Kesederhanaan yang Menginspirasi

Page 1

Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

a

Kesederhanaan yang Menginspirasi




Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kesederhanaan yang Menginspirasi

Penulis : Tim Penulis Refleksi Karya 2016 ISBN : 978-602-6865-15-1 Editor : Dr. Ridwan Sanjaya, SE, S.Kom, MS.IEC Desain sampul : Hartoyo Van Putro Perwajahan isi : Ernanto Henry

ii

Penerbit : UPT Penerbitan dan Desain, Universitas Katolik Soegijapranata Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur Semarang 50234 Telp. 024-8505003, 8441555 (hunting) Fax. 024-8415429, 8445265 e-mail : penerbitan@unika.ac.id

Hak Cipta Š 2016 Universitas Katolik Soegijapranata Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur Semarang 50234 Telp. 024-8505003, 8441555 (hunting) Fax. 024-8415429, 8445265 e-mail : unika@unika.ac.id

Kesederhanaan yang Menginspirasi


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kata Pengantar

Hiruk pikuk kehidupan dalam bekerja dan bersosialisasi yang dihadapi sehari-hari seringkali menimbulkan kejenuhan sampai pada puncaknya. Beruntung, dosen dan karyawan Unika Soegijapranta mendapatkan kesempatan dalam setiap tahunnya untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan melakukan refleksi atas kehidupan yang dijalani. Pada tanggal 7-8 April 2016, dengan tema Ugahari Mandiri, Unika Soegijapranata mengajak dosen dan karyawan untuk menengok sejenak saudarasaudara yang hidup sederhana dengan kemandiriannya di empat desa yang terdiri dari tujuh dusun. Keempat desa tersebut adalah Desa Ketapang (Dusun Karangasem dan Dusun Baraan), Desa Batur (Dusun Ngringin dan Dusun Kaliduren), Desa Sukabumi (Dusun Surjo dan Dusun Sukabumi), dan Sumberagung. Kegiatan yang dikemas dalam bentuk live-in ini, mengharuskan setiap dosen dan karyawan untuk tinggal dan menyelami setiap keluarga di sana. Refleksi bersama masyarakat dengan alam yang seringkali berbeda dari kehidupan sehari-hari ternyata menghasilkan kejutan-kejutan dan kenyataan hidup yang menyentuh, sehingga menghadapkan kita pada pilihan untuk selalu bersyukur atau mengeluhkan hidup yang dihadapi saat ini. Dari refleksi setiap individu yang dirangkum dalam buku ini, ada yang menemukan pesan spiritual dengan melihat kehidupan masyarakat desa, mendapatkan inspirasi dan peneguhan sikap hidup yang dijalani selama ini, menimba wawasan dan kearifan lokal, bahkan menghasilkan analisa-analisa ilmiah atas kondisi masyarakat yang ada untuk mengingatkan kita semua. Membaca artikel-artikel di buku ini beberapa bulan setelah Refleksi Karya 2016 dilaksanakan, membuat kita seringkali tersenyum kembali dan mungkin mengernyitkan dahi ketika menemukan peristiwa yang sama dengan pengalaman pribadi atau inspirasi yang didapatkan. Setiap artikel yang ditulis oleh dosen dan karyawan Unika Soegijapranata ini kiranya dapat mewakili dari berbagai peristiwa dan hidup yang kita alami bersama. Kehidupan indah meskipun sederhana yang

Kesederhanaan yang Menginspirasi

iii


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

dianugerahkan kepada kita, adalah karya terbesar yang harus disyukuri setiap hari. Kesegaran jiwa yang terus-menerus akan didapatkan oleh mereka yang menemukan kenyataan bahwa selama ini Tuhan selalu baik bagi hidupnya. Berkah Dalem.

Semarang, 17 Juli 2016. Editor

iv

Kesederhanaan yang Menginspirasi


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Daftar Isi

Kesederhanaan Bukanlah Kekurangan, Melainkan Kekayaan Dalam Memaknai Jati Diri

1

Keteduhan yang Bersahaja

5

Ketulusan Dalam Kemandirian

10

Quo Vadis Desa-desa di Pulau Jawa : Sebuah Refleksi

13

Kesederhanaan Sebagai Ungkapan Syukur

17

Hidup Empat Sehat Lima Sempurna dalam Keluarga yang Bersahaja

21

Berikan Yang Terbaik Dalam Hidup

26

Kebersahajaan Yang Memerdekakan: Belajar dari Kesederhanaan Petani

30

Keindahan dalam Kebersahajaan

33

Sumarah Mring Kersanipun Gusti: Menemukan Makna Penyerahan pada Kehendak Allah

37

Guyup sebagai Tradisi Desa dan Bersatu dengan Alam: Perlu dibawa serta ke Kampus Tercinta

42

Syukur untuk Pendidikan yang Telah Dialami

48

Menegakkan Keyakinan untuk Memegang Teguh Prinsip

51

v

Kesederhanaan yang Menginspirasi


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

vi

Indahnya Kebersahajaan yang Memerdekakan

55

Semangat dan Ceria Meskipun Dalam Kesederhanaan

58

Berbagi Kisah Dari Dusun Kaliduren

62

Pergumulan Mengolah Nilai Dalam Refleksi Karya

66

Tak Seindah Lukisan Mooi Indië

72

Kebersahajaan Berkelimpahan

76

Sekolah yang Ugahari

78

Dari BALUNG KETHEK Sampai FRIED CHICKEN

80

Kecil dan Mandiri

84

Kirain ke Sawah, Ternyata Malah Momong

88

Orang Desa yang Tidak Punya Sawah

90

Sukacita dan Tulus Dalam Bekerja: Segelintir Berkat Tuhan dari dusun Ngringin

93

Belajar dari Ketulusan Keluarga Ibu Muniroh

97

Lakukan Yang Terbaik, Tuhan Mengerjakan BagianNya

99

Kebahagiaan dalam Kebersahajaan

103

Mas Taryo: “Pendidikan yang memberdayakan”

106

Kesederhanaan yang Menginspirasi


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kesederhanaan Bukanlah Kekurangan, Melainkan Kekayaan Dalam Memaknai Jati Diri F. Yuwono Agus S, Humas Dusun Ngringin, Desa Batur “Kesederhanaan berarti kegigihan dan semangat dalam menjalani hidup dengan penuh rasa syukur “

S

empat penulis melamun sesaat, tatkala penulis dalam rombongan bus yang membawa dosen dan tenaga kependidikan Unika Soegijapranata hampir sampai di rumah Kepala Dusun, untuk kegiatan live-in di Dusun Ngringin selama sehari. Bayangan suasana pedesaan yang pernah saya kenal sewaktu kecil dulu di tempat tinggal kakek dan nenek kembali muncul, dengan aroma alamnya, sungguh menggugah semangat untuk segera bertemu dengan keluarga yang akan menerima penulis untuk live-in. Penulis di tempatkan pada sebuah keluarga, bersama satu rekan dari bagian kendaraan Unika. Nama kepala keluarga yang akan menerima kami adalah Ibu Sarni (dugaan penulis dengan nama itu kemungkinan Ibu ini seorang Janda karena tidak menyebutkan suaminya) Awalnya kami harus diantar oleh salah satu warga untuk menuju

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

1


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

rumah Ibu Sarni. Dengan membawa tas ransel, kamera dan handycam, penulis berjalan sambil ngobrol tentang dusun Ngringin, hingga tanpa terasa sampai di depan sebuah rumah sederhana dan disambut dengan ramah oleh seorang Ibu kira-kira berusia sekitar 60 tahun. Dari cara menyambutnya saya tahu, bahwa beliau adalah Ibu Sarni yang akan menampung saya untuk live-in selama sehari di dusun itu. Penulis disambut dengan baik oleh Ibu Sarni dan diperkenalkan dengan seorang laki-laki muda yang saat kami datang masih menggendong sebuah alat pertanian. Kami dipersilahkan masuk ke rumah Ibu Sarni, yang tampak sederhana karena terlihat dari tembok rumah yang sebagian dibangun dengan batako yang belum diplester dan tidak ada eternitnya, serta lantainya masih tanah. Kami dipersilahkan duduk pada tikar yang digelar di tengah rumah itu, dan penulis lihat lantai tanahnya tampak lembab seperti habis disiram. Tidak ada perabot lain di ruangan itu selain meja kecil disudut ruangan untuk meletakkan makanan kecil dan minum serta charger HP. Di atas tikar itu penulis ngobrol singkat dengan Ibu Sarni, sedangkan anak laki-lakinya hanya sebentar menemui kami karena harus segera ke ladang. 2

Penulis menawarkan diri untuk ikut anaknya ke ladang tapi dicegah oleh Ibu Sarni karena baru saja datang dan diminta istirahat dulu. “Ampun kesesa pak, istirahat lan ngunjuk rumiyin, mangke menawi sampun, saged kulo derekaken wonten sabin� (Jangan tergesa-gesa Pak, istirahat dan minum dulu, nanti jika sudah istirahat, akan saya antar ke ladang). Mendengar permintaan Ibu Sarni, penulis tidak bisa mengelak dan kembali duduk serta melanjutkan berbincang-bincang dengan Bu Sarni.Bu Sarni bercerita, bahwa dalam rumah itu hanya dihuni oleh dia dan anak laki-laki satu-satunya. Suaminya sudah cukup lama meninggal dunia. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya Bu Sarni bercocok tanam di ladang yang saat ini di tanami sawi, dibantu anak laki-lakinya. Di samping rumahnya ada kandang sapi yang masih satu atap dengan rumah itu, Ibu Sarni memelihara 2 ekor sapi (seekor sapi betina dewasa dan seekor anak sapi).

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Penulis bisa merasakan kesederhanaan Ibu Sarni dari cara berpakaian dan cara bicaranya serta kondisi rumahnya. Tidak ada sedikitpun rasa kesedihan tersirat di wajahnya. Yang penulis tangkap hanya kegigihan dan semangat dalam menjalani hidupnya, dengan penuh rasa syukur. Sempat penulis tanya ke Bu Sarni, Apakah anaknya masih sekolah atau tidak? Dan dijawab bahwa anaknya tidak lulus SD karena kata anaknya saat itu tidak mau melanjutkan sekolah sejak di bangku kelas 4 SD. Sewaktu penulis tanya lagi apa pekerjaan anaknya, Ibu Sarni menjawab bahwa anaknya hanya ingin menemani Ibu Sarni sambil kerja di ladang. Dan itu atas keinginan anaknya sendiri, “Mesakaken Ibu yen Ibu dewekan karo nggarap kebon� (Kasihan Ibu kalau Ibu harus sendiri di rumah dan menggarap ladang) jelas Bu Sarni menirukan jawaban anaknya tatkala Bu Sarni menanyakan keinginan anaknya sepeninggal suaminya.

3

Gambar 1. Ibu Sarni, pemilik rumah tempat penulis melaksanakan live-in

Seperti tayangan sebuah film yang nyata di hadapan mata. Suatu kisah kehidupan yang sangat menyentuh jika kita menjadi bagian dari ceritanya.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Bahwa sisa hidup Ibu Sarni hanya ditemani anak laki-lakinya dalam kesederhanaannya. Tetapi kebahagian yang tersisa dia perjuangkan bersama anaknya, supaya ruang-ruang yang kosong dalam hatinya dapat terisi dengan kebahagiaan dan rasa syukur pada Tuhan-nya. Pada waktu lain, penulis bersama rekan satu rumah diantar ibu Sarni ke ladang sawi. Jaraknya cukup jauh dari rumah. Kami harus melewati beberapa pematang sawah dan menyisir pinggir sungai kecil untuk bisa sampai ke ladang Ibu Sarni. Sengatan panas matahari, seperti sudah menjadi kawan seiring dalam segala aktifitas Bu Sarni dan anaknya di ladang. Begitupun yang penulis rasakan siang itu, tetapi kegembiraan kami seakan mengusir kepenatan badan dan sengatan matahari siang itu. Sore hari, kami sempat istirahat dan mandi untuk persiapan sarasehan di rumah Bapak Kepala Dusun.

4

Tak lupa hidangan mie godog diramu dengan sawi hasil panen tadi siang, menjadi menu santap makan sore kami. Maklum, sore itu meskipun waktu masih menunjukkan pukul 16.30 wib tapi di luar rumah, kabut sudah melingkupi Dusun Ngringin, membuat udara jadi dingin dan sangat cocok untuk menyantap mie godog buatan Bu Sarni. Sehari bersama keluarga kecil dan sederhana ini, seakan memberi suntikan vitamin bagi penulis untuk lebih menjalani hidup dengan penuh semangat tanpa melupakan rasa syukur.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Keteduhan yang Bersahaja Alvon Ponco Hadi Heru C, BAA Dusun Kaliduren, Desa Batur “Ketika keteduhan hadir dalam diri kita, kebersahajaan pasti terpancar dari jiwa kita”

R

efleksi Karya merupakan program tahunan Universitas Katolik Soegijapranata sejak tahun 2009, pada tahun 2016 Refelksi karya diselenggarakan pada tanggal 7 dan 8 April 2016 dengan model live-in di desa komunitas Qaryah Thayyibah (di wilayah Kabupaten Semarang dan Boyolali) yang dilanjutkan pertemuan bersama di Griya Robusta, Kampung Kopi Banaran, Bawen. Kesempatan ini tidak penulis sia-siakan selama live-in penulis tinggal bersama dengan sebuah keluarga yang sederhana yang suaminya sudah meninggal. Di keluarga tersebut tinggal Bapak Suko bersama dengan anak terakhirnya yang bernama Asih dan ibunya yang bernama simbah Ngapinah. Keluarga ini tinggal di Dusun Kaliduren Desa Batur Kecamatan Getasan Salatiga. Bapak Suko merupakan anak sulung dari Ibu Ngapinah, menurut cerita Ibu Ngapinah, Pak Suko sudah 10 tahun berpisah dengan isterinya. Pada awal keberangkatan menuju dusun kaliduren perasaan cemas, khawatir, penasaran dan senang semua campur aduk jadi satu. Selama perjalanan sebelum sampai di dusun kaliduren penulis sangat senang sekali karena pemandangan alam yang indah menemani perjalanan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

5


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

kami apalagi melihat pohon-pohon pinus tinggi menjulang dengan berjajar rapi sangat meneduhkan hati penulis. Tepat jam 08.05 WIB sampailah kami di dusun kaliduren, begitu turun dari Bis yang mengantar kami dan menghirup udara di dusun kaliduren perasaan “nyes� langsung penulis rasakan dengan udara yang masih segar serta keramahan penduduk dusun kaliduren yang menerima kami.

Gambar 1 : mbah Ngapinah dan ibu Sri bersama dengan peserta live-in (ibu Marcella dan mbak Ning)

6

Kedatangan kami disambut ramah oleh sebagian warga dusun kaliduren yang sudah menunggu kedatangan kami, tibalah saatnya pembagian tempat tinggal, masing-masing dari kami sudah membawa tulisan nama yang akan ditempati, satu-persatu dari rombongan dipanggil dan mengikuti bapak/ibu asuh selama kami ber live-in, yang awalnya penulis harus tinggal di tempat pak Suroso akhirnya di batalkan dan diganti tinggal di tempat pak Suko, bagi penulis siapapun Bapak/Ibu asuh selama ber live-in tidak penting yang penting adalah pembelajaran yang penulis dapatkan selama hidup sehari semalam di keluarga baru. Pak Suko kemudian mengantar kami (penulis tinggal bersama dengan Bapak Hendra dari Progdi Sistem Informasi) menuju rumahnya, setiba di rumah beliau kami dipersilahkan duduk. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan maksud kegiatan refleksi ini kepada Pak Suko, Keramahan dan kesederhanaan Pak Suko dalam menerima kami

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

terpancar sangat tulus dan beliau sangat senang menerima kami dan berpesan agar kami bisa menerima apa adanya keadaan rumahnya, tidak lama berselang ibunda pak Suko menyuguhkan minum teh panas untuk kami dan cemilan “rengginan� yang sangat gurih dan enak. Ibunda pak Suko yang bernama mbah Ngapinah juga sangat baik dan ramah menerima kami, penulis sangat senang dengan keramahan keluarga pak Suko. Selepas perkenalan kami diminta untuk istirahat, karena waktu yang sangat terbatas penulis tidak istirahat, melainkan membaur dengan keluarga bapak Suko. Aktifitas yang sedang berlangsung di rumah Pak suko adalah kegiatan memasak yang dilakukan oleh mbah Ngapinah dan anak bungsunya bernama ibu Sri (adik dari Bapak Suko yang tinggal di dusun yang berbeda) yang sengaja datang ke rumah Bapak Suko untuk membantu memasak. Dapur Pak Suko layaknya sama dengan dapurdapur yang ada di pedesaan masih menggunakan kayu bakar untuk perapiannya. Di dapur kami melakukan obrolan-obrolan ringan dan santai sambil memperkenalkan diri kami masing-masing dan mengenal lebih dekat keluarga pak Suko. Sambil mengaduk-aduk masakan ayam yang sedang dimasak Ibu Sri, Penulis merasakan kebersahajaan keluarga besar Bapak Suko ini. Menurut cerita dari mbah Ngapinah dan bapak Suko keluarga ini sudah turun temurun bekerja sebagai petani sayur yang memiliki beberapa petak lahan garapan di sekitar dusun kaliduren, dengan sistem penanaman sayur yang sudah terprogram dengan apik melalui metode tumpang sari, jadi bisa dipastikan keluarga bapak suko selalu bisa memanen hasil tanaman sayuran mereka. Disamping bertani keluarga baak Suko juga memiliki ternak yaitu dua Sapi Jantan dan empat sapi betina kalau di tafsir harga satu sapi jantan mencapai 18 juta rupiah, sedangkan sapi betina juga menghasilkan susu perahan. Sapi betina ini diperah susunya setiap jam 6 pagi dan 3 sore untuk selanjutnya air susu yang telah diperah diambil oleh pembeli dengan sistem pembayarannya tiap satu minggu sekali. Dari obrolan ada kata-kata yang berkesan yang disampaikan mbah Ngapinah tuturnya “ Kulo sejatosipun pingin anak kulo ingkang ragil

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

7


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

dados Guru, nanging dikon sekolah malah ora gelem, malah seneng dadi petani “, (Saya sebenarnya ingin anak saya yang bungsu menjadi Guru, tetapi diminta sekolah lagi tidak mau, senangnya menjadi petani) mendengar berkataan mbah Ngapinah anak bungsunya Ibu Sri langsung mengomentari “ La nek aku dadi Guru mengko sing neruske ngopeni sawahe sopo?, Gusti uwis maringi gawean petani yo diyukuri wae”, (Kalau seandainya saya jadi Guru yang akan meneruskan merawat sawahnya siapa, Tuhan sudah memberikan pekerjaan sebagai Petani ya disyukuri saja”. Obrolan beliau berdua menggelelitik penulis, kadang-kadang kita kurang bersyukur dengan pekerjaan yang telah diberikan Tuhan kepada kita dan selalu merasa kurang dengan penghasilan yang didapat, dalam hati penulis berdoa terima kasih Tuhan untuk semua yang telah Kau berikan kepadaku. “Saking” asiknya mengobrol tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.50 WIB, mbah Ngapinah meminta kami untuk segera makan siang, yang telah dipersiapkan oleh Ibu Sri. Kekhasan rasa masakan pedesaaan dengan memasak menggunakan perapian tungku dari kayu menambah sedap masakan, menggugah selera penulis untuk tambah.

8

Selepas makan siang sekitar jam 13.00 WIB, tibalah saat yang kami tunggu-tunggu yaitu ikut ke ladang yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal Pak Suko kurang lebih 200-500 meter dari rumah Pak Suko. Dalam perjalanan ke ladang Pak Suko menunjukkan varian tanaman sayuran yang ditanam, dalam media tanam tersebut ada tiga jenis sayuran yaitu sayuran sawi putih, sawi sendok dan tanaman cabai, yang masing-masing tanaman tersebut memanennya tidak bersama-sama. Ketika penulis bertanya “ Pak kagem setungggal lahan (kurang lebih 10 x 100 m2) tandur seking bibit, buruh macul, plastik lan unbo rampenipun telas pinten artanipun ?”, (Pak untuk satu lahan tanam mulai dari bibit, tenaga buruh, plastik dan lain-lain habis berapa uangnya.?). Pak Suko sempat berdiam sejenak untuk menghitung-hitung dan menjawab “ Kinten-kinten gangsal juta” ,(kira-kira 5 juta). Bisa dibayangkan berapa modal yang harus dikeluarkan ketika masa persiapan dan tandur apalagi keluarga pak Suko memiliki lahan yang cukup banyak. Dengan berjalannya waktu banyak sekali hal-hal yang telah penulis

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

lakukan dengan keluarga bapak Suko di ladang, dari belajar memahami beberapa jenis varian sayuran sampai ikut memanen sayuran sawi putih dan sayuran wortel. Hasil panenam sayuran tadi ditampung ke kelompok tani binaan (Kelompok Tani Berkah Merbabu) yang ada di dusun kaliduren, satu sayur sawi dihargai 5000 rupiah, untuk selanjutnya sayuran tadi didistribusikan ke beberapa supermarket yang ada di Semarang dan sekitarnya meliputi Superindo dan ADA swalayan. Ternyata untuk pemasaran sayuran tersebut mereka juga sudah merencanakan dengan baik. Keasikkan di ladang tak terasa waktu sudah sore dan kebetulan akan turun hujan, maka penulis dan kelurga Pak Suko bergegas pulang ke rumah sambil membawa sebagian hasil panen sayuran yang tidah ikut terjual. Pengalaman refleksi yang bisa penulis sampaikan apabila dikaitkan dengan tema Refleksi Karya tahun 2016 “UGAHARI MANDIRI“ kebersahajaan yang memerdekakan sangat terpancar jelas di keluarga Bapak Suko dengan kebersahajaan yang dimiliki, memerdekanan keluarga ini untuk salalu tekun, ulet, kompak, bersyukur dan mandiri dalam pengelolaan manajemen waktu maupun manajemen produksi. Di tengah-tengah kehidupan yang serba praktis dan instan mereka masih setia akan tradisi kakek nenek buyutnya untuk menjadi petani dan peternak tradisional. Sungguh pengalaman yang luar biasa, terima kasih Pak Suko, Mbak Ngapinah dan Ibu Sri atas pembelajaran yang telah penulis dapatkan dari pribadi-pribadi yang bersahaja dan teduh.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

9


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Ketulusan Dalam Kemandirian Benny Danang Setianto, FHK Dusun Ngringin, Desa Batur “Lagi di ladang di halo-halo suruh njemput tamu, padahal khan tamunya sudah besar-besar. Apa di suruh nggendong tamunya?�

S 10

aat pertama kali memasuki dusun Ngringin, kami dikumpulkan sebentar di halaman rumah ibu Kepala Dusun, dengan harapan nanti ibu/bapak semang kami akan menjemput untuk diajak ke rumah mereka. Setelah menunggu beberapa saat ternyata tidak kunjung datang. Akhirnya saya memutuskan untuk jalan saja sendiri mencari rumahnya. Keyakinan bahwa di dusun tentu masih saling kenal membuat pencarian rumah Ibu Damayanti, yang akan saya tempati menjadi lebih mudah. Sesampai rumah Ibu Damayanti kondisi sepi, setelah mengetuk beberapa kali, ada seorang ibu yang

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Saya pikir ibu tersebut adalah bu Damayanti, ternyata ibu itu adalah Ibunya Ibu Damayanti. Setelah duduk sebentar dan menikmati satu sruput Teh Nasgitel, barulah kami diberitahu bahwa bu Damayanti sedang di ladang memanen cabe. Bersama dengan Pak Agus (PPT), kami kemudian sepakat untuk ke ladang saja membantu memanen cabai. Ketika keluar rumah, kami bertemu dengan Pak Budi Sarwo dan Pak Ngadiyo yang kemudian bergabung dengan kami. Sesampainya di ladang, kami baru berkenalan dengan Ibu Damayanti yang sudah berbaik hati mau menerima kami. Satu petak ladang dapat kami kerjakan dalam waktu sekitar 90 menit, kemudian kami berpindah ke ladang berikutnya. Ketika akan berpindah, karena mulai gerimis, saya pamit kembali ke rumah untuk mengambil mantol hujan karena saya hanya membawa satu celana saja untuk dipakai sampai keesokan harinya (sekaligus mempraktekkan ugahari mandiri, satu celana cukup hehehe) Dalam perjalanan mau kembali ke ladang setelah mengambil mantol hujan saya bertemu dengan bu Yoeli – Ka BAU, Bu Septi dan Mbak Mega – KSR yang kemudian bergabung bersama kami untuk melanjutkan panen cabai. Kami menghasilkan 4 bagor dalam satu hari panen. Istimewanya, Bu Damayanti sekeluarga memberikan sebagian hasil panen tersebut untuk kami bawa pulang. Ketulusan hati yang mengagumkan. Padahal kami mungkin lebih banyak merepotkan daripada membantu. Sepanjang panen, kami bisa dengan bebas bercanda tidak saja di antara kami yang dari Unika SOEGIJAPRANATA, tetapi juga dengan penduduk setempat yang ikut membantu panen cabai. Kami merasakan bahwa

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

11


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

sekalipun baru berjumpa, namun karena tidak berpikir akan perbedaan dan hanya memandang bahwa kami adalah sama-sama manusia maka hubungan diantara kami lebih cepat terjalin dengan baik. Ketulusan yang tampak dari betapa ramahnya warga desa menyambut kami sangat mengesankan. Mereka tidak mengenal kami sebelumnya, mungkin juga tidak memahami apa tujuan kami bertamu, pun juga tidak mengharapkan apa-apa dari kami, toch tetap rela dan melakukan yang terbaik untuk bisa menjadi tuan rumah yang mengesankan.

12

Salah satu ungkapan yang jujur tetapi sekaligus menunjukkan ketulusan mereka menerima kami terucap ketika kami sedang memanen cabai. Ibu Damayanti berkata bahwa tadi ketika kami sedang di ladang, kami mendengar pengumuman dari halo-halo bahwa para tamu sudah datang. Lalu kami diminta menjemput para tamu untuk dibawa menuju rumah kami masing-masing. Diantara kami yang sudah di ladang ini trus berkata “...lah, tamunya khan sudah pada gedhe... lah apa ndadak dipethuk? Apa awake dhewe iki kon nggendong tamune?”... mendengar itu kami tersenyum kecut. Kami orang “kota” khawatir kalau tidak bisa menemukan ibu/bapak semang kami sehingga panitia ingin memastikan bahwa kami tidak akan mengalami kesulitan menemukan rumah semalam kami. Padahal kalau memahami karakter dusun tersebut, kekhawatiran itu tidak beralasan. Pertama, jumlah warga tidak terlalu banyak. Kedua, mereka pasti saling kenal dan tahu lokasi rumah warga lainnya. Ketiga, bukankah itu justru menjadi alasan terbaik untuk berinteraksi dengan warga desa lainnya dengan saling bertanya. Disitu saya merasa kehawatiran kami yang dari “kota” ini menunjukkan bahwa sebenarnya kami kurang berani pasrah dan melakukan interaksi dengan orang secara tulus. Padahal itu syarat untuk bisa ber-ugahari mandiri.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Quo Vadis Desa-desa di Pulau Jawa : Sebuah Refleksi Budi Widianarko, Rektorat Desa Selorejo

K

etika bus Refleksi Karya nomor 22 yang membawa rombongan kami memasuki salah satu dusun di Desa Selorejo, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali saya khawatir pengalaman live-in tidak akan seru. Dari jendela bus desa ini menawarkan suasana kota dengan jalan beton yang lebar dengan deretan rumah tembok yang kiri kanannya. Meskipun tidak terletak berdekatan langsung dengan kota tertentu, banyak tanda bahwa desa ini tengah mengkota (urbanizing). Kondisi desa ini mengingatkan saya pada salah satu bacaan tentang kawasan peri-urban. Sebuah kawasan dapat dikategorikan sebagai peri-urban bukan pertama-tama karena secara geografis berdekatan (proximity to city) dengan kota tertentu1. Kawasan peri-urban lebih banyak dibentuk oleh hubungan kota-desa yang dinamis, interaktif dan transformatif. Segera setelah diterima oleh induk semang saya dan Rezki (Laboran Fakultas Ilmu Komputer) ikut ke sawah untuk membabat sisa rumpun 1

Iaquinta, D.L. & A.W. Drescher (2000). Defining Periurban: Understanding Rural Urban Linkages and Their Connection to Institutional Contexts. Tenth World Congress. Rio de Janeiro: International Rural Sociology Association.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

13


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

padi yang gagal tumbuh subur karena terlambat mengantisipasi datangnya hujan. Rumpun padi itu akan segera berubah peran jadi pakan sapi. Perjalanan ke sawah yang berjarak sekitar setengah kilometer dari rumah induk semang itu memaparkan kami pada sejumlah pemandangan yang mengusik perhatian. Perjalanan menyusuri jalan beton yang memisahkan rumah rumah warga menghadirkan citra kesenjangan yang tidak terhindarkan oleh mata kami. Kontras yang kami lihat sungguh mencengangkan. Kesenjangan itu tersuguh melalui kondisi rumah-rumah yang berjejer di kiri kanan jalan dusun itu. Rumah-rumah megah yang tak beda dari yang biasa kita jumpai di perumahan kelas menengah perkotaan bersanding angkuh dengan rumah- rumah kayu sederhana beratap rendah yang sebagian sudah reyot. Sungguh semua itu di luar antisipasi saya, kesenjangan yang begitu akut hadir kasat mata - tanpa tedeng aling aling.

14

Gambar 1. Pemandangan kontras deretan rumah di Desa Selorejo

Sebelumnya benak saya hanya terbelenggu oleh konsep usang bahwa kesenjangan hanya milik perkotaan. Entah pergumulan bathin dan perasaan macam apa yang dialami oleh para penghuni rumah kayu reyot itu saat memandangi rumah-rumah megah ala real estate itu. Atau jangan-jangan kesenjangan itu hanyalah sebuah konsepsi belaka yang kita kulak entah dari mana. Jangan-jangan yang hadir dalam ruang hati

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

penghuni rumah kayu reyot itu justru rasa “nrimo�, entahlah. Yang jelas, pemicu kesenjangan itu adalah perbedaan penghasilan antara mereka yang hidup sebagai petani dan mereka yang mampu meraup rejeki dari berdagang di luar daerah, bahkan sampai ke pulau Kalimantan dan Papua. Perbincangan dengan sejumlah warga di dusun tempat kami live-in juga memunculkan sebuah keprihatinan lain. Dari semua warga yang masih menggantungkan sebagian hidupnya sebagai petani nyaris tidak satupun yang mendorong anak-anaknya menjadi petani. Putra-putri para petani itu lebih memilih menjalani hidup sebagai karyawan dan wirausahawan. Jika keadaan yang sama juga melanda di desa-desa pulau Jawa maka peran pulau subur ini sebagai lumbung pangan Indonesia sungguh terancam. Absennya petani muda akan dengan sendirinya menggerogoti produksi pangan Pulau Jawa, dan pada gilirannya akan mengancam kedaulatan pangan Indonesia. Pemandangan mencengangkan dalam hal ketahanan pangan di sana adalah kehadiran para pedagang sayur bermotor, dan bahkan bermobil, yang mayoritasnya adalah laki-laki. Mereka berkeliling menyambangi sudut-sudut desa untuk menjajakan berbagai bahan pangan baik segar maupun olahan. Sebuah pemandangan yang tidak asing bagi mereka yang tinggal di perkotaan. Lagi-lagi apa yang saya duga sebagai fenomena khas perkotaan ternyata telah melanda pedesaan juga. Keprihatinan yang serta merta muncul seketika adalah adanya kerentanan pangan di sana.

Gambar 2. Produk pangan yang dijajakan di warung desa

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

15


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Desa yang berbasis pertanian sekalipun rupanya sudah tidak dapat lagi menjamin kecukupan pangannya sendiri. Dalam kasus Selorejo, mungkin hanya beras yang masih bisa mereka banggakan keswasembadaannya – seperti ungkapan induk semang kami yang bangga akan beras hasil sawahnya sendiri. Aspirasi pangan warga desa sudah tidak jauh berbeda dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Sistem pangan yang semakin kompleks serta penetrasi pasar berbasis teknologi komunikasi dan informasi mendorong pola konsumsi yang serupa di perkotaan dan pedesaan. Produk-produk pangan yang tersedia di warung-warung pedesaan tak ubahnya dengan apa yang bisa kita jumpai di mini market atau pasar swalayan di perkotaan. Dalam kondisi ini slogan kemandirian pangan di pedesaan tinggal menggantung sebagai utopia. Satu pertanyaan yang terus menggantung adalah akan bergerak ke mana ketahanan pangan desa-desa pulau Jawa yang tengah mengkota itu.

16

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kesederhanaan Sebagai Ungkapan Syukur Ignatius Dadut Setiadi, Rektorat Dusun Karangasem, Desa Ketapang “Kesederhanaan memberikan anda ruang untuk berpikir lebih dalam atas makna kehidupan dan karunia Tuhan”

D

esa Ketapang merupakan desa mandiri yang kegiatan utamanya adalah pertanian yang terkait dengan beras organik. Para penduduk sebagai besar adalah petani organik yang bergabung dalam sebuah kelompok tani bernama “Al-Barokah”. 17

Gambar 1. Merontokkan padi yang selesai di panen

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Penulis tinggal di sebuah keluarga kecil dengan kepala keluarga bernama Pak Abdul Rofiq bersama istri dan 2 (dua) anak putrinya yang telah tumbuh menjadi remaja dan kedua putrinya telah lulus SMA serta bekerja di sebuah toko asesoris handphone di kota Salatiga. Pak Abdul Rofiq merupakan penduduk asli Desa Karangasem, rumah Pak Abdul Rofiq yang penulis tempati sangatlah sederhana ini dibuktikan dengan lantai rumah yang masih tanah dan memasak masih menggunakan kayu, namun rumah tersebut asri dan bersih. Selama tinggal 1 hari di rumah Pak Abdul Rofiq penulis mengikuti kegiatan sehari hari dari pagi hingga sore hari.

18

Ketika penulis tiba di rumahnya kami berdua (penulis dan Pak Kelik dari FEB) disambut dengan hangat oleh keluarga Pak Abdul Rofiq (isteri dan kedua putrinya). Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan live-in, penulis langsung diajak pergi melihat sawah milik Pak Abdul Rofiq. Letak sawah ternyata tidak jauh dari rumah beliau hanya dibelakang rumah. Ketika sampai di sawah Pak Rofiq biasa diundang oleh teman-temanya, menjelaskan tahapan tahapan proses “tandur” sampai “panen”. Sambil berjalan di “galengan” sawah bahkan penulis sempat jatuh karena terpeleset, Pak Rofiq menunjukkan varian padi yang ditanam oleh para petani dari padi putih, padi merah hingga padi hitam. Saat berkeliling di area persawahan penulis bertemu dengan banyak petani yang sedang melakukan aktifitas dari mulai membajak, tandur, memupuk bahkan sedang panen dan merontokkan padi dengan alat perontok. Penulis saat berkeliling di area persawahan menyempatkan berdialog sejenak dengan para petani. Ada hal yang sangat menggelitik di hati penulis ketika bertanya pada Pak Mochtar seorang petani “Pak, Panjenengan dados tani sampun pinten tahun?” (Pak, Anda hidup bertani sudah berapa tahun?) jawaban dari Pak Mochtar kira-kira usianya sudah 60 tahun ke atas karena tidak tahu tanggal lahir, sungguh di luar dugaan : “ kulo sampun mboten eling mas....awit sawah punika tinggalanipun bapak, Gusti punika adil bilih kulo dilahiraken punika sampun dipun takdiraken dados petani, kedah nrimo kersanipun Gusti awit Gusti sampun paring rejeki lan kasarasan pramila kula kaliyan keluarga kedah urip sakmadya nanging puja puji syukur ing karsaning

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Allah kedah teras dipun luhuraken�, (Saya sudah tidak ingat mas....karena sawah ini warisan bapak saya, Tuhan itu adil karena saya dilahirkan dan ditakdirkan sebagai petani, harus menerima keinginan Allah karena Allah telah memberika rejeki dan kesehatan maka saya sekeluarga harus hidup sederhana tetapi tetap bersyukur kepada Allah dan itu harus selalu dilestarikan). Selama hampir 2 jam merasakan panasnya terik matahari dan keringat bercucuran dan menjadikan kulit semakin hitam, Pak Rofiq mengajak penulis pulang kerumah. Ketika sampai di rumah istri dan salah satu putrinya sudah menyambut dan mengajak makan siang bersama. Saat makan siang penulis sempat berdialog dengan Pak Rofiq sekeluarga. Muncul sebuah ungkapan yang menarik dari percakapan saat makan siang dengan Pak Rofiq sekeluarga. Beliau menceritakan bagaimana hidupnya hanya mengandalkan dari profesinya sebagai petani menurut Pak Rofiq menjadi petani itu harus kerja keras karena dengan kerja keras kita dapat memperoleh hasilnya untuk diri sendiri dan banyak orang yang mengharapkan hasil panenan berupa beras dan hal tersebut harus selalu diikuti dengan terus menerus ungkapan syukur kepada Tuhan sang pemberi hidup. 19

Gambar 2. Penulis dengan Keluarga Bp. Abdul Rofiq

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Setelah selesai makan siang bersama, penulis beristirahat sejenak dan Pak Rofiq melanjutkan aktifitasnya dengan memberikan makan dombanya. Dalam suasana istirahat di kamar, penulis mencoba merenungkan dialog antara penulis dengan kedua orang yang sangat sederhana yaitu Pak Mochtar dan Pak Rofiq. Sebuah ungkapan yang jujur dari kedua bapak tersebut yang menjadi inspirasi hidup bagi penulis yang intinya adalah “Kesederhanaan hidup sebagai landasan untuk tetap bersyukur kepada Tuhan�. Nampaknya ungkapan kedua bapak tersebut sungguh sesuai dengan perkataan Mgr. Alb. Soegijapranata pada tahun 1957 yang menjadi tema refleksi karya tahun 2016 Kebersahajaan yang Memerdekakan : “dengan hidup yang serba sederhana, bersahadja dan beruga-hari, dengan bekerja jang keras, golongan katolik patutlah merupakan golongan yang economist dapat berdiri sendiri, mampu memenuhi keperluan hidup perseorangan dan bersama tiada sokongan dari mana dan dari siapapun juga........�.

20

Sebagai warga Unika yang telah diberikan banyak kurnia dan kelimpahan dari Tuhan, marilah kita semua mencoba merenungkan perkataan Mgr. Alb. Soegijapranata dan ungkapan jujur dari Pak Mochtar dan Pak Rofiq yang menjadi inspirasi hidup, beliau mengajak kita semua dengan kesederhanaan hati dan kerja keras sebagai sikap hidup yang menjadi sebuah pilihan untuk mampu melihat kesejahteraan secara utuh, baik secara rohani, jasmani secara dimensi sosial sebagai suatu tanda kedewasaan pribadi yang mampu mengambil pilihan dan sikap yang jelas.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Hidup Empat Sehat Lima Sempurna dalam Keluarga yang Bersahaja Ekawati Marhaenny Dukut, Fakultas Bahasa & Seni Dusun Ngringin, Desa Batur “Empat sehat lima sempurna – di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat�

D

usun Ngringin adalah salah satu dari sembilan belas dusun yang terletak di Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang yang mempunyai luas tanah 1081,750 Ha dan mempunyai batasan di wilayah utara dengan Desa Somo Gawe, di timur dengan Desa Tajuk, di selatan dengan Gunung Merbabu, dan di sebelah barat dengan Desa Kopeng. Dengan ketinggiannya, yakni 1200 m2, desa ini dikategorikan sebagai desa yang mempunyai suhu temperatur yang cukup dingin terutama bila terbangun menjelang subuh, selimut hangat akan dapat menghangatkan jari-jari kaki yang mulai membeku. Apabila orang dari kota Semarang berlomba-lomba untuk mencari ruangan kamar yang disejukkan dengan AC, di desa ini AC-nya adalah AC alami. Alarm yang biasa diandalkan untuk bangun pagi tidak akan diperlukan lagi karena kicauan burung dan ramainya gonggongan anjing yang berlomba dengan suara lantangnya sapi dan kambing yang mengitari hampir tiap rumah penduduk akan siap membantu kita menyambut sinarnya mentari pagi. Dinginnya desa dapat dirasakan pula pada pancuran air di bak kamar mandi yang seakan-akan mentertawakan kita yang terbiasa membawa handuk kedalam, karena panasnya tubuh kita

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

21


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

masing-masing sebenarnya sudah cukup untuk mengeringkan guyuran air dari gayung air mandi di bak yang bersebelahan dengan kandang kambing yang tidak berbau karena terawat dengan baik oleh pemiliknya. Konon dinginnya air yang mak-nyes itu menjadi obat kangen bagi tubuh yang terasa kaku-kaku akibat lelah berkarya di ladang Tuhan. Sungguh agung maha karyaNya… Dalam rangka kegiatan refleksi karya kali ini, penulis merasa terberkati dengan diperolehnya kesempatan untuk menikmati indahnya alam di pedesaan.

22

“Mangga… kulo dherekaken dumugi gubug kulo… Nuwun sewu mangke panggenanipin radi kotor,” kata gadis langsing berambut panjang sebahu yang tiba-tiba menepuk bahuku sewaktu tulisan nama Suroto kuperlihatkan kepada masyarakat Ngringin di Desa Batur yang siap mengajari kami kehidupan di desa itu. Sambil memperlihatkan senyuman manis dan kesederhanaannya, si gadis mengajak penulis dan rekan sekamar untuk menuju rumahnya. Ketika sudah sampai, rumah yang katanya kotor itu, menurut penulis sangat teratur dan bersih karena depan halaman rumahnya dihiasi dengan tanaman lombok yang berbaris dengan rapi. Ini menandakan bahwa pemiliknya adalah keluarga yang rajin dan mempunyai jiwa yang sehat. Kekhawatiran tentang dinginnya temperatur langsung sirna dengan mendapati tembok rumah yang dibuat dari papan kayu karena menjanjikan kehangatan untuk istirahat malam nanti. Dari dalam, seorang ibu dengan jilbab hijau keluar untuk menyambut kami. Rupanya ibu inilah yang namanya Suroto dan si gadis adalah anak mantunya yang telah dikaruniai satu orang putra, Toha namanya. Bu Suroto ini bercerita bahwa sebagian besar warga Ngringin mempunyai pasangan yang rata-rata masih muda dan memilih untuk membantu megerjakan ladang orang tuanya daripada bekerja di kota. Oleh karena itu, beliau tidak heran ketika mendengar wawancara penulis dengan Toha yang menjawab, “Aku kelas TK B... Sekolahku di situ” sambil menunjuk sekolahnya yang hanya bersebelahan dengan rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara sapi yang jumlahnya cukup banyak. “Apa di belakang rumah ada sapi?” tanya penulis. “Oh, itu sapi kepunyaan guru TK Toha”, jawab ibunya Toha yang enggan menyebut namanya sendiri.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Penulis mengangguk-angguk dan menyimpulkan bahwa warga di sekitar dusun ini sehat dan tercukupi gizinya bila mempunyai sapi dan macammacam sayur di kebunnya. Konsep hidup empat sehat lima sempurna bisa jadi sudah tertanam di alam bawah sadar para warga. “Apa ibu juga punya sapi di belakang rumah?â€?, tanya penulis. “Tidak, kami tidak punya sapi melainkan kambing.â€? Penulis mengangguk-angguk lagi dan merasa lega dengan jawaban bu Suroto. Apalagi setelah mampir ke belakang, antara kamar mandi dan dapur penulis melihat kolam kecil berisi beberapa ikan emas yang bisa menjadi tambahan lauk keluarga kecil ini. Dari contoh keluarga ini, penulis senang mendapati bahwa keluarga ini tidak hanya sehat secara badaniah namun tentunya juga sehat secara kejiwaan karena cerdas mengatur lingkungan rumahnya dengan bahan makanan yang bergizi. Hal ini tercermin dengan menu sarapan nasi hangat beserta telur ayam dan ikan mas sambal goreng pedes beserta sayur wortel tahu yang mereka hidangkan untuk kami. Tahu-tahu‌ jam 8 pagi sudah menjadi jam 10. Oleh karena itu, kami berdua dari Unika Soegijapranata menanyakan apa yang dapat dibantu, baik untuk pekerjaan di sawah ataupun di rumah. Dalam menganggapi pertanyaan kami, Bapak dan ibunya Toha beserta Bu Suroto kemudian mengajak kami menyusuri tempat yang mereka katakan sebagai tegalan karena areanya lebih kecil daripada sawah. 23

Gambar 1. Menapaki tegalan Ngringin

Gambar 2. Menanam lombok

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Di sepanjang tegalan itu penulis tergiur dengan daun adas pulo waras dan daun wortel yang sedang bersemi di pinggiran tegalan itu, sehingga berkomentar, “Wah enak betul apabila dapat menyantap daun adas pulo waras untuk pecel kesukaanku”. “Kersa?”, kata ibunya Toha sambil memetik beberapa, “Ini dapat dibawa sebagai salah satu oleh-oleh ibu”, katanya. “Waduh ngrepoti…” tapi kulanjutkan dengan, “ maturnuwun njih”, jawabku sambil tersenyum dan melihat ke depan dimana bapaknya Toha berjalan sambil membawa bibit lombok yang siap kami tanam bersama. Segera setelah bibit lombok itu diturunkan, penulis belajar untuk menanamnya, sambil memperhatikan sayuran kobis yang sengaja ditanam pada area yang sama. Penulis sempat heran mengapa lombok ditanam bersebelahan. Jawabannya adalah bahwa sebenarnya tegalan ditanami kobis semua, tetapi karena hasilnya kurang baik, maka ditempat yang kurang berhasil buah kobisnya itu keluarga Suroto sepakat untuk menanam lombok sehingga ada sesuatu yang dapat dipanen sambil menunggu beberapa kobis yang cukup matang untuk dipetik. Strategi tanam yang cerdas untuk mengahsilkan sesuatu sepanjang masa!

24

Tiba-tiba suasana mendung di pagi hari itu menjadi hujan rintik-rintik sehingga kami diminta bapaknya Toha untuk pulang saja. Penulis berpikir hujan ini pasti berlalu, karena daerah yang tinggi biasa begitu; hujan rintik tapi kemudian berhenti dan tak lama kemudian bisa hujan namun berhenti lagi. Hal itu terbukti tak lama kemudian sehingga penulis dan rekan Unika sempat bertahan beberapa kali membantu menanam lombok, meskipun bapaknya Toha seakan-akan sudah mengusir kami. Pada saat kami akhirnya memutuskan pulang, ibunya Toha mengatakan, “Nuwun sewu, kami takut ibu-ibu nanti bisa sakit kalau terkena guyuran hujan. Rumahnya kan jauh, makanya, kami takut nanti ibu-ibu basah kuyup semua”. Karena hujan semakin deras, akhirnya kami menjawab, “Baiklah”. Kembali di rumah, bu Suroto yang pulang tak lama setelah kami, membawa beberapa hasil sayuran tegalan-nya: kobis, wortel, tomat, lombok, loncang dan ketela pohon yang ukurannya ada sebesar betis penulis. “Waaaah ketelanya besar-besar… Enak tuh andaikata bisa

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

membuat kueh dari parutan ketela dan kelapa”, komentar penulis. “Oh ya? Kami ingin belajar cara membuatnya bu. Daripada hanya digoreng sebagai camilan. Toha paling senang kalau melihat ada masakan baru untuk dimakan,” celoteh ibunya Toha. “Baiklah, mari kita lakukan bersama sambil menunggu hari menjadi sore,” jawab penulis. Ibunya Toha kemudian mengumumkan kepada beberapa tetangga dekat untuk ikut menyaksikan cara pembuatan kueh ketela kukus itu. Melihat kami memasak, Toha mendatangi kami dan perlihatkan keingintahuannya.

Gambar 3. Membuat kueh ketela kukus

Gambar 4. Toha

Gambar 5. kueh

Inilah tanda-tanda anak yang cerdas, pikir penulis. Walaupun anak seusia Toha biasanya memilih untuk lebih banyak bermain, rupanya orang tuanya telah berhasil mendidiknya sebagai anak yang bertanggungjawab dan peduli kepada lingkungan. Toha tidak canggung untuk segera membantu ibunya mengambilkan beberapa hal yang kami butuhkan saat itu. Dengan senangnya, Toha mengatakan, “enak” sewaktu diminta untuk mencicipi kueh ketelanya. Mendapati bahwa terigu yang dicampurkan dengan parutan ketela dan kelapa masih tersisa, maka penulis menyulap terigu menjadi donat goreng dan roti bakpau isi pisang. Alhasil, kebiasaan gorengan di keluarga Suroto sore itu berubah menjadi beberapa santapan kueh-kueh yang layak untuk dipamerkan dan dimakan bersama rekan-rekan Unika Soegijapranata yang pada jam 15.30 hari itu telah sepakat untuk mengadakan sarasehan dengan warga Ngringin di rumah bu Kadus. Hari itu, penulis puas dengan pengalaman refleksi karyanya karena tidak hanya belajar sesuatu dari warga Dusun Ngringin, tetapi juga mengajarkan sesuatu agar jiwa dan raga seseorang terjaga kesehatannya.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

25


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Berikan Yang Terbaik Dalam Hidup Etty E. Listiati, Arsitektur Dusun Karangasem, Desa Ketapang “Usia tidak menjadi penghalang untuk selalu melakukan yang terbaik dalam melayani sesama.... Jalani hidup ini tanpa banyak mengeluh dan selalu bersyukur atas rahmat dan karunia yang telah diberikan Tuhan kepada kita�

26

P

enulis bersama dengan ibu Veronika Purwani tinggal di rumah Bapak Roechan.

Kamis pagi, ketika penulis sampai di desa Ketapang, kami berdua di antar naik sepeda motor oleh warga sampai ke rumah pak Roechan, di dusun Karangasem. Penulis disambut oleh seorang nenek yang sudah tua, ternyata beliau adalah ibu dari Bapak Roechan, yang usianya sudah 90 tahun. Meskipun usia sudah lanjut, beliau masih tetap bekerja, memijat bayi (bhs jawa: ndadah). Tamu atau bayi yang datang ke sana langsung di layani (pagi maupun petang). Karena saya menjumpai beliau ndadah bayi ketika sore menjelang maghrib dan juga pagi hari ketika kami akan pulang. Bapak Roechan dan ibu sudah sejak pagi, bekerja di sawah. Kami berdua agak kebingungan, kemana kami harus menyusul. Namun tak lama kemudian, putranya yang bernama Rosid, datang menemui kami. Setelah, Kami mengatakan maksud

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

kedatangan kami berdua dan rombongan Unika yang lain, maka kami diantar pergi ke sawah. Jalan menuju ke sawah, tidak datar seperti yang saya bayangkan. Kami harus melewati jalan setapak yang cukup curam. Kami harus berjalan, ekstra hati-hati, karena jalan selain curam juga cukup licin. Bersyukur, penulis tidak sampai terpeleset. Jarak dari rumah sampai ke sawah, sekitar 500 meter. Pemandangan sawah yang hijau, dengan garis-garis pematang, terlihat sangat indah dipandang mata. Pemandangan inilah yang selalu penulis rindukan. Seingga penulis sempat memimpikan, punya rumah di dekat sawah. Setelah berjalan cukup lama dan harus hati-hati karena licin, maka sampailah kami berdua di sawah, di mana pak Roechan dan ibu bekerja. Mereka dengan petani lain, sedang melakukan tanam Padi. Setelah, Penulis dan ibu Purwani memperkenalkan diri pada bapak dan Ibu Roechan, kami berdua langsung ikut masuk ke dalam sawah. Ternyata berjalan di sawah yang berlumpur (lumpur setinggi lutut) tidaklah mudah. Berkali-kali penulis hampir jatuh ke lumpur. Pekerjaan di sawah yang penulis lakukan adalah mencabut tanaman padi muda (ndaut) untuk kemudian di tanam. Sawah yang ada merupakan sawah irigasi, sehingga 3-3,5 bulan lagi bisa di panen. Pak Roechan, disini hanya sebagai buruh tani saja, bukan pemilik sawahnya. Penulis merasa sangat bersyukur, pagi sampai siang hari, bisa membantu petani untuk menanam padi. Pengalaman menanam padi/”tandur” merupakan pengalaman yang tak akan terlupakan. Bekerja bersama “tanah dan air” (berkubang di lumpur) demi “tanah air” sungguh sangat membahagiakan. Karena kita akan selalu dekat dengan alam. Semoga nanti hasil panen padinya banyak

Gambar 01: Penulis dan Ibu Purwani sedang bertani di desa Ketapang – di sawah yang terbentang luas

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

27


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Bapak Roechan mempunyai 3 orang anak. Yang tertua putri, sudah menikah, sedang hamil 8 bulan. Anak ke tiga, seorang putri, tinggal di pondok pesantren, sedang anak ke dua, laki-laki namanya Rosid. Rumah Bapak Roechan bersebelahan dengan rumah yang ditempati oleh putranya yang ke dua (Rosid). Penulis dan ibu Purwani, tinggal di rumah mas Rosid. Beliau belum menikah. Mempunyai usaha membuat kerupuk bawang. Rumah mas Rosid, luasnya sekitar 48 m2, dengan hanya ada satu kamar (untuk tidur kami berdua) membuat kami cukup nyaman, meskipun rumahnya belum ada ubinnya. Lantai masih plesteran kasar. Sedangkan rumah bapak Roechan, lantainya sudah keramik. Kamar mandi ada di bagian belakang. Masih nyaman untuk mandi, karena relatip tertutup, meskipun agak sedikit terbuka dindingnya. Tetapi ada closet duduk. Sehingga ritual harian juga dapat terlaksana dengan baik. Di belakang rumah, terdapat kandang bebek, kandang kambing serta ayam.

28

Penulis bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena bisa melakukan sholat Maghrib dan sholat Isya berjamah dengan keluarga tersebut. Ketika sholat berjamaah, penulis sedikit terkejut, karena Nenek yang usianya sudah 90 tahun (di sebelah penulis) dapat menjalankan ibadah sholat dengan sempurna. Dapat rukuk dan sujud seperti yang lain, tanpa merangkak pelan-pelan untuk berdiri dari duduk/sujud (bahasa jawa: krengkangan)

Gambar 02: Keluarga bapak Roechan (pakai peci).

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Gambar 03: Rumah bapak Roechan dan rumah putranya Rosid (gentengnya baru).

Meskipun hanya semalam tinggal di rumah keluarga bapak Roechan (seorang petani yang bersahaja, juga ketua RT), namun penulis merasa betah, karena banyak hal yang bisa dilakukan dalam mengisi hidup ini.

29

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kebersahajaan Yang Memerdekakan: Belajar dari Kesederhanaan Petani Hotmauli Sidabalok1 Dusun Kaliduren, Desa Batur

K 30

ehidupan desa bukan sesuatu yang asing bagi Saya. Sejak kecil Saya sudah terbiasa dengan ‘ritual pulang kampung’ yang selalu menjadi momen istimewa dan kerap dinanti ketika masa libur sekolah tiba. Perasaan yang sama juga muncul saat live-in2 bersama keluarga di Dusun Kaliduren tanggal 7-8 April 2016 yang lalu. Meskipun Dusun Kaliduren, di Desa Getasan, Kopeng bukan kampung asli Saya, entah mengapa perasaan pulang kampung muncul kembali. Bila Saya refleksi-kan lebih lanjut, perasaan ini muncul karena suasana desa dan kesederhanaan penduduknya tidak berbeda dengan suasana kampung yang kerap Saya temui dan rasakan. Bukan pulang kampung biasa Pulang kampung kali ini sedikit berbeda dengan ritual pulang yang sering saya lakukan bersama keluarga. Pulang kampung ke Dusun Kaliduren, tidak sekedar pulang kampung biasa, namun pulang kampung dengan beberapa keistimewaan. Pertama, Saya melakukan pulang kampung 1 2

Penulis adalah Pengajar FHK dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Acara ini adalah salah satu rangkaian kegiatan Refleksi Karya Unika Soegijapranata 2016 yang dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 April 2016 yang lalu.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

bersama komunitas belajar Unika Soegijapranata yang pesertanya berasal dari berbagai disiplin ilmu. Kedua, pilihan kampung yang kami jadikan tempat belajar adalah dusun komunitas petani organik yang terbentuk sebagai reaksi terhadap berbagai persoalan struktural. Ketiga, pulang kampung kali ini tak semata kami lakukan untuk klagenan, tapi ingin menyelami-menggali inspirasi-berempati dari kehidupan sederhana petani yang memerdekakan.

Hidup sederhana yang memerdekakan Pilihan menjadi petani organik tidak terjadi begitu saja di dusun ini. Penolakan petani terhadap berbagai program pemerintah yang cenderung tidak realistis terhadap persoalan petani, dominasi pasar, keterbatasan lahan, turunnya kualitas tanah, perubahan iklim dan harga pupuk kimia yang mahal adalah adalah faktor-faktor pemicu lahirnya komunitas petani organik. Kesadaran terhadap berbagai persoalan ini mendorong petani mengubah cara bercocok tanam menjadi bertani organik yang mempertimbangkan alam. Pengalaman bahwa tanah tak lagi berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang sama dari tahun ke tahun, memberi pembelajaran bahwa tanah pun mempunyai keterbatasan. Pengalaman ini membukakan hati petani untuk memikirkan strategi alami yang tepat untuk tanah, mulai dari memberinya pupuk kandang sampai pada menetapkan kebijakan waktu sela untuk tanah. Strategi mengatasi keterbatasan lahan dilakukan dengan menerapkan sistem tanam tumpang sari dengan menanam 3-4 macam tanaman berbeda masa panen pada satu lahan pertanian. Strategi ini sekaligus dapat mengatasi persoalan perolehan pendapatan yang tidak stabil menjadi terprediksi. Problem perubahan iklim adalah tantangan lain yang dihadapi dengan merancang kalender pertanian tahunan yang berangkat dari pengalaman petani. Kalender ini disebut Pranoto Wongso yang menuntun petani

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

31


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

bercocok tanam selaras dengan alam. Sikap tidak melawan alam diyakini sebagai bentuk kepasrahan terhadap Sang Pencipta Alam Semesta. Sikap ini membantu mereka menemukan strategi adaptasi yang tepat, misalnya mereka mulai memikirkan kebutuhan embung yang dapat menangkap air hujan dan menjadi ruang untuk menahan air yang berlimpah dari 4 sumber mata air di masa kering. Berbagai strategi peduli bumi ini ternyata memberikan banyak keuntungan bagi mereka. Petani mulai mampu menentukan harga karena produksi mereka diakui memiliki kualitas lebih baik bagi konsumen yang berorientasi pada pangan natural yang sehat. Petani lebih bebas bercocok tanam dengan caranya sendiri dibandingkan mengikuti pola-pola yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan pemerintah dan komunitas lainnya menjadikan desa ini sebagai tempat belajar bertanam organik. Pilihan mereka bukan tanpa alasan, ada nilai kepeduliaan lingkungan yang mereka perjuangkan.

32

Meskipun demikian, keberhasilan petani organik di dusun ini tidak sepenuhnya tanpa persoalan lingkungan. Pertanian total organik belum sepenuhnya dapat mereka lakukan karena masih belum memadainya pengetahuan dan pengalaman menghadapi hama. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa masih menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Persoalan lainnya tak berbeda dengan masyarakat kota, keluarga petani dihadapkan pada minimnya pengetahuan mengelola sampah plastik dari produk kemasan. Hal yang mereka lakukan hanyalah membakar produk plastik di tungku-tungku pemanas dapur dimana keluarga sering berkumpul untuk menghangatkan badan. Mereka tak menyadari bahwa cara ini secara perlahan menjadi ancaman bagi kesehatan keluarga. Di luar berbagai persoalan tersebut, pengalaman live-in bersama keluarga petani membantu Saya berefleksi terhadap pilihan-pilihan sikap pribadi dan anggota civitas akademika Unika Soegijapranata dalam konteks persoalan lingkungan saat ini.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Keindahan dalam Kebersahajaan Laksmi Hartayanie, Fakultas Teknologi Pertanian, Desa Kaliduren, Desa Batur “berugahari adalah suatu pilihan�

33

Kamis, 7 April 2016

P

enduduk desa telah menanti ketika bis yang kami tumpangi tiba di desa Kaliduren sekitar jam 9 pagi. Kami bergegas turun dari bis dan menuju tempat pertemuan di rumah salah satu

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

warga. Rumah tembok yang sederhana namun. Tampak plesteran lantai yang masih baru. Rupanya tuan rumah melakukan banyak perbaikan demi menyambut kami. Kami disambut dengan kehangatan khas warga desa. Setelah sambutan perwakilan warga dan perwakilan UNIKA, kami keluar dari ruang pertemuan untuk dipertemukan dengan keluarga angkat.

34 Gambar 1. Rumah keluarga Mardiono

Aku dan mbak Leny tinggal di rumah keluarga Mardiono. Rumah keluarga Mardiono sangat sederhana dan bersahaja. Lantai rumah masih tanah dan memasak masih menggunakan kayu bakar dan biji cemara kering. Kayu bakar disimpan di atas perapian. Kamar mandi dan tempat cuci piring masih jadi satu. Bak mandinya besar dan ada dua ekor ikan mas koki di dalamnya. Pintu kamar mandi setinggi dada orang dewasa. Rumah mereka ditempati 5 anggota keluarga, kakek, nenek, mas Mardino, mbak Yuleka (istri Mardiono), dan Nanang, anak mereka.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Gambar 2. Memasak dengan kayu bakar

Saat sampai di rumah, kami disambut dengan keramahan khas warga desa. Kami hanya disambut mbak Yuleka dan nenek, sedangkan mas Mardino masih di kebun. Setelah minum teh hangat dan getuk goreng yang lezat, kami ke kebun cabe bersama mbak Yuleka. Kebun cabe terletak di belakang rumah. Tampak hamparan gundukan tanah bertutup plastik mulsa dan patok bilah bambu samping pohon cabe. Tanah ditutup dengan plastik mulsa untuk menjaga kelembaban tanah. Supaya pohon cabe tubuh tegak maka pohonnya diikat ke bilah bambu. Pertama pohon cabe diikat longgar dengan simpul hidup, kemudian sisa tali diikatkan ke bilah bambu dengan simpul mati. 35

Gambar 3. Mengikat pohon cabe ke bilah bambu

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Sambil mengikat cabe, kami berbincang-bincang. Ternyata dengan perawatan yang benar, tanaman cabe dapat panen minimal 3 kali dalam setahun dan tiap pohonnya menghasilkan 7 ons cabe setiap panen. Kami bertiga di kebun sekitar 2 jam. Untung cuaca mendung sehingga tidak terlalu panas. Selesai mengikat ratusan pohon cabe, kami kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, mbak Yuleka dan nenek memasak untuk makan siang. Karena pekerjaan memasak sudah ditangani oleh ahlinya, kami pamit umtuk melihat-lihat sekitar. Kami kembali ke rumah sekitar jam 1 untuk makan siang. Saat makan siang kami bertemu dengan mas Mardiono. Selesai makan kami berbincang-bincang. Mas Mardiono ini ternyata petani yang ulet dan selalu mau belajar hal yang baru. Dalam kesederhanaannya ada semangat untuk terus berkembang dan selalu bersyukur atas semua yang dimiliki. Tak terasa hari berganti malam. Menjelang tidur aku merenung. Tuhan begitu baik padaku. Begitu banyak talenta dan kurnia yang diberikan Tuhan padaku. Apakah aku sudah menggunakan talenta dan kurnia tersebut dengan sebaik-baiknya. Apakah aku bisa hidup berugahari? Yes! I must do it. I can do it. Semarang, 16 April 2016 36

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Sumarah Mring Kersanipun Gusti :

Menemukan Makna Penyerahan pada Kehendak Allah Stefani Lily Indarto, Akuntansi Dusun Surjo, Desa Sukabumi “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan (Filipi 4:11)�

P

ada acara refleksi karya tahun ini saya mendapat tempat di Dusun Surjo, Desa Sukabumi, Kec. Cepogo, Kab. Boyolali yang terletak 4 km dari puncak Merapi. Jalan menuju Dusun Surjo naik dan berkelok-kelok. Jalannya sempit dan serasa jalan tak berujung. Namun begitu sudah sampai tempat lokasi, semua terbayar sudah. Alam yang begitu indah dan asri. Hamparan hijau membuat tak hentinya saya bersyukur atas kebesaran Tuhan.

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Cepogo

Gambar 2. Gunung Merapi Nampak dari Halaman Rumah

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

37


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Di Dusun Surjo tercatat sebelumnya kami (saya dan Mbak Yenny LPPM) ditempatkan di rumah Pak Winarto. Sementara Sr. Emiliana dan Mbak Shandy tinggal di rumah Pak Tardi (putra dari Pak Winarto). Namun karena rumah Pak Winarto sangat sempit dengan hanya ada 1 meja panjang yang biasa untuk tidur mereka, dan kebetulan rumah Pak Winarto dan pak Tardi ini berdampingan, maka kami diminta tinggal di rumah Pak Tardi. Lantai rumah pak Tardi masih tanah, namun kamar mandinya sangat bersih dan sudah dipisah antara kamar mandi dan toilet. Kami diterima baik oleh keluarga Winarto dan keluarga Pak Tardi. Pak Tardi tinggal bersama istri dan 1 anak perempuannya. Awalnya kami memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang maksud kegiatan live-in. Setelah bercengkerama, kami diminta untuk makan. Semua hidangan sudah tersedia. Saat kami minta untuk ikut ke ladang, Pak Winarto mengatakan: “Monggo mangke sareng-sareng dateng ladang menawi padharan sampun diisi supados mboten lemes� (nanti samasama kita ke ladang setelah perut terisi supaya tidak lemas badannya). Akhirnya siangnya kami jalan melewati sungai kering untuk sampai di ladang milik Pak Tardi. Ladang disana ditanami bawang merah, dan di sela-selanya ditanami tembakau. Kami mencabuti rumput liar di sekitar daun bawang merah dan tembakau tersebut. Sambil mencabuti rumput, kami ngobrol dengan bu Tardi (yang kemudian kami panggil dengan nama mbak Tri). 38

Tiap hari mbak Tri mengecek dan mencabuti rumput-rumput liar itu. Terbayang dengan teriknya matahari siang itu dan pinggang yang membungkuk terus saat mencabuti rumput tersebut sudah menjadi hal yang biasa buat keluarga mereka. Saya menjadi malu karena biasanya terkena panas sedikit saja migrain saya kambuh. Semakin siang, panas semakin terik. Berkali-kali mbak Tri meminta kami untuk mengakhiri kegiatan kami di siang itu dan kembali ke rumah. Dari mbak Tri didapat informasi juga bahwa sebagian tanaman bawang merah mereka yang sedianya akan dipakek 1 bulan lagi malah rusak karena dimakan oleh kawanan monyet. Namun saat menceritakan hal tersebut, saya melihat kepasrahan yang begitu dalam dari dirinya. “Kersane Gusti mawon. Sampun wonten ingkang ngatur� (Terserah Tuhan saja karena semua sudah diatur oleh-Nya). Mbak Tri percaya

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

bahwa setiap musibah itu pasti sudah digariskan oleh Tuhan dan kita umat-Nya hanya tinggal menjalani, dan yakin saja suatu kali Tuhan pasti akan mengganti dengan berkat yang lebih besar lagi. Saya terharu dengan kepasrahannya. Dalam kesederhanaannya, dia bisa memaknai begitu dalam maksud Tuhan atas hidup keluarganya.

Gambar 3. Lokasi Tempat Tinggal (Rumah Pak Tardi)

Gambar 4. Lokasi Ladang Pak Tardi

Setelah kami sampai rumah, bu Winarto sudah menyiapkan makan siang buat kami. Saya merasa tidak enak karena diladeni terus. Mereka begitu tulus melayani kami dalam kesederhanaan mereka. Sungguh luar biasa. Setelah makan, kami minta ijin untuk jalan-jalan. Lagi-lagi kami dibuat untuk tidak berhenti bersyukur melihat hamparan hijau dan gunung merapi dalam jarak dekat. Sungguh ini merupakan kebesaran Tuhan.

Gambar 5. Hamparan Hijau di Dusun Surjo

Gambar 6. Berpose dengan Latar Indahnya Gunung Merapi

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

39


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Saat kami jalan, disana sini kami lihat para petani bekerja dan menyemai tanaman mereka. Mereka bekerja dengan semangat karena itulah ladang mereka yang harus mereka rawat supaya menghasilkan berkat melimpah yang dapat mereka nikmati nantinya. Sementara kita sering mengomel atas pekerjaan kita, dengan alasan malas atau capek. Saat perjalanan pulang dari jalan-jalan, kami sempatkan untuk berbincang dengan warga sekitar. Mereka juga menceritakan ancaman gagal panennya karena tanaman bawang merahnya rusak dimakan monyet. Bahkan terkadang monyet-monyet itu masuk ke dalam rumah mereka. Namun mereka menjelaskan bahwa itu konsekuensi mereka hidup bersama di alam bebas. Sungguh suatu kepasrahan yang luar biasa. Nyatanya dengan keterbatasan mereka, mereka tetap bahagia.

40

Saya salut juga dengan keluarga Pak Tardi. Mereka mendidik putrinya untuk mandiri dan terlibat dalam pekerjaan rumah mereka meskipun usianya baru 7 tahun. Pada malam harinya sebelum kami kumpul sarasehan, makan kami terasa lezat karena kami makan bersama dengan keluarga Pak Winarto dan keluarga Pak Tardi. Sambil makan kami ngobrol dan bercanda. Pada malam harinya kami tidur sambil kedinginan, tetapi ini menjadi pengalaman seru buat saya. Pagi-pagi saat saya bangun jam 04.30 ternyata mbak Tri sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Bu Winarto juga sudah berangkat ke ladang sayuran yang tempatnya berbeda dengan ladang bawang merah dan jauh dari rumah. Syukur pada Tuhan pagi itu saya dan mbak Yenny melihat keseluruhan proses terbitnya matahari yang sangat indah dari halaman rumah. Bahagia itu sederhana. Dengan kepasrahan dan kesederhanaan yang mereka miliki, mereka tampil apa adanya. Mereka nampak begitu gembira dan bersemangat dalam menjalani hidup. Dengan kepasrahan mereka, mereka dapat lebih memaknai apa yang menjadi kehendak Tuhan atas hidup mereka. Satu hari hidup bersama keluarga Pak Winarto dan keluarga Pak Tardi menyadarkan saya untuk terus dan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

lebih bersyukur atas kehidupan yang saya peroleh selama ini. Buat saya pribadi, apa yang saya alami selama tinggal dengan mereka sangat cocok dengan tema refleksi karya tahun 2016, yaitu Kebersahajaan yang Memerdekakan. Bersahaja bukan hanya memaknai dalam kehidupan kita sehari-hari, namun juga dalam sikap kita. Memaknai hal tersebut, marilah kita terus dan terus bersyukur atas apa yang kita miliki, memelihara dan mengembangkan talenta yang kita miliki untuk bersama membesarkan Unika Soegijapranata yang menjadi ladang kita saat ini dan nanti, supaya selalu subur dan selalu menghasilkan buah-buah yang dapat kita nikmati bersama. Mari maju bersama Unika Soegijapranata.

41

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Guyup sebagai Tradisi Desa dan Bersatu dengan Alam: Perlu dibawa serta ke Kampus Tercinta Elizabeth Lucky Maretha Sitinjak, FEB Dusun Surjo, Desa Sukabumi “Hidup guyup dan menyatu dengan alam memberikan kita rasa kebersamaan dan ruang yang tanpa batas memaknai ucapan syukur atas berkat dan karunia-Nya�

42

Gambar 1. Kondisi Alam Pertanian di Lereng Gunung Merapi

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

D

esa Sukabumi merupakan desa yang berada di bawah kaki Gunung Merapi (Gambar 1). Tinggi dari permukaan laut sekitar 1.300, suhu sekitar 16-20 derajat Celsius. Desa ini memiliki dua dusun yang menjadi tempat live-in, Dusun Surjo dan Dusun Rejosari. Rata-rata petaninya memiliki hak milik atas tanah taninya masing-masing, paling sedikit atau minimal 500 meter persegi. Produk hasil taninya sayur-sayuran, seperti wortel, sawi, buncis, dan tanaman tembakau. Dulu petani menanam jagung dan kacang panjang, sebelum ada kelompok kera (imigrasi dari Gunung Merapi saat meletus), namun sekarang tidak lagi karena kelompok kera menyukai dua jenis tanaman tersebut. Para petani sekarang lebih cenderung menanamkan sayur-sayur yang dapat dipanen jangka pendek, menegah (sawi, wortel, buncis) dan panjang (tembakau). Produk taninya dijual di pasar sayur Cepogo. Sebagian besar petaninya merupakan anggota kelompok tani Qaryah Thayyibah Salatiga, namun lebih banyak petani yang memiliki usia muda yang bergabung. Kelompok tani ini, memiliki kebijakan membantu anggotanya dari masa tanam sampai panen, serta membantu bila ada anggota kelompok tani tersebut berduka. Oleh karena hal ini yang menyerap dana pinjaman yang agak besar selain berkaitan kegiatan tani. Penulis seharusnya tinggal di keluarga Pak Slamet RT, namun pada saat penulis sampai di sana, Pak Slamet RT sedang tidak di tempat, jadi saya bersama beberapa teman sekitar empat KK agak lama dijemput dari tempat awal kita didrop. Sekitar 30 menitan, kami menunggu baru mendapatkan keluarga muda yang baru menikah sekitar 2 tahunan, istrinya baru hamil 4 bulan, dan mereka juga tinggal di tempat orang tua istri (mertuanya). Penulis ingin bercerita tentang bersatu dengan alam, sebelum menceritakan pengalaman penulis akan hidup yang guyup. Pada saat penulis sampai ke lokasi live-in ini penulis membayangkan akan melihat paparan lahan tani dengan teras sering yang tertata dan kanankirinya ada gunung yang menjulang tinggi, seperti benteng perlidungan alami yang dibuat oleh-Nya. Harapan penulis sesuai dengan kenyataan yang ada, penulis juga mendengar dari anggota kelompok tani yang

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

43


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

mengatakan mereka akan menanam sesuai dengan alam inginkan. Para petani di sini telah menyatu dengan alam, sehingga mengerti alam ingin menginginkan mereka menanam apa di tempat lahan pertanian mereka. Terbesit dalam pikiran penulis, alam juga menginginkan apa kepada Unika? Karena Unika juga berada di tengah alam yang juga begitu indah (dilihat dari gedung Thomas Aquinas). Mungkin jawaban ini dapat kita jawab dengan menjaga alam disekitar kita, tidak membuang sampah sebarangan, menghargai hasil tani seperti sayur-sayuran yang menjadi menu sayuran di rumah, untuk kita hargai dengan memakannya tanpa membuangnya. Berikutnya penulis merasakan hidup guyub di live-in. Rupanya keluarga muda tempat kami tinggal ini, memiliki gawe di tempat pihak suami, doa sembayangan untuk nenek mereka yang sudah berpulang ke rumah Bapa sekitar 2 tahunan. Penulis bersama bu Ike (dari FSB) membantu di tempat memasak untuk acara pukul 16.30an. Kata bu Ike, tempat ini sumber informasi tentang siapa, apa, dan bagaimana para penduduk dusun ini melakukan aktivitas, memiliki hubungan apa dengan yang punya gawe, serta memberikan informasi yang lainnya. Acara membantu masak-masak ini, kami lakukan setelah pulang dari mencabutin rumput dilahan tani pak Damiri. 44

Gambar 2. Guyup saling membantu

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Penulis memang tidak bisa bahasa Jawa, namun mengerti apa yang menjadi percakapan di tempat masak yang menjadi pusat informasi ini. Ada yang penulis dengar adalah kebaikan-kebaikan dari nenek mereka alm. Rata-rata yang berkumpul di tempat ini merupakan para tetangga, anak-anak, cucu-cucu, bahkan buyut dari nenek alm. Satu dengan yang lainnya saling membantu, ada yang mengupas pisang untuk digoreng sebagai snacknya, memasak ayam yang telah disuwir-suwir sampai kuah yang ada asat dan dagingnya empuk, serta ada yang memasak nasi untuk acar sore, kira-kira sebanyak 100 orang. Penulis amati adalah semua ikut berperan awalaupun melakukan kegiatan kecil seperti menjaga agar api ditungku tidak mati. Penulis dan bu Ike sekitar 2 jam membantu para ibu-ibu tersebut. Kemudian kami pulang ke tempat dimana kami sudah ditempatkan, untuk mandi (sekitar pukul 15an). Air di sana terasa dingin seperti air es, sehingga cepat-cepat untuk selesai dan kembali ke tempat yang memiliki gawe tersebut. Kami pun kembali ke tempat yang punya gawe (acara doa untuk nenek mereka setelah 2 tahun yang lalu berpulang ke rumah Bapa). Saya dan bu Ike membantu menyiapkan gule ayam (yang telah kami bantu menjaga api tungkunya), serta membagikan aneka jajanan sebagai penutup makan malam mereka. Suasana yang ramai dengan persiapan membagikan dsari hidangan pokok sampai penutup tersebut yang penulis amati, ada yang sudah berperan membagikan ke dalam dan yang mengatur apa saja yang akan dikeluarkan kemudian setelah yang pokok selesai. Hal ini capat sekali berlangsung, sekitar 30 menitan dan selesai dari pembagian makanan pokok (nasi gule ayam kampung) sampai jajanannya (pisang goreng dan temannya). Semua cepat sekali berlangsung, sehingga penulis dan bu Ike juga meraskan ada kerjasama yang baik antara para bapak (di tempat doa ruang depan) dengan para ibu (yang menyiapan makan). Terbesit sejenak pemikiran tentang keguyuban para penduduk desa ini dalam memberikan pelanyanan antar anggota keluarganya dan para tetangganya. Andaikan kehidupan seperti ini dapat kita terapkan sepenuhnya di tempat kerja kita, betapa indahnya. Satu dengan yang lain membantu pekerjakan yang dapat diselesaikan berbarengan untuk mencapai tujuan bersama.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

45


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Akhirnya, penulis selesai di tempat yang punya gawe, kami pun ke tempat berkumpulnya teman-teman Unika untuk saling berbagai informasi dengan para pengurus kelompok tani di Desa Sukabumi. Pada saat perjalanan ke sana, kami mampir ke rumah tempat teman Unika juga berkumpul (Rumah Pak Karno). Suasana hangat juga meliputi rumah tersebut, sambutan yang hangat bagi yang bukan menjadi tanggungan mereka. Percakapan antar kami pun berlangsung sekitar 1 jam, karena ada warga yang punya gawe juga di dusun tetangga. Keguyuban pun terjadi juga pada kami yang saling kumpul bersama. Kutipan Mgr. Alb. Soegijapranata tahun 1957 tentang Hidup Bersahaja yang memerdekakan: “Dengan hidup jang serba sederhana, bersahadja dan beruga-hari, dengan bekerja jang keras, golongan Katolik patutlah merupakan golongan yang economist dapat berdiri sendiri, mampu memenuhi keperluan hidup perseorangan dan bersama tiada dengan sokongan dari mana dan dari siapapun djuga. Pun dalam keuangan kita haruslah dapat hidup merdeka dan leluasa, tak tertekan oleh perasaan hutang piutang� ini pun dapat penulis rasakan pada saat merenungkan makna refleksi karya pada hari kedua di tempat perkumpulan Banaran. Penulis sebagai bagian warga Unika merasakan hidup menyatu dengan alam, saling menolong, saling berbagi dengan sesama akan merasakan sesuatu karunia yang tak terkatakan indah dan bahagianya. 46

Tanpa kita sadari, bila kita melakukan kebaikan dan kesederhanaan yang memerdekan ini akan membuat orang sekitar kita pun memiliki damai sejahtera-Nya. Semoga refleksi karya tahun ini dapat menjadi salah satu harapan bersama untuk mewujudkan bersahadja dan berugahari. Salam damai untuk kita semua.

Gambar 3. Pohon Harapan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Tulisan-tulisan di pohon harapan-pun (gambar 3), menjadi harapan kita bersama, sebagai hasil refleksi bersama selama dua hari. Hari pertama bersama para warga di masing-masing desa dan dusun live-in, serta hari kedua melakukan pengalian refleksi dan pemantapan hasil refleksi di Banaran.

47

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Syukur untuk Pendidikan yang Telah Dialami Monika Palupi M, FEB Pengalaman bersama Susana Jawi, BAK Desa Sumber Agung - Klego “Ugahari, harus keluar dari kepentingan diri tanpa meninggalkan perkembangan martabat diri�

48

M

embaca profil desa yang disediakan oleh panitia, membuat saya bersemangat mengikuti live-in. Masa tanam yang baru saja mulai dan beberapa usaha produksi menuntun imajinasi saya tentang apa yang bisa saya kerjakan bersama induk semang di sana. Hobi bertanam dan memasak pasti tersalurkan, saya bisa belajar pengalaman mereka bercocok tanam atau mungkin mengolah produk. Hal yang biasa menjadi tantangan mereka adalah pemasaran, berarti kelembagaan dalam pengaturan distribusi pemasaran akan menjadi fokus yang seris untuk dikembangkan. Semangat refleksi karya kali ini berbeda dengan semangat ketika mengikuti refleksi karya di hotel, sulit untuk membayangkan apa yang akan bisa dilakukan disana. Lokasi yang tidak terlalu jauh dengan jalan raya dan pertanian sepanjang jalan yang dilewati, membuat saya berkata dalam hati, “rak sida melu tandur ki.� Kami disambut dengan hangat di satu rumah besar. Keluarga Bapak Hartaya menjadi induk semang bagi saya dan Mbak Susana. Ibu Ita dan anaknya menjemput kami berdua untuk bersama menuju rumahnya. Saya berfikir, bahwa mbak Ita adalah anak Pak Hartaya.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Sesampai di rumah, saya melihat kondisi rumah lumayan bersih meski begitu memandang ke atas (genting) langsung terbersit doa, Gusti sampun jawah njih, kula saged klebus mangke. Lalu kami berbincang. Saya bertanya tentang keluarga Bapak Hartaya, hampir 1 jam kami berbicang dengan penuh kebingungan akhirnya kami paham bahwa nama induk semang kami bukan Pak Hartaya tetapi Pak Haryanta. Rumah tempat kami live-in adalah rumah adik Pak Haryanta. Pak Haryanta adalah seorang buruh bangunan di Jakarta, begitu juga suami Mbak Ita. Bu Haryanta seorang buruh di perusahaan kayu lapis. Kondisi ini membuat kami berfikir, berarti kami harus membantu aktivitas di keluarga Mbak Ita. Ketika saya menanyakan aktivitas keseharian Mbak Ita, jawaban itu membuat saya mati kutu. Damelan kula nggih mung momong, masak kalih tilem..... Gubrak 1... dalam hati saya akan membantu momong dan masak. Hari itu kegiatan masak sudah selesai sehingga saya membantu momong anak yang berumur 1 tahun. Beruntung anak itu mau bermain dengan saya. Sambil menggendong, saya berkeliling kepekarangan sekitar rumah. Terlihat banyak sekali pohon pisang yang sedang berbuah, saya hitung ada 6 pohon. Hanya pisang saja yang menurut saya bisa menjadi produk produktif untuk keluarga ini. Sepanjang jalan sambil menggendong, saya melihat potensi pisang yang bisa dikembangkan. Sesampai di rumah, saya bertemu dengan anak tunggal Bu Haryanta, Ummi namanya. Kami berbincang bersama dan tahu kalau Ummi ini akan menikah. Saya menanyakan kapan waktunya, dan mendapat jawaban yang membuat saya terkaget-kaget dan tidak habis pikir (gubrak 2). Kula taksih 3 tahun malih kok mbak, nunggu cukup umur ngge nikah. Pendidikan terakhirnya SMP dan tidak mau lagi sekolah. Kula mboten pingin sekolah, ajeng nyambut damel mawon. Ternyata Ummi pernah bekerja di konveksi, tetapi perkerjaan yang menurutnya berat membuat Ummi keluar dari pekerjaannya dan menganggur. Saya menayakan, apakah Ummi tidak ingin memiliki usaha dan penghasilan sendiri? Nggih pingin Mbak. Dengan maksud memberi motivasi, saya mengatakan, sambil menunggu menikah, Ummi bisa kan kursus jahit atau kursus untuk bisa mengolah pisang dan dijual. Jawaban Ummi membuat saya gubrak ke-3, mboten ... Duh Gusti...apa ini... mengingkan punya pendapatan tetapi tidak mau

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

49


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

berusaha... Logika pikir mana yang bisa menjelaskan fenomena ini.... Sampai saat makan siang, kami makan bersamaan dengan Mbak Ita yang menyuapi anaknya. Sayur bayam dan ikan goreng yang enak. Saya menanyakan, “disuap dengan apa Mbak?� Sama nasi dan kuah sayur. Tanpa ikan. Mengapa tidak disuap dengan ikan, Mbak Ita menjelaskan kalau biasanya pakai ikan tawes, ikan yang sekarang dimasak banyak durinya. Lalu saya berusaha untuk mengambil ikan yang menjadi lauk saya untuk dipastikan bersih dari duri dan saya suapkan ke anak Mbak Ita. Anak itu senang, dan hampir separo dari lauk saya habis untuk menyuapinya. Tidak tahu, apakah jawaban itu hanya karena ikan itu diperuntukkan bagi kami atau karena mereka malas untuk membersihkan daging ikan dari durinya.

50

Semalam bersama keluarga ini membuat saya lebih mengerti dan mengalami akan arti pentingnya pendidikan. Pendidikan yang benar adalah pendidikan tidak hanya mampu memberi kemampuan kognitif tetapi mampu menjadikan dirinya sebagai agen pengubah bagi dirinya sendiri untuk menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Malam sembari mencoba memejamkan mata, saya berfikir tidak aneh jika suami mbak Ita yang seorang buruh bangunan yang ketika pulang ke rumah melihat genting-genting rumahnya bergeser, tidak membenahinya tetapi memilih memasang plastik supaya air tidak masuk ke rumah. Mengapa Ummi lebih memilih menunggu selama 3 tahun menikah dengan kegiatan masak, membantu momong dan tidur, daripada berfikir membuka usaha dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di pekarangannya. Mengapa Mbak Ita lebih senang memelihara sebuah kura-kura daripada membeli methok yang harga jualnya lebih tinggi, untuk bisa berternak. Masalah sosial yang terjadi di desa ini mungkin membuat saya berfikir, bahwa perlu ada RA Kartini di desa ini, karena kebanyakan perempuan hanya bersekolah sampai SMP dan menunggu usia menikah. Sambil menunggu pagi, dalam hati saya mengatakan matur nuwun Bapak dan Ibu yang memikirkan pendidikan saya hingga saya menjadi seperti saat ini. Kuceritakan pengalaman ini kepada mahasiswa/i-ku agar mereka menghargai pentingnya pendidikan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Menegakkan Keyakinan untuk Memegang Teguh Prinsip Nowo Tedjo Sunandono, LPSDM, Dusun Ngringin, Desa Batur “Jalur hati nurani merupakan jalur sepi, dengan berat hati atau terpaksa. tidak mudah menegakkan keyakinan diri-sendiri di tengah hingar-bingar pendirian banyak orang. (John F. Kennedy, Presiden Amerika, 1961).

P

ada akhir sesi acara ‘Peneguhan Dari Nara Sumber’, Rektor melontarkan pertanyaan yang bernada agak pesimis lantaran banyaknya peserta Refleksi Karya yang mohon ijin tidak bisa mengikuti acara. ‘Refleksi Karya telah berlangsung 7 (tujuh) kali, perlukah untuk tahun-tahun mendatang Refleksi Karya dilaksanakan?. Setiap individu diminta untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ini dengan bertanya pada diri sendiri. Tentu saja dengan pertimbangan hati nurani. Jawaban yang perlu dipertimbangkan, apakah dari sudut rohani atau dari sudut materi. Orang bijak mengatakan ‘jawaban mu adalah isi hatimu. Tetapi pengalaman hidup bersama warga masyarakat saat Refleksi Karya inilah yang memberikan jawan atas nilai rohani yang dipertanyakan oleh Rektor. Pengalaman Penulis saat tinggal di Dusun Ngringin di tempat keluarga bapak Darwadi. Beliau sehari-hari mengusahakan usaha peternakan dalam jumlah besar. Dari sudut materi keberadaan keluarga Bapak

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

51


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Darwadi secara ekonomi lebih baik dari pada keadaan ekonomi penulis. Jadi lebih layak dikatakan, kami tinggal disebuah Hotel. Jika demikiaan apa yang memberikan makna saat Refleksi Karya tinggal bersama warga masyarakat?. Sehari-hari waktu Bapak Darwadi dihabiskan di lokasi peternakan yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal. Kami lebih sering ditemani oleh istrinya dan adik iparnya. Rumah adik iparnya yang bernama mas Budi bersebelahan dengan rumah pak Darwadi. Kondisi rumah mas Budi hampir berlawanan dengan rumah pak Darwadi. Kegiatan kami lebih banyak mendiskusikan persoalan-persoalan pengalaman mas Budi saat terjun dilapangan. Kebetulan mas Budi adalah salah satu pengurus Paguyuban yang bertanggungjawab terhadap operasional Paguyuban di 16 kecamatan. Jadi boleh dikatakan, mas Budi adalah seorang pemimpin bagi kelompoknya di 16 (enam belas) kecamatan tersebut.

52

Pengalaman mas Budi sebagai pengurus Paguyuban cukup problematis. Dalam masyarakat yang sebagaian besar masyarakatnya hidup di sektor pertanian ada kesan bahwa sepanjang hari mereka hanya mengurus masalah perut. Karena orientasi Paguyuban adalah persoalan pendapatan petani yang reltif kecil. Mereka adalah pelakupelaku ekonomi yang dalam kenyataannya berpendapatan per kapita sangat kecil. Kalau boleh dikatakan, sebagai majikan yang menjadi buruh. Mereka banyak dirugikan oleh para tengkulak dan pengecer. Mengambil harga barang hasil pertanian dari petani relatih murah, sementara ditangan konsumen harga menjadi dua kali bahkan lebih. Kesenjangan inilah yang hendak dipatahkan oleh Paguyuban agar supaya petani mendapat penghasilan yang lebih tinggi. Dengan demikian proses pertanian akan berjalan lancar karena pengembalian modal yang memadai. Namun demikian tujuan mulia Paguyuban ini tidak semudah yang dibayangkan. Banyak Petani yang menempuh jalur sendiri dikarenakan berbagai alasan. Banyak petani yang tetap menjual langsung hasil pertaniaannya kepada Tengkulak. Menghadapi sikap inilah yang menjadi tantangan mas Budi. Adalah keyakinan mas Budi. Menegakkan keyakinan untuk memegang teguh prinsip. Keyakinan untuk berbeda walaupun banyak orang menempuh jalurnya sendiri. Tidak tunduk pada godaan murahan jangka pendek dan murahan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

duniawi. Mas Budi yakin bahwa dengan adanya Paguyuban ini, petani cepat atau lambat akan memperoleh manfaat. Titik keyakinan mas Budi berangkat dari kesadaran bahwa garda terdepan untuk meraih kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah Petani. Hal demikian dikarenakan Indonesia adalah negara Agraris yang sebagian besar masyarakatnya bergerak di sector pertanian. Kualitas petani juga bisa diraih lewat organisasi (Paguyuban). Kualitas petani tidak semata-mata ditentukan oleh lahan yang luas dan pupuk pabrikan yang siap pakai.. Persoalan petani adalah soal kebijakan pemerintah dan ketebukaan dengan petani lain di dalam penentuaan kualitas, pupuk, pemasaran, variasi tanaman, dan pengembangan produk pangan. Pada pundak paguyuban ini, kita titipkan persiapan masa depan bagi petani. Â Para petani adalah futurolog akan ketahanan pangan Indonesia. Karena keanekaragaman asupan gizi yang tercukupi.Kuliatas manusia Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kualitas pendidikannya saja, tetapi juga masalah pangan. Di balik kompleksitas perdebatan yang rumit dan panjang soal diatas. Paguyupan berdiri di depan petani untuk merangsang dan menginspirasi. Di dalam merangsang, dan menginspirasi petani sesungguhnya ada 2 (dua) tujuan yang hendak direngkuh lewat paguyuban ; 1. memajukan kesejahteraan petani. 2. meningkatkan kualitas manusia petani Mengenai peningkatan kulitas manusia. Program live-in dipandang sebagai keterbukaan atas keberagaman masyarakat Indonesia. Masyarakat desa yang umumnya kurang luas dalam pemikiran, akan membuka cakrawala baru dalam menghadapi berbagai persoalan. Umumnya soal kelanjutan pendidikan anak yang hanya setingkat SMP. Buktinya tidak hanya terbuka bagi peserta yang berasal dari Universitas Katolik Soegijapranata saja, tetapi juga bangsa-bangsa lain, seperti Belanda, Kanada, dan lain-lain. Kita tentu dapat memahami, dua tujuan itu luar biasa berat. Setiap pemimpin dan kita semua mestinya menyadari bahwa hal tersebut adalah janji yang harus dibayar lunas. Kita semua adalah pemimpin, paling sedikit pemimpin bagi keluarganya

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

53


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

sendiri. Seorang pemimpin adalah orang yang dapat menempatkan dirinya di mana tempat berpijak. Pijakan kita, tempat mendapatkan makan, minum dan bahkan pendidikan adalah Universitas Katolik Soegijaprnata. Semangat dan segala makna hidup tempat kita berpijak dituangkan dalam syair “Hymne Unika”. Hymne itu digelorakan dengan suara yang penuh heroik, semua menyanyikan dari hati. Gelora suara mencerminkan rasa juang dan rasa cinta yang tulus. Ekpresi adalah cernin ketulusan. Hymne Unika biasa dinyanyikan pada saat Wisuda Sarjana, tetapi bila tidak ada acara Refleksi Karya dapat dijamin, sebagian besar Dosen dan Tenaga Kependidikan tidak bisa menyanyikannya. Mungkin ada yang berpikir, persoalan menyanyikan Hymne Unika adalah persoalan remeh-temeh. Namun sebenarnya, kondisi itu merupakan sesuatu yang sakral lantaran terkait kepribadian Mgr. Soegijapranata yang menjadi patron Unika. Bagi saya Hymne Unika merupakan hal yang sakral. Ini menegaskan kepada ‘Saya’, siapa sesungguhnya saya. Dari Hymne Unika kita akan mengetahui tujuan praktis kita, tempat di mana kita berpijak. Sama seperti saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hanya dengan tujuan yang praktis dan landasan spirit yang kuat akan dengan jelas mengetahui arah pijakan.

54

Rektor sebenarnya berhak menasehati para Dosen dan Tenaga Kependidikan yang bakal menjadi calon pemimpin minimal bagi keluarganya sendiri. Sebab para peserta Refleksi Karya segala sikap dan tindakannya akan menjadi bahan penilaian dan rujukan ditengahtengah masyarakat yang mengalami kemunduran pengetahuan. Tamu yang menjadi sahabat dan pemimpin yang bisa diambil manfaatnya. Karenanya, tidak hanya nasehati, tetapi juga sekolah / pendidikan kepemimpinan bagi calon yang akan memimpin Unit/Biro. Oleh sebab itu, apabila Rektor bertanya kepada saya, perlukah untuk tahuntahun mendatang Refleksi Karya dilaksanakan?. Jawaban saya adalah “Menegakkan keyakinan untuk memegang teguh prinsip”. Prinsip itu adalah Talenta Pro Patria at humanitate. Paling tidak menghormati dan menghidupi mantra para sesepuh dan rohaniwan para pendiri Universitas ini. Sehari-hari tidak terlena dengan urusan perut dan rutinitas kerja belaka, yang menurut penulis sudah membosankan, Semoga Tuhan memberkati niat baik semua orang.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Indahnya Kebersahajaan yang Memerdekakan Blasius Panditya, CLT Dusun Karangasem, Desa Ketapang “Ketika di dalam kesederhanaan dan kemandirian, kemerdekaan itu benar-benar dirasakan, maka keindahannya pun menjadi sempurna.�

R

efleksi karya bagi dosen dan karyawan Unika merupakan kegiatan tahunan yang dinanti. Setahun sekali, kegiatan ini menjadi salah satu kegiatan bersama yang mempertemukan seluruh dosen dan karyawan Unika selain acara Dies Natalis. Refleksi karya tahun 2016 ini mengambil tema “Kebersahajaan Yang Memerdekakan� dengan mengambil kegiatan live-in di desadesa yang termasuk dalam komunitas Qorryah Thayyibah. Live-in ini diselenggarakan selama 2 hari satu malam. Walaupun terhitung sebentar, namun selama 2 hari itu, penulis merasakan hal yang tak ternilai baik dari pengalaman, pengetahuan baru, maupun nilai-nilai yang mengagumkan yang tersembunyi dalam wajah sederhana dari penduduk dusun yang penulis temui. Dalam kegiatan live-in ini, penulis ditempatkan di dusun Karangasem, Desa Ketapang. Dari daftar yang telah disiapkan panitia, penulis ditempatkan di keluarga Bapak Nur Azis dengan seorang tenaga

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

55


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

kependidikan yang lain dan seorang dosen. Agak terkejut kami jadinya karena kemudian kami ditempatkan di dalam sebuah rumah yang terhitung mewah dengan 4 rekan Unika yang lain. Artinya kami tinggal ber-tujuh di dalam satu rumah. Tidak hanya itu, jamuan yang disuguhkan kepada kami terasa mengalir tanpa henti. Dengan sangat berterima kasih, kami pun menikmati kebaikan keluarga ini. Oleh Pak Nur Azis, kami diberi kesempatan pula untuk turut ke sawah dan disediakan alat untuk ‘matun’, suatu kegiatan membersihkan rumput atau gulma di sekitar tanaman padi. Letak sawah beliau terhitung cukup jauh dari rumah, melalui jalan setapak yang naik turun. Perjalanan ke sawah cukup membuat napas terengah-engah karena tidak biasa. Untuk ‘matun’, sawah yang ada dialiri air terlebih dahulu sehingga alat ‘matun’ tersebut dapat dipergunakan dengan lancar. Kami di sawah tidak sampai satu jam karena kemudian gerimis datang. Pak Nur Azis mempersilahkan untuk pulang saja. “Sing penting sampun pirsa caranipun matun” begitu ujarnya. Kegiatan lain yang sempat ditunjukkan kepada kami adalah cara membuat pupuk kandang lapis demi lapis.

56

Di malam hari, kami berkumpul dalam kegiatan sarasehan di tempat Bapak Mustofa, salah satu tokoh tani organik Al-Baroqah. Di sini, penulis belajar banyak dari penuturan beliau. Beberapa poin penting yang penulis ingat adalah ketika beliau menceritakan awal berdirinya kelompok tani Al-Baroqah yang dianggap ‘edan’, ekstrim kiri, dan lain sebagainya. Namun dengan kerendahan hatinya, kelompok tani organik ini justru bertahan hingga 18 tahun dan justru dapat menarik petani-petani lain untuk beralih ke lahan pertanian organik. Salah satu ungkapan penting yang penulis simak adalah penjelasan beliau ketika beliau mengatakan: “Jangan lihat penghargaan yang telah dicapai. Itu hanya sampur! Menghasilkan produk tani organik itu mudah, hal yang lebih sulit adalah mengorganikkan petani. Betapa berdosanya saya ketika saya tidak dapat mengajak petani untuk dapat sejahtera bersama”. Dengan bangga, beliau menunjukkan moto yang tercetak di kaosnya: “Ora utang, ora tuku, gawe dhewe!”. Ditambah lagi dengan kegigihan beliau untuk mempertahankan prinsip cara mengelola penjualan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

hasil tani. Produk yang dijual dapat dikatakan “harus dari sisa� yang disisihkan setelah para petani mencukupi kebutuhan hidupnya dari hasil jerih payah tani organiknya sendiri. Tidak ada yang terbuang siasia. Benar-benar luar biasa! Dari kegiatan ini, penulis menemukan bahwa pengantar yang dipersiapkan panitia dengan mengambil kutipan Mgr. Alb. Soegijapranata (1957) yang dibagikan kepada setiap peserta benarbenar menemukan contoh kongkritnya. Wajah sederhana penduduk desa yang dengan rendah hati menyambut dan menerima kami itu benar-benar memancarkan keindahan kesederhanaan dan kemandirian mereka. Menjadi lengkap keindahannya ketika mengetahui bahwa mereka benar-benar merdeka. Semoga dengan kegiatan live-in ini, seluruh warga Unika pun bersama-sama mampu dan mau belajar dan meniru saudara-saudara kita itu. Semoga.

57

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Semangat dan Ceria Meskipun Dalam Kesederhanaan Christiana Retnaningsih, FTP Dukuh Sumber Agung, Desa Selorejo “Kesederhanaan dan keterbatasan fasilitas tetap dapat menumbuhkan semangat dan keceriaan dalam menjalani hidup”

58

Live-in” di dukuh Sumber Agung, desa Selorejo, kecamatan Klego, kabupaten Boyolali sungguh memberikan pengalaman yang mengesankan. Masyarakat di dukuh tersebut memiliki pekerjaan yang beragam, seperti petani, pedagang pakaian (beberapa orang menjual pakaian baik hingga Palu-Sulawesi Tengah), membuka warung kelontong di rumah atau warung makan ditempat lain, pengemudi angkutan antar kota maupun pengemudi truk pasir. Dukuh Sumber Agung relatif dekat dengan jalan raya sehingga tempat tersebut mudah diakses baik dari kota Salatiga maupun kota Solo. Mayarakat di dukuh tersebut banyak yang menjadi anggota binaan Yayasan Qoriyah Thoyibah serta badan Ketahanan Pangan (BKP) propinsi Jawa Tengah sehingga beberapa orang dari mereka telah memiliki usaha-usaha mandiri seperti produksi es krim, dawet ireng khas purworejo serta hasil pertanian dengan sistem pertanian organik

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

(meskipun sistem tersebut baru bisa diaplikasikan sekitar 50%). Pada acara live-in ini penulis tinggal di keluarga Ibu Ngatmi yang memiliki usaha warung makan dengan menu utama es dawet ireng serta soto dan gorengan. Suami dari ibu Ngatmi adalah bapak Winoto yang bekerja sebagai pengemudi angkutan umum jurusan Kangagede – Solo. Mereka memiliki 2 orang anak, yang pertama laki-laki, bekerja di garmen di Bawen dan yang kedua perempuan masih tinggal bersama (tidak bekerja) dan sudah memiliki seorang anak berumur 3 tahun. Kami (saya dan mbak Dewi dari unit CLT) bersyukur tinggal di keluarga ibu Ngatmi karena kami dapat belajar kesederhanaan. Pada waktu kami ditunjukkan rumahnya, kamar yang akan kami tempati, kamar mandinya rasanya kami bingung bagaimana kami bisa tinggal karena semuanya serba minimal (lantai dari semen kasar, tidur di lantai/tidak ada dipan, kamar mandi hanya ditutup kain) serta kondisi yang kotor dan berserakan. Setelah sejenak di rumah meletakkan tas maka kami diajak ke warung yang dimilikinya yaitu warung makan dengan menu soto dan es dawet ireng (Gambar 1), dan kami siap bekerja/mengikuti aktivitas bu Ngatmi di warung (Gambar 2)

59

Gambar 1. Warung makan yang dimiliki oleh ibu Ngatmi dengan menu andalan�dawet ireng dan soto�.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Gambar 2. Mbak Dewi (Unika) sedang melayani konsumen yang membeli es dawet ireng

60

Ibu Ngatmi memulai usaha warung sejak lima tahun lalu, sebelumnya ia berjualan pakaian batik hingga ke Palu-Sulawesi tengah, SampitKalimantan, dan Balikpapan. Bila dia berjualan ke luar pulau maka anak-anak ditinggal bersama suaminya. Usaha warung yang dimilikinya ini sangat mendukung ekonomi keluarga karena penghasilan suami sebagai pengemudi angkutan umum trayek Karanggede – Solo sering tidak pasti karena persaingan angkutan semakin ketat dan banyak orang telah memiliki sepeda motor. Untungnya dengan pengalaman dagang yang dimiliki serta karakter ibu Ngatmi yang ramah serta ceria/gembira membuat usaha warung ini banyak diminati oleh kosumen. Setiap hari bu Ngatmi mulai berangkat ke warung yang berjarak sekitar 300 m dari rumahnya jam 5.30 pagi lalu bersih-bersih dan memasak di warung. Hal tersebut dilakukan untuk melayani konsumen yang mau berangkat bekerja sehingga bisa sarapan di warung ibu Ngatmi. Makanan yang dijual di warung meliputi soto dengan harga Rp. 5.000,- per porsi, gorengan (tempe mendoan, bakwan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

sayur, tela goreng) masing-masing Rp. 500,- per buah sedangkan dawet ireng seharga Rp. 3.000,- per mangkuk. Konsumen yang makan di warung tersebut cukup banyak dan tempat untuk mereka makan cukup nyaman sambil duduk ditikar dan bahkan bisa leyeh-leyeh sejenak. Omset harian dari warung tersebut sekitar Rp. 180.000,- - Rp. 200.000,per hari dengan keuntungan sekitar 40% hingga 50%., dan warung ditutup setelah soto yang dimasaknya habis. Pada waktu kami berada di warung tersebut soto yang dijualnya sudah habis jam 13.30 sehingga jam 14.30 kami sudah kembali ke rumah. Kegiatan berikutnya yang kami lakukan di rumah adalah bersih-bersih karena keluarga ibu Ngatmi juga memiliki hewan piaraan yaitu menthok sebanyak 20 ekor yang tidak dikandang secara khusus, sehingga kotoran menthok berserakan. Selain itu kami juga terlibat dalam membersihkan rumah bagian dalam dan kamar mandi supaya tertata dan nyaman dipakai. Selama tinggal beberapa jam di rumah ibu Ngatmi, kami teringat pada acara di salah satu stasiun TV dalam program “tukar nasib�. Kami jadi merasa sangat bersyukur memiliki kehidupan yang lebih baik melalui bekerja di Universitas Katolik Soegijapranata dengan lingkungan dan fasilitas yang jauh lebih nyaman. Dengan demikian kami harus lebih semangat dan lebih ceria dalam menjalankan tugas baik sebagai dosen maupun staf kependidikan dalam melayani mahasiswa dan sesama. Tuhan memberkati.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

61


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Berbagi Kisah Dari Dusun Kaliduren Sansaloni Butar Butar, Dosen FEB Dusun Kaliduren, Desa Batur

M 62

alam itu, jam dinding baru menunjukkan pukul 20.30. Dalam keheningan malam, aku hanyut dalam imajinasi ‘refleksi karya’ yang akan berlangsung esok hari. Beribu tanya segera menghampiri. Seperti apa dusun Kaliduren yang nanti kudatangi? Terbayang kehidupan desa yang tenang, penduduk bersahaja, lenguh sapi memecah keheningan, dan sayuran hijau yang tertiup angin. Perlahan rasa damai menghampiri, mengisi relung hati yang terdalam. Ah... rasanya sudah tidak sabar bertemu dengan pribadipribadi sederhana sembari berbagi cerita tentang hidup dan kehidupan. Tepat jam enam, kami meninggalkan kampus ungu menuju dusun yang tengah menanti. Perjalanan dua jam terasa begitu lama namun tetap menyenangkan. Dari kejauhan samar terlihat petunjuk arah ke dusun Kaliduren. Akhirnya sampai, begitu kataku. Satu persatu kami turun dan berkumpul di halaman sebuah rumah dan aku menerima sehelai kertas tertulis Cahyo. Ketika nama ini diteriakkan, aku dan temanku segera mengikuti seorang pemuda dari belakang . Apakah dia pak Cahyo? tanyaku dalam hati. Begitu memasuki pintu rumah,

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

kami segera disambut seorang tua yang ternyata ayah dari pak Cahyo. Spontan aku bertanya, mana pak Cahyo? Dia lalu bercerita bahwa anak dan menantunya bekerja di luar dusun Kaliduren, dan baru kembali kerumah pada sore hari. Anak muda yang kusangka pak Cahyo ternyata adalah adiknya. Dengan ramah, beliau mempersilahkan kami duduk sambil menikmati singkong goreng dan teh hangat yang telah dipersiapkan. Terasa nikmat sekali. Sayang, aku tidak ingat nama yang diucapkan ketika bersalaman. Aku sebut saja dia pak tua karena usianya sudah enam puluh tahun. Sambil menikmati teh dan singkong goreng, Pak tua mulai berkisah tentang dusun Kaliduren, tentang kehidupan dan sang Pemberi kehidupan. Rejeki manusia sudah diatur oleh sang pencipta, katanya dengan yakin. Sekuat apapun upaya yang dilakukan tanpa restu darinyaNYA, akan berakhir pada kekecewaan. Bukan main Pak tua ini, bisikku dalam hati. Dia juga menceritakan ritual tengah malam memohon sang Khalik memelihara dan mempermudah rejeki keluarga. Semua doa yang dipanjatkan dengan penuh kesungguhan pasti dikabulkan, begitu katanya. Terlihat jelas, kepasrahan dan ketergantungan mendalam kepada sang pencipta memberi kemerdekaan hakiki dalam diri Pak tua. Sungguh suatu pemandangan yang menggetarkan hati. Dalam kesederhanaan yang tulus, sesekali dia menginterupsi pembicaraan hanya untuk mempersilahkan kami mencicipi singkong goreng hangat lebih banyak. Tanpa terasa satu jam berlalu. Aku bertanya kepada Pak tua tentang ladangnya. Dengan penuh semangat, dia mengajak kami menyusuri jalan-jalan sempit di penuhi semak dan bambu serta ditemani gemericik air menuju sebidang tanah yang sempit. Dalam hati aku berkata, bagaimana mungkin sebidang tanah sempit dapat menopang keluarga Pak tua? Entah bagaimana, dia menangkap kegusaranku dan buru-buru mengatakan dia masih memiliki beberapa bidang tanah yang lain. Namun anehnya, petak tanah yang dimiliki pak tua tidak berada ditempat yang sama. Belakangan baru aku mengerti,

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

63


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

letak tanah yang terpencar disebabkan warisan dari pihak istri yang berada pada lokasi berbeda. Tak jauh dari ladang bapak tua, ada seorang ibu setengah baya tengah membersihkan rumput liar yang bersembunyi dibalik barisan tanaman. Ini tanaman organik, kata sang ibu. Aku mendekat dan membanjirinya dengan berbagai pertanyaan seputar tanaman organik yang tumbuh subur disekelilingnya. Lalu dia bercerita tentang sekelompok petani, termasuk dirinya, memulai pertanian organik di desa Kaliduren tahun 2008. Awal yang penuh perjuangan dan kesabaran, sahutnya lirih. Tidak jarang cemooh dan ejekan dari sesama petani mereka terima. Sebagian besar petani menganggap pertanian organik sebagai suatu kebodohan. Betapa tidak, pemakaian pupuk kimia yang turun temurun telah dianggap sebagai suatu dogma yang tidak mungkin keliru dan tidak perlu dirubah. Masyarakat desa yang lugu hanya mengerti bahwa tanah yang subur hanya mungkin didapat dengan taburan pupuk kimia. Namun tanpa disadari mereka telah memperkosa dan membunuh roh kehidupan yang terkandung dalam tanah. Ya, pemakaian pupuk kimia yang berkepanjangan merusak kesuburan tanah. 64 Aku mendapat pelajaran berharga tentang pupuk organik. Menurut ibu ini, efek pemakaian pupuk organik baru bisa dirasakan setelah dua tahun. Mengapa? seruku tiba-tiba. Kualitas tanah yang ada telah dirusak oleh pemakaian pupuk kimia yang berlebihan dan butuh waktu lama untuk mengembalikan pada kondisi semula. Sejenak menerawang ke masa lalu, dengan lirih dia berkata, perlu waktu dua tahun untuk merehabilitasi tanah garapan kelompok tani. Tidak sedikit yang memilih kembali ke cara lama karena lelah menunggu hingga pupuk organik menghasilkan sayuran berkualitas seperti yang diharapkan. Seiring berjalannya waktu, penantian panjang yang menguras tenaga dan emosi akhirnya mulai terlihat. Sayur organik yang mereka hasilkan lebih ‘hijau’ dan lebih mudah dipasarkan. Pendapatan keluarga meningkat

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

seiring meningkatnya permintaan sayuran organik. Saat ini, sudah tiga puluh keluarga yang bergabung dan merasakan manfaat bertani secara organik. Sungguh cerita yang menggugah hati. Tanpa sadar aku berkata, “Terima kasih Kaliduren atas kisah inspiratifmu�.

65

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Pergumulan Mengolah Nilai Dalam Refleksi Karya Theodorus Sudimin, TSI Desa Sumber

Apa dan Mengapa Refleksi Karya

66

S

ejak Refleksi Karya (RK) tahun 2010 The Soegijapranata Institute (TSI) selalu dilibatkan terutama yang berkaitan dengan materi dan penyusunan skenario acaranya, dan kita paham bahwa materi dan acara itu merupakan hal terpenting dalam sebuah kegiatan. Saya tidak ingat persis bagaimana prosesnya tetapi Refleksi Karya merupakan kegiatan yang mempertemukan kesamaan idealisme TSI dan Pimpinan Universitas. Mewujudkan kesamaan idealisme itulah yang diolah dalam setiap kegiatan Refleksi Karya. Dalam perkembangannya, sejak tahun 2012/2013 pengolahan materi dikerjakan oleh TSI dan desain acaranya diolah bersama dengan tim acara panitia. Perubahan itu merupakan bagian dari proses pencarian bentuk Refleksi Karya yang terus dievaluasi dan diperbaiki. Dalam bidang pekerjaan TSI, Refleksi Karya termasuk dalam bidang Internalisasi Nilai. TSI menjadikan kegiatan PTMB, RK, SML, ATGW, Retret, penilaian KPO, dan sebagainya sebagai media internalisasi sebagian nilai-nilai hidup Mgr. Soegijapranata oleh dosen dan tenaga kependidikan. Di antara berbagai jenis kegiatan internalisasi nilai,

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Refleksi Karya merupakan bentuk yang paling “heboh”. Dikatakan heboh karena diikuti oleh semua dosen dan tenaga kependidikan yang jumlahnya lebih dari 350 orang dan dilangsungkan di luar kampus. Dari sisi jumlah PTMB jauh lebih banyak pesertanya yaitu sekitar 1800 orang mahasiswa baru, namun dilaksanakan di dalam kampus dan yang pertemuan sejumlah peserta itu hanya terjadi dalam pembukaan dan penutupan, selebihnya dalam kelas-kelas kecil, fakultas dan program studi. Hal mendasar yang agak sulit adalah mengolah materi dan mendesain acara, mengingat pesertanya sangat beragam dalam tingkat pendidikan dari yang terendah hingga tertinggi, usia muda pegawai yang baru masuk hingga pegawai yang hampir pensiun, unit kerjanya juga sangat bervariasi, dan tingkat keterlibatan dan pemahaman terhadap pergumulan institusi Universitas juga berbeda. Hal lain yang timbul adalah masalah teknis yaitu mencari tempat atau gedung beserta kamar tidurnya yang bisa menampung 350 an orang dan sampai hari ini soal belum pernah teratasi, kecuali live-in di keluarga-keluarga. Dari sisi tempat Refleksi Karya diadakan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan di satu tempat hotel atau penginapan; (2) hidup – berkarya – menginap dalam satu keluarga (live-in) dan refleksi bersama diselenggarakan di sebuah ruang pertemuan; (3) berkarya di lingkungan kampus dan refleksi di sebuah tempat di luar kampus. Variasi tempat ini menarik dikemukakan karena berimplikasi pada model refleksi dan pemaknaan oleh para peserta. Refleksi Karya sebagai media pengolahan dan internalisasi sebagian dari nilai-nilai yang dihidupi oleh Mgr. Soegijapranata untuk dihidupi dan dihadirkan kembali dalam konteks masa kini. Tidak sekedar dihidupi dan dihadirkan kembali, melainkan disesuaikan dengan konteks masa kini. Pepatah berbahasa Latin yang dia sering kutip adalah “tempora mutantur, et nos autem cum illis” (jaman berubah dan kita pun berubah pula). Artinya, kita harus ikut berubah sesuai dengan arus jaman tanpa kehilangan identitas dan jati diri. Pepatah berbahasa Jawa menyebutnya ngeli tanpa keli.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

67


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Perjalanan Refleksi Karya Tanpa bermaksud untuk memberikan narasi tentang perjalanan Refleksi Karya secara kronologis, saya menawarkan tulisan pergumulan mengolah nilai dalam RK sebatas ingatan dan catatan-catatan yang saya miliki. Narasi lebih mengutamakan alur pengolahan nilai daripada urutan waktu. Suatu ketika dalam Refleksi Karya, warga Unika Soegijapranata diajak untuk bersyukur atas karunia yang diterima masing-masing dari Tuhan. Menyadari bahwa bakat atau talenta apapun yang kita miliki berasal dari pemberian Tuhan adalah tidak mudah. Banyak orang merasa segala sesuatu dianggap sebagai alamiah atau miliknya. Menyadari segala sesuatu sebagai anugerah Tuhan dapat mendorong tumbuhnya semangat untuk bersyukur dan ternyata dari sharing didapatkan bahwa orang bisa bersyukur atas hal yang oleh orang lain dianggap alamiah, misalnya bisa bernafas atau (maaf) bisa kentut.

68

Rasa syukur diungkapkan oleh warga Unika dengan nama patron univeritas yaitu Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Saya sangat yakin bahwa pengangkatan Mgr. Soegijapranata menjadi Pahlawan Nasional adalah pernyataan Soegijapranata (1954) ini “kita adalah sungguhsungguh Katolik, dari pada itu kita adalah sebenar-benarnya patriot juga. Oleh karena kita merasa patriot seratus prosen, sebab itu kita pun merasa Katolik seratus prosen pula�. Pernyataan yang kemudian terkenal dengan semboyan “100% Katolik 100% Indonesia� ini muncul dari sebuah penghayatan hidupnya. Semangat itu tidak hanay diucapkan tapi sungguh-sungguh hidup. Artinya, Soegijapranata sungguh-sungguh menghidupi dan mewujudkan dalam karya semangat mencintai tanah air. Menjadi Katolik (beragama) dan mencintai tanah air merupakan fakta yang terjadi saling sebab akibat. Meskipun seorang Uskup (pemimpin Gereja Katolik lokal), dia berkarya melampui batas jabatan itu dan masuk ke ranah kebangsaan dan problem kemanusiaan pada umumnya.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Semangat mencintai tanah air inilah yang kemudian Unika menurunkan menjadi Tema Karya 2010/2011 “Kasih akan tanah air” dan diwujudkan dalam kegiatan live-in di lereng Merapi awal tahun 2011. Sejarah mencatat bahwa akhir Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi yang menimbulkan korban nyawa manusia termasuk Mbah Marijan sang Juru Kunci dan korban-korban lainnya seperti ternak, rumah, hasil pertanian, dan sebagainya. Warga Unika Soegijapranata ikut berempati dengan cara hidup bersama (live-in) sehari semalam dalam keluarga-keluarga di lereng Merapi tepatnya Desa Sumber. Berempati itu kemudian berlanjut dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) oleh mahasiswa dan pendampingan-pendampingan oleh para dosen melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat pada tahun-tahun berikutnya. Masyarakat lereng Merapi memberikan pelajaran berharga bagi warga kampus. Mereka tidak mengutuk Gunung Merapi dan meratapi nasib melainkan dengan semangat baru mereka menata kembali hidupnya dengan semboyan “urip anyar nganggo nalar”(hidup baru dengan akal). Metode live-in bersama masyarakat pedesaan ini diulang kembali pada tahun 2016 ketika Tema Karyanya adalah “Ugahari Mandiri”. Tema Karya 2015/2016 yang diambil dari pernyataan Soegijapranata (1957) “dengan hidup yang serba sederhana, bersahaja dan beruga-hari, dengan bekerja yang keras, golongan Katolik patutlah merupakan golongan yang economist dapat berdiri sendiri, mampu memenuhi keperluan hidup perseorangan dan bersama tiada dengan sokongan dari mana dan dari siapapun juga. Pun dalam keuangan kita haruslah dapat hidup merdeka dan leluasa, tak tertekan oleh perasaan hutang piutang”. Live-in ini sekaligus bermakna untuk menumbuhkan atau mengingatkan kembali semangat hidup sederhana, bersahaja, dan berugahari. Warga Unika dapat merasakan tidur di atas dipan tanpa kasur atau di lantai tanah beralaskan tikar, makan dengan menu yang sama dari pagi hingga malam, mandi di tempat terbuka, memasak di dapur yang bersebelahan dengan kandang sapi, bertanam dan memanen di sawah dan ladang, merasakan hidup masyarakat yang merasa tidak perlu bersekolah atau tidak merasa perlu pergi ke dokter atau bidan untuk memeriksakan kehamilannya, dan merasakan aneka warna kehidupan warga desa lainnya.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

69


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Sikap hidup bersahaja atau sederhana dan kemandirian saling berkaitan. Artinya, hidup sederhana, bersahaja, berugahari merupakan sebuah pilihan sikap yang merdeka, tiada keterpaksaan atau tekanan. Hidup sederhana, bersahaja, ugahari tidak sama dengan kondisi miskin dan serba kekurangan materi dan fasilitas hidup. Sikap sederhana, bersahaja, berugahari dapat dihidupi ketika orang menemukan kesejatian makna hidup sebagai ciptaan Tuhan yang dalam bahasa Nabi Ayub “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (1:21). Kata-kata itu merupakan sikap Ayub menghadapi penderitaan dan bencana dalam hidupnya. Sebuah sikap positif dan tidak menyalahkan siapapun termasuk Tuhan yang diimaninya.

70

Homo faber atau manusia pekerja, sebuah istilah yang ingin menekankan hakikat manusia sebagai makhluk yang bekerja. Hanya manusilah yang bisa bekerja, sementara binatang tidak bisa bekerja. Karena hakikatnya itu, manusia mesti bisa bersyukur ketika dapat bekerja. Kita mesti penuh kegembiraan dalam bekerja, apalagi ketika banyak sahabat-sahabat manusia kita belum mendapatkan pekerjaan. Tema “Bekerja dengan Gembira” itulah yang diolah dalam RK tahun 2015 di Purwokerto. Dengan tema itu warga Unika diajak untuk menggali makna bekerja dan dengan argumentasi di atas diajak untuk bisa bergembira dalam bekerja. Kegembiraan dalam pengolahan tema itu sudah didesain sejak dalam perjalanan Semarang Purwokerto yang menyewa 4 gerbong kereta api kelas ekonomi. Dalam gerbong kereta api itu diciptakan suasana gembira dengan lomba foto selfie per kelompok. Perjalanan itu sekaligus untuk menikmati kesuksesan manajemen PT KAI dalam memperbaiki kereta api sebagai alat transpotasi publik. Pemaknaan warga Unika sebagai homo faber dalam bekerja mendapatkan inspirasi tambahan dari Soegijapranata “Bakat pemberian Allah jangan hanya kau sembunyikan, persembahkan seluruhnya kepada nusa, bangsa, dan negara”. Penyadaran akan bakat aau talenta diri itu diperlukan guna disumbangkan baik kepada nusa bangsa maupun kelompok lain. Pikiran itu diwujudkan dalam RK tahun 2012 di Kaliurang. Setiap warga Unika diminta sumbangan gagasannya demi

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

pengembangan institusi ke depan. Dari RK itu muncul semangat baru “Unika Sepenuh Hati”. Dengan model yang lebih konkrit adalah RK 2013. Dengan menggali Tema Karya “Sekolah Hati Pijari Negeri”, warga Unika diajak untuk bekerja di lingkungan kampus seperti membersihkan kamar mandi dan toilet, membersihkan kebun, memunguti sampah, dan sebagainya. Kegiatan itu kemudian direfleksikan bersama di luar kampus. Orang dapat menggunakan talentanya dan bekerja dengan gembira serta ingin bermakna bagi sesamanya apabila mendapatkan “asupan” kegembiraan dalam hidup keluarganya. Jadi ada alasan yang kuat mengapa RK tahun 2014 mengangkat tema “Keluarga sebagai KUnci Keberhasilan dan Kebahagiaan”. Peserta diajak merefleksikan kehidupan keluarganya baik keluarga yang dibentuk sendiri (bagi yang sudah berkeluarga) maupun keluarga bersama orang tuanya dan bahkan keluarga kost.

Tujuan Akhir Pergumulan mengolah nilai dalam perjalanan RK ini dimaknai sebagai bagian dari upaya mempertajam identitas dan jati diri Universitas yang sungguh-sungguh sesuai nilai-nilai Soegijapranata patron universitas. Pergumulan ini membutuhkan konsistensi, ketekunan, kesabaran, dan ketabahan dan bersama dengan kegiatan-kegiatan lain, aneka upaya ini dapat membentuk budaya organisasi Unika sehingga semakin terwujudnya KPO (adanya Kesesuaian perilaku Pegawai dengan nilainilai Organisasi).

“Marilah di dalam lingkungan tempat tinggal/pekerdjaan kita mendjadi orang jang berarti, orang jang turut menentukan, berdasarkan prinsip-prinsip kita; djangan hanja turut gelombang, amem…..mlempem” (Soegijapranata, 1960).

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

71


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Tak Seindah Lukisan Mooi Indië Tjahjono Rahardjo, PMLP Dukuh Rejosari, Desa Sukabumi “Ora Tuku, Ora Utang! Gawe Dewe!”

M 72

ooi Indië adalah genre lukisan yang menggambarkan pemandangan indah gunung, sungai, sawah. Kadangkadang juga orang-orang “pribumi” dalam lingkungan “asli” baik dalam pose keseharian, sebagai penari, atau pun dalam keadaan setengah telanjang. Gaya lukisan Mooi Indië mewakili pandangan yang melihat “timur” sebagai sesuatu yang eksotis, tenang dan damai. Istilah Mooi Indië pertama kali dipakai sebagai judul reproduksi sebelas lukisan pemandangan cat air karya Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel (1856-1917) yang diterbitkan dalam bentuk portfolio di Amsterdam tahun 1930. Istilah itu menjadi terkenal setelah S. Sudjojono ( 1913 –1985), yang dijuluki Bapak Seni Rupa Indonesia Modern, dalam tulisannya di Majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939, memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan alam yang hanya menggambarkan sesuatu yang serba indah, tenang dan damai. Meski banyak dikritik, bahkan dituding sebagai bentuk kolonialisme budaya, pengaruh Mooi Indië masih terasa sampai sekarang. Tidak hanya di kalangan orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia di masa “tempo doeloe,” tapi juga di kalangan orang Indonesia masa

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

kini, meski Indonesia sudah tujuh dasawarsa merdeka. Sampai saat ini masih sangat sering kita jumpai siswa sekolah yang membuat gambar dua gunung dan sawah yang terhampar di depannya, sesuai dengan contoh yang diberikan guru mereka. Di sekolah mereka diajari lagu “Kampung Halamanku” karya Ibu Soed (Bintang Soedibjo, 1908-1993) dan “Desaku yang Kucinta” karya Liberty Manik (1924-1993).

Gambar 1. Mooi Indie

73

Pengaruh Mooi Indië tidak terbatas pada seni rupa dan dan seni musik. Onghokham dalam tulisannya “Hindia yang Dibekukan: Mooi Indië dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial,” ( Kalam edisi 3, 2005) mengatakan bahwa Mooi Indië pada ilmu sosial adalah penggambaran desa sebagai tempat yang tenang dan harmonis. Menurut Onghokham ini justru terbalik dengan kenyataan bahwa desa-desa sering bergolak dan resah. Gambaran desa sebagai tempat yang tenang dan harmonis ini ada di benak saya ketika berangkat mengikuti Refleksi Karya 2016 Universitas Katolik Soegijapranata. Ternyata pengalaman yang sangat singkat mengikuti Refleksi Karya, meski hanya sehari semalam, cukup untuk membuyarkan gambaran yang sudah sejak kecil tertanam pada diri saya. Salah satunya karena mendengar kisah tuan rumah yang saya tempati.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Gambar 2. Ganco, alat kerja kuli angkut pasar.

74

Selama Refleksi Karya di dukuh Rejosari, desa Sukabumi, kecamatan Cepogo, kabupaten Boyolali, saya tinggal di rumah suatu keluarga muda, pasangan suami isteri dan anak perempuan mereka yang bersekolah di kelas I sekolah dasar. Selain berladang, untuk menambah penghasilan sang suami juga bekerja sebagai kuli angkut di Pasar Cepogo sejak dua tahun lalu. Ternyata untuk menjadi kuli angkut di pasar tidak mudah, dan tidak murah. Ia harus membayar Rp. 18 juta untuk menjadi kuli angkut, itupun harus menunggu anggota yang mengundurkan diri. Menurutnya biaya untuk menjadi anggota paguyuban sekarang telah naik menjadi Rp. 20 juta. Rata-rata ia bekerja 8 jam sehari, dari jam 10 pagi sampai jam 6 sore. Dari warga yang lain saya mendengar berbagai cerita, mulai dari tengkulak yang bisa mengatur harga hasil pertanian sampai upaya petani dan peternak untuk memberdayakan diri, yang tercermin dalam

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

slogan “Ora Tuku, Ora Utang! Gawe Dewe!” Sayangnya, di tengah upaya warga desa untuk mandiri justru ada fihak yang menawar-nawarkan pakan ternak produksi pabrik milik pemodal besar.

Gambar 3. Ora Tuku, Ora Utang! Gawe Dewe!

Ternyata memang kehidupan di desa tak seindah dan tak setenteram yang digambarkan dalam lukisan Mooi Indië (“Hindia nan Elok”). Jauh dari itu.

75

Gambar 4. Tanah Untuk Penggarap

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kebersahajaan Berkelimpahan MG. Westri Kekalih Susilowati, FEB Desa Sumber Agung - Klego

R 76

efleksi karya 2016 yang mengangkat tema “UGAHARI MANDIRI: KEBERSAHAJAAN YANG MEMERDEKAKAN� secara hingar bingar dalam bentuk live-in telah berlalu. Tentu tidak berlalu sama sekali. Ada sejumlah catatan dan kesan yang masih tersisa dalam diri kita. Pro dan kontra serta kritik adalah hal yang biasa, sah-sah saja. Namun secara pribadi, ada beberapa hal kita pelajari dan kita gunakan untuk sungguh-sungguh berefleksi, berintrospkesi. Sebagai komunitas akademik yang hidupnya lebih banyak di kampus dengan lingkungan yang cenderung homogen, terutama dalam hal profesi dan status sosial ekonomi. Refleksi karya kali ini membuka mata kita, bahwa ada kehidupan lain yang (mungkin) sangat berbeda dengan keseharian kita. Secara pribadi, refleksi karya kali ini sebenarnya mengembalikan saya pada masa kecil saya, hidup di desa dengan segala keterbatsannya namun tidak merasa terbatas. Meskipun sulit untuk beradaptasi, namun setidaknya ini menjadi sebuah perenungan bahwa keterbatasan bukanlah hambatan untuk bahagia. Hidup bersahaja dengan rasa syukur dan ketulusan untuk menerima diri dan semua berkat adalah sesuatu yang malampaui keterbatasan. Secara fisik, sebagaian besar penduduk harus bekerja keras, tetapi mereka

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

menjalaninya dengan tidak mengeluh. Hal lain yang saya lihat adalah tingginya persaudaraan antar warga serta menyatunya mereka dengan alam, mereka saling membantu. Kami tinggal pada suatu keluarga, selain lebih diperlakukan sebagai tamu yang cenderung dilayani oleh keluarga itu, ada beberapa tetangga kami datang untuk sekedar menyampaikan salam menyapa kami, seolah-olah kami juga menjadi tamu mereka dan mengundang kami untuk (kalau ada waktu) mampir ke rumah mereka. Lalu, masihkan kita tidak bersyukur, masihkah kita mengeluh dan masihkah kita hanya peduli pada kepentingan kita sendiri? Namun demikian, saya juga mencatat sedikit keprihatinan dalam kebersahajaan dalam pola pikir. Sikap “nrima” akan hidup sering tanpa disadari menyebabkan pencapaian tidak optimal. Kesadaran mengenai pentingnya pendidikan dan kesehatan (sanitasi) relatif rendah. Pada umum nya perempuan di desa tersebut hanya menyelesaikan pendidikan sampai jenjang SMP. Padahal, secara sosial ekonomi sebenarnya keluarga itu mampu membiayai untuk jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ada beberapa kasus dimana perempuan muda tidak melanjutkan sekolah dan menunggu cukup umur untuk menikah. Dalam hal kesehatan (sanitasi), selain kondisi ”MCK” yang kurang/ belum memadai juga relatif dekat dengan dapur sebagai tempat untuk mengolah makanan. Apa yang dapat kita petik? Beberapa hal yang dapat kita petik dari pelajaran dalam refleksi karya yang baru lalu antara lain: (1) dalam kesederhanaan dan keterbatasan seseorang dapat merasa berkelimpahan jika seseorang memiliki rasa syukur dan keikhlasan. Meminjam istilahnya D’masive “syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah”. Bahwa kita sekarang bekerja di Unika Soegijapranata...syukurilah..., dengan bekerja tanpa mengeluh atau setidaknya mengurangi keluhan. (2) melalui karya-karya kita, kita dapat lebih peduli pada masyarakat sekitar, terutama kaum marginal. Mungkin tidak secara langsung pada desa dimana kita ditempatkan saat refleksi karya. Tidak harus dengan menyisihkan sedikit dari rejeki kita, namun melalui kegiatan-kegiatan pada tri darma kita dapat meningkatkan keterlibatan kita di masyarakat untuk berkontribusi dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat yang mencakup aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya. Semoga Tuhan memberkati niat baik dan karya-karya kita. Amin

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

77


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Sekolah yang Ugahari Margaretha Sih Setija Utami, FPsi Dusun Ngringin, Desa Batur

H 78

ari Kamis-Jumat, tanggal 7-8 April 2016 merupakan hari istimewa karena terpenuhinya cita-cita yang sudah lama terpendam yaitu tinggal di rumah keluarga petani untuk ikut kegiatan sehari-hari mereka. Saat mendapat kesempatan tinggal di rumah keluarga petani di daerah Kopeng, walaupun hanya sehari-semalam, rasanya sudah memberikan kesejukan atas dahaga kerinduan panjang selama ini. Saya bersyukur karena saya diberi kesempatan untuk ikut membersihkan ladang dan memanen hasil ladang. Petani yang saya kunjungi bukan petani padi, mereka menanam sayur-sayuran karena di daerah dingin, tanaman yang paling sesuai adalah sayuran. Di rumah, bapak tani masih terus bekerja untuk merawat sapi perah. Setiap pagi dan sore, pak petani memerah susu. Saya beruntung karena boleh ikut minum susu segar olahan ibu tani. Kesejahteraan keluarga petani di sekitar tempat saya tinggal cukup baik, rumah-rumah modern dibangun untuk ditempati. Alat komunikasi modern pun sudah dimiliki hampir setiap orang di dusun tersebut. Seperti pemandangan di kota, para remaja juga sibuk dengan gadget mereka, seolaholah orang lain tidak ada. Bapak dan ibu petani yang saya tinggali hidup bersama dengan seorang cucu mereka yang sedang menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan di Salatiga yang jaraknya kurang lebih 15 km dari tempat tinggal. Menurut

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Bapak dan Ibu petani, cucu mereka tidak mau membantu di ladang ataupun merawat dan memerah sapi karena pekerjaan tersebut dianggap pekerjaan kotor. Sang cucu ingin bekerja di kantor yang bersih maka dia belajar bukan di sekolah kejuruan pertanian. Saat kami tanya apakah teman-temannya tertarik bekerja sebagai petani, dia menjawab tidak ada temannya yang tertarik sebagai petani. Hanya anak-anak yang tidak berhasil di sekolah yang akan membantu orangtua mereka bekerja sebagai petani. Jawaban cucu petani ini membuat saya berpikir berarti sekolah-sekolah telah menjauhkan anak-muda dari akar kehidupan mereka. Hanya anak-anak yang gagal di sekolah yang akan melanjutkan kehidupan pertanian. Anakanak yang berhasil di sekolah akan memilih pekerjaan lain. Apa yang terjadi dengan program pendidikan formal kita? Bukankah sebuah pendidikan yang baik justru membuat anak didik menjadi orang yang memiliki identitas diri yang kuat, bukan menjadi orang yang tercabut dari akar-akarnya? Saat kita, keluarga besar Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang merefleksikan Ugahari Mandiri dengan cara hidup bersama dengan keluarga petani, kita melihat ugahari-mandiri para petani. Para petani sangat mengenal alam dan merawatnya dengan tekun dan teliti sehingga alam membalas dengan panenan yang melimpah sehingga para petani tidak pernah kekurangan dalam hidupnya. Namun sayang, ugahari para petani tidak terjadi pada generasi mudanya. Mereka memilih untuk meninggalkan identitas diri mereka karena mempunyai harapan identitas diri lain lebih indah. Ironisnya adalah pola pikir para remaja tersebut terbentuk, salah satunya, karena pergaulan di sekolah mereka. Di Sekolah, para guru, teman, dan para orangtua/wali murid tidak menyadarkan pentingnya pekerjaan sebagai petani, namun justru mengajak para murid bermimpi menjadi orang lain. Mungkin kesalahan para guru di daerah Kopeng juga dilakukan para dosen. Sudahkah kita mendidik para mahasiswa kita lebih memahami identitas diri mereka dan mengembangkan keunikan diri mereka sehingga menjadi manusia yang tahu tentang siapa diri mereka dan tanggungjawab atas peran yang dimilikinya? Ataukah kita justru mengaburkan identitas diri mereka dengan menjanjikan harapan-harapan semu yang berakhir dengan kekosongan belaka? Semoga kita selalu rendah hati untuk mau memperbaiki diri. Semarang, 27 April 2016 Margaretha Sih Setija Utami

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

79


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Dari BALUNG KETHEK Sampai FRIED CHICKEN Lita Widyo Hastuti, Rektorat Dusun Kaliduren, Desa Batur

P

agi pertama di rumah, sekembali dari Refleksi Karya 2016, di antara penat yang masih kental serta sisa kantuk, sekitar pukul 05.00 anak bungsu saya Damar (8 tahun) buang air kecil di toilet yang berdekatan dengan dapur. Setelah itu ia terburu-buru masuk ke kamar saya yang masih gelap,

80

“Ibuk ibuuk, bangun!.....itu...lihat di dapur.... “ Samar-samar saya menangkap guratan cemas dalam suaranya. Ogahogahan saya membuka mata, susah payah mengumpulkan kesadaran dan menanyakan ada apa. “Ibuk...itu...di dapur...ada....anak buaya!” Gubraakk !! Saya bangun dan ditarik paksa olehnya ke dapur. Dalam suasana yang masih temaram, dari kejauhan jarinya menunjuk sebuah benda yang tergeletak di lantai dapur. Jantung saya berhenti nyaris berdegup sejenak. Namun satu detik kemudian, saya terbahak. Lampu saya nyalakan. Saya ajak dia mendekat ke sebuah benda warna coklat tua sepanjang nyaris 1 meter, seukuran betis orang dewasa. Saya jelaskan bahwa itu adalah singkong yang saya bawa dari

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

desa. Dia terpana takjub dan masih terkenang-kenang imajinasinya tentang anak buaya tanpa kaki. Singkong raksasa itu (dan meleset dari tuduhan kolektif sebagai singkong tua yang sudah berkayu), lahir dari tangan pasangan suami istri muda, petani sederhana dan rendah hati dari dusun Kaliduren, Getasan, Kopeng. Sang istri tengah hamil anak kedua. Usia kandungannya 6 (enam) bulan saat saya menginap di rumah mereka. Hamil sama sekali bukan halangan bagi perempuan tangguh ini. Di tengah kehamilannya, justru dialah yang harus menghentikan langkah berkali-kali dan menengok ke belakang untuk menunggu serta memastikan apakah saya maupun bu Ning (partner saya) dalam kondisi baik-baik saja ketika menempuh jalan setapak di punggung bukit yang berliku menuju ke kebun sayur miliknya. Malu rasanya mengingat betapa suami harus memperlakukan saya seperti kristal saat saya hamil. Tangan perempuan desa ini begitu sempurna merawat semua tanamantanamannya, termasuk tanaman singkong alias ketela pohon alias ubi kayu (manihot utilissima). Ibu muda ini mengembalikan banyak memori masa kecil saya dengan suguhan singkong rebus maupun goreng yang hangat. Saat hari-hari pertama masuk Taman Kanak-kanak pertengahan tahun 70an di Solo, saya masih ingat ada seorang simbok bakul penjual balung kethek (terjemahan bebasnya : tulang monyet). Makanan ringan terbuat dari singkong. Singkong yang dipotong-potong tipis memanjang, dikeringkan, digoreng, dibalur gula pasir leleh yang kemudian mengering. Paduan antara gurih, manis dan crispy. Makanan ini tak ubahnya sebuah reward luar biasa bagi saya dan sebagian teman. Ketika ibu saya menjemput sepulang sekolah dan ibu guru mengatakan bahwa selama di kelas saya sudah pinter, tidak nangis, maka ibu kemudian membawa saya ke hadapan simbok bakul. Saya terpesona menyaksikan tumpukan bungkusan balung kethek. Lalu melengganglah sebungkus kecil ke dalam genggaman tangan saya. Bungkusan mungil tadi saya jaga dengan sangat baik, saya emaneman, jelas tidak tega untuk memakannya dengan pendekatan wholistic. Saya menikmatinya pelan-pelan, sekeping demi sekeping dalam setiap tarikan napas, dengan segenap jiwa raga. Setimpal dengan upaya untuk mendapatkannya. Lengkaplah sudah si balung kethek made from cassava tadi sebagai simbol supremasi kemenangan atas sukses berjuang tidak nangis di kelas.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

81


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Lalu 40-an tahun berlalu dari pengalaman itu, saya menemukan kembali sepotong kenangan itu. Ketakjuban saya pada balung kethek digantikan oleh ketakjuban Damar melihat singkong seukuran anak buaya. Ditimang, digendong, dipamerkan pada ayahnya. Ia menyimak serius saat saya kuliahi tentang metode menanam singkong, tentang singkong dan ketahanan pangan, tentang singkong dan metamorfosa wujud lainnya. Pokoknya tentang kehebatan-kehebatan singkong. Dalam bahasa anak-anak tentu saja. Mukanya antusias ketika setengah jam kemudian saya menuju ke singkong itu lagi sambil membawa pisau. “Oo...aku tahu ibuk mau eksperimen mbikinin aku sesuatu to ?”. Pertanyaan sok tahunya itu saya sudah sangat hapal, tendesius bermuatan memerintah. Namun saya koq ya menuruti juga. Otak saya bekerja cepat untuk menemukan pilihan masakan yang cepat dan praktis. Mungkin di bawah sadar tindakan saya itu sebenarnya didorong oleh naluri narsis untuk mendapat pengakuan “ibu hebat” dari Damar.

82

Saya potong sebagian kecil singkong berukuran raksasa itu. Akselerasi gerakan dapur. Kupas, potong kecil-kecil, rebus, dst. Singkat cerita, jadilah singkong rebus masak santan dan gula Jawa siap saji. Sambil menunggu panas menyingkir, saya siapkan untuknya seporsi di mangkuk kecil. Usai mandi pagi dia menyerbu. Saya tunggu. Suapan pertama dia bilang enak. Ayem saya. Saya tinggalkan sebentar membereskan panci kotor. Saat kembali saya dapati isi mangkuk tidak berkurang signifikan. Saya pindahkan arah pandangan mata ke sang pangeran kecil. Dia mengangkat bahu sambil berkomentar singkat, “Aku soalnya kenyang”, responnya cepat sambil mengembangkan senyum diplomatis. Sebuah jawaban yang tidak logis mengingat kami belum sarapan. Saat dirayu untuk mencoba lagi beberapa sendok ia menggeleng tegas. OK-lah, saya harus menghargai pilihan seleranya. Pikiran saya melayang pada seorang anak laki-laki berusia menjelang akil balik, putra pertama keluarga muda yang menjadi induk semang saya selama dua hari di desa. Setali tiga uang, tak mau menyentuh makanan berbahan singkong yang disajikan ibunya. Dua anak usia SD, yang satu merupakan representasi anak yang lahir dan besar

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

di tengah suasana rural, satunya lagi representasi urban, punya determinasi sikap yang sama terhadap singkong. Lidah anak-anak adalah lidah yang dicetak untuk mencintai makanan produksi pabrik. Mata mereka dicetak untuk melotot pada tampilan visual makanan masa kini yang cantik. Pikiran mereka ditarik untuk bersegera mendapat bonus hadiah yang surprised dalam bungkus makanan. Mata dan kuping mereka didesain untuk merekam kuat-kuat pesan advertensinya yang kreatif di media. Dan singkong (baca : singkong segar) kembali ke posisinya sebagai primadona tradisional, satu objek cinta sosio-nostalgis-sentimentil, bagi saya. Meski apa boleh buat, naluri narsis saya gagal mendapatkan komentar “ibu hebat� dari Damar. Roh eyang Ronggowarsito yang visioner itu menitis pada pakar ilmu perilaku Erik Erikson, pengusul tahapan psikososial. Di fase usia dewasa pertengahan, setiap manusia dihadapkan krisis generativity versus stagnation. Manusia dihadapkan pada kegamangan apakah mampu membuat dan mewariskan sesuatu bagi generasi di bawahnya, ataukah tidak? Janganjangan saya termasuk individu yang gagal mewariskan rasa cinta terhadap singkong, terhadap makanan tradisional, bahkan terhadap tradisi secara umum. Anak saya, seperti anak-anak lain pada umumnya, lebih memilih fried chicken daripada sayur lodeh. Tak mengenal apa itu oblok-oblok ataupun brongkos. Dia terheran-heran menyaksikan transaksi tawar-menawar di pasar tradisional dan susah payah memaklumi itu sebagai peristiwa sosial yang normal. Sepertinya saya tengah mengalami krisis stagnasi. Saya turut menyumbang kegagalan kolektif generasi saya dalam mentransfer sesuatu ke generasi di bawah saya. Berguru pada singkong. Singkong seperti saudara tua kita yang bijak. Saudara singkong tetap bisa hadir tanpa harus berteriak-teriak minta perhatian. Saudara singkong tetap bisa hadir dengan rendah hati, tak minta diistimewakan, apalagi harus dengan panggung besar dan gebyar lighting. Singkong itu setia, santun dan pantang mengeluh. Sesungguhnya singkong sudah mengajarkan kita untuk ugahari dan mandiri.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

83


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kecil dan Mandiri Albertus Dwiyoga Widiantoro, Progdi Sistem Informasi Dusun Surjo, Desa Sukabumi

“warga kami memiliki luas tanah kecil bahkan ada yang memilik 500 meter tapi bisa mandiri kata Mas Taryo (anak muda yang berjuang meningkatkan pendidikan tinggi)�

84

S

aya mendapatkan tempat di desa Surjo desa dekat gunung Merapi. Karena tempat yang kami singgahi ada keluarga yang sakit, maka kami berdua harus mengikuti petunjuk mas Taryo dan ternyata kami diajak untuk tinggal serumah dengan mas Taryo tersebut. Saya disambut dengan sangat ramah sangat kekeluargaan. Saat masuk rumahnya saya langsung disuguhi hidangan snack kecil dan beberapa kripik dalam toples. Kondisi rumah mas Taryo sudah bertembok batu namun lantainya masih tanah berpasir. Bahan bakar memasakpun masih menggunakan kayu. Dengan WC dan kamar mandi gedek masih terlihat baru. Dalam diam saya berfikir apakah kamar mandi ini dibangun karena kami akan datang?. Mas Taryo memiliki Ibu yang sudah tua dan bahkan sudah berkurang

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

pendengarannya dan keponakan yang sedang sekolah dasar. Namun Ibu mas Taryo ini masih sehat dan mampu bekerja di kebun yang dimilikinya. Mas Taryo mampu berbahasa jawa sangat santun dan mampu berbahasa jawa halus dengan sangat fasih. Seperti pepatah ajining diri dumunung ana ing lathi’, yang bermakna bahwa tutur kata menjadi nilai dari sebuah harga diri. Berbicara dengan bahasa yang sopan, dengan suara yang halus akan membuat orang simpatik. Dari sini terlihat bahwa desa ini selalu mendidik generasinya dengan sopan santun, unggah-unnguh, atau tata krama atau etika. Bagi saya pribadi mas Taryo merupakan sosok anak muda yang sederhana namun memiliki pemikiran yang maju. Dia meneruskan sekolah SMP dan SMA menggunakan jalur ujian persamaan. Disamping bekerja di kebun ternyata juga mengajar SD dan mengambil kuliah di Salatiga. Meski jarak kampus cukup jauh, namun tetap semangat dalam perkuliahannya. Mas Taryo juga aktif di tingkat RT, kelompok Pertanian, kelompok Gotong royong.

85

Desa Surjo memiliki 119 KK dan rata-rata memiliki lahan pertanian 500-

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

2000 meter. Dibandingkan dengan desa lain ukuran tanah itu relatif kecil dan terjepit dengan daerah lain. Sebelum tahun 1995, desa ini surplus jagung, namun setelah itu datanglah monyet yang merusak tanaman jagung dan umbi-umbian hingga saat ini. Warga desa ini kesulitan mengusir reromboan monyet-monyet tersebut. Bahkan ada cerita seekor monyet di tembak dan saat sebelum mati monyet ini membawa anaknya dan menyerahkan anak monyet ke warga yang menembak, setelah itu monyet betina itu mati. Dikarenakan hal tersebut dusun ini mengubah jenis tanaman dan pola tanam. Mereka mulai menanam kobis, buncis, wortel, bawang merah yang memilii waktu tanam pendek. Tanaman tembakau juga menjadi primadona di tempat ini.

86

Dengan mengubah jenis tanaman dan pola tanam ini mereka mampu menghidupi keluarga sendiri bahkan untuk kebutuhan sosial warga. Desa ini juga sangat aktif berkegiatan kebersamaan mulai dari Ruwatan, Idul Fitri, Sapar-an, Bodo mulut, Gotong Royong, Arisan, Keseripahan, ke RTan, tiap panen tembakau mereka dikenakan iuran wajib untuk pembangunan desanya dan masih banyak kegiatan yang selalu dilakukan dalam setiap tahunnya. Jia dihitung mereka mengeluarkan uang yang begitu banyak, namun mereka baik-baik saja dan selalu bahagia, bahkan mereka berkata “elek-elek’o duweke dewe� ora kredit. Bahkan setiap tahun ada tanggapan Reog yang menghabiskan dana jutaan dengan menggunakan dana swadaya dari semua warga.

Refleksi Banyak hal-hal baik yang saya dapatkan dalam hidup sehari semalam ini. Kekeluargaan yang erat, saling sapa, saling menundukkan kepala saat berjalan meski tidak kenal. Meski wajah mereka terlihat keriput karena cuaca dingin dan panas karena kerja di ladang namun aura wajah-wajah gembira sangat terlihat jelas terpancar. Kegembiraan dan sukacita dalam menjalani hidup setiap warganya menambah kekaguman saya, bahwa dimanapun tempat hidup kita, kegembiraan dan suka cita menjadi dasar hidup yang wajib.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Dengan mengubah jenis tanaman dan pola tanam mereka mampu hidup dan menghidupi. Mereka tidak mau terjebak dalam kenangan masa lalu yang makmur, tetapi mereka selalu bergerak dan berusaha untuk mengubah diri agar tetap hidup bahkan lebih hidup dibandingkan masa lalu. Banyak kegiatan dan aktif dalam kegiatan membuat orang menjadi kreatif, menjadi peduli dengan sesama dan lingkungannya. Semua warga ini tidak pesimisme atau hidup yang mandul, mudah menyerah (memudarnya antusiasme), dan kekeringan dari dalam yaitu hati. Mereka bersemangat dalam hidup baik untuk dirinya, keluarganya bahkan untuk lingkungan sekitarnya. Mereka yakin bahwa Tuhan akan membimbing hidupnya. Saya coba merefleksikan seperti di 2 Kor 12:9 “Rahmatku cukup bagimu�. Pesan Tuhan terlihat jelas dijawah mereka bahwa dalam peziarahan hidup, kita harus memiliki arah dan tujuan yang lebih dari sekedar kepentingan sendiri namun untuk lingkungan sekitar dan kebahagiaan akan terlihat dan terpancar dengan sendirina jika kita peduli dengan sesama. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan: jadilah padaku menurut perkataanmu itu� (Luk 1:38). Maria adalah kelompok kecil dan mandiri yang sangat menghidupi dan menghayati panggilannya dengan ketekunan dan kesetiaan. Kelompok kecil lain adalah para rasul yang menunjukan hal senada bahwa apa yang mereka lakukan diserahkan sebagai pekerjaan Allah, dan inilah model pribadi sederhana dan bermartabat. Dengan diri kami sendiri, kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah 2 Korintus 3:5. Selain mandiri, bekerja keras, warga disini pun tekun melaksanakan tugas keagamaannya setiap hari. Dari sini terlihat bahwa apa yang mereka lakukan dipersembahkan kepada sang pemilik hidup, sang ilahi yang berkuasa mengangkat hidupnya bermakna dan bermartabat.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

87


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kirain ke Sawah, Ternyata Malah Momong Sri Sumijati, F.Psi Dusun Selorejo, Desa Sumber Agung, Klego

S 88

ebelum berangkat refleksi karya saya membayangkan bakal tinggal di rumah keluarga petani sehingga saya akan diajak ke sawah atau ladang, bercanda dengan rerumputan, lumpur dan tanaman padi. Bayangan tentang sawah dan ladang masih tersisa saat menyadari bahwa bis yang membawa kami semakin menjauhi areal pertanian dan memasuki wilayah kering. Tak apalah tidak ada sawah, setidaknya masih bisa berharap ada ladang menanti. Namun saat bertemu dengan keluarga yang kami tinggali musnah sudah bayangan-bayangan indah tentang sawah dan ladang. Keluarga yang kami tinggali adalah keluarga muda dengan tiga anak yang masih kecil, si sulung kelas II MI (Madrasah Ibtidaiyah), si tengah belajar di PAUD dan si bungsu baru berusia 9 bulan. Keluarga ini bukan keluarga petani. Suami, sang kepala keluarga, bekerja di Jakarta sebagai karyawan di Dinas Tata Kota DKI, meskipun orangtuanya adalah tokoh petani di dusun itu. Sementara sang istri adalah ibu rumah tangga. Dengan demikian di sana kami hanya bertemu dengan Ibu dan ketiga putranya saja. Meski tinggal di desa kehidupan dalam keluarga ini tidak berbeda dengan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

kehidupan masyarakat perkotaan. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia gaya Jakarta, anak-anak berangkat dan pulang sekolah dengan mobil antar jemput, ibu membeli sayur dan lauk pauk dari pedagang sayur keliling yang lewat di depan rumah menggunakan mobil dengan jenis dagangan yang tidak berbeda dengan dagangan di kota, mereka memasak dengan kompor gas, anak-anak makan dengan berlaukkan sosis, buah yang dimakan anak-anak adalah buah naga dingin dari kulkas, kamar mandi mereka bagus dan luas lengkap dengan closet jongkok dan air dari kran yang mengalir lancar, ponsel mereka merk Samsung type yang bahkan lebih canggih dari yang saya gunakan. Sama kan dengan masyarakat kota?. Alhasil selama di sana saya tidak menemukan rasa bahwa saya tinggal di desa, sama sekali tak ada rasa itu. Oleh karena itu saya jadi bingung mau membantu apa, mau terlibat apa, karena tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan keluarga ini kecuali pekerjaan rumah biasa. Maka saya mengambil peran yang aman dan saya ketahui dengan sangat baik, yaitu bermain dengan anak-anak alias momong, agar ibunya bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saat saya bertanya adakah buku gambar, anak-anak menggeleng. Adakah pensil warna, mereka juga menggeleng. Saya kemudian mengajak anak-anak ke warung dan ternyata di sana saya hanya mendapatkan buku gambar tetapi tak ada pinsil warna. Ya sudah...kami lalu menggambar, menulis, berhitung, belajar tentang jumlah dengan menggunakan kelereng dan bernyanyi. Anakanak senang, saya capek hehe... Dari pengalaman tinggal di desa ini saya mendapati kenyataan bahwa ternyata desapun sudah terkena urbanisasi. Hal ini terjadi karena kehidupan urban mereka lihat tiap saat dari televisi ditambah mudahnya akses ke kota dengan banyaknya sarana transportasi (sepeda motor, mobil, transportasi umum). Para remaja dan orang muda tak mau lagi menjadi petani karena mungkin menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang tidak keren. Mereka memilih pekerjaan yang lain, apapun, yang penting bukan petani. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak saya: Siapa yang akan menjadi generasi penerus para petani bila anak-anak petani sudah tidak mau bertani? Apakah kelak masih akan ada sawah dan ladang? Ataukah sawah dan ladang bahkan akan terjual karena anak-anak sudah tidak mau tinggal di desa? Bila demikian, dari mana kita mendapatkan beras dan produk pertanian lainnya? Haruskah impor? Haduuhh....

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

89


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Orang Desa yang Tidak Punya Sawah Y. Gunawan Pr, Campus Ministry Desa Sumber Agung - Klego

“ 90

Maaf, mau mencari siapa ya, pak? Bapak masih di kantor. Ibu sedang mengurus Akte Kelahiran di Boyolali”, Sapa seorang perempuan muda dengan ramah setelah mempersilakan saya duduk di ruang tamu. Saya lantas menjadi maklum karena tidak ada orang yang menjemput saya dari tempat rombongan turun bis di dekat rumah pak Haji Slamet Wiyono. Saya jalan kaki menuju rumah pak Kukuh, tempat saya menginap. Saya diantar pak Sukamto. “Saya dari Kampus Unika Soegijapranata, mbak. Saya yang mau tinggal sehari di rumah ini. Nama saya Gunawan”, jawab saya singkat sambil memperkenalkan diri. “O, ini pak dosen yang mau live-in di sini. Maaf, pak, rumah sedang sepi. Masih kotor. Belum sempat bersih-bersih”, jawabnya polos. Obrolan demi obrolan mengalir. Awalnya saya canggung. Mau membantu cuci piring tidak diperbolehkan. Mau bantu menyapu lantai rumah, juga tidak diizinkan. Lalu saya ngobrol dengan seorang nenek

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

yang ‘ngepasi’ sedang bertandang di rumah itu. Sebagai orang desa, pak Kukuh tidak mempunyai sawah. Sehari-hari ia berkantor di kelurahan, karena ia sebagai Kepala Dukuh. Pak Kukuh mempunyai dua orang anak perempuan. Anak bungsunya yang baru kelas SMK sakit lupus. Sudah berkali-kali keluar masuk rumah sakit. Oleh dokter si anak dianjurkan untuk tidak boleh lelah, tidak boleh kena sinar matahari, dan tidak boleh diam (nganggur). Maka, oleh pak Kukuh anaknya itu dibuatkan warung di depan rumahnya untuk kegiatan anaknya. Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti “anjing hutan� atau serigala. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi. Bercakbercak merah di bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan, rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal-pegal. Menurut info, wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia 15-40 tahun. Penyakit ini justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Dengan sabar bapak dan ibu Kukuh mengobatkan anaknya. Berbagai cara ditempuh. Sampai membuatkan warung sebagai terapi anak perempuannya itu. Mereka tidak mempunyai sawah. Tetapi sehari-hari Pak Kukuh melayani warga karena dipilih menjadi Kepala Dukuh di desa itu. Ibu Kukuh juga membantu pekerjaan suaminya selaku Kepala Dukuh. Salah satunya menguruskan akte kelahiran sampai di Kantor

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

91


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kabupaten Boyolali. Sebagai Kepala Dukuh, wawasan pak Kukuh cukup luas. Kami mengobrolkan berbagai macam topik perihal kehidupan beragama di negara ini, dana desa, waduk kedung ombo, pertanian organik, dan sebagainya. Dia tidak fanatik. Terbuka dan sering bertanya tentang agama Katolik dan ajaran Gereja, dsb.

92

Dengan live-in kali ini saya diingatkan betapa luar biasanya cinta orangtua kepada anaknya, betapa pentingnya peranan keluarga dalam pertumbuhan hidup anak. Anak yang sakit diupayakan dengan berbagai cara supaya sehat. Orangtua tentu ingin agar anaknya bisa mandiri. Keluarga sungguh menjadi sumber hidup dan pendidikan bagi setiap orang. Dari keluarga seorang anak belajar hidup mandiri. Benarlah harapan Mgr. Alb. Soegijapranata dalam Pembukaan Kongres Pemuda Katolik Seluruh Indonesia, “Semoga dari rumah-tangga Katolik, yang betul-betul merupakan sumber hidup, sumber pendidikan, sumber kebahagiaan dan penghibur, menyumbangkan anak-anaknya sebagai pemimpin-pemimpin dan tenaga-tenaga putera dan puteri, yang mampu membimbing golongannya menjadi golongan yang boleh dibanggakan�. #

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Sukacita dan Tulus Dalam Bekerja : Segelintir Berkat Tuhan dari dusun Ngringin Yuliana Wulandari, BAU Dusun Ngringin, Desa Batur – Getasan

K

etika berangkat menuju desa tempat live-in di dusun Ngringin, Batur – Getasan, sudah terbayang di benakku akan kehidupan di desa yang sejuk dan menyenangkan. Bagaimana tidak ? Di Semarang ini jauh dari kehidupan seperti di angan-angan itu. Namun .... seketika angan itu buyar... bablaasssss... ketika induk semang tempatku menginap bukanlah petani . Tidak seperti yang kubayangkan. Aku bertemu dengan seorang janda yang hidup bersama anak perempuannya yang sudah bersuami dan beranak dua. Bu Sutini berumur 50 tahun, selisih 5 tahun dariku tapi penampilannya seperti sudah berumur 60 tahun. Aku yang terlalu sok kekinian, masih menganggap muda, atau bu Sutini yang terlalu berat menanggung beban hidup ? aaaah..... Bila dilihat, kehidupan bu Sutini biasabiasa saja. Saat aku datang, dengan riang dia menyambutku seperti tamu, menyediakan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

93


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

gorengan (bakwan dan mendoan) serta kopi panas... wow... ibu, aku di sini mau jadi anggota keluarga ini, barang semalam saja, janganlah diistimewakan. Tapi ibu Sutini tetap pada kemauannya. Ya sudahlah .... kegiatan selanjutnya, racik-racik sayuran untuk makan siang. Sudah biasalah, batinku. Dan tiap 10-15 menit selalu saja ada tetangga yang datang ke warung kelontong, membeli kebutuhan mereka. Dari bahan makanan, perlengkapan mandi, berbagai sandal karet, mainan plastik .... lengkap untuk ukuran ‘dusun’.

94

Kesibukan jual beli kelontong tidak berhenti saat sore hari. Saat hari sudah gelap, bu Sutini kembali racik-racik sayuran seperti kol, wortel dan onclang. Untuk apa ? Ternyata untuk dibuat bakwan dan mendoan esok hari. Kol yang dipotong-potong halus itu berasal dari panen tetangga. Tidak semua panenan kol dijual ke kota, tapi ada yang di-drop karena terlalu kecil, atau sudah ada yang mulai membusuk. Kol seperti itu yang diberikan kepada bu Sutini. Begitu juga dengan wortel dan daun bawang/ onclang. Dini hari, sayup-sayup terdengar pujian gerejawi dari radio kecil di warung. Bu Sutini sudah bangun sebelum matahari terbit dan racikan sayuran tadi malam mulai diolah. Akupun ikut membantu bu Sutini mulai dari membuat adonan, memotong-motong tempe tahu, sampai adonan digoreng menjadi 3 sajian : mendoan, bakwan isi tahu dan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

bakwan isi tempe. Saat gorengan pertama diangkat, sudah ada pembeli yang datang. Begitu seterusnya, sampai adonan satu wadah besar tinggal separo pukul 06.00. Sambil menggoreng, bu Sutini menggendong cucunya, Zira, yang berumur 4 tahun, karena sudah ditinggal ibunya yang bekerja di sebuah toko kelontong besar di kota sejak jam 05.00 pagi. Sedangkan Esther, kakak Zira yang kelas 3 SMP sudah berangkat sekolah diantar ayahnya. Lalu, apa yang kudapat dari sehari bersama bu Sutini ? Pekerjaan yang dia lakukan, hampir sama dengan yang pernah aku lakukan ketika aku masih serumah dengan ibu kandungku. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Namun, baik itu Sutini ataupun ibuku mengingatkan pada satu hal yaitu “ketulusan�. Dengan bersenandung, menyanyikan pujian, bu Sutini melakukan pekerjaan dengan sukacita. Ya, itulah yang kudapat. Seperti yang tertulis dalam Alkitab : Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! (Filipi 4:4). Allah mengajarkan kita untuk selalu bersukacita dan menyatakan permohonan kita dalam doa. Sementara melagukan pujian itu sama dengan doa, bahkan memadahkan pujian itu sama dengan berdoa dua kali. Ingatkah kita saat kecil dulu, akan ibu yang selalu bersenandung agar kita dapat tidur? Itulah cara ibu mengajarkan kita untuk selalu bersukacita dalam doa yang menenteramkan jiwa. 95

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kembali kepada bu Sutini, apakah dia merasakan beratnya hidup ? Tetap mencari penghasilan untuk turut membantu menyekolahkan cucu-cucunya? Saat kutanyakan hal itu, dia jawab sambil tersenyum: “Tuhan yang mengatur, saya hanya melakukan pekerjaan dan berdoa, Tuhan pasti berikan yang terbaik walau mungkin jalannya kadang sulit.� ..... Bagaimana aku dapat menyanggah pernyataan itu, jika Tuhan berikan jalan padanya ketika harus membeli sayuran untuk diolah tiap hari tapi Tuhan gerakkan tangan tetangga bu Sutini untuk memberikan kol, wortel dan onclang setiap hari? Bahkan warung kelontongnya tidak pernah sepi pembeli. Atau banyak pedagang yang memasok dagangannya di warung itu setiap minggu dan selalu kembali untuk memasok lagi? Tuhan memang selalu berikan jalan ! Lalu, bagaimana dengan kita, dengan kehidupan kita sehari-hari ? Baik sebagai istri/ suami, ibu/ bapak dan sebagai pegawai di Unika Soegijapranata ini? Berat, atau ringan ? Sulitkah mengatur waktu untuk semuanya ? Sulitkah menyesuaikan diri antara masalah di rumah dengan pekerjaan di kantor? Beratkah kita melakukannya sebagai anak Tuhan ? Jika seorang Sutini saja tidak mempermasalahkan berat dan ringan, mengapa kita tidak? Berat ringan kehidupan atau pekerjaan adalah masalah hati, bagaimana hati kita melakukannya dengan suka cita dan tulus hati. God bless us ! (yoel-yulianasriwulandari@ymail.com) 96

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Belajar dari Ketulusan Keluarga Ibu Muniroh Veronica Kusdiartini, FEB Dusun Karangasem, Desa Ketapang

S

etiap tahun Unversitas Katholik Soegijapranata Semarang mengadakan refleksi karya bagi Dosen dan Karyawan. Tahun ini refleksikarya yang bertema “UGAHARI MANDIRI” dikemas dengan model live-in pada keluarga-keluarga di tujuh dusun dari empat desa binaan Qaryah Thayyibah Salatiga. Adapun Empat desa di Kecamatan Susukan adalah Desa Ketapang (Dusun Karangasem dan Dusun Baraan), Desa Batur (Dusun Ngringin dan Dusun Kaliduren), Desa Sukabumi (Dusun Surjo dan Dusun Sukabumi) serta Desa Sumberagung. Pada tahun ini saya mendapat kesempatan untuk live-in di Dusun Karangasem Desa Ketapang Kecamatan Susukan. Kegiatan utama masyarakat di Desa Ketapang Kecamatan Susukan sebagai petani beras organik, bahkan Desa tersebut bisa dikatakan sebagai desa mandiri di bawah naungan paguyuban “Al-Barokah”. Perjalanan menggunakan bis kami lalui dengan sukacita bersama teman dari berbagai fakultas unit dan biro yang ada di Unika Soegijapranata. Sesampainya di Kecamatan Susukan kami kemudian di antar ke lokasi livein masing-masing. Semula Saya bersama dengan ibu Maria Priyaningtyas yang ditempatkan pada satu keluarga yaitu Keluarga Bapak Syafii. Bapak Syafii adalah keluarga muda yang baru saja menikah dan istrinya sedang hamil 4 bulan. Tetapi sesampai di lokasi live-in, kami menempati rumah

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

97


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Ibu Muniroh. Ibu Muniroh adalah Ibunda dari Bapak Syafii. Di rumah Ibu Muniroh ternyata kami tinggal bersama dengan 6 teman yang lain. Ibu Retno, Ibu Endah (tinggal di rumah Ibu Munirah), serta Bapak Pandit, Bapak Rahmatjati dan Bapak Eko (seharusnya tinggal di rumah Bapak Nur Aziz yang juga adalah putera Ibu Muniroh, kakak dari Bapak Syafii). Sesampai di rumah Ibu Muniroh kami disambut oleh keluarga besar anak, menantu dan cucunya. Berbagai hidangan telah mereka siapkan untuk kami. Setelah kami beristirahat sejenak untuk menikmati minum dan snack yang telah keluarga sediakan. Kami kemudian diantar Bapak Nur Aziz untuk ke sawah melihat aktivitas mereka sehari-hari. Dalam perjalanan saya merasakan begitu jauh dan sulitnya medan menuju lokasi sawah milik keluarga Ibu Muniroh. Kegiatan tersebut juga dilakukan oleh Ibu Muniroh yang usianya sudah lebih dari 70 tahun. Sepanjang perjalanan dalam hati saya berkata, begitu beratnya mereka harus bekerja. Sementara saya, untuk makan saja semua sudah tersedia tidak harus bersusah payah seperti yang mereka lakukan. Dalam kesederhanaannya keluarga Ibu Muniroh juga masih dengan sukacita menerima kita bertujuh untuk tinggal bersamanya, dan menjamu kita dengan hidangan yang istimewa (menu yang berganti-ganti setiap menghidangkan).

98

Terbersit dari wajah Ibu Muniroh dan putra, menantu serta cucunya yang menunjukkan bahwa semua yang dilakukan oleh keluarga Ibu Muniroh adalah wujud ketulusan dalam melayani, tanpa ada unsur keterpaksaan. Dalam live-in yang saya alami, saya bisa belajar dari ketulusan keluarga Ibu Muniroh dalam melayani sesama dengan “UGAHARI� dalam “Kebersahajaan yang Memerdekakan�. Berikut Foto Kelompok live-in bersama keluarga Ibu Muniroh.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Lakukan Yang Terbaik, Tuhan Mengerjakan BagianNya Ridwan Sanjaya, Rektorat Dusun Surjo, Desa Sukabumi Meskipun gagal berkali-kali dan tidak mampu menebak gerakan monyet-monyet yang merusak kebun, Pak Supardi selalu komitmen dan tidak kenal lelah.

K

embali ke pedesaan seperti kembali ke masa kecil saya yang juga sangat dekat dengan daerah pedesaan. Ada beberapa teman saat sekolah dasar yang berasal dari daerah-daerah pedesaan membuat saya merasa tidak asing dengan suasana di Dusun Surjo, Desa Sukabumi. Melihat lokasi penerjunan yang ternyata lebih baik dari profil desa yang dibayangkan, membuat perasaan saya makin siap mengikuti live-in yang diselenggarakan kampus. Dusun Surjo terletak di antara gunung Merapi dan gunung Merbabu sehingga selain hawanya sejuk, sepanjang mata memandang tampak pemandangan yang asri dan menakjubkan. Jejak-jejak “kemarahan� Merapi yang terlihat di puncaknya masih bisa terlihat dari dusun ini. Tetapi karena bukan sedang dalam suasana liburan, rumah tempat livein segera menjadi tujuan utama.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

99


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Gambar 1. Selfie di panorama Dusun Surjo yang indah

100

Gambar 2. Suasana dini hari di Dusun Surjo, Desa Sukabumi

Perkenalan, diskusi mengenai lingkungan di Dusun Surjo, dan makan pagi dengan porsi superbesar menjadi menu awal ketika bergabung di rumah Pak Supardi. Basa Krama yang sudah lama tidak saya pakai dan menjadi tidak lancar, menjadi motivasi yang kuat untuk hanyut dalam obrolan Pak Pardi dan keluarga. Suasana hangat dan penuh kekeluargaan sangat terasa dalam sambutan mereka. Meskipun sering kesulitan mencari kosakata yang tepat, agaknya saya masih bisa mengikuti pembicaraan. Yang menjadi luar biasa, tampaknya sekarang lebih mudah mencari kosakata dalam bahasa Inggris dibandingkan dalam basa Krama. Arghhh‌ saya merasa ada bagian sejarah yang hilang dari beberapa tahun terakhir ini.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Dalam obrolan tersebut, topik utama yang dibahas terkait dengan panen bawang merah dan monyet-monyet yang semakin pintar dalam menjarah kebun. Masalah ini muncul sejak gunung Merapi mengalami erupsi dan monyet-monyet di gunung tersebut mengungsi di Desa Sukabumi dan sepanjang sungai di sana. Namun monyet-monyet itu tidak mau kembali karena sudah terlanjur nyaman dan tersedia banyak makanan. Seringkali monyet dan menjarah kebun dengan mencari celah ketika pemiliknya baru saja meninggalkan kebunnya. Setelah Pak Supardi dan saya kembali dari menengok kebun, ada tetangga yang menginformasikan kalau kebunnya dimasuki oleh monyet-monyet tersebut. Terdapat pembagian tugas di dalam kawanan monyet ini. Ada monyet yang bertugas memantau, membuka jaring pengaman kebun, dan menjarah. Monyet yang menjarah nantinya akan membawa tanaman untuk monyet yang memantau dan membuka jaring makanan. Berbagai usaha menghalau dan tipuan baru selalu dapat dikenali oleh monyet-monyet tersebut, sehingga tidak lagi dapat manjur meskipun sukses di awal. Sangat melelahkan bagi pemilik kebun. Hal yang membuat salut, meskipun gagal berkali-kali dan tidak mampu menebak gerakan monyet-monyet yang merusak kebun, Pak Supardi selalu komitmen dan tidak kenal lelah. Setiap kali mendengar monyet memasuki kebun, Pak Supardi bergegas menuju kebunnya dan memperbaiki kembali jaring pengaman yang dirusak. Meskipun belum jelas cara yang tepat dalam mencegah dan menghalau kawanan monyet, ia berusaha menutup setiap titik baru yang dapat menjadi celah bagi monyet-monyet tersebut masuk kembali. Hal ini mengingatkan saya pada kata-kata Napoleon Hill, penulis sastra dan penasehat presiden Franklin D. Roosevelt, bahwa kita tidak boleh menunggu tetapi segera mengerjakannya dengan apa yang dimiliki dan dipikirkan, sebab solusi yang lebih baik akan datang saat kita berusaha. Masalah lainnya muncul setelah panen, dimana harga-harga turun dari normalnya karena hasil panen menumpuk di pasar Cepogo. Jika tidak disiasati dengan memilih dan mengelompokkan produk-produk yang

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

101


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

berkualitas baik sampai dengan rendah, harga bisa semakin turun. Istri Pak Supardi tampaknya sangat telaten dalam mengelompokkan hasil panen berdasarkan kualitasnya, sehingga pendapatan dari menjual hasil panen yang diperoleh relatif lebih banyak. Dalam obrolan kami, Pak Supardi mengungkapkan rasa syukur dan berserahnya. Bahwa yang bisa dilakukannya adalah usaha yang terbaik untuk keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Tuhan yang akan mengatur bagian yang pantas ia terima melalui kehendakNya. Jika memang belum menjadi haknya, maka usaha apapun juga tidak ada gunanya. Ia tidak ingin berbuat tidak baik dan tidak diperkenankan oleh Tuhan. Saya pernah mendengar ungkapan “Lakukan Yang Terbaik, Tuhan Mengerjakan BagianNya� yang sepertinya telah menjadi bagian dari hidup Pak Supardi.

102

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Kebahagiaan dalam Kebersahajaan Inneke Hantoro, Rektorat Dusun Rejosari, Desa Sukabumi “The secret of happiness, you see, is not found in seeking more, but in developing the capacity to enjoy less�

L

ive-in bersama penduduk di desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali beberapa waktu yang lalu sungguh laksana oase yang menyegarkan dahaga jiwa. Sejenak undur diri dari rutinitas yang membelenggu, mengunjungi tempat yang sejuk dan suasana yang berbeda membuat saya dapat merefleksikan sejenak tentang banyak hal dalam hidup ini, terutama tentang perasaan syukur, kesederhanaan, dan kebahagiaan. Ritme kehidupan di desa saya rasakan lebih pelan dibandingkan dengan kehidupan keseharian orang kota. Di desa tempo seakan melambat dan waktu yang tersedia dalam sehari serasa lebih panjang dari biasanya. Di sana saya dapat meresapi suasana dan lingkungan di sekitar saya. Hati dipenuhi oleh rasa syukur yang luar biasa terhadap hal-hal sederhana yang esensial namun jarang disadari bila diri sudah terbebat dengan kepadatan jadwal dan banyaknya rencana. Udara yang setiap hari dengan gratis dan bebas kita hirup, anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi dengan baik, rejeki yang selama ini bisa dinikmati, dan masih

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

103


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

banyak lagi. Saat hati dipenuhi rasa syukur, maka kebahagiaan tersebut dapat dirasakan, dan betapa mudahnya orang mencapai kebahagiaan. Ternyata kesadaran betapa bahagianya kita datang saat kita mundur dan menjauhkan diri sejenak dari rutinitas untuk memberi kesempatan pada jiwa berbicara dan lebih dekat dengan semesta. Selama live-in di desa Sukabumi, saya tinggal bersama keluarga besar Pak AB yang mempunyai dua orang istri. Istri pertama tinggal di rumah sayap kiri, sedangkan istri yang kedua tinggal di rumah sayap kanan, masing-masing ibu rumah tangga tersebut tinggal bersama anaknya. Uniknya kedua rumah tersebut saling terhubung di bagian dapur dan toilet, meskipun masing-masing rumah diatur oleh otoritas yang berbeda. Saya melihat kedua istri tersebut dapat hidup rukun meskipun tidak bebas persaingan, setidaknya persaingan dalam menyiapkan hidangan makanan bagi para tamu yang menginap di rumah masing – masing. Seperti pengakuan Pak AB bahwa dia hidup berbahagia dengan kedua istrinya dan keluarganya dapat hidup dengan rukun.

104

Situasi di keluarga Pak AB ini mengherankan saya, meskipun mungkin banyak keluarga yang memiliki kondisi yang mirip dengan keluarga ini. Yang saya tanyakan pada diri saya sendiri bagaimana istri pertama dan istri kedua ini dapat berbagi suami dengan tidak dipenuhi rasa cemburu atau iri, dan apa kuncinya supaya bisa hidup dengan damai dan bahagia. Tentu saja saya tidak berani menanyakan hal ini kepada kedua ibu rumah tangga tersebut. Dari perenungan pribadi tentang hal ini, saya menyimpulkan bahwa mungkin kedua ibu tersebut benar-benar sadar dengan pilihan hidupnya yang mencintai orang yang sama dan memilih untuk berdamai dan berbahagia dengan pilihannya. Ternyata bahagia itu adalah pilihan hidup, apakah kita memilih untuk hidup bahagia atau kita memilih untuk menjalani hidup dengan tidak bahagia. Kebahagiaan bukanlah suatu keadaan yang bebas dari masalah, namun kemampuan untuk menghadapi masalah yang ada. Di siang harinya, saya bersama warga desa melakukan pekerjaan membersihkan kebun dan memanen cabai yang sebenarnya sudah tidak ada lagi yang bisa dipanen saat itu. Dari perbincangan dengan ibu pemilik kebun tersebut selama perjalanan, saya mengetahui hidup

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

mereka sebenarnya cukup berat. Mereka hanya mengandalkan hasil perkebunan yang baru bisa dipanen beberapa bulan sekali, namun kebutuhan sehari-hari mereka dapatkan dari apa yang mereka tanam di sekitar rumah mereka. Belum lagi sering terjadi gangguan monyet – monyet yang mengambil hasil panen mereka. Namun di tengah segala keterbatasan dan hidup mereka yang sederhana, mereka tidak nampak merasa susah. Mereka bekerja keras setiap hari dan senantiasa bersyukur dengan apa yang dapat mereka menikmati. Sungguh sikap sederhana dan semeleh. Dari cerita ibu ini, saya semakin mengerti bahwa menjadi bahagia tidak perlu mempunyai harta yang banyak, nama yang tenar, ataupun jabatan yang tinggi. Sikap menerima dan mensyukuri apa yang sudah kita dapatkan juga membawa kebahagiaan. Sebagai penutup, saya mengutip apa yang dikatakan Socrates “The secret of happiness, you see, is not found in seeking more, but in developing the capacity to enjoy less�. Sehari semalam bersama penduduk desa Sukabumi membuat saya merasakan bahwa dalam suatu kesederhanaan kebahagiaan itu dapat ditemukan.

105

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Mas Taryo: “Pendidikan yang memberdayakan” Augustina Sulastri, Rektorat Dusun Rejosari, Desa Sukabumi

Kembali ke desa.

R 106

efleksi Karya (RK) untuk dosen dan tenaga kependidikan UNIKA Soegijapranata pada tahun 2016 adalah dalam bentuk live-in (hidup bersama) dengan masyarakat di di desa-desa di lereng gunung Merapi di Kabupaten Salatiga. Dosen dan tenaga kependidikan diberi wadah untuk mengolah tema Refleksi Karya “Ugahari Mandiri” – yang secara singkat bermakna kebersahajaan yang dapat menciptakan kemandirian. Terhitung masih sedikit sekali pengalaman saya tinggal bersama dengan masyarakat desa – yang notabene bukan keluarga. Dalam pengalaman hidup pada rentang “masa dewasa” hanya ada dua pengalaman tinggal bersama masyarakat desa. Pertama saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) tahun 1999 saat masih menjadi mahasiswa dan kedua saat membantu korban gempa bumi tahun 2006 di sebuah desa di Ganjuran, Jogjakarta. Refleksi Karya tahun 2016 menjadi pengalaman ketiga saya untuk tinggal bersama dengan sebuah keluarga di desa Cepogo yang merupakan desa paling “atas” – yaitu desa terakhir dan tertinggi di lereng gunung Merapi yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Salatiga.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Masing-masing situasi yang saya alami saat hidup bersama masyarakat desa dari tiga pengalaman tersebut memberi pemahaman dan pembelajaran yang berbeda. Pengalaman terakhir hidup bersama (livein) dalam kegiatan Refleksi Karya tahun 2016 membuka mata saya terhadap beberapa hal yang menarik untuk direnungkan. Memasuki kawasan desa Cepogo menjadi kejutan pertama yang saya alami. Saya tidak menduga bahwa di tengah hamparan sawah-sawah hijau yang luas, jauh dari jalan raya utama kota Salatiga ternyata telah beraspal beton permanen! Jika biasanya kita mendapati jalan masuk yang buruk, maksimal hanya pengerasan tanah dengan batu-batu di atasnya, namun jalan untuk masuk ke desa yang membelah area persawahan ternyata merupakan jalan yang sangat baik. Kegiatan setelah tiba dan bertemu dengan pemilik rumah yang akan kami tinggali adalah pergi ke ladang mereka dan membantu – meski sangat sekedarnya – kegiatan rutin yang biasa dilakukan di ladang. Tanaman utama yang saat itu sedang ditanam adalah bawang merah dan tanaman “pendamping” adalah sayuran (sawi hijau) dan tembakau. Untuk mencapai ladang tersebut kami diantarkan oleh pemilik rumah dengan motor dan melewati jalan aspal permanen yang telah dibeton. Jalan aspal beton ini membuat kami dapat mencapai tujuan tepat di pinggir ladang yang kami tuju. Akses jalan yang sangat baik itu sangat memudahkan para petani di desa Cepogo untuk mencapai dengan cepat lokasi “kerja” mereka serta, tentu saja, memudahkan saat memanen dan mengangkut ke tempat tertentu untuk dijual. Gambaran akses jalan yang buruk yang biasa saya jumpai di desa-desa lain sirna sudah. Desa Cepogo berbeda.

Mas Taryo dan Menara Gading. Kegiatan malam hari yang kami jalani adalah kegiatan sharing dengan para penduduk desa. Dalam kegiatan inilah saya mendapat jawaban mengapa desa Cepogo berbeda – minimal pada salah satu aspek fisik yaitu kondisi jalan. Sebagian besar penduduk desa Cepogo merupakan

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

107


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

anggota koperasi petani yang awal mula berdirinya diinisiasi oleh organisasi Qaryah Tayyibah (QT) dan beberapa anggotanya masih menjadi pengurus QT tersebut, salah satunya adalah Mas Taryo. Mas Taryo menyampaikan dalam kegiatan sharing tersebut bahwa proses pendidikan dan pengalaman bekerja di organisasi Qaryah Tayyibah banyak memberi bekal pelajaran tentang berbagai hal, misalnya tata cara bercocok tanam, menyiasati berbagai masalah terkait tanaman, hingga manajemen desa. Manajemen desa ini adalah manajemen tentang air baik untuk ladang maupun untuk rumah tangga dan fasilitas-fasilitas desa lainnya. Salah satu fasilitas desa yang diusahakan secara bersama oleh pemerintah dan penduduk desa adalah jalan desa – yang beraspal beton. Jalan aspal beton yang ada di dalam desa mereka hingga ke ladang-ladang mereka adalah murni diusahakan dari hasil iuran penduduk desa sendiri. Bahkan mereka sendirilah yang bergotong royong membuat jalan-jalan tersebut. Luar biasa.

108

Pengalaman gemblengan yang dialami Mas Taryo dan beberapa penduduk desa yang bergabung dalam koperasi yang berafiliasi dengan organisasi petani QT membuat pikiran mereka menjadi terbuka dan kemampuan pemecahan masalah serta komunikasi publik mereka menjadi sangat baik. Dengan pengetahuan yang didapat dari “belajar� bersama di organisasi QT dibagikan dan terus menerus didiseminasikan kepada penduduk desa yang lain. Hasilnya beberapa perubahan mampu mereka lakukan. Mas Taryo sendiri, selain menjadi petani seperti penduduk desa lainnya, juga sedang menempuh pendidikan S1 di jurusan Pertanian di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Salatiga. Mas Taryo adalah lulusan Kejar Paket B dan Kejar Paket C. Dia hanya mencicipi pendidikan formal selama beberapa tahun awal di Sekolah Dasar. Faktor kesulitan pembiayaan menjadikannya putus sekolah, namun itu tidak menyurutkan langkahnya mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai petani dan mahasiswa, Mas Taryo tetap peduli dengan pendidikan anak-anak di desanya. Dia mendirikan sekolah untuk anak-anak dan juga membuka rental komputer. Citacita dari Mas Taryo adalah selain menjadi petani yang berhasil, dia

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

ingin membawa perubahan yang lebih baik untuk desanya. Dia ingin memberi inspirasi bahwa untuk menjadi berhasil pemuda desa tidak perlu meninggalkan desa. Beberapa kisah yang saya dengarkan dari penduduk dan kenyataan yang saya lihat secara langsung membuat jargon bahwa universitas seringkali hanya “menara gading” menjadi sangat terasa. Sudah saatnya civitas akademika lebih sering untuk terjun secara langsung dalam berbagai kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang lebih luas sehingga kekayaan intelektual yang dimiliki oleh pendidik di perguruan tinggi dan pengetahuan serta kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat disinergikan.

Pendidikan yang memberdayakan: “Learning to be” Sekelumit pengalaman selama kegiatan Refleksi Karya dan, terutama, cerita tentang pengalaman hidup mas Taryo menguatkan apa yang disebut dengan “pendidikan yang memberdayakan”. Pendidikan yang sungguh memberdayakan akan membuat para peserta didik mencapai tahapan pembelajaran yang disebut sebagai “learning to be”. Thaman (dalam Soedjatmiko, 2000) memaknai “learning to be” sebagai proses yang berkelanjutan untuk menjadi seseorang yang menyadari siapa dirinya dalam hubungan dengan orang lain, mengetahui apa yang harus dilakukannya, dan melakukannya dengan baik. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu mengembangkan manusia pemelajar untuk mengarahkan seluruh bentuk ekspresi dan komitmennya baik untuk mencapai perkembangan maksimal dirinya sendiri maupun masyarakat di sekitarnya. Mas Taryo dalam konteks tersebut telah mengalami sebuah proses pendidikan yang memberdayakan – pengalaman pendidikan yang membuatnya mencapai tingkatan tertinggi sebuah proses pendidikan – “learning to be”.

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016

109


Dies Natalis ke 34 Unika Soegijapranata

Daftar Pustaka Soedjatmiko, W. (2000). Pendidikan Tinggi dan Demokrasi. Dalam Sindhunata (editor), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, hal. 49 – 63. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

110

Kesederhanaan yang Menginspirasi Ugahari Mandiri

Refleksi Karya 2016




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.