Kombinasi edisi ke38 ini, coba menampilkan secara ju jur upaya desa memperbaiki hubung an dengan kota, atas dasar suka sama suka dan saling menguntungkan. Se perti sajian pengantar Elanto Wijo yono, bahwa dikotomi desa dan kota
harus cepat diusaikan. Banyak cara yang dapat ditempuh, salah satunya adalah menyediakan data. Dengan data desa, mengelola sumber daya alam dan manusia jadi mudah. Beragam fakta menegaskan, upa ya pemberdayaan desa yang sukses ialah yang beranjak dari kesadaran warganya. Di Desa Donorejo, Purwo rejo, Kombinasi berhasil menemui Totok Sugiharto, mantan kontraktor listrik yang banting setang jadi pe ternak etawa, supaya dapat berperan membangun desanya. Tetapi, adakalanya desa mandiri tidak melulu harus meningkatkan ta raf ekonomi—walau ekonomi tetap penting untuk menahan migrasi. Le bih dari itu, desa berguna sebagai pe nyeimbang kota-kota kumal penuh polusi. Kombinasi menyambangi De sa Semoyo, Gunung Kidul, yang sejak 2007 dicanangkan sebagai kawasan konservasi. Hingga kini mereka kon sisten menjaga alamnya. Selain sajian utama tersebut, da tang kajian menarik dari Ahmad No vik. Ia mengemas perjalanan dua ra dio komunitas di sekitar lumpur La pindo, yang terus berjuang menyua rakan korban lumpur. Satu langkah kecil menolak lupa dan menuntut hak atas tragedi yang belum usai. Azwar Anas merekam jejak Perpustakaan Keliling Bantul yang berusaha men jangkau warga desa-desa, yang se ringnya pelosok, dengan kebutuhan bahan bacaan. Dan masih banyak sa jian menarik menunggu untuk diba ca. Salam komunitas! Redaksi Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
Pemimpin Redaksi Ade Tanesia Redaktur Pelaksana Khairul Anam Kontributor Bambang Muryanto, Elanto Wijoyono, Wilman D Lumangino, Azwar Anas, Ahmad Novik Tata Letak MS Lubis Sampul Muka Dani Yuniarto Sampul Belakang Ahmad Faisal Ismail Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: office@combine.or.id Website: http://kombinasi.net
KOMBINASI diterbitkan oleh COMBINE Resource Institution (CRI) atas dukungan Ford Foundation. COMBINE Resource Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Komunitas menggali, mengolah, dan mengkomunikasikan informasi demi penguatan masyarakat sipil di Indonesia.
I
n f o s ek i l a s
SIDOARJO
Warga delapan desa menolak ren cana PT Lapindo Brantas melaku kan pengeboran dan pendalaman sumur gas baru di sekitar permu kiman mereka. Sekitar 700 warga dari Desa Kalidawir, Bangunsari, Penatarsewu, Pologunting, Sentul (Kecamatan Tanggulangin), Glaga harum, Permisan, dan Plumbon (Kecamatan Porong) menyatakan penolakan tersebut dengan men datangi kantor Bupati Sidoarjo, Rabu (25/5). Warga khawatir jika pengeboran tetap dilakukan, sem buran lumpur panas yang pernah terjadi di sumur Banjarpanji 1 bi sa terulang lagi. Padahal, dampak semburan lumpur panas di Banjar panji 1 tersebut belum tuntas dita ngani. Dalam aksi tersebut, tokoh agama Sholahudin Wahid (Gus Sho CILACAP
Pelatihan Mengelola Informasi Buruh Migran
f muzammiel jurnalismewarga.com
Mantan Tenaga Kerja Indonesia be serta keluarga, penggiat radio komu nitas, dan anggota Forum Warga Ci lacap dari beragam usia belajar ber sama dalam sebuah pelatihan untuk menyiapkan sumberdaya pengelola informasi buruh migran. Kegiatan ini didukung oleh Yayasan Tifa, Pusat
Ahmad Novik kanal news room
Gus Sholah Ikut Tolak Pengeboran Baru Lapindo
Warga demo tolak rencana pengeboran baru PT Lapindo Brantas.
lah) turut hadir guna memberi du kungan. “Pemerintah daerah harus memenuhi apa yang warga ingin Teknologi Komunitas Mahnetik, dan LAKPESDAM NU Cilacap. Pelatihan digelar selama 2 hari (29-30 Mei 2010) bertempat di Sidareja, Cilacap. Pelatihan ini diikuti 27 peserta dan dipandu oleh Yossy Suparyo, serta tim fasilitator dari Infest Yogyakarta. “Pelatihan serupa akan diadakan di 14 titik di Indonesia. Cilacap meru pakan titik pertama,” ungkap Yossy Suparyo, pengembang portal http:// buruhmigran.or.id. Fathulloh Muzam miel/jurnalismewarga.com
Meulaboh
BeKA dan Forum Anak Mengadakan Pelatihan Konselor Sebanyak 30 orang siswa SLTP dan SLTA di Meulaboh, Aceh Barat meng ikuti pelatihan Hak Anak dan Pela Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
kan,” kata Gus Sholah dengan tegas di tengah-tengah aksi. Kanal News
Room/korbanlumpur.info
tihan Konselor Sebaya “Child Rights and Peer Counselor Training” yang dilangsungkan oleh Balee Konseling Anak dan Forum Anak Aceh Barat, 1415 Mei 2011. Kegiatan tersebut dilak sanakan di Balai Desa Langung, Keca matan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. Pelatihan ini terlaksana ber kat kerjasama Balee Konseling Anak (BeKA) dengan Forum Anak Aceh Ba rat yang didukung oleh World Vision Indonesia, KKSP (Yayasan Pendidik an dan Informasi Hak Anak), Kantor Pemberdayaan Perempuan Aceh Ba rat, Camat Meurebo, dan beberapa pi hak lainnya. Nasriati, perwakilan da ri Forum Anak dan BeKA mengharap kan “dengan adanya Child Rights and Peer Counselor Training, semoga saja para peserta yang sudah ikut dalam pelatihan ini dapat terus mengem bangkan ilmu yang telah didapat, ba
I
n f o Sek i l a s
ik pengetahuan hak anak maupun pengetahuan tentang konseling bisa diterapkannya di lingkungan tempat tinggal masing-masing, juga bisa me ngembangkan kemampuan berkon seling untuk memecahkan masalahmasalah teman sebayanya.” Rafian
kat Bajo diputar di kesempatan yang sama. Beberapa di antaranya adalah film Jaringan Radio Komunitas Sula wesi Tenggara (JRK Sultra), Bulatin Bajo Bangit, serta Kesehatan Repro duksi Masyarakat Bajo Pulau Sapon da. Ibe/suarakomunitas.net
ACEH BARAT
Kunjungan Kerja Ketua JRK Jateng ke Pekalongan
syah/suarakomunitas.net
Simulasi Bencana di Aceh Barat Dua Kelompok Masyarakat Penang gulangan Bencana (KMPB ), KMPB Ta runa Siaga Desa Peuribu dan KMPB Lumba-Lumba Siaga Desa Seuneubok Lhong, Kecamatan Arongan Lamba lek, gelar simulasi bencana bersama, Selasa (24/5) di Pantai Suak Geudu bang, Kecamatan Samatiga, Kabupa ten Aceh Barat. Kegiatan yang dida nai oleh IBU Foundation ini diikuti le bih 200 orang partisipan, dari unsur kecamatan hingga desa. Beberapa ke giatan yang dilakukan tim KMPB ga bungan adalah evakuasi ke wilayah aman; penyelamatan korban yang tertimpa reruntuhan bangunan dan yang terbawa arus air laut tsunami; pendataan kebutuhan masyarakat di pengungsian; dan penataan lokasi pe ngungsian yang sesuai standar. Wa
PEKALONGAN
Sebagai tindak lanjut proses per ijinan, Jaringan Radio Komunitas Ja wa Tengah mengadakan pertemuan di Radio Komunitas Senada, Kebulen, Pekalongan. Acara ini dihadiri lang
sung oleh ketua Jaringan Radio Ko munitas Jawa Tengah, Renaldi, SP. Se cara panjang lebar Renaldi menjelas kan bagaimana proses dan tata cara perijinan. Dari sebagian radio komu nitas yang hadir, banyak yang belum tahu tentang peran dan apa sebenar nya radio komunitas. Renaldi lebih lanjut menjelaskan, kalau ingin bersi aran, radio komunitas harus meleng kapi berkas perijinan yang disyarat kan Komisi Penyiaran Indonesia Dae rah (KPID). Proses ini memang tidak cepat. Dalam kesempatan ini juga di adakan pendataan radio komunitas yang ada. Acara dimulai pukul 14.00 dan diakhiri pukul 16.00 WIB, yang dihadiri oleh 15 radio komunitas ba
hab/suarakomunitas.net
KONAWE
Pemutaran Beasiswa Ala Bajo Setelah lolos menjadi film terbaik rekomendasi Juri dalam Festival Film Dokumenter (Eagle Award), Beasis wa Ala Bajo, yang disutradarai oleh Tomy Almijun Kibu dan Rosnawanti Fikri Tahir ini menarik minat masya rakat Bajo saat dilaksanakan pemu tarannya di Desa Mekar, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawe si Tenggara, Jumat (6/5). Film ini me ngisahkan tentang budaya gotong ro yong masyarakat Bajo dalam mem bantu anak-anak Bajo yang kurang mampu secara ekonomi, agar mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa film yang juga berhubungan dengan masyara
Ryfki jrky
BANDAR LAMPUNG
Komputer Bekas untuk JRKL Yayasan Langit Sapta menyum bangkan komputer “bekas” milik nya kepada Jaringan Radio Komu nitas Lampung (JRKL) untuk ke pentingan pembelajaran Tekno logi Informasi (TI) di komunitas, Kamis (26/5). “Kami sedang mere majakan komputer di kantor kami dan kami memutuskan untuk me nyumbangkan komputer ‘bekas’ kami untuk pembelajaran komuni tas,” jelas Saptarini, salah seorang pengurus Yayasan Langit Sapta. Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
Saptarini menambahkan, ia per caya bahwa komputer “bekas” ba kal bermanfaat jika digunakan un tuk proses pembelajaran TI dan dikelola oleh lembaga komunitas seperti JRKL. Saptarini berharap bahwa langkah yang dilakukan Ya yasan Langit Sapta dapat diikuti lembaga maupun perusahaan lain untuk menyumbangkan kompu ter “bekas” kepada komunitas ke timbang menjualnya. Rifky/sua
rakomunitas.net
ik dari Pekalongan dan Pemalang.
P ernik
Sahiba fm/suarakomunitas.net
berau
PANIAI
Tiga Distrik Tak Punya SD dan Puskesmas
Menikah, Wajib Sumbang Pohon
Tiga distrik di Paniai, Papua, tak me miliki Sekolah Dasar dan Pusat Kese hatan Masyarakat (Puskesmas). Tiga distrik itu adalah Distrik Siriwo, Bo gobaida dan Distrik Dumadama. Se lain itu, ketiga distrik ini tidak dapat ditempuh dengan darat, hanya bisa melalui udara. Menurut Ketua De wan Adat Kabupaten Pania Jhon NR Gobai, Pemerintah harus menyiap kan subsidi pesawat berbadan kecil agar menyentuh daerah yang sulit di jangkau, Kamis (26/5). “Di 3 distrik itu, contohnya di Dumadama, tidak ada sekolah dasar SD, tidak ada Pus kesmas di ibukota distrik, apalagi pe tugasnya, kalau ada pelayanan dari kesehatan Team Mobile Clinic (TMC), itu berarti hanya sebentar saja.” Na
Mulai 1 Juni ini di Kelurahan Gu nung Panjang, Kecamatan Tanjungre deb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tiap pasangan yang menikah wajib menyerahkan minimal satu pohon guna mendukung program penghijauan kelurahan. “Semoga ada manfaatnya kelak. Kampung se makin hijau,” ujar Ngadeni, Lurah Gunung Panjang, Minggu (22/5). Penghijauan tengah digencarkan Gu nung Panjang sebagai antisipasi per kembangan permukiman. Hanya sa ja, belum dipikirkan sanksi bagi pa sangan yang tidak menyerahkan pohon. Lukas Adi Prasetya/ kompas.com
TASIKMALAYA
Mandalamekar Tiru Desa Terong Pemerintah Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Ta sikmalaya, Jawa Barat berkunjung ke Kantor Desa Terong, Kecamatan Dli ngo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta untuk studi banding penerapan sis tem informasi desa (SID) dan pela yanan masyarakat, Sabtu (7/5). Kepa la Desa Mandalamekar, Yana Noviadi (43) bertemu dengan Kepala Bagian Pelayanan Masyarakat Desa Terong, Nuryanto (38) beserta stafnya. “TI di Desa Terong membuat pelayanan ja di mudah, hal ini mau diterapkan di Pemerintah Desa Mandalamekar. Sa ya mendapat inspirasi dan motivasi dalam kunjungan singkat ini,” ujar nya. Melalui SID, Desa Terong dapat memberi informasi dan pelayan ad ministrasi dengan cepat dan tepat. Masyarakat pun bisa mengetahui ki nerja pemerintahan desa serta terli bat dalam proses pembangunan. Yana Noviadi/suarakomunitas.net
SIDOARJO
Korban Metan Tagih Janji Dua warga Siring Barat, Sidoarjo, yang menjadi korban gas metan pada Sebtember 2010 silam sampai kini kondisinya masih memprihatinkan. Purwaningsih, salah satu korban, ke dua kakinya masih terbungkus per ban lantaran luka bakar, sedangkan anaknya, Devi Purbawiyanto, kondi sinya sudah sembuh tapi masih tam pak bekas luka bakar di kedua tangan dan kakinya, Senin (9/5). Ketika Pur waningsih menjalani rawat jalan dua minggu sekali, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf sempat menje nguk dirinya di RSUD Sidoarjo, dan menjanjikan akan menangung biaya pengobatan sampai sembuh. Bupati Sidorjo yang saat itu dijabat Win Hen darso dan wakilnya, Saiful Ilah juga menjanjikan hal yang sama. Kanal
JAKARTA
Wah! Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji Selama menjabat sebagai wali ko ta, Joko Widodo tidak pernah seka li pun mengambil gajinya. Hal ini de ngan malu-malu diungkapkannya ke tika ditanya oleh salah satu peserta seminar “Gerakan Perempuan Me wujudkan Good Governance” di Ho tel Menara Peninsula, Jakarta, Ka mis (26/5). Joko mengaku, ia dan is trinya memiliki pendapatan dari usa ha mebel rumah dan taman yang masih berjalan hingga kini. Namun, Joko tak mau menceritakan lebih ja uh alasan tidak menerima gaji. “Tadi terpaksa ngomong karena ada yang tanya,” katanya terkekeh. Maria Natalia/kompas.com
News Room/suarakomunitas.net
SEMARANG
Buruh Migran Indonesia Dipulangkan Tanpa Gaji Pihak keluarga almarhumah Purmi ni, buruh migran asal Mangunrejo, Grobogan, yang mengalami perlaku an buruk di Kuwait, mengadu ke DP RD Jawa Tengah, Senin (23/5). Mere ka meminta Dewan membantu men dapatkan gaji lebih dari dua tahun yang tidak dibayarkan. “Awal Januari lalu Purmini pulang dalam kondisi sa kit dan dibawa ke RS Polri Kramat Ja ti,” kata Sariyem, sang ibu. Petugas Kementerian Tenaga Kerja lalu me ngantarnya ke Cirebon. Ia meninggal setelah dirawat 10 hari di RSUD Soe djati Soemodiardjo Grobogan . An dhika Puspita/vhrmedia.com
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
jokowi.com
tan Pigai/kbr68h
ahmad novik kanal newsroom
U tama
Sebab Kota Butuh Desa Dikotomi desa dengan kota mesti cepat diusaikan. Tapi desa perlu berbenah diri dengan memulainya dari sumber data. Elanto Wijoyono
Celebrationsoflove.com
S
Singgih Susilo Kartono memandang, desa sebagai miniatur negara: punya rakyat, pe merintahan, wilayah, dan sumber daya. Tapi kenyataannya, desa yang jumlahnya banyak selalu menerima paling sedikit, akhir, dan jelek. Justru kota yang sedikit selalu dapat paling banyak, awal, dan baik. Baginya, ada lah ekonomi kerajinanlah yang dapat me mandu perubahan desa lebih optimal, se perti kerajinan mebel, yang digiatkan ia dan tim di Desa Kandangan, Temanggung. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia me nampilkan data pada 1980, ada 78% pendu duk di perdesaan. Angka ini menurun pada 1990 menjadi 69%. Dengan asumsi pertum buhan penduduk 1,2% per tahun maka ta hun 2010, jumlah penduduk di desa adalah 48% dari seluruh jumlah penduduk nega ra ini. Menarik untuk memperhatikan rasio presentase tersebut jika disanding dengan jumlah kota dan desa. Nas (1989) mengatakan bahwa opo sisi antara kota dan desa sulit untuk dihapuskan. Dikotomi antara mereka mempengaruhi kuat cara mengatasi masalah migrasi. Seringkali pemba ngunan desa dipropagandakan se bagai upaya mencegah masalah-ma salah metropolitan. Migrasi—lokal hingga internasional—kini semua ha
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
rus dipelajari dengan menggunakan kerang ka sama. Prinsip dasarnya adalah pengurangan je jak karbon (ecological footprint). Marco Ku sumawijaya menegaskan bahwa hal itu da pat dikurangi dengan mendekatkan sistem produksi dan konsumsi. Caranya, dengan produksi tepat guna dan hanya memenuhi konsumsi berdasar kebutuhan. Jadi, penting untuk membangun sistem yang membawa unsur terbaik ke kota dan sebaliknya. Na mun, bukan untuk tujuan “ekspor” yang ja uh dan berarti meningkatkan jejak karbon. Menjadikan setiap ruang atau kawasan bisa berdikari adalah keutamaannya. Membangun konsep sistem di atas, dapat dipelajari dari diskusi tentang arkeologi bu daya Indonesia. Van Ossenbruggen (1917) berujar tentang asal-usul mancapat di Jawa. Mancapat adalah persekutuan antara sebu ah desa dengan empat desa tetangga terde kat yang letaknya kira-kira sesuai dengan keempat arah mata angin. Diantara mereka itu terdapat kesepakatan untuk bekerjasa ma dalam kehidupan sehari-hari. Kelima titik itu sakral yang berkaitan dengan lima unsur dasar alam: tanah, api, air, udara, dan eter. Jadi, mancapat dapat diartikan sebuah pat (satuan ruang) yang disucikan dengan cara membaginya menjadi empat bagian.
dani yuniarto
Biarpun demikian, Santoso (2008) bilang bahwa pengertian mancapat tidak terbatas pada sifatnya yang sakral, tapi juga mem punyai kaitan erat dengan kehidupan sosial penghuni tempat tersebut. Dimensi sosial inilah yang sebenarnya membentuk konsep mancapat, bukan wilayahnya. Jadi, proses pembentukan mancapat tak dimaksudkan untuk menentukan batasan wilayah dari se buah permukiman, melainkan untuk men jalin garis-garis penghubung antara permu kiman yang berdekatan berdasar hubungan sosial-religius. Tentang perkotaan, pada 1898, Ebenezer Howard menganjurkan rangrangan garden city sebagai sebuah ruang hunian yang ma nusiawi. Kota tersebut memiliki daya untuk mencukupi lapangan kerja bagi warganya. Sekeliling kota akan berperan sebagai ruang penyangga yang menyediakan kebutuhan hidup warga kota, dengan beragam peman faatan lahan: pertanian, peternakan, dan ru ang alami lainnya. Gagasan itu muncul dari satu rangka yang dinamakan sebagai tiga magnet (The Three Magnet) yang menggambarkan karakter ko ta, desa, dan satu ruang yang disebut kota– desa. Rangrangan tersebut muncul sebagai kota sosial dan masih tetap perlu untuk di terapkan dalam memikir ulang tata peren
Pengelolaan data desa menjadi satu hal penting sebagai pintu masuk. Produktivitas desa meningkat, ketergantungan pada kota jadi berkurang.
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
canaan dan pengelolaan kota–wilayah masa kini. Dalam kerangka desa, apa kemudian yang bisa dilakukan, walaupun tidak lagi melaku kan dikotomi mana yang baik tinggal di desa atau di kota? Pengelolaan data desa menjadi satu hal penting sebagai pintu masuk. Data desa dapat dibangun dan digunakan untuk meningkatkan pelayanan, sehingga orang “betah” tinggal di desa. Oleh karenanya, pro duktivitas dapat meningkat, sehingga me ngurangi ketergantungan pada kota. Data desa juga perlu dioptimalkan guna memba ngun kesadaran tentang sumber dayanya. Satu hal penting yang harus dibangun se bagai satu langkah studi adalah bagaimana agar data desa dapat memuat data migrasi (jasa, orang, dan barang). Atas dasar ini, da pat dicari pola migrasi baru yang lebih ra mah lingkungan dan tentunya produktif. Studi ini belum pernah secara rinci dan kritis diperhatikan sebagai fakta keras hu bungan desa dan kota. Salah satu tujuan stu di ini adalah menata kembali hubungan de sa–kota dengan menata migrasinya. Perlu dibangun satu ruang atau prasarana guna mewadahi proses hubungan agar terjadi ak si–reaksi yang kreatif. Sistem informasi lo kal yang dibangun harus dirancang untuk memenuhi peran dan fungsi tersebut.
U
tama
Q-tha Lari ke Jakarta
M
Pada mulanya banyak petani yang mencibir. Tapi kini beras organik Sumbing Inti sudah punya pelanggan tetap. Khairul Anam
Kemasan beras organik Q-tha ukuran 5 kg (foto atas). Masruri di hadapan sawahnya yang telah dipanen. Sejak 2004, ia beralih ke sistem pertanian organik (foto bawah).
petaninya juga begitu anti dengan pestisida. “Pestisida saya ganti dengan cacahan gede bok (pohon pisang),” jelas Masruri pada pe kan pertama bulan Mei ini. Mereka juga sering menggunakan Cres centia cujete L alias buah maja. Tuba juga turut dimanfaatkan. Tanaman yang dikenal dengan sebutan jenu ini diambil akarnya yang terkenal beracun itu. Setelah ditum buk dan dilarutkan dalam air, cairan siap menjadi pestisida nabati. Lumayan ampuh untuk mengendalikan cendawan padi. “Ke timbang buat mes, kan bisa buat nyangoni (uang saku) adik-adik ke sekolah,” ujar pria lajang 32 tahun ini. Seluruh tanaman ter sebut gampang ditemukan di pelosok Ban dongan. Untuk memudahkan pemrosesan padi or ganik, kelompok kemudian membuat lum bung. Jika selama ini lumbung yang dikenal hanya sebatas tempat menyimpan padi, di sini digunakan untuk aneka keperluan. Di depan lumbung itu, tersedia tanah lapang untuk menjemur gabah. Di dalam lumbung ada satu mesin giling gabah ukuran besar.
foto-foto: khairul anam kombinasi
Masruri lelah. Sudah lebih dari 3 kali pa nen padi, hasilnya tidak seberapa. Laba be sar yang seharusnya ia terima, keburu ter potong untuk beli pestisida. Apalagi selepas panen, tanah sawah menjadi keras. Untuk mulai tanam lagi, ia mesti susah-susah me mulihkan keadaan tanah. Di saat yang sama, tahun 2000, tetangga nya, Muhtarom, merintis Paguyuban Petani Sumbing Inti (PPSI). Sampai tahun 2003, ba ru 2 petani yang mengikuti Muhtarom ber tanam padi organik. Pada mulanya, hasil pa nenan turun tajam dibanding padi non or ganik. Jadinya tak ada petani lain yang me lirik. “Saya ngajak malah dipaido (dicibir),” kenang Muhtarom, 42 tahun, pada Kamis (19/5) lewat sambungan telepon. Baru pa da 2004, setelah hasil panenan menanjak, Masruri menyusul. Semenjak itulah Masruri menjadi anggo ta Paguyuban Petani Sumbing Inti, yang dari awal coba merayu para petani Desa Ban dongan, Magelang, Jawa Tengah, kembali ke padi organik. Selain menanam dengan bibit seperti C4, mentik wangi, dan rojolele, para
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
Pengepakan beras juga dilakukan di lum bung. Mulai dari 5-25 kilogram (kg). Ke lompok sepakat memberi nama Q-tha un tuk merek berasnya. Dengan cara demiki an, padi organik Desa Bandongan, mening galkan asalnya sudah dalam bentuk beras organik. Agar harga padi organik tak gampang an jlok, mereka memasarkannya sendiri tan pa campur tangan tengkulak dan pengijon. Pada bagian ini, Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), paguyuban pe tani yang berpusat di Salatiga, Jawa Tengah, melancarkan bantuannya—Kelompok Tani Sumbing Inti bagian dari SPPQT. Mereka mencari, menawarkan, serta mengantarkan beras Q-tha ke para pembeli. Atas bantuan tersebut, SPPQT diganjar 8% dari hasil pen jualan. Sebesar 2% diperuntukkan untuk PPSI, dan sisanya milik petani.
Padi organik dipasarkan tanpa campur tangan tengkulak agar harganya tak gampang anjlok. Selain dipasarkan SPPQT, beras Q-tha ju ga dipasarkan oleh pasar komunitas lewat web pasarkomunitas.com. Di laman itu, ca lon-calon pembeli dapat melihat daftar be ras Q-tha yang dijual, lengkap dengan sege nap keunggulan masing-masing jenisnya. Seperti Q-tha jenis rojolele yang punya ke andalan tahan basinya relatif lama. Sebelum PPSI bekerjsama dengan SPP QT dan pasar komunitas, mereka baru me masarkan Q-tha ke tiap kecamatan se-Ma gelang, dan beberapa wilayah sekitaran. Ba ru setelah bekerjasama dengan SPPQT dan pasar komunitas, Q-tha mulai menyebar lu as ke wilayah-wilayah lain. “Yang banyak la rinya (dijual) ke Jakarta dan Semarang,” ka ta Muhtarom, Ketua Kelompok Sumbing In ti, sekaligus pegiat di SPPQT. Tidak jarang juga pelanggan memesan langsung beras Qtha ke pegiat SPPQT di Salatiga. “Jika beras non organik, 1 hari saja sudah basi, tapi biar sudah 2 hari, beras organik masih lezat di santap,” ujar Masruri sedikit promosi.
Restoran Milas, Jogjakarta
Terbuka, Pasar Komoditi Beras Organik
B
eberapa tahun terakhir, hidup sehat dengan mengonsumsi ma kanan organik sedang menjadi gaya hidup baru di kalangan masyarakat kota. Sebut saja Kentucky Fried Chicken yang kini menyediakan pilihan nasi organik bagi pelanggannya. Semakin ba nyak pula rumah tangga yang mengkonsumsi beras organik. Harga nya memang lebih mahal daripada beras biasa, tetapi bagi mereka konsumsi ini merupakan “investasi” kesehatan di masa depan. Milas, restoran vegetarian di Jogjakarta, sejak 1997 telah menang kap kecenderungan tersebut. Sejak awal berdiri, Milas menyediakan beras organik yang diperoleh dari penyalur beras Organik seperti to ko Sahani. Kebutuhan beras organik tiap bulan bisa mencapai 100 kg, termasuk beras yang dijual langsung pada konsumen. Milas menjual beras putih, beras merah, dan beras pecah kulit (brown sugar). Beras organik memang harganya lebih mahal, Milas menjual beras organik putih seharga Rp 9.000 per kg, dan beras merah seharga Rp 12.000 per kg. Milas tidak tanggung-tanggung dalam mempromosi kan hidup sehat. Mereka mempunyai kebun organik yang dikelola anak jalanan. Jadi di kebun tersebut, anak bisa menimba pengetahu an cara penanaman padi dan sayuran organik. Sebenarnya pasar beras organik masih terbuka luas, namun tidak banyak petani yang mau berpindah ke sistem organik karena terbia sa dengan pertanian instan yang menggunakan pupuk kimia pabrik. Adapun yang sekarang banyak dijual adalah semi organik, yakni su dah menggunakan pupuk organik tapi masih memakai pestisida. CV Pro Petani Sejahtera misalnya, telah siap membeli produk per tanian organik dengan harga Rp 2.000 lebih tinggi dari beras biasa. Namun kebutuhan tersebut belum dimanfaatkan optimal oleh petani. Menurut Kompas (12 Maret 2011), permintaan ekspor beras organik sebenarnya mencapai 90 ton per bulan, namun petani yang terga bung dalam Kelompok Tani Simpatik Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, baru bisa memenuhi 18 ton per bulan karena keterbatasan la han dan tenaga penyortir beras. Gaya hidup sehat yang kini semakin tren di tengah masyarakat, baik di dalam negeri maupun mancanega ra, telah mendorong permintaan terhadap beras organik. Hal ini me rupakan suatu peluang besar untuk petani. Ade Tanesia
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
U
tama
foto-foto: Wilman D Lumangino
Ice-ice di Montomisan Montomisan menjelma jadi pusat budidaya rumput laut. Sayangnya masih buta pasar. Wilman D Lumangino
F
Fajar baru saja menyingsing. Di Jalan Lin tas Pulau Peling, penghubung Desa Monto misan dengan wilayah lain di kawasan itu, terdengar suara saling memberi perintah. Tiga orang sedang mengangkut karung berisi rumput laut kering ke atas mobil. Da lam cuaca dingin, keringat bercucuran di tu buh mereka. Beberapa orang lainnya hanya menonton dari balik sarung. Karung-karung itu bakal dibawa ke Luwuk, ibukota Kabupa ten Banggai menggunakan kapal lewat der maga Bolonan (Bulagi Utara). Itulah suasa na pagi buta, Sabtu pekan kedua Mei ini. Desa Montomisan telah menjadi bagian penting kota Luwuk. Kota yang sebelum ta hun 2000 terasa jauh itu, kini berbalik se makin dekat. Sebagai pusat perekonomian di ujung timur Sulawesi, Luwuk menyediakan kebutuhan masyarakat, terutama yang ber kaitan usaha budidaya rumput laut. Luwuk memberi kemudahan warga Montomisan dalam memasarkan hasil budidaya mereka. Demikian pula sebaliknya, Montomisan me rupakan salah satu penyedia bahan baku di pasar rumput laut Luwuk. 10
Tempat pengeringan rumput laut di Desa Montomisan, dekat Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (foto atas). Eucheuma cottoni, salah satu jenis rumput laut merah (foto bawah).
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
Rumput laut mengubah kehidupan war ga Montomisan. Bagi yang serius membu didayakan, ekonominya meningkat. Mereka dapat membangun rumah permanen, mem beli tanah, televisi, sepeda motor, dan me nyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Potensi ekonomi ini mampu memperlancar relasi penduduk desa dengan kota. “Ini semua merupakan karunia Allah. Du lu orang Montomisan banting tulang hanya demi sedikit duit, pas untuk makan. Tanah tidak subur lagi. Tak banyak anak-anak yang sekolah, selesai SD cukup, paling tinggi SMP. Lulusan SMA tidak banyak. Tapi sekarang, lulusan SMA dan Sarjana sudah banyak,” ka ta Sain Tolodo, Sabtu (14/5), yang salah sa tu puterinya tengah kuliah di Gorontalo. Dari berbagai kota, seperti Bulagi, Sala kan, Banggai, Luwuk, Gorontalo, Palu, dan Bandung, kebutuhan akan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dapat terpenuhi. Puluhan sarjana telah dihasilkan desa itu. “Tahun 1990-an, sulit sekali menemukan se orang sarjana, tapi sekarang ada 30 orang. Peran rumput laut jelas ada,” kata Audin Sa dili, Sekretaris Desa Montomisan. Montomisan dihuni oleh 106 KK (kepala keluarga), dengan jumlah penduduk seba nyak 356 jiwa: laki-laki 173 jiwa, perempu an 183 jiwa. Sembilan puluh delapan KK di antaranya sebagai pembudidaya. Sejak ta hun 1996, rumput laut jadi barang dagang an andalan mereka. Wilayah budidaya yang menggunakan metode tali rambat apung sangatlah luas. Jenis rumput laut merah se
perti Eucheuma cottonii, Eucheuma spino sum, dan Gellidium spinosum merupakan je nis yang dibudidayakan. Rumput laut atau seaweed telah dikenal penduduk Montomisan sejak 1989, ketika Udin Tolodo membudidayakannya. Hingga enam tahun kemudian, barang dagangan ini belum bisa memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga belum dilirik orang. Pembudidaya annya masih setengah hati. Ketika produksi jambu mete di Montomi san menurun pada 1995, ekonomi keluarga menjadi sulit. Maret 1996 adalah titik balik saat sebagian besar penduduk beralih mem budidayakan rumput laut. Mereka berhasil dan inilah yang membuat petani di Bulagi, Banggai Kepulauan, mengikutinya. Kini usaha ini menjadi lapangan kerja utama di desa tersebut. Pada dekade 1990, masih ada penduduk Montomisan yang me lakukan urbanisasi ke Luwuk dan kota-kota
lainnya. Kini, orang berdatangan ke desa ini. Usaha budidaya telah memikat hati banyak orang. Hasil produksi, harga jual ting gi, dan pengerjaan yang ringan me nyebabkan pendapatan warga me ningkat, sekaligus daya belinya. Na mun wilayah budidaya sering rusak akibat ombak dan gelombang Teluk Peling, serta serangan hama ulat kecil yang menye babkan penyakit ice-ice (bercak-bercak pu tih pada rumput laut). Tetapi sungguh sayang, solusi ekonomi yang telah dihadirkan dari budidaya rum put laut, justru menghadirkan soal baru. Se bagian petani rumput laut terjangkit penya kit ‘ice-ice’ dalam bentuk hutang, karena di serang oleh tengkulak dan pengijon.
Wilman D Lumangino mengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako Palu.
wawancara Retno Kustati
Menjadi Kuat Secara Pasar dan Modal
T
Apakah tengkulak hanyalah seorang pemberi hutang? Tengkulak tidak hanya pemberi hu tang, namun keberadaannya lebih di picu karena ada transaksi jual-beli. Mereka kuat dari sisi penguasaan pa sar dan modal. Biasanya dengan prak tek sistem ngijon (dibeli sebelum ma sa panen), permainan harga, atau ter
kadang petani menjadi tergantung un tuk kebutuhan modal. Kapan mereka beraksi? Misalkan saat panen rumput laut, harga jatuh sekali sedangkan giliran petani butuh modal, petani menggan tungkan harapan (hutang) pada mere ka. Karena lebih mudah prosedurnya, DOKUMEN retno kustati
engkulak hadir saat petani, ne layan, atau pengusaha kecil bu tuh modal. Tengkulak datang, menawarkan bantuan, misalnya hu tang, yang bisa dilunasi setelah pa nenan atau produk laku. Tapi, jarang dijumpai mereka mampu menuntas kan semua hutang. Di sela terjun ke lapangan memberdayakan pengusa ha kecil, Retno Kustati Sekretaris Ek sekutif Wilayah Jawa Asosiasi Pen damping Perempuan Usaha Kecil (AS PPUK), Rabu (1/6) sudi berbagi peng alamannya mendampingi pengusaha kecil melawan sistem yang timpang, termasuk memberangus tengkulak lewat obrolan ringkas di email.
Pelabuhan Teluk Lalong di Kota Luwuk, pintu perekonomian bagi wilayah pedesaaan di sekitarnya.
Kelompok Perempuan Usaha Kecil tak berbelit, tanpa agunan juga. Bah kan di beberapa tempat, ditawarkan beberapa kemudahan lain, seperti pinjaman langsung barang, dibayar setelah panen, dan bila gagal bisa di komunikasikan dengan tengkulak. Apalagi di beberapa tempat tengku lak kadang dianggap orang berjasa
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
karena tidak hanya dalam konteks usaha namun juga kalau ada kebutuh an keluarga lain seperti untuk yang sakit, pendidikan, dsb. Tengkulak dapat dipidanakan? Sulit, karena yang terjadi adalah transaksi yang sudah disepakati ke dua belah pihak. Masyarakat belum punya kekuatan kaitannya dengan modal dan pasar tersebut. Menangkalnya hanya bisa de ngan koperasi? Beberapa alternatif untuk menang kal yaitu dengan berkelompok untuk menggalang modal dan pasar bersa ma, salah satu bentuknya adalah ko perasi atau seperti koperasi. Anda dan ASPPUK pernah men cobanya kepada warga? Kalau komunitas ASPPUK yang le bih banyak adalah perajin/usaha mik ro yang biasanya lebih banyak terje bak pada rentenir alias permodalan. Ini kita dorong juga dengan kelom pok dan koperasi. Kalau strategi kita dengan 2 cara yaitu: membangun Jar puk (Jaringan Perempuan Usaha Ke cil) yang menjadi strategi untuk mela kukan advokasi, sedangkan kaitan nya dengan modal kita mengembang kan LKP (Lembaga Keuangan Perem puan) yang prinsipnya koperasi.
11
U
tama
Desa “Berpenduduk” Kambing Meski berternak kambing sudah mentradisi, desa yang jumlah warganya lebih sedikit daripada kambing ini sebagian masih menganggap rumit memiara etawa. Khairul Anam
N Mendayakan pemuda untuk beternak etawa dapat mengurai soal tenaga kerja.
“Nang kene kie (di sini ini ‘Donorejo’-red.), jumlah penduduk dengan jumlah kambing nya, lebih banyak kambingnya,” ujar Totok disusul tawa lepasnya. Tapi ia tidak sedang membual. Rata-rata setiap penduduk di De sa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Purwo rejo, memiliki etawa sedikitnya 5 ekor. Kambing etawa sudah cukup lawas dipi ara oleh warga Donorejo dan sekitaran Ke camatan Kaligesing. Sekira tahun 1930, Pe merintah Kolonial Belanda membawa kam bing jamnapari (etawa) ke Kaligesing, Pur worejo. Kambing yang berasal dari India itu lalu dikawinsilangkan dengan kambing lo kal (kambing Jawa randu atau kacang) oleh warga Donorejo. Tiada maksud beda hanya untuk menyiasati keadaan alam Donorejo. Hingga kini, setelah berlalu puluhan ta hun, kambing etawa persilangan itu tetap
tenar dengan sebutan kambing etawa ras Kaligesing atau kambing PE (peranakan eta wa). Berkuping panjang terlipat, dengan kepala cenderung menonjol, ialah bawaan nya. Dan Totok Sugiharto, warga asli Desa Pandanrejo, yang lantas tinggal di Donore jo yang jadi desa asal istrinya ini, cuma sa tu dari sekian peternak di sela-sela puncak Bukit Menoreh yang dapat sukses membiak kan etawa-etawa itu. “Ada keluarga yang memelihara kambing saya 12 ekor,” tutur Totok. Mereka keluarga muda. Totok memilih menggaduhkan eta wanya ke orang muda lantaran mereka ma sih gampang “diajari” perihal merawat eta wa. Ia mengaku kesulitan mempengaruhi orang-orang tua yang telah lama merawat etawa secara turun-temurun. Pada bagian kandang, misalnya, sebagian orang menganggap kandang berpanggung dianggap terlalu mewah untuk ternak. Tapi bagi Totok dalam tulisannya “Kandang Eta wa” yang dimuat di gunungkelir.com, tujuan memanggungkan etawa agar kencing dan kotoran bisa jatuh ke bawah melalui sela lantai panggung. Kencing dan kotoran akan mengganggu kesehatan ternak jika bersen
Totok Sugiharto: Berternak Lebih Enak
S
ekira pukul 7, selepas mandi so re dan berpakaian lengkap, To tok keluar rumah menuju kan dang kambing yang persis berada di beranda depan. Ia membuka pintu salah satu kandang. Men dadak seekor etawa seting gi satu me
12
ter keluar girang dari kandangnya. Per lahan, tanpa menimbulkan gerakan ti ba-tiba, Totok meraih kambing itu. “Yang ini baru 4 bulan. Tingginya le bih dari 1 meter,” jelas Totok sambil me megangi etawanya. Ia masih ingat be tul, sepuluh tahun lalu, Totok Sugihar to, 35 tahun, pertama kali membeli se ekor etawa biasa seharga Rp 1,5 juta. Persis usai anak pertamanya lahir. “Ini investasi untuk anak. Nanti kalau su dah waktunya anak saya sekolah, eta wa sudah beranak-pinak),” kenang To tok tentang peristiwa 2001 silam. Kambing barunya tersebut tidak langsung ia pelihara. Terpaksa etawa nya ia gaduhkan ke warga Desa Dono rejo, Kecamatan Kaligesing, Purwore
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
jo. Pekerjaannya sebagai kontraktor ke listrikan mewajibkan bapak dua anak kelahiran Desa Pandanrejo, Kecamat an Kaligesing, Purworejo, itu keluarmasuk daerah proyek. Keluarganya pun direlakan bermukim di kampung halaman mertua Totok, Desa Donorejo. Setelah sepuluh tahun berlalu, saat ma tahari mulai pamit dari puncak Bukit Menoreh, Desa Donorejo, Kamis (5/5) petang lalu, Totok sumringah mengelu arkan beberapa ekor kambing dari kan dang di depan rumahnya. Mulanya, Totok adalah kontraktor bidang kelistrikan di sebuah perusaha an di luar kota. “Nek bali ke kampung (kalau pulang kampung), orang sudah jarang menyapa karena tak ada yang
foto-foto: khairul anam kombinasi
tuhan langsung. Dengan berpanggung pula, lantai bawah menjadi tempat tampung ko toran bakal pupuk. Selain memadukan cara-cara lama de ngan baru dalam merawat etawa, Totok ti dak lupa mengakali kemajuan teknologi un tuk menopang ternaknya. Blog pribadinya (gunungkelir.com) ia sulap jadi pasar etawa piaraannya. Walau berada di perbukitan pun, ia tidak ketinggalan dengan perkembangan pasar, cukup memantau dari internet. kenal,” kenang Totok. Keasingan terse but seolah tak berarti bila menilik ke suksesan Totok yang mampu jadi direk tur teknik di perusahaan ia mengabdi itu. Saat itu ia berfikir, “Aku neng kene iso penak (aku di sini ‘perusahaan’ bi sa enak), tapi saya tidak punya penga ruh terhadap keluarga dan saudarasaudara yang lain.” Bahkan, adik kan dungnya sendiri tak bisa ia ajak di per usahaan tempatnya bekerja, karena ku alifikasinya memang tidak pas. Namun Totok tak mau berlama-la ma jauh dari kampung. Betapapun ia bukan kelahiran Donorejo. Akhirnya pada 2008 ia bertetap hati mengeluar kan diri dari perusahaan. Perusahaan anyar miliknya yang juga telah dirintis nya di Tanggerang, ia pasrahkan ke ta ngan kanan. Sesekali Totok mengecek kinerja mereka. Sejak saat itu, relawan
Agus, karyawan peternakan Totok, berupaya mengandangkan seekor etawa yang paling besar.
Pemuda-pemuda didikan Totok inilah, se lain belajar merawat etawa, juga memasar kan etawa dari desa tanpa terjun langsung ke kota. Tapi tak semua pemuda Donorejo menjadi perawat etawa. Banyak di antara mereka yang merantau ke kota. Mendayakan pemuda di Desa Donorejo, Kaligesing, untuk berkambing etawa, merupakan sedikit upa ya mengurai soal ketenagakerjaan yang ter jadi di sebagian Purworejo. Data Badan Perencanaan Daerah Kabu paten Purworejo pada 2007 tentang “Angka Beban Ketergantungan” menempatkan ko ta Purworejo dan Kecamatan Kaligesing, se bagai daerah beban usia produktif terendah di Purworejo. Cuma, kalau di perkotaan Pur worejo, banyaknya usia produktif (15-65 ta hun) terserap oleh lapangan pekerjaan, di Kecamatan Kaligesing, usia produktif malah banyak merantau. Masih banyak yang memandang kota la yak dijadikan tujuan rantau. Apalagi keba nyakan orang, bahkan di Kaligesing yang se cara temurun merupakan pusat peternak an etawa, menganggap merumat etawa ma sih berbelit-belit. Totok tak menampiknya. “Harganya memang mahal. Kambing gem bel, itu kan gelem golek mangan dhewe. Neng yo kui, elek .Yo nek arep penak meneh, tuku sate kambing wae (mau cari makan sendiri. Tapi ya itu, jelek. Ya kalau ingin enak lagi, be li sate kambing saja-red.)
Animal Rescue saat erupsi Merapi 2010 lalu ini mulai beternak etawa. Se mua etawa yang telah ia miliki sejak 2001 itu dijual. Lima ekor kambing eta wa kelas biasa, dijual untuk mendapat 1 ekor kambing etawa kualitas lomba. Perjudian itu ia tempuh setelah menya dari bahwa biaya perawatan kambing etawa biasa dengan kambing etawa kelas lomba tak begitu timpang. Tidak langsung ia mendapat sukses di masa awal profesi barunya. Banyak percobaan ia lakukan untuk mencari bentuk ideal peternakan etawa. Persi langan antar ras berkali-kali gagal. Kambingnya juga sering dilanda sakit. Namun, dengan bekal cara merawat kambing etawa secara turun-temurun, dan sedikit-banyak membaca referen si, sekarang Totok telah jadi dokter ba gi kambingnya. Ia mengingat anjuran
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
orang-orang tua, kalau ”bayi kambing setelah lahir itu diguyur air kelapa.” Orang-orang tua itu tidak paham apa alasannya, tapi Totok mulai sadar jika “air kelapa mengandung alkohol lu nak. Dia berfungsi sebagai antiseptik bagi bayi etawa.” Merasa peternakannya mulai jalan, Totok mengajak beberapa pemuda, dan mengajari mereka cara merawat kambing etawa dengan benar. Sampai kini, terhitung ada puluhan karyawan yang mengurusi keperluan harian eta wa. Gaji yang mereka terima, dibelikan kambing etawa agar dapat dipiara sen diri. Sambil tersenyum ia berkelakar, “Seng merantau ternyata tidak lebih baik daripada seng neng omah ngo peni wedus (yang merantau ternyata tak lebih baik daripada yang di rumah memiara kambing).” Khairul Anam
13
U
tama
Kampung Penyerap Karbon Saat warga kota membuat pemanasan global, warga Desa Semoyo memilih untuk memberi hutan. Satu hektar hutan untuk 30 ton karbondioksida. Khairul Anam
S foto-foto: desakawasankonservasi.blogspot.com
Proses pencatatan potensi karbon di hutan desa Semoyo.
14
Siang itu, menenteng meteran yang biasa dipakai oleh tukang jahit pakaian, tiga pria Desa Semoyo menyusuri hutan desa. Mere ka hendak menghitung diamater pepohon an. Syukur kalau kelak, hutan tersebut da pat kompensasi. Pengukuran dan pendataan yang dilaku kan warga Semoyo, pada Rabu, (26/5/10) siang, itu bermula dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bali, 2007 lalu. Da lam konferensi, para utusan negara sepakat mengurangi pemanasan global. Konferensi juga merayu negara-negara yang masih luas hutannya, agar tidak digunduli. Negara maju, yang tak cukup luas hutan nya untuk menyerap karbondioksida dari
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
industri dalam negeri, akan membiayai dan membeli jasa hutan dari negara lain yang te lah menyerap karbondioksida. Semoyo, de sa yang dikerubungi hutan bukit Patuk, ada lah sedikit dari banyak penyerap karbondi oksida di Indonesia. Dengan aturan main demikian, penting untuk warga desa mendata luasan hutannya. Karena, “Kalau tak berkurang hutannya, itu bahkan bisa menghasilkan atau diuangkan,” kata Yanti Mualim, pakar lingkungan Radio Netherland Wereldomroep. Betapapun per dagangan karbon masih jadi polemik, tapi upaya ini menjadi pengail kuat agar warga enggan menebangi hutan secara liar. Kiprah Semoyo melek dengan potensi hu tannya berawal pada 18 Agustus 2007. Su harto, yang kala itu jadi bupati Gunung Ki dul, mengajak warga menjadikan desanya sebagai desa kawasan konservasi. Ide uta manya adalah melestarikan alam. Jerih payah Semoyo melestarikan hutan nya memancing perhatian Curtiz Petzoldt, Ph.D, pakar hama Cornell University, Ame rika Serikat. Awal tahun ini, ia mengunjungi Semoyo, yang ia bayangkan kelak dapat menjadi laboratorium tanaman pangan dan kehutanan. Untuk itu, setelah menyusuri ja lanan setapak hutan Semoyo, ia berjanji ba kal kembali lagi dan mendalami kajiannya agar laboratorium itu jadi nyata. Semoyo juga mendorong warga untuk memanfaatkan potensi ekonomi tanpa me rusak lingkungan. Inventarisasi pohon, pa da 26 Mei 2010 lalu, adalah satu langkah nyata Desa Semoyo, Patuk, Gunung Kidul, menjadikan wilayahnya sebagai penyeim bang alam. Hingga minggu ke dua Mei ini, hutan di Desa Semoyo mampu menyerap “per hektarnya, 30 ton karbondioksida,” tu tur Suratimin, Ketua Sarikat Petani Pemba
Uci (kanan) sedang memandu acara Radio Perempuan Gunungkidul.
Radekka FM: Radionya Warga
U
ci gugup. Sore ini pertama ka li ia siaran di program “Perem puan Gunungkidul”. Apalagi di dalam studio, sudah hadir Purwanti dan Puji Astuti, dua perempuan dari Jaringan Kelompok Perempuan Gu nungkidul (JKPGK). Tapi untung saja, penyiar Radekka FM itu tidak keterusan kagok. Setelah Purwanti dan Puji buka suara, obrolan yang diumumkan langsung dari Du sun Salak, Desa Semoyo, Patuk, Gu nungkidul itu mendadak cair. Mereka berdua adalah narasumber yang seka ligus penggagas program radio “Pe rempuan Gungkidul”. Para pendengar sekitaran Semoyo yang sengaja me mutar frekuensi radionya di 107.7 FM
sejak jam 3 siang, itu akhirnya dapat mendengar siaran dengan lancar. Sabtu itu, 5 September 2009, keti ka “Perempuan Gunungkidul” perta ma kalinya mengudara, Purwanti dan Puji memaparkan keberadaan JKPGK. Baru setelah itu mereka menuturkan beberapa kegiatan yang telah dilaksa nakan lewat Radekka FM. Radio komunitas yang terletak di sela-sela Bukit Patuk ini pertama kali siar pada 17 Maret 2008. Saat itu, Uci belum menjadi salah satu penyiarnya. Baru setelah beberapa tahun berja lan, Radekka FM mulai dilirik oleh pe muda-pemudi sekitaran Desa Semo yo. Sehingga Suratimin, penyiar per tama Radekka FM, sudah tidak kese
Suratimin, Ketua Sarikat Petani Pembaharuan Gunung Kidul
Hutan Semoyo menyerap 30 ton karbondioksida per hektar. Tiap serapan 1 ton karbondioksida dihargai US$ 5 hingga 8. Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
pian lagi. Radekka merupakan salah satu radio jaringan JKPGK. Alasan ini lah yang menyebabkan mereka ber kesempatan menyiarkan program per dana itu. Tetapi dari awal, Radekka FM hen dak menegaskan profilnya sebagai radio berbasis warga yang berwawas an hutan lahan konservasi. Cita-cita tersebut ditegaskan oleh Radekka melalui aneka siarannya. Salah satu, misalnya, adalah siaran pada Minggu malam, minggu ketiga di bulan Agus tus 2009 lalu, tepatnya tanggal 16. Malam itu, ketika siaran dimulai jam 7 malam, Radekka langsung berkam panye tentang pelestarian alam de ngan menggotong tema “Melestari kan Sumber Air dengan biopori”. “Sebuah program yang mencoba mengharmoniskan alam dengan kehi dupan kita sehari-hari,” kata sang pe nyiar di sela-sela on air-nya malam itu. Dalam proses biopori, tidak hanya membuat lubang untuk sumur resap an, terutama bila hujan tiba bertubitubi, tetapi paling tidak sekaligus ada proses “komposisasi. Istilahnya pro ses pembuatan pupuk komposlah be gitu,” jelas sang penyiar perihal biopo ri. Artinya, penyiar mengajak membu at biopori. Selain untuk menolak ban jir dan tanah longsor, juga guna meng hasilkan kompos untuk memupuk ta naman. Khairul Anam
haruan Gunung Kidul, Jumat (13/5). Setiap 1 ton karbondioksida yang diserap, bisa di hargai antara US$ 5-8. Tapi bukan berarti warga Semoyo hidup hanya untuk menunggui hutan. Hutannya masih dapat diberdayakan. Warga yang di sekitaran rumahnya menjadi pekarangan sekaligus hutan tersebut, dianjurkan mene bang pohon-pohon bengkok, yang tak pu nya kesempatan tumbuh tinggi. Selain digu nakan sebagai rencek (kayu bakar) juga jadi bahan baku arang. Dengan begitu, Semoyo mampu beri bukti jika melestarikan alam, membatasi tebang pohon, misalnya, tidak selalu membunuh penghidupan warga. 15
R
adio Salah satu kesibukan di studio Radio Komunitas Kanal Besuki Timur, Desa Basuki, Kecamatan Jabon.
yovinus guntur vhr media
Siar dari Balik Tanggul Media arus utama sudah jenuh dengan kisah lumpur Lapindo. Warga turun tangan memberitakan dirinya sendiri. Ahmad Novik
H
ingga sepekan menjelang 29 Mei 2011, lumpur Lapin do sudah mengusir 14.000 KK (kepala keluarga), atau lebih dari 50.000 jiwa, merendam 33 gedung sekolah, 3 pesantren, dan membuat ribuan warga yang berada di sekitar tanggul hidup payah. Bukan malah mengganti rugi, perusahaan justru menggunakan beraneka cara untuk bisa mengamankan keberada annya. Lapindo Brantas—anak perusa haan keluarga Bakrie—secara telak mengalahkan derita sekian puluh ri bu warga, memainkan perangkat hu kum, serta menguasai opini media massa. Memang, warga yang masih melawan dengan cara-cara mereka, sempat beberapa kali dimunculkan media. Biarpun tetap mengalami ke kalahan. Pada banyak kesempatan, pembe ritaan tentang lumpur Lapindo men 16
Radio komunitas berfungsi agar korban lumpur Lapindo memperoleh informasi tentang hak-haknya. combine.or.id
Studio Radio Suara Porong Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
jadi semacam ritual bagi pekerja me dia. Berita tentangnya menjadi salah satu bumbu pemanis bagi menu-me nu utama, misalnya Hari HAM, Hari Lingkungan Hidup, Hari Bumi, Prok lamasi, dan lainnya. “Seperti biasa, menjelang 29 Mei pemberitaan ten tang lumpur Lapindo cenderung me ningkat frekuensinya,” kata Anton Novenanto, Dosen Sosiologi Univer sitas Brawijaya, Malang. Ketertarikan media akan perkara lumpur Lapindo lebih digunakan se bagai alat untuk memperkuat dalih media tentang soal-soal yang lain. “Fakta adalah suci, tafsir adalah ha lal,” ungkap pria yang pernah mela kukan penelitian tentang media ini. Fakta tentang perkara lumpur Lapin do nyata terjadi. Namun tafsir ma sing-masing pekerja media terhadap perkara lumpur Lapindo tidak bisa dipantau, bahkan terkadang oleh pe milik media itu sendiri. Yang dibu tuhkan saat ini sebenarnya adalah sebuah strategi advokasi-informasi warga ketika berhadapan dengan sebuah bencana teknologi. “Ketidak adaan strategi inilah yang membuat media cenderung memberitakan ka sus Lapindo sebagai berita yang da tar-datar saja, tanpa agenda politik yang terselubung secara jangka pan jang,” lanjut Anton. Kenyataan tersebut membuat se bagian warga bergerak membangun media sendiri untuk mengimbangi media massa yang kurang membe ritakan keadaan korban lumpur La pindo. Sebutlah contohnya Radio Ko munitas Suara Porong. Radio yang berdiri sejak 2007 ini sampai seka rang masih menggelorakan isu-isu yang terjadi di kalangan korban ser ta yang tinggal di sekitar semburan lumpur. Meskipun mengalami keterbatas an alat dan jangkauan siar hanya 2 kilometer, Radio Suara Porong tidak letih bersuara perihal keadaan yang terjadi di masyarakat. Radio yang ki ni mengontrak rumah di Jalan SMU 1
Porong sebagai studionya itu, juga ba nyak menemui rintangan mulai dari keuangan (rekening listrik, telepon, internet) sampai masalah kerusakan alat yang meminta radio ini kerap ga gal mengudara. Ada seorang ibu rumah tangga yang bergiat di Radio Komunitas Su ara Porong. Keinginannya cuma satu: agar warga yang menjadi korban dan warga yang tinggal disekitar tanggul penahan lumpur memperoleh infor masi tentang hak–haknya. “Hanya un tuk memberikan informasi ke warga. Agar warga tahu apa yang terjadi pa da diri dan sekitarnya,“ ujar Kamina, ibu dua anak ini. Bersama 5 pemuda sesama korban lumpur Lapindo, ia mengelola Radio Suara Porong yang berada di sebelah barat tanggul lum pur. Disebelah timur tanggul, juga ada Radio Komunitas Kanal Besuki Ti mur (KBT)—kedua radio itu berjeja ringan. Radio ini baru berdiri pada 2009, tetapi juga tiada mengenal jeda menyuarakan soal-soal terkait kor ban lumpur Lapindo. Radio yang ber ada di Desa Besuki—satu desa yang tidak diakui sebagai desa terdampak lumpur Lapindo—Kecamatan Jabon ini, juga bisa membangun dan men dampingi warganya. Mereka meng ajak warga agar menuntut hak semi sal layanan kesehatan dengan meng adakan berbagai diskusi. Lewat dis kusi-diskusi kesehatan tersebut, war ga dapat membicarakan Undang-Un dang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), khususnya informasi layan an kesehatan yang sudah diprogam kan pemerintah. Dengan demikian, warga menger ti bahwa jika ada warga yang sakit, mereka dapat memanfaatkan layan an kesehatan yang telah diprogam kan pemerintah. Walaupun untuk se mentara KBT baru dapat mengudara 5 jam per hari (19.00–23.00 WIB), “Dengan adanya KBT, banyak warga mulai mengerti soal pentingnya in formasi,” kata Abdul Rokhim, Direk tur KBT FM. Ahmad Novik bergiat di suara komunitas.net dan korbanlumpur.info
29 Mei: Cerita belum Tamat 29 Mei 2006 Lumpur gas pertama kali menyembur dari dekat Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo.
29 Mei 2007 Anggota DPRD Jatim Muhammad Mirdasy menggelongsorkan Bernafas dalam Lumpur. Buku ini hadir didorong oleh rasa gelisah tidak becusnya penanganan lumpur Lapindo.
29 Mei 2009 Lentera di Atas Bukit membabarkan karya seni bertajuk “Perjalanan Surat untuk Bulan ke Panggung Politik”. Blog gerakan sosial in i mencoba membuka memori lumpur Lapindo lewat sentuhan seni rupa dipadukan dengan beberapa surat anak-anak korban Lapindo ke calon presiden RI.
29 Mei 2008 Trisnadi Maridjan, juru foto Kantor Berita Associated Press memajang 40 bidikannya dengan tajuk “Dua Tahun Penderitaan Lumpur Panas”, 31 Mei-6 Juni 2008 di Malang. Menyegarkan ingatan 2 tahun semburan lumpur.
29 Mei 2010 Delapan korban meluncurkan kisah mereka usai empat tahun berkubang lumpur. Berjudul 29 Cerita Menentang Bungkam, buku ini mengumpulkan serpihan ingatan agar cerita tak kandas.
29 Mei 2011 Sepuluh anak-anak korban lumpur Lapindo memamerkan 45 foto karya mereka dalam acara “Berbingkai Lumpur” di Universitas Kristen Petra Surabaya. Jepretan-jepretan itu merupakan kisah harian mereka. TEKS: khairul anam FOto: istimewa, lenteradiatasbukit.blogspot.com
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
17
V
ideo
Ketika Warga Menonton Warga dari Layar Film komunitas semakin digemari. Sebuah upaya untuk menghadirkan cerita kampung dari layar tancap. Khairul Anam
F
ian cemas. Sudah sejak jam 4 sore hujan tak kunjung reda. Tiga puluh menit menjelang 19.30 WIB, Jumat (6/5), ke tika jadwal film Danau di Tengah Kampung harus diputar di balai kam pung, hujan justru kian deras. Seje nak menelisik ke pintu air yang tak jauh dari rumahnya, debit sungai su dah nyaris melampaui ambang wa jar. Padahal jika hujan deras mendera Surakarta, kampungnya, Joyontakan, pasti kebanjiran. “Acaranya batal, di sini (Joyonta kan-red.) malah kebanjiran lagi,” ka ta Fian, koordinator pemutaran film, melalui pesan singkat telepon geng gam. Sejatinya film yang mengisah kan tentang kampung Joyontakan, Serengan, Surakarta, yang jadi lang ganan banjir tersebut bakal ditonton ramai-ramai dengan layar besar oleh warga sekampung. Film itu merupakan garapan war ga kampung. Mereka merasa gerah
dengan ulah banjir—kiriman atau karena hujan deras—yang terus me reka akrabi. Film ini adalah sebagian dari beberapa film komunitas dalam acara “Tamasya Layar Tancap”, salah satu rangkaian kegiatan Festival Film Solo, 4-7 Mei 2011. Semua film komu nitas serempak diputar pada pukul 19.30 WIB, di lokasi yang berbeda. Berkebalikan dengan nasib warga Joyontakan, jerih payah warga kam pung Gulon, Plesungan, Gondangre jo, Karanganyar, yang telah membu at film Kerukunan di Pinggir Karang anyar, dapat dinikmati pada hari itu (6/5) juga, walaupun harus diundur sampai satu jam dari jadwal. Awalnya ini adalah film kebetulan. Kebetulan beberapa waktu lalu terjadi kekeras an di Temanggung yang berbau sara (suku, agama, ras). Beranjak dari pe ristiwa tersebut, Hariyanto dan ka wan-kawannya bermaksud menon jolkan kerukunan di Gulon. “Kebersamaan di kampung sini (Gulon-red.) amat kuat. Ada tiga ma cam agama: Islam, Kristen, dan yang
Adegan film Sisi Kehidupan Pengrajin Sangkar Burung.
18
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
foto-foto: khairul anam kombinasi
satu lagi agama adat tinggalan nenek moyang. Semuanya masih berjalan. Mungkin gesekan kecil itu ada, tetapi dalam hal agamamu apa, agamaku apa, sudah bisa menjaga masing-ma sing,” tutur Hariyanto, yang menjadi koordinator pembuatan dan pemu taran film ini. Kebetulan lagi ada seorang teman yang pandai berkamera video sering berkunjung ke kampung Gulon. Hari yanto, 31 tahun, dan lima temannya merayu sang teman: ia dan kawankawan menulis cerita, si pandai ka mera mengambil gambarnya. Butuh dua minggu merampungkan film itu. “Walau nanti saat diputar ada yang mengolok-olok, kita tetap berbesar hati,” kata Hariyanto lagi. Tapi ketika hujan yang sejak sore mereda, dan layar besar ditancapkan di tanah la pang pojok kampung yang sudah be cek, tak kurang dari 30 warga men dekati layar. Pukul 20.30 film diputar. Hariyanto dan kawan-kawan lega. “Tamasya Layar Tancap” merupa kan bagian dari Festival Film Solo. “Se
Warga menonton film di Kelurahan Jagalan. "Tamasya Layar Tancap" yang merupakan bagian dari Festival FIlm Solo ini hampir sepenuhnya berasal dari kreasi masyarakat setempat.
lama 1,5 bulan kami memfasilitasi ma syarakat Joyontakan membuat film,” tutur Dermawan Bakri, koordinator “Tamasya Layar Tancap”. Pelatihan terdiri dari pengemasan ide, ambil gambar, penyuntingan, sampai siap putar. “Dua hari sebelum acara, se mua film baru terkumpul.” Film lainnya datang dari Kelurah an Jagalan. Setelah dua puluhan ta hun hidup di Kelurahan Jagalan, Ang goro masih belum paham asal-usul kelurahannya. Ia dan kawan-kawan, hendak mencoba mengurai kebutaan tentang muasal kelurahannya lewat film. “Tidak ada jeleknya kita tahu sejarah Jagalan,” kata Anggoro. Lang kah pertama, beberapa budayawan Solo mereka hampiri. Para tetua ke lurahan juga ditanyai. Dirasa kurang dalam, beberapa buku dan tulisantulisan yang memuat tentang keber adaan Jagalan mulai dibacai. Setelah film selesai dibikin dan si ap putar, tidak sampai puluhan war ga yang hadir. “Kami lebih fokus pa da pembuatan dan pemutaran. Publi kasinya agak kurang,” sesal Anggoro,
Selama 1,5 bulan kami memfasilitasi masyarakat Joyontakan membuat film. Pelatihan terdiri dari pengemasan ide, ambil gambar, penyuntingan, sampai siap putar. Dermawan Bakri Koordinator "Tamasya Layar Tancap"
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
Ketua Karang Taruna Jagalan. Tapi, pemutaran ini yang perdana. Renca nanya, Sejarah dan Perkembangan Ja galan, bakal tayang pada kesempat an-kesempatan berikutnya, semisal acara karang taruna. Diharapkan, se lepas menonton film ini, warga sadar akan muasal wilayahnya, dan poten si kerupuk rambak serta abonnya. Sebab, tanpa ada penjagal sapi, Ke lurahan Jagalan tidak pernah ada. Film yang menarik perhatian lagi datang dari Mojosongo. Belum ba nyak orang luar Mojosongo menge tahui kalau wilayah itu merupakan pusat kerajinan sangkar burung bam bu. Agung, mahasiswa Pertelevisian Institut Seni Indonesia (ISI) Surakar ta, juga seorang penjaga kos di bilang an Mojosongo, Jebres, Surakarta, me nyadari bahwa potensi itu perlu di sebarkan. Awal April lalu, ia membu ka obrolan dengan salah satu peng rajin. Gayung bersambut. Para peng rajin bersemangat untuk memfilm kan keseharian merakit sangkar bu rung bambu mereka. “Berapa sewa kamera dan beli ka setnya?” Tanya seorang pengrajin ke pada Agung ketika itu. “Sewa kamera biasanya per hari Rp 200 ribu kurang lebih, kalau beli 1 kaset tidak lebih dari Rp 20 ribu,” jawab Agung enteng. Seorang pria paruh baya memo tong bambu bulat dengan gergaji ta ngan. Usai dipecah-pecah kecil, bam bu disandarkan ke dinding samping rumah. Lima detik selanjutnya, dua pemuda terlihat repot menaikkan be berapa sangkar burung siap edar ke mobil bak terbuka warna hitam. Lalu Murwanto bilang: “Dulu tahun 1977 saya belajar (bikin sangkar) di Pur wodiningratan. Lalu tahun 1984 saya pindah ke Mojosongo.” Begitulah dia log dalam sepenggal adegan film Pa guyuban Karya Manunggal yang ber judul Sisi Kehidupan Pengrajin Sang kar Burung. 19
P
ortal
Bengawan Solo: Riwayatmu Kini bengawan.org
Mulanya cuma sekumpulan bloger iseng. Perlahan jadi duta pembangunan kota. Khairul Anam
Penampilan Solo Batik Carnival II di ajang SOLO (Sharing online lan offline).
B
ola mata Hassan bergulir tu run-naik. Ia harus lekas me meriksa foto-foto di kompu ter sore itu. Seorang teman tengah menunggu email darinya. Si teman minta dikirimi beberapa doku mentasi kegiatan Komunitas Blogger Bengawan beberapa waktu lalu.
Sore itu, Rabu minggu terakhir Ap ril lalu, hanya ada Hassan dan dua orang lainnya di Jalan Apel III No. 27, Jajar, Surakarta. Rumah ini dipakai markas besar Komunitas Blogger Be ngawan. Kalau ada diskusi atau pela tihan, pun temu anggota komunitas, barulah rumah itu ramah penghuni.
Dari Sabang sampai Merauke Berjajar “Bloger-bloger”
D
engan berhimpun dalam komu nitas, seorang bloger yang men cintai daerahnya memiliki harap an bahwa isu lokal akan lebih terangkat karena dukungan teman-teman. Demiki an tutur Antyo Rentjoko, salah satu pen diri dagdigdug.com—layanan blog ber basis web 2.0 yang memungkinkan pe milik dan pengunjung blog saling berba gi—lewat email pribadinya, Senin (2/5). Keberadaan komunitas mampu menya darkan bahwa dirinya (bloger) tidak ber jalan sendirian.
20
Pada tanggal 4 April 2009. Beberapa orang yang menaruh minat terhadap blog sepakat untuk membuat perahu. Perahu tersebut dinamai Arumbai. Arum bai merupakan perahu tradisional yang haluannya berkepala naga dan buritan nya berekor naga. Arumbai “kerap digunakan untuk mencari ikan atau berperang,” tulis pa sawari (tentang kami) pada halaman arumbai.org. Dengan Arumbai, segenap anggota merintis berbagai kegiatan un tuk mengangkat Maluku.
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
“Awalnya adalah komunitas blo ger yang punya keterikatan dan ter tarik pada Kota Surakarta,” kata Has san, Ketua Bengawan. Awalnya Be ngawan adalah Komunitas Blogger Solo (Blogos) yang sudah ada sejak 2008. Akhir tahun yang sama, Blogos berganti nama. Dengan begitu, para bloger dari Solo (secara administra si: Kota Surakarta) dan sekitaran bi sa terwadahi. Penghilangan kata “Solo” juga di rasa lebih nyaman, apalagi jika meng ingat bahwa bakal komunitas ini ber awal dari Kentingan, Universitas Se belas Maret Surakarta (UNS). Betapa pun tunas Bengawan sudah bersemi sejak tahun 2008, baru pada Februari 2009 komunitas ini diluncurkan ke khalayak di loji gandrung, rumah di nas Walikota Surakarta yang secara sengaja mengundang mereka. Belakangan, Bengawan mulai ter buka terhadap siapa dan dari mana serta mau apa, asalkan memiliki blog sendiri. “Saya aslinya anggota Komu nitas Blogger Surabaya ‘tugupahla wan.com’. Lalu diajak juga ke Benga wan, karena kenal sama teman-teman Bengawan,” aku Luqman Kumara pa da Sabtu (2/5) lewat milis Bengawan. Di kawasan bekas Terminal Pelita— yang dibakar ketika konflik sosial Am bon beberapa lampau—Arumbai de ngan Internet Sehat (internetsehat.org), memutar Linamas(s)a pada Jumat ma lam, 8 April 2011. Sebuah film tentang gerakan sosial dijital itu. Selepas pemu taran, diskusi tentang bagaimana me manfaatkan internet secara sehat pun ti dak dapat dielakkan. Seperti Ambon, di Makassar diskusi merupakan bagian penting tradisi ma syarakat. Di abad ke-15, La Pagala Ne nek Mallomo, seorang cendikiawan Bu gis nonistana, memulai tradisi tudang si pulung. Kebiasaan duduk bersama men cari kesepakatan, demi meningkatkan produktivitas pertanian.
Oleh sekelompok orang muda yang telah terjangkiti teknologi modern, tu dang sipulung diperluas menjadi sema ngat diskusi warga Makassar dengan te ma apapun. Tiap sebulan sekali, Komu nitas Blogger Makassar, Angingmammi ri.org, yang secara resmi berdiri sejak 22 November 2009, menggelar tudang sipulung. Pada April lalu, mereka mengusung tema “Belajar dari Jepang” ketika nege ri sakura itu dirundung gempa dan su nami dahsyat. “Tapi, tahukah teman-te man kalau Jepang masih tetap tegar?” Demikian potongan pengantar undang an tudang sipulung yang menghadirkan Yamaghuci Kazuo, pekerja Jepang di Makassar. Khairul Anam
tu kelompok disuguhi pelatihan: di fabel, tunadaksa, dan ibu-ibu pegiat usaha kecil menengah (UKM). Khu sus untuk yang terakhir, mereka dibe ri pengalaman agar dapat menjalan kan komputer dan internet demi ke perluan pemasaran. Tapi Bengawan punya satu utang. Mereka telah berjanji hendak meng upayakan perpustakaan gratis dan mudah. Gerakan itu diberi tajuk “Solo Sinau” alias “Solo Belajar”. Tahap per tama, Bengawan menargetkan sebu ah perpustakaan untuk masyarakat
Kampung Sewu, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Target yang rencana nya bakal jadi pada 2009 lalu hingga kini belum rampung. Cita-cita Bengawan yang hendak mendorong kemunculan perpusta kaan-perpustakaan komunitas atau warga, tidak hanya dalam lingkup ad ministratif Kota Surakarta, tapi bisa menjangkau eks-Karesidenan Sura karta, harus tersendat lantaran do natur bacaan masih belum munculmuncul. Tumpukan bacaan itu masih kandas di markas Bengawan.
Komunitas “Bloger” Daerah
1. Aceh (acehblogger.org) 2. Bali (baliblogger.org) 3. Bandung (batagor.net) 4. Bandung (bbv.or.id) 5. Banjarbaru (banjarbarucommunity. blogspot.com) 6. Banten (bloggerbanten.co.cc) 7. Batam (batamblogger.com) 8. Bekasi (bloggerbekasi.com) 9. Bogor (blogor.org) 10. Cirebon (blogcirebon.blogspot.com) 11. Depok (deblogger.org) 12. Garut (bloggergarut.or.id) 13. Gorontalo (tumbilotohe.wordpress.com) 14. Jakarta (b-h-i.blogspot.com) 15. Jakarta (kopdarjakarta.wordpress.com) 16. Jogjakarta (angkringan.or.id) 17. Jogjakarta (cahandong.org) 18. Kab. Kuantan Singingi Riau (komunitaskuansing.blogspot.com) 19. Kalimantan Barat (borneoblogger.com) 20. Kalimantan Selatan (kayuhbaimbai.com)
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
21. Kalimantan Timur (kal-tim.blogspot.com) 22. Kalimantan Timur (mahakam. wordpress.com) 23. Ketapang Kalimantan Barat (www.kayongblogger.com) 24. Lampung (www.seruit.com) 25. Makassar (angingmammiri.org) 26. Malang (bloggerngalam.com) 27. Mojokerto (blogger.mojokerto.org) 28. Ngawi (kotangawi.com) 29. Padang (palanta.org) 30. Palembang (wongkito.net) 31. Palu (www.nosarara.org) 32. Ponorogo (www.kotareyog.com) 33. Semarang (loenpia.net) 34. Serang (serangphotoblog.blogspot.com) 35. Solo (bengawan.org) 36. Sorowako (dengen.mysorowako.com) 37. Sumatera Utara (bloggersumut.net) 38. Surabaya (tugupahlawan.com) 39. Tangerang (blogerbenteng.com) 40. Wonogiri (wongwonogiri.co.cc)
data: ayongeblog.com ilustrasi: kikymayang.blogspot.com
Semenjak bergabung dengan Benga wan, Luqman bisa lebih leluasa ber bagi ilmu perihal blog. Milis Bengawan telah menulis ada 700-an anggota di komunitas. Dari kesemuanya itu, memang tidak 100 persen aktif. Aktif dalam artian Has san adalah “aktif di milis dan kopi da rat.” Kopi darat seringya dilakukan di wedangan (warung kopi) seputaran Solo. Yang jadi favorit Bengawan ada lah Wedangan Klithik, persis di be lakang kompleks Stadion Manahan. “Ayo, kapan kita kopdar (kopi darat) lagi?” Tanya Luqman di milis Benga wan akhir pekan pertama Mei ini. “Membantu memperkenalkan So lo ke dunia. Pariwisata, promosi, dan pengembangan kota,” tutur Hassan mengenai tujuan Bengawan. Cita-ci ta itu dinyatakan dalam beberapa ke giatan. Juni tahun lalu misalnya, Be ngawan menggelar temu para bloger se-Indonesia yang mencakup kegiat an “Sharing on line dan off line (So lo)”, sampai putar-putar di jalanan untuk mengenalkan Solo pada para bloger dari luar kota. Bengawan juga sempat bekerjasama dengan Yayas an Air Putih, melatih 10 anak tuna netra agar mahir berinternet. Yang paling sering digelar adalah pelatihan, terutama terkait informa tika. Tiap minggu, paling sedikit sa
21
T
elevisi
“Merem-melek” Menonton Televisi Selain menebar kesesatan pada orang dewasa, tayangan televisi juga mengancam kejiwaan anak-anak. Saatnya membaca tontonan. Khairul Anam
kidia.org
B Guntarto, Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak
22
youtube.com
L
ita Marfiandi kaget. Anaknya yang baru berusia delapan ta hun, tiba-tiba melemparkan gelas dan piring sambil terta wa girang. Setelah ditanyai, ternyata sang anak sedang tidak dalam keada an bermasalah. Justru sang anak men jawab dengan enteng, “Kayak Joshua di TV.” “Yang dimaksud sang anak adalah ulah Joshua dalam sinteron ‘Anak Aja ib’,” jelas Agus Surono dan Sinta Tevi ningrum, dalam artikel “Bahaya Ton tonan Kekerasan pada Anak” di Inti sari edisi Juli 1999. Tapi itu tulisan beranjak dari peristiwa yang sudah lampau lebih dari satu dekade lalu. Masalahnya adalah sampai sekarang belum ada perkara, penyimpangan anak (seperti anak Lita) yang benarbenar mutlak tersebab tontonan di televisi. Penyelidikan dari kaum cer dik-pandai juga belum amat menyen tuh soal betapa tontonan televisi sa ngat berdampak: baik atau buruk. Al kisah, kini pemerintah, bahkan Ko misi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak bergigi menghadapi tontonan yang menyebalkan. Biarpun demikian, Roy tak pupus akal. Desember 2009 lalu, “Saya buat grup di Facebook. Dulu namanya Ma syarakat Anti Program Televisi Buruk
Dalam salah satu episode "Primitive Runaway", Lia Waoede dipaksa memakan sajian khas Masyarakat suku Sambori yang berada di Desa Lengge, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima.
(MAPTB),” ingat Roy Thaniago, Sabtu (28/5) lewat sambungan telepon. Ke isengan Roy itu alih-alih berlalu, jus tru ditanggap benar oleh teman-te mannya, dan mereka usul agar gerak an tersebut digarap lebih tekun. Tak sampai setahun kemudian, Redaktur karbonjournal.org dan majalah Bung! ini, bersama lima temannya mendi rikan Remotivi (remotivi.or.id)—re mot sebagai pengendali televisi. Satu tontonan yang sempat digun jing Remotivi kemudian adalah “Pri mitive Runaway” di Trans TV. Reali ty Show yang membalut acaranya le wat kisah tualang sepasang artis me nyusuri keseharian masyarakat adat itu, dicap Roy dalam artikelnya “Me reka Bukan Primitif!” sebagai sesua tu yang sesat. Roy bilang, “Memprimi tifkan suatu kelompok masyarakat adalah bentuk diskriminasi.” Selepas keberatan tersebut diumumkan Ko Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
ran Tempo pada 24 November 2010, beraneka dukungan menolak “Primi tive Runaway” kian gencar. Misalnya tweeps Ulil Abshar Abdallah di hari yang sama: “Tulisan Roy Thaniago di Koran Tempo hari ini… sangat baik.” Bermodal tulisan tersebut serta wacana yang bergulir kencang me nolak “Primitve Runaway”, Roy dan kawan-kawan di Remotivi mulai me maksa Trans TV untuk memikirkan ulang tayangannya. Dua bulan kemu dian, Remotivi didampingi oleh KPI berhasil bertatap muka dengan jajar an Trans TV. Hasilnya, Trans TV su di mengganti nama acaranya menja di “Ethnic Runaway”—sampai seka rang. “Selain itu (Primitive Runawayred.) kami belum melakukan pen dampingan lagi,” jelas Roy. Sementa ra ini, Remotivi sedang mengamati beberapa tontonan televisi yang ber aroma fakta-non berita semacam rea
lity show dan dokumenter. Selagi me nuntaskan misinya, Remotivi terus merangsang gejolak melek televisi, walaupun baru lewat web. Pernah Remotivi tak sendiri ber kiprah. Bahkan jauh sebelum adanya Remotivi, B. Guntarto dan kawan-ka wan telah mempelopori gejolak me lek televisi melalui Yayasan Pengem bangan Media Anak (YPMA). Mula nya, di tahun 2003, saat ahli literasi media KPI ini sedang aktif di Yaya san Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Guntarto dan kawan-kawan menggelar workshop selama dua ha ri di Hotel Peninsula, Jakarta. Sayang, forum itu belum berkeluar suara ba nyak. Baru setelah beberapa peserta forum seperti Nina Armando, Penga jar Ilmu Komunikasi Universitas In donesia Jakarta; Maria Andriana dari Lembaga Kantor Berita Nasional (LK BN) Antara; dan Ani Muhtar, seorang pengusaha, kerap bertatap muka dan membuka obrolan lebih tekun, seta hun kemudian mereka sepakat men dirikan YPMA. “Waktu itu juga didasari kepriha tinan terhadap media kita yang per kembangannya sudah sangat luar bi asa. Tapi regulasinya juga lemah,” je las Guntarto, Rabu (4/5) dengan na da miris lewat telepon. Lembaganya yang baru itu kemudian melakukan beberapa upaya di antaranya gerakan “Matikan TV Selama Sehari” pada 25 Juli 2010. Dan, jurus andalan YPMA adalah dengan menerbitkan majalah panduan: Kidia. Katanya lagi, “Kidia itu adalah semboyannya YPMA (Kri tis Terhadap Media-red.). Kami pakai nama itu untuk YPMA kalau konteks nya majalah.” Begitu juga dengan web YPMA yang beralamat di kidia.org. Telaah-telaah Kidia memandu pa ra orang tua tentang tayangan yang paling digemari anak-anak. “Mereka (anak-anak-red.) itu adalah khala yak yang berkebutuhan khusus. Jadi mereka perlu dilindungi,” tutur Nina Armando, yang sempat menjadi Pe mimpin Redaksi Kidia, Selasa (3/5) dengan nada meninggi di ujung ga gang telepon. Satu atau banyak ton tonan hasil penyelidikan kecil Kidia bisa saja diberi nilai “hijau”, “kuning”,
Kadar Acara TV untuk Anak dan Remaja Aman AnTV Curious George Land Before Time Star Kids Ya Iyalah Trans Surat Sahabat Trans7 Bocah Petualang Laptop Si Unyil Jalan Sesama Cita-Citaku Dunia Air Koki Cilik Kisah Anak Nusantara TV G Chalkzone Dora The Explorer Backyardigans Wonder Pets Hati-hati RCTI TPI AnTV IVM Trans7 TV G
Casper's Scare School Doraemon Casper Transformer Galaxy Force Digimon Savers Pokemon 7 Seri AG Bakegyamon Bakugan Battle Brawlers Power Rangers B-Damon Ben 10 Power Puff Girl Scooby Doo Legion of Superheros The Batman Spongebob Squarepants Avatar
bahkan “merah”—mengacu ke artian simbolik lampu lalu lintas. Peredar an Kidia mulanya dilakukan dari ta ngan ke tangan. Di bagian inilah, Ki dia mengail dana. “Ada yang Rp 5 ri bu, ada yang Rp 10 ribu,” kenang Gun tarto lagi. Penerbitan Kidia tak ayal menarik perhatian Elly Risman. Psikolog yang juga tenar sebagai pemerhati anak ini sering meminta bekal ratusan ti ras Kidia kepada Guntarto apabila ia ada undangan berbicara di seminar. “Pak, minta 200 (Kidia) dong!” Ujar Guntarto menirukan Elly. Saat semi nar itulah, Kidia dibagikan oleh Elly, Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati. Dengan cara begitu, peserta seminar sekaligus diajak menyumbang untuk menerbitkan Kidia pada nomor beri kutnya. Baru sejak 2006, saat badan untuk anak-anak PBB, UNICEF, terta rik menyokong gejolak yang dirang sang Kidia, penerbitannya perlahan teratur: dua sampai tiga bulan sekali. Tapi sayang, menjelang awal 2010, saat dorongan UNICEF sudah tidak kunjung mengucur, dan seminar-se minar Elly Risman kian tidak teratur, ditambah pula dengan saweran peng urus YPMA yang terulur-ulur, Kidia sempat “terbit dua kali di awal tahun 2010. Sampai sekarang tidak terbit lagi,” sesal Guntarto. Kidia, majalah panduan bagi tontonan anak yang kini sudah gulung tikar.
Bahaya RCTI TPI IVM Trans7 TV G
Crayon Shin-Chan Ronaldowati Babak 2 Dragon Ball Z Blue Dragon Naruto Shippuden Bleach 2 Tom & Jerry Cat Dog
DATA per 22 Agustus 2009 dari kidia.org kidia.org
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
23
P
ustaka
azwar anas
Buku Masuk Desa Kata pepatah, buku adalah jendela dunia. Dengan membaca sama saja kita membaca dunia. Azwar Anas
P
agi itu Harjo terlihat sibuk. Di kantornya, di Perpusta kaan Umum Kabupaten Ban tul, sekitar pukul 08.00 WIB. Ia tampak terburu-buru. Bahkan, se kadar meminum segelas teh yang su dah tersedia di meja kerjanya saja ti dak sempat. Dengan segera ia mera ih kunci mobil di laci meja kerjanya dan keluar tergesa melewati tangga lantai dua. “Kemarin (27/5), itu pas mau keli ling,” katanya, Senin (30/5). Biasanya, Ia mengunjungi desa-desa dari 75 de sa di Kabupaten Bantul dengan mem bawa sebuah mobil berisikan tiga ri bu eksemplar buku bacaan. Inilah pe kerjaan Harjo, lelaki yang punya na ma lengkap Harjono, sejak 2003 lalu. 24
Harjo adalah satu dari pustakawan Pemerintah Kabupaten Bantul yang bersedia keliling demi melayani ma syarakat yang gemar membaca. Ia pa da hari Senin hingga Kamis rutin me nyopiri sebuah kendaraan L-300 me nuju lokasi yang telah terjadwal un tuk dikunjungi. “Sebenarnya tak hanya di desa, na mun terkadang juga di masjid, seko lah, pondok pesantren dan lain seba gainya,” tambah Harjo merinci. Mela kukan keliling menurut Harjo adalah salah satu kiat untuk menanamkan budaya membaca kepada masyara kat. Khususnya masyarakat pedesa an. Pasalnya dengan membaca, ma syarakat dapat semakin kaya penge tahuannya. Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
Perpustakaan Umum Kabupaten Bantul bersinergi dengan dinas ter kait yang secara bersama-sama telah mencanangkan program peningkat an minat baca warga Kabupaten Ban tul. “Salah satunya melalui perpusta kaan keliling,” kata Harjo. Perpustaka an keliling merupakan perpustakaan yang menyediakan buku-buku baca an dengan sistem jemput bola. “Kare na itu kita optimalkan lokasi yang ja uh dari perkotaan,” jelas Harjo. Akan tetapi, rencana Harjo tak se mata berjalan mulus. Kurangnya bu ku-buku bacaan terkadang menjadi hambatan yang cukup penting. Har jo khawatir kalau-kalau masyarakat bosan dengan jenis buku yang itu-itu saja. Oleh karena itu, Harjo menya
Harjono bersiap melaksanakan tugasnya sebagai pustakawan keliling. Sejak 2003, ia biasa mengkoordinir sirkulasi buku perpustakaan ke 75 desa di Kabupaten Bantul.
Cara Melayani Warga Sementara di ruang yang berbeda dengan Harjo, Harry Respati tampak mengenakan baju safari. Meja kerja nya di bagian paling timur, di kantor Perpustakaan Umum Bantul. Nada bicaranya meninggi ketika menyoal minat baca masyarakat. Pagi itu, Se nin (30/5) ruang kerja perpustaka an Bantul mendadak kikuk akibat
Azwar Anas bergiat sebagai pewarta warga.
Tabel bantu turus layanan keliling dan blanko laporan harian perpustakaan keliling.
dokumen perpustakaan umum bantul
rankan Perpustakaan Umum Kabu paten Bantul untuk menambah ang garan guna pengadaan buku. “Sejauh ini kendalanya memang di jumlah buku, tapi ini sedang diusahakan. Se moga Pemerintah Bantul menyetujui anggaran itu,” harap Harjo. Selain itu, kondisi mobil yang mu lai aus terkadang juga menyulitkan. Tidak jarang mobil yang ia bawa, ti ba-tiba macet di tengah jalan. Terka dang sampai menginap di lokasi ga ra-gara kerusakan mesin yang cukup parah. “Kita pernah menginap di da erah Imogiri gara-gara mobilnya nga dat. Apalagi di sana daerahnya kan nanjak, mungkin agak berat juga ba waannya,” tuturnya mengenang.
obrolan ini. Katanya, ia ikut mengga wangi lahirnya konsep keliling yang ada di Perpustakaan Umum Bantul. “Ini kami lakukan memang semata untuk meningkatkan minat baca ma syarakat Bantul,” katanya. Harry, yang sekarang menjabat se bagai kepala tata usaha Perpustaka an Umum Kabupaten Bantul meng akui “kalau sekarang enak, sekitar 2003 lalu kita hanya punya satu mo bil. Dan kita musti harus woro-woro terlebih dahulu waktu masuk di de sa-desa. Sekarang sudah ada 7 mo bil yang beroperasi,” ujarnya. Harry menggarisbawahi, upaya meningkat kan minat baca itu tidak terlepas da ri peran masyarakat. “Perkembangan minat baca, memang harus dari ba wah,” tutur Harry. Ada dua macam layanan keliling yang diberikan Perpustakan Umum Kabupaten Bantul. Pertama, layanan paket. Yaitu layanan yang tugas sir
kulasi buku bacaan diserahkan sepe nuhnya oleh pamong desa setempat selama satu bulan. “Terserah mau di atur seperti apa. Layanan ini sebetul nya lebih efektif dan efisien,” tutur Harry. Kedua, layanan umum. Yaitu kunjungan langsung ke lokasi yang sudah terjadwal. Biasanya, Harjono yang bertugas mengkoordinir layan an keliling. “Selama kurang lebih em pat jam, kami stand by di sana me nunggui masyarakat untuk menda tangi mobil kami,” jelas Harjo. Perpustakaan keliling tidak mem bebani masyarakat. Tak perlu mem bayar untuk memiliki kartu anggota. Denda telat pengembalian pun tidak berupa uang, melainkan berbentuk sanksi tidak dapat meminjam buku dalam kurun satu minggu berikutnya. Hal ini bertujuan di samping untuk meringankan beban masyarakat, ju ga untuk melatih kesadaran agar bi sa saling menghargai dengan pemus taka yang lain.
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
25
C
etak
Sepintas Soal Meliput Konflik Berita tentang konflik masih sekadar menonjolkan pilu dan nestapa. Butuh liputan mendalam agar jurnalis dan medianya turut mengurai konflik. Bambang Muryanto
B
kuatan Qaddafi, saling ejek antara Qaddafi dengan sekutu, dan lain seba gainya. Foto-foto pendukungnya ada lah foto pertempuran bahkan juga foto anak-anak yang memegang sen jata tanpa ada uraian foto (caption) yang menegur bahwa melibatkan anak-anak dalam pertempuran ada lah pelanggaran hak anak. Media massa arus utama (main stream) dalam memberitakan konflik memang sering terjebak pada soal yang muncul di permukaan saja. Me ngapa? Berita macam ini layak jual karena mengobral cerita seru konflik
senjata dan foto-fotonya yang heboh. Bagi sang pemilik media, darah dan air mata masih menjadi mata dagang an ampuh untuk mendongkrak jum lah tiras. Tetapi bagi masyarakat, ini tidak banyak berguna. Padahal konflik di permukaan itu hanya puncak dari “gunung es”. Itu hanya akibat, sedangkan akar perso alan ada di “bawah” dan tak kelihat an. Dampaknya, corak pemberitaan seperti ini cenderung kian memper tajam konflik dan bukan menumpul inya. Indonesia mempunyai penga laman soal ini, ketika terjadi konflik sara (suku, agama, ras) di Ambon pasca reformasi 1998. Media setem pat di sana terbelah dan cenderung memihak kelompoknya sendiri. Aki batnya konflik menjadi kian dalam. Dalam memberitakan suatu kon flik, media massa harusnya melaku kan liputan mendalam guna mencari akar persoalannya. Apa yang jadi pe nyebab sehingga seseorang atau su atu kelompok tak dapat mencapai tujuannya bersama-sama secara da dani yuniarto
eberapa bulan lalu, konflik bersenjata pecah di Libya. Kelompok oposisi mencoba mengambil alih kekuasaan dari tangan Muammar Qaddafi. Salah satu anasir yang memicu munculnya konflik ini adalah gerakan warga yang berhasil menggulingkan Presi den Husni Mubarak di Mesir—nega ra tetangga Libya. Secara iseng, saya mencoba mem buka berita-berita soal konflik di Li bya yang dimuat di salah satu koran nasional di Indonesia. Sumber berita dari koran ini adalah kantor-kantor berita asing. Selama bulan Maret, sa ya menemukan bahwa pemberitaan koran nasional ini hanya berisi kon flik senjata antara kelompok oposisi melawan Qaddafi dan milisi pendu kungnya. Artinya sepanjang Maret, kantorkantor berita asing itu—yang menja di sumber berita (ada kemungkinan) —juga hanya fokus pada soal konflik senjata: kekuatan sekutu (pimpinan Prancis) yang menggempur pusat ke
26
Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
“Tumbal” Berita Konflik 16 Oktober 1975 Tiga Jurnalis Televisi Channel 7 Greg Shackleton (27), Tony Stewart (21), dan Gary Cunningham (27) serta dua jurnalis Televisi Channel 9 Britons Malcolm Rennie (28), dan Brian Peters (29) tewas di Kota Balibo, Timor Leste. Saat itu mereka sedang meliput konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Timor Leste yang baru saja bebas dari jajahan Portugal.
29 Desember 2003 Setelah disandera hingga 7 bulan (23 Juni 2003) oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Ersa Siregar (52), wartawan senior RCTI, tewas tertembak saat kontak senjata antara TNI dan GAM di Simpang Ulim, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Senin (29/12). Sebelumnya Ersa dan juru kamera RCTI Fery Santoro dilaporkan hilang di Kuala Langsa.
21 Agustus 2010 Hari Sabtu itu, ketika kelompok warga Desa Fiditan dengan kampung Banda Ely, Kota Tual, Maluku, sedang saling serang dengan tombak, parang, dan senjata tajam lainnya, Ridwan Salamun sengaja meliput peristiwa tersebut. Tapi nahas, ia malah kena bacok dan pukulan benda tumpul. Setelah dua jam tak datang pertolongan, kontributor televisi swasta Sun TV itu meregang nyawa. TEKS: khairul anam FOto: brisbanetimes.com, suaramerdeka.com, awaludin/okezone.com
mai? Inilah salah satu gaya dari jur nalisme peka konflik atau sering pula disebut sebagai jurnalisme damai. Seperti yang dikatakan Antonia Koop, seorang pelatih jurnalisme pe ka konflik dari Pecojon (Peace and Conflict Journalism Network), sang jurnalis harus melakukan penyeli dikan mendalam, memberikan latar belakang yang luas, mengenali siapa saja yang terlibat, bertujuan pada ke pentingan masyarakat (bukan pem besar politik), dan tunjukkan bagai mana dampak dari konflik itu (bia sanya kelompok yang paling parah terkena dampaknya adalah perempu an, anak-anak dan lanjut usia). Seluruh peliputan juga harus dija lankan sesuai dengan kode etik jur nalistik. Misalnya, tidak berpihak ke pada salah satu kelompok, tidak men jadi alat propaganda, tidak “menye tankan” kelompok yang melakukan
tindakan keji, tidak mengumbar “da rah dan air mata”, tepat, dan tentu sa ja menerapkan keselamatan jurnalis me (safety journalism) agar sang jur nalis tetap selamat dan dapat menga barkan berita dari wilayah konflik. Indonesia sebetulnya mempunyai berbagai karya peliputan soal konflik yang bagus. Salah satunya adalah tu lisan berjudul “The Lost Generation” karya Muhlis Suhaeri di koran Borneo Tribun, 10 hingga 18 Februari 2008. Tulisan investigasi yang menyabet penghargaan Muchtar Lubis Award ini mencoba mencari akar persoalan dari bentrokan warga yang terjadi di Kalimantan lebih dari 40 tahun lalu. Dari peliputan ini kita dapat menge tahui bahwa akar bentrokan antara suku Dayak dan bangsa Cina waktu itu adalah persoalan politik. “The Lost Generation” dapat men jadi sebuah bekal sejarah untuk me Kombinasi Edisi ke-38 Mei 2011
nyelesaikan konflik warga, andai ter jadi lagi. Selama ini tak ada penyele saian resmi atas konflik ini. Ini bisa menjadi “bom” waktu yang siap me ledak. Ada setitik picu (trigger), kon flik ini dapat membesar dengan ce pat. Tapi dengan membaca “The Lost Generation”, masyarakat yang ber konflik akan mengetahui akar perso alannya adalah anasir politik. Ross Howard, penulis buku Con flict Sensitive Journalism pernah me wanti-wanti, ”para jurnalis profesio nal tak dirancang untuk mengurangi konflik. Mereka coba menghadirkan berita yang akurat dan imparsial. Ta pi lewat reportase yang bagus, kon flik sering berkurang dengan sendi rinya.” Bambang Muryanto adalah mantan
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
27