34 minute read

“KLITIH” DAN RESPONS PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA

Mannika, Ghinanta.“Studi Deskriptif Potensi Terjadinya Kekerasan Seksual pada Remaja Perempuan.” Calyptra Vol. 7 No. 1 (2018). Hlm. 2541. Siregar, Elizabeth. “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Realitas dan Hukum.” PROGRESIF: Jurnal Hukum Volume XIV No.1 (Juni 2020). Hlm. 1-14. Nurisman, Eko. “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 4, Nomor 2 (Tahun 2022). Hlm. 170-196.

INTERNET

Advertisement

Adit, Albertus. “Bikin Miris, Seperti Ini Contoh Kasus Kekerasan Seksual di Kampus.”https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/13/052700371/bikin -miris-seperti-ini-contoh-kasus-kekerasan-seksual-di-kampus?page=all. Diakses pada 7 Mei 2022. Amarilisya, Aliftya. “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Fisik, Psikis, dan Sosial Korban.”https://lifestyle.bisnis.com/read/20210903/106/1437616/dampakkekerasan-seksual-terhadap-fisik-psikis-dan-sosial-korban. Diakses pada 7 Mei 2022.

Andryanto, Dian. “kronologis lengkap Vonis Bebas Kasus Pelecehan Seksual Syafri Harto Dekan UNRI.” https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebaskasus-pelecehan-seksual-syafri-harto-dekan-unri. Diakses 7 Mei 2022. Elmira, Putu. “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban, dari Psikologis hingga Sosial.” https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4594269/dampakkekerasan-seksual-terhadap-korban-dari-psikologis-hingga-sosial. Diakses pada 7 Mei 2022. Fauzia, Mutia. “Poin-Poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/14/05440011/poinpoin-penting-undang-undang-tindak-pidana-kekerasan-seksual?page=all. Diakses 7 Mei 2022.

Kusuma, Ade Indra.“Budaya Victim Blamming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban.”

https://www.suara.com/health/2019/04/25/145800/budaya-victim-blamingsederet-kasus-pelecehan-seksual-yang-salahkan-korban?page=all. Diakses pada 7 Mei 2022. Maharani, Tsarina. “ Menteri PPPA: Kasus Kekerasan Seksual Ibarat Fenomena Gunung Es.”https://nasional.kompas.com/read/2021/12/29/14020101/menteripppa-kasus-kekerasan-seksual-ibarat-fenomena-gunung-es. Diakses pada 7 Mei 2022.

Pranita, Ellyvon.“ Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata Komnas Perempuan.” https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasanseksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas?page=all. Diakses 8 Mei 2022.

Shalihah, Nur Fitriatus. “Mengenal Apa Itu UU TPKS.” https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/13/070100565/mengenal-apaitu-uu-tpks?page=all. Diakses pada 7 Mei 2022 Siregar, Raja Adil. “Ini Pertimbangan Hakim Vonis Bebas Dekan FISIP Unri di Kasus Cabul.” https://news.detik.com/berita/d-6008075/ini-pertimbanganhakim-vonis-bebas-dekan-fisip-unri-di-kasus-cabul?single=1. Diakses 7 Mei 2022.

Sucahyo, Nurhadi. “Kekerasan Seksual di Ruang-Ruang Kampus.” https://www.voaindonesia.com/a/kekerasan-seksual-tersembunyi-di-ruangruang-kampus-/6392176.html. Diakses 8 Mei 2022. Syukur, M. “Dekan Universitas Riau Tersangka Pencabulan Dijerat Pasal Berlapis, Kpan Ditahan?” https://www.liputan6.com/regional/read/4715438/dekanuniversitas-riau-tersangka-pencabulan-dijerat-pasal-berlapis-kapanditahan. Diakses 7 Mei 2022.

Tim BBC. “Kasus Pelecehan Seksual Universitas Riau: Terdakwa Divonis Bebas, Nadiem Makarim Temui Korban Untuk Sanksi Administratif.”

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705. Diakses 7 Mei 2022.

Universitas Ahmad Dahlan. “ Indonesia Darurat Kekerasan Seksual.”

https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/indonesia-daruratkekerasan-seksual. Diakses 8 Mei 2022.

Wahyuni, Fitry. “Perempuan, Pelecehan Seksual , dan HAM,” https://kumparan.com/fitrywahyuni43/perempuan-pelecehan-seksual-danham-1w6PlQj0tHu/1. Diakses pada 7 Mei 2022.

BIODATA PENULIS

Ashilah Chaira Yasmin atau Ashilah merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Perempuan kelahiran Padang, 21 Septemberi 2003 turut mengikuti berbagai organisasi di FHUI seperti di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan Kesekretariatan BEM FHUI 2022.

Said Fathurrahman adalah mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Indonesia yang lahir di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003. Ia sekarang aktif menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Internal Affairs BLS FHUI 2022.

Febrian Ramdan Rafiki merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Febrian lahir di Ngawi, pada tanggal 14 Februari 2002. Sekarang, Febrian menjadi staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 serta staf Divisi Kompetisi LaSALe FHUI 2022.

“KLITIH” DAN RESPONS PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA

Aulia Safitri

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

aulia.safitri11@ui.ac.id

Darren Yosafat Marama Sitorus

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

darren.yosafat@ui.ac.id

Suci Lestari Palijama Fakultas Hukum Universitas Indonesia

suci.lestari11@ui.ac.id

Abstrak

Pada awal tahun 2022, aksi kejahatan jalanan di Yogyakarta yang dikenal sebagai “klitih” kembali menjadi sorotan publik. Pelaku tindak pidana klitih dapat dikategorikan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Pemidanaan ringan kasus klitih melalui sistem diversi sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menjadi prinsip utama keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), nyatanya menjadi salah satu hambatan nyata dalam upaya eradikasi dan penanganan kasus klitih di Yogyakarta. Pemidanaan ringan berdasarkan UU SPPA memiliki kecenderungan untuk menjadi “tameng” anak dalam melakukan tindak pidana serta membuka peluang terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis). Pemidanaan kasus klitih melalui UU SPPA berpotensi gagal dalam memberikan efek jera dan mewujudkan ketertiban masyarakat.

Kata Kunci: Kenakalan Remaja, Sistem Peradilan Pidana Anak, Keadilan Restoratif, Diversi, Klitih

“KLITIH” AND THE RESPONSE OF INDONESIAN JUVENILE CRIMINAL

JUSTICE SYSTEM

Abstract

During the first quarter of 2022, the public's attention was drawn to Yogyakarta's "Klitih" street crime. Offenders in the klitih case could be categorized as minors that conflict with laws. The primary concept of the enforceability of Law Number 11 of 2012 regarding the Juvenile Criminal Justice System has been the light penalty of klitih cases through the diversion system as the implementation of restorative justice. In truth, it is one of the greatest obstacles to eradicating and dealing with the klitih case in Yogyakarta. According to the UU SPPA, the light penalty serves as a "protection" for adolescents, allowing them to carry out criminal acts while also allowing them to repeat the criminal acts (recidive). The klitih case penalty under the UU SPPA has the potential to be ineffective in terms of having a deterrent effect and creating public order.

Keywords: Juvenile Delinquency, Juvenile Criminal Justice System, Restorative Justice, Diversion, Klitih

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepanjang tahun 2022, Jogja Police Watch (JPW) mencatat sudah terjadi 12 aksi klitih di Yogyakarta.1 Awalnya, aksi klitih memang sudah terjadi beberapa tahun belakangan, tetapi kembali menjadi sorotan publik di tahun 2022 karena aksi klitih tersebut menewaskan seorang siswa SMA, terlebih korban tersebut merupakan putra dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kebumen, Madkhan Anis. Korban ditemukan oleh Tim Patroli Sabhara Polda DIY dan Kepolisian Sektor Kotagede dengan luka di bagian wajahnya.2

Istilah klitih awalnya hanya diartikan sebagai suatu aktivitas jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. Sedangkan, apabila dilihat dalam perspektif kenakalan remaja, klitih merupakan kegiatan berkeliling menggunakan kendaraan yang dilakukan oleh sekelompok oknum pelajar dengan tujuan untuk mencari orang yang mereka anggap sebagai musuh. Fenomena klitih yang dilakukan oleh anak remaja ini menimbulkan keresahan bagi warga sehingga warga beserta kepolisian pun mengambil langkah untuk melakukan patroli rutin setiap malam dengan berkeliling kota sebagai upaya untuk mengurangi aksi klitih di Yogyakarta.3

Kasus tindak pidana klitih yang dilakukan oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin meningkat, mulai dari pencurian terhadap harta benda hingga penganiayaan dan pembunuhan yang menyebabkan hilangnya nyawa korban. Seringkali, pelaku yang merupakan anak dibawah umur tidak dapat memberikan alasan yang jelas atas tindak kriminal yang telah dilakukannya. Selain minimnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua pelaku, faktor lain yang patut dipertimbangkan adalah lemahnya sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku anak di Indonesia. Perlakuan dan perlindungan khusus bagi pelaku pidana anak terkadang belum mampu menyelesaikan persoalan hak asasi manusia (HAM) bagi

1 Erfan Erlin, “Miris, Sepanjang 2022 JPW Catat ada 12 kali Aksi Klitih di Yogyakarta,” https://yogya.inews.id/berita/miris-sepanjang-2022-jpw-catat-ada-12-kali-aksi-klitih-diyogyakarta, diakses 11 April 2022. 2 Zintan Prihatini, “Aksi Klitih Remaja di Yogyakarta Tewaskan Anak Anggota DPRD Kebumen, Ini Kata Sosiolog,” https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/06/130100723/aksiklitih-remaja-di-yogyakarta-tewaskan-anak-anggota-dprd-kebumen-ini?page=all, diakses 11 April 2022.

3 Ahmad Fuadi, Titik Muti’ah, dan Hartoshujono, “Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih,” Jurnal Spirits 9 (2019), hlm. 90 – 91.

korban dari tindakan anak yang melakukan tindak pidana, terlebih lagi ketika perbuatannya itu telah mengancam kehidupan masyarakat sekitar seperti yang terjadi dalam kasus klitih di Yogyakarta.4

Maraknya kasus klitih dengan dominasi pelaku usia anak membawa polemik di tengah masyarakat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), pelaku klitih dapat dikategorikan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang termasuk sebagai anak yang berkonflik dengan hukum.5 Beberapa konsep mendasar yang dominan dalam penyelesaian pidana anak berdasarkan UU SPPA adalah mengutamakan keadilan restoratif dan penyelesaian kasus melalui sistem diversi. Namun, solusi tersebut kembali dipertanyakan kecenderungan pelaku untuk menjadikan UU SPPA sebagai tameng peringanan sanksi pidana yang berujung pada penurunan efektivitas penyelesaian perkara.

Dalam membahas kasus klitih dan penyelesaian pidana anak berdasarkan UU SPPA, maka artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai sistem tindak pidana anak yang diatur di Indonesia. Artikel ini juga akan membahas penerapan sistem tindak pidana anak pada kasus klitih dan melakukan perbandingan pengaturan tindak pidana anak di negara lain. Pada akhir artikel, Penulis akan membahas juga mengenai tantangan penyelesaian klitih yang sesuai dengan UU SPPA.

II. PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Pustaka A. Pengertian Anak berdasarkan Undang-Undang

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) bahwa anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

4 Noercholis Rafid dan Saidah, “Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Perspektif Fiqih Jinayah” Jurnal Al-Maiyyah 11 (2018), hlm. 322. 5 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1.

kandungan.6 Anak sendiri diklasifikasikan lagi dalam Pasal 1 ayat (2) UU SPPA, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Ketiganya disebut juga sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). ABH didefinisikan sebagai anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.7

B. Teori mengenai Tindak Pidana Anak

Terdapat beberapa teori yang dapat dijadikan suatu dasar untuk negara dalam menentukan sanksi pidana untuk pelaku tindak kejahatan, teori tersebut dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu:8 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Teori absolut membahas tentang pembenaran dari suatu tindak pidana karena seseorang telah melakukan tindak kejahatan. Dalam teori absolut, suatu penderitaan harus dibalas dengan sanksi pidana yang dapat menimbulkan penderitaan terhadap orang yang melakukan kejahatan tersebut. Sanksi pidana di teori ini bermaksud untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku dan menjadikannya pelajaran. Tindakan pembalasan ini dapat dilihat dari dua sudut perspektif, yaitu pertama adalah sudut subjektif dimana pembalasannya dimaksudkan untuk orang yang berbuat salah; kedua adalah sudut objektif yang lebih menitikberatkan pembalasannya untuk memuaskan perasaan balas dendam. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif membenarkan suatu tindak pidana karena memiliki tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Tujuan tersebut antara lain dapat digunakan untuk menetralkan situasi di masyarakat yang sedang gelisah akibat dari tindak kejahatan dan juga dapat berupa upaya atas pencegahan yang bersifat umum dan khusus. Pencegahan umum sendiri

6 Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No. 297 Tahun 2014, TLN No. 5606, Ps. 1. 7 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1. 8 Bilher Hutahaean, “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak,” Jurnal Al-Yudisial 6 (2013), hlm. 68.

dilakukan untuk menjadi dasar pemikiran bahwa pidana bertujuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan. 3. Teori Gabungan Teori gabungan adalah gabungan dari teori absolut dan teori relatif, penggabungan dari teori ini menjadikan teori yang praktis dan seimbang. Teori gabungan sendiri menghasilkan tiga golongan, yaitu: a. Teori gabungan yang lebih condong ke arah pembalasan. Akan tetapi, pembalasan tersebut harus bertujuan hanya untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dalam kata lain pembalasan seharusnya tidak dapat melebihi yang diperlukan untuk mempertahankan ketertiban di masyarakat. b. Teori gabungan yang condong ke arah pertahanan dan ketertiban masyarakat. Dalam teori ini, sanksi pidana harus sama beratnya dengan penderitaan yang dialami oleh pelaku perbuatan pidana. c. Teori gabungan yang condong ke arah pembalasan dan juga pertahanan ketertiban masyarakat dalam porsi yang sama. Terdapat beberapa pendapat yang mengaitkan perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Romli Atmasasmita berpendapat mengenai pengertian dari juvenile delinquency atau kenakalan remaja, yaitu:

Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.9

Kenakalan remaja tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi anak melakukan tindak pidana baik dari pengaruh internal, maupun eksternal. Mita Dwijayanti, mengutup Sykes dan Matza, menyatakan bahwa terdapat beberapa konsep mengenai teknik netralisasi, yaitu:10 1. Denial of responsibility, anggapan dari anak nakal bahwa mereka merupakan korban dari orang tua yang tidak mengasihi, lingkungan yang buruk, atau berasal dari tempat tinggal yang tidak layak;

9 Anwar W.M. Sagala, “Kajian Yuridis Sistem Pemidanaan Edukatif oleh Hakim terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum,” Studi Pada Pengadilan Negeri Putussibau, hlm. 8. 10 Mita Dwijayanti, “Diversi Terhadap Recidive Anak,” Rechtsidee 12 (2017), hlm. 238.

2. Denial of injury, alasan dari anak nakal bahwa tingkah laku mereka bukan merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan bahaya yang besar; 3. Denial of the victim, keyakinan yang datang dari anak nakal bahwa mereka menganggap diri mereka adalah pahlawan, sedangkan korban yang sebenarnya dipandang sebagai seseorang yang melakukan kejahatan; 4. Condemnation of the condemners, suatu anggapan bahwa polisi merupakan pelaku yang melakukan kesalahan atau seseorang yang tidak suka kepada mereka; dan 5. Appeal to higher loyalities, anggapan yang berasal dari kalangan anak nakal bahwa mereka terperangkap diantara tuntutan masyarakat, hukum dan kehendak dari kelompok mereka.

C. Instrumen Hukum mengenai Tindak Pidana Anak

Salah satu instrumen hukum utama yang digunakan untuk memproses tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah UU SPPA. Pembentukan UU SPPA bersesuaian dengan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” UU SPPA merupakan salah satu wujud reformasi pemidanaan di Indonesia sebab regulasi tersebut mengatur mengenai penangguhan penahanan, masa penahanan yang lebih singkat, dan upaya diversi pada seluruh tahapan proses hukum bagi tindak pidana yang dilakukan oleh anak.11 UU SPPA mengakomodir dua jenis penindakan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Pertama, pengenaan sanksi tindakan yang diterapkan pada anak yang berusia dibawah 14 tahun. Berdasarkan pada Pasal 82 UU SPPA, sanksi tindakan yang dapat diberikan terhadap anak meliputi: a. pengembalian kepada orang tua/wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS);

11 Putri A. Priamsari, “Mencari Hukum yang Berkeadilan bagi Anak Melalui Diversi,” Jurnal Law Reform 14 (2018), hlm. 222.

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. Kedua, pengenaan sanksi pidana terhadap anak yang berumur 15 tahun keatas. Berdasarkan pada Pasal 71 UU SPPA, sanksi pidana pokok yang dapat diberikan terhadap anak meliputi: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat, yang terdiri atas pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan; c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; e. penjara. Selain itu, dapat dikenakan pula pidana tambahan yang terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana serta pemenuhan kewajiban adat. Kewajiban adat berarti denda atau tindakan tertentu yang harus dipenuhi oleh si anak berdasarkan norma dan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat dengan tetap menghormati harkat dan martabat anak dan mempertimbangkan kondisi mental anak.12 Salah satu konsep utama yang diterapkan pada proses pemidanaan anak berdasarkan UU SPPA adalah mengenai keadilan restoratif (restorative justice). Pasal 1 ayat (6) UU SPPA mendefinisikan keadilan restoratif sebagai upaya penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terlibat untuk mencari penyelesaian permasalahan yang menitikberatkan pada pemulihan keadaan. Keadilan restoratif didasarkan pada lima prinsip pemikiran:13 a. focuses on harms and consequent needs (fokus kepada kerusakan dan kebutuhan konsekuensi);

12 Letezia Tobing, “Apakah Anak yang Melakukan Tindak Pidana Dapat Dihukum Mati?,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-anak-yang-melakukan-tindak-pidana-dapatdihukum-mati-lt4f768a60341d9, diakses 4 Mei 2022. 13 Idaho Juvenile Justice Comission, “Principles of Restorative Justice,” http://www.ijjc.idaho.gov/restorative-justice/, diakses pada 13 April 2022.

b. addresses obligation resulting from those harms (membahas kewajiban yang dihasilkan dari kerugian pasca tindak pidana); c. uses inclusive, collaborative processes (proses penanganan kasus yang memperhatikan inklusifitas dan aspek kolaboratif); d. involves those with a legitimate stake in the situation (melibatkan pihakpihak yang secara sah memiliki kepentingan akan dampak tindak pidana yang terjadi); e. seek to put right the wrongs (upaya dalam memperbaiki kesalahan). Tujuan utama implementasi keadilan restoratif adalah untuk memberikan hak-hak pada korban kejahatan.14 Proses tersebut dilakukan sepenuhnya untuk mencegah pengulangan tindak pidana.15 Maka dari itu, timbul urgensi untuk mempertemukan korban dengan pelaku untuk mengadakan musyawarah dan mencari kesepakatan terbaik bagi kedua belah pihak. UU SPPA juga mengakomodasi proses penyelesaian pidana anak melalui jalur diversi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU SPPA, diversi merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana menjadi proses diluar peradilan pidana. UU SPPA mengamanatkan bahwa upaya diversi sudah harus diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.16 Proses diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; serta, menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Penerapan keadilan restoratif dan sistem diversi pada UU SPPA bertujuan untuk menghindarkan anak dari stigmatisasi tertentu serta membantunya kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.17

14 Rien Uthami Dewi, “Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Dikaitkan dengan Hukuman Tindakan Pada Putusan No. 08/PID. Anak/2010/PN.JKT.SEL,” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2011), hlm. 41. 15 Ibid., hlm 45. 16 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 7. 17 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistemperadilan-pidana-anak-lt53f55d0f46878, diakses 13 April 2022.

United Nation Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) menjelaskan bahwa penindakan terhadap ABH dapat secara efektif dilakukan dengan melibatkan anak pada kegiatan pelayanan sosial tertentu (diversi berbasis komunitas).18 Proses diversi dilakukan dengan melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban dan orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, serta pekerja sosial profesional. Hal tersebut tentunya dilakukan tanpa paksaan dan berdasarkan persetujuan anak. Penanganan sistem diversi juga dapat ditindaklanjuti dengan memberikan restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana.19 Instrumen hukum lainnya yang melengkapi petunjuk pelaksanaan diversi adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Musyawarah Diversi (PERMA 4/2014). Tahapan musyawarah diversi dapat dilihat melalui bagan berikut:

Gambar 1. Tahapan Musyawarah Diversi

Sumber: diolah penulis berdasarkan Bab III PERMA 4/2014

18 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”), para. 11. 19 Ibid.

Implementasi konsep keadilan restoratif melalui mekanisme diversi merupakan upaya dalam memprioritaskan kesejahteraan anak dalam proses penyelesaian perkara yang dilaluinya. Pendekatan kesejahteraan pada proses peradilan anak didasari oleh dua faktor, yaitu: a. seorang anak dianggap belum memahami secara jelas kesalahan yang diperbuatnya sehingga pantas untuk diberi pengurangan hukuman serta pembedaan hukuman dan pemberian hukuman bagi orang dewasa; serta b. anak-anak berpotensi untuk lebih mudah dibina dan disadarkan atas perbuatan yang telah dilakukannya.20

D. Mengenal Kejahatan Jalanan “Klitih”

Klitih sendiri dulu merupakan bentuk kata ulang, yaitu klithah-klithih yang bermakna berjalan bolak-balik yang merupakan suatu aktivitas keluar malam yang dilakukan oleh anak muda sambil mencari kegiatan untuk mengatasi kepenatan selama beraktivitas dari pagi hingga sore tanpa memiliki arti yang negatif.21 Namun, belakangan ini istilah ini mengalami perubahan makna menjadi kata yang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas seperti pencurian, penganiayaan, bahkan pelecehan yang dilakukan pada malam hari. Fenomena tersebut dikaitkan dengan remaja yang memiliki berbagai permasalahan dalam kehidupannya sehingga mendapat pengaruh buruk akibat pergaulan yang salah dalam lingkungannya dan mengekspresikan kegelisahannya tersebut dengan cara yang merugikan masyarakat. Selain itu, anak dibawah umur melakukan aksi klitih juga disebabkan karena adalah adanya suatu permasalahan dalam diri pada anak di bawah umur tersebut yang disebabkan oleh minimnya perhatian dari keluarga maupun sekolah baik secara jasmani ataupun rohani.22 Kasus klitih memang bukan hal yang baru di Indonesia dimana dalam beberapa tahun terakhir banyak terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Salah

46. 20 Rien Uthami Dewi, “Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak,” hlm.

21 Maya Citra Rosa, “Apa Arti Klitih dan Bagaimana Asal-usulnya? Meresahkan Warga Yogyakarta,” https://www.kompas.com/wiken/read/2022/04/09/174500181/apa-arti-klitih-danbagaimana-asal-usulnya-meresahkan-warga-yogyakarta, diakses 20 April 2022. 22 Virdita Ratriani, “Apa itu Klitih di Yogyakarta? Ini Makna Asli dan Asal-usulnya,” https://caritahu.kontan.co.id/news/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-ini-makna-asli-dan-asal-usulnya, diakses 20 April 2022.

satunya adalah kasus yang terjadi pada tanggal 7 Juni 2020 empat pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Yogyakarta menderita luka-luka serius setelah dikejar dengan 3 motor sehingga terjatuh serta dipukul dengan helm dari belakang oleh rombongan remaja tidak dikenal tersebut. Tindakan klitih itu terjadi di dua lokasi yang berbeda. Pertama di Jalan Besole Baru, Panggungan, Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kedua, di Jalan Jambon Timur Gereja Lidwina Bedog, Desa Trihanggo, Gamping, Sleman. Menurut saksi pelaku dipercaya merupakan anak-anak SMP yang tidak memiliki permasalahan ataupun kenal dengan korban. 23 Belakangan ini, kembali terjadi di Yogyakarta. Pada kasus terbaru, seorang remaja sekolah menengah atas (SMA) berusia 18 tahun menjadi korban klitih pada Minggu, 3 April 2022. Korban dari tindakan klitih tersebut bernama Daffa Adzin Albasith yang meninggal dunia akibat sabetan senjata tajam di daerah Gedongkuning. Munculnya kasus tersebut tentu membuat masyarakat menjadi semakin waspada saat melakukan aktivitas pada malam hari dan hanya dilakukan apabila keadaan sangat mendesak sebab ancaman klitih selalu menghantui mereka. Oleh karena itu diperlukan aturan yang lebih tegas dan pengawasan yang lebih agar tindakan klitih tidak terjadi lagi khususnya kriminalitas yang dilakukan oleh anak dibawah umur di masa yang akan datang.24

2.2. Status Quo dan Permasalahan Penanganan Tindak Pidana Anak pada Kasus Klitih

Aksi Klitih dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan.25 M. H. Tirtaamidjaja mendefinisikan penganiayaan sebagai dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain.26 Berdasarkan Kitab Undang-Undang

23 Ridwan Anshori, “ Aksi Klitih Siang Bolong Pelajar SMP di Yogyakarta,” https://www.tagar.id/aksi-klitih-siang-bolong-pelajar-smp-di-yogyakarta, diakses 9 Juni 2022.

24 Ulfa Arieza, “Apa Itu Klitih di Yogyakarta? Berikut Asal-usulnya,” https://travel.kompas.com/read/2022/04/06/051627827/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-berikut-asalusulnya?page=all, diakses 20 April 2022. 25 Bernadetha Aurelia Oktavira, “Jerat Huku bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-bagi-pelaku-klitih-di-yogyakartalt5e3d2d9f5f3a7, diakses 25 April 2022. 26 Dinar Pradana Sugiantoro Putra, “Analisis Yuridis Pemidanaan dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat,” (Skripsi Sarjana Universitas Jember, Jember, 2020), hlm. 12.

Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana penganiayaan diatur berdasarkan Pasal 351 KUHP yang berbunyi: 1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. 3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Merujuk pada doktrin, penganiayaan memiliki beberapa unsur.27 Pertama, kemampuan bertanggung jawab. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hal tersebut secara implisit menyatakan bahwa setiap warga negara yang melakukan pelanggaran atas hukum yang berlaku dapat dikenai hukuman atas tindakan yang dilakukannya.28 Maka dari itu, anak dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. UU SPPA mengakomodir pertanggungjawaban pidana anak melalui pengenaan sanksi tindakan maupun sanksi pidana yang dilakukan berdasarkan sistem keadilan restoratif. Kemudian Pasal 45 KUHP juga menjelaskan mengenai penuntutan anak yang belum umur 16 tahun. Anak tetap dapat dimintai pertanggung jawaban, namun hakim dapat memerintahkan supaya anak dikembalikan pada orang tua atau walinya tanpa dikenai pidana atau menjatuhkan pidana pada si anak. Kedua, adanya kesengajaan. Dalam beberapa kasus, pelaku yang masih berstatus sebagai pelajar memiliki motif dasar melakukan tindakan klitih untuk melakukan tawuran antar kelompok.29 Pelaku juga kedapatan membawa senjata

27 Ibid., hlm. 12. 28 Devi Mardiana dan Oci Senjaya, “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak,” Jurnal Kertha Semaya 9 (2021), hlm. 302. 29 Pradito Rida Pertana, “6 Pelajar Hendak Tawur di Bantul Diciduk, Polisi Sita CeluritPedang,” https://www.detik.com/jateng/hukum-dan-kriminal/d-6027398/6-pelajar-hendak-tawurdi-bantul-diciduk-polisi-sita-celurit-pedang, diakses 6 Mei 2022.

tajam untuk persiapan tawuran.30 Drs. Soeprapto, kriminolog Universitas Gadjah Mada, melihat adanya perkembangan organisasi klitih.31 Organisasi tersebut bermula dari pelajar yang duduk di bangku SMA, kemudian melibatkan para alumni dengan dalih menjaga solidaritas almamater.32 Ketiga, adanya perbuatan. Aksi klitih umumnya dilakukan oleh pelaku melalui tindakan penganiayaan yang menyebabkan luka berat hingga kematian pada korban. Lebih lanjut, aksi klitih juga dilakukan dalam bentuk vandalisme, pengeroyokan, pengrusakan fasilitas umum, miras, tawuran, dan sebagainya. 33 Aksi klitih umumnya dilakukan dilakukan setelah pulang sekolah atau pada malam hari di jalan atau tempat yang sepi.34 Keempat, adanya akibat perbuatan yang dituju. Drs. Soeprapto, kriminolog Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa salah satu tujuan dilakukannya aksi klitih adalah pencarian eksistensi oleh kelompok remaja.35 Pada umumnya, korban aksi klitih bukan merupakan sasaran acak, melainkan menyasar pada siapapun yang merupakan bagian dari kelompok musuh sasaran.36 Hal ini berkaitan dengan salah satu konsep teknik netralisasi, yaitu appeal to higher loyalties di mana remaja pelaku klitih memiliki keterikatan tertentu dengan kelompok pertemanannya sehingga mempertimbangkan kehendak kelompok untuk menunjukkan eksistensi mereka. Apabila kasus klitih menggunakan pemidanaan sesuai Pasal 351 ayat (2) atau ayat (3), maka keduanya berpotensi untuk dilakukannya penanganan kasus melalui sistem diversi. Berdasarkan Pasal 7 UU SPPA, diversi dapat dilakukan pada tindak pidana yang memenuhi dua kondisi, yaitu (1) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun dan (2) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pemidanaan

30 Ibid. 31 BBC News, “Klitih: Bagaimana pertikaian antar-pelajar berkembang menjadi kejahatan jalanan yang terus berulang?” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61034504, diakses 6 Mei 2022.

32 Ibid. 33 Irna Dwi Septiani dan Mukhtar Zuhdy, “Penerapan Hukum Pidana terhadap Perbuatan Klitih yang Disertai Kekerasan di Wilayah Hukum Kabupaten Bantul,” Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology 1 (2020), hlm. 111. 34 Ibid., hlm. 11. 35 Kartika Situmorang, Najua Febrian Rachmawati, dan Aldyth Nelwan Airlangga, “Miskonsepsi Masyarakat Mengenai Klitih di Yogyakarta,” https://www.balairungpress.com/2020/11/miskonsepsi-masyarakat-mengenai-klitih-diyogyakarta/, diakses 6 Mei 2022. 36 Ibid.

kasus klitih oleh pelaku anak berdasarkan UU SPPA juga mengurangi hukuman pelaku anak sebanyak ½ (satu perdua) dari hukuman pelaku dewasa. Sistem diversi dan pengurangan porsi hukuman yang diterapkan pada penyelesaian kasus klitih membawa kecenderungan aparat penegak hukum (APH) untuk enggan melakukan penyelidikan terhadap kasus klitih karena pemidanaan yang dinilai ringan.37 Data Pengadilan Negeri Kota Jogja menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 15 perkara jalanan yang dibawa ke ranah pengadilan, 10 diantaranya merupakan kasus klitih.38 Rata-rata kasus mendapat ancaman pemidanaan dua hingga tiga tahun penjara.39 Dalam beberapa putusan pengadilan, pelaku anak dikenai Pasal 170 ayat (1) maupun ayat (2) KUHP. Pola tersebut kemudian diketahui dan disalahgunakan oleh para pelaku dengan memahami dan menjadi UU SPPA sebagai tameng pelaku tindak pidana anak dalam melakukan kejahatan dalam bentuk apapun.40 Pemidanaan ringan pada kasus klitih juga memicu terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis). Pengadilan Negeri Yogyakarta mencatat bahwa hingga tahun 2022 terdapat tujuh perkara kejahatan jalanan yang masuk ke pengadilan.41 Satu kasusnya merupakan kasus klitih yang bersifat residivis. Pelaku tersebut terlibat dalam kelompok penganiaya tapi tidak sebagai penganiaya sehingga mendapat pembebasan bersyarat.42 Residivis terjadi ketika seseorang melakukan tindak pidana dan karena itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu (1) sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya atau sebagian; atau (2) sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan; atau (3) apabila kewajiban menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa; pelaku yang sama

37 Aryo Putranto Saptohutomo, “Menyoal Aksi Klitih dan Dilema Penegakan Hukum,” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/08/09170011/menyoal-aksi-klitih-dan-dilemapenegakan-hukum-?page=all, diakses 3 Mei 2022. 38 Yosef Leon, “Pelaku Klitih Banyak yang Telah Diadili, Tapi Hukumannya Hanya 3 Tahun,” https://www.solopos.com/pelaku-klitih-banyak-yang-telah-diadili-tapi-hukumannyahanya-3-tahun-1289474, diakses 3 Mei 2022. 39 Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid.

kemudian melakukan tindak pidana lagi.43 Residivis terjadi setelah anak dijerat kasus klitih dan mendapat pembebasan bersyarat.44 Penyelesaian perkara melalui sistem diversi sejatinya membutuhkan kearifan APH dalam memberikan porsi pemidanaan. Mengenai hal tersebut, teori Oliver Holmes menyatakan bahwa aturan hukum tidak dapat menjadi patokan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang kompleks.45 Ia berpendapat bahwa seorang pelaksana hukum dapat dihadapkan pada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran versi aturan hukum dan kebenaran lainnya di luar aturan formal.46 Dalam menghadapi permasalahan konteks riil tersebut, seorang APH harus menggunakan kepekaannya dalam memilih kebenaran yang lebih unggul meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi.47

2.3. Studi Komparasi Pengaturan Tindak Pidana Anak di Negara Lain

Tindak pidana bagi anak di negara lain tentu bervariasi, salah satunya di semua negara bagian dan teritori Australia menggunakan konsep Doli Incapax yang menetapkan bahwa di mana seorang anak tidak dapat memahami perbedaan antara tindakan yang 'salah besar' dan tindakan yang 'nakal atau tidak bertanggung jawab', mereka tidak dapat ditahan dan dituntut secara pidana oleh hukum yang berlaku atas tindakan yang mereka perbuat. Tentu untuk menilai apakah tindakan seorang anak masuk dalam konsep diatas diperlukan beberapa faktor yang harus dipenuhi tapi dengan cara tersebut terbukti dapat menurunkan kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak di Australia karena anak yang melakukan kesalahan diberikan pelajaran yang setimpal dan korban diberikan ganti rugi yang sesuai sehingga tidak timbul ketidakadilan dalam proses hukum yang berlaku.48

43 Agustin L. Hutabarat, “Seluk Beluk Residivis,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-residivis-lt5291e21f1ae59, diakses 3 Mei 2022.

44 Yosef Leon, “Pelaku Klitih Banyak yang Telah Diadili, Tapi Hukumannya Hanya 3 Tahun,” https://www.solopos.com/pelaku-klitih-banyak-yang-telah-diadili-tapi-hukumannyahanya-3-tahun-1289474, diakses 3 Mei 2022. 45 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia 2016, “Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Penerapan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” (Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2016), hlm. 48. 46 Ibid., hlm. 49. 47 Ibid., hlm. 49. 48 Imam Subaweh Arifin, “Konsep Doli Incapax Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3 (2021), hlm. 3.

Sedangkan untuk di Indonesia masalah anak yang melakukan tindak pidana dapat dengan mudah dipahami, yakni melanggar pasal-pasal yang diatur dalam KUHP atau peraturan hukum pidana diluar KUHP di mana pada Pasal 71 UU SPPA menempatkan pidana penjara di dalam kelompok pidana pokok pada urutan kelima atau terakhir, yakni sesudah pembinaan dalam lembaga. Ketentuan mengenai pidana penjara diatur dalam Pasal 81 UU SPPA, yaitu: a. Anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. b. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. c. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. d. Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. e. Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. f. Jika tindak pidana yang dilakukan oleh Anak merupakan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.49

Selain itu, kasus semacam klitih yang dilakukan oleh anak dibawah umur bukanlah suatu hal yang awam di negara-negara selain Indonesia, sebagai contoh di Amerika Serikat sebagai negara yang menjamin hak-hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam kehidupan, namun masih sering terjadi kasus penembakan yang dilakukan oleh anak dibawah umur di sekolah atau lingkungan masyarakat yang melibatkan senjata api seperti pistol dan senjata tajam lainnya. Pelaku melakukan pembunuhan kepada teman atau guru yang sedang bertugas di sekolah atau bisa dikatakan disandera hanya dengan alasan yang kurang

49 Nurika Latiff Hikmawati, “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana,” Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18 (2019), hlm. 78.

jelas.50 Hukuman bagi pelaku pembunuhan terbagi kepada berbagai tingkat di Amerika dengan pidana terberat adalah hukuman mati, pelaku pembunuhan massal dapat dijatuhkan hukuman ini karena termasuk ke dalam tingkat yang paling parah yaitu tingkat satu. Namun, untuk pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur harus melewati tahap yang dikenal dengan dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana (two models of the criminal process) yaitu due process model dan crime control model. Kedua model di atas dilandasi oleh adversary model sehingga hukuman yang jatuh ditentukan dengan sistem juri yang menyatakan apakah hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa dibawah umur dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.51 Adapula kasus serupa terjadi di daerah Amerika Latin khususnya Brazil, di mana anak dibawah umur dipaksa bekerjasama untuk melakukan kejahatan dalam masyarakat dengan melakukan pencurian barang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi karena tingginya kesenjangan sosial di negara tersebut yang menyebabkan rendahnya pendapatan bagi setiap kepala keluarga di negara tersebut.52 Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur tidak hanya dapat terjadi karena kondisi internal sang anak, melainkan kondisi eksternal secara spesifik dimana dalam keadaan mendesak suatu perbuatan ilegal dianggap menjadi satu-satunya pilihan untuk melanjutkan kehidupan.

2.4. Respons Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum terkait Fenomena Klitih yang Terjadi di Yogyakarta

Aksi klitih di Yogyakarta pada dasarnya memang sulit untuk dihilangkan begitu saja, perlu adanya respon masyarakat dan juga aparat penegak hukum untuk membantu meminimalisir angka aksi klitih yang dilakukan oleh sekelompok oknum remaja. Menanggapi persoalan tersebut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X buka suara. Ia mengatakan bahwa harus

50 Nurika Latiff Hikmawati, “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana,” Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18 (2019), hlm. 73.

51 Soediro, “Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat Dengan Peradilan Pidana di Indonesia,” Jurnal Kosmik Hukum 19 (2019), hlm. 51. 52 Adolfo Sachsida, Mario Mendonça, Paulo Loureiro, dan Maria Gutierrez,’’Inequality and Criminality Revisited: further evidence from Brazil,” Organization for Economic Co-operation and Development (2004), hlm. 5.

ada perhatian khusus bagi para remaja yaitu melibatkan tokoh masyarakat serta agama untuk menyosialisasikan kepada warga tentang pentingnya setiap keluarga untuk mengetahui keberadaan anggota keluarganya. Kedua, yaitu dengan menginisiasi aktivitas-aktivitas yang positif dan bermanfaat bagi remaja serta menggiatkan patroli lingkungan dengan melibatkan potensi linmas dan Jagawarga pada lingkungan masing-masing.53 Selain itu, terdapat upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian, yaitu upaya untuk tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif yang dilakukan berbentuk penyuluhan terhadap anak remaja dan masyarakat, pelaksanaan patroli secara rutin, dan peningkatan penanganan terhadap daerah yang rawan akan kejahatan aksi klitih. Tindakan represif yang dapat dilakukan oleh kepolisian adalah melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan aksi klitih dan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap tersangka untuk diproses melalui penyidikan kasus tersebut.54 Selain itu, pemidanaan terhadap anak harus dapat membawa pengaruh positif kepada anak dengan memberlakukan program-program yang bermanfaat dan mendukung perkembangan anak di usia remaja, sebagai contoh memberlakukan program pelayanan sosial, melatih anak agar terampil dalam melakukan sesuatu, dan juga tetap menyediakan sarana belajar untuk anak. Program ini harus memiliki tujuan agar nantinya anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik setelah pemidanaan mereka selesai.

2.5. Dampak Penegakan Hukum yang Kurang Maksimal dalam Kasus Klitih terhadap Masyarakat

Tidak ada alasan yang pasti mengapa kasus klitih semakin marak di Yogyakarta dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang terikat dengan adanya fenomena klitih. Aksi klitih menyebabkan keresahan pada warga karena semakin berjalannya waktu, kegiatan klitih menjadi suatu kegiatan yang negatif hingga menyebabkan tewasnya seseorang. Terlebih, aksi klitih dilakukan oleh anak yang

53 Sunartono, “5 Langkah Gubernur DIY Tangani Maraknya Klitih di Yogyakarta”, https://semarang.bisnis.com/read/20220409/535/1521015/5-langkah-gubernur-diy-tanganimaraknya-klitih-di-yogyakarta, diakses 9 Mei 2022 54 Irna Dwi Septiani dan Mukhtar Zuhdy, “Penerapan Hukum Pidana terhadap Perbuatan Klitih”, hlm. 114.

masih dibawah umur di mana masih belum ada penegakan hukum yang sepadan dengan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku klitih di bawah umur. Pasal 9 UU SPPA menyatakan bahwa penanganan tindak pidana anak dapat dialihkan menjadi diversi. Untuk aksi klitih, walaupun pelaku telah menimbulkan korban hingga meninggal, diversi masih dapat memungkinkan untuk dilakukan.55 Mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP penganiayaan yang menyebabkan kematian pada seseorang akan mendapatkan ancaman pidana 7 (tujuh) tahun, sehingga masih dapat dilakukan diversi sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 7 ayat (2) UU SPPA bahwa diversi dapat dilakukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun. Menurut penulis, pelaksanaan diversi ini tidak relevan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana klitih yang sudah memakan korban, sesuai dengan teori absolut bahwa tindak pidana diperlukan untuk menjadi pembalasan bagi pelaku tindak pidana dan menjadikannya sebagai pelajaran. Remaja perlu untuk mendapatkan pelajaran atau konsekuensi dari segala hal yang sudah dilakukannya sehingga pembentukan karakter dalam remaja dapat terbentuk dengan baik.

2.6. Faktor Penghambat dan Tantangan dari Penyelesaian Kasus Klitih

Walaupun sudah ada upaya yang nyata dari pihak kepolisian yang juga didukung dengan kerja sama dari masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa aksi klitih masih dapat terjadi di Yogyakarta. Tantangan dalam menanggulangi klitih dapat dilihat dari sanksi hukum pidana yang masih kurang berat dan juga kurang adil bagi korban, bahkan hingga korban tewas pun dapat dilihat sanksi pidana nya masih belum terasa dapat membuat pelaku mengalami efek jera. Kurangnya sanksi pidana dihubungkan karena aksi klitih rata-rata dilakukan oleh pelaku yang masih dibawah umur. Perlu pertimbangan yang panjang jika tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau tersangka yang masih dibawah umur. Selain itu, faktor kasihan yang diberikan kepada pelaku oleh masyarakat semakin memperjelas hilangnya keadilan yang diberikan kepada korban.

55 Bernadetha Aurelia Oktavira, “Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-bagi-pelaku-klitih-di-yogyakartalt5e3d2d9f5f3a7, diakses 1 Mei 2022.

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa permasalahan kriminalitas yang dilakukan oleh anak dibawah umur merupakan permasalahan yang tidak boleh dianggap sebelah mata di Indonesia. Upaya untuk memidana tindak kriminal yang dilakukan oleh anak dibawah umur, khususnya yang menyebabkan seseorang meninggal, harus dipastikan berjalan dengan baik dan mempertimbangkan baikbaik tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak dibawah umur. Ketentuan pelaksanaan diversi juga harus diperjelas lagi agar sanksi pidana yang dikenakan pada anak dapat sepadan dengan perbuatan yang telah dilakukannya dan memberikan keadilan bagi pihak korban.56

3.2. Saran

Pemerintah dan masyarakat dapat mencari solusi dengan melakukan pembinaan kepada anak-anak sejak dini dan menjaga pergaulan mereka sehingga tidak terjerumus ke lingkungan yang salah salah satunya dengan menciptakan ruang berekspresi yang bebas untuk diakses oleh anak muda dan gratis seperti taman kota yang dapat menjadi wadah bagi anak dibawah umur untuk menyalurkan hobinya dan melakukan interaksi dengan sesamanya dengan positif sehingga diharapkan dapat membangun karakter anak yang dewasa dan dapat memberikan dampak positif bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Selain itu, hukuman untuk segala tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur sebaiknya lebih jelas implementasinya agar anak dapat mengambil pelajaran dan enggan untuk berbuat tindak pidana setelahnya.

56 Yohanes Marino, “Studi Penelusuran Identifikasi Subjek Lacanian Pelaku Klitih”, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hlm.144.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia 2016. Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Penerapan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2016. Hlm. 48.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Bumi Aksara,1990.

JURNAL

Dwijayanti, Mita. “Diversi Terhadap Recidive Anak.” Rechtsidee 12 (2017). Hlm. 233-244.

Dwi Septiani, Irna dan Mukhtar Zuhdy. “Penegakan Hukum Pidana terhadap Perbuatan Klitih yang Disertai Kekerasan di Wilayah Hukum Kabupaten Bantul.” Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology 1 (2020). Hlm. 108-116.

Fuadi, Ahmad, Titik Muti’ah, dan Hartoshujono. “Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih.” Jurnal Spirits 9 (2019). Hlm. 88-98.

Hutahaean, Bilher. “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak.” Jurnal Al-Yudisial 6 (2013). Hlm. 64-79.

Latiff Hikmawati, Nurika. “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana.” Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18 (2019). Hlm. 71-78.

Mardiana, Devi dan Oci Senjaya. “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak.” Jurnal Kertha Semaya 9 (2021). Hlm. 301-313.

Priamsari, Putri A.“Mencari Hukum yang Berkeadilan bagi Anak Melalui Diversi.” Jurnal Law Reform 14 (2018). Hlm. 220-235.

Rafid, Noercholis dan Saidah. “Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Perspektif Fiqih Jinayah.” Jurnal Al-Maiyyah 11 (2018). Hlm. 321-341.

Adolfo Sachsida, Mario Mendonça, Paulo Loureiro, dan Maria Gutierrez. “Inequality and Criminality Revisited: further evidence from Brazil.” Organization for Economic Co-operation and Development (2004). Hlm. 119.

Subaweh Arifin, Imam. “Konsep Doli Incapax Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3 (2021). Hlm. 1-17.

Soediro. “Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat Dengan Peradilan Pidana di Indonesia.” Jurnal Kosmik Hukum 19 (2019). Hlm. 4561.

SKRIPSI

Pradana Sugiantoro Putra, Dinar. “Analisis Yuridis Pemidanaan dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat.” Skripsi Sarjana Universitas Jember, Jember, 2020.

Uthami Dewi, Rien. “Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Dikaitkan dengan Hukuman Tindakan Pada Putusan No. 08/PID. Anak/2010/PN.JKT.SEL.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2011.

W.M. Sagala, Anwar. “Kajian Yuridis Sistem Pemidanaan Edukatif oleh Hakim terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum.” Studi Pada Pengadilan Negeri Putussibau.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Musyawarah Diversi. Perma No. 4 Tahun 2014.

Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No.35 Tahun 2014, LN No. 2014 Tahun 2014, TLN No. 5606.

Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332.

DOKUMEN INTERNASIONAL

Perserikatan Bangsa-Bangsa. UnIted Nation Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”).

INTERNET

Arieza, Ulfa. “Apa Itu Klitih di Yogyakarta? Berikut Asal-usulnya.” https://travel.kompas.com/read/2022/04/06/051627827/apa-itu-klitih-diyogyakarta-berikut-asal-usulnya?page=all. Diakses 20 April 2022.

Aurelia Oktavira, Bernadetha. “Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-bagi-pelaku-klitih-diyogyakarta-lt5e3d2d9f5f3a7. Diakses 25 April 2022.

Baca Jogja. “Geng Klitih Diduga Beraksi Merusak Mobil di Kulon Progo.” https://bacajogja.id/2022/01/24/geng-klitih-diduga-beraksi-merusakmobil-di-kulon-progo/. Diakses 6 Mei 2022.

BBC News. “Klitih: Bagaimana pertikaian antar-pelajar berkembang menjadi kejahatan jalanan yang terus berulang?.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61034504. Diakses 6 Mei 2022.

Citra Rosa, Maya. “Apa Arti Klitih dan Bagaimana Asal-usulnya? Meresahkan Warga Yogyakarta.” https://www.kompas.com/wiken/read/2022/04/09/174500181/apa-artiklitih-dan-bagaimana-asal-usulnya-meresahkan-warga-yogyakarta. Diakses 20 April 2022.

Erlin, Erfan. “Miris, Sepanjang 2022 JPW Catat ada 12 kali Aksi Klitih di Yogyakarta.” https://yogya.inews.id/berita/miris-sepanjang-2022-jpwcatat-ada-12-kali-aksi-klitih-di-yogyakarta. Diakses 11 April 2022.

Farhan, Gunanto. “6 Remaja Pelaku Klitih di Yogyakarta Akui Bacok dan Pukuli Pengguna Jalan Untuk Senang-senang.” https://daerah.sindonews.com/read/642757/707/6-remaja-pelaku-klitih-dijogja-akui-bacok-dan-pukuli-pengguna-jalan-untuk-senang-senang1640797978. Diakses 6 Mei 2022.

Idaho Juvenile Justice Commission. “Principles of Restorative Justice.” http://www.ijjc.idaho.gov/restorative-justice/. Diakses 13 April 2022.

Jata Ayu Pramesti, Tri. “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-pentingyang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-lt53f55d0f46878. Diakses 13 April 2022.

Leon, Yosef. “Pelaku Klitih Banyak yang Telah Diadili, Tapi Hukumannya Hanya 3 Tahun.” https://www.solopos.com/pelaku-klitih-banyak-yang-telahdiadili-tapi-hukumannya-hanya-3-tahun-1289474. Diakses 3 Mei 2022.

L. Hutabarat, Agustin. “Seluk Beluk Residivis.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-residivislt5291e21f1ae59. Diakses 3 Mei 2022.

Prihatini, Zintan. “Aksi Klitih Remaja di Yogyakarta Tewaskan Anak Anggota DPRD Kebumen, Ini Kata Sosiolog.” https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/06/130100723/aksi-klitihremaja-di-yogyakarta-tewaskan-anak-anggota-dprd-kebumen-ini?page=all. Diakses 11 April 2022.

Putranto Saptohutomo, Aryo. “Menyoal Aksi Klitih dan Dilema Penegakan Hukum.” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/08/09170011/menyoal-aksiklitih-dan-dilema-penegakan-hukum-?page=all. Diakses 3 Mei 2022.

Ratriani, Virdita. “Apa itu Klitih di Yogyakarta? Ini Makna Asli dan Asal-usulnya.” https://caritahu.kontan.co.id/news/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-ini-maknaasli-dan-asal-usulnya. Diakses 20 April 2022.

Rida Pertana, Pradito. “6 Pelajar Hendak Tawur di Bantul Diciduk, Polisi Sita Celurit-Pedang.” https://www.detik.com/jateng/hukum-dan-kriminal/d6027398/6-pelajar-hendak-tawur-di-bantul-diciduk-polisi-sita-celuritpedang. Diakses 6 Mei 2022.

Tobing, Letezia. “Apakah Anak yang Melakukan Tindak Pidana Dapat Dihukum Mati?.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-anak-yangmelakukan-tindak-pidana-dapat-dihukum-mati-lt4f768a60341d9. Diakses 4 Mei 2022.

Situmorang, Kartika, Najua Febrian Rachmawati, dan Aldyth Nelwan Airlangga. “Miskonsepsi Masyarakat Mengenai Klitih di Yogyakarta.” https://www.balairungpress.com/2020/11/miskonsepsi-masyarakatmengenai-klitih-di-yogyakarta/. Diakses 6 Mei 2022.

Sunartono. “5 Langkah Gubernur DIY Tangani Maraknya Klitih di Yogyakarta”, https://semarang.bisnis.com/read/20220409/535/1521015/5-langkahgubernur-diy-tangani-maraknya-klitih-di-yogyakarta. Diakses 9 Mei 2022.

BIODATA PENULIS

Aulia Safitri atau Aulia merupakan perempuan kelahiran Bekasi, 5 Juni 2002. Aulia sekarang sedang menempuh studi hukumnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia juga aktif sebagai staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Capital Market and Securities BLS FHUI 2022.

Darren Yosafat Marama Sitorus atau yang sering disapa Darren merupakan pria kelahiran Jakarta, 12 September 2003. Ia merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Business Development FPCI Chapter UI Board of 2022.

Suci Lestari Palijama merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelahiran Depok, 13 April 2003 Suci aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi kampus seperti menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 serta staf

Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2022.

This article is from: