4 minute read
Sheila Timothy - TIDAK PERNAH BERHENTI BELAJAR
Sosoknya bisa jadi berada di belakang layar. Tapi perannya dalam sebuah proyek film sangatlah penting. Sheila Timothy, satu dari sekian banyak produser film perempuan Indonesia, bicara soal profesi dan proyek film terbarunya, Wiro Sableng 212.
OLEH: MARGIE PATTY | FOTOGRAFER: GANANG ARFIARDI | STYLIST: FERRY CHRISTIANTO | MAKEUP: MIRSA FATAHILLAH | BUSANA LURIK DAN AKSESORIS: REERA BY REBECCA
Advertisement
Ditemui di rumahnya yang asri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sheila Timothy yang sering disapa Mbak Lala ini menyambut tim Terrasse dengan ramah. Keramahan agaknya jadi salah satu karakter khasnya yang juga ia terapkan kepada seluruh penghuni rumah dalam memperlakukan orang lain. Anak-anak, asisten rumah tangga, hingga sekuriti di rumah semuanya bersikap sama, sopan dan ramah. Sebuah budaya domestik yang sangat positif dan menyegarkan. Kami merasa bahwa proses wawancara dan pemotretan ini akan berjalan menyenangkan.
Memang demikian yang terjadi. Sheila begitu antusias menanggapi topik wawancara. Sama antusiasnya dengan menjalani profesinya sebagai produser film. Berawal dari sahabatnya, sutradara film peraih Piala Citra, Joko Anwar, yang menawarkan cerita untuk difilmkan, Sheila akhirnya masuk menjadi salah satu pelaku di industri perfilman.
“Cerita yang dibawa Joko bagus. Saya tertarik dan saya setuju untuk jadi produser filmnya. Jadilah Pintu Terlarang (2008)”, Sheila membuka kisahnya. The rest is history. Dari rumah produksi miliknya, LifeLike Pictures, lahir film-film lain, seperti Modus Anomali (2012), Tabula Rasa (2014), Banda The Dark Forgotten Trail (2017), dan yang terbaru adalah Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni (2018).
Sebagai produser film, kesibukan Sheila dimulai dengan mencari cerita yang tepat untuk difilmkan. Setelah itu, seorang produser mulai mewujudkan proyek filmnya. Dibantu dengan Line Producer dan tim kreatif, proses pembuatan film dimulai dengan mencari investor yang akan mendanai produksinya, membentuk tim, mencari sutradara yang akan mengarahkan filmnya, memikirkan strategi pemasaran, target pasar, promosi, hingga distribusi film di berbagai saluran (tak hanya bioskop, tapi juga televisi, video, digital, hak siar di media, dan format apapun). “Banyak yang berpikir kalau produser itu yang punya uang, yang danai film saja, padahal tidak begitu. Produser film adalah otak dari proyek film”, tambah ibu dari empat anak ini.
Mengepalai tim dan berurusan dengan banyak orang juga menjadi salah satu deskripsi pekerjaan seorang produser. Jumlah tim ditentukan dengan besar kecilnya skala proyek film yang dikerjakan. Sebagai perbandingan, Sheila merekrut 40 orang untuk timnya di film Banda dan 400 orang untuk film Wiro Sableng. Saat ditanya apakah tidak pusing menghadapi orang banyak, ditambah lagi dengan mengurusi 4 anak dan staf di rumah, Sheila menjawab tidak.
“Kuncinya itu manajemen. Harus bisa manage waktu, uang, dan manage orang”, ujarnya. Meski begitu, faktor kerjasama dan dukungan pihak lain juga sangat membantu dan menentukan. “Kalau pekerjaan, saya dibantu Line Producer dan tim yang solid. Di rumah, saya punya support system yang mendukung, mulai dari suami, anak-anak, sampai nanny yang sudah bekerja dengan saya sejak anakanak masih kecil”, tambahnya.
Tak Pernah Berhenti Belajar
Menjadi produser film bisa jadi bukan cita-cita yang umum bagi sebagian besar orang. Kakak dari aktris Marsha Timothy ini juga tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang perfilman. Sheila adalah lulusan universitas jurusan Manajemen Marketing. Ia juga pernah bekerja di agensi iklan dan banyak mengurusi brand dari klien- kliennya. Perkenalannya dengan proses produksi dan syuting dimulai di kantor tersebut dan saat mendampingi adiknya, Marsha yang mulai berkarir di dunia film. Baru tahun 2008, Sheila membuat rumah produksi LifeLike Pictures dan memproduksi film pertamanya, Pintu Terlarang.
Sejak awal menjadi produser, Sheila mengakui kalau proses belajarnya tidak pernah berhenti. Meski punya modal ilmu dan pengalaman dalam hal manajemen, menjadi produser sesungguhnya memerlukan pengetahuan dalam banyak disiplin ilmu. Tak hanya memiliki kemampuan dalam membaca dan menilai naskah yang tepat untuk dibuat film, seorang produser juga harus tahu hukum saat berurusan dengan kontrak dan hak cipta, membaca kondisi sosial politik, marketing dan strategi promosi, juga mengelola sumber daya manusia. Untuk urusan kreatif, Sheila mulai menulis untuk filmnya, seperti di Tabula Rasa dan yang paling anyar, Wiro Sableng. “Menjadi produser itu harus mau belajar. Dan gak melulu soal film, tapi multilevel disiplin ilmu. Tapi ya itulah serunya. Proyek baru berarti cerita baru, tim baru, ya belajar lagi”, Sheila menuturkan dengan semangat.
Wiro Sableng dan Harga Diri Bangsa
Antusiasme kembali menyeruak saat Sheila ditanya perihal proyek terkininya, film Wiro Sableng. Film ini diangkat dari cerita silat legendaris yang ditulis oleh Bastian Tito, pengarang yang juga ayah dari aktor Vino G.Bastian, adik ipar Sheila sendiri. Proyek ini diakuinya memang datang dari Vino. Perlu sekitar 4 tahun agar Sheila yakin dan percaya diri untuk membuatnya. Wiro Sableng menjadi proyek film fantasy action dengan skala besar yang pernah dibuatnya. Maka, dengan kesadaran itu pula, Sheila menggandeng Fox International Productions (FIP)— anak perusahaan Studio 20 th Century Fox Film Corporation—untuk co production. “Saya tahu saya butuh partner, bukan hanya soal dana tapi juga studio dengan pengalaman kreatif dan jalur distribusi. Kita ambil ilmunya, teknologinya, transfer knowledge. Kita manfaatkan kerjasama seperti ini untuk belajar agar bisa naik level”, ujarnya. Yang menarik, dengan dukungan salah satu anak perusahaan studio raksasa Hollywood ini, tidak membuat Sheila dan timnya kegirangan lantas terlena. Untuk urusan kontrak saja, perlu sekitar dua tahun untuk mencapai kata sepakat. Bukan soal keraguan pihak FIP, melainkan lebih ke usaha Sheila untuk menjaga kerjasama ini agar tetap setara, tanpa ada satu pihak yang wewenang dan haknya melebihi yang lain.
“Dalam setiap kerjasama dengan pihak lain, kita harus punya harga diri dan pride. Kita harus ingat kalau ini (Wiro Sableng-red) adalah karya anak bangsa, buatan Bastian Tito, milik Indonesia. Rights jangan sampai hilang. Itu yang saya tekankan”, tambah Sheila. Dengan model kerjasama yang setara, Sheila berharap proyek Wiro Sableng akan menjadi standar yang baik dan adil untuk kemudian bisa diterapkan oleh rumah produksi lokal lain dalam bekerjasama dengan studio atau pihak luar.