Wacana Effective Governance: Telaah Literatur

Page 1

Occasional Paper

2005

Wacana Pendukung Effective Governance: Sebuah Telaah Literatur1 Laila Kholid Alfirdaus Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro

Pengantar Governance sebagai kelanjutan studi politik dan pemerintahan telah mengalami dinamisasi yang luar biasa. Ia muncul sebagai respon dimana negara, yang mewujudkan dirinya dalam aparat-aparat pemerintahan tidak lagi memiliki kemampuan secara sendirian menjalankan fungsi memerintah –mengatur, melayani, menjaga ketertiban dan sabagainya. Aktor di luar negara –yang bersentuhan langsung dengan proses perumusan dan implementasi public policy- mulai diundang untuk turut serta dalam proses-proses tersebut. Pasar dan third sector adalah aktor yang tidak bisa dilewatkan disini. Pasar, mewujudkan perannya karena memiliki kapasitas kapital. Penjelasan keterlibatan pasar dalam governance adalah, “meski governance berbicara mengenai bagaimana menjalankan pemerintahan, konteksnya tetap sangat berbau ekonomis”. Konsep good governance adalah bukti nyata bagaimana governance menjadi instrumen paling penting bagi pasar untuk mengekspansi perannya di masyarakat, melampaui batas negara bahkan menjamah sampai ranah lokal –unit terkecil masyarakat. Tetapi, peran utama pemerintahan sebagai pelayan masyarakat yang tak terlalu tergarap melalui good governance mulai menuai kritik sehingga menggelitik beberapa pihak

1

Ditulis untuk keperluan internship riset “Deepening Democracy and Effective Governance”, Agustus-Oktober 2005, Program Local Politics and Regional Autonomy, UGM. Saran pengutipan: Alfirdaus, L., "Wacana Pendukung Effective Governance: Sebuah Telaah Literatur", Occasional Paper, 2005.

1


Occasional Paper

2005

–praktisi dan teoritisi- untuk merevisi konsep tersebut. Sektor ketiga –atau third sector, setelah negara dan pasar- mulai mendapat perhatian untuk diberikan peran yang lebih besar didalam governance. Third sector, mewujudkan perannya dalam governance untuk alasan kapasitas citizenship. Kemunculan third sector lebih berbau etis dan normatif atas nama pluralisme, partisipasi, toleransi, keadilan, dan sebagainya sehingga lebih bersifat abstrak dibandingkan dengan kapital yang dimiliki pasar yang bersifat konkret.2 Manifestasi third sektor adalah civil society dan kekuatan gelombang ketiga lainnya, muncul sebagai refleksi revolusi asosiasi global (Salamon, 1999). Kemunculannya bertujuan untuk menopang demokrasi asosiasional yang memiliki kemungkinan menggantikan demokrasi perwakilan (Barrow, 1984 Parry et al, 1992, Hirst, 1994). Upaya menampilkan peran third sektor dalam governance dapat dilihat sebagai salah satu langkah merevisi wacana good governance yang terlalu bersifat market-led supaya menjadi lebih efektif. Tulisan ini bermaksud mengurai sedikit tentang wacana governance yang coba direvisi tersebut, yang dalam konteks kepentingan kajian ini disebut dengan terminologi effective governance. Praktek-praktek governance di negara Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia, seperti Jepang dan Korea telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap bagaimana governance itu diterapkan. Pengalaman pada tataran praksis ini dikonseptualisasikan secara baik oleh para ilmuan politik yang memusatkan perhatiannya pada persoalan pemerintahan, administrasi, public policy, lingkungan, gender, dan sebagainya sehingga sangat membantu upaya pemahaman governance untuk menjadi lebih komprehensif. 2

John Casey, “Third Sector Participation in The Policy Process : a Framework for Comparative Analysis�, The Policy Press, 2004. Vol 32 no.2

2


Occasional Paper

2005 Konteks Ekonomi, Sosial dan Politik Kemunculan Governance3

Kemunculan governance secara ekonomis didorong oleh kondisi krisis keuangan yang melanda negara-negara maju pada era 1980-an dan 1990-an (Damgaard et. al, 1989). Di Eropa, terdapat Belanda dan Belgia yang mengalami kesulitan finansial akibat merosotnya pendapatan dari sektor pajak. Sebagai sektor andalan, pajak tidak lagi mampu menjadi sumber keuangan negara yang utama. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di Jepang. Negara mengalami krisis keuangan yang parah sehingga apa yang dulunya disebut sebagai ‘economic miracle’ setelah masa kemajuan industrialisasi, dampaknya tidak lagi terasa signifikan. Krisis ekonomi menyebabkan negara kehilangan sumberdaya maupun sumberdana. Krisis ekonomi di Jepang bahkan menyebabkan pemerintahnya kehilangan muka –baca : legitimasi-, ditandai dengan kekalahan LDP –sebagai partai dominan- yang tergusur oleh JSP –partai yang sejatinya berideologi sosialis- pada era 1990-an Berbagai krisis keuangan yang melanda negara-negara maju ini telah memaksa mereka untuk memikirkan kembali manajemen pemerintahan yang selama ini mereka jalankan. Mereka pun mengundang aktor privat kedalam manajemen pemeritahan meski sangat disadari bahwa hal tersebut akan berpengaruh terhadap legitimasi pemerintah. Manajemen sektor privat yang dibangun di atas nilai-nilai efisiensi dan efektivitas yang dianggap sebagai faktor penyebab sustainabilitas mereka dari waktu ke waktu coba diterapkan kedalam manajemen negara. Harapannya, manajemen privat dapat mengatasi

3

Lebih jauh lihat “Governance, Politics And State : Political Analysis” yang ditulis oleh Jon Pierre dan B. Guy Peters, Macmillan Press Ltd, London 2000.

3


Occasional Paper

2005

krisis produktivitas pelayanan yang menyebabkan keadaan inefisiensi. Masuknya aktor privat merupakan titik awal kemunculan governance. Secara sosiologis, governance muncul sebagai akibat adanya pergeseran ideologi masyarakat. Pasar, misalnya yang semula berkarakter kolektivis berubah menjadi individualis. Desakan pertumbuhan ekonomi yang cepat juga memaksa petinggi pemerintahan di Amerika dan Eropa, misalnya untuk memberikan kebebasan kreasi secara penuh kepada pasar. Pemerintah federal mulai berpikir bahwa kontrol politik dan regulasi terhadap pasar hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pemikiran Thatcher dan Reagen pada masanya. Padahal, sebelumnya Inggris dikenal sebagai negara yang tidak terlalu menyukai kebijakan otonomi. Pergeseran ideologi ini juga merembet pada cara hidup masyarakat. Tuntutan hidup yang semakin keras juga membentuk masyarakat secara pelan tetapi pasti berubah menjadi paguyuban gesselscaft (Hadenius, 2001). Mereka mengedepankan cara berpikir dan bertindak yang efektif dan efisien untuk memperkuat kapasitas sosial ekonomi tanpa harus dibebani oleh kewajiban-kewajiban sosial yang bersifat formalistik, ritual dan simbolis. Mereka adalah kalangan yang termodernisasi secara baik dan terlibat secara intensif dalam industrialisasi sehingga dapat menghasilkan kemapanan ekonomi mereka. Tetapi, tentu saja di sisi lain terdapat masyarakat tertinggal –dan sayangnya jumlah mereka lebih besar- yang tidak memiliki akses besar dalam pertarungan ekonomi. Konsekuensinya, terbentuk dikotomi masyarakat yang hidup dalam kesenjangan, tidak modern, peroleh residu juga kerugian dari pembangunan (development) dan berada dalam posisi marjinal berdampingan dengan mereka yang ‘maju’, mapan, dan memiliki pengaruh terhadap aspek ekonomi, sosial dan politik. Keberadaan masyarakat ini juga mendorong

4


Occasional Paper

2005

munculnya asosiasi-asosiasi advokatif –third sector, civil society, dan sejenisnya- sebagai bagian yang juga tidak dapat dipisahkan dari wacana governance. Sementara itu, konteks politik dan pemerintahan kemunculan governance terkait erat dengan adanya kegagalan negara untuk menjalankan fungsinya secara proporsional – beberapa berperan minus, bahkan marjinal tetapi beberapa lainnya berperan over, baik menjadi predatory maupun leviathan. Secara birokratis negara menjadi tidak efisien karena pola “big government” yang diterapkannya. Pola ini bukan saja menghambat dinamika politik internal – yang menuntut partisipasi lebih luas- tetapi juga interaksi eksternal –dalam lingkungan global. Secara internal, perubahan sosial dan meningkatnya kompleksitas masyarakat menuntut pemerintah untuk semakin terbuka. Semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat berkorelasi positif dengan semakin tingginya tingkat partisipasi politik, menyebabkan semakin berkembangnya tuntutan demokrasi. Masyarakat menuntut perubahan pola distibusi berkaitan dengan isu politik di bidang kesehatan, sosial, pajak, maupun isu lainnya. Persoalan juga semakin kompleks dengan munculnya isu lingkungan dan gender yang menuntut adanya keadilan dan transparansi. Kebangkitan New Public Management (NPM) sebagaimana Osborne dan Gaebler (1992) dijadikan ide awal untuk mengatasi kebuntuan manajerial birokrasi. Ide utama NPM adalah bahwa penyampaian dan pelayanan pemerintah mesti dibuat sama dengan mekanisme dalam pasar. Ketika ide ini dirasa tidak lagi terlalu kompatibel, ide-ide alternatif –atau komplementer- pun banyak ditawarkan. Secara eksternal, governance muncul seiring dengan semakin besarnya tuntutan masyarakat –ekonomi dan politik- global bagi keterbukaan negara. Masyarakat ekonomi

5


Occasional Paper

2005

global, seperti TNCs dan MNCs menuntut perluasan akses bagi pasaran produktif mereka serta untuk menanamkan kapital. Adapun masyarakat politik global, seperti LSM internasional datang untuk melakukan advokasi terhadap mereka yang mengalami marginalisasi. Globalisasi pun muncul untuk memangkas kontrol politik dan kedaulatan nasional secara ekonomi dan politik. Dalam perkembangannya, interaksi yang luas sebuah negara telah menyebabkannya mengikatkan diri –atau terikat- terhadap aturan main yang bersifat global. Bagaimanapun, mereka tidak dapat melepaskan diri dari hubungannya dengan organisasi-organiasi internasional. Organisasi-organisasi ini menjadi sumber-sumber baru governance, yaitu dengan semakin berpengaruhnya eksistensi mereka secara ekonomi dan politik pada tingkat regional maupun internasional seperti IMF, WTO, dsb.4

Misi Effective Governance5 Misi effective governance dapat dilihat dari kunci pemahaman governance yang terletak pada kapasitasnya untuk meliputi –mengajak serta- semua institusi beserta interrelasinya yang terbangun didalam proses memerintah (governing), mencakup proses membuat dan mengimplementasikan kebijakan. Konsep governance, dengan demikian berusaha menghubungkan sistem politik dan lingkungannya dan menjalankan interaksi secara utuh. Oleh karena itu, governance tidak bisa diartikan begitu saja melemahkan government sebagaimana dipahami masyarakat kebanyakan, tetapi sebaliknya justru merupakan 4

Thomas ,Weiss, “Governance, Good Governance, and Global Governance : Conceptual and Actual Challenges”, Third World Quarterly Journal of Emerging Areas Volume 21 No. 5 October 2000. 5 Guy Peters (2001) dengan jelas menyatakan pentingnya eksistensi negara didalam governance, dan ia berkali-kali menyebutkan didalam tulisannya bahwa bagaimanapun juga negara merupakan aktor kunci yang memiliki otoritas paling absah untuk mengambil tindakan dalam negara kapitalis –liberal- sekalipun.

6


Occasional Paper

2005

penguatan terhadapnya. Governance hanya berusaha menetralkan ‘kesakralan’ government yang selama ini tidak dapat disentuh dan diinterupsi. Penetralan kesakralan itu dilakukan melalui proses yang sifatnya transformatif –bukan destruktif. Namun demikian, dalam sistem politik governance sendiri mengalami kesulitan untuk mendefinisikan kembali sifat hubungan antara politik dan administrasi (Birch, 1982; Crozier et al, 1975; Lowi, 1979). Seringkali keduanya dipisahkan secara jauh untuk menjamin apa yang disebut sebagai ‘netralitas’ birokrasi, tetapi pada sisi yang lain mereka juga tidak dapat memisahkan keterkaitan keduanya. Bahwa policy making bukan hanya berbicara mengenai proses politik pembuatannya, tetapi berkaitan dengan support birokrasi terhadapnya. Ketidak sepakatan mengenai hubungan antara administrasi dan politik, tergambarkan dari variatifnya kebijakan negara terhadap afiliasi politik aparatusnya. Di negara seperti Indonesia, personel birokrasi dilarang terlibat secara aktif dalam politk praktis. Tetapi, di Jepang birokrasi dikuasai oleh partai dominan LDP. Kebingungan ini memang belum menemukan ketegasannya secara pasti. Yang pasti dari governance adalah bahwa ia dapat dipahami sebagai upaya pergeseran public policy dan administrasi yang tidak lagi kompatibel, terlebih lagi di negara yang masih kuat (strong state). Pergeseran ini tentu juga mendapat dukungan dari partai politik yang jelas mempunyai kepentingan disana. Melalui governance, government menjadi memiliki paradigma baru, yaitu perubahan perannya didalam masyarakat dan perubahan kapasitasnya untuk menghasilkan kepentingan kolektif di bawah hambatan-hambatan internal maupun eksternal. Inilah yang menjadi inti dari governance.

7


Occasional Paper

2005

Governance dalam Praksis dan Upaya Merekonstruksi Peran antar Aktor : Menempatkan Kembali pada Tempatnya6 Implementasi governance dijiwai oleh semangat untuk mengakhiri bentuk negara yang bersifat tirani7 dan ketidak efisienan pelayanan birokrasinya. Ketiranian negara digerus dengan instrumen politik yang mengedepankan partisipasi luas dan adil bagi warga negara. Sedangkan ketidakefisienan diatasi dengan pembenahan manajerial. Washington consensus yang dirumuskan pada tahun 1998 oleh World Bank adalah salah satu instrumen penting yang disepakatai untuk mengukur governability sebuah pemerintahan. Disana termuat prinsipprinsip good governance seperti disiplin fiskal, reformasi pajak, bunga bank yang ditentukan mekanisme pasar, liberalisasi perdagangan, keterbukaan investasi asing, privatisasi, deregulasi birokrasi, penegakan hukum dan sebagainya. Secara konseptual, ruh dari pembenahan tersebut adalah untuk membangun pemerintahan yang produktif dan akuntabel terhadap publik. Namun, ketika dijabarkan pada tataran praksis, bukannya menghasilkan efisiensi yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan tetapi sebaliknya, menjauhkan jamahan pelayanan publik dari publik itu sendiri. Di Indonesia, misalnya. Konsep governance yang maknanya sangat lekat dengan market-led policy, dimanifestasikan dalam bentuk privatisasi beberapa badan usaha milik negara yang sangat vital, seperti telekomunikasi dan transportasi. Pelimpahan pengelolaan asset publik kepada swasta, yang mengedepankan logika pasar komersial menyebabkan pelayanan publik hanya terjamah “orang-orang kaya�.

6

Lihat elengkapnya dalam Pratikno, “Good Governance dan Governability�, disampaikan dalam Dies Natalies Fisipol UGM ke-49 pada tanggal 26 September 2004, di Bulakumur, Yogyakarta. 7 Sebagaimana yang dianjurkan Tocqueville atas peran civil society.

8


Occasional Paper

2005

Beberapa prinsip yang terjabarkan dalam good governance yang kemudian coba diimplementasikan pada tataran empiris sangat kentara dengan nilai-nilai dan kepentingan pasar. Negara terpinggirkan dari tempat duduknya semula dan beberapa peran pentingnya diambil alih oleh swasta atas nama efektivitas dan efisiensi. Entah, mana yang benar. Negara dipaksa –terpaksa- dimarjinalkan dari perannya semula karena sebab kelambanan kinerjanya, atau memang marjinalisasi itu adalah pilihan sadar negara sebagai upaya mem-by pass problem keruwetan finansialnya akibat krisis yang berkepanjangan (Peters, 2001). Yang jelas, negara dan pasar sama-sama berkelindan untuk kepentingannya masing-masing dan masyarakat hanya bisa melihat dari jauh. Melihat hal ini, tentu saja ada hal yang mesti dilakukan untuk membenahi keadaan. Rekonstruksi peran adalah pilihan yang tidak bisa dihindari. Upaya rekonstruksi adalah untuk menempatkan segala sesuatu kembali pada tempatnya, antara lain melalui beberapa hal berikut : a. Memberdayakan kembali negara Governance merupakan proses transformatif, sehingga ia tidak dapat diartikan meniadakan konsep government. Artinya, wacana governance bersifat komplementer terhadap wacana government. Ide utama disini adalah bagaimanapun negara tetap diperlukan, bahkan oleh kapitalisme sekalipun karena interaksi ekonomi tetap memerlukan aturan hukum. Memberdayakan peran negara akan berarti menguatkan negara yang semula lemah, seperti kategori marginal state, atau sebaliknya menetralkan negara yang terlalu kuat (strong state) seperti leviathan state dan predatory state menuju negara yang bersifat interaktif –sebagaimana kategorisasi yang dilakukan Hedianus. b. Memberdayakan masyarakat

9


Occasional Paper

2005

Governance adalah untuk melibatkan masyarakat dalam public policy making and implementation untuk alasan bahwa mereka adalah pihak yang akan terkena secara langsung policy tersebut. Memberdayakan masyarakat berarti meningkatkan partisipasi dan inklusi beserta memberikan otonomi yang luas untuk bertindak selama masih dalam koridor hukum yang legal. Masyarakat diberdayakan untuk memiliki kapital sosial yang cukup (sebagaimana ide Putnam dan Coleman) sebagai basis keterlibatan mereka dalam proses governing, melalui kapasitas trust dan persaudaraan, serta kooperasi dan network yang kuat. c. Menetralisir pasar

welfare state, environmental transformation.

Upaya menetralisir pasar adalah untuk mengerem perannya yang terlalu ekspansif dalam ranah ekonomi dan politik. Kesempatan mesti diberikan kepada negara untuk mengatur secara proporsional dan juga masyarakat untuk menikmati otonominya atas sumberdaya yang dimiliki. Asosiasi kaum pekerja yang menuntut kesejahteraan mereka telah memaksa pemilik modal untuk memikirkan aspek sosiologis industri, disamping aspek ekonomis, sehingga melahirkan konsep welfare state. Demikian juga dengan isu lingkungan. Kerugian yang muncul sebagai ekses dari eksternalitas industrialisasi, seperti polusi, banjir dan wabah penyakit telah memaksa para pengusaha untuk memanajemen limbahnya secara profesional. Pasar dinetralisir melalui environmental transformative untuk membangun kesadaran bahwa aktivitas mereka berdampak pada pihak lain secara langung maupun tak langsung.8 Oleh karena itu, penting mempertimbangkan paradigma yang ditawarkan beberapa ilmuan bagi implementasi effective governance. Pandangan mereka didasarkan pada 8

John S. Dryzek, et. al, “Environmental Transformation of The State : The USA, Norway, Germany, and The UK�, Blakcwell Publishering Ltd, 2002. Vol 5.

10


Occasional Paper

2005

pengalaman negara-negara maju, terutama di Eropa dan Amerika. Paradigma tersebut antara lain : a. Interactive state9 Interactive state, negara berusaha bersikap aktif untuk menstimulasi keterlibatan publik dalam governing. Publik diberikan otonomi dan dibangun kapasitasnya supaya mampu memberikan alternatif-alternatif didalam perumusan kebijakan. Semakin intens diskusi dan dialog independen oleh publik, semakin memakan waktu yang lama tetapi semakin berkualitas kebijakan yang dihasilkan. Kualitas, berarti mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, terhindar dari ekses-ekses yang tidak diinginkan (konflik karena ketidakpuasan) serta memperkuat legitimasi negara (Akkerman, 2004). Belanda adalah salah satu contoh negara yang secara aktif mendorong peningkatan kapasitas citizenship masyarakatnya dalam proses governing. b. Network governance10 Network governance, berarti terjalinnya kerjasama dan jaringan antar aktor dalam governance untuk menghasilkan dan mengimplementaikan kebijakan publik. Network membayangkan jalinan antar aktor administratif dan politis, antara civil society, pasar dan negara juga antara aktor di pusat dan tingkat lokal. Individu dalam masyarakat sangat disarankan untuk memiliki identitas kolektif yang saling bertumpang tindih sebagai upaya meminimalisir sifat primordialisme. Dengan demikian, tidak akan ada dominasi maupun hegemoni oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. c. Community governance11 9

Tjitske Akkerman, maarten Hajer dan John Grin, University of masterdam, “The Interactive State : Democratization from Above ?”, Blackwell Publishing Ltd, 2004. vol 52. 10 Eva Sorensen, University of Roskilde – Denmark, “Democratic Theory and Network Governance”, Public Adminitration Theory Network, 2002. Vol 24 no. 4

11


Occasional Paper

2005

Community governance merupakan bentuk penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam governance. Artinya, ada upaya menghargai keunikan masyarakat beserta local wisdom yang dimilikinya. Berbicara mengenai penghargaan masyarakat lokal membawa konsekuensi pada terpusatnya perhatian kearah geopolitik dan local leadership. Asosiasi masyarakat lokal, network dan kapasitas citizenship menjadi bagian penting perwujudan governance berbasis komunitas. d. New Regulatory State12 New regulatory state memfokuskan perhatiannya pada pergeseran pola pengalokasian barang-barang sosial dan material yang sifatnya langsung menjadi tidak langsung. Pergeseran ini disebabkan terlibatnya aktor di luar pemerintah dalam proses delivery services. Keterlibatan agen regulatory ini, meski melampaui batas konvensional negara, tidak sampai pada taraf menjatuhkan peran eksekutif dan legislatif.

Syarat Instrumental Effective Governance13 Berdasarkan pemikiran Hadenius, terdapat dua instrumen penting yang menjadi syarat penguatan citizenship. Dua instrumen ini, sejatinya juga menjadi prekondisi bagi penguatan governability sebuah pemerintahan yang ditujukan kepada efektivitas. Keduanya adalah instrumen ekonomi sosial dan instrument institusional, dijelaskan sebagaimana berikut.

11

Peter Somerville, “Community Governance & Democracy”, The Policy Press, 2005. Vol 33 no. 1 Kanishka Jayasurya, “The New Regulatory State and Relational Capacity”, 13 Axel Hadenius, “Institutions & Democratic Citizenship”, Oxford University Press, UK, 2001. 12

12


Occasional Paper

2005 1. Ekonomi sosial

Terbangun di atas asumsi bahwa ekonomi adalah basis bagi terbangunnya sistem politik.14 Semakin mapan sebuah masyarakat, semakin matang kehidupan politiknya. Arah perubahan demokrasi ditempatkan sebagai konsekuensi dari transformasi kehidupan ekonomi dan sosial (industrialisasi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi). Masyarakat di Barat, dengan tingkat perekonomian yang mapan, berada dalam kondisi yang apresiatif terhadap perubahan sosial, memperokeh akses edukasi dan informasi yang luas. Mereka memberikan perhatian yang besar terhadap dinamika politik, meski diwujudkan dalam bentuk partisipasi yang beraneka ragam. Peran kelas menengah ekonomi dan politik pun signifikan dalam penguatan sumber daya politik massa. Dalam konflik, mereka memfasilitasi resolusi yang damai dalam lingkup pemerintahan pluralis (Lipset, 1958, Deutch, 1961, dan Inkeles 1974). Kebangkitan kapitalisme, yang meskipun di satu sisi mendorong pertumbuhan ekonomi, di sisi lain juga melahirkan kelas pekerja. Kapitalisme telah memicu lahirnya tuntutan kebebasan politik, hak untuk berasosiasi, kemerdekaan pers, dan segala sesuatu yang mendukung pluralisme politik (Hadenius 1992a). Tetapi, catatan pentingnya, kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang ditandai dengan otonomi dan keragaman, memang merupakan syarat perlu bagi demokrasi, tetapi belum menjadi syarat yang cukup (Lindblom, 1977). 2. Institusional Institusi hadir sebagai ruang relasi resiprokal lingkungan sosial. Pendekatan institusional sangat dipengaruhi oleh pandangan Tocqueville tentang asosiasi independen,

14

Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Olson, dalam kaian Pembangunan Politik.

13


Occasional Paper

2005

sehingga menempatkannya sebagai pelopor analisis pendekatan neo-institusionalis. Parameter institusional yang demokratis, mencakup : a. Memiliki pengalaman yang panjang dengan pluralisme politik. b. Adanya pemisahan kekuasaan khususnya melalui elemen desentralisasi. c. Aparat negara yang diatur dengan hukum dan peraturan. Kematangan institusional tidak dapat dibentuk dalam proses yang instan sebagaimana yang terjadi dalam negara-negara dunia ketiga. Negara-negara tersebut seperti dikejar oleh target image demokratis untuk memenuhi tuntutan masyarakat lokal dan standar global – sebagai formalitas. Proses ini cukup kentara di negara-negara Asia, seperti Indonesia, maupun negara-negara di Benua Afrika. Pematangan institusi membutuhkan proses pembelajaran yang tidak sebentar. Tocqueville menyebutnya sebagai proses learning by doing. Pendidikan politik dan sosialisasi menjadi bagian dari proses pembelajaran itu. Komunikasi menjadi kata kunci di sini sehingga semakin tinggi derajat desentralisasi, konsekuensinya semakin besar akses yang mesti diberikan pada publik (Kriesi, 1995). Struktur desentralisasi mesti dapat memperluas kesempatan, rasa tanggung jawab semua pihak, strategi konsiliatori serta pemisahan kekuasaan secara vertikal –antara lokal, regional dan pusat. Syarat lain yang mesti dipenuhi antar aktor politik adalah terbangunnya sikap trust dan resiprositas, termasuk terhadap aktor privat. Jika tidak, para aktor akan terbawa pada kecenderungan berpikir pragmatis, spekulatif dan jangka pendek. Trust dalam institusi akan memperluas trust antar personal, membawa konsekuensi dalam terbangunnya kondusivitas jangka panjang (Brehm dan Rahn, 1997, Rothstein 2000).

14


Occasional Paper

2005

‘Soft state’ –klientelisme- dengan aturan main yang tidak jelas, adalah hal yang mesti diantisipasi negara berkaitan dengan pembangunan trust ini. Lebih jauh, soft state akan mempengaruhi legitimasi politik karena membuka peluang lebih besar bagi tindakan korupsi, nepotisme dan pelanggaran kekuasaan lainnya. Negara mesti nerhati-hati karena kondisi seperti ini akan mudah menstimulasi popular trust yang lemah terhadap negara (Holmes, 1993, Della Porta dan Vannucci, 1997, Diamond, 1999). Melihat penempatan trust, toleransi, partisipasi, persaudaraan, aspirasi, kebersamaan dan nilai-nilai etis lainnya dalam governance, kemudian menjadi penting untuk merenungkan beberapa hal di bawah ini, antara lain : 1. Universalisme15 Perhatian utama governance terletak pada bagaimana sistem itu dapat mengakomodasi kepentingan bersama dengan cara yang bisa diterima oleh semua. Common good adalah terminologi yang dianggap paling representatif untuk menunjukkan komprehensitas governance, bahwa ia lebih maslahah daripada individualisme. Tetapi, persoalan ini mengundang perdebatan wacana tentang apa sebenarnya yang disebut sebagai common good atau personal good. Perdebatan ini akan membawa kita pada perbenturan wacana universalitas dan partikularitas, yang selama ini menjadi ciri utama ketegangan politik. Universalisme merupakan hasil dari konstruksi sosial yang berhasil memperoleh hegemoni dalam masyarakat, dimana yang partikularis berusaha memperoleh hegemoni. Dengan demikian, universalitas itu tidak terbentuk di ruang hampa. Adapun partikularisme merujuk pada universalisme untuk memperoleh tempat dalam konteks yang lebih luas, 15

Sorensen mengamatu hal ini cukup tajam dalam“Democratic Governance and The Changing Role of Users of Public Service�, Public Administration Theory Network, 2000. vol 24 no. 1

15


Occasional Paper

2005

bernama pluralisme. Ruang publik di-setting bebas dari kepentingan-kepentingan partikular. Institusi demokrasi itu dibentuk untuk mengatasi ketegangan antara universalisme dan partikularisme agar sesuai dengan norma-norma demokratis, yaitu keadilan politik dan kebebasan individu. 2. Perwakilan Konsep perwakilan telah menstimulasi peningkatan kompetisi antar aktor untuk mendifinisikan kebaikan bersama (common good) supaya mereka dapat berperan lebih jauh didalam sistem politik dan pemerintahan. Sistem kompetisi ini menurut Halevy (1993) akan menguntungkan demokrasi karena : a. Menghasilkan sistem checks and balances yang menghalangi elit politik untuk memonopoli, b. Mendukung keterbukaan dan ‘publikasi’ proses politik, c. Meningkatkan kualitas pemerintahan karena persaingan mendorong munculnya ideide alternatif, d. Membangun pluralitas dan menjauhkan elitisme. Dengan ini, Halevy tidak melihat otonomi elit sebagai ancaman demokrasi. Yang dilihatnya sebagai ancaman adalah hambatan bagi kompetisi koalisi antar elit itu sendiri. Sedangkan bagi Mouffe (2000), wacana koalisi –dengan ini ia menyebutnya-, membahayakan demokrasi karena menggiring pemonopolian proses perwakilan politik dimana identitas dan image komunitas politik dibentuk. Perdebatan keduanya ditanggapi Sorensen secara lunak dengan argumentasi bahwa dalam Network Governance, otonomi tidak mesti menjadi ancaman. Yang penting, usaha dalam demokrasi perwakilan tidak ditujukan untuk membatasi otonomi melainkan untuk

16


Occasional Paper

2005

menciptakan kondisi yang paling baik untuk membuka perdebatan antara elit dan sub-elit dengan mempersaingkan strategi politik dan image identitas kolektif/individu yang mereka klaim wakili. Bagi Sorensen, persaingan bebas juga bukan berarti menyempitkan ruang partisipasi warga negara. Asalkan, tersedia akses yang cukup bagi masyarakat yang berasal dari kalangan akar rumput untuk bergabung dalam elit yang sudah ada ataupun membentuk yang baru.

Tawaran Ide untuk Merealisasikan Governance Beberapa ide menarik dilansir dalam tulisan ini sebagai tawaran untuk merealisasikan governance berasal dari Sorensen dan Peters. Sorensen lebih memusatkan perhatiannya pada pemberdayaan publik (citizen) sedangkan peters konsen pada pemberdayaan negara. Pendapat mereka dijabarkan sebagaimana berikut : 1. Sorensen 16 Ide Sorensen adalah untuk memperkuat kapasitas public berkaitan dengan pelibatan dirinya didalam governance. Bahwa dalam berinteraksi, publik mesti memiliki kapasitas yang cukup supaya mampu mengimbangi peran negara dan pasar. Jika kapasitas publik masih lemah, perlu dilakukan penguatan antara lain mencakup aspek berikut : a. Dukungan akses (endowment) : individu memberikan pengaruh dan memperoleh sumber daya (pendidikan, dll), juga mempengaruhi pengambilan keputusan politik bagi kehidupan mereka,

16

Eva Sorensen, University of Roskilde – Denmark, “Democratic Theory and Network Governance�, Public Adminitration Theory Network, 2002. Vol 24 no. 4

17


Occasional Paper

2005

b. Pemberdayaan politik (empowerment) : kepercayaan diri dalam sistem untuk memperoleh pengaruh dalam proses pemerintahan, c. Identitas politik : memperluas partisipasi dan pemerintahan mandiri. Menegaskan pada garis mana masyarakat merasa terwakili. 2. B. Guy Peters17 Ide Peters untuk merealisasikan effective governance terkait dengan penguatan kapasitas negara. Petrs adalah orang yang sangat mempercayai pentingnya keberadaan negara dalam governance. Negara, baginya tidak bisa disingkirkan begitu saja karena sejatinya ia adlaah pemilik otoritas yang berhak secara sah menetapkan regulasi. Idenya terhadap penguatan kapasitas negara itu antara lain, mencakup : a. Menegaskan kembali fungsi kontrol Bahwa fungsi kontrol yang dijalankan oleh negara di bidang ekonomi dan politik bersifat kontekstual dan berbeda antar satu dan lainnya. Meski secara tradisional negara memiliki kemampuan untuk bertahan dibawah tekanan para aktor dan lingkungan sekitarnya, tetapi tidak ada negara yang sama sekali tidak terlibat dalam persaingan ekonomi. Pasalnya, state dan market tetap saling membutuhkan (interdependensi) karena koordinasi keduanya dapat menjadi promosi bagi kepentingan negara dalam membangun governance yang efektif. Dalam tekanan yang besar, menjadi penting untuk melihat kembali kapasitas negara untuk kembali menekankan fungsi kontrolnya. b. Memberikan kesempatan pada yang lain untuk turut serta dalam proses memerintah.

17

Jon Pierre dan B. Guy Peters, “Governance, Politics, and The State�, Macmillan Press Ltd, London, 2000.

18


Occasional Paper

2005

Kebijakan ini sebenarnya ditujukan sebagai respon terhadap meningkatnya peran sistem transnasional dan global, juga peran aktor sub-nasional di arena internasional. Umumnya memang bersifat economic-driven daripada politic-driven. Regionalisasi di Quebec adalah bentuk perkecualian karena bersifat primordialis dan berakar dari konflik yang teah mengakar sejak lama. c. Memajukan komunitarianisme, deliberative democracy dan direct democracy. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan intensitas keterlibatan citizen dalam policy making yang mengarah pada democartic governance. Tentu saja, akan terdapat penekanan yang lebih besar terhadap politik daripada ekonomi. Sebagaimana Rhodes (1997) dan Kooiman (1993), persoalan kemudian bukan saja terletak pada negara tetapi juga institusi sosial secara keseluruhan, termasuk urusan teknis yang menyangkut size, remoteness, patronase, serta potensi subversif. •

Komunitarianisme (Etzioni, 1995 dan 1998; Bell, 1993) Komunitarianisme menempatkan otonomi individu (Walzer, 1995) dan kapital sosial

(Putnam, 1993) sebagai hal yang paling mendasar. Tindakan anggota dalam komunitas diasumsikan dituntun oeh seperangkat nilai bersama. Sebagai contoh adalah Neighborhood Watch. Tetapi, ssumsi bahwa rata-rata warga negara memilik keinginan yang sama untuk berpartisipasi dan menyediakan waktu dan upaya yang cukup dalam persoalan memerintah dianggap berlebihan. Disamping kecenderungannya yang juga relatif bersifat homogen. •

Deliberative democracy Deliberative democracy pada intinya terletak pada proses melibatkan publik dalam

pembuatan keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Hal ini, berbeda dengan demokrasi

19


Occasional Paper

2005

representatif yang bersifat elitis, ataupun demokrasi langsung dimana tidak terjadi proses pengkonfrontasian cara pandangan antar anggota dalam publik. Model ideal adalah Athena (Thorley, 1996) atau New England (US), dimana semua warga menikmati kesempatan untuk berpartisipasi melalui perdebatan dengan warga pendahulunya, dan dapat mendengarkan serta mengevaluasi pandangan-pandangan alternatif yang diajukan. Tidak adanya hierarki di antara para partisipan menyebabkan masing-masing dapat leluasa mengeluarkan pikirannya. Makna dari dialog bagi masyarakat menjadi lebih sulit karena bukan saja menyentuh persoalan fisik, jarak, atau instrumen tetapi juga basis sosial. Tidak semua elemen masyarakat memiliki basis sosial yang cukup untuk terlibat secara proporsional dalam perdebatan publik. Oleh karena itu, ide ‘ideal speech communities’ Habermasian (1973) juga menjadi sulit diterapkan mengingat tingkat heterogenitas masyarakat pada tataran praksis. •

Direct democracy Merupakan upaya untuk mengadvokasi publik untuk dapat memberdayakan diri

mereka sendiri dalam kebijakan. Direct democracy mengambil bentuk umum referendum, sebagaimana Katholik Roma. Pilihan inisiatif sedikit lebih komplek karena mesti memobilisasi publik dalam pemilihan maupun kampanye. Prinsip utama direct democracy adalah untuk mengatasi persoalan berjaraknya lembaga pembuat keputusan publik dengan publik itu sendiri. Tetapi, terbatasnya informasi dan terlalu generalnya diskusi sering menyebabkan kebijakan yang bersifat stereotipe dan bahkan anomali. Opsi referendum “iya dan tidak” juga sering tidak memberikan banyak pilihan kepada publik.

20


Occasional Paper

2005 Penutup

Meski governance pada tataran praksis telah mengalami dinamika yang luar biasa dengan kayanya pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi menegaskan mana yang paling kompatibel bagi kondisi negara Indonesia tentu bukan perkara mudah. Terlalu rumitnya permasalahan pemerintahan, baik dari segi struktural –manajerial birokrai yang ruwet- maupaun kultural –mental aparat yang terkadang masih bersifat kompeni-, disertai dengan masih banyaknya sisa persoalan disintegrasi yang belum terselesaikan secara tuntas atau ketatnya himpitan ekonomi sehingga menyebabkan negara menjadi terlalu liberal –di tengah masyarakat yang masih tradisionalis- membuat negara tidak mudah menentukan pilihan. Pendapat Hedianus yang menyatakan willlingness dan ability adalah dua hal yang harus dimiliki bagi mereka yang ingin melakkan perubahan, tentu saja patut direnungkan. Cukupkah kita memiliki kapasitas untuk berubah ? (bukan pesimisme).

21


Occasional Paper

2005 Daftar Pustaka

Axel Hadenius, Institutions and Democratic Citizenship, Oxford University Press, UK, 2001. B. Guy Peters, The Future of Governing, University Press of Kansas, Lawrence, 2001. Eva Sorensen, University of Roskilde – Denmark, “Democratic Governance and The Changing Role of Users of Public Service”, Public Administration Theory Network, 2000. vol 24 no. 1 Eva Sorensen, University of Roskilde – Denmark, “Democratic Theory and Network Governance”, Public Adminitration Theory Network, 2002. Vol 24 no. 4 Grant Jordan, University of Aberden, The Process of Governance and Governmental Process”, Political Studies Ascociation, Blackwell Publishers, 2000. Vol. 48. Jae-Jin Yang, “Democratic Governance and Bureaucratic Politics : a case of Pension Reform in Korea”, The Policy Press, 2004. Vol 32 no. 2 John Casey, “Third Sector Participation in The Policy Process : a Framework for Comparative Analysis”, The Policy Press, 2004. Vol 32 no.2 John S. Dryzek, Christian Hunold, David Scholsberg, David Downes, dan Hans-Kristian Hernes, Environmental Transformation of The State : The USA, Norway, Germany, and The UK, Blakcwell Publishering Ltd, 2002. Vol 5. Jon Pierre dan B. Guy Peters, Governance, Politics, and The State, Macmillan Press Ltd, London, 2000. Kanishka Jayasurya, The New Regulatory State And Relational Capacity. Lisa A. Zanetti dan Guy B. Adams, University of Missoury – Columbia, “In Service of Leviathan : Democracy, Ethics, and The Potential for Administrative Evilin The New Public Management”, Public Administration Theory Network, 2000. Vol 22 no. 3. Mark Evans, University of New York, “Understanding Dialectics in Policy Analysis”, Blackwell Publihers, 2004. Vol 49. Peter Somerville, “Community Governance and Democracy, The Policy Press, 2005. Vol 33 no. 1 Tjitske Akkerman, maarten Hajer dan John Grin, University of Amsterdam, “The Interactive State : Democratization from Above ?”, Blackwell Publishing Ltd, 2004. vol 52.

22


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.