![](https://assets.isu.pub/document-structure/210424013911-bba8fd2687e2a5a8cf54e3d0064988f9/v1/2b534e53155358695443b55083b612b7.jpg?width=720&quality=85%2C50)
6 minute read
RANCAK BUDAYA
Di Bawah Bintang-Bintang
Oleh Mochamad Bayu Ari Sasmita
Advertisement
Wiraguna masih saja tengkurap. Sahabatnya, Kopral Dirman berusaha mengangkat Wiraguna yang betisnya sudah menjadi sarang peluru panas.
“Kita harus naik lagi, Gun. Di atas ada sebuah gua. Sebelum perang, aku sempat beberapa kali mendaki ke bukit ini. Bertahanlah, Kawan.”
Dua orang prajurit itu mulai naik perlahan. Langkah demi langkah. Tanah di bukit itu masih basah, juga ada begitu banyak bebatuan yang cukup menyulitkan pendakian mereka.
Pertempuran siang tadi benar-benar sudah semakin gila. Pasukan musuh berkali-kali mendaratkan sebuah bom berdaya ledak sedang. Ada sebuah pakta perjanjian sebelum perang untuk tidak menggunakan nuklir. Tampaknya, sampai detik ini, perjanjian itu masih disepakati oleh para petinggi.
Pertempuran ini hampir tidak ada artinya sama sekali. Pertempuran yang hanya akan memakan korban nyawa saja tanpa ada timbal balik apapun setelah itu. Setelah perang dunia kedua yang berakhir pada tahun 1945, tampaknya manusia belum begitu banyak belajar tentang dampak perang. Mereka terus saja berdalih bahwa perang adalah ibu pengetahuan. Tanpa perang, teknologi tidak akan berkembang.
“Kopral,” rintih Wiraguna.
“Diamlah. Kau tidak perlu banyak bicara lagi. Simpan saja tenagamu.”
“Apa yang sebenarnya kita perjuangkan?”
Kopral Dirman sama sekali tidak tahu jawabannya. Dia dipaksa, diseret, untuk ikut sebagai seorang prajurit. Setelah enam bulan, ketika dianggap cukup cakap, dia diangkat menjadi kopral menggantikan kopral sebelumnya yang mati konyol karena menginjak ranjau ketika mabuk. Dia sendiri bertanya-tanya tentang hal itu. Mengapa kemudian negaranya mengambil sebuah posisi yang menimbulkan negaranya terlibat secara aktif dalam peperangan ini. Dia sempat membaca sebuah laporan bahwa dunia sedang mengalami krisis air. Tapi, mengobarkan perang hanya akan mengurangi pasokan air saja. Tampaknya, tanah tumpah darah Kopral Dirman masih memiliki pasokan air yang melimpah sehingga terjadi serangan bertubi-tubi dari negara-negara lain.
Kopral Dirman sama sekali tidak ingin mengangkat senjata seperti ini. Dia lebih suka mengangkat spatulanya dan berdiri dengan celemek di depan wajan untuk menyiapkan makanan. Cita-citanya adalah membuka sebuah rumah makan yang sederhana tetapi memiliki kualitas cita rasa yang melebihi dari restoran-restoran terkemuka. Dia ingin memberikan kebahagiaan kepada dunia dengan masakannya.
Tanpa menjawab pertanyaan Wiraguna, Kopral Dirman terus menaiki bukit itu sambil membopong Wiraguna. Setelah sekitar satu jam dia menapaki jalan terjal itu, mereka akhirnya berhenti sejenak di bahwa pepohonan. Wiraguna disandarkannya ke salah satu pohon sementara dirinya membuat api unggun dengan kayu-kayu di sana. Sialnya, hujan sore tadi benar-benar membuat kayu-kayu itu basah.
“Kopral,” rintih Wiraguna lagi.
“Bertahanlah. Semoga rekan-rekan kita yang beroperasi di seberang bukit ini kebetulan menaiki bukit ini dan menemukan kita di sini, terluka dan sebatang kara.”
“Aku tidak bisa melihat langit.”
“Masih bisa. Pepohonan di sini sudah begitu jarang. Aku bisa melihatnya dengan jelas, termasuk bintang-bintangnya.”
Wiraguna tersenyum. “Kopral, kau pernah mendengar cerita tentang bintang-bintang?”
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah
34
| Komunikasi Edisi 333
“Sepertinya aku tidak terlalu serius ketika mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dulu.”
“Aku juga tidak begitu suka pelajaran itu. Entah mengapa ayahku malah menjadi guru mata pelajaran yang membuatku mengantuk itu.”
Kopral Dirman tidak menjawabnya. Dia berpikir hanya akan mendengarkan rekannya yang sekarat itu. Baginya, hanya hal itu yang kini bisa dia lakukan. Dia sangat sadar bahwa peluru-peluru tadi mungkin tidak hanya melukai betisnya. Pasti ada bagianbagian vital dalam tubuh rekannya itu yang juga kena tembak. Dia sudah memberikan perban agar pendarahannya berhenti. Dia tidak bisa membawa rekannya itu lebih jauh lagi karena dia sendiri juga mengalami luka di bagian lengan kanannya.
“Ada banyak cerita tentang bintang-bintang. Konon di masa lalu, nenek moyang kita yang dinyanyikan sebagai seorang pelaut itu bisa mengarungi lautan tanpa tersesat atas pertolongan bintangbintang. Cuaca sangat menentukan hadirnya bintang-bintang, sebagai pedoman mereka.”
Napas Wiraguna semakin berat.
“Ada sebuah dongeng dari Jepang yang berhubungan dengan bintang-bintang, aku sangat menyukai dongeng ini.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda yang bernama Hikoboshi. Suatu ketika dia tidak sengaja menemukan sebuah pakaian yang begitu indah. Itu adalah pakaian bidadari. Hikoboshi menyembunyikan pakaian itu. Selang beberapa saat, ada seorang perempuan yang menyuruhnya mengembalikan pakaian bidadari itu. Tapi Hikoboshi tidak mengaku. Karena tidak bisa pulang ke kahyangan, perempuan itu akhirnya tinggal bersama Hikoboshi dan mereka berdua kemudian menikah.”
Wiraguna mengambil jeda. Kopral Dirman mampu mendengar napas sahabatnya itu yang begitu berat.
“Siapa nama perempuan itu?”
“Namanya Tanabata, Kopral, Tanabata. Suatu hari, ketika Hikoboshi pergi ke ladang, Tanabata melihat seekor merpati mematuki atap rumah dan kemudian terlihatlah sebuah kain yang tak lain adalah pakaian Tanabata.”
Prajurit sekarat itu mengambil jeda. Kopral Dirman kali ini tidak hendak menyela dengan pertanyaan. Dia akan menunggu dengan sabar.
“Setelah pulang dari ladang, Hikoboshi melihat Tanabata membawa pakaian bidadari itu. Tanabata pun mengenakannya. Sambil melayang ke langit, dia berpesan kepada Hikoboshi, ‘kalau kau mencintaiku, anyamlah seribu pasang sandal jerami dan tanamlah di bawah pohon bambu.’ Tapi Hikoboshi hanya menganyam sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Atas pertolongan Tanabata, akhirnya Hikoboshi dapat naik ke kahyangan.”
Kali ini, Wiraguna berhenti dengan batuk-batuk yang sedikit memercikkan darah.
“Kupersingkat saja, Kopral Dirman. Mereka berdua bertemu kembali. Tapi ayah Tanabata tidak menyukai orang bumi itu. Dia pun mencari berbagai cara untuk memisahkan keduanya. Dia menyuruh Hikoboshi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit. Dia akhirnya disuruh menjaga kebun labu, tetapi dia tidak boleh meminum labu itu atau akan ada masalah yang gawat. Karena merasa begitu haus, Hikoboshi pun memecah labu itu. Sebuah sungai akhirnya terlahir dari labu itu dan memisahkan Hikoboshi dan Tanabata. Atas izin ayah Tanabata, keduanya bisa bertemu sekali dalam satu tahun, yaitu pada 7 Juli.
Kedua sosok itu dapat kita lihat dari bumi, Kopral Dirman. Mereka berdua adalah bintang Altair dan Vega. Apakah sekarang sudah bulan Juli, Kopral Dirman?”
“Sekarang sudah bulan Oktober.”
“Sayang sekali, Kopral,” Wiraguna terbatuk-batuk lagi. “Andai saja perang tidak berkecamuk, aku akan menunjukkan bintangbintang itu kepadamu.”
“Jika tahun depan perang sudah usai, apakah kau akan menunjukkannya kepadaku? Aku akan mengajak adik perempuanku yang masih kecil. Kupikir dia akan menyukainya juga.”
Kedua mata Wiraguna semakin berat. Dia seperti tidak sanggup menahan rasa kantuk yang aneh itu. Berkali-kali, secara samarsamar, dia mendengar namanya dipanggil berkali-kali.
“Ngomong-ngomong, cerita itu mengingatkanku tentang cerita Jaka Tarub, meskipun ada bagian yang tidak mirip sama sekali.”
Wiraguna tidak bisa mendengarkan kata-kata Kopral Dirman lagi. Dia sudah memejamkan mata. Napasnya semakin tidak terdengar, semakin lambat.
“Gun, apakah kaupikir di planet lain ada kehidupan? Jika ada, apakah ada perang? Jika tidak ada sebaiknya kita bermigrasi ke sana saja. Tidak ada harta yang paling berharga selain masa damai. Nah, Gun, makhluk seperti apa kira-kira penghuni planet-planet lain itu?”
Kopral Dirman menyadari suatu hal, tapi dia akan terus bertanya kepada sahabatnya itu untuk memperoleh pengetahuan baru tentang alam semesta.
“Atau mungkin, jika ada kehidupan lain di luar sana, apakah kita mesti berperang dengan mereka? Apa alasan perang itu kira-kira? Apakah merebut sebuah sumber daya yang tidak dimiliki oleh masing-masing pihak?”
Tidak ada jawaban sama sekali.
“Nah, Gun, apakah kau tidak memiliki dongeng-dongeng lain yang berhubungan dengan benda-benda angkasa itu?”
Kali ini, hanya Kopral Dirman telah menyadari sepenuhnya bahwa hanya dirinya sajalah yang kali ini masih bernapas. Seperti cerita-cerita kuno, ketika mati seseorang menjadi bintang dan mengawasi orang-orang yang ditinggalkannya dari kejauhan, di langit, di angkasa sana. Begitu juga dengan Wiraguna. Barangkali saat Kopral Dirman sedang bertanya tadi, ruh Wiraguna sudah melesat menuju langit dan menambah cahaya kecil di atas sana.
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia sekaligus peraih Juara Harapan 3 Kompetisi Penulisan majalah Komunikasi UM
Tahun 42 Maret - April 2021 | | 35