1
JUMAT 27 SEPTEMBER 2013 NO.0208 | TAHUN II Koran Madura
JUMAT
27 SEPTEMBER 2013
AS Roma Tetap Sempurna
Berita di hal 16
g PAMANGGHI
Kedaulatan Oleh : Abrari Alzael
Wartawan Senior di Madura
Di awal reformasi, tokoh bangsa tidak memiliki konsep yang jelas tentang negeri. Target utama saat itu hanya bagaimana Soeharto bisa jatuh. Begitu Soeharto lengser keprabon, semua tokoh masih menerka-nerka konsep negara apa yang pantas untuk republik ini. Amien Rais ketika itu menggulirkan negara federal. Kemudian yang lain tetap menghendaki sentralistik. Sampai kemudian ditemukan konsep otonomi daerah. Otonomi daerah seperti apa, gamang juga para tokoh ketika itu. Sampai akhirnya, otonomi daerah diberikan pusat hingga daerah dengan melahirkan UU 22/1999 tentang otonomi daerah. Kepala daerah pasca direalisasikannya undang-undang ini dianggap sebagai “raja kecil” di daerahnya. Dari sisi ini, pelimpahan wewenang yang semula terpusat dan mendaerah, memunculkan pergolakan. Bupati/wali kota merasa paling berhak atas daerahnya yang menempatkan posisinya sebagai penguasa. Model pelimpahan yang sampai ke tingkat kabupaten/kota ini mengakibatkan negeri ini melampaui Amerika. Di negeri Paman Sam pendelegasian wewenang hanya sampai pada gubernur. Dus, UU 22/1999 itu akhirnya disempurnakan melalui UU 32/2004 karena undang-undang otonomi daerah di tahun 1999 dirasa tidak nyaman dan selalu mempertentangkan daerah dan pusat. Seolah-olah, ada negara kecil di dalam negara besar bernama republik. Pasca otonomi daerah ini pun melahirkan pertentangan karena daerah merasa hanya jadi ampas setelah saripati sumber daya alam daerah dikeruk pusat. Sementara begitu sampai di pusat, agak sulit keluar untuk daeNegara harus rah penghasil dengan alasan membuat formal-yuridis bahwa bumi, regulasi air dan kekayaan alam lainnya baru dengan negara dipergunakan mengembalikan dikuasai sepenuhnya untuk kemakmukonstruksi ran rakyat. Faktanya, hanya politik kepada untuk sebagian yang diangbabak awal gap rakyat. Bahkan, bumi dan kekayaan alam lainnya saat ini tidak lagi dikuasai negara tetapi asing. Seorang kawan dalam sebuah tulisan berkelakar. Mulai dari minum air sejak bangun tidur, warga republik membeli air kemasan di mana 74% sahamnya milik Danone, Perancis. Lalu air itu dipanaskan dan membuat teh yang 100% sahamnya milik Unilever, Inggris. Atau sekedar minum susu yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda. Kemudian sarapan dengan beras impor dari Thailand lalu merokok yang 97% sahamnya milik Philip Morris, USA. Untuk selanjutnya, keluar rumah naik motor maupun mobil buatan Jepang, Cina, India, Eropa, tinggal pilih. Kenyataan ini menjadi tanda bahwa negeri ini tak lagi berdaulat. Satu-satunya yang masih asli indonesia hari ini, barangkali hanya koruptor! Begitu juga dari aspek politik, pemilu di republik ini sangat lucu karena mengalami pergeseran makna. Sebagian besar warga tidak melihat siapa yang duduk sebagai calon melainkan memandang apa yang dibawa calon. Bahkan, warga republik sangat arogan dengan mengancam tidak akan datang ke TPS jika sesuatu yng diharapkan tidak dibawa calon. Ini jelas fenomena warga republiken yang sakit. Negara harus membuat regulasi baru dengan mengembalikan konstruksi politik kepada babak awal. Misalnya, pemilihan presiden, gubernur, dan kepala daerah dipilih parlemen. Sebab, fakta menunjukkan hasil pemilihan langsung tidak menjamin calon yang terpilih lebih baik. Cost politik yang lebih besar itu sudah bisa dipastikan. Negara harus bertindak dan tidak boleh terjadi pembiaran atas apapaun yang tidak layak terjadi di republik ini. =
JURUSAN TEKNIK Suatu siang saat Matrawi pulang dari kampus, Bis yang ditumpanginya penuh hingga ia harus berdiri dan bedesakan dengan penumpang lain. Seorang mahasiswi yang kebetulan ada di depannya ia sapa. Matrawi : Kuliah di jurusan kedokteran ya Dek? Gadis : Iya, abang kok tahu??? Matrawi : Dari cara berpakain dan dandanamu, keliatan. Gadis : Hmm.. Kalo sampean, kuliah di jurusan Teknik mesin ya bang? Matrawi : Kok tahu? Gadis : Lha ini, dongkraknya rupanya kebawa di saku celana bagian depan sampean. Cak Munali
ant/andika wahyu
PECI GUS DUR UNTUK JOKOWI. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kedua kanan) dan Direktur The Wahid Institute, Zanubah Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid (kanan) meracik soto Kudus pada peringatan HUT ke-9 The Wahid Institute di Jakarta, Kamis (26/9). Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menjadi pembicara utama mendapat hadiah berupa peci khas Gus Dur yang diberikan langsung oleh Shinta Nurriyah Wahid.
Ada Asmara Ayu-Fathanah? JAKARTA- Terdakwa suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang Ahmad Fathanah, mengakui ia memberikan sejumlah uang untuk mengijon artis Khadijah Azhari alias Ayu Azhari untuk acara pemilihan kepada daerah (pilkada). “Saya lihat ada potensi untuk mengijon ke beliau (Ayu Azhari) untuk hubungan silatuhrahmi, ini ‘agreement gentleman’ saja,” kata Fathanah seusai mendengarkan kesaksian Ayu dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis. Ayu mengaku bahwa ia pernah menerima uang 1000 dolar AS, 800 ribu dolar AS dan Rp20 juta sebagai tanda kerja sama awal supaya Ayu mengisi acara pilkada di sejumlah tempat. “Pertama saya bertemu di Plaza Indonesia saat saya sedang belanja, saya dipanggil oleh teman dan diajak berkenalan dengan beliau di satu ‘coffee shop’, itu November atau Desember tahun lalu,” ungkap Ayu.
Menurut Ayu, Fathanah mengaku pengusaha di bidang hiburan masyarakat untuk pilkada dan sosialisasi, sehingga ingin melibatkan Ayu. “Dia mengenalkan diri sebagai ustaz dari Arab Saudi dan mengurus acara PKS di beberapa kota,” tambah Fathanah. Pilkada yang dimaksud Ayu antara lain akan dilaksanakan di Jawa Barat, Medan dan sebagian di Sulawesi. “Belum menandatangani kontrak dan deal resmi, karena biasanya kalau
sudah deal harga akan memberikan down-payment 50 persen, tapi dia (Fathanah) akhirnya baru memberikan 800 dolar AS,” jelas Ayu. Selain itu Ayu juga mengakui menerima sejumlah uang dan bahkan ditransfer ke rekening anaknya. Bantah ada Hubungan Asmara Saat ditanya soal hubungannya dengan Fathanah, Ayu berkelit ada Asmara antara dirinya dengan pria yang duduga sangat dekat dengan
BERITA
KONFLIK SUNNI-SYI’AH
Piagam Rekonsiliasi Direkayasa SAMPANG - Sejumlah kiai dan warga Desa Blu’uran dan Karang Gayam berkumpul di Pondok Pesantren Darul Ulum, Desa Gersempal Kecamatan Omben, Kamis (26/9). Pertemuan tersebut untuk menanggapi penandatanganan kesepakatan damai antara pengungsi dengan warga dua desa tersebut. Dalam pertemuan yang dimpimpin KH Ali Karrar tersebut terungkap, warga dari dua desa mengaku tidak tahu dengan isi surat perdamaian yang ditanda tangani. Bahkan, nama-nama yang berada dalam daftar tersebut kebanyakan bukan dari warga Kecamatan Omben. H. Bahri, warga Desa Blu’uran yang menandatangani surat perdamaian beberapa waktu lalu, dihadapan kiai dan pemerintah, mengatakan, beberapa waktu lalu dirinya ke Kota Surabaya untuk menemui familinya. Dan ketika di Surabaya bertemu dengan Moh Jahro dan dia-
para petinggi PKS itu. “Kalau hubungan asmara tidak, kalau saya sebagai artis biasa memfolow up pekerjaan dengan bahasa yang merayu-rayu dan mendesah,” tambah Ayu saat jaksa penuntut umum KPK meminta agar dapat memutar rekaman percakapan Ayu dan Fathanah. Tapi majelis hakim tidak meluluskan permintaan jaksa tersebut karena dianggap tidak relevan dengan kasus. Dalam perkara ini Fathanah didakwa berdasarkan pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar tentang orang yang menyamarkan harta kekayaannya. Fathanah juga didakwa menerima uang yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana berdasarkan pasal 5 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp1 miliar karena dianggap menerima bersama-sama dengan Luthfi pemberian mencapai Rp35,4 miliar. (ant/des/beth)
jak menemui pengungsi yang berada di Puspa Agro Sidoarjo. Dia sempat menolak ajakan tersebut. Karena dijamin tidak akan terjadi apa-apa maka dia mengikuti. Sesampainya di Puspa Agro Sidoarjo, Bahri mengaku langsung dipeluk oleh pengungsi dan diminta
untuk menandatangani sebuah dokumen yang tidak diketahui isinya. Setelah membubuhkan tanda tangan, dirinya diminta untuk berdoa bersama dengan pengungsi agar bisa berkumpul dengan pengungsi tanpa ada perasaan dendam “Ketika saya ingin mengunjungi
TERKAIT Halaman 6
saudara saya yang berada di Surabaya, saya diajak oleh Jahra untuk mampir ke Agro dan saya menolak ajakan tersebut. Karena dijamin kalau terjadi apa-apa terhadap saya maka jaminannya adalah dia (Jahra) sendiri, sehingga saya mengikutinya dan sesampai di sana saya disuruh menandatangani yang isinya juga tidak saya ketahui,” ungkapnya. Pantauan Koran Madura, setelah menyampaikan cerita tersebut, Bahri langsung menangis histeris karena yang ia lakukan dianggap tidak sesuai dengan hatinya. Ia meminta kepada sejumlah kiai yang hadir untuk mencabut penandatanganan tersebut. KH Ali Karrar usai mendengar cerita tersebut mengaku kaget. “Yang terdata dalam daftar hadir dalam piagam perdamaian di Puspa Agro Senin (23/9) sebanyak 32 orang. Sedangkan warga yang murni dari Blu’uran dan Karang Gayam sebanyak 5 orang. Itupun mereka menyatakan tidak tahu dengan penandatanganan tersebut dan juga diajak silaturrahim,” ucapnya. (jun/mk)