1
JUMAT 5 APRIL 2013 NO. 0090 | TAHUN II Koran Madura
JUMAT
Harga Eceran Rp 2500,- Langganan Rp 50.000,-
5 APRIL 2013
g PAMANGGHI
Abal-abal Oleh : Abrari Alzael
Pemimpin Redaksi Koran Madura
A
ant/reno esnir ant/azhar
TOLAK QANUN BENDERA. Ribuan warga Aceh Tengah dan Bener Meriah menggelar unjukrasa di halaman gedung GOS/DPRK Aceh Tengah, Kamis (4/4). Aksi sambil membawa bendera merah putih itu sebagai bentuk protes warga dataran tinggi Tanah Gayo atas Qanun Nomor 3/2013 tentang bendera dan lambang Aceh.
ADVOKAT SOKA MELAWAN
Putusan DK Peradi Dianggap tak Profesional SURABAYA- Putusan Dewan Kehormatan Persatuan Advokat Indonesia ( DK Peradi) yang menjatuhkan sanksi teguran lisan terhadap Advokat Soka mendapatkan perlawanan, pasalnya saat ini Soka menyatakan sikap banding atas putusan DK Peradi Jatim Nomor 33/PERADI/DK-JATIM/2012 tertanggal 27 Maret 2013. Menurut Advokat Soka, dasar dilakukan perlawanan terhadap putusan DK Peradi Jatim itu, lantaran ia menilai adanya sikap kurang profesional dan tidak cermat yang dilakukan majelis DK Peradi saat menjatuhkan putusan padanya. Salah satunya pertimbangan-pertimbangan hukum yang menyatakan Advokat Soka selaku teradu telah meminta uang kompensasi Rp 300 juta, yang dibebankan ke Dr Ragiel Delphies Suthoni selaku pengadu Rp 150 juta dan Lingga Christian Garnadi Rp 150 juta yang digunakan untuk membuka blokir sertifikat di BPN. Ironisnya meski keterangan meminta uang kompensasi Rp 300 juta tersebut telah dibantah oleh Advokat Soka maupun para saksi saksi yakni Indira Ratna Ningsih maupun Christian Garnadi, Namun keterangan tersebut masih melekat disebutkan dalam pertimbangan putusannya. Hal itulah yang dijadikan dasar Soka untuk melawan keputusan Majelis DK Peradi, ”Saya menyatakan banding dan telah saya buatkan memori bandingnya. Karena bagi saya Ini sangat aneh tapi nyata, semua saksi yang dihadirkan membantah kalau saya meminta uang kompensasi itu, tapi tidak dimasukkan dalam putusan, ada apa?,”ungkap Advokat yang tergabung di anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Surabaya, Kamis (4/3) dikantornya kemarin. Soka juga menganggap Majelis DK Peradi yang menangani perkaranya tersebut tidak cermat dalam memberikan pertimbangannya dimana Dr Ragiel selaku pengadu tidak memiliki legal standing dalam melakukan pengaduan. Pasalnya berdasarkan bukti kwitansi tanggal 8 juli 2012 jual beli tersebut bukan antara Dr Ragiel dengan Lingga Christian Garnadi melainkan anak dari Dr Ragiel yakni Satriyo Wicaksono. Sedangkan didalam putusan Majelis DK Peradi, Dr Ragiel mempunyai hak untuk mengadu dikarenakan saat melakukan jual beli, Satriyo Wicaksono belum dewasa dan baru berusia 18 tahun. ”ini yang tidak saya pahami dari majelis, atas dasar apa majelis DK Peradi menganggap seseorang berusia 18 tahun itu masih anak-anak? Dan perlu digaris bawahi, berdasarkan yurispredensi No 477/K?Sip/1976 tertanggal 2 November 1976 dijelaskan, anak belum dewasa adalah belum berumur 18 tahun, ”pungkas dia. Disesalkan Soka, meski dirinya tidak terbukti satu pasalpun atas dugaan pelanggaran kode etik Advokat yang diadukan Dr Ragiel , Namun Majelis DK peradi tetap menyatakan Soka terbukti bersalah melanggar pasal 6 huruf b UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat.”Dalam pertimbangan putusannya disebutkan kalau fakta hukumnya saya tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik Advokat Indonesia, tapi kok malah dikatakan melanggar Undang Undang,ini sangat aneh bagi saya.”ujar dia. Yang disesalkan Soka, dari 5 orang majelis DK yang menangani perkara ini,masih kata Soka, salah satunya pernah menjadi lawannya , sehingga bisa dipastikan kalau putusan yang dijatuhkan majelis tidak bersifat obyektif, (kas)
Pelaku Kasus Lapas Cebongan itu Kopassus Bermotif Pembunuhan Serka Heru Santoso di Cafe Hugo’s JAKARTA - Ketua Tim Investigasi kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan Selaman yang juga Wakil Komandan Puspom AD Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono mengaku bahwa pelaku penyerangan dan pembunuhan empat orang tahanan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah oknum pasukan khusus TNI AD atau Kopassus. Hanya saja, ditegaskan bahwa penyerangan dan pembunuhan tersebut tidak dilakukan secara terencana. “Jadi itu tindakan reaktif dan tidak direncanakan,” kata Ketua Tim Investigasi Wadan Puspom AD Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono pada jumpa pers Dispen TNI AD, Jl Abdul Rahman Saleh, Jakarta Pusat, Kamis (4/4). Menurut Unggul, tindakan tersebut hanya reaksi spontan
karena ada kedekatan pelaku dengan Serka Heru Santoso yang dibunuh oleh 4 preman tersebut secara sadis, tragis, dan brutal di Hugo’s Cafe beberap hari sebelumnya. “Itu memang tindakan reaktif secara spontanitas yang memang dilandasi jiwa korsa yang begitu besar,” katanya. Meski demikian, Unggul menyebut, penyerangan ke LP tersebut merupakan ben-
tuk penerapan jiwa korsa yang salah. Faktor yang lebih menentukan adalah eksekutor berinisial U merasa utang budi kepada almarhum Serka Heru Santoso. “Apalagi mungkin dia merasa satu nasib sepenanggungan dan satu komando, mantan atasan langsung dan yang bersangkutan merasa berutang budi karena pada saat operasi pernah diselamatkan oleh almarham,” tandasnya. Menurut Unggul, penyerangan yang berakhir pembunuhan terhadap empat korban itu dilakukan oleh 11 oknum prajurit anggota Grup II Kopassus TNI AD yang bermarkas di Kandang Menjangan, Kartasura. Enam pucuk senjata api yang digunakan pelaku terdiri dari sebuah pistol otomatis dan lima sena-
pan mesin. “Terdiri dari tiga AK-47 yang dibawa dari daerah latihan (Gunung Lawu), dua AK47 replika dan satu pistol Sig Sauer,” ungkap Unggul. Dari ke-11 pelaku itu, satu di antaranya adalah eksekutor. Sementara delapan orang lainnya sebagai tim pendukung menggunakan kendaraan Avanza biru dan APV hitam. Para pelaku ini, lanjut dia, sudah diproses secara hukum dan selanjutnya ditangani oleh Puspom TNI. “Atas dasar dari hasil investigasi, proses hukum selanjutnya akan segera dilaksanakan oleh Puspom AD,” imbuhnya. Unggul memaparkan, para pelaku ini sudah mengakui perbuatannya dengan penuh kesadaran dan siap mempertanggungjawabkan perbuatannya. (gam/aji)
POLITIK
DPR Ingin Pemilukada Serentak Tahun 2015
JAKARTA-Kalangan DPR menginginkan agar pelaksanaan pemilukada/pilkada dilakukan serentak pada 2015 demi menghemat biaya penyelenggaraannya. “Kita ingin serentak, pemilihan gubernur, bupati dan walikota agar efisien. Sehingga ada pemikiran pemilihannya bisa diserentakkan di tahun 2015 dengan gelombang dua tahun 2018,” kata Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santosa di Jakarta, Rabu (3/4). Namun demikian, kata Priyo lagi, sejumlah fraksi di DPR cenderung tidak bisa menerima gagasan pemerintah yang mengusulkan bahwa wakil kepala daerah adalah pejabat yang tidak dipilih. “Fraksi ingin dua-duanya satu paket dalam pilkada. Sebab kalau digunakan wakil guber-
nur hanya birokrat, bagaimana kalau ada halangan? Kecenderungan kita menolak untuk paketkan bahwa gubernur dan wakilnya dipilih 1 paket,” tambahnya Hal lain yang menjadi pembahasan adalah usulan pemerintah agar pemilihan kepala daerah dipilih kembali oleh DPR. Usulan ini juga cenderung ditolak oleh DPR dan menerapkan sebagaimana yang sekarang berjalan. “Mestinya gubernur, bupati walikota dipilih langsung, apa yang mendasari (usulan pemerintah) saya tidak tahu. Tapi kita cenderung dipilih langsung semuanya,” tegasnya. Berikutnya adalah soal pengajuan sengketa Pilkada. Fraksi di DPR menginginkan agar gugatan tidak sampai ke Mahkamah
Konstitusi tetapi cukup di Mahkamah Agung. “Tapi ini belum final karena akan dikaji kembali, jadi intinya MK biar konsen masalah lain bukan pilkada, kecenderunganya kita berikan ke MA,” tuturnya. Lebih jauh Priyo meminta agar pembahasan RUU Pemilukada ini bisa selesai secepatnya. Setidaknya sebelum pemilu 2014. “Saya wanti-wanti pokoknya persidangan ini jangan dilampaui, tapi kalaupun dilampaui jangan sampai lewat lagi. Ini sebelum reses diusahakan selesai dan dipastikan sebelum pemilu,” tukasnya. Sebelumnya, anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Arif Wibowo mengakui Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi atas Undang-Undang 32/2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) tidak akan tuntas pada April 2013. Alasannya, DPR dan Pemerintah masih mengelaborasi beberapa gagasan tentang isu-isu penting dalam RUU Pilkada. “RUU Pilkada belum akan selesai di masa sidang ini (April 2013). Satu kali masa persidangan kira-kira baru selesai, Agustus tahun ini,” ujarnya beberapa waktu lalu. Dia mengungkapkan, peran pemerintah dalam setiap pembahasan cukup aktif, meskipun saat ini Panja belum membahas pasal per pasal. “Sistem pembahasannya per kluster isu yang terdiri tujuh isu pokok yaitu mengenai cara pemilihan, perlu tidaknya wakil kepala daerah (ditunjuk atau dipilih dan juga kewenangannya), biaya pilkada menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tahapan pilkada, penegakan hukum, berapa jumlah wakil kepala daerah jika diperlukan serta pilkada serentak,” ungkapnya. (cea)
da banyak faktor yang kadangkadang membuat otak nakal saat berpikir tentang negeri ini. Kesimpulan sementara, republik ini tidak rasional. Pertama, negara ini tidak rasional karena belum bisa menegakkan kebenaran. Padahal, barang bukti, pelaku, saksi dan ornamen lainnya sudah jelas dalam kasus korupsi. Tetapi, seringkali, kasus yang sudah jelas ini menjadi tidak jelas. Kedua, republik ini tidak rasional lantaran mau mengadili sesuatu yang tidak rasional serupa santet. Bagaimana mungkin mengadili santet yang sudah jelas tidak jelasnya ini dibanding kasus korupsi yang sudah jelas adanya tetapi dibuat tidak jelas. Ketiga, negeri ini tidak rasional karena wilayah yang sangat kaya tetapi berpenduduk amat miskin. Papua Barat adalah contoh kecil dimana sebagian warganya meninggal dunia karena busung lapar. Gubernur Papua Barat Abraham Atururi tidak terima dengan berita itu. Versi Aturuti, 95 orang yang meninggal tidak seluruhnya busung lapar tetapi karena penyakit lain. Jika dirunut panjang, irasionalitas itu semakin terasa dan semua orang tahu namun tidak berani. Sekedar menyebut contoh, aparat penegak hukum biasanya hanya menangkap pengedar narkoba dengan memb i a r k a n bandarnya. Aparat juga Papua Barat Cuma mengadalah contoh hukum penkecil dimana curi tetapi sebagian tidak menywarganya entuh rajanya pencuri. meninggal dunia Aparat penekarena busung gak hukum bilapar asanya hanya menyidangkan pengedar ekstasi daripada menghancurkan pabriknya, jika itu dianggap berbahaya. Inilah yang tidak dimengerti oleh warga republik. Orang kelas menengah ke bawah sangat takut melapor kepada polisi apabila kehilangan seekor sapi. Sebab melapor ke polisi, ia khawatir sapi yang tidak tercuri akan habis untuk ongkos mencari sapinya yang hilang dan belum tentu ditemukan. Di dalam negara yang berlandaskan hukum, warga yang ketakutan terhadap kebenaran ini sudah termasuk sesuatu yang tidak rasional. Sama tidak rasionalnya dengan aparat penegak hukum yang tidak mau menegakkan kebenaran. Padahal, kunci dari kemajuan sebagai bangsa itu justru karena keberanian dalam menegakkan kebenaran. Di republik ini, dari spektrum inibelum termasuk negara yang mau maju. Ada lima masalah yang menurut survey mengganggu kemajuan bangsa Indonesia. Pertama, jual-beli putusan perkaran. Kedua, uang dan kekuasaan masih memegang peranan penting dalam dunia hukum. Ketiga, tidak bisa dipungkiri bahwa politik memiliki peran yang penting dalam mengintervensi keputusan hukum. Keempat, Indonesia masih mengadopsi produk hukum Belanda yang di dalamnya terdapat beberapa pasal yang dianggap sudah tidak bisa dilaksanakan lagi karena sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Kelima, mental penegak hukum. Seharusnya mereka bisa menjadi contoh bagi masyarakat bukan bertingkah laku dan bermental sukasuka yang mengakibatkan hukum menjadi abu-abu. Memang tidak sepenuhnya seperti itu namun seakan-akan seluruhnya nampak seperti itu. =
Cak Munali