e Paper Koran Madura 8 November 2013

Page 1

1

JUMAT 8 NOVEMBER 2013 NO.0235 | TAHUN II Koran Madura

JUMAT

8 NOVEMBER 2013

g PAMANGGHI

New Barbarisme Oleh : Abrari Alzael

Wartawan senior di Madura

PELAYANAN publik sejumlah instansi terkait dengan kepatuhan terhadap UU 25/2009 tentang pelayanan publik masih memprihatinkan. Dalam skala global, 42,9% unit pelayanan di 18 kementerian belum memenuhi standar. Dari 18 kementerian yang disurvei, terdapat 5 kementerian masuk kategori merah, 4 tergolong hijau, dan 9 lainnya masuk kategori kuning. Itulah gambaran penyelenggaraan negara pada tingkatan pusat. Pada level menengah ke bawah, angkanya sudah bisa diterka. Setidaknya setara atau bahkan lebih parah. Kekurangan dalam memberikan layanan publik itu karena dua hal, kelalaian dan memang sengaja diciptakan. Dalam hal pelayanan publik ini, pejabat publik tidak berusaha menaati aturan karena merasa lebih senang mencari celah. Jika publik menerima diperlakukan seperti itu, tentu ia sabar. Jika publik tidak sabar, pasti bayar. Di sinilah ruang itu sengaja diciptakan untuk kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, pejabat atau bukan pejabat, pekerjaan di sektor publik menuntut inovasi agar publik tidak diperlakukan sebagai seseorang yang sabar menanti untuk sesuatu yang bisa dilakukan cepat. Ada baiknya, Tetapi inilah wajah layanan publik republik saat ini dimana hal yang ditingkatkan mudah di birokrasi sekurangkurangnya tidak dibuat berkelok dan membuat publik berliku-liku. Padahal masyarakat sudah jengkel. stres menghadapi hidup dan begitu berurusan dengan birokrasi dibuat lebih stres karena –misalnya, oknum birokrasi lebih suka merumitkan yang mudah. Suatu ketika, di rumah sakit dan sejumlah puskesmas, keluarga pasien kaget saat model penyapaan staf di rumah sakit dan puskesmas itu tidak ramah. Resepsionis itu perlu menyapa dengan kalimat yang santun agar pasien dan keluarganya tidak sok. Tetapi bila sapaan itu kasar, secara psikologi baik pasien maupun keluarga terganggu dan bisa semakin sakit. Ini soal hal yang sederhana, tetapi ternyata yang sederhana pun masih sulit untuk dilakukan. Maka lengkaplah penderitaan anak bangsa; di persaingan ekonomi terhimpit, di birokrasi tertindas, di parlemen tertindih, atau inikah new barbarisme itu? Ada baiknya, layanan publik ditingkatkan sekurang-kurangnya tidak membuat publik jengkel. Ada pendelegasian pekerjaan yang pasti dari atasan ke bawahan. Sehingga bawahan inovatif dan tidak menutupi ketidakmampuannya dalam hal melayani publik dengan menuduhkan semua pekerjaan kepada atasannya. Begitu pula publik harus memahami bila sesuatu hal yang tidak bisa dilakukan bawahannya karena hal dimaksud bukan domain bawahan. Tetapi lihatlah di instansi, saat warga masuk ke ruang tamu, sejumlah wajah resepsionis kurang santun dan menyerangap begitu saja tanpa beban. Terutama, tamu-tamu dari sisi performance tidak menampilkan visual yang berpendidikan dan tak kaya pula. Padahal, orang-orang serupa ini banyak populasinya yang tidak mengerti bahwa dirinya seolah-olah dianggap ada pada saat pemilukada. Salam dari kelompok musik Noah kepada birokrat yang membuat rumit hal yang mudah; cobalah mengerti! =

ant/wahyu putro a

PEMERIKSAAN DIRUT PERTAMINA. Dirut Pertamina Karen Agustiawan berjalan menuju ruang tunggu setibanya di KPK, Jakarta, Kamis (7/11). Karen diperiksa sebagai saksi terkait dugaan suap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Usai diperiksa hampir 10 jam, Karen terlihat tegang dan kelelahan, saat Karen menjelaskan pemeriksaannya ke wartawan. Ucapannya pun terbatah-bata.

Korupsi Juga Sedang Marak di Kemenhut?

Messi

Kembali Cetak Gol Berita di hal 8

ICW: KPK Harus Fokus Mengungkap Skandal ini JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta supaya fokus mengusut kasus dugaan korupsi di Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Pasalnya korupsi di kementerian yang dipimpin politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan itu menjelang pemilu legislatif dan presiden serta wakil presiden (pilpres) tahun depan itu sangat marak. Desakan itu disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Human Right Watch (HRW) di Jakarta, Kamis (7/11). “Calon dalam pemilu akan mencari duit dari alam yang juga akan menimbulkan konflik. Menjelang pemilu tahun depan, mereka akan mencari uang dari sumber daya alam,” kata Wakil Direktur Program HRW Joe Saunders. Sementara anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho menambahkan, salah satu modus korupsi yang

biasa terjadi di sektor kehutanan berkaitan dengan pemberian izin pengelolaan hutan yang bermasalah. “Soal praktek SKSHH (Surat Keter-

angan Sahnya Hasil Hutan) bodong yang biasa dikeluarkan secara dokumentasi sah, tetapi secara perolehan tidak sah. Peran-peran ini bisa diambil KPK atau masyarakat sipil berkaitan informasi praktek-praktek ilegal tersebut,” papar Emerson. Dia menilai, sejauh ini KPK be-

lum maksimal dalam mengusut korupsi di sektor kehutanan. Lembaga antikorupsi itu dinilai belum menjerat semua aktor korupsi, terutama pihak korporasi. “KPK jangan hanya menjerat aktor-aktor pelaku saja, tetapi juga harus bisa menjerat korporasi,” sambungnya. Menurut catatan ICW, setidaknya ada tujuh kasus korupsi kehutanan dengan 26 tersangka yang ditangani KPK selama kurun waktu 2003-2012. Sedangkan Joe mengatakan, sejauh ini vonis terhadap pelaku korupsi kehutanan juga belum maksimal. “Tren vonis kepada pelaku penjahat kehutanan 60 persen bebas di pengadilan, memprihatinkan, cukong banyak lari keluar negeri,” ujarnya. Dia juga mengatakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp 22 triliun pada 2011 akibat penyelewengan di sektor kehutanan. Kerugian itu muncul dari pajak yang tidak tertagih karena pembalakan liar dan subsidi yang tidak resmi. Angka kerugian ini didapat dalam kurun waktu setahun setelah sistem legalitas kayu diwajibkan bagi semua pelaku industri. (gam/aji)

JELANG PEMILU 2014

KPU Sudah Miliki Data NIK dari 3,2 Juta Pemilih Bermasalah Burung Suatu hari Matrahem pergi ke sebuah toko hewan peliharaan untuk membeli burung Parkit Milik Matrawi. Matrahem : Berapa harga yang kuning? Matrawi : Yang Kuning 2 juta pak Matrahem : Kok Mahal Banget? Apa istimewanya? Matrawi : Burung Parkit ini adalah salah satu yang sangat istimewa. Dia tahu ketikan dan dapat mengetik sangat cepat. Matrahem : Kalau yang hijau? Matrawi : Itu harganya 5 juta Pak, Matrahem : Loh Kok tambah mahal, emang dia bisa apa? Matrawi : Karena ia tahu ketikan dan dapat menjawab panggilan telepon masuk dan mengambil catatan.’’ Matrahem : Bagaimana dengan yang merah Matrawi : itu 10 juta Pak, Matrahem : Bisa apa lagi dia? Matrawi : Dia gak bisa apa-apa pak. Matrahem : Gak bisa apa-apa kok lebih mahal dari yang 2 tadi kenapa? Matrawi : Karena yang 2 tadi memanggilnya boss pak Matrahem : ????? Cak Munali

JAKARTA- Komisi Pemilihan Umum berhasil mencari padanan data terhadap 3,2 juta dari 10,4 juta pemilih yang data kependudukannya bermasalah, kata Komisioner Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Jakarta, Kamis. “Sejak 23 Oktober (penundaan penetapan DPT secara nasional) kami sudah menemukan 3,2 juta pemilih. Angka tersebut tidak kami umumkan pada saat rekapitulasi pada 4 November karena saat itu kami baru mendapat proses rekapitulasinya,” kata Ferry ketika ditemui di Gedung KPU Pusat. Perolehan angka pembersihan pemilih tersebut, lanjut Ferry, ditemukan dari sejumlah daerah antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Gorontalo, Jawa Barat dan Papua, dengan total 3.213.558 pemilih. Menurut dia, data pemilih tersebut dilakukan pemeriksaan langsung ke lapangan dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil (Disdukcapil) bersama petugas panitia pemungutan suara (PPS).

Sebelumnya, KPU telah menetapkan sebanyak 186 juta pemilih terdaftar dalam DPT, yang 10,4 juta di antaranya ditemukan masih belum tercatat dalam daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) sebagai basis pemutakhiran pemilih. Komisioner Hadar Nafis Gumay menjelaskan temuan KPU terhadap

10,4 juta data tersebut antara lain disebabkan oleh pemilih yang tidak mengetahui NIK mereka. “Jadi itu bukan karena belum punya (NIK), tapi mereka tidak tahu NIK mereka sehingga tidak diberitahukan kepada petugas (Pantarlih) kami ketika pemutakhiran,” kata Hadar. Namun, lanjut dia, tidak dapat di-

mungkiri bahwa masih ada pula pemilih yang memang tidak memiliki NIK. Persoalan pemilih terkait NIK tidak hanya pemilih yang belum memiliki NIK sama sekali. Tetapi sebagian pemilih telah memiliki NIK, hanya saja terjadi kesalahan teknis saat memasukkan dalam Sistem Informasi Daftar Pemilih (sidalih). Penyebab lain tidak terdeteksinya pemilih dalam data kependudukan adalah adanya pencatatan tidak lengkap yang disebabkan penduduk tidak menghafal nomor induk kependudukan mereka. “Seperti orang di penjara atau lapas, itu saya yakin mereka pasti punya NIK tetapi dokumen terkait itu sedang tidak dia pegang ketika petugas kami melakukan pemutakhiran,” kata Hadar di Jakarta, Selasa. Petugas panitia pendaftaran pemilih (Pantarlih) hanya bertemu dengan kepala lembaga permasyarakatan (kalapas) ketika pemutakhiran. Selain di penjara, lanjut Hadar, temuan juga terjadi di asrama, pondok pesantren dan rumah kos tempat pelajar dari luar kota tinggal. (ant/ fran/beth)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.