28 minute read

DALAM RKUHP: SEBUAH KAJIAN PRAKTIK DAN KOMPARASI

Volume 1, Nomor 2, September 2022

Advertisement

Penanggung Jawab Redaksi Muhammad Firman

Pemimpin Umum Nafila Andriana Putri

Wakil Pemimpin Umum Melody Akita Jessica Santoso

Pemimpin Redaksi Aulia Safitri

Redaktur Pelaksana Nindya Amaris Minar Cornellia Desy Natallina Darren Yosafat Marama Sitorus Venitta Yuubina

Ahmad Ghozi S.H., LL.M.

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Abdul Salam, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abdul Karim Munthe, S.Sy, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Pidana Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Joshua Gabriel M. Manurung

Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR TIM REDAKSI

Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat memberikan berbagai macam dampak terhadap Indonesia, baik dari sisi positif maupun negatif. Sisi positif yang terasa salah satunya adalah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga masyarakat dapat melakukan aktivitasnya dengan mudah. Akan tetapi, dengan kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat dapat menimbulkan penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Penyimpangan tersebut menimbulkan beragam masalah dan sebagian besarnya merupakan permasalahan dan isu Hukum Pidana. Dalam menyelesaikan permasalahan dan isu Hukum Pidana, terdapat kekosongan hukum diakibatkan oleh penyusunan peraturan formil Hukum Pidana yang cukup lama, sedangkan permasalahan-permasalahan Hukum Pidana dapat terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif di masyarakat, pengendalian sosial dengan cara pengaturan dan penyelesaian isu yang terjadi khususnya isu Hukum Pidana sangat diperlukan. Maka dari itu, bidang Literasi dan Penulisan berupaya untuk membantu menjawab isu-isu dan permasalahan Hukum Pidana dengan cara mewadahi pemikiran dan ide dari mahasiswa. Pemikiran-pemikiran Hukum Pidana merupakan suatu landasan untuk lahirnya sebuah peraturan. Dengan hadirnya Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2, September 2022, mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam menyumbang pemikiran-pemikiran mereka terkait permasalahan dari Hukum Pidana demi perkembangan ilmu hukum dan sosial. Selain itu, Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2, September 2022 merupakan salah satu wujud dari inisiasi mahasiswa dalam menulis ilmiah yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dengan daya cipta yang tinggi, serta kemampuan menulis dan analisis yang baik. Akhir kata, kami segenap Tim Redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi, membimbing, dan membantu proses penyusunan Corpus Law Journal ini. Kritik dan saran yang membangun akan selalu kami terima demi perkembangan Corpus Law Journal ini, sehingga dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para pembaca. Kami harap Corpus Law Journal dapat menjadi acuan dan manfaat bagi para penulis, pembaca, dan negara.

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2022

Assalammualaikum Wr. Wb, salam sejahtera dan salam kebangsaan bagi kita semua. Terima kasih saya ucapkan mewakili LK2 FHUI kepada segenap kepengurusan Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 khususnya panitia Jurnal Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2. Saya juga mengucapkan selamat kepada segenap Penulis pada Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2 yang telah menorehkan gagasan-gagasannya yang apik dan turut membangun pendidikan ilmu hukum di Indonesia.

LK2 FHUI hadir sebagai sarana dalam membangun pendidikan ilmu hukum di Indonesia. LK2 FHUI bersifat inklusif, partisipatif, dan kolaboratif yang menegaskan pera LK2 FHUI yang ingin turut serta untuk memberikan keilmuan dan kekeluargaan bagi FHUI, UI, dan Indonesia yang secara mutatis mutandis bergerak untuk mencapai pembangunan hukum di Indonesia yang lebih baik. Proses pendidikan ilmu hukum di Indonesia memperlukan peran serta dari segenap insan muda bangsa Indonesia dan tidak terbatas akan spesialisasi nya untuk memberikan perubahan, modifikasi, dan menegakkan cita bangsa Indonesia yang termanifestasikan dalam calon-calon Juris masa depan. Terakhir, saya harap tulisan-tulisan Penulis tidak hanya menjadi goresan tanpa makna, namun menjadi dasar dalam pembangunan hukum di Indonesia sehingga tiap gagasan menjadi bermanfaat bagi masa kini, nanti, dan masa depan. Terima kasih dan selamat membaca.

LK2 FHUI Get Friends, Gain Knowledge

DAFTAR ISI

Reviewer...................................................................................................................................III KATA PENGANTAR TIM REDAKSI ...................................................................................IV SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2022 .................................................... V POLEMIK PASAL PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RKUHP: SEBUAH KAJIAN PRAKTIK DAN KOMPARASI……....................... 1 TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN FILM SECARA DARING DI INDONESIA: ANALISIS PUTUSAN NOMOR 762/PID.B/2020/PN.JMB…................................................................................................... 25 PENJATUHAN SANKSI PIDANA DITINJAU DARI ASPEK ASAS KESEIMBANGAN MENURUT HUKUM ISLAM............................................................................................... 49 KELEKATAN SIFAT JAHAT DENGAN SUATU PERBUATAN: KAJIAN TEORITIS TERHADAP KONSEP MALA IN SE DALAM HUKUM PIDANA……………………... 73 MENINJAU DISPARITAS PENANGGUHAN PENAHANAN WANITA TERSANGKA PIDANA DENGAN TANGGUNGAN ANAK……………………………...........................91

POLEMIK PASAL PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RUU KUHP: SEBUAH KAJIAN PRAKTIK DAN KOMPARASI

Oleh:

Amelia Oryzae Norhasni

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: amelia.oryzae@ui.ac.id

Patricia Quina Gita Naviri

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: patricia.quina@ui.ac.id

Putu Ferlyne GraceEvangeline Wardana

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: putu.ferlyne@ui.ac.id

Abstrak

Polemik pasal penghinaan presiden dan wakilnya dalam RUU KUHP tak kunjung menemukan titik terang. Sejumlah pihak menilai pasal ini adalah warisan kolonial yang berpotensi memberangus kebebasan berpendapat. Meski demikian, tidak sedikit yang beranggapan perlu ada batasan pemisah antara kritik dengan hinaan kepada presiden sebagai pribadi terlepas dari jabatannya. Tidak hanya Indonesia, aturan serupa juga dijumpai di Turki yang tidak kalah menimbulkan berbagai problematika dalam penerapannya. Tulisan ini bermaksud untuk menjawab tepat atau tidaknya penghidupan kembali pasal a quo dengan mengkaji substansi pasal, praktik, dan perbandingan penerapan di Turki. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa tetap terdapat perbedaan antara pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP dengan KUHP dari aspek fundamental dan krusial. Selain itu, limitasi dalam pasal RUU KUHP mencegah penggunaan secara sewenang-wenang selayaknya yang terjadi di Turki. Kata Kunci: Hukum Pidana, Penghinaan, Presiden dan Wakil Presiden,Kebebasan Berpendapat

Abstract

The polemic over the regulation on insulting the president and his deputy in the

RUU KUHP has never come to light. A number of parties consider this article to Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

be a colonial legacy that has the potential to suppress freedom of expression. However, this regulation ought to be a dividing line between criticism and insults to the president as an individual. A similar rule found in Turkey is also no less problematic in its application. This paper intends to answer whether or not the revival of the regulation is appropriate by examining the substance, practice, and comparative application in Turkey. The authors use juridical-normative methods with secondary data that consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this study show that there are still differences between the articles on insulting the president in the RUU KUHP and the Criminal Code from a fundamental and crucial aspect. In addition, limitations in the RUU KUHP article prevent arbitrary use like the ones that happened in Turkey.

Key Words: Criminal Law, Defamation, President and Vice President, Freedom of Speech

I. PENDAHULUAN

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RUU KUHP”) akhir-akhir ini kembali menuai polemik dari masyarakat. Masyarakat menilai terdapat sejumlah poin bermasalah dalam RUU KUHP yang salah satunya adalah dimuatnya kembali klausul tentang tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden; atau yang sering dikenal dengan ketentuan pasal penghinaan presiden. Adapun dalam KUHP sekarang, pasal penghinaan presiden sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui Putusan No. 013022/PUU-IV/2006. MK secara spesifik membatalkan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Hakim menerima pendapat ahli bahwasanya KUHP Indonesia adalah hasil nasionalisasi berupa menerjemahkan Wetboek van

Strafrecht zaman Hindia Belanda sehingga isi pasal a quo sejatinya ditujukan untuk melindungi martabat raja sebagai simbol dari negara monarki. Sedangkan dalam negara republik, tidak perlu menyangkutpautkan kepentingan negara dengan kepentingan pribadi presiden. Delik penghinaan seharusnya cukup menggunakan ketentuan Pasal 310-321 KUHP.1

Di samping itu, Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP memiliki rekam jejak penerapan yang meresahkan masyarakat. Seorang redaktur harian berinisial S dijerat Pasal 137 KUHP dan dihukum 6 bulan penjara oleh pengadilan pada 27 Oktober 2003 karena ia menulis judul berita yang mengkritikPresidenMegawati.PendemoberinisialNdanMbernasibserupa dengandijeratPasal134KUHPakibatmenginjakfotoMegawatisaatdemo di depan Istana Negara tahun 2003. Pada Era Presiden SBY, seorang

1 Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUUIV/2006, hlm. 57-58.

2 Rico Afrido Simanjuntak, “Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate,” https://nasional.sindonews.com/read/453694/13/d eretankasus-penghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjual-sate1623492410?showpage=all, diakses 30 Juli 2022. 3 Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUUIV/2006, hlm. 60. 4 Ajie Ramdan, “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RUU KUHP,” Jurnal Yudisial 13 (2020), hlm. 255. 5 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28G ayat

(1).

6 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 299. 7 Aljazeera, “Turkish journalist arrested for insulting President Erdogan,” https://www.aljazeera.com/news/2022/1/23/turkish-journalist-arrested-on-charge-of-insultingerdogan, diakses 30 Juli 2022.

mahasiswa FH Udayana dipidana setelah membakar foto presiden kala berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar. Ia didakwa atas Pasal 134 jo. 136 KUHP dan dipenjara 6 bulan.2 Tindakan para pelaku sejatinya dipicukarenaketidakpuasanterhadappemerintahsehinggatimbulanggapan bahwakeberadaanpasaltersebutmenciptakanpemerintahanyanganti-kritik. Padahal, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) dalam Pasal 28E Ayat (3) menjamin perlindungan atas kebebasan berpendapat. Sejarah pun turut menjadi alasan pembatalan pasal karena menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).3 Pembentukan hukum pidana bertujuan untuk melindungi keamanan dan kesejahteraan masyarakat.4 Pembatalan pasal penghinaan presiden adalah langkah negara melindungi hak asasi warga negara dalam berpendapat. Akan tetapi, penghidupan kembali ketentuan tersebut dalam Pasal 218-219 RUU KUHP juga berangkat dari alasan yang sama: bahwa jangan sampai kritik disamakan dengan ujaran kebencian yang melanggar hak asasi pribadi untuk tidak dihina martabatnya.5 Di sinilah timbul pertanyaan sejauh mana negara dapat menegakkan pasal tersebut sesuai dengan peruntukannya. Tidak cukup melihat pada sejarah sendiri, negara lain seperti Turki yang mengatur delik penghinaan presiden dalam kitab undang-undang pidananya6 juga bermasalah dalam menerapkannya. Hal ini dibuktikan dengan sebanyak 12,881 kasus penghinaan berujung pidana dalam kurun waktu 7 tahun kepemimpinan Presiden Erdogan.7

II. PEMBAHASAN

A. Perkembangan dan Perdebatan Pasal Penghinaan Presiden di Indonesia

Delik penghinaan presiden dan wakil presiden tertuang dalam Bab II tentang kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, yakni pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Makna unsur “penghinaan dengan sengaja” dalam Pasal 134 KUHP ialah segala tindakan yang berkaitan dengan menyerang nama baik, martabat Presiden, termasuk pula segala jenis penghinaan sebagaimana dalam Pasal 310 KUHP hingga Pasal 321 KUHP, yaitu menista (smaad), menista dengan surat (smaadschrift), memfitnah (laster), penghinaan ringan (eenvoudige belediging), dan tuduhan memfitnah (lasterlijke aanklacht).8 Kemudian, makna dari Pasal 136 bis KUHP adalah mengatur bahwa Presiden atau Wakil Presiden tidak perlu ada di tempat ketika penghinaan dilakukan dan penghinaan tersebut dilakukan melalui suatu perbuatan.9 Selain itu, tindakan lain yang dapat memenuhi Pasal 136 bis KUHP ialah penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan, lisan, atau tulisan di hadapan lebih dari empat orang atau seorang lain yang hadir di situ bukan karena kehendaknya. Terakhir, Pasal 137 KUHP merupakan delik penyebaran (verpreidingsdelict) dan tidak perlu pembuktian apakah perbuatan

8 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, cet. 10 (Bogor: Politeia, 1988), hlm. 121. 9 Ibid., hlm. 122.

Tulisan ini bertujuan mengkaji tepat atau tidaknya pengaturan delik penghinaan presiden dalam RUU KUHP, dengan metode yang digunakan, yakni metode yuridis-normatif dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Artikel akan terbagi menjadi tiga bagian. Setelah pendahuluan, pembahasan terdiri atas tiga sub-bab yang membahas perkembangan pasal penghinaan presiden di Indonesia, uraian pasal serupa di Turki, lalu membandingkan praktik kedua negara. Bagian akhir adalah penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

10 Ibid. 11 Ibid. 12 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas), hlm. 257. 13 Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. 121-123. 14 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Ed. Rev (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), hlm. 145. 15 Eddy O. S. Hiariej, “Pelibatan Publik dan Dekolonisasi,” Kompas, (28 Juli 2022). 16 Hiariej, Prinsip Hukum Pidana, hlm. 139. 17 Rico Afrido Simanjuntak, “Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate,” https://nasional.sindonews.com/read/45 3694/13/deretankasus-penghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjual-sate1623492410?showpage=all, diakses 3 September 2022. 18 Justitia Avila Veda, “Penerapan Pasal 134 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013),” (Skripsi Universitas Indonesia,Depok, 2015), hlm. 138-179.

penghinaan tersebut disengaja atau tidak.10 Cukup dengan orang tersebut mengetahui isi tulisan tersebut, maka ia dianggap telah memenuhi Pasal 137 KUHP ini.11

Pada umumnya, pasal-pasal yang berhubungan dengan penghinaan (defamation) termasuk dalam kategori delik aduan (klacht delict). Dalam delik aduan berarti penuntutan tidak dapat dilakukan sebelum pihak yang dirugikan tersebut melakukan pengaduan.12 Namun, sedikit berbeda pada delik penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP, yang mana termasuk sebagai delik biasa (gewone delict).13 Dengan demikian, sesuai definisi dari delik biasa, apabila terdapat seseorang yang memenuhi keseluruhan unsur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, atau Pasal 137 KUHP dapat langsung dilakukan proses hukum tanpa diperlukan pengaduan.14 Selain itu, pasal tersebut juga termasuk delik abstrak sehingga dampak bahaya yang ditimbulkan dari delik ini juga bersifat abstrak.15 Sebab, dalam merumuskan pasalnya dilakukan secara formal, tidak melihat dampaknya (materil).16 Oleh karena pasal a quo termasuk sebagai delik biasa, masyarakat rentan terjerat dengan delik penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut. Mulai dari era Orde Baru hingga era pemerintahan presiden Joko Widodo terdapat sekitar 84 orang yang terkena delik penghinaan presiden.1718 Seorang jurnalis bernama Rey Hanintyo, membuat sebuah artikel di Majalah Pop Edisi Oktober 1974 tentang silsilah keluarga

19 Herlambang Perdana Wiratraman, “Press freedom, law and politics in Indonesia : a socio-legal study,” (Disertasi Doktor Universitas Leiden, Leiden, Belanda, 2014), hlm. 154-156. 20 Hasyry Agustin, “4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang Diproses Hukum,” https://www.hukumonline.com/berita/a/4-kasus-penghinaan-terhadap-presiden-yang-diproseshukum-lt571a2c098997e,diakses29Juli2022. LihatjugaHerlambangPerdanaWiratraman, “Press freedom, law and politics,” hlm. 157. 21 Tony Firman, “Ancaman Kriminalisasi Kritik oleh Pasal Penghinaan Kepala Negara,” https://tirto.id/ancaman-kriminalisasi-kritik-oleh-pasal-penghinaan-kepala-negara-cEbY, diakses 29 Juli 2022. 22 Institute for Criminal Justice Reform, “Kalau RUU KUHP Diketok, Kritik seperti Ketua BEM UI Bisa Masuk Penjara,” https://icjr.or.id/kalau-rkuhp- diketok-kritik-seperti-ketua-bem-uibisa-masuk-penjara/, diakses 29 Juli 2022. 23 Firman, “Ancaman Kriminalisasi,” https://tirto.id/ancaman-kriminalisasi-kritik-ol ehpasal-penghinaan-kepala-negara-cEbY, diakses 29 Juli 2022.

Soeharto yang dianggap oleh sang presiden telah “merugikan dirinya, keluarganya, dan keturunannya”. Ia kemudian didakwa Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP. Rey dan kuasa hukumnya melakukan pembelaan bahwa ia telah berusaha mencari fakta sebagai dasar penulisan artikel, bahkan berencana untuk mempublikasikan ralat di edisi selanjutnya. Hakim mengabaikan pembelaannya dan menjatuhi Rey hukuman penjara selama 2 tahun. Tulisan Rey kemudian berimbas pada Majalah Pop yang akhirnya dilarang beredar.19 Kasus Rey Hanintyo adalah gambaran betapa besar pengaruh presiden dalam menekan kebebasan pers sekaligus mengintervensi jalannya persidangan. Pada tahun 2003, Supratman, seorang redaktur harian Rakyat Merdeka dijatuhi Pasal 137 ayat (1) KUHP karena dianggap melakukan penghinaan kepada Megawati Soekarnoputri sehingga ia divonis hukuman penjara selama 6 bulan dengan masa percobaan 12 bulan.20 Terdapat pula mahasiswa bernama Monang Tambunan, Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (“GMNI”) yang divonis melanggar Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP dan dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.21 Hal ini disebabkan pada saat aksi kinerja program 100 hari SBY, ucapan Monang dianggap merendahkan nama baik presiden kala itu.22 Selain itu, terdapat pula mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah bernama Fakhrur Rahman yang sama-sama dijatuhi Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP dan dipidana penjara 3 bulan 23 hari.23 Hal ini dikarenakan Fakhrur dinilai mengatakan hal-hal yang tidak senonoh

24 CRI, “Perkara Delik Penghinaan Presiden, Tak Perlu Menghadirkan Presiden,” https://www.hukumonline.com/berita/a/perkara-delik-penghinaan-presiden-tak-perlumenghadirkan-presiden-hol15576?page=all, diakses 29 Juli 2022. 25 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006, hlm.

62.

26 Ibid., hlm. 59-60. 27 Ibid., hlm. 60.

terhadap presiden dan wakil presiden saat melakukan orasi pada 16 Juni 2006 di depan Kampus Universitas Nasional.24 Melihat beberapa kasus dengan delik penghinaan presiden dan wakil presiden, MK pun mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Lebih lanjut, amar putusan tersebut menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.25 Beberapa pertimbangan MK dalam menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP ialah:

…Martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak… Dengan demikian, hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.26

Selain itu, MK juga berpandangan bahwa pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat rawan untuk dinilai apakah termasuk sebagai suatu bentuk protes, pernyataan pendapat, kritik, atau penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.27 Dengan demikian, MK menilai bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945

28 Ibid. 29 Maidina Rahmawati, “Pemetaan dan Analisis Isu Bermasalah RUU KUHP 4 Juli 2022 oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP,” https://reformasikuhp.org/pemetaan-dan-analisis-isu-b ermasalah-rkuhp-4-juli-2022-oleh-aliansi-nasional-reformasi-kuhp/, diakses 29 Juli 2022. 30 UNHCR, Division of International Protection, Geneva, “Guidance Note on Refugee Claims Relating to Crimes of Lèse Majesté and Similar Criminal Offences,” International Journal of Refugee Law 27 (2015), hlm. 682. 31 Rahmawati, “Pemetaan,” https://reformasikuhp.org/pemetaan-dan-analisis- isubermasalah-rkuhp-4-juli-2022-oleh-aliansi-nasional-reformasi-kuhp/, diakses 29 Juli 2022.

mengenai hak atas kebebasan menyatakan pikiran secara lisan, tulisan, maupun ekspresi sikap.28 Setelah pasal a quo dinyatakan oleh MK tidak berkekuatan hukum tetap, realitanya masih banyak masyarakat yang terjerat pasal tersebut karena melakukan penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Dasar hukum yang digunakan oleh aparat penegak hukum (“APH”) ialah Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa/badan umum,Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tentang penghinaan, dan Pasal 28 ayat (2) UU ITEtentang ujaran kebencian. Tidak hanya itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut kembali dijumpai pada Draf RUU KUHP versi 4Juli 2022, yakni dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP. Hal ini menimbulkan berbagai polemik di masyarakat karena berdasarkan PutusanMK No. 013022/PUU-IV/2006 delik tersebut dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum tetap. Pandangan kontra diutarakan oleh AliansiNasionalReformasi KUHP yang berpendapat bahwa Pasal 218 hingga Pasal220 RUU KUHP berasal dari pasal tentang lèse majesté dan bertujuan untukmelindungi Ratu Belanda.29 Lèse majesté sendiri merupakan suatu tindak pidana terhadap kekuasaan berdaulat atau harkat dan martabat penguasa sebagai representasi kekuasaan berdaulat tersebut.30 Dengan demikian, eksistensi Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP dianggap menghidupkankembali warisan kolonial.31 Sejalan dengan itu, Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, berpendapat bahwa sekalipun terdapat alasan penghapus pidana (Pasal 218 ayat (2) RUUKUHP), yang mana jika penghinaan tersebut dilakukan demi kepentingan umum, tetapi dalam praktiknya makna “kepentingan umum” tersebut akan

32 Zainal Arifin Mochtar, “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi,” Kompas, (13 Juli 2022), hlm. 7. 33 Ibid. 34 EddyO.S.Hiariej,“PelibatanPublikdanDekolonisasi,” Kompas Digital,(28Juli2022). Lebih lanjut lihat Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP dan Penjelasannya. 35 Ibid.

bergantung pada diskresi APH.32 Kemudian, melihat lebih lanjut dari putusan MK, pengubahan dari delik biasa menjadi delik aduan bukan berarti dimanifestasikan dalam suatu pasal khusus yang mengatur terkait delik penghinaan presiden dan wakil presiden, tetapi seharusnya diarahkan kepada delik aduan untuk umum.33 Berkebalikan dengan argumen sebelumnya, menurut Eddy O.S. Hiariejselaku WakilMenteri Hukumdan HAM,Pasal 218hingga Pasal220 RUU KUHP tersebut kurang tepat apabila disebut “menghidupkan kembali warisan kolonial”. Justru, pasal a quo telah mengalami dekolonisasi. Hal ini disebabkan rumusan pasal RUU KUHP tersebut tidak lagi sebagai delik biasa, tetapi delik aduan sehingga yang melaporkan harus presiden atau wakil presiden itu sendiri. Selain itu, dalam penjelasan Pasal 218 RUU KUHP juga menjabarkan pengertian konkret tentang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri, kritik, dan kritik konstruktif. Walaupun pasal a quo masih berupa delik formil, tetapi terdapat alasan penghapus pidana yang berfungsi untuk menyeimbangkan delik formil itu sendiri.34 Berangkat dari situ, sejatinya kurang tepat apabila mempermasalahkan rumusan Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP karena dari segi norma, pasal a quo tidaklah bermasalah.35 Sejalan dengan pendapat Hiariej, menurut Suparji Ahmad, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut merupakan delik aduan absolut sehingga tidak bisa dilaporkan oleh simpatisan atau pendukung presiden dan wakil presiden itu sendiri.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rumusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang ada dalam KUHP dengan RUU KUHP memiliki sejumlah perbedaan. Salah satu hal yang cukup membedakan terletak pada pihak yang berwenang untuk melakukan

36 Vide bunyi Pasal 220 ayat (2) RUU KUHP. 37 Negarayangmasihmengatursecarakhususmengenaidelikpenghinaankepadapresiden atau kepala negara adalah Turki, Amerika Serikat, Britania Raya, Belanda, Swedia, dan negara Eropa lainnya. Sementara, negara yang dahulu memiliki peraturan serupa tetapi sudah menghapusnya adalah Perancis. Warga Perancis menganggap pengaturan demikian melanggar hak atas kebebasan pendapat. (Lihat: The Guardian, “Insulting the French president is no longer a criminal offence,” https://www.theguardian.com/world/2013/jul/25/insulting-french-president criminal-offence, diakses 31Agustus 2022.)Penulis memilihTurki sebagai objek komparasidengan Indonesia dengan pertimbangan sistem hukum yang sama (civil law), kesamaan bentuk negara yaitu Presidensial dengan kepala negara Presiden, serta status negara berkembang. Penulis tidak memilih negara Amerika Serikat karena perbedaan sistem hukum, sementara negara-negara Eropa dengan pengaturan serupa umumnya berbentuk negara monarki di mana raja/ratu adalah simbol sekaligus identitas negara. Sedangkan presiden, baik di Turki maupun Indonesia, tidak terhitung sebagai simbol negara yang secara eksplisit dinyatakan dalam konstitusi harus dihormati. 38 Vide Konstitusi Republik Turki (Turkish Constitution of 1982) pada Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “Turki adalah negara demokratis, sekuler, dan sosial yang berlandaskan hukum…” Lebih lanjut, pada Pasal 7, disebutkan bahwa kekuasaan dan fungsi legislatif dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Nasional Agung Turki (Parlemen) yang kewenangannya tidak dapat didelegasikan. Sementara, pada Pasal 8 dituliskan, kekuasaan dan fungsi eksekutif dijalankan oleh Presiden dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

pengaduan. Jika Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP termasuk sebagai delik biasa, maka Pasal 218, Pasal 219, Pasal 220 RUU KUHP merupakan delik aduan sehingga yang melaporkan haruslah presiden atau wakil presiden itu sendiri.36 Selain itu, ditambahkan pula dalam RUUKUHP pasal yang mengatur terkait dasar penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden), yakni Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP.

B. Perkembangan dan Praktik Pasal Penghinaan Presiden dalam

Perspektif Turki

Turki37, atau dengan nama resminya Republik Turki, merupakan negara dengan sistem pemerintahan republik, di mana Turki menerapkan sistem republik konstitusional parlementer yang diatur dalam konstitusi yang disahkan pada tahun 1982,38 sebelum akhirnya pada masa kepresidenan Recep Tayyip Erdogan, Turki mengubah sistem pemerintahannya menjadi republik presidensial yang secara tidak langsung memberikan peran sentral kepada presiden dalam penyelenggaraan negara. Hal ini membuat Presiden menjadi “sasaran rentan” yang mengharuskan adanya perlindungan bagi presiden. Pasal mengenai Penghinaan Presiden sejatinya bukanlah hal baru dalam peraturan perundang-undangan Hukum PidanadiTurki.PadaTurkishCriminalCode(“KUHPTurki”),pengaturan

39 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 299 ayat (1). 40 Turki, Turkish Criminal Code 1926, pra-amandemen, Art. 158. 41 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 299 ayat (1) dan (2). (Diamandemen pada 29 Juni 2005 oleh Article 35 Law No. 5377). 42 Komisi Venesia, “Opinion on Articles 216, 199, 301, and 314 of The Penal Code of Turkey,” diadaptasi oleh Komisi Venesia pada Sesi Pleno ke-106 (11-12 Maret 2016), hlm. 13. 43 Vide Pasal 125 KUHP Turki tentang Defamasi “Setiap orang yang bertindak dengan maksud untuk mencemarkan kehormatan, nama baik atau martabat orang lain melalui kinerja nyata

tentang penghinaan presiden ini secara khusus termaktub pada Pasal 299 (terjemahan bebas) yang menyatakan, “setiap orang yang menghina Presiden Republik Turki dikenai ancaman pidana penjara satu sampai empat tahun.”39

Pasal 299 ini menggantikan keberlakuan Pasal 158 pada tahun 2005, dengan penambahan-penambahan materiil, seperti lamanya masa hukuman yang dijatuhkan. Pada Pasal 158, lamanya masa hukuman penjara hanya antara 6 bulan sampai maksimal 3 tahun.40 Sedangkan, pada Pasal 299 pengganti Pasal 158, masa hukuman penjara ditambah menjadi 1 tahun hingga 4 tahun paling lama dan jika penghinaan dilakukan secara terbuka di hadapan publik, hukuman akan ditambah seperenam (1/6).41 Dalam catatan penjelas yang diberikan oleh Otoritas Turki yang berwenang, keberadaan Pasal tersebut adalah sebagai akibat dari pentingnya tugas dan wewenang Presiden Turki berdasarkan Konstitusi, seperti menjaga pelaksanaan Konstitusi dan fungsi organ-organ Negara yang teratur dan harmonis, dan dalam kapasitas ini ia (Presiden) mewakili Negara. Oleh karena itu, pelanggaran menghina Presiden dianggap dalam KUHP sebagai pelanggaran terhadap “kekuatan Negara.” Selain itu, meskipun “penghinaan” tidak didefinisikan dalam Pasal 299, definisi yang disediakan dalam ketentuan umum tentang “penghinaan” dalam Pasal 125 (dengan judul“pelanggaranterhadapmartabat”)digunakanketikamenerapkanPasal 299. Menurut Pasal 125, penghinaan adalah atribusi “dari suatu tindakan, atau fakta, kepada seseorang dengan cara yang dapat mencela kehormatan, martabat atau prestise orang tersebut, atau menyerang kehormatan, martabat, atau prestise seseorang dengan bersumpah.”42 Sebetulnya, perkara penghinaan ini diatur dalam Pasal 125 KUHP Turki,43 dengan konsekuensi pemidanaan paling singkat 3 bulan dan

atau memberikan kesan niat, dihukum penjara dari tiga bulan sampai dua tahun atau dikenakan denda hukuman…”Pada ayat (3) huruf a, diterangkan pula jika penghinaan ditujukan kepada pejabat negara, hukuman yang dijatuhkan tidak boleh kurang dari 1 tahun. Pada peraturan tersebut, dapat dianggap bahwa pejabat negara yang dimaksud tidak termasuk presiden. Mengenai batas pengertian penghinaan dapat dikategorikan perbuatan seseorang adalah defamasi ketika tindakannya dilakukan dengan maksud; mencemarkan kehormatan nama baik/martabat orang lain; terdapat tindakan nyata/setidaknya terlihat niatnya. 44 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 125. 45 Turki, Turkish Constitution of 1982, Art. 3. 46 Ibid., Art. 10. 47 Duvar English, “Nearly 129,000 People Probed for Insulting Erdogan in 5 Years,” https://www.duvarenglish.com/nearly-129000-people-probed-for-insulting-erdogan-in-5-yearsnews-56834, diakses 4 Agustus 2022.

maksimal 2 tahun penjara.44 Perkara penghinaan ini menjadi “istimewa” ketika penghinaan yang dilontarkan ditujukan kepada Presiden Republik Turki, di mana hukumannya terekskalasi hingga dua kali lipat. Apabila ditelaah, Presiden bukanlah satu dari sekian jumlah simbol Negara Turki. Pada Konstitusi 1982, tertuang dengan jelas bahwa Turki adalah negara yang tidak terpisahkan baik secara bangsa maupun wilayah teritorial, dengan Bahasa Resmi Bahasa Turki; memiliki bendera kebangsaan, yaitu bendera berwarna dasar merah dengan simbol bulan sabit dan bintang di pojok kiri; memiliki lagu kebangsaan berjudul “Independence March.”45 Selain fakta ini, Pasal 299 KUHP Turki disinyalir bertentangan dengan Pasal 10 Konstitusi Tahun 1982 yang menegaskan bahwa:

semua orang adalah setara di mata hukum tanpa ada pembedaan berdasarkanbahasa,ras, warna kulit, jenis kelamin, pendapat politik, kepercayaan filosofis, agama dan sekte, dan/atau dasar apapun yang lain; tidak ada privilese yang patut diberikan kepada setiap individu, keluarga, kelompok, atau kelas.46

Melihat sederetan fakta tersebut, peraturan yang dimuat dalam Pasal 299 menjadi kontradiktif dengan Konstitusi Negara Turki. Presiden yang tidak termasuk dalam kategori Simbol Negara yang perlu dilindungi serta tidak diistimewakan oleh Konstitusi membuat aturan pada Pasal 299 terlihat tidak valid dan bernuansa otoritarian. Diketahui, dalam rentang antara tahun 2014 sampai tahun 2019, total hampir 129 ribu orang menjadi sasaran penyelidikan Kejaksaan Turki atas tuduhan “penghinaan” terhadap Presiden Erdogan.47 Kasus yang terbaru, seorang jurnalis terkemuka Turki, Sedef

C. Delik Penghinaan Presiden dan Kebebasan Berpendapat

Delik penghinaan presiden tidak akan lepas dari isu kebebasan berpendapat. Indonesia menjamin kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara melalui Pasal 28 UUD

48 Deutsche Welle, “Turkey: Journalist Jailed on Suspicion of Insulting Erdogan,” https://www.dw.com/en/turkey-journalist-jailed-on-suspicion-of-insulting-erdogan/a-60526786, diakses 4 Agustus 2022.

Kabas, telah ditangkap oleh Kepolisian Turki pada Januari 2022. Ia dituduh telah melakukan “penghinaan” dalam cuitannya di Twitter yang diunggah pada 22 Januari 2022 dengan bunyi “Ketika seekor sapi masuk ke istana, ia tidak menjadi raja, tetapi justru istananya menjadi kandang.” Meskipun cuitan tersebut tidak merujuk langsung kepada nama Erdogan atau Presiden Turki, tetapi Juru Bicara Kepresidenan Turki, Fahrettin Altun, menilai Kabas sebagai “amoral” dan “tidak bertanggung jawab” karena mencoreng nama Presiden yang secara tidak langsung menghancurkan harkat dan martabat negara. Selain Jubir Kepresidenan, Menteri Kehakiman Turki, Abdulhamit Gul, membagikan cuitannya di Twitter yang mengatakan bahwa Kabas akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perilakunya yang berlawanan dengan hukum.48 Kejadian ini menambah panjang daftar penangkapan-penangkapan rakyat Turki akibat dituduh telah melakukan penghinaan terhadap Presiden. Dalam kasus “penghinaan” presiden yang sifatnya kian masif di Turki, setidaknya dapat disaksikan sendiri bagaimana KUHP Turki tidak secara terperinci mengatur perbedaan antara kritik dengan penghinaan. Kadang, hal yang sifatnya abu-abu seperti apa yang telah dilakukan oleh Kabas juga dapat secara semena-mena ditentukan sebagai tindak pidana defamasi terhadap Presiden Turki. Selain rancunya definisi antara kritik dengan defamasi, Pasal 299 KUHP Turki tampak inkonstitusional secara materiil karena telah secara eksplisit berkontradiksi dengan Konstitusi Tahun 1982. Pada akhirnya, jika dilihat perkembangannya, polemik Pasal Penghinaan Presiden ini masih bergulir di Turki dan belum kunjung menemukan titik usainya.

49 Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN. No. 165. TLN No. 3886, Ps. 23. 50 PerserikatanBangsa-Bangsa,InternationalConventiononCivilandPoliticalRights,Art.

19.

51 Lilik Rita Rindayani, et. al., “Forensic Linguistics Study on Cases of Insulting President Joko Widodo in Social Media,” Journal of Positive School Psychology 6 (2022), hlm. 11762.

1945. Jaminan hak ini turut tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UndangUndangNo.39Tahun1999tentangHakAsasiManusia(“UUHAM”)yang berbunyi: Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. 49 —garis bawah oleh penulis. Pasal 23 ayat (2) UU HAM mengandung dua aspek penting. Undangundang menjamin warga bebas berpendapat sebagai perwujudan hak. Namun, ada kewajiban yang mengikuti hak tersebut yaitu pendapat jangan sampai menyalahi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Ini sejalan dengan Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”) yang mengatakan “The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities…”50Arti dari klausul ICCPR tak lain pelaksanaan hak kebebasan berpendapat sesungguhnya bersifat restriktif yang mana harus menyesuaikan dengan kewajiban tertentu dan dilaksanakan dengan bertanggung jawab. Kendati telah diatur oleh undang-undang, realitanya masih ada masyarakat yang mencampuradukkan antara kritik dengan penghinaan. Menurut sudut pandang linguistik forensik, intensi menghina dapat dikenali dari tiga kondisi. Pertama, preparatory conditions yaitu akurasi fakta dari sebuah pernyataan dan kondisi psikis seseorang untuk membuat pernyataan. Kedua, sincerity conditions yang memperhitungkan unsur kesungguhan seseorang saat melakukan pernyataan. Ketiga, illocutionary intentions yang adalah tujuan dari dibuatnya sebuah pernyataan.51 Salah satu contoh kasus terjadi pada Juni 2021 di mana tersebar foto wajah Presiden Jokowi yang

52 Fachri Djaman, “Viral Foto Jokowi di Tiang Salib, Netizen: Penghinaan Agama Nasrani,”https://makassar.terkini.id/viral-foto-jokowi-di-tiang-salib-netizen-penghinaan-agamanasrani/, diakses 7 Agustus 2022. 53 M Yusuf Manurung, “Perempuan Penghina Jokowi Ditangkap, Pelaku Buat VideoTahun 2019,” https://metro.tempo.co/read/1415051/perempuan-penghina-jokowi- ditangkap-pelaku-buatvideo-tahun-2019, diakses 7 Agustus 2022. 54 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Ed. Rev (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), hlm. 34. 55 Ibid., hlm. 35. 56 Harga diri adalah hak pribadi sesuai muatan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya…”. 57 Rumusan delik pidana penghinaan di Indonesia terbagi atas penghinaan umum yang diatur dalam Bab XVI KUHP dan penghinaan khusus yang dirumuskan di luar Bab XVI KUHP. Penghinaan khusus umumnya berkaitan dengan suatu kelompok masyarakat, seperti penghinaan pada golongan bangsa Indonesia, penghinaan terhadap agama, penghinaan terhadap pemimpin

telah diedit menggantikan wajah Yesus Kristus di kayu salib disertai dengan caption yang mengindikasikan presiden sebagai “tuhan” yang harus disembah oleh para pendukungnya.52 Terdapat juga kasus seseorang merekam video berisi umpatan kepada presiden dan mengatakan bahwa uang negara hilang akibat kepemimpinannya.53 Dilihat dari kedua contoh tersebut, masing-masing pelaku memenuhi tiga kondisi penghinaan. Pelaku tidak memiliki latar belakang fakta yang cukup bahkan pernyataan mengandung unsur merendahkan agama lain. Mereka secara sungguh membuat pernyataan, dan tujuan akhirnya adalah untuk menghina. Maka dari itu, harus ada sarana regulasi yang dapat menjaga pelaksanaan kebebasan berpendapat agar tetap dalam koridor yang sesuai. Pengikutsertaan kembali delik penghinaan presiden dalam RUU KUHP menyesuaikan dengan fungsi hukum pidana. Sudarto mengatakan fungsi hukum pidana terbagi atas fungsi umum, yaitu menata kehidupan masyarakat, dan fungsi khusus untuk melindungi kepentingan hukum.54 Eddy O. S. Hiariej yang sependapat dengan Sudarto kemudian menambahkan fungsi khusus pidana yaitu memberi keabsahan bagi negara untuk menjalankan fungsi perlindungan kepentingan hukum.55 Dalam delik penghinaan umum, ada objek kepentingan yang diserang yaitu harga diri yang bersifat pribadi.56 Sedangkan penghinaan yang ditujukan kepada presiden adalah delik dengan kualifikasi yang berimplikasi pada objeknya yaitu hargadiri bersama.57 Sifatkomunalistik dariharga diriyang dimaksud

negara sahabat. Lihat Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan (Malang: Bayumedia Publishing, 2022), hlm. 10. 58 Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Draft Naskah Akademik RUU KUHP, hlm. 216. 59 Indonesia, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penjelasan Ps. 218 ayat (2), hlm. 42.

kembali lagi pada pandangan umum bahwa citra kepala negara dan wakilnya selalu berkaitan erat dengan citra negara yang mereka pimpin, terlepas dari negara tersebut berbentuk monarki atau republik. Jika ditarik lebih jauh ke dalam konteks Indonesia, bangsa ini terkenal dengan jiwa kekeluargaan yang kuat sehingga akan tersinggung dan tidak bisa menerima apabila kepala negaranya dihina.58 Karena menghina kepala negara yang terpilih secara sah melalui pemilihan umum sama saja mengatakan rakyat telah memilih pemimpin yang salah. Inilah yang menjadi salah satu bahan pertimbangan Badan Pembinaan Hukum Nasional menyebutkan dalam naskah akademik RUU KUHP. Maka, tanpa ketentuan pasal ini negara tidak memiliki dasar melakukan tindakan dalam rangka melindungi kepentingan hukum individu dan bangsa dari cacian. Pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP tidak sekonyongkonyong bertujuan “mengistimewakan” presiden daripada rakyat umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa pasal penghinaan presiden telah menjadi momok bagi demokrasi tanah air karena rekam jejak penerapannya yang cenderung sewenang-wenang. Akan tetapi, Pasal 218-220 RUU KUHP mengandung poin-poin baru yang mampu mempersempit ruang tafsir pasal. Berkaca dari ketentuan serupa di Turki, pasal penghinaan presiden mereka tidak memiliki penjelasan terkait batasan antara kritik dengan penghinaan. Alhasil, penafsiran sebuah pernyataan bergantung sepenuhnya pada diskresi APH dan pemerintah. Jurnalis Sedef Kabas menjadi contoh bahwa kata “istana” yang terdapat dalam unggahannya bisa diartikan sebagai istana kepresidenan. Padahal cuitan Kabas yang tidak menyebut Lembaga Kepresidenan Turki ataupun nama tokoh politik tertentu. Sedangkan, RUU KUHP Indonesia menyebutkan secara gamblang bahwa kritik jangan sampai mengandung kata-kata yang merendahkan, menyinggung, atau menyerang pribadi.59 Ini artinya legislator turut memperhatikan faktor

III. PENUTUP

Dari uraian yang telah ditulis pada sub-sub bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan berupa beberapa poin penting dari polemik pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini, termasuk yang bersinggungan dengan praktik yang terjadi di Turki sebagai pembanding. Berikut ini beberapa poin tersebut. 1. Meskipun dikatakan bahwa Pasal 218-220 RUU KUHP memiliki tendensi revival dari Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang bernuansa kolonial, tidak dapat dimungkiri sebenarnya Pasal 218220 RUU KUHP memiliki perbedaan yang cukup mencolok dengan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Pasal 218-220 RUU KUHP diketahui merupakan jenis delik aduan absolut, sementara Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP merupakan jenis delik biasa; 2. Pada Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP, terdapat dasar penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden), yakni tidak termasuk tindak penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat apabila dilakukan sebagai upaya pembelaan diri atau demi kepentingan umum. Hal ini tidak didapatkan pada pasal serupa di KUHP; 3. Dengan perbandingan yang disajikan, yaitu KUHP Turki sebagai pembanding, dapat disimpulkan bahwa Pasal 218-220 RUU KUHP telah memperhatikan aspek-aspek fundamental sekaligus krusial dalam permasalahan ini; kategorisasi defamasi dan kritik. Belajar dari Pasal-Pasal yang ada pada KUHP terdahulu serta Pasal 299 KUHP Turki, dapat dilihat bahwasannya para perancang RUU KUHP telah memikirkan masak-masak terkait adanya ketidakpastian hukum yang menjadi masalah utama dalam polemik Pasal Penghinaan Presiden yang ada di KUHP terdahulu. Selain itu, adanya data nyata serta kasus yang baru-baru ini terjadi di Turki

ketidakpastian hukum yang dahulu menjadi alasan pembatalan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Terlebih lagi ada ilmu linguistik forensik yang turut berperan menganalisa mens rea dari suatu pernyataan.

This article is from: