53 minute read

PERDAGANGAN ORANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS KERANGKENG MANUSIA OLEH

BUPATI LANGKAT: INDIKASI PERBUDAKAN MODERN BERUPA TINDAK

Advertisement

PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Angelica Catherine Edelweis Fakultas Hukum Universitas Indonesia

angelica.catherine@ui.ac.id

Cornellia Desy Natallina Fakultas Hukum Universitas Indonesia

cornellia.desy@ui.ac.id

Nindya Amaris Minar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

nindya.amaris@ui.ac.id

Abstrak

Pada pembukaan awal tahun 2022, Indonesia digemparkan dengan penemuan kerangkeng manusia oleh KPK di rumah Bupati Langkat. Penelusuran kasus kerangkeng manusia yang kemudian dilakukan oleh Komnas HAM dan Kepolisian mendapatkan berbagai macam fakta yang menimbulkan beragam pertanyaan. Artikel ini mencoba mengulas pelanggaran ketentuan hukum pidana Indonesia seperti perbudakan modern, tindak pidana perdagangan orang, dsb. yang dilakukan oleh Bupati Langkat dan oknum yang terlibat dalam kasus kerangkeng manusia berdasarkan fakta-fakta yang ada dari Komnas HAM.

Kata Kunci: Perbudakan Modern, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kasus Bupati Langkat, Kejahatan Kemanusiaan, Kerangkeng Manusia, Komnas HAM

JUDICIAL REVIEW OF THE CASE OF HUMAN CAGE BY THE REGENT OF

LANGKAT: INDICATIONS OF MODERN SLAVERY IN THE FORM OF HUMAN

TRAFFICKING

Abstract

At the beginning of 2022, Indonesia was surprised by the discovery of a human cage by KPK at the house of the Regent of Langkat. The investigation into the human cage case, which was then carried out by Komnas HAM and the Police, discovered various facts that raised several questions. This article attempts to review the violations of the provisions of Indonesian criminal law such as modern slavery, human trafficking, etc. by the Regent of Langkat and the perpetrators involved in the human cage case based on the known facts from Komnas HAM.

Keywords: Modern Slavery, Human Trafficking, the Regent of Langkat’s case, Crime Against Humanity, Human Cage, Komnas HAM

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga yang berwenang menyidik dugaan kasus korupsi dapat melakukan operasi tangkap tangan (OTT).1 Dalam rangka pemenuhan tugasnya, KPK melakukan OTT atas dugaan kasus suap yang dilakukan oleh Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin–angin (TRP) di kediamannya pada awal Januari 2022.2 OTT yang dilakukan oleh KPK dapat dikatakan operasi yang berhasil. Namun, tak disangka OTT yang dilakukan KPK juga berhasil menguak sebuah kejahatan yang mendegradasi kemanusiaan dalam bentuk sebuah kerangkeng manusia.3 Kasus ini menimbulkan isu yang sangat serius berkaitan dengan keberadaan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sebagai lembaga yang berwenang, bersamaan dengan adanya aduan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) berkoordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) serta bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membentuk tim penyelidikan terhadap kasus ini. Melalui Keterangan Pers Komnas HAM, kerangkeng yang berukuran 6 x 6 meter ini telah dibangun pada tahun 2010 diniatkan untuk menjadi tempat pembinaan anggota ormas.4 Terminologi pembinaan menjadikan kerangkeng manusia ini terdengar sangat mulia, bahkan pada kenyataannya, keberadaan para korban di kerangkeng manusia ini bukan karena paksaan tetapi tipuan terminologi pembinaan. Hal ini yang mendorong pihak keluarga korban yang mayoritas berada dari kalangan ekonomi lemah, mengalami keputusasaan keluarga akhirnya mendorong bahkan

1 Indonesia, Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197 Tahun 2019, TLN No. 6409, Ps. 8a jo. Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 1 ayat 19. 2 Sasmito Madrim, “KPK Tetapkan Bupati Langkat Sebagai Tersangka Korupsi,” https://www.voaindonesia.com/a/kpk-tetapkan-bupati-langkat-sebagai-tersangkakorupsi/6404046.html, diakses 22 Mei. 3 Dany Darjito, “Kronologi Dugaan Adanya Perbudakan Modern di Rumah Bupati Langkat,” https://www.suara.com/news/2022/03/22/185009/kronologi-dugaan-adanya-perbudakan -modern-di-rumah-bupati-langkat, diakses 18 April. 4 Fakta mengenai keberadaan, hasil pemantauan dan wawancara dengan korban, serta beragam informasi lainnya dapat ditemukan secara lengkap melalui Keterangan Pers Nomor 007/HM.00/III/2022. Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 6.

memaksa anggota keluarganya biasanya merupakan mantan pecandu narkoba, mantan pelaku kriminal, melakukan kenakalan remaja, hingga yang terlibat masalah dengan TRP untuk masuk kerangkeng ini.5 Terminologi pembinaan ini juga nyatanya berhasil memberikan stigma baik sehingga korban maupun keluarga korban memberikan persetujuan dalam bentuk surat yang tertulis. Pembinaan yang dikatakan oleh TRP tidak lain adalah pekerjaan paksa dengan kekerasan. Para penghuni kerangkeng dipekerjakan di pabrik dan kebun kelapa sawit sebagai buruh kebun, tukang bersih-bersih, buruh bangunan, pengeruk tanah, juru parkir, dan sebagainya secara gratis, atau dapat dikatakan upah dibayarkan dalam bentuk fasilitas hidup di kerangkeng.6 Kekejaman yang dilakukan di kerangkeng manusia ini tidak berhenti sampai fakta tersebut, setidaknya terdapat 26 bentuk kekerasan yang dilakukan, seperti dipukul, dicambuk, pencopotan kuku jari dengan tang, disundut dengan besi panas, dan masih banyak lainnya.7 Di sekitar kerangkeng manusia tersebut bahkan terdapat dua makam korban meninggal yang tidak dapat disimpulkan penyebab pasti kematian korban.

Terkait dengan tindakan keji ini, Komnas HAM memberikan informasi mengenai terlibatnya oknum anggota tentara nasional Indonesia (TNI) dan Polisi dalam melakukan kekerasan. Selain terdapat beberapa instansi yang turut terlibat, seperti KPK sebagai lembaga pertama yang menemukan keberadaan kerangkeng ini. Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Langkat yang telah mengetahui keberadaan kerangkeng manusia ini dan telah merekomendasikan untuk mengurus izin sebagai panti rehabilitasi yang legal. Selain itu, beberapa instansi pemerintah seperti dinas tenaga kerja, dinas sosial, dan dinas kesehatan yang telah mengetahui keberadaan kerangkeng manusia tersebut, telah menerima laporan lisan, dan tidak melakukan asistensi apapun terhadap keberadaan kerangkeng manusia tersebut.8 Melihat fakta yang ada secara sekilas, sudah jelas dan dengan tegas dapat disimpulkan tindakan di atas bukan merupakan sebuah pembinaan melainkan sebuah bentuk pelanggaran HAM. HAM adalah seperangkat hak yang dimiliki

5 Ibid., hlm. 3-4. 6 Ibid., hlm. 9. 7 Ibid., hlm. 8. 8 Ibid., hlm. 5.

manusia yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang.9 Lebih lagi, HAM juga diakui dan diatur oleh konstitusi negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J yang secara spesifik mengenai hak-hak asasi setiap warga negara yang dilindungi

negara. Melihat fakta-fakta mengenai kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat, timbul berbagai pertanyaan. Pelanggaran HAM apa yang dilakukan, ketentuan hukum pidana Indonesia apa yang telah dilanggar, apakah kerangkeng ini termasuk dalam perbudakan modern atau termasuk dalam kasus perdagangan orang. Apakah kasus ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. Artikel ini ingin memberikan sebuah diskursus mengenai penyelesaian kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini mencoba membahas kasus kerangkeng oleh Bupati Langkat dari sisi perbudakan modern, perdagangan orang sebagai bentuk perbudakan modern, dan mencoba menjawab apakah kasus ini dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk dari pelanggaran ham berat

II. PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Pustaka A. Pelanggaran HAM Berat

Dalam pelanggaran HAM berat yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, HAM berat dibagi menjadi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan genosida menurut Raphael Lemkin dapat diartikan sebagai kejahatan pembunuhan terhadap kelompok manusia tertentu.10 Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan menurut David Luban adalah sebuah tindakan yang dilakukan dengan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang semua manusia miliki.11 Pada

9 Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 19 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886, Ps. 1. 10 Anna Gopsill, “Genocide,” dalam Humanitarianism, ed. Antonio De Lauri (Leiden: Brill, 2020), hlm. 77. 11 David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm. 86-90.

masa awal pengenalan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida serta pembunuhan yang tersistematis masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan.12 Barulah pada tahun 1998, Rome Statute of The International Criminal Court memisahkan kejahatan kemanusiaan dan genosida dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Kedua kejahatan dalam pelanggaran HAM berat ini sekalipun pada dasarnya melanggar HAM yang sama tetapi memiliki akibat dan pertanggungjawaban yang berbeda. Pada kejahatan genosida, pelanggaran HAM yang ada yaitu hak atas hidup ditujukan kepada kelompok tertentu saja. Pada kejahatan kemanusiaan, yang dilanggar adalah nilai kemanusiaan seluruh umat manusia sehingga tidak terpaku pada satu orang atau satu kelompok saja. Selain daripada subjek yang dituju, kejahatan terhadap kemanusiaan karena pada hakikatnya yang dilanggar adalah kemanusiaan seluruh umat manusia maka lingkup pelanggarannya lebih luas pula. Tidak hanya berbicara mengenai penghilangan jiwa orang lain atau pembunuhan, kejahatan kemanusiaan dewasa ini meliputi perbudakan, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan orang secara paksa, kejahatan berbasis ras, dan masih banyak jenis-jenis kejahatan kemanusiaan lainnya.13 Untuk sebuah kejahatan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, David Luban mengeluarkan sebuah teori terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan kemanusiaan menurut Rome Statute of The International Criminal Court. Menurut Luban terdapat empat unsur penting dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu: 14 1. Kejahatan yang dilakukan harus dianggap masyarakat sebagai tindakan penodaan terhadap kemanusiaan atau bisa dibilang tindakan tersebut dianggap tidak manusiawi;

12 Robert Dubler S.C. dan Matthew Kalyk, Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security, (Leiden: Martinus Nijhoff, 2018), hlm. 24.

13 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN NO. 1426, Ps. 9. 14 David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm. 93-109.

2. Kejahatan tersebut juga harus ditetapkan oleh dunia internasional sebagai kejahatan internasional, sehingga terjadi sebuah kesepakatan bahwa tindakan tertentu merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi di daerah manapun kejadian itu dilakukan; 3. Kejahatan dilakukan oleh badan yang terorganisasi baik secara individu ataupun kelompok secara sistematis dan menyebar; 4. Kejahatan yang dimaksud harus dilakukan terhadap kelompok manusia. Selain itu, Luban memberikan unsur tambahan yang ia sebut sebagai fifth feature, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap sesama warga negara.15 Menurut hemat pikir Penulis, dari penjelasan mengenai kejahatan kemanusiaan baik menurut Undang-Undang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma, kejahatan yang dimaksud harus berupa sebuah serangan (attack).16 Unsur ini dituliskan baik dalam ketentuan internasional maupun ketentuan hukum positif Indonesia. Melengkapi pemikiran baik oleh Luban, penulis berpendapat hadirnya unsur kelima yaitu kejahatan yang dimaksud harus berbentuk sebuah serangan. Sebab, tidak semua kejahatan yang terorganisasi, tersistematis, tidak manusiawi dan ditujukan pada sipil dapat dijadikan kejahatan kemanusiaan kalau tidak ada hadirnya kesengajaan dan niat pelaku dalam bentuk serangan.

B. Perbudakan Modern

Perbudakan merupakan praktik yang telah hadir di kehidupan manusia sejak dahulu. Akan tetapi, istilah perbudakan yang dikenal pada era modern sekarang dengan masa-masa awal perbudakan cukup berbeda. Perbudakan atau slavery diambil dari bahasa Latin yaitu Sclāvus dan bahasa Yunani Byzantium yaitu Σκλάβος (Sklábos) yang merujuk pada peradaban bangsa Eropa yang menggunakan bahasa Slavic yang diyakini berisi orang-orang yang biasanya menjadi budak di abad pertengahan.17 Maka, pada masa-masa awal peradaban manusia, perbudakan

15 Ibid. 16 Menurut Rome Statute of the International Criminal Court, kejahatan kemanusiaan merupakan, “any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack.” UN, Rome Statute of the International Criminal Court, UNTS 2187 (1998), hlm. 3, Ps. 7. 17 Victor, “Slav and Slaves,” https://languagelog.ldc.upenn.edu/nll/?p=41445, diakses 19

Mei.

hanya mengacu pada budak, pekerja kasar dengan kepemilikan saja, sekalipun sejak masa abad pertengahan berbagai bentuk perbudakan seperti eksploitasi seksual, eksploitasi kerja, hingga perdagangan orang sudah hadir.18 Menurut Robert Dubler S.C. dan Matthew Kalyk dalam bukunya yang berjudul Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security, perdagangan budak secara khususnya menjadi tonggak pemikiran abolisi perbudakan yang dikeluarkan oleh Lord Mansfield dari Inggris pada 1722.19 Pemikiran hukum bahwa perdagangan orang yang termasuk dalam perbudakan adalah tindakan yang harus dilarang dari Lord Mansfield mendorong parlemen Inggris mengeluarkan produk legislatif.20 Barulah pada 1815, diadakan The Congress of Vienna yang mengeluarkan The Declaration of the Powers on the Abolition of the Slave Trade yang menyatakan bahwa perbudakan merupakan praktek yang menodai nilai-nilai komunitas sipil internasional.21 Pemikiran hukum dari kongres ini bersama dengan ketentuan-ketentuan internasional lainnya memberikan efek kumulatif yang akhirnya melandasi perbudakan menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.22 Perkembangan awal larangan perbudakan tidak memberikan definisi maupun cakupan tindakan perikatan kerja yang dapat dikategorikan sebagai perbudakan selain daripada perikatan kerja dengan unsur kepemilikan layaknya properti. Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery menegaskan bahwa dalam perbudakan, unsur kepemilikan ini menjadi hal yang harus hadir dan dalam kepemilikan ini juga hadir hak-hak untuk menguasai, merampas kemerdekaan, serta hak untuk memperjualbelikan.23 Konsep perbudakan pada masa ini pada intinya melihat budak atau pekerja sebagai properti yang dapat

18 Tania Eileen DoCarmo, “The Construction and Implementation of International Human Trafficking Law,” (Disertasi University of California, Irvine, 2020), hlm. 3. 19 Robert Dubler S.C. dan Matthew Kalyk, Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security, (Leiden: Martinus Nijhoff, 2018), hlm. 26.

118. 20 Ibid. 21 The Powers, Final Act of The Congress of Vienna/General Treaty, (1815), hlm. 29, ps.

22 M. Cherif Bassiouni, Crime Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm 378. 23 Research Network on the Legal Parameters of Slavery, 2012 Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery, (2012), hlm. 16.

dimiliki seperti sebuah benda, serta dipersandingkan dengan konsep eigendom dalam perdata, Pada tahun 1956, beberapa praktik ditambahkan untuk dapat dianggap sama dengan perbudakan, yaitu jeratan utang (debt bondage), perhambaan (serfdom), kawin paksa atau praktik lainnya, praktik lainnya yang menyerupai perdagangan dan perbudakan anak, serta perdagangan budak.24 Pada zaman sekarang, untuk dapat membedakan sebuah perikatan perjanjian kerja pada umumnya dengan perbudakan, Choi-Fitzpatrick dalam bukunya yang berjudul What Slaveholders Think: How Contemporary Perpetrators Rationalize What They Do, merangkum beberapa tindak perjanjian kerja yang dapat dikategorikan sebagai perbudakan. Tindakan-tindakan tersebut adalah pekerjaan dengan jeratan utang, pekerjaan dengan pengekangan kebebasan meliputi perampasan kemerdekaan atau yang dikenal sebagai domestic servitude, pelacuran paksa, kerja paksa, perkawinan paksa, serta perdagangan orang.25 Untuk dapat melihat disparitas mengenai perbudakan klasik dan modern, dapat dilihat pada tabel berikut:26

Gambar 2. Tabel Disparitas Perbudakan Klasik dan Modern.

Sumber: Reynold Hutagalung, 2019

24 UNHR, Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery, UNTS 266 (1957), hlm. 3, Ps. 1. 25 A. Choi-Fitzpatrick, What Slaveholders Think: How Contemporary Perpetrators Rationalize What They Do, (New York: Columbia University Press, 2011), hlm. 11. 26 Reynold E. P. Hutagalung, Perbudakan Modern Anak Buah Kapal Ikan (ABKI) asal Indonesia: Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Kepolisian, cet. 1 (Depok: LPKS, 2019), hlm. 36.

Dengan meluasnya cakupan praktik perbudakan modern, turut berkembang juga kekuatan hukum internasional mengenai praktik perbudakan modern. Larangan terhadap perbudakan memuat norma jus cogens yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional dalam kedudukan hierarki tertinggi.27 Terhadap kejahatan tersebut setiap individu memikul tanggung jawab (obligatio erga omnes) atas penghukuman yang adil.28

C. Perdagangan Orang sebagai Bentuk Perbudakan Modern

Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perbudakan modern yang paling sering ditemui pada era modern seperti sekarang. Perdagangan orang dalam era modern tidak mengindikasikan sebuah tindakan dimana semua pekerja hidup dalam penundukan dan perampasan kemerdekaan secara keseluruhan layaknya perbudakan kuno, akan tetapi terdapat pembatasan yang dilakukan sehingga relasi pekerja dan penyewa jasa menjadi relasi kuasa yang timpang.29 Pada dasarnya, inti dari perdagangan manusia adalah tindakan memfasilitasi atau membentuk hubungan kerja melalui perantara baik dengan cara modern (dengan perjalanan internasional atau kontak internet) maupun cara kuno (dengan eksploitasi seksual atau eksploitasi kerja) yang mana manusia pemberi jasa digunakan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan bagi si penyewa jasa.30 United Nations Human Rights mengeluarkan pengertian internasional terhadap apa yang disebut dengan perdagangan orang, yaitu:31 Perdagangan orang berarti perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau dengan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, pendayagunaan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau manfaat sehingga mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

27 Katie A. Johnston, “Identifying The Jus Cogens Norm in The Jus Ad Bellum,” British Institute of International and Comparative Law Quarterly Vol. 70 (Januari 2021), hlm. 35. 28 Fadzlun Budi Sulistyo Nugroho, “Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi,” Gorontalo Law Review Vol. 2 No. 2 (Oktober 2019), hlm. 98. 29 Vincenzo Militello dan Alessandro Spena, Between Criminalization and Protection: The Italian Way of Dealing with Migrant Smuggling and Trafficking Within the European and International Context, (Brill: Leiden, 2019), hlm. 58. 30 Ibid., hlm. 57. 31 UNHR, Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, UNTS 2237 (2000), hlm. 319, Ps. 3a.

Pengertian ini juga sesuai dengan pengertian perdagangan orang menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007. Dari dua pengertian di atas mengenai perdagangan orang, sekalipun tindakan atau aksi yang dilakukan berbeda-beda setiap kasusnya, tujuan eksploitasi selalu hadir. Esensi utama dari adanya praktik mengenaskan ini adalah keinginan untuk mendapat sebuah keuntungan dari orang yang secara status lebih rendah. Menurut the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, eksploitasi ini mencakup eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Maka, dapat disimpulkan dari pengertian perdagangan orang yang ada, tindakan-tindakan ini merupakan bentuk dari perbudakan modern dengan kehadiran unsur tambahan yaitu unsur bertujuan eksploitasi. Dari pengertian yang ada tersebut juga dapat disimpulkan indikator perdagangan orang, yaitu: 1. Bertujuan untuk eksploitasi 2. Hadirnya kekerasan fisik di tindakan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban

3. Terdapat pembatasan ruang gerak korban oleh pelaku, yang mana hal ini dapat menjurus kepada tindak perampasan kemerdekaan 4. Tindakan disertai dengan ancaman, baik secara verbal maupun fisik 5. Adanya hutang atau bentuk ikatan lainnya 6. Penahanan upah atau upah tidak dibayar 7. Penyimpanan dokumen identitas

2.2. Pemenuhan Unsur Perbudakan Modern

Zaman semakin berkembang, tetapi hal tersebut tak serta merta menghilangkan beberapa fenomena yang telah populer sejak dahulu. Hal ini dapat diamati dari langgengnya praktik perbudakan yang telah ada sejak berabad-abad silam. Dewasa ini, perbudakan lebih dikenal dengan istilah Modern Slavery. Perbudakan modern (modern slavery) merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tentunya memiliki dampak yang negatif bagi kehidupan para korban. Perbudakan modern sendiri dapat diartikan sebagai

perekrutan, pemindahan, penerimaan anak-anak, perempuan, dan atau laki laki dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, penipuan, serta menggunakan cara-cara lainnya dengan maksud untuk mengeksploitasi.32 Berdasarkan Konvensi Anti Perbudakan (Anti-Slavery Convention) tahun 1926, Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa, “slavery is the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised.” Merujuk pada Pasal tersebut, dapat dikatakan perbudakan ialah kondisi dimana seseorang berada di bawah kekuasaan atau di bawah kepemilikan orang lain. Pada tahun 2012, terbit sebuah guidelines bernama Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery yang merangkum tolok ukur untuk mengetahui sejauh mana suatu hal dapat dikatakan sebagai perbudakan dipandang dari kacamata hukum. Menurut parameter yang tertera di dalam guidelines tersebut, suatu hal dapat dikatakan sebagai perbudakan modern apabila kebebasan individu seseorang hilang dikarenakan adanya orang lain yang memiliki kekuasaan dan mempunyai kepemilikan kontrol atas dirinya. Hak dan kemerdekaan yang dimiliki oleh suatu individu raib dan dirampas dengan cara kekerasan, penipuan, serta koersi atau pemaksaan. Adapun kepemilikan kontrol serta kekuasaan bertujuan untuk mengeksploitasi korban dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, baik keuntungan ekonomi, maupun keuntungan lainnya. Dalam kasus kerangkeng manusia eks-Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin (TRP), kekuasaan dalam perbudakan yang terjadi digolongkan sebagai kekuasaan de facto. Hal ini berdasarkan fakta bahwa korban-korban yang berada dalam kerangkeng tersebut datang bukan karena ditangkap pihak yang menguasainya, tetapi diserahkan secara sukarela oleh pihak keluarga mereka, walaupun tanpa sekehendak individu tersebut. Berdasarkan Konvensi Anti Perbudakan 1926, salah satu unsur yang paling krusial dalam perbudakan ialah hak kepemilikan (ownership/eigendom). Dalam kasus kerangkeng manusia kematian ini, penghuni-penghuninya secara terpaksa masuk ke dalam kerangkeng tersebut. Paksaan ini rata-rata datang dari pihak

32Elizabeth Such, Claire Laurent, dan Sarah Salway, “Research and Analysis Modern Slavery and Public Health,” https://www.gov.uk/government/publications /modern-slavery-andpublic-health/modern-slavery-and-public-health, diakses 22 Mei 2022.

keluarga dengan harapan para penghuni yang bermasalah di lingkungan masyarakat akan dibina sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Memang seperti angin segar bagi pihak keluarga yang telah putus asa menangani para korban, tetapi kenyataannya tidak seindah janji yang ditawarkan. Setelah masuk ke dalam kerangkeng, penghuni kehilangan hak kepemilikan atas dirinya sendiri, sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh seluruh manusia di muka bumi. Di dalam kerangkeng, mereka “dibina” menggunakan kekerasan dan tindakan-tindakan lain yang merendahkan martabat manusia. Menurut kesaksian korban, kekerasan yang diterima oleh para penghuni kerangkeng memiliki pola tertentu. Mereka mengalami kekerasan di periode awal masuk kerangkeng sebagai tindak pelonco dari penghuni lama kerangkeng serta dari pengelola kerangkeng, selanjutnya mereka akan mendapatkan kekerasan jika melawan dan melanggar aturan yang dibuat oleh pengelola kerangkeng dan keluarga TRP, lalu jika mencoba kabur, mereka juga mendapat kekerasan dengan intensitas yang berlebih. Kekerasan dengan intensitas berlebih ini seringkali didapatkan oleh para penghuni di periode awal masuk kerangkeng sebagai bentuk pelonco, sehingga mengakibatkan penghuni yang baru masuk 2-7 hari meninggal dunia.33 Tak hanya itu, kondisi kerangkeng tersebut jauh dari kata layak huni dan tempatnya tersembunyi di belakang kediaman TRP, sehingga lokasi kerangkeng tersebut akan menyulitkan para penghuni untuk kabur dari jeratan yang menyiksanya. Penghuni yang mencoba kabur pun bernasib buruk, karena setelah tertangkap, mereka akan dihukum menggunakan kekerasan yang jauh lebih intens jika dibandingkan dengan kekerasan yang biasa diterima oleh mereka selama menjadi penghuni kerangkeng. Bahkan, tim Komnas HAM telah merangkum sedikitnya 26 tindak kekerasan yang diterima para penghuni kerangkeng dan setidaknya menggunakan 18 alat. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa diksi “rehabilitasi” sangat jauh dari kenyataan. Mereka telah kehilangan kebebasan dan hak atas dirinya sendiri, terhitung sejak pihak keluarga yang menyerahkan mereka

33 Fitria Chusna Farisa, “Fakta Terbaru Kerangkeng Bupati Langkat: Ada Korban Jiwa Hingga Keluarga Diminta Tanda Tangan Surat Tidak Menuntut,” https://nasional.kompas.com/read/2022/01/31/09214151/fakta-terbaru-kerangkeng-bupati-langkatada-korban-jiwa-hingga-keluarga?page=all, diakses 23 Mei 2022.

menandatangani surat pernyataan untuk tidak menuntut jika para korban menderita sakit ataupun meninggal di dalam kerangkeng tersebut. Seakan-akan tidak cukup dengan berbagai bentuk penyiksaan dengan dalih “pembinaan”, pihak TRP dan pengelola kerangkeng juga memeras tenaga penghuni-penghuni tersebut untuk bekerja tanpa upah di perkebunan sawit milik keluarga TRP dan pabrik kelapa sawit yang bernama PT Dewa Rencana Peranginangin. Mereka bekerja sebagai pengelas dan penyortir tandan kelapa sawit, mencuci mobil, dan lain-lain tanpa upah yang pantas. Bahkan, mereka juga bekerja sebagai buruh bangunan dalam pembangunan rumah TRP serta pembangunan tempat pembinaan baru di belakang rumah TRP. TRP juga mengerahkan mereka untuk memasang spanduk dan baliho guna keperluan kampanyenya sebagai Bupati Langkat. Kerja keras mereka hanya dihargai sebuah extra pudding, tanpa diberikan upah dalam bentuk uang sama sekali. Para penghuni pun bekerja dengan paksaan dan tanpa kesukarelaan. Tentunya hal tersebut adalah implikasi dari rasa takut serta kerentanan penghuni kerangkeng akan tindak kekerasan dari pihak pengelola kerangkeng, karena diketahui mereka akan dihukum jika tidak mau bekerja maupun jika bekerja dengan bermalas-malasan. Tidak hanya bekerja untuk keluarga TRP saja, para penghuni juga dipekerjakan di lahan kebun sawit milik kolega keluarga TRP. Jika ditinjau menggunakan Supplementary Convention on the Abolition of Slavery (Institution and Practices Like Slavery) 1956, penghuni yang dipekerjakan tanpa upah di tempat lain ini mengindikasikan adanya praktik perbudakan dan praktik serupa perbudakan berupa perdagangan budak (slave trafficking). Selain itu, International Labour Organization (ILO) dalam konvensinya di Jenewa tahun 1930 juga melebarkan cakupan perbudakan. Dalam konvensi tersebut, kerja paksa (forced labour) dimasukkan sebagai salah satu bentuk perbudakan. Indonesia sebagai negara anggota PBB dan ILO telah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 1999. Berdasarkan konvensi tersebut, kerja paksa (forced labour) didefinisikan sebagai pekerjaan yang dikerjakan oleh orang yang di bawah ancaman sehingga orang tersebut tidak bekerja secara sukarela, melainkan dilakukan dengan ancaman dan rentan akan kekerasan. Praktik ini juga merupakan bagian dari perbudakan modern.

Unsur kepemilikan (ownership). Seperti yang telah tertulis di awal, menurut Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery, tolok ukur sebuah perbudakan ialah hilangnya hak kepemilikan seseorang atas tubuhnya sendiri sehingga menempatkan orang tersebut di dalam kendali dan kuasa orang lain. Adanya tindakan-tindakan seperti penyerahan korban oleh keluarga dengan menandatangani surat perjanjian tidak menuntut jika korban mengalami sakit atau kematian selama di kerangkeng, telah membuktikan bahwa hak kepemilikan seseorang atas tubuhnya telah direnggut. Perlakuan kekerasan dan ancamanancaman yang diterima oleh penghuni kerangkeng serta rasa ketidakberdayaan mereka untuk melawan maupun kabur dari tempat itu juga menegaskan adanya hilangnya rasa kepemilikan para korban atas dirinya sendiri, mereka ditempatkan di bawah kendali dan kekuasaan pihak pengelola kerangkeng. Maka dari itu, unsur kepemilikan (ownership) yang menyebabkan korban kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri telah terpenuhi. Unsur relasi kontrol. Selain hilangnya hak kepemilikan atas dirinya sendiri, unsur lain yang krusial untuk menentukan ada atau tidaknya perbudakan modern adalah eksistensi dari relasi kontrol yang kuat antara para korban dengan pihak yang menguasai dirinya. Pengurus kerangkeng mendapatkan relasi kontrol dari surat pernyataan yang telah ditandatangani oleh pihak keluarga sebelum para korban didatangkan ke kerangkeng tersebut. Dengan surat pernyataan yang mewajibkan mereka untuk tidak menuntut, para penguasa di kerangkeng dapat mengontrol korban serta keluarga korban secara sewenang-wenang. Relasi kontrol ini tampak jelas melalui perlakuan keji mereka terhadap penghuni kerangkeng seperti melakukan kekerasan, mengancam penghuni yang tidak ingin bekerja, serta sanksisanksi tidak manusiawi lainnya yang diberlakukan terhadap para penghuni kerangkeng. Dengan demikian, hadirnya unsur relasi kontrol di perbudakan dalam kasus kerangkeng manusia ini juga telah terpenuhi. Unsur eksploitasi. Unsur terakhir yang sama pentingnya dengan unsur lain adalah unsur eksploitasi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (7) telah mendefinisikan eksploitasi sebagai:34

34 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720, Ps. 1.

Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Sehingga, dalam kasus ini, eksploitasi dapat dikatakan sebagai tindakan yang terjadi tanpa persetujuan korban berupa kerja paksa serta perbudakan dan praktik serupa perbudakan untuk mendapatkan keuntungan materiil dan immateriil. Unsur ini telah jelas terlihat dengan adanya kerja paksa yang berkedok sebagai tindakan pembinaan terhadap penghuni kerangkeng yang dilakukan oleh aktor-aktor yang mengurus dan berwenang atas kerangkeng tersebut, tidak lain adalah pihak TRP sendiri. Adapun tenaga mereka dieksploitasi dalam perkebunan sawit, pabrik CPO milik pihak keluarga TRP, perkebunan sawit milik kolega keluarga TRP, pembangunan rumah TRP serta tempat pembinaan baru, dan proyek kampanye TRP sebagai Bupati Langkat yaitu pemasangan baliho dan spanduk tanpa upah yang pantas. Mereka juga melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut bukan tanpa persetujuan dan kesukarelaan, melainkan karena adanya ancaman kekerasan yang dilayangkan oleh pihak-pihak pengurus kerangkeng. Atas eksploitasi yang dilakukan terhadap penghuni-penghuni kerangkeng, pihak TRP telah mendapatkan profit materiil berupa uang serta profit immateriil berupa networking serta keberpihakan dari kolega-kolega lain yang perkebunan sawitnya dikerjakan oleh penghuni kerangkeng, yang diharapkan akan membantu TRP dalam melanggengkan kekuasaan di kemudian hari. Dengan demikian, jika kasus kerja paksa tersebut dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (7) UU TPPO, maka unsur eksploitasi telah terpenuhi. Dikarenakan terpenuhinya seluruh tolok ukur perbudakan modern secara hukum, besar dugaan telah terjadi praktik perbudakan modern dan praktik serupa perbudakan di dalam kerangkeng kematian Langkat tersebut. Padahal, hukum nasional di Indonesia telah melarang segala bentuk perbudakan. Larangan mengenai perbudakan ini telah tersurat di dalam konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya di Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi:35

35 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28I ayat (1).

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Konstitusi Indonesia secara tegas melarang perbuatan yang dapat mengurangi kadar HAM seseorang, tak terkecuali perbudakan serta praktik serupa perbudakan yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, sebagai negara anggota ILO, Indonesia diwajibkan untuk turut serta mencegah praktik eksploitasi perbudakan berupa kerja paksa lewat ILO Convention No. 105 Concerning the Abolition of Forced Labour yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999.

Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga telah mengecam praktik perbudakan dengan melarang satu orang pun untuk diperbudak serta melarang semua jenis tindakan perbudakan (modern slavery) seperti kerja paksa (forced labour) dan perdagangan orang (human trafficking), dan praktik serupa perbudakan (practices similar to slavery) seperti perdagangan budak. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan dalam sidang PBB tahun 16 Desember 1966 juga seakan menegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2) serta ayat (3) bahwa tidak seorang pun boleh untuk diperbudakan. Indonesia yang turut meratifikasi kovenan ini ke Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20115 pun berkewajiban untuk memberantas segala tindak perbudakan modern.

2.3. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan orang (human trafficking) merebak tak terkendali akan perkembangan peradaban manusia kian cepat menjadikan kejahatan tersebut sebagai salah satu dari lima kejahatan terbesar di dunia yang harus ditumpas habis akibat imbasnya tidak hanya pada aspek ekonomi, melainkan mencakup aspek politik, budaya, serta kemanusiaan.36 Dinamika dan perkembangan teknologi di negara maju memunculkan modus baru perdagangan manusia menyebabkan liabilitas bagi negara-negara di dunia hingga perdagangan manusia sudah tergolong

36 Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang : Dimensi, Instrumen Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia, cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm 1.

kejahatan transnasional. Dalam konteks masa kini, perbudakan telah berevolusi menjadi bentuk perdagangan orang. Pada tingkat nasional maupun internasional, perdagangan manusia dikategorikan sebagai perbudakan modern. Di Indonesia sendiri ditemukan dua bentuk perdagangan orang yaitu perdagangan orang dengan tujuan kerja paksa dan perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual.37 Seakan membuka kotak pandora, kebengisan mantan Bupati Langkat TRP tersua pasca proses OTT oleh KPK terhadap TRP selaku tersangka suap penerimaan uang.38 Penggeledahan rumah pribadi TRP di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara telah menggemparkan publik akan temuan kerangkeng berisikan 57 manusia.39 Disamping kejahatan kerah putih, TRP tertangkap basah terjaring sebagai pelaku dugaan praktik perbudakan modern.40 Kerja paksa yang dialami korban menunjukkan indikasi eksploitasi hingga berpijak pada ranah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Larangan perbudakan di Indonesia telah diatur dalam hukum nasional Indonesia yang termaktub pada Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Menilik lebih dalam, pengertian perbudakan tercantum pada penjelasan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang PTPPO bahwa perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain.41 Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007, pelaku perbudakan dapat dijatuhkan hukuman bahwa: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

37 Ibid., hlm. 4. 38 Ali Akhmad Noor Hidayat, “Sempat Kabur, Begini Kronologis OTT Bupati Langkat,” https://nasional.tempo.co/read/1551861/sempat-kabur-begini-kronologis-ott-bupatilangkat/full&view=ok, diakses 20 April 2022. 39 Ibid. 40 Anugrah Adriansyah, “Mantan Bupati Langkat Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia,” https://www.voaindonesia.com/a/mantan-bupati-langkat-jadi-tersangka-kasuskerangkeng-manusia/6516247.html, diakses 20 April 2022. 41 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4270.

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).” (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pada tulisan ini akan dipaparkan pembuktian unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 terhadap TRP secara lebih rinci. Unsur setiap orang. Perseorangan (natuurlijke persoon) adalah setiap orang sebagai subyek hukum pidana yang mampu bertanggungjawab atas dugaan melakukan suatu tindak pidana.42 Dalam kasus ini demi menentukan apakah TRP dapat dipertanggungjawabkan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka perbuatan TRP harus memenuhi rumusan unsur delik berikutnya yang akan dijabarkan secara lebih lanjut. Selanjutnya, unsur melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia. Oleh karena unsur yang telah disebutkan bersifat alternatif, maka tulisan ini hanya akan membuktikan unsur yang terbukti berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh penulis. Unsur penggunaan kekerasan. Kekerasan merupakan setiap perbuatan melawan hukum dengan atau tanpa sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.43 Kekerasan fisik terhadap para korban perdagangan manusia di kediaman TRP dilakukan dengan pelaku yang berbeda-beda. Hasil investigasi menunjukkan keterlibatan anggota keluarga TRP serta oknum anggota

42 Chidir Ali, Badan Hukum (Rechtpersoon), (Alumni: Bandung, 2005), hlm.14. 43 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720.

TNI/Polri sebagai pelaku penyiksaan.44 Bentuk penyiksaan yang dialami korban pun juga berbeda-beda. Mr. M. H. Tirtaamidjaja mendefinisikan penganiayaan sebagai kesengajaan menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan tetapi tidak dianggap penganiayaan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan keselamatan badan.45 Kesengajaan yang dikehendaki adalah kesengajaan sebagai maksud atau opzet. Menilik keterangan para korban, penganiayaan yang dilakukan dalam kerangkeng manusia TRP cenderung merupakan penyiksaan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (inhuman and degrading treatment) dengan mana pelaku menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan diikuti dengan akibatnya. Komnas HAM mendapati bukti setidaktidaknya 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, serta perlakuan yang merendahkan martabat berupa: (1) Dipukuli di bagian rusuk, (2) dipukuli di bagian kepala, (3) dipukuli di bagian muka, (4) dipukuli di bagian rahang, (5) dipukuli di bagian bibir, (6) ditempeleng, (7) ditendang, (8) diceburkan ke kolam ikan di depan sel setelah mengalami penyiksaan (luka basah), direndam di kolam ikan di depan sel dengan pemberat; (9) disuruh bergelantungan di kerangkeng seperti monyet (gantung monyet); (10) dicambuk anggota tubuhnya (badan, tangan dan kaki) dengan selang; tangan dan mata dilakban; (11) jari kaki dipukul dengan palu; (12) kuku jari kaki dicopot dengan tang;

44 Rizki Sandi Saputra, “Temuan LPSK: Anak Terbit Rencana Diduga Turut Lakukan Kejahatan Fisik,” https://www.tribunnews.com/nasional/2022/03/16/temuan-lpsk-anak-terbitrencana-diduga-turut-lakukan-kejahatan-fisik, diakses 21 April 2022. 45 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), cet. 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm 6.

(13) dipaksa tidur di atas daun/ulat jelatang. (14) dipaksa makan cabai, (15) disembur cabai kunyahan, (16) disuruh memakan garam, (17) ditetesi jeruk nipis di atas luka basah, (18) dibakar bulu kemaluan dengan korek, (19) ditetesi dengan plastik terbakar, (20) disundut dengan besi panas, (21) disundut rokok yang menyala (punggung dan kemaluan), (22) disetrum, (23) disuruh push up di atas lilin dengan beban tubuh penghuni lain, (24) dimasukkan ke kerangkeng anjing dan disemprot air, (25) dipaksa sikap taubat.46 Salah satu tersangka memaksa penghuni kerangkeng untuk berhubungan seksual sesama jenis untuk kemudian direkam oleh pelaku.47 Beberapa korban dilaporkan menderita cacat fisik akibat penyiksaan yang dialami. Terdapat kemungkinan bentuk penyiksaan yang dialami korban lain di lapangan jauh lebih sadis dan keji. Di antara banyaknya korban, beberapa mengalami penyiksaan berujung kematian. Korban tewas meninggal dunia dalam kerangkeng dikonfirmasi berjumlah enam orang dan berpotensi bertambah. Leden Marpaung menyatakan bahwa dalam hukum pidana terdapat tiga bentuk concursus yaitu concursus idealis (eendaadsche samenloop), concursus realis (meerdaadsche samenloop), dan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) yang pengaturannya terdapat dalam tiga pasal yang berbeda-beda pada Pasal 64, 65, dan 66 KUHP.48 Dalam kasus ini, sistem pemberian pidana yang ditangguhkan pada pelaku menggunakan concursus idealis melalui sistem absorbsi dengan mana pelaku hanya didakwakan pidana pokok yang terberat. Berdasarkan fakta-fakta

46 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 8. 47 Mahdiyah, “Dipaksa Lomba Onani hingga Kunyah Cabai Setengah Kilogram, Terungkap Penghuni 'Kerangkeng Manusia' Bupati Langkat Ternyata Alami Kekerasan Sadis, LPSK Ungkap Hal Mengejutkan Ini,” https://www.grid.id/read/043179760/dipaksa-lomba- onanihingga-kunyah-cabai-setengah-kilogram-terungkap-penghuni-kerangkeng-manusia-bupatilangkat-ternyata-alami-kekerasan-sadis-lpsk-ungkap-hal-mengeju?page=all, diakses 20 April 2022. 48 Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

hlm 32.

yang ada, pelaku tindak pidana penganiayaan yang terjadi dalam kerangkeng manusia TRP dapat didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sementara, pelaku pemaksaan sodomi dapat dikenakan pelanggaran Pasal 289 KUHP yang memaksakan perbuatan cabul. Oleh KUHP, Pasal 289 digolongkan sebagai perbuatan yang melanggar kesopanan (Engelbrecht) atau perbuatan yang menyerangan kehormatan kesusilaan.49 Disamping itu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang dirumuskan pada Pasal 351 ayat (3) KUHP.50 Unsur penyekapan. Penempatan korban di tempat singgah tertutup bagi TRP merupakan penahanan untuk tujuan perlindungan. TRP membantah keberadaan kerangka manusia serupa penjara sebagai lokasi perbudakan, melainkan sebagai tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba yang telah didirikan dari tahun 2010.51 TRP menegaskan bahwa kerangkeng tersebut adalah tempat pembinaan untuk meningkatkan skill agar kemudian bisa dimanfaatkan di luar pembinaan.52 Berkenaan dengan pendetensian, hukum internasional dengan tegas menyatakan bahwa pendetensian atau penahanan adalah kehilangan kebebasan pribadi kecuali akibat dari pengenaan hukuman karena pelanggaran yang diperbuat.53 Kehilangan kebebasan pribadi yang dikehendaki adalah situasi dimana korban perdagangan manusia ditahan.

Kerangkeng berupa sel penjara di kediaman TRP berjumlah dua unit berukuran sekitar 6x6 meter per unit ruangan.54 Menilik kondisi terakhir, kerangkeng unit 1 berisikan 30 penghuni, sementara unit 2 berisikan 27 orang dengan mana total penghuni kerangkeng pada saat itu adalah 57 orang.55 Lantai ruangan dibuat dengan keramik, tempat tidur dibangun dengan dua panggung papan

49 Swingly Sumangkut, “Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Perbuatan Cabul Menurut Pasal 289 KUHP,” Lex Crimen Vol. 3 No. 1 (Jan 2018), hlm 191. 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Moeljatno, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2021), Ps. 289. 51 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 7. 52 Kuswandi, “Bantah Lakukan Perbudakan, Bupati Langkat: Hanya Memberikan Skill,” https://www.jawapos.com/nasional/07/02/2022/bantah-lakukan-perbudakan-bupati-langkat-hanyamemberikan-skill/, diakses 20 April 2022. 53 UN General Assembly, Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment yang disahkan berdasarkan Resolusi Sidang Umum No. 43/173, 9 Desember 1988. 54 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 2. 55 Ibid., hlm. 2.

berdampingan dengan tempat mandi, cuci, kakus (MCK) yang hanya dibatasi tembok setinggi 1x2 meter.56 Keadaan sel tersebut menunjukkan ketidaklayakan untuk dihuni, terlebih sangat melenceng dari tujuan tempat pembinaan. Korban diperlakukan sebagai tahanan dalam kerangkeng terkunci dimana terdapat keterbatasan waktu kunjungan keluarga, larangan membawa alat komunikasi, serta larangan melakukan kegiataan keagamaan di luar sel. Pendetensian dapat menjadi suatu pelanggaran HAM dalam beberapa situasi tertentu. Pertama, pendetensian tidak secara khusus termuat dalam undangundang atau melanggar undang-undang.57 Berdasarkan fungsi perizinan dan pengawasan, panti rehabilitasi yang digaungkan oleh TRP tidak memiliki izin untuk melakukan rehabilitasi. Kedua, pendetensian dilakukan secara diskriminatif.58 Pada faktanya, penghuni dalam sel tidak hanya pecandu narkotika saja, melainkan diantaranya berlatar masalah judi, mabuk, dan masalah-masalah sosial lainnya. Bahkan, beberapa penghuni kerangkeng dijebloskan hanya karena memiliki masalah pribadi dengan TRP seperti utang piutang, pencurian sawit, serta suksesi pemenangan.59 Ketiga, pendetensian dilakukan dalam jangka waktu berkepanjangan, tidak jelas, atau bahkan tidak tentu.60 Kumpulan pernyataan korban penyiksaan TRP membawa tim Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya tidak ada jalan pulang bagi penghuni kerangkeng TRP kecuali menyuap, melarikan diri, dan meninggal dunia.61 Di awal pendetensian terdapat perjanjian jangka waktu pembinaan. Akan tetapi, perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan jaminan sebab beberapa korban tidak dipulangkan walaupun waktu pembinaan telah melampaui batas waktu perjanjian.

56 Ibid., hlm. 2. 57 United Nations, Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary (New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010), hlm. 135. 58 Ibid. 59 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 4. 60 United Nations, Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary (New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010), hlm. 135. 61 Rizky Suryandika, “LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya Menyuap, Kabur, atau Mati,” https://www.republika.co.id/berita/r8njx9409/lpsk-jalan -pulangkorban-kerangkeng-bupati-langkat-hanya-menyuap-kabur-atau-mati, diakses 20 April 2022

Keempat, pendetensian bersifat tidak adil dan tidak proporsional.62 Para korban dipaksa bekerja dari pukul 08.00-17.00 WIB kemudian dilanjutkan 20.0008.00 WIB, sialnya bagi korban pada shift malam mengharuskan mereka bekerja 24 jam.63 Kelima, pendetensian tidak dapat dilakukan peninjauan kembali oleh pengadilan yang dapat menegaskan keabsahannya dan kebutuhannya secara terus menerus.64 Aktivitas dalam kerangkeng tidak menunjukkan adanya kegiatan rehabilitasi bagi pecandu narkotika.65 Kondisi kerangkeng TRP mengindikasikan bahwa penahanan yang dilakukan pelaku memenuhi kelima situasi dimana pendetensian dapat dianggap melanggar HAM sehingga dapat dikategorikan dalam ranah pelanggaran HAM. Pendetensian yang dilakukan TRP terbukti tidak memiliki keabsahan yang jelas serta tidak mendasar. Unsur pemalsuan. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengemukakan lokasi kerangkeng TRP ilegal karena tidak memenuhi standar dan persyaratan dalam peraturan menteri terkait tempat rehabilitasi pecandu narkotika.66 Jika TRP bersikeras kerangkeng tersebut sebagai tempat pembinaan, model pembinaan yang dimaksud tidak dilengkapi metode penanganan kecanduan orang terhadap narkotika. Dalam rehabilitasi, pecandu akan melalui proses detoksifikasi agar kemudian dapat membentuk antibodi dan memperbaiki sel yang rusak akibat narkoba.67 Pecandu narkotika seharusnya menjalani beberapa program, salah satunya adalah therapeutic communities (TC).68 Sedangkan Komnas HAM tidak menemukan adanya pengobatan rehabilitasi ketergantungan narkoba maupun penangan terhadap pengguna narkoba. Merujuk Standar Internasional United Nations International Drug Control Programme (UNODC) dan World Health Organization (WHO) untuk Pengobatan Gangguan Penyalahgunaan Napza terdapat

62 United Nations, Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary (New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010), hlm. 136. 63 Detik, "Kerangkeng Bupati Langkat, Ini 4 Temuan Sadis yang Dipaparkan LPSK" https://news.detik.com/berita/d-5976561/kerangkeng-bupati-langkat-ini-4-temuan-sadis-yangdipaparkan-lpsk, diakses 20 April 2022. 64 Ibid. 65 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 4. 66 BBC, “Kerangkeng manusia di Langkat 'bukan tempat rehab' sebut BNN,” https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-60141417, diakses 21 April 2022. 67 Insan Firdaus, “Analisa Kebijakan Optimalisasi Pelaksanaan Rehabilitasi Narkotika di Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 14 No. 3 (November 2020), hlm 486. Hlm. 469-492. 68 Ibid., hlm. 486.

prinsip-prinsip rehabilitasi narkotika. Kerangkeng manusia TRP bukanlah solusi, bahkan melenceng dari standar rehabilitasi tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penanganan pecandu narkotika seharusnya melalui proses peradilan dan hukum acara pidana Indonesia yang merupakan kewenangan hakim untuk mendakwahkan vonis kepada pecandu agar menjalani rehabilitasi sebagai pelaku tindak pidana sekaligus korban.69 Berdasarkan perspektif viktimologi, pecandu narkotika disebut dengan self victimization atau victimless crime dengan mana pecandu didudukan sebagai korban dan bukan kriminal.70 Menurut hemat penulis, kejahatan yang dilakukan TRP terhadap para pecandu narkoba dan korban lainnya dengan latar belakang masalah sosial merupakan suatu tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Penghakiman oleh TRP merupakan perbuatan sewenang-wenang terhadap orang yang dianggapnya melakukan kejahatan tanpa melewati proses hukum yang sah. Unsur penipuan. Perjanjian menurut Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak mengikatkan dirinya terhadap pihak lain diikuti kewajiban untuk dilaksanakan.71 TRP mempromosikan pembinaan bagi pecandu narkoba dilakukan melalui pendekatan keagamaan dan sosial, serta pembinaan tanpa biaya alias gratis.72 Dengan iming-iming tersebut membuka secercah harapan bagi keluarga penghuni kerangkeng. Tindakan TRP dapat diklasifikasikan sebagai penipuan (bujuk rayu). Orang yang hidup dalam kemiskinan biasanya menjadi sasaran empuk untuk dimanipulasi oleh para perekrut perdagangan manusia. Dalam kasus ini, TRP menggaet keluarga pecandu narkoba dengan janji pembinaan. Pun dengan pembinaan, keluarga dengan masalah sosial lain seperti

69 Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN. No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062. 70 Lysa Anggriani dan Yusliati, Efektivitas Rehabilitas Pecandu Narkotika serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Kejahatan di Indonesia, cet. 1. (Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2018), hlm. 5. 71 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014),Ps. 1313. 72 Elza Astari Retaduari, “Sebut Kerangkeng Manusia untuk Rehabilitasi Narkoba, Bupati Langkat Ngaku Sudah Bina Ribuan Orang,” https://nasional.kompas.com/read/ 2022/01/25/18513341/sebut-kerangkeng-manusia-untuk-rehabilitasi-narkoba-bupati-langkatngaku?page=all, diakses 21 April 2022.

ekonomi lemah, keputusasaan keluarga, mengalami ancaman atau tindak kekerasan atas saran dan rekomendasi lingkungan juga turut serta memasukkan keluarganya walaupun bukan pecandu. Bentuk ikatan dalam kasus TRP berupa suatu pernyataan surat bermaterai yang ditandatangani oleh pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng terkait batas waktu dalam kerangkeng.73 Akan tetapi, perjanjian tersebut sesungguhnya tidak menjamin kebebasan korban sebab kerap kali dilanggar.74 Butir-butir poin dalam surat perjanjian menunjukkan beberapa kejanggalan. Salah satu klausul tersebut berbunyi bahwa keluarga dilarang mengunjungi penghuni selama batas waktu yang ditetapkan.75 Dalam hal ini penghuni tidak dipulangkan selama satu setengah tahun. Klausul lainnya menyatakan bahwa pihak keluarga tidak boleh menuntut apabila penghuni sakit ataupun meninggal dunia. 76 Persetujuan atas hal tersebut menandakan leluasa penuh untuk memperlakukan penghuni diluar batas wajar hingga berujung kematian. Kedua klausul tersebut sudah cukup menunjukkan tanda-tanda perdagangan orang. Unsur penyalahgunaan kekuasaan. Ancaman kekerasan merupakan setiap perbuatan melawan hukum dengan ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.77 Pengekangan kebebasan hakiki adalah ekspresi daripada pengancaman sebagai perampasan terhadap hak asasi manusia. Pengancaman melahirkan akibat bagi orang lain tidak dapat berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan sesuatu yang tidak dikehendaki orang tersebut karena tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menolak sesuatu di luar

73 Rizky Suryandika “LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya Menyuap, Kabur, atau Mati,” https://www.republika.co.id/berita/r8njx9409/lpsk-jalan-pulangkorban-kerangkeng-bupati-langkat-hanya-menyuap-kabur-atau-mati, diakses 20 April 2022 74 Ibid. 75 Faryyanida Putwiliani, “Poin Perjanjian Keluarga Penghuni Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Tak Boleh Menuntut & Menjemput,” https://www.tribunnews.com/ regional/2022/01/31/poin-perjanjian-keluarga-penghuni-kerang, diakses 21 April 2022. 76 Ibid. 77 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720.

kendalinya.78 Dalam ranah perdagangan orang, istilah ‘melarikan diri’ merujuk pada kondisi ketika korban membebaskan diri dari pelaku perdagangan manusia. Pada kasus TRP, tidak sedikit korban yang mencoba untuk melepaskan diri dari jeratan siksaan TRP. Kendati demikian, terdapat tim pemburu dengan sigap akan mencari dan menjemput paksa korban yang kabur.79 Tim pemburu terdiri atas anak buah TRP, anak buah anak TRP, serta oknum aparat. Tim pemburu juga turut serta mengancam keluarga korban yang kabur untuk menggantikan posisi dalam kerangkeng.80 Di luar kerangkeng korban mengaku pernah diancam ditembak mati oleh TRP ketika korban sedang beristirahat di sela-sela bekerja.81 Berdasarkan keterangan saksi dari proses investigasi, maka tindak pidana pengancaman yang dilakukan berbagai oknum merupakan bentuk pelanggaran ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP.

Unsur untuk tujuan mengeksploitasi orang di wilayah Negara Republik

Indonesia. Menarik definisi dari Pasal 1 ayat 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.82

Hakikat hukum nasional pelanggaran kerja paksa termaktub dalam UndangUndang Dasar 1945, yaitu: (1) Pasal 27 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”83

78 Al Furqon, “Yuridis terhadap Tindak Pidana Pengancaman yang dilakukan Secara Bersama-sama,” Jurnal Hukum Volkgeist Mimbar Pendidikan Hukum Nasional Vol. 2 No.2 (April 2018), hlm. 2. 79 Eko Ari Wibowo, “Kasus Kerangkeng, LPSK Perkirakan Bupati Langkat Raup Untung Rp 177,5 Miliar,” https://nasional.tempo.co/read/1569396/ kasus-kerangkeng-lpsk-perkirakanbupati-langkat-raup-untung-rp-1775-miliar, diakses 21 April 2022. 80 Ibid. 81 Ibid. 82 Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN N0. 4729, Ps, 1. 83 Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Ps. 27 ayat (2).

(2) Pasal 28D ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.84

(3) Pasal 28E ayat (1) bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”85

Konvensi Kerja Paksa International Labour Organization (ILO) mendefinisikan kerja paksa sebagai segala bentuk pekerjaan maupun layanan atas permintaan dari siapapun di bawah ancaman hukuman dimana orang bersangkutan tidak menawarkan dirinya secara sukarela.86 Berangkat dari upaya perlindungan hak pekerja migran, terdapat enam indikator utama untuk menunjukkan elemenelemen kemungkinan situasi kerja paksa yang dipaparkan oleh International Labour Organization (ILO), antara lain adalah kekerasan fisik, membatasi kebebasan bergerak, ancaman, hutang dan bentuk ikatan lainnya, penahanan upah atau upah tidak dibayar, dan penyimpanan dokumen identitas.87 Menarik benang merah dengan kasus dugaan perbudakan TRP, TRP menampakkan hubungan kerja rodi dengan tujuan eksploitasi tenaga kerja atau kerja paksa sebagai bentuk perbudakan. Dalam kerangkeng TRP tersirat hubungan kerja rodi antara TRP dan para korban. Korban dituntut untuk bekerja keras dengan waktu yang berlebih, akan tetapi tidak diberi upah. Kesengajaan TRP dalam tidak menggaji pekerja merupakan sindikat eksploitasi. Pada kasus TRP, perdagangan orang sudah sampailah pada tahap eksploitasi. Praktek eksploitasi pada Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan didefinisikan sebagai berikut:88 Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,

84 Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Ps. 28D ayat (2). 85 Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Ps. 28E ayat (1). 86 International Labour Organization, Konvensi Kerja Paksa ILO, K29 (1930), Ps. 2 ayat

(1).

87 Beate Andreas, Kerja Paksa dan Perdagangan Orang: Buku Pedoman untuk Pengawas Ketenagakerjaan (International Labour Organization, 2014), hlm. 18. 88 Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN N0. 4729, Ps, 1 ayat (7).

pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Penanda utama terjadinya perbudakan adalah terjadinya epemaksaan korban untuk bekerja dari pukul 08.00-17.00 WIB kemudian dilanjutkan 20.0008.00 WIB.89 Peraturan tersebut menunjukkan bahwa korban pada shift malam bekerja 24 jam. Dari matahari terbit hingga terbenam, para korban dipaksa bekerja di pabrik pengolahan sawit milik TRP tanpa upah dan makanan yang layak. Penghuni kerangkeng dipekerjakan di pabrik atau buruh kebun kelapa sawit untuk mengelas dan sortir tandan sawit, menjadi juru parkir, supir, mencuci mobil, membersihkan ruangan pabrik buah sawit, mengelas, membersihkan peralatan dan lain sebagainya. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai buruh bangunan untuk pembangunan rumah milik TRP, menguruk tanah di sekitar lokasi kerangkeng untuk rencana pembangunan tempat pembinaan yang baru, memasang atribut kampanye untuk keperluan pencalonan TRP sebagai Bupati Langkat. Kerja paksa yang dialami para penghuni kerangkeng tidak setara dengan upah yang hanya berupa ekstra puding tambahan. Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 telah memandatkan bahwasanya hak kemanusiaan manusia tidak boleh dilanggar. Dipekerjakan tanpa upah merupakan bentuk eksploitasi dalam TPPO. LPSK mengakumulasikan apabila praktik perbudakan modern TRP telah berlangsung selama 10 tahun terakhir dan terdapat 600 korban yang dipekerjakan tanpa gaji, maka Bupati Langkat disinyalir meraup keuntungan sebesar 177,5 miliar rupiah.90 Oleh karena semua unsur dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah terpenuhi. Berdasarkan pemaparan diatas, maka menurut hemat penulis tindak pidana yang dilakukan TRP, yaitu melakukan tindak pidana perdagangan orang melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007.

89 Detik, "Kerangkeng Bupati Langkat, Ini 4 Temuan Sadis yang Dipaparkan LPSK" https://news.detik.com/berita/d-5976561/kerangkeng-bupati-langkat-ini-4-temuan-sadis-yangdipaparkan-lpsk, diakses 20 April 2022. 90 Detiks, “LPSK: Bupati Langkat Untung Rp 177,5 M dari Perbudakan di Kerangkeng" https://news.detik.com/berita/d-5977927/lpsk-bupati-langkat-untung-rp-1775-m-dari-perbudakandi-kerangkeng, diakses 20 April 2022.

2.4. Polemik Kasus Kerangkeng Manusia sebagai Kasus Pelanggaran HAM

Berat

Pelanggaran HAM berat pada undang-undang tersebut dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan merupakan tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity adalah salah satu dari perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil dengan mana salah satu perbuatannya adalah perbudakan (huruf c).91 Seperti yang tertera pada Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perbudakan dapat dikategorikan menjadi kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat jika terpenuhinya unsur-unsur yang ada seperti penjelasan di bawah.

Unsur Serangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), serangan dapat diartikan sebagai tindakan mendatangi untuk melawan atau melukai.92 Dalam Statuta Roma kata serangan disepadankan dengan kata attack yang memiliki arti melukai atau memberikan nestapa terhadap seseorang dengan kekerasan.93 Menurut hemat pikir Penulis, serangan dapat diartikan sebagai kesengajaan untuk memberikan penderitaan terhadap seseorang baik dengan kekerasan secara langsung maupun melalui perpanjangan tangan orang lain. Hadirnya unsur serangan juga memberikan indikasi adanya kesengajaan, niat, dan persiapan untuk menyerang seseorang dengan kuasa ataupun kekerasan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat sesuai fakta yang didapatkan Penulis hingga saat tulisan ini dibuat, tidak ada fakta yang menunjukan adanya bentuk serangan yang sengaja ditujukan, direncanakan, bahkan ditargetkan secara spesifik terhadap korban. Korban secara sukarela atau diserahkan keluarga secara sukarela dan tanpa paksaan sekalipun dengan informasi dan pandangan terhadap kerangkeng yang salah (atau dapat dikatakan sukarela dengan tipuan)

91 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN NO. 1426, Ps. 9. 92 KBBI, “Serangan,” https://kbbi.web.id/serangan, diakses 23 Mei. 93 Cambridge Dictionary, “Attack,” https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/ attack, diakses 23 Mei.

datang menyerahkan diri untuk dibina di kerangkeng manusia ini. Tidak ada indikasi dari Bupati Langkat maupun oknum lainnya dengan sengaja menargetkan suatu individu untuk diserang dan dijadikan budak, melainkan oknum yang terlibat hanya mengambil manfaat dari kemalangan nasib orang yang tertipu dengan citra terminologi ‘pembinaan’ yang cukup baik. Dapat disimpulkan, kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat tidak memenuhi unsur serangan. Unsur meluas atau sistematik. Tidak ada batasan dalam menentukan sifat meluas atau sistematis.94 Unsur ini dapat diartikan adanya sebuah kejahatan yang terencana dan tersusun. Dalam kasus Bupati Langkat, Komnas HAM menemukan bahwa keberadaan kerangkeng manusia telah didesain layaknya lembaga pemasyarakatan (lapas) yang terdiri dari Pembina, Kalapas, Kepala Kamar, Besker, dan Keamanan.95 Dalam kerangkeng manusia ini pun terdapat perpeloncoan dari penghuni lama terhadap penghuni baru layaknya senior junior di lapas umum. Selain dari kerangkeng manusia itu sendiri, para korban juga dipekerjakan di sebuah perusahaan kelapa sawit milik Bupati Langkat TRP yaitu PT Dewa Rencana Parangin-angin.96 Hal ini menunjukan bahwa setiap korban yang diserahkan untuk dibina sudah secara pasti akan dipekerjakan secara paksa di perusahaan ini untuk dapat dieksploitasi jasanya seperti budak. Selain itu terdapat keterlibatan anak Bupati Langkat TRP, oknum TNI, Polisi, hingga Satpol PP dalam kasus ini menurut hasil investigasi LPSK yaitu, keterlibatan Letnan Kolonel (Letkol) Inf WS, Pembantu Letnan Satu (Peltu) SG, Sersan Mayor (Serma) R, Sersan Kepala (Serka) PT, Sersan Satu (Sertu) LS, Sertu MFS, dan Sersan Dua (Serda) WN dalam TPPO TRP.97 Keterlibatan pihak aparat ditunjukkan melalui hubungan Letkol Inf WS yang merupakan rekan bisnis TRP, Peltu SG sebagai pelaku penganiayaan terhadap penghuni kerangkeng, Serma R selaku pihak yang mengawasi dan mengamankan judi togel TRP, Sertu LS

94 Arista Candra Irawati, “Tinjauan terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (Gross Violation of Human Rights) dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Aceh,” Adil Indonesia Jurnal Vol. 1 No. 1 (Januari 2019), hlm. 4. Hlm. 1-8. 95 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 7. 96 Ibid., hlm. 10. 97 Okto Rizki Alpino, “LPSK: 7 Prajurit TNI dan 5 Anggota Polri Diduga Terlibat Kasus Kerangkeng Bupati Langkat,” https://nasional.sindonews.com/read/707911/13/lpsk-7- prajurit-tnidan-5-anggota-polri-diduga-terlibat-kasus-kerangkeng-bupati-langkat-1646834621, diakses 22 April 2022.

menganiaya penghuni kerangkeng yang mencoba kabur dan kemudian tertangkap, Sertu MFS selaku tim pemburu penghuni kerangkeng yang kabur, dan Serda WN sebagai pelaku penganiayaan. Selain daripada oknum-oknum tersebut, beberapa instansi pemerintahan di daerah Langkat setempat seperti BNNK Langkat, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, dan Dinas Sosial juga turut mengetahui keberadaan praktik ini tetapi tidak mengambil tindakan apapun.98 Fakta-fakta di atas merupakan bukti kuat bahwa kejahatan ini dilakukan secara sangat rapih dan tersistem. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa unsur meluas atau sistematik terpenuhi. Unsur ditujukan kepada penduduk sipil. Penghuni dalam sel tidak hanya pecandu narkotika saja, melainkan diantaranya berlatar masalah judi, mabuk, dan masalah-masalah sosial lainnya yang dalam hal ini merupakan warga sipil. Warga sipil yang menjadi korban pun memiliki kesamaan latar belakang yaitu berasal dari golongan ekonomi bawah, keluarga korban telah putus asa dan membutuhkan bantuan yang gratis.99 Dari analisa diatas, maka dapat ditarik benang merah bahwa penyiksaan yang berujung kematian dua warga sipil (per 2 Maret 2022) di kerangkeng termasuk dalam pemenuhan unsur serangan ditujukan kepada penduduk sipil. Dari ketiga unsur yang terdapat dalam Kejahatan Kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya dua yang terpenuhi. Adapun unsur yang terpenuhi adalah unsur sistematik dan unsur ditujukan kepada penduduk sipil. Unsur serangan yang menjadi titik berat dari pengertian Kejahatan Kemanusiaan tidak terpenuhi dalam kasus ini. Maka, dapat disimpulkan bahwa kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat bukan merupakan kasus pelanggaran HAM berat.

98 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 5. 99 Ibid., hlm. 13.

III. PENUTUP

Pihak TRP, terhitung sejak 2010 telah membangun dan mengoperasikan kerangkeng tersebut dengan kedok tempat pembinaan pecandu narkoba. Namun, pada kenyataannya, kerangkeng tersebut tidak memiliki izin dan tidak memenuhi satu pun prosedur rehabilitasi kecanduan narkoba. Bahkan, kerangkeng tersebut dinilai tidak layak huni. Tidak hanya itu, kerangkeng tersebut melenceng amat jauh dari tujuan awalnya, yaitu tempat pembinaan. Alih-alih menjadi tempat rehabilitasi, tempat ini justru menjadi tempat penyiksaan puluhan orang. Ironisnya, oknum TNI dan Polri yang seharusnya menjadi pelindung warga, malah menjadi aktor yang ikut bertanggung jawab di balik setidaknya 26 bentuk kekerasan serta 12 bentuk pelanggaran HAM yang diterima korban-korban dalam kerangkeng tersebut. Tidak hanya itu, dalam kasus ini telah para korban telah kehilangan hak kepemilikannya atas diri sendiri. Dengan kata lain, mereka berada di bawah kekuasaan pihak TRP dan tidak memiliki hak untuk bebas dari kekerasan yang dialaminya. Terdapat pula relasi kontrol yang kuat antara pihak pengelola kerangkeng dengan para korban. Hal ini telah dimulai sejak ditandatanganinya Surat Pernyataan dengan materai sebesar Rp 6000,00 yang salah satunya berisikan bahwa keluarga korban tidak akan menuntut jika para korban mengalami sakit maupun meninggal selama masa pembinaan di kerangkeng. Maka dari itu, pihak TRP dan pelaku lain semakin sewenang-wenang dan bertindak keji terhadap korban-korban di dalam kerangkeng. Terdapat pula sanksi-sanksi yang diberlakukan dengan ancaman kekerasan yang tidak manusiawi. Pihak kerangkeng dan TRP juga mengeksploitasi para penghuni kerangkeng untuk bekerja tanpa upah di pabrik sawit milik keluarga TRP dan kolega TRP, serta bekerja dalam pembangunan kerangkeng baru dan untuk keperluan pemilu. Penghuni kerangkeng tidak berdaya untuk menolak bekerja karena rentan akan kekerasan dan adanya ancaman kekerasan terhadap mereka jika tidak mau bekerja. Hal-hal tersebut telah memenuhi unsur-unsur perbudakan sehingga terdapat indikasi terjadinya perbudakan modern berupa perdagangan orang berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang TPPO. Menurut konferensi pers yang dilangsungkan oleh Komnas HAM, di dalam kerangkeng tersebut telah terjadi setidaknya 12 bentuk pelanggaran HAM terhadap

penghuni kerangkeng. Akan tetapi, kasus perbudakan yang terjadi dalam kerangkeng manusia ini tidak dapat digolongkan sebagai kasus kejahatan kemanusiaan yang tergolong sebagai pelanggaran HAM berat. Hal tersebut dikarenakan, mengacu pada Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000, dijelaskan bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat jika memenuhi 3 unsur, yaitu adanya serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada warga sipil. Dalam kasus kerangkeng manusia eks-Bupati Langkat, hanya terpenuhi dua unsur yaitu unsur sistematik serta unsur ditujukan kepada warga sipil. Sedangkan, unsur adanya serangan sampai saat ini, berdasarkan fakta empiris belum dapat dibuktikan. Adanya unsur serangan yang sengaja ditujukan bagi warga sipil tidak dapat dibuktikan karena pada dasarnya, pihak TRP tidak melakukan pemaksaan kepada masyarakat untuk diserang di dalam kerangkeng. Sebaliknya, pihak keluarga penghuni kerangkenglah yang secara sukarela memasukkan korban ke dalam kerangkeng dengan menandatangani surat pernyataan. Sehingga, dengan ini pelanggaran HAM serta perbudakan modern yang terjadi di dalam kerangkeng tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Chidir. Badan Hukum (Rechtpersoon). Alumni: Bandung, 2005. Ali, Mahrus dan Bayu Aji Pramono. Perdagangan Orang: Dimensi, Instrumen Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011. Andreas, Beate. Kerja Paksa dan Perdagangan Orang: Buku Pedoman untuk Pengawas Ketenagakerjaan. International Labour Organization, 2014. Anggriani, Lysa dan Yusliati. Efektivitas Rehabilitas Pecandu Narkotika serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Kejahatan di Indonesia. Cet. 1. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2018. Bassiouni, M. Cherif. Crime Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application. Cambridge: Cambridge University Press, 2011. C. Robert Dubler S. dan Matthew Kalyk. Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security. Leiden: Martinus Nijhoff, 2018. Choi-Fitzpatrick, A. What Slaveholders Think: How Contemporary Perpetrators Rationalize What They Do. New York: Columbia University Press, 2011. Gopsill, Anna. “Genocide.” Dalam Humanitarianism, diedit oleh Antonio De Lauri, 76-79. Leiden: Brill, 2020. Hutagalung, Reynold E. P. Perbudakan Modern Anak Buah Kapal Ikan (ABKI) asal Indonesia: Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Kepolisian. Cet. 1. Depok: LPKS, 2019. Marpaung, Leden. Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya). Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Militello, Vincenzo dan Alessandro Spena. Between Criminalization and Protection: The Italian Way of Dealing with Migrant Smuggling and

Trafficking Within the European and International Context. Brill: Leiden, 2019.

Research Network on the Legal Parameters of Slavery. 2012 Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery (2012). United Nations. Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary. New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010.

JURNAL

DoCarmo, Tania Eileen. “The Construction and Implementation of International Human Trafficking Law.” Disertasi University of California, Irvine, 2020. Firdaus, Insan. “Analisa Kebijakan Optimalisasi Pelaksanaan Rehabilitasi Narkotika di Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 14 No. 3 (November 2020). Hlm. 469-492. Furqon, Al. “Yuridis terhadap Tindak Pidana Pengancaman yang dilakukan Secara Bersama-sama.” Jurnal Hukum Volkgeist Mimbar Pendidikan Hukum Nasional Vol. 2 No.2 (April 2018). Hlm. 119-134. Irawati, Arista Candra. “Tinjauan terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (Gross Violation of Human Rights) dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Aceh.” Adil Indonesia Jurnal Vol. 1 No. 1 (Januari 2019). Hlm. 1-8.

Johnston, Katie A.“Identifying The Jus Cogens Norm in The Jus Ad Bellum.” British Institute of International and Comparative Law Quarterly Vol. 70 (Januari 2021). Hlm. 29-57. Luban, David. “A Theory of Crimes Against Humanity.” Yale Journal of International Law 29 (2004). Hlm. 85-167. Nugroho, Fadzlun Budi Sulistyo. “Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi.” Gorontalo Law Review Vol. 2 No. 2 (Oktober 2019). Hlm. 95-104. Sumangkut, Swingly. “Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Perbuatan Cabul Menurut Pasal 289 KUHP.” Lex Crimen Vol. 3 No. 1 (Jan 2018). Hlm. 190-200.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-undang Dasar 1945. Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 19 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886. Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720. Indonesia. Undang-Undang Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009, LN. No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062. Indonesia. Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197 Tahun 2019, TLN No. 6409. Indonesia. Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2021. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2014.

DOKUMEN INTERNASIONAL

International Labour Organization. Konvensi Kerja Paksa ILO. K29 (1930). Liga Bangsa-Bangsa. Slavery Convention. LNTS 60 (1926). The Powers. Final Act of The Congress of Vienna/General Treaty, (1815). UN General Assembly. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment yang disahkan berdasarkan Resolusi Sidang Umum No. 43/173 (1988). UNHR. Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery. UNTS 266 (1957). UNHR. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime. UNTS 2237 (2000).

KETERANGAN PERS

Komnas HAM. Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022.

INTERNET

Adriansyah, Anugrah. “Mantan Bupati Langkat Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia.” https://www.voaindonesia.com/a/mantan-bupatilangkat-jadi-tersangka-kasus-kerangkeng-manusia/6516247.html. Diakses 20 April 2022. Alpino, Okto Rizki. “LPSK: 7 Prajurit TNI dan 5 Anggota Polri Diduga Terlibat Kasus Kerangkeng Bupati Langkat.” https://nasional.sindonews.com/read/ 707911/13/lpsk-7-prajurit-tni-dan5-anggota-polri-diduga-terlibat-kasus-kerangkeng-bupati-langkat1646834621. Diakses 22 April 2022. BBC. “Kerangkeng manusia di Langkat 'bukan tempat rehab' sebut BNN.” https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-60141417. Diakses 21 April 2022.

Cambridge Dictionary. “Attack.” https://dictionary.cambridge.org/dictionary /english/attack. Diakses 23 Mei. Darjito, Dany. “Kronologi Dugaan Adanya Perbudakan Modern di Rumah Bupati Langkat.” https://www.suara.com/news/2022/03/22/185009/kronologidugaan-adanya-perbudakan-modern-di-rumah-bupati-langkat. Diakses 18 April. Ferdianto, Riky. “Kerangkeng Malaikat Pencabut Nyawa.” https://majalah.tempo.co/read/hukum/165486/mengapa-polisi-lambanmengusut-kerangkeng-manusia-bupati-langkat. Diiakses 28 April 2022. Hidayat, Ali Akhmad Noor. “Sempat Kabur, Begini Kronologis OTT Bupati Langkat.” https://nasional.tempo.co/read/1551861/sempat-kabur-beginikronologis-ott-bupati-langkat/full&view=ok. Diakses 20 April 2022. KBBI. “Serangan.” https://kbbi.web.id/serangan. Diakses 23 Mei. Kuswandi. “Bantah Lakukan Perbudakan, Bupati Langkat: Hanya Memberikan Skill.” https://www.jawapos.com/nasional/07/02/2022/bantah-lakukanperbudakan-bupati-langkat-hanya-memberikan-skill/. Diakses 20 April 2022.

Madrim, Sasmito. “KPK Tetapkan Bupati Langkat Sebagai Tersangka Korupsi,” https://www.voaindonesia.com/a/kpk-tetapkan-bupati-langkat-sebagaitersangka-korupsi/6404046.html. Diakses 22 Mei. Noviansah, Wildan. "LPSK Sebut Tak Ada Aktivitas Rehabilitasi di Kerangkeng Bupati Langkat.” https://news.detik.com/berita/d-5922906/lpsk-sebut tak-ada-aktivitas-rehabilitasi-di-kerangkeng-bupati-langkat. Diakses 21 April 2022. Putwiliani, Faryyanida. “Poin Perjanjian Keluarga Penghuni Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Tak Boleh Menuntut & Menjemput.” https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/31/poin-perjanjiankeluarga-penghuni-kerang. Diakses 21 April 2022. Retaduari, Elza Astari. “Sebut Kerangkeng Manusia untuk Rehabilitasi Narkoba, Bupati Langkat Ngaku Sudah Bina Ribuan Orang.” https://nasional.kompas.com/read/2022/01/25/18513341/sebutkerangkeng-manusia-untuk-rehabilitasi-narkoba-bupati-langkatngaku?page=all. Diakses 21 April 2022. Saputra, Rizki Sandi. “Temuan LPSK: Anak Terbit Rencana Diduga Turut Lakukan Kejahatan Fisik.” https://www.tribunnews.com/nasional/2022/ 03/16/temuan-lpsk-anak-terbit-rencana-diduga-turut-lakukan-kejahatanfisik. Diakses 21 April 2022. Suryandika, Rizky. “LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya Menyuap, Kabur, atau Mati.” https://www.republika.co.id/berita/r8njx9409/lpsk-jalan-pulang-korbankerangkeng-bupati-langkat-hanya-menyuap-kabur-atau-mati. Diakses 20 April 2022 Victor. “Slav and Slaves.” https://languagelog.ldc.upenn.edu/nll/?p=41445. Diakses 19 Mei.

Wibowo, Eko Ari. “Kasus Kerangkeng, LPSK Perkirakan Bupati Langkat Raup Untung Rp 177,5 Miliar.” https://nasional.tempo.co/read/1569396/kasus kerangkeng-lpsk-perkirakan-bupati-langkat-raup-untung-rp-1775-miliar. Diakses 21 April 2022.

BIODATA PENULIS

Angelica Catherine Edelweis lahir di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2003. Sekarang, ia merupakan mahasiswi aktif Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Ia juga sedang menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022.

Cornellia Desy Nathalina atau Cornel merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia

kelahiran Tangerang, 18 Desember 2002. Cornel sekarang merupakan mahasiswi yang aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi seperti menjadi staf aktif di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022.

Nindya Amaris Minar atau yang akrab dikenal sebagai Mina merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Perempuan kelahiran 19 April 2004 ini sekarang menjabat sebagai staf di beberapa organisasi seperti Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan Departemen Pendidikan dan Keilmuan BEM FHUI 2022.

This article is from: