35 minute read

MENURUT HUKUM ISLAM

44 STOPfakes.gov, “Federal Bureau of Investigation”, https://www.stopfakes.gov/article?id=Federal-Bureau-of-Investigation-FBI, diakses 11 Agustus 2022. 45 U.S. Immigration and Customs Enforcemnt, “Federal Law Enforcement Agencies Join Movie Industry to New Anti-Piracy Warning”, https://www.ice.gov/news/releases/federal-law-enforcementagencies-join-movie-industry-unveil-new-anti-piracy-warning, diakses 11 Agustus 2022. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

melalui agen bagian pengaduan.44 Adapun terdapat lembaga tingkat federal turut bergabung dalam industri perfilman untuk melawan pembajakan. Homeland Security Investigations (HIS) sebagai cabang investigasi terbesar dari Department of Homeland Security memegang peran utama menarget organisasi kriminal yang bertanggung jawab untuk memproduksi, menyelundupkan, dan mendistribusikan produk palsu dan bajakan.45 Selain itu, HSI juga berfokus pada pembongkaran organisasi kriminal di balik kegiatan terlarang seperti pembajakan film.

Advertisement

5. Analisis Sanksi Pidana Kasus Posisi Menurut United States Code

Sebagai negara civil law, dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia diketahui hakim tidak terikat dengan preseden ataupun doktrin stare decicis sehingga rujukan hukum yang utama adalah undang-undang ketimbang yurisprudensi. Pada kasus dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb, terlihat kekhasan muatan putusan yang secara tertulis tidak menyertai penjelasan pertimbangan berdasarkan putusan hakim terdahulu. Putusan hanya menyebutkan dasar pertimbangan dakwaan berdasarkan terpenuhinya unsur pasal-pasal yang dikenakan terhadap terdakwa, yaitu Pasal 113 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Hal ini berbeda dengan putusan pengadilan Amerika Serikat yang biasa merujuk pada putusan hakim terdahulu. Untuk memudahkan perbandingan hukum, dalam tulisan ini dilakukan pengandaian jika kasus pada Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb terjadi di Amerika Serikat. Dalam kasus ini, AFP & RBP menjadi administrator situs platform yang mengunggah 3000 film bajakan melalui layanan streaming, kemudian AFP mendapat keuntungan melalui iklan. Merujuk pada Section 506 Title 7 yang memuat criminal offenses, perbuatan “work being prepared for commercial distribution” terhadap gambar bergerak—dalam hal ini film—yang pada saat dilakukan pengunggahan ke situs layanan streaming, film-film tersebut dibuat baik telah tersedia untuk ditayangkan di fasilitas pameran film (mencakup teater film) maupun belum tersedia salinannya untuk dijual kepada umum di

46 Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Containted in Title 17 of the United States Code, Section 2319. 47 Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Containted in Title 17 of the United States Code, Section 2323. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Amerika Serikat dalam format yang ditujukan untuk mengizinkan film tersebut ditayangkan di luar fasilitas pameran film. Perbuatan AFP termasuk ke dalam frasa “work being prepared for commercial distribution”, mengingat dalam kasus posisi dijelaskan bahwa situs DUNIAFILM21 merupakan sarana bagi terpidana mengunggah sekitar 3000 judul film dan mendapat keuntungan dari layanan memasang iklan di situs tersebut. Dengan demikian, terpenuhinya unsur-unsur yang termuat dalam Section 506(a)(1)(C) akan merujuk pada sanksi pidana yang termuat dalam Section 2319(d)(3), yaitu setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana termuat dalam Section 506(a)(1)(C) pada Title 17, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, denda, atau keduanya.46 Adapun pelanggaran dilakukan bukan pertama kalinya sebagaimana diatur dalam subsection (a). Kemudian, berdasarkan Section 2323(c), pelanggaran terhadap Section 506 menjadikan pengadilan mewajibkan terpidana untuk membayar restitusi untuk korban pelanggaran.47

III. PENUTUP

Regulasi mengenai pembajakan film secara daring dapat ditemukan dalam Pasal 113 ayat (4) UU HC. Peraturan tersebut telah menyatakan secara eksplisit mengenai pembajakan film yang merupakan sebuah pelanggaran atas hak ekonomi pencipta. Ditemukan juga definisi pembajakan yang sudah termaktub dalam Pasal 1 angka 23 UU HC. Oleh karena itu sudah cukup komprehensif pengaturan mengenai pembajakan film secara daring dalam UU HC. Mengenai penerapan hukum dalam putusan yang dianalisis, pertimbangan hakim untuk menggunakan dakwaan alternatif kedua sudah tepat, karena UU HC lebih spesifik dalam mengatur tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Akan tetapi, penggunaan dakwaan alternatif kedua subsider dirasa kurang tepat, hal ini dikarenakan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur pembajakan sebagaimana diatur dalam undangundang terkait. Perbandingan hukum mengenai topik bahasan ini dalam regulasi di Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan

kelemahan masing-masingnya sehingga dapat menjadi masukan untuk melakukan pembaharuan pengaturan dan implementasi sanksi tindak pidana pembajakan film secara daring di Indonesia agar menjadi lebih baik. Perihal pengaturan hukum pembajakan film secara daring, penulis berpendapat bahwa regulasi pidana pada US Copyright Law lebih lengkap dan mendetail dibandingkan dengan UU HC. US Code memuat kerangka sanksi pidana yang lebih mendalam, misalnya mempertimbangkan total nilai eceran dari kegiatan distribusi film secara ilegal dalam menentukan sanksi pidana yang dikenakan. Hal ini menambah nilai kepastian hukum terhadap ragam pelanggaran pembajakan film secara daring yang bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Dalam meninjau UU HC dan US Copyright Law, ditemukan persamaan seperti dikenalnya fair use dalam hal penggandaan dan distribusi film untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Adapun perbedaan mencolok ditemui dalam hal lembaga yang berwenang di mana dalam penerapan sistem peradilan pidana di Amerika Serikat terdapat lembaga berwenang khusus di tingkat negara bagian untuk menindaklanjuti laporan terkait pembajakan film, sedangkan di Indonesia akan merujuk pada penyidik dan penyelidik secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1, cet 6. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. Arifardhani, Yoyo. Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, ed. 1, cet 1. Jakarta: Kencana, 2020. Astar, Abdul. Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: Deepublish, 2018. Bachtiar. Metode Penelitian Hukum, cet.1. Tangerang Selatan: UNPAM Press, 2018. Chazawi, Adami. Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Malang: Bayumedia Publishing, 2007. Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015. Maulana, Insan Budi. Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual). Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005. Syamsudin, M. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Yusran, Isnaini. Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual). Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Jurnal

Ningsih, Ayup Suran dan Balqis Hediyati Maharani. “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring.“ Jurnal Meta-Yuridis, Vol. 2 No.1 (2019). Hlm. 13-28. Pandiangan, Hendri Jayadi. “Perbedaan Hukum Pembuktian dalam Perspektif Hukum Acara Pidana dan Perdata.” Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 3, No.2 (Agustus 2017). Hlm. 565-583. Permata, Rika Ratna, dkk. “Regulasi Doktrin Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta pada Platform Digital Semasa dan/atau Pasca Pandemi COVID-19.” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 13 No. 1 (November 2021). Hlm. 130-148. Rasyid, Fitri Pratiwi. “Kajian Relevansi Delik Aduan Pada Implementasi Undang-Undang Hak Cipta.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 32 No. 2 (2020). Hlm. 212-227. Stanzah, M. Jeffry dan Tatty A. Ramli. “Pencatatan Ciptaan E-Hak Cipta dan Kedudukan Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002). Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014. Indonesia. Undang-Undang Perfilman. UU No. 33 Tahun 2009, LN No. 45 Tahun 2009, TLN No. 5060. Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE004/J.A/11/1993 tentang Surat Dakwaan.

Dokumen Internasional

Department of Justice Archives. United States Code. United States Senate. Constitution of the United States. Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Contained in Title 17 of the United States Code.

Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Jambi. Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb.

Internet

Akamai. State of the Internet/Security: Pirates in the Outfield, Vol. 8 Issue. 1. https://www.akamai.com/resources/state-of-the-internet/soti-security-pirates-inthe-outfield. Diakses 3 Agustus 2022. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Surat Pencatatan Ciptaan dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi Pencipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.” Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2 (2018). Hlm. 776-781. Wiratama, Anak Agung Gde Chandra, I Nyoman Putu, dan Diah Gayatri Sudibya Budiartha. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Terkait Kegiatan Streaming dan Download Film Bajakan Melalui Website Ilegal.” Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 3 No. 2 (2022). Hlm. 70-75. Yanto, Oksidelfa. “Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD).” Yustisia, Vol. 4 No. 3 (2015). Hlm. 746-760.

LegalMatch. “Movie Piracy Lawyers.” https://www.legalmatch.com/lawlibrary/article/movie-piracy.html. Diakses 6 Agustus 2022. Pratama, Bambang. “Fair Use vs Penggunaan yang Wajar dalam Hak Cipta.” https://business-law.binus.ac.id/2015/01/31/fair-use-vs-penggunaan-yang-wajardalam-hak-cipta/. Diakses 7 Agustus 2022. Constitutional Rights Foundation. “Digital Piracy in the 21st Century.” https://www.crfusa.org/bill-of-rights-in-action/bria-23-4-b-digital-piracy-in-the-21st-century. Diakses 6 Agustus 2022. LegalMatch. “Movie Piracy Lawyers.” https://www.legalmatch.com/lawlibrary/article/movie-piracy.html. Diakses 6 Agustus 2022. STOPfakes.gov. “Federa Bureau of Investigation.” https://www.stopfakes.gov/article?id=Federal-Bureau-of-Investigation-FBI. Diakses 11 Agustus 2022. U.S. Immigration and Customs Enforcemnt. “Federal Law Enforcement Agencies Join Movie Industry to New Anti-Piracy Warning.” https://www.ice.gov/news/releases/federal-law-enforcement-agencies-join-movieindustry-unveil-new-anti-piracy-warning. Diakses 11 Agustus 2022.

BIODATA PENULIS

R. Farah Najwa Madiena merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 kelahiran Depok, 15 Maret 2003. Farah bergabung di organisasi LK2 FHUI.

Melvina Indria merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 kelahiran Jakarta, 14 Juni 2003. Farah bergabung di organisasi LK2 FHUI.

Farrell Charlton Firmansyah merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Bogor, 19 Februari 2002. Farrell bergabung di organisasi LK2 FHUI.

PENJATUHAN SANKSI PIDANA DITINJAU DARI ASAS KESEIMBANGAN MENURUT HUKUM ISLAM

Muhammad Radithya Shinhadrian Ali

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: muhammad.radithya@ui.ac.id

Abstrak

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang berbeda terhadap tindak pidana yang sama tanpa ada dasar pembenaran yang jelas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan sumber hukum sekunder menggunakan bahan hukum primer dan sekunder yang akan digunakan untuk menganalisa pandangan hukum pidana Islam terhadap disparitas pidana. Disparitas merupakan suatu hal yang wajar dan tidak melanggar hukum dalam penjatuhan sanksi pidana. Hal ini dikarenakan Hakim menggunakan asas keseimbangan yang memperhatikan kondisi pelaku dalam melakukan tindak pidana serta kondisi ketika pelaku akan menjalani hukumannya. Dari penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa Hakim menggunakan asas keseimbangan yang dikenal dalam Hukum Pidana Islam sebagai salah satu dasar pertimbangan penjatuhan putusan. Kata Kunci: Hukum Pidana Islam, Disparitas Pidana, Asas Keseimbangan

Abstract

Criminal disparity is the application of different punishments to the same crime without a clear justification. This study uses a normative legal research method with the library research type to analyze Islamic criminal law's views on criminal disparities. The criminal disparity is the application of unequal punishment to the same crime or crimes of a dangerous nature, which can be compared without a clear justification. Disparity is a natural thing and does not violate the law in imposing criminal sanctions. It is reasonable and can be done because the judge uses a balance principle that pays attention to the perpetrator's condition in committing a crime and the conditions when the perpetrator will serve his sentence. From the research conducted, it can be seen that judges use the principle of balance known in Islamic Criminal Law as one of the basic considerations for making decisions.

Keyword: Islam Criminal Law, Criminal Disparity, Balance Principle

I. PENDAHULUAN

Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same of ence) atau terhadap tindak tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (of ences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Selanjutnya tanpa merujuk “legal category”, disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman terhadap mereka yang melakukan suatu delik secara bersama.48 Disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam, karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak Negara untuk memidana.49 Menurut Harkristuti Harkrisnowo, disparitas pidana merupakan implementasi putusan pidana terhadap Terdakwa dimana terdapat perbedaan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana yang sama, tanpa dasar pembenaran yang jelas.50 Disparitas putusan hakim akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan orang-orang lain akan merasa menjadi korban (victim) dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan pemidanaan.51 Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:52 a. Disparitas antara tindak pidana yang sama; b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama; c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim; d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

48 Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Nimerodi Gulo dan Ade Kurniawan M. “Disparitas dalam Penjatuhan Pidana,” Masalah-Masalah Hukum 47, (Juli 2018), hlm. 216. 49 Nimerodi Gulo dan Ade Kurniawan M. “Disparitas,” hlm. 217. 50 Togar S.M. Sijabat, “Disparitas Putusan Hakim dalam Perkara Narkotika,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/disparitas-putusan-hakim-dalam-perkara-narkotikalt5705da9c9e32d, diakses 5 Juni 2022. 51 Wahyu Nugorho, “Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Kajian terhadapPutusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg” Jurnal Yudisial 5, (2012), hlm. 263. 52 Komisi Yudisial, Disparitas Putusan Hakim (Identifikasi dan Implikasi), (Jakarta: Komisi Yudisial, 2014), hlm. 255.

53 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuahan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003, hlm. 8-9. 54 Lihat Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 55 Wahyu Nugorho, “Disparitas Hukuman”, hlm. 278. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Sesungguhnya disparitas pidana merupakan hal yang sah untuk dilakukan, karena hukum memberi kewenangan mengambil keputusan atau judicial discretionary power yang luar biasa pada hakim, sesuai dengan prinsip kebebasan pengadilan (judicial independence). Hakim memiliki independensi, dan setiap kasus memiliki karakteristik khusus yang tak mungkin disamakan dengan yang lain. Disparitas yang sangat besar seringkali terlihat antara tindak pidana yang dilakukan oleh orang “kecil” dan orang “besar”, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah disparitas yang terjadi semata-mata karena adanya perbedaan karakteristik kasus belaka?53

UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa hakim bersifat bebas dalam memberikan putusannya tanpa adanya intervensi pihak dari manapun. Hal itulah yang membuat Hakim memiliki kewenangan untuk memberikan disparitas terhadap setiap putusan.54

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa terdapat beberapa kemungkinan yang akan menjadi dampak dari disparitas putusan hakim. Masyarakat menganggap disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dasar. Pertama, dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemberian sanksi pidana. Kedua, terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya. Ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidakadilan. Keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan. Dan terakhir, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System. 55 Hukum pidana dikenal juga dengan Penal Law atau Criminal law dalam bahasa Inggris atau Jinayah dalam bahasa Arab. Moeljatno memberikan pengertian hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasardasardan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Criminal Act); menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (Criminal Liability/Criminal Responsibility);

56 Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, cet. 1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2020), hlm. 10. 57 Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 147. 58 Umar Muhaimin, “Metode Istidlal dan Istishab (Formulasi Metodologi Ijtihad)”, YUDISIA, Vol. 8, No. 2, (Desember 2017), hlm. 333. 59 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat An Nisa (4): 59.

dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Criminal Procedure/Hukum Acara Pidana).56 Dalam Islam juga terdapat hukum pidana yang dikenal dengan Jinayah yang bersumber langsung dari Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad para ahli sebagai sumber-sumber hukum Islam. Banyak orang yang menganggap hukum pidana Islam sangat kejam akibat banyaknya sanksi fisik sebagai hukuman dari suatu tindak pidana. Muhammad Iqbal Siddiqi dalam bukunya berpendapat bahwa kritik terhadap hukuman dalam Islam dapat disebabkan oleh tidak disadarinya alasan spiritual dari hukuman itu. Hukuman bukanlah hal yang dijatuhkan secara kejam oleh seorang kepada orang lain. Melainkan suatu pelaksanaan dari ketentuan Allah terhadap hamba-hambanya. Ketaatan kepada hukum Allah adalah karakter dasar bagi Muslim yang benar.57 Bahkan sesungguhnya dalam hukum pidana Islam dikenal adanya asas pemaafan. Asas pemaafan adalah asas dimana korban atau keluarga korban dapat memaafkan pelaku kejahatan dan hukumannya digantikan dengan membayar diyat (uang pengganti). Selain itu, dalam hukum pidana Islam juga dikenal adanya asas keseimbangan dimana pelaku tindak pidana dihukum seimbang berdasarkan tindak pidananya dan berdasarkan kondisinya dalam melakukan tindak pidana, kondisinya dalam akan menjalankan hukuman, dan kondisi korban dari tindak pidana yang dilakukannya. Dalam pidana Islam, Hakim dalam penjatuhan putusan juga dapat melakukan Isti’dal, yaitu pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur`an, as-Sunnah, maupun alMaslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni Qur`an, asSunnah, Ijma’ dan Qiyas, atau metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi, al-’Urf, dan Syar`u Man Qablana, istihsan, istihlah maupun sad al-dzariah. 58 Penggunaan Isti’dal dalam pertimbangan hakim didasarkan kepada firman Allah QS. An-Nisa (4:59), yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.59

II. PEMBAHASAN II.1. Mengapa Suatu Tindakan Dijatuhi Sanksi?

Dalam hukum pidana dikenal adanya tujuan pemidanaan, adapun teori tujuan pemidanaan yang berkembang di dalam hukum pidana barat seperti teori absolut, relatif, dan gabungan yang dikenal di negara-negara Eropa Kontinental. 1) Teori Absolut Teori yang pertama, teori pembalasan atau teori absolut, teori ini telah dianut dan diterima selama berabad-abad. Selama berabad-abad hampir tidak ada keraguan lagi bahwa kejahatan harus disusul dengan pidana, tidak peduli apakah dengan penjatuhan pidana itu akan dicapai tujuan tertentu atau tidak.60 Aliran teori ini lahir sebagai reaksi terhadap ancien regime yang abritair pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastianhukum, ketidaksamaan dalam hukum dan keadilan.61 Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.62 Teori absolut menitikberatkan kepada pembalasan yang layak

166. 60 Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, cet. 1 (Jakarta:Rajawali Pers, 2020), hlm. 165-

61 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 29. 62 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet 4 (Jakarta:Rineka Cipta, 2019), hlm. 31. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Dalil di atas dapat menjadi dasar bagi hakim sebagai pertimbangan dalam penjatuhan putusan. Dalil-dalil dalam Al-Quran, sunnah maupun ijtihad ulama dapat menjadi dasar pertimbangan oleh hakim sebagai pendukung dalam proses pengadilan selain hukum nasional materiil yang berlaku.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah asas keseimbangan dalam penjatuhan sanksi pidana? 2. Bagaimanakah disparitas pidana dan hukum pidana Islam memandang disparitas pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan jenis penelitian kepustakaan yaitu menggunakan sumber sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan disparitas pidana dan hukum pidana Islam sebagai bahan rujukan penulisan.

63 Ibid. 64 Ibid. 65 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 25. 66 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni 1992) hlm. 26-28. 67 Topo Santoso, Hukum Pidana, hlm. 172. 68 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 31. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku. Teori ini dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjanayang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu juga sarjana hukumIslam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al Quran.63 Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Dalam contohnya, Vos menunjuk contoh pembalasan objektif di mana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang Lebih serius dan yang lain dan akan dipidana lebih berat.64 Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana perbuatan dan bukan pada pelakunya (daad-strafrecht).65 Teori ini berpijak pada tiga tiang yaitu asas legalitas, asas kesalahan, dan asas pembalasan.66 2) Teori Relatif Teori yang berikutnya yaitu teori relatif, teori ini merupakan kritik atas teori yang pertama (teori absolut). Penganut teori ini mengatakan bahwa pidana tidak boleh dijatuhkan hanya semata-mata sebagai respons dilakukannya kejahatan atau hanya melihat ke masa lalu saja (backward looking) tetapi pidana harus melihat jugakemasa depan (forward looking). Pidana harus ada tujuan dan manfaatnya baik untuk pelaku, korban, maupun masyarakat.67 Tujuan ini berpegang pada postulat le salut dupeople est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.68 Jika aliran klasik menghendaki hukum pidana perbuatan atau daad-strafrecht, maka aliran modern menghendaki hukum pidana yang berorientasi pada pelaku atau daderstrafrecht. Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan yang

69 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip, hlm. 31. 70 Topo Santoso, Hukum Pidana, hlm. 172. 71 Topo Santoso, Hukum Pidana, hlm. 193. 72 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana, (Surabaya:Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm.186. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

pertama, memerangi kejahatan kedua, memperhatikan ilmu lain dan ketiga, ultimum remidium. 69 Teori ini juga dikenal sebagai teori tujuan atau teori utilitarian. Menurut teori utilitarian yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, pidana dijatuhkan bukan sekedar untuk menjadi pidana, tetapi untuk mencapai kemanfaatan dan tujuan tertentu dan pidana tersebut harus ada alasannya bukan “punishment for the sake of punishment.”70 Topo Santoso dalam bukunya Hukum Pidana Suatu Pengantar (2020) menguraikan teori relatif ini menjadi delapan teori yaitu: general deterrence/general prevention; specific deterrence/specific prevention; rehabilitation/education/medical; social protection; incapacitation; isolation; reintegration; dan restitution. 3) Teori Gabungan Kemudian teori yang ketiga adalah teori gabungan. Teori ini menggabungkan dua teori sebelumnya, yaitu dengan mendasarkan pidana atas dasar pembalasan sekaligus mempertahankan tata tertib masyarakat.71 Utrecht kemudian dalam bukunya membagi teori-teori yang menggabungkan teori absolut dan teori relatif ini menjadi tiga golongan, yaitu:72 a. teori-teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, namun pembalasan itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat; b. teori-teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana; c. teori-teori gabungan yang kedua hal di atas, yaitu pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat titik beratnya harus sama. Berbeda dengan teori tujuan pemidanaan dalam hukum barat yang lahir dari pemikiran manusia, teori tujuan pemidanaan dalam Islam berasal dari petunjuk Allah yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai kitab suci dan pegangan umat Islam. Islam menggariskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan pada dasarnya jiwa manusia itu sendiri suci. Manusia itu sendirilah yang kemudian menentukan jalan yang ia pilih. Kebersihan jiwa itu dipengaruhi oleh tingkat religiusitas (iman) seseorang selain

73 Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan dalam Islam,” In Right Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia 1 (2011), hlm. 25. 74 Topo Santoso, Asas-Asas, hlm. 150 75 Ibid., hlm. 151. 76 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat Al Baqarah (2): 178-179. 77 Mohammad Shabbir, Outlines of Criminal Law and Justice in Islam, (Selangor Darul Ihsan: International Law Book Services, 2002), hlm. 34. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

faktor lingkungan sekitarnya.73 Para ahli hukum pidana Islam berdasarkan pengkajian atas pidana dalamIslam, merumuskan tujuan pemidanaan dalam Islam, yaitu: 1) Pembalasan (al-Jazā’) Tujuan dari pemidanaan dalam Islam yang pertama adalah pembalasan. Tujuan pembalasan menjelaskan bahwa setiap pelaku tindak pidana harus diberikan balasan yang setimpal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan retributif (pembalasan) ini sebagai gambaran hukuman hadd, yaitu kerasnya hukuman, dan larangan setiap bentuk mediasi berkenaan dengan hal ini, dengan kata lain hukuman wajib dijalankan jika kejahatan terbukti.74 Berbeda dengan teori retributif dalam sistem hukum pidana yang lain, dalam hukum pidana Islam dikenal dengan adanya pemaafan (afwun). Bahkan dalam qisas meskipun seseorang berhak menuntut pembalasan, tetapi jika ia mau memaafkan, hal itu diperkenankan.75 Pemaafan ini disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 178-179 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan)kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih; Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.76

Berdasarkan teori pembalasan, hukuman yang diberikan harus mencapai keadilan bagi korban. Kelegaan hati korban, ahli waris korban, dan orang-orang yang berinteraksi dengan korban benar-benar dijamin oleh tujuan retributif. Tujuan ini dapat pula meredam semangat balas dendam yang berpotensi menimbulkan tindak pidana yang lain.77

2) Pencegahan (az-Zajr) Tujuan pencegahan dimaksudkan untuk mencegah agar suatu tindak pidana tidak

78 Topo Santoso, Asas-Asas, hlm. 150-151. 79 Topo Santoso, Asas-Asas, hlm. 151. 80 Mahmood Zuhdi Ab. Majid, Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syari`ah di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), hlm. 44. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

terulang lagi. Dalam hukum pidana Islam, aspek pencegahan lebih dalam dan lebih tegas dibanding sistem lain. Pencegahan dikenal sebagai justifikasi utama untuk penghukuman, khususnya untuk hukuman hadd. 78 Mawardi sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan hudud sebagai hukuman-hukuman pencegahan yang ditetapkan Allah untuk mencegah manusia dari melakukan apa yang Ia larang dan dari melalaikan apa yang Dia perintahkan. Sementara itu Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa hukuman hadd bernilai baik sebagai perbaikan (reformatif), pembalasan (retributif), maupun pencegahan (deterrence).79 Selain hudud, ta’zir juga berkaitan dengan tujuan pencegahan. Kata ta’zir secara etimologis berasal dari kata kerja azar yang berarti mencegah, respek, dan memperbaiki. Dalam literatur-literatur hukum Islam, ta’zir menunjukkan hukuman yang ditujukan, pertama untuk mencegah para penjahat melakukan kejahatan lebih jauh dan untuk memperbaiki dia. Lalu kemudian Ibn Farhun mendefinisikan tujuan ta’zir yaitu sebagai hukuman disipliner, perbaikan dan pencegahan. Lebih lanjut, tujuan pencegahan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pencegahan umum yang ditujukan kepada seluruh masyarakat dengan harapan mereka tidak akan melakukan tindak pidana karena takut dengan hukuman. Dan pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku untuk mencegah pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya. Kamal bin al-Humam sebagaimana dikutip oleh Abd Majid mengatakan apabila hukuman dilaksanakan secara terbuka maka pencegahan umum akan lebih efektif karena dapat disaksikan langsung oleh masyarakat luas dan dapat mengambil pelajaran dari pelaksanaan hukuman tersebut.80 3) Pemulihan/Perbaikan (al-Islāh) Tujuan mendasar lain dari pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah untuk memperbaiki pelaku kejahatan keinginan untuk melakukan kejahatan. Bahkan, dalam pandangan beberapa ahli hukum, tujuan ini sendiri merupakan tujuan paling mendasar dari sistem pidana Islam. Dalam Quran Surah Al-Maidah (5): 38-39 Allah berfirman: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah

menerima taubatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.81

Fakta bahwa pemulihan ini merupakan salah satu tujuan mendasar dari sistem hukum pidana Islam adalah pandangan para ahli hukum tentang tujuan pengasingan atau pemenjaraan. Para ahli berpendapat, tujuan pengasingan atau pemenjaraan adalah untuk merehabilitasi pelaku. Berdasarkan tujuan ini, kemudian mereka berasumsi bahwa hukuman seperti itu akan terus berlanjut sampai pelaku benar-benar bertobat.82 Tujuan paling jelas dari pemulihan ini dapat dilihat dalam hukuman takzir. Tujuan takzir itu sendiri seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah untuk mendidik dan merehabilitasi para pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, meskipun pidana penjara seumur hidup diperbolehkan, tetapi jika diduga pelaku telah berhenti melakukan kejahatan, mereka harus diampuni. Namun, tujuan ini dirasa akan kurang efektif bagi penjahat yang sudah profesional atau sudah terbiasa (misalnya residivisme). Orangorang seperti ini akan sulit untuk memahami nilai dari pemulihan sehingga upaya mereka untuk memperbaiki perilaku mereka akan sia-sia.83 Aspek rehabilitasi dari hukuman dalam Islam ditunjukkan dengan bahwa hukuman menjadi kaffarah. Ini semisal dalam al-Qur’an surat al-Nur (24): 4-5, yang mengatur tentang tindak pidana qadzaf, di mana diberikan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri, yang memungkinkan untuk diadakan pengurangan hukuman.84 4) Restorasi (al-Isti`ādah) Sebelumnya telah dibahas tentang tujuan pemulihan (reformasi) yang berorientasi kepada pelaku tindak pidana. Berbalik dari tujuan reformasi tersebut, tujuan restorasi ini lebih berorientasi kepada korban (victim oriented). Tujuan ini lebih untuk mengembalikan suasana seperti semula, merekonsiliasi korban (individu atau masyarakat) dan pelaku tindak pidana, dan mendorong pelaku untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatannya.85 Dalam pidana Islam tujuan ini dapat dilihat dari adanya hukuman diat sebagai pengganti dari qisas apabila korban memaafkan pelaku. Pemberian maaf dari korban

81 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat Al Maidah (5): 38-39. 82 Mahmood Zuhdi Ab. Majid, Bidang Kuasa, hlm. 44. 83 Mohammad Shabbir, Outlines of Criminal, hlm. 31. 84 Nafi Mubarok, “Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional dan Fiqh Jinayah”, AlQānūn, 18, (Desember 2015), hlm. 314. 85 Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan”, hlm. 33. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

86 Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan”, hlm. 34. 87 Ibid., hlm. 34-35. 88 Ibid., hlm. 35. 89 Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan”, hlm. 36. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

yang kemudian diikuti oleh pemberian diat oleh pelaku tindak pidana merupakan salah satu bentuk rekonsiliasi yang dapat mengikis rasa dendam kedua belah pihak dan mewujudkan kembali kedamaian yang telah terusik di antara kedua belah pihak.86 5) Penebusan Dosa (at-Takfīr) Hal yang paling membedakan antara hukum pidana Islam dan system hukum pidana lain adalah tujuan penebusan dosa. Penebusan dosa ini menggambarkan adanya dimensi ukhrawi dalam hukum pidana Islam, karena ketika seseorang melakukan kejahatan ia tidak hanya dibebankan pertanggungjawaban di dunia saja tetapi juga pertanggungjawaban di akhirat kelak. Menurut sebagian ahli fikih, penjatuhan hukuman di dunia adalah untuk menggugurkan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan. Sedangkan di dalam system hukum pidana lain, tujuan ini dialihkan menjadi rasa bersalah yang menekankan kepada aspek psikologis pelaku. Oleh karenanya karena bersifat duniawi terkadang pelaku tidak merasa bahwa dirinya bersalah telah melakukan tindak pidana dan tidak tampak adanya penyesalan dari dalam dirinya.87 Konsep hukuman sebagai penghapus dosa yang lebih tepat menurut hukum pidana Islam adalah apabila diikuti dengan unsur taubat di dalamnya. Pengampunan terhadap dosa-dosa horizontal dan vertikal baru terjadi apabila muncul rasa menyesal dalam lubuk hati pelaku tindak pidana dan adanya niat yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah ia lakukan. 88 Konsep hukuman sebagai pengampunan dosa yang lebih tepat menurut hukum pidana Islam diikuti dengan unsur pertobatan di dalamnya. Pengampunan dosa horizontal dan vertikal hanya baru terjadi ketika pelakunya memiliki perasaan penyesalan dan niat yang kuat agar tidak mengulangi tindak pidana yang telah dia lakukan. Unsur taubat dalam tujuan ini lahir dari pemikiran terhadap tindak pidana riddah. Namun, menurut sebagian ahli fikih, taubat semata dalam hukum pidana Islam tidak otomatis menghapus hukuman karena taubat hanya menggugurkan hukuman yang berkaitan dengan hak hak Allah saja, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individu tidaklah gugur dengan sendirinya.89 Tujuan hukuman sebagai penebusan dosa, dalam hukuman pidana Islam terlihat lebih jelas pada tindak pidana yang dijatuhi hukuman kafarat. Tindak pidana dan

A. Faktor yang Mempengaruhi Penjatuhan Hukuman Pidana oleh Hakim

Hukuman pidana yang dicantumkan dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang hukuman pidana biasanya hanya menyebutkan maksimal hukuman saja, minimal hukuman saja, atau rentang dari hukuman minimal hingga maksimal. Lalu kemudian apa yang menyebabkan putusan Hakim berbeda-beda antara satu tindak pidana yang sama namun dilakukan oleh pelaku yang berbeda. Hakim disini diberikan kebebasan pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan pemenuhan unsur suatu pasal pidana, alat bukti, gugatan jaksa, dan fakta-fakta selama persidangan. Hakim dalam penjatuhan hukuman perlu melihat dari pemenuhan unsur tindak pidana, dasar pemberat pidana, dan alasan yang meringankan pidana. 1) Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Dalam suatu persidangan pidana harus seorang terdakwa harus dibuktikan kesalahannya oleh jaksa apakah ia memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Untuk mengetahui suatu unsur dalam tindak pidana itu terpenuhi, dalam persidangan akan dilakukan pembuktian. Dalam Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memper oleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jadi dalam menyatakan terdakwa bersalah atau tidak, hakim harus mempertimbangkan atau memiliki keyakinan dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sah yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Kemudian dari alat bukti minimum tersebutlah hakim akan menarik kesimpulan untuk menentukan apakah terdakwa bersalah melakukan tindak pidana atau tidak.91 2) Dasar Pemberat Pidana Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana

90 Ibid., hlm. 37. 91 Aristo M. A. Pangaribuan, Arsa Mufti dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020), hlm. 282. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

hukuman ini ditentukan secara spesifik oleh syariat, semata-mata sebagai upaya penebusan dosa karena telah melakukan sesuatu yang dilarang baik dalam bentuk perkataan ataupun perbuatan.90

B. Asas Keseimbangan dalam Pidana Islam

Sebagaimana suatu sistem hukum, hukum pidana Islam juga memiliki asas-asas yang

92 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002), hlm. 73. 93 Suci Kurnia Ramadhani, “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan (Studi di Pengadilan Negeri Sidoarjo)” (2013), hlm. 9-10. 94 Suci Kurnia Ramadhani, “Dasar Pertimbangan”, hlm. 7-8. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

diluar KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain.92 Adapun KUHP menyebutkan tiga dasar yang menjadi pemberat pidana umum, yaitu: tindakpidana yang dilakukan karena jabatan yang disebutkan dalam Pasal 52 KUHP; tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia dalam Pasal 52a KUHP; dan tindak pidana pengulangan (recidive) yang disebutkan dalam Pasal 386, 387, 388, 486, 487, dan 488 KUHP. Selain dasar pemberat yang disebutkan di atas, yang menjadi dasar Hakim untuk memberatkan hukuman terdakwa adalah sikap terdakwa tidak sopan selama di persidangan, terdakwa tidak mengakui perbuatan yang dimana terdakwa telah terbukti bersalah, menimbulkan kerugian materiil bagi korban, hilangnya nyawa dalam tindak pidana, dan unsur berencana.93 3) Dasar Peringan Pidana Dasar peringan pidana adalah dasar yang membuat pelaku diancam dengan hukuman yang lebih ringan dari yang semestinya. Dalam KUHP, menyebutkan dasar peringan pidana antara lain tindak pidana merupakan tindak pidana percobaan seperti yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP, tindak pidana pembantuan dalam Pasal 56KUHP, seorang ibu yang takut kelahiran anaknya diketahui kemudian meninggalkan anaknya atau membunuh anaknya tersebut yang disebutkan dalam Pasal 342 dan 343

KUHP. Selain itu, di luar KUHP seorang anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana juga merupakan dasar peringan pidana yang disebutkan dalamUndang-Undang

No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”). Adapun alasan lain yang dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan selama persidangan, terdakwa kooperatif dalam persidangan, adanya penyesalan yang dilihat dari terdakwa, dan terdakwa adalah tulang punggung keluarga.94

95 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat An Nisa (4): 92-93. 96 Adiansyah Nurahman dan Eko Soponyono, “Asas Keseimbangan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkeadilan”, Pandecta 13 (Desember 2019), hlm. 103. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

menjadi dasar tegaknya hukum pidana Islam. Neng Djubaedah berpendapat ada lima belas asas dalam hukum pidana Islam diantaranya yaitu asas keseimbangan. Asas keseimbangan dalam hukum pidana Islam melihat kepada keseimbangan antara pelaku tindak pidana dan korban serta antara individu dan masyarakat. Dalam Al-Quran Surah An-Nisa (4): 92-93 Allah berfirman: Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana; Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.95

Ayat di atas menjelaskan keseimbangan dalam suatu tindak pidana pembunuhan yang dilihat dari keadaan pelaku pembunuhan dan korban dari pembunuhan tersebut. Allah menyebutkan hukuman bagi seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh seorang beriman lain hukumannya berbeda apabila ia tidak sengaja membunuh orang beriman yang memusuhinya atau tidak sengaja membunuh orang kafir. Kemudian Allah juga menyebutkan dibolehkannya pemaafan dari keluarga korban (ahli waris). Lalu untuk hukuman apabila membunuh seorang beriman dengan sengaja maka balasannya adalah neraka Jahanam dan Allah murka dan melaknatnya (azab dari Allah di akhirat). Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Adiansyah Nurahman dan Eko Soponyono dalam jurnalnya96, menyebutkan ide keseimbangan antara lain mencakup: a) Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan; b) Keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide

97 Adiansyah Nurahman dan Eko Soponyono, “Asas Keseimbangan”, hlm. 103. 98 Splitsing perkara adalah pemecahan satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa tersebut dipecah menjadi dua atau lebih.

individualisasi pidana) dan korban tindak pidana; c) Keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin); ide daad-dader strafrecht; Keseimbangan antara kriteria formal dan materil; d) Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas, dan keadilan; e) Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/universal.

Jika dikaitkan pendapat Barda Nawawi dengan QS 4:92-93, ide keseimbangan dari Barda Nawawi sejalan dengan keseimbangan dalam QS 4:92-93. Keseimbangan antara perlindungan pelaku dan korban tindak pidana dirasa perlu diperhatikan dalam putusan pidana. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemidanaan sebagaimana pada pembahasan sebelumnya tentang tujuan pemidanaan, yaitu tujuan restorasi, pemulihan, dan pencegahan.

Dalam hukum pidana positif di Indonesia yang berlaku saat ini belum mengadopsi asas keseimbangan ini. Banyaknya kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang dianggap sangat jauh dari keadilan, akan tetapi disisi lain Hakim juga mengalami suatu problem mengingat KUHP yang masih bersifat kaku.97 Asas keseimbangan kemudian hadir dan dibutuhkan dalam hukum pidana karena dengan asas keseimbangan, bentuk hukuman disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan.

C. Contoh Disparitas Putusan di Indonesia

Penulis mengambil dua putusan yang saling berkaitan mengenai kronologi kasus satu sama lain dimana dalam putusan-putusan tersebut Terdakwa dihukum pidana penjara dengan waktu yang berbeda dengan Terdakwa lainnya yakni putusan nomor 127/Pid.B/2015/PN.Gns yang memuat perkara Terdakwa Adam Malik Bin M. Yamin dan putusan nomor 452/Pid.B/2013/PN.Gns yang memuat perkara Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin. Dalam putusan-putusan yang penulis ambil ini, Jaksa melakukan splitsing perkara98 terhadap para Terdakwa.

a. Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns.

Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara pidana

pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Adam Malik bin M. Yamin. Jaksa menuntut supaya Hakim memutuskan untuk Menyatakan Terdakwa Adam Malik Bin M. Yamin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan Ancaman Kekerasan” melanggar Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-2 KUHP; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 3 tahun dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dengan perintah terdakwa tetap ditahan; Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp2.000. Hakim dalam amar putusan terhadap Terdakwa yakni Menyatakan Terdakwa Adam Malik Bin M. Yamin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan”; Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun. Untuk pengurangan masa penahanan dan membebankan pembayaran terhadap Terdakwa sama dengan yang dituntut oleh Jaksa. Dalam putusannya tersebut, hakim juga mempertimbangkan beberapa hal, seperti hakim tidak sependapat dengan Jaksa mengenai beratnya pidana penjara yang dituntut yakni 3 tahun penjara karena dirasa telah mencederai rasa keadilan dan menyimpang dari tujuan pemidanaan. Namun terdapat hal-hal yang memberatkan menurut Hakim seperti perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat. Akan tetapi, ada pula hal-hal yang meringankan menurut hakim seperti Terdakwa bersikap sopan di persidangan, Terdakwa tidak mempersulit jalannya persidangan, dan Terdakwa menyesali perbuatannya.

b. Putusan No. 452/Pid.B/2013/PN.Gns.

Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin merupakan seseorang yang melakukan tindak pidana bersama dengan Adam Malik Bin M. Yamin. Jaksa menuntut Deni Sefrizal Als Izal Bin Muksin (Terdakwa) untuk Menyatakan Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan kekerasan” sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (1), (2) ke-1 dan ke-2 KUHP dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin, dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan; Menyatakan barang bukti

Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns Putusan No. 452/Pid.B/2013/PN.Gns

Dakwaan Jaksa Pencurian dengan ancaman kekerasan Pencurian dengan kekerasan

Pasal yang Dilanggar

Amar Putusan Hakim Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-2 KUHP Pasal 365 ayat (1), (2) ke-1 dan ke-2 KUHP

Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan

Putusan Hakim Penjara selama 3 tahun Penjara selama 2 tahun 6 bulan

berupa 1 unit sepeda motor merk Honda Supra X125 Type NF125TR No. Pol BE 5273 GY warna hitam, No Rangka MH1JB9129BK862749, No. Mesin JB91E2853787 Tahun 2011, dan 1 buah helm warna hitam merk Suzuki. Dikembalikan kepada Saksi Supartini Bin Suparman; Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp1.000. Hakim memberikan amar putusan terhadap Terdakwa yakni Menyatakan Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan”; Menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 8 bulan; Untuk pengurangan masa penahanan, memerintahkan barang bukti, dan membebankan biaya perkara sama dengan yang dituntut oleh Jaksa. Dalam putusannya tersebut, hakim juga mempertimbangkan beberapa hal, seperti Hakim menganggap bahwa Terdakwa mampu bertanggung jawab maka dapat dikenakan pidana. Adapun hal-hal yang memberatkan menurut hakim yakni perbuatan Terdakwa merugikan Saksi Korban Supartini Bin Suparman dan perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat. Selain itu, ada pula hal-hal yang meringankan yakni Terdakwa bersikap sopan, Terdakwa mengakui segala perbuatannya tersebut, antara Terdakwa dengan saksi korban sudah ada perdamaian, dan Terdakwa belum pernah dihukum.

This article is from: