Reresentasi Perempuan

Page 1

Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN: ANALISIS TEORI DAN REGULASI Oleh Laila Kholid Alfirdaus, SIP, MPP Abstrak

Gelombang gerakan feminis liberal dan pendekatan GAD (Gender and Development) dalam pembangunan telah banyak mempengaruhi arah dan pengambilan kebijakan. Di samping meningkatnya perhatian terhadap akses ekonomi dan pendidikan bagi perempuan, hal yang tidak terhindarkan dari pengaruh gerakan dan pendekatan ini adalah semakin masifnya promosi representasi politik perempuan. Salah satu manifestasi terpenting dari promosi representasi politik perempuan adalah munculnya kebijakan kuota perempuan yang semakin mendapat tempat, bukan hanya di negara maju, seperti Australia dan negara-negara Skandinavia, tetapi juga negara berkembang seperti India dan Indonesia. Di sisi lain, kebangkitan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politiknya, bukan hanya sebatas untuk ikut memilih dalam pemilu (suffrage), tetapi juga dipilih sebagai wakil rakyat (representative), didorong oleh kenyataan bahwa pengenalan demokrasi (liberal), khususnya di negara-negara berkembang, ternyata lebih banyak memberikan privilege kepada laki-laki (Pateman dalam Rai, 2002, hal. 2), sehingga justru mencederai demokrasi itu sendiri. Indonesia adalah salah satu negara yang juga mengadopsi konsep demokrasi (liberal) tersebut, sekaligus mengadopsi kebijakan kuota perempuan sebagai respon terhadap meningkatnya tuntutan bagi representasi politik perempuan. Akan tetapi, kebijakan representasi politik perempuan di Indonesia sejauh ini masih banyak memperoleh kritik karena dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kesetaraan gender (gender equality) dan kepentingan keterwakilan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari konstituen dan warga negara. Kebijakan masih setengah hati dan seringkali mengalami naik turun. Tulisan ini mencoba mengelaborasi mengapa itu terjadi. Tulisan akan menganalisis regulasi pemilu sejak era reformasi, dikaitkan secara khusus dengan kebijakan representasi perempuan, mulai dari UU No. 3 tahun 1999, UU. No. 12 tahun 2003, UU No. 10 tahun 2008, sampai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai suara terbanyak dalam Pemilu 2009 dengan menelisik lebih dalam berbagai hal sebagai berikut. Pertama, perspektif teoritis yang menggarisbawahi lahirnya regulasi (terkait representasi politik perempuan). Kedua, asumsi tentang relasi gender yang mendasari regulasi beserta manifestasinya dalam butir-butir regulasi – dilihat sebagai respon terhadap isu keterwakilan perempuan. Ketiga, kepekaan regulasi terhadap konteks yang melingkupi problem representasi politik perempuan. Keempat, kepekaan regulasi terhadap kondisi-kondisi yang mendukung maupun menghambat implementasi kebijakan representasi perempuan. Terakhir, kelebihan dan kekurangan regulasi dilihat dari perspektif gender.



Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro, alumnus Crawford School Economics and Government, The Australian National University. Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

1


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 A. REPRESENTASI POLITIK DAN REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN: PERSPEKTIF TEORITIS A.1. Kemunculan Konsep: pengaruh Demokrasi Feminisme Dan Gad (Gender and Development)

Liberal,

Gerakan

Ide representasi politik muncul seiring dengan diintrodusirnya konsep dan praktek demokrasi (liberal) di berbagai negara. Representasi politik menempatkan individu-individu di dalam sebuah lembaga yang dipilih oleh masyarakat untuk mewakili kepentingan mereka (Sherlock, 2006, hal. 25), baik melalui kendaraan partai maupun non-partai. Asumsinya, representasi politik adalah untuk memberikan benefit bagi mereka yang diwakili melalui kebijakan publik yang dihasilkan dalam proses-proses pemerintahan (governance). Namun demikian, beberapa aktivis perempuan—khususnya kaum feminis- menilai pengenalan konsep representasi pada dasarnya gagal menjadi penopang utama demokrasi. Sebagaimana Pateman (dalam Rai, 2000, hal. 2), praktek demokrasi liberal, dimana salah satu atribut utamanya adalah lembaga perwakilan, mengingkari esensi demokrasi itu sendiri, diantaranya egalitarianisme, karena hanya memberikan privilege kepada kaum laki-laki untuk duduk menjadi wakil rakyat. Praktek demokrasi liberal jelas dinilai bias gender—berpihak hanya pada satu lawan jenis, yaitu kaum laki-laki, tetapi menegasi hak dan akses representasi kaum perempuan. Merespon masalah ini, pemikir feminis seperti Pateman sering berujar akan perlunya perubahan tatanan politik hasil bentukan praktek-praktek prosedural demokrasi liberal karena meminggirkan mereka yang dianggap seharusnya tinggal di ruang privat dalam hal ini perempuan. Ruang-ruang publik dalam birokrasi, kebijakan publik, partai dan parlemen yang didominasi oleh kaum laki-laki, mesti dibagi dengan kaum perempuan. Tuntutan terhadap representasi politik perempuan pun menjadi tak terhindarkan. Tuntutan tersebut meningkat seiring dengan semakin masifnya agenda penegakan demokrasi. Seperti diungkapkan oleh Jones (2006: 10), gelombang ketiga demokratisasi yang membawa negara-negara di dunia ketiga—termasuk Indonesia—dari otoritarianisme ke transisi demokrasi dan—beberapa negara lainnya—pada konsolidasi demokrasi, secara langsung maupun tidak langsung telah turut berkontribusi pada kemajuan gerakan serta hak-hak dan kebebasan berpolitik perempuan. Tak ayal, reformasi politik di berbagai negara kemudian menjadi momen terbaik untuk mempromosikan keterwakilan politik perempuan, dan kuota adalah bentuk perwujudan kebijakan paling penting yang menjadi jembatan bagi tujuan peningkatan kursi perempuan di lembaga perwakilan rakyat. Bersamaan dengan bergulirnya gerakan demokrasi liberal dan reformasi di Dunia Ketiga kaum feminis pun berusaha memasukkan ide-ide Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

2


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 kesetaraan hak representasi politik perempuan sebagai salah satu agenda perubahan politik. Reaksi senada juga bergulir dari para pendukung gerakan GAD (Gender and Development). Gerakan GAD yang menyatakan bahwa kesetaraan gender bukan hanya dalam hal pembangunan ekonomi – sebagaimana WID, tetapi juga politik dan sosial, dimana didalamnya tercakup kesetaraan ras, kelas, dan identitas, mesti dimanifestasikan kedalam sebuah kebijakan. Promosi bagi representasi politik perempuan adalah pilihan paling mungkin untuk meningkatkan kesetaraan tersebut. Maka, sebagaimana Moghadam dan Senftofa (2005: 399), lahirlah wacana kebijakan kuota perempuan sebagai salah satu cara strategis untuk mendorong kebijakan yang berpihak pada kaum perempuan, sekaligus mendorong kaum perempuan supaya lebih aktif di dunia politik dan arena publik lainnya. A.2. Mengapa representasi perempuan menjadi penting Pentingnya representasi politik perempuan berawal dari sebuah keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, baik sebagai subyek maupun obyek kebijakan. Artinya, laki-laki dan perempuan mesti sama-sama setara dalam hal akses – partisipasi politik mungkin diwujudkan dalam bentuk suffrage atau hak pilih (Cornwall, 2008, hal. 27), turut serta dalam proses – menjadi agensi, salah satunya adalah dengan masuk di lembaga representatif, serta menikmati hasil kebijakan – yaitu menikmati distribusi sumber daya ekonomi dan sosial (Kabeer, 1999: 436-438). Dengan demikian, apa yang dimaksud sebagai kesetaraan bukan sematamata hanya didorong oleh pandangan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, sebagaimana diyakini oleh aktivis human rights, yang sering menggunakan perspektif hak (right-based approach) sebagai basis pemikiran mereka. Akan tetapi pemikiran ini secara lebih substantif juga didasari oleh argumentasi bahwa setiap kebijakan publik, program pembangunan, maupun implementasi pelayanan publik memiliki implikasi gender. ‘Memiliki implikasi gender’ dalam artian, ia akan diterima dan dipahami secara berbeda oleh lakilaki dan perempuan, sekaligus ia akan memiliki dampak yang berbeda bagi kehidupan laki-laki dan perempuan. Terkait dengan hal ini, penegasan representasi politik perempuan adalah untuk memastikan bahwa kebijakan publik yang dihasilkan telah secara cukup dikerangkai oleh perspektif gender. Dalam arti, kebijakan tersebut telah dibangun atas kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk diakomodasi, tetapi karena mereka juga cenderung berbeda, maka diperlukan perlakuan-perlakuan yang berbeda pula. 1 Namun demikian, karena 1

Seringkali kebutuhan dan problem spesifik kaum laki-laki dilihat sebagai kebutuhan dan problem umum. Laki-laki adalah wakil bagi masyarakat umum sehingga sering terjadi Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

3


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 pada umumnya penegasian itu lebih sering dialami oleh kaum perempuan, maka perlu dipastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan spesifik kaum perempuan telah diidentifikasi, dipertimbangkan dan terlebih penting lagi diakomodasi dalam penyusunan program dan kebijakan. Oleh karena setiap keputusan memiliki implikasi gender, pengintegrasian perspektif setara gender menjadi tidak terhindarkan. Ia tidak hanya untuk mendorong keterlibatan perempuan, tetapi juga untuk mendesain kebijakan/program yang sensitif terhadap kebutuhan spesifik perempuan, dalam kerangka pemberdayaan. Untuk kepentingan inilah representasi politik perempuan menjadi sangat penting, dan kebijakan kuota merupakan bagian terpenting bagi upaya perwujudan keterwakilan perempuan tersebut. A.3. Perdebatan Konseptual Namun demikian, terdapat ketidaksepakatan tentang apakah representasi politik perempuan yang didukung dengan kebijakan kuota memang benar-benar merupakan jembatan bagi lahirnya kebijakan yang berpihak pada kaum perempuan. Setidaknya, terdapat dua kubu yang pandangannya saling bertentangan terhadap representasi politik perempuan. Pertama, mereka yang menyatakan bahwa untuk dapat menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kaum perempuan, maka di dalam lembaga perwakilan juga mesti terdapat kaum perempuan. Asumsinya, perempuanlah yang memahami problem dan kebutuhan mereka, serta mengerti benar apa beda dampak sebuah kebijakan terhadap kehidupan mereka dibandingkan dengan kaum laki-laki. Angka 30 persen disebut sebagai angka minimal jumlah perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat agar dapat menghasilkan kebijakan yang setara gender. Contoh negara yang sering disebut-sebut sukses menghasilkan kebijakan yang berpihak pada perempuan dengan dipenuhinya kuota perempuan adalah negara-negara Skandinavia dan India. Kalangan ini disebut sebagai kalangan formalis karena menekankan jaminan hukum kuota perempuan. Bacchi (2006, menyebut kalangan formalis sebagai penganut “the politics of presence� karena mementingkan “kehadiran� perempuan dalam lembaga perempuan. Kedua, mereka yang menekankan bahwa representasi perempuan memang penting, akan tetapi, yang lebih penting dari ini adalah memastikan kebutuhan-kebutuhan kaum perempuan sudah terakomodasi. Jadi, meskipun toh yang duduk dalam lembaga perwakilan adalah kaum laki-laki, akan tetapi, selama kebutuhan spesifik kaum perempuan telah terpenuhi, tentu kuota bukanlah hal terpenting dan representasi perempuan bukanlah hal yang besar. generalisasi yang kadangkala tidak perlu. Bahkan, kebijakan yang jelas-jelas diperuntukkan bagi kaum perempuan pun kadang tidak secara cukup dikerangkai dengan perspektif peduli gender (gender aware) karena gagal mengenali problem terkecil ketimpangan gender serta tidak mampu menjangkau kerumitan relasi gender dalam lingkup yang sempit seperti dalam keluarga. Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus 4


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 Lagipula, tidak ada jaminan bahwa perempuan duduk di lembaga perwkilan akan memperjuangkan kepentingan kaumnya karena tidak sedikit juga kaum perempuan yang memiliki perspektif patriarkhis. “The politics of idea” adalah yang disebut Bacchi (2006) sebagai yang dianut oleh kalangan ini dikarenakan pandangan kalangan ini yang lebih mementingkan ide kebijakan yang berpihak pada kaum perempuan daripada kehadiran formal sosok perempuan dalam lembaga perwakilan. Penolakan lain datang dari mereka yang menilai bahwa kuota justru merendahkan martabat kaum perempuan, mempertanyakan mengapa mesti “dikasihani” untuk dapat duduk di kursi lembaga perwakilan rakyat. Seharusnya perempuan mampu membuktikan bahwa mereka mampu. Mereka adalah kalangan eksistensialis yang meyakini bahwa seharusnya perempuan sama dengan laki-laki, berdiri sendiri berkompetisi memperebutkan karir politik. Juga mereka yang menyatakan bahwa kuota mencederai keadilan terhadap kaum laki-laki. Kuota, yang memberikan keistimewaan dan kemudahan kepada kaum perempuan untuk duduk dalam lembaga perwakilan, menyebabkan ketidak adilan terhadap kaum laki-laki yang mesti berjuang untuk mendapatkan prestasi politiknya. 2 B. TELAAH REGULASI REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN Terlepas dari berbagai perdebatan yang ada, tuntutan terhadap peningkatan keterwakilan perempuan terus menggema, juga dukungan terhadap kebijakan kuota. Ini juga yang terjadi di Indonesia. Pandangan bahwa kuota perempuan diperlukan telah muncul sejak awal era reformasi. Namun peraturan pemilu saat itu, yang termaktub dalam Undangundang No. 3 tahun 1999, sama sekali belum menyentuh kebijakan kuota. Kebijakan baru hadir dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003. Di dalam pasal 65 ayat (1) Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa: “Setiap Partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”

Kebijakan yang lebih eksplisit terdapat dalam Undang-undang pemilu dan parlemen terakhir, yaitu UU No. 2 dan 10 tahun 2008, dimana kuota 30 persen lebih tegas dinyatakan. Dalam pasal 53 Undang-undang No. 10 tahun 2008 disebutkan: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.” 2 Termasuk mereka yang menyatakan, kalau ingin setara kenapa hanya mengajukan angka 30,

kenapa bukan 50 persen? Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

5


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 Pasal ini diperkuat lagi dengan pasal 55 ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”

Peraturan tentang kuota dalam konteks penyelenggaraan pemilu tahun 2009 bahkan tidak hanya menyentuh kebijakan kuota perempuan di parlemen, tetapi lebih jauh mengatur kuota perempuan dalam partai politik. Kuota perempuan dalam partai politik termaktub dalam Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 ayat (2) mengenai pembentukan partai politik yang menyatakan bahwa: “Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”

Peraturan dalam pasal ini dipertegas dengan ayat 5 pasal yang sama tentang kepengurusan partai politik yang menyatakan bahwa: “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.”

Juga pasal 20 Undang-undang No. 2 tahun 2008 yang menyatakan bahwa: “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.”

Dalam hal penjaminan pelaksanaan kebijakan kuota perempuan, Undangundang No. 10 tahun 2008 memuat peraturan mengenai sanksi atas ketidak mampuan partai memenuhi kebijakan kuota. Pasal 58 ayat (2) dan pasal 61 ayat (6) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa: “Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.” (pasal 58 ayat 2) “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.” (pasal 61 ayat 6)

Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

6


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 Meski dinilai lebih eksplisit, namun sejauh mana Undang-undang ini efektif bagi peningkatan representasi perempuan tidak dapat dilacak. Hal ini dikarenakan, belum juga Undang-undang ini diimplementasikan, telah lahir putusan MK No. 22-24/PUU –VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 yang menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme untuk menentukan pemenang pemilihan umum legislatif. Kelahiran Putusan MK ini mementahkan peraturan pemilu sebelumnya, termasuk pasal-pasal yang mengatur mengenai kuota perempuan. Meskipun MK menyatakan bahwa affirmative action tidak melanggar konstitusi (Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008, hal. 96-99), tetapi keputusan suara terbanyak (hal. 104) menyiratkan bahwa kebijakan kuota 30 persen tidak dapat diterapkan. Secara lebih ringkas kebijakan kuota dan representasi politik perempuan dapat diperas dalam tabel berikut: Tabel 1. Ringkasan Telaah Berbagai Peraturan Terkait Kebijakan Kuota/Representasi Politik Perempuan PASAL, AYAT, ATAU HAL. TERKAIT REPRESENTASI PEREMPUAN Tidak menyebutkan Pasal 65 ayat (1)

Pasal 53

Pasal 55 ayat (2)

Pasal 58 ayat (2)

BUNYI PASAL/AYAT REPRESENTASI PEREMPUAN

KATA KUNCI

Undang- Undang No. 3 Tahun 1999 Tidak menyebutkan Tidak ada Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 “Setiap Partai Politik peserta pemilu dapat “dapat” mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30 persen.” Undang-undang No. 2 dan 10 tahun 2008 “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud “memuat paling dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% sedikit” (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.” “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” “Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota

INDIKASI

Gender blind Lenient, penekanan yang lemah

Lebih eksplisit

“terdapat sekurangkurangnya”

Lebih eksplisit

“memberikan kesempatan memperbaiki”

Sanksi yang lemah

Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

7


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.” Pasal 61 ayat (6) “KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota “mengumumka mengumumkan persentase keterwakilan n pada media perempuan dalam daftar calon sementara massa” partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.” Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 Hal 99 “…Mahkamah berpendapat “tidak ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 tidak bertentangan” bertentangan dengan konstitusi…” Hal 104 “…Dengan sistem proporsional terbuka, “suara atau rakyat secara bebas memilih dan menentukan dukungan calon anggota legislatif yang dipilih, maka rakyat paling akan lebih sederhana dan mudah ditentukan banyak” siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak”

Sanksi yang lemah, akses kontrol masyarakat yang lemah Gender neutral Gender neutral

Ringkasan ini mungkin masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, setidaknya yang bisa disimpulkan dari berbagai peraturan pemilu dan partai politik, bahwa dari perjalanan dan perkembangan sejauh ini Indonesia belum pernah secara serius memberikan penekanan yang kuat bagi perluasan representasi politik perempuan. C. ANALISIS REGULASI: KERANGKA TEORITIS REGULASI, ASUMSI TENTANG RELASI GENDER, SERTA KEPEKAAN TERHADAP KONTEKS C.1. Perspektif teoritis yang mendasari regulasi tentang representasi politik perempuan Menyimak perjalanan regulasi pemilu dan partai politik di Indonesia sejak paska reformasi menjelaskan kepada kita bahwa perspektif feminis memang cukup kental mempengaruhi lahirnya kebijakan kuota. Memang tidak banyak yang dapat dikatakan terhadap dua Undang-undang pemilu pertama paska reformasi (UU No. 3 tahun 1999 dan UU No. 12 tahun 2003) karena minimnya sentuhan terhadap persoalan keterwakilan. Namun, nilai-nilai femimisme itu dapat diraba lebih jelas dalam Undang-undang parpol dan pemilu terakhir (UU No. 10 tahun 2008). Pasal-pasal kuota yang tersurat di dalam UU No. 10 tahun 2008 yang kemudian diikuti kelahiran amar Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008), adalah Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

8


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 pasal-pasal yang kental dengan pandangan politik kaum feminis terhadap problem keterwakilan politik kaum perempuan. Sinyal terkuat pertama yang menandakan adanya pengaruh feminis liberal dalam kebijakan kuota terbaru di Indonesia terdapat dalam UU No. 2 Tahun 2008, Bab 5, Pasal 11 Ayat 1 huruf e tentang tujuan dan fungsi partai. Pasal ini, tidak seperti pasal-pasal mengenai partai politik sebelumnya, menegaskan adanya penekanan kesetaraan dan keadilan gender di dalam proses rekrutmen politik yang demokratis. Pasal tersebut berbunyi: “Partai Politik berfungsi sebagai sarana: ... e). rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.�

Sebagaimana kaum feminis, pasal tersebut menyiratkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, dan oleh karena mereka harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berkarir dalam ranah publik, termasuk dalam ranah politik. Kuota adalah salah satu cara untuk mencapai kesetaraan tersebut mengingat selama ini kaum perempuan telah jauh tertinggal di berbagai bidang dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kuota, demikian Dahlerup dan Freidenvall (2005: 30) menegaskan, dapat menjadi jalan pintas (fast track) bagi perempuan guna meningkatkan keterwakilan politik mereka. Kebijakan kuota sendiri, demikian UU No. 2 pasal 2 ayat (2) dan UU No. 10/2008 pasal 53 beserta pasal 55 ayat (2), merupakan cerminan pandangan kaum feminis yang mengakui bahwa hak pilih dalam pemilu tidaklah cukup untuk memastikan kepentingan kaum perempuan terakomodasi. Mesti terdapat supproting system berupa perluasan akses kaum perempuan terhadap partai politik serta perluasan representasi politik perempuan di parlemen. Hal ini senada dengan Sinha (2006: 11) yang menganalisis kebijakan kuota di India yang menyatakan bahwa kuota adalah upaya penyetaraan laki-laki dan perempuan lebih jauh setelah pemberian hak (pilih) yang sama dalam pemilu. Disamping perspektif feminisme, kebijakan kuota juga dipengaruhi secara kuat oleh pendekatan Gender and Development (GAD). Perspektif GAD yang memberikan penekanan kuat terhadap kesetaraan bagi semua (Guldvik, 2003: 2-11), juga terdapat dalam UU No. 10 terutama di bagian penjelasan umum paragraf 3 dan 9. Penjelasan Umum Undang-undang ini menyatakan bahwa untuk memperkuat lembaga perwakilan politik (paragraf 9) dibutuhkan penyelenggaraan pemilu yang menjamin kesempatan yang sama dalam partisipasi politik bagi semua warga negara, tanpa adanya diskriminasi etnis, agama, ras, gender, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial (paragraf 3). Unsur pemberdayaan perempuan yang terdapat dalam UU No. 2/2008, juga secara jelas menggambarkan pengaruh dari pendekatan GAD. Sebagaimana para ahli GAD, pemberdayaan politik perempuan yang dilakukan dengan cara Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

9


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 menghubungkan demokrasi dengan upaya meningkatkan kesetaraan perempuan adalah salah satu elemen gender reform, khususnya di negaranegara yang masih dalam proses pembangunan demokrasi (liberal) (Jones, 2006: 10). Penjelasan Umum UU. No. 2 paragraf 5 yang menegaskan bahwa kelahiran UU ini ditujukan untuk mengenalkan paradigma konsolidasi demokrasi yang baru guna memperkuat institusi-institusi partai politik juga untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui—sebagaimana paragraf 6 dan Pasal 31 UU No. 2— pendidikan politik yang peduli dan setara gender (genderaware political education) menjelaskan kepada kita bahwa Undang-undang ini aware terhadap upaya pemberdayaan perempuan. Peneguhan terhadap gender reform maupun pendidikan politik yang peduli gender, sebagaimana ditegaskan Pasal 31 dan paragraf 6 dari penjelasan umum UU No. 2/2008, senada dengan teori pemberdayaan dari GAD. Pemberdayaan gender (gender empowerment), bagi Mawaya (1999: 1) dan Kabeer (1999: 435), menegaskan pentingnya penciptaan lingkungan yang kondusif bagi perempuan untuk menggunakan kemampuannya dalam mengenali masalah-masalah sosial, termasuk juga kemampuan untuk mengambil tindakan dan pilihan strategis bagi kehidupan mereka. Namun, lahirnya putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang suara terbanyak, meski berkali-kali lembaga ini menyatakan affirmative action sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan konstitusi, menyiratkan bahwa kebijakan lembaga ini cenderung lebih netral terhadap perspektif gender. Dalam arti, lembaga ini menarik kembali ke belakang progres kesetaraan gender yang terdapat dalam UU No. 2 dan 10 tahun 2008 ke dalam lingkaran ketidakberpihakan kebijakan terhadap problem-problem dan kebutuhan spesifik gender. C.2. Asumsi tentang relasi gender yang mendasari regulasi Pelacakan terhadap asumsi tentang relasi gender yang mendasari regulasi bermanfaat untuk melihat bagaimana regulasi tersebut melihat hubungan gender antara laki-laki dan perempuan, posisi regulasi dihadapkan pada problem-problem ketimpangan dan ketidakadilan gender, serta tipikal kebijakan dari perspektif gender. Pemahaman terhadap asumsi tentang relasi gender di dalam sebuah peraturan mempermudah kita memetakan kebijakan tersebut: apakah termasuk ke dalam yang gender blind, gender neutral, atau gender aware. 3 3

Gender blind berarti kebijakan tidak mengenali perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada perbedaan kebutuhan, persepsi dan aspek-aspek spesifik yang lain. Gender neutral berarti mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda akan tetapi belum ada tindak lanjut yang lebih serius terhadap perbedaan tersebut, sehingga seolah-olah memang tidak ada . Gender aware berarti kebijakan mengakui adanya perbedaan Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus 10


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 Absennya aturan yang menyentuh representasi perempuan dan kebijakan kuota dalam Undang-undang No. 3 tahun 1999 menyiratkan kepada kita bahwa sampai pada lahirnya Undang-undang ini, pemerintah – policy makers – masih belum mengakui bahwa terdapat problem relasi gender di masyarakat. Terkait dengan ini berbagai penilaian pun tak dapat dihindari: bahwa ketimpangan dan ketidak adilan gender belum dianggap sebagai problem yang serius, bahwa ketimpangan dan ketidak adilan gender belum layak memperoleh perhatian prioritas, bahwa representasi kaum perempuan belum dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak, dan bahwa ketertinggalan kaum perempuan bukanlah masalah yang harus segera mungkin diselesaikan. Undangundang No. 3 tahun 1999 masih bersifat gender-blind. Sementara itu, masuknya kebijakan kuota dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) menyiratkan kepada kita bahwa perhatian terhadap kebutuhan representasi perempuan memang ada, akan tetapi menempatkannya sebagai prioritas utama belum menjadi kebutuhan mendesak. Oleh karena itu, Undang-undang ini pun terkesan masih sangat lemah (lenient). Undang-undang ini sama sekali tidak menyentuh constraints khas kaum perempuan sebagai sesuatu yang memerlukan perhatian khusus. Undangundang menerapkan perlakuan yang sama antara kandidat perempuan dan lakilaki, termasuk dalam hal persyaratan pengajuan diri sebagai calon legislatif, meskipun sangat jelas perempuan memiliki constraints – maupun insentif - yang berbeda – dan seringkali kali lebih berat dibandingkan - dengan laki-laki. 4 Hal yang sedikit berbeda terdapat di dalam UU No. 2/2008 dan UU. 10/2008 dimana asumsi mengenai relasi gender relatif beragam. Beberapa bagian dalam Undang-undang ini menyiratkan kebijakan peka gender (gender aware policy). Namun, dalam beberapa hal yang lain Undang-undang ini masih terkesan gender blind. Penekanan kuota yang lebih tegas – bukan lagi sekedar saran dengan mengutip kata “dapat” - sebagaimana pasal 53 dan pasal 55 ayat (2), dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya secara jelas menyiratkan kepedulian pemerintah yang lebih mendalam terhadap kebutuhan representasi politik perempuan: secara implisit mengakui betapa perempuan selama ini memang tertinggal di belakang. Pasal-pasal kuota menggambarkan itikad pemerintah untuk melibatkan perempuan lebih jauh dalam representasi politik. Penegasan kebijakan kuota sangat penting karena, sebagaimana Gaventa (2005), antara laki-laki dan perempuan, mengenali problem dan kebutuhan spesifik gender laki-laki dan perempuan.perbedaan. 4 Contraint khas perempuan misalnya masih kuatnya nilai-nilai dalam masyarakat yang menyatakan bahwa dunia politik tidak sesuai dengan kaum perempuan yang “kodratnya” adalah lembut dan halus. Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

11


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 berguna sebagai alat untuk memecah ruang kekuasaan yang diklaim oleh lakilaki untuk lebih setara dan egaliter. Di sisi lain, Undang-undang partai politik dan pemilu tersebut masih juga tidak lepas dari tipikal gender blind karena tidak mengindahkan kebutuhankebutuhan spesifik kaum perempuan. Pasal 50 UU 10/2008 yang menetapkan syarat yang sama baik bagi caleg perempuan maupun laki-laki –minimal harus berijasah SMU- merupakan indikasi bahwa Undang-undang tidak peka terhadap problem timpangnya tingkat pendidikan populasi lak-laki dan perempuan. Sebagian pihak mungkin akan menilai hal tersebut justru sebagai bentuk keadilan dan kesetaraan, sebagaimana dijelaskan oleh Sawer (2000: 365). Namun, regulasi seperti ini abai terhadap fakta bahwa perempuan telah lama disangkal haknya dalam mengakses sumberdaya, khususnya pendidikan (hal. 374).5 Dalam istilah Longwe (1991: 151) Undang-undang ini melewatkan salah satu syarat kebijakan berperspektif gender, yaitu conscientization di mana perempuan dan laki-laki seharusnya dilihat memiliki kondisi, peran, dan beban yang berbeda akibat dari pembagian kerja berbasis gender (gendered division of labour) yang tidak fair. Asumsi yang kurang lebih sama terdapat dalam amar putusan MK mengenai suara terbanyak. Meskipun secara gamblang dinyatakan bahwa kuota tidak melanggar konstitusi, tetapi, penetapan suara terbanyak sebagai mekanisme penetapan pemenang pemilu legislatif mengindikasikan bahwa putusan ini abai terhadap mendesaknya kebutuhan representasi politik perempuan. 6 C.3. Kepekaan regulasi terhadap konteks sosial Undang-undang No. 3 tahun 1999 dan Undang-undang No. 12 tahun 2003 belum menjadi pijakan yang kuat bagi representasi politik perempuan. Bukan saja kedua Undang-undang ini tidak peka terhadap konteks sosial – dan problem ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, kedua Undang-undang ini bahkan belum secara eksplisit mengakui ketimpangan akses politik antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah masalah, atau dalam istilah Bacchi (1999, hal. 1-13) 5 Dengan

demikian, menjadi jelas bahwa “sama” tidak selalu berarti “adil”. Meski pada akhirnya suara perempuan meningkat hingga 18 persen, kuota masih menjadi kebutuhan mendasar. Sama sekali ini tidak berarti bahwa kuota kemudian tidak berguna dan kaum perempuan lebih baik bersaing secara terbuka. Faktanya raihan suara perempuan dengan mekanisme suara terbanyak belum mencapai angka 30 persen, angka minimal lahirnya kebijakan yang berpihak pada kaum perempuan sebagaimana pengalaman-pengalaman empiris di berbagai pemerintahan. Putusan MK, meski mengubah mekanisme penetapan pemenang suara dengan suara terbanyak, mestinya mempertahankan aspek affirmative action dalam UU pemilu. 6

Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

12


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 disebut sebagai politics of ‘what’s the problem’.7 Penyentuhan terhadap aspek representasi politik perempuan yang sangat minim menggambarkan besarnya kepentingan untuk membatasi kiprah kaum perempuan di ranah politik. Hal yang tidak jauh berbeda juga terdapat dalam Undang-undang partai politik dan pemilu yang terakhir beserta amar putusan MK tentang suara terbanyak. Problem mendasar ketidak-pekaan kedua Undang-undang terletak pada abainya Undang-undang terhadap problem-problem ketimpangan gender di ranah lokal. Undang-undang yang menyiratkan kuota – baik dalam partai politik (UU No. 2/2008) maupun dalam parlemen (UU No. 10/2008) – sebagai mandat sekedar pada tingkat pusat mengabaikan fakta kerumitan masalah ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di daerah. Alasan ketidaksiapan daerah menerapkan kuota sehingga peraturannya dibuat tidak mandatory terkesan mengada-ada, bias perkotaan, atau lebih tepatnya “bias Jakarta” (Alfirdaus, 2008, . Undang-undang membatasi perempuan-perempuan di daerah untuk memiliki karir politik, sekaligus secara substansial membatasi kesempatan mereka untuk mengaspirasikan kepentingan mereka di lingkaran kebijakan publik. Penekanan terhadap kuota perempuan di dalam partai politik juga masih sekadar mencakup aspek pembentukan partai dan struktur organisasi, bukan secara eksplisit dalam hal pengambilan keputusan. Meskipun dalam Bab 10, Pasal 27 UU No. 2/2008 ditekankan bahwa proses pengambilan keputusan di dalam partai politik harus berdasarkan mekanisme yang demokratis, tetapi kealpaan memberikan tekanan yang kuat pada akses perempuan dalam mekanisme pengambilan keputusan di partai berpotensi menghambat langkah politik kaum perempuan. Faktanya, selama ini hambatan struktural terbesar bagi perempuan berpolitik justru datang dari partai.8 Dari berbagai problem di atas, menjadi sangat jelas bahwa regulasiregulasi kuota dan representasi politik perempuan masih sangat jauh dari ideal. D. KESIMPULAN Berbagai kebijakan yang mengatur representasi politik perempuan di Indonesia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh diperkenalkannya konsep-konsep demokrasi liberal yang pada awalnya memberikan tempat lebih banyak bagi kaum laki-laki. Hawa gerakan feminis dan GAD kemudian membawa pesan demokrasi itu pada tuntutan kesetaraan politik laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal representasi politik. 7

Ini menegaskan bahwa “masalah” untuk disebut sebagai masalah dalam kebijakan publik adalah sebuah kontestasi politik. 8 Oleh karena itu, reformasi partai juga merupakan bagian penting dari reformasi gender. Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

13


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 Meski perkembangan peraturan representasi politik perempuan sangat lambat, namun dari waktu ke waktu semakin menunjukkan kemajuan dan kepedulian yang lebih dalam terhadap kesetaraan politik laki-laki dan perempuan. Penekanan kebijakan kuota yang lebih tegas, sanksi yang mulai dimunculkan, serta diperkenalkannya kuota dalam partai politik adalah beberapa indikasi kemajuan kepedulian terhadap representasi politik perempuan. Namun demikian, berbagai kelemahan masih memerlukan perhatian serius. Regulasi mestinya lebih peka terhadap konteks sosial masyarakat, tidak terjebak dalam pandangan yang bias kota, bias kelas menengah-atas, bias kalangan berpendidikan. Meski ide fair competition MK pada akhirnya menghasilkan peningkatan suara perempuan, namun ini sama sekali tidak berarti bahwa affirmative action dan dukungan bagi representasi politik perempuan tidak urgen. DAFTAR REFERENSI Alfirdaus, L 2008, ‘Bukan Untuk Angka, Apalagi Pemberdayaan: Kebijakan Setengah Hati Kuota Perempuan’, Jurnal Konstitusi, vol. 5, no. 2, hal. 145-159. Bacchi, C 2006, ‘Arguing for and against quotas: theoretical issues’, in Drude Dahlerup, Women, quotas and politics, Routlege, London. Bacchi, C 1999, ‘Taking Problems Apart’ in Women, Policy and Politics: The Construction of Policy Problems, Sage publications, London. Cornwall, A 2008, Democratizing engagement: what the UK can learn from international experience, Demos, London. Dahlerup, D and Freidenvall, L 2005, 'Quotas as a 'fast track' to equal representation for women', International Feminist Journal of Politics, vol. 7, no. 1, hal. 26 — 48. Guldvik, I 2003, ‘Gender quota regimes and ideas of social justice: the quota regime of the Norwegian Local Government Act’, paper to be presented at the ECPR second General Conference, Marburg, Germany 18 – 21 September 2003. Jones, N 2006, Gender and the political opportunities of democratization in South Korea, Palgrave, New York. Kabeer, N 1999, ‘Resources, agency and achievements: reflections on the measurement of women’s empowerment’, Development and Change, vol. 30, pp. 435-464. Longwe, S 1991, “Gender Awareness: The missing element in the Third World development project”, in Changing Perceptions: Writings on Gender Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

14


Seminar Internasional Percik, Salatiga 28-31 Juli 2009 and Development, Tina Wallace with Candida March (eds.), Oxfam, London. Mawaya, A 1999, ’Assessment report on: political empowerment of women’, Sixth Regional Conference On Women, Mid-Decade Review Of The Implementation Of The Beijing Platforms for Action in the African Region, 22-26 November 1999, Addis Ababa, Ethiopia, Economic Commission For Africa, pp. 1-30. Moghadam, V and Senftofa, L 2005, Measuring women’s empowerment: participation and rights in civil, political, social, economic, and cultural domain, UNESCO, Blackwell Publishing, Oxford. Rai, S (ed.) 2000, International perspectives on gender and democratization, MacMillan, London. Sawer, M 2000, ‘Parliamentary representation of women: from discourses of justice to strategies of accountability’, International Political Science Review, vol. 21, no. 4, hal. 361-380. Sherlock, S 2006, ‘Indonesia’s regional representative assembly: democracy, reprsentation and the region a report on the Dewan Perwakilan Daerah (DPD)’, CDI Policy paper on Political Governance, No. 1, hal. 1-47. Sinha, N 2006, Women in Indian politics: empowerment of women through political participation, Gyan Publishing House, New Delhi. Perundang-undangan Undang-undang Republik Indonesia No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum Undang-undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008, tertanggal 19 Desember 2008.

Representasi Politik Perempuan - Laila Kholid Alfirdaus

15


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.