1
SENIN 8 JULI 2013 NO.0154 | TAHUN II Koran Madura
SENIN
Harga Eceran Rp 3.500,- Langganan Rp 70.000,-
8 JULI 2013
g PAMANGGHI
Mursi Oleh : MH. Said Abdullah
Anggota DPR RI Asal Madura
ant/heri dwi s
EVAKUASI KORBAN GEMPA. Tim SAR dari Basarnas, TNI/Polri mengevakuasi jenazah korban longsor di Desa Serempah kec. Ketol Kab. Aceh Tengah, Aceh. (7/7). Hingga hari keenam korban gempa tektonik di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah berjumlah 39 orang, enam masih tertimbun longsor, ratusan luka-luka dan ribuan bangunan rusak besar.
JELANG PEMILU 2014
Waspadai Empat Kecurangan Pemilu BLITAR- Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyebut ada empat hal yang membuat pemilu di Indonesia tidak berjalan secara demokratis. Pertama, KPU tidak netral, karena sudah berpihak kepada salah seorang calon. Padahal, sudah seharusnya KPU bersikap netral karena sebagai penyelenggaraan pemilu. Kedua, sistem Informasi Tehnologi (IT) yang tidak netral karena sudah dikuasai kekuasaan politik tertentu. “Karena tidak netral maka akan merusak proses pemilu,” tutur dia. Ketiga, intelijen ikut bermain dan tidak netral. Padahal intelijen itu kerjanya bukan untuk menyadap ataupun membuat orang ditekan agar rakyat memilih yang sebenarnya bukan pilihan dia. Tetapi sebenarnya intelijen itu bertugas mengurusi masalah keamanan di Indonesia. Dan keempat adalah politik uang (money politik). “Karena dengan hal tersebut seseorang akan memberikan hak pribadinya hanya karena uang atau sembako. Makanya, rakyat harus mengawasi pemilu, termasuk pilgub Jawa Timur ini,” pungkas Megawati. Mega mengaku, kekuatan politik pesaing memang terus-terusan berusaha menganggu PDI Perjuangan. Dalam pilgub Jawa Tengah kata Mega, PDI Perjuangan digebuk oleh kekuatan politik lawan untuk merusak PDI Perjuangan. “Dan alhamdulilah, berkat soliditas kader, kita bisa memenangkan pilgub Jateng dengan hasil yang memuaskan. Apakah Jawa Timur tidak bisa seperti Jawa Tengah? Saya kira bisa. Kuncinya, harus bekerja keras untuk melawan rekayasa yang dilakukan penguasa,” pungas dia. (gam/ara)
BLSM Merendahkan Kehormatan Rakyat
BLITAR- Langkah pemerintah memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kembali dikeritik. Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menilai penyaluran BLSM ini merendahkan derajat dan kehormatan rakyat Indonesia.
“Kemana yah harga diri dan kehormatan kita. Apa TERKAIT sih artinya uang Halaman 12 Rp150.000,” kata Mega, saat memberikan orasi politik di sela-sela deklarasi pasangan calon gubernur Jatim yang diusung PDI Perjuangan, Bambang DH-Said Abdullah, di Blitar, Sabtu (6/7). Seperti diketahui, pemerintah mengu-
BERITA
curkan bantuan berupa dana sebesar Rp 150.000 bagi warga miskin yang diberikan selama empat bulan. Kebijakan ini diambil sebagai kompensasi dari keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Menurut Mega, pemberian BLSM itu tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. Pasalnya, harga kebutuhan pokok saat ini melambung tinggi. “ Saya ingin tanya, berapa harga daging, harga cabai, harga bawang, harga beras berapa, harga jengkol berapa? Diatas Rp 100.000. Coba dibayangkan, masa harga diri dan kehormatan kita cuman Rp 150 ribu perak atau setara dengan harga bahan pokok, “tegas Mega. “Masa harga diri kita kurang lebih sama dengan harga daging, harga cabai, harga jengkol. Dimana kehormatan kita sebagai manusia?,” jelas dia. Mega mengaku, kritiknya terhadap BLSM ini bukan bermaksud memanasmanasi rakyat. Tetapi sangat aneh, dana dengan jumlah trilunan rupiah tidak dipergunakan untuk membenahi infrastruktur seperti jalan dan sarana air bersih disetiap kampung. “Daripada menyalurkan dana BLSM, lebih baik memperbaiki infrastruktur masyarakat di Indonesia,” tandas dia. Mega sangat prihatin dengan kondisi rakyat saat ini yang harus antri untuk mendapatkan bantuan yang merupakan kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) itu. (gam)
PERJALANAN SPIRITUAL KORAN MADURA MENYAMBUT RAMADHAN (3)
Perlu Doktrinasi Islam Substantif dalam Beragama Setelah sejenak berada di Raudlah, mendoakan anak isteri dan orang-orang yang saya kenal, yang saya kasihi maupun yang kurang mengasihi saya, saya duduk di tengahtengah masjidin Nabawi. Dan banyak sekali yang melintas dalam pikiran saya sebanding dengan banyaknya orang yang lalu lalang di depan saya. Hampir semua orang yang saya jumpai di Masjdin Nabawi berwajah arab. Dan sembilan dari sepuluh orang yang lewat di dekat saya ternyata berjenggot, bahkan sangat lebat. Rambut di dagu dan pelipis sangat tebal melampaui rambut yang ada di kepala. Tetapi saya merasa tidak penting untuk membahas soal jenggot arab ini. Sama tidak pentingnya dengan mendiskusikan presiden SBY yang tidak suka berkumis apalagi berjenggot. Namun tentu, membayangkan SBY berkumis dan berjenggot tidak dilarang.
Bila Nabi sekarang masih hidup dan bisa menyampaikan petuah-petuahnya, saya yakin Nabi tidak berkeberatan ummatnya memelihara jenggot. Apalagi jenggot itu dipelihara karena dari saking cintanya dan berkeinginan untuk menyerupai nabi. Perilaku ini tentu bisa kita fahami seperti halnya anak muda menyemir rambutnya karena ingin sama seperti Britney Spears atau Koboy Junior. Tapi sekalipun memelihara jenggot, Nabi pasti tidak senang bila perilakunya justeru menyimpang dari apa yang diajarkan
Beliau. Berenggot sih berjenggot, tapi mbok ya jangan mencuri. Berjubah sih berjubah, tapi mbok ya jangan suka bohong. Seluruh yang kita kerjakan
adalah ritual. Sebuah upaya untuk meraih sesuatu yang substansisal. Oleh karenanya, apa artinya melakukan ritual --seperti menirukan atribut
Nabi atau bahkan melaksanakan umroh seperti yang sedang saya jalani-- bila sesuata yang bersifat substansial justeru kita tinggalkan. Tetap tidak jera mencuri uang rakyat, padahal secara simbolis kita sudah berkali-kali melempar setan di Mina. Atas nama kebencian dan penolakan terhadap setan, bahkan sampai tiga kali kita melemparnya. Pertanyaannya, bila kita tetap korupsi, lalu setan yang mana yang kita lempar? Jangan-jangan setan yang sesungguhnya tidak berada pada tiang-tiang di Mina, tapi berada dalam hati kita sendiri. Ketika kita begitu bersemangat melempar tiang di Mina, setan yang sesungguhnya tertawa bersembunyi di bagian terdalam diri kita. (bersambung)
Baru sekitar setahun Muhammad Mursi memimpin Mesir melalui proses pemilu yang dinilai dunia sangat demokratis. Lalu pada tanggal 3 Juli lalu, militer mengambil alih kepemimpinan Mursi dan kemudian menunjuk Ketua MK Adly Mansour sebagai presiden sementara. Mesir yang demokratis pasca kepemimpinan Hosni Mubarak, akhirnya kembali pada situasi ketidakpastian. Sebenarnya setahun lalu, usai Hosni Mubarak jatuh, Mesir memasuki moment penting menuju negara demokrasi setelah cukup lama berada dalam cengkraman kekuasaan otoriter. Hosni Mubarak yang meneruskan kepemimpinan Anwar Sadat yang tewas diberondong peluru, berkuasa dengan tak pernah bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pemilu. Demokrasi berjalan semu; kebebasan terbelenggu dan rakyat Mesir hidup dalam bayangbayang tiran yang dibungkus asesoris demokrasi. Cukup lama masyarakat Mesir bersabar atau bisa jadi, memang tak memiliki kekuatan menghadapi rezim Hosni Mubarak. Dan ketika sekitar setahun lalu Untuk sebuah kepemimpinan krisis ekonomi menymurni dari erang Mesir, kalangan sipil, m a s y a r a k a t Mesir masih akhirnya harus belajar hilang kesabaran. Kesabaran berubah menjadi kekuatan menumbangkan Hosni Mubarak. Sebuah pemilu yang demokratis dan bersih digelar menghasilkan Mursi dari dari Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin. Sebuah kekuatan komunitas masyarakat Mesir, yang boleh disebut melegenda sebagai oposisi hampir sepanjang pemerintahan Mesir modern. Kini Mesir mirip periode saat pertama kali Gamal Abdul Nasir naik. Ketakpastian menyelimuti Mesir. Perubahan anatomi rezim terjadi begitu mencolok; dari demokrasi menuju jalan panjang yang masih berproses tanpa ada kejelasan. Dan sebagaimana sebuah ketakjelasan, korban sipil mulai berjatuhan. Darah dan air mata mulai menetes ketika antar kekuatan yang saat ini merasa paling berhak mengelola Mesir bersinggungan. Secara tradisi sebenarnya apa yang terjadi di Mesir tidaklah aneh. Dari sejak Gamal Abdul Nasirr, Anwar Sadat dan Husni Mubarak, meliter memang diamdiam selalu berada dalam bayang-bayang kekuasaan formal. Tiga pimpinan Mesir itu semuanya berlatar belakang militer yang tentu saja, tak akan pernah bisa lepas dari kaitan kekuatan militer. Mursi karena itu bisa jadi sebagai sebuah era sangat baru pada periode Mesir modern. Bahkan terlalu maju, ketika dunia tahu Mursi berangkat dari kekuatan yang selama ini dikenal sebagai oposisi. Lompatan anatomi kepemimpinan memang terasa sangat jauh. Untuk sebuah kepemimpinan murni dari kalangan sipil, Mesir masih harus belajar. Apalagi kepemimpinan sipil yang berangkat dari kekuatan oposisi. Jelas ketaksabaran mudah merebak. Tak hanya militer yang terbiasa berkuasa yang tak sabar. Masyarakat Mesir pun, yang terbiasa berada dalam periode kepemimpinan berbeda, seperti tak sabar. Bahwa ketaksabaran rakyat, merupakan ekspresi murni, sebagai reaksi penolakan pada kekuatan Ikhawanul Muslim atau bagian dari sebuah ekspansi bernama geopolitik negara tertentu, semua masih belum jelas. =
Pesawat Matrawi, yang ingin membeli rumah baru. Ia pun mendatangi kantor pemasaran yang berada di lokasi perumahan. Perjalanan ke lokasi ternyata lebih dari satu jam. “Pak, di spanduk, tertulis perjalanan ke lokasi perumahan dari pusat kota hanya lima menit. Ini saya ke sini lebih dari satu jam,” komplain Matrawi. “Sampayen naik apa ke sini?” tanya karyawati, dengan agak genit. “Sepeda motor,” jelas Matrawi. “Ya lah pak. Itu lima menit ke sini, kalau pakai pesawat terbang. Kalau naik sepeda motor memang sekitar 65 menit,” katanya, ringan.
Cak Munali