33 minute read

“GENERAL DETERRENCE” KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA

PIDANA MATI HERRY WIRAWAN SEBAGAI SUATU PENCEGAHAN UMUM

“GENERAL DETERRENCE” KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA

Advertisement

Aliffia Dwiyana Sekti Fakultas Hukum Universitas Indonesia

aliffia.dwiyana@ui.ac.id

Metta Yoelandani

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

metta.yoelandani@ui.ac.id

Nisya Arini Damara Ardhika Fakultas Hukum Universitas Indonesia

nisya.arini@ui.ac.id

Abstrak

Polemik hukuman mati kepada Herry Wirawan sebagai pelaku kekerasan seksual menjadi diskursus menarik untuk dibahas. Dalam KUHP pidana mati yang dijatuhkan kepada pelaku tersebut merupakan pidana pokok. Pidana mati kerap kali menjadi diskusi yang mendapat banyak tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Namun, setiap pidana pada dasarnya memiliki tujuan atau falsafah pidana termasuk pemidanaan mati. Tulisan ini akan menelaah putusan mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan melalui kajian normatif terhadap KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tulisan ini akan menghasilkan kesimpulan bahwa putusan mati terhadap Herry Wirawan sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan pemidanaan yang tepat. Tulisan ini juga membahas eksistensi pidana mati dalam perundangundangan Indonesia, seperti KUHP, RUU KUHP, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dengan penelitian tersebut. Tulisan ini menyimpulkan bahwa pidana mati Herry Wirawan adalah pidana yang tepat sebagai suatu pencegahan umum (general deterrence) terhadap pelaku kekerasan seksual

Kata kunci: Kekerasan seksual, Pidana mati, Pencegahan umum

THE DEATH CRIME OF HERRY WIRAWAN AS A GENERAL DETERRENCE OF

SEXUAL VIOLENCE IN INDONESIA

Abstract

The polemic about the death penalty of Herry Wirawan as a perpetrator of sexual violence has become a diverting discourse to be discussed. In the Criminal Code, the death penalty imposed on the perpetrator is the main crime. The death penalty is often a discussion that gets a lot of pro and contra responses from various circles of society. In this case, the main topic of discussion is the effectiveness of the death penalty, especially in creating a deterrent effect for perpetrators of sexual violence. This paper will examine the death sentence handed down to Herry Wirawan through a normative study of the Criminal Code and other laws and regulations. This paper will conclude that the death sentence against Herry Wirawan as a perpetrator of sexual violence against children is a righteous court decision. Therefore, in addition to discussing the decision on the perpetrator, this paper also writes about the existence of the death penalty in Indonesian legislation, such as the Criminal Code, the Criminal Code Bill, Government Regulation in place of Law (Perppu) Number 1 of 2016 concerning Second Amendment to Laws. Number 23 of 2002 concerning Child Protection, and the Law on the Criminal Justice System for Children (UU SPPA).

Keywords: Sexual violence, Death penalty, Effectivity

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Terungkapnya kasus kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap tiga belas orang santriwati yang dilakukan oleh Herry Wirawan di tahun 2021 mengundang banyak perhatian publik. Pasalnya, terdakwa kasus tersebut, Herry Wirawan divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada Senin, 4 April 2022.1 Vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan resmi dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung setelah menerima pengajuan banding dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Dalam putusan terbarunya, hakim membenahi hukuman yang diberikan kepada Herry Wirawan. Termasuk di dalamnya adalah vonis hukuman mati, pembayaran restitusi mencapai Rp300 juta lebih, perampasan aset terdakwa Herry Wirawan berupa tanah, hak bangunan, dan hak terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2022/PN.Bdg pada 15 Februari 2022.2 Secara umum, pidana merupakan nestapa yang dijatuhkan dengan cara paksa terhadap seorang terdakwa atau seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan bersalah.3 Menurut teori relatif, pidana tidak boleh dijatuhkan semata dengan mempertimbangkan masa lalu saja.4 Pidana juga harus melihat ke masa depan (forward looking) sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi pelaku, korban, ataupun masyarakat.5 Dalam hal ini, tujuan pidana dapat juga memberikan efek psikologis untuk “menakuti” masyarakat agar tidak melakukan hal yang sama dengan pelaku.6

1Fitra Moerat Ramadhan, “Fakta-Fakta Terbaru Vonis Mati Herry Wirawan,” https://grafis.tempo.co/read/2973/fakta-fakta-terbaru-vonis-mati-herry-wirawan, diakses 27 April 2022. 2Pengadilan Tinggi Bandung, “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati pada Herry Wirawan,” https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkan-vonis-mati-pada-herrywirawan.html, diakses 27 April 2022. 3Yan David Bonitua, Pujiyono, dan Purwoto, “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia,” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 2.

4Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 172. 5Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 28-

29.

6Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 173.

Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda.7 Menurut pendapat Roeslan Saleh, pidana mati ini merupakan jenis pidana yang paling berat.8 Pidana mati menjadi ancaman yang tepat bagi pelaku kejahatan berat dan luar biasa atau extraordinary crime yang merujuk pada tindak pidana berat yang tidak dapat diampuni. Dalam hukum positif Indonesia, pidana mati menjadi sebuah polemik yang cukup ramai menuai pro dan kontra. Pada hakikatnya, hukuman mati adalah wujud suatu pencabutan paksa hak hidup manusia yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.9 Timbulnya pro-kontra terhadap pidana mati ini memantik diskursus yang penting bagi pemberlakuannya di Indonesia. Bagi para pihak kontra terhadap hukuman mati, hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang melanggar nilai ketuhanan dan kemanusiaan.10 Ditambah lagi pidana mati juga dipandang sebagai suatu hukuman yang tidak sesuai apabila bertujuan untuk menakut-nakuti pelaku tindak pidana.11 Sedangkan dari perspektif pro, pidana mati adalah salah satu alat yang memiliki peran cukup penting dalam penerapan hukum pidana.12 Terdapat tujuh kebijakan sanksi pidana mati dalam KUHP. Sanksi tersebut dimuat dalam Buku II KUHP yang mengatur tentang Kejahatan, yaitu Pasal 104, Pasal 124 ayat 3, dan Pasal 111 ayat 2 mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, Pasal 340 mengenai pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat 4 mengenai pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan luka-luka berat, Pasal 368 ayat (2) tentang pemerasan dengan kekerasan yang berakibat luka berat atau matinya seseorang, dan pasal 444

7Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cet.34, (Jakarta: Bumi Aksara, 2021), Ps. 10. 8Roeslan Salah, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 16. 9Herliana Heltaji, “Dilema Hak Asasi Manusia dan Hukum Mati dalam Konstitusi Indonesia,” Pamulang Law Review Vol. 4 No. 2 (2021), hlm. 163. 10Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cet, 4 (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 27. 11Yan David Bonitua, Pujiyono, dan Purwoto, “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia,” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 2.

12Ibid.

KUHP mengenai perompakan.13 Aturan pidana mati juga diatur dalam UndangUndang (UU) diluar KUHP. Terdapat beberapa regulasi berupa undang-undang diluar KUHP yang mengatur pidana mati. UU tersebut adalah UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 21 Tahun 1959 Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika, dan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang.14 Dengan mengambil latar belakang yang demikian, tulisan ini akan berfokus untuk mengkaji langkah progresif Indonesia untuk memberikan suatu konsep pencegahan khususnya bagi para pelaku kekerasan seksual yang kasusnya masih terus terjadi.15 Tingginya angka kasus kekerasan seksual dalam tulisan ini mengacu pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020. CATAHU 2020 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 955 kasus kekerasan seksual yang diterima oleh Komnas Perempuan.16 Dengan adanya hukuman mati, tragedi kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia dapat direduksi kuantitasnya. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan diharapkan menjadi pidana yang bertujuan sebagai general deterrence, yakni pidana yang bertujuan untuk menakuti agar masyarakat tidak melakukan hal serupa. Adanya putusan pidana mati ini diharapkan menjadi tanda progresivitas bagi pemberlakuan hukuman yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual di Indonesia. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) termasuk sebagai salah seorang tokoh yang menaruh harapan besar pada

13Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cet.34, (Jakarta: Bumi Aksara,

2021).

14Yan David Bonitua, Pujiyono, dan Purwoto, “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia,” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 3-4. 15Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, “Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19,” (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), hlm. 70. 16Ibid.

putusan ini agar dapat menimbulkan efek pencegahan sehingga mengurangi resiko pengulangan kasus serupa di masa mendatang.17 Dengan kerangka berpikir tersebut tulisan ini akan membahas dan mengkaji putusan mati atas Herry Wirawan dengan tiga permasalahan utama. Pada bagian pertama dibahas mengenai bagaimana hukuman mati yang dikenakan kepada Herry Wirawan akan berdampak pada putusan terhadap tindak pidana serupa di kemudian hari, hal ini untuk memberikan gambaran kepada pembaca atas urgensi keberadaan putusan hukuman mati Herry Wirawan. Bagian kedua akan melakukan kajian normatif terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Kemudian pada bagian ketiga, tulisan akan membahas urgensi hukuman mati bagi ‘predator’ seksual seperti Herry Wirawan melalui data

kasus kekerasan seksual yang pernah tercatat di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka A. Pengertian Anak dalam Undang-Undang

Dalam perundang-undangan Indonesia, banyak yang mendefinisikan anak merupakan seseorang yang belum dewasa. Definisi anak tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk juga anak yang di dalam kandungan.18 Selanjutnya, dalam Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seseorang dikatakan dewasa dan diizinkan untuk menikah bagi mereka yang berumur 19 tahun baik lakilaki maupun perempuan.19

17 Kompas.com, “Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan Diharap Bisa Timbulkan Efek Jera, Dianggap Abai dengan Pemulihan Korban,” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/06/08402651/vonis-hukuman-mati-herry-wirawan-diharapbisa-timbulkan-efek-jera-tapi?page=all, diakses 28 April 2022. 18 Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297 Tahun 2014, TLN No. 5606, Ps. 1. 19 Indonesia,Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , UU No. 16 Tahun 2019, LN No. 186 Tahun 2019, TLN No. 6401, Ps. 7.

Dalam Pasal 1 butir tiga sampai lima UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan bawah anak yang menjadi pelaku tindak pidana adalah mereka yang berusia 12-18 tahun, anak yang menjadi saksi dan korban tindak pidana adalah mereka yang belum berusia 18 tahun.20 Dalam Pasal 330 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), secara eksplisit dijelaskan mengenai definisi anak (seseorang yang belum dewasa), yaitu mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan, dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), definisi anak (belum dewasa) adalah mereka yang belum berumur 16 tahun. Namun, berbeda dengan KUHP R.Soesilo, beliau menyebutkan bahwa orang dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum menikah, maka anak adalah mereka yang berumur di bawah 21 tahun. Dapat kita ketahui bahwa, dalam perundang-undangan di Indonesia, definisi anak memiliki perbedaan.

B. Pidana Mati sebagai Ultimum Remedium

Hukum pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk menjamin terlindunginya dan tercapainya ketertiban sosial dalam masyarakat.21 Sanksi pidana dijatuhkan sebagai obat terakhir (ultimum remedium). Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.22 Sudikno Mertokusumo mengartikan ultimum remedium sebagai alat terakhir.23 Dalam konteks ini, hukum pidana dianggap sebagai upaya atau jalan terakhir untuk pemberian sanksi yang berat. Sanksi yang paling berat adalah hukuman mati (death penalty/capital punishment) yang sudah pasti sangat mengerikan karena membuat terpidana terpisah

20 Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1. 21Amelia Arief, "Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana," Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1 (2019), hlm. 97. 22Wanda Ayu, ”Ultimum Remedium: Antara Prinsip Moral dan Prinsip Hukum,” https://www.ui.ac.id/ultimum-remedium-antara-prinsip-moral-dan-prinsip-hukum/, diakses 27 April 2022.

23 R. M. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 128.

dari kehidupan selama-lamanya dan membuat keluarga kehilangan si penerima hukuman tanpa bisa kembali.24 Terkait sanksi tersebut, Indonesia masih menjadi negara yang pro terhadap hukuman mati. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang dimohonkan antara lain oleh ekspatriat asal negeri kangguru yang tersangkut kasus Bali Nine, yakni Andrew Chan, Myuran Sukumaran dan Scott Anthony Rush.25 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan.26 Menurut Mahkamah, hak asasi yang dijamin pasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudah dikunci oleh pasal 28J yang berfungsi sebagai batasan.27 Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.28 Dengan demikian, menurut MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen UndangUndang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.29 Secara singkat, konstitusi Indonesia memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak dasar warga negaranya dengan cara mempersilahkan mereka untuk mempraktikkan kebebasan atas hak asasi yang dimiliki dengan catatan bahwa

24Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 122. 25 NNC, “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus,” https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasional-hukuman-mati-mesti-jalanterus-hol17888, diakses 27 April 2022. 26Tri Jata Ayu Pramesti, “Hak Hidup vs Hukuman Mati,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-mati-lt4ef039a2d0c28, diakses 27 April 2022. 27 NNC, “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus,” https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasional-hukuman-mati-mesti-jalanterus-hol17888, diakses 27 April 2022. 28 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hak Hidup vs Hukuman Mati,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-mati-lt4ef039a2d0c28, diakses 27 April 2022. 29 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hak Hidup vs Hukuman Mati,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-mati-lt4ef039a2d0c28, diakses 27 April 2022.

penunaian hak-hak tersebut tidak boleh merenggut, merampas, dan mengganggu hak orang lain serta tidak boleh melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam konteks pidana mati, apabila seseorang telah melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), hak hidupnya pun dapat dibatasi dan dicabut dengan putusan pengadilan. Hukuman mati menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan menegakkan kembali ketertiban sosial dalam masyarakat.

C. Hukuman Mati terhadap Pelaku Kekerasan Seksual dalam PerundangUndangan Indonesia

Di dalam hukum Indonesia, hukuman mati masih digunakan dan hal ini tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal ini dibuktikan dengan adanya yurisprudensi Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Uji Formil Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 02/PNPS/ Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.30 Tujuan adanya hukuman mati tak lain dan tak bukan adalah memberikan jera karena pidana ini termasuk pidana berat. Hal ini juga ditegaskan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly bahwa adanya hukuman mati karena dalam Pasal 10 KUHP masih mengatur hukuman mati sebagai hukuman pokok di Indonesia.31 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat sembilan tindak pidana yang diancam pidana mati. Selain itu, terdapat juga ancaman pidana mati yang berada di luar KUHP, salah satunya Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia pada UU No.26 Tahun 2000. Selain terdapat di dalam KUHP, pidana mati juga terdapat di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Salah satu pasal yang menjelaskan mengenai pidana mati adalah Pasal 67. Pada Pasal 67 RUU KUHP dijelaskan bahwasanya pidana mati merupakan hukuman yang bersifat

30 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 21/PUU-VI/2008, hlm. 74. 31 CNN, “Perppu Perlindungan Anak Berlaku Hukuman,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160525204530-12-133459/perppu-perlindungan-anakberlakukan-hukuman-mati, diakses pada 30 April 2022.

khusus dan selalu diancam secara alternatif. Alternatif yang ditawarkan biasanya berupa hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.32 Secara spesifik, hukuman mati juga berlaku dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (5) menjelaskan bahwa:33 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dalam hal pelaku kekerasan seksual merupakan seorang anak di bawah umur, diberikan sanksi pidana yang berbeda dengan orang dewasa. Sanksi bagi anak di bawah umur yang melakukan kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dalam UU SPPA, sanksi bagi anak dibedakan berdasarkan umurnya. Kategori umur dibagi menjadi, anak berusia di bawah 12 tahun, anak yang berumur 14 tahun ke bawah dijatuhi sanksi tindakan sesuai dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA, sedangkan untuk anak yang berumur 15 tahun diberi sanksi pidana.34 Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 71 UU SPPA dibagi menjadi dua, yaitu sanksi pidana pokok bagi anak dan sanksi pidana tambahan. Sanksi pidana pokok terdiri dari pidana peringatan, pidana dengan syarat pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, sanksi pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan sanksi tambahan terdiri dari perampasan keuntungan

32 Lidya Suryani Widayati, “Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah DIatur Sebagai Pidana yang Bersifat Khusus,” Negara Hukum Vol. 7 No.2 (2016), hlm. 169. 33Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perpu No. 1 Tahun 2016, Ps.81 ayat (5). 34 HukumOnline.com, “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilanpidana-anak-lt53f55d0f46878, diakses pada 6 Mei 2022.

yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.35 Jadi, dalam UU SPPA sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak sampai pada pidana mati. Namun, tindakan pidana ini (hukuman mati) tidak berlaku bagi pelaku kekerasan seksual yang merupakan seorang anak. Hal ini berdasarkan Pasal 81 ayat (9) undang-undang yang sama, bunyi pasal tersebut adalah, “Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak”.36

Dalam perspektif Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual secara fisik dalam pasal dapat kita lihat mulai dari Pasal 92 hingga Pasal 94. Pada Pasal 93 dan Pasal 94 terdapat alasan-alasan pemberat hukuman pidana. Alasan pemberat yang terdapat dalam Pasal 93, yaitu apabila korban mengalami kegoncangan jiwa, luka berat dapat dipidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana tambahan berupa pembinaan khusus. Selanjutnya, dalam Pasal 94 ayat (1) dijelaskan bahwa pemberatnya adalah dilakukan oleh atasan, pemberi kerja, atau majikan; atau tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, atau pejabat; dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 10 tahun dan ditambah pidana tambahan pembinaan khusus. Dalam ayat (2) pemberat berupa apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orangtua atau keluarga; atau seseorang yang bertanggung jawab memelihara, mengawasi, atau membina di lembaga pendidikan, keagamaan, sosial, tempat penitipan anak, atau tempat lain dimana anak berada dan seharusnya dilindungi keamanannya; dipenjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 12 tahun dan ditambah pidana tambahan pembinaan khusus.

3.2. Alasan Pemberat dan Vonis Hukuman Mati dalam Putusan Pengadilan

Negeri Bandung No. 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg sebagai Upaya Pencegahan

Pengulangan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

35Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No.153 Tahun 2012, TLN.5332, Ps. 71. 36Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perpu No. 1 Tahun 2016, Ps.81 ayat (9).

Pada Senin, 4 April 2022, Pengadilan Tinggi Bandung (PT Bandung) telah menjatuhkan putusan pidana mati kepada Herry Wirawan. Putusan ini hadir guna memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bandung Bandung Nomor : 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg. tanggal 15 Februari 2022. Sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri Bandung (PN Bandung) telah menjatuhi hukuman penjara seumur hidup bagi Herry Wirawan.37 Putusan tersebut telah menggerakkan jaksa untuk mengajukan banding ke PT Bandung terkait putusan bagi Heri bin Dede atas kasus pemerkosaan tiga belas santriwati Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, Garut, Jawa Barat.38 Pasalnya, tuntutan yang sebelumnya dibawa oleh jaksa pada pengadilan tingkat I adalah menuntut terdakwa untuk dijatuhi hukuman mati atau kebiri kimia.39 Namun, hasil akhir dari putusan hakim PN Bandung sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan tersebut.40 Dalam putusan PT Bandung, hakim menerima permintaan banding dari penuntut umum dan memperbaiki vonis yang diberikan PN Bandung, yaitu hukuman seumur hidup bagi Herry Wirawan menjadi hukuman mati.41 Hakim juga memutuskan untuk tetap menahan terdakwa dan membebankan restitusi (ganti rugi) kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemeneg PP & PA).42 Untuk perihal restitusi, Kemeneg PP & PA harus menanggung beban atas dua belas anak korban dengan nominal mulai dari Rp8.600.00,00 hingga Rp85.830.000,00.43 Semua pembebanan tersebut dibebankan atas pertimbangan dan penilaian restitusi serta penghitungan kerugian oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan

37 Aisha Amalia Putri, “Diperberat, Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan,” https://www.kompas.tv/article/276879/diperberat-hakim-pengadilan-tinggi-bandungvonis-hukuman-mati-herry-wirawan, diakses 27 April 2022. 38 BBC News Indonesia, “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas',” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia59581586, diakses 27 April 2022. 39 CNN Indonesia, “Penjelasan Jaksa soal Tuntutan Mati Tambah Kebiri Kimia Herry Wirawan,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220111161642-12-745289/penjelasan-jaksasoal-tuntutan-mati-tambah-kebiri-kimia-herry-wirawan/2, diakses 27 April 2022. 40 Dony Indra Ramadhan, “Putusan Mati Hakim PT Bandung Terhadap Herry Wirawan Singgung soal HAM,” https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6016903/putusan-matihakim-pt-bandung-terhadap-herry-wirawan-singgung-soal-ham, diakses 27 April 2022. 41 Pengadilan Negeri Bandung , Putusan No. 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg., hlm. 235. 42 Ibid. 43 Ibid..

Korban (LPSK). Selain itu, hakim PN Bandung juga memutuskan bahwasannya dengan izin keluarga masing-masing, perawatan sembilan orang anak dari para korban dan para anak korban akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat. Evaluasi berkala juga akan dilakukan untuk menilai kesiapan mental para korban dan anak korban sebelum melanjutkan proses pengasuhan terhadap anak-anak mereka. Dalam putusan PT Bandung tersebut, harta kekayaan atau aset milik terdakwa juga akan disita dan dilelang untuk keperluan biaya hidup dan pendidikan para anak korban dan anak-anak mereka. Nantinya, biaya-biaya tersebut menjadi hak mereka sampai dewasa ataupun menikah. Aset-aset yang dimaksud oleh putusan tersebut di antaranya berupa tanah, bangunan, serta hak-hak Herry Wirawan dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, dan lain-lain. Untuk kelanjutannya, pelelangan aset-aset tersebut akan diserahkan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Dari

penyitaan dan pelelangan aset-aset tersebut, hasilnya akan digunakan untuk merawat sembilan orang anak dari para korban dan anak korban. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim PT Bandung yang terdiri dari Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., Yuli Heryati, S.H., M.H., Dr. Nur Aslam Bustaman, S.H., M.H., dan Ricar Soroinda Nasution, S.H., M.H., hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan didasarkan pada tiga alasan pemberat. Pertama, anak-anak yang lahir dari para anak korban kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Kedua, korban dan orang tua korban menjadi menderita dan mengalami trauma. Ketiga, terdakwa telah mencemarkan nama baik lembaga pondok pesantren dan merusak citra agama Islam. Herry Wirawan telah mencabuli para korban di berbagai tempat dengan menggunakan simbol-simbol agama Islam. Selain itu, dampak atas pencabulan yang dilakukan oleh guru pesantren tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bagi para orang tua untuk kembali mempercayakan pendidikan anak mereka ke pondok pesantren. Ketiga alasan pemberat pidana tersebut merupakan extra judicial factor. Dalam extra judicial factor, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memperberat pidana terdakwa dengan melibatkan perasaan. Menurut pendapat penulis, putusan

tersebut dapat dikatakan sebagai keputusan yang emosional karena telah menitikberatkan pada kesubjektifan hakim dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa. Sebelumnya, pihak keluarga dari salah satu santriwati korban pemerkosaan yang dilakukan Herry mengaku kecewa atas vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa, 12 Februari 2022.44 Paman korban, Hidmat Dijaya, mengatakan keponakan beserta keluarganya menangis ketika mendengar vonis hakim tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar Herry dihukum mati dan diberi hukuman tambahan berupa kebiri kimia.45 Korban dan keluarganya merasa kecewa, sakit hati, dan terluka.46 Pihak keluarga mengharapkan sebuah pembalasan yang setimpal atas akibat yang ditimbulkan dari pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan.47 Pasalnya, para santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut telah mengalami trauma yang cukup berat, bahkan hingga melahirkan anak-anak mereka.48

Seperti yang telah dipaparkan pada sub bahasan sebelumnya, Herry Wirawan divonis hukuman mati karena telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 81 Ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 76D disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” dan bila melanggar pasal tersebut

maka sesuai dengan bunyi Pasal 81 Ayat (1), terdakwa dapat diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun atau maksimal lima belas tahun serta denda maksimal sebesar lima miliar rupiah, sedangkan Pasal 81 Ayat (3) juga menegaskan bahwa

44 BBC News Indonesia, “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas',” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia59581586, diakses 27 April 2022. 45 Ibid. 46 BBC News Indonesia, “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas',” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia59581586, diakses 27 April 2022. 47 Ibid. 48 Ibid.

apabila terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 76D merupakan orang tua, wali, pengasuh, anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, pidananya dapat ditambah satu pertiga dari ancaman pidana pada Pasal 81 Ayat (1) di atas. Akan tetapi, terdakwa pemerkosaan tiga belas santriwati, Herry Wirawan, tersebut tidak hanya melakukan pemerkosaan kepada satu anak saja sehingga sangat tepat apabila hakim menggunakan Pasal 81 Ayat (5) dalam menjatuhkan hukuman. Pasal tersebut memberikan penegasan atas hukuman yang dapat diancamkan kepada terdakwa yang menyetubuhi lebih dari satu orang anak secara paksa, yaitu pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat sepuluh tahun dan paling lama dua puluh tahun. Atas dasar hukum yang benar, tidak salah apabila hakim PT Bandung mengubah putusan PN Bandung yang sebelumnya menjatuhi vonis penjara seumur hidup kepada terdakwa menjadi hukuman mati. Vonis tersebut tidak menyimpang dari regulasi. Oleh karena itu, vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan diharapkan mampu menjadi langkah preventif dalam mencegah munculnya korbankorban kekerasan sekual lainnya. Menurut hemat penulis, putusan hakim tersebut sudah tepat bila dilihat dari tujuan pemidanaan, yaitu sebagai sarana pencegahan (deterrence). Hakim berhasil mempertimbangkan efek buruk yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku untuk kemudian dijatuhi vonis yang berat. Dengan adanya vonis hukuman mati, kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisasi. Vonis tersebut menjadi cerminan bagi pelaku-pelaku lain di luar sana untuk berpikir dua kali sebelum melakukan tindak kekerasan seksual. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya pengulangan atas kasus yang sama karena vonis yang pernah dijatuhkan oleh Hakim tidaklah ringan. Hukuman mati menjadi ultimum remedium yang mampu menciptakan rasa takut bagi pelaku kekerasan seksual karena hak hidup pelaku menjadi taruhannya. Dengan adanya vonis semacam ini, Hakim menciptakan suatu ketegasan dalam memberantas dan mencegah adanya kasus-kasus kekerasan seksual lainnya. Vonis hukuman mati menjadi hal penting dalam mendorong terselenggaranya upaya preventif kasus-kasus kekerasan seksual di kemudian hari.

3.3. Pertimbangan Penjatuhan Hukuman Mati Herry Wirawan dan Perspektif HAM terhadap Hukuman Mati

Putusan pengadilan tinggi dijatuhkan kepada Herry Wirawan melalui sidang terbuka, 4 April 2022.49 Herry Wirawan divonis hukuman mati karena dirinya terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelum membahas urgensi hukuman mati Herry Wirawan, ketentuan dalam UU belum mencakup hak korban sepenuhnya ketika tragedi kekerasan seksual ini terjadi. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai kekerasan seksual masih terbatas. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) baru disahkan setelah peristiwa Herry Wirawan terjadi dan diputuskan oleh majelis hakim.50 Sebelum adanya UU TPKS, perlindungan hukum bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual diatur dalam beberapa aturan yang terpisah, salah satunya dalam UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014. Penjatuhan pidana pada pelaku kekerasan seksual juga diatur dalam KUHP, meskipun tidak semua jenis kekerasan seksual dimuat dan diartikan secara harfiah demi melindungi kepentingan korban. KUHP hanya memuat pidana terhadap pelaku pemerkosaan, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, pelecehan seksual atau perbuatan cabul, eksploitasi seksual, dan aborsi paksa.51 Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai pidana bagi pelaku kekerasan seksual adalah Pasal 285 dan 286 KUHP mengenai pemerkosaan, Pasal 287 ayat (1), 288, 293 KUHP mengenai tindakan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, Pasal 289 KUHP mengenai pelecehan seksual

49 Febriyan, “Ini Putusan Lengkap Vonis Herry Wirawan si Pemerkosa 12 Santriwati,” https://nasional.tempo.co/read/1578364/ini-putusan-lengkap-vonis-herry-wirawan-si-pemerkosa-12santriwati/full&view=ok, diakses 29 April 2022. 50DPR RI, “DPR Setujui RUU TPKS Menjadi UU,” https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/38589/t/, diakses 8 Juli 2022. 51Hukumonline, “Bentuk Pelecehan Seksual dan Perlindungan Hukum bagi Korbannya,” https://www.hukumonline.com/berita/a/pelecehan-seksual-lt61cad9b1860ca?page=all, diakses 8 Juli 2022.

(perbuatan cabul), pasal 294 KUHP mengenai eksploitasi seksual, dan Pasal 299 ayat (1) KUHP mengenai aborsi paksa.52 Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan pertama, yang memberatkan pidana Herry Wirawan adalah tindakannya yang menimbulkan akibat psikis mendalam terhadap korban di bawah umur. Justifikasi atas pidana mati terhadap Herry Wirawan adalah adanya upaya perlindungan anak dari tindakan yang dilakukannya. Menurut majelis hakim, tindakan Herry Wirawan pantas untuk dijatuhi hukuman mati. Dari hal ini, tulisan ini menyimpulkan bahwa ada pertimbangan tertentu yang menjadi tujuan pemidanaan terhadap Herry Wirawan. Meskipun penjatuhan hukuman mati kepada Herry Wirawan ini dipandang sebagai sesuatu terobosan putusan yang tegas terhadap pelaku kekerasan, tetapi adanya pro dan kontra mewarnai putusan ini. Selain itu, putusan hukuman mati ini juga dilihat sebagai suatu pelanggaran hukum atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang seyogyanya menjadi hak mutlak dan mendasar bagi setiap manusia.53 Terlepas dari polemik tersebut, pembahasan ini akan berfokus untuk menguraikan tepat atau tidaknya penjatuhan hukuman mati terhadap Herry Wirawan. Definisi HAM diuraikan sebagai suatu rangkaian atau seperangkat hak mutlak yang dimiliki seseorang, memiliki kehormatan tertinggi, wajib dilindungi oleh negara dan hukum, serta wajib dihormati bagi setiap orang. Konstitusi Indonesia pun menjamin HAM setiap orang, yakni pada Pasal 28 – 28J UUD NRI 1945. Dari perspektif HAM, hukuman mati sejatinya termasuk pelanggaran terhadap HAM yang dimiliki seseorang. Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang dilarang.54 Dalam pandangan HAM dari perspektif PBB, hukuman mati dikategorikan sebagai jenis hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, melanggar Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan

52Ibid. 53 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28A. 54 Saharuddin Daming, “Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme dalam Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional,” Jurnal Yustisi Vol. 3 No. 1 (2016), hlm. 40.

melanggar ketentuan dalam Pasal 7 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).55 Kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan adalah akibat dari adanya relasi kuasa antara Herry Wirawan dengan para korban. Tindak pidana Herry Wirawan memenuhi ketentuan Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memuat makna relasi kuasa, yakni menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan kekerasan seksual dan memanfaatkan ketidaksetaraan.56 Terlebih yang menjadi korbannya adalah anak-anak di bawah umur yang tidak memiliki kuasa penuh atau termasuk sebagai golongan yang masih memerlukan perlindungan dan pengawasan orang dewasa. Pemerkosaan dikategorikan sebagai suatu penyiksaan dan merupakan bentuk tindakan yang menimbulkan sakit secara fisik maupun mental.57 Terkait dengan hal ini, konstitusi Indonesia juga menganut aturan tegas terkait jaminan keamanan setiap manusia dari perbuatan yang merendahkan martabat manusia.58 Kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan secara pasti telah melanggar esensi dari kebebasan dan keamanan HAM itu sendiri. Artinya, ada pelanggaran serius terhadap HAM yang dilakukan oleh Herry Wirawan sehingga ada penguatan bahwa penjatuhan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan adalah suatu sanksi yang tepat jika majelis hakim sepakat menjadikan pidana mati ini sebagai suatu ultimatum bagi masyarakat agar tidak melakukan hal serupa. Dengan penjatuhan pidana mati kepada Herry Wirawan, dapat dipahami bahwa majelis hakim mengkonsiderasikan pidana ini untuk menakuti masyarakat. Pidana mati Herry Wirawan merupakan pidana dengan tujuan sebagai general deterrence (pencegahan umum). Dasar teori ini berlandasrkan pada tujuan pidana sebagai bentuk

55 Amelia Arief, “Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana,” Jurnal Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1 (Januari 2019), hlm. 96. 56Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, LN No. 120 Tahun 2022. 57 Mella Fitriyatul Hilmi, “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional,” Jurist-Diction Vol. 2 No. 6 (November 2019), hlm. 2205. 58 Luh Made Khristianti Weda Tantri, “Perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia,” Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021), hlm. 146.

pembelajaran agar masyarakat menjauhi tindak pidana tersebut.59 Pertimbangan Majelis Hakim terhadap pidana yang dilakukan Herry Wirawan dapat dipandang sebagai suatu putusan yang tepat. Tulisan ini setuju dengan penjatuhan hukuman mati tersebut karena dalam kasus ini, selain jerat hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan sebagai pelaku kekerasan seksual, majelis hakim mengkonsiderasikan efek psikologis terhadap masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan seksual serupa dengan Herry Wirawan. Putusan ini dapat menekankan urgensi untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual sekaligus memberikan harapan akan eksistensi hukum positif Indonesia dalam mencegah bahkan menghilangkan praktik kekerasan seksual.

3.4. Urgensi Hukuman Mati Bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Dalam 3 tahun terakhir tepatnya pada tahun 2019 hingga 2021 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA), mencatat bahwa ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan. Jumlah ini menunjukkan sebanyak 39% mengalami kekerasan fisik, 29,8 % kekerasan psikis, dan 11,33% kekerasan seksual.60 Data lain menunjukkan mengenai kekerasan seksual pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA) menjelaskan bahwa pada tahun 2019 terdapat 6.454 dan meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020. Selanjutnya, terjadi peningkatan juga dari tahun 2020 ke 2021 dengan total menjadi 8.730 kasus.61 Pemaparan data di atas kita bisa mengetahui bahwa kasus kekerasan seksual baik yang dialami oleh perempuan atau anak-anak cenderung meningkat. Hal ini menjadi hal yang serius untuk diberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945

59Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 174. 60 CNN, “KemenPPPA : Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Meningkat di 2021,”https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211208195408-20-731671/kemenpppa-kasuskekerasan-anak-dan-perempuan-meningkat-di-2021, diakses pada 29 April 2022. 61 Kompas, “KemenPPPA : 797 Anak jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022,” https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797-anak-jadi-korban-kekerasanseksual-sepanjang-januari2022?page=all#:~:text=Pada%20tahun%202019%2C%20jumlah%20anak,25%2C07%20persen%20m enjadi%208.730, diakses pada 29 April 2022.

yang menjelaskan bahwa negara wajib melindungi harkat martabat anak dan warga negara.62 Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual bagi anak-anak diungkapkan oleh Edmundo Oliveira. Kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak pada anakanak, seperti penyimpangan seksual.63 Dampak lain yang akan dirasakan korban adalah adanya rasa trauma secara seksual. Hal ini dijelaskan oleh Finkelhor dan Browne, jika seorang perempuan menjadi korban kekerasan seksual, ia cenderung memilih pasangan yang sejenis karena tidak ada lagi rasa percaya kepada laki-laki.64 Dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan seksual kepada anak sangat serius dan dalam kebutuhan yang genting. Oleh karena itu, diperlukannya perlindungan hukum agar kasus kekerasan seksual terlebih pada anak dapat menurun dan bahkan teratasi. Pemberian perlindungan hukum ini sangat penting, sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan Indonesia merupakan negara hukum.65 Maksud dari perlindungan hukum di sini adalah upaya pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman untuk hal fisik maupun psikis. Salah satu upaya perlindungan hukum yang dapat diberikan pemerintah maupun aparat penegak hukum adalah dengan membuat regulasi mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual berupa hukuman mati. Dalam KUHP, hukuman mati termasuk dalam pidana pokok, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10.66 Tujuan dari pemberian hukuman mati kepada pelaku kekerasan seksual adalah pemberian efek jera kepada pelaku dan juga orang-orang di luar sana yang berniat untuk melakukan kejahatan yang sama. Hal ini disebut dengan Deterrence theory yang menjelaskan bahwa salah satu cara pencegahan adalah adanya hukuman pidana yang dijatuhkan

62 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 34. 63 Trini Handayani, “Perlindungan dan Penegakkan Hukum terhadap Kasus Kekerasan Seksual Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak,” Jurnal Mimbar Justitia Vol. 2 No. 2 (2016),hlm. 832. 64 Utami Zahirah,et.al, “Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Keluarga,” Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 6 No.1 (2019), hlm.14. 65 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat (3). 66 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,diterjemahkan oleh Moeljatno, cet. 2 (Yogyakarta: Bumi Aksara), Ps. 10.

seseorang sehingga kemungkinan orang lain melakukan kejahatan yang sama menjadi lebih sedikit dari sebelum adanya penjatuhan pidana.67

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hukuman mati yang telah dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Tinggi Bandung (PT Bandung) sudah tepat. Putusan Pengadilan negeri Bandung (PN Bandung) Nomor : 989/Pid.Sus/2022/PN.Bdg., PT Bandung mencerminkan pentingnya upaya preventif dalam menekan angka kekerasan seksual di Indonesia. Mengingat ada beberapa pertimbangan yang memberatkan Herry Wirawan, vonis hakim PT Bandung telah mencerminkan keseriusan negara untuk meminimalisasi peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Ketegasan Hakim untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual juga tercermin dalam putusan tersebut sehingga dapat menimbulkan rasa takut bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual lainnya. PT Bandung juga berhasil mengimplementasikan vonis hukuman mati sebagai ultimum remedium bagi terdakwa. Vonis hukuman mati tersebut menjadi langkah awal untuk mencegah pengulangan kasus tindak kekerasan seksual di Indonesia. Melalui putusan tersebut, hakim juga berupaya untuk menjaga keseimbangan ketertiban masyarakat.

67 Maharani Adiannarista Wardhani, “Efektivitas Penghukuman dalam Studi Kasus Hukuman Penjara dan Hukuman Mati: Kajian Alternatif Penghukuman Lain,” DEVIANCE: Jurnal Kriminologi Vol. 3 No.1 (2019), hlm.75.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Burma Crime. Analysis of Sexual Violence. International Human Rights in Clinic Harvard Law School, 2009. Mertokusumo, R. M. Sudikno. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2004. Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994. Prasetyo,Teguh. Hukum Pidana. Cet, 4. Jakarta: Rajawali Press, 2013. Salah, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1987. Santoso, Topo Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Cet. 2. Depok: RajaGrafindo Persada, 2021.

JURNAL

Arief, Amelia. "Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana." Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1

(2019). Hlm. 97. Bonitua, Yan David. et al. “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap

Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia.” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017). Hlm. 2-4. Handayani, Trini. “Perlindungan dan Penegakkan Hukum terhadap Kasus Kekerasan

Seksual Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak.” Jurnal Mimbar Justitia Vol.

2 No. 2 (2016). Hlm. 832. Heltaji, Herliana. “Dilema Hak Asasi Manusia dan Hukum Mati dalam Konstitusi

Indonesia.” Pamulang Law Review Vol. 4 No. 2 (2021). Hlm. 157-168. Hilmi, Mella Fitriyatul, “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional.” JuristDiction Vol. 2 No. 6 (November 2019). Hlm. 2205. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. “Perempuan dalam Himpitan

Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19.” Jakarta: Komnas Perempuan, 2021.

Tantri, Luh Made Khristianti Weda. “Perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Korban

Kekerasan Seksual di Indonesia.” Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021). Hlm. 146.

Wardhani, Maharani Adiannarista. “Efektivitas Penghukuman dalam Studi Kasus

Hukuman Penjara dan Hukuman Mati : Kajian Alternatif Penghukuman Lain.” DEVIANCE: Jurnal Kriminologi Vol. 3 No.1 (2019). Hlm.75. Widayati, Lidya Suryani. “Pidana Mati dalam RUU KUHP : Perlukah DIatur Sebagai Pidana yang Bersifat Khusus.” Negara Hukum Vol. 7 No.2 (2016). Hlm. 169.

Zahirah, Utami, et.al. “Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak di

Keluarga.” Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 6 No.1 (2019). Hlm.14.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu No. 1 Tahun 2016. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu No. 1 Tahun 2016. Indonesia. Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , UU No. 16 Tahun 2019, LN No. 186 Tahun 2019, TLN No. 6401, Ps. 7 Indonesia. Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297 Tahun 2014, TLN No. 5606.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332. Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012, LN No.153 Tahun 2012, TLN.5332.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Bumi Aksara, 2021.

PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 21/PUU-VI/2008. Pengadilan Negeri Bandung. Putusan No. 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg.

INTERNET

Ayu, Wanda. ”Ultimum Remedium: Antara Prinsip Moral dan Prinsip Hukum.”

https://www.ui.ac.id/ultimum-remedium-antara-prinsip-moral-dan-prinsiphukum/. Diakses 27 April 2022. BBC News Indonesia. “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman

mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas'.”

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59581586. Dakses 27 April 2022.

CNN. “KemenPPPA : Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Meningkat di 2021.”

ttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20211208195408-20731671/kemenpppa-kasus-kekerasan-anak-dan-perempuan-meningkat-di2021. Diakses pada 29 April 2022. CNN Indonesia. “Penjelasan Jaksa soal Tuntutan Mati Tambah Kebiri Kimia Herry Wirawan.”

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220111161642-12745289/penjelasan-jaksa-soal-tuntutan-mati-tambah-kebiri-kimia-herrywirawan/2. Diakses 27 April 2022. CNN. “Perppu Perlindungan Anak Berlaku Hukuman.”

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160525204530-12133459/perppu-perlindungan-anak-berlakukan-hukuman-mati, diakses pada 30 April 2022.

DPR RI. “DPR Setujui RUU TPKS Menjadi UU.”

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/38589/t/. Diakses 8 Juli 2022. Febriyan. “Ini Putusan Lengkap Vonis Herry Wirawan si Pemerkosa 12 Santriwati.”

https://nasional.tempo.co/read/1578364/ini-putusan-lengkap-vonis-herrywirawan-si-pemerkosa-12-santriwati/full&view=ok. Diakses 29 April 2022. HukumOnline.com. “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak.”

https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-yang-diatur-dalamuu-sistem-peradilan-pidana-anak-lt53f55d0f46878. Diakses pada 6 Mei 2022.

HukumOnline.com. “Bentuk Pelecehan Seksual dan Perlindungan Hukum bagi Korbannya.” https://www.hukumonline.com/berita/a/pelecehan-seksuallt61cad9b1860ca?page=al. Diakses 8 Juli 2022. Kompas. “KemenPPPA : 797 Anak jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari

2022.”

https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-sepanjang-januari2022?page=all#:~:text=Pada%20tahun%202019%2C%20jumlah%20anak, 25%2C07%20persen%20menjadi%208.730. Diakses pada 29 April 2022. Kompas.com. “Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan Diharap Bisa Timbulkan Efek

Jera, Dianggap Abai dengan Pemulihan Korban.”

https://nasional.kompas.com/read/2022/04/06/08402651/vonis-hukumanmati-herry-wirawan-diharap-bisa-timbulkan-efek-jera-tapi?page=all. Diakses 28 April 2022. NNC, “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Teru.”

https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasionalhukuman-mati-mesti-jalan-terus-hol17888. Diakses 27 April 2022. NNC. “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus.”

https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasionalhukuman-mati-mesti-jalan-terus-hol17888. Diakses 27 April 2022.

This article is from: