Kombinasi Edisi 38

Page 1

Edisi ke-38 ď Ź Mei 2011

Jalinan Desa-Kota dalam Beragam Kesempatan Komunitas Siarkan Korban Lumpur Buku keliling di Bantul


ditorial dani yuniarto

E

S

atu miliar untuk satu desa. Du­it melimpah itu dige­lon­ tor­kan Gubernur Jawa Barat Ah­mad Heryawan, minggu ke­dua Mei ini. Digunakan untuk me­ rang­sang desa agar mandiri dan ber­ per­adab­an, dengan mendirikan Ba­ dan Usaha Milik Desa. Tahap awal, ba­ ru seratus desa yang ke­ba­gi­an. Upaya tersebut patut diteladani. Apalagi jika pro­sesnya nirpenyim­ pang­an: 1 miliar dari provinsi akan te­tap 1 miliar setelah sampai di desa. Geb­rak­an Jawa Barat bukan perdana ka­li di Indonesia. Beragam prog­ram pe­merintah telah lebih du­lu ber­ke­li­ aran dengan judul mem­ber­da­yakan ma­syarakat desa. Kita kerap dengar jar­gon “Memberdayakan Desa dengan Kearifan Lokal”. Yang pa­ling gres ada­ lah Program Nasional Pem­ber­dayaan Masyarakat (PNPM). Perlahan, desa kian dirasa perlu me­ningkatkan daya saing. Capnya se­ bagai pemasok tenaga kerja murah ke kota telah menimbulkan ke­jenuh­­ an. Mereka dianggap sebagai pen­cip­­ ta kawasan kumuh. Sam­pai ki­ni ma­ sih banyak war­ga desa menilai, la­ han-lahan yang dianggap sudah man­ dul pa­tut tak diacuhkan. Lahan yang se­be­nar­nya masih sempat di­su­bur­ kan kembali, itu, terlanjur tan­dus. Sajian utama Kombinasi edisi ke38 ini, coba menampilkan secara ju­ jur upaya desa memperbaiki hubung­ an dengan kota, atas dasar su­ka sama suka dan sa­ling meng­untungkan. Se­ perti sajian peng­an­tar Elanto Wi­jo­ yo­no, bahwa di­ko­tomi desa dan ko­ta

ha­rus cepat diusaikan. Ba­nyak ca­­ra yang dapat ditempuh, sa­lah sa­tu­nya ada­lah me­nye­dia­kan da­ta. De­ngan da­ta desa, mengelola sum­ber da­ya alam dan ma­nu­sia jadi mudah. Beragam fakta menegaskan, upa­ ya pemberdayaan desa yang sukses ialah yang beranjak da­ri kesadaran warganya. Di Desa Donore­jo, Purwo­ rejo, Kombinasi berhasil me­ne­mui To­tok Sugiharto, man­tan kontraktor lis­trik yang ban­ting setang jadi pe­ ternak etawa, su­pa­ya dapat berperan mem­bangun de­sa­nya. Tetapi, adakalanya desa mandiri ti­dak melulu harus meningkatkan ta­ raf eko­nomi—walau ekonomi tetap penting untuk menahan migrasi. Le­ bih dari itu, desa berguna sebagai pe­ nye­im­bang kota-kota kumal penuh po­lu­si. Kombinasi menyambangi De­ sa Se­mo­yo, Gunung Ki­dul, yang sejak 2007 dicanangkan se­bagai ka­wa­san konservasi. Hingga kini me­re­ka kon­ sisten menjaga alam­nya. Selain sajian utama tersebut, da­ tang kajian menarik dari Ahmad No­ vik. Ia mengemas perjalanan dua ra­ dio komunitas di sekitar lumpur La­ pin­do, yang terus berjuang me­nyu­a­ ra­kan korban lumpur. Satu langkah ke­cil menolak lupa dan menuntut hak atas tragedi yang be­lum usai. Azwar Anas merekam jejak Perpustakaan Ke­liling Bantul yang ber­usa­ha men­­ jangkau warga desa-desa, yang se­ ring­nya pelosok, dengan kebutuh­an ba­han bacaan. Dan masih banyak sa­ ji­an menarik menunggu un­tuk di­ba­ ca. Salam komunitas!  Redaksi Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

Pemimpin Redaksi Ade Tanesia Redaktur Pelaksana Khairul Anam Kontributor Bambang Muryanto, Elanto Wijoyono, Wilman D Lumangino, Azwar Anas, Ahmad Novik Tata Letak MS Lubis Sampul Muka Dani Yuniarto Sampul Belakang Ahmad Faisal Ismail Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: office@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

KOMBINASI diterbitkan oleh COMBINE Resource Institution (CRI) atas dukungan Ford Foundation. COMBINE Resource Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Komunitas menggali, mengolah, dan mengkomunikasikan informasi demi penguatan masyarakat sipil di Indonesia.


I

n f o s ek i l a s

SIDOARJO

Warga delapan desa menolak ren­ cana PT Lapindo Brantas mela­ku­ kan pengeboran dan pendalam­an sumur gas ba­ru di sekitar per­mu­ kiman me­re­ka. Sekitar 700 warga dari De­sa Kalidawir, Ba­ngun­sari, Pe­na­tar­se­wu, Pologun­ting, Sentul (Ke­camat­an Tanggulangin), Glaga­ ha­rum, Permisan, dan Plum­bon (Ke­ca­mat­an Porong) menyata­kan pe­nolakan ter­se­but dengan men­ da­tangi kan­tor Bupati Sidoarjo, Ra­bu (25/5). Warga khawatir jika pe­nge­boran tetap dilakukan, sem­ bur­an lumpur panas yang pernah ter­ja­di di sumur Banjarpanji 1 bi­ sa terulang lagi. Padahal, dam­pak semburan lumpur panas di Banjar­ pan­ji 1 tersebut belum tun­tas di­ta­ ngani. Dalam aksi ter­se­but, to­koh agama Sholahudin Wa­hid (Gus Sho­ CILACAP

Pelatihan Mengelola Informasi Buruh Migran

f muzammiel  jurnalismewarga.com

Mantan Tenaga Kerja Indonesia be­ serta keluarga, penggiat ra­dio ko­mu­ nitas, dan anggota Forum Warga Ci­ lacap dari beragam usia bel­ajar ber­ sama dalam sebuah pelatihan un­tuk menyiapkan sumberdaya pe­nge­lola informasi buruh migran. Ke­gi­at­an ini didukung oleh Yayasan Ti­fa, Pusat

Ahmad Novik  kanal news room

Gus Sholah Ikut Tolak Pengeboran Baru Lapindo

Warga demo tolak rencana pengeboran baru PT Lapindo Brantas.

lah) turut hadir guna mem­beri du­ kung­an. “Pemerintah da­e­rah harus me­me­nuhi apa yang warga ingin­ Tek­nologi Komunitas Mah­ne­tik, dan LAK­PESDAM NU Cila­cap. Pelatihan di­gelar selama 2 ha­ri (29-30 Mei 2010) bertempat di Sidareja, Cilacap. Pe­latihan ini di­ikuti 27 peserta dan di­pan­du oleh Yos­sy Suparyo, serta tim fasilitator da­ri Infest Yogyakarta. “Pe­la­tihan se­ru­pa akan diadakan di 14 titik di In­do­ne­sia. Cilacap me­ru­ pakan ti­tik pertama,” ungkap Yossy Su­par­yo, pe­ngem­bang portal http:// buruhmig­­ran.or.id.  Fathulloh Muzam­ miel/jurnalismewarga.com

Meulaboh

BeKA dan Forum Anak Mengadakan Pelatihan Konselor Sebanyak 30 orang siswa SLTP dan SLTA di Meulaboh, Aceh Barat meng­ ikuti pelatihan Hak Anak dan Pe­la­ Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

kan,” kata Gus Sho­lah dengan tegas di tengah-tengah aksi.  Kanal News

Room/korbanlumpur.info

tih­an Konselor Sebaya “Child Rights and Peer Counselor Train­ing” yang dilangsungkan oleh Balee Konse­ling Anak dan Forum Anak Aceh Ba­rat, 1415 Mei 2011. Kegiat­an ter­se­but di­lak­ sa­na­kan di Balai De­sa La­ngung, Keca­ mat­an Meureubo, Ka­bu­pa­ten Aceh Ba­rat. Pelatihan ini ter­lak­sa­na ber­ kat ker­ja­sama Balee Konseling Anak (BeKA) dengan Forum Anak Aceh Ba­ rat yang didukung oleh World Vision Indonesia, KKSP (Yayasan Pendidik­ an dan Informasi Hak Anak), Kantor Pemberdayaan Perempuan Aceh Ba­ rat, Camat Meurebo, dan beberapa pi­ hak lainnya. Nasriati, perwakilan da­ ri Forum Anak dan BeKA meng­ha­rap­ kan “dengan adanya Child Rights and Peer Counselor Training, se­mo­ga saja para peserta yang sudah ikut dalam pelatihan ini dapat terus me­ngem­ bang­kan ilmu yang telah didapat, ba­


I

n f o Sek i l a s

ik pengetahuan hak anak maupun pe­nge­ta­huan tentang konseling bisa diterapkannya di lingkungan tempat tinggal masing-masing, juga bi­sa me­ ngembangkan kemampuan ber­kon­ se­ling untuk memecahkan ma­sa­lahma­salah teman sebayanya.”  Rafian­

kat Bajo diputar di kesempatan yang sama. Beberapa di antaranya ada­lah film Jaringan Radio Komunitas Sula­ we­si Tenggara (JRK Sultra), Bu­latin Ba­jo Bangit, serta Kesehatan Repro­ duk­si Masyarakat Bajo Pulau Sa­pon­ da.  Ibe/suarakomunitas.net

ACEH BARAT

Kunjungan Kerja Ketua JRK Jateng ke Pekalongan

syah/suarakomunitas.net

Simulasi Bencana di Aceh Barat Dua Kelompok Masyarakat Penang­ gu­langan Bencana (KMPB ), KMPB Ta­ runa Siaga Desa Peuribu dan KM­PB Lumba-Lumba Siaga Desa Seu­neu­bok Lhong, Kecamatan Arongan Lam­ba­ lek, gelar simulasi bencana ber­sa­ma, Selasa (24/5) di Pantai Suak Geu­du­ bang, Kecamatan Samatiga, Ka­bu­pa­ ten Aceh Barat. Kegiatan yang di­da­ nai oleh IBU Foundation ini diikuti le­ bih 200 orang partisipan, dari unsur ke­ca­matan hingga desa. Beberapa ke­ giatan yang dilakukan tim KMPB ga­ bung­an adalah evakuasi ke wilayah aman; penyelamatan korban yang ter­timpa reruntuhan bangunan dan yang terbawa arus air laut tsu­na­mi; pen­da­taan kebutuhan masyarakat di pe­ngung­sian; dan penataan lokasi pe­ ngung­si­an yang sesuai standar.  Wa­

PEKALONGAN

Sebagai tindak lanjut proses per­ ijinan, Jaringan Radio Komunitas Ja­ wa Tengah mengadakan pertemuan di Radio Komunitas Senada, Kebulen, Pekalongan. Acara ini dihadiri lang­

sung oleh ketua Jaringan Radio Ko­ mu­nitas Jawa Tengah, Renaldi, SP. Se­ ca­ra panjang lebar Renaldi men­jelas­ kan bagaimana proses dan tata ca­ra perijinan. Dari sebagian radio ko­mu­ ni­tas yang hadir, banyak yang be­lum tahu tentang peran dan apa sebenar­ nya radio komunitas. Renaldi lebih lan­jut menjelaskan, kalau ingin ber­si­ ar­an, radio komunitas ha­rus me­leng­ kapi berkas perijinan yang di­sya­rat­ kan Komisi Penyiaran In­do­ne­sia Da­e­ rah (KPID). Proses ini memang tidak cepat. Dalam kesempatan ini juga di­ adakan pendataan radio komunitas yang ada. Acara dimulai pukul 14.00 dan diakhiri pukul 16.00 WIB, yang di­hadiri oleh 15 radio komunitas ba­

hab/suarakomunitas.net

KONAWE

Pemutaran Beasiswa Ala Bajo Setelah lolos menjadi film terbaik rekomendasi Juri dalam Festival Film Dokumenter (Eagle Award), Beasis­ wa Ala Bajo, yang disutradarai oleh To­my Almijun Kibu dan Rosnawanti Fik­ri Tahir ini menarik minat ma­sya­ ra­kat Bajo saat dilaksanakan pe­mu­ tar­an­nya di Desa Mekar, Ke­ca­mat­an Soropia, Kabupaten Konawe, Sula­we­ si Tenggara, Jumat (6/5). Film ini me­ ngi­sah­kan tentang budaya gotong ro­ yong masyarakat Bajo dalam mem­ ban­tu anak-anak Bajo yang ku­rang mampu secara ekonomi, agar mam­pu melanjutkan pendidikan ke jen­jang yang lebih tinggi. Beberapa film yang juga berhubungan dengan ma­sya­ra­

Ryfki  jrky

BANDAR LAMPUNG

Komputer Bekas untuk JRKL Yayasan Langit Sapta menyum­ bangkan komputer “bekas” mi­lik­ nya kepada Jaringan Radio Ko­mu­ ni­tas Lampung (JRKL) untuk ke­ pen­tingan pembelajaran Tek­no­ logi Informasi (TI) di komunitas, Kamis (26/5). “Kami sedang me­re­ ma­jakan komputer di kantor kami dan kami memutuskan untuk me­ nyum­bangkan komputer ‘be­kas’ kami untuk pembelajaran ko­mu­ni­ tas,” jelas Saptarini, salah se­orang pengurus Yayasan Langit Sap­ta. Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

Sap­ta­rini menambahkan, ia per­ caya bahwa komputer “bekas” ba­ kal ber­man­faat jika digunakan un­ tuk proses pembelajaran TI dan di­kelola oleh lembaga komunitas seperti JRKL. Saptarini berharap bahwa langkah yang dilakukan Ya­ yasan Langit Sapta dapat diikuti lem­baga maupun perusahaan lain un­tuk menyumbangkan kompu­ ter “bekas” kepada komunitas ke­ timbang menjualnya.  Rifky/sua­

ra­komunitas.net


ik dari Pekalongan dan Pemalang. 

P ernik

Sahiba fm/suarakomunitas.net

berau

PANIAI

Tiga Distrik Tak Punya SD dan Puskesmas

Menikah, Wajib Sumbang Pohon

Tiga distrik di Paniai, Papua, tak me­ miliki Sekolah Dasar dan Pusat Ke­se­ hatan Masyarakat (Puskesmas). Tiga distrik itu adalah Distrik Siriwo, Bo­ go­bai­da dan Distrik Dumadama. Se­ lain itu, ketiga distrik ini tidak dapat ditempuh dengan darat, ha­nya bisa me­lalui udara. Menurut Ketua De­ wan Adat Kabupaten Pa­nia Jhon NR Gobai, Pemerintah ha­rus menyiap­ kan subsidi pesawat ber­ba­dan ke­cil agar menyentuh dae­rah yang sulit di­ jang­kau, Kamis (26/5). “Di 3 dis­trik itu, contohnya di Dumadama, ti­dak ada sekolah da­sar SD, tidak ada Pus­ kes­mas di ibu­kota distrik, apalagi pe­ tu­gas­nya, ka­lau ada pelayanan dari ke­se­hat­an Team Mobile Clinic (TMC), itu berarti ha­nya sebentar saja.”  Na­

Mulai 1 Juni ini di Kelurahan Gu­ nung Panjang, Kecamatan Tanjungre­ deb, Kabupaten Berau, Kali­man­tan Ti­mur, tiap pasang­an yang menikah wa­jib menyerah­kan minimal satu po­hon guna men­du­kung program peng­hijauan ke­lurah­an. “Semoga ada manfaatnya ke­lak. Kampung se­ ma­kin hijau,” ujar Ngadeni, Lurah Gu­nung Panjang, Minggu (22/5). Peng­hijauan tengah digencarkan Gu­ nung Panjang sebagai antisipasi per­ kembangan permukiman. Hanya sa­ ja, belum di­pi­kir­kan sanksi bagi pa­ sangan yang tidak menyerahkan pohon.  Lukas Adi Prasetya/ kompas.com

TASIKMALAYA

Mandalamekar Tiru Desa Terong Pemerintah Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Ta­ sikmalaya, Jawa Barat berkunjung ke Kantor Desa Terong, Kecamatan Dli­ ngo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta untuk studi banding penerapan sis­ tem informasi desa (SID) dan pela­ yanan masyarakat, Sabtu (7/5). Ke­pa­ la Desa Manda­la­me­kar, Yana No­vi­a­di (43) ber­te­mu dengan Kepala Bagian Pe­la­yan­­an Ma­sya­rakat Desa Terong, Nur­yanto (38) beserta stafnya. “TI di Desa Terong mem­bu­at pelayanan ja­ di mudah, hal ini mau diterapkan di Pemerintah De­sa Mandalamekar. Sa­ ya men­da­pat inspirasi dan motivasi dalam kun­jung­an singkat ini,” ujar­ nya. Me­la­lui SID, De­sa Terong dapat mem­beri in­­for­ma­si dan pelayan ad­ mi­nistrasi de­­ngan cepat dan tepat. Ma­­sya­ra­kat pun bisa mengetahui ki­ ner­ja pe­me­rin­tah­an desa serta ter­li­ bat da­lam proses pem­ba­ngun­an.  Ya­­na Noviadi/suarakomunitas.net

SIDOARJO

Korban Metan Tagih Janji Dua warga Siring Barat, Sidoarjo, yang menjadi korban gas metan pada Sebtember 2010 silam sampai kini kon­disinya masih memprihatinkan. Pur­waningsih, salah satu korban, ke­ dua kakinya masih terbungkus per­ ban lantaran luka bakar, sedangkan anak­nya, Devi Purbawiyanto, kondi­ si­nya sudah sembuh tapi masih tam­ pak bekas luka bakar di kedua tangan dan kakinya, Senin (9/5). Ketika Pur­ wa­ning­sih menjalani rawat jalan dua minggu sekali, Wakil Gubernur Ja­wa Timur Saifullah Yusuf sempat men­je­ nguk dirinya di RSUD Sidoarjo, dan menjanjikan akan menangung bi­a­ya pengobatan sampai sembuh. Bu­pa­ti Si­dorjo yang saat itu dijabat Win Hen­ dar­so dan wakilnya, Saiful Ilah ju­ga men­jan­jikan hal yang sama.  Kanal

JAKARTA

Wah! Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji Selama menjabat sebagai wali ko­ ta, Joko Widodo tidak pernah se­ka­ li pun mengambil gajinya. Hal ini de­ ngan ma­lu-malu di­ung­kapkannya ke­ ti­ka di­ta­nya oleh salah sa­tu peserta se­mi­­nar “Gerakan Pe­rem­pu­an Me­ wu­jud­­kan Good Governance” di Ho­ tel Me­na­ra Peninsula, Jakarta, Ka­ mis (26/5). Joko mengaku, ia dan is­ tri­nya me­mi­liki pendapatan dari usa­ ha mebel ru­mah dan ta­man yang ma­sih berjalan hingga kini. Na­mun, Jo­ko tak mau men­ce­ri­ta­kan le­bih ja­ uh alasan tidak me­ne­ri­ma gaji. “Ta­di ter­pak­sa ngo­mong kare­na ada yang ­ta­nya,” katanya terke­keh.  Maria Natalia/kompas.com

News Room/suarakomunitas.net

SEMARANG

Buruh Migran Indonesia Dipulangkan Tanpa Gaji Pihak keluarga almarhumah Pur­mi­ ni, buruh migran asal Ma­ngun­rejo, Gro­bogan, yang mengalami per­laku­ an buruk di Kuwait, mengadu ke DP­ RD Jawa Tengah, Senin (23/5). Me­re­ ka meminta Dewan mem­ban­tu men­ da­pat­kan gaji lebih dari dua ta­hun yang tidak dibayarkan. “Awal Januari lalu Pur­mini pulang da­lam kon­­disi sa­ kit dan dibawa ke RS Polri Kramat Ja­ ti,” ka­ta Sariyem, sang ibu. Pe­tu­gas Kementerian Tena­ga Kerja lalu me­ ngantarnya ke Ci­re­bon. Ia meninggal se­telah dirawat 10 hari di RSUD Soe­ djati Soe­mo­di­ar­djo Grobogan .  An­ dhi­ka Puspita/vhrmedia.com

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

jokowi.com

tan Pigai/kbr68h

ahmad novik  kanal newsroom


U tama

Sebab Kota Butuh Desa Dikotomi desa dengan kota mesti cepat diusaikan. Tapi desa perlu berbenah diri dengan memulainya dari sumber data.  Elanto Wijoyono

Celebrationsoflove.com

S

Singgih Susilo Kartono memandang, desa se­bagai miniatur negara: punya rakyat, pe­ me­rintahan, wilayah, dan sumber daya. Ta­pi ke­nyataannya, desa yang jumlahnya ba­nyak se­la­lu menerima paling sedikit, akhir, dan jelek. Justru kota yang sedikit se­lalu dapat pa­ling banyak, awal, dan baik. Ba­gi­nya, ada­ lah ekonomi kerajinanlah yang dapat me­ man­­du perubahan desa lebih optimal, se­ per­ti kerajinan mebel, yang digiatkan ia dan tim di Desa Kandangan, Temanggung. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia me­ nam­pilkan data pada 1980, ada 78% pen­du­ duk di perdesaan. Angka ini menurun pada 1990 menjadi 69%. Dengan asum­si per­tum­ buhan penduduk 1,2% per tahun ma­ka ta­ hun 2010, jumlah penduduk di desa ada­lah 48% dari seluruh jumlah penduduk ne­ga­ ra ini. Menarik untuk memperhatikan ra­sio presentase tersebut jika disanding de­ngan jumlah kota dan desa. Nas (1989) mengatakan bahwa opo­ sisi antara kota dan desa sulit untuk di­ha­puskan. Dikotomi antara mereka mempengaruhi ku­at cara meng­atasi masalah migrasi. Seringkali pem­ba­ ngunan desa dipro­pa­gandakan se­ bagai upaya mencegah masalah-ma­ salah met­ropolitan. Migrasi—lokal hingga inter­na­sional—kini semua ha­

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

rus dipelajari de­ngan menggunakan ke­rang­ ka sama. Prinsip dasarnya adalah pengurangan je­ jak karbon (ecological footprint). Marco Ku­ su­mawijaya menegaskan bahwa hal itu da­ pat dikurangi dengan mendekatkan sis­tem produksi dan konsumsi. Caranya, de­ngan pro­duksi tepat guna dan hanya meme­nuhi kon­sumsi berdasar kebutuhan. Jadi, pen­ting un­tuk membangun sistem yang membawa un­sur terbaik ke kota dan se­ba­lik­nya. Na­ mun, bukan untuk tu­ju­an “ekspor” yang ja­ uh dan berarti me­ning­kat­kan jejak karbon. Men­ja­dikan setiap ruang atau kawasan bisa ber­di­ka­ri adalah keutamaannya. Membangun konsep sistem di atas, dapat dipelajari dari diskusi tentang arkeologi bu­ daya Indonesia. Van Ossenbruggen (1917) ber­ujar tentang asal-usul mancapat di Ja­wa. Mancapat adalah persekutuan antara se­bu­ ah desa dengan empat desa tetangga ter­de­ kat yang letaknya kira-kira sesuai de­ngan ke­empat arah mata angin. Diantara me­reka itu terdapat kesepakatan untuk bekerjasa­ ma dalam kehidupan sehari-hari. Kelima ti­tik itu sakral yang berkaitan dengan lima un­sur dasar alam: tanah, api, air, uda­ra, dan eter. Jadi, mancapat dapat di­ar­ti­kan sebuah pat (satuan ruang) yang di­sucikan dengan ca­ra membaginya men­jadi empat bagian.


dani yuniarto

Biarpun demikian, Santoso (2008) bilang bahwa pengertian mancapat tidak terbatas pada sifatnya yang sakral, tapi juga mem­ punyai kaitan erat dengan kehidupan sosial penghuni tempat tersebut. Dimensi sosial ini­lah yang sebenarnya membentuk konsep mancapat, bukan wilayahnya. Jadi, proses pem­bentukan mancapat tak dimaksud­kan un­tuk menentukan batasan wilayah da­ri se­ bu­ah permukiman, melainkan untuk men­ ja­lin garis-garis penghubung antara per­mu­ kim­an yang berdekatan berdasar hu­bung­­an sosial-religius. Tentang perkotaan, pada 1898, Ebenezer Howard menganjurkan rangrangan garden city sebagai sebuah ruang hunian yang ma­ nusiawi. Kota tersebut memiliki daya untuk mencukupi lapangan kerja bagi warganya. Se­keliling kota akan berperan sebagai ruang pe­nyangga yang menyediakan kebutuhan hi­dup warga kota, dengan beragam pe­man­ fa­at­an lahan: pertanian, peternakan, dan ru­ ang alami lainnya. Gagasan itu muncul dari satu rangka yang dinamakan sebagai tiga magnet (The Three Magnet) yang menggambarkan karakter ko­ ta, desa, dan satu ruang yang disebut kota– desa. Rangrangan tersebut muncul se­bagai kota sosial dan masih tetap perlu un­tuk di­ te­rapkan dalam memikir ulang tata pe­ren­­

 Pengelolaan data desa menjadi satu hal penting sebagai pintu masuk. Produktivitas desa meningkat, ketergantungan pada kota jadi berkurang. 

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

canaan dan pengelolaan kota–wilayah masa kini. Dalam kerangka desa, apa kemudian yang bisa dilakukan, walaupun tidak lagi me­la­ku­ kan dikotomi mana yang baik tinggal di desa atau di kota? Pengelolaan data desa menjadi satu hal penting sebagai pintu masuk. Data desa dapat dibangun dan digunakan untuk me­ningkatkan pelayanan, sehingga orang “be­tah” tinggal di desa. Oleh karenanya, pro­ duk­tivitas dapat meningkat, sehingga me­ ngu­rangi ketergantungan pada kota. Da­ta de­sa juga perlu dioptimalkan guna mem­ba­ ngun kesadaran tentang sumber daya­nya. Satu hal penting yang harus dibangun se­ bagai satu langkah studi adalah bagaimana agar data desa dapat memuat data migrasi (jasa, orang, dan barang). Atas dasar ini, da­ pat dicari pola migrasi baru yang lebih ra­ mah lingkungan dan tentunya produktif. Studi ini belum pernah secara rin­ci dan kritis diperhatikan sebagai fakta ke­ras hu­ bungan desa dan kota. Salah satu tujuan stu­ di ini adalah mena­ta kembali hubungan de­ sa–kota dengan me­nata migrasinya. Perlu di­ba­ngun sa­tu ru­ang atau prasarana guna me­wa­dahi proses hu­bungan agar terjadi ak­ si–reaksi yang kreatif. Sistem informasi lo­ kal yang di­bangun harus dirancang untuk me­­me­nuhi peran dan fungsi tersebut. 


U

tama

Q-tha Lari ke Jakarta

M

Pada mulanya banyak petani yang mencibir. Tapi kini beras organik Sumbing Inti sudah punya pelanggan tetap.  Khairul Anam

Kemasan beras organik Q-tha ukuran 5 kg (foto atas). Masruri di hadapan sawahnya yang telah dipanen. Sejak 2004, ia beralih ke sistem pertanian organik (foto bawah).

petaninya juga begitu anti dengan pestisida. “Pestisida saya ganti dengan cacahan ge­de­ bok (pohon pisang),” jelas Masruri pada pe­ kan pertama bulan Mei ini. Mereka juga sering menggunakan Cres­ cen­tia cujete L alias buah maja. Tuba ju­ga tu­rut dimanfaatkan. Tanaman yang dikenal dengan sebutan jenu ini diambil akar­nya yang terkenal beracun itu. Setelah di­tum­ buk dan dilarutkan dalam air, cairan siap men­jadi pestisida nabati. Lumayan ampuh un­tuk mengendalikan cendawan pa­di. “Ke­ tim­bang buat mes, kan bisa buat nya­ngo­ni (uang saku) adik-adik ke sekolah,” ujar pria la­jang 32 tahun ini. Seluruh tanaman ter­ sebut gampang ditemukan di pelosok Ban­ dongan. Untuk memudahkan pemrosesan padi or­ ganik, kelompok kemudian membuat lum­ bung. Jika selama ini lumbung yang dikenal hanya sebatas tempat menyimpan padi, di sini digunakan untuk aneka keperluan. Di de­pan lumbung itu, tersedia tanah lapang un­tuk menjemur gabah. Di dalam lumbung ada satu mesin giling gabah ukuran be­sar.

foto-foto: khairul anam  kombinasi

Masruri lelah. Sudah lebih dari 3 kali pa­ nen padi, hasilnya tidak seberapa. Laba be­ sar yang seharusnya ia terima, keburu ter­ potong untuk beli pestisida. Apalagi selepas panen, tanah sawah menjadi keras. Untuk mu­lai tanam lagi, ia mesti susah-susah me­ mulihkan keadaan tanah. Di saat yang sama, tahun 2000, tetang­ga­ nya, Muhtarom, merintis Paguyuban Petani Sumbing Inti (PPSI). Sampai tahun 2003, ba­ ru 2 pe­tani yang mengikuti Muhtarom ber­ ta­nam pa­di organik. Pada mulanya, ha­sil pa­ nenan tu­run tajam dibanding padi non or­ ganik. Ja­dinya tak ada petani lain yang me­ lirik. “Sa­ya ngajak malah dipaido (di­ci­bir),” kenang Muhtarom, 42 tahun, pada Kamis (19/5) le­wat sambungan telepon. Baru pa­ da 2004, se­telah hasil panenan menanjak, Masruri me­nyusul. Semenjak itulah Masruri menjadi anggo­ ta Paguyuban Petani Sumbing Inti, yang dari awal coba merayu para petani Desa Ban­ dong­an, Magelang, Jawa Tengah, kembali ke pa­di organik. Selain menanam dengan bi­bit se­perti C4, mentik wangi, dan rojolele, para

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011


Pe­ngepakan beras juga dilakukan di lum­ bung. Mulai dari 5-25 kilogram (kg). Ke­ lom­pok sepakat memberi nama Q-tha un­ tuk merek berasnya. Dengan cara de­mi­ki­ an, padi organik Desa Bandongan, me­ning­ gal­kan asalnya sudah dalam bentuk beras or­ganik. Agar harga padi organik tak gampang an­ jlok, mereka memasarkannya sen­diri tan­ pa campur tangan tengkulak dan peng­ijon. Pada bagian ini, Serikat Pa­guyub­an Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), pagu­yub­an pe­ tani yang berpusat di Salatiga, Ja­wa Tengah, me­lancarkan bantuannya—Ke­lompok Tani Sum­bing Inti bagian dari SPP­QT. Mereka men­ca­ri, menawarkan, serta meng­antarkan be­ras Q-tha ke para pembe­li. Atas bantuan ter­se­but, SPPQT digan­jar 8% dari hasil pen­ ju­al­an. Sebesar 2% di­per­un­tuk­kan untuk PPSI, dan sisanya milik pe­tani.



Padi organik dipasarkan tanpa campur tangan tengkulak agar harganya tak gampang anjlok.  Selain dipasarkan SPPQT, beras Q-tha ju­ ga dipasarkan oleh pasar komunitas lewat web pasarkomunitas.com. Di laman itu, ca­ lon-calon pembeli dapat melihat daftar be­ ras Q-tha yang dijual, lengkap dengan se­ge­ nap keunggulan masing-masing jenisnya. Se­perti Q-tha jenis rojolele yang punya ke­ an­dalan tahan basinya relatif lama. Sebelum PPSI bekerjsama dengan SPP­ QT dan pasar komunitas, mereka baru me­ ma­sarkan Q-tha ke tiap ke­ca­matan se-Ma­ gelang, dan beberapa wilayah se­kitaran. Ba­ ru setelah bekerjasama de­ngan SPPQT dan pasar komunitas, Q-tha mulai menyebar lu­ as ke wi­la­yah-wilayah lain. “Yang banyak la­ ri­nya (di­ju­al) ke Jakarta dan Semarang,” ka­ ta Muh­ta­rom, Ketua Kelompok Sumbing In­ ti, se­ka­ligus pegiat di SPPQT. Tidak jarang ju­ga pe­lang­gan memesan langsung beras Qtha ke pe­giat SPPQT di Salatiga. “Jika beras non or­ga­nik, 1 hari saja sudah basi, tapi bi­ar sudah 2 hari, beras organik masih lezat di­ san­tap,” ujar Masruri sedikit promosi. 

Restoran Milas, Jogjakarta

Terbuka, Pasar Komoditi Beras Organik

B

eberapa tahun terakhir, hidup sehat dengan mengonsumsi ma­ kan­an organik sedang menjadi gaya hidup baru di kalangan ma­sya­ra­kat kota. Sebut saja Kentucky Fried Chicken yang kini menyediakan pilihan nasi organik bagi pelanggannya. Semakin ba­ nyak pula rumah tangga yang mengkonsumsi beras organik. Har­ga­ nya memang lebih mahal daripada beras biasa, tetapi bagi mereka kon­sumsi ini merupakan “investasi” kesehatan di masa depan. Milas, restoran vegetarian di Jogjakarta, sejak 1997 telah me­nang­ kap kecenderungan tersebut. Sejak awal berdiri, Milas me­nye­dia­kan beras organik yang diperoleh dari penyalur beras Orga­nik seperti to­ ko Sahani. Kebutuhan beras organik tiap bulan bisa mencapai 100 kg, termasuk beras yang dijual langsung pada kon­su­men. Milas menjual beras putih, beras merah, dan beras pecah kulit (brown sugar). Beras organik memang harganya lebih mahal, Milas menjual beras organik putih seharga Rp 9.000 per kg, dan beras merah seharga Rp 12.000 per kg. Milas tidak tanggung-tanggung dalam mempro­mo­si­ kan hidup sehat. Mereka mempunyai kebun organik yang di­ke­lo­la anak jalanan. Jadi di kebun tersebut, anak bisa menimba pe­nge­ta­hu­ an cara penanaman padi dan sayuran organik. Sebenarnya pasar beras organik masih terbuka luas, namun tidak ba­nyak petani yang mau berpindah ke sistem organik karena ter­bia­ sa dengan pertanian instan yang menggunakan pupuk kimia pabrik. Ada­pun yang sekarang banyak dijual adalah semi organik, yakni su­ dah meng­gu­nakan pupuk organik tapi masih memakai pestisida. CV Pro Petani Sejahtera misalnya, telah siap membeli produk per­ ta­nian organik dengan harga Rp 2.000 lebih tinggi dari beras biasa. Na­mun kebutuhan tersebut belum dimanfaatkan optimal oleh petani. Menurut Kompas (12 Maret 2011), permintaan ekspor beras organik se­benarnya mencapai 90 ton per bulan, namun pe­tani yang terga­ bung dalam Kelompok Tani Simpatik Kabupaten Tasik­ma­la­ya, Ja­wa Ba­rat, baru bisa memenuhi 18 ton per bulan karena keter­ba­tas­an la­ han dan tenaga penyortir beras. Gaya hidup sehat yang kini semakin tren di tengah masyarakat, baik di dalam negeri maupun manca­nega­ ra, telah mendorong permintaan terhadap beras organik. Hal ini me­ ru­pakan suatu peluang besar untuk petani.  Ade Tanesia

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011


U

tama

foto-foto: Wilman D Lumangino

Ice-ice di Montomisan Montomisan menjelma jadi pusat budidaya rumput laut. Sayangnya masih buta pasar.  Wilman D Lumangino

F

Fajar baru saja menyingsing. Di Jalan Lin­ tas Pulau Peling, penghubung Desa Monto­ mi­san dengan wilayah lain di kawasan itu, ter­dengar suara saling memberi perintah. Tiga orang sedang mengangkut karung ber­­isi rumput laut kering ke atas mobil. Da­ lam cuaca dingin, keringat bercucuran di tu­ buh mereka. Beberapa orang lainnya hanya menonton dari balik sarung. Karung-karung itu bakal dibawa ke Luwuk, ibukota Ka­bu­­pa­ ten Banggai menggunakan kapal lewat der­ maga Bolonan (Bulagi Utara). Itulah sua­sa­ na pagi buta, Sabtu pekan kedua Mei ini. Desa Montomisan telah menjadi bagian pen­­ting kota Luwuk. Kota yang sebe­lum ta­ hun 2000 terasa jauh itu, kini berbalik se­ makin dekat. Sebagai pu­sat per­eko­no­mi­an di ujung timur Sulawe­si, Lu­wuk menyedia­kan kebutuh­an ma­sya­rakat, ter­uta­ma yang ber­ kaitan usaha budidaya rumput laut. Lu­wuk mem­beri kemudahan warga Mon­tomisan da­lam me­masarkan ha­sil budidaya mereka. De­mi­kian pu­la sebalik­nya, Montomisan me­ rupakan sa­lah satu penyedia bahan baku di pa­sar rum­put laut Luwuk. 10

Tempat pengeringan rumput laut di Desa Montomisan, dekat Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (foto atas). Eucheuma cottoni, salah satu jenis rumput laut merah (foto bawah).

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

Rumput laut mengubah kehidupan war­ ga Montomi­san. Ba­gi yang serius membu­ didayakan, ekonominya meningkat. Mereka dapat mem­bangun rumah permanen, mem­ beli ta­nah, televisi, sepeda motor, dan me­ nye­ko­lah­­kan anak hingga perguruan ting­gi. Po­ten­si ekonomi ini mampu memperlancar relasi penduduk desa dengan kota. “Ini semua merupakan karunia Allah. Du­ lu orang Mon­tomisan banting tulang hanya demi sedikit duit, pas untuk makan. Ta­nah tidak subur lagi. Tak banyak anak-anak yang sekolah, selesai SD cukup, paling tinggi SMP. Lulusan SMA tidak banyak. Ta­pi sekarang, lu­lusan SMA dan Sarjana su­dah banyak,” ka­­ ta Sain Tolodo, Sabtu (14/5), yang salah sa­ tu puterinya tengah kuliah di Gorontalo. Dari berbagai kota, seperti Bulagi, Sala­ kan, Banggai, Luwuk, Gorontalo, Palu, dan Ban­­dung, kebutuhan akan pendidikan pa­da jenjang yang lebih tinggi dapat terpenuhi. Pu­luhan sarjana telah dihasilkan desa itu. “Ta­hun 1990-an, sulit sekali menemukan se­ orang sarjana, tapi seka­rang ada 30 orang. Pe­ran rumput laut jelas ada,” kata Au­din Sa­ dili, Sekretaris Desa Montomisan. Montomisan dihuni oleh 106 KK (kepala keluarga), dengan jumlah penduduk seba­ nyak 356 jiwa: laki-laki 173 ji­wa, perempu­ an 183 jiwa. Sembilan puluh delapan KK di­ antaranya sebagai pembudi­da­ya. Sejak ta­ hun 1996, rumput laut jadi barang dagang­ an andalan mereka. Wilayah budidaya yang menggunakan metode tali rambat apung sa­ngatlah luas. Jenis rumput laut merah se­


perti Eucheuma cottonii, Eucheuma spi­no­ sum, dan Gellidium spinosum merupakan je­ nis yang dibudidayakan. Rumput laut atau seaweed telah dikenal pen­du­duk Montomisan sejak 1989, ketika Udin Tolodo membudidayakannya. Hingga enam tahun kemudian, barang dagangan ini belum bisa memenuhi kebutuhan eko­no­mi, sehingga belum dilirik orang. Pembudi­da­ya­ an­nya masih setengah hati. Ketika produksi jambu mete di Montomi­ san menurun pada 1995, ekonomi keluarga menjadi sulit. Maret 1996 adalah titik balik sa­at sebagian besar penduduk beralih mem­ budidayakan rum­put laut. Mereka berhasil dan inilah yang me­mbuat petani di Bulagi, Bang­gai Kepulauan, meng­ikutinya. Kini usaha ini menjadi lapangan kerja uta­ma di desa tersebut. Pada deka­de 1990, ma­sih ada penduduk Monto­misan yang me­ la­ku­kan urbanisasi ke Luwuk dan kota-kota

la­in­nya. Kini, orang berdatangan ke desa ini. Usaha budidaya telah me­mi­kat hati banyak orang. Hasil produksi, harga jual ting­­ gi, dan pengerjaan yang ringan me­ nye­babkan pendapatan warga me­ ning­­kat, sekaligus da­ya be­linya. Na­ mun wilayah budidaya se­ring ­ru­­sak akibat ombak dan gelombang Teluk Pe­­ling, ser­ta serangan hama ulat kecil yang me­nye­ babkan penyakit ice-ice (bercak-bercak pu­ tih pada rumput laut). Tetapi sungguh sayang, solusi ekono­mi yang telah dihadirkan dari budidaya rum­­ put laut, justru menghadirkan soal baru. Se­ ba­gian petani rumput laut terjangkit penya­ kit ‘ice-ice’ dalam bentuk hutang, karena di­ serang oleh tengkulak dan pengijon.

 Wilman D Lumangino mengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako Palu.

wawancara Retno Kustati

Menjadi Kuat Secara Pasar dan Modal

T

Apakah tengkulak hanyalah seorang pemberi hutang? Tengkulak tidak hanya pemberi hu­ tang, namun keberadaannya lebih di­ pi­cu karena ada transaksi jual-beli. Me­re­ka kuat dari sisi penguasaan pa­ sar dan modal. Biasanya dengan prak­ tek­ sistem ngi­jon (dibeli sebelum ma­ sa panen), per­ma­in­an harga, atau ter­

ka­dang petani menjadi tergantung un­ tuk kebutuhan modal. Kapan mereka beraksi? Misalkan saat panen rumput laut, harga jatuh sekali sedangkan giliran pe­tani butuh modal, peta­ni menggan­ tung­kan harapan (hu­tang) pa­da me­re­ ka. Kare­na lebih mu­dah prosedurnya, DOKUMEN retno kustati

engkulak hadir saat petani, ne­ la­­yan, atau pengusaha kecil bu­ tuh mo­dal. Tengkulak datang, me­­na­war­kan ban­tu­an, misalnya hu­ tang, yang bi­sa dilunasi setelah pa­ nen­an atau pro­duk laku. Tapi, ja­rang di­jumpai me­reka mampu menuntas­ kan semua hu­tang. Di sela terjun ke la­pang­an mem­ber­da­ya­kan pengusa­ ha kecil, Ret­no Kustati Sek­re­taris Ek­ se­ku­tif Wi­la­yah Jawa Asosiasi Pen­ dam­ping Pe­rem­pu­an Usaha Ke­cil (AS­ PPUK), Ra­bu (1/6) sudi berbagi peng­­ a­lam­an­nya mendampingi peng­usa­ha ke­cil me­la­wan sistem yang tim­pang, ter­ma­suk mem­be­ra­ngus teng­kulak lewat ob­rol­an ringkas di email.

Pelabuhan Teluk Lalong di Kota Luwuk, pintu perekonomian bagi wilayah pedesaaan di sekitarnya.

Kelompok Perempuan Usaha Kecil tak berbelit, tan­pa agunan juga. Bah­­ kan di beberapa tempat, ditawar­kan be­be­ra­pa kemu­dahan la­in, se­per­ti pin­jaman langsung barang, di­bayar se­te­lah panen, dan bila ga­gal bi­sa di­ ko­­mu­ni­ka­si­kan dengan tengku­lak. Apa­lagi di be­be­ra­pa tem­pat tengku­ lak kadang di­ang­gap orang ber­jasa

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

ka­re­na ti­dak ha­nya dalam kon­teks usa­ha na­mun juga kalau ada kebutuh­ an ke­lu­ar­ga lain seperti un­tuk yang sa­kit, pen­di­dik­an, dsb. Tengkulak dapat dipidanakan? Sulit, ka­re­na yang terjadi adalah tran­saksi yang sudah disepakati ke­ dua belah pihak. Masyarakat belum pu­­nya kekuatan kaitannya dengan mo­dal dan pasar tersebut. Menangkalnya hanya bisa de­ ngan koperasi? Beberapa alternatif untuk menang­ kal yaitu dengan ber­ke­lompok un­tuk menggalang modal dan pasar ber­sa­ ma, salah satu bentuknya ada­lah ko­ pe­ra­si atau seperti koperasi. Anda dan ASPPUK pernah men­ cobanya kepada warga? Kalau komunitas ASPPUK yang le­­ bih banyak adalah perajin/usaha mik­ ro yang biasanya lebih ba­nyak ter­je­ bak pada rentenir alias permo­dal­an. Ini kita dorong juga de­ngan kelom­ pok dan koperasi. Ka­lau stra­tegi kita dengan 2 cara ya­itu: membangun Jar­ puk (Jaringan Pe­rem­pu­an Usaha Ke­ cil) yang menjadi stra­te­gi untuk mela­ ku­kan advokasi, sedangkan kaitan­ nya dengan modal kita mengembang­ kan LKP (Lembaga Keuang­an Pe­rem­ puan) yang prin­sip­nya ko­pe­rasi. 

11


U

tama

Desa “Berpenduduk” Kambing Meski berternak kambing sudah mentradisi, desa yang jumlah warganya lebih sedikit daripada kambing ini sebagian masih menganggap rumit memiara etawa.  Khairul Anam

N  Mendayakan pemuda untuk beternak etawa dapat mengurai soal tenaga kerja. 

“Nang kene kie (di sini ini ‘Donorejo’-red.), jumlah penduduk dengan jumlah kam­bing­ nya, lebih banyak kambingnya,” ujar Totok disusul tawa lepasnya. Tapi ia tidak sedang membual. Rata-rata setiap penduduk di De­ sa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Pur­wo­ re­jo, memiliki etawa sedikitnya 5 ekor. Kambing etawa sudah cukup lawas di­pi­ ara oleh warga Donorejo dan sekitaran Ke­ ca­matan Kaligesing. Sekira tahun 1930, Pe­ me­rintah Kolonial Belanda membawa kam­ bing jamnapari (etawa) ke Kaligesing, Pur­ wo­rejo. Kambing yang berasal dari India itu lalu dikawinsilangkan dengan kambing lo­ kal (kambing Jawa randu atau kacang) oleh warga Donorejo. Tiada maksud beda hanya untuk menyiasati keadaan alam Donorejo. Hingga kini, setelah berlalu puluhan ta­ hun, kambing etawa persilangan itu tetap

te­nar dengan sebutan kambing etawa ras Ka­lige­sing atau kambing PE (peranakan eta­ wa). Berkuping panjang terlipat, dengan ke­pala cenderung menonjol, ialah bawaan­ nya. Dan Totok Sugiharto, warga asli De­sa Pan­dan­rejo, yang lantas tinggal di Do­no­re­ jo yang jadi desa asal istrinya ini, cuma sa­ tu da­ri sekian peternak di sela-sela pun­cak Bukit Menoreh yang dapat sukses mem­bi­ak­ kan eta­wa-etawa itu. “Ada keluarga yang memelihara kam­bing saya 12 ekor,” tutur Totok. Me­reka keluarga muda. Totok me­milih menggaduhkan eta­ wanya ke orang mu­da lantaran mereka ma­ sih gampang “di­ajari” perihal merawat eta­ wa. Ia mengaku kesulitan mempengaruhi orang-orang tua yang telah lama merawat etawa secara tu­run-temurun. Pada bagian kandang, misalnya, sebagi­an orang menganggap kandang ber­panggung dianggap terlalu mewah un­tuk ter­nak. Tapi bagi Totok dalam tu­li­san­nya “Kandang Eta­ wa” yang dimuat di gunungkelir.com, tuju­an memang­gungkan eta­wa agar kencing dan ko­toran bisa jatuh ke bawah melalui sela lan­tai panggung. Kencing dan kotoran akan meng­ganggu kesehatan ternak jika ber­sen­

Totok Sugiharto: Berternak Lebih Enak

S

ekira pukul 7, selepas mandi so­ re dan berpakaian lengkap, To­ tok keluar rumah menuju kan­ dang kambing yang persis berada di be­ran­da depan. Ia membuka pin­tu sa­lah satu kandang. Men­ dadak seekor etawa se­ting­ gi satu me­

12

ter keluar gi­rang da­ri kan­dang­nya. Per­ la­han, tanpa me­nim­bulkan gerakan ti­ ba-ti­ba, Totok me­ra­ih kambing itu. “Yang ini baru 4 bulan. Tingginya le­ bih dari 1 meter,” jelas Totok sambil me­ me­gangi etawanya. Ia masih ingat be­ tul, sepuluh tahun lalu, Totok Sugihar­ to, 35 tahun, pertama kali membeli se­ ekor etawa biasa se­harga Rp 1,5 juta. Per­sis usai anak per­ta­ma­nya la­hir. “Ini in­ves­tasi untuk anak. Nanti ka­lau su­ dah waktunya anak saya seko­lah, eta­ wa sudah ber­anak-pi­nak),” ke­nang To­ tok tentang peristiwa 2001 si­lam. Kambing barunya tersebut tidak lang­sung ia pelihara. Terpaksa etawa­ nya ia gaduhkan ke warga Desa Dono­ re­jo, Kecamatan Kaligesing, Purwore­

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

jo. Pekerjaannya sebagai kontraktor ke­ lis­trik­an mewajibkan bapak dua anak ke­la­hir­an Desa Pandanrejo, Ke­ca­mat­ an Kaligesing, Purworejo, itu keluarma­suk daerah proyek. Keluarganya pun direlakan bermukim di kampung ha­la­man mertua Totok, Desa Donorejo. Se­te­lah sepuluh tahun berlalu, saat ma­ ta­ha­ri mulai pamit dari puncak Bu­kit Me­no­reh, Desa Donorejo, Kamis (5/5) pe­tang lalu, Totok sumringah mengelu­ ar­kan beberapa ekor kambing dari kan­ dang di depan rumahnya. Mulanya, Totok adalah kon­trak­tor bidang kelistrikan di sebuah perusaha­ an di luar kota. “Nek bali ke kampung (kalau pulang kampung), orang sudah jarang menyapa karena tak ada yang


foto-foto: khairul anam  kombinasi

tuh­an langsung. De­ngan ber­panggung pula, lan­tai bawah men­jadi tem­pat tampung ko­ toran bakal pupuk. Selain memadukan cara-cara lama de­ ngan baru dalam merawat etawa, To­tok ti­ dak lupa mengakali kemajuan tek­nologi un­ tuk menopang ternaknya. Blog pri­ba­dinya (gunungkelir.com) ia sulap jadi pasar eta­wa piaraannya. Walau berada di perbukitan pun, ia tidak ketinggalan dengan perkembang­an pasar, cukup memantau dari internet. kenal,” kenang Totok. Keasingan terse­ but seolah tak berarti bi­la menilik ke­ suk­ses­an Totok yang mam­pu jadi direk­ tur teknik di per­usa­ha­an ia mengabdi itu. Saat itu ia berfikir, “Aku neng ke­ne iso pe­nak (aku di sini ‘per­usa­haan’ bi­ sa enak), tapi saya tidak punya pe­nga­ ruh ter­ha­dap ke­lu­ar­ga dan saudarasau­dara yang lain.” Bahkan, adik kan­ dung­nya sen­di­ri tak bisa ia ajak di per­ usahaan tem­pat­nya bekerja, ka­re­na ku­ a­li­fi­ka­si­nya memang tidak pas. Namun Totok tak mau berlama-la­ ma jauh dari kampung. Betapapun ia bu­kan kelahiran Donorejo. Akhirnya pa­da 2008 ia ber­tetap hati mengeluar­ kan diri dari per­usa­ha­an. Perusahaan anyar miliknya yang ju­ga te­lah dirintis­ nya di Tanggerang, ia pas­rahkan ke ta­ ngan kanan. Sesekali To­tok mengecek kinerja mereka. Se­jak sa­at itu, re­lawan

Agus, karyawan peternakan Totok, berupaya mengandangkan seekor etawa yang paling besar.

Pemuda-pemuda didikan Totok inilah, se­ lain belajar merawat etawa, juga mema­sar­ kan etawa dari desa tanpa terjun lang­sung ke kota. Tapi tak se­mua pe­muda Do­no­rejo menjadi perawat etawa. Banyak di antara mereka yang me­ran­tau ke kota. Men­da­ya­­kan pemuda di Desa Do­no­re­jo, Ka­lige­sing, untuk berkambing etawa, merupakan sedikit upa­ ya mengurai soal ke­te­na­ga­kerjaan yang ter­ jadi di sebagian Purworejo. Data Badan Perencanaan Da­erah Ka­bu­ paten Purworejo pada 2007 ten­tang “Angka Beban Ketergantungan” me­nem­patkan ko­ ta Purworejo dan Kecamatan Kali­ge­sing, se­­ bagai daerah beban usia produktif te­rendah di Purworejo. Cuma, kalau di perkotaan Pur­ wo­re­jo, banyaknya usia produktif (15-65 ta­ hun) terserap oleh lapangan pekerja­an, di Ke­ca­mat­an Kaligesing, usia produktif malah ba­nyak merantau. Masih banyak yang memandang kota la­ yak dijadikan tujuan rantau. Apalagi ke­ba­ nyak­an orang, bahkan di Kaligesing yang se­ cara temurun merupakan pusat peter­nak­ an etawa, menganggap merumat etawa ma­ sih berbelit-belit. Totok tak menam­pik­nya. “Harganya memang mahal. Kam­bing gem­ bel, itu kan gelem golek mangan dhe­we. Neng yo kui, elek .Yo nek arep pe­nak meneh, tuku sa­te kambing wae (mau cari ma­kan sendiri. Ta­pi ya itu, jelek. Ya ka­lau ingin enak lagi, be­ li sate kambing saja-red.) 

Animal Rescue sa­at erup­si Merapi 2010 lalu ini mulai beter­nak etawa. Se­ mua etawa yang telah ia miliki sejak 2001 itu dijual. Lima ekor kam­bing eta­ wa kelas biasa, dijual un­tuk mendapat 1 ekor kambing etawa ku­a­li­tas lom­ba. Per­judian itu ia tempuh setelah me­nya­ dari bahwa bi­a­ya perawatan kambing eta­wa biasa de­ngan kambing eta­wa ke­las lomba tak begitu timpang. Tidak langsung ia mendapat sukses di masa awal profesi barunya. Banyak percobaan ia lakukan untuk mencari bentuk ideal peternakan etawa. Persi­ lang­an antar ras berkali-kali gagal. Kam­bingnya juga sering dilanda sakit. Na­mun, dengan bekal cara mera­wat kam­bing etawa secara turun-temurun, dan sedikit-banyak membaca referen­ si, sekarang Totok telah jadi dok­ter ba­ gi kambingnya. Ia mengingat anjuran

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

orang-orang tua, kalau ”bayi kambing setelah lahir itu diguyur air ke­la­pa.” Orang-orang tua itu tidak paham apa ala­san­nya, tapi Totok mulai sadar jika “air kelapa mengandung alkohol lu­ nak. Dia berfungsi sebagai antiseptik ba­gi bayi etawa.” Merasa peternakannya mulai jalan, Totok mengajak beberapa pemuda, dan mengajari mereka cara merawat kambing etawa dengan benar. Sampai kini, terhitung ada puluhan karyawan yang mengurusi keperluan harian eta­ wa. Gaji yang mereka terima, dibelikan kambing etawa agar dapat dipiara sen­ di­ri. Sambil tersenyum ia ber­ke­la­kar, “Seng merantau ternyata ti­dak le­bih ba­ik daripada seng neng omah ngo­ peni wedus (yang merantau ter­nya­ta tak lebih baik daripada yang di rumah me­mi­a­ra kambing).”  Khairul Anam

13


U

tama

Kampung Penyerap Karbon Saat warga kota membuat pemanasan global, warga Desa Semoyo memilih untuk memberi hutan. Satu hektar hutan untuk 30 ton karbondioksida.  Khairul Anam

S foto-foto: desakawasankonservasi.blogspot.com

Proses pencatatan potensi karbon di hutan desa Semoyo.

14

Siang itu, menenteng meteran yang biasa dipakai oleh tukang jahit pakaian, tiga pria Desa Semoyo menyusuri hutan desa. Mere­ ka hendak menghitung diamater pepohon­ an. Syukur kalau kelak, hutan tersebut da­ pat kompensasi. Pengukuran dan pendataan yang dila­ku­ kan warga Semoyo, pada Rabu, (26/5/10) si­ang, itu bermula dari Konferensi Tingkat Ting­gi (KTT) Perubahan Iklim, Perserikatan Bang­sa-Bangsa (PBB) di Bali, 2007 lalu. Da­ lam konferensi, para utusan negara sepakat mengurangi pemanasan global. Konferensi juga merayu negara-negara yang masih luas hutannya, agar tidak digunduli. Negara maju, yang tak cukup luas hu­tan­ nya untuk menyerap karbondioksida da­ri

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

in­dustri dalam negeri, akan membiayai dan membeli jasa hutan dari negara lain yang te­ lah menyerap karbondioksida. Se­mo­yo, de­ sa yang dikerubungi hutan bukit Pa­tuk, ada­ lah sedikit dari banyak penyerap kar­bon­di­ ok­si­da di Indonesia. Dengan aturan main demikian, penting un­tuk warga desa mendata luasan hutannya. Karena, “Kalau tak berkurang hutannya, itu bahkan bisa menghasilkan atau diuangkan,” kata Yanti Mualim, pakar lingkungan Radio Netherland Wereldomroep. Betapapun per­ dagangan karbon masih jadi polemik, tapi upa­ya ini menjadi pengail kuat agar war­ga enggan menebangi hutan secara liar. Kiprah Semoyo melek dengan potensi hu­ tannya berawal pada 18 Agustus 2007. Su­ harto, yang kala itu jadi bupati Gunung Ki­ dul, mengajak warga menjadikan desanya se­bagai desa kawasan konservasi. Ide uta­ manya adalah melestarikan alam. Jerih payah Semoyo melestarikan hutan­ nya memancing perhatian Curtiz Petzoldt, Ph.D, pakar hama Cornell University, Ame­ rika Serikat. Awal tahun ini, ia mengunjungi Semoyo, yang ia bayangkan kelak dapat menjadi laboratorium tanaman pangan dan kehutanan. Untuk itu, setelah menyusuri ja­ lanan setapak hutan Semoyo, ia berjanji ba­ kal kembali lagi dan mendalami kajiannya agar laboratorium itu jadi nyata. Semoyo juga mendorong warga untuk me­manfaatkan potensi ekonomi tanpa me­ ru­sak lingkungan. Inventarisasi pohon, pa­ da 26 Mei 2010 lalu, adalah satu langkah nya­ta Desa Semoyo, Patuk, Gu­nung Kidul, men­jadikan wilayahnya se­ba­gai penyeim­ bang alam. Hingga minggu ke dua Mei ini, hu­tan di Desa Semoyo mam­pu menyerap “per hektarnya, 30 ton kar­bon­di­ok­si­da,” tu­ tur Suratimin, Ketua Sarikat Petani Pem­ba­


Uci (kanan) sedang memandu acara Radio Perempuan Gunungkidul.

Radekka FM: Radionya Warga

U

ci gugup. Sore ini pertama ka­ li ia siaran di program “Pe­rem­ puan Gunungkidul”. Apalagi di dalam studio, sudah hadir Purwanti dan Puji Astuti, dua perempuan dari Ja­ringan Kelompok Perempuan Gu­ nung­kidul (JKPGK). Tapi untung saja, penyiar Radekka FM itu tidak keterusan kagok. Setelah Purwanti dan Puji buka suara, obrolan yang diumumkan langsung dari Du­ sun Salak, Desa Semoyo, Patuk, Gu­ nung­kidul itu mendadak cair. Mereka berdua adalah narasumber yang seka­ li­gus penggagas program ra­dio “Pe­ rem­puan Gungkidul”. Para pen­dengar sekitaran Semoyo yang sengaja me­ mu­tar frekuensi radionya di 107.7 FM

sejak jam 3 siang, itu akhirnya dapat mendengar siaran dengan lancar. Sabtu itu, 5 September 2009, ke­ti­ ka “Perempuan Gunungki­dul” perta­ ma kalinya mengudara, Pur­wanti dan Puji memaparkan keber­adaan JKPGK. Baru setelah itu mere­ka me­nu­tur­kan be­be­rapa kegiat­an yang telah dilaksa­ na­kan le­wat Ra­dek­ka FM. Radio komunitas yang terletak di sela-sela Bukit Patuk ini pertama kali siar pada 17 Maret 2008. Saat itu, Uci belum menjadi salah satu penyiarnya. Baru setelah beberapa tahun berja­ lan, Radekka FM mulai dilirik oleh pe­ mu­da-pemudi sekitaran Desa Semo­ yo. Sehingga Suratimin, penyiar per­ ta­ma Radekka FM, sudah tidak ke­se­



Suratimin, Ketua Sarikat Petani Pembaharuan Gunung Kidul

Hutan Semoyo menyerap 30 ton karbondioksida per hektar. Tiap serapan 1 ton karbondioksida dihargai US$ 5 hingga 8.  Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

pi­an lagi. Radekka merupakan salah sa­tu radio jaringan JKPGK. Alasan ini­ lah yang menyebabkan mereka ber­ ke­sem­patan menyiarkan program per­ da­na itu. Tetapi dari awal, Radekka FM hen­ dak menegaskan profilnya seba­gai radio berbasis warga yang berwa­was­ an hutan lahan konser­vasi. Cita-cita ter­se­but ditegaskan oleh Radekka me­la­lui aneka siarannya. Salah sa­tu, mi­sal­nya, adalah siaran pada Minggu ma­lam, minggu ketiga di bu­lan Agus­ tus 2009 lalu, tepatnya tanggal 16. Ma­lam itu, ketika siaran di­mulai jam 7 ma­lam, Radekka langsung berkam­ panye ten­tang pe­les­ta­rian alam de­ ngan meng­gotong te­ma “Melestari­ kan Sum­ber Air dengan bio­pori”. “Sebuah program yang mencoba mengharmoniskan alam dengan ke­hi­ dup­an kita sehari-hari,” kata sang pe­ nyiar di sela-sela on air-nya ma­lam itu. Dalam proses biopori, tidak ha­nya mem­buat lubang untuk sumur re­sap­ an, terutama bila hujan tiba bertubitubi, tetapi paling tidak sekaligus ada proses “komposisasi. Istilahnya pro­ ses pembuatan pupuk komposlah be­ gi­tu,” jelas sang penyiar perihal biopo­ ri. Artinya, penyiar mengajak membu­ at biopori. Selain untuk me­no­lak ban­ jir dan tanah long­sor, ju­ga guna meng­ ha­sil­kan kompos untuk me­mu­puk ta­ nam­an.  Khairul Anam

ha­ru­an Gunung Kidul, Jumat (13/5). Setiap 1 ton karbondioksida yang diserap, bisa di­ hargai antara US$ 5-8. Tapi bukan berarti warga Semoyo hidup hanya untuk menunggui hutan. Hutannya ma­sih dapat diberdayakan. Warga yang di se­kitaran rumahnya menjadi pekarangan se­ka­ligus hutan tersebut, dianjurkan me­ne­ bang pohon-pohon bengkok, yang tak pu­ nya kesempatan tumbuh tinggi. Selain di­gu­ nakan sebagai rencek (kayu bakar) juga jadi ba­han baku arang. Dengan begitu, Semoyo mam­pu beri bukti jika melestarikan alam, mem­batasi tebang pohon, misalnya, tidak se­la­lu membunuh penghidupan warga.  15


R

adio Salah satu kesibukan di studio Radio Komunitas Kanal Besuki Ti­mur, Desa Basuki, Kecamatan Jabon.

yovinus guntur  vhr media

Siar dari Balik Tanggul Media arus utama sudah jenuh dengan kisah lumpur Lapindo. Warga turun tangan memberitakan dirinya sendiri.  Ahmad Novik

H

ingga sepekan menjelang 29 Mei 2011, lumpur La­pin­ do sudah mengusir 14.000 KK (kepala ke­lu­ar­ga), atau lebih dari 50.000 jiwa, merendam 33 gedung sekolah, 3 pesantren, dan membuat ribuan warga yang berada di sekitar tanggul hidup payah. Bukan malah mengganti rugi, perusahaan justru menggunakan beraneka cara un­tuk bisa mengamankan keber­ada­ an­nya. Lapindo Brantas—anak perusa­ ha­an keluarga Bakrie—secara telak me­ngalahkan derita se­ki­an puluh ri­ bu warga, memainkan pe­rang­kat hu­ kum, serta menguasai opi­ni media mas­sa. Memang, warga yang masih me­la­wan dengan cara-ca­ra mereka, sem­pat beberapa ka­li di­mun­cul­kan me­dia. Biarpun tetap meng­alami ke­ kalah­an. Pada banyak kesempatan, pem­be­ ritaan tentang lumpur Lapindo men­ 16

 Radio komunitas berfungsi agar korban lumpur Lapindo memperoleh informasi tentang hak-haknya.  combine.or.id

Studio Radio Suara Porong Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

jadi semacam ritual bagi pekerja me­ dia. Berita tentangnya menjadi salah satu bumbu pemanis bagi menu-me­ nu utama, misalnya Hari HAM, Ha­ri Lingkungan Hidup, Hari Bumi, Prok­ la­masi, dan lainnya. “Seperti biasa, men­jelang 29 Mei pemberitaan ten­ tang lumpur Lapindo cenderung me­ ning­kat frekuensinya,” kata Anton Novenanto, Dosen Sosiologi Uni­ver­ sitas Brawijaya, Malang. Ketertarikan media akan perkara lumpur Lapindo lebih digunakan se­ bagai alat untuk memperkuat dalih me­dia tentang soal-soal yang lain. “Fak­ta adalah suci, tafsir adalah ha­ lal,” ungkap pria yang pernah me­la­ kukan penelitian tentang media ini. Fakta tentang perkara lumpur Lapin­ do nyata terjadi. Namun taf­sir ma­ sing-masing pekerja media ter­hadap perkara lumpur Lapindo tidak bisa di­pantau, bahkan terkadang oleh pe­ milik media itu sendiri. Yang dibu­ tuhkan saat ini sebenarnya ada­lah se­buah strategi advokasi-informasi warga ketika berhadapan de­ngan se­buah bencana teknologi. “Ke­ti­dak­ adaan strategi inilah yang membuat me­dia cenderung memberitakan ka­ sus Lapindo sebagai berita yang da­ tar-datar saja, tanpa agenda politik yang terselubung secara jangka pan­ jang,” lanjut Anton. Kenyataan tersebut membuat se­ ba­gi­an warga bergerak mem­ba­ngun me­dia sendiri untuk meng­im­bangi me­dia mas­sa yang kurang mem­be­ ri­takan ke­adaan korban lumpur La­ pin­do. Se­but­lah contohnya Radio Ko­ mu­nitas Su­a­ra Porong. Radio yang berdiri se­jak 2007 ini sampai se­ka­ rang ma­sih menggelorakan isu-isu yang ter­ja­di di kalangan korban ser­ ta yang ting­gal di sekitar semburan lumpur. Meskipun mengalami keter­ba­tas­ an alat dan jangkauan siar hanya 2 ki­lometer, Radio Suara Porong tidak letih bersuara perihal keadaan yang terjadi di masyarakat. Radio yang ki­ ni mengontrak rumah di Jalan SMU 1


Porong sebagai studionya itu, juga ba­ nyak menemui rintangan mulai dari keuangan (rekening listrik, telepon, in­ternet) sampai masalah kerusakan alat yang meminta radio ini kerap ga­ gal mengudara. Ada seorang ibu rumah tangga yang bergiat di Radio Komunitas Su­ ara Porong. Keinginannya cuma sa­tu: agar warga yang menjadi korban dan warga yang tinggal disekitar tanggul penahan lumpur memperoleh infor­ masi tentang hak–haknya. “Hanya un­ tuk memberikan informasi ke warga. Agar warga tahu apa yang terjadi pa­ da diri dan sekitarnya,“ ujar Ka­mi­na, ibu dua anak ini. Bersama 5 pe­mu­da sesama korban lumpur La­pindo, ia mengelola Radio Suara Porong yang berada di sebelah barat tanggul lum­ pur. Disebelah timur tanggul, juga ada Radio Komunitas Kanal Besuki Ti­ mur (KBT)—kedua radio itu ber­je­ja­ ringan. Radio ini baru berdiri pada 2009, tetapi juga tiada mengenal jeda menyuarakan soal-soal terkait kor­ ban lumpur Lapindo. Radio yang ber­ ada di Desa Besuki—satu desa yang tidak diakui sebagai desa terdampak lumpur Lapindo—Kecamatan Jabon ini, juga bisa membangun dan men­ dampingi warganya. Mereka meng­ ajak warga agar menuntut hak semi­ sal la­yanan kesehatan dengan meng­ ada­kan berbagai diskusi. Lewat dis­ kusi-diskusi ke­sehatan terse­but, war­ ga dapat membicarakan Un­dang-Un­ dang Keterbukaan In­for­masi Publik (UU KIP), khususnya in­formasi layan­ an kesehatan yang su­dah diprogam­ kan pemerintah. Dengan demikian, warga menger­ ti bahwa jika ada warga yang sakit, mereka dapat memanfaatkan layan­ an kese­hat­an yang telah diprogam­ kan pemerintah. Walaupun untuk se­ mentara KBT ba­ru dapat meng­udara 5 jam per hari (19.00–23.00 WIB), “De­ngan ada­nya KBT, ba­nyak war­ga mulai me­ngerti soal pentingnya in­ formasi,” kata Ab­dul Rokhim, Di­rek­ tur KBT FM.  Ahmad Novik bergiat di suara­ komunitas.net dan korbanlumpur.info

 29 Mei: Cerita belum Tamat 29 Mei 2006 Lumpur gas pertama kali menyembur dari dekat Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo.

29 Mei 2007 Anggota DPRD Jatim Muhammad Mirdasy menggelongsorkan Bernafas dalam Lumpur. Buku ini hadir didorong oleh rasa gelisah tidak becusnya penanganan lumpur Lapindo.

29 Mei 2009 Lentera di Atas Bukit membabarkan karya seni bertajuk “Perjalanan Surat untuk Bulan ke Panggung Politik”. Blog gerakan sosial in i mencoba membuka memori lumpur Lapindo lewat sentuhan seni rupa dipadukan dengan beberapa surat anak-anak korban Lapindo ke calon presiden RI.

29 Mei 2008 Trisnadi Maridjan, juru foto Kantor Berita Associated Press memajang 40 bidikannya dengan tajuk “Dua Tahun Penderitaan Lumpur Panas”, 31 Mei-6 Juni 2008 di Malang. Menyegarkan ingatan 2 tahun semburan lumpur.

29 Mei 2010 Delapan korban meluncurkan kisah mereka usai empat tahun berkubang lumpur. Berjudul 29 Cerita Menentang Bungkam, buku ini mengumpulkan serpihan ingatan agar cerita tak kandas.

29 Mei 2011 Sepuluh anak-anak korban lumpur Lapindo memamerkan 45 foto karya mereka dalam acara “Berbingkai Lumpur” di Universitas Kristen Petra Surabaya. Jepretan-jepretan itu merupakan kisah harian mereka. TEKS: khairul anam  FOto: istimewa, lenteradiatasbukit.blogspot.com

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

17


V

ideo

Ketika Warga Menonton Warga dari Layar Film komunitas semakin digemari. Sebuah upaya untuk menghadirkan cerita kampung dari layar tancap.  Khairul Anam

F

ian cemas. Sudah sejak jam 4 sore hujan tak kunjung reda. Tiga puluh menit menjelang 19.30 WIB, Jumat (6/5), ke­ tika jadwal film Danau di Tengah Kam­pung harus diputar di balai kam­ pung, hujan justru kian deras. Se­je­ nak menelisik ke pintu air yang tak jauh dari rumahnya, debit sungai su­ dah nyaris melampaui ambang wa­­ jar. Padahal jika hujan de­ras mendera Surakarta, kam­pung­nya, Joyontakan, pasti kebanjiran. “Acaranya batal, di sini (Joyonta­ kan-red.) ma­lah kebanjiran lagi,” ka­ ta Fian, ko­or­dinator pemutaran film, melalui pe­san singkat telepon geng­ gam. Se­ja­ti­nya film yang me­ngi­sah­ kan tentang kam­pung Joyontakan, Serengan, Su­rakarta, yang jadi lang­ ganan ban­jir tersebut bakal ditonton ramai-ra­mai de­ngan layar besar oleh warga se­kam­pung. Film itu merupakan garapan war­ ga kampung. Mereka merasa gerah

dengan ulah banjir—kiriman atau kare­na hujan deras—yang terus me­ re­ka akrabi. Film ini adalah sebagian dari beberapa film komunitas dalam aca­ra “Tamasya Layar Tancap”, salah sa­tu rang­kai­an kegiatan Festival Film So­lo, 4-7 Mei 2011. Semua film komu­ ni­tas se­rem­pak diputar pada pu­kul 19.30 WIB, di lokasi yang berbeda. Berkebalikan dengan nasib warga Joyontakan, jerih payah warga kam­ pung Gulon, Plesungan, Gondang­re­ jo, Ka­rang­anyar, yang telah mem­bu­ at film Ke­rukunan di Pinggir Ka­rang­ anyar, da­pat dinikmati pada hari itu (6/5) ju­ga, walaupun harus diundur sam­pai satu jam dari jadwal. Awalnya ini adalah film kebetulan. Kebetulan be­berapa waktu lalu ter­ja­di ke­ke­ras­ an di Temanggung yang berbau sa­ra (suku, agama, ras). Ber­an­jak dari pe­ ris­tiwa tersebut, Ha­ri­yan­to dan ka­ wan-kawannya bermaksud me­non­ jol­kan ke­ru­kun­an di Gulon. “Kebersamaan di kampung sini (Gu­lon-red.) amat kuat. Ada tiga ma­ cam agama: Islam, Kristen, dan yang

Adegan film Sisi Kehidupan Pengrajin Sangkar Burung.

18

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

foto-foto: khairul anam  kombinasi

satu lagi agama adat ting­gal­an ne­nek moyang. Semuanya masih berjalan. Mung­kin gesekan ke­cil itu ada, tetapi da­lam hal agamamu apa, agama­ku apa, sudah bi­sa men­jaga ma­sing-ma­ sing,” tutur Ha­ri­yan­to, yang men­ja­di koordinator pem­­buat­an dan pe­mu­ tar­an film ini. Kebetulan lagi ada seorang teman yang pandai ber­ka­mera video sering berkunjung ke kampung Gulon. Hari­ yanto, 31 tahun, dan lima temannya merayu sang teman: ia dan kawankawan me­nu­lis cerita, si pandai ka­ me­ra meng­ambil gambarnya. Butuh dua minggu merampungkan film itu. “Walau nanti saat diputar ada yang meng­olok-olok, kita tetap berbesar ha­ti,” ka­ta Ha­riyanto la­gi. Tapi ketika hu­jan yang sejak sore me­reda, dan la­yar be­sar ditancapkan di tanah la­ pang po­jok kampung yang su­dah be­ cek, tak kurang dari 30 war­ga men­ dekati la­yar. Pukul 20.30 film dipu­tar. Hariyanto dan ka­wan-kawan le­ga.  “Tamasya Layar Tancap” merupa­ kan bagian dari Festival Film Solo. “Se­


Warga menonton film di Kelurahan Jagalan. "Tamasya Layar Tancap" yang merupakan bagian dari Festival FIlm Solo ini hampir sepenuhnya berasal dari kreasi masyarakat setempat.

la­ma 1,5 bulan kami memfasilitasi ma­ syarakat Joyontakan membuat film,” tu­tur Dermawan Bakri, koordinator “Ta­masya Layar Tancap”. Pelatihan ter­diri dari pengemasan ide, ambil gam­bar, penyuntingan, sampai siap pu­tar. “Dua hari sebelum acara, se­ mua film baru terkumpul.” Film lainnya datang dari Kelurah­ an Jagalan. Setelah dua puluhan ta­ hun hidup di Kelurahan Jagalan, Ang­ goro masih belum paham asal-usul ke­lurahannya. Ia dan kawan-kawan, hen­dak mencoba mengurai kebuta­an tentang muasal kelurahannya le­wat film. “Tidak ada jeleknya kita ta­hu se­ja­rah Jagalan,” kata Anggoro. Lang­ kah pertama, beberapa budayawan So­lo mereka hampiri. Para tetua ke­ lu­rah­an juga ditanyai. Dirasa ku­rang da­lam, beberapa buku dan tu­lis­antulis­an yang memuat tentang ke­ber­ ada­an Jagalan mulai dibacai. Setelah film selesai dibikin dan si­ ap putar, tidak sampai puluhan war­ ga yang hadir. “Kami lebih fokus pa­ da pembuatan dan pemutaran. Publi­ kasi­nya agak kurang,” sesal Anggoro,

 Se­la­ma 1,5 bulan kami memfasilitasi masyarakat Joyontakan membuat film. Pelatihan terdiri dari pengemasan ide, ambil gambar, penyuntingan, sampai siap pu­tar. Dermawan Bakri Koordinator "Ta­masya Layar Tancap"



Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

Ke­tua Karang Taruna Ja­gal­an. Tapi, pe­mutaran ini yang per­da­na. Ren­ca­ na­nya, Sejarah dan Per­kem­bang­an Ja­ gal­an, bakal tayang pada kesempat­ an-kesempatan berikutnya, semi­sal acara karang taruna. Di­ha­rap­kan, se­ le­pas menonton film ini, war­ga sa­dar akan muasal wilayahnya, dan po­ten­ si kerupuk rambak serta abon­nya. Se­bab, tanpa ada penjagal sa­pi, Ke­ lurahan Jagalan tidak pernah ada. Film yang menarik perhatian lagi datang dari Mojosongo. Belum ba­ nyak orang luar Mojosongo menge­ tahui kalau wilayah itu me­ru­pa­kan pu­sat kerajinan sangkar bu­rung bam­ bu. Agung, mahasiswa Per­te­le­visian Institut Seni Indonesia (ISI) Surakar­ ta, juga se­orang penjaga kos di bilang­ an Mo­jo­so­ngo, Jebres, Surakarta, me­ nya­dari bahwa potensi itu perlu di­­ sebar­kan. Awal April lalu, ia membu­ ka obrolan dengan salah satu peng­­ rajin. Gayung bersambut. Para peng­­ ra­jin bersemangat untuk memfilm­ kan ke­se­ha­ri­an merakit sangkar bu­ rung bambu me­re­ka. “Berapa sewa kamera dan beli ka­ setnya?” Tanya seorang pengrajin ke­ pada Agung ketika itu. “Sewa kamera biasanya per hari Rp 200 ribu kurang lebih, kalau beli 1 kaset tidak lebih dari Rp 20 ribu,” ja­wab Agung enteng. Seorang pria paruh baya memo­ tong bambu bulat dengan gergaji ta­ ngan. Usai dipecah-pecah kecil, bam­ bu disandarkan ke dinding samping rumah. Lima detik selanjutnya, dua pe­muda terlihat repot menaikkan be­ be­rapa sang­kar burung siap edar ke mobil bak terbuka warna hitam. La­lu Mur­wan­to bilang: “Dulu tahun 1977 saya bel­a­jar (bikin sangkar) di Pur­ wo­di­ning­ratan. Lalu tahun 1984 saya pin­dah ke Mojosongo.” Begitulah dia­ log dalam sepenggal ade­gan film Pa­ gu­yub­an Karya Ma­nung­gal yang ber­ ju­dul Sisi Kehidup­an Peng­ra­jin Sang­ kar Burung.  19


P

ortal

Bengawan Solo: Riwayatmu Kini bengawan.org

Mulanya cuma sekumpulan bloger iseng. Perlahan jadi duta pembangunan kota.  Khairul Anam

Penampilan Solo Batik Carnival II di ajang SOLO (Sharing online lan offline).

B

ola mata Hassan bergulir tu­ run-na­ik. Ia harus lekas me­ meriksa fo­to-foto di kompu­ ter sore itu. Se­orang te­man tengah menunggu e­mail dari­nya. Si te­man minta di­ki­rimi be­be­ra­pa do­ku­ mentasi kegiatan Ko­mu­ni­­tas Blog­ger Bengawan bebera­pa wak­tu lalu.

Sore itu, Rabu minggu ter­akhir Ap­ ril lalu, hanya ada Hassan dan dua orang lainnya di Ja­lan Apel III No. 27, Jajar, Surakarta. Rumah ini dipakai markas besar Ko­mu­ni­tas Blogger Be­ ngawan. Kalau ada diskusi atau pe­la­ tihan, pun temu anggota komu­nitas, baru­lah ru­mah itu ramah penghuni.

Dari Sabang sampai Merauke Berjajar “Bloger-bloger”

D

engan berhimpun da­lam ko­mu­ nitas, seorang blo­ger yang men­ cin­tai daerahnya memiliki harap­ an bahwa isu lo­kal akan lebih terangkat ka­re­na dukungan teman-te­man. Demiki­ an tutur Antyo Rentjoko, sa­­lah satu pen­ diri dagdigdug.com—la­yan­an blog ber­ ba­sis web 2.0 yang me­mung­kin­kan pe­ mi­lik dan pengunjung blog sa­ling ber­ba­ gi—lewat email pribadinya, Se­nin (2/5). Keberadaan komunitas mampu me­nya­ dar­kan bahwa dirinya (bloger) tidak ber­ ja­lan sen­dirian.

20

Pada tanggal 4 April 2009. Beberapa orang yang menaruh minat terhadap blog sepakat untuk membuat perahu. Pe­ra­hu tersebut dinamai Arumbai. Arum­ bai merupakan perahu tradisional yang ha­lu­an­nya berkepala naga dan bu­rit­an­ nya berekor naga. Arumbai “kerap digunakan untuk men­cari ikan atau berperang,” tulis pa­ sa­wari (tentang kami) pada halaman arum­bai.org. Dengan Arumbai, segenap ang­go­ta merintis berbagai kegiatan un­ tuk mengangkat Maluku.

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

“Awalnya adalah komunitas blo­ ger yang punya keterikatan dan ter­ ta­rik pada Kota Surakarta,” kata Has­ san, Ketua Be­ngawan. Awalnya Be­­ ngawan adalah Komunitas Blogger So­lo (Blo­gos) yang sudah ada se­jak 2008. Akhir tahun yang sama, Blo­gos ber­ganti nama. Dengan begitu, pa­ra bloger dari Solo (secara ad­mi­nis­tra­ si: Kota Su­ra­kar­ta) dan sekitaran bi­ sa ter­wa­dahi. Penghilangan kata “Solo” juga di­ rasa lebih nyaman, apalagi jika meng­ ingat bahwa bakal komunitas ini ber­ awal dari Kentingan, Universitas Se­ belas Maret Surakarta (UNS). Betapa­ pun tunas Bengawan sudah bersemi sejak tahun 2008, baru pada Februari 2009 komunitas ini diluncurkan ke kha­layak di loji gandrung, rumah di­ nas Walikota Surakarta yang secara sengaja mengundang mereka. Belakangan, Bengawan mulai ter­ buka terhadap siapa dan dari mana ser­ta mau apa, asalkan memiliki blog sendiri. “Saya aslinya anggota Ko­­mu­­ ni­tas Blogger Surabaya ‘tugu­pahla­ wan.­com’. Lalu diajak juga ke Benga­ wan, karena kenal sama teman-teman Bengawan,” aku Luqman Kumara pa­ da Sabtu (2/5) lewat milis Benga­wan. Di kawasan bekas Terminal Pelita— yang dibakar ketika konflik sosial Am­ bon beberapa lampau—Arumbai de­ ngan Internet Sehat (internetsehat.org), memutar Linamas(s)a pada Jumat ma­ lam, 8 April 2011. Sebuah film tentang ge­rakan sosial dijital itu. Selepas pemu­ tar­an, diskusi tentang bagaimana me­ man­fa­atkan internet secara sehat pun ti­ dak dapat dielakkan. Seperti Ambon, di Makassar diskusi me­ru­pa­kan bagian penting tradisi ma­ sya­ra­kat. Di abad ke-15, La Pagala Ne­ nek Mallomo, seorang cendikiawan Bu­ gis nonistana, memulai tra­di­si tudang si­ pu­lung. Kebiasaan duduk ber­sama men­ cari kesepakatan, demi me­ning­katkan produktivitas pertanian.


Oleh sekelompok orang muda yang te­­lah terjangkiti teknologi modern, tu­ dang sipu­lung diperluas menjadi sema­ ngat diskusi warga Makassar dengan te­ ma apa­pun. Tiap sebulan sekali, Ko­mu­ nitas Blogger Makassar, Anging­mam­mi­ ri.org, yang secara resmi berdiri se­jak 22 No­vem­ber 2009, meng­ge­lar tudang si­pu­lung. Pada April lalu, mereka mengusung te­ma “Belajar dari Jepang” ketika ne­ge­ ri sakura itu dirundung gempa dan su­ nami dahsyat. “Tapi, tahukah te­man-te­ man kalau Jepang masih tetap te­gar?” Demikian potongan pengantar un­dang­ an tudang sipulung yang meng­ha­dir­kan Yamaghuci Kazuo, pekerja Je­pang di Makassar.  Khairul Anam

tu kelompok disuguhi pelatihan: di­ fa­bel, tunadaksa, dan ibu-ibu pegiat usaha kecil menengah (UKM). Khu­ sus untuk yang terakhir, mereka di­be­ ri pengalaman agar dapat men­ja­lan­ kan komputer dan internet demi ke­ per­lu­an pema­sar­an. Tapi Bengawan punya satu utang. Me­reka telah berjanji hendak meng­­­ upayakan per­pustakaan gratis dan mu­dah. Ge­rak­an itu dibe­ri ta­­juk “Solo Si­nau” alias “Solo Belajar”. Ta­hap per­ ta­ma, Bengawan menarget­kan se­bu­ ah perpustakaan untuk masyarakat

Kam­­pung Sewu, Ke­ca­­mat­an Jebres, Ko­ta Su­ra­karta. Tar­get yang rencana­ nya ba­kal jadi pa­da 2009 lalu hingga ki­­ni belum ram­pung. Cita-cita Benga­wan yang hendak mendorong kemuncul­an per­pus­ta­ ka­an-perpustakaan ko­mu­nitas atau war­ga, tidak hanya da­lam lingkup ad­ minis­tratif Kota Su­ra­­karta, tapi bi­sa menjangkau eks-Karesidenan Sura­ kar­ta, harus ter­sendat lantaran do­ na­tur bacaan masih belum munculmun­cul. Tum­puk­an bacaan itu masih kan­das di markas Bengawan. 

 Komunitas “Bloger” Daerah

1. Aceh (acehblogger.org) 2. Bali (baliblogger.org) 3. Bandung (batagor.net) 4. Bandung (bbv.or.id) 5. Banjarbaru (banjarbarucommunity. blogspot.com) 6. Banten (bloggerbanten.co.cc) 7. Batam (batamblogger.com) 8. Bekasi (bloggerbekasi.com) 9. Bogor (blogor.org) 10. Cirebon (blogcirebon.blogspot.com) 11. Depok (deblogger.org) 12. Garut (bloggergarut.or.id) 13. Gorontalo (tumbilotohe.wordpress.com) 14. Jakarta (b-h-i.blogspot.com) 15. Jakarta (kopdarjakarta.wordpress.com) 16. Jogjakarta (angkringan.or.id) 17. Jogjakarta (cahandong.org) 18. Kab. Kuantan Singingi Riau (komunitaskuansing.blogspot.com) 19. Kalimantan Barat (borneoblogger.com) 20. Kalimantan Selatan (kayuhbaimbai.com)

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

21. Kalimantan Timur (kal-tim.blogspot.com) 22. Kalimantan Timur (mahakam. wordpress.com) 23. Ketapang Kalimantan Barat (www.kayongblogger.com) 24. Lampung (www.seruit.com) 25. Makassar (angingmammiri.org) 26. Malang (bloggerngalam.com) 27. Mojokerto (blogger.mojokerto.org) 28. Ngawi (kotangawi.com) 29. Padang (palanta.org) 30. Palembang (wongkito.net) 31. Palu (www.nosarara.org) 32. Ponorogo (www.kotareyog.com) 33. Semarang (loenpia.net) 34. Serang (serangphotoblog.blogspot.com) 35. Solo (bengawan.org) 36. Sorowako (dengen.mysorowako.com) 37. Sumatera Utara (bloggersumut.net) 38. Surabaya (tugupahlawan.com) 39. Tangerang (blogerbenteng.com) 40. Wonogiri (wongwonogiri.co.cc)

data: ayongeblog.com  ilustrasi: kikymayang.blogspot.com

Semenjak bergabung dengan Benga­ wan, Luqman bisa lebih leluasa ber­ ba­gi ilmu perihal blog. Milis Bengawan telah menulis a­da 700-an anggota di komunitas. Da­­ri ke­semuanya itu, memang tidak 100 persen aktif. Aktif dalam artian Has­ san ada­lah “aktif di milis dan kopi da­ rat.” Ko­pi darat seringya dilakukan di we­dang­an (warung kopi) seputar­an So­lo. Yang jadi favorit Benga­wan ada­­ lah Wedangan Klithik, persis di be­ la­kang kompleks Stadion Manahan. “Ayo, kapan kita kopdar (kopi darat) lagi?” Tanya Luqman di milis Be­­nga­ wan akhir pekan pertama Mei ini.  “Membantu memperkenalkan So­ lo ke dunia. Pa­ri­wisa­­ta, promosi, dan pengem­bang­an kota,” tutur Hassan mengenai tujuan Bengawan. Ci­ta-ci­ ta itu di­nyatakan da­lam be­be­ra­pa ke­ giatan. Ju­ni ta­hun lalu misal­nya, Be­ nga­wan meng­ge­lar temu para blo­ger se-Indo­nesia yang mencakup ke­gi­at­ an “Sharing on line dan off line (So­ lo)”, sampai putar-putar di ja­lan­an untuk mengenalkan Solo pa­da pa­ra bloger dari lu­ar kota. Be­nga­wan ju­ga sempat bekerjasama de­ngan Ya­yas­ an Air Putih, melatih 10 anak tu­na­ netra agar mahir berin­ter­net. Yang paling sering digelar adalah pelatihan, terutama terkait in­forma­ ti­ka. Tiap minggu, paling sedikit sa­

21


T

elevisi

“Merem-melek” Menonton Televisi Selain menebar kesesatan pada orang dewasa, tayangan televisi juga mengancam kejiwaan anak-anak. Saatnya membaca tontonan.  Khairul Anam

kidia.org

B Guntarto, Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak

22

youtube.com

L

ita Marfiandi kaget. Anaknya yang baru berusia delapan ta­ hun, tiba-tiba melemparkan ge­­las dan piring sambil ter­ta­ wa girang. Setelah ditanyai, ternyata sang anak sedang tidak dalam keada­ an bermasalah. Justru sang anak men­­ jawab dengan enteng, “Kayak Jo­shua di TV.” “Yang dimaksud sang anak adalah ulah Jo­­shua dalam sinteron ‘Anak Aja­ ib’,” je­las Agus Surono dan Sinta Te­vi­ ningrum, da­lam artikel “Bahaya Ton­ tonan Ke­kerasan pada Anak” di In­ti­ sari edi­si Juli 1999. Tapi itu tulisan ber­an­jak dari peristiwa yang sudah lam­pau lebih dari satu dekade lalu. Ma­sa­lahnya adalah sampai sekarang be­lum ada perkara, penyimpangan anak (seperti anak Lita) yang benarbenar mutlak tersebab tontonan di tele­visi. Penyelidikan dari kaum cer­ dik-pandai juga belum amat me­nyen­ tuh soal betapa tontonan televisi sa­ ngat ber­dampak: baik atau buruk. Al­ ki­sah, kini pemerintah, bahkan Ko­ misi Penyiaran Indonesia (KPI) ti­dak ber­­gigi menghadapi tontonan yang me­nye­­bal­kan. Biarpun demikian, Roy tak pupus akal. Desember 2009 lalu, “Saya buat grup di Facebook. Dulu namanya Ma­ syarakat Anti Program Tele­visi Bu­ruk

Dalam salah satu episode "Primitive Runaway", Lia Waoede dipaksa memakan sajian khas Masyarakat suku Sambori yang berada di Desa Lengge, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima.

(MAPTB),” ingat Roy Tha­niago, Sabtu (28/5) lewat sambungan telepon. Ke­ isengan Roy itu alih-alih berlalu, jus­ tru ditanggap benar oleh teman-te­ mannya, dan mereka usul agar gerak­ an tersebut digarap lebih tekun. Tak sam­pai setahun kemudian, Redaktur karbonjournal.org dan majalah Bung! ini, bersama lima temannya men­di­ rikan Remotivi (remotivi.or.id)—re­ mot sebagai pengendali televisi. Satu tontonan yang sempat digun­ jing Remotivi kemudian adalah “Pri­ mitive Runaway” di Trans TV. Rea­li­ ty Show yang membalut acara­nya le­ wat kisah tualang sepasang ar­tis me­ nyu­suri keseharian masya­rakat adat itu, dicap Roy dalam artikelnya “Me­ reka Bukan Primitif!” sebagai se­su­a­ tu yang sesat. Roy bi­lang, “Mem­pri­mi­ tif­kan suatu kelom­pok ma­­sya­rakat adalah bentuk dis­kri­mina­si.” Selepas keberatan ter­sebut di­umumkan Ko­ Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

ran Tempo pada 24 No­vem­ber 2010, beraneka dukungan me­no­lak “Pri­mi­ tive Runaway” kian gen­car. Misalnya tweeps Ulil Abshar Ab­dal­lah di ha­ri yang sama: “Tulis­an Roy Thaniago di Koran Tempo hari ini… sangat baik.” Bermodal tulisan tersebut serta waca­na yang bergulir kencang me­ no­lak “Primitve Runaway”, Roy dan ka­wan-kawan di Remotivi mulai me­ maksa Trans TV untuk memi­kir­kan ulang tayangan­­nya. Dua bulan ke­mu­ dian, Remo­­tivi didampingi oleh KPI berhasil ber­ta­tap muka dengan ja­jar­ an Trans TV. Hasil­nya, Trans TV su­ di menggan­ti na­ma acaranya men­ja­ di “Ethnic Runaway”—sampai se­ka­ rang. “Sela­in itu (Primitive Runawayred.) kami be­lum melakukan pen­ dampingan la­gi,” jelas Roy. Sementa­ ra ini, Remo­ti­vi sedang mengamati be­berapa ton­ton­an tele­visi yang ber­ aroma fakta-non beri­ta semacam re­a­


lity show dan dokumen­ter. Selagi me­ nuntaskan misinya, Remotivi terus me­rangsang gejolak melek televisi, wa­laupun baru lewat web. Pernah Remotivi tak sendiri ber­ kiprah. Bahkan jauh sebelum ada­nya Remotivi, B. Guntarto dan ka­wan-ka­ wan telah mempelopori gejolak me­ lek televisi melalui Yayasan Pe­ngem­ bangan Media Anak (YPMA). Mula­ nya, di tahun 2003, saat ah­li li­te­rasi media KPI ini sedang aktif di Yaya­ san Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Guntarto dan ka­wan-kawan meng­gelar workshop se­la­ma dua ha­ ri di Hotel Peninsula, Jakarta. Sa­yang, forum itu belum berkelu­ar suara ba­ nyak. Baru setelah beberapa peser­ta forum seperti Nina Ar­man­do, Penga­ jar Ilmu Komunikasi Univer­sitas In­ do­nesia Jakarta; Maria Andriana da­ri Lem­baga Kantor Berita Nasi­onal (LK­ BN) Antara; dan Ani Muhtar, se­orang peng­usa­ha, kerap bertatap mu­ka dan membuka obrolan lebih te­kun, se­ta­ hun kemudian mereka ­sepakat men­ dirikan YPMA. “Waktu itu juga didasari kepri­ha­ tinan terhadap media kita yang per­ kembangannya sudah sangat luar bi­ asa. Tapi regulasinya juga lemah,” je­ las Gun­tarto, Rabu (4/5) dengan na­ da mi­ris lewat telepon. Lembaganya yang ba­ru itu kemudian melakukan bebe­ra­pa upaya di antaranya gerakan “Ma­tikan TV Selama Sehari” pada 25 Juli 2010. Dan, jurus andalan YPMA adalah dengan menerbitkan majalah panduan: Kidia. Katanya lagi, “Kidia itu adalah semboyannya YPMA (Kri­ tis Terhadap Media-red.). Kami pakai nama itu untuk YPMA kalau konteks­ nya majalah.” Begitu juga dengan web YPMA yang beralamat di kidia.org. Telaah-telaah Kidia memandu pa­ ra orang tua tentang tayangan yang paling digemari anak-anak. “Mereka (anak-anak-red.) itu adalah khala­ yak yang berkebutuhan khusus. Jadi mereka perlu dilin­dungi,” tutur Ni­na Armando, yang sempat menjadi Pe­ mimpin Redaksi Kidia, Sela­sa (3/5) dengan nada me­­­ninggi di ujung ga­ gang telepon. Sa­tu atau ba­nyak ton­ tonan hasil pe­nye­­lidikan ke­cil Kidia bisa saja dibe­ri nilai “hijau”, “kuning”,

Kadar Acara TV untuk Anak dan Remaja  Aman AnTV Curious George Land Before Time Star Kids Ya Iyalah Trans Surat Sahabat Trans7 Bocah Petualang Laptop Si Unyil Jalan Sesama Cita-Citaku Dunia Air Koki Cilik Kisah Anak Nusantara TV G Chalkzone Dora The Explorer Backyardigans Wonder Pets  Hati-hati RCTI TPI AnTV IVM Trans7 TV G

Casper's Scare School Doraemon Casper Transformer Galaxy Force Digimon Savers Pokemon 7 Seri AG Bakegyamon Bakugan Battle Brawlers Power Rangers B-Damon Ben 10 Power Puff Girl Scooby Doo Legion of Superheros The Batman Spongebob Squarepants Avatar

bahkan “me­rah”­—mengacu ke artian simbol­ik lam­­pu lalu lintas. Peredar­ an Kidia mu­lanya dilakukan dari ta­ ngan ke tangan. Di bagian inilah, Ki­ dia menga­il dana. “Ada yang Rp 5 ri­ bu, ada yang Rp 10 ribu,” kenang Gun­ tar­to lagi. Penerbitan Kidia tak ayal menarik perhatian Elly Risman. Psikolog yang juga tenar sebagai pemerhati anak ini sering meminta bekal ratusan ti­ ras Kidia kepada Guntarto apa­­bila ia ada undangan berbicara di se­minar. “Pak, minta 200 (Kidia) dong!” Ujar Gu­ntarto menirukan Elly. Saat se­mi­ nar itulah, Kidia dibagikan oleh Elly, Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati. Dengan cara begitu, pe­ser­ta seminar sekaligus diajak menyumbang untuk menerbitkan Kidia pada no­mor be­ri­ kutnya. Baru sejak 2006, sa­at badan untuk anak-anak PBB, UNI­CEF, ter­ta­ rik menyokong gejolak yang di­rang­ sang Kidia, penerbitannya per­lahan teratur: dua sampai tiga bulan sekali. Tapi sayang, menjelang awal 2010, sa­at dorongan UNICEF sudah ti­dak kun­jung mengucur, dan semi­nar-se­ minar Elly Risman kian tidak ter­atur, ditambah pula dengan sa­weran peng­ urus YPMA yang terulur-ulur, Kidia sempat “terbit dua kali di awal ta­hun 2010. Sampai sekarang tidak ter­bit lagi,” sesal Guntarto.  Kidia, majalah panduan bagi tontonan anak yang kini sudah gulung tikar.

 Bahaya RCTI TPI IVM Trans7 TV G

Crayon Shin-Chan Ronaldowati Babak 2 Dragon Ball Z Blue Dragon Naruto Shippuden Bleach 2 Tom & Jerry Cat Dog

DATA per 22 Agustus 2009 dari kidia.org kidia.org

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

23


P

ustaka

azwar anas

Buku Masuk Desa Kata pepatah, buku adalah jendela dunia. Dengan membaca sama saja kita membaca dunia.  Azwar Anas

P

agi itu Harjo terlihat sibuk. Di kantornya, di Perpusta­ ka­an Umum Kabupaten Ban­ tul, sekitar pukul 08.00 WIB. Ia tampak terburu-buru. Bahkan, se­ ka­dar meminum segelas teh yang su­ dah tersedia di meja kerjanya sa­ja ti­ dak sempat. Dengan segera ia me­ra­ ih kunci mobil di laci meja kerjanya dan keluar tergesa melewati tangga lan­tai dua. “Kemarin (27/5), itu pas mau ke­li­ ling,” katanya, Senin (30/5). Biasanya, Ia mengunjungi desa-desa dari 75 de­ sa di Kabupaten Bantul dengan mem­ bawa sebuah mobil berisikan tiga ri­ bu eksemplar buku bacaan. Ini­lah pe­ kerjaan Harjo, lelaki yang pu­nya na­ ma lengkap Harjono, sejak 2003 lalu. 24

Harjo adalah satu dari pus­ta­ka­wan Pe­merintah Kabupaten Bantul yang ber­sedia keliling demi melayani ma­ sya­rakat yang gemar membaca. Ia pa­ da hari Senin hingga Kamis rutin me­ nyo­piri sebuah kendaraan L-300 me­ nu­ju lokasi yang telah terjadwal un­ tuk di­kunjungi. “Sebenarnya tak hanya di de­sa, na­ mun terkadang juga di masjid, se­ko­ lah, pon­dok pesantren dan lain se­ba­ gai­nya,” tambah Harjo merinci. Me­la­ ku­kan keliling menurut Harjo ada­lah sa­lah sa­tu kiat untuk mena­nam­kan buda­ya mem­baca kepada masya­ra­ kat. Khu­sus­nya masyarakat pedesa­ an. Pasalnya de­ngan membaca, ma­ syara­kat dapat se­makin kaya pe­nge­ ta­huan­nya. Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

Perpustakaan Umum Kabupaten Ban­tul bersinergi dengan dinas ter­ ka­it yang secara bersama-sama telah mencanangkan program peningkat­ an mi­nat baca warga Kabupa­ten Ban­ tul. “Salah satunya melalui perpusta­ kaan keliling,” kata Harjo. Perpusta­ka­ an keliling merupakan per­pus­takaan yang menyediakan buku-bu­ku ba­ca­ an dengan sistem jemput bo­la. “Kare­ na itu kita optimalkan lo­ka­si yang ja­ uh dari perkotaan,” je­las Harjo. Akan tetapi, rencana Harjo tak se­ mata berjalan mulus. Kurangnya bu­ ku-buku bacaan terkadang menjadi hambatan yang cukup pen­ting. Har­ jo khawatir kalau-kalau masyarakat bosan dengan jenis bu­ku yang itu-itu saja. Oleh karena itu, Harjo menya­


Harjono bersiap melaksanakan tugasnya sebagai pustakawan keliling. Sejak 2003, ia biasa mengkoordinir sirkulasi buku perpustakaan ke 75 desa di Kabupaten Bantul.

Cara Melayani Warga Sementara di ruang yang berbeda dengan Harjo, Harry Respati tampak mengenakan baju safari. Meja kerja­ nya di bagian paling timur, di kantor Perpustakaan Umum Bantul. Nada bi­caranya me­ning­gi ketika me­nyoal mi­nat baca ma­sya­ra­kat. Pagi itu, Se­ nin (30/5) ru­ang kerja perpustaka­ an Bantul men­da­dak kikuk aki­bat

 Azwar Anas bergiat sebagai pewarta warga.

Tabel bantu turus layanan keliling dan blanko laporan harian perpustakaan keliling.

dokumen perpustakaan umum bantul

rankan Per­pus­ta­ka­an Umum Kabu­ paten Ban­tul untuk menambah ang­ gar­an gu­na peng­ada­an buku. “Sejauh ini ken­da­la­nya memang di jum­lah buku, ta­pi ini se­dang di­usa­ha­kan. Se­ mo­ga Pe­me­rin­tah Bantul menyetu­jui ang­gar­an itu,” harap Harjo. Selain itu, kondisi mobil yang mu­ lai aus terkadang juga menyulitkan. Tidak jarang mobil yang ia bawa, ti­ ba-tiba macet di tengah jalan. Terka­ dang sampai menginap di lokasi ga­ ra-gara kerusakan mesin yang cukup pa­rah. “Kita pernah menginap di da­ erah Imogiri gara-gara mobilnya nga­ dat. Apalagi di sana daerahnya kan nanjak, mungkin agak berat juga ba­ wa­an­nya,” tuturnya mengenang.

ob­rolan ini. Katanya, ia ikut mengga­ wangi la­hir­nya konsep ke­li­ling yang ada di Per­pus­ta­ka­an Umum Bantul. “Ini kami lakukan me­mang semata un­tuk me­ning­kat­kan mi­nat ba­ca ma­ sya­ra­kat Bantul,” kata­nya. Harry, yang sekarang menjabat se­ bagai kepala tata usaha Perpustaka­ an Umum Kabupaten Bantul meng­ akui “kalau sekarang enak, sekitar 2003 lalu kita hanya punya satu mo­ bil. Dan kita musti harus woro-wo­ro terlebih dahulu waktu masuk di de­ sa-desa. Sekarang sudah ada 7 mo­ bil yang beroperasi,” ujarnya. Harry menggarisbawahi, upaya me­ningkat­ kan minat baca itu tidak ter­le­pas da­ ri peran masyarakat. “Per­kembangan minat baca, memang harus da­ri ba­ wah,” tutur Harry. Ada dua macam layanan keliling yang diberikan Perpustakan Umum Ka­bupaten Bantul. Pertama, layanan pa­ket. Yaitu layanan yang tugas sir­

ku­lasi buku bacaan diserahkan se­pe­ nuhnya oleh pamong desa setempat se­la­ma satu bulan. “Terserah mau di­ atur seperti apa. Layanan ini se­be­tul­ nya lebih efektif dan efisi­en,” tutur Har­ry. Kedua, layanan umum. Yaitu kun­jungan langsung ke lokasi yang su­dah terjadwal. Biasanya, Harjono yang bertugas mengkoordinir layan­ an keliling. “Selama kurang le­bih em­ pat jam, kami stand by di sa­na me­ nung­gui masyarakat untuk menda­ tangi mobil kami,” jelas Harjo. Perpustakaan keliling tidak mem­ bebani masyarakat. Tak perlu mem­ bayar untuk memiliki kartu ang­go­ta. Den­da telat pengembalian pun tidak be­rupa uang, melainkan berbentuk sank­si tidak dapat meminjam buku dalam kurun sa­tu minggu berikut­nya. Hal ini bertuju­an di samping untuk me­ri­ngan­kan be­ban masyarakat, ju­ ga untuk me­la­tih ke­sadaran agar bi­ sa saling meng­har­­gai dengan pe­mus­ taka yang lain.

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

25


C

etak

Sepintas Soal Meliput Konflik Berita tentang konflik masih sekadar menonjolkan pilu dan nestapa. Butuh liputan mendalam agar jurnalis dan medianya turut mengurai konflik.  Bambang Muryanto

B

kuatan Qaddafi, saling ejek antara Qad­dafi dengan sekutu, dan lain se­ba­ gainya. Foto-foto pendukungnya ada­ lah foto pertempuran bah­kan ju­ga fo­to anak-anak yang me­megang sen­ ja­ta tanpa ada uraian fo­to (caption) yang menegur bah­wa me­li­bat­kan anak-anak dalam per­tem­pur­an ada­ lah pe­lang­garan hak anak. Media massa arus utama (main­ stream) dalam memberitakan konflik memang sering terjebak pada soal yang muncul di permukaan saja. Me­ ngapa? Berita macam ini layak ju­al ka­rena mengobral cerita seru konflik

senjata dan foto-fotonya yang he­­boh. Bagi sang pemilik media, da­rah dan air mata masih menjadi mata dagang­ an ampuh untuk men­dong­krak jum­ lah tiras. Tetapi bagi ma­sya­rakat, ini ti­dak banyak berguna. Padahal konflik di permukaan itu ha­nya puncak dari “gunung es”. Itu hanya akibat, sedangkan akar perso­ alan ada di “bawah” dan tak keli­hat­ an. Dampaknya, corak pem­beri­taan se­perti ini cenderung kian mem­per­ tajam konflik dan bu­kan menum­pul­ inya. Indonesia mempunyai peng­a­ laman soal ini, ketika terjadi kon­flik sara (suku, agama, ras) di Ambon pas­ca reformasi 1998. Me­dia setem­ pat di sana ter­be­lah dan cenderung me­mihak kelom­pok­nya sen­di­ri. Aki­ batnya konflik men­jadi kian dalam. Dalam memberitakan suatu kon­ flik, media massa harusnya melaku­ kan liputan mendalam guna mencari akar persoalannya. Apa yang ja­di pe­ nyebab sehingga sese­orang atau su­ atu kelompok tak dapat men­capai tu­juannya bersama-sama seca­ra da­ dani yuniarto

eberapa bulan lalu, konflik ber­senjata pecah di Libya. Ke­lom­pok oposisi mencoba meng­ambil alih ke­ku­a­sa­­an da­ri tangan Muammar Qad­da­fi. Salah sa­tu anasir yang me­­mi­cu munculnya kon­flik ini adalah gerak­an warga yang ber­hasil meng­gulingkan Presi­ den Hus­­ni Mubarak di Mesir—ne­ga­ ra tetang­ga Libya. Secara iseng, saya mencoba mem­ buka berita-berita soal konflik di Li­ bya yang dimuat di salah satu ko­ran nasional di Indonesia. Sumber be­ri­ta dari koran ini adalah kantor-kantor berita asing. Selama bulan Ma­ret, sa­ ya menemukan bahwa pemberi­ta­an koran nasional ini hanya berisi kon­ flik senjata antara kelompok oposisi melawan Qaddafi dan milisi pen­du­ kung­nya. Artinya sepanjang Maret, kantorkantor berita asing itu—yang menja­ di sumber berita (ada kemungkinan) —juga hanya fokus pada soal konflik senjata: kekuatan sekutu (pimpinan Prancis) yang menggempur pusat ke­

26

Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011


 “Tumbal” Berita Konflik 16 Oktober 1975 Tiga Jurnalis Televisi Channel 7 Greg Shackleton (27), Tony Stewart (21), dan Gary Cunningham (27) serta dua jurnalis Televisi Channel 9 Britons Malcolm Rennie (28), dan Brian Peters (29) tewas di Kota Balibo, Timor Leste. Saat itu mereka sedang meliput konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Timor Leste yang baru saja bebas dari jajahan Portugal.

29 Desember 2003 Setelah disandera hingga 7 bulan (23 Juni 2003) oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Ersa Siregar (52), wartawan senior RCTI, tewas tertembak saat kontak senjata antara TNI dan GAM di Simpang Ulim, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Senin (29/12). Sebelumnya Ersa dan juru kamera RCTI Fery Santoro dilaporkan hilang di Kuala Langsa.

21 Agustus 2010 Hari Sabtu itu, ketika kelompok warga Desa Fiditan dengan kampung Banda Ely, Kota Tual, Maluku, sedang saling serang dengan tombak, parang, dan senjata tajam lainnya, Ridwan Salamun sengaja meliput peristiwa tersebut. Tapi nahas, ia malah kena bacok dan pukulan benda tumpul. Setelah dua jam tak datang pertolongan, kontributor televisi swasta Sun TV itu meregang nyawa. TEKS: khairul anam  FOto: brisbanetimes.com, suaramerdeka.com, awaludin/okezone.com

mai? Inilah salah satu gaya da­ri jur­ nalisme peka konflik atau sering pula disebut sebagai jurnal­isme da­mai. Seperti yang dikatakan Antonia Koop, seorang pelatih jurnalisme pe­ ka konflik dari Pecojon (Peace and Con­flict Journalism Network), sang jurnalis harus melakukan penyeli­ dik­an mendalam, memberikan latar belakang yang luas, mengenali siapa saja yang terlibat, bertujuan pada ke­ pentingan masyarakat (bukan pem­­­ be­sar politik), dan tunjukkan ba­gai­ ma­na dampak dari konflik itu (bia­ sa­nya kelompok yang paling parah terkena dampaknya adalah per­em­pu­ an, anak-anak dan lanjut usia). Seluruh peliputan juga harus di­ja­ lankan sesuai dengan kode etik jur­ nal­istik. Misalnya, tidak berpihak ke­ pa­da salah satu kelompok, tidak men­ jadi alat propaganda, tidak “menye­ tankan” kelompok yang melakukan

tin­dakan keji, tidak mengumbar “da­ rah dan air mata”, tepat, dan tentu sa­ ja menerapkan keselamatan jurnalis­ me (safety journalism) agar sang jur­ nalis tetap selamat dan dapat me­nga­ barkan berita dari wilayah kon­flik. Indonesia sebetulnya mempunyai ber­bagai karya peliputan soal konflik yang bagus. Salah satunya adalah tu­ lisan berjudul “The Lost Generation” karya Muhlis Suhaeri di koran Borneo Tribun, 10 hingga 18 Februari 2008. Tu­lisan investigasi yang menyabet peng­hargaan Muchtar Lubis Award ini mencoba mencari akar persoalan dari bentrokan warga yang terjadi di Kalimantan lebih dari 40 tahun la­lu. Dari peliputan ini kita dapat me­nge­ tahui bahwa akar bentrokan an­tara su­ku Dayak dan bangsa Cina waktu itu adalah persoalan politik. “The Lost Generation” dapat men­ jadi sebuah bekal sejarah untuk me­ Kombinasi  Edisi ke-38  Mei 2011

nye­lesaikan konflik warga, andai ter­ jadi lagi. Selama ini tak ada penye­le­ saian resmi atas konflik ini. Ini bisa menjadi “bom” waktu yang siap me­ ledak. Ada setitik picu (trigger), kon­ flik ini dapat membesar dengan ce­ pat. Tapi dengan membaca “The Lost Generation”, masyarakat yang ber­ konflik akan mengetahui akar per­so­ alannya adalah anasir politik. Ross Howard, penulis buku Con­ flict Sensitive Journalism pernah me­­ wanti-wanti, ”para jurnalis profe­­sio­ nal tak dirancang untuk mengu­rangi konflik. Mereka coba mengha­­dir­kan berita yang akurat dan im­parsial. Ta­ pi lewat reportase yang bagus, kon­ flik sering berkurang de­ngan sen­di­ rinya.”  Bambang Muryanto adalah mantan

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

27



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.