7 minute read
Pusat Pelatihan Bahasa
Family Gathering PPB UKDW 2022
Sebagai wujud sukacita atas kelahiran
Advertisement
Tuhan Yesus Kristus, Pusat Pelatihan
Bahasa (PPB) Universitas Kristen Duta
Wacana (UKDW) menyelenggarakan perayaan Natal dalam kegiatan “Family
Gathering PPB UKDW” pada hari Sabtu, 17
Desember 2022 di Cengkir Heritage Resto & Coffee, Ngaglik Yogyakarta. Acara yang juga dihadiri oleh Dra. Mega Wati, M.Pd. selaku
Foto: Dok./PPB
Dekan Fakultas Kependidikan dan Humaniora (FKHUM), Anesti Budi Ermerawati, S.Pd., M.Hum selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama dan staf FKHUM ini diikuti oleh 40 orang yang terdiri dari Kepala, staf, dosen tidak tetap, mahasiswa volunteer PPB dan keluarganya serta pensiunan staf PPB yaitu Kurnia Pinasti.
Dalam kesempatan ini, Pdt Fendi Susanto, S.Si. M.Si. membawakan firman sesuai dengan tema Natal yang ditetapkan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), "Maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain" (Matius 2:12). “Ungkapan ini merupakan respons orang Majus terhadap perintah dan petunjuk yang Allah berikan kepada mereka dalam mimpi ‘Peringatan’ kerapkali digunakan untuk menunjukkan ucapan ilahi atau sebuah wahyu, seperti yang juga sering muncul dalam bagian lain di Injil Matius. Di mana perintah Ilahi ini diberikan melalui mimpi,” papar Pdt. Fendi Susanto. Selanjutnya Pdt. Fendi Susanto juga menjelaskan bahwa ketika Allah memberikan instruksi atau wahyu kepada orang Majus supaya tidak kembali kepada Herodes, ternyata direspons oleh mereka dengan pulang ke negerinya melalui jalan lain Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang Majus ini taat dan tunduk kepada perintah Allah Sekalipun mereka bukan orang Yahudi (umat Allah), namun mereka justru memperlihatkan sikap yang taat kepada setiap petunjuk, instruksi dan wahyu yang diberikan Tuhan kepada mereka. “Bagaimana dengan Bapak Ibu dan saudara-saudara keluarga besar PPB, apakah bisa pulang dengan jalan lain setelah acara ini?” pungkas Pdt. Fendi Susanto, S.Si. M Si setelah meminta semua hadirin berefleksi mengenai visi dan misi PPB serta relevansinya dengan tema Natal yang dibahas. Setelah ibadah selesai, acara family gathering dilanjutkan dengan melakukan banyak permainan seru yang telah disiapkan oleh panitia Natal PPB yang selain terdiri dari Kepala dan staff PPB juga didukung penuh oleh tim dosen tidak tetap yang bertugas yaitu Agnes Yudita Larasati, S.S., M A , Anastasia Kiki Widiantari S Pd , M.Hum., Elisabeth Rosalia Widyanti, S.Pd., Fransiska Selvy Wulandari, M Pd , Maria Raras Rumanti, S S , M A , Theodora Septiani Hendio, S.Pd. Salah satu permainan seru yang membuat suasana semakin meriah dan para peserta semakin akrab serta kompak yaitu Human Christmas Tree Dalam permainan ini, peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima orang kemudian salah satu peserta dipilih menjadi pohan Natal untuk dihias sebaik mungkin dengan aksesoris yang sudah disiapkan oleh panitia untuk membuat pohon Natal yang paling unik dan menarik.
Kegiatan family gathering ini adalah acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga besar PPB UKDW untuk dapat berkumpul lagi secara langsung dan memupuk jiwa kekeluargaan dan kebersamaan yang sudah terjalin meskipun sempat terhalang oleh pandemi. Dosen-dosen tidak tetap PPB merupakan pengajar/guru/dosen di institusi lain yang memiliki latar belakang budaya serta agama berbeda tapi semuanya bersatu dan bersinergi di PPB UKDW untuk terus meningkatkan kualitas layanan serta program-program PPB UKDW baik bagi sivitas akademika maupun masyarakat luas. (ar)
Kisah Istilah ‘Pelakor’: Lahir Dari Resah, Tumbuh Makin Terasah
Seperti halnya tidak ada manusia yang lahir dari batu, demikian pula tidak ada istilah yang asal-usulnya buntu Sebuah istilah bisa lahir dan berkembang mengikuti kebutuhan manusia dalam menarasikan sesuatu. Ketika ada kekosongan yang berujung pada kerancuan untuk menyebutkan sebuah hal, manusia bisa menjadi sangat kreatif dalam melahirkan istilah yang kadang-kadang, di luar dugaan, menjadi sangat fenomenal.
Pada tahun 2017, warganet dihebohkan oleh video pertikaian antara seorang anak dan seorang perempuan yang, konon katanya, menjalin hubungan khusus dengan sang ayah Kebetulan, sang ayah adalah pengusaha yang sukses dan perempuan tersebut merupakan publik figur yang cukup terkenal di dunia hiburan tanah air. Itulah mengapa video tersebut menjadi buah bibir dan viral di kalangan netizen atau warganet. Bukan hanya viral, video tersebut juga memantik reaksi warganet untuk berkomentar cukup pedas. Komentar-komentar warganet tersebut melahirkan satu istilah baru yang masih populer hingga saat ini: pelakor, perebut laki orang.
Lahir Melejit dan Makin Legit
Data Google Trend menunjukkan bahwa pada momen yang bersamaan dengan viralnya video tersebut, yaitu pada akhir Maret 2017, warganet mulai sibuk mencari dan juga menggunakan istilah pelakor di media sosial. Jika diibaratkan dengan proses perkembangan manusia, bisa jadi momentum tersebut adalah saat-saat kelahiran istilah pelakor. Siapa yang melahirkan? Well, karena tidak ada data atau informasi yang valid mengenai pemilik hak cipta istilah pelakor, jadi mari kita asumsikan bahwa istilah pelakor memang lahir dari riuh rendah keributan warganet secara natural dan organik.
Bayi yang bernama pelakor tersebut tumbuh secara perlahan di tahun 2017, hingga akhirnya mengalami growth spurt dan lonjakan popularitas pada Februari 2018. Sama seperti kelahirannya, lonjakan popularitasnya juga diinduksi dan dipicu oleh video yang viral. Kali ini, seorang istri dengan bar-barnya menyawer seorang perempuan yang diduga berselingkuh dengan suaminya Sang istri menghujani perempuan tersebut dengan lembaran uang yang jumlahnya tidak sedikit sambil bersumpah serapah, sedangkan sang suami dan juga perempuan tersebut hanya bisa tertunduk lesu Aksi yang tidak biasa ini tentu mendulang banyak perhatian dari warganet dan tentu saja, istilah pelakor mengudara di tengah tajamnya komentarkomentar warganet. Tidak hanya pada video tersebut, tetapi juga pada konten-konten media sosial dan berita-berita lain yang mengungkap kasus perselingkuhan.
Sejak saat itu, istilah pelakor tumbuh pesat ketenarannya hingga para pendahulunya kehilangan panggung Istilah orang ketiga, selingkuhan, simpanan, dan juga WIL (wanita idaman lain) mulai redup dan tidak lagi terdengar gaungnya Saat istilah pelakor sedang cerah-cerahnya bersinar di tahun 2018, banyak pihak berasumsi bahwa popularitas istilah pelakor melejit semata-mata hanya karena unsur kebaruan saja Warganet mudah tertarik dengan istilah yang baru dan nantinya akan mudah lupa juga. Ivan Lanin, seorang Wikipediawan yang juga pemerhati Bahasa Indonesia, pernah berujar bahwa mungkin saja, dalam dua tahun istilah pelakor sudah tidak lagi digunakan.
Saat ini, hampir lima tahun berselang sejak pernyataan tersebut dikeluarkan, nyatanya istilah pelakor masih tetap menggigit dan legit. Bahkan, istilah pelakor sampai saat ini sudah berkontribusi memberikan corak tersendiri pada industri hiburan secara luas, naik kelas dari media sosial. Talkshow dengan istri korban pelakor sebagai bintang tamu, ratingnya melejit di layar kaca. Film dan serial televisi Indonesia sepanjang tahun 2022 pun masih didominasi oleh topik perselingkuhan, baik di layar lebar, layar kaca, maupun layanan streaming aplikasi berbayar Kisah-kisah nyata soal perselingkuhan pun banyak diulas secara mendalam dan diproduksi secara serius oleh kanal-kanal YouTube. Berangkat dari istilah yang sekadar dianggap lebih segar, istilah pelakor saat ini sudah makin mendewasa dan bahkan bisa menjadi ‘kendaraan’ para pelaku dan produser dunia hiburan untuk meraih perhatian konsumen yang juga merupakan warganet.
Buah dari Resah dan Marah yang
Diasah Selain menenggelamkan istilah-istilah yang lalu, terbukti bahwa istilah pelakor sudah mampu bertahan lebih lama. Istilah pelakor seperti memiliki cita rasa khusus dan daya tarik tersendiri dalam memenuhi kebutuhan warganet dan masyarakat secara luas dalam menyampaikan makna. Bisa jadi, istilah pelakor bukan saja menang dalam hal kebaruan, tetapi juga memiliki kekuatan lain yang sampai saat ini belum tergantikan.
Pada era-era sebelumnya hingga awal dekade 2000-an, terdapat beberapa istilah yang memiliki makna dan fungsi yang kurang lebih sama dengan istilah pelakor. Istilah-istilah tersebut juga marak digunakan pada media cetak maupun elektronik untuk menggambarkan sosok orang ketiga. Istilah selingkuhan, misalnya, diartikan oleh KBBI sebagai “orang yang diajak selingkuh”. Selain itu, ada juga singkatan WIL, yang berarti “wanita idaman lain” dan juga istilah simpanan yang bisa diartikan sebagai “sesuatu (atau seseorang) yang disimpan”.
Jika kita bandingkan dengan istilah pelakor, istilah selingkuhan, simpanan, dan WIL seketika ‘kalah’ tajam. Ketika istilah selingkuhan didefinisikan sebagai “ orang yang diajak selingkuh”, maka ada sisi pasif orang ketiga yang muncul dari narasi tersebut Kata kerja pasif “diajak” menunjukkan bahwa selingkuhan bukanlah orang yang secara aktif menginisiasi terjadinya kegiatan perselingkuhan Menurut KBBI, orang yang berselingkuh bukan disebut sebagai selingkuhan, tetapi peselingkuh. Hal ini menjadi menarik karena nyatanya istilah selingkuhan lebih sering digunakan untuk menggambarkan orang ketiga di luar hubungan yang sah. Sehingga, secara tidak langsung, bisa jadi pada saat itu orang yang ada di dalam hubungan tersebutlah yang menginisiasi kegiatan perselingkuhan.
Hal yang sama tercermin juga dari istilah simpanan Seolah-olah, orang ketiga t e r s e b u t m e r u p a k a n s e s u a t u y a n g “disimpan” atau “disembunyikan” oleh peselingkuh yang secara aktif “menyimpan” dan “menyembunyikan”. Sementara, istilah pelakor yang merupakan akronim dari “perebut” laki orang menunjukkan bahwa orang ketiga-nya lah yang aktif melakukan aktivitas “merebut”. Posisi orang ketiga pada istilah pelakor bisa dikatakan menjadi kurang lebih sama dengan peselingkuh. Ada inisiatif dan sisi aktif yang coba diungkapkan melalui istilah pelakor, yang pada akhirnya menitikberatkan kesalahan pada pihak orang ketiga.
Singkatan WIL, membawa fitur semantik atau elemen makna yang lebih spesifik dibandingkan dengan selingkuhan dan simpanan. Istilah wanita idaman lain secara nyata menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan untuk memasukkan unsur gender dalam pemberian julukan untuk orang ketiga. Hal ini berlaku sama untuk istilah pria idaman lain (PIL) dan juga pebinor (perebut bini orang) yang sayangnya masih kalah populer dengan WIL dan juga pelakor. Istilah pria idaman lain dan pebinor seolah muncul semata-mata hanya sebagai oposisi biner dari istilah wanita idaman lain dan pelakor.
Terlepas dari penambahan unsur gender, ada hal lain yang akhirnya menjadi senjata makan tuan yang tidak berpihak pada pihak perempuan yang ada dalam hubungan sah tersebut, yaitu penggunaan kata “idaman” Orang ketiga pada istilah wanita idaman lain digambarkan sebagai sosok lain yang “diidamkan” oleh laki-laki yang telah berada pada hubungan yang sah. Penggunaan kata “idaman” sesungguhnya justru membuat posisi orang ketiga menjadi sosok yang, bisa jadi, “lebih menarik” dan malah menunjukkan gambaran yang positif sebagai sosok yang “diidamkan”. Sedangkan pada istilah pelakor, predikat “perebut” selain menunjukkan keaktifan juga menunjukkan aktivitas “merebut” yang kesannya “memaksa” dan tentu saja, negatif. Dari perbandingan makna istilah-istilah tersebut, ada setidaknya dua fitur makna yang belum terpenuhi dari istilah-istilah terdahulu, yaitu keaktifan dan citra negatif. Ketiadaan kedua fitur makna tersebutlah yang akhirnya memantik warganet yang resah dan marah menyaksikan perselingkuhan untuk melahirkan istilah baru yang lebih tajam dan terasah. Istilah-istilah terdahulu yang menempatkan orang ketiga sebagai pihak yang pasif dan masih memiliki citra yang positif pada akhirnya tidak memenuhi salah satu fungsi dari pemberian julukan, yaitu sanksi sosial. Ketika fungsi pemberian sanksi sosial tidak terpenuhi, maka keresahan tersebut muncul dan meluap dalam bentuk komentar-komentar bernada amarah, yang akhirnya terwadahi dalam istilah pelakor. Istilah pelakor, pada akhirnya menjawab keresahan atas ketiadaan sanksi sosial dan menjadi sebuah penggambaran yang lebih tajam untuk orang ketiga. Kira-kira, adakah istilah lain yang akan lahir setelah pelakor? [Nadia Puri]