Rancak Budaya
Di Bawah Bintang-Bintang
W
Oleh Mochamad Bayu Ari Sasmita
iraguna masih saja tengkurap. Sahabatnya, Kopral Dirman berusaha mengangkat Wiraguna yang betisnya sudah menjadi sarang peluru panas.
“Kita harus naik lagi, Gun. Di atas ada sebuah gua. Sebelum perang, aku sempat beberapa kali mendaki ke bukit ini. Bertahanlah, Kawan.” Dua orang prajurit itu mulai naik perlahan. Langkah demi langkah. Tanah di bukit itu masih basah, juga ada begitu banyak bebatuan yang cukup menyulitkan pendakian mereka. Pertempuran siang tadi benar-benar sudah semakin gila. Pasukan musuh berkali-kali mendaratkan sebuah bom berdaya ledak sedang. Ada sebuah pakta perjanjian sebelum perang untuk tidak menggunakan nuklir. Tampaknya, sampai detik ini, perjanjian itu masih disepakati oleh para petinggi. Pertempuran ini hampir tidak ada artinya sama sekali. Pertempuran yang hanya akan memakan korban nyawa saja tanpa ada timbal balik apapun setelah itu. Setelah perang dunia kedua yang berakhir pada tahun 1945, tampaknya manusia belum begitu banyak belajar tentang dampak perang. Mereka terus saja berdalih bahwa perang adalah ibu pengetahuan. Tanpa perang, teknologi tidak akan berkembang. “Kopral,” rintih Wiraguna.
seperti ini. Dia lebih suka mengangkat spatulanya dan berdiri dengan celemek di depan wajan untuk menyiapkan makanan. Cita-citanya adalah membuka sebuah rumah makan yang sederhana tetapi memiliki kualitas cita rasa yang melebihi dari restoran-restoran terkemuka. Dia ingin memberikan kebahagiaan kepada dunia dengan masakannya. Tanpa menjawab pertanyaan Wiraguna, Kopral Dirman terus menaiki bukit itu sambil membopong Wiraguna. Setelah sekitar satu jam dia menapaki jalan terjal itu, mereka akhirnya berhenti sejenak di bahwa pepohonan. Wiraguna disandarkannya ke salah satu pohon sementara dirinya membuat api unggun dengan kayu-kayu di sana. Sialnya, hujan sore tadi benar-benar membuat kayu-kayu itu basah. “Kopral,” rintih Wiraguna lagi. “Bertahanlah. Semoga rekan-rekan kita yang beroperasi di seberang bukit ini kebetulan menaiki bukit ini dan menemukan kita di sini, terluka dan sebatang kara.” “Aku tidak bisa melihat langit.” “Masih bisa. Pepohonan di sini sudah begitu jarang. Aku bisa melihatnya dengan jelas, termasuk bintang-bintangnya.” Wiraguna tersenyum. “Kopral, kau pernah mendengar cerita tentang bintang-bintang?”
“Diamlah. Kau tidak perlu banyak bicara lagi. Simpan saja tenagamu.” “Apa yang sebenarnya kita perjuangkan?” Kopral Dirman sama sekali tidak tahu jawabannya. Dia dipaksa, diseret, untuk ikut sebagai seorang prajurit. Setelah enam bulan, ketika dianggap cukup cakap, dia diangkat menjadi kopral menggantikan kopral sebelumnya yang mati konyol karena menginjak ranjau ketika mabuk. Dia sendiri bertanya-tanya tentang hal itu. Mengapa kemudian negaranya mengambil sebuah posisi yang menimbulkan negaranya terlibat secara aktif dalam peperangan ini. Dia sempat membaca sebuah laporan bahwa dunia sedang mengalami krisis air. Tapi, mengobarkan perang hanya akan mengurangi pasokan air saja. Tampaknya, tanah tumpah darah Kopral Dirman masih memiliki pasokan air yang melimpah sehingga terjadi serangan bertubi-tubi dari negara-negara lain. Kopral Dirman sama sekali tidak ingin mengangkat senjata
34 | Komunikasi Edisi 333
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah