Akar Pemekaran dan Prospek Pembangunan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung

Page 1

Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Akar Pemekaran dan Prospek Pembangunan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Laila Kholid Alfirdaus

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro Fitri Zakiah Staf Pemerintah Kabupaten Belitung Timur Abstrak Pemekaran wilayah merupakan bagian penting studi desentralisasi dan otonomi daerah terkait dengan pilihan independen sekelompok masyarakat untuk tetap menjadi bagian atau memisahkan diri secara mandiri dari daerah yang dahulu memiliki otoritas terhadapnya. Pembahasan menjadi serius mengingat ini bukan saja tentang hak dan pencarian keadilan tetapi juga kesiapan-kesiapan masyarakat tersebut baik dalam hal sumberdaya ekonomi maupun sumber daya manusia bagi penataan kehidupan sosial dan infrastruktur pemerintahan. Hal lain yang juga penting dalam pemekaran adalah kapital politik. Oleh karena itu, penting sekali mempertimbangkan pula tingkat kemandirian masyarakat (self-sufficiency), kohesi sosial, tingkat kepercayaan (trust), kerjasama (cooperation) dan potensi konflik. Dalam konteks Indonesia, maraknya tuntutan beberapa kelompok masyarakat untuk berdiri sendiri umumnya dipicu oleh 2 faktor. Pertama, faktor politik dimana masyarakat merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah sebelumnya, mengalami alienasi politik dan diskriminasi. Inisiatif pemekaran dimaksudkan untuk mengatasi tidak terakomodasinya kepentingan-kepentingan politik selama ini. Di samping itu, pemekaran juga untuk mengatasi persoalan distribusi kekuasaan. Propinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) adalah salah satu contoh disini. Kedua, faktor ekonomi. Inisiatif pemekaran muncul karena pemerintahan sebelumnya tidak mendistribusikan hasil sumberdaya ekonomi secara adil (masyarakat tidak memperoleh feedback yang seimbang). Kepulauan Riau adalah contoh disini. Masyarakat yang sumber daya ekonominya mapan merasa perlu berdiri sendiri untuk memastikan bahwa sumber daya ekonomi tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh mereka. Namun, bagi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung, keinginan untuk menjadi propinsi sendiri –terpisah dari Propinsi Sumatra Selatan- bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik, tetapi terutama adalah nilai historis yang mengikat di antara mereka; bahwa masyarakat Babel telah terikat oleh sejarah dan budayanya sendiri sejak awal dan oleh karena itu perlu ruang untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut. Dirunut dari alur historis, sejak zaman Belanda daerah ini telah terbentuk sebagai residen tersendiri, bernama Resindetil Bangka Belitung Onderhoregenheden, berlanjut hingga masa pendudukan Jepang, disebut dengan Bangka Beliton Ginseibu. Adapun paska kemerdekaan, terbentuk Dewan Bangka Sementara hasil bentukan Belanda dan selanjutnya menjadi negara bagian tersendiri semasa RIS, bernama Federasi Bangka Belitung dan Riau (FABERI). Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan (NKRI) pada era 1950-an, oleh pemerintahan Soekarno, Babel diserahkan kepada Propinsi Sumatra Selatan. Meski telah ada penolakan, kebijakan ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Soeharto. Di era 1970-an, keinginan itu kembali disampaikan kepada pemerintah pusat tetapi masih juga belum terealisasi. Baru, setelah era reformasi bergulir, keinginan tersebut terpenuhi dan Kepulauan Bangka Belitung berdiri sebagai Propinsi tersendiri. Penulis menyadari bahwa kajian historis terhadap pemekaran Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memang menjadi bagian penting di sini. Tetapi, bagaimanapun juga kajian lebih lanjut tentang bagaimana daerah ini dikembangkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya paska pemekaran juga tidak dapat ditinggalkan. Tulisan ini mencoba mengangkat hal tersebut untuk melihat lebih jauh apakah kebijakan pemekaran itu memang menghasilkan perubahan yang signifikan bagi masyarakat atau tidak.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 1


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Latar Belakang Bahasan mengenai pemekaran menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Sejak UU No. 22 tahun 1999 digulirkan tuntutan beberapa daerah untuk secara adminstratif berdiri sendiri sebagai propinsi, kabupaten maupun kecamatan terus berkembang. Papua, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat adalah sekian di antara banyak wilayah yang dimekarkan dan mendapat perhatian cukup luas, baik oleh masyarakat, pemerintah maupun media. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah propinsi ke-31 di NKRI yang terbentuk sebagai hasil pemekaran paska era reformasi. Propinsi ini resmi berdiri pada tanggal 9 Februari 2001 ditandai dengan pelantikan pejabat gubernur yang untuk sementara menjalankan pemerintahan daerah tersebut. Pada 22 April, gubernur dan wakil gubernur definitif disahkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 65/M tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Namun demikian, tidak banyak yang mengetahui perihal daerah ini meski sebenarnya kehidupan ekonomi, sosial dan politik di sana cukup dinamis. Untuk itu, penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memperkenalkan secara sekilas propinsi baru tersebut, sekaligus mencoba mengupas latar belakang dan proses pemekaran disertai dengan penjelasan tentang kondisi masyarakat secara ekonomi, sosial dan politik.

Konteks Geografis, Demografis dan Setting Sosial Politik Masyarakat Propinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak di antara 104’50’ BT – 109’ 30’ BT dan 0’50’ LS – 04’ 10’ LS dan merupakan gugusan pulau-pulau, berjumlah 254. Di antara ratusan pulau tersebut, Bangka dan Belitung merupakan 2 pulau terbesar sehingga gugusan ini disebut Kepulauan Bangka Belitung. Terletak di wilayah yang cukup strategis, Bangka Belitung pun memiliki beberapa keuntungan geografis. Di sebelah barat, kepulauan ini berbatasan dengan daratan timur Sumatera Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Karimata, sebelah selatan dengan Laut Jawa, dan sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina. Letaknya yang berdampingan dengan kawasan SIJORI (Singapura-Johor-Riau) sangat menguntungkan untuk dikembangkan sebagai daerah penyangga (over spill area). Hampir empat per lima wilayah ini terdiri dari lautan dengan luas 65.301 km2 (setara dengan 79,90%) dibandingkan dengan luas daratan yang mencapai 16.423,54 km2 (setara dengan 20,10%). Sampai tahun 2003, jumlah penduduk mencapai 1.000.177 jiwa terdiri dari 52 % laki-laki dan 48 % perempuan sehingga rata-rata kepadatan penduduk mencapai 57 jiwa/km2.1 Dari segi pendidikan, hampir setengah penduduk hanya tamat pendidikan menengah ke bawah (49%), sekitar 44 % tamat pendidikan menengah atas, dan 6,7

1

www.depdagri.go.id, viewed June 12, 2006

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 2


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

% adalah lulusan perguruan tinggi.2 Rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu sebab terkendalanya pembangunan di propinsi kepulauan Babel. Saat ini, pemerintah telah mengupayakan pembangunan Universitas Bangka Belitung dimana tahun ini merupakan tahun pertama penerimaan mahasiswa. Sebanyak 527 siswa berminat melanjutkan pendidikannya di UBB dengan fokus kajian pada hukum, manajemen dan perikanan. 3 Secara sosiologis, Kepulauan Bangka Belitung adalah wilayah yang cukup heterogen dimana 30 % penduduknya merupakan WNI keturunan etnis Thionghoa. Sisanya, sebagian besar berasal dari suku Jawa, Menado, Sunda, Bugis, Banten, Banjar, Palembang, Minang, Aceh, Flores, Bugis, Buton, Madura dan Maluku. Suku asli, yaitu Bangsa Melayu adalah mayoritas. Komposisi penduduk berbasis etnis ini kemudian mempengaruhi komposisi penduduk berbasis agama dimana penganut Islam berjumlah 81,83 %, Budha 8,71 %, Kong Hu Cu 5,11 %, Kristen 2,44%, Kristen Katolik 1.79%, dan Hindu 0,13%. Kondisi geografis dan demografis ini kemudian secara langsung maupun tidka langsung mempengaruhi pembentukan karakter sosial politik masyarakat Kepulauan Babel. Ragam etnis, diikuti dengan okupasi di sektor pertambangan dan perdagangan, membuat masyarakat ini terbiasa dengan karakter kehidupan yang heterogen. Etnis pendatang berhasil membaur dengan penduduk setempat melalui hubungan pekerjaan, perdagangan dan perkawinan. Meski terdapat potensi konflik, terutama di antara pendatang dan pribumi, sejauh ini heterogenitas masyarakat tidak sampai merusak kohesi sosial yang telah terbangun sekian lama. Perkembangan terakhir, partisipasi politik etnis minoritas, terutama WNI keturunan terlihat semakin menguat. Salah seorang di antara mereka berhasil menduduki jabatan bupati pada Pilkada Juni 2005 kemarin –dan ini merupakan yang pertama di Indonesia dimana etnis keturunan duduk di puncak pemerintahan lokal-, dan beberapa di antaranya berhasil terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen. Terkait dengan eksistensi etnis Thionghoa di Propinsi Babel, meski perlakuan negara terhadap etnis Thionghoa cenderung diskriminatif, tetapi hakikatnya mereka telah terbiasa hidup dalam heterogenitas sehingga mereka mampu hidup berdampingan satu sama lain. Masyarakat Cina yang masuk ke Bangka Belitung sebagian besar merupakan kelompok dialek Cina Hakka yang bekerja di sektor-sektor perkebunan dan pertambangan, disamping kelompok dialek Hokkian, Tio Ciu, Kanton, Hainan yang tersebar di daerah Indonesia lainnya.4 Konflik justru muncul di antara penduduk pendatang dan pribumi, sebagaimana

2

Menurut Gubernur, pemutakhiran data kependudukan baru dimulai pada minggu ketiga, Juni 2006 dan diperkirakan selesai pada Oktober 2006, sebagaimana dilansir Bangka Pos pada 9 Juni 2006. <www.bangka-pos.com>, viewed June 12, 2006. 3 www.bangkapos.com, viewed June 12, 2006. 4 Witanto, Edi Prabowo, Agar Pembauran Tak Sekedar Slogan <www.femina-online.com>, viewed June 12, 2006.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 3


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

dipetakan oleh Permana 5 , meliputi Bangka-Palembang, Bangka-Belitung dan Bangka-Madura. Meski potensi konflik tetap tak dapat dihindari, namun falsafah hidup "Serumpun Sebalai" yang dipegang masyarakat masih mampu menjaga harmoni sosial di antara mereka. “Serumpun Sebalai” adalah suatu bentuk etika kehidupan masyarakat Bangka Belitung yang rukun dan damai dalam hubungan kekeluargaan walaupun terdiri dari bermacam-macam etnis dan agama. Sedangkan mengenai afiliasi politik, PDIP dengan perolehan suara sebanyak 37,59 % cukup dominatif pada Pemilu 1999, disusul oleh Golkar (25%), PPP (12,09%) dan kemudian PBB (11,26%). Pada Pemilu 2004, posisi PDIP masih sama disusul oleh Golkar, PBB, PPP, PKS dan PAN. PBB dominatif di daerah Belitung, dimana tokoh sentral partai ini, Yusril Ihza Mahendra, berasal menunjukkan betapa primordialisme sebagai faktor pendorong pilihan politik masih kuat di daerah ini. 6 Sebagaimana Pilliang7, karakter pemilih tradisional masih sangat mendominasi para pemilih di Kepulauan Babel, terutama berkaitan dengan eksistensi tokoh sentral yang menjadi referensi masyarakat di dalam menentukan pilihan politiknya. Menurut beberapa pengamat, beberapa bagian masyarakat Babel juga memiliki tipe yang sangat pragmatis. Meskipun mayoritas dari mereka memeluk agama Islam, tetapi didalam menentukan pilihan politiknya, ideologi dapat dikatakan tidak terlalu dianggap penting. Bagi mereka, selama partai yang ada mampu memberikan keuntungan, maka partai itulah yang akan mereka dukung. Kemenangan PDIP dan Golkar pada 2 kali pemilu paska reformasi adalah bukti bahwa di dalam pemilu yang berlaku bukanlah ideology agama tetapi kalkulasi pemenuhan kepentingan.

Pemekaran Propinsi Kepulauan Babel dalam Bingkai Historis Pemikiran umum menyebutkan bahwa ide untuk memekarkan diri di era otonomi daerah seringkali dipicu oleh ketidakpuasan, baik secara ekonomi maupun politik. Isu-isu ketimpangan, distribusi kekuasaan yang tidak merata ataupun eksploitasi sumber daya alam seringkali mewarnai gerakan masyarakat untuk memekarkan diri bahkan menjadi merdeka. Papua, Kepulauan Riau, Banten adalah contoh di sini. Tidak ada yang salah dengan pemikiran tersebut karena Heyness (1997) pun meyakinkan bahwa salah satu alasan utama pembentukan aksi sosial adalah sebagai reaksi defensif terhadap kondisi yang makin tidak dapat dibiarkan, menitikberatkan pada strategi untuk bertahan dalam jangka panjang mengenai sumber penghidupan ataupun memperkuat posisi sosial politik dari kelompok rendahan. Kelompok 5

Permana, Nurhayat Arif, “Revitalisasi lembaga Adat dalam Menyelesaikan Konflik Etnis Menghadapi Otonomi Daerah”, www.jai.or.id, viewed June 12, 2006. 6 Zakiah, Fitri, skripsi, “Perilaku memilih dan Primordialisme: Studi Kemenangan Partai Bulan Bintang di Kecamatan Manggar, Belitung Timur pada Pemilu 1999”, Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, 2004. 7 Pilliang, Indra J, 2004, Politik Lokal paska Pemilu Legislatif, www.apeksi.or.id, viewed June 13, 2006.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 4


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

rendahan disini tentu yang dimaksudkan adalah termasuk kelompok yang tersubordinasi dan marjinal. Gerakan untuk mendukung pemekaran merupakan salah satu bentuk aksi sosial yang ditujukan untuk mencapai keadilan yang lebih merata. Tetapi, masyarakat mengklaim bahwa ikatan histories dan cultural di antara mereka itulah yang menjadi factor utama. Selanjutnya, meski telah menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Selatan sejak zaman pemerintahan Soekarno, tetap saja hal ini tidak mampu menumbuhkan rasa keterikatan yang kuat di antara keduanya. Posisi dominatif masyarakat "Sumsel daratan" semakin melemahkan kohesi sosial dengan masyarakat "Sumsel kepulauan". Kenyataan ini menguatkan pandangan Huntington (1968) bahwa kecurigaan kultural di antara bangsa-bangsa yang belum memiliki perasaan saling terikat tetapi dipaksakan untuk bedampingan didalam negara dengan perbatasan yang tidak luwes, biasanya berakibat pada tidak adanya kemampuan untuk membangun struktur yang kuat dan tahan lama. Sejak awal, masyarakat sudah merasa tidak puas dengan penyatuan yang dilakukan pemerintah terhadap wilayah Sumsel dan Kepulauan Babel pada tahun 1950-an. Pasalnya, sejak tahun 1933 atas dasar stbl. 565, Karesidenan Bangka Belitung telah terbentuk sebagai satu kesatuan dengan nama Residentil Bangka Belitung Onderhoregenheden, yang terdiri dari 5 karesidenan di Pulau Bangka dan 1 karesidenan di Pulau Belitung.8 Pada zaman Jepang, kesatuan Bangka Belitung ini tak terpisahkan dan menjadi karesidenan yang disebut sebagai Bangka Beliton Ginzeibu. Selanjutnya, paska kemerdekaan oleh pemerintahan Belanda dibentuk Dewan Bangka Sementara pada 10 Desember 1946 berdasarkan stbl. 1946 nomer 38 yang kemudian resmi menjadi Dewan Bangka. Dewan Bangka yang merupakan Lembaga Pemerintahan Otonomi Tinggi mengatur dan menjalankan pemerintahan lokal di daerah Bangka dan sekitarnya. Tahun 1948 Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau tergabung dalam Federasi Bangka Belitung dan Riau (Faberi) yang merupakan satu bagian dalam RIS. Setelah RIS kembali menjadi NKRI, Faberi pun menyatu dengan NKRI. Riau kemudian berdiri sebagai propinsi di NKRI. Dengan kebijakan ini tentu saja masyarakat Bangka Belitung mengharapkan hal yang sama dari pemerintah. Tetapi, pada tanggal 22 April 1950, wilayah Bangka Belitung justru diserahkan kepada Gubernur Sumatera Selatan. Keberatan atas penyerahan tersebut mulai bermunculan sejak kebijakan ini ditetapkan. Tetapi kebijakan tetap dilanjutkan sampai pada era peralihan kekuasaan pemerintahan ke tangan Soeharto. Semasa pemerintahan Orde Baru, perjuangan untuk menjadi propinsi sendiri tetap dilanjutkan. Sekitar tahun 1970, upaya pemekaran pun digulirkan bahkan telah sampai pada tahap pembahasan RUU oleh DPR Gotong Royong.9 Namun pada masa ini pengajuan pemekaran tersebut belum dianggap sebagai sesuatu yang urgen oleh pemerintah pusat sehingga aspirasi masyarakat Bangka 8 9

www.depdagri.go.id, viewed April, 2006. Yusril Ihza Mahendra, Suara Pembaruan 1999.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 5


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Belitung masih belum bisa terpenuhi hingga genap pemerintahan Soeharto berusia 32 tahun dan dilengserkan oleh Gerakan Reformasi. Keinginan tersebut kemudian mendapatkan momen yang tepat dengan bergulirnya era reformasi yang diikuti dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah mellaui produk UU No. 22 tahun 1999. Pada tahun 2000, melalui UU No. 27 akhirnya inisiatif untuk menjadi propinsi sendiri –yang terpisah dari Propinsi Sumatera Selatan- pun terwujud. UU ini kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten di wilayah Propinsi Bangka Belitung, mencakup Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Tengah, Bangka Barat, dan Belitung Timur. Melihat alur sejarah yang amat panjang itu nyata sekali bahwa keinginan pemekaran masyarakat Babel bukan hanya merupakan bentuk gerakan "following the trends" di era reformasi dimana gerakan semata-mata didorong oleh perasaan tidak puas terhadap pemerintahan Orde Baru. Gerakan ini memiliki akar yang panjang ke belakang dimana adanya ikatan kultural, sebagai bangsa Melayu adalah sebagai pendorongnya. Perkara tentang kenyataan bahwa mereka sering terpinggirkan di tanah sendiri baik secara ekonomi dan politik dalam konteks ini menjadi factor penguat belaka.

Pemekaran dan Pergulatan Identitas Politik dan Budaya Gerakan masyarakat untuk mengajukan pemekaran seperti yang terjadi di Kepulauan Bangka Belitung, sebagaimana Kebede10, dapat dibedah dari beberapa pisau analisis. Hakekatnya, Kebede menggunakan pisau analisis ini untuk menguak masalah ketertinggalan masyarakat serta gerakan-gerakan sosial politik di Afrika yang –baginya- berakar dari konflik etnis. Ia menawarkan pemikiran beberapa ilmuan sosial politik untuk melihat masalah ini lebih jauh. Pandangan yang ditawarkan Kebede mungkin dapat juga digunakan untuk melihat fenomena gerakan atau aksi sosial di Bangka Belitung yang menuntut menjadi propinsi sendiri –terpisah dari Propinsi Sumatera Selatan. Mengapa mereka menginginkan pemekaran adlah pertanyaan yang coba dijawab di sini. Pertama, apa yang Thompson 11 sebut sebagai “primordialisme” yang diasosiasikan pada kekuatan untuk mengarahkan emosi (perasaan) dan kesetiaan seseorang menjadi sebuah komitmen terhadap sesuatu, dalam hal ini termasuk daerah, suku, dan nilai-nilai sejarah. Pandangan ini mengatakan bahwa etnisitas itu memiliki akar psiko-biolologis yang mendorong tereratkannya anggota masyarakat yang satu dengan yang lain didalam sebuah kelompok secara dekat, efektif dan solidaristik. Idiom bahwa “blood runs thicker than money”12 adalah sesuatu yang tidak dapat “dipersalahkan” ketika kemudian ikatan genealaogis dan kesukuan 10

Kebede, Messay, directing ethnicity toward modernity, “Social Theory and Practice”, Academic Research Library, Vol. 27, No. 2, april, 2001. <Proquest-online>, viewed June 10, 2006. 11 Thompsn, Richard H, Theories of Ethnicity, Greenwood Press, New York, 1999, p.63. dalam Kebede, hal. 265. 12 Van den Berghe, The ethnic phenomenon, h.243.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 6


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

memicu gerakan sosial. Ketika eksistensi komunitas kesukuan lainnya cukup mengganggu, maka identitas bersama muncul dan menguat, menghasilkan bentuk self-determination. 13 Gerakan akar rumput masyarakat Bangka Belitung untuk berdiri sendiri sebagai jawaban atas dominasi suku-suku pendatang, terutama bangsa “Sumsel daratan”, di dalam kehidupan ekonomi, politik dan pemerintahan adalah cerminan bagaimana ikatan kebangsaan, sejarah dan budaya menjadi faktor penjelas mengapa gerakan itu muncul. Meski beberapa ilmuan dapat memahami mengapa gerakan resistensi ini muncul, mereka juga mengajukan antisipasi bahwa gerakan ini akan menjebak masyarakat ke dalam pemikiran yang partikularistik. Indikasi bahwa pluralisme dan multikulturalisme yang selama ini terbangun akan tergeser oleh keinginan beberapa pihak untuk mengembalikan dominasi etnis Melayu di atas etnis-etnis yang lain, adalah sesuatu yang tak terhindarkan tetapi pada waktu yang bersamaan juga perlu diantisipasi. Pasalnya, sebagaimana van den Berghe, gerakan ini akan mendorong masyarakat dan para elit untuk bertindak nepotistik sehingga mengabaikan rambu-rambu demokrasi. Kedua adalah pandangan instrumentalis. Berbeda dengan pandangan yang pertama, kalangan instrumentalis mengasumsikan bahwa etnisitas itu pada dasarnya merupakan ekspresi kelompok-kelompok kepentingan didalam memperebutkan sumberdaya yang jumlahnya terbatas. Disebut instrumentalis karena menempatkan etnisitas sebagai konstruksi sosial yang menitikberatkan pada kesamaan karakter budaya dan bahasa dan kadang-kadang asal-muasal kekeluargaan untuk memobilisasi kelompok didalam memperebutkan sumberdayasumberdaya yang ada, baik sosial, ekonomi maupun politik.14 Namun demikian, bagi Glickman15, kompetisi ini sebenarnya tidak mesti akan menghasilkan konflik jika saja terdapat institusi yang mampu menyediakan mekanisme persaingan yang fair. Dominasi bangsa “Sumsel daratan” di dalam birokrasi, misalnya menyebabkan ketidakpuasan masyarakat sehingga memicu aksi sosial untuk mengajukan pemekaran wilayah. Mereka menganggap pemerintah pusat tidak fair karena menempatkan lebih banyak orang luar untuk mengatur pemerintahan dengan alasan bahwa masyarakat setempat kurang memiliki sumberdaya yang cukup. Pendapat ini bagi masyarakat setempat jelas merupakan sebuah paradoks karena kapan dan bagaimana masyarakat akan bisa belajar menjalankan pemerintahan jika mereka sama sekali tidak diberi ruang di sana sementara itu di sisi yang lain, pada saat yang sama pemerintah juga tidak cukup menyediakan akses dan kesempatan untuk meningkatkan sumberdaya manusia, misalnya melalui fasilitas pendidikan yang cukup. Oleh karena itu, pemekaran adalah salah stau pilihan yang diajukan masyarakat Kepulauan Babel untuk mengatasi persoalan ini. 13

Kebede, op. cit, h. 267. Ibid, h. 268. 15 Glickman, Harvey, “Conclusion: Managing Democratic Ethnic Competition”, dalam Harvey Glickman (ed.), Ethnic Conflict and Democratization in Africa (Atlanta: The African Studies association Press, 1995), h. 401. 14

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 7


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Ketika SDA lebih banyak terserap ke atas, juga posisi-posisi penting pada aras sosial, politik dan pemerintahan lebih banyak diisi oleh orang-orang yang bukan berasal dari penduduk setempat, maka berdiri sendiri adalah salah satu pilihan penting. Namun demikian, isu distribusi sumber daya ekonomi dan politik bukanlah satu-staunya satu pemicu keinginan masyarakat Kepulauan Babel untuk menjadi propinsi sendiri, karena kenyataannya ada hal lain yang lebih mendasar. Siswanto menyatakan bahwa penghargaan atas nilai-nilai historis dan kultural-lah yang merupakan alasan utama mereka.16 Secara kultural mereka tidak pernah merasa menjadi bagian dari masyarakat Sumatera Selatan “daratan”. Mereka memiliki nilai dan tradisinya sendiri, yang berakar dari bangsa Melayu. Bagi mereka, secara kultural mereka lebih dekat dengan adat dan budaya Bangsa Malaysia, terutama Johor dan sekitarnya. Secara historis dan kultural mereka merasa memiliki ikatan sebagai kesatuan yang sama tetapi merasa tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan nilai-nilai mereka sendiri. Menjadi subordinat “yang lain” secara administraif di wilayah sendiri bagi mereka ternyata memberikan pengaruh terhadap berkurangnya keleluasaan untuk berkembang secara kultural, dan selanjutnya meluas pada sektor ekonomi dan politik.

Membangun Daerah Paska Pemekaran Ketika aspirasi pemekaran telah terpenuhi, tentu saja semua pekerjaan tidak selesai di sini. Ada hal yang lebih besar yang mesti diupayakan dari sekedar menjadi propinsi sendiri, yaitu membangun masyarakat. Menjadi propinsi sendiri, sejatinya hanyalah jembatan bagi pembangunan masyarakat yang sebenarnya. Bagian berikut berupaya mengupas sekilas tentang kondisi kehidupan masyarakat di sektor ekonomi, sosial dan politik.

Pembangunan di Sektor Ekonomi a. Pertambangan Selama beratus-ratus tahun, timah menjadi andalan utama masyarakat Kepulauan Babel. Penambangan timah di Belitung telah dimulai sejak tahun 1852 oleh perusahaan Belanda bernama Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton 17 . Keberadaan timah yang potensial ini juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat dimana kemudian daerah ini banyak didatangi oleh penambangpenambang dari luar daerah, luar pulau bahkan luar negara. Akibatnya, Bangka Belitung pun menjadi daerah yang cukup heterogen secara etnis karena terdiri dari suku Cina, Jawa, Madura, Menado dan suku-suku yang lain. 30 persen. Berikut adalah tabel produksi timah di Kepulauan Babel.

16 17

Siswanto, Joko, dalam Sri Wijaya Post online, edisi 10 Juni 2002, viewed May, 2006. www.kompas.com

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 8


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Table 1. Produksi pertambangan timah Produksi (per Thn) Komoditi

Satuan 2001

2002

2003

Biji Timah

Ton Sn

56349

81892

65740

Logam Timah

Metric Ton

45053

61431

60096

Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu masa kejayaan timah telah hampir berakhir. Cadangan timah yang mulai menipis bahkan menyebabkan unit Penambangan Timah Belitung resmi ditutup oleh PT. Timah pada 29 April 1991. Masyarakat lebih banyak mengembangkan pertambangan konvensional, atau yang disebut dengan TI (Tambang Inkonvensional). Menyadari bahwa pertambangan timah saat ini tidak lagi bias diandalkan sebagai sumber pendapatan yang utama, maka pemerintah dan maka pemerintah dan masyarakat memanfaatkan hasil tambang yang lain. Di Belitung Timur, pertambangan kaolin, batu granit dan pasir kuarsa memiliki potensi yang besar. Namun pembangunan di sektor ini mengalami kendala karena kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki. Oleh karena itu, masyarakat mengalami kesulitan untuk mengembangkan dan memasarkan produk dari hasil tambang ini ke luar daerah, terutama ke Jawa –sebagai target market paling strategis. Tabel 2. Produksi bahan galian C Propinsi Kepulauan Bangka Belitung 1999 Jenis bahan galian (m3)

Kabupaten/kota Bangka

Belitung

Jumlah Pangkal Pinang

1. Kaolin

11.948

27.957

-

39.905

2. Pasir kuarsa

47.550

72.270

-

119.802

191

19.423

-

19.614

-

18.000

-

19.000

87.000

16.600

-

103.680

-

-

-

-

3. Batu granit 4. Tanah liat 5. Pasir bangunan 6. Batu koral

Sumber: Renstra Prop. Kep. Babel 2002-2006

Dengan jumlah hasil yang tidak kecil, sebagaimana terlihat dalam tabel, mestinya hasil tambang ini dapat berperan lebih besar dalam meningkatkan pendapatan daerah. Namun karena produk hasil pertambangan ini dalam bentuk jadi seringkali mengalami kerusakan –dan mencapai angka 30 persen- dalam perjalanan, beberapa pengusaha yang bergerak dalam pengolahan hasil tambang ini memilih menutup usahanya. Oleh karena itu, bahan tambang ini pun kemudian lebih banyak dikirim

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 9


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

dalam bentuk mentah ataupun setengah jadi meski dengan nilai ekonomi yang lebih rendah dan kemampuan penyerapan tenaga kerja yang tidak terlalu banyak.

a. Sektor Pertanian dan Perkebunan Sejak timah tidak lagi menjanjikan, masyarakat mulai manggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Data dari "Belitung Timur dalam Angka 2004" misalnya menyebutkan bahwa sejak tahun 2000 pertanian menjadi sektor utama daerah ini. Jika pada tahun 2000 pertambangan menyumbangkan 83.3188 M maka pertanian telah mencapai 120.715 M. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2004 dimana pertambangan dan penggalian sebagai sektor kedua menyumbangkan 162.621 M terhadap produk domestikk bruto, sedangkan pertanian menyumbangkan 196.688 M. Di sektor pertanian, hasil perikanan memberikan kontribusi terbesar dengan nilai 129.922 M disusul dengan tanaman perkebunan, terutama lada. Lada mendapat perhatian besar oleh masyarakat karena merupakan salah satu komoditas ekspor terpenting dari sektor non-timah. Lada dari Bangka Belitung mampu bersaing dengan lada dari Brazil, Malaysia dan Vietnam. Cerita kesuksesan pemekaran sendiri tak pernah lepas dari kontribusi tanaman ini. Terbakarnya ladang lada di Brazil yang diikuti dengan meningkatnya permintaan lada internasional mendorong membumbungnya harga lada dari Bangka Belitung. Dari keuntungan perdagangan lada di pasar internasional inilah, dana bagi gerakan bagi pemekaran juga diperoleh. Hingga kini, sektor ini menjadi semakin signifikan. Tahun 2001, 95 % komoditi ekspor non-timah di Bangka berasal dari tanaman lada putih, disebut dengan “Muntok White Papper� 18. Namun, angka ini sebenarnya hanya memenuhi 38,26 % kebutuhan lada dunia dibandingkan dengan potensi sebenarnya yang mencapai 129 M pertahun. Tahun 2002, perkebunan lada putih di Belitung Timur mencapai 4.248 Ha dan menghasilkan 2.075 ton.19 Dengan pencapaian ini, lada telah menjadi gantungan hidup bagi 5.365 keluarga. Tanaman lain yang cukup potensial untuk menjadi gantungan hidup masyarakat yaitu adalah kelapa sawit, cokelat, sayur mayur dan kopi. Tabel berikut menggambarkan bagaimana hasil produksi beragam jenis tanaman dan perikanan di Propinsi Kep. Babel.

18 19

Kompas, 2003 (www.kompas.com), viewed April 2006. http:/pilkada.partai-golkar.or.id, viewed April 2006.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 10


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Tabel 3. Produksi pertanian, perkebunan dan perikanan di Propinsi Kepulauan Babel tahun 2000 Kategori produksi Kabupaten /Kota Jumlah Bangka Belitung Pangkal Pinang Lada : 48.919 5.400 3.100 49.525 a. luas areal (ha) b. jumlah produksi 26.780,60 2.379 9.410 33.429 167.500 65.500 5.500 237.500 (ton) c. areal potensial (ha) Karet : 36.436 .355 52 39.843 a. luas areal (ha) b. jumlah produksi 13.260 230 9.900 23.410 260.000 7.600 4.500 340.500 c. areal potensial (ha) Kelapa sawit : 51.437 38.863 90.299 a. luas areal (ha) b. jumlah produksi 8.903 8.903 156.075 100.000 266.075 c. areal dicadangkan 275.000 125.000 400.000 d. areal potensial (ha) Hasil perkebunan lain : a. kopi 21 16 4 41 b. cengkeh 10 24 34 c. kelapa 3.193 5.228 9.530 17.951 d. cokelat 65 65 e. aren 118 206 6 320 (dalam ton) Palawija : a. jagung 2.458 456 514 3.437 b. ketela pohon 26.711 5.302 2.703 34.716 c. ubi jalar 4.389 734 774 5.897 d. kacang hijau 10 4 14 e. kacang tanah 870 102 122 1.094 f. kacang kedelai 19 19 (dalam ton) Buah-buahan & sayur : a. buah-buahan 8.440 4.401 4.779 17.620 b. sayuran 27.079 4.407 2.315 33.801 (dalam ton) Jumlah kelompok tani 427 137 99 663 Produksi perikanan 57.200 56.447,7 17.572 131.219,7 Sumber : Renstra Propinsi Kep. Babel 2002-2006. Tabel berikutnya menjelaskan bahwa hasil produksi tanaman kelapa sawit dan perikanan mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2001, 2002 dan 2003.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 11


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Tabel 4. Produksi pertanian dan perikanan tahun 2001, 2002 & 200320 a. Pertanian Tanaman Pangan Produksi Utama Tanaman Pangan Produksi (Ton/Thn) Luas area/panen No Komoditi (Ha) 2001 2002 2003 1 Ketela Pohon 1872 18130 21089 21371 2 Ubi Jalar 508 4476 4878 4205 3 Jagung 708 1112 931 2053 4 Kacang Tanah 320 313 286 312 5 Kacang Kedele 3 4 1 3 Produksi Utama Tanaman Sayur-Sayuran Produksi (Ton/Thn) Luas area/panen No Komoditi (Ha) 2001 2002 2003 1 Tesai/Sawi 385 3536 2 Timun 354 3340 3 Terung 246 2686 4 Kangkung 226 1516 5 Bayam 224 1221 b. Perkebunan Produksi Utama Buah-buahan Produksi (Ton/Thn) Luas area/panen No Komoditi (Ha) 2001 2002 2003 1 Durian 1958 11657 2 Jeruk Siam 671 10049 3 Pisang 287 5465 4 Nenas 191 4277 5 Rambutan 447 2736 Produksi Utama Perkebunan Produksi (Ton/Thn) Luas area/panen No Komoditi (Ha) 2001 2002 2003 1 Kelapa Sawit 107070 314506 1158315 1390882 2 Lada 60752 27566 3 Karet 39485 14434 4 Kelapa 14842 7377 5 Aren 542 97 c. Perikanan Produksi (Ton/Thn) No Bidang Usaha/Komoditi 2001 2002 2003 1Perikanan Laut 103051 136526 143897 Sumber : Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam Angka tahun 2003 Jenis tanaman untuk dikembangkan. menghasilkan Crude perkebunan didirikan

20

karet, coklat, cengkeh memiliki potensi yang sangat bagus Bahkan, di propinsi ini telah berdiri 5 (lima) pabrik yang Palm Oil (CPO), dan untuk mengembangkan indsutir Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Adapun untuk

. www. regionalinvestment.com, viewed June, 13, 2006.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 12


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

tanaman pangan dan holtikultura, daerah ini masih banyak bergantung pada pasokan daerah luar. 21

b. Perdagangan dan Pariwisata Sektor yang juga tengah berkembang di Babel saat ini adalah perdagangan dan pariwisata. Posisi sebagai daerah kepulauan yang dekat dengan perbatasan negara lain adalah modal yang strategis bagi masyarakat Bangka Belitnug. Tahun 2004 pertumbuhan ekonomi di bidang perdagangan, hotel dan restoran mencapai 4,7 persen. Pesatnya pertumbuhan di sektor ini sangat erat kaitannya dengan dukungan dari sektor pengangkutan (transportasi udara) dan komunikasi. Sektor pengangkutan dan komunikasi bahkan mencapai angka pertumbuhan tertinggi dibandingkan sektor-sektor yang lain yaitu sebesar 8,33 %.22 Posisinya yang berbatasan dengan Malaysia, mencakup daerah Selangor, Johar dan Malaka mendukung potensi pariwisata dari sisi pulau, pasir dan pantai23. Menurut Gubernur, setelah Babel menjadi propinsi sendiri, masyarakat pun memiliki keleluasaan untuk mengembangkan potensi pariwisatanya. 24 Dahulu, ketika masih menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Selatan, keuntungan dari sektor pariwisata lebih banyak diserap oleh Propinsi dan masyarakat tidak bisa berbuat banyak bagi pengembangan daerahnya.

Pembangunan di Sektor Sosial dan Politik a. Problem “Daerah Baru” Pemekaran di Babel memang berjalan tanpa diwarnai gejolak yang “berarti” sebagaimana yang terjadi di daerah lain. Namun demikian, bukan berarti semua proses setelah menjadi propinsi berjalan tanpa masalah. Justru dinamika social dan politik banyak mewarnai daerah yang “baru lahir”. Di satu sisi, paska pemekaran masyarakat Babel memang berhasil menyelenggarakan Pilkada di beberapa kabupaten dengan sukses. Tetapi, disisi lain, ada beberapa masalah penting yang harus segera ditangani, beberapa diantaranya merupakan hasil investigasi DPD RI Dapil Propinsi Kepulauan Babel pada Agustus 2005, mencakup : 1. Sengketa antar daerah, misalnya antara Kabupaten Bagka yang lama dengan Kabupaten Bangka Tengah dalam hal pengelolaan airport. 2. Pengelolaan sumberdaya daerah, mencakup kepulauan, royalti timah dan penambangan liar. 3. Penyelundupan pasir timah ke Malaysia dan Singapura oleh para penambang liar.

21

Renstra Prop. Kep. Babel 2002-2006. Kabupaten Belitung Timur dalam Angka 2004. 23 www.suarakarya-online.com 24 www.bangkapos.com 22

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 13


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

4. Saling lempar tanggung jawab antara perusahaan timah dengan masyarakat setempat berkaitan dengan pengelolaan kolong-kolong bekas penambangan timah. Pemetaan masalah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah setidaknya menjadi langkah penting bagi awal penyelesaian masalah. DPD selanjutnya meneruskan informasi ini kepada pemerintah pusat untuk berkoordinasi dan menyusun penyelesaian.

b. Geliat Kehidupan Sosial dan Politik: Lemahnya Asosiasi Masyarakat pada Tingkat Lokal Kesadaran terhadap konsolidasi sosial melalui pembentukan asosiasiasososiasi masyarakat yang independen dan non-profit oriented masih memerlukan penguatan. Menurut salah seorang penduduk setempat, masyarakat tidak terlalu memiliki kepedulian terhadap pengorganiasian semacam ini. Di satu sisi, eksistensi organisasi sosial seperti NU dan Muhammadiyah juga tidak banyak berperan. Beberapa waktu ini, Muhammadiyah memang berhasil mengadakan musyawarah daerah. Tetapi, bagaimana organisasi ini berperan di masyarakat masih belum terasakan geregetnya. Ditanya tentang organisasi ini, salah seorang penduduk menjelaskan bahwa keduanya hanya popular di Jawa, tidak di Bangka Belitung. Dengan demikian, kedua organisasi tersebut belum banyak diperhitungkan sebagai korporasi yang signifikan dalam proses pembuatan keputusan. Afiliasi politik dua organisasi ini juga tidak mengkristal karena skope gerakan mereka lebih bersifat social dan agama. Demikian juga dengan keberadaan lembaga adat. Pembentukan lembaga ini berdasarkan Perda No. 15 tahun 2000 ditujukan untuk mengusahakan kelestarian, pembinaan, pengembangan dan pemberdayaan adat istiadat. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab terhadap urusan adat-istiadat serta membantu pemerintah berkaitan dengan persoalan adat setempat. Sayangnya, lembaga ini tidak berfungsi secara maksimal sehingga kemudian tidak banyak memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat. Lebih dari itu, LSM juga tidak mempunyai basis gerakan yang kuat. Karena kehidupan organisasi serta kontinuitas aksi tergantung pada beberapa personil, berorientasi pada proyek dan bahkan beberapa orang mempertanyakan motivasi darsikap oposisi yang mereka munculkan. Akibatnya, eksistensi lembaga-lembaga independen semavam ini, yang secara normatif diharapkan dapat membantu memberdayakan masyarakat setempat belum dapat diandalkan. Kelemahan dari sisi finansial, juga sumberdaya manusia menjadi factor penjelas mengapa LSM-LSM di Babel belum dapat dirasakan kontribusinya meskipun permasalahan yang perlu diadvokasi sebenarnya cukup banyak. Isu konflik etnis, minoritas, eksploitasi SDA, dampak lingkungan, kesehatan maupun isu pendidikan akhirnya belum banyak mendapat perhatian. Pers pun belum mampu bicara banyak karena belum mempunyai warna yang jelas. Karena itulah pendidikan politik melalui media massa belum dapat

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik� 14


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

maksimal. Lebih sering kosongnya kolom politik dan opini di surat kabar mencerminkan bahwa respn masyarakat masih rendah terhadap perkembangan politik dan penyelenggaraan pemerintahan, disamping juga menjadi indikasi bahwa pemanfaatan pers sebagai media penyalur aspirasi, kritik dan usul belum optimal. Dari hasil interview dengan salah seorang tokoh masyarakat dapat disimpulkan bahwa pers masih terlalu berhati-hati di dalam membuat berita dan analisis tentang penyelenggaraan pemerintahan Bangka Belitung. Oleh karena itu, peran sebagai lembaga kontrol masih jauh dari yang diharapkan. Beberapa poin di atas mengindikasikan bahwa asosiasi masyarakat sebagai prasyarat eksisnya civil society masih lemah. Hal ini menyebabkan agregasi dan penyaluran kepentingan dari grass root menjadi tersendat.

Kesimpulan dan Rekomendasi a. Kesimpulan Babel pada dasarnya merupakan daerah yang potensial secara ekonomi meskipun ladang timahnya saat ini tidak lagi menjanjikan. Pembukaan lahan pertanian dan perkebunan setidaknya akan dapat mengubah karakter masyarakat yang semula “tergantung pada anugerah alam” untuk menjadi lebih produktif. Meski beberapa pihak menilai bahwa berkurangnya lahan timah akan mempengaruhi kesiapan masyarakat membangun daerahnya, setidaknya ke depan tetap ada perubahan positif yang bisa dicapai. Karakter masyarakat “penambang” sebagaimana masyarakat “nelayan” yang identik dengan idiom “tinggal terima atau tinggal ambil” pelan-pelan akan berubah menuju pola pikir yang lebih kreatif dan produktif. Dalam hal industri, investasi masih mebgalami kesulitan karena adanya hambatan birokratis, terutama dalam hal perijinan. Secara sosial dan politik, heteroginas masyarakat sebenarnya dapat menjadi modal untuk membangun karakter masyarakat yang lebih terbuka. Sayangnya, pendidikan politik yang ditanamkan oleh pemerintah cenderung mengarah pada penciptaan jarak dengan etnis minoritas. Pendidikan politik juga belum berhasil menciptakan masyarakat untuk menjadi pemilih rasional, tetapi justru menjadi pragmatis. Ada banyak hal yang mesti dipersiapkan untuk memperkuat basis civil society dan demokrasi pada tingkat masyarakat. Sayangnya, eksistensi institusi social seperi lembaga adapt dan LSM belum berfungsi secara optimal disini.

b. Rekomendasi Mengingat beberapa hal diatas kiranya perlu dilakukan beberapa hal. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengembangkan sektor produktif disamping tetap memanfaatkan kekayaan mineral yang ada. Di sisi lain, untuk mengakomodasi arus investasi, perlu dilakukan deregulasi dan debirokratisasi. Posisinya sebagai daerah gugusan pulau sangat strategis bagi jalur perdagangan, industri dan pariwisata.

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 15


Percik – Ford Foundation, Salatiga, 11-14 Juli

2006

Dalam hal membangun kehidupan sosial politik, perlu dibangun konsensus antar elemen masyarakat mengingat komposisi sosial yang cukup heterogen di sana. Primordialisme sempit akan merugikan masyarakat karena tidak mendukung modernisasi dan cenderung sektarian. Pemerintah, disamping mesti memicu berfungsinya institusi-institusi sosial juga mesti mampu memanajemen konflik secara efektif dengan memanfaatkan forum warga.

Referensi Glickman, Harvey, “Conclusion: Managing Democratic Ethnic Competition”, dalam Harvey Glickman (ed.), Ethnic Conflict and Democratization in Africa (Atlanta: The African Studies association Press, 1995). http:/pilkada.partai-golkar.or.id Kabupaten Belitung Timur dalam Angka 2004. Kebede, Messay, Directing ethnicity toward modernity, “Social Theory and Practice”, Academic Research Library, Vol. 27, No. 2, april, 2001. <Proquestonline>. Witanto, Edi Prabowo, Agar Pembauran Tak Sekedar Slogan <www.feminaonline.com>, viewed June 12, 2006. Permana, Nurhayat Arif, “Revitalisasi lembaga Adat dalam Menyelesaikan Konflik Etnis Menghadapi Otonomi Daerah”, www.jai.or.id, viewed June 12, 2006. Pilliang, Indra J, 2004, Politik Lokal paska Pemilu Legislatif, www.apeksi.or.id. Renstra Prop. Kep. Babel 2002-2006. Thompson, Richard H, Theories of Ethnicity, Greenwood Press, New York, 1999, p.63. dalam Kebede, hal. 265. Yusril Ihza Mahendra, Suara Pembaruan 1999. Zakiah, Fitri, skripsi, “Perilaku memilih dan Primordialisme: Studi Kemenangan Partai Bulan Bintang di Kecamatan Manggar, Belitung Timur pada Pemilu 1999”, Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, 2004. www.bangka-pos.com www.depdagri.go.id www.kompas.com www. regionalinvestment.com www.suarakarya-online.com

SEMINAR INTERNASIONAL VII Dinamika Politik Lokal: Ruang untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik” 16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.