1
RABU 4 DESEMBER 2013 NO. 0253| TAHUN II Koran Madura
RABU
4 DESEMBER 2013
g PAMANGGHI
Romantisme Oleh : Miqdad Husein
Kolumnis, tinggal di Jakarta
PEMBUKAAN KONFERENSI WTO. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kedua kiri) berbincang dengan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Roberto Azevedo (kanan) sebelum pembukaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Badung, Bali, Selasa (3/12). Konferensi yang dihadiri delegasi dari 159 negara anggota WTO berlangsung dari tanggal 3-6 Desember 2013.
Ada Apa dalam Kesaksian Rosa? Banyak Pihak Memperebutkan Proyek Panas P3SON Hambalang Jakarta - Anak buah M Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang, menyatakan banyak pihak memperebutkan Proyek Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. "Hambalang rebutan Pak Anas, Pak Andi, Pak Nazar, Bu Pur juga mau, Pak Wafid mengatakan, dia (Bu Pur) khusus untuk pengadaannya saja," kata mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri Indah dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (3/12). Rosa yang merupakan bekas anak buah bendahara umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, menjadi saksi dalam sidang mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar, sedangkan Wafid adalah mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram yang sedang menjalani vonis karena menerima suap dari Mindo dalam proyek Wisma Atlet Palembang. "Pak Nazar mengatakan kalau kita tidak dapat di (pembangunan) fisik (Hambalang) kita ambil di pengadaan alat prasarana aja, tapi Pak Wafid mengatakan 'maaf Bu Pur sudah ke sini, Bu Pur itu dari kepala rumah tangga Cikeas', lalu saya sampaikan ke Pak Nazar," jelas Rosa. Rosa kemudian melaporkan hal itu ke Nazarrudin yang selanjutnya mengecek kebenaran informasi dari Wafid tersebut."Besoknya dicek, lalu Pak Nazar sampaikan 'ya sudah Ros kamu mundur saja'," ungkap Rosa.
Nasri Sangat
Fantastis Berita di hal 8
Padahal PT Duta Graha Indah sudah mengeluarkan uang Rp10 miliar untuk mendapatkan proyek tersebut karena memberikan uang ke sejumlah pihak. "Saya disuruh Pak Nazar untuk minta uangnya kembali dari Pak Wafid, Pak Wafid mengatakan uang itu sudah diberikan yaitu Rp 5 miliar ke Andi (Mallarangeng) lewat adiknya Choel (Mallarangeng), Rp 3 miliar diberikan ke Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto dan Rp2 miliar diberikan ke Komisi X DPR kepada koordinator anggaran Angelina Sondakh dan Ketua Komisi X Prof Mahyudin," tambah Rosa. Sidang juga mengungkapkan peran Sylvia Soleha alias Ibu Pur yang juga diketahui pernah datang menemui pejabat di Kementerian Keuangan Sudarto untuk membahas mengenai pengurusan proyek Hambalang. "Widodo dan Ibu Pur hanya perkenalan saja ke saya, intinya akan membantu proses kelengkapan surat, tapi saya terserah dari Kemenpora saja dibantu bagaimana, kalau lengkap kami proses," kata Sudarto mantan Kepala Subdit Anggaran II E yang juga menjadi saksi dalam sidang tersebut. Widodo yang dimaksud adalah Widodo Wisnu Sayoko yaitu orang yang menganggap Ibu Pur sebagai ibu-
BERSAKSI. Dari kanan Mindo Rosalina Manulang, Yulianis dan Ignatius Mulyono menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Selasa (3/12). Mereka bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, Deddy Kusdinar. nya sendiri. Sylvia seharusnya juga hadir dalam sidang namun batal hadir karena sakit, sedangkan Widodo hadir memberikan kesaksian. "Saya bertemu Pak Sidarto karena dikenalkan bos saya, Pak Arif Gunawan untuk rapat dengan tim dari Kemenpora di Kemenkeu," ungkap Widodo. Widodo pun mengakui bahwa ia menawarkan bantuan kepada Sudarto untuk mengurus proyek Hambalang. Dalam perkara ini, Deddy sebagai PPK disangkakan mendapatkan uang Rp1,4 miliar dari total anggaran Rp2,5 triliun. Uang juga mengalir ke pihak-
pihak lain antara lain mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sebesar Rp4 miliar dan 550 ribu dolar AS, Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam mendapatkan Rp6,55 miliar, mantan ketua umum Anas Urbaningrum mendapatkan Rp2,21 miliar. Deddy Kusdinar didakwakan Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dengan denda Rp1 miliar. (ant/lia/war)
Romantisme bisa membangkitkan semangat tapi bisa juga menyesatkan. Kadang romantisme berlebihan membuat lupa realitas kekinian. Asyik mengukur perbuatan hari ini seakan berperilaku seperti di masa lampau. Padahal waktu telah bergulir, sikap dan perilaku telah berubah; tanpa kecuali. Guru Pahlawan tanpa jasa, dokter pejuang kemanusiaan adalah ungkapan indah yang masih sering terdengar. Terasa romantisme masa lalu yang sebenarnya sudah tak utuh lagi; paling tidak sudah mengalami perubahan hidup. Di masa lalu, guru memang profesi penuh pengabdian yang nestapa, nelangsa hingga beberapa Perguruan Tinggi (PT) yang secara khusus mendidik calon guru, gulung tikar karena peminatnya minim. Tapi kini profesi guru sangat menjanjikan, terutama yang berstatus PNS. Apalagi yang sudah mendapat sertifikasi dan bekerja di daerah yang PADnya tinggi; penghasilan mereka jauh melampaui UMR. Namun di sisi lain, banyak guru yang nasibnya sampai sekarang nelangsa. Mereka adalah guru swasta, guru non PNS, guru di daerah terpencil, guru madrasah, guru pesantren yang penghasilan mereka, mendengar angkanya saja membuat siapapun yang memiliki nurani akan menangis. Kelompok terakhir ini masih pantas mendapat gelar pahlawan tanpa jasa. Dokter? Profesi ini paling kontradiktif. MendaBerpikir dan pat predikat mulia sebagai bersikaplah pejuang kemanusiaan naatas dasar mun lingkaran perjalanan kekinian; mereka tak pernah lepas dari uang. Dari sejak akan bersikap masuk fakultas kedokterprofesional. an sudah berurusan uang. Walau calon mahasiswa cerdas tetap perlu menyiapkan dana ratusan juta. Apalagi jika otaknya biasa-biasa saja. Ironisnya, biaya pendidikan dokter mahal selangit tak hanya di PT Swasta; di PTN pun untuk diterima sebagai mahasiswa kedokteran harus menyiapkan dana ratusan juta rupiah. Angka masuk kedokteran itu, belum dihitung biaya kuliah persemester yang untuk PT Swasta bisa 20 jutaan persemester. Lalu, salahkah kalau kemudian dokter saat praktik berpikir ingin balik modal? Sulit menjawabnya. Namun di sini tergambar jelas bahwa sistem di negera ini, membiarkan profesi yang terkait nilai kemanusiaan berubah berjiwa kapitalistik. Sistem di negeri ini telah merombak dokter dipaksa harus berpikir tentang uang dan uang. Celakanya uang itu mudah melelapkan hingga ketika sudah balik modal pun, karena keasyikan terus saja menumpuk pundipundinya. Tak mungkin di sini menyalahkan dokter yang ingin balik modal, yang bisa jadi uang untuk membiaya pendidikannya berasal dari pinjaman bank. Namun dokter juga harus jujur bahwa dalam keseharian mereka berada dalam praktik transaksi; bukan lagi sebagai pengabdi kemanusiaan. Dokter bukan lagi menangani atau membantu pasien, tapi mengerjakan pasien. Apa yang dilakukan dokter sudah profesional? Ia bekerja dan meminta bayaran mahal, yang kadang tak peduli kondisi ekonomi pasien. Jadi tak usahlah hidup dalam romantisme masa lalu. Berpikir dan bersikaplah atas dasar kekinian; bersikap profesional. Tentu profesionalisme apapun, harus tunduk pada ketentuan hukum sebagai perlindungan kepada semua pihak. Dokter, guru dan profesi apapun mendapatkan hak dan harus menjalankan kewajibannya. Jika melanggar, tentu saja siapapun tak kebal hukum. Terinspirasi kata-kata juru bicara KPK Johan Budi; hukum bukan berstandar kesederhanaan, kesantunan, romantisme, kemanusian, kepahlawan tapi bukti awal. Jika bukti awal ada, proses hukum bisa berlanjut kepada siapapun.=
ALASAN SAKIT
Tri Yulianto Tetap Akan Diperiksa KPK JAKARTA - Politisi Partai Demokrat yang juga anggota Komisi VII DPR Tri Yuliano akan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bila yang bersangkutan sudah sembuh dari sakit yang dideritanya. Tri dikabarkan jatuh sakit dan tengah menjalani operasi setelah namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi SKK Migas yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini. Demikian ditegaskan Ketua KPK Abraham Samad di Jakarta Selasa (3/12). "Ya kita tunggu sampai sembuh sakitnya. Mudah-mudahan cepat (sembuh) dan baru akan kita panggil," kata Abraham. Abraham menambahkan, sampai saat ini masih belum mengetahui kondisi pasti kesehatan Tri. Jika memang terbukti anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu sakit, maka pemeriksaan akan ditunda hingga yang bersangkutan sembuh. Namun, jika tak terbukti sakit maka
Abraham Samad Ketua KPK
KPK akan melakukan pemanggilan secara paksa. "Jadi beda, kalau dia sakit beneran akan kita tunggu. Kalau dia pura-pura sakit maka akan kita jemput," katanya. Senin (2/12) lalu, Ketua Komisi VII DPR yang juga politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana memastikan kabar bahwa Tri Yulianto sedang sakit. Hanya saja, Sutan tak mau melanjutkan lebih rinci tentang jenis penyakit dan rumah sakit di mana Tri menjalani per-
awatan. Menurutnya, kolega satu partainya itu tengah fokus dalam penyembuhan. Selain itu, Sutan juga menjaga perasaan keluarga Tri. Menurut Sutan, pihak keluarga bisa saja menjadi cemas setelah kabar ini mencuat. Padahal, Tri, sebutnya, belum tentu bersalah. "Bisa cenatcenut keluarganya," ungkap Sutan. Sutan mengaku sudah memanggil Tri yang disebut Rudi menerima THR sebesar 200.000 dollar AS. Tri membantah menerima uang tersebut. "Dia sampai bersumpah demi Allah berkali-kali. Kami berpegang pada itu, ya sudah, yang membuktikan nanti pengadilan," ucapnya. Di dalam persidangan, Rudi sempat mengaku bahwa ada anggota Komisi VII DPR yang meminta uang THR kepadanya. Rudi pun mengaku memenuhi permintaan tersebut. "Muncul permintaan THR DPR dari Komisi VII. Di sisi lain, ada tawaran beberapa orang bersedia memberi bantuan 200.000 dollar AS," kata Rudi ketika bersaksi dalam kasus dugaan suap SKK Migas dengan terdakwa Simon Gunawan Tanjaya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (28/11) silam. (gam/aji/war)
Menghibur Matrawi mengalungkan kedua tangannya di belakang kepalanya. Matrahem yang melihat kawannya sakit kepala itu coba mendekat menghiburnya, sebab dia tahu Matrahem sedang menghadapi masalah besar, diduga terlibat suap SKK Migas. Matrahem : Aku tahu, kamu sedang pusing memikirkan kasus hukum yang menjeratmu. Matrawi : Enak saja kamu bicara, karena bukan kamu yang mengalami nasib sepertiku. Matrahem : Kata siapa? Aku juga sebenarnya terlibat kasus suap. Matrawi : Kasus suap apa? Matrahem : Suap-suapan dengan isteriku. Matrawi : ????? Matrahem : Kenapa? Bingung? Maaf, aku hanya bercanda, kawan. Cak Munali