CItizen Inclusion dalam Praktik Governance di Kota Solo

Page 1

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari Menarik Pelajaran dari Kebijakan Pendidikan Kota Surakarta

Oleh: Drs. Priyatno Harsasto, MA Laila Kholid Alfirdaus, S.IP, MPP

Dibiayai dari Sumber Dana DIPA FISIP UNDIP Tahun Anggaran 2010

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO 2010 Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

1


Daftar Isi Halaman judul -1Halaman pengesahan -2Daftar Isi -3Daftar Tabel-4Kata Pengantar -5Abstrak -6Bab I PENDAHULUAN -7A. LATAR BELAKANG -7B. RUMUSAN MASALAH -10C. TUJUAN PENELITIAN -10D. KONTRIBUSI PENELITIAN -11E. TINJAUAN PUSTAKA -11E. 1. Keterlibatan Warga: Menggeser Pendulum Negara ke Masyarakat-11E.2. Bentuk-bentuk Citizen Inclusion dalam Governing Process -14E.3. Desentralisasi dan Good Governance -15E.4. Penguatan Governance di Daerah: Pemberdayaan Pemerintah & Warga-16F. Definisi Konsep-20G. METODE PENELITIAN -21G. 1. Pendekatan Penelitian -21G. 2. Jenis Penelitian -21G. 3. Lokasi Penelitian -21G. 4. Teknik Pemilihan Sumber Informasi -21G. 5. Teknik Pengumpulan Data -22G. 6. Teknik Analisa Data -22BAB II SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK KOTA SURAKARTA -23A. Kondisi Geografis-23B. Sumber Daya Manusia -24C. Ketenagakerjaan -26D. Perekonomian-27E. Pemerintahan-29BAB III CITIZEN INCLUSION DALAM PRAKTIK GOVERNANCE: PENELUSURAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN KOTA SURAKARTA -30A. Bentuk Kebijakan Pendidikan -30B. Awal Mula Kebijakan-31C.Pelibatan Warga dalam Pemerintahan: Upaya Mewujudkan Harapan Masyarakat dan Demokratisasi Pengambilan Keputusan -33C. 1. Demokratisasi Sistem Perwakilan Masyarakat-33C. 2. Pengembangan Jaringan dan Penciptaan Saling Ketergantungan-35C. 3. Posisi Kelompok Sektoral dalam Proses Inklusi -38C. 4. Inklusi dalam Kebijakan Pendidikan -40C. 5. Kritik terhadap Proses Inklusi Kebijakan-42BAB IV PENUTUP -44A. Simpulan -44B. Kelemahan Penelitian-45DAFTAR PUSTAKA -46-

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

2


Daftar Tabel Tabel II.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2007 -26Tabel II.2 Tingkat Kelulusan Pendidikan Kota Surakarta -27Tabel II.3 Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota -28Tabel II.4 Pertumbuhan PAD Kota Surakarta -29-

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

3


Kata Pengantar

Puji syukur penelitian mengenai inklusi warga dalam praktik governance dengan fokus pada kebijakan pendidikan di Kota Surakarta telah terlaksanakan. Penelitian ini berangkat dari maraknya inovasi pelayanan di berbagai daerah, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya. Penelitian ini bermaksud menelisik keterlibatan warga dalam berbagai inovasi tersebut dengan mengambil contoh kebijakan pendidikan di Kota Surakarta sebagai fokus penelitian. Penelitian ini bermaksud mengelaborasi inklusi warga dengan pertanyaan utama: sejauh mana warga dilibatkan, dan apa hambatan untuk inklusi warga dalam inovasi kebijakan tersebit? Bagaimanapun, inovasi pelayanan adalah untuk warga, bukan untuk popularitas politik semata. Di samping warga, warga adalah esensi penting dalam governance, disamping pemerintah dan sektor swasta di daerah. Dalam penelitiaan ditemukan bahwa inklusi warga dalam kebijakan dan pelayanan di Kota Surakarta telah berjalan. Inklusi ini berjalan melalui tiga aras, yaitu Musrenbang, public hearing dan inisiasi NGO. Proses ini melibatkan warga sebagai komunitas, bukan sebagai individu, media, dan NGO. Di sisi lain, proses inklusi ini didukung oleh kesediaan pemerintah, terutama walikota, untuk terbuka dan mendengarkan aspirasi dan suara warga. Namun demikian, inklusi ini masih dikritik terbatas pada kalangan elite, didominasi warga yang memiliki afiliasi partai, masih minim pada bidang-bidang sektoral, dan belu didukung komunikasi politik yang efektif, seperti acara interaktif warga dan walikota atau wakil walikota di radio dan TV yang intensif. Dalam beberapa hal, warga mengaku masih terbatas informasinya. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan pada pihak fakultas (FISIP) yang telah memberikan dukungan dana bagi terlaksananya penelitian ini. Terimakasih juga pada Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan atas dukungan moril dan materiil penelitian ini. Terimakasih kepada Christian von Luebke dan Laila Alfirdaus, untuk data penelitian di Kota Surakarta, Kompip untuk laporan kajian sektor informal Kota Surakarta, dan para informan penelitian. Bagaimanapun juga penelitian ini tidak lepas dari kekuraangan. Input dari berbagai diharapkan dapaaat membangun penelitian yag lebih baik.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

4


Abstrak

Inklusi merupakan syarat praktik governance yang tertuang dalam kebijakan dan pelayanan publik dapat berjalan. Inklusi memastikan suara dan aspirasi warga terserap, juga memastikan peran warga diperhitungkan dalam kebijakan publik. Inklusi mensyaratkan warga yang aktif sekaligus pemerintahan yang terbuka. Dengan inklusi, kebijakan pemerintah yang inovatif dan berbasis pada kebutuhan warga dapat disusun. Dalam konteks inilah penelitian ini dilakukan. Penelitian bermaksud mengelaborasi lebih dalam eterlibatan warga dalam berbagai inovasi kebijakan pemerintah. Penelitian mengambil kasus kebijakan pendidikan di Kota Surakarta, terutama yang dituangkan dalam Bantuan Pendidikan untuk Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) untuk melihat sejauh mana inklusi warga dan hambatan apa yang ditemukan. Menggunakan metode wawancara dan studi dokumentasi, penelitian ini menemukan bahwa, bidang sektoral pada dasarnya masih menjadi bidang yang dikuasai kalangan teknokrat, dan inklusi warga masih terbatas. Namun, di Kota Surakarta, kebijakan dan program sektoral, tidak lepas dari peran warga, baik melalui Musrenbang, public hearing maupun peran-peran inisiasi LSM kepada pemerintah. Warga memiliki ruang inklusi, namun dalam beberapa kasus masih terhambat bias elite dan partai. Di sisi lain, inklusi warga juga belum didukung oleh komunikasi politik yang tertata, melalui proses interaktif pemerintah dan warga. Hambatan teknis dan kultur menjadi penjelas mengapa inklusi masih memiliki berbagai kelemahan.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

5


BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Demokrasi tak bermakna tanpa inklusi karena akan terus dipertanyakan kualitasnya dan manfaatnya bagi masyarakat (Dryzek, 1995: 475). Sepertinya frasa ini dapat dijadikan penjelas atas keroposnya praktik demokrasi di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong dalam pemilu, bahkan sederet pemilu, tetapi terjadi keterputusan hubungan antara mereka yang dipilih dalam pemilu dan mereka yang memilih ketika ritual pemilu selesai dan yang dipilih telah masuk dalam mesin governing process atau lebih tepatnya proses-proses legislasi (Edi, 2009). Lemahnya inklusi menyebabkan demokrasi terjebak dalam pengertian-pengertian prosedural, sebagaimana Schumpeter ketika menggarisbawahi makna demokrasi (Gaffar, 1999), tetapi lemah sebagai nilai dan ruh dalam praktik menjalankan tata kelola pemerintahan sehari-hari (governance, governing process). Problem ini secara baik direfleksikan oleh Michel Pimbert dan Tom Wakeford (2001) ketika mengkritisi praktik demokrasi keterwakilan. Menurut Pimbert dan Wakeford (2001: 23), demokrasi keterwakilan yang menekankan peran dan fungsi wakil rakyat sebagai penyambung lidah rakyat, masih tidak cukup mewadari suara (voice) masyarakat. Seringkali, di negara-negara yang telah mempraktikkan demokrasi keterwakilan, inisiatif untuk menciptakan ruang baru muncul untuk memastikan bahwa masyarakat dapat memberikan pengaruh secara langsung dan signifikan terhadap proses pembuatan keputusan (pp. 23). Tentu ini tidak untuk meremehkan pentingnya prosedur atau ritual demokrasi, sebagaimana terwadahi dalam konsep demokrasi keterwakilan. Tetapi, menjadi jelas bahwa demokrasi keterwakilan, dengan demikian diperlukan sekadar sebagai mekanisme perekrutan para penentu dalam policy making. Tetapi, dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari perspektif, voice, dan aspirasi masyarakat tetap memerlukan ruang untuk diakomodasi. Dalam konteks inilah, konsep partisipasi, inklusi, engagement, dan deliberasi muncul. Sederet konsep ini merujuk pada terlibatnya masyarakat dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari di dalam policy making atau decision making. Masyarakat hadir, memberi warna, sekaligus turut menentukan policy atau decision yang seperti apa yang sekiranya dapat menjawab kebutuhan mereka. Masyarakat juga secara aktif diperhitungkan dalam implementasi kebijakan, bukan sekedar sebagai obyek, tetapi juga Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

6


sebagai players. Masyarakat juga melakukan assessment terhadap berjalannya sebuah kebijakan dalam proses-proses monitoring dan evaluasi. Dalam governing process masyarakat tidak sekedar hadir sebagai pemilih dalam pemilu (voters) tetapi juga sebagai warga negara (citizen) yang berhak memperoleh pelayanan (service recipients). Oleh karena itu, kehadiran sekaligus keterlibatan masyarakat tidak berhenti sebatas pada memilih mereka yang tercakup dalam policy makers, baik dalam lingkaran eksekutif maupun legislatif, sebagaimana dalam praktikpraktik pemilu di Indonesia. Masyarakat bukan sekedar obyek politik, tetapi juga players. Tidak juga sekedar hanya dilibatkan dalam planning, yaitu menelurkan dan mengaspirasikan ide-ide mengenai apa saja yang mesti direspon oleh kebijakan sekaligus bagaimana seharusnya

sebuah kebijakan, sebagaimana musrenbang

(Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Tetapi secara menyeluruh masyarakat terlibat dalam praktik pengelolaan pemerintahan dan kebijakan publik sehari-hari. Governance yang menekankan sinergi antar aktor, baik aktor politik, sosial, dan ekonomi, jelas sekali mempersyaratkan keterlibatan (inklusi) bagi efektivitas interelasi antar aktor dalam upaya pemenuhan hak dasar warga negara. Bahkan jika kita merujuk pada Dryzek (2000a), ketika menjelaskan deliberative democracy, keterlibatan warga negara dalam praktik-praktik governance pada dasarnya tidak sekedar penting bagi proses pembuatan kebijakan, tetapi, secara substantif penting bagi pembelajaran sosial dan politik dalam rangka mendukung perubahan kebijakan bagi kesejahteraan bersama. Dalam era desentralisasi, dimana penyediaan layanan publik semakin dekat kepada warga negara (Mawardi, 2002 dan Toyamah, 2002), inklusi menjadi syarat yang tidak terhindarkan dan memperkuat pencapaian tata pemerintahan yang baik (good governance).

Tetapi, kenyataannya,

desentralisasi belum sepenuhnya mampu

mendukung good governance sehingga belum membawa kemudahan yang lebih berarti bagi pelayanan publik. Catatan the World Bank (2009), misalnya, menyebutkan bahwa ketidak-sinkronan visi dan prioritasi berbagai bidang menyebabkan desentralisasi seperti kehilangan arah. Desentralisasi berjalan tanpa roadmap. Di pusat, terdapat tumpang tindih antar kementerian dalam hal pelaksanaan wewenang, dan terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi. Beberapa kementerian terlihat masih belum mendukung berjalannya desentralisasi, sementara beberapa yang lain kehilangan arah dalam mendesentralisasikan kebijakan. Kerumitan di pusat ini kemudian menurun dalam praktik pemerintahan di daerah, dimana terdapat tumpang tindih antar dinas, Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

7


bahkan termasuk kecenderungan munculnya ego-ego sektoral. Koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat kurang. Batas otoritas pusat dan daerah kabur, ditambah dengan inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional, peraturan yang berubah-ubah, serta instruksi yang saling bertabrakan menyebabkan kebingungan di daerah. Dalam hal pelayanan publik, wewenang yang mestinya didesentralisasikan tereduksi oleh berbagai aturan dari pusat, ditambah dengan petunjuk teknis pelaksanaan yang terlalu, tetapi tanpa disertai dengan pertimbangan kekhasan daerah yang berbedabeda, menyebabkan kegagalan pelayanan publik menjawab problem dan isu masyarakat sesuai konteks masing-masing. Kerumitan ini justru mengesankan kebijakan pusat yang belum sepenuhnya percaya pada kemampuan pengelolaan daerah, sekaligus tidak sensitif pada partikularitas daerah. Area dimana pemerintah daerah mestinya memiliki otoritas yang determining menjadi sekedar sebatas pelaksana. Pemerintah daerah tidak lebih sebagai service provider daripada the real policy makers di hadapan pemerintah pusat. Di sisi lain, daerah tidak berani berimprovisasi sehingga inovasi menjadi lemah. Sebaliknya, daerah juga terkadang terlalu sering membuat berbagai peraturan yang justru bertentangan (kontraproduktif) dengan peraturan nasional sehingga menumpuk dan memperumit masalah. Kerumitan di ranah pemerintah ini berimplikasi secara serius salah satunya pada kebuntuan-kebuntuan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Respon terhadap tuntutan dan aspirasi ala kadarnya, bahkan seringnya tidak digubris. Ketidakpuasan masyarakat sering dijawab dengan alasan peraturan dari atas berbunyi seperti ini, seolah-olah tidak bisa diutak-atik, pemerintah daerah hanya menjalankan, dan akhirnya masyarakat juga harus menerima apa adanya. Protes masyarakat diremehkan dan didengar sambil lalu saja. Inklusi pun menjadi lemah. Kota Surakarta dipilih sebagai obyek studi untuk membidik fokus kajian mengingat setidaknya dua hal. Pertama, Kota Solo dikenal memiliki karakter asosiasi sosial yang kuat berupa tradisi paguyuban yang mengakar di masyarakat (sebagaimana hasil penelitian LSM KOMPIP, Surakarta). Di Solo terdapat berbagai paguyuban yang menggambarkan interest dari masyarakat, seperti paguyuban pedagang pasar, tukang becak, dan sebagainya. Paguyuban ini bukan sekedar wadah profesi tetapi juga wadah berdemokrasi, deliberasi, dan penyalur aspirasi di pembuatan kebijakan. Paguyuban berfungsi sebagai wadah interest. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

8


Kedua, Kota Solo dikenal sebagai kota yang memiliki akar civil society yang kuat, dimana eksistensi LSM masif dan intensif dalam advokasi kebijakan. Pattiro dan Kompip, misalnya, adalah sedikit dari berbagai NGO yang aktif dalam advokasi pelayanan publik di Surakarta (sebagaimana hasil penelitian Alfirdaus dan von Luebke, 2010). Akar civil society disebut kuat bukan sekedar karena jumlah mereka banyak, tetapi secara kualitas keberadaan mereka juga diperhitungkan dalam interaksi governmental sehari-hari. NGO dan asosiasi masyarakat di Kota Solo sedikit banyak telah menjadi bagian dari governing process dan praktik-praktik governance (sebagaimana temuan Alfirdaus dan von Luebke, dalam wawancara dengan aktivis LSM Kompip, Surakarta, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH Penelitian tentang “citizen inclusion dalam praktik governance sehari-hari ini” membidik fokus pada “sejauh mana masyarakat dilibatkan dalam governing process?”, yang secara spesifik merujuk pada proses-proses policy making di daerah, yang mencakup penyediaan layanan publik, program pemberdayaan masyarakat, pengelolaan konflik, penanganan protes dan tuntutan, dan sebagainya. Masyarakat dalam pengertian ini adalah masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi di luar pemerintah (government). Lebih jauh, implikasi dari pertanyaan penelitian di atas adalah pada perlunya penggalian data tentang penjelas keterlibatan masyarakat, menjawab secara kritis pertanyaan “mengapa”. Cakupan data penjelas itu antara lain adalah constraning factors maupun driving factors baik di dalam pemerintah maupun di dalam masyarakat, termasuk di dalam peran-peran yang dimainkan oleh NGO dalam advokasi kebijakan. Di dalam pemerintah, akan dilihat aspek willingness dan kompabilitas sistem yang disiapkan dalam institusi pemerintahan bagi keterlibatan warga. Di dalam warga negara sendiri akan dilihat sejauhmana pengetahuan dan kesadaran warga, serta aspek-aspek teknis yang mendukung maupun menghambat. Secara tidak langsung, analisis dalam penelitian akan menekankan kaitan antara constraining dan driving factors ini dengan karakter sosial budaya dan antropologi masyarakat di kedua kota untuk memastikan kontekstualitas data.

C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan fokus penelitian di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

9


a. Tujuan Teoritis 1) Untuk melihat kedalaman keterlibatan warga negara (Citizen inclusion) di daerah yang pola-pola struktur sosialnya hampir sama tetapi sedikit berbeda dalam karakter politiknya. 2) Untuk memetakan berbagai penjelas kedalaman keterlibatan tersebut, baik dari aktor pemerintah maupun non-pemerintah (citizen). b. Tujuan Praktis 1) Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang praktek partisipasi masyarakat dalam pengembangan potensi lokal. 2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah maupun masyarakat tentang partisipasi masyarakat lokal dalam rangka mewujudkan good governance.

D. KONTRIBUSI PENELITIAN Meski sangat kental nuansa akademiknya, terlacak dalam perdebatan-perdebatan wacana tentang governance dan kebijakan publik, penelitian dapat dikategorikan sebagai evaluation research, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menelaah kegagalan maupun kesuksesan sebuah kebijakan, kemudian memetakan sebab-sebab penjelas kesuksesan dan kegagalan tersebut. Oleh karena itu, secara praktis, penelitian ini juga berkontribusi sebagai policy learning yang bermanfaat tidak saja bagi kedua daerah obyek penelitian, tetapi juga daerah lain dalam hal pelibatan warga negara dan pengelolaan pemerintahan (governing process).

E. TINJAUAN PUSTAKA E. 1. Keterlibatan Warga: Menggeser Pendulum Negara ke Masyarakat Pimbert dan Wakeford (2001) mengidentifikasi inclusion sebagai sebuah tindakan untuk melibatkan orang lain. Dalam konteks proses pembuatan keputusan, yang disebut sebagai inclusionary decision-making process adalah yang didasarkan pada keterlibatan aktif aktor-aktor sosial, dengan memberikan tekanan yagn kuat pada keterlibatan warga negara yang sebelumnya dan biasanya dipinggirkan (excluded citizens). Dari pengertian inclusion Pimbert dan Wakeford, dapat disimpulkan bahwa dorongan pelibatan warga negara dalam pengambilan keputusan jelas sekali berasal dari berbagai problem ketersumbatan saluran-saluran aspirasi. Inclusion dengan demikian adalah bagian penting untuk membongkar ketersumbatan tersebut. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

10


Sementara itu, Witcher (2003), mengkontraskan istilah inclusion dengan exclusion. Dalam pandangan Witcher, kondisi miskin dan termiskinkan warga negara salah satunya dapat dijelaskan dengan konsep social exclusion. Konsep ini merujuk pada ketidakmampuan warga negara untuk mengakses berbagai fasilitas dan sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai kapital dalam memberdayakan potensi mereka. Konsep inclusion diperkenalkan dengan memberikan tekanan pada pembukaan ruang-ruang sosial sehingga warga negara miskin bisa dengan leluasa masuk dan bertransaksi didalamnya. Hanya saja, sebagaimana Witcher transaksi itu tidak mesti dilakukan dengan currency yang berupa uang. Dalam relasi sosial, human atau social capital dapat juga menjadi modal dalam bertransaksi secara sosial. Logika yang dibangun Witcher dapat juga kita gunakan untuk menjelaskan inclusion maupun exclusion dalam konteks politik. Dalam interaksi yang bernama governance transaksi terjadi antar elit politik, antar konstituen dengan pendukungnya, antar anggota legislatif dengan para pemilihnya, antara pengusaha dengan policy makers, dan sebagainya. Currency yang dimiliki antar aktor bisa berupa investasi ekonomi sebagaimana yang dimiliki masyarakat ekonomi, mandat pemilih sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat politik, juga hak politik warga negara sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat sipil (Dyson, Cummings, dan Millward, 2003: 49). Akan tetapi, sebagaimana Witcher, meskipun tiap manusia secara jelas telah memiliki currency, seringkali mereka terhalang ataupun juga dihalangi untuk turut terlibat dalam transaksi tersebut. Ketidakterlibatan tiap elemen masyarakat itulah yang disebut sebagai exclusion. Dalam ranah politik, halangan untuk turut serta dalam aktivitas-aktivitas transaksional policy making bisa terbagi dalam setidaknya empat hal. Pertama, fasilitas infrastruktur yang memang tidak tersedia, seperti sarana transportasi dan komunikasi, sebagaimana sering dialami oleh masyarakat di daerah-daerah terpencil. Kedua, terkait dengan relasi kekuasaan, dimana terdapat pihak-pihak yang enggan membagi ruang transaksinya dengan warga negara (Witcher: 2003: 1). Ketiga, masyarakat yang memang belum mengerti makna inklusi. Keempat, policy makers yang memang tidak siap dengan piranti-piranti inklusif (The World Bank: 2009). Terkait exclusion, ada yang bersifat aktif, ada juga yang bersifat pasif. Sebagaimana Sen (2000), eksklusi aktif merujuk pada warga negara yang secara sengaja membatasi keterlibatannya dalam interaksi sosial dan politik, dengan alasan apapun. Sedangkan eksklusi pasif merujuk pada akses warga negara yang secara sengaja Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

11


dihalangi oleh pihak lain untuk turut serta dalam bertransaksi. Eksklusi itu pulalah, yang jika dalam analisis sosial ekonomi disebut sebagai salah satu penjelas kemiskinan masyarakat, dalam ranah politik yang menyebabkan keterpinggiran politik warga, membawa mereka pada kemiskinan politik, miskin akses terhadap pembuatan keputusan, suara yang tidak pernah didengar, dan aspirasi yang diabaikan. Akan tetapi, karena inklusi dalam ranah politik adalah perihal hak yang sangat mendasar, desakan untuk membuka inklusi warga pun menjadi semakin tidak terhindarkan, terlebih lagi ketika sebagian besar negara di dunia ini memutuskan untuk mengadopsi demokrasi sebagai sistem maupun semangat untuk menjalankan kehidupan politik dan pemerintahan mereka. Dalam ranah politik, inklusi tidak sekedar hadir, misal dalam pemilu ataupun musyarawarah-musyawarah pengambilan keputusan. Tetapi, inklusi juga berarti terlibat untuk memberikan ide-ide dan mengajukan perspektif sehingga dapat memperdalam substansi maupun metode atau desain sebuah kebijakan. Kebutuhan melibatkan warga dalam praktik governance sehari-sehari menjadi penting karena di sanalah justru kebutuhan riil masyarakat memerlukan respon kebijakan publik. Dengan demikian inklusi lebih dari sekedar partisipasi yang umumnya diukur secara kuantitatif dalam bentuk kehadiran. Citizen inclusion menjadi tawaran untuk menyudahi dominasi negara ketika dominasi itu tidak lagi mampu menjawab persoalan dan kebutuhan warga negara. Sebelumnya, perspektif state-centric menempatkan negara sebagai jawaban bagi permasalahan warga negara, dan negara mengemban amanah warganya.1 Permasalahan masyarakat diidentifikasi oleh pemerintah dan diselesaikan melalui otoritas penuh pemerintah. Tetapi, ketika praktik memerintah oleh negara pada kenyataannya lebih sering diwarnai oleh represi, otoritarianisme, dan rente birokrasi, kepercayaan penyerahan mandat secara bulat itu mulai luntur. Di samping itu, terlalu banyak segmen masyarakat yang marjinal yang tidak terakomodasi dalam kebijakan pemerintah2, sehingga menjadi terlalu musykil jika upaya penyelesaian masalah sepenuhnya bertumpu pada pundak pemerintah. Oleh karena itu, perspektif state-centric ini digeser kepada perspektif societycentric, dimana policy making dan governing process bertumpu pada masyarakat. State 1

Hal ini dijelaskan oleh Sutoro Eko, dalam “Pembangunan Politik, Pemberdayaan Politik, dan Politik Transformasi�, disadur dari www.ireyogya,or.id, pada tanggal 1 Maret 2010. 2 Dryzek (1996: 1) menyebut mereka sebagai target inklusi, meliputi kaum perempuan, pemuda, penyandagang cacat, kaum miskin, dan sebagainya. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

12


yang direpresentasikan oleh pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyedia layanan, dan inklusi adalah mekanisme untuk meletakkan tumpuan governing process itu pada masyarakat. Partisipasi, dengan demikian menjadi basis bagi bekerjanya governance menggantikan perspektif pembangunan yang terpusat pada negara (Takeshi, 2006: 138). Dalam konteks transformasi politik negara-negara berkembang, inklusi warga negara ini menguat seiring dengan tumbangnya rezim otoritarian, yang merupakan penanda paradigma state-centric, mengisi proses reformasi politik dan demokratisasi (Rosser, Roesad, dan Edwin: 2004: 1).

E.2. Bentuk-bentuk Citizen Inclusion dalam Deliberative Governing Process Wakeford (2001: 29-31) melalui surveinya mencatat berbagai bentuk keterlibatan warga negara dalam governing process, antara lain: a. Focus Groups Focus groups adalah diskusi yang dipimpin oleh seorang moderator, dimana berbagai pandangan masyarakat yang disampaikan dalam forum diskusi tersebut dianalisa oleh sebuah badan komisi. Tetapi, bentuk diskusi dalam focus groups mencakup sejumlah kecil warga negara yang diperbolehkan untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi pandangan mereka. Interest adalah kata kunci dalam Focus Groups sehingga penguasaan terhadap masalah tertentu menjadi penting untuk menentukan dibolehkan/tidaknya anggota masyarakat untuk bergabung dalam diskusi kecil ini. Meski dapat secara cepat menjaring perspektif masyarakat, tetapi Focus Groups dinilai terlalu membatasi kemungkinan variasi perspektif yang mungkin muncul. b. Deliberative Focus Groups Deliebrative Focus Groups hampir sama dengan Focus Gorup, hanya saja, ia memungkinkan menjaring informasi tertulis dan non-tertulis selama proses diskusi berlangsung maupun sebelum diskusi dilaksanakan. Tetapi, potensi informasi yang bias menjadi kritik bagi metode ini. c. Consensus Conference/Panel Di sini, warga diperkenankan mendengarkan berbagai data dan informasi yang telah diseleksi relevansinya sebelumnya, lalu menyimpulkannya berdasarkan konsensus. Data dan informasi ini berasal dari stakeholders terkait dengan kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan warga. Selama pertemuan, warga diberi ruang untuk bertanya, tetapi di akhir proses Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

13


capaian yang diharapkan adalah berupa konsensus atas rekomendasi kebijakan, agenda pemerintah dan tenggat waktu pelaksanaan. d. Citizens’ Jury/Panel Hampir sama dengan Focus Groups, tetapi metode ini dipakai untuk menilai sebuah kebijakan. Jury diambil secara random dari masyarakat. e. Scenario Workshop/Citizen Foresight Fokus pada berbagai pilihan dan skenario bagi pembangunan kebijakan.isu yang didiskusikan dikerangkai oleh warga, sehingga merupakan proses perencanaan yang partisipatoris.

E.3. Desentralisasi dan Good Governance Bekerjanya mesin governance mensyaratkan negara atau pemerintah yang secara geografis dan politis dekat dengan warga negaranya. Dekat secara geografis dalam arti warga tidak memiliki hambatan yang berarti untuk menjangkau pemerintah terkait dengan jarak dan fasilitas infrastruktur. Dekat secara politis dalam arti pemerintah cukup tanggap terhadap kebutuhan dan permasalahan ditunjukkan melalui respon yang cepat dalam kebijakan publik. Sistem politik dengan demikian bekerja secara baik mengolah input dari warga negara, baik berupa aspirasi, tuntutan, atau protes. Terkait dengan ini, desentralisasi menjadi salah satu pilihan rasional bagi upaya pendekatan negara kepada masyarakatnya. Bukan saja desentralisasi bertujuan untuk membagi kewenangan dan kekuasaan pusat kepada daerah, tetapi desentralisasi juga untuk mempermudah pendistribusian pelayanan publik kepada masyarakat serta mendukung penjaringan aspirasi masyarakat dalam hal penyediaan pelayanan publik dan pembuatan keputusan. Sebagaimana Mawardi, dkk (2002: 1), secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan publik melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat tidak perlu melalui prosedur yang rumit untuk mengakses pelayanan. Desentralisasi dengan demikian mestinya mendukung engagement (rasa keterikatan) antara pemerintah dan pihak-pihak di luar pemerintah melalui interaksi yang semakin dekat dan intensif. Kedekatan negara dengan masyarakatnya ini tidak hanya menguntungkan masyarakat dalam hal pelayanan, tetapi juga mempermudah negara dalam mengidentifikasi problem masyarakat untuk dicerna dalam agenda setting dan proses-proses kebijakan yang lain. Mesin governance dengan demikian tidak perlu menunggu lama untuk bisa bekerja Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

14


karena kedekatan jarak geografis dan politis menghemat waktu dan energi yang diperlukan untuk mengelola problem dan merespon kebutuhan warga. Terkait hubungan desentralisasi dan good governance, Takeshi (2006: 138) dengan jelas menegaskan bahwasannya desentralisasi dapat mendorong pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif. Kedekatan dengan para waraga negara yang juga adalah klien pemerintah dalam kerangka desentralisasi itulah yang menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk lebih tanggap terhadap problem di daerahnya. Di sini letak krusialnya desentralisasi bagi penguatan good governance di aras lokal. Apalagi, akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas pemerintah tidak sekedar menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah (138). Dan untuk kepentingan ini, sangat tidak mungkin pemerintah bekerja sendiri. Ia harus melibatkan masyarakat. Takeshi (2006: 138) menambahkan, dalam hal ini partisipasi masyarakat menjadi prasyarat efektifnya kinerja governance karena mendorong keterlibatan yang lebih luas, memungkinkan preferensi kebijakan yang lebih kaya, sehingga meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas pemerintah, baik di tingkat nasional maupun subnasional.

E.4. Penguatan Governance di Daerah: Pemberdayaan Pemerintah dan Warga Desentralisasi menggeser hampir sebagian besar urusan yang sebelumnya secara dominan ditangani oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Urusan paling banyak yang didesentralisasikan adalah urusan pelayanan publik. Catatan The World Bank (2009) menyebutkan, sejak kebijakan desentralisasi diterapkan, setidaknya pemerintah daerah dibebani tanggung jawab atas sepertiga belanja negara dan setengah dari anggaran pembangunan. Di samping itu, pengeluaran dalam bidang pendidikan, kesehatan dan penyediaan infrastruktur juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Bahkan tiga perempat dari pegawai negeri bekerja untuk pemerintah daerah. Dengan demikian, fungsi pemeRrintahan dapat dikatakan sebagian besar tergantung pada bagaimana pemerintahan di daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, langkah krusial dalam rangka mengefektifkan fungsi desentralisasi sebagai bagian dari upaya penguatan governance di daerah adalah mereformasi pelayanan publik. Jika tidak, sebagaimana The World Bank (2009), maka berbagai penyediaan layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, akan mengalami hambatan yang cukup berarti, sehingga kesenjangan kesejahteraan akan semakin tajam, Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

15


bahkan stabilitas makroekonomi dapat terancam. The World Bank menunjuk contoh pengalaman di Filipina dan Kolumbia untuk memperlihatkan bagaimana lemahnya kerangka desentralisasi yang dibangun dapat menyebabkan penurunan dalam penyediaan layanan publik. Berbagai permasalahan makroekonomi di Argentina dan Brasil, sebagian besar juga dapat dikaitkan dengan buruknya pelaksanaan desentralisasi. Dalam rangka mereformasi pelayanan publik di aerah itu setidaknya terdapat dua langkah fundamental. Pertama, memberdayakan pemerintah daerah. Kedua memberdayakan warga negara. Pemberdayaan dua aras ini krusial karena pola dan bentuk interaksi keduanya mempengaruhi kualitas bekerjanya governing process dalam praktik-praktik governance sehari-hari.

Pemberdayaan Pemerintah Daerah Citizen inclusion sangat dipengaruhi oleh dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pertama, willingness pemerintah. Hal ini terkait dengan keterbukaan pemerintah terhadap partisipasi warga dalam praktik-praktik pemerintahan sehari-hari. Kedua, sistem yang dipersiapkan dalam institusi pemerintahan agar secara kompatibel memiliki kemampuan mewadahi dan merespon keterlibatan warga. Sistem ini terkait dengan regulasi, resources, alokasi dana, dan fasilitas yang tersedia guna mendukung citizen inclusion. Dalam konteks tertentu, terkadang terdapat willingness pemerintah, dan sistem yang dipersiapkan cukup kompatibel, tetapi warga belum maksimal memanfaatkan ruang-ruang inklusi. Hal ini bisa saja terjadi karena misal kesadaran warga yang masih rendah atau ada problem trust atau legitimasi terhadap pemerintah sehingga rakyat apatis. Bisa juga pemerintah memang tidak memiliki willingness, karena tertutup, dan melihat keterlibatan warga kontraproduktif bagi berjalannya pemerintahan, serta sama sekali belum mempersiapkan sistem yang kompatibel untuk inklusi warga. Warga ditempatkan secara vis a vis negara. Dalam hal lain, mungkin saja pemerintah telah mempunyai willingness tetapi sistem belum cukup siap, atau pada dasarnya pemerintah memiliki kemampuan untuk mempersiapkan sistem yang kompatibel bagi citizen inclusion tetapi memang tidak ingin warga terlibat. Tetapi, willingness dan kesiapan sistem ini juga tergantung pada banyak hal. Lemahnya desain desentralisasi jelas akan mempengaruhi kesediaan dan kesiapan pemerintah untuk terbuka terhadap warganya. Dalam hal ini, pemberdayaan pemerintah daerah menjadi perlu. Terkait dengan upaya pemberdayaan pemerintah daerah, The Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

16


World Bank (2009) menekankan setidaknya ada lima tindakan yang diperlukan. Tindakan tersebut antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut. Satu, menyusun roadmap. Tindakan menyusun roadmap tidak lain ditujukan untuk menyusun rencana yang jelas dan menyeluruh mengenai prioritasi agenda desentralisasi. Penyusunan roadmap akan memberikan kejelasan dan membantu tahap pelaksanaan, guna menemukan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah, serta menyeimbangkan kebutuhan akan efisiensi dan pemerataan. Penyusunan roadmap jelas bukan wilayah eksklusif pemerintah. Melainkan, mesti didasarkan pada konsultasi antara pemerintah daerah, DPD, masyarakat sipil dan pihak terkait lainnya. Kedua, menunjuk pihak yang bertanggungjawab. Agar desentralisasi dapat secara efektif mendukung bekerjanya governance di daerah, koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah, serta antar pemerintah dan masyarakat mesti diperkuat. Pengalaman tumpang tindihnya kewenangan serta saling lempar tanggung jawab ketika terjadi permasalahan, mengindikasikan betapa lemahnya koordinasi antar sektor dan instansi didalam lembaga pemerintah. Di pusat, beberapa kementerian masih belum dapat mengakomodasi proses desentralisasi, sementara kementerian lain seakan-akan kehilangan arah, dan sebagian lain bahkan memperlihatkan tendensi tidak mendukung berjalannya desentralisasi. Hal ini menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional serta munculnya kebingungan di tingkat daerah. Oleh karena itu, formulasi kebijakan desentralisasi harus dapat memperjelas batas tanggung jawab antar pihak, dan jika memang sebuah isu mesti ditangani secara koordinatif, koordinasi itu mesti diperjelas ruang kerjanya. Ketiga, memperjelas kewenangan, yaitu menegaskan tugas dan kewenangan sektoral yang menjadi bagian dari otoritas daerah. Pengalaman kebijakan desentralisasi selama ini, UU No. 22 tahun 2004 memang sudah menegaskan kewenangan sektoral dan otoritas daerah, termasuk fungsi-fungsi daerah tingkat dua. Tetapi penjelasan UU kurang terperinci sehingga menimbulkan keruwetan koordinasi, yang berimplikasi pada permasalahan perencanaan dan pembiayaan. Problem ini tentu dapat mempengaruhi kualitas pelayanan publik, serta upaya pencapaian perbaikan indikator sosial, seperti kesehatan anak, prestasi pendidikan siswa, kemajuan usaha kecil bagi kaum miskin, kesempatan pelatihan kerja bagi kaum Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

17


perempuan, penataan pedagang, dan sebagainya. Hal ini memperjelas kepada kita kebutuhan membuat garis wewenang yang lebih detil. Tekanan pembuatan standar pelayanan minimum sebagaimana diamanatkan UU No. 22 tahun 2004 memang dapat membantu masyarakat memperoleh informasi tentang apa saja yang dapat mereka harapkan dari pemerintah mereka. Tetapi, hal ini tentu mempersyaratkan persiapan sumber daya manusia dan keuangan yang cukup kepada pemerintah daerah. Keempat, penyaluran dana secara lebih merata. Basis kekayaan sumberdaya alam dan kontribusi pada pendapatan negara yang selama ini digunakan sebagai dasar menentukan dana penyelenggaraan pemerintahan di daerah memperlebar jarak ketimpangan antara daerah kaya dan daerah miskin. Akibatnya, masyarakat miskin di daerah miskin semakin jauh dari akses pelayanan publik yang layak. Pemerataan penyaluran dana ini misalnya dapat dilakukan dengan memperbaiki penentuan besar DAU (Dana Alokasi Umum).

3

Kedua, dengan meningkatkan pemberian DAK (Dana

Alokasi Khusus). DAK mestinya dapat menopang kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan pelayanan yang tidak tercukupi oleh DAU. Melalui DAK, daerah-daerah miskin diharapkan tetap dapat memberikan pelayanan publik. Kelima, meningkatkan akuntabilitas lokal. Akuntabilitas pemerintah daerah mesti kuat pada dua aras: terhadap pemerintah pusat dan terhadap masyarakat sebagai klien. Akuntabilitas mempersyaratkan informasi dan sistem informasi yang memadai, sistem pengawasan dan evaluasi yang baik, tersedianya basis pajak lokal yang lebih besar.

Pemberdayaan Warga Negara untuk Mendorong Inklusi Sementara itu, pemberdayaan warga dilakukan dengan memperluas inklusi dalam ruang-ruang kebijakan, sejak dari perencanaan, implementasi, sampai evaluasi. Sejauh ini, skema yang disediakan bagi pelibatan warga adalah Musrenbang. Sayangnya, belum lagi kritik terhadap efektivitas Musrenbang terjawab, absennya ruang keterlibatan warga dalam implementasi dan evaluasi juga menjadi masalah tersendiri. Konsep citizen’s juries sebagai bagian dari mekanisme evalusai kebijakan masih belum dapat dilakukan. Pemberdayaan warga memerlukan ruang deliberasi yang lebih. Upaya 3

DAU disusun berdasarkan beberapa indikator: luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, biaya hidup dan kapasitas fiskal. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

18


pelibatan warga dalam budgeting policy juga masih absen, sebagaimana temuan Sunaji dan Anwar ketika melakukan advokasi “Participatory Budgeting and Expenditure Tracking� (2008). Pemberdayaan terhadap warga dalam proses-proses deliberatif adalah untuk tujuan sebagai berikut. Pertama, menumbuhkan kesadaran bahwa mereka adalah bagian penting dalam policy making. Kedua, untuk menginformasikan saluran-saluran apa yang dapat mereka masuki untuk mempengaruhi kebijakan dan memperbaiki penyediaan pelayanan. Ketiga, untuk memberikan preferensi kepada policy makers terkait dengan opsi-opsi dan prioritas untuk direspon dalam kebijakan dan pelayanan publik. Keempat, untuk memastikan bahwa penyediaan pelayanan telah memenuhi standar kepuasan warga, diselenggarakan secara akuntabel, transparan, dan berpihak pada kaum yang lemah. Pemberdayaan warga untuk memperkuat inklusi juga untuk memastikan bahwa negara responsif terhadap kebutuhan warga yang memerlukan perhatian spesifik, seperti kaum cacat, petani miskin, perempuan, dan sebagainya (Suharto, 2008: 1-8). Dalam konteks pemberdayaan warga, peran NGO jelas tidak dapat dikesampingkan. NGO menjadi lembaga intermediari antara warga dan negara, sekaligus sebagai advokat kepentingan komunitas yang didampinginya. Miller mereujuk pada Covey (dalam Covey dan Miller, 2005: 380) menekankan peran penting NGO dalam kebijakan antara lain: mendidik warga dalam mengidentifikasi isu-isu sipil; mendidik warga tentang cara-cara mengakses sistem; membangun basis kelembagaan masyarakat sipil yang kuat; dan menyajikan mekanisme-mekanisme untuk partisipasi dan perubahan kebijakan. Mempertimbangkan berbagai faktor di atas, citizen inclusion dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu: 1. Inclusion yang diinisiasi pemerintah, dimana ruang pelibatan ini disebut juga invited space, sebagaimana Gaventa (2006: 26) 2. Inclusion atas inisiatif masyarakat. 3. Inclusion yang didorong oleh LSM.

F. Definisi Konsep Penelitian ini memanfaatkan dua konsep kunci, yaitu citizen inclusion dan praktik-praktik governance sehari-hari yang terdiri dari dari policy making, pelanan masyarakat sipil, pemberdayaan, dan sebagainya. Fokus utama studi ini adalah untuk melihat kedalaman keterlibatan dan pelibatan masyarakat dalam praktik-praktik Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

19


governance sehari-hari. Inclusion dalam konteks ini adalah keterlibatan masyarakat dalam proses-proses kebijakan, yang meliputi agenda setting, formulasi, implementasi, dan evaluasi.

G. METODE PENELITIAN G.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan

dalam

penelitian

ini

adalah

pendekatan

kualitatif,

yang

didefinisikan sebagai "metodologi kualitatif' merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000: 3). Pandangan dari Kirk dan Miller (Moleong, 2000: 3) bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orangorang tersebut dalam bahasanya/pengistilahannya.

G.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif, yakni mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena. Demikian pula yang dinyatakan (Neuman 2000: 2123) bahwa penelitian deskriptif itu berupaya menampilkan gambaran situasi, seting sosial, atau hubungan yang lebih rinci.

G.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta.

G. 4. Teknik Pemilihan Sumber Informasi Sumber informasi untuk diwawancara dipilih berdasarkan kompetensi dan relevansinya. Pertama, sumber wawancara berasal dari pemerintah, yaitu mereka yang termasuk dalam lingkaran policy makers. Kedua, warga negara, khususnya yang termasuk dalam asosiasi sosial, mempertimbangkan representasi interes warga. Ketiga, NGO yang aktif dalam pendampingan inklusi warga negara. Sumber informasi dokumentatif mencakup misalnya laporan-laporan kegiatan NGO, laporan penelitian, Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

20


arsip pemerintah, maupun berita-berita media. Sember informasi observatif berasal dari perilaku warga berinklusi, perilaku pemerintah ketika merespon inklusi warga, serta aktivitas NGO dalam pendampingan inklusi warga dalam proses kebijakan. G. 5. Teknik Pengumpulan Data Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan para informan sebagai data primer dan tulisan atau dokumen-dokumen yang mendukung pemyataan informan sebagaimana Lofland dan Lofland

(dalam Moleong 2000: 112). Data

tambahan lain adalah dokumen. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: a.

Wawancara terstruktur, yaitu wawancara dengan informan secara individual dengan tetap mengacu pada panduan wawancara yang disusun secara terbuka.

b.

Observasi (pemantauan) yaitu mengamati aktivitas, kejadian, dan interaksi kehidupan masyarakat, terutama dalam menjalankan kegiatan yang terkait dengan program partisipasi masyarakat.

c.

Kajian Dokumentasi, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan data sekunder yang berasal dari buku panduan organisasi atau program, laporan kegiatan, evaluasi program, maupun jenis dokumentasi lainnya.

G.6. Teknik Analisa Data Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui tahapan sebagai berikut: (1) Melakukan telaah data, yaitu berupa penyajian hasil data secara menyeluruh, baik dari hasil wawancara maupun dokumentasi, (2) Reduksi data, (3) Penyusunan ke dalam satuan-satuan, (4) Kategorisasi, (5) Pemeriksaan keabsahan data, yaitu upaya menentukan data yang masuk memenuhi syarat penelitian atau belum, sehingga kalau belum maka dapat disempurnakannya, dan (6) analisa dan penafsiran data berdasar teori dan konsep yang digunakan. Dalam penelitian ini data-data tentang partisipasi masyarakat yang telah didapatkan, baik melalui wawancara atau dokumentasi disajikan secara menyeluruh, kemudian dipilih data yang diperlukan dan dikelompokkan kepada kelompok infomasi yang telah disusun. Apabila didapatkan data yang kurang maka dilakukan penyempurnaan data dengan mencari kembali baik melalui wawncara atau dokumen yang ada, dan setelah itu dilakukan pemaparan dan analisa terhadap data yang ada.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

21


BAB II SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK KOTA SURAKARTA

A. Kondisi Geografis Kota Surakarta Hadiningrat lebih dikenal dengan nama Kota Solo, terletak antara 110o45'15" - 110o45'35" Bujur Timur dan antara 7째36'00" - 7째56'00" Lintang Selatan, dengan luas daerah kurang lebih 4.404,0593 Ha. Secara geografis wilayah Kota Surakarta terletak pada cekungan di antara dua gunung berapi yaitu Lawu di sebelah timur dan gunung Merapi di sebelah barat sehingga topografisnya relatif rendah dengan ketinggian 92 m di atas permukaan laut dan berada pada pertemuan sungai Pepe, Jenes dan Bengawan Solo. Topografi seperti ini membuat Kota Surakarta mempunyai suhu udara rata-rata 21,9째C - 32,5째C, dengan kelembaban udara 71% dan 135 hari hujan dengan curah hujan mencapai 2,231mm. Secara administratif Kota Surakarta memiliki batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar. Sedangkan wilayah administrasi Kota Surakarta terdiri dari 5 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari serta terdiri dari 51 kelurahan yang mencakup 595 RW, 2.669 RT dan 130.440 KK. Secara administratif, Kota Surakarta mengalami beberapa periode perubahan sebutan, yaitu : 1. Periode Pemerintahan Daerah Kota Surakarta, dimulai pada tanggal 16 Juni 1946 sampai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1947 pada tangal 5 Juni 1947. 2. Periode Pemerintahan Daerah Komite Kota Surakarta, dimulai dengan adanya Undang-undang Nomor 16 tahun 1947 tanggal 5 Juni 1947 dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tanggal 20 Juli 1948. 3. Periode Pemerintahan Kota Besar Surakarta, dimulai dengan adanya Undangundang Nomor 22 tahun 1948 tanggal 20 Juli 19488 sampai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 pada tanggal 19 Januari 1957. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

22


4. Periode Pemerintahan Daerah Kotapraja Surakarta, dimulai dengan adanya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 pada tanggal 19 Januari 1957 sampai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 pada tanggal 1 September 1965. 5. Periode Pemerintahan Kotamadya Surakarta, dimulai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 pada tanggal 1 September 1965 sampai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974. 6. Periode Pemerintahan Kotamadya Dati II Surakarta, dimulai dengan adanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 sampai dengan berlakunya Undangundang Nomor 22 tahun 1999 pada tanggal 4 Mei 1999. 7. Periode Pemerintahan Kota Surakarta, dimulai dengan berlakunya Undangundang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sampai dengan sekarang. Wilayah administratif kota Surakarta tidak luas, hanya 4.404,06 ha, sebagian besar telah menjadi lahan permukiman/perumahan yaitu seluas 2.731,02 ha dan sisanya berturut-turut untuk jasa 427,13 ha, ekonomi industri dan perdagangan 388,90 ha, ruang terbuka 222,98 ha, pertanian (sawah/ladang) 234,59 ha dan lain-lain (prasarana lingkungan dan fasilitas umum) 399,44 ha. Kota Surakarta merupakan daerah perkotaan, lahan pertanian semakin lama semakin menyempit karena beralih fungsi menjadi permukiman, perdagangan maupun industri, sehingga berdampak pada semakin menurunnya peran dan kontribusi sektor pertanian dalam mendukung produksi daerah, bahkan untuk kepentingan penyediaan hasil bumi berupa tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Kota Surakarta mengandalkan dari daerah sekitarnya. Demikian pula bahan tambang, hampir tidak ada kecuali air bawah tanah dan bahan galian C ini meskipun relatif kecil. Posisi Kota Surakarta juga berada pada jalur strategis lalu lintas ekonomi perdagangan maupun kepariwisataan di antara Yogyakarta – Solo – Semarang (Joglo Semar) – Surabaya – Bali. Akses ke pelabuhan bebas terdekat adalah pelabuhan Tanjung Emas Semarang, sedangkan akses ke pelabuhan udara dapat dilayani dua Bandara Internasional, Adi Sucipto di Yogyakarta dan Adi Sumarmo di Surakarta sendiri.

B.Sumber Daya Manusia B.1.Kependudukan Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

23


Kualitas pembangunan dan keberlangsungan otonomi daerah sangat ditentukan oleh faktor sumber daya manusia (SDM) potensial dan dinamis yang mampu mengolah sumber daya alam dan sumber daya buatan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007, jumlah penduduk Kota Surakarta mencapai 515.372 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 91,42, yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 92 penduduk laki-laki. Tingkat kepadatan penduduk Kota Surakarta pada tahun 2007 mencapai 12.827 jiwa/km2. Tahun 2007 tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Serengan yang mencapai angka 19.884, kemudian disusul Kecamatan Pasar Kliwon dengan angka 18.155, Kecamatan Laweyan 12.667, Kecamatan Jebres 11.390, dan yang terakhir Kecamatan Banjarsari 10.888. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi ini akan berdampak pada masalah-masalah sosial seperti perumahan, kesehatan dan juga tingkat kriminalitas. Jumlah penduduk yang bekerja di Kota Surakarta pada tahun 2007 mencapai 261.143, atau sebesar 50,67% dari seluruh penduduk Kota Surakarta. Penduduk wanita yang bekerja mencapai angka sebesar 42,81% dari penduduk yang bekerja. Ini menunjukkan bahwa peran perempuan di Kota Surakarta cukup tinggi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga. Gambaran lengkap mengenai luas wilayah beserta kepadatan penduduk di Kota Surakarta dapat dilihat pada tabel II.1 berikut ini.

Tabel II.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2007 KECAMATAN

LUAS WILAYAH (km²)

JUMLAH

RASIO JENIS KELAMIN

TINGKAT KEPADATAN

109.447 63.429 87.508 143.289 161.247

97,04 96,62 96,15 97,29 98,00

12.667 19.884 18.155 11.390 10.888

JUMLAH PENDUDUK LAKI²

PEREMPUAN

Laweyan 8,64 53.902 55.545 Serengan 3,19 31.169 32.260 Pasar Kliwon 4,82 42.896 44.612 Jebres 12,58 70.659 72.630 Banjarsari 14,81 79.809 81.438 Sumber : Monografi Kelurahan Kota Surakarta.

B.2.Pendidikan Walikota Surakarta beranggapan bahwa sarana dalam meningkatkan sumber daya dan sekaligus martabat manusia adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

24


ketersediaan fasilitas pendidikan baik sarana dan prasarana akan sangat menunjang dalam meningkatkan pendidikan. Menurut hasil SUSENAS 2007 ada sebanyak 3,7% penduduk usia 7-15 tahun yang putus sekolah. Sementara itu, yang belum pernah sekolah mencapai 0,53% dari jumlah penduduk usia 7-15 tahun.

Tabel II.2 Tingkat Kelulusan Pendidikan Kota Surakarta Tahun

SD

SLTP

SMU

SMK

2007

6.567

11.023

7.774

7.444

2005/2006

10.140

9.347

6.583

6.590

2004/2005

10.394

9.694

2.538

6.574

Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2007

Kalau dilihat dari tingkat pendidikan penduduknya, pada tahun 2007 sebanyak 6.567 orang lulus SD. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan kelulusan pada tahun 2004/2005 sebanyak 10.394 orang dan tahun 2005/2006 sebanyak 10.140 orang. Untuk tingkat SLTP, tahun 2007 sebanyak 11.023 orang lulus. Jumlah ini meningkat dari tahun 2004/2005 sebanyak 9.694 orang dan tahun 2005/2006 sebanyak 9.347 orang. Sementara itu untuk tingkat SMA, tahun 2007 sebanyak 7.774 orang lulus. Jumlah yang juga meningkat dibandingkan tahun 2004/2005 sebanyak 2.538 orang dan tahun 2005/2006 sebanyak 6.583 orang. Untuk tingkat SMK, tahun 2007 sebanyak 7.444 orang lulus. Jumlah yang juga meningkat apabila dibandingakan tahun sebelumnya yaitu tahun 2004/2005 sebanyak 6.574 orang dan tahun 2005/2006 sebanyak 6.590.

C.Ketenagakerjaan Jumlah penduduk bekerja di Kota Surakarta pada tahun 2007 mencapai 261.143 atau sebesar 50,67% dari seluruh penduduk kota Surakarta. Penduduk wanita yang bekerja mencapai angka sebesar 42,81% dari penduduk yang bekerja. Ini menunjukkan bahwa peran perempuan di Kota Surakarta cukup tinggi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga. Menurut mata pencaharian penduduk didapakan bahwa

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

25


pekerjaan sebagai buruh industri menjadi tingkat mayoritas mata pencaharian penduduk di Kota Surakarta sampai saat ini.

Tabel II.3 Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta PETANI

BURUH

TAHUN

BURUH

BURUH

INDUSTRI

BANGUNAN

PENGUSAHA SENDIRI

TANI

2007

450

438

8.752

74.655

63.114

2006

486

569

8.218

75.667

68.535

2005

486

569

8.042

70.254

64.406

2004

768

1.061

9.035

76.059

71.329

2003

686

759

9.826

71.633

64.473

TAHUN

PEDAGANG

ANGKUTAN

PNS/TNI/POLRI

PENSIUNAN

LAIN²

JUMLAH

2007

32.710

15.347

26.445

16.974

162.526

401.411

2006

33.180

37.981

26.169

17.018

166.936

434..759

2005

31.975

17.235

27.505

30.791

151.494

402.757

2004

33.226

17.948

27.787

20.669

156.358

414.240

2003

30.535

19.373

26.771

20.495

159.206

403.757

Sumber : Monografi Kelurahan yang telah diolah.

D. Perekonomian Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998 kondisi ekonomi Kota Surakarta berangsur-angsur meningkat meskipun belum sebaik pada saat sebelum krisis. Hal ini ditandai dengan dengan laju pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) tahun 1999 sebesar 1,44% dari tahun sebelumnya sebesar -13,93% kemudian pada tahun 2000 melonjak menjadi 4,15% dan sedikit melambat pada tahun 2001 sebesar 3,93%. Peningkatan pertumbuhan secara signifikan kembali terjadi pada tahun 2002 dan 2003, masing masing mencapai 5,32% dan 6,46%. Apabila dilihat dari kontribusi sektoral terhadap PDRB total, ternyata pertumbuhan ekonomi kota Surakarta selama lima tahun (1999-2003) didominasi oleh sektor industri, perdagangan dan jasa. Sektor industri memberi kontribusi sebesar 29,14 % menurut harga berlaku dan 24,94% menurut harga konstan. Sektor Perdagangan, Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

26


Hotel dan Rumah makan memberi kontribusi sebesar 23,07% menurut harga berlaku atau 22,14% menurut harga konstan, disusul kemudian sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 11,83% menurut harga berlaku atau 14,97% menurut harga konstan. Sementara itu, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Surakarta pada 4 tahun berikutnya yaitu tahun 2007, atas dasar harga berlaku sebesar 6.909.094,57 juta rupiah dan atas dasar harga konstan 2000 sebesar 4.304.287,37 juta rupiah. Sehingga pada tahun 2007 besaran PDRB Kota Surakarta atas dasar harga berlaku menjadi 2,07 kali dari tahun 2000 dan PDRB atas dasar harga konstan menjadi 1,36 kali. Pada tahun 2007 sektor Perdagangan, Hotel dan restoran merupakan sektor yang menjadi andalan terbesar di Kota Surakarta. Hal ini ditandai dengan sumbangannya terhadap total PDRB Kota Surakarta yaitu berkisar di atas kontribusi terbesar dibanding dengan sektor lain. Sumbangan berikutnya adalah sektor Industri Pengolahan dan sektor Bangunan masingmasing sebesar 24,34% dan 12,28%. Sementara itu Pertanian dan Penggalian merupakan sektor yang memberikan sumbangan terkecil yaitu 0,06% dan 0,04%. Dengan kata lain, perekonomian Kota Surakarta menunjukkan kinerja yang membaik dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 2000-2005 sebesar 5,05. Pertumbuhan ekonomi ini menjadi 5,54 % pada tahun 2006 dan naik sebesar 0,41% pada tahun 2007, menjadi 5,93%. Kemajuan perekonomian ini juga didukung dengan terkendalinya perkembangan harga (inflasi), dimana mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 rata-rata perkembangan inflasi adalah 7 % per tahun, dengan tingkat investasi tumbuh rata-rata 18% (BKPMD, 2007), pebisnis dan investor local/asing banyak melakukan kunjungan rata-rata 10/20 kali/orang/tahun (PHRI, APINDO, Surakarta,2007). Pendapatan asli daerah (PAD) selama lima tahun terakhir meningkat tajam sampai dua kali lipat. Dari tahun ke tahun APBD Kota Surakarta mengalami peningkatan; 2001 (Rp. 206,3M); 2002 (Rp. 206,7 M); 2003 (Rp. 347,5 M); 2004 (Rp. 358.2 M); 2005 (366.0 M); 2006 (Rp. 496.1M); 2007 (Rp.590.1 M). Sedangkan data terakhir tahun 2008 tercatat APBD Kota Surakarta sebesar Rp. 686. 9 Milliar.

1 2 3 4 5

Tahun 2004 2005 2006 2007 2008

Tabel II.4 Pertumbuhan PAD Kota Surakarta Pendapatan Asli Daerah 59.78 Milliar 66.08 Milliar 78.63 Milliar 88.00 Milliar 100.08 Milliar

Sumber: Monografi Kota Surakarta Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

27


E. Pemerintahan Sejak pemerintahan Suharto memegang tampuk pemerintahan tahun 1965, sistem politik yang sangat tersentralisasi dikukuhkan atas nama integrasi nasional, stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Kekuasaan terpusat ini didukung dengan undang-undang pemerintahan daerah, UU No.5 tahun 1974, yang menganut sistem sentralisasi pemerintahan. Pemerintah lokal diperlakukan sebagai kekuatan subordinatif yang tidak memiliki ruang untuk menata rumah tangganya sendiri. Untuk melancarkan sistem sentralisasi ini, strukur pemerintahan militer dibentuk sejajar dengan struktur pemerintahan sipil. Pada level provinsi, gubernur menjalankan pemerintahan regional dibawah

bayang-bayang

Panglima

Daerah

Militer

(Pangdam),

pada

level

kabupaten/kota pemerintah kabupaten/kota dibayangi komandan distrik Militer (Dandim), level kecamatan seorang camat harus bekerja sama dengan Danramil, dan pada level terbawah (tingkat desa) kepala desa bekerja dalam pengawasan Babinsa. Struktur pemerintahan sipil sendiri meletakkan kekuasaan pemerintahan di tangan penguasa sipil yang memiliki kekuasaan tak tersaingi oleh lembaga lain (penguasa tunggal): mulai gubernur sampai walikota/bupati. Meskipun badan perwakilan rakyat secara formal menjadi partner mereka, pada kenyataannya lebih berperan sebagai sleeping partner daripada lembaga yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Kepala daerah di daerah-daerah strategis biasanya diisi oleh personel militer, termasuk di kota Surakarta. Reformasi politik tahun 1999 yang menumbangkan Rejim Suharto memutar jarum jam ke awal tahun 1950an ketika pemerintah sipil memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan jalannya pemerintahan. Pemilihan umum tahun 1999 menghasilkan komposisi kekuatan politik yang sama sekali berbeda dengan komposisi zaman pemerintahan Suharto. PDIP menggantikan Golkar sebagai kekuatan mayoritas di parlemen. Pemilihan umum untuk anggota legislatif daerah juga dimenangkan PDIP di kota Surakarta. UU No.32/Th 2004 mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Untuk pertamakalinya sejak Orde Baru Surakarta memiliki walikota dari kalangan sipil, Slamet Suryanto. Pada tahun 2004 pemilihan walikota dilakukan secara langsung untuk pertamakalinya, dimenangkan kembali oleh kader PDIP, Joko Widodo.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

28


BAB III CITIZEN INCLUSION DALAM PRAKTIK GOVERNANCE: PENELUSURAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN KOTA SURAKARTA

Desentralisasi dan otonomi daerah menekankan perlunya penguatan kerjasama antara aktor publik dan aktor privat maupun aktor publik bersama aktor masyarakat (CSO). Pembangunan daerah yang mengikutsertakan masyarakat dilaksanakan berdasar pada inisiatif lokal yang membuat pemerintah daerah memiliki legitimasi yang kuat dalam menjalankan program-program pembangunannya. Citizen inclusion memiliki keunggulan karena aktor yang terlibat dalan tidak perlu lagi membuat semua kegiatan dari tahap awal. Melalui hubungan yang terjalin, variasi sumber daya aktor yang terlibat dapat dikombinasikan untuk menciptakan solusi atas isu atau masalah yang dihadapi bersama di tingkat perencanaan maupun pelaksanaan program. Proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara tradisional (dari sisi partisipasi dan kualitas hasil keputusan) kurang dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitas dan realibilitasnya. Pada bagian ini akan dibahas bentuk kebijakan pendidikan dan inklusi warga dalam kebijakan pendidikan di Surakarta sebagai bagian dari desain besar kebijakan sosial pemerintah Kota Surakarta.

A. Bentuk Kebijakan Pendidikan Ada beberapa program yang dibuat oleh pemerintah Kota Surakarta di bidang pendidikan. Tetapi, program yang saat ini krusial adalah Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS). BPMKS merupakan bantuan pendidikan yang diperuntukan bagi: a. Siswa Warga Kota Surakarta dari Keluarga Mampu yang bersekolah di Kota Surakarta pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs Negeri. b. Siswa Warga Kota Surakarta dari Keluarga Mampu yang bersekolah di Kota Surakarta pada Jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB. c. Siswa warga Kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di Kota Surakarta jenjang SD/MI/SDLB Negeri/Swasta, SMP/MTs/SMPLB Negeri/swasta, SMA/MA/SMK/SMALB Negeri/Swasta. d. Siswa warga Kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

29


pada sekolah PLUS jenjang SD, SMP dan SMK Kota Surakarta. e. Siswa warga Kota Surakarta yang yang tidak bersekolah, tetapi masih dalam usia sekolah jenjang SD, SMP dan SMK.

BPMKS dibagi menjadi 3 jenis kartu kategori yaitu silver, gold dan platinum. Masing-masing kategori itu adalah sebagai berikut: 1. Kartu BPMKS Silver Kriteria Siswa yang dapat menerima adalah: a. Siswa Warga Surakarta dari warga mampu yang bersekolah di kota Surakarta pada jenjang SD/MI Negeri, SMP/MTs Negeri. b. Siswa Warga Surakarta dari keluarga mampu yang bersekolah di kota Surakarta jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB Negeri/Swasta. 2. Kartu BPMKS Gold Kriteria yang dapat menerima adalah: a. Siswa warga kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di kota Surakarta

jenjang

SD/MI/SDLB

Negeri/Swasta,

SMP/MTs/SMPLB

Negeri/Swasta, SMA/MA/SMALB Negeri/Swasta. 3. Kartu BPMKS Platinum Kriteri Siswa yang dapat menerima : a. Siswa Warga kota Surakarta dari keluarga yang tidak mampu yang bersekolah pada sekolah PLUS jenjang SD, SMP dan SMK kota Surakarta. b. Siswa Warga kota Surakarta yang tidak bersekolah, tetapi masih dalam usia sekolah jenjang SD, SMP dan SMK serta yang akan melanjutkan ke Sekolah Plus. B. Awal Mula Kebijakan Kebijakan ini diluncurkan pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Dalam kampanyenya, jelang Pilwako periode 2010-2015 di awal tahun, secara jelas Jokowi menegaskan fokus pemerintah pada peningkatan pelayanan publik, utamanya pendidikan, melengkapi program pelayanan kesehatan (PKMS, Pelayanan Kesehatan Masyarakat Surakarta). Kedua fokus ini bersinergi dengan fokus pemerintahan Jokowi di bidang ekonomi, yang ditujukan untuk meningkatkan investasi besar di Kota Surakata, maupun mendorong unit usaha kecil dan menengah yang telah digalakkan sejak periode pertama pemerintahan. Karena diluncurkan menjelang Pilwako kedua inilah, program pendidikan Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

30


murah dikritik sebagai sarana untuk menaikkan popularitas Jokowi semata. Menelisik ke belakang, persetujuan program pendidikan murah ini memang ditandatangani pada 3 Maret 2010, waktu yang mendekati Pilwako. Program ini disebut Layanan Pendidikan Masyarakat Surakarta (LPMS). LPMS berisi konsep program pendidikan yang ditargetkan untuk membantu masyarakat miskin. Konsep yang diajukan SKPD teknis ini dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, Platinum untuk siswa di lima SD plus, 2 SMP plus dan SMK plus. Kedua, gold bakal dimiliki siswa SD, SMP negeri maupun swasta yang masuk kategori tidak mampu dan tidak diwajibkan membayar beaya operasional. Selain itu siswa SD dan SMP negeri yang mampu tetap dapat subsidi beasiswa silver. Tetapi, konsep LPMS ini kemudian dikembangkan melalui BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta), sebagaimana dijelaskan di atas. BPMKS secara lebih jelas mengikutsertakan semua anak usia sekolah sebagai penerima bantuan, termasuk mereka yang tidak mengenyam pendidikan di sekolah. Bukan saja bagi sekolah negeri, bantuan ini juga diperuntukkan bagi anak yang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan swasta. Kategorisasi penerima dalam program mengindikasikan rasionalisasi pengeluaran bantuan pendidikan pemerintah, dimana warga yang paling membutuhkan-lah yang menerima bantuan paling besar, sementara warga yang mampu, menerima bantuan sebagian, mengingat pendidikan bagaimanapun adalah investasi jangka panjang. Program ini tidak didesain dengan semata-mata menggratiskan seluruh biaya pendidikan dasar bagi semua warga, sehingga bersifat sangat populis tetapi memberatkan APBD, namun bantuan ini didesain targeted, ditujukan untuk menyasar penerima bantuan yang tepat, dan skema pengeluaran yang efektif dan efisien. Dana 23 Milyar yang dikeluarkan pemerintah ini disambut baik oleh warga. Dengan demikian, menurut Jokowi dan FX. Rudy, dalam pemberitaan Antara, 18 April 2010, program ini jelas semata-mata tidak ditujukan untuk mendongkrak popularitas politik, mengingat sekedar peluncurannya dilakukan menjelang pemilihan walikota periode kedua. Program ini merupakan tindak lanjut dari Perda Pendidikan dan merupakan penyempurnaan dari program-program pendidikan sebelumnya, tambah FX. Rudy. Target utama program ini adalah rakyat kecil, dengan tidak menutup kesempatan warga Surakarta pada umumnya untuk memperoleh bantuan serupa. Oleh karena itu, di dalam program ini diberlakukan kategorisasi, untuk menjamin bahwa uang dikeluarkan pemerintah kota tepat sasaran dan tepat guna. Sebagai tindak lanjut dari upaya pengembangan pendidikan, pemerintah kota tidak hanya meluncurkan dana bantuan operasional dan biaya sekolah. Setelah program Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

31


BPMKS berjalan, program ini dilanjutkan pada penguatan substansi pendidikan, yaitu pada kurikulum. Pada Januari 2011, pemerintah kota siap mengembangkan pendidikan berkarakter, yang berisi penguatan karakter siswa, berbasis pada nilai-nilai budaya dan nasionalisme.

C. Pelibatan Warga dalam Pemerintahan: Upaya Mewujudkan Harapan Masyarakat dan Demokratisasi Pengambilan Keputusan

C. 1. Demokratisasi Sistem Perwakilan Masyarakat Pemilihan umum 1999 menghasilkan lembaga perwakilan daerah yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Namun demikian kinerja badan perwakilan daerah jauh dari memuaskan. Melalui pemilihan DPRD dipilih walikota sipil pertama sejak Orde Baru, Slamet Suryanto. Walikota Slamet Suryanto merupakan tokoh PDIP lokal. Sayangnya kinerja Slamet juga tidak menggembirakan. DPRD maupun walikota tidak luput dari tindak pidana korupsi. Beberapa anggota DPRD terkena jerat hukum demikian juga dengan Slamet Suryanto4. Sejalan dengan keterbukaan politik yang ada, perencanaan pembangunan diamanatkan oleh undang-undang (yang baru) untuk dijalankan melalui mekanisme dari bawah (bottom-up). Proses perencanaan dimulai dari kalurahan naik ke tingkat kecamatan, dan baru naik lagi pada level kota. Sebelumnya perencanaan pembangunan dilaksanakan sesuai dengan perintah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9/1983 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D).5 Model ini mengkombinasikan perencanaan dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up). Perencanaan dari atas melalui Repelita yang diterjemahkan ke bawah melalui hirarki administratif, pada saat yang sama menyediakan saluran bagi aspirasi masyarakat dari kelurahan melalui kecamatan sampat pemerintah pusat melalui jaringan birokrasi pertemuan perencanaan pembangunan. Namun mekanisme bottom-up memiliki kesalahan yang menghalangi realisasi dari perencanaan partisipatoris. Pertama, pedoman P5D tidak menerangkan bagaimana masyarakat terlibat 4

Slamet Suryanto dikalahkan Joko Widodo dalam pemilihan internal PDIP untuk pemilihan kandidat calon walikota pada pemilu kada 2004. Ia nekad maju dengan dukungan partai-partai kecil, dan kembali menderita kekalahan, dengan menempati urutan ke 4 (terakhir). Pemilu kada 2004 sendiri dimenangkan oleh Joko widodo. 5 Nama dari pertemuan perencanaan pembanguna memiliki perbedaan tergantung dari level administrasinya: untuk level kelurahan/desa disebut Musbang (Musyawarah Pembangunan), UDKP(Unit Daerah Kerja Pembangunan) untuk level kecamatan, dan Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) untuk tingkat kota/kabupaten. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

32


dalam pertemuan perencanaan pembangunan atau bahkan tidak menyebut �masyarakat� sama sekali. Sebagai konsekuensinya pertemuan perencanaan pembangunan dikuasai oleh elit kelurahan yang memiliki akses kepada lembaga-lembaga penting tingkat lokal. Kedua, aktivitas pembangunan disetujui oleh lembaga yang lebih tinggi tidak dapat memenuhi kebutuhan dari masyarakat luas. Lembaga yang lebih rendah tidak memiliki kekuatan bargaining terhadap lembaga atasannya dalam pengambilan proses pengambilan keputusan pembangunan, proposal dari lembaga bawahan seringkali diabaikan begitu saja. Ketiga, mekanisme P5D tidak saja tidak transparan tapi juga tidak akuntabel, Setelah menyerahkan proposal masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan nasib proposal mereka tersebut. Praktek korupsi sering terjadi dalam proses untuk mengubah proposal menjadi aktivitas. Di samping itu, karena prioritas diberikan kepada lembaga yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi, seringkali proposal dari bawah digantikan oleh vested interest dari atas. Setelah tahun 1999 mekanisme baru dalam perencanaan pembangunan dilaksanakan. Ada dua hal utama yang membedakannya dengan P5D. Pertama adalah tingkat keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan, dan kedua, komitmen dari pemerintah kota dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. Kalau dalam P5D warga kalurahan hanya diberi kesempatan untuk membuat daftar keinginan, tapi tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan level kecamatan dan kota. Kebanyakan daftar kebutuhan yang mereka tulis tidak dilaksanakan, ini menyebabkan munculnya sikap apatis dari warga masyarakat. Staf di Bappeda (bagian infrastruktur) bertugas untuk mencoret daftar yang berasal dari masyarakat. Gagasan untuk memperbaiki mekanisme perencanaan pembangunan ini berangkat dari beberapa asumsi sebagai berikut: (1) mandat partisipasi warga dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999; (2) fakta bahwa model perencanaan dengan pendekatan teknokratis yang bersifat top-down menjadi penyebab dari tidak tepatnya sasaran pembangunan; (3) kebutuhan akan partisipasi dari masyarakat semakin meningkat seiring dengan proses demokratisasi yang dikembangkan memerlukan kepastian mekanisme untuk menjamin partisipasi masyarakat ke dalam tata kepemerintahan. Dalam Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) ada delegasi dari kecamatan yang diikutsertakan dalam pertemuan level kota/kabupaten sehingga ada Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

33


bagian dari proposal dari bawah yang diakomodasikan pada daftar aktivitas pembangunan. Kedua, dalam Musrenbang, sebagian kewenangan untuk menciptakan kegiatan pembangunan diserahkan kepada masyarakat. Kegiatan pembangunan dapat dipisahkan menjadi dua jenis, berbasis sektor dan berbasis daerah. Masyarakat dapat membuat kegiatan berbasis daerah yang langsung berhubungan dengan persoalan masyarakat setempat. Jika menurut mereka membangun jalan ligkungan bermanfaat bagi kelurahan mereka, maka mereka dapat mengajukan kegiatan tersebut kepada pemerintah kota melalui pemerintah kecamatan. Sedangkan pemerintah kota memiliki kewenangan untuk merumuskan kegiatan berbasis sektor yang tidak disentuh oleh kegiatan berbasis daerah. Dalam proses ini pemerintah kota diharapkan untuk memberikan prioritas kepada kegiatan yang berbasis daerah yang diusulkan masyarakat dengan jalan mensitesakan dua kegiatan pembangunan tersebut. Namun kelemahan dari model baru ini terutama adalah kewenangan untuk menentukan anggaran masih ditangan pemerintah kota dan DPRD. Partisipasi masyarakat hanya dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pada level pembuatan kegiatan. Dengan demikian akses masyarakat kepada pengambilan keputusan masih terkendala oleh peraturan dan mekanisme pengambilan keputusan yang dikeluarkan pemerintah pusat. C. 2. Pengembangan Jaringan dan Penciptaan Saling Ketergantungan Sejak tahun 2004 organisasi non pemerintah yang terdaftar di kota Surakarta lebih dari 100 buah. Menurut catatan kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) perkembangan LSM meningkat tajam setelah tahun 1999 ketika keterbukaan politik membuat lingkungan sosial dan politik kondusif bagi aktivitas LSM. Tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah LSM di kota Surakarta, tetapi menurut staf Kesbanglinmas Surakarta, pendaftaran kelompok-kelompok Asosiasional ini mencapai tingkat tertingginya pada era 1999-2000. Organisasi advokasi masyarakat sendiri dapat dibagi menjadi dua: berbasis massa dan yayasan (Ottoway,2000:83-85; Blair,2004:6). Perubahan yang mencolok pada perkembangan kelompok advokasi setelah 1988 adalah munculnya organisasi advokasi yang tidak memiliki basis massa. Organisasi ini bekerjasama dengan pemerintah kota dalam menjalankan program-pergram pemerintah. Organisasi ini tidak secara langsung menjalankan fungsi seperti yang dijalankan LSM pada masa Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

34


sebelumnya

yaitu

mempromosikan

melakukan

reformasi

pengawasan

pemerintahan

terhadap

lokal

pemerintah.

Dalam

kelompok-kelompok

ini

mengkampanyekan nilai-nilai demokrasi seperti akuntabilitas dan transparansi, dan tertarik untuk berperan lebih dalam pelaksanaan pemerintahan lokal sebagai wakil dari masyarakat.

Tidak

seperti

kelompok

yang

berbasis

massa

yang

kapasitas

organisasionalnya dapat diukur dari kemampuan mereka dalam melakukan mobilisasi anggota dan konstituen mereka, kekuatan kelompok yang tidak berbasis massa ini berasal dari sumberdaya manusia yang mereka miliki. Oleh karena itu beberapa kelompok ini memiliki minat pada isu-isu spesifik seperti LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan) yang memiliki minat mengembangkan teknologi tepat guna, dan Gita Pertiwi yang bergerak pada isu-isu lingkungan, Mitra Wacana bekerja pada isu kesetaraan gender serta PMS (Paguyuban Masyarakat Surakarta) yang memiliki minat hubungan serasi antar etnis (Keturunan Cina dan pribumi). Beberapa kelompok masyarakat bekerja untuk secara langsung membantu masyarakat pinggiran. KOMPIP (Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik) merupakan salah satu kelompok advokasi yang penting dalam mengorganisasikan kelompokkelompok pinggiran.6 SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta) dan P3S (Paguyuban Penata Parkir Surakarta) merupakan kelompok asosiasional yang memperjuangkan kepentingan spesifik mereka sendiri. Pada tahun tahun 2000 didirikan Indonesian Partnership for Local Government Initiatives (IPGI) yang merupakan lembaga pertama yang memiliki minat dan mampu mengembangkan kemitraan dengan pemerintah Surakarta. IPGI bekerja dengan jalan memperkuat kapasitas masyarakat sekaligus memperkuat kemampuan pemerintah

Lokal.

Salah

satu

program

penting

yang

dilaksanakan

adalah

mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan. IPGI Solo merupakan bagian dari jaringan IPGI yang ada di tiga kota: Bandung, Dumai, dan Solo. IPGI memnberikan perhatian khususnya

pada pengembangan mekanisme

perencanaan pembangunan partisipatif yang mulai di uji cobakan pada tahun 2001, dan

6 Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP) didirikan oleh tiga NGO, Gita Pertiwi, Leskap dan Inres dalam rangka merespon peluang dan tantangan yang ada melalui skema yang disediakan oleh The Ford Foundation. Konsorsium ini memfokuskan diri pada pengorganisasian kelompok sektoral dan pengembangan forum warga. Di sini dikembangkan keterlibatan forum multistskeholder yang terorganisir sebagai bentuk inklusi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan tata kepermintahan daerah sesuai mandat UU No 22 tahun 1999.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

35


kemudian menghasilkan proses Musrenbang yang sekarang kita kenal luas sebagai ajang keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Disamping itu dilakukan juga uji coba fiscal devolution dalam bentuk blockgrant bagi kelurahan, dan sekarang terus diselenggarakan dengan peningkatan kuantitas secara bertahap dengan nomenklasi anggaran Dana Pembangunan Kelurahan yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat kelurahan melalui musyawarah warga. Pada tahun yang sama penguatan partisipasi masyarakat di Surakarta makin diperkuat dengan adanya program kerjasama UNDP-Depdagri dalam wujud program Breakthrough Urban Initiative Local Development (BUILD). Program ini lebih memberikan perhatian khusus kepada isu efisisensi pelayanan public dan partisipasi masyarakat. Dalam proses fasilitasi inklusi masyarakat dalam pembangunan, BUILD memperkuat proses pengembangan mekanisme perencanaan partisipatif melalui fasilitasi pelatihan fasilitator kelurahan. Aktivitas IPGI Solo dan BUILD membuahkan hasil model penyelenggaraan musyawarah perencanaan yang lebih baik. Peningkatan inklusi masyarakat ini dapat diketahui dari kuantitas keterlibatan warga, antusiasme menyampaikan aspirasi, serta hasil-hasil yang dikemukakan.7 Kemajuan ini masih terkendala oleh keterbatasan sumberdaya dan kemampuan pemerintah kota dalam mengakomodasikan usulan-usulan warga. Sebagai akibatnya banyak usulan yang tidak terealisasi pada tahun anggaran berjalan. Pada tahun 2003 UNDP membuat program yang secara khusus dirancang untuk penguatan kelibatan kelompok sektoral dalam proses perencanaan partisipatif yang dikenal dengan nama City Development Strategy (CDS). Tim Kerja Sukarela (TKS) yang difasilitasi CDS mengembangkan skema partisipatory assessment bersama

7

Pada tahun anggaran 2001, Bapeda bersama bagian pemerintah daerah mengembangkan formula pendistribusian dana Blockgrant menggunakan parameter, luas wilayah, jumlah penduduk, jumlahpenduduk miskin, pengumpulan PBB, agar distribusi dana tersebut dapat secara proporsional mendekati kebutuhan masing-masing kelurahan. Pada tahap pertama diberlakukan quota batas bawah di mana seluruh dana dibagi rata, dan sisanya dibagi berdasar formula menggunakan parameter-parameter di atas. Oleh pertimbangan tertentu, mulai tahun 2006 quota batas bawah ditiadakan dan pengembangan skema pada tahun anggaran 2006 total mencapai Rp 10. Milyar. Alokasi dana blockgrant ini diperuntukan untuk membiayai usulan-usulan warga yang bersifat mikro, dan pelaksanaannya dikembangkan dengan swadaya gotongroyong masyarakat.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

36


kelompok komunitas basis. Untuk itu dilakukan berbagai pelatihan dan focused group discussion (FGD) menggunakan metode Participaroy Rural Apraisal dan Participatory Poverty Assessment (PPA). Aktivitas-aktivitas ini menghasilkan gambaran lebih menyeluruh mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat Kota Surakarta. Apa yang didapatkan dari berbagai aktivitas assesment ini kemudian dijadikan referensi pemerintah dan diwujudkan dalam berbagai kebijakan program yang pro-poor. Barangkali program-program yang menonjiol adalah, Taman Anak Cerdas, Sekolah Plus yang semuanya gratis, dan didirikan di lokasi dengan tingkat kemiskinan yang menonjol, Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta, asuransi kesehatan dengan premi Rp. 1000,- per tahun. Penggantian biaya rumahsakit total untuk warga yang membawa keterangan tidak mampu dari kelurahan, dan penggantian klaim biaya kesehatan 50 persen untuk warga yang dinyatakan mampu. Juga program renovasi rumah tidak layak huni dan penataan kampung kumuh bersubsidi. Seperti yang dikemukakan walikota Joko Widodo pemerintah kota bekerja bersama masyarakat dalam menyiapakan dan melaksanakan program-program: �..kita nyiapin sistemnya dulu..bersama temen-temen NGO.. nyiapin datanya..baru nyiapin uangnya.. kita selalu bekerja seperti itu..� �...semua kegiatan kita pendampingannya itu NGO. Mereka lebih menguasai lapangan dibandingakan dengan kita. (Wawancara, 7 Agustus). C. 3. Posisi Kelompok Sektoral dalam Proses Inklusi Komunitas sektoral dalam kaitannya dengan Perencanaan pembangunan seperti sudah menjadi diskurus tersendiri yang menyita perhatian banyak kalangan di Kota Surakarta. Kota Surakarta menempatkan peran serta kelompok sektoral dalam proses perencanaan pembangunan dalam cara pandang atau paradigma bahwa seluruh unsur dalam masyarakat berhak berpartisipasi dalam pembangunan dari perencanaan hingga pengawasan. Dalam kontek otonomi daerah sebelum diskursus Perencanaan Pembangunan Partisipatif di dengungkan, Kota Solo telah mengakomodir partisipasi kelompok sektoral perkotaan seperti PKL, Pengemudi becak, Pasar Tradisional, Pedagang Asongan, Pengamen, dan juga Pekerja Seks Komersial, dalam proses proses musyawarah perencanaan pembangunan. Bisa di katakan bahwa Kota Surakarta adalah ikon nya pelibatan kelompok sektoral dalam perencanaan pembangunan. Periode tahun Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

37


2002 melalui SK Walikota 410/45-A/I/2002 juga menjadi sebuah catatan menarik tentang pelibatan kelompok sektoral dalam proses perencanaan. Walaupun pada prakteknya, saluran pratisipasi mereka masih melalui TKS CDS ( Tim Kerja Stakeholders City Development Strategy) yang belum bisa merepresentasikan aspirasi semua komunitas sektoral. Periode tahun 2003 proses Perencanaan Partisipatif tentunya mengalami beberapa pembenahan belajar dari proses tahun sebelumnya. Pada aras ini sangat menarik melihat proses pergeseran arah kebijakan terhadap keterlibatan kelompok sektoral. Setelah proses yang dilakukan TKS CDS pada tahun 2002 yang menghasilkan tiga konsern isu yaitu persoalan masyarakat marginal, isu konflik sosial dan juga isu tata ruang kota, pemerintah berupaya melibatkan kelompok sektoral dalam proses di muskelbang, muscambang dan muskotbang. Melalui SK Walikota Nomor 8 tahun 2003 tertnaggal 26 Juni 2003. Namun proses partsispasi kelompok sektoral ini menemui kendala karena pelibatan mereka yang hanya di muskelbang dan tidak melalui pra muskel cukup membatasi ruang aspirasi mereka, sedang di tingkat muskotbang, kelompok sektoral juga belum mengikuti proses secara maksimal karena terbataskan kemampuan meyesuaikan dengan mekanisme di muskotbang. Perubahan signifikan justru terjadi pada periode tahun 2004 dengan SK Walikota Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaran dan Petunjuk Teknis Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang. Keterlibatan kelompok sektoral dimulai lebih dini dengan mengadakan Focused Group Discussion di tingkat Komunitas atau FGD Komunitas. Pada aras ini hasil yang diperoleh melalui FGD bisa langsung disingkronkan dengan SKPD terkait tanpa melalui proses di territorial. FGD – FGD yang pelaksanaannya kemudian difasilitasi oleh LSM pendamping komunitas ini berhasil mendorong terciptanya semangat berpartisipasi di level komunitas sektoral perkotaan semisal PKL, pengemudi becak, asongan, diffabel, juru parkir, pedagang pasar tradisional, pengamen, dan Pekerja seks Komersial (PSK). Pada proses perencanaan untuk anggaran tahun 2009, putaran kelibatan kelompok sektoral dimulai dari memfasilitasi diskusi kelompok terbatas di tingkat komunitas oleh pelbagai LSM pendamping di bawah koordinasi Bapeda dan Tim SC pelaksana Musrenbang. Antara lain diselenggarakan diskusi kelompok. Dan selanjutnya dari diskusi assessment komunitas tersebut oleh Bapeda di kembangkan diskusi Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

38


sinkronisasi, dan kemudian dilanjutkan Diskusi Kelompok Terbatas (DKT). Hasil – hasil DKT merupakan input dasar untuk penyusunan program sektoral yang diolah melalui forum SKPD, yang kemudian hasilnya diintegrasikan ke dalam forum Musrenbang Kota. Berikut ini skema utuh keterlibatan kelompok sektoral di Kota Surakarta :

Nampak perkembangan masyarakat sipil merupakan bagian dari proses demokratisasi pengambilan keputusan. Keterbukaan pemerintah kota Surakarta terhadap keberadaan lembaga-lembaga advokasi membuat proses perumusan program dan pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar dan lebih tepat sasaran. Pemerintah kota bersama lembaga-lembaga advokasi mengambil inisiatif untuk mengetahui kebutuhan dan harapan masyarakat, yang pada gilirannya dimanfaatkan untuk merancang programprogram pembangunan.

C. 4. Inklusi dalam Kebijakan Pendidikan Kebijakan pendidikan di Kota Surakarta, pada dasarnya adalah kebijakan yang bersifat sektoral. Dengan demikian, kebijakan ini secara formal merupakan inisiasi dari SKPD teknis. Namun demikian, kebijakan ini tidak lepas dari usulan berbagai elemen masyarakat, baik yang disampaikan secara formal melalui Musrenbang/Muskelbang maupun secara informal melalui berbagai forum. Usulan ini berangkat dari pandangan masyarakat bahwa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang digulirkan pemerintah Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

39


pusat masih jauh dari mencukupi sehingga masyarakat miskin masih kesulitan mengakses kebutuhan pendidikan. BPKMS adalah kebijakan pemerintah Kota untuk mendampingi kebijakan BOS. Inklusi kebijakan ini secara kuat berakar dari komunitas. Setidaknya ada tiga aras inklusi yang penting, yaitu Musrenbang/Muskelbang, public hearing dengan komunitas dan media, dan inisiasi LSM. Pertama, inklusi melalui Musrenbang/muskelbang. Akbarudin Arif, direktur LSM Kompip, sebagaimana wawancara dengan Alfirdaus dan von Luebke, pada Mei 2010, menyatakan bahwa mekanisme musrenbang dan semacamnya di Surakarta memang dapat berjalan. Fungsi musayawarah bagi perencanaan kebijakan ini berjalan sejak level RT, desa, kecamatan sampai kabupaten. Meski masih terdapat beberapa kelemahan, Akbarudin Arif menilai bahwa mekanisme ini di Surakarta termasuk yang dapat berjalan dengan baik. Di daerah lain, Musrenbang seringkali tidak jalan dan penyaluran aspirasi warga dalam perencanaan pembangunan dan kebijakan, termasuk di sektor pendidikan tidak berfungsi. Kedua, melalui public hearing dengan komunitas dan media. Public hearing adalah hal yang umum dan sering di Surakarta. Public hearing ini bisa dilakukan berdasarkan inisiatif pemerintah kota, dan dilakukan di balai kota. Bisa juga dilakukan atas inisiatif warga. Public hearing menjadi sarana pemerintah kota menyampaikan gagasan programnya kepada masyarakat dan sebaliknya, menjadi sarana warga menyampaikan aspirasinya. Komunitas warga berbasis pada peguyuban-paguyuban, yang disebut juga sebagai kelompok informal. Sementara itu, media, menjadi salah satu pelaku yang penting dalam upaya inklusi kebijakan, melalui pewartaan berita seputar kebijakan dan pelayanan pemerintah, yang tidak mesti bisa dijangkau oleh semua warga. Sebaliknya, pemerintah juga terbantukan oleh media untuk mensosialisasikan kebijakannya kepada warga masyarakat, mengingat pemerintah seringkali tidak mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat untuk menyebarluaskan kebijakannya. Didik Ikrob, wartawan Harian Joglo Semar, menegaskan hal ini dalam wawancara yang dilakukan Alfirdaus dan von Luebke pada Mei 2010. Ketiga, inisiasi LSM. Tidak dapat dipungkiri, LSM merupakan bagian penting dalam proses-proses pemerintahan di Kota Surakarta. Akbarudin Arif, misalnya, dalam wawancara Mei 2010, menyatakan bahwa inisiatif Jokowi melalui berbagai kebijakannya, sangat tidak bisa dilepaskan dari peran LSM. Jokowi terbantu oleh LSMCitizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

40


LSM yang kritis yang secara formal maupun informal sering melakukan pendekatan terhadap walikota dan wakil walikota supaya kebijakan pemerintah kota tidak hanya melulu bersifat pro-investasi, tetapi juga pro-poor. Kebijakan pendidikan, seperti BPMKS sendiri, sebagaimana Budi Santoso, kepala kantor Suara Merdeka Cabang Surakarta, tidak lepas dari kawalan NGO dalam proses pemerintahan. Budi Santoso mencontohkan Pattiro sebagai salah satu NGO yang aktif mengajukan dan mengawal inisiatif kebijakan pendidikan pemerintah kota. Namun demikian, inklusi tidak dapat berjalan jika hanya berasal dari satu sisi, yaitu grassroot. Ia harus dua arah dan diterima dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, inklusi mensyaratkan lembaga pe\merintahan yang terbuka. Terbuka, dalam arti, pemerintah memiliki kemampuan mendengar, lalu menindaklanjuti ide-ide maupun aspirasi yang disampaikan oleh warga. Dalam pandangan Akbarudin, Jokowi memenuhi syarat sebagai pemimpin pemerintahan yang inklusif. Kemampuan mendengarkan suara warga, kemudian melakukan tindak lanjut atas ide-ide warga, menjadikan pemerintahannya terbuka. Ide-ide warga inilah, sebagaimana Akbarudin, yang sangat membantu Jokowi dan pemerintahannya membangun inovasi pelayanan.

C. 5. Kritik terhadap Proses Inklusi Kebijakan Meski berbagai lini inklusi telah tersedia, namun proses ini tidak lepas dari berbagai kelemahan. Akbarudin Arif menilai bahwa, dalam musrenbang maupun musyawarah warga yang lain, seringkali tidak lepas dari elite capture. Hanya figur sentral di masyarakat yang aktif dalam musyawarah sehingga suara merekalah yang lebih sering didengar. Mekanisme inklusi, termasuk di sektor pendidikan, belum sepenuhnya menggambarkan aspirasi warga. Akbarudin melihat ini tidak terlepas dari kultur Jawa ewuh pakewuh yang besar. Posisi sebagai warga yang seharusnya setara, seirngkali terhalang oleh sekat-sekat sosial. Seorang warga yang dalam kehidupan sehari-hari adalah pegawai/karyawan toko, tentu akan merasa sungkan berpendapat jika di forum yang sama terdapat pemilik toko yang adalah juragannya. Kedua, disamping bias oleh elite capture, mekanisme inklusi ini seringkali bias partai. Akbarudin Arif menjelaskan, warga yang sekaligus pengurus partai-lah yang umumnya menguasai akses-akses aspirasi dan informasi. Mereka mengetahui informasi kebijakan dan pelayanan lebih cepat dibandingkan warga biasa yang tidak aktif di partai. Mereka juga lebih paham kemana menyalurkan aspirasi mereka. Partai, Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

41


bagaimanapun adalah jalur tercepat untuk menyalurkan aspirasi dan supaya aspirasi tersebut segera dirumuskan dalam kebijakan. Ketiga, proses inklusi seringkali lebih efektif bagi warga yang memiliki kapital besar dan memiliki potensi investasi signifikan di Kota Surakarta. Bramastya, Sekjen Pergerakan Indonesia Jawa Tengah, dalam wawancara dengan Alfirdaus dan von Luebke, daMei 2010, menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang pro-market. Pemerintahan ini lebih mengakomodasi pengusaha berkapital besar, dapat dilihat dengan jelas dari kebijakan pembangunan dan perekonomian Kota Surakarta. Ketika kepentingan pemodal dan rakyat kecil berhimpitan, Jokowi lebih cenderung memenangkan pengusaha berkapital besar. Hal ini membuat Jokowi terkesan tidak konsisten dengan slogan sosial demokrat dan pro-rakyat yang didengungdengungkan. Dalam kebijakan pendidikan, bagi beberapa kalangan, terkesan setengahsetengah, mengingat minimnya bantuan yang diterima warga. Keempat, proses inklusi ini seringkali masih sebatas dalam perencanaan. Inklusi belum secara efektif melingkupi formulasi, dan terutama implementasi. Dengan dalih kebijakan pendidikan sebagai kebijakan sektoral, maka tidak banyak ide warga yang terserap, dan kebijakan ini terjebak pada mekanisme teknokratis, dengan warga sebagai penerima pasif. Partisipasi warga, di samping dalam perencanaan, hanya terserap dalam evaluasi, dimana warga diberi ruang untuk menyampaikan keluhan. Secara formal, penyampaikan keluhan ini diwadahi dalam kotak saran yang disediakan di setiap instansi dan pos pelayanan. Hanya saja, sejauh mana efektivitas dan tindak lanjut ini masih belum jelas. Mekanisme informal, yag menurut Jokowi lebih efektif, meski cukup membantu, tidak mampu menjamin penjaringan keluhan secara maksimal. Hambatan teknis dan kultur menjadi penjelas mengapa mekanisme informal belum tentu dapat berjalan. Kelima, mekanisme inklusi ini terhalang oleh kelemahan di birokrasi. Meski merupakan figur yang penting dalam inovasi kebijakan kota, pemerintahan Jokowi dikritik tidak didukung oleh instrumen komunikasi politik yang baik. Kebijakan yang diterima warga hanya dapat dimengerti secara sebagian. Kendala bahasa adalah faktor utama warga memahami isi kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Kedua, kurang intens-nya sosialisasi dan komunikasi warga melalui berbagai sarana menyebabkan warga tidak banyak memiliki informasi mengenai kebijakan dan pelayanan. Minimnya acara interaktif melalui TV dan radio lokal menandakan lemahnya komunikasi ini. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

42


BAB IV PENUTUP

A. Simpulan Inklusi merupakan syarat praktik governance yang demokratis. Inklusi merupakan mekanisme penjaringan aspirasi warga terkait dengan kebijakan dan pelayanan publik. Inklusi memungkinkan semua warga, tidak terbatas sekat sosial, status, pilihan partai dan sebagainya, untuk erlibat dalam proses pemerintahan, dengan mempengaruhi perumusan, implementasi dan pelaksanaan kebijakna. Dengan demikian, inklusi tidak membatasi peran dan keterlibatan warga dalam perencanaan semata, tetapi juga dalam penganggaran, formulasi, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan. inklusi memastikan kebijakan publik berasar dari, untuk, dan oleh warga. Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang penting dalam kajian inklusi warga di pemerintahan. Penelitian ini menemukan, mekanisme musyawarah warga telah berjalan, berakar dari level yang paling bawah di tingkat RT, desa, kecamatan sampai kabupaten. Inklusi juga berjalan melalui intensifnya public hearing antara walikota dan komunitas dan media. Inklusi kebijakan juga aktif berjalan di kalangan NGO. Berjalannya proses inklusi di Kota Surakarta ini tidak lepas dari karakter sosial politik warga Surakarta yang sangat aktif dalam paguyuban. Di Surakarta, paguyuban tidak hanya menjalankan fungsi sosial, seperti pemersatu antar profesi, misal pedagang pasar, tukang becak, pedagang kaki lima, dan sebagainya, maupun fungsi ekonomi, seperti dana bergulir dan arisan, tetapi juga berfungsi secara politik sebagai wadah interest. Di sisi lain, terdapat tradisi NGO yang kuat dan kritid=s yang intens mengawal berjalannya pemerintahan. Inovasi-inovasi kebijakan Joko Widodo bahkan tidak lepas dari masukan kalangan NGO, termasuk berbaga kebijakan yang pro-poor. Kebijakan pendidikan BPMKS (Bantuan Pendidikan untuk Masyarakat Kota Surakarta) adalah salah satu produk kebijakan yang pro-poor. Program ini meski secara formal berasal dari usulan SKPD teknik, tidak lepas dari berbagai masukan kalangan NGO dan komunitas warga. Target utama program ini adalah kalangan menengah ke bawah, yaitu kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki akses pendidikan. Namun, mengingat pendidikan adalah juga investasi jangka panjang, program ini juga menyediakan bantuan bagi warga yang mampu, hanya saja, besarannya berbeda dengan warga yang tidak mampu. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

43


Namun demikian, proses inklusi di Surakarta tidak lepas dari berbagai kelemahan. Bias elite dan partai adalah hambatan utama karena menutupi kemungkinan warga paling lemah, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik, untuk menyampaikan aspirasi. Bias kota dan pemodal adalah hal lain yang menghambat inklusi warga, karena warga pengusaha dan memiliki investasi besar akhirnya yang lebih diprioritaskan. Hambatan yang lain berasal dari lemahnya sistem komunikasi politik pemerintah yang menyebabkan keterbatasan informasi yang dimiliki warga terkait kebijakan dan pelayanan pemerintah.

B. Kelemahan Penelitian Berbagai hal teknis menyebabkan penelusuran data dalam penelitian ini kurang maksimal. Meski wawancara telah mencakup beberapa pihak, seperti NGO, dinas, yayasan, warga biasa, dan penelusuran media, tetapi penelitian belum secara utuh menangkap konteks sosial dan politik kebijakan pendidikan Kota Surakarta. Padahal, penelusuran konteks ini penting untuk mendapatkan gambaran secara utuh inklusi warga. Penelitian ini juga tidak berhasil memperoleh dokumen atau data tertulis proses inklusi warga, misal presensi dan jumlah public hearing, musrenbang, dan intensitas NGO dalam pendekatannya dengan pemerintah. Data-data ini, meski mungkin, tetapi sulit diperoleh. Di samping itu, data dokumentatif seperti ini juga tidak mesti disimpan oleh para pelaku kebijakan. Dengan demikian, potret inklusi kebijakan semata-mata didasarkan pada ingatan responden dalam wawancara dan pemberitaan di media.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

44


DAFTAR PUSTAKA

Dryzek, JS. 1996. Political Inclusion and the Dynamics of Democratization. The American Political Science Review, vol. 90, no. 3: 475-487. Dryzek, JS. 2000a. Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, and Contestation. Oxford: Oxford University Press. Dyson, A, Cummings, C and Millward, A. 2003. Participation And Democracy: What’s Inclusion Got To Do With It? dalam Allan, J (ed.). Inclusion, Participation and Democracy: What is the Purpose? Kluwer Academic Publishers: London Edi, AC. (Ed). 2009. “Integrating MPs, Party, & Constituents”, IRE-IRI, edisi April. Yogyakarta: IRE. Eko, S. 2002. Pembangunan Politik, Pemberdayaan Politik dan Transformasi Politik. IRE: Yogyakarta. Gaventa, J. 2006. Finding the Spaces for Change: the Power Analysis. iDS Bulletin, vol. 37, no. 6: 23-33. Mawardi, MS., dkk. 2002. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik: Kasus Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Laporan Lapangan. SMERU: Jakarta. Miller, V. 2005. Pengaruh Kebijakan oleh LSM-LSM Pembangunan: Sebuah Sarana untuk Memperkuat Masyarakat Sipil, dalam Miller, V. Dan Covey, J. Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pimbert, M dan Wakeford, T. 2001. Overview: Deliberative Democracy and Citizen Empowerment. PLA Notes, No. 40. Februari: 23-28. Rosser, A., Roesad, K. dan Edwin, D. 2004. Indonesia: the politics of inclusion. IDS Working Paper, no. 229: 1-30. Sen, A. 2000. Social Exclusion: Concepts, Application, and Scrutiny. Social Development Paper, no. 1. Asian Development Bank: 1-54. Suharto, E. 2008. Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus: Pengalaman Departemen Sosial. Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service For Customers With Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik”. Sahira Butik Hotel, 9 – 10 Oktober. Lembaga Administrasi Negara: Bogor. Sunaji dan Anwar, Z. 2008. Menabur Benih di Lahan Tandus: Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen. Yogyarakarta: IRE dan NDI. Takeshi, I. 2006. The Dynamics of Local Governance Reform in Decentralizing Indonesia: Participatory Planning and Village Empowerment in Bandung, West Java. Asian and African Area Studies, vol. 5, no. 2: 137-183. The World Bank. 2009. Mengupayakan Bekerjanya Desentralisasi. Indonesia Policy Briefs: Ideide Program 100 Hari. Jakarta: The World Bank. Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

45


Toyamah, N., dkk. 2002. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik: Kasus Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung. Laporan Lapangan. Jakarta: SMERU. Wakeford, T. 2001. A selection of methods used in deliberative and inclusionary processes. PLA Notes, no. 40: 29-31. Witcher, S. 2003. Reviewing the Terms of Inclusion: Transactional Processes, Currencies and Context. CASE paper, no. 67. Centre for Analysis of Social Exclusion, London School of Economics, London: 1-75.

Citizen Inclusion dalam Praktik Governance Sehari-hari

46


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.