Territorial Reform sebagai Penataan Institusi

Page 1

Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

Penataan Daerah sebagai Penataan Institusi Laila Kholid Alfirdaus Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Diponegoro Longgina Novadona Bayo Dosen Jurusan Politik & Pemerintahan, FISIPOL Universitas Gadjah Mada

Abstrak Pengertian territorial reform tidak hanya terbatas pada pemekaran, pemecahan, maupun penggabungan wilayah. Ada aspek yang lebih penting pada territorial reform dari yang sekedar berurusan dengan batas wilayah, yaitu penguatan kapasitas institusi. Ini penting untuk menjadi substansi reform itu sendiri karena pada dasarnya setiap perubahan teritori dan batas wilayah selalu memiliki konsekuensi institusional, baik yang menyangkut administrasi publik–government, maupun konstituen. Oleh karena itu, penguatan kapasitas governance di daerah yang baru terbentuk menjadi sangat krusial, dengan cara membangun sinergi dan konsolidasi antar elemen dalam governance–government, market, civil society. Kapasitas governance menjadi penting bagi daerah baru, bukan saja diorientasikan bagi kepentingan lokal, tetapi lebih jauh dalam interaksinya dengan institusi nasional dan internasional, meski disadari, seringkali gerakan pemekaran pada awalnya bersifat penegasan identitas dan didorong oleh nilai-nilai kelokalan. Kata kunci: territorial reform, batas wilayah, konsekuensi institutional, penguatan kapasitas governance, sinergi, konsolidasi. Latar Belakang Territorial reform atau penataan wilayah, dalam pengertian yang sempit mencakup pemekaran daerah (USAID, 2006, p. 5), yaitu pembentukan, penggabungan, maupun pemecahan suatu wilayah menjadi wilayah-wilayah baru yang berdiri sendiri dalam sebuah wilayah negara. Terkait erat dengan pengertian ini adalah political geography dan politics of land ownership. Tetapi, pada dasarnya terdapat pengertian yang lebih luas dari sekedar pemekaran yang fokusnya terletak pada garis batas wilayah (border), yaitu penataan kelembagaan pemerintahan, mencakup struktur dan sumberdaya, serta penataan hubungan lembaga pemerintahan dengan institusi-institusi nonpemerintah, yang terdiri dari market dan civil society dalam kerangka governance. Pengertian territorial reform sebagai institutional bulding and reform menjadi begitu penting karena setiap pembentukan, pemisahan dan penggabungan wilayah baru selalu memiliki konsekuensi institusional. Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

1


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

Dengan demikian, pemekaran sebagai salah satu pengertian dari territorial reform hanya menjadi jembatan bagi penataan (reform) yang lebih jauh. Dalam pengertian inilah daerah-daerah yang tidak memekarkan diri juga dapat dikatakan bisa melakukan territorial reform. Pertanyaan penting yang kemudian mengikuti pengertian territorial reform sebagai institutional building and reform adalah dengan cara bagaimana menata ulang lembaga pemerintahan? Akan mencakup apa saja? Adakah perbedaan mendasar pola penataan (reform pattern) antara daerah yang memekarkan diri dan yang tidak? Bagaimana mensinergikan hubungan antara lembaga pemerintahan, civil society dan atau lembaga non-pemerintah lainnya di tengah rapuhnya lembaga pemerintah dalam payung governance? Apakah mungkin? Apakah tidak terdengar sangat ambisius? Sederet pertanyaan tersebut memang akan memancing sederet jawaban yang sangat normatif. Tetapi, lesson-learning dan lesson-drawing dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetap menjadi bagian yang penting bagi penata-ulangan pemerintahan. Makalah ini mencoba berbicara tentang territorial reform dalam pengertian tersebut dengan mendasarkan diri pada kajian Chalmer Johnson, Amartya Sen, dan beberapa pengkaji yang lain. Bagian-bagian dalam makalah ini kurang lebih mencakup: (i) Territorial reform: secession, partitionism dan amalgamation; (ii) Territorial reform: lebih dari sekedar pemekaran wilayah; (iii) Institutional building and reform: penataan struktur dan sumberdaya (resources); (iv) Menata daerah yang baru dan yang lama; (v) Mensinergikan hubungan lembaga pemerintahan dan non-pemerintah. Territorial reform untuk menguatkan kapasitas daerah dalam menjawab tantangan global dan lokal. Dengan demikian, bidikan utama dari reform adalah untuk membangun struktur dan sumberdaya pemerintahan yang efektif sehingga bisa lebih akomodatif terhadap aspirasi dan partisipasi civil society, pressure groups, pelaku-pelaku usaha dan lain-lain. Local governance, di tengah menguatnya keinginan untuk memberdayakan potensi dan identitas masyarakat lokal juga mesti peduli (aware) dengan kondisi, perkembangan dan tantangan masyarakat global. Untuk itulah, mereformasi institusi dalam rangka mereformasi daerah menjadi sangat penting.

Territorial Reform: Secession, Partitionism, dan Amalgamation Territorial reform dalam pengertiannya dengan batas wilayah berhubungan dengan pemodifikasian luas dan pembentukan daerah baru sebagai sub dalam sebuah negara. Penjabarannya mencakup secession, partitionism, dan amalgamation yang berkaitan erat dengan pemekaran, pemecahan, dan penggabungan wilayah. Penjelasan territorial reform sebagai hal yang berkaitan dengan batas wilayah, adalah sebagai berikut.

Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

2


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

Seccession Perhatian terhadap teori-teori tentang secession berkembang pada tahun 1990-an. Dalam literatur ilmu politik, secession didefinisikan sebagai wilayah teritorial sebuah komunitas yang memisahkan diri (bekas) dari sebuah negara dan membangun wilayahnya sendiri menjadi entitas yang mempunyai kedaulatan politik sendiri (Caney 1998 dalam Conversi, 2000, h. 334). Secession dalam pengertian asalnya ini merupakan sebuah gerakan yang berkembang di tingkat lokal untuk melawan (baca: memisahkan diri) pusat, dan biasanya bertujuan membentuk sebuah negara sendiri. Seperti analogi “perceraian�, secession diamini sebagai tindakan akhir dari alienasi (Premdas 1990 dalam Conversi, 2000, h. 334). Ada 3 faktor pendorong mengapa suatu wilayah atau komunitas mengambil jalan secession (Erlingsson, 2005, hal. 145-146), yakni: (1) Economic driven, the seccesion of the rich: suatu daerah yang memiliki income per kapita yang tinggi memiliki kemungkinan yang besar untuk melakukan pemisahan demi menjamin pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. (2) Cultural driven, the borders were inappropriately drawn. (3) Political driven, relative partisan power. Sedangkan Conversi membagi alasan secession menjadi 2, yakni ethnically driven dan territorial driven (Conversi,

2000, h. 334). Dalam perjalanan sejarah negara bangsa modern di dunia, ethnically driven, atau lebih luas lagi identity driven, lebih sering dijadikan rujukan alasan untuk secession, sebagaimana dijelaskan oleh Keating (2001, hal. 49-76). Analisis yang sering muncul lebih terbatas pada kasus kemunculan etno-nasionalism yang menjadi dorongan kemudian untuk melakukan secession. Ethnic secessionism kemudian menjadi tren politik dan tujuan dari secession itu sendiri. Disinilah nampak kegagalan negara mengembangkan civic-nationalism. Gagasan akan secession ini dimaknai sebagai sebuah respon politik terhadap penguatan identitas yang terjadi pada aras lokal. Dengan kata lain, gagasan tentang secession hanya merupakan bagian dari politik pengelolaan dan penataan teritorial (territorial reform). Sebagai sebuah tren politik, sedikitnya ada 4 aspek yang menjadi basis kriteria dalam melakukan secession, antara lain sebagai berikut (Conversi, 2000, h. 334): (i) Antagonist atau oppositional legitimacy, berupa serangan terhadap legitimasi akan keberadaan negara, dengan mengambil sikap berdiri diluar struktur Negara; (ii) Anti-constitutionalism, berupa dorongan radikal untuk mengubah tatanan konstitusi negara yang bersangkutan; (iii) Ethnicism, merupakan pandangan yang menganggap kesatuan etnis sebagai nilai tertinggi, superoritas adalah nilai dari sebuah Negara; (iv) Irredentism, berupa tekanan terhadap territorial reunification bagi satu etnis

Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

3


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya” Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

tertentu dalam satu homeland. Keempat faktor diatas menjadi embrio dan senjata politik bagi kelahiran secession. Semuanya dapat ditemui di hampir setiap gerakan separtisme. Semua argumen yang dibangun diatas mengasumsikan bahwa hasrat untuk mengambil jalan secession berasal dari aras lokal (peripheral seccession. Tapi secession juga bisa karena rekayasa negara. Dalam teori tentang seceesion sendiri, ada 3 pendekatan yang dipakai dalam menjelaskan kelahiran sebuah negara baru (Conversi, 2000, h. 335), yaitu: (1) dissolution, meliputi pecahnya sebuah kerajaan dan adanya proses de-colonisation. (2) peripheral secessionism, misal Bangladesh, Eritrea. (3) secessionism by the centre, misal Serbia, dengan atau tanpa Montenegro. Ketiganya bisa terjadi secara simultan, tetapi ketiganya akan lebih berguna jika dibedakan. Tapi yang patut menjadi perhatian adalah pada darimana ide inisiasi untuk melakukan disintegratif tersebut muncul. Jika dissolution dapat terjadi dalam keadaan dimana ada keabsenan nasionalisme, maka sebaliknya secession, khususnya ethnic secession, baik itu karena peripheral driven maupun central driven, justru terjadi karena dorongan etno-nasionalisme dan tidak dapat bekerja tanpa ruang primordialisme tersebut.

Partitionism Dalam kaitannya dengan politik, political partitions diartikan sebagai pembagian kesatuan teritorial ke dalam dua atau lebih bagian-bagian, yang ditandai dengan garis batas (border), terkodifikasi dalam peta baru, dan dapat dioperasionalisasikan, misal ada garis pembatas, dan kemungkinan tanda pembatas tersebut bisa berupa pagar, dinding, dan kawat berduri, dimana untuk memasuki wilayah tersebut dibutuhkan surat ijin bahkan paspor (O’Leary, 2006). Secara khusus lagi, political partition didefinisikan sebagai pemotongan garis batas wilayah pada sedikitnya satu komunitas nasional homeland yang kemudian menciptakan pemisahan menjadi paling sedikit dua unit politik dibawah kedaulatan atau kewenangan yang berbeda (O’Leary, 2001, h. 54). Tujuan dari political partition ini adalah untuk mengatur dan menyelesaikan konflik baik konflik nasional, etnik, maupun konflik komunal. Di kalangan ilmuwan politik sendiri istilah partition dan secession masih menjadi perdebatan. Ada yang membedakan antara partition dengan secession, seperti Nicholas Sambanis, namun ada juga yang mempertukarkan kedua istilah tersebut. Mendasarkan pada data dari keseluruhan perang sipil yang terjadi sejak tahun 1944, Sambanis sendiri mendefinisikan partition sebagai dampak dari perang yang meliputi border adjustment dan demographic changes (Sambanis dalam oleh O’Leary, 2006, h. 7). Border adjustment terjadi dalam partition karena menghadirkan sesuatu yang baru, border yang baru. Tetapi dalam secession yang terjadi hanyalah border Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

4


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya” Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

transformation, perpecahan pada kedaulatan entitas yang mengubah kesepakatan (internal) border sebelumnya menjadi sovereign demarcation (O’Leary, 2006, h. 7). Sedangkan demographic changes yang diprasyaratkan oleh Sambanis ditunjukkan dengan adanya new border sebagai outcome dari perang tersebut. Definisi yang dikemukakan oleh Sambanis ini sekaligus bertujuan untuk mengoreksi kalangan ilmuwan lainnya yang masih sering mempertukarkan kedua istilah (partition &secession) tersebut. Ilmuwan geo-politik seperti Peter Taylor misalnya, mendefinisikan partition sebagai pembagian negara menjadi dua atau lebih teritori yang membentuk negara baru. Sementara secession dia definisikan sebagai gerakan pemisahan teritorial dari negara (Taylor dalam oleh O’Leary, 2006, h. 8). Namun justru definisi Taylor inilah yang banyak diadopsi oleh kalangan ilmuwan politik. Berbeda dengan Taylor, Alexis Heraclides mendefinisikan partition sebagai pembentukan dua atau lebih state yang merupakan hasil kesepakatan bersama. Sedangkan secession dia artikan sebagai gerakan sepihak yang tiba-tiba menuntut kebebasan salah satu daerah yang merupakan wilayah metropolitan, lambang kedaulatan negara, oleh karena itu bertentangan dengan negara (Heraclides dalam O’Leary, 2006, h. 8). Dalam pandangan Heraclides ini, proses secession bisa didahului melalui partition. Sementara itu dari sisi dimensi sejarah, Robert Schaeffer mencoba untuk memetakan partition yang terjadi di abad ke-20, sebagai berikut (O’Leary, 2006, h. 15): (i) partition yang terjadi sebagai bagian dari proses dekolonisasi, seperti Irlandia, India, Palestina; (ii) partition yang terjadi sebagai dampak dari perang dingin, seperti Jerman, Korea, Vietnam, Cina, Taiwan; (iii) partition yang terjadi hasil keputusan kekuasaan negara tetangga, seperti Turki di Cyprus, dan di Kurdistan); (iv) partition yang mengambil bagian pada saat sekarang sebagai hasil dari proses demokratisasi di plurinational states, seperti pembentukan negara USSR, pembentukan negara Czechoslovakia, Yugoslavia, dan Eithopia. Dari beberapa paparan diatas, maka penting untuk membedakan partition dengan secession maupun recognitition of a secession by political centre. Setidaknya ada kata kunci yang menjadi esensi dari partition, yakni fresh border yang memotong melintasi national homeland, guna mengatur dan menyelesaikan konflik etnik, nasional maupun konflik komunal di daerah tersebut.

Amalgamation Berbeda dengan secession dan partitionism yang hasil akhirnya membentuk sebuah daerah baru sehingga menghasilkan sejumlah daerah baru, amalgamation justru merupakan sebuah Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

5


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

instrumen menata daerah yang mencoba untuk melakukan penggabungan beberapa wilayah administrasi teritorial (baik itu kabupaten/kota atau provinsi atau yang setingkat) menjadi satu. Meskipun yang terjadi kemudian daerah yang bersangkutan secara teritori menjadi lebih luas daripada sebelumnya sehingga beban pemerintah lokal dalam menjalankan fungsinya menjadi dua kali lipat lebih besar, tetapi asumsi yang coba dibangun oleh kebijakan amalgamation ini adalah bahwa proses amalgamation justru akan membawa implikasi pada efisiensi sumberdaya dan efisiensi kinerja pemerintah lokal. Tawaran konsep amalgamation ini banyak diterapkan di negara-negara Scandinavia dimana tradisi communitarianism masyarakatnya masih tinggi. Kasus di Scandinavia menunjukkan bahwa proses amalgamation telah mampu memadatkan jumlah wilayah administrasi teritorial dari 2.500 menjadi 277 (Erlingsson, 2005, p. 145). Latvia, juga merupakan salah satu negara yang menerapkan kebijakan amalgamation. Local government reform yang diberlakukan di negara tersebut sejak 28 September 1993 pada dasarnya meliputi 2 hal yakni penguatan demokrasi dan peningkatan efektivitas & efisiensi kinerja pemerintah daerah. Dan inti dari local government reform di Latvia adalah penataan administratif melalui territorial reorganization melalui proses amalgamation1. Hal yang hampir serupa terjadi juga di Jepang. Sejarah negara ini tidak lepas dari sejarah amalgamation itu sendiri. Proses amalgamation di negara itu telah berlangsung sejak tahun 1883. Proses amalagamation tahap pertama di negara ini dari tahun 1883 sampai dengan 1898 telah berhasil memadatkan jumlah wilayah administrasi teritorial di negara tersebut dari 71.497 menjadi 14.298. Kebijakan amalgamation ini kemudian dilanjutkan kembali dari akhir abad tersebut hingga tahun 1950 meskipun hasilnya tidak luar biasa. Justru pada periode tahun 1950 sampai 1960 kebijakan amalgamation ini mendapatkan hasil yang signifikan, yakni dari 10.443 wilayah administrasi teritorial mengerucut menjadi 3.526 . Hingga saat ini proses amalgamation masih terus berlangsung di negara Tirai Bambu tersebut. Data tahun 1995 menunjukkan bahwa jumlah wilayah administrasi teritorial di negara tersebut tercatat 3.234 (Mabuchi, 2001:1-2).

Territorial Reform: Lebih dari Sekedar “Pemekaran Wilayah� Namun demikian, territorial reform pada dasarnya bukan hanya sekedar perkara perubahan garis batas wilayah administrasi sebuah daerah. Tetapi, esensi penting dari territorial reform itu sendiri adalah pada penataan institusi daerah lama maupun daerah baru hasil territorial reform. Setidaknya territorial reform yang dilakukan sebenarnya mencoba untuk memenuhi 3 permintaan, yaitu: (1) sebagai instrumen resolusi konflik, (2) dalam rangka penyesuaian teritorial Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

6


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya” Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

untuk mendukung daya tarik ekonomi, (3) dalam rangka perbaikan serta peningkatan efektivitas pemerintah lokal. Pola penataan daerah yang ditawarkan yakni: secession, partitionism, dan amalgamation merupakan alternatif instrumen untuk memenuhi ketiga hal diatas. Begitu juga dengan territorial reform dalam konteks Indonesia, sebagaimana sering disebut sebagai pemekaran wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah yang diterapkan di Indonesia sebenarnya diharapkan mampu menjadi panacea untuk menjawab persoalan nasional seperti disparitas pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, dan kerapuhan penjagaan kewilayahan aktif (Lay dan Santoso 2006:8). Namun, yang terjadi justru pemekaran menjadi instrumen penguatan identitas lokal. Dengan kata lain, territorial reform kemudian dijadikan salah satu prerequisite untuk transformasi konflik dan menjamin kelangsungan perdamaian dalam internal negara yang bersangkutan oleh negara. Perdebatan tentang pemekaran wilayah memang belum menjadi discourse internasional karena pengalaman pemekaran wilayah secara masif baru dialami di Indonesia2. Untuk kasus Indonesia sendiri, pemekaran wilayah yang terjadi lebih dimaknai sebagai instrumen untuk mengelola konflik. Berbeda dengan negara-negara lain di dunia yang lebih cenderung melakukan amalgation dalam terriorial reform mereka, pengalaman Indonesia justru menunjukkan sebaliknya. Pemekaran tersebut bukan merupakan pemisahan diri (self-secession) dengan state

untuk

kemudian membentuk sebuah negara baru, tetapi pemisahan diri (baca: wilayah) atau self-secession yang terjadi berada pada level pemerintah lokal, masih dalam border administratif internal negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, pemekaran wilayah bukan melahirkan negara baru, melainkan daerah otonom baru yang masih berada dalam wilayah negara tersebut. Dalam literatur ilmu politik sendiri, kata “pemekaran” ini belum menemukan istilahnya dalam bahasa Inggris. Untuk konteks Indonesia, kebijakan politik desentralisasi yang difasilitasi dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No.32/2004 telah menjadi basis untuk melahirkan pembentukan daerah-daerah otonom baru yang disebut dengan “pemekaran wilayah”. Secara yuridis, landasan untuk melakukan pemekaran tersebut dimungkinkan melalui PP No.129/2000 Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa sebuah daerah bila ingin dimekarkan harus memenuhi beberapa prasyarat yang merupakan indikator kesiapan daerah. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat administrasi3, syarat teknis4 dan syarat teknis kewilayahan.

Inisiatif untuk

melakukan pemekaran itu sendiri berangkat dari kegelisahan terhadap berbagai persoalan nasional mulai dari isu ketimpangan pembangunan hingga isu separatisme. Pengalaman Timor-Timur yang Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

7


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

lepas dari Indonesia, serta Aceh dan Papua yang menuntut otonomi khusus, dapat dijadikan pengalaman berharga bagi Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola dan menata kembali teritorialnya. Oleh karena itu, pemekaran wilayah lebih sering dimaknai sebagai sarana negosiasi untuk mengakomodasi kepentingan lokal baik yang terkait dengan isu penguatan identitas di ranah lokal maupun isu incapacity pemerintah daerah setempat dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat lokal. Namun, pada tataran praksis kebijakan pemekaran daerah tersebut mengalami kegagalan, antara lain karena5: (1) adanya politik uang dalam proses inisiasi pemekaran sebagai akibat dari panjangnya prosedur dan proses pemekaran; (2) menguatnya politik identitas, sentimen-sentimen primordialisme sering digunakan sebagai basis untuk pemekaran; (3) free-rider, anggapan bahwa pemekaran adalah investasi politik dan ekonomi memicu hadirnya aktor lokal yang menjadi free rider yang bersedia mengalokasikan sumber daya keuangannya, baik dana privat maupun pemerintah. Diluar kegagalan yang menghantui pemekaran wilayah ini, bagi Indonesia kebijakan pemekaran wilayah tetap dipandang efektif sebagai instrumen bagi territorial reform yang paling strategis untuk menjembatani berbagai persoalan nasional.

Institutional Building and Reform: Penataan Struktur dan Sumberdaya Tantangan baru yang dihadapi sebagai konsekuensi dari kebijakan territorial reform adalah penataan institusi baik bagi daerah baru maupun daerah lama. Penataan institusi tersebut akan sangat terkait pada bagaimana daerah yang bersangkut membangun sinergi dan konsolidasi antar aktor dalam kerangka governance. Asumsinya proses penataan daerah yang tidak dibarengi dengan penataan institusi justru akan menyebabkan kegagalan bagi daerah tersebut, atau bahkan lebih jauh lagi justru memberi kontribusi bagi proses kegagalan negara (failed state6). Dalam konteks yang lebih luas, institutional reform dimaknai sebagai point kritis dalam proses rekonstruksi dan pembangunan demokrasi bagi negara yang gagal. Dalam kaitan dengan institutional reform tersebut setidaknya ada 5 arena yang harus menjadi fokus perhatian, yaitu: (1) reform konstitusi, (2) pengaturan pembagian kekuasaan, (4) melindungi minoritas, (5) rule of the law, (6) hak azazi manusia7. Sementara itu secara general berbicara tentang institusi, setidaknya ada beberapa elemen penting yang harus diperhatikan dalam rangka institutional building yaitu kepemimpinan, doctrine, program, sumberdaya dan struktur internal (Eaton, 1972, hal. 22-24). Faktor kepemimpinan merujuk pada sekelompok orang yang yang secara aktif terlibat dalam proses formulasi kebijakan institusi serta yang memberikan pengarahan dalam operasionalisasi dan tata hubungan dengan Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

8


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

lingkungan. Jika doctrine merujuk pada spesifikasi nilai-nilai, tujuan, dan metode operasional yang melandasi tindakan sosial; program lebih merujuk pada tindakan-tindakan yang terkait dengan fungsi dan pemberian pelayanan sebagai output dari institusi. Sementara itu sumberdaya sendiri lebih terkait dengan input finansial, fisik, human, teknologi dan informasi yang dimiliki institusi. Sedangkan struktur internal akan sangat berhubungan dengan struktur dan proses dibangun dalam rangka operasional institusi dan pemeliharaan akan institusi tersebut. Pembagian peran internal organisasi, pola pembagian kewenangan, sistem komunikasi dan komitmen terhadap organisasi akan sangat mempengaruhi kapasitas sebuah institusi dalam mencapai tujuannya. Disamping kelima elemen yang melekat pada institusi, faktor linkages juga menjadi kunci penting dalam dalam penataan institusi karena menjadi jembatan antara insitusi dengan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pemekaran wilayah, penataan institusi bagi daerah hasil pemekaran maupun bagi daerah lama akan menjadi titik krusial bagi daerah yang bersangkutan untuk dapat menjalankan fungsi dasarnya memberikan pelayanan bagi masyarakat. Penataan struktur internal yang berhubungan dengan persiapan perangkat-perangkat administrasi di daerah dan sumberdaya yang lebih berhubungan erat dengan ketidakmampuan daerah dalam membangun sumber-sumber ekonominya. Kedua elemen tersebut menjadi kunci penting dalam penataan institusi daerah-daerah tersebut. Pangalaman pemekaran wilayah di Indoensia selama ini menunjukkan fakta yang terjadi sebaliknya karena ada indikasi kegagalan daerah baru produk pemekaran, adanya problem incapacity daerah dalam menata institusi baru mereka8. Dengan demikian, disamping berkaitan dengan border, penting juga untuk memberikan tekanan yang besar pada penguatan kapasitas institusi sebagai pengejawantahan dari territorial reform.

Menata daerah yang baru dan yang lama Jika kita berpijak pada pengertian territorial reform sebagai penguatan institusi dan struktur, pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mereformasi daerah baru dan daerah lama. Karena, inti dari reform tetap sama, menata (kembali) institusi pemerintahan lokal. Hanya saja, ada aspek-aspek yang menjadi kelebihan dan kekurangan yang berbeda antara keduanya, terutama karena reform di daerah baru lebih terkait dengan konsekuensi perubahan batas wilayah, sedang di daerah lama, tidak. Kelebihan tersebut penting untuk dielaborasi lebih jauh, sementara persoalan kekurangannya penting untuk dipikirkan pemecahannya. Daerah baru dan daerah lama sama-sama memiliki kesulitan dan kelebihannya masing-masing untuk melakukan reformasi. Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

9


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

Beberapa kelebihan menjadi daerah baru dalam kerangka territorial reform adalah setidaknya ia terlepas dari sejarah patologi birokrasi yang menjadi tipikal institusi pemerintahan di Indonesia. Menjadi baru, dengan demikian berarti kesempatan yang lebih besar untuk memberi corak yang lebih progresif pada institusi yang akan dibentuk. Hanya saja, ada prasyaratnya, yaitu adanya political will yang kuat, dan bahwa pemekaran diasumsikan untuk memajukan kehidupan bersama, bukan sebagai penegasan identitas primordial. Bagi Erlingsson, masih lemahnya sumberdaya politik di daerah baru, baik mencakup pengaruh (influence) dan sumberdaya keuangan (money) justru bisa dijadikan pemicu bagi perubahan kelembagaan (institutional change) sebagai bentuk political struggle. Menjadi baru, juga merupakan kesempatan bagi terciptanya ruang dan tatanan berdemokrasi yang baru, yang lebih luas. Karena, pada umumnya alasan utama pemekaran adalah sempitnya ruang berapresiasi di kabupaten atau propinsi yang sebelumnya cakupannya lebih luas, maka pembentukan daerah baru adalah merupakan pelepasan atas segala sempitnya partisipasi, baik secara politik, ekonomi dan budaya (Erlingsson, 2005, 144-6). Hanya saja, jika menjadi daerah baru justru memicu munculnya konflik, terutama berkaitan dengan perebutan sumberdaya dengan daerah lama, tentu keinginan dan kebijakan pemekaran menstimulasi tanda tanya besar atas efektivitasnya dan justifikasi untuk memekarkan diri justru menjadi lemah (h. 153). Dengan demikian, konflik sebisa mungkin harus dihindari, atau, jikapun tidak, mestinya bisa dibangun instrumen untuk mengatasinya. Meskipun demikian, di sisi yang lain terdapat tantangan besar dalam hal kekuasaan (power), ideologi, dan strategi antar aktor yang berkepentingan dengan pemekaran wilayah (Erlingsson, 2005, h. 142). Daerah baru sangat rentan dengan konflik, karena institusi yang belum tertata mapan. Jika terdapat lebih banyak aktor yang berkepentingan, kontestasi kekuasaan akan lebih terasa karena seperti memperebutkan lahan kosong. Perkara lain yang juga krusial adalah pembentukan ideologi dan identitas politik. Bagaimana karakter masyarakat akan terbentuk, akan sangat tergantung pada bagaimana elit membangun opini, menata institusi dan berinteraksi satu sama lain. Ini adalah perkara psikologi politik massa yang harus dijaga dan diperlakukan secara hati-hati. Jika tidak, kemunculan sebagai daerah baru melalui pemekaran hanya akan menjadi pemicu konflik berbasiskan identitas sempit. Demikian juga dengan perkara strategi. Karena tatanan, lembaga dan aturan belum berdiri secara mapan, kesadaran tinggi akan konsensus dan deliberative democracy adalah

mutlak untuk

menghindari

pemekaran yang bersifat

kontraproduktif. Dalam hal ini, kehadiran pemerintah yang mampu mendisiplinkan antar aktor sangat krusial. Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

10


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

Sementara itu, bagi daerah lama, territorial reform lebih ditekankan pada penguatan institusi-institusi yang sudah established tapi tidak berfungsi secara baik. Dengan demikian, identifikasi permasalahan dan upaya prioritisasinya lebih mudah dibandingkan dengan daerah baru. Daerah lama juga relatif tidak terlalu mengalami disorientasi dan kekosongan politik identitas. Akan tetapi, masalah menjadi berbeda jika ternyata patologi birokrasi sudah sedemikian parah, sementara struktur politik, sosial dan budaya tidak kondusif. Merujuk pada The World Development Report tahun 2002 tentang “Building Institutions for Market�, meski terdengar sangat ambisius untuk konteks pemerintahan daerah di Indonesia, ide tentang mensinergikan tatatan dengan para pelaku dalam melakukan reform tetap relevan, karena keduanya saling mengisi (The World Bank, 2002, h. 6). Territorial reform di daerah lama fokus pada penguatan jaringan internal, antara institusi formal dan non-formal, dan jaringan eksternal, baik antara daerah yang satu dengan daerah lain melalui kerjasama antar wilayah, dengan pemerintah pusat, maupun dengan lembaga-lembaga internasional (NGOs) bagi pemberdayaan masyarakat.

Mensinergikan hubungan lembaga pemerintah dan non-pemerintah sebagai core dari territorial reform dalam kerangka governance Ketika daerah baru telah terbentuk melalui kebijakan pemekaran, maka batas wilayah pun berubah, disertai dengan jumlah dan karakter konstituen yang berubah pula. Perubahan ini membawa konsekuensi pada penataan kelembagaan daerah yang tujuannya adalah untuk membangun dan mengatur struktur dan tatanannya. Sinergi kemudian menjadi kata kunci disini. Jika kita merujuk pada Rhodes, yang berusaha menyempurnakan pengertian politik teritori yang diargumentasikan oleh Bulpitt, maka politik teritori mesti dipahami secara lebih komprehensif, bukan saja pada lembaga pemerintahan yang erat kaitannya dengan administrasi publik, baik dalam hubungannya dengan pemerintah pusat maupun intergovernmental interaction dalam batas wilayah negara, tetapi juga pada komunitas dan kepentingan (Bradbury, 2006, h. 563) yang mengisi ruang-ruang aktivitas sosial, ekonomi dan politik dalam asosiasi yang bernama civil society dan market. Territorial reform, dengan demikian, tidak hanya terpaku pada penataan kelembagaan pemerintahan lokal sebagai sub-negara yang baru, akan tetapi, juga pada pembentukan dan penguatan jaring-jaring masyarakat lokal dan pasar sebagai kesatuan yang utuh dalam lingkaran governance. Di sini, pembentukan pemerintahan yang efektif adalah bidikan utamanya untuk memungkinkan bekerjanya roda politik, sosial, dan ekonomi antar aktor dan institusi yang baru saja terbentuk. Dalam kontenks ini, sinergi adalah salah satu jawaban bagi pertanyaan besar Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

11


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

tentang konsolidasi di daerah yang baru saja memekarkan diri. Sebagaimana Boudreau dan Keil (2001, h. 1703), pemekaran merupakan reaksi atas kuatnya tekanan-tekanan politik baik secara eksternal maupun internal yang membutuhkan strategi-strategi inovatif dan terintegrasi, setelah proses perdebatan politik yang panjang tentang perlu tidaknya pemekaran dilalui. Evans dalam tulisannya tentang embedded autonomy kiranya bisa menjadi lecutan awal bagi pemikiran konsolidasi governance dalam reformasi teritorial, yaitu dengan penguatan kapasitas pemerintah supaya secara efektif mampu melakukan fungsi pengaturan tetapi juga mampu merengkuh market, struktur sosial dan civil society untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat (1995, hal. 47-60). Ide ini sejalan dengan Johnson yang menggambarkan pola pembangunan partisipatif di Jepang, dimana pemerintah mampu melakukan sinkronisasi kebutuhan pasar dan masyarakat, melalui pengaturan yang efektif, tanpa perlu secara signifikan mengorbankan satu demi yang lainnya (1999, p. 37-9), misalnya mengorbankan komunitas masyarakat lokal demi pasar dan industri, atau sebaliknya memperioritaskan civil society tapi tidak berorientasi pada pembangunan ekonomi. Sementara itu, Sen juga secara gamblang menekankan sinergi antara pemerintah, market dan civil society (2000, h. 30-5) dalam penyelenggaran kehidupan ekonomi, sosial dan politik yang partisipatif melalui penguatan network dan trust serta penyediaan kesempatan yang merata bagi tiap-tiap elemen masyarakat untuk berpartisipasi didalamnya. Pemikiran-pemikiran Evans, Johnson, dan Sen merupakan satu dari beberapa alternatif mengkonsolidasikan governance dan mereformasi lembaga pemerintahan lokal dalam kaitannya dengan territorial reform. Dalam konteks territorial reform di Indonesia, utamanya yang tertuangkan dalam kebijakan pemekaran daerah baru, penguatan political community dan social territoriality menjadi penting karena pemekaran bukan sekedar reaksi atas persoalan ketidakpuasan pada kebijakan pemerintah pusat, tetapi lebih sering pada masalah identitas, sehingga permasalahan menjadi amat dinamis. Ini sebagaimana juga dijelaskan oleh Boudreau ketika menganalisis gerakan pemekaran di Los Angeles (2001, h. 1710). Kompetisi identitas telah mendorong pencipataan ruang-ruang sosial budaya dan politik yang baru, yang menariknya, dikerangkai didalam wadah struktur demokrasi regional dan localised governance. Untuk itu, konsolidasi dalam tipikal masyarakat yang terfragmentasi dan terbuka adalah penting untuk membangun koherensi sosial, dan local governance reform merupakan cara untuk menemukan dan menyediakan wadah yang demokratis dan fleksibel bagi solidaritas sosial.

Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

12


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

Territorial reform untuk menguatkan kapasitas daerah dalam menjawab tantangan global dan lokal. Mengingat yang terjadi pada fenomena pemekaran di Indonesia sebagian besar berkaitan dengan identitas politik dan perkara pemerataan sumberdaya antar komunitas, sehingga ia lebih bersifat sentrifugal, maka, bidikan utama konsolidasi dan sinergi dalam lingkaran governance adalah untuk menguatkan kapasitas masing-masing institusi di masing-masing daerah. Ini berkebalikan dengan fenomena yang terjadi di Uni-Eropa yang bersifat sentripetal, dimana negaranegara berusaha mengintegrasikan dirinya di salam satu sistem ekonomi, sosial dan politik. Proses integrasi negara dan pemerintah ini pun memaksa civil society dan pressure groups yang sebelumnya terfragmentasi atas wilayah-wialayah dan berkonsentrasi pada isu-isu di lembaga pemerintahan masing-masing untuk membangun networks yang sifatnya lebih global. Luasnya cakupan policy dalam uni memerlukan energi yang lebih besar bagi konsolidasi gerakan, memaksa elemen-elemen gerakan untuk berpikir deduktif. Melihat bahwa pola gerakan pemekaran yang bersifat segregatif di Indonesia ini berbeda dengan pola aglomerasi di negara-negara Uni-Eropa, maka didalamnya memerlukan analisis yang bersifat individualis, sehingga reform di wilayah governance pun terpusat pada satuan-satuan yang lebih kecil dan kontekstual. Dengan demikian, pada dasarnya, apakah wilayah-wilayah politik akan bergerak secara sentripetal maupun sentrifugal, tidaklah signifikan, karena ini hanya berkaitan pada pilihan untuk menjadi komunitarian atau individual. Dua-duanya memiliki justifikasi dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga judgement atas mana yang lebih baik tentu kurang sesuai. Hanya saja, yang lebih penting dari sekedar bergerak secara sentripetal atau sentrifugal, adalah apakah pada paska pembentukan wilayah baru, lembaga pemerintahan yang ada siap melakukan reform pada ranah governance sehingga mampu mewadahi kelonpok-kelompok sosial, ekonomi, dan politik yang baru untuk saling berinteraksi dalam lingkaran governance dan policy interaction. Penguatan kapasitas governance kemudian menjadi krusial supaya daerah memiliki keuntungan komparatif yang menguntungkan ketika ia bergerak keluar dalam kerangka intergovernmental interaction, baik dalam bentuk kooperasi maupun kompetisi di ranah lokal, nasional, maupun internasional (global). Lagi-lagi, konsolidasi dan sinergi terasa amat krusial. Jika the World Bank dalam program Road to Recovery berusaha memberikan tekanan yang besar pada governance, civil society dan social capital, serta safety net, maka, kiranya untuk konteks pemerintahan lokal di Indonesia, kiranya pemikiran untuk menata institusi yang mengakomodasi dan mengatur juga signifikan. Penguatan tiga pilar awal adalah untuk mengimbangi eksesifnya Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

13


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

market di ranah governance. Keseimbangan antar pilar adalah untuk mengakomodasi market yang lebih friendly -bersahabat, sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Sen ketika menjelaskan development dan social exclusion. Penguatan kapasitas pada ranah governance di antaranya adalah dengan menegaskan kembali fungsi pengaturan government terhadap aspek-aspek non-government. Bahwa dalam territorial reform, fungsi government harus diakui dan kembali ditegaskan sehingga menjadi efektif. Government, tetap menjadi salah satu unsur penting dalam public policy, policy interaction dan deliberative democracy. Tentu saja pengakuan pentingnya government tidak untuk menegasi pentingnya aktor dan institusi di luar government. Mengingat konteks pemerintahan Indonesia yang masih sangat kental diwarnai oleh patologi birokratis, kiranya upaya pemberdayaan penting untuk dilakukan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kapasitas managerial dan sumberdaya manusia yang duduk dalam jajaran birokrasi. Kapasitas government juga diperlukan untuk mengatur interaksi public dan private dalam penyelenggaraan kehidupan sosial, ekonomi dan politik (Jayasuriya dan Rosser, 2001, hl. 388). Ketidaksempurnaan lembaga pemerintah diatasi dengan pembenahan, bukan dengan pemarginalannya di ranah governance. Karena, lembaga government lah yang memiliki otoritas dan kapasitas untuk membatasi eksesifnya penetrasi pasar untuk mendorong keterlibatan civil society yang lebih luas didalamnya. Penguatan kapasitas civil society dan social capital adalah dengan menyediakan ruangruang partisipasi yang luas. Penguatan civil society menjadi penting karena ia berdiri di antara negara dan pasar (Jayasuriya, 2001, h. 391). Civil society mesti diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai wadah aktivitas sosial yang otonom. Ini tidak saja menjadi penting dalam kaitannya dengan penguatan demokrasi, tetapi juga dengan penguatan social capital, karena civil society adalah tempat bagi terbangunnya trust dan network sebagai inti dari social capital. Dengan ini, maka, segala bentuk segregasi sosial melalui konflik dan kecemburuan sosial dapat diatasi secara deliberatif dan demokratis. Oleh karena itu, institusi pemerintah lokal harus memiliki kemampuan memobilisasi sosial capital karena ia bersifat konstruktif melalui perluasan partispasi dan partnership. Penguatan safety net adalah dengan mendukung social policy yang memungkinkan masyarakat menikmati fasilitas-fasilitas sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Setidaknya social policy akan memudahkan masyarakat memenuhi syarat konstitutif untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah, sebagaimana Sen menjelaskan konsep developmentnya. Safety net menjadi penting karena lembaga ekonomi dan sosial pada masyarakat di daerah yang terbentuk pada umumnya belum mapan, dan safety net adalah untuk mengamankan masaKampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

14


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya� Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

masa transisi pemenuhan kebutuhan ekonomi dan fasilitas sosial mereka. Lebih jauh, safety net memiliki peran untuk membangun kohesi sosial dan social capital bagi lembaga kemasyarakatan yang masih infant (Jayasuriya dan Rosser, 2001, h. 392). Penguatan kapasitas market adalah dengan mendorongnya untuk berperan secara aktif dan positif dalam pembangunan daerah dengan cara yang bersahabat, atau dalam istilah Sen disebut dengan friendly. Meski pengalaman ekonomi menunjukkan bahwa market lebih sering bersifat predatory, terutama di negara-negara berkembang, yang instrument pengaturannya belum sempurna, akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita harus meniadakan eksistensi market di daerah. Namun demikian, ada prasyarat penting untk bisa mempersilahkan market masuk ke ranah lokal, yaitu dengan menyiapkan instrument dan aturan bermain yang jelas sehingga ia tidak merugikan civil society. Dengan demikian, penguatan kapasitas governance dalam kerangka territorial reform adalah untuk menyiapkan amunisi, bukan saja pada ranah lokal dan nasional, tetapi juga ranah global. Pemerintahan di daerah baru, meskipun dalam konteks sejarah pemekarannya lebih sering didorong oleh faktor penguatan identitas bersama, untuk kepentingan ke depan tetap mesti memikirkan bagaimana membentuk daerah yang memiliki keuntungan komparatif. Berbagai tuduhan primordialis yang banyak ditujukan pada gerakan-gerakan pemekaran di daerah, kiranya perlu dijawab dengan langkah konkret elemen-elemen governance di daerah dengan mendesain daerah yang responsif terhadap demokrasi dan pembangunan pada aspek ekonomi, sosial, dan politik. Karena, tantangan bukan saja ada di sekitar lokalitas daerah baru, tetapi lebih luas, mencakup arena global.

Kesimpulan Dari pembahasan di atas, sinergi dan konsolidasi local governance merupakan elemen kunci dalam territorial reform yang merupakan kerangka bagi penguatan kelembagaan (institutions building). Daerah yang baru terbentuk sangat rentan dengan lembaga pemerintahan yang masih belum mapan, juga komunitas yang masih segmented dan bersifat sangat terbuka. Penguatan kapasitas lembaga pemerintah dengan menguatkan fungsi regulasinya menjadi prasyarat awal reform untuk memungkinkan terkonsolidasikannya civil society yang kaya dengan social capital dan terfasilitasinya safety net untuk menjaga kohesi sosial pada masa transisi. Local governance reform juga penting ditujukan untuk pengorientasian identitas komunitas yang lebih positif, juga untuk mendorong peran market yang konstruktif. Pentingnya penguatan institusi governance dalam territorial reform adalah untuk memperkuat kapasitas di dalam menjawab permasalahan baik pada Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

15


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya” Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

level lokal, nasional, dan global, meskipun pemekaran, pada awalnya, sebagian besar dipicu oleh fenomena penguatan identitas primordial yang bersifat kedaerahan.

Local government reform di Latvia meliputi: membuat aturan baru tentang pemilu di tingkat lokal; membuat aturan baru tentang pemerintah daerah; penataan administrasi melalui territorial reorganization; perbaikan sistem penganggaran daerah; menciptakan sistem informasi teritorial; membangun institusi untuk training bagi staff pemerintah lokal; membangun sistem organisasi dan komunikasi diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk lebih detail lihat Edvin Vanags, “Development of Local Government Reforms in Latvia”, Viesoji Politika Ir Administravimas, 2005. 2 Data yang dikeluarkan Kompas, 16 Maret 2007 menunjukkan bahwa dalam jangka waktu antara tahun 1999-2006 tercatat sekitar kurang lebih 153 daerah baru, baik daerah provinsi maupun daerah kota/kabupaten yang sudah terbentuk, sehingga saat ini jumlah kabupaten/kota di Indonesia mengalami peningkatan hingga mencapai 450 kabupaten/kota. 3 Syarat administrasi untuk pembentukan Kabupaten/ Kota mencakup adanya: (1) Keputusan DPRD kabupaten/kota Induk tentang persetujuan pembentukan calon daerah kabupaten/kota; (2) Keputusan bupati/walikota Induk persetujuan pembentukan calon daerah kabupaten/kota; (3) Keputusan DPRD Provinsi Induk tentang persetujuan pembentukan calon daerah kabupaten/kota; (4) Keputusan gubernur persetujuan pembentukan calon daerah kabupaten/kota; (5) Rekomendasi Mendagri. Sedangkan syarat administrasi pembentukan Provinsi mencakup adanya: (1) Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yag akan menjadi cakupan wilayah calon Provinsi tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi beradasrkan Hasil Rapat Paripurna; (2) Keputusan bupati/walikota diteatapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon Provinsi tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi; (3) Keputusan DPRD Provinsi Induk tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna; (4) Keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Provinsi; (5) Rekomendasi Mendagri. 4 Syarat teknis mencakup 11 indikator, yaitu: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik; jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan, keamanan, pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali pelaksanaan pemerintahan daerah. 5 Untuk lebih lanjut lihat Cornelis Lay dan Purwo Santoso (Eds.), Perjuangan Menuju Puncak: Kajian Akademik Rencana Pembentukan Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua, PLOD UGM, Yogyakarta, 2006. 6 Failed state (Rotberg, 2004) adalah salah satu fenomena negara yang memiliki kapsitas governability rendah. Biasanya ditandai dengan rendahnya kapasitas negara dalam menyediakan political goods. Kewajiban negara untuk untuk memenuhi kebutuhan political goods terdelegasikan secara terpisah-pisah. Negara justru menyerahkan fungsi mereka sebagai penyedia barang-barang politik kepada pemimpin-pemimpin perang atau aktor non negara lainnya (misalnya HAMAS di palestina). Keamanan hanya tersedia di kota-kota utama. Infrastruktur ekonomi jatuh, sistem perawatan kesehatan mengalami penurunan dan sistem pendidikan berada dalam ketidakjelasan. Failed states biasanya mempunyai kaum minoritas kaya raya yang selalu mengambil keuntungan dari failed system yang ada. Ciri-ciri Failed state antara lain: (1) Selalu diwarnai dengan adanya disharmoni antar komunitas; Tidak bisa menyediakan barang politik “keamanan” –yang merupakan barang politik yang paling utama- kepada seluruh domain mereka. Negara gagal menciptakan atmosfir keamanan di seluruh wilayah nasional. (2) Negara hanya bisa menjamin keamanan pada ibukota negara saja. (3) Memiliki institusi yang lemah, hanya institusi eksekutif yang berfungsi sedangkan keberadaan legislatif tidak lebih dari tukang stempel semata. (4) Tidak ada debat-debat yang demokratis di ranah publik. (5) Lembaga yudikatif tidak independen dan lebih sekedar kepanjangtanganan eksekutif. Masyrakat pun tidak mendapatkan keadilan di sistem pengadillan , apalagi bila berhadapan dengan negara. (6) Birokrasi dalam waktu yang sudah cukup lama kehilangan tanggungjawab profesionalitas mereka. Mereka hanya mementingkan kepentingan eksekutif semata dan dengan cara yang halus menekan warganya. (7) Militer masih memungkinkan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki integritas, namun punya kecenderungan terpolitisasi secara kuat (highly politized). Aparat keamanan cenderung menjadi negara dalam negara (State within a State) (8) Menyediakan kesempatan ekonomi yang tidak pararel hanya bagi segelitir orang yang punya hak privilege. (9) Tanggungjawab negara untuk memaksimlisasikan kesejahteraan warganya sama sekali tidak ada.(10) Korupsi menggurita dengan skala yang sangat luas. (11) Pada beberapa kasus, chaos ekonomi yang dikombinasikan dengan bencana kemudian menimbulkan adanya bencana kelangkaan makanan dan keleparan yang meluas. (12) Negara kehilangan legitimasi dasar mereka di saat batas wilayah mereka menjadi tidak relevan lagi dan sekelompok kekuatan mencoba menggalang kekuatan. (13) Warga justru semakin menguat loyalitas komunitasnya dan menjadikannya sebagai sumber keamanan dan kesempatan ekonomi. 7 Untuk lebih lanjut lihat http://www.berghof-handbook.net. 8 Data yang dipublikasikan Litbang Kompas tanggal 10 Maret 2007 menunjukkan bahwa dari 143 daerah yang dievaluasi, potensi perkembangan pembangunan di 69 daerah (45%) sangat rendah. Bukan saja daerah baru yang mengalami dampak dari pemekaran daerah tersebut, tetapi daerah lama (daerah induk) juga mengalami problem yang hampir sama, yakni sekitar 34%. Sedangkan data yang dipublikasikan Kompas pada 03 Maret 2007 juga menggambarkan fenomena serupa dimana dari hasil evaluasi yang dilakukan Depdagri setidaknya ada 104 daerah pemekaran (5 provinsi dan 97 kabupaten) yang berlangsung selama periode 2000 sampai 2004, ada 76 daerah yang dianggap bermasalah. 1

Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

16


Seminar Internasional VIII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Territorial Reform & Dinamikanya” Yayasan PERCIK Salatiga & Ford Foundation

DAFTAR PUSTAKA Boudreau, J & Keil, R 2001, ‘Seceding from responsibility? secession movements in Los Angeles’, Urban Studies, vol. 38, no. 10, hal. 1701-1731. Boudreau, Julie-Anne, 2003, ‘The politics of territorialization: regionalism, localism, and other Isms…the case of Montreal’, Journal of Urban Affair, vol. 25, no.2, h. 179-99. Bradbury, J 2006, ‘Territory and power revisited: theorising territorial politics in the United Kingdom after Devolution’, Political Studies, vol. 54, hal. 559-582. Conversi, D 2000, ‘Central secession: towards a new analytical concept? the case of former Yugoslavia’, Journal of Ethnic and Migration Studies, vol. 26, no.2, h.333-55. Eaton, JW 1972, Institutional building and development: from concepts to application, Sage Publication, London. Erlingsson, GÓ, 2005, ‘Modelling secessions from municipalities’, Scandinavian Political Studies, vol. 28, no. 2, hal. 141-59. Evans, P 1995, Embedded autonomy: states and industrial transformation, Princeton University Press, New Jersey. Jayasuriya, K & Rosser, A 2001, ‘Economic orthodoxy and the East Asian crisis’, Third World Quarterly, vol. 22, no. 3, hal. 381-96. Johnson, C 1999, ‘The developmental state: odyssey of a concept’, in Woo-Chumings, M (ed.), The developmental state, Cornell University Press, London. Keating, M 2001, Nations against the state: the new politics of nationalism in Quebec, Catalonia and Scotland, Palgrave, Canada. Mabuchi, M 2001, Municipal amalgamation in Japan, The World Bank Institute, The World Bank, Washington, h.1-18. O’Leary, B 2006, ‘Analyzing partition: definition, classification and explanation’, Working Paper No.27 dalam ‘Mapping frontiers, plotting pathways, routes to North-South cooperation and divided island’, h.1-27. Sen, A 2000, ‘Social exclusion: concept, application, and scrutiny’, Social Development Papers, No. 1, Asian Development Bank, Manila. The World Bank 2002, World Development Report 2002: building institutions for market, Oxford University Press, New York. Vanags, E 2005, ‘Development of local government reform in Latvia’, Viesoji Politika Ir Administravimas, no. 13, Latvia, h. 15-24.

Kampung Percik, Salatiga, Jawa Tengah, 17- 20 Juli 2007

17


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.