24 minute read

SEKSUAL: SUATU KAJIAN PERBANDINGAN ANTARA KUHAP DAN UU TPKS

Next Article
PERDAGANGAN ORANG

PERDAGANGAN ORANG

Pengadilan Tinggi Bandung. “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati pada Herry Wirawan.” https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkanvonis-mati-pada-herry-wirawan.html. Diakses 27 April 2022. Pengadilan Tinggi Bandung. “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati pada

Herry Wirawan.” https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkanvonis-mati-pada-herry-wirawan.html. Diakses 29 April 2022. Pramesti, Tri Jata Ayu “Hak Hidup vs Hukuman Mati.”

Advertisement

https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-matilt4ef039a2d0c28. Diakses 27 April 2022. Pramesti, Tri Jata Ayu. “Hak Hidup vs Hukuman Mati,”

https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-matilt4ef039a2d0c28. Diakses 27 April 2022. Putri, Aisha Amalia Putri. “Diperberat, Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Vonis Hukuman Mati

Herry Wirawan.” https://www.kompas.tv/article/276879/diperberat-hakimpengadilan-tinggi-bandung-vonis-hukuman-mati-herry-wirawan. Diakses 27 April 2022. Ramadhan, Dony Indra. “Putusan Mati Hakim PT Bandung Terhadap Herry

Wirawan Singgung soal HAM.” https://www.detik.com/jabar/hukum-dankriminal/d-6016903/putusan-mati-hakim-pt-bandung-terhadap-herrywirawan-singgung-soal-ham. Diakses 27 April 2022. Ramadhan, Fitra Moerat. “Fakta-Fakta Terbaru Vonis Mati Herry Wirawan.”

https://grafis.tempo.co/read/2973/fakta-fakta-terbaru-vonis-mati-herrywirawan. Diakses 27 April 2022.

BIODATA PENULIS

Aliffia Dwiyana Sekti atau yang kerap dipanggil Fia merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Perempuan kelahiran 22 Oktober 2000 ini sekarang aktif sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022.

Metta Yoelandani merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelahiran Cirebon, 6 Mei 2002. Metta sekarang aktif menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Human Resources

Podium FHUI 2022.

Nisya Arini Damara Ardhika atau Nisya merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia lahir

di Boyolali pada tanggal 21 Maret 2002. Sekarang ia aktif dalam beberapa organisasi seperti menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022, staf Public Relations di Podium FHUi 2022, dan staf Penelitian dan Pengembangan BEM FHUI 2022.

PROSEDUR DAN PENERAPAN PERADILAN TINDAK PIDANA KEKERASAN

SEKSUAL: SUATU KAJIAN PERBANDINGAN ANTARA KUHAP DAN UU TPKS

Ashilah Chaira Yasmin

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

ashilah.chaira@ui.ac.id,

Febrian Ramdan Rafiki

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

febrian.ramdan@ui.ac.id

Said Faturrahman

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

said.fathurrahman@ui.ac.id

Abstrak

Kekerasan seksual di lingkungan kampus telah lama menjadi momok yang meresahkan bagi civitas akademika. Bukan hanya tidak bermoral, perilaku ini berdampak buruk terhadap aspek fisik, psikis, dan sosial korban. Kasus kekerasan seksual di kampus disebut sebagai fenomena gunung es karena jumlahnya yang banyak, tetapi hanya sedikit yang tercatat dan dilaporkan disebabkan oleh berbagai alasan yang merugikan korban dan belum ada undang-undang yang secara spesifik mengaturnya. Untuk itu disusunlah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai payung hukum kepada korban tindak pidana ini. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini mencoba menganalisis bagaimana perbandingan prosedur peradilan tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS serta penerapannya pada salah satu kasus kekerasan seksual di kampus, yaitu kasus kekerasan seksual terhadap salah satu mahasiswi Universitas Riau pada Oktober 2021. Berdasarkan analisis menggunakan metode kepustakaan/ yuridis normatif, disimpulkan bahwa terdapat beberapa perbedaan ketentuan hukum acara pidana untuk kasus kekerasan seksual menurut ketentuan KUHP dan UU TPKS. Ketentuan yang terdapat dalam UU TPKS lebih melindungi kepentingan korban kasus kekerasan seksual dan lebih ideal untuk diterapkan pada kasus kekerasan seksual.

Kata Kunci: Kekerasan Seksual, Prosedur Peradilan, KUHAP, UU TPKS

COMPARATIVE STUDY ON CRIMINAL PROCEDURES OF SEXUAL VIOLENCE

BETWEEN THE KUHAP AND THE TPKS LAW WITH EXAMPLE OF ITS

APPLICATION

Abstract

Sexual violence in the campus environment has long been a troubling specter for academic civitas. Not only immoral, this behavior has a negative impact on the physical, psychological, and social aspects of the victim. Like an iceberg, there are many cases of sexual violence on campus, but only a few cases are reported due to various reasons that harm the victim and there is no specific law regarding this issue. As a response for this issue, the Criminal Act on Sexual Violence bill was drafted to provide a legal basis for victims of this crime. Departing from this, this paper tries to compare the judicial procedures for sexual violent crimes between the Criminal Procedure Code and the TPKS Law and also explain its application in one of the cases of sexual violence on campus, namely the case of sexual violence against a Riau University student in October 2021. Based on the analysis using the normative literary/juridical method, the key is that there are several differences in the provisions of the criminal procedure law for sexual violence according to the provisions of the Criminal Code and UUTPKS. The provisions contained in the TPKS Law are considered to protect the interests of victims of sexual violence and are more ideal to implement.

Key Words: Sexual Violence, Judicial Procedure, KUHAP, UU TPKS

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus kekerasan seksual semakin banyak terkuak dan menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.1 Dalam periode Januari hingga Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 4.500 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan jumlah kasus terlapor sebesar dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.2 Kekerasan seksual bagaikan gunung es dimana ada lebih banyak kasus yang tidak terlaporkan dibanding yang dilaporkan.3 Kekerasan seksual juga dapat terjadi di berbagai tempat, salah satunya adalah tempat menuntut ilmu yang berupa lingkungan kampus.4 Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada tahun 2020 yang menemukan bahwa terdapat 77 persen dosen yang menyatakan adanya kekerasan seksual di kampus. Sebanyak 63 persen dari korban yang tidak melaporkan kasus kepada pihak kampus.5 Kebanyakan korban merasa malu dan takut sehingga tidak mau mengungkapkan kekerasan seksual yang mereka alami.6 Selain itu, proses penanganan kasus kekerasan seksual tidaklah mudah.7 Terutama dalam hal pembuktian. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menerbitkan kebijakan yang mengatur mengenai penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus melalui Permendikbud 30 Tahun

1Ellyvon Pranita, “ Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata Komnas Perempuan,” https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasanseksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas?page=all, diakses 8 Mei 2022. 2Universitas Ahmad Dahlan, “ Indonesia Darurat Kekerasan Seksual,” https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/indonesia-darurat-kekerasan-seksual, diakses 8 Mei 2022. 3Ellyvon Pranita, “ Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata Komnas Perempuan,” https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasanseksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas?page=all, diakses 8 Mei 2022. 4 Rosania Paradiaz, dan Eko Soponyon, “Perlindungan HukumTerhadap Korban Pelecehan Seksual,” Journal Pembangungan Hukum Indonesia Volume 4 Nomor 1 (2022), hlm. 62. 5Albertus Adit, “Bikin Miris, Seperti Ini Contoh Kasus Kekerasan Seksual di Kampus ,”https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/13/052700371/bikin-miris-seperti-ini-contoh-kasuskekerasan-seksual-di-kampus?page=all, diakses pada 7 Mei 2022. 6Nurhadi Sucahyo, “Kekerasan Seksual di Ruang-Ruang Kampus,” https://www.voaindonesia.com/a/kekerasan-seksual-tersembunyi-di-ruang-ruang-kampus/6392176.html, diakses 8 Mei 2022. 7Ibid.

2021. Kebijakan tersebut ditujukan untuk memberikan landasan hukum yang berpihak kepada korban di lingkungan perguruan tinggi dan sekolah.8 Dalam perkembangannya permasalahan ini berujung dengan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 14 April 2022.9 Hal ini merupakan pencapaian luar biasa mengingat bahwa kebijakan ini telah direncanakan sejak beberapa tahun silam. Kemudian dengan adanya regulasi ini diharapkan korban kekerasan seksual yang tidak takut akan ancaman pihak luar dan korban dapat memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum serta mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual.10 Salah satu hal yang diatur dalam UU TPKS adalah bagaimana proses peradilan untuk kasus tindak pidana kekerasan seksual. Terdapat beberapa ketentuan yang berbeda dibandingkan dengan ketentuan proses peradilan yang diatur dalam KUHAP. Perbedaan hukum acara dalam kedua peraturan tersebut tentu akan membawa perbedaan pula dalam penanganan kasus. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk menguraikan perbedaan-perbedaan hukum acara dalam kasus pidana kekerasan seksual yang diatur dalam KUHAP dengan UU TPKS. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik, akan disajikan contoh kasus nyata yaitu kekerasan seksual pada seorang mahasiswi Universitas Riau pada Oktober 2021. Dalam persidangan kasus tersebut, Majelis Hakim pengadilan setempat memvonis bebas pelaku tindak kekerasan seksual tersebut dengan alasan tidak cukup bukti menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat itu yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Namun, hal itu dapat berubah bila menggunakan hukum acara dalam UU TPKS. Dengan demikian, tulisan yang akan kami bawakan akan membahas perihal perbandingan prosedur peradilan kasus tindak kekerasan

8Ade Indra Kusuma, “Budaya Victim Blamming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban,” https://www.suara.com/health/2019/04/25/145800/budaya-victim-blamingsederet-kasus-pelecehan-seksual-yang-salahkan-korban?page=all, diakses pada 7 Mei 2022. 9Tsarina Maharani, “ Menteri PPPA: Kasus Kekerasan Seksual Ibarat Fenomena Gunung Es,”https://nasional.kompas.com/read/2021/12/29/14020101/menteri-pppa-kasus-kekerasanseksual-ibarat-fenomena-gunung-es, diakses pada 7 Mei 2022. 10 Ani Purwanti, Marzellina Hardiyanti, “Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak melalui RUU Kekerasan Seksual,” Masalah-Masalah Hukum 2 (April 2018), hlm 141

seksual antara KUHAP dengan UU TPKS serta perbedaan prosedur peradilan kasus tindak kekerasan seksual yang berdampak pada kasus kekerasan seksual Universitas Riau Oktober 2021.

II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Jenis Kekerasan Seksual

Mengenai pengertian akan kekerasan seksual sendiri, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinyatakan bahwa “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.” 11 Kekerasan seksual sendiri merupakan salah satu wujud dari pelecehan seksual. 12Dengan adanya pengertian yang rinci akan kekerasan seksual diharapkan tidak adanya miskonsepsi akan penggolongan apakah suatu kasus digolongkan sebagai kekerasan seksual atau tidak kedepannya. Pengertian ini ditujukan kepada segala hal yang mengandung unsur kekerasan seksual sehingga adanya kejelasan dikemudian hari. Terdapat beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan ketentuan yang terdapat pada UU TPKS. Jenis-jenis tersebut terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain dari jenis yang terdapat pada ayat (1) tersebut, terdapat jenis kekerasan yang lain pada ayat (2), yaitu perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang

11Dilihat dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU

TPKS)

12 Ghinanta Mannika, “Studi Deskriptif Potensi Terjadinya Kekerasan Seksual pada Remaja Perempuan,” Calyptra Vol. 7 No. 1 (2018), hlm. 2541.

bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.13

2.2. Latar Tempat dan Dampak dari Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun baik di tempat umum maupun tertutup. Kekerasan seksual yang merupakan kejahatan kejahatan kemanusiaan memiliki berbagai bentuk.14 Bentuk yang dialami dapat secara verbal dengan adanya istilah catcalling seperti siulan atau komentar bernuansa seksual dan secara non-verbal dengan ditandai adanya kontak fisik.15 Mengetahui bahwa kekerasan seksual tidak mengenal waktu dan tempat sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di lingkungan kampus.16 Korban akan kekerasan seksual mengalami berbagai dampak yang ditimbulkan dari para pelaku kekerasan seksual.17 Tidak hanya dampak fisik, namun terdapat beberapa korban yang mengalami dampak psikologis maupun dampak sosial. Dampak fisik yang dapat dialami korban kekerasan seksual meliputi adanya infeksi atau pendarahan pada vagina, terkena penyakit menular seksual (PMS) seperti herpes, risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan bahkan korban dapat mengalami kematian.18 Selanjutnya apabila dilihat pada dampak sosial, korban kekerasan seksual dapat mengalami stigma yang buruk dari masyarakat dan dikucilkan masyarakat sehingga korban mengucilkan diri sendiri.19 Kemudian

13Nur Fitriatus Shalihah, “Mengenal Apa Itu UU TPKS,” https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/13/070100565/mengenal-apa-itu-uu-tpks?page=all, diakses pada 7 Mei 2022 14 Mella Fitriyatul Hilmi, “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional,” JuristDiction: Vol. 2 No. 6 (November 2019), hlm. 2202. 15Fitry Wahyuni, “Perempuan, Pelecehan Seksual , dan HAM,” https://kumparan.com/fitrywahyuni43/perempuan-pelecehan-seksual-dan-ham-1w6PlQj0tHu/1, diakses pada 7 Mei 2022. 16Ade Indra Kusuma, “Budaya Victim Blamming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban,” https://www.suara.com/health/2019/04/25/145800/budaya-victim-blamingsederet-kasus-pelecehan-seksual-yang-salahkan-korban?page=all, diakses pada 7 Mei 2022. 17 Ahmad Jamaludin, “Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal CIC Lembaga Riset dan Konsultan Sosial (September 2021), hlm. 4. 18Aliftya Amarilisya, “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Fisik, Psikis, dan Sosial Korban,”https://lifestyle.bisnis.com/read/20210903/106/1437616/dampak-kekerasan-seksualterhadap-fisik-psikis-dan-sosial-korban, diakses pada 7 Mei 2022. 19Putu Elmira, “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban, dari Psikologis hingga

Sosial,”

dampak psikologis yang dapat dialami korban adalah gangguan akan emosional, perilaku, dan kognisi. Gangguan emosional merupakan gangguan pada emosi yang tidak stabil dan berdampak pada suasana hati yang memburuk. Sedangkan gangguan perilaku merupakan gangguan yang mengakibatkan korban condong kepada hal negatif seperti adanya malas yang berlebih, dan gangguan kognisi merupakan gangguan yang mempengaruhi pola pikir korban sehingga memiliki pikiran kosong atau hal sejenis lainnya. Dampak psikologis ini tidak dapat dianggap enteng sebagaimana dampak ini berakibat trauma yang cukup mempengaruhi korban dengan adanya ketakutan dan cemas yang berlebih apabila mengingat kekerasan yang pernah dialami.20 Setelah mengetahui dampak korban kekerasan seksual yang cukup fatal dari segi fisik, psikologis, dan sosial kembali membuat sadar bahwa fenomena ini layak diperjuangkan untuk penurunan bahkan lenyapnya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Dengan baru disahkannya kebijakan yang mengatur mengenai kekerasan seksual diperlukan perhatian implementasinya apakah berjalan baik di Indonesia atau tidak. Kemudian diharapkan setelah adanya dorongan dari berbagai pihak untuk mengurangi kekerasan seksual dan adanya kebijakan yang mengatur fenomena ini diharapkan memberikan ketenangan kepada korban untuk melapor apabila mengalami kasus kekerasan seksual serta memberikan ruang yang aman kepada segala pihak dalam beraktivitas sehari-hari

2.3 Perbandingan Prosedur Peradilan Kasus Kekerasan Seksual antara baik KUHAP Maupun KUHP dengan UU TPKS

KUHAP UU TPKS

Muatan Kekerasan Seksual

Pada KUHAP maupun KUHP tidak dikenal secara

menyeluruh mengenai pencegahan, ruang lingkup, tindak pidana kekerasan Pada UU TPKS, muncul istilahistilah baru yang tidak ada di dalam kitab undang-undang sebelumnya. Misalnya saja seperti pelecehan seksual yang

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4594269/dampak-kekerasan-seksual-terhadap-korbandari-psikologis-hingga-sosial, diakses pada 7 Mei 2022. 20Astri Anindya, “Dampak Psikologis dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan,” Terapan Informatika Nusantara 3 (Agustus 2020), hlm. 138.

seksual yang lebih lengkap, dan lain sebagainya. Pada kedua kitab undang-undang tersebut hanya menjelaskan bagian inti-inti saja dan tidak secara menyeluruh. Hal itu karena pada dasarnya kitab undang-undang tersebut hanya mengatur beberapa saja sehingga untuk beberapa istilah seperti pelecehan seksual tidak ada di dalam

kitab undang-undang tersebut. mulai digaungkan pada UU TPKS ini. Selain itu, pada UU TPKS ini sudah mulai ada

pencegahan, ruang lingkup, tindak pidana kekerasan seksual yang lebih lengkap, dan berbagai macam pembaharuan yang lebih menyeluruh mengenai kekerasan seksual. Hal ini karena pada dasarnya memang dibuat untuk menanggulangi berbagai macam kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia ini. Dengan demikian, muatan atau isi yang ada di dalam undang-undang ini sudah begitu lengkap dibandingkan dengan kitab undang-undang terdahulu, seperti KUHAP dan KUHP.

Pembuktian dan Pelaporan Korban Kekerasan Seksual

Pada pembuktian yang dilakukan dalam hukum

pidana yaitu didasarkan pada Pasal 184 KUHAP yang menggunakan lima macam alat bukti, yaitu: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Pada UU TPKS ini, terdapat beberapa alat bukti yang tercantum dalam Pasal 24, yaitu: a. Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam hukum acara

pidana dan juga alat bukti lain berupa informasi elektronik yang diatur di dalam ketentuan

Dengan demikian, apabila terjadi kasus kekerasan seksual maka bukti-bukti

tersebutlah yang dapat digunakan sebagai alat bukti. Terlebih lagi apabila terdapat ahli yang memberikan keterangan atau keterangan ahli, maka bisa dijadikan sebagai alat bukti dan pertimbangannya. Namun, pada kasus kekerasan seksual sangat sulit untuk menghadirkan saksi selain korban, terlebih lagi jika terjadi pada seorang anak.21 Oleh karena itu, pada kasus yang terkait dengan pencabulan dan perkosaan, biasanya pada kasus tersebut untuk membuktikannya diperlukan alat bukti berupa Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh seorang dokter atas permintaan resmi dari penyidik mengenai pemeriksaan medis terhadap manusia, baik yang hidup

peraturan perundangundangan. b. Alat bukti keterangan saksi yang merupakan hasil pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban pada tahap penyidikan yang dilakukan melalui

perekaman elektronik. c. Alat bukti surat yang berupa keterangan psikolog klinis/psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan/atau hasil

pemeriksaan rekening bank.

Selain diatur di dalam Pasal 44

UU TPKS, paparan perihal alat bukti ini juga diatur dalam Pasal 45 UU TPKS yang isinya adalah sebagai berikut. a. Keterangan saksi dan/atau korban cukup membuktikan bahwa si

terdakwa bersalah dan

disertai dengan satu alat

21 Niken Savitri, “Pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 4 No. 2 (Maret 2020), hlm. 290.

ataupun mati, di bawah sumpah dan guna kepentingan peradilan.22 Meninjau pada definisi tersebut, maka Visum et Repertum dapat dijadikan sebagai alat bukti yang diatur di dalam Pasal 187 huruf c

KUHAP. Selain itu, penggunaan Visum et Repertum sebagai alat bukti ini juga diatur dalam Pasal 133 Ayat (1) KUHAP. Jika visum tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka mencari alat bukti lain

yang dapat membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya pula, hakim yang akan memutus seorang terdakwa tersebut

berdasarkan pembuktian di pengadilan. Pada hal ini, merujuk pada sistem peradilan pidana di Indonesia pada ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP, maka terdapat dua rumusan yang dapat diketahui dari pasal tersebut, yaitu: bukti yang sah, sehingga hakim dapat mendapat keyakinan dengan baik. b. Keluarga dari terdakwa juga bisa dapat memberikan keterangan saksi tanpa harus ada persetujuan dari terdakwa yang berada di bawah sumpah/janji. Sebelum disahkannya undangundang ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM menjelaskan beberapa poin penting yang diserahkan kepada DPR. Diantaranya adalah menambahkan beberapa pasal seperti perkawinan paksa dan perbudakan seksual. Untuk pasal perkawinan paksa dapat berlaku apabila terdapat delik aduan dan paksaan kawin bagi anak di bawah umur. Kemudian juga terdapat klausul mengenai kekerasan seksual di ranah digital juga akan diatur di dalam RUU TPKS tersebut. Lalu, jika UU TPKS sudah disahkan maka

seluruh laporan perihal tindak pidana kekerasan seksual harus

22Dedi Afandi, Visum Et Repertum: Tata Laksana dan Teknik Pembuatan, (Fakultas Kedokteran Universitas Riau: Pekanbaru, Oktober 2017), hlm. 1

a. Penjatuhan pidana kepada seorang terdakwa dilakukan

dengan membuktikan

kesalahannya dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b. Minimal dua alat

bukti tersebut akan

membuat hakim

memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benarbenar terjadi dan terdakwalah yang memang bersalah melakukannya. diproses oleh penegak hukum. Untuk korban kekerasan seksual

pemerkosaan atau pencabulan yang tidak terdapat saksi lain, maka sama seperti pada kitab undang-undang sebelumnya, yaitu dengan menggunakan visum sebagai barang bukti. Pembanding atau pembeda antara KUHAP dengan UU TPKS ini yaitu dengan lebih mudahnya pelaporan korban dan proses pembuktian. Pada UU TPKS ini hanya dengan memberikan satu saksi dan alat bukti lainnya sudah cukup untuk suatu kasus kekerasan seksual diproses. Hal itu juga didukung dengan adanya Pasal 45 ayat (1) UU TPKS yang menyatakan bahwa keterangan seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa

bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. Selain itu pula, korban kekerasan seksual juga akan tetap direhabilitasi karena undang-undang tersebut memberikan perlindungan yang extraordinary. 23 Kemudian, Eddy juga menyatakan bahwa akan

23Dewi Nurita, “RUU TPKS: 1 Saksi dan Alat Bukti Bisa Proses Kasus Kekerasan Seksual,” https://nasional.tempo.co/read/1563914/ruu-tpks-1-saksi-dan-alat-bukti-bisa-proseskasus-kekerasan-seksual, diakses 7 Mei 2022.

menarik berbagai kejahatan seksual di luar UU tersebut untuk

menggunakan hukum acara pada UU ini. Hal ini dikarenakan agar mempermudah pembuktian sehingga korban akan merasa cepat dalam menyelesaikan masalah tersebut.24 Selain itu, pelaporan korban juga dipermudah, yaitu dapat dilakukan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, dan kepolisian.25 Hal itu juga diatur di dalam Pasal 41 Ayat (1) UU TPKS.

Perlindunga n Hukum Bagi Korban

Perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual

tidak hanya menjadi isu domestik, tetapi juga merupakan isu internasional yang sangat penting dalam penyelesaian kasus tersebut. Tercapainya perlindungan Pada UU TPKS ini, korban mendapat perlindungan dan juga hak yang dapat diterimanya. Hal ini diatur dalam Pasal 42 Ayat (1) UU TPKS bahwa dalam waktu

1x24 jam semenjak pelaporan, maka korban berhak mendapat perlindungan dari kepolisian. Di

24Dewi Nurita, “UU TPKS Disahkan, Berikut Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Diatur,” https://nasional.tempo.co/read/1581603/uu-tpks-disahkan-berikut-jenis-tindak-pidanakekerasan-seksual-yang-diatur, diakses 7 Mei 2022. 25Mutia Fauzia, “Poin-Poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/14/05440011/poin-poin-penting-undang-undangtindak-pidana-kekerasan-seksual?page=all, diakses 7 Mei 2022.

terhadap korban merupakan salah satu bentuk tercapainya keadilan sosial. Padahal, tindak pidana kekerasan seksual paling sulit diselesaikan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada pengambilan keputusan.26 Selain sulitnya penjelasan di atas, misalnya kasus pencabulan, juga kesulitan dalam

pembuktiannya yang biasanya dilakukan tanpa adanya kehadiran orang lain di tempat kejadian perkara (TKP).27 Tindak pidana yang berkaitan dengan kekerasan seksual diatur dalam KUHP

tentang Kejahatan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan

(Pasal 281-Pasal 299 KUHP). Salah satunya adalah Pasal 289 KUHP

yang mengatur perihal kekerasan seksual yang dilakukan sebagai suatu ayat (3) UU TPKS juga dijelaskan bahwa dalam memberi perlindungan korban, aparat kepolisian dapat membatasi gerak pelaku. Selain itu, korban juga mendapatkan hak yang diatur dalam Pasal 67 UU TPKS

ini yang mencakup hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan.29

26 Rosania Paradiaz, Eko Soponyono, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol.4 No. 1 (2022), hlm. 67. 27 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 18. 29Ibid.,

pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Kemudian, peran korban juga sangat berpengaruh guna mengatasi dan menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Hal

tersebut tentu membutuhkan

tekad yang besar dari korban untuk melaporkan kejadian tersebut kepada penegak hukum. Hal itu dikarenakan

dengan mengadunya korban, maka kasusnya akan dapat diproses pemeriksaan sehingga korban dapat memperoleh keadilan atas kejadian kekerasan seksual tersebut.28

2.4. Perbandingan penerapan prosedur peradilan baik KUHAP maupun

KUHP dengan UU TPKS pada kasus kekerasan seksual Universitas

Riau Oktober 2021

Pada tanggal 4 November 2021, ditemukan adanya pengakuan dari mahasiswi Universitas Riau yang mengaku bahwa dirinya telah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen saat bimbingan skripsi. Kekerasan seksual tersebut dilakukan dengan sang dosen menggenggam bahu korban dan mendekatkan badannya yang dilanjutkan dengan dosen mencium pipi kiri serta kening mahasiswi tersebut. Tidak hanya itu, dosen pun mencoba mendongakkan kepala korban dan sempat mengatakan beberapa kata bernuansa seksual kepada

28Suzanalisa, ”Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana kekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Lex Specialis, No. 14 (2011), hlm. 15

korban. Setelah mengaku dalam video yang dipublikasikan melalui akun instagram @komahi_UR, korban melaporkan kekerasan seksual tersebut menuju Polresta pekanbaru pada Jumat 5 November 2021.

30 Kasus mengenai kekerasan seksual yang terdapat di Universitas Riau tersebut berlanjut kepada dosen Universitas Riau yang diperiksa sebagai saksi atas kasusnya. Kemudian pada tanggal 17 Desember 2021 sang dosen telah resmi ditahan setelah yang bersangkutan dan barang bukti dilimpahkan penyidik Polda Riau menuju Kejati Riau. Sang dosen dijerat pada dua pasal, yaitu Pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan Pasal 294 KUHP tentang pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan ancaman di atas 5 tahun penjara. 31 Setelah berjalannya sidang, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan untuk membebaskan sang dosen karena tidak terbukti secara sah sang dosen untuk melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan Pasal 289 dan Pasal 294 KUHP Putusan hakim tersebut didasarkan bahwa tidak terbuktinya sang dosen melakukan tindak pidana dan tidak terpenuhinya unsur dakwaan primer dan subsider. 32 Hakim menyatakan dalam perkembangannya, tidak adanya bukti kekerasan yang dialami korban dan ancaman dari sang dosen. Selain itu, hakim menilai tidak terdapat saksi yang dapat membuktikan terjadinya kekerasan seksual tersebut sebagaimana saksi pada kasus ini hanya mendengar testimoni dari korban.

33 Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Riau merupakan kasus yang terjadi sebelum disahkannya kebijakan baru yang mengatur mengenai kekerasan seksual yaitu UU TPKS. Pada saat kasus bergulir, pengadilan diselenggarakan menurut aturan KUHP dan KUHAP. Dalam hal peradilan kasus kekerasan seksual, KUHAP belum mampu menghadirkan konsep hukum acara yang sensitif-korban dan berperspektif gender atau yang juga dikenal dengan

30Dian Andryanto, “kronologis lengkap Vonis Bebas Kasus Pelecehan Seksual Syafri Harto Dekan UNRI,” https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebas-kasuspelecehan-seksual-syafri-harto-dekan-unri, diakses 7 Mei 2022. 31M. Syukur ‘Dekan Universitas Riau Tersangka Pencabulan Dijerat Pasal Berlapis, Kpan Ditahan?” https://www.liputan6.com/regional/read/4715438/dekan-universitas-riau-tersangkapencabulan-dijerat-pasal-berlapis-kapan-ditahan, diakses 7 Mei 2022. 32Raja Adil Siregar, “Ini Pertimbangan Hakim Vonis Bebas Dekan FISIP Unri di Kasus Cabul,” https://news.detik.com/berita/d-6008075/ini-pertimbangan-hakim-vonis-bebas-dekanfisip-unri-di-kasus-cabul?single=1, diakses 7 Mei 2022. 33Tim BBC, “Kasus Pelecehan Seksual Universitas Riau: Terdakwa Divonis Bebas, Nadiem Makarim Temui Korban Untuk Sanksi Administratif,” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705, diakses 7 Mei 2022.

konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP).34 Tentunya apabila UU TPKS telah disahkan sebelum kasus ini terjadi, maka kasus ini akan menggunakan UU TPKS. Lantas dengan adanya UU TPKS ini, apakah kasus ini dapat berujung menuju hasil yang berbeda atau tidak. Berikut merupakan perbandingan prosedur peradilan dalam kasus kekerasan seksual Universitas Riau dalam menggunakan KUHAP dengan UU TPKS.

2.4.1 Perihal Bukti dan Saksi

Hakim pada kasus kekerasan di Universitas Riau menilai bahwa saksi dalam kasus ini tidak dapat membuktikan terjadinya kekerasan seksual. Hal tersebut dilandaskan bahwa semua saksi hanyalah mendengar testimoni saja dari korban sedangkan menurut KUHAP seorang saksi merupakan orang yang telah melihat dan mendengar langsung perkara pidana yang dialami sendiri. Apabila selalu merujuk kepada pengertian tersebut, maka sulit untuk ditemukan saksi dalam kasus pencabulan sebagaimana seorang yang melihat dan mendengar hanyalah korban dan terdakwa. Dengan saksi yang hanya mendengar testimoni seorang korban saja, membuat hakim ragu dalam menentukan terjadinya kekerasan seksual. Terdapat perbedaan dalam. Pada kasus ini, karena digunakannya KUHAP maka penjatuhan pidana harus dibuktikan dengan ditemukannya dua alat bukti yang sah dan keterangan saksi yang relevan. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan yang berada pada UU TPKS yang menyatakan bahwa hanya dibutuhkan satu saksi atau keterangan korban disertai dengan satu bukti dapat cukup untuk membuktikan terdakwa untuk bersalah. Pada kasus ini, telah ditemukan alat bukti lainnya yang dapat membuktikan terdakwa untuk bersalah yaitu adanya surat keterangan psikolog dan/atau psikiater yang terdapat pada Pasal 44 UU TPKS yang ditandai dengan adanya saksi ahli kejiwaan yang menjelaskan baik korban maupun terdakwa tidak mengalami halusinasi. Saksi tersebut wajib dipertimbangkan hakim

34Eko Nurisman, “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 4, Nomor 2 (Tahun 2022), hlm. 176.

sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf b UU TPKS.35 Dalam hal ini, menurut UU TPKS semestinya telah terbukti bahwa terdakwa bersalah. Adanya keterangan dari korban dan surat keterangan saksi ahli kejiwaan menyebabkan pembuktian terhadap tindak pidana kekerasan seksual telah terbukti secara sah menurut Pasal 45 ayat (1).

2.4.2 Perihal Majelis Hakim yang Menangani

Kemudian terdapat perbedaan lainnya dalam prosedur peradilan KUHAP dengan UU TPKS apabila merujuk kepada kasus kekerasan seksual di Universitas Riau, yaitu pada UU TPKS terdapat Pasal 43 yang menyatakan bahwa “Penyidik, penuntut umum, dan hakim diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban”.36

Hal ini ditujukan untuk keberpihakan kepada korban kekerasan seksual yang dapat menemukan ruang aman dalam peradilan sebagaimana aparatur negara yang berwenang berjenis kelamin sama dengan korban. Akan tetapi, karena kasus tidak menggunakan UU TPKS mengingat bahwa saat itu belum disahkan sehingga digunakannya KUHAP seorang penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban. Dalam menjatuhkan putusan, hakim hendaklah menilai fakta di lapangan menggunakan perspektif yang melindungi dan mengutamakan kepentingan korban dan memaksimalkan ancaman pelaku.37 Regulasi mengenai gender petugas ini merupakan salah satu upaya untuk melindungi korban dari perasaan tidak nyaman untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak-hak korban. Hal tersebut tercantum dalam The Declaration of Basic Principles of Justice of Crimes and Abuse of Power dimana salah satu hak korban adalah hak untuk didengar dan dipertimbangkan segala kepentingannya dalam setiap proses peradilan pidana. Menghadirkan petugas yang memiliki gender yang sama dengan korban akan membantu korban secara psikologis lebih nyaman untuk menyampaikan

35 Tim BBC, “Kasus Pelecehan Seksual Universitas Riau: Terdakwa Divonis Bebas, Nadiem Makarim Temui Korban Untuk Sanksi Administratif,” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705, diakses 7 Mei 2022. 36 Dilihat dari pasal 43 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) 37Elizabeth Siregar, “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Realitas dan Hukum,” PROGRESIF: Jurnal Hukum Volume 14 No.1 (Juni 2020), hlm 13.

permasalahannya dan membantu penegakan keadilan yang lebih baik dalam proses peradilan.38 Berikut tabel mengenai perbedaan signifikan mengenai peradilan kasus tindak kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS dan KUHAP.

KETENTUAN UU TPKS KUHAP

Keterangan korban Sudah cukup menjadi bukti yang sah jika ditambah dengan satu bukti lain. Pasal 45 ayat (1). Tidak diatur

Keterangan kerabat Keterangan Saksi yang merupakan keluarga sedarah dan semenda hingga derajat ketiga dari korban dapat menjadi bukti yang sah. (Pasal 45 ayat (2)) Saksi haruslah orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri suatu perkara pidana. (Pasal 1 ayat (26))

Kerahasiaan

identitas saksi Saksi berhak atas kerahasiaan

identitas diri, keluarga, kelompok dan/atau komunitasnya. (Pasal 34 huruf f)) Identitas saksi harus

ditegakkan di muka pengadilan pada saat hakim menanyakannya. (Pasal 160 ayat (2))

Gender petugas yang berwenang Penyidik, penuntut umum, dan hakim diutamakan yang berjenis kelamin sama dengan korban. (Pasal 43 ayat (2)) Tidak diatur.

38Dida Rachma Wadnayati Perlindungan Hukum Korban Perempuan Korban Pelecehan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Ditinjau Dalam Perspektif Viktimologi, Journal of Feminism and Gender Studies, Vol. 2 No.1, Januari-Juni 2022. Hal 61.

III. PENUTUP

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, telah ditemukan bahwa prosedur peradilan kekerasan seksual yang terdapat dalam KUHAP memiliki perbedaan dengan UU TPKS. Perbedaan tersebut meliputi perihal bukti dan saksi yang sebelumnya apabila dilihat dalam KUHAP, seorang saksi hanya seorang yang telah melihat dan mendengar langsung perkara pidana yang terjadi sedangkan dalam UU TPKS keterangan korban saja dapat menjadi bukti yang sah dengan didukung satu alat bukti lain untuk menyatakan bahwa terdakwa bersalah. Kemudian perihal kerahasiaan identitas saksi ditemukan adanya perbedaan, yaitu saksi dalam KUHAP harus ditegakkan di muka pengadilan pada saat hakim bertanya, sedangkan dalam UU TPKS sanksi berhak merahasiakan identitas diri, keluarga, dan komunitasnya. Perbedaan prosedur peradilan terakhir adalah gender petugas yang berwenang, pada KUHAP telah dibebaskan gender mana yang menjadi petugas berwenang sedangkan pada UU TPKS petugas Penyidik, Penuntut umum, dan Hakim diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban. Ketentuan yang tercantum dalam RUU TPKS dinilai lebih cocok diterapkan untuk peradilan kasus kekerasan seksual karena memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Afandi, Dedi. Visum Et Repertum: Tata Laksana dan Teknik Pembuatan. Fakultas Kedokteran Universitas Riau: Pekanbaru, Oktober 2017. Marpaung, Leden. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika: Jakarta, 1996.

JURNAL

Anindya, Astri.“Dampak Psikologis dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.” Terapan Informatika Nusantara 3 (Agustus 2020). Hlm. 137-140. Paradiaz, Rosania, Eko Soponyono. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol.4 No. 1 (2022). Hlm. 61-72. Savitri, Niken. “Pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak.” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 4 No. 2 (Maret 2020). Hlm. 290.

Suzanalisa. ”Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana kekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana.” Jurnal Lex Specialis, No. 14 (2011). Hlm. 14-25. Wadnayati, Dida Rachma. “Perlindungan Hukum Korban Perempuan Korban Pelecehan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Ditinjau Dalam Perspektif Viktimologi.” Journal of Feminism and Gender Studies. Vol. 2 No.1. (Januari-Juni 2022). Hlm. 54-71. Purwanti, Ani dan Hardiyanti, Marzellina. “Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak melalui RUU Kekerasan Seksual.” Masalah-Masalah Hukum 2 (April 2018). Hlm 141 Hilmi, Mella Fitriyatul. “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional.” JuristDiction: Vol. 2 No. 6 (November 2019). Hlm. 2199-2218. Jamaludin, Ahmad. “Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual.” Jurnal CIC Lembaga Riset dan Konsultan Sosial (September 2021). Hlm. 1-10.

This article is from: