CORPUS LAW JOURNAL VOL. I NO. 2 EDISI SEPTEMBER 2022

Page 1

Volume 1, Nomor 2, September 2022

Penanggung Jawab Redaksi Muhammad Firman Pemimpin Umum Nafila Andriana Putri

Wakil Pemimpin Umum Melody Akita Jessica Santoso Pemimpin Redaksi Aulia Safitri Redaktur Pelaksana Nindya Amaris Minar Cornellia Desy Natallina Darren Yosafat Marama Sitorus Venitta Yuubina

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI II

Ahmad Ghozi S.H., LL.M.

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Abdul Salam, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abdul Karim Munthe, S.Sy, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Pidana Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Joshua Gabriel M. Manurung

Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI III

Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat memberikan berbagai macam dampak terhadap Indonesia, baik dari sisi positif maupun negatif. Sisi positif yang terasa salah satunya adalah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga masyarakat dapat melakukan aktivitasnya dengan mudah. Akan tetapi, dengan kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat dapat menimbulkan penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Penyimpangan tersebut menimbulkan beragam masalah dan sebagian besarnya merupakan permasalahan dan isu Hukum Pidana. Dalam menyelesaikan permasalahan dan isu Hukum Pidana, terdapat kekosongan hukum diakibatkan oleh penyusunan peraturan formil Hukum Pidana yang cukup lama, sedangkan permasalahan-permasalahan Hukum Pidana dapat terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif di masyarakat, pengendalian sosial dengan cara pengaturan dan penyelesaian isu yang terjadi khususnya isu Hukum Pidana sangat diperlukan. Maka dari itu, bidang Literasi dan Penulisan berupaya untuk membantu menjawab isu-isu dan permasalahan Hukum Pidana dengan cara mewadahi pemikiran dan ide dari mahasiswa. Pemikiran-pemikiran Hukum Pidana merupakan suatu landasan untuk lahirnya sebuah peraturan. Dengan hadirnya Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2, September 2022, mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam menyumbang pemikiran-pemikiran mereka terkait permasalahan dari Hukum Pidana demi perkembangan ilmu hukum dan sosial. Selain itu, Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2, September 2022 merupakan salah satu wujud dari inisiasi mahasiswa dalam menulis ilmiah yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dengan daya cipta yang tinggi, serta kemampuan menulis dan analisis yang baik.

Akhir kata, kami segenap Tim Redaksi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi, membimbing, dan membantu proses penyusunan Corpus Law Journal ini. Kritik dan saran yang membangun akan selalu kami terima demi perkembangan Corpus Law Journal ini, sehingga dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para pembaca. Kami harap Corpus Law Journal dapat menjadi acuan dan manfaat bagi para penulis, pembaca, dan negara.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI IV

Assalammualaikum Wr. Wb, salam sejahtera dan salam kebangsaan bagi kita semua. Terima kasih saya ucapkan mewakili LK2 FHUI kepada segenap kepengurusan Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 khususnya panitia Jurnal Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2. Saya juga mengucapkan selamat kepada segenap Penulis pada Corpus Law Journal Volume 1 Nomor 2 yang telah menorehkan gagasan-gagasannya yang apik dan turut membangun pendidikan ilmu hukum di Indonesia.

LK2 FHUI hadir sebagai sarana dalam membangun pendidikan ilmu hukum di Indonesia. LK2 FHUI bersifat inklusif, partisipatif, dan kolaboratif yang menegaskan pera LK2 FHUI yang ingin turut serta untuk memberikan keilmuan dan kekeluargaan bagi FHUI, UI, dan Indonesia yang secara mutatis mutandis bergerak untuk mencapai pembangunan hukum di Indonesia yang lebih baik. Proses pendidikan ilmu hukum di Indonesia memperlukan peran serta dari segenap insan muda bangsa Indonesia dan tidak terbatas akan spesialisasi nya untuk memberikan perubahan, modifikasi, dan menegakkan cita bangsa Indonesia yang termanifestasikan dalam calon-calon Juris masa depan. Terakhir, saya harap tulisan-tulisan Penulis tidak hanya menjadi goresan tanpa makna, namun menjadi dasar dalam pembangunan hukum di Indonesia sehingga tiap gagasan menjadi bermanfaat bagi masa kini, nanti, dan masa depan. Terima kasih dan selamat membaca.

LK2 FHUI Get Friends, Gain Knowledge

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

V
SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2022

DAFTAR

ISI

Reviewer III KATA PENGANTAR TIM REDAKSI ...................................................................................IV SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2022 .................................................... V POLEMIK PASAL PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RKUHP: SEBUAH KAJIAN PRAKTIK DAN KOMPARASI……....................... 1 TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN FILM SECARA DARING DI INDONESIA: ANALISIS PUTUSAN NOMOR 762/PID.B/2020/PN.JMB…................................................................................................... 25 PENJATUHAN SANKSI PIDANA DITINJAU DARI ASPEK ASAS KESEIMBANGAN MENURUT HUKUM ISLAM 49 KELEKATAN SIFAT JAHAT DENGAN SUATU PERBUATAN: KAJIAN TEORITIS TERHADAP KONSEP MALA IN SE DALAM HUKUM PIDANA…………………… 73 MENINJAU DISPARITAS PENANGGUHAN PENAHANAN WANITA TERSANGKA PIDANA DENGAN TANGGUNGAN ANAK……………………………...........................91

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI VI

POLEMIK PASAL PENGHINAAN TERHADAP PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RUU KUHP: SEBUAH KAJIAN PRAKTIK DAN KOMPARASI

Oleh: Amelia Oryzae Norhasni

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: amelia.oryzae@ui.ac.id

Patricia Quina Gita Naviri

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: patricia.quina@ui.ac.id

Putu Ferlyne Grace Evangeline Wardana

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: putu.ferlyne@ui.ac.id

Abstrak

Polemik pasal penghinaan presiden dan wakilnya dalam RUU KUHP tak kunjung menemukan titik terang. Sejumlah pihak menilai pasal ini adalah warisan kolonial yang berpotensi memberangus kebebasan berpendapat. Meski demikian, tidak sedikit yang beranggapan perlu ada batasan pemisah antara kritik dengan hinaan kepada presiden sebagai pribadi terlepas dari jabatannya. Tidak hanya Indonesia, aturan serupa juga dijumpai di Turki yang tidak kalah menimbulkan berbagai problematika dalam penerapannya. Tulisan ini bermaksud untuk menjawab tepat atau tidaknya penghidupan kembali pasal a quo dengan mengkaji substansi pasal, praktik, dan perbandingan penerapan di Turki. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa tetap terdapat perbedaan antara pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP dengan KUHP dari aspek fundamental dan krusial. Selain itu, limitasi dalam pasal RUU KUHP mencegah penggunaan secara sewenang-wenang selayaknya yang terjadi di Turki.

Kata Kunci: Hukum Pidana, Penghinaan, Presiden dan Wakil Presiden,Kebebasan Berpendapat

Abstract

The polemic over the regulation on insulting the president and his deputy in the RUU KUHP has never come to light. A number of parties consider this article to

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

7

be a colonial legacy that has the potential to suppress freedom of expression. However, this regulation ought to be a dividing line between criticism and insults to the president as an individual. A similar rule found in Turkey is also no less problematic in its application. This paper intends to answer whether or not the revival of the regulation is appropriate by examining the substance, practice, and comparative application in Turkey. The authors use juridical-normative methods with secondary data that consists of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this study show that there are still differences between the articles on insulting the president in the RUU KUHP and the Criminal Code from a fundamental and crucial aspect. In addition, limitations in the RUU KUHP article prevent arbitrary use like the ones that happened in Turkey.

Key Words: Criminal Law, Defamation, President and Vice President, Freedom of Speech

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

8

I. PENDAHULUAN

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RUU KUHP”) akhir-akhir ini kembali menuai polemik dari masyarakat. Masyarakat menilai terdapat sejumlah poin bermasalah dalam RUU KUHP yang salah satunya adalah dimuatnya kembali klausul tentang tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden; atau yang sering dikenal dengan ketentuan pasal penghinaan presiden. Adapun dalam KUHP sekarang, pasal penghinaan presiden sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui Putusan No. 013022/PUU-IV/2006. MK secara spesifik membatalkan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Hakim menerima pendapat ahli bahwasanya KUHP Indonesia adalah hasil nasionalisasi berupa menerjemahkan Wetboek van Strafrecht zaman Hindia Belanda sehingga isi pasal a quo sejatinya ditujukan untuk melindungi martabat raja sebagai simbol dari negara monarki. Sedangkan dalam negara republik, tidak perlu menyangkutpautkan kepentingan negara dengan kepentingan pribadi presiden. Delik penghinaan seharusnya cukup menggunakan ketentuan Pasal 310-321 KUHP.1

Di samping itu, Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP memiliki rekam jejak penerapan yang meresahkan masyarakat. Seorang redaktur harian berinisial S dijerat Pasal 137 KUHP dan dihukum 6 bulan penjara oleh pengadilan pada 27 Oktober 2003 karena ia menulis judul berita yang mengkritik Presiden Megawati. Pendemo berinisial N dan M bernasibserupa dengan dijerat Pasal 134 KUHP akibat menginjak foto Megawati saatdemo di depan Istana Negara tahun 2003. Pada Era Presiden SBY, seorang

1 Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUUIV/2006, hlm. 57-58.

9
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

mahasiswa FH Udayana dipidana setelah membakar foto presiden kala berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar. Ia didakwa atas Pasal 134 jo. 136 KUHP dan dipenjara 6 bulan.2 Tindakan para pelaku sejatinya dipicu karena ketidakpuasan terhadap pemerintah sehingga timbul anggapan bahwa keberadaan pasal tersebut menciptakan pemerintahan yanganti-kritik. Padahal, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) dalam Pasal 28E Ayat (3) menjamin perlindungan atas kebebasan berpendapat. Sejarah pun turut menjadi alasan pembatalan pasal karena menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).3

Pembentukan hukum pidana bertujuan untuk melindungi keamanan dan kesejahteraan masyarakat.4 Pembatalan pasal penghinaan presiden adalah langkah negara melindungi hak asasi warga negara dalam berpendapat. Akan tetapi, penghidupan kembali ketentuan tersebut dalam Pasal 218-219 RUU KUHP juga berangkat dari alasan yang sama: bahwa jangan sampai kritik disamakan dengan ujaran kebencian yang melanggar hak asasi pribadi untuk tidak dihina martabatnya.5 Di sinilah timbul pertanyaan sejauh mana negara dapat menegakkan pasal tersebut sesuai dengan peruntukannya. Tidak cukup melihat pada sejarah sendiri, negara lain seperti Turki yang mengatur delik penghinaan presiden dalam kitab undang-undang pidananya6 juga bermasalah dalam menerapkannya. Hal ini dibuktikan dengan sebanyak 12,881 kasus penghinaan berujung pidana dalam kurun waktu 7 tahun kepemimpinan Presiden Erdogan.7

2 Rico Afrido Simanjuntak, “Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate,” https://nasional.sindonews.com/read/453694/13/d eretankasus-penghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjual-sate1623492410?showpage=all, diakses 30 Juli 2022.

3 Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUUIV/2006, hlm. 60.

4 Ajie Ramdan, “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RUU KUHP,” Jurnal Yudisial 13 (2020), hlm. 255.

5 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28G ayat (1).

6 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 299.

7 Aljazeera, “Turkish journalist arrested for insulting President Erdogan,” https://www.aljazeera.com/news/2022/1/23/turkish-journalist-arrested-on-charge-of-insultingerdogan, diakses 30 Juli 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

10

Tulisan ini bertujuan mengkaji tepat atau tidaknya pengaturan delik penghinaan presiden dalam RUU KUHP, dengan metode yang digunakan, yakni metode yuridis-normatif dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Artikel akan terbagi menjadi tiga bagian. Setelah pendahuluan, pembahasan terdiri atas tiga sub-bab yang membahas perkembangan pasal penghinaan presiden di Indonesia, uraian pasal serupa di Turki, lalu membandingkan praktik kedua negara. Bagian akhir adalah penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

II. PEMBAHASAN

A. Perkembangan dan Perdebatan Pasal Penghinaan Presiden di Indonesia

Delik penghinaan presiden dan wakil presiden tertuang dalam Bab II tentang kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, yakni pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Makna unsur “penghinaan dengan sengaja” dalam Pasal 134 KUHP ialah segala tindakan yang berkaitan dengan menyerang nama baik, martabat Presiden, termasuk pula segala jenis penghinaan sebagaimana dalam Pasal 310 KUHP hingga Pasal 321 KUHP, yaitu menista (smaad), menista dengan surat (smaadschrift), memfitnah (laster), penghinaan ringan (eenvoudige belediging), dan tuduhan memfitnah (lasterlijke aanklacht).8 Kemudian, makna dari Pasal 136 bis KUHP adalah mengatur bahwa Presiden atau Wakil Presiden tidak perlu ada di tempat ketika penghinaan dilakukan dan penghinaan tersebut dilakukan melalui suatu perbuatan.9 Selain itu, tindakan lain yang dapat memenuhi Pasal 136 bis KUHP ialah penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan, lisan, atau tulisan di hadapan lebih dari empat orang atau seorang lain yang hadir di situ bukan karena kehendaknya. Terakhir, Pasal 137 KUHP merupakan delik penyebaran (verpreidingsdelict) dan tidak perlu pembuktian apakah perbuatan

8 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, cet. 10 (Bogor: Politeia, 1988), hlm. 121.

9 Ibid., hlm. 122.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

11

penghinaan tersebut disengaja atau tidak.10 Cukup dengan orang tersebut mengetahui isi tulisan tersebut, maka ia dianggap telah memenuhi Pasal 137 KUHP ini.11

Pada umumnya, pasal-pasal yang berhubungan dengan penghinaan (defamation) termasuk dalam kategori delik aduan (klacht delict). Dalam delik aduan berarti penuntutan tidak dapat dilakukan sebelum pihak yang dirugikan tersebut melakukan pengaduan.12 Namun, sedikit berbeda pada delik penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP, yang mana termasuk sebagai delik biasa (gewone delict).13 Dengan demikian, sesuai definisi dari delik biasa, apabila terdapat seseorang yang memenuhi keseluruhan unsur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, atau Pasal 137 KUHP dapat langsung dilakukan proses hukum tanpa diperlukan pengaduan.14 Selain itu, pasal tersebut juga termasuk delik abstrak sehingga dampak bahaya yang ditimbulkan dari delik ini juga bersifat abstrak.15 Sebab, dalam merumuskan pasalnya dilakukan secara formal, tidak melihat dampaknya (materil).16

Oleh karena pasal a quo termasuk sebagai delik biasa, masyarakat rentan terjerat dengan delik penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut. Mulai dari era Orde Baru hingga era pemerintahan presiden Joko Widodo terdapat sekitar 84 orang yang terkena delik penghinaan presiden.1718 Seorang jurnalis bernama Rey Hanintyo, membuat sebuah artikel di Majalah Pop Edisi Oktober 1974 tentang silsilah keluarga

10 Ibid. 11 Ibid.

12 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas), hlm. 257.

13 Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. 121-123.

14 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Ed. Rev (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), hlm. 145.

15 Eddy O. S. Hiariej, “Pelibatan Publik dan Dekolonisasi,” Kompas, (28 Juli 2022).

16 Hiariej, Prinsip Hukum Pidana, hlm. 139.

17 Rico Afrido Simanjuntak, “Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate,” https://nasional.sindonews.com/read/45 3694/13/deretankasus-penghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjual-sate1623492410?showpage=all, diakses 3 September 2022.

18 Justitia Avila Veda, “Penerapan Pasal 134 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013),” (Skripsi Universitas Indonesia,Depok, 2015), hlm. 138-179.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

12

Soeharto yang dianggap oleh sang presiden telah “merugikan dirinya, keluarganya, dan keturunannya”. Ia kemudian didakwa Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP. Rey dan kuasa hukumnya melakukan pembelaan bahwa ia telah berusaha mencari fakta sebagai dasar penulisan artikel, bahkan berencana untuk mempublikasikan ralat di edisi selanjutnya. Hakim mengabaikan pembelaannya dan menjatuhi Rey hukuman penjara selama 2 tahun. Tulisan Rey kemudian berimbas pada Majalah Pop yang akhirnya dilarang beredar.19 Kasus Rey Hanintyo adalah gambaran betapa besar pengaruh presiden dalam menekan kebebasan pers sekaligus mengintervensi jalannya persidangan.

Pada tahun 2003, Supratman, seorang redaktur harian Rakyat Merdeka dijatuhi Pasal 137 ayat (1) KUHP karena dianggap melakukan penghinaan kepada Megawati Soekarnoputri sehingga ia divonis hukuman penjara selama 6 bulan dengan masa percobaan 12 bulan.20 Terdapat pula mahasiswa bernama Monang Tambunan, Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (“GMNI”) yang divonis melanggar Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP dan dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.21 Hal ini disebabkan pada saat aksi kinerja program 100 hari SBY, ucapan Monang dianggap merendahkan nama baik presiden kala itu.22 Selain itu, terdapat pula mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah bernama Fakhrur Rahman yang sama-sama dijatuhi Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP dan dipidana penjara 3 bulan 23 hari.23 Hal ini dikarenakan Fakhrur dinilai mengatakan hal-hal yang tidak senonoh

19 Herlambang Perdana Wiratraman, “Press freedom, law and politics in Indonesia : a socio-legal study,” (Disertasi Doktor Universitas Leiden, Leiden, Belanda, 2014), hlm. 154-156.

20 Hasyry Agustin, “4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang Diproses Hukum,” https://www.hukumonline.com/berita/a/4-kasus-penghinaan-terhadap-presiden-yang-diproseshukum-lt571a2c098997e, diakses 29 Juli 2022. Lihat juga Herlambang Perdana Wiratraman, “Press freedom, law and politics,” hlm. 157.

21 Tony Firman, “Ancaman Kriminalisasi Kritik oleh Pasal Penghinaan Kepala Negara,” https://tirto.id/ancaman-kriminalisasi-kritik-oleh-pasal-penghinaan-kepala-negara-cEbY, diakses 29 Juli 2022.

22 Institute for Criminal Justice Reform, “Kalau RUU KUHP Diketok, Kritik seperti Ketua BEM UI Bisa Masuk Penjara,” https://icjr.or.id/kalau-rkuhp- diketok-kritik-seperti-ketua-bem-uibisa-masuk-penjara/, diakses 29 Juli 2022.

23 Firman, “Ancaman Kriminalisasi,” https://tirto.id/ancaman-kriminalisasi-kritik-ol ehpasal-penghinaan-kepala-negara-cEbY, diakses 29 Juli 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

13

terhadap presiden dan wakil presiden saat melakukan orasi pada 16 Juni 2006 di depan Kampus Universitas Nasional.24 Melihat beberapa kasus dengan delik penghinaan presiden dan wakil presiden, MK pun mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Lebih lanjut, amar putusan tersebut menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.25 Beberapa pertimbangan MK dalam menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP ialah: …Martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak… Dengan demikian, hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.26

Selain itu, MK juga berpandangan bahwa pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum akibat rawan untuk dinilai apakah termasuk sebagai suatu bentuk protes, pernyataan pendapat, kritik, atau penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.27 Dengan demikian, MK menilai bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945

24 CRI, “Perkara Delik Penghinaan Presiden, Tak Perlu Menghadirkan Presiden,” https://www.hukumonline.com/berita/a/perkara-delik-penghinaan-presiden-tak-perlumenghadirkan-presiden-hol15576?page=all, diakses 29 Juli 2022.

25 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006, hlm. 62.

26 Ibid., hlm. 59-60.

27 Ibid., hlm. 60.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

14

mengenai hak atas kebebasan menyatakan pikiran secara lisan, tulisan, maupun ekspresi sikap.28

Setelah pasal a quo dinyatakan oleh MK tidak berkekuatan hukum tetap, realitanya masih banyak masyarakat yang terjerat pasal tersebut karena melakukan penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Dasar hukum yang digunakan oleh aparat penegak hukum (“APH”) ialah Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa/badan umum,Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tentang penghinaan, dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian. Tidak hanya itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut kembali dijumpai pada Draf RUU KUHP versi 4 Juli 2022, yakni dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP. Hal ini menimbulkan berbagai polemik di masyarakat karena berdasarkan PutusanMK No. 013022/PUU-IV/2006 delik tersebut dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum tetap. Pandangan kontra diutarakan oleh AliansiNasional Reformasi KUHP yang berpendapat bahwa Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP berasal dari pasal tentang lèse majesté dan bertujuan untukmelindungi Ratu Belanda.29 Lèse majesté sendiri merupakan suatu tindak pidana terhadap kekuasaan berdaulat atau harkat dan martabat penguasa sebagai representasi kekuasaan berdaulat tersebut.30 Dengan demikian, eksistensi Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP dianggap menghidupkan kembali warisan kolonial.31 Sejalan dengan itu, Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, berpendapat bahwa sekalipun terdapat alasan penghapus pidana (Pasal 218 ayat (2) RUUKUHP), yang mana jika penghinaan tersebut dilakukan demi kepentingan umum, tetapi dalam praktiknya makna “kepentingan umum” tersebut akan

28 Ibid.

29 Maidina Rahmawati, “Pemetaan dan Analisis Isu Bermasalah RUU KUHP 4 Juli 2022 oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP,” https://reformasikuhp.org/pemetaan-dan-analisis-isu-b ermasalah-rkuhp-4-juli-2022-oleh-aliansi-nasional-reformasi-kuhp/, diakses 29 Juli 2022.

30 UNHCR, Division of International Protection, Geneva, “Guidance Note on Refugee Claims Relating to Crimes of Lèse Majesté and Similar Criminal Offences,” International Journal of Refugee Law 27 (2015), hlm. 682.

31 Rahmawati, “Pemetaan,” https://reformasikuhp.org/pemetaan-dan-analisis- isubermasalah-rkuhp-4-juli-2022-oleh-aliansi-nasional-reformasi-kuhp/, diakses 29 Juli 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

15

bergantung pada diskresi APH.32 Kemudian, melihat lebih lanjut dari putusan MK, pengubahan dari delik biasa menjadi delik aduan bukan berarti dimanifestasikan dalam suatu pasal khusus yang mengatur terkait delik penghinaan presiden dan wakil presiden, tetapi seharusnya diarahkan kepada delik aduan untuk umum.33

Berkebalikan dengan argumen sebelumnya, menurut Eddy O.S. Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM, Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP tersebut kurang tepat apabila disebut “menghidupkan kembali warisan kolonial”. Justru, pasal a quo telah mengalami dekolonisasi. Hal ini disebabkan rumusan pasal RUU KUHP tersebut tidak lagi sebagai delik biasa, tetapi delik aduan sehingga yang melaporkan harus presiden atau wakil presiden itu sendiri. Selain itu, dalam penjelasan Pasal 218 RUU KUHP juga menjabarkan pengertian konkret tentang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri, kritik, dan kritik konstruktif. Walaupun pasal a quo masih berupa delik formil, tetapi terdapat alasan penghapus pidana yang berfungsi untuk menyeimbangkan delik formil itu sendiri.34 Berangkat dari situ, sejatinya kurang tepat apabila mempermasalahkan rumusan Pasal 218 hingga Pasal 220 RUU KUHP karena dari segi norma, pasal a quo tidaklah bermasalah.35 Sejalan dengan pendapat Hiariej, menurut Suparji Ahmad, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut merupakan delik aduan absolut sehingga tidak bisa dilaporkan oleh simpatisan atau pendukung presiden dan wakil presiden itu sendiri.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rumusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang ada dalam KUHP dengan RUU KUHP memiliki sejumlah perbedaan. Salah satu hal yang cukup membedakan terletak pada pihak yang berwenang untuk melakukan

32 Zainal Arifin Mochtar, “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi,” Kompas, (13 Juli 2022), hlm. 7. 33 Ibid.

34 Eddy O. S. Hiariej, “Pelibatan Publik dan Dekolonisasi,” Kompas Digital, (28 Juli 2022). Lebih lanjut lihat Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP dan Penjelasannya. 35 Ibid.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

16

pengaduan. Jika Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP termasuk sebagai delik biasa, maka Pasal 218, Pasal 219, Pasal 220 RUU KUHP merupakan delik aduan sehingga yang melaporkan haruslah presiden atau wakil presiden itu sendiri.36 Selain itu, ditambahkan pula dalam RUUKUHP pasal yang mengatur terkait dasar penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden), yakni Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP.

B. Perkembangan dan Praktik Pasal Penghinaan Presiden dalam Perspektif Turki

Turki37, atau dengan nama resminya Republik Turki, merupakan negara dengan sistem pemerintahan republik, di mana Turki menerapkan sistem republik konstitusional parlementer yang diatur dalam konstitusi yang disahkan pada tahun 1982,38 sebelum akhirnya pada masa kepresidenan Recep Tayyip Erdogan, Turki mengubah sistem pemerintahannya menjadi republik presidensial yang secara tidak langsung memberikan peran sentral kepada presiden dalam penyelenggaraan negara. Hal ini membuat Presiden menjadi “sasaran rentan” yang mengharuskan adanya perlindungan bagi presiden. Pasal mengenai Penghinaan Presiden sejatinya bukanlah hal baru dalam peraturan perundang-undangan Hukum Pidana di Turki. Pada Turkish Criminal Code (“KUHP Turki”), pengaturan

36 Vide bunyi Pasal 220 ayat (2) RUU KUHP.

37 Negara yang masih mengatur secara khusus mengenai delik penghinaan kepada presiden atau kepala negara adalah Turki, Amerika Serikat, Britania Raya, Belanda, Swedia, dan negara Eropa lainnya. Sementara, negara yang dahulu memiliki peraturan serupa tetapi sudah menghapusnya adalah Perancis. Warga Perancis menganggap pengaturan demikian melanggar hak atas kebebasan pendapat. (Lihat: The Guardian, “Insulting the French president is no longer a criminal offence,” https://www.theguardian.com/world/2013/jul/25/insulting-french-presidentcriminal-offence, diakses 31 Agustus 2022.) Penulis memilih Turki sebagai objek komparasi dengan Indonesia dengan pertimbangan sistem hukum yang sama (civil law), kesamaan bentuk negara yaitu Presidensial dengan kepala negara Presiden, serta status negara berkembang. Penulis tidak memilih negara Amerika Serikat karena perbedaan sistem hukum, sementara negara-negara Eropa dengan pengaturan serupa umumnya berbentuk negara monarki di mana raja/ratu adalah simbol sekaligus identitas negara. Sedangkan presiden, baik di Turki maupun Indonesia, tidak terhitung sebagai simbol negara yang secara eksplisit dinyatakan dalam konstitusi harus dihormati.

38 Vide Konstitusi Republik Turki (Turkish Constitution of 1982) pada Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “Turki adalah negara demokratis, sekuler, dan sosial yang berlandaskan hukum…” Lebih lanjut, pada Pasal 7, disebutkan bahwa kekuasaan dan fungsi legislatif dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Nasional Agung Turki (Parlemen) yang kewenangannya tidak dapat didelegasikan. Sementara, pada Pasal 8 dituliskan, kekuasaan dan fungsi eksekutif dijalankan oleh Presiden dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

17

tentang penghinaan presiden ini secara khusus termaktub pada Pasal 299 (terjemahan bebas) yang menyatakan, “setiap orang yang menghina Presiden Republik Turki dikenai ancaman pidana penjara satu sampai empat tahun.”39

Pasal 299 ini menggantikan keberlakuan Pasal 158 pada tahun 2005, dengan penambahan-penambahan materiil, seperti lamanya masa hukuman yang dijatuhkan. Pada Pasal 158, lamanya masa hukuman penjara hanya antara 6 bulan sampai maksimal 3 tahun.40 Sedangkan, pada Pasal 299 pengganti Pasal 158, masa hukuman penjara ditambah menjadi 1 tahun hingga 4 tahun paling lama dan jika penghinaan dilakukan secara terbuka di hadapan publik, hukuman akan ditambah seperenam (1/6).41 Dalam catatan penjelas yang diberikan oleh Otoritas Turki yang berwenang, keberadaan Pasal tersebut adalah sebagai akibat dari pentingnya tugas dan wewenang Presiden Turki berdasarkan Konstitusi, seperti menjaga pelaksanaan Konstitusi dan fungsi organ-organ Negara yang teratur dan harmonis, dan dalam kapasitas ini ia (Presiden) mewakili Negara. Oleh karena itu, pelanggaran menghina Presiden dianggap dalam KUHP sebagai pelanggaran terhadap “kekuatan Negara.” Selain itu, meskipun “penghinaan” tidak didefinisikan dalam Pasal 299, definisi yang disediakan dalam ketentuan umum tentang “penghinaan” dalam Pasal 125 (dengan judul “pelanggaran terhadap martabat”) digunakan ketika menerapkan Pasal 299. Menurut Pasal 125, penghinaan adalah atribusi “dari suatu tindakan, atau fakta, kepada seseorang dengan cara yang dapat mencela kehormatan, martabat atau prestise orang tersebut, atau menyerang kehormatan, martabat, atau prestise seseorang dengan bersumpah.”42 Sebetulnya, perkara penghinaan ini diatur dalam Pasal 125 KUHP Turki,43 dengan konsekuensi pemidanaan paling singkat 3 bulan dan

39

Turki, Turkish Criminal Code, Art. 299 ayat (1).

40 Turki, Turkish Criminal Code 1926, pra-amandemen, Art. 158.

41 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 299 ayat (1) dan (2). (Diamandemen pada 29 Juni 2005 oleh Article 35 Law No. 5377).

42 Komisi Venesia, “Opinion on Articles 216, 199, 301, and 314 of The Penal Code of Turkey,” diadaptasi oleh Komisi Venesia pada Sesi Pleno ke-106 (11-12 Maret 2016), hlm. 13.

43 Vide Pasal 125 KUHP Turki tentang Defamasi “Setiap orang yang bertindak dengan maksud untuk mencemarkan kehormatan, nama baik atau martabat orang lain melalui kinerja nyata

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

18

maksimal 2 tahun penjara.44 Perkara penghinaan ini menjadi “istimewa” ketika penghinaan yang dilontarkan ditujukan kepada Presiden Republik Turki, di mana hukumannya terekskalasi hingga dua kali lipat. Apabila ditelaah, Presiden bukanlah satu dari sekian jumlah simbol Negara Turki. Pada Konstitusi 1982, tertuang dengan jelas bahwa Turki adalah negara yang tidak terpisahkan baik secara bangsa maupun wilayah teritorial, dengan Bahasa Resmi Bahasa Turki; memiliki bendera kebangsaan, yaitu bendera berwarna dasar merah dengan simbol bulan sabit dan bintang di pojok kiri; memiliki lagu kebangsaan berjudul “Independence March.”45

Selain fakta ini, Pasal 299 KUHP Turki disinyalir bertentangan dengan Pasal 10 Konstitusi Tahun 1982 yang menegaskan bahwa:

semua orang adalah setara di mata hukum tanpa ada pembedaan berdasarkan bahasa, ras, warna kulit, jenis kelamin, pendapat politik, kepercayaan filosofis, agama dan sekte, dan/atau dasar apapun yang lain; tidak ada privilese yang patut diberikan kepada setiap individu, keluarga, kelompok, atau kelas.46

Melihat sederetan fakta tersebut, peraturan yang dimuat dalam Pasal 299 menjadi kontradiktif dengan Konstitusi Negara Turki. Presiden yang tidak termasuk dalam kategori Simbol Negara yang perlu dilindungi serta tidak diistimewakan oleh Konstitusi membuat aturan pada Pasal 299 terlihat tidak valid dan bernuansa otoritarian. Diketahui, dalam rentang antara tahun 2014 sampai tahun 2019, total hampir 129 ribu orang menjadi sasaran penyelidikan Kejaksaan Turki atas tuduhan “penghinaan” terhadap Presiden Erdogan.47 Kasus yang terbaru, seorang jurnalis terkemuka Turki, Sedef

atau memberikan kesan niat, dihukum penjara dari tiga bulan sampai dua tahun atau dikenakan denda hukuman…” Pada ayat (3) huruf a, diterangkan pula jika penghinaan ditujukan kepada pejabat negara, hukuman yang dijatuhkan tidak boleh kurang dari 1 tahun. Pada peraturan tersebut, dapat dianggap bahwa pejabat negara yang dimaksud tidak termasuk presiden. Mengenai batas pengertian penghinaan dapat dikategorikan perbuatan seseorang adalah defamasi ketika tindakannya dilakukan dengan maksud; mencemarkan kehormatan nama baik/martabat orang lain; terdapat tindakan nyata/setidaknya terlihat niatnya.

44 Turki, Turkish Criminal Code, Art. 125.

45 Turki, Turkish Constitution of 1982, Art. 3.

46 Ibid., Art. 10.

47 Duvar English, “Nearly 129,000 People Probed for Insulting Erdogan in 5 Years,” https://www.duvarenglish.com/nearly-129000-people-probed-for-insulting-erdogan-in-5-yearsnews-56834, diakses 4 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

19

Kabas, telah ditangkap oleh Kepolisian Turki pada Januari 2022. Ia dituduh telah melakukan “penghinaan” dalam cuitannya di Twitter yang diunggah pada 22 Januari 2022 dengan bunyi “Ketika seekor sapi masuk ke istana, ia tidak menjadi raja, tetapi justru istananya menjadi kandang.” Meskipun cuitan tersebut tidak merujuk langsung kepada nama Erdogan atau Presiden Turki, tetapi Juru Bicara Kepresidenan Turki, Fahrettin Altun, menilai Kabas sebagai “amoral” dan “tidak bertanggung jawab” karena mencoreng nama Presiden yang secara tidak langsung menghancurkan harkat dan martabat negara. Selain Jubir Kepresidenan, Menteri Kehakiman Turki, Abdulhamit Gul, membagikan cuitannya di Twitter yang mengatakan bahwa Kabas akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perilakunya yang berlawanan dengan hukum.48 Kejadian ini menambah panjang daftar penangkapan-penangkapan rakyat Turki akibat dituduh telah melakukan penghinaan terhadap Presiden.

Dalam kasus “penghinaan” presiden yang sifatnya kian masif di Turki, setidaknya dapat disaksikan sendiri bagaimana KUHP Turki tidak secara terperinci mengatur perbedaan antara kritik dengan penghinaan. Kadang, hal yang sifatnya abu-abu seperti apa yang telah dilakukan oleh Kabas juga dapat secara semena-mena ditentukan sebagai tindak pidana defamasi terhadap Presiden Turki. Selain rancunya definisi antara kritik dengan defamasi, Pasal 299 KUHP Turki tampak inkonstitusional secara materiil karena telah secara eksplisit berkontradiksi dengan Konstitusi Tahun 1982. Pada akhirnya, jika dilihat perkembangannya, polemik Pasal Penghinaan Presiden ini masih bergulir di Turki dan belum kunjung menemukan titik usainya.

C. Delik Penghinaan Presiden dan Kebebasan Berpendapat

Delik penghinaan presiden tidak akan lepas dari isu kebebasan berpendapat. Indonesia menjamin kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara melalui Pasal 28 UUD

48 Deutsche Welle, “Turkey: Journalist Jailed on Suspicion of Insulting Erdogan,” https://www.dw.com/en/turkey-journalist-jailed-on-suspicion-of-insulting-erdogan/a-60526786, diakses 4 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

20

1945. Jaminan hak ini turut tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang berbunyi:

Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa 49 garis bawah oleh penulis.

Pasal 23 ayat (2) UU HAM mengandung dua aspek penting. Undangundang menjamin warga bebas berpendapat sebagai perwujudan hak. Namun, ada kewajiban yang mengikuti hak tersebut yaitu pendapat jangan sampai menyalahi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Ini sejalan dengan Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”) yang mengatakan “The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities…”50Arti dari klausul ICCPR tak lain pelaksanaan hak kebebasan berpendapat sesungguhnya bersifat restriktif yang mana harus menyesuaikan dengan kewajiban tertentu dan dilaksanakan dengan bertanggung jawab.

Kendati telah diatur oleh undang-undang, realitanya masih ada masyarakat yang mencampuradukkan antara kritik dengan penghinaan. Menurut sudut pandang linguistik forensik, intensi menghina dapat dikenali dari tiga kondisi. Pertama, preparatory conditions yaitu akurasi fakta dari sebuah pernyataan dan kondisi psikis seseorang untuk membuat pernyataan. Kedua, sincerity conditions yang memperhitungkan unsur kesungguhan seseorang saat melakukan pernyataan. Ketiga, illocutionary intentions yang adalah tujuan dari dibuatnya sebuah pernyataan.51 Salah satu contoh kasus terjadi pada Juni 2021 di mana tersebar foto wajah Presiden Jokowi yang

49 Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN. No. 165. TLN No. 3886, Ps. 23.

50 Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Convention on Civil and Political Rights, Art. 19.

51 Lilik Rita Rindayani, et. al., “Forensic Linguistics Study on Cases of Insulting President Joko Widodo in Social Media,” Journal of Positive School Psychology 6 (2022), hlm. 11762.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

21

telah diedit menggantikan wajah Yesus Kristus di kayu salib disertai dengan caption yang mengindikasikan presiden sebagai “tuhan” yang harus disembah oleh para pendukungnya.52 Terdapat juga kasus seseorang merekam video berisi umpatan kepada presiden dan mengatakan bahwa uang negara hilang akibat kepemimpinannya.53 Dilihat dari kedua contoh tersebut, masing-masing pelaku memenuhi tiga kondisi penghinaan. Pelaku tidak memiliki latar belakang fakta yang cukup bahkan pernyataan mengandung unsur merendahkan agama lain. Mereka secara sungguh membuat pernyataan, dan tujuan akhirnya adalah untuk menghina. Maka dari itu, harus ada sarana regulasi yang dapat menjaga pelaksanaan kebebasan berpendapat agar tetap dalam koridor yang sesuai. Pengikutsertaan kembali delik penghinaan presiden dalam RUU KUHP menyesuaikan dengan fungsi hukum pidana. Sudarto mengatakan fungsi hukum pidana terbagi atas fungsi umum, yaitu menata kehidupan masyarakat, dan fungsi khusus untuk melindungi kepentingan hukum.54 Eddy O. S. Hiariej yang sependapat dengan Sudarto kemudian menambahkan fungsi khusus pidana yaitu memberi keabsahan bagi negara untuk menjalankan fungsi perlindungan kepentingan hukum.55 Dalam delik penghinaan umum, ada objek kepentingan yang diserang yaitu harga diri yang bersifat pribadi.56 Sedangkan penghinaan yang ditujukan kepada presiden adalah delik dengan kualifikasi yang berimplikasi pada objeknya yaitu harga diri bersama.57 Sifat komunalistik dari harga diri yang dimaksud

52 Fachri Djaman, “Viral Foto Jokowi di Tiang Salib, Netizen: Penghinaan Agama Nasrani,”https://makassar.terkini.id/viral-foto-jokowi-di-tiang-salib-netizen-penghinaan-agamanasrani/, diakses 7 Agustus 2022.

53 M Yusuf Manurung, “Perempuan Penghina Jokowi Ditangkap, Pelaku Buat Video Tahun 2019,” https://metro.tempo.co/read/1415051/perempuan-penghina-jokowi- ditangkap-pelaku-buatvideo-tahun-2019, diakses 7 Agustus 2022.

54 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Ed. Rev (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), hlm. 34.

55 Ibid., hlm. 35.

56 Harga diri adalah hak pribadi sesuai muatan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya…”.

57 Rumusan delik pidana penghinaan di Indonesia terbagi atas penghinaan umum yang diatur dalam Bab XVI KUHP dan penghinaan khusus yang dirumuskan di luar Bab XVI KUHP. Penghinaan khusus umumnya berkaitan dengan suatu kelompok masyarakat, seperti penghinaan pada golongan bangsa Indonesia, penghinaan terhadap agama, penghinaan terhadap pemimpin

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

22

kembali lagi pada pandangan umum bahwa citra kepala negara dan wakilnya selalu berkaitan erat dengan citra negara yang mereka pimpin, terlepas dari negara tersebut berbentuk monarki atau republik. Jika ditarik lebih jauh ke dalam konteks Indonesia, bangsa ini terkenal dengan jiwa kekeluargaan yang kuat sehingga akan tersinggung dan tidak bisa menerima apabila kepala negaranya dihina.58 Karena menghina kepala negara yang terpilih secara sah melalui pemilihan umum sama saja mengatakan rakyat telah memilih pemimpin yang salah. Inilah yang menjadi salah satu bahan pertimbangan Badan Pembinaan Hukum Nasional menyebutkan dalam naskah akademik RUU KUHP. Maka, tanpa ketentuan pasal ini negara tidak memiliki dasar melakukan tindakan dalam rangka melindungi kepentingan hukum individu dan bangsa dari cacian.

Pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP tidak sekonyongkonyong bertujuan “mengistimewakan” presiden daripada rakyat umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa pasal penghinaan presiden telah menjadi momok bagi demokrasi tanah air karena rekam jejak penerapannya yang cenderung sewenang-wenang. Akan tetapi, Pasal 218-220 RUU KUHP mengandung poin-poin baru yang mampu mempersempit ruang tafsir pasal. Berkaca dari ketentuan serupa di Turki, pasal penghinaan presiden mereka tidak memiliki penjelasan terkait batasan antara kritik dengan penghinaan. Alhasil, penafsiran sebuah pernyataan bergantung sepenuhnya pada diskresi APH dan pemerintah. Jurnalis Sedef Kabas menjadi contoh bahwa kata “istana” yang terdapat dalam unggahannya bisa diartikan sebagai istana kepresidenan. Padahal cuitan Kabas yang tidak menyebut Lembaga Kepresidenan Turki ataupun nama tokoh politik tertentu. Sedangkan, RUU KUHP Indonesia menyebutkan secara gamblang bahwa kritik jangan sampai mengandung kata-kata yang merendahkan, menyinggung, atau menyerang pribadi.59 Ini artinya legislator turut memperhatikan faktor

negara sahabat. Lihat Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan (Malang: Bayumedia Publishing, 2022), hlm. 10. 58 Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Draft Naskah Akademik RUU KUHP, hlm. 216. 59 Indonesia, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penjelasan Ps. 218 ayat (2), hlm. 42.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

23

ketidakpastian hukum yang dahulu menjadi alasan pembatalan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Terlebih lagi ada ilmu linguistik forensik yang turut berperan menganalisa mens rea dari suatu pernyataan.

III. PENUTUP

Dari uraian yang telah ditulis pada sub-sub bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan berupa beberapa poin penting dari polemik pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini, termasuk yang bersinggungan dengan praktik yang terjadi di Turki sebagai pembanding. Berikut ini beberapa poin tersebut.

1. Meskipun dikatakan bahwa Pasal 218-220 RUU KUHP memiliki tendensi revival dari Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang bernuansa kolonial, tidak dapat dimungkiri sebenarnya Pasal 218220 RUU KUHP memiliki perbedaan yang cukup mencolok dengan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Pasal 218-220 RUU KUHP diketahui merupakan jenis delik aduan absolut, sementara Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP merupakan jenis delik biasa;

2. Pada Pasal 218 ayat (2) RUU KUHP, terdapat dasar penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden), yakni tidak termasuk tindak penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat apabila dilakukan sebagai upaya pembelaan diri atau demi kepentingan umum. Hal ini tidak didapatkan pada pasal serupa di KUHP;

3. Dengan perbandingan yang disajikan, yaitu KUHP Turki sebagai pembanding, dapat disimpulkan bahwa Pasal 218-220 RUU KUHP telah memperhatikan aspek-aspek fundamental sekaligus krusial dalam permasalahan ini; kategorisasi defamasi dan kritik. Belajar dari Pasal-Pasal yang ada pada KUHP terdahulu serta Pasal 299 KUHP Turki, dapat dilihat bahwasannya para perancang RUU KUHP telah memikirkan masak-masak terkait adanya ketidakpastian hukum yang menjadi masalah utama dalam polemik Pasal Penghinaan Presiden yang ada di KUHP terdahulu. Selain itu, adanya data nyata serta kasus yang baru-baru ini terjadi di Turki

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

24

setidak-tidaknya dapat membuka mata dan pikiran kita terhadap pentingnya limitasi supaya tidak ada lagi penghakiman yang semena-mena terhadap kritik yang dilontarkan oleh rakyat, yang belum tentu kritik tersebut memang mengandung indikasi penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Oleh karena itu, Pasal 218-220 RUU KUHP tidak seharusnya “dipersekusi” dengan narasi-narasi yang menggiring opini, seperti “menolak pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP,”60 “Draf RUU KUHP tidak mengakomodir tuntutan-tuntutan masyarakat,” “Draf RUU KUHP berisi pasal-pasal yang mengancam kebebasan berpendapat yang mengancam HAM dan demokrasi,”61 serta narasi-narasi serupa yang memberikan kesan bahwa draf RUU KUHP seolah-olah tidak berpihak pada rakyat dan hanya mewakili kepentingan penguasa, khususnya melalui Pasal 218-220 RUU KUHP tersebut. Padahal, seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam menentukan suatu tindakan itu merupakan defamasi atau kritik belaka, dilibatkan pula ilmu linguistik forensik untuk menganalisis suatu pernyataan guna menentukan mens rea dari yang bersangkutan sehingga secara tidak langsung hal itu membatasi ruang gerak APH untuk menangkap orang-orang yang diduga telah melakukan penghinaan terhadap presiden. Sebab, dibutuhkan syarat-syarat untuk menentukan apakah seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana defamasi terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Dengan demikian, Pasal 218-220 RUU KUHP ini perlu dilihat dan disimak secara menyeluruh agar pesan yang ada di baliknya tersampaikan, yaitu memberi batasan kepada masyarakat supaya tetap memberi kritik yang membangun untuk pemerintah dan lebih memperhatikan tutur bahasa serta isi dalam menyampaikan kritik tersebut sehingga tidak dinilai sebagai defamasi.

60 Anjas Rinaldi Siregar dan Alif Fachrul Rachman, “Menolak Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP,” https://news.detik.com/kolom/d-6154614/m enolak-pasal-penghinaanpresiden-dalam-rkuhp, diakses 10 Agustus 2022.

61 Tempo, “BEM UI Rencanakan Lagi Demonstrasi Tolak Draf RUU KUHP,” https://nasional.tempo.co/read/1610850/bem-ui-rencanakan-lagi-demontrasi-tolak-draf-rkuhp, diakses 10 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

25

Dengan demikian, kami, penulis, menyarankan bahwa Pasal-Pasal tersebut tetap dipertahankan eksistensinya di dalam RUU KUHP yang kelak akan diresmikan menjadi KUHP baru Indonesia. Dengan catatan, pelaksanaan Pasal ini pada praktiknya harus diiringi dengan perbaikan sikap dari APH. Hal ini menjadi syarat penting agar penegakan hukum berdasarkan Pasal ini dapat dilakukan sesuai dengan porsinya, supaya penerapannya pada kemudian hari dapat berjalan maksimal dan tidak terjadi hal-hal seperti yang telah terjadi di Turki akibat keberadaan Pasal yang serupa dalam KUHP Turki serta mengubur sisa-sisa model sanksi era Orde Baru yang cenderung otoriter.

FHUI

26
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan Malang: Bayumedia Publishing, 2022.

Hiariej, Eddy O. S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Ed. Rev. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Cet. 10. Bogor: Politeia, 1988.

Artikel/Jurnal

Ramdan, Ajie. “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RUU KUHP.” Jurnal Yudisial 13 (2020). Hlm. 245-266.

Rindayani, Lilik Rita. et. al.. “Forensic Linguistics Study on Cases of Insulting President Joko Widodo in Social Media.” Journal of Positive School Psychology 6 (2022). Hlm. 11759-11768.

UNHCR, Division of International Protection, Geneva. “Guidance Note on Refugee Claims Relating to Crimes of Lèse Majesté and Similar Criminal Offences.” International Journal of Refugee Law 27 (2015).

Harian

Mochtar, Zainal Arifin. “Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi.” Kompas, (13 Juli 2022). Hlm. 7.

Hiariej, Eddy O. S. “Pelibatan Publik dan Dekolonisasi.” Kompas Digital, (28 Juli 2022).

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia UU No. 39 Tahun 1999. LN. No. 165. TLN No. 3886.

Turki. Turkish Constitution of 1982.

Turki. Turkish Criminal Code 1926.

Dokumen Internasional

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

27

Komisi Venesia. Opinion on Articles 216, 199, 301, and 314 of The Penal Code of Turkey (2016).

Perserikatan Bangsa-Bangsa. International Convention on Civil and Political Rights (1966).

Putusan Pengadilan Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 013-022/PUUIV/2006.

Skripsi dan Disertasi Wiratraman, Herlambang Perdana. “Press freedom, law and politics in Indonesia : a socio-legal study.” Disertasi Doktor Universitas Leiden. Leiden, Belanda, 2014. Veda, Justitia Avila. “Penerapan Pasal 134 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013).” Skripsi Universitas Indonesia. Depok, 2015.

Internet

Agustin, Hasyry. “4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang Diproses Hukum.” https://www.hukumonline.com/berita/a/4-kasus-penghinaan -terhadappresiden-yang-diproses-hukum-lt571a2c098997e. Diakses 29 Juli 2022.

Aljazeera. “Turkish journalist arrested for insulting President Erdogan.” https://www.aljazeera.com/news/2022/1/23/turkish-journalist-arrested-oncharge-of-insulting-erdogan. Diakses 30 Juli 2022.

CRI. “Perkara Delik Penghinaan Presiden, Tak Perlu Menghadirkan Presiden.” https://www.hukumonline.com/berita/a/perkara-delik-penghinaanpresiden-tak-perlu-menghadirkan-presiden-hol15576?page=all. Diakses 29 Juli 2022.

Deutsche Welle. “Turkey: Journalist Jailed on Suspicion of Insulting Erdogan.” https://www.dw.com/en/turkey-journalist-jailed-on-suspicion-of-insultingerdogan/a-60526786. Diakses 4 Agustus 2022.

Djaman, Fachri. “Viral Foto Jokowi di Tiang Salib, Netizen: Penghinaan Agama Nasrani.”https://makassar.terkini.id/viral-foto-jokowi-di-tiang-salibnetizen-penghinaan-agama-nasrani/. Diakses 7 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

28

English, Duvar “Nearly 129,000 People Probed for Insulting Erdogan in 5 Years.” https://www.duvarenglish.com/nearly-129000-people-probed- forinsulting-erdogan-in-5-years-news-56834. Diakses 4 Agustus 2022.

Institute for Criminal Justice Reform. “Kalau RUU KUHP Diketok, Kritik seperti Ketua BEM UI Bisa Masuk Penjara.” https://icjr.or.id/kalau-rkuhp-diketokkritik-seperti-ketua-bem-ui-bisa-masuk-penjara/. Diakses 29 Juli2022.

Manurung, M Yusuf. “Perempuan Penghina Jokowi Ditangkap, Pelaku Buat Video Tahun 2019.” https://metro.tempo.co/read/1415051/perempuan -penghinajokowi-ditangkap-pelaku-buat-video-tahun-2019. Diakses 7 Agustus 2022.

Rahmawati, Maidina. “Pemetaan dan Analisis Isu Bermasalah RUU KUHP 4 Juli 2022 oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP.” https://reformasikuhp.org/pemetaan-dan-analisis-isu-bermasalah-rkuhp-4juli-2022-oleh-aliansi-nasional-reformasi-kuhp/. Diakses 29 Juli 2022.

Simanjuntak, Rico Afrido. “Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate.” https://nasional.sindonews.com/read/453694/13/deretan-kasuspenghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjualsate-1623492410?showpage=all. Diakses 30 Juli 2022.

Siregar, Anjas Rinaldi dan Alif Fachrul Rachman. “Menolak Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP.” https://news.detik.com/kolom/d-6154614/m enolak-pasal-penghinaan-presiden-dalam-rkuhp. Diakses 10 Agustus 2022.

The Guardian. “Insulting the French president is no longer a criminal offence.” https://www.theguardian.com/world/2013/jul/25/insulting-frenchpresident-criminal-offence. Diakses 31 Agustus 2022.

Tempo. “BEM UI Rencanakan Lagi Demonstrasi Tolak Draf RUU KUHP.” https://nasional.tempo.co/read/1610850/bem-ui-rencanakan-lagidemontrasi-tolak-draf-rkuhp. Diakses 10 Agustus 2022.

Lainnya

Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Draft Naskah Akademik RUU KUHP.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

29

Indonesia. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Versi 4 Juli 2020.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

30

BIODATA PENULIS

Amelia Oryzae Norhasni merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Tangerang, 21 Juli 2002. Amelia bergabung di organisasi Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia.

Patricia Quina Gita Naviri merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Surakarta, 28 Mei 2002. Patricia bergabung di Podium FHUI sebagai Vice Head Academic Writing Podium FHUI.

Putu Ferlyne Grace Evangeline Wardana merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Denpasar, 20 April 2002. Ferlyne bergabung di organisasi Hopehelps Network.

31
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN FILM SECARA DARING DI INDONESIA: ANALISIS PUTUSAN NOMOR 762/PID.B/2020/PN.JMB

Oleh: Farrell C. Firmansyah

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: farrell.charlton@ui.ac.id

Melvina Indria

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 Korespondensi: melvina.indria@ui.ac.id

Raden Farah Najwa Madiena

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 Korespondensi: raden.farah@ui.ac.id

Abstrak

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi, pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual semakin marak terjadi, salah satunya pelanggaran hak cipta berupa pembajakan film secara daring. Dalam rangka melindungi hak cipta dari tindak pidana pembajakan, telah terdapat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini akan membahas teori dan penerapan hukum dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb, serta membandingkan hukum pidana mengenai pembajakan film di Indonesia dengan Amerika Serikat melalui tinjauan UU Hak Cipta dan United States Code. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan hukum. Melalui penelitian, diketahui bahwa regulasi di Indonesia mengenai hak cipta dalam rangka perlindungan film sudah cukup tepat, akan tetapi dalam putusan yang dibahas terdapat penerapan pasal yang kurang tepat.

Kata Kunci: Tindak Pidana, Hak Cipta, Pembajakan Film, Daring

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

32

Abstract

In the midst of rapid development of technology, information, and communication, violations of Intellectual Property Rights are increasingly common, one of which is copyright infringement in the form of online film piracy. In order to protect copyright from criminal acts of piracy, there has been Law Number 28 of 2014 concerning Copyright and Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. This study will discuss the theory and application of the law in Decision Number 762/Pid.B/2020/PN.Jmb, and compare the criminal law regarding film piracy in Indonesia and the United States. The research method used is a normative juridical method using a conceptual approach, a statutory approach, and a case approach. Through this research, it is known that the regulation regarding copyright in the context of film protection is quite complete, but in the Court Decision discussed there is an inappropriate application of the article.

Keywords: Criminal, Copyright, Movie Piracy, Internet

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

33

I. PENDAHULUAN

Latar belakang

Pesatnya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi turut mengakibatkan maraknya pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual, terutama hak cipta. Kemudahan akses informasi di internet sering kali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Penyalahgunaan tersebut kerap dilakukan untuk memperoleh keuntungan, salah satunya seperti pembajakan film yang dilakukan secara daring. Pembajakan merupakan suatu tindak pidana yang melanggar hak-hak pencipta atas hasil karya ciptaannya.

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu melalui kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Dengan kecerdasan tersebut, manusia dapat menghasilkan karya-karya di berbagai bidang, mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, hingga sastra.1 Karya-karya yang lahir dari hasil pemikiran manusia tersebut diciptakan dengan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang disebut sebagai kekayaan intelektual. Setiap kekayaan intelektual memiliki nilai atau manfaat ekonomi tersendiri bagi penciptanya. Oleh karena itu, setiap pencipta memiliki hak atas hasil karyanya melalui Hak Kekayaan Intelektual yang sudah sepatutnya dilindungi oleh hukum. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights merupakan hak yang timbul untuk melindungi suatu produk atau proses yang bersumber dari hasil kemampuan intelektual manusia.2 HKI diberikan oleh negara kepada para pencipta (kreator), penemu (inventor), atau pendesain sebagai bentuk pengakuan, penghargaan atau apresiasi, dan perlindungan atas hasil karya yang diciptakannya dengan berbagai pengorbanan, baik itu tenaga, waktu, maupun biaya.3 HKI terbagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta (copyrights) dan hak desain industri (industrial property rights). Apabila dilihat dari aspek hukum kebendaan, benda yang dilindungi oleh HKI merupakan benda tidak berwujud (immateriel)

1 Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 2.

2 Abdul Astar, Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 3.

3 Yoyo Arifardhani, Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, ed. 1, cet 1 (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 9.

34
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

karena dapat dialihkan, salah satunya karya sinematografi atau film.4 Karya sinematografi merupakan salah satu kekayaan intelektual yang dilindungi melalui hak cipta. Hak cipta merupakan hak yang dimiliki secara otomatis oleh pencipta atas suatu karya yang diciptakannya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hak cipta diberikan secara eksklusif kepada pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil karyanya atau memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan hal yang sama, tetapi tetap dalam batasan hukum yang berlaku.5 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”) mendefinisikan hak cipta sebagai: “Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”6

Hak cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada pencipta, yang berarti hak tersebut akan tetap ada bahkan setelah pencipta meninggal dunia. Hak moral memberikan hak kepada pencipta untuk melindungi kepentingan pribadinya, seperti mencantumkan atau tidak mencantumkan nama asli atau nama samarannya, mengubah ciptaannya baik itu judul maupun ciptaan itu sendiri, dan mempertahankan haknya apabila terjadil hal-hal yang dapat merusak reputasinya.7 Sedangkan hak ekonomi adalah hak bagi pencipta melakukan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan ekonomi atas ciptaannya, salah satunya seperti penggandaan ciptaan. Penggandaan ciptaan yang dilakukan oleh pihak lain untuk keperluan komersial memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Apabila penggandaan ciptaan dilakukan tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta, maka pihak tersebut telah melakukan pembajakan, di mana hal tersebut melanggar hak cipta atas karya yang digandakan. Meskipun telah terdapat regulasi yang mengatur mengenai hak cipta, tetapi kesadaran masyarakat mengenai perlindungan hak cipta masih minim. Nyatanya, masih banyak kasus pelanggaran hak cipta yang

4 Insan Budi Maulana, Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) (Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005), hlm. 15.

5 Isnaini Yusran, Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 9.

6 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 1.

7 Ibid., Ps. 5.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

35

terjadi, khususnya dalam kasus pembajakan. Berdasarkan laporan Pirates in the Outfield oleh Akamai State of the Internet, permintaan pembajakan di dunia mencapai 3,7 miliar dari bulan Januari hingga September 2021.8 Pada laporan tersebut, Indonesia menduduki posisi ke-9 dalam daftar lokasi teratas untuk kunjungan ke situs web pembajakan dengan 3,5 miliar kunjungan. Saat ini pun, kasus pembajakan film di Indonesia masih marak terjadi. Terlebih di tengah pesatnya perkembangan teknologi, di mana kemudahan akses internet turut mengakibatkan mudahnya akses ke situs-situs pembajakan film. Salah satunya seperti kasus pembajakan film pada Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum pidana dalam pembajakan film secara daring di Indonesia, terutama dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb?

2. Bagaimana perbandingan hukum pidana dalam UU HC di Indonesia dengan US Code di Amerika Serikat mengenai pembajakan film secara daring?

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, digunakan metode penelitian hukum normatif yang dititikberatkan pada peraturan-peraturan tertulis baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun sumber hukum tertulis lainnya.9 Penelitian dilakukan dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan – bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, untuk memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma positif yang mengatur mengenai kehidupan manusia.10 Tujuannya untuk kebenaran koherensi yaitu kesesuaian aturan hukum atau tindakan dengan norma/prinsip hukum dalam pokok bahasan.11

8 Akamai, State of the Internet/Security: Pirates in the Outfield, Vol. 8 Issue. 1, https://www.akamai.com/resources/state-of-the-internet/soti-security-pirates-in-the-outfield, diakses 3 Agustus 2022.

9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1, cet 6 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 118.

10 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 104.

11 Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, cet. 1 (Tangerang Selatan: UNPAM Press,2018), hlm. 72.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

36

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Statute Approach atau pendekatan peraturan perundang-undangan, Case Approach atau pendekatan kasus, dan Comparative Approach atau pendekatan perbandingan. Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menganalisis seluruh regulasi yang berhubungan dengan isu hukum terkait.12 Kemudian pendekatan kasus merupakan tinjauan terhadap kasus yang telah menjadi putusan berkekuatan hukum tetap, dalam penelitian ini yang dianalisa adalah Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb.13 Terakhir, digunakan juga pendekatan perbandingan melalui studi perbandingan hukum antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait pokok bahasan. Adapun perbandingan dilakukan dengan melakukan tinjauan atas UU HC dan United States Code. Amerika Serikat memiliki pengaturan sanksi pidana dan jalan yang beragam dalam hal penerapannya. Maka, perbandingan dilakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan regulasi pidana dan penerapan di masing-masing negara untuk mengetahui kelebihan dan kelemahannya, sehingga dapat menjadi masukan untuk melakukan pembaharuan pengaturan dan implementasi sanksi tindak pidana pembajakan film secara daring di Indonesia agar menjadi lebih baik.

II. PEMBAHASAN

a. Teori dan Regulasi Pidana Pembajakan Film di Indonesia Pesatnya perkembangan teknologi saat ini turut berdampak pada eksistensi kekayaan intelektual, terutama karya-karya yang perlu dilindungi hak ciptanya seperti film. Bagaikan pedang bermata dua, perkembangan teknologi, khususnya internet memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap keberadaan perfilman di Indonesia. Dampak positifnya, industri perfilman di Indonesia mengalami peningkatan baik dari segi penonton, produksi, maupun karyanya itu sendiri. Namun di lain sisi, kemudahan akses internet akibat perkembangan teknologi juga memberikan dampak negatif terhadap perlindungan HKI, di mana pelanggaran hak cipta semakin marak terjadi, salah satunya pembajakan film melalui daring. Pembajakan atau piracy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan ilegal, seperti illegal downloading atau pemalsuan yang berhubungan

12 Ibid, hlm. 82 13 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

37
58.

dengan internet.14 Berdasarkan UU HC, pembajakan didefinisikan sebagai penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Penggandaan sendiri merupakan perbuatan yang menggandakan atau menduplikasikan satu atau lebih salinan ciptaan dengan cara dan bentuk apapun, baik secara permanen maupun sementara.15 Sedangkan film sendiri adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.16

Film sebagai karya sinematografi merupakan salah satu kekayaan intelektual yang dilindungi hak ciptanya berdasarkan undang-undang, baik itu hak moral maupun hak ekonomi. Maka dari itu, pembajakan film merupakan perbuatan ilegal yang melanggar hak cipta suatu film karena dilakukan dengan menggandakan atau memperbanyak ciptaan secara tidak sah dan menyebarkannya secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari suatu karya cipta merupakan hak ekonomi yang sudah seharusnya dimiliki pencipta atau pemegang hak cipta. Dalam hal ini, pencipta atau pemegang hak cipta dapat menggunakan hak ekonominya untuk melakukan perbuatan yang dapat menghasilkan keuntungan atas suatu karya, seperti melakukan penerbitan, penggandaan, pendistribusian, pertunjukan, pengumuman, dan penyewaan ciptaan.17 Apabila pihak lain ingin melaksanakan hak ekonomi atas suatu karya, maka pihak tersebut wajib memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta karya tersebut. Jika terdapat pihak yang telah menggandakan dan mendistribusikan film secara tidak sah atau tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta untuk memperoleh keuntungan ekonomi, maka pihak tersebut telah melanggar hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Pada dasarnya, perlindungan atas hak cipta telah timbul secara otomatis sejak ciptaan itu terbentuk dan bukan karena pencatatan, sebagaimana hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul berdasarkan prinsip deklaratif. Pencatatan ciptaan diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Pencatatan ciptaan bukanlah suatu syarat untuk mendapatkan hak

14 Ayup Suran Ningsih dan Balqis Hediyati Maharani, “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring,“ Jurnal Meta-Yuridis, Vol. 2 No.1 (2019), hlm. 17.

15 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 1.

16

Indonesia, Undang-Undang Perfilman, UU No. 33 Tahun 2009, LN No. 45 Tahun 2009, TLN No. 5060, Ps. 1.

17 Yoyo Arifardhani, Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, ed. 1, cet 1 (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 73.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

38

cipta.18 Namun, pencatatan suatu ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti dan bentuk perlindungan dalam hal terjadi sengketa terkait ciptaan tersebut. Dalam rangka melindungi hak cipta, setiap karya yang dihasilkan dari kemampuan intelektual seseorang memiliki perlindungan hukum secara preventif dan represif, tidak terkecuali film. Perlindungan hukum secara preventif dilakukan oleh pemerintah dan dimaksudkan untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran hak cipta. Pemerintah memiliki peran besar dalam upaya pencegahan pelanggaran hak cipta dengan membentuk regulasi yang dapat mengakomodasi perbuatan-perbuatan berkenaan dengan hak cipta dan pelanggarannya. Mengenai hal tersebut, pemerintah telah meregulasikan UU HC sebagai payung hukum yang memberikan aturan dan batasan bagi berbagai pihak dalam melakukan perbuatan terhadap suatu karya cipta. Pada Pasal 54 UU HC disebutkan pula bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, pengawasan terhadap tindakan perekaman hak cipta di tempat pertunjukan, serta melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka mencegah pelanggaran hak cipta melalui sarana berbasis teknologi informasi. Perlindungan hukum atas hak cipta umumnya dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta secara keperdataan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penyelesaian perkara dengan ketentuan pidana.19 Pasal 105 UU HC menyebutkan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta tetap berhak untuk menuntut secara pidana atas pelanggaran hak cipta karyanya. Dalam hal gugatan secara pidana, Pasal 120 UU HC menyebutkan bahwa tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini merupakan delik aduan sehingga hanya dapat ditindaklanjuti apabila diadukan oleh pihak yang berkepentingan. Mengenai ketentuan pidana pembajakan film sendiri diatur pada Pasal 113, tepatnya pada (4) yang menyebutkan secara eksplisit bahwa setiap orang yang melakukan pembajakan dengan memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00. Sedangkan pada Pasal 113 ayat (3) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran hak ekonomi atas suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g berupa penerbitan, penggandaan, pendistribusian, dan pengumuman ciptaan untuk kepentingan komersial

18 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 64.

19 Oksidelfa Yanto, “Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD),” Yustisia, Vol. 4 No. 3 (2015), hlm. 750.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

39

tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00. Selain UU HC, perlindungan hukum terhadap pembajakan film yang dilakukan secara daring juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan Pasal 25 UU ITE, semua informasi atau dokumen elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Analisis Penerapan Hukum Pidana dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb

1. Kasus Posisi

Terpidana dalam hal ini merupakan Aditya Fernando Phasyah (AFP) bersama dengan RBP merupakan administrator dari situs DUNIAFILM21 (https://95.217.177.179/). Situs tersebut merupakan platform tempat terpidana mengunggah sekitar 3000 (tiga ribu) judul film sejak tahun 2008. Melalui layanan streaming film yang disediakan, AFP mendapatkan keuntungan melalui iklan-iklan yang terpasang di dalam situs tersebut. Hal ini akhirnya diketahui oleh PT Visinema Pictures (PT VP) selaku pemegang hak cipta dari beberapa film yang diunggah dalam situs tersebut. Diketahui pula bahwa AFP telah melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan PT VP.

Dari perbuatannya AFP mendapatkan keuntungan melalui pemasangan iklan dalam situs web yang digunakan sebagai sarana mengakses film bajakan. AFP mendapatkan akses film-film tersebut melalui situs unduh film gratis. AFP dilaporkan oleh PT VP karena telah menayangkan film-film karya yang HKI-nya dimiliki oleh PT VP, seperti NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI, FILOSOFI KOPI, dan beberapa film lainnya. Atas perbuatannya AFP dinyatakan bersalah karena telah melanggar Pasal 113 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g UU HC jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

2. Analisis Penerapan Pasal

Diketahui bahwa dakwaan dalam putusan dibuat secara kombinasi dengan menggabungkan antara dakwaan alternatif dan dakwaan subsidair. Dakwaan alternatif merupakan dakwaan yang disusun secara berlapis, dimana

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

40

lapisannya merupakan alternatif dan mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya, sehingga hanya satu saja dakwaan yang perlu dibuktikan tidak secara berurut.20 Berbeda halnya dengan dakwaan subsidair yang tiap lapisannya berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya dan pembuktiannya harus dilakukan secara berurutan.21

Dikarenakan bentuk dakwaan alternatif subsidair maka majelis hakim membuktikan berdasarkan dakwaan yang dirasa paling tepat yakni dakwaan kedua yang mendalilkan bahwa AFP melanggar ketentuan dalam UU HC.22 Dalam dakwaan alternatif kedua primair yang digunakan adalah Pasal 113 ayat (4) UU HC jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 113 ayat (3) UU HC jo. Pasal 55 ayat (1). 23

Pasal 113 UU HC merupakan delik pidana bagi pihak yang melanggar hak ekonomi dari pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU HC. Mengenai jenis delik, Pasal 113 UU HC menyebutkan delik aduan yang urgensi keberadaanya adalah untuk kepentingan privat dari pihak yang dirugikan dan harus dapat dibuktikan secara subjektif oleh pihak yang berkepentingan. Ditegakkan oleh negara atas dasar pengakuan pihak yang berkepentingan karena merupakan pelanggaran atas kebebasan pihak tersebut.24 Delik ini merupakan delik aduan karena hubungan hukum antara pencipta dan pelaku merupakan hubungan privaatrechtelijk.25 Dijelaskan lebih lanjut dalam Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002) bahwa digunakannya delik aduan adalah karena beberapa hal, yaitu karena aparat penegakan hukum sulit menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta, karena hanya pencipta yang lebih mengetahui mana yang merupakan ciptaan asli. Selain itu, karena aparat belum tentu mengetahui apakah pihak terkait sudah mendapat izin dari pencipta dan dalam praktek pihak

20

Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1993 tentang Surat Dakwaan.

21 Ibid.

22

23

Pengadilan Negeri Jambi, Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb, hlm. 30.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.”

24

Fitri Pratiwi Rasyid, “Kajian Relevansi Delik Aduan Pada Implementasi Undang-Undang Hak Cipta,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 32 No. 2 (2020), hlm. 217.

25

Indonesia, Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002), hlm. 8.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

41

yang haknya dilanggar lebih menginginkan ganti rugi.26 Dalam putusan dapat ditemukan bahwa perkara pidana ini didasari atas laporan dari Putro Mas Gunawan selaku karyawan PT VP yang mendapatkan kuasa untuk membuat laporan.27

Pasal 55 ayat (1) KUHP merupakan pasal yang mengatur mengenai penyertaan dalam tindak pidana. Dalam hal ini diketahui bahwa AFP melakukan tindak pidana bersama-sama dengan RBP, di mana AFP bertugas untuk melakukan pencarian, pengunduhan, dan pengunggahan film ke situs milik mereka. Berlaku Pasal 55 ayat (1) ke-1 karena AFP turut serta melakukan perbuatannya bersama-sama dengan RBP.

3. Analisis Pertimbangan Hukum

Dalam pertimbangannya diurai bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kedua primair yakni Pasal 113 ayat (4) UU HC jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terdiri dari:

a. Unsur setiap orang, terpenuhi karena AFP merupakan subjek hukum yang cakap dan sehat secara jasmani rohani;

b. Unsur telah melakukan dan turut serta melakukan, terpenuhi karena AFP telah melakukan tindak pidana bersama-sama dengan RBP;

c. Unsur “dengan tanpa hak dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta”, terpenuhi karena AFP mengunduh film dari situs gratis sehingga jelas dilakukan tanpa hak dan izin;

d. Unsur melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,b,e, dan/atau g untuk penggunaan secara komersial yang dilakukan secara komersial dalam bentuk pembajakan, tidak terpenuhi karena AFP mendapatkan film dari situs gratis sehingga tidak tahu film tersebut milik PT VISINEMA PICTURES. Dikarenakan ada unsur yang tidak terpenuhi dibuktikan dakwaan kedua subsidair melanggar Pasal 113 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1) huruf a, b, e, dan/atau g U HC jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsur yang dibuktikan sama dengan dakwaan primair kecuali pada poin d, dimana unsur yang harus dipenuhi adalah melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta. Unsur melakukan

26 Ibid, hlm. 36-38.

27 Pengadilan Negeri Jambi, Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb, hlm. 13.

42
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

28

pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,b,e, dan/atau g untuk penggunaan secara komersial. Unsur ini terpenuhi karena telah jelas bahwa AFP melakukan tindakannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan komersial yang dinikmati secara ekonomi melalui iklan dalam situs tersebut. Sehingga PT VP mengalami kerugian karena seharusnya mendapatkan royalti dan dilakukan tanpa izin.

Mengenai pertimbangan hukum ini, penulis berpendapat seharusnya unsurunsur dalam dakwaan kedua primair sudah terpenuhi. Hal ini dikarenakan pembajakan berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU HC adalah “Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.” Dalam hal ini perbuatan AFP yang melakukan pengunduhan dari situs gratis merupakan bentuk penggandaan yang tidak sah. Mengenai penggandaan sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 2 UU HC, yakni “proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara”. Kemudian perbuatannya tersebut dilakukan secara tidak sah dan untuk mendapatkan keuntungan komersial. Berdasarkan definisi dari WIPO Intellectual Property Handbook, pembajakan terjadi ketika hak pencipta dilanggar melalui suatu perbuatan yang dilakukan tanpa izin dari pencipta tersebut. Berdasarkan definisi baik dari WIPO dan UU HC telah jelas bahwa sama sekali tidak ada penjelasan bahwa dalam melakukan pembajakan pelaku harus mengetahui terlebih dahulu bahwa milik siapa karya intelektual tersebut. Dalam pembuktian dakwaan kedua primair tidak penuhnya unsur pembajakan karena AFP tidak tahu film tersebut milik PT VP karena didapatkan tersebut melalui situs gratis di internet.28 Hal ini seharusnya tidak mengecualikan tindakannya dari perbuatan pembajakan karena tetap sesuai dengan unsur-unsur dalam definisi pembajakan. Selain itu, terdapat juga fakta bahwa film-film tersebut merupakan kekayaan intelektual yang didaftarkan, sehingga seharusnya mempermudah pembuktian karena merupakan bentuk konstitutif sistem yang

Pengadilan Negeri Jambi, Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb. hlm. 35.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

43

menghasilkan kepastian hukum.29

Dalam pembuktian Hukum Acara Pidana selain alat bukti sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) terdapat pula Pasal 184 ayat (2) yang mengatur mengenai hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan atau notoire feiten. Walaupun dalam kenyataan hal ini tidak dapat berdiri sendiri karena harus dikuatkan alat bukti lain.30 Dalam hal ini seharusnya pengetahuan bahwa film merupakan milik objek kekayaan intelektual yang dimiliki satu atau lebih pihak merupakan sesuatu hal tidak perlu dibuktikan, karena merupakan hal yang seharusnya umum diketahui. Selain itu, kenyataan bahwa kepemilikan PT VP merupakan notoire feiten tidak berdiri sendiri karena dikuatkan oleh bukti surat pencatatan kekayaan intelektual film.

c. Perbandingan Hukum

dan Penerapan Hukum Pidana Terkait Pembajakan Film

Secara Daring di Indonesia dengan Amerika Serikat: Tinjauan UU Hak Cipta dan US Code

1. Regulasi Pidana Mengenai Hak Cipta di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, pembajakan film sebagai sebuah pelanggaran hak cipta mengakar pada Article I, Section 8, Clause 8, dari konstitusi Amerika Serikat yang berbunyi, “[The Congress shall have power] … To promote the progress of science and useful arts, by securing for limited times to authors and inventors the exclusive right to their respective writings and discoveries ” Ayat tersebut memberi kuasa pada kongres untuk melakukan promosi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni yang bermanfaat dengan memberikan hak eksklusif kepada penulis dan penemu untuk waktu yang terbatas atas tulisan dan penemuan mereka masing-masing.31 Meski kongres memiliki kuasa untuk membuat sejumlah peraturan pemerintah federal terkait hak cipta, beberapa peraturan negara lainnya mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan pemerintah federal.

Dalam sejarahnya, regulasi mengenai perlindungan atas hak cipta–termasuk

29 M. Jeffry Stanzah dan Tatty A. Ramli, “Pencatatan Ciptaan E-Hak Cipta dan Kedudukan Surat Pencatatan Ciptaan dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi Pencipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2 (2018), hlm. 779.

30 Hendri Jayadi Pandiangan, “Perbedaan Hukum Pembuktian dalam Perspektif Hukum Acara Pidana dan Perdata”, Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 3, No.2 (Agustus 2017), hlm. 572.

31Constitutional Rights Foundation, “Digital Piracy in the 21st Century,” https://www.crfusa.org/bill-of-rights-in-action/bria-23-4-b-digital-piracy-in-the-21st-century, diakses 6 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

44

film–diberlakukan sejak Copyright Act 1790. Sejak saat itu, telah dilakukan empat revisi pada 1831, 1870, 1909, dan 1976. Di samping itu, telah dilakukan beberapa amandemen. Beberapa perubahan terhadap US Copyright Act melahirkan beberapa produk hukum, di antaranya The Digital Milllenium Copyright Act dan The Sonny Bono Copyright Term Extension Act. Adapun Copyright Act merupakan suatu regulasi yang menyediakan perlindungan atas duplikasi dan distribusi yang melanggar hak cipta. Peraturan ini menyediakan kemampuan untuk menggugat secara perdata dalam rangka melindungi hak cipta dan juga dapat menjadikannya sebagai suatu tindak pidana.32 Mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta yang ditilik sebagai tindak pidana dapat ditemui dalam United States Code, Section 506 Title 7. Pertama adalah tindakan pelanggaran hak cipta dengan tujuan keuntungan komersial atau keuntungan finansial pribadi. Kedua, memperbanyak atau mendistribusikan 1 atau lebih salinan atau rekaman suara dari karya berhak cipta selama periode 180 hari yang memiliki nilai eceran total lebih dari $1.000. Ketiga, pendistribusian suatu karya yang sedang dipersiapkan untuk distribusi komersial dengan menyediakannya di jaringan komputer yang dapat diakses oleh anggota masyarakat, jika orang tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa karya tersebut dimaksudkan untuk distribusi komersial. Adapun sanksi pidana mengacu pada Section 2319 Title 18.33

2. Ketentuan Sanksi Pidana dalam United States Code

Sanksi pidana pembajakan film menurut United States Code terdiri atas sanksi pidana penjara dan denda. Terhadap pelanggaran Section 506, Title 18 pada Section 2319 United States Code mengatur macam sanksi pidana sesuai perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Pertama, yaitu pelanggaran terhadap Section 506 (a)(1)(A) pada Title 17 dapat dipidana penjara tidak lebih dari 5 tahun atau denda sesuai jumlah yang ditetapkan dalam titletersebut, atau keduanya jika pelanggaran terdiri dari reproduksi atau distribusi, termasuk secara elektronik, selama periode 180 hari, setidaknya terdapat 10 salinan atau rekaman suara, dari 1 atau lebih karya berhak cipta, yang memiliki total nilai eceran lebih dari $2.500. Kedua, yaitu pidana

32 LegalMatch, “Movie Piracy Lawyers,” https://www.legalmatch.com/law-library/article/moviepiracy.html, diakses 6 Agustus 2022.

33 Department of Justice Archives, United States Code, Title 7 Section 506.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

45

penjara tidak lebih dari 10 tahun atau denda sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam title tersebut, atau keduanya jika pelanggaran tersebut merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan subsection (a). Ketiga, yaitu akan dipenjara tidak lebih dari 1 tahun, atau didenda dalam jumlah yang ditentukan dalam judul ini, atau keduanya, dalam kasus lain.34 Dalam hal pelanggaran Section 506(a)(1)(B) pada Title 17, terdapat tiga macam sanksi pidana. Pertama, pidana penjara tidak lebih dari 3 tahun atau denda yang telah ditetapkan pada title tersebut, atau keduanya jika pelanggaran terdiri atas reproduksi atau distribusi berupa 10 atau lebih karya atau rekaman suara terhadap 1 atau lebih dari karya berhak cipta yang memiliki total nilai eceran sebesar $2.500 atau lebih. Kedua, pidana penjara tidak lebih dari 6 tahun atau denda yang telah ditetapkan pada title tersebut, atau keduanya jika pelanggarannya merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan subsection (a). Ketiga, pidana penjara tidak lebih dari 1 tahun atau denda yang telah ditetapkan pada title tersebut, atau keduanya jika pelanggaran terdiri atas reproduksi atau distribusi berupa 1 atau lebih karya atau rekaman suara terhadap 1 atau lebih karya berhak cipta dengan total nilai eceran sebesar $1.000.35

Kemudian, pelanggaran atas Section 506(a)(1)(C) pada Title 17 memiliki tiga poin ketentuan sanksi pidana. Pertama, pidana penjara tidak lebih dari 3 tahun, denda, atau keduanya. Kedua, pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, denda, atau keduanya, jika pelanggaran ditujukan untuk kepentingan komersial atau keuntungan finansial pribadi. Ketiga, pidana penjara tidak lebih dari 6 tahun, denda, atau keduanya, jika pelanggaran merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan subsection (a). Keempat, pidana penjara tidak lebih dari 10 tahun, denda, atau keduanya, jika pelanggaran merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan paragraf (2).36

3. Perbandingan Limitasi Hak Cipta dalam UU Hak Cipta dengan United States Code

Dalam hal limitasi, terdapat beberapa pembatasan hak cipta berupa 34 Ibid., Title 18 Section 2319. 35 Ibid. 36 Ibid.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

46

perbuatan-perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pada UU HC, di antaranya diatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, keamanan dan penyelenggaraan pemerintahan serta legislatif dan peradilan, dan lain sebagainya.37

Dalam perbandingannya dengan hukum Amerika Serikat, US Copyright Laws yang terdiri atas Title 17 United States Code dan mencakup seluruh amandemen beserta Copyright Act of 1976, sanksi pidana tidak berlaku karena adanya beberapa ketentuan pembatasan terhadap hak eksklusif. Beberapa kemiripan antara UU HC dan US Copyright Laws salah satunya ditemui dalam hal pengaturan fasilitasi akses suatu ciptaan, dalam hal ini termasuk film, terhadap penyandang disabilitas. Pada Section 121, termaktub beberapa perbuatan yang tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak cipta–termasuk pembajakan–di antaranya membuat reproduksi karya produk rekaman suara menjadi bentuk tulisan untuk tunanetra dan penderita disabilitas lainnya.38 Adapun Pasal 44 ayat (2) UU HC mengatur bahwa pembatasan hak cipta berlaku pada fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.39 Selain itu, baik hukum pidana Amerika Serikat maupun Indonesia samasama mengenal fair use atau kepentingan yang wajar, di mana terdapat pengecualian hak cipta yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.40 Pada UU HC, Pasal 26 mengatur pembatasan perlindungan terhadap pelaku pertunjukan, produser fonogram, dan lembaga penyiaran. Pembatasan yang dimaksud terdiri atas empat kategori, dua di antaranya

37

Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 44.

38

Department of Justice Archives, United State Code, Section 121.

39 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 44.

40 Bambang Pratama, “Fair Use vs Penggunaan yang Wajar dalam Hak Cipta,” https://businesslaw.binus.ac.id/2015/01/31/fair-use-vs-penggunaan-yang-wajar-dalam-hak-cipta/, diakses 7 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

47

berkaitan dengan pembajakan film yaitu penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan keperluan pengajaran.41 Sementara itu, doktrin fair use Amerika Serikat dalam penerapannya mengacu pada ketentuan limitasi pada Section 107, yaitu diperbolehkannya penggunaan karya berhak cipta untuk memperbanyak salinan atau rekaman suara atau dengan cara lain apapun yang ditentukan oleh bagian tersebut seperti dengan tujuan seperti kritik, komentar, pelaporan berita, pengajaran (termasuk beberapa salinan untuk penggunaan di kelas), beasiswa, atau penelitian. Pembatasan ini mengacu pada ketentuan bagian 106 dan 106a mengenai hak eksklusif.42

4. Lembaga yang Berwenang

Di Indonesia, penertiban situs yang menyediakan fitur download dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan cara melakukan pemblokiran agar pengguna internet tidak bisa mengakses secara bebas situs yang ada.43 Hal ini menjadi perwujudan dari Pasal 54 UU HC yang mengatur pencegahan pelanggaran hak cipta dan hak terkait melalui sarana teknologi informasi. Kemudian, penegakan hukum menurut Pasal 120 UU HC menunjukkan bahwa pembajakan film secara daring merupakan delik aduan. Delik aduan menunjukkan sifat pribadi dari hak yang ingin dilindungi sehingga yang dapat melaporkan adalah pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, penegakan dilakukan oleh penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian di bidang tindak pidana hak cipta. Sementara itu, Amerika Serikat memiliki lembaga di berbagai tingkat dalam hal penerimaan laporan terkait pembajakan film. Kejahatan mengenai kekayaan intelektual dapat dilaporkan untuk investigasi lebih lanjut kepada pemegang otoritas di tingkat setempat, negara, federal, dan internasional tergantung pada lingkup kejahatannya. Warga negara ataupun perusahaan yang mengetahui adanya kejahatan dapat melapor ke kantor Federal Bureau of Investigation (FBI) setempat

41 Rika Ratna Permata, dkk. “Regulasi Doktrin Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta pada Platform Digital Semasa dan/atau Pasca Pandemi COVID-19,” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 13 No. 1 (November 2021), hlm. 134.

42 Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Containted in Title 17 of the United States Code, Section 107.

43 Ayup Suran Ningsih, Balqis Hediyati Maharani, “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring”, Jurnal Meta-Yuridis, Vol. 2 No. 1 (2019), hlm. 101.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

48

melalui agen bagian pengaduan.44 Adapun terdapat lembaga tingkat federal turut bergabung dalam industri perfilman untuk melawan pembajakan. Homeland Security Investigations (HIS) sebagai cabang investigasi terbesar dari Department of Homeland Security memegang peran utama menarget organisasi kriminal yang bertanggung jawab untuk memproduksi, menyelundupkan, dan mendistribusikan produk palsu dan bajakan.45 Selain itu, HSI juga berfokus pada pembongkaran organisasi kriminal di balik kegiatan terlarang seperti pembajakan film.

5. Analisis Sanksi Pidana Kasus Posisi Menurut United States Code

Sebagai negara civil law, dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia diketahui hakim tidak terikat dengan preseden ataupun doktrin stare decicis sehingga rujukan hukum yang utama adalah undang-undang ketimbang yurisprudensi. Pada kasus dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb, terlihat kekhasan muatan putusan yang secara tertulis tidak menyertai penjelasan pertimbangan berdasarkan putusan hakim terdahulu. Putusan hanya menyebutkan dasar pertimbangan dakwaan berdasarkan terpenuhinya unsur pasal-pasal yang dikenakan terhadap terdakwa, yaitu Pasal 113 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Hal ini berbeda dengan putusan pengadilan Amerika Serikat yang biasa merujuk pada putusan hakim terdahulu. Untuk memudahkan perbandingan hukum, dalam tulisan ini dilakukan pengandaian jika kasus pada Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb terjadi di Amerika Serikat. Dalam kasus ini, AFP & RBP menjadi administrator situs platform yang mengunggah 3000 film bajakan melalui layanan streaming, kemudian AFP mendapat keuntungan melalui iklan. Merujuk pada Section 506 Title 7 yang memuat criminal offenses, perbuatan “work being prepared for commercial distribution” terhadap gambar bergerak dalam hal ini film yang pada saat dilakukan pengunggahan ke situs layanan streaming, film-film tersebut dibuat baik telah tersedia untuk ditayangkan di fasilitas pameran film (mencakup teater film) maupun belum tersedia salinannya untuk dijual kepada umum di

44 STOPfakes.gov, “Federal Bureau of Investigation”, https://www.stopfakes.gov/article?id=Federal-Bureau-of-Investigation-FBI, diakses 11 Agustus 2022.

45 U.S. Immigration and Customs Enforcemnt, “Federal Law Enforcement Agencies Join Movie Industry to New Anti-Piracy Warning”, https://www.ice.gov/news/releases/federal-law-enforcementagencies-join-movie-industry-unveil-new-anti-piracy-warning, diakses 11 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

49

Amerika Serikat dalam format yang ditujukan untuk mengizinkan film tersebut ditayangkan di luar fasilitas pameran film. Perbuatan AFP termasuk ke dalam frasa “work being prepared for commercial distribution”, mengingat dalam kasus posisi dijelaskan bahwa situs DUNIAFILM21 merupakan sarana bagi terpidana mengunggah sekitar 3000 judul film dan mendapat keuntungan dari layanan memasang iklan di situs tersebut. Dengan demikian, terpenuhinya unsur-unsur yang termuat dalam Section 506(a)(1)(C) akan merujuk pada sanksi pidana yang termuat dalam Section 2319(d)(3), yaitu setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana termuat dalam Section 506(a)(1)(C) pada Title 17, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, denda, atau keduanya.46 Adapun pelanggaran dilakukan bukan pertama kalinya sebagaimana diatur dalam subsection (a). Kemudian, berdasarkan Section 2323(c), pelanggaran terhadap Section 506 menjadikan pengadilan mewajibkan terpidana untuk membayar restitusi untuk korban pelanggaran.47

III. PENUTUP

Regulasi mengenai pembajakan film secara daring dapat ditemukan dalam Pasal 113 ayat (4) UU HC. Peraturan tersebut telah menyatakan secara eksplisit mengenai pembajakan film yang merupakan sebuah pelanggaran atas hak ekonomi pencipta. Ditemukan juga definisi pembajakan yang sudah termaktub dalam Pasal 1 angka 23 UU HC. Oleh karena itu sudah cukup komprehensif pengaturan mengenai pembajakan film secara daring dalam UU HC. Mengenai penerapan hukum dalam putusan yang dianalisis, pertimbangan hakim untuk menggunakan dakwaan alternatif kedua sudah tepat, karena UU HC lebih spesifik dalam mengatur tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Akan tetapi, penggunaan dakwaan alternatif kedua subsider dirasa kurang tepat, hal ini dikarenakan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur pembajakan sebagaimana diatur dalam undangundang terkait.

Perbandingan hukum mengenai topik bahasan ini dalam regulasi di Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan

46

Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Containted in Title 17 of the United States Code, Section 2319.

47

Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Containted in Title 17 of the United States Code, Section 2323.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

50

kelemahan masing-masingnya sehingga dapat menjadi masukan untuk melakukan pembaharuan pengaturan dan implementasi sanksi tindak pidana pembajakan film secara daring di Indonesia agar menjadi lebih baik. Perihal pengaturan hukum pembajakan film secara daring, penulis berpendapat bahwa regulasi pidana pada US Copyright Law lebih lengkap dan mendetail dibandingkan dengan UU HC. US Code memuat kerangka sanksi pidana yang lebih mendalam, misalnya mempertimbangkan total nilai eceran dari kegiatan distribusi film secara ilegal dalam menentukan sanksi pidana yang dikenakan. Hal ini menambah nilai kepastian hukum terhadap ragam pelanggaran pembajakan film secara daring yang bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Dalam meninjau UU HC dan US Copyright Law, ditemukan persamaan seperti dikenalnya fair use dalam hal penggandaan dan distribusi film untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Adapun perbedaan mencolok ditemui dalam hal lembaga yang berwenang di mana dalam penerapan sistem peradilan pidana di Amerika Serikat terdapat lembaga berwenang khusus di tingkat negara bagian untuk menindaklanjuti laporan terkait pembajakan film, sedangkan di Indonesia akan merujuk pada penyidik dan penyelidik secara umum.

51
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1, cet 6. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Arifardhani, Yoyo. Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, ed. 1, cet 1. Jakarta: Kencana, 2020.

Astar, Abdul. Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: Deepublish, 2018.

Bachtiar. Metode Penelitian Hukum, cet.1. Tangerang Selatan: UNPAM Press, 2018.

Chazawi, Adami. Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Malang: Bayumedia Publishing, 2007.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Maulana, Insan Budi. Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual). Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.

Syamsudin, M. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Yusran, Isnaini. Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual) Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Jurnal Ningsih, Ayup Suran dan Balqis Hediyati Maharani. “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring.“ Jurnal Meta-Yuridis, Vol. 2 No.1 (2019). Hlm. 13-28.

Pandiangan, Hendri Jayadi. “Perbedaan Hukum Pembuktian dalam Perspektif Hukum Acara Pidana dan Perdata.” Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 3, No.2 (Agustus 2017). Hlm. 565-583.

Permata, Rika Ratna, dkk. “Regulasi Doktrin Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta pada Platform Digital Semasa dan/atau Pasca Pandemi COVID-19.” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 13 No. 1 (November 2021). Hlm. 130-148.

Rasyid, Fitri Pratiwi. “Kajian Relevansi Delik Aduan Pada Implementasi Undang-Undang Hak Cipta.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 32 No. 2 (2020). Hlm. 212-227.

Stanzah, M. Jeffry dan Tatty A. Ramli. “Pencatatan Ciptaan E-Hak Cipta dan Kedudukan

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

52

Surat Pencatatan Ciptaan dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi Pencipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.” Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2 (2018). Hlm. 776-781.

Wiratama, Anak Agung Gde Chandra, I Nyoman Putu, dan Diah Gayatri Sudibya Budiartha. “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Terkait Kegiatan Streaming dan Download Film Bajakan Melalui Website Ilegal.” Jurnal Konstruksi Hukum, Vol. 3 No. 2 (2022). Hlm. 70-75.

Yanto, Oksidelfa. “Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD).” Yustisia, Vol. 4 No. 3 (2015). Hlm. 746-760.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002).

Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014. Indonesia. Undang-Undang Perfilman. UU No. 33 Tahun 2009, LN No. 45 Tahun 2009, TLN No. 5060.

Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE004/J.A/11/1993 tentang Surat Dakwaan.

Dokumen Internasional

Department of Justice Archives. United States Code. United States Senate. Constitution of the United States. Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Contained in Title 17 of the United States Code.

Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Jambi. Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb.

Internet

Akamai. State of the Internet/Security: Pirates in the Outfield, Vol. 8 Issue. 1. https://www.akamai.com/resources/state-of-the-internet/soti-security-pirates-inthe-outfield. Diakses 3 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

53

LegalMatch. “Movie Piracy Lawyers.” https://www.legalmatch.com/lawlibrary/article/movie-piracy.html. Diakses 6 Agustus 2022.

Pratama, Bambang. “Fair Use vs Penggunaan yang Wajar dalam Hak Cipta.” https://business-law.binus.ac.id/2015/01/31/fair-use-vs-penggunaan-yang-wajardalam-hak-cipta/. Diakses 7 Agustus 2022.

Constitutional Rights Foundation. “Digital Piracy in the 21st Century.” https://www.crfusa.org/bill-of-rights-in-action/bria-23-4-b-digital-piracy-in-the-21st-century Diakses 6 Agustus 2022.

LegalMatch. “Movie Piracy Lawyers.” https://www.legalmatch.com/lawlibrary/article/movie-piracy.html. Diakses 6 Agustus 2022.

STOPfakes.gov. “Federa Bureau of Investigation.” https://www.stopfakes.gov/article?id=Federal-Bureau-of-Investigation-FBI. Diakses 11 Agustus 2022.

U.S. Immigration and Customs Enforcemnt. “Federal Law Enforcement Agencies Join Movie Industry to New Anti-Piracy Warning.” https://www.ice.gov/news/releases/federal-law-enforcement-agencies-join-movieindustry-unveil-new-anti-piracy-warning. Diakses 11 Agustus 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

54

BIODATA PENULIS

R. Farah Najwa Madiena merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 kelahiran Depok, 15 Maret 2003. Farah bergabung di organisasi LK2 FHUI.

Melvina Indria merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 kelahiran Jakarta, 14 Juni 2003. Farah bergabung di organisasi LK2 FHUI.

Farrell Charlton Firmansyah merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Bogor, 19 Februari 2002. Farrell bergabung di organisasi LK2 FHUI.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

55

PENJATUHAN SANKSI PIDANA DITINJAU DARI ASAS KESEIMBANGAN MENURUT HUKUM ISLAM

Muhammad Radithya Shinhadrian Ali Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: muhammad.radithya@ui.ac.id

Abstrak

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang berbeda terhadap tindak pidana yang sama tanpa ada dasar pembenaran yang jelas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan sumber hukum sekunder menggunakan bahan hukum primer dan sekunder yang akan digunakan untuk menganalisa pandangan hukum pidana Islam terhadap disparitas pidana. Disparitas merupakan suatu hal yang wajar dan tidak melanggar hukum dalam penjatuhan sanksi pidana. Hal ini dikarenakan Hakim menggunakan asas keseimbangan yang memperhatikan kondisi pelaku dalam melakukan tindak pidana serta kondisi ketika pelaku akan menjalani hukumannya. Dari penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa Hakim menggunakan asas keseimbangan yang dikenal dalam Hukum Pidana Islam sebagai salah satu dasar pertimbangan penjatuhan putusan.

Kata Kunci: Hukum Pidana Islam, Disparitas Pidana, Asas Keseimbangan

Abstract

Criminal disparity is the application of different punishments to the same crime without a clear justification. This study uses a normative legal research method with the library research type to analyze Islamic criminal law's views on criminal disparities. The criminal disparity is the application of unequal punishment to the same crime or crimes of a dangerous nature, which can be compared without a clear justification. Disparity is a natural thing and does not violate the law in imposing criminal sanctions. It is reasonable and can be done because the judge uses a balance principle that pays attention to the perpetrator's condition in committing a crime and the conditions when the perpetrator will serve his sentence. From the research conducted, it can be seen that judges use the principle of balance known in Islamic Criminal Law as one of the basic considerations for making decisions.

Keyword: Islam Criminal Law, Criminal Disparity, Balance Principle

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

56

I. PENDAHULUAN

Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same of ence) atau terhadap tindak tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (of ences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Selanjutnya tanpa merujuk “legal category”, disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman terhadap mereka yang melakukan suatu delik secara bersama.48 Disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam, karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak Negara untuk memidana.49 Menurut Harkristuti Harkrisnowo, disparitas pidana merupakan implementasi putusan pidana terhadap Terdakwa dimana terdapat perbedaan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana yang sama, tanpa dasar pembenaran yang jelas.50 Disparitas putusan hakim akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan orang-orang lain akan merasa menjadi korban (victim) dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan pemidanaan.51

Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:52

a. Disparitas antara tindak pidana yang sama;

b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama;

c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;

d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

48 Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Nimerodi Gulo dan Ade Kurniawan M. “Disparitas dalam Penjatuhan Pidana,” Masalah-Masalah Hukum 47, (Juli 2018), hlm. 216.

49 Nimerodi Gulo dan Ade Kurniawan M. “Disparitas,” hlm. 217.

50 Togar S.M. Sijabat, “Disparitas Putusan Hakim dalam Perkara Narkotika,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/disparitas-putusan-hakim-dalam-perkara-narkotikalt5705da9c9e32d, diakses 5 Juni 2022.

51 Wahyu Nugorho, “Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Kajian terhadapPutusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg” Jurnal Yudisial 5, (2012), hlm. 263.

52 Komisi Yudisial, Disparitas Putusan Hakim (Identifikasi dan Implikasi), (Jakarta: Komisi Yudisial, 2014), hlm. 255.

57
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Sesungguhnya disparitas pidana merupakan hal yang sah untuk dilakukan, karena hukum memberi kewenangan mengambil keputusan atau judicial discretionary power yang luar biasa pada hakim, sesuai dengan prinsip kebebasan pengadilan (judicial independence). Hakim memiliki independensi, dan setiap kasus memiliki karakteristik khusus yang tak mungkin disamakan dengan yang lain. Disparitas yang sangat besar seringkali terlihat antara tindak pidana yang dilakukan oleh orang “kecil” dan orang “besar”, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah disparitas yang terjadi semata-mata karena adanya perbedaan karakteristik kasus belaka?53

UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa hakim bersifat bebas dalam memberikan putusannya tanpa adanya intervensi pihak dari manapun. Hal itulah yang membuat Hakim memiliki kewenangan untuk memberikan disparitas terhadap setiap putusan.54

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa terdapat beberapa kemungkinan yang akan menjadi dampak dari disparitas putusan hakim. Masyarakat menganggap disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dasar. Pertama, dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemberian sanksi pidana. Kedua, terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya. Ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidakadilan. Keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan. Dan terakhir, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System 55

Hukum pidana dikenal juga dengan Penal Law atau Criminal law dalam bahasa Inggris atau Jinayah dalam bahasa Arab. Moeljatno memberikan pengertian hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasardasardan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Criminal Act); menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (Criminal Liability/Criminal Responsibility);

53

Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuahan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003, hlm. 8-9.

54

Lihat Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 55 Wahyu Nugorho, “Disparitas Hukuman”, hlm. 278.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

58

dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Criminal Procedure/Hukum Acara Pidana).56

Dalam Islam juga terdapat hukum pidana yang dikenal dengan Jinayah yang bersumber langsung dari Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad para ahli sebagai sumber-sumber hukum Islam. Banyak orang yang menganggap hukum pidana Islam sangat kejam akibat banyaknya sanksi fisik sebagai hukuman dari suatu tindak pidana. Muhammad Iqbal Siddiqi dalam bukunya berpendapat bahwa kritik terhadap hukuman dalam Islam dapat disebabkan oleh tidak disadarinya alasan spiritual dari hukuman itu. Hukuman bukanlah hal yang dijatuhkan secara kejam oleh seorang kepada orang lain. Melainkan suatu pelaksanaan dari ketentuan Allah terhadap hamba-hambanya. Ketaatan kepada hukum Allah adalah karakter dasar bagi Muslim yang benar.57 Bahkan sesungguhnya dalam hukum pidana Islam dikenal adanya asas pemaafan. Asas pemaafan adalah asas dimana korban atau keluarga korban dapat memaafkan pelaku kejahatan dan hukumannya digantikan dengan membayar diyat (uang pengganti). Selain itu, dalam hukum pidana Islam juga dikenal adanya asas keseimbangan dimana pelaku tindak pidana dihukum seimbang berdasarkan tindak pidananya dan berdasarkan kondisinya dalam melakukan tindak pidana, kondisinya dalam akan menjalankan hukuman, dan kondisi korban dari tindak pidana yang dilakukannya. Dalam pidana Islam, Hakim dalam penjatuhan putusan juga dapat melakukan Isti’dal, yaitu pengambilan dalil, baik menggunakan dalil Qur`an, as-Sunnah, maupun alMaslahah, dengan menggunakan metode yang muttafaq yakni Qur`an, asSunnah, Ijma’ dan Qiyas, atau metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi, al-’Urf, dan Syar`u Man Qablana, istihsan, istihlah maupun sad al-dzariah. 58 Penggunaan Isti’dal dalam pertimbangan hakim didasarkan kepada firman Allah QS. An-Nisa (4:59), yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.59

56

57

Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, cet. 1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2020), hlm. 10.

Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 147. 58

Umar Muhaimin, “Metode Istidlal dan Istishab (Formulasi Metodologi Ijtihad)”, YUDISIA, Vol. 8, No. 2, (Desember 2017), hlm. 333.

59 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat An Nisa (4): 59.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

59

Dalil di atas dapat menjadi dasar bagi hakim sebagai pertimbangan dalam penjatuhan putusan. Dalil-dalil dalam Al-Quran, sunnah maupun ijtihad ulama dapat menjadi dasar pertimbangan oleh hakim sebagai pendukung dalam proses pengadilan selain hukum nasional materiil yang berlaku.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah asas keseimbangan dalam penjatuhan sanksi pidana?

2. Bagaimanakah disparitas pidana dan hukum pidana Islam memandang disparitas pidana.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan jenis penelitian kepustakaan yaitu menggunakan sumber sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan disparitas pidana dan hukum pidana Islam sebagai bahan rujukan penulisan.

II. PEMBAHASAN

II.1. Mengapa Suatu Tindakan Dijatuhi Sanksi?

Dalam hukum pidana dikenal adanya tujuan pemidanaan, adapun teori tujuan pemidanaan yang berkembang di dalam hukum pidana barat seperti teori absolut, relatif, dan gabungan yang dikenal di negara-negara Eropa Kontinental.

1) Teori Absolut

Teori yang pertama, teori pembalasan atau teori absolut, teori ini telah dianut dan diterima selama berabad-abad. Selama berabad-abad hampir tidak ada keraguan lagi bahwa kejahatan harus disusul dengan pidana, tidak peduli apakah dengan penjatuhan pidana itu akan dicapai tujuan tertentu atau tidak.60 Aliran teori ini lahir sebagai reaksi terhadap ancien regime yang abritair pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan keadilan.61 Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.62 Teori absolut menitikberatkan kepada pembalasan yang layak

60

Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, cet. 1 (Jakarta:Rajawali Pers, 2020), hlm. 165166.

61 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 29

62 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet 4 (Jakarta:Rineka Cipta, 2019), hlm. 31.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

60

atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku. Teori ini dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjanayang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu juga sarjana hukumIslam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al Quran.63

Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Dalam contohnya, Vos menunjuk contoh pembalasan objektif di mana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang Lebih serius dan yang lain dan akan dipidana lebih berat.64 Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana perbuatan dan bukan pada pelakunya (daad-strafrecht).65 Teori ini berpijak pada tiga tiang yaitu asas legalitas, asas kesalahan, dan asas pembalasan.66

2) Teori Relatif

Teori yang berikutnya yaitu teori relatif, teori ini merupakan kritik atas teori yang pertama (teori absolut). Penganut teori ini mengatakan bahwa pidana tidak boleh dijatuhkan hanya semata-mata sebagai respons dilakukannya kejahatan atau hanya melihat ke masa lalu saja (backward looking) tetapi pidana harus melihat jugakemasa depan (forward looking). Pidana harus ada tujuan dan manfaatnya baik untuk pelaku, korban, maupun masyarakat.67 Tujuan ini berpegang pada postulat le salut dupeople est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.68 Jika aliran klasik menghendaki hukum pidana perbuatan atau daad-strafrecht, maka aliran modern menghendaki hukum pidana yang berorientasi pada pelaku atau daderstrafrecht. Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan yang 63 Ibid. 64 Ibid. 65

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 25.

66 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni 1992) hlm. 26-28.

67 Topo Santoso, Hukum Pidana, hlm. 172. 68 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 31.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

61

pertama, memerangi kejahatan kedua, memperhatikan ilmu lain dan ketiga, ultimum remidium. 69 Teori ini juga dikenal sebagai teori tujuan atau teori utilitarian. Menurut teori utilitarian yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, pidana dijatuhkan bukan sekedar untuk menjadi pidana, tetapi untuk mencapai kemanfaatan dan tujuan tertentu dan pidana tersebut harus ada alasannya bukan “punishment for the sake of punishment.”70 Topo Santoso dalam bukunya Hukum Pidana Suatu Pengantar (2020) menguraikan teori relatif ini menjadi delapan teori yaitu: general deterrence/general prevention; specific deterrence/specific prevention; rehabilitation/education/medical; social protection; incapacitation; isolation; reintegration; dan restitution

3) Teori Gabungan

Kemudian teori yang ketiga adalah teori gabungan. Teori ini menggabungkan dua teori sebelumnya, yaitu dengan mendasarkan pidana atas dasar pembalasan sekaligus mempertahankan tata tertib masyarakat.71 Utrecht kemudian dalam bukunya membagi teori-teori yang menggabungkan teori absolut dan teori relatif ini menjadi tiga golongan, yaitu:72

a. teori-teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, namun pembalasan itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat;

b. teori-teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana;

c. teori-teori gabungan yang kedua hal di atas, yaitu pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat titik beratnya harus sama. Berbeda dengan teori tujuan pemidanaan dalam hukum barat yang lahir dari pemikiran manusia, teori tujuan pemidanaan dalam Islam berasal dari petunjuk Allah yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai kitab suci dan pegangan umat Islam. Islam menggariskan bahwa manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan pada dasarnya jiwa manusia itu sendiri suci. Manusia itu sendirilah yang kemudian menentukan jalan yang ia pilih. Kebersihan jiwa itu dipengaruhi oleh tingkat religiusitas (iman) seseorang selain

69 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip, hlm. 31.

70

Topo Santoso, Hukum Pidana, hlm. 172.

71 Topo Santoso, Hukum Pidana, hlm. 193.

72 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana, (Surabaya:Pustaka Tinta Mas, 1994), hlm.186.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

62

faktor lingkungan sekitarnya.73 Para ahli hukum pidana Islam berdasarkan pengkajian atas pidana dalamIslam, merumuskan tujuan pemidanaan dalam Islam, yaitu: 1) Pembalasan (al-Jazā’)

Tujuan dari pemidanaan dalam Islam yang pertama adalah pembalasan. Tujuan pembalasan menjelaskan bahwa setiap pelaku tindak pidana harus diberikan balasan yang setimpal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan retributif (pembalasan) ini sebagai gambaran hukuman hadd, yaitu kerasnya hukuman, dan larangan setiap bentuk mediasi berkenaan dengan hal ini, dengan kata lain hukuman wajib dijalankan jika kejahatan terbukti.74 Berbeda dengan teori retributif dalam sistem hukum pidana yang lain, dalam hukum pidana Islam dikenal dengan adanya pemaafan (afwun). Bahkan dalam qisas meskipun seseorang berhak menuntut pembalasan, tetapi jika ia mau memaafkan, hal itu diperkenankan.75 Pemaafan ini disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 178-179 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan)kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih; Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.76

Berdasarkan teori pembalasan, hukuman yang diberikan harus mencapai keadilan bagi korban. Kelegaan hati korban, ahli waris korban, dan orang-orang yang berinteraksi dengan korban benar-benar dijamin oleh tujuan retributif. Tujuan ini dapat pula meredam semangat balas dendam yang berpotensi menimbulkan tindak pidana yang lain.77

2) Pencegahan (az-Zajr)

Tujuan pencegahan dimaksudkan untuk mencegah agar suatu tindak pidana tidak

73 Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan dalam Islam,” In Right Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia 1 (2011), hlm. 25.

74 Topo Santoso, Asas-Asas, hlm. 150

75 Ibid., hlm. 151.

76 Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat Al Baqarah (2): 178-179.

77 Mohammad Shabbir, Outlines of Criminal Law and Justice in Islam, (Selangor Darul Ihsan: International Law Book Services, 2002), hlm. 34.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

63

terulang lagi. Dalam hukum pidana Islam, aspek pencegahan lebih dalam dan lebih tegas dibanding sistem lain. Pencegahan dikenal sebagai justifikasi utama untuk penghukuman, khususnya untuk hukuman hadd. 78 Mawardi sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan hudud sebagai hukuman-hukuman pencegahan yang ditetapkan Allah untuk mencegah manusia dari melakukan apa yang Ia larang dan dari melalaikan apa yang Dia perintahkan. Sementara itu Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa hukuman hadd bernilai baik sebagai perbaikan (reformatif), pembalasan (retributif), maupun pencegahan (deterrence).79

Selain hudud, ta’zir juga berkaitan dengan tujuan pencegahan. Kata ta’zir secara etimologis berasal dari kata kerja azar yang berarti mencegah, respek, dan memperbaiki. Dalam literatur-literatur hukum Islam, ta’zir menunjukkan hukuman yang ditujukan, pertama untuk mencegah para penjahat melakukan kejahatan lebih jauh dan untuk memperbaiki dia. Lalu kemudian Ibn Farhun mendefinisikan tujuan ta’zir yaitu sebagai hukuman disipliner, perbaikan dan pencegahan.

Lebih lanjut, tujuan pencegahan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pencegahan umum yang ditujukan kepada seluruh masyarakat dengan harapan mereka tidak akan melakukan tindak pidana karena takut dengan hukuman. Dan pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku untuk mencegah pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya. Kamal bin al-Humam sebagaimana dikutip oleh Abd Majid mengatakan apabila hukuman dilaksanakan secara terbuka maka pencegahan umum akan lebih efektif karena dapat disaksikan langsung oleh masyarakat luas dan dapat mengambil pelajaran dari pelaksanaan hukuman tersebut.80

3) Pemulihan/Perbaikan (al-Islāh)

Tujuan mendasar lain dari pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah untuk memperbaiki pelaku kejahatan keinginan untuk melakukan kejahatan. Bahkan, dalam pandangan beberapa ahli hukum, tujuan ini sendiri merupakan tujuan paling mendasar dari sistem pidana Islam. Dalam Quran Surah Al-Maidah (5): 38-39 Allah berfirman: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah

78

Topo Santoso, Asas-Asas, hlm. 150-151.

79 Topo Santoso, Asas-Asas, hlm. 151.

80 Mahmood Zuhdi Ab. Majid, Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syari`ah di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), hlm. 44.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

64

menerima taubatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.81

Fakta bahwa pemulihan ini merupakan salah satu tujuan mendasar dari sistem hukum pidana Islam adalah pandangan para ahli hukum tentang tujuan pengasingan atau pemenjaraan. Para ahli berpendapat, tujuan pengasingan atau pemenjaraan adalah untuk merehabilitasi pelaku. Berdasarkan tujuan ini, kemudian mereka berasumsi bahwa hukuman seperti itu akan terus berlanjut sampai pelaku benar-benar bertobat.82

Tujuan paling jelas dari pemulihan ini dapat dilihat dalam hukuman takzir. Tujuan takzir itu sendiri seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah untuk mendidik dan merehabilitasi para pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, meskipun pidana penjara seumur hidup diperbolehkan, tetapi jika diduga pelaku telah berhenti melakukan kejahatan, mereka harus diampuni. Namun, tujuan ini dirasa akan kurang efektif bagi penjahat yang sudah profesional atau sudah terbiasa (misalnya residivisme). Orangorang seperti ini akan sulit untuk memahami nilai dari pemulihan sehingga upaya mereka untuk memperbaiki perilaku mereka akan sia-sia.83

Aspek rehabilitasi dari hukuman dalam Islam ditunjukkan dengan bahwa hukuman menjadi kaffarah. Ini semisal dalam al-Qur’an surat al-Nur (24): 4-5, yang mengatur tentang tindak pidana qadzaf, di mana diberikan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri, yang memungkinkan untuk diadakan pengurangan hukuman.84

4) Restorasi (al-Isti`ādah)

Sebelumnya telah dibahas tentang tujuan pemulihan (reformasi) yang berorientasi kepada pelaku tindak pidana. Berbalik dari tujuan reformasi tersebut, tujuan restorasi ini lebih berorientasi kepada korban (victim oriented). Tujuan ini lebih untuk mengembalikan suasana seperti semula, merekonsiliasi korban (individu atau masyarakat) dan pelaku tindak pidana, dan mendorong pelaku untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatannya.85

Dalam pidana Islam tujuan ini dapat dilihat dari adanya hukuman diat sebagai pengganti dari qisas apabila korban memaafkan pelaku. Pemberian maaf dari korban

81

Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat Al Maidah (5): 38-39.

82

83

84

Mahmood Zuhdi Ab. Majid, Bidang Kuasa, hlm. 44.

Mohammad Shabbir, Outlines of Criminal, hlm. 31.

Nafi Mubarok, “Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional dan Fiqh Jinayah”, AlQānūn, 18, (Desember 2015), hlm. 314.

85

Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan”, hlm. 33.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

65

yang kemudian diikuti oleh pemberian diat oleh pelaku tindak pidana merupakan salah satu bentuk rekonsiliasi yang dapat mengikis rasa dendam kedua belah pihak dan mewujudkan kembali kedamaian yang telah terusik di antara kedua belah pihak.86

5) Penebusan Dosa (at-Takfīr)

Hal yang paling membedakan antara hukum pidana Islam dan system hukum pidana lain adalah tujuan penebusan dosa. Penebusan dosa ini menggambarkan adanya dimensi ukhrawi dalam hukum pidana Islam, karena ketika seseorang melakukan kejahatan ia tidak hanya dibebankan pertanggungjawaban di dunia saja tetapi juga pertanggungjawaban di akhirat kelak. Menurut sebagian ahli fikih, penjatuhan hukuman di dunia adalah untuk menggugurkan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan. Sedangkan di dalam system hukum pidana lain, tujuan ini dialihkan menjadi rasa bersalah yang menekankan kepada aspek psikologis pelaku. Oleh karenanya karena bersifat duniawi terkadang pelaku tidak merasa bahwa dirinya bersalah telah melakukan tindak pidana dan tidak tampak adanya penyesalan dari dalam dirinya.87 Konsep hukuman sebagai penghapus dosa yang lebih tepat menurut hukum pidana Islam adalah apabila diikuti dengan unsur taubat di dalamnya. Pengampunan terhadap dosa-dosa horizontal dan vertikal baru terjadi apabila muncul rasa menyesal dalam lubuk hati pelaku tindak pidana dan adanya niat yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah ia lakukan.88 Konsep hukuman sebagai pengampunan dosa yang lebih tepat menurut hukum pidana Islam diikuti dengan unsur pertobatan di dalamnya. Pengampunan dosa horizontal dan vertikal hanya baru terjadi ketika pelakunya memiliki perasaan penyesalan dan niat yang kuat agar tidak mengulangi tindak pidana yang telah dia lakukan.

Unsur taubat dalam tujuan ini lahir dari pemikiran terhadap tindak pidana riddah. Namun, menurut sebagian ahli fikih, taubat semata dalam hukum pidana Islam tidak otomatis menghapus hukuman karena taubat hanya menggugurkan hukuman yang berkaitan dengan hak hak Allah saja, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individu tidaklah gugur dengan sendirinya.89

Tujuan hukuman sebagai penebusan dosa, dalam hukuman pidana Islam terlihat lebih jelas pada tindak pidana yang dijatuhi hukuman kafarat. Tindak pidana dan

86

Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan”, hlm. 34.

87 Ibid., hlm. 34-35.

88 Ibid., hlm. 35.

89

Ocktoberrinsyah, “Tujuan Pemidanaan”, hlm. 36.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

66

hukuman ini ditentukan secara spesifik oleh syariat, semata-mata sebagai upaya penebusan dosa karena telah melakukan sesuatu yang dilarang baik dalam bentuk perkataan ataupun perbuatan.90

A. Faktor yang Mempengaruhi Penjatuhan Hukuman Pidana oleh Hakim

Hukuman pidana yang dicantumkan dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang hukuman pidana biasanya hanya menyebutkan maksimal hukuman saja, minimal hukuman saja, atau rentang dari hukuman minimal hingga maksimal.

Lalu kemudian apa yang menyebabkan putusan Hakim berbeda-beda antara satu tindak pidana yang sama namun dilakukan oleh pelaku yang berbeda. Hakim disini diberikan kebebasan pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan pemenuhan unsur suatu pasal pidana, alat bukti, gugatan jaksa, dan fakta-fakta selama persidangan. Hakim dalam penjatuhan hukuman perlu melihat dari pemenuhan unsur tindak pidana, dasar pemberat pidana, dan alasan yang meringankan pidana.

1) Pemenuhan Unsur Tindak Pidana

Dalam suatu persidangan pidana harus seorang terdakwa harus dibuktikan kesalahannya oleh jaksa apakah ia memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Untuk mengetahui suatu unsur dalam tindak pidana itu terpenuhi, dalam persidangan akan dilakukan pembuktian. Dalam Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memper oleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jadi dalam menyatakan terdakwa bersalah atau tidak, hakim harus mempertimbangkan atau memiliki keyakinan dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sah yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Kemudian dari alat bukti minimum tersebutlah hakim akan menarik kesimpulan untuk menentukan apakah terdakwa bersalah melakukan tindak pidana atau tidak.91

2) Dasar Pemberat Pidana

Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana 90 Ibid., hlm. 37. 91 Aristo M. A. Pangaribuan, Arsa Mufti dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020), hlm. 282.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

67

diluar KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain.92 Adapun KUHP menyebutkan tiga dasar yang menjadi pemberat pidana umum, yaitu: tindak pidana yang dilakukan karena jabatan yang disebutkan dalam Pasal 52 KUHP; tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia dalam Pasal 52a KUHP; dan tindak pidana pengulangan (recidive) yang disebutkan dalam Pasal 386, 387, 388, 486, 487, dan 488 KUHP.

Selain dasar pemberat yang disebutkan di atas, yang menjadi dasar Hakim untuk memberatkan hukuman terdakwa adalah sikap terdakwa tidak sopan selama di persidangan, terdakwa tidak mengakui perbuatan yang dimana terdakwa telah terbukti bersalah, menimbulkan kerugian materiil bagi korban, hilangnya nyawa dalam tindak pidana, dan unsur berencana.93

3)

Dasar Peringan Pidana

Dasar peringan pidana adalah dasar yang membuat pelaku diancam dengan hukuman yang lebih ringan dari yang semestinya. Dalam KUHP, menyebutkan dasar peringan pidana antara lain tindak pidana merupakan tindak pidana percobaan seperti yang disebutkan dalam Pasal 53 KUHP, tindak pidana pembantuan dalam Pasal 56KUHP, seorang ibu yang takut kelahiran anaknya diketahui kemudian meninggalkan anaknya atau membunuh anaknya tersebut yang disebutkan dalam Pasal 342 dan 343 KUHP. Selain itu, di luar KUHP seorang anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana juga merupakan dasar peringan pidana yang disebutkan dalamUndang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”).

Adapun alasan lain yang dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan selama persidangan, terdakwa kooperatif dalam persidangan, adanya penyesalan yang dilihat dari terdakwa, dan terdakwa adalah tulang punggung keluarga.94

B. Asas Keseimbangan dalam Pidana Islam

Sebagaimana suatu sistem hukum, hukum pidana Islam juga memiliki asas-asas yang

92

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002), hlm. 73.

93

Suci Kurnia Ramadhani, “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan (Studi di Pengadilan Negeri Sidoarjo)” (2013), hlm. 9-10.

94

Suci Kurnia Ramadhani, “Dasar Pertimbangan”, hlm. 7-8.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

68

menjadi dasar tegaknya hukum pidana Islam. Neng Djubaedah berpendapat ada lima belas asas dalam hukum pidana Islam diantaranya yaitu asas keseimbangan. Asas keseimbangan dalam hukum pidana Islam melihat kepada keseimbangan antara pelaku tindak pidana dan korban serta antara individu dan masyarakat. Dalam Al-Quran Surah An-Nisa (4): 92-93

Allah berfirman:

Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana; Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.95

Ayat di atas menjelaskan keseimbangan dalam suatu tindak pidana pembunuhan yang dilihat dari keadaan pelaku pembunuhan dan korban dari pembunuhan tersebut. Allah menyebutkan hukuman bagi seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh seorang beriman lain hukumannya berbeda apabila ia tidak sengaja membunuh orang beriman yang memusuhinya atau tidak sengaja membunuh orang kafir. Kemudian Allah juga menyebutkan dibolehkannya pemaafan dari keluarga korban (ahli waris). Lalu untuk hukuman apabila membunuh seorang beriman dengan sengaja maka balasannya adalah neraka Jahanam dan Allah murka dan melaknatnya (azab dari Allah di akhirat).

Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Adiansyah Nurahman dan Eko Soponyono dalam jurnalnya96, menyebutkan ide keseimbangan antara lain mencakup:

a) Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan;

b) Keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide

95

Al Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat An Nisa (4): 92-93. 96 Adiansyah Nurahman dan Eko Soponyono, “Asas Keseimbangan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkeadilan”, Pandecta 13 (Desember 2019), hlm. 103.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

69

individualisasi pidana) dan korban tindak pidana;

c) Keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin); ide daad-dader strafrecht; Keseimbangan antara kriteria formal dan materil;

d) Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas, dan keadilan; e) Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/universal.

Jika dikaitkan pendapat Barda Nawawi dengan QS 4:92-93, ide keseimbangan dari Barda Nawawi sejalan dengan keseimbangan dalam QS 4:92-93. Keseimbangan antara perlindungan pelaku dan korban tindak pidana dirasa perlu diperhatikan dalam putusan pidana. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemidanaan sebagaimana pada pembahasan sebelumnya tentang tujuan pemidanaan, yaitu tujuan restorasi, pemulihan, dan pencegahan.

Dalam hukum pidana positif di Indonesia yang berlaku saat ini belum mengadopsi asas keseimbangan ini. Banyaknya kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang dianggap sangat jauh dari keadilan, akan tetapi disisi lain Hakim juga mengalami suatu problem mengingat KUHP yang masih bersifat kaku.97 Asas keseimbangan kemudian hadir dan dibutuhkan dalam hukum pidana karena dengan asas keseimbangan, bentuk hukuman disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan.

C. Contoh Disparitas Putusan di Indonesia

Penulis mengambil dua putusan yang saling berkaitan mengenai kronologi kasus satu sama lain dimana dalam putusan-putusan tersebut Terdakwa dihukum pidana penjara dengan waktu yang berbeda dengan Terdakwa lainnya yakni putusan nomor 127/Pid.B/2015/PN.Gns yang memuat perkara Terdakwa Adam Malik Bin M. Yamin dan putusan nomor 452/Pid.B/2013/PN.Gns yang memuat perkara Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin. Dalam putusan-putusan yang penulis ambil ini, Jaksa melakukan splitsing perkara98 terhadap para Terdakwa.

a. Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns.

Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara pidana

97 Adiansyah Nurahman dan Eko Soponyono, “Asas Keseimbangan”, hlm. 103. 98 Splitsing perkara adalah pemecahan satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa tersebut dipecah menjadi dua atau lebih.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

70

pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Adam Malik bin M. Yamin. Jaksa menuntut supaya Hakim memutuskan untuk Menyatakan Terdakwa Adam Malik Bin M. Yamin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan Ancaman Kekerasan” melanggar Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-2 KUHP; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 3 tahun dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dengan perintah terdakwa tetap ditahan; Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp2.000.

Hakim dalam amar putusan terhadap Terdakwa yakni Menyatakan Terdakwa Adam Malik Bin M. Yamin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan”; Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun. Untuk pengurangan masa penahanan dan membebankan pembayaran terhadap Terdakwa sama dengan yang dituntut oleh Jaksa. Dalam putusannya tersebut, hakim juga mempertimbangkan beberapa hal, seperti hakim tidak sependapat dengan Jaksa mengenai beratnya pidana penjara yang dituntut yakni 3 tahun penjara karena dirasa telah mencederai rasa keadilan dan menyimpang dari tujuan pemidanaan. Namun terdapat hal-hal yang memberatkan menurut Hakim seperti perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat. Akan tetapi, ada pula hal-hal yang meringankan menurut hakim seperti Terdakwa bersikap sopan di persidangan, Terdakwa tidak mempersulit jalannya persidangan, dan Terdakwa menyesali perbuatannya.

b. Putusan No. 452/Pid.B/2013/PN.Gns.

Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin merupakan seseorang yang melakukan tindak pidana bersama dengan Adam Malik Bin M. Yamin. Jaksa menuntut Deni Sefrizal Als Izal Bin Muksin (Terdakwa) untuk Menyatakan Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan kekerasan” sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (1), (2) ke-1 dan ke-2 KUHP dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin, dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan; Menyatakan barang bukti

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

71

berupa 1 unit sepeda motor merk Honda Supra X125 Type NF125TR No. Pol BE 5273 GY warna hitam, No Rangka MH1JB9129BK862749, No. Mesin JB91E2853787 Tahun 2011, dan 1 buah helm warna hitam merk Suzuki. Dikembalikan kepada Saksi Supartini Bin Suparman; Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.

Hakim memberikan amar putusan terhadap Terdakwa yakni Menyatakan Terdakwa Deni Sefrizal Als. Izal Bin Muksin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan”; Menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 8 bulan; Untuk pengurangan masa penahanan, memerintahkan barang bukti, dan membebankan biaya perkara sama dengan yang dituntut oleh Jaksa. Dalam putusannya tersebut, hakim juga mempertimbangkan beberapa hal, seperti Hakim menganggap bahwa Terdakwa mampu bertanggung jawab maka dapat dikenakan pidana. Adapun hal-hal yang memberatkan menurut hakim yakni perbuatan Terdakwa merugikan Saksi Korban Supartini Bin Suparman dan perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat. Selain itu, ada pula hal-hal yang meringankan yakni Terdakwa bersikap sopan, Terdakwa mengakui segala perbuatannya tersebut, antara Terdakwa dengan saksi korban sudah ada perdamaian, dan Terdakwa belum pernah dihukum.

Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns

Dakwaan Jaksa Pencurian dengan ancaman kekerasan

Pasal yang Dilanggar

Amar Putusan Hakim

Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-2 KUHP

Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan

Putusan Hakim Penjara selama 3 tahun

Putusan No. 452/Pid.B/2013/PN.Gns

Pencurian dengan kekerasan

Pasal 365 ayat (1), (2) ke-1 dan ke-2 KUHP

Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan

Penjara selama 2 tahun 6 bulan

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

72

a) Hakim tidak sependapat dengan Jaksa mengenai beratnya pidana penjara yang dituntut yakni 3 tahun penjara karena dirasa telah mencederai rasa keadilan dan menyimpang dari tujuan pemidanaan; b) Terdakwa bersikap sopan di persidangan; c) Terdakwa tidak mempersulit jalannya persidangan; dan d) Terdakwa menyesali perbuatannya.

a) Terdakwa mampu bertanggung jawab maka dapat dikenakan pidana; b) Perbuatan Terdakwa merugikan Saksi Korban; c) perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat; d) Terdakwa bersikap sopan; e) Terdakwa mengakui segala perbuatannya tersebut; f) Antara Terdakwa dengan saksi korban sudah ada perdamaian; g) Terdakwa belum pernah dihukum.

Tabel 1. Perbandingan Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns dan Putusan No. 452/Pid.B/PN.Gns

Dalam Hukum Pidana Islam, pencurian dapat dihukum dengan had dan ta’zir. Pencurian yang dapat dihukum dengan had adalah pencurian yang telah memenuhi seluruh unsur-unsur pencurian dan hukumannya adalah potong tangan, sedangkan pencurian yang diancam dengan ta’zir adalah pencurian yang tidak lengkap atau tidak terpenuhi seluruh unsur pencurian sebagaimana yang dapat diancam dengan had. 99

Abdul Qadir Audah membedakan pencurian menjadi pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil adalah pengambilan harta kekayaan yang tidak diketahui oleh korban dan dilakukan tanpa izin atau diam-diam. Unsur-unsur dalam pencurian kecil ini harus dipenuhi secara kumulatif, kalau ada satu unsur yang tidak terpenuhi maka tidak termasuk dalam pencurian kecil. Jika seseorang mencuri harta benda dari sebuah rumah dengan diketahui oleh si pemilik rumah (korban) dan tidak ada kekerasan dan kekuatan fisik maka tidak termasuk pencurian kecil, tetapi penjarahan. Begitu pula dengan seseorang yang merebut harta orang lain disebut dengan pemalakan atau perampasan, bukan termasuk kedalam pencurian kecil. Penjarahan, pemalakan, dan perampasan, semuanya masuk ke dalam lingkup pencurian, tetapi tindak pidana tersebut tidak dikenakan hukuman had melainkan dikenai hukuman ta’zir. 100

99

Sekar Resti Fauzi dan Fery Dona, “Penyidikan Tindak Pidana Pencurian di Polres Purworejo,” Jurnal AlHakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Studi Syariah, Hukum dan Filantropi,” Vol. 4 No. 1, ( May 2022), hlm. 56.100 Ibid. hlm. 57-58

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

73
Pertimbangan Hakim

Dari putusan-putusan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat disparitas putusan walaupun tindak pidana yang dilakukan adalah sama dan berbarengan. Dalam putusannya Hakim juga telah menyebutkan pertimbangan-pertimbangan dari keadaan yang terjadi dan keadaan terdakwa. Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Islam, penjatuhan hukuman oleh Hakim dapat dikatakan sudah tepat, karena pencurian dengan ancaman kekerasan maupun pencurian dengan kekerasan bukanlah termasuk pencurian kecil yang hukumannya adalah had, melainkan pencurian yang hukumannya dijatuhi dengan hukuman ta’zir, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Qadir Audah. Dalam putusan Hakim tersebut, Hakim menggunakan asas keseimbangan dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan kepada kedua terdakwa. Berdasarkan asas keseimbangan, sebuah asas dasar dalam pemidanaan di hukum pidana Islam, seorang pelaku kejahatan dapat dihukum seimbang dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Asas tersebut memperhatikan kondisi pelaku dalam melakukan tindak pidana, kondisi korban dari tindak pidana yang dilakukannya, serta kondisi ketika pelaku akan menjalani hukumannya. Dalam menjatuhkan putusan, Hakim menggunakan asas keseimbangan sebagai salah satu unsur bersama dengan pemenuhan pasal pidana, alat bukti dan pembuktian, alasanalasan pemberat dan peringan, fakta-fakta persidangan, serta tingkah laku terdakwa selama persidangan. Kedepannya para Hakim dapat menggunakan asas keseimbangan yang dikenal dalam Hukum Pidana Islam dalam menjatuhkan putusan sebagai salah satu dasar pertimbangan.

Volume
74
1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

III. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa disparitas putusan yang dilakukan oleh Hakim merupakan hal yang umum terjadi dalam praktik dan merupakan suatu wajar. Hal ini dikarenakan Hakim menggunakan asas keseimbangan yang dikenal dalam hukum pidana Islam dimana Hakim memperhatikan kondisi pelaku dalam melakukan tindak pidana, kondisi korban dari tindak pidana yang dilakukannya, serta kondisi ketika pelaku akan menjalani hukumannya. Berbeda dengan hukum pidana barat yang menunjukkan pemidanaan sebagai fokus pembalasan dan fokus pencapaian tujuan tertentu, hukum pidana Islam menunjukkan pemidanaan sebagai pembalasan, pencegahan, pemulihan/perbaikan, restorasi, dan penebusan dosa. Perbedaan utama terletak dalam aspek penebusan dosa dikarenakan hukum Islam bersifat ukhrawi.

Volume
75
1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan &Ajaran Kausalitas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet. 4. Jakarta:Rineka Cipta, 2019.

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya AtmaPustaka, 2014.

Komisi Yudisial. Disparitas Putusan Hakim (Identifikasi dan Implikasi). Jakarta: Komisi Yudisial, 2014.

Majid, Mahmood Zuhdi Abdul. Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syari`ahdi Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Penerbit Alumni 1992.

Pangaribuan, Aristo M. A., Arsa Mufti dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidanadi Indonesia. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020.

Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2016. Santoso, Topo. Hukum Pidana Suatu Pengantar. Cet. 1. Jakarta: Rajawali Pers, 2020.

Shabbir, Mohammad. Outlines of Criminal Law and Justice in Islam. Selangor Darul Ihsan: International Law Book Services, 2002.

Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994.

Jurnal dan Artikel

Fauzi, Sekar Resti dan Fery Dona, “Penyidikan Tindak Pidana Pencurian di Polres Purworejo,” Jurnal Al-Hakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Studi Syariah, Hukum dan Filantropi,” Vol. 4 No. 1, ( May 2022), hlm. 43-64.

Gulo, Nimerodi dan Ade Kurniawan M. “Disparitas dalam Penjatuhan Pidana” MasalahMasalah Hukum 47 (Juli 2018). Hlm. 215-227.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

76

Mubarok, Nafi. “Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional dan Fiqh Jinayah”. Al-Qānūn 18 (Desember 2015) Hlm. 298-323

Nugorho, Wahyu. “Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian DenganPemberatan Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor1055/Pid.B/2007/PN.Smg” Jurnal Yudisial 5. (2012). Hlm. 261-282.

Nurahman, Adiansyah dan Eko Soponyono. “Asas Keseimbangan dalamRancanganKitab Undang-Undang Hukum Pidana Sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkeadilan”. Pandecta 13 (Desember 2019). Hlm. 100-106.

Ocktoberrinsyah. “Tujuan Pemidanaan dalam Islam” In Right Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia 1 (2011). Hlm. 21-38.

Ramadhani, Suci Kurnia. “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan (Studi di Pengadilan Negeri Sidoarjo)” (2013). Hlm. 1-15.

Pidato

Harkrisnowo, Harkristuti. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan TerhadapProses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi Pada Upacara Pengukuahan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia. Depok, 2003.

Kitab Suci

Al Qur’an. diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN1981/76; TLN NO. 3209 Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LNNo. 157Tahun 2009, TLN No. 5076.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. DiterjemahkanolehMoeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita,1976.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

77

Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns. Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Putusan No. 452/Pid.B/2013/PN.Gns.

Website

Togar S.M. Sijabat, “Disparitas Putusan Hakim dalam Perkara Narkotika,”https://www.hukumonline.com/klinik/a/disparitas-putusan-hakimdalam-perkara-narkotika lt5705da9c9e32d, diakses 5 Mei 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

78

BIODATA PENULIS

Muhammad Radithya Shinhadrian Ali lahir di Pekanbaru, 5 Oktober 2002. Ia telah menempuh pendidikannya di SMPN 4 Pekanbaru dan SMAN Plus Provinsi Riau. Kini, ia sedang berkuliah S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

79

Kelekatan Sifat Jahat dengan Suatu Perbuatan: Kajian Teoritis terhadap Konsep Mala In Se dalam Hukum Pidana Muhammad Hanif Fajar

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 Korespondensi: haniffajar300@gmail.com

Abstrak

Dalam hukum pidana, terdapat konsep mala in se dan mala prohibita. Mala in se merupakan perbuatan-perbuatan yang secara kodratiah memiliki sifat jahat, sedangkan mala prohibita merupakan perbuatan yang dianggap jahat setelah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bagaimana suatu perbuatan dapat dianggap memiliki kualifikasi mala in se. Penelitian dilakukan dengan metode doktriner melalui studi pustaka terhadap data sekunder yang berkaitan dengan pemikiran doktrinal mengenai konsep mala in se dan mala prohibita Penelitian ini menemukan bahwa mala in se berlaku pada masyarakat-masyarakat secara individual berdasarkan mores dan tidak berlaku secara universal.

Kata kunci: mala in se, mala prohibita, kejahatan, mores.

Abstract

In the theory of criminal law, there is the concept of mala in se and mala prohibita. Mala in se are acts that are inherently evil, while mala prohibita are acts that are considered evil after being stated in the laws and regulations. The purpose of this study is to find out how an act is considered to have the qualification of mala in se. The research was conducted using the doctrinal method through literature study of secondary data related to doctrinal thinking regarding the concept of mala in se and mala prohibita This study found that mala in se applies to individual societies based on mores and does not apply universally.

Keywords: mala in se, mala prohibita, felonies, mores.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

80

I. PENDAHULUAN

“Peraturan diciptakan untuk dilanggar”. Demikianlah ungkapan yang telah menjadi kredo dalam kehidupan masyarakat. Ungkapan tersebut seolah menjustifikasi tindakantindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh manusia. Meski demikian, tatkala kenyataan mengenai jumlah kasus pelanggaran yang terjadi di Indonesia ditelusuri, dapat terungkap sebuah temuan yang menarik. Berdasarkan Jurnal Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri Edisi Tahun 2021, pada tahun 2021, terjadi sebanyak 2.115.244 kasus pelanggaran lalu lintas.101 Sedangkan, pada tahun yang sama, kasus pembunuhan terjadi sebanyak 1.074 kali.102 Meskipun kasus pembunuhan terjadi dalam jumlah yang besar, jumlah tersebut tampak kecil sekali ketika dibandingkan dengan jumlah kasus pelanggaran lalu lintas yang demikian masifnya. Dengan demikian, tampak seolah-olah ungkapan “Peraturan diciptakan untuk dilanggar” hanya berlaku untuk peraturan yang melarang tindakan yang, terbilang, ringan, seperti peraturan lalu lintas. Ungkapan tersebut seakan tidak berlaku terhadap peraturan yang melarang tindakan semacam pembunuhan. Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan: mengapa ada tindakan-tindakan yang, meskipun sudah dilarang, tetap dilakukan? Sedangkan, ada tindakan-tindakan yang meskipun tidak dilarang, tidak akan dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijelaskan dengan menelusuri konsep mala in se dan mala prohibita Dalam ilmu hukum pidana, terdapat konsep yang mengkategorikan perbuatan jahat, yaitu mala in se dan mala prohibita 103 Mala in se merupakan perbuatan yang, dengan sendirinya, jahat (jahat secara kodratiah).104 Sedangkan, mala prohibita merupakan perbuatan yang jahat, hanya karena ia dilarang oleh hukum positif.105 Mala in se meliputi perbuatan-perbuatan seperti pembunuhan dan perkosaan. Tentunya, masyarakat umum akan berpikir bahwa pembunuhan dan perkosaan merupakan perbuatan yang jahat dan memang jahat; tidak perlu diketahui dan ditelusuri, mengapa ia jahat. Meski begitu, muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimanakah sebuah perbuatan dapat dianggap jahat dan pihak apakah yang menetapkan bahwa suatu perbuatan

101 Pusat Informasi Kriminalitas Nasional Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, ”Jurnal Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri Edisi Tahun 2021,” Jurnal Tahunan Pusiknas Bareskrim Polri (2021), hlm. 94.

102 Ibid., hlm. 157.

103 Piers Beirne dan James W. Messerschmidt, Criminology: A Sociological Approach,(Oxford: Oxford University Press, 2015), hlm. 15-16.

104 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New Brunswick: Transaction Publishers, 2006), hlm.51.

105 Ibid., hlm. 52.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

81

itu jahat. Dua pertanyaan tersebut akan menjadi tema utama dari tulisan ini. Tulisan ini mengajukan bahwa mala in se merupakan hal yang terlokalisasi. Mala in se berlaku pada masyarakat-masyarakat secara individual dan tidak berlaku secara universal.

Di Indonesia, tidak banyak ditemukan penelitian-penelitian yang membahas mengenai mala in se dan mala prohibita. Dalam sedikit penelitian tersebut pun, hal yang dibahas adalah mala in se dan mala prohibita serta kaitannya dengan konsep lain. Pada penelitian ini, mala in se akan dibahas secara khusus demi mengetahui bagaimanakah suatu perbuatan dapat dianggap jahat. Penelitian ini bertujuan untuk menyelami konsep mala in se dan menerangkan mengenai status kejahatan yang dimiliki sebuah perbuatan. Untuk mewujudkan tujuan itu, artikel ini akan disusun sebagai berikut. Pada bab Isi, pertama-tama akan dipaparkan mengenai pemikiran-pemikiran para pemikir hukum perihal doktrin mala in se-mala prohibita. Kemudian, akan dijelaskan mengenai sejumlah konsep yang terdapat dalam bidang ilmu sosiologi yang berkaitan dengan konsep mala in se, yaitu konsep folkways, mores, dan tabu. Terakhir, akan dilakukan penghubungan antara pemikiran doktrinal, yang telah dipaparkan di awal, dengan konsep-konsep sosiologis tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah. Pada bab Penutup, akan dituliskan kesimpulan yang telah didapatkan dari penelitian ini.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

82

II. ISI

Pada dasarnya, konsep mala in se-mala prohibita merupakan konsep yang telah mulai terbentuk, setidak-tidaknya, sejak zaman Aristoteles. Dalam bukunya, Ethica Nicomachea, Aristoteles menggariskan perbedaan yang terdapat di antara the “natural” (hal yang “alami”) dan the “conventional” (hal yang “konvensional”) sebagai berikut: ”That is natural which has the same validity everywhere, and does not depend on our accepting or rejecting it; that is conventional which at the outset may be determined in this way or in that indiferrently, but which when once determined is no longer indifferent.” 106

Mengacu pada definisi tersebut, konsep “hal yang alami” merupakan hal-hal yang memiliki keberlakuan yang sama di tempat mana pun. Sedangkan, konsep “hal yang konvensional” merupakan hal-hal yang, sesungguhnya, merupakan hal yang dianggap tidak berbeda dengan hal lainnya, tetapi, ketika ditetapkan, menjadi dianggap berbeda.107

Tatkala definisi mala in se dan mala prohibita ditinjau kembali, dapat dimengerti bahwa mala in se dan mala prohibita merupakan bentuk aplikasi dari konsep “hal yang alami” dan “hal yang konvensional” terhadap ilmu hukum pidana. mala in se merupakan hal yang secara alami dianggap jahat, sedangkan mala prohibita merupakan hal yang dianggap jahat berdasarkan konvensi.

Beragam pemikir hukum telah lama berseteru mengenai doktrin mala in se-mala prohibita. Di satu sisi, pemikir seperti William Blackstone percaya bahwa terdapat kejahatan-kejahatan yang salah secara kodratiah.108 Di sisi lain, pemikir pemikir seperti Jeremy Bentham, Hans Kelsen, dan Jerome Hall memercayai bahwa pembedaan antara kejahatan yang salah secara kodratiah dengan kejahatan yang salah karena terdapat peraturan yang melarang mereka adalah sebuah omong kosong.109

Blackstone merupakan pemikir yang pertama kali menanamkan doktrin mala in semala prohibita ke dalam yurisprudensi Inggris.110 Dalam buku Commentaries on the Laws of England in Four Books, Blackstone menyatakan perbedaan yang terdapat di antara mala in se dan mala prohibita sebagai berikut:

“Neither do divine or natural duties (such as, for instance, the worship of God,

106 Aristoteles, The Nichomachean Ethics, diterjemahkan oleh F. H. Peters, M.A., (London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., Ltd., 1906), hlm. 163.

107 Ibid. 108 Richard L. Gray, Eliminating the (Absurd) Distinction between Malum In Se and Malum Prohibitum Crimes, Washington University Law Quarterly, Vol. 73 (1995), hlm. 1376. 109 Ibid. 110 Ibid., hlm. 1375.

83
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

the maintenance of children, and the like) receive any stronger sanction from being also declared to be duties by the law of the land. The case is the same as to crimes and misdemeanors, that are forbidden by the superior laws, and therefore styled mala in se, such as murder, theft, and perjury; which contract no additional turpitude from being declared unlawful by the inferior legislature. For that legislature in all these cases acts only, as was before observed, in subordination to the great law-giver, transcribing and publishing his precepts. So that, upon the whole, the declaratory part of the municipal law has no force or operation at all, with regard to actions that are naturally and intrinsically right or wrong ”111

Blackstone menyatakan bahwa kejahatan yang berkualifikasi mala in se adalah jahat secara kodratiah dan tidak dipengaruhi sama sekali tingkat kejahatannya oleh dinyatakannya ia dalam peraturan perundangan-undangan. Lebih jauh lagi, Blackstone berkata bahwa dalam hal mala in se, manusia terikat oleh hati nuraninya.112 Dapat dipahami bahwa mala in se juga menyalahi moral.

Tidak lama setelah buku Commentaries on the Laws of England in Four Books diterbitkan, Jeremy Bentham membuat sebuah buku sebagai balasan, yaitu buku A Comment on the Commentaries. Dalam buku tersebut, Bentham memberikan tanggapannya terhadap distingsi mala in se-mala prohibita yang dituliskan oleh Blackstone.

“[Blackstone’s presentation of mala in se] is the first occasion of our hearing of the acute distinction between mala in se, and mala prohibita: which being so shrewd, and sounding so pretty, and being in Latin, has no sort of occasion to have any meaning to it: accordingly it has none.”113

Bentham, dengan ringannya, menyatakan bahwa perbedaan antara mala in se dan mala prohibita tidaklah memiliki arti; sebuah omong kosong. Dengan demikian, dapatlah terlihat, dua pandangan mengenai doktrin mala in se-mala prohibita: pandangan yang mendukungnya dan pandangan yang menolaknya.

Pandangan yang menolak doktrin mala in se-mala prohibita terus berkembang. Pada 1941, Jerome Hall mempublikasikan artikel Prolegomena to a Science of Criminal Law. Hall menganggap bahwa pembedaan antara mala in se dan mala prohibita yang digariskan oleh Blackstone merupakan sebuah rintangan yang telah mencegah konstruksi dari sosiologi hukum pidana.114 Hall berargumen bahwa, selama sebuah kepentingan publik membutuhkan regulasi yang dapat mengaturnya, regulasi tersebut tidaklah bersifat konvensional.115 Hall mengilustrasikan argumen tersebut dengan skenario berikut: dalam

111 William Blackstone, Commentaries on the Laws of England in Four Books, (Philadelphia: J.B. Lippincott Co., 1893), hlm. 54-55.

112 Ibid., hlm. 56.

113 Richard L. Gray, Eliminating, hlm. 1376.

114 Jerome Hall, Prolegomena To A Science Of Criminal Law, University of Pennsylvania Law Review And American Law Register Vol. 89 (Maret 1941), hlm 563

115 Ibid., hlm. 564.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

84

konteks doktrin mala in se-mala prohibita, peraturan lalu lintas hanyalah sebatas peraturan konvensional.116 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa pengemudi di Inggris mengendarai kendaraannya di sisi kiri, sedangkan pengemudi di Amerika Serikat berkendara di sisi kanan.117 Dengan demikian, esensi dari peraturan lalu lintas adalah untuk mengatur lalu lintas.118 Peraturan-peraturan lalu lintas mungkin tidak ada di Gurun Sahara, tetapi, pada kota-kota yang memiliki lalu lintas, peraturan-peraturan tersebut sangatlah dibutuhkan.119 Oleh karena itu, menurut Hall, peraturan lalu lintas tidak seharusnya dianggap sebagai peraturan yang konvensional karena masyarakat pada sebuah kota yang menyokong lalu lintas jelas-jelas membutuhkannya.

maka tindakan tersebut bukanlah malum dalam arti hukum; bukan delik.120 Dengan demikian, tidak ada mala in se; hanya ada mala prohibita. 121 Hal tersebut terjadi karena sebuah tindakan merupakan malum apabila ia prohibitum. 122 Menurut Kelsen, hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege. 123 Tidak terdapat sanksi tanpa adanya peraturan hukum yang mengatur sanksi tersebut, tidak terdapat delik tanpa adanya peraturan hukum yang menentukan delik tersebut.124

Berkaitan dengan pandangan Kelsen, Richard Gray memiliki pandangan yang serupa. Dalam artikel Eliminating the (Absurd) Distinction between Malum In Se and Malum Prohibitum Crimes, Gray mencoba untuk meruntuhkan dinding yang menurutnya absurd yang membedakan kejahatan mala in se dengan kejahatan mala prohibita. Bagi Gray, dalam penegakan hukum pidana, sama sekali tidak perlu ditentukan, apakah sebuah kejahatan merupakan mala in se atau mala prohibita 125 Hal tersebut demikian karena legislator seharusnya sudah menginkorporasikan kehendak dan pandangan moral masyarakat ke dalam peraturan perundang-undangan pada tahap perumusannya.126

Sistem moral dan sistem hukum merupakan dua sistem pengaturan tingkah laku manusia yang berbeda; sistem moral mengatur tingkah laku manusia secara internal melalui mekanisme sosial yang bersifat informal, sedangkan sistem hukum mengatur tingkah laku 116 Ibid. 117 Ibid. 118 Ibid. 119 Ibid. 120 Ibid 121 Ibid. 122 Ibid. 123 Ibid 124 Ibid 125 Richard L. Gray, Eliminating, hlm. 1394. 126 Ibid., hlm. 1396.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

85

manusia secara eksternal melalui mekanisme sosial yang bersifat formal.127 Kedua sistem tersebut bersinggungan pada arena pembentukan hukum, di mana perundingan legislatif sedapat mungkin harus melibatkan masyarakat untuk memastikan bahwa kehendak moral publik dapat diikuti.128

Gray berargumen bahwa, ketika membahas mengenai larangan-larangan yang didasarkan oleh sebuah peraturan, tidak ada alasan untuk menelusuri latar belakang yang mendasari pelarangan tersebut; hanya perlu diketahui bahwa tindakan tersebut telah dilarang, atau, dengan kata lain, “melawan hukum.”129 Pada saat hakim mengetahui bahwa suatu tindakan adalah melawan hukum, dia telah memiliki seluruh informasi yang diperlukan untuk menentukan apakah suatu peraturan telah dilanggar.130 Dia tidak perlu menganalisis sifat mala in se atau mala prohibita yang melekat pada peraturan tersebut.131 Tatkala sebuah undang-undang telah disahkan dan diundangkan, kesempatan untuk membicarakan moralitas telah lewat; hukum telah diundangkan dan manusia hanya perlu menerapkannya.132 Melalui pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa ketika membicarakan peraturan mengenai larangan, Gray sama sekali tidak mempertimbangkan latar belakang pembentukannya. Ia hanya peduli bahwa peraturan tersebut telah diundangkan. Gray menganggap bahwa seluruh tindakan yang melanggar hukum, mulai dari pembunuhan hingga penerobosan lampu lalu lintas, harus dipandang secara seragam dan dalam derajat yang sama.133 Hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa hanya terdapat dua kemungkinan: (1) hukum adalah hukum karena ia melarang tindakan yang, secara inheren, melawan moral, atau (2) hukum adalah hukum karena ia melarang tindakan yang dapat menghambat sebuah masyarakat untuk berjalan dengan efektif.134 Dengan demikian, dalam pemahaman Gray, mala in se dan mala prohibita tidak dapat berkoeksistensi. Hanya satu yang boleh ada: mala in se atau mala prohibita. Tidak keduanya.

Selanjutnya, Bentham berpendapat bahwa mala in se memiliki sifat tetap dan universal.135 Di tempat mana pun, mala in se adalah salah secara moral dan dilarang oleh

127 Ibid., hlm. 1394. 128 Ibid., hlm. 1394 1395. 129 Ibid., hlm. 1396. 130 Ibid. 131 Ibid. 132 Ibid. 133 Ibid., hlm. 1398. 134 Ibid. 135 Jeremy Bentham, The Works of Jeremy Bentham, vol. 1, (Edinburgh: William Tait, 1843).

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

86

undang undang. 136 Dapat terlihat bahwa terdapat satu hal yang membedakan pengertian dari mala in se yang dimiliki oleh Bentham dengan pemikir lainnya, yaitu, menurut Bentham, mala in se juga selalu dilarang dalam undang-undang. Terhadap pengertian tersebut, langsung muncul permasalahan yang telah ditemui sejak awal: hukum positif yang berbeda mengatur mengenai perbuatan yang berbeda pula.

Melalui pemaparan mengenai bermacam pemikiran doktriner di atas, dapat diidentifikasi masalah yang terdapat pada doktrin mala in se-mala prohibita: seharusnya, doktrin mala in se-mala prohibita berlaku universal, tetapi kenyataannya tidaklah demikian: setiap masyarakat berbeda yang hidup pada waktu dan tempat yang berbeda, juga memiliki hukum positif yang berbeda. Berdasarkan ilustrasi yang dikemukakan oleh Hall, di mana peraturan-peraturan lalu lintas mungkin tidak ada di Gurun Sahara, tetapi, pada kota-kota yang memiliki lalu lintas, peraturan-peraturan tersebut sudah pasti ada, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan suatu peraturan sejatinya bergantung sepenuhnya kepada masyarakat tempat peraturan tersebut berasal.

Pada titik ini, bahasan mengenai mala in se dan mala prohibita sudah meluas. Tidak hanya dalam bidang keilmuan ilmu hukum, bahasan ini mulai merambah bidang keilmuan ilmu sosiologi yang mempelajari mengenai kehidupan sosial, perubahan sosial, serta penyebab dan konsekuensi sosial dari tingkah laku manusia.137 Dalam ilmu sosiologi, terdapat sejumlah konsep yang memiliki kaitan dengan bahasan mala in se dan mala prohibita, yaitu konsep folkways, mores, dan tabu.

Konsep folkways dan mores pertama kali dikemukakan oleh William Graham Sumner. Mores merupakan hal yang melekat dengan folkways sehingga perlu dipahami konsep folkways terlebih dahulu sebelum konsep mores diselami. Folkways merupakan tata cara dalam memenuhi kebutuhan manusia yang berkembang dalam sebuah masyarakat.138 Folkways tercipta melalui pengulangan berkala dari tindakan-tindakan kecil oleh banyak orang dalam suatu masyarakat dalam memenuhi suatu kebutuhan.139 Tindakan-tindakan kecil tersebut kemudian menjadi kebiasaan pada anggota-anggota individual serta masyarakat tersebut.140 Perlu diketahui bahwa tindakan-tindakan tersebut menjadi kebiasaan secara tanpa

136 Ibid.

137

Case Western Reserve University, “What is Sociology?” https://sociology.case.edu/what-is-sociology/, diakses 9 September 2022.

138 William Graham Sumner, Folkways: A Study of The Sociological Importance of Usages, Manners, Customs, Mores, and Morals, (Boston: Ginn & Company, 1907), hlm. 2-3

139 Ibid., hlm. 3.

140 Ibid.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

87

disadari. 141 Sangat penting untuk mengetahui bahwa seluruh tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya, dilakukan secara berdiri sendiri dan tidak memiliki tujuan lain selain dari terpenuhinya kebutuhan tersebut.142 Anggota-anggota masyarakat tidak akan langsung menyadari bahwa sejumlah tindakan yang menjadi kebiasaan tersebut telah menjadi folkways. 143 Dengan demikian, folkways tidak terbentuk oleh akal atau pikiran manusia, tetapi, terbentuk dari insting alami yang manusia lancarkan secara tidak sadar.144 Menurut Sumner, folkways terbentuk atas “pikiran komunal” dari sebuah masyarakat yang terpisah dari pikiran-pikiran anggota-anggota yang membentuknya.145 Pikiran komunal tersebut membentuk ide-ide yang kemudian berpindah dari pikiran satu ke pikiran lain.146 Seiring waktu, ide-ide baru muncul dan bercampur dengan ide-ide yang telah ada.147 Sumner mendeskripsikan cara pikiran komunal tersebut bekerja sebagai berikut: terdapat kooperasi dan sugesti konstan yang beroperasi dalam masyarakat yang mengkonsentrasikan hal-hal yang tersebar, memverifikasi dan mengkoreksi ide yang telah tercipta, manghapuskan kesalahan yang terdapat dalam ide-ide tersebut, dan memadukan serta mengkonstruksikan ide-ide tersebut.148

Karena folkways merupakan cara-cara yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan, folkways selalu bergantung dan beradaptasi kepada kebutuhan yang mereka penuhi.149 Tidak jarang terjadi, bahwa folkways belum dapat beradaptasi dengan sempurna terhadap kebutuhannya, sehingga menimbulkan kegagalan.150 Kegagalan tersebut menggerakkan manusia untuk terus maju dan belajar.151 Dengan demikian, folkways: (a) akan terus berkembang untuk menghasilkan cara yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan, dan (b) konsisten dengan satu sama lain.152 Dalam sejarah manusia, setiap peradaban memiliki folkways yang berbeda dengan satu sama lain, tetapi, terdapat konsistensi perihal elemenelemen yang terkandung di dalamnya: mereka memiliki filsafat masing-masing, mores masing-masing, bentuk industri masing-masing.153 Meskipun dalam bentuk yang berbeda,

141 Ibid. 142 Ibid. 143 Ibid., hlm. 4. 144 Ibid. 145 Ibid., hlm. 19. 146 Ibid. 147 Ibid. 148 Ibid., hlm. 20. 149 Ibid., hlm. 5. 150 Ibid. 151 Ibid. 152 Ibid. 153 Ibid., hlm. 6.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

88

elemen-elemen yang sama dalam folkways dapat, secara konsisten, ditemukan dalam peradaban-peradaban berbeda

Folkways memiliki dua karakteristik khusus, yaitu tepat dan benar.154 Perihal bagaimana manusia menemukan hal yang tepat dan benar tersebut, Sumner memberikan ilustrasi sebagai berikut: tatkala seorang manusia memiliki keinginan untuk menangkap seekor hewan untuk dijadikan makanan, ia harus mengobservasi tingkah laku hewan tersebut serta menyiapkan metode dan perangkat yang tepat, sesuai dengan tingkah laku hewan tersebut.155 Apabila metode dan perangkat yang telah ia siapkan gagal untuk menangkap hewan tersebut, ia harus mencoba kembali sampai pada titik di mana observasinya “benar” dan metode serta perangkatnya “tepat”.156 Dengan demikian, elemenelemen yang terdapat pada folkways dibentuk oleh nalar wajar, akal, atau intuisi.157 Folkways merupakan cara-cara yang tepat untuk memenuhi segala kebutuhan.158 Terdapat cara yang tepat untuk menangkap hewan, untuk mengobati penyakit, dan untuk memperlakukan orang lain. Cara yang “tepat” merupakan cara yang digunakan oleh para leluhur dan diwariskan secara turun-temurun.159 Dengan demikian, menurut Sumner, segala hal yang berada dalam folkways merupakan hal yang tepat.160

Tatkala elemen ketepatan dan kebenaran dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan, folkways naik menuju tingkatan berikutnya.161 Pada tingkatan baru tersebut, folkways mendapat kemampuan untuk membuat ketetapan, berkembang, serta menyebarkan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat secara lebih luas.162 Tingkatan baru tersebut dikenal sebagai mores 163 Mores merupakan cara-cara manusia memenuhi kebutuhannya yang berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu.164

Sebagian besar dari mores terdiri atas tabu-tabu yang menunjukkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan sama sekali oleh manusia.165 Tabu mengandung larangan atas tindakantindakan yang telah terbukti menghasilkan hasil yang tidak diinginkan, seperti

154 Ibid., hlm. 27. 155 Ibid., hlm. 28. 156 Ibid. 157 Ibid. 158 Ibid. 159 Ibid. 160 Ibid. 161 Ibid., hlm. 30. 162 Ibid. 163 Ibid. 164 Ibid., hlm. 59. 165 Ibid., hlm. 30.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

89

mengkonsumsi makanan beracun.166 Terdapat tabu yang melarang tindakan-tindakan yang akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat.167 Tabu berisikan pengetahuan yang terakumulasi selama bergenerasi-generasi.168 Pengetahuan tersebut ditemukan melalui rasa sakit, kematian, atau kemalangan lainnya.169 Lebih jauh, Sumner menjelaskan bahwa terapat dua jenis tabu: tabu yang protektif dan tabu yang destruktif.170 Tabu yang protektif bertujuan untuk melindungi dan memberikan keamanan kepada manusia.171 Sedangkan, tabu yang destruktif bertujuan untuk menghapuskan kejahatan dan mencegah manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain.172 Apabila terjadi perubahan terhadap kondisi kehidupan suatu masyarakat, mores masyarakat tersebut seharusnya ikut berubah mengikutinya.173 Mores bukanlah suatu hal yang kaku dan tidak dapat berubah; ia merupakan hal yang terus berkembang dan beradaptasi.174 Dengan demikian, dalam menilai sebuah mores, harus diperhatikan pula waktu dan tempat mores tersebut berasal.175 Masyarakat berbeda yang tinggal di tempat dan pada waktu yang berbeda, akan memiliki mores yang berbeda pula.

Lebih lanjut, di atas mores, terdapat satu tingkatan lagi yang lebih tinggi, yaitu hukum.176 Hukum berasal dari mores 177 Agar suatu produk legislasi dapat meraih validitas yang kuat, para legislator diharuskan untuk mendasarkan produk legislasi tersebut pada mores yang telah ada.178 Kemudian, peraturan mengenai larangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan berfungsi untuk menggantikan peran tabu yang ada pada mores. 179 Berkaitan dengan pembentukan hukum dari kenyataan yang berlaku dalam masyarakat, terdapat pendapat senada yang diajukan oleh Herbert Packer.

Dalam buku The Limits of The Criminal Sanction, Packer berbicara mengenai pelanggaran moral dan kaitannya dengan pemberian sanksi pidana terhadapnya.180 Menurut 166 Ibid. 167 Ibid., hlm. 31. 168 Ibid. 169 Ibid. 170 Ibid. 171 Ibid. 172 Ibid. 173 Ibid., hlm. 39. 174 Ibid. 175 Ibid. 176 Ibid., hlm. 55. 177 Ibid. 178 Ibid. 179 Ibid. 180 Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (Stanford: Stanford University Press, 1983), hlm. 296.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

90

Packer, terdapat sejumlah kriteria yang dapat digunakan oleh legislator untuk membuat, katakan, sebuah “daftar prioritas” mengenai tindakan-tindakan yang harus diberikan sanksi pidana.181 Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut: (1) tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang mengancam secara sosial oleh kebanyakan orang dan tidak dibenarkan oleh bagian masyarakat apa pun; (2) pemberian sanksi pidana kepada tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan yang selaras dengan tujuan penghukuman; (3) usaha untuk menekan terjadinya tindakan tersebut tidak akan menghalangi terjadinya tindakantindakan yang, secara sosial, diharapkan untuk terjadi; (4) tindakan tersebut dapat ditangani melalui penegakan yang tidak berat sebelah dan non-diskriminatif; (5) tidak ada hambatan kuantitatif atau kualitatif yang dihadapi oleh penegak hukum dalam proses pidana yang dilakukan untuk mengendalikan tindakan tersebut; (6) tidak ada alternatif lain yang dapat digunakan untuk menangani tindakan tersebut selain sanksi pidana.182 Sejumlah tindakan yang memenuhi keenam kriteria di atas adalah pembunuhan, perkosaan, penganiayaan berat, serta perampokan.183

Kriteria pertama yang dikemukakan Packer memiliki hubungan erat dengan mala in se, di mana seluruh anggota suatu masyarakat memiliki pendapat seragam mengenai suatu perbuatan. Semua orang akan menyepakati pandangan bahwa tindakan-tindakan seperti pembunuhan dan perkosaan adalah tindakan yang paling mengancam dan paling dikutuk di antara kejahatan-kejahatan yang dapat dilakukan manusia.184 Hal tersebut demikian karena kejahatan yang menyebabkan kegelisahan terbesar pada masyarakat adalah kejahatan yang memberikan ancaman paling berbahaya terhadap keamanan pribadi.185 Kriteria keenam juga menjadi kriteria yang esensial, di mana terdapat tindakan-tindakan yang wajib dan sudah seharusnya diberikan sanksi pidana karena tidak ada sarana pengendalian sosial lain yang relevan dan mampu untuk menanganinya.186 Dengan demikian, kejahatan yang mengancam keamanan pribadi manusia sangatlah memerlukan pemberian sanksi dan pelarangan oleh peraturan. Dapat terlihat bahwa, dalam pemahaman Packer, konsep mala in se dan mala prohibita melebur; tindakan yang merupakan mala in se harus dilarang oleh undang-undang.

Kaitan pendapat Packer dengan pendapat Sumner perihal hukum dapat dilihat dengan 181 Ibid. 182 Ibid. 183 Ibid., hlm. 297. 184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid., hlm. 301.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

91

jelas; dalam pembentukan hukum, legislator harus melihat dan mendasarkan keputusannya pada kenyataan yang ada dalam masyarakat. Apabila pandangan yang berjalan dalam masyarakat mengenai sebuah tindakan adalah tindakan tersebut mengancam keamanan pribadi manusia, maka tindakan tersebut perlu dilarang melalui peraturan dan diberikan sanksi. Lebih jauh lagi, dalam proses perumusan hukum, legislator harus pula memperhatikan mores yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pemaparan mengenai sejumlah konsep sosiologis di atas telah menyediakan materi yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab sejumlah masalah yang telah diidentifikasikan di awal berkaitan dengan konsep mala in se dan mala prohibita. Perihal bagaimanakah sebuah perbuatan dapat dianggap jahat, dapat dijawab sebagai berikut: sesuai dengan penjelasan Blackstone, mala in se merupakan perbuatan yang menyalahi moral sehingga dianggap jahat. Akan tetapi, tentunya hal tersebut tidaklah cukup untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Untuk itu, perlu ditemukan benang merah yang mampu menghubungkan konsep mala in se dengan konsep-konsep sosiologis di atas. Konsep yang dapat menjadi benang merah tersebut adalah konsep tabu destruktif. Tabu destruktif merupakan tabu yang bertujuan untuk menghapuskan kejahatan dan mencegah manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain.187 Tabu destruktif termasuk ke dalam tabu yang melarang tindakantindakan yang akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat.188 Melalui rumusan tersebut, dapat dipahami bahwa mala in se termasuk ke dalam tindakan-tindakan yang dilarang oleh tabu karena mala in se merupakan kejahatan yang dapat mengancam keselamatan manusia dan dapat merugikan masyarakat. Kemudian, tabu berisikan pengetahuan yang dibentuk oleh sebuah masyarakat secara turun-temurun dan ditemukan melalui rasa sakit, kematian, atau kemalangan lain.189 Dengan begitu, mala in se merupakan tindakan-tindakan yang, selama bergenerasi-generasi, telah memberikan kemalangan kepada masyarakat tersebut. Selanjutnya, tabu merupakan bagian besar dari mores yang merupakan cara-cara manusia memenuhi kebutuhannya yang berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu.190 Dengan demikian, status kejahatan yang melekat pada mala in se hanya berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mala in se

187 Ibid., hlm. 31. 188 Ibid. 189 Ibid. 190 Ibid., hlm. 59.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

92

merupakan tindakan yang: (1) menyalahi moral, (2) dapat mengancam keselamatan manusia dan merugikan suatu masyarakat, (3) telah memberikan kemalangan kepada suatu masyarakat selama bergenerasi-generasi, dan (4) status kejahatannya berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu. Poin pertama dan poin kedua dapat menjawab pertanyaan: bagaimanakah bagaimanakah sebuah perbuatan dapat dianggap jahat? Suatu perbuatan dapat dianggap jahat apabila perbuatan tersebut menyalahi moral, dapat mengancam keselamatan manusia dan merugikan suatu masyarakat, serta telah memberikan kemalangan kepada suatu masyarakat selama bergenerasi-generasi.

Hal yang akan ditentukan selanjutnya adalah pihak yang yang menetapkan bahwa suatu perbuatan adalah jahat. Pihak tersebut dapat ditentukan dengan melihat poin ketiga dari rumusan arti mala in se yang telah dibuat, yaitu status kejahatannya berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu. Mores merupakan suatu hal yang terus berkembang dan beradaptasi mengikuti perubahan dari masyarakat tempat mores itu berasal.191 Dalam menilai sebuah mores, sangatlah penting untuk memperhatikan waktu dan tempat mores tersebut berasal karena masyarakat berbeda yang tinggal di tempat dan pada waktu yang berbeda, akan memiliki mores yang berbeda.192 Selanjutnya, karena mala in se merupakan hal yang melekat pada mores, maka persepsi mengenai status kejahatan yang dimiliki suatu tindakan tentunya akan mengikuti mores masyarakat tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pihak yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah jahat adalah masyarakat secara individu. Mala in se ditentukan oleh masyarakat secara individu. Pemaparan di atas telah menjawab pertanyaan yang dirumuskan di awal. Meski demikian, pada proses pembahasan, ditemukan sebuah masalah besar yang dikemukakan oleh sejumlah pemikir mengenai mala in se: apabila mala in se berlaku secara universal, mengapa hukum positif yang berbeda, mengatur mengenai tindakan-tindakan yang berbeda pula? Jawabannya sederhana: mala in se tidak berlaku universal. Hukum merupakan tingkat lebih tinggi dari mores dan mala in se merupakan bagian dari mores. Dalam perumusannya, hukum haruslah dibentuk berdasarkan mores. Mengingat bahwa tiap masyarakat berbeda memiliki mores yang berbeda pula, maka tindakan-tindakan berkualifikasi mala in se yang nantinya akan diundangkan ke dalam hukum positif, akan berbeda pula. 191 Ibid., hlm. 39. 192 Ibid.

93
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

III. PENUTUP

Tulisan ini mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan konsep mala in se, yaitu: (1) bagaimanakah sebuah perbuatan dapat dianggap jahat? dan (2) pihak apakah yang menetapkan bahwa suatu perbuatan adalah jahat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berhasil dijawab dengan menghubungkan konsep mala in se dengan beberapa konsep yang terdapat pada cabang ilmu sosiologi, yaitu konsep folkways, mores, dan tabu.

Tulisan ini berhasil memberikan arti baru dari konsep mala in se. Berdasarkan tulisan ini, mala in se merupakan tindakan yang: (1) menyalahi moral, (2) dapat mengancam keselamatan manusia dan merugikan suatu masyarakat, (3) telah memberikan kemalangan kepada suatu masyarakat selama bergenerasi-generasi, dan (4) status kejahatannya berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu.

Berkaitan dengan pertanyaan pertama, yaitu mengenai bagaimana sebuah perbuatan dapat dianggap jahat, jawabannya adalah sebagai berikut: suatu perbuatan dapat dianggap jahat apabila perbuatan tersebut menyalahi moral, dapat mengancam keselamatan manusia dan merugikan suatu masyarakat, serta telah memberikan kemalangan kepada suatu masyarakat selama bergenerasi-generasi.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, yaitu mengenai pihak apakah yang menetapkan bahwa suatu perbuatan adalah jahat, jawabannya adalah sebagai berikut: pihak yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah jahat adalah masyarakat secara individu. Mala in se ditentukan oleh masyarakat secara individu.

Kemudian, dalam proses pembahasan, terdapat satu masalah yang diajukan oleh sejumlah pemikir hukum, yaitu: apabila mala in se berlaku secara universal, mengapa hukum positif yang berbeda, mengatur mengenai tindakan-tindakan yang berbeda pula? Terhadap pertanyaan tersebut, tulisan ini menjawab demikian: mala in se tidak berlaku universal. Hukum merupakan tingkat lebih tinggi dari mores dan mala in se merupakan bagian dari mores. Dalam perumusannya, hukum haruslah dibentuk berdasarkan mores. Mengingat bahwa tiap masyarakat berbeda memiliki mores yang berbeda pula, maka tindakan-tindakan berkualifikasi mala in se yang nantinya akan diundangkan ke dalam hukum positif, akan berbeda pula.

Volume
94
1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Aristoteles. The Nichomachean Ethics. Diterjemahkan oleh F. H. Peters, M.A.. London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., Ltd., 1906

Beirne, Piers dan James W. Messerschmidt. Criminology: A Sociological Approach. Oxford: Oxford University Press, 2015

Bentham, Jeremy The Works of Jeremy Bentham, vol. 1 Edinburgh: William Tait, 1843.

Blackstone, William. Commentaries on the Laws of England in Four Books. Philadelphia: J.B. Lippincott Co., 1893

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New Brunswick: Transaction Publishers, 2006.

Packer, Herbert, The Limits of the Criminal Sanction. Stanford: Stanford University Press, 1983.

Sumner, William Graham Folkways: A Study of The Sociological Importance of Usages, Manners, Customs, Mores, and Morals. Boston: Ginn & Company, 1907.

II. ARTIKEL JURNAL

Gray, Richard L. “Eliminating the (Absurd) Distinction between Malum In Se and Malum Prohibitum Crimes.” Washington University Law Quarterly, Vol. 73 (1995). Hlm. 1376 1398.

Hall, Jerome. “Prolegomena To A Science Of Criminal Law.” University of Pennsylvania Law Review And American Law Register Vol. 89 (Maret 1941). Hlm. 563.

Pusat Informasi Kriminalitas Nasional Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia ”Jurnal Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri Edisi Tahun 2021.” Jurnal Tahunan Pusiknas Bareskrim Polri (2021), hlm. 94-157.

III. INTERNET

Case Western Reserve University. “What is Sociology?” https://sociology.case.edu/whatis-sociology/. Diakses 9 September 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

95

BIODATA PENULIS

Muhammad Hanif Fajar merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 kelahiran Baturaja, 2 Juli 2003. Fajar juga menjabat sebagai staf di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

96

Meninjau Disparitas Penangguhan Penahanan Wanita Tersangka Pidana dengan Tanggungan Anak

Melody Akita

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: melody.akita@ui.ac.id

Gabriela Milca

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: gabriela.milca@ui.ac.id

Abstrak

Penahanan tersangka wanita yang hamil atau memiliki anak sudah lama menjadi diskursus di Indonesia. Di Indonesia dikenal upaya penangguhan penahanan yang dapat digunakan agar tersangka wanita dapat merawat anaknya di luar tahanan untuk sementara waktu sebelum masa penahanan berakhir, tetapi dalam pemberiannya terdapat disparitas yang timbul dari diskresi penyidik. Tulisan ini akan membahas bagaimana diskresi penyidik terhadap permohonan penangguhan penahanan dalam kasus tiga tersangka wanita yang memiliki anak, yakni PC, Soyem, dan SM, serta batasan dan kritik terhadap diskresi penyidik dalam penentuan alasan subjektif penahanan dan pemberian permohonan penangguhan penahanan. Tulisan ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan jenis data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab disparitas dalam penangguhan penahanan adalah diskresi penyidik yang tidak diatur pembatasannya, walaupun demikian seharusnya diskresi penyidik tetap tunduk pada prinsip-prinsip keadilan dan proporsional.

Kata kunci: Anak, Diskresi Penyidik, Penangguhan Penahanan, Tersangka Pidana, Wanita

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

97

Abstract

Detention of female suspects who are pregnant or have children has long been a discourse in Indonesia. In Indonesia, efforts to suspend detention are known, which can be used for female suspects to take care of their children outside the prison for a while before the detention period ends. However, there are disparities in the provision that appear from the investigators' discretion. This paper will discuss how investigators' discretion works regarding requests for suspension of detention in the case of three female suspects with children named PC, Soyem, and SM, along with its limitations and criticisms in determining subjective reasons for imprisonment and granting requests for suspending detention. This paper uses a form of normative juridical research with secondary data types. Data collection was carried out by studying documents and was qualitatively analyzed. As a result of the study, we can comprehend that the cause of disparity in suspending detention is the discretion of investigators whose limitations are not regulated. Even so, investigators' discretion shall be subject to the principles of fairness and proportion.

Keywords: Children, Investigators’ Discretion, Suspension of Detention, Criminal Suspect, Woman

Volume
98
1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

I. PENDAHULUAN

Penahanan terhadap narapidana wanita yang tengah hamil, menyusui, atau memiliki anak yang masih kecil sudah cukup lama menjadi kontroversi di masyarakat karena mereka seringkali terpaksa melahirkan, menyusui, atau merawat anak kecil di penjara.193 Terjadinya hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi kemanusiaan tentang bagaimana bisa seorang anak lahir dan tumbuh di tempat seperti penjara yang mana hal ini diamini oleh seorang narapidana bernama Nicky yang juga merupakan seorang ibu bagi anaknya yang berusia 3 tahun dan 7 tahun. Narapidana tersebut bercerita bagaimana ia menyaksikan sendiri fenomena wanita hamil yang terpaksa melahirkan dan membesarkan anaknya di penjara, yang mana tentu karena penjara bukanlah tempat yang tepat dan kondusif untuk merawat anak, anak yang tumbuh di lingkungan penjara menjadi sering berkata kasar dan rentan akan kekerasan karena itulah yang mereka dengar dan saksikan sehari-hari.194

Tidak hanya itu, sebagaimana yang diketahui bahwa fasilitas di penjara masih belum memadai bagi ibu hamil dan menyusui serta bagi ruang tumbuh anak, seperti contohnya ruang menyusui yang terletak di luar blok penjara dan menyulitkan narapidana yang hendak menyusui anaknya sehingga kebanyakan para ibu tersebut menyusui anaknya di dalam kamar tahanan. Namun, cerita-cerita tersebut barulah cerita tentang bagaimana para wanita yang tengah hamil atau yang membawa anaknya ke penjara menjalani hidupnya. Di luar itu, banyak pula narapidana wanita yang karena ditahan terpaksa meninggalkan anak mereka dan harus mendengar sendiri bagaimana anak mereka diperkosa, disiksa, atau dibuang ke panti asuhan oleh orang yang ditugaskan untuk mengurusnya, atau terkadang apabila anaknya ditinggalkan tanpa pengurus maka anak itu terlantar dan hilang.195

Di sisi lain, dari sekian banyaknya kasus di mana seorang wanita terpaksa melahirkan dan merawat anaknya selagi mendekam di jeruji besi, pada kenyataannya di luar penjara ada juga beberapa wanita yang dapat mengajukan permohonan penangguhan

193Kompas, “Kisah-kisah Para Ibu yang Dipenjara Bersama Balitanya,” https://regional.kompas.com/read/2022/09/02/060600478/kisah-kisah-para-ibu-yang-dipenjara-bersamabalitanya?page=all, diakses 13 November 2022.

194Jasmine Floretta, “Kasus Nikita Mirzani, Tebang Pilih Hukum, dan Hak Ibu Narapidana,” https://magdalene.co/story/kasus-nikita-mirzani-tebang-pilih-hukum-dan-hak-ibu-narapidana, diakses 13 Novmber 2022.

195Ibid

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

99

penahanan agar ia dapat menyusui atau merawat anaknya. Salah satunya adalah istri seorang mantan Kepala Divisi Propam Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bernama Putri Candrawathi (PC) yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan berencana terhadap seorang anggota POLRI di mana pembunuhan berencana tersebut didalangi oleh suaminya sendiri.196 Adapun alasan mengapa penahanan PC ditangguhkan adalah atas alasan kesehatan, alasan kemanusiaan karena suaminya telah ditahan, dan karena PC masih memiliki balita. Pihak penyidik menerima dan mengabulkan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh PC ini dengan memerintahkan adanya wajib lapor dua kali dalam seminggu dan telah dilakukan pencekalan.197 Sebagaimana yang diketahui bahwa terkait penahanan telah diatur syarat objektif dan syarat subjektif untuk dapat dilakukannya penahanan terhadap seseorang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Syarat objektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa untuk melakukan penahanan, tindak pidana yang dilakukan harus yang terancam lima tahun pidana penjara atau lebih, atau tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam tindak pidana yang diatur secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang mengharuskan dilakukan penahanan terhadap tersangkanya. Sementara syarat subjektif diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, di mana dinyatakan bahwa hal yang mendasari untuk dilakukannya penahanan adalah karena kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.

Terkait kasus penangguhan penahanan terhadap PC atas alasan kesehatan, kemanusiaan, dan karena masih memiliki balita, beberapa pakar hukum pidana dan pengamat kepolisian berpendapat bahwa hal tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal ini karena tindak pidana yang dilakukannya adalah tindak pidana berat, yakni pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan diancam pidana mati atau pidana penjara paling lama 20 tahun sehingga teranglah bahwa berdasarkan alasan objektif seharusnya dilakukan penahanan terhadap PC. Selain itu, alasan subjektif penyidik mengenai tidak ditahannya PC karena memiliki balita

196CNN Indonesia, “Ferdy Sambo Dkk Didakwa Pembunuhan Berencana Brigadir J,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221016204752-12-861277/ferdy-sambo-dkk-didakwapembunuhan-berencana-brigadir-j, diakses 13 November 2022.

197Fachrur Rozie, “Beda dengan Putri Candrawathi, Sederet Ibu Ini Tetap Ditahan Meski Punya Anak Kecil,” https://www.liputan6.com/news/read/5058703/beda-dengan-putri-candrawathi-sederet-paraibu-ini-tetap-ditahan-meski-punya-anak-kecil, diakses 13 November 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

100

dan dianggap oleh penyidik tidak akan melarikan diri karena sudah dicekal atau merusak barang bukti tentu tidak bisa dijustifikasi mengingat begitu banyaknya narapidana wanita yang terpaksa mendekam di penjara bersama balitanya atau terpaksa meninggalkan balitanya terlantar di luaran sana selagi ia menjalani masa tahanan.198 Pada akhirnya, PC memang ditahan karena setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan fakta bahwa PC berada dalam kondisi sehat baik fisik maupun psikologisnya.199 Akan tetapi, fakta itu tetap tidak menghilangkan pertanyaan yang timbul, yakni mengapa pihak penyidik dapat melakukan penangguhan penahanan atas alasan PC masih memiliki balita sebelumnya. Kasus lain di mana permohonan penangguhan penahanan dikabulkan atas alasan kemanusiaan karena masih memiliki anak balita terjadi pada Soyem seorang tersangka tindak pidana perjudian yang masih memiliki bayi berusia 22 bulan. Oleh karena bayi tersebut apabila ditinggal tidak ada yang mengurus dan bayi masih harus menyusu, bayi tersebut akhirnya ikut dibawa ke penjara agar dapat bersama dengan Soyem. Namun, ada juga kasus di mana penangguhan penahanan tidak dapat diberikan walaupun tersangka tersebut memiliki bayi berusia enam bulan, bahkan beredar foto di mana tersangka harus menyusui balitanya dalam tahanan. Kasus tersebut adalah kasus Sayang Mandabayang yang diduga memprovokasi makar karena membawa 1500 bendera bintang kejora dalam kopernya di Bandara Rendani, Manokwari.200

Berangkat dari beberapa paparan kasus di atas mengenai adanya perbedaan perlakuan terhadap tersangka/terpidana wanita yang tengah hamil atau memiliki balita di mana ada yang tetap harus melahirkan di penjara dan merawat anaknya di penjara, membiarkan anaknya terlantar di luar selagi sang ibu mendekam di penjara, atau bahkan menerima penangguhan penahanan atas alasan kemanusiaan agar sang ibu dapat tetap merawat anaknya dengan syarat wajib lapor, maka menimbulkan beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini. Adapun pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini terdiri atas mengapa dapat terjadi adanya disparitas dalam penangguhan penahanan terhadap tersangka wanita yang tengah hamil atau memiliki balita dan bagaimana hukum

198Alinda Hardiantoro, “Kritik dari Ahli Hukum dan Alasan Tidak Ditahannya Putri Candrawathi,” https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/03/080500265/kritik-dari-ahli-hukum-dan-alasan-tidakditahannya-putri-candrawathi-?page=all, diakses 13 November 2022.

199Rahel Nahda Chaterine, “Akhirnya Putri Candrawathi Ditahan,” https://nasional.kompas.com/read/2022/09/30/14283491/akhirnya-putri-candrawathi-ditahan, diakses 13 November 2022.

200Sorongraya.co, “Meski Disorot, Ini Alasan Polisi Tolak Tangguhkan Penahanan ‘Sayang Mandabayan’” https://sorongraya.co/hukrim/meski-disorot-ini-alasan-polisi-tolak-tangguhkan-penahanansayang-mandabayan/, diakses 14 November 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

101

seharusnya mengatur hal tersebut lalu sejauh mana penyidik diberikan ruang diskresi terkait alasan subjektif untuk melakukan penahanan dan mengabulkan permohonan penangguhan penahanan beserta kritik yang dapat diajukan terhadap aturan diskresi tersebut. Kemudian, terkait sistematika penulisan pada artikel ini akan terdiri dari pendahuluan, pembahasan yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya, serta penutup.

1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

102
Volume

II.

PEMBAHASAN

A. Penahanan dan Batasan terhadap Diskresi Penyidik dalam Alasan Subjektif

Penahanan Penahanan berdasarkan Pasal 1 angka 21 KUHAP diartikan sebagai penempatan tersangka/terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik/penuntut umum/hakim dengan penetapannya, dalam perihal dan menurut cara yang diatur di KUHAP. Dalam melakukan penahanan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa penyidik melakukan tindakan penahanan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP yang mengatur mengenai alasan subjektif dan objektif dilakukannya penahanan. Penyidik untuk melakukan tindakan penahanan harus memiliki tiga dasar yang terdiri atas dasar yuridis, keadaan kekhawatiran, dan dipenuhinya syarat pada Pasal 21 ayat (1).201 Pertama, dasar yuridis atau alasan objektif merupakan tindak pidana yang oleh KUHAP diamanatkan kepada aparat penegak hukun untuk dilakukan penahanan terhadap pelakunya. Tindak pidana tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang terdiri atas tindak pidana, percobaan, atau pemberian bantuan terhadap tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahuna tau lebih dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Kedua, keadaan kekhawatiran merupakan alasan yang berfokus pada keadan dari subjektif tersangka yang membuat diperlukan untuk dilakukannya penahanan agar tersangka tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Dalam hal ini subjektivitas tidak hanya terletak pada keadaan diri tersangka, tetapi juga terhadap penilaian penyidik atas kekhawatiran yang mengharuskannya menahan tersangka tersebut. Ketiga, dipenuhinya syarat pada Pasal 21 ayat (1) adalah sebagaimana

201Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 165-168.

103
Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

narasi Pasal tersebut menyatakan bahwa penahanan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Adapun yang dimaksud dengan bukti yang cukup adalah bahwa untuk melakukan penahanan, penyidik telah menemukan bahwa tersangka diduga keras terbukti melakukan tindak pidana karena telah terpenuhinya batas minimum pembuktian dengan alat bukti sebagaimana yang tertera pada Pasal 184 KUHAP. Terlihat jelas bahwa dari KUHAP sendiri tidak diatur mengenai batasan atau ukuran penilaian subjektif penyidik dalam menentukan keadaan yang mengkhawatirkan dari diri tersangka bahwa tersangka akan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

B. Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan merupakan upaya yang dapat diajukan oleh tersangka/terdakwa untuk mengeluarkan tersangka/terdakwa dari penahanan sebelum masa penahanan berakhir.202 Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) KUHAP, penangguhan penahanan dapat diberikan dengan syarat tertentu, baik dengan atau tanpa jaminan berupa jaminan orang ataupun uang. Frasa “dapat” pada rumusan Pasal 31 ayat (1) KUHAP mengandung penafsiran bahwa dikabulkan atau tidaknya penangguhan penahanan hanya digantungkan pada diskresi aparat penegak hukum semata.203 Dalam Pasal 31 KUHAP maupun penjelasannya tidak mengatur mengenai alasan penangguhan penahanan, maka dapat disimpulkan bahwa terkait penangguhan penahanan yang menjadi permasalahan dari rumusan pasalnya adalah terkait syarat dan jaminan.204 Namun, walaupun terkait alasan penangguhan penahanan sepenuhnya menjadi kebebasan kepada aparat yang melakukan penahanan untuk menerima atau menolak permohonan penangguhan penahanan, pemberian penangguhan penahanan haruslah didasarkan pada pertimbangan yang mumpuni dari segi kepentingan individu maupun ketertiban umum, dan dilakukan dengan memperhatikan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif, dan edukatif. Terkait syarat yang ditentukan yang harus disepakati dan dipatuhi oleh tersangka/terdakwa dengan aparat berdasarkan penjelasan Pasal 31 KUHAP terdiri atas wajib lapor, tidak keluar rumah, atau kota. Sementara terkait jaminan, sebagaimana narasi dalam Pasal 31 ayat (1)

202Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 213.

203Aristo MA Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet. 3 (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 87.

204Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 215-217.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

104

KUHAP, sifatnya adalah fakultatif dan diserahkan sepenuhnya pada aparat penegak hukum apakah ingin membebankan jaminan terhadap penangguhan penahanan tersebut atau tidak. Adapun jaminan ini hanya merupakan cara agar dapat dipastikan bahwa syarat penangguhan penahanan benar-benar dipatuhi oleh tersangka/terdakwa. Terkait tata cara pelaksanaan jaminan dalam penangguhan penahanan telah diatur dalam Pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP 27/1983) dan petunjuk pelaksanaannya terdapat pada Lampiran angka 8 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Mengenai ada atau tidaknya jaminan secara normatif bukanlah merupakan dasar pertimbangan dikabulkan atau tidaknya penahanan.205 Penangguhan penahanan dengan penjaminan sejatinya serupa dengan Bail System yang ada di Inggris dan Amerika, di mana pada tahun 1066 ketika suku Norman menguasai Inggris, apabila terdapat anggota kelompok yang melakukan kejahatan maka anggota lain harus menjaminkan hartanya untuk memastikan si pelaku kejahatan dapat hadir untuk pemeriksaan di persidangan suatu hari nanti.206 Dalam penerapannya, Bail System ini memperoleh banyak kritik karena dianggap diskriminatif dalam artian lebih menguntungkan orang-orang yang memiliki status sosio-ekonomi yang baik.207 Sifat diskriminatif yang demikian juga terdapat pada sistem penjaminan dalam penangguhan penahanan di Pasal 31 KUHAP karena jaminan dalam Pasal 31 KUHAP tidak hanya terbatas pada jaminan uang, tetapi juga jaminan orang sehingga orang yang tidak memiliki status ekonomi dan sosial yang baik mungkin tidak memiliki uang untuk menjaminkan dirinya ataupun meminta orang lain untuk menjaminkan diri untuknya. Hal ini dikhawatirkan dapat memengaruhi pertimbangan aparat penegak hukum untuk mengabulkan permohonan penangguhan penahanan.208

Secara umum, Indonesia telah memiliki payung hukum yang mengatur mengenai sistem pemasyarakatan di Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan sistem

205Aristo MA Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet. 3 (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 87.

206Hazel B. Kerper, The Introduction to the Criminal Justice System, (Minnesota: West Publishing Company, 1979), hlm. 269.

207Aristo MA Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet. 3 (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 88.

208Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 85.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

105
C. Hak Tahanan Wanita

pemasyarakatan adalah seperangkat aturan mengenai arahan, batasan, dan cara untuk membina warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan yang dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai Pancasila dan dilaksanakan secara koordinatif antara pembina, warga binaan, dan masyarakat. Tujuan dilakukannya sistem pemasyarakatan ini adalah agar warga binaan dapat memperbaiki kualitas dirinya, menyadari kesalahannya, dan tidak mengulangi perbuatannya sehingga nanti ia dapat dikembalikan ke masyarakat.209 Payung hukum mengenai lembaga pemasyarakatan Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (PP 27/1983), Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (PP 58/1999), dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 32/1999).

Seorang tahanan atau narapidana tetaplah subjek hukum sehingga sudah sepatutnya ia diberikan hak-hak sesuai kodratnya dan hak-hak tersebut haruslah dilindungi dan dijamin pemberiannya oleh negara. Bagi wanita, kodratnya adalah menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, tahanan atau narapidana wanita tentu memiliki hak-hak yang lebih istimewa dibanding narapidana laki-laki atas kodratnya tersebut. Dalam UU Pemasyarakatan tahun 1995 tidak diatur secara spesifik mengenai hak-hak bagi narapidana wanita selain adanya pemisahan penempatan narapidana wanita dan laki-laki dalam lembaga pemasyarakatan atas dasar faktor keamanan dan psikologis, tetapi dalam UU Pemasyarakatan tahun 2022 diakomodasinya hak kebutuhan dasar bagi wanita dan bayi berupa peralatan khusus untuk wanita dan bayi. Aturan lain yang memberikan perlindungan terhadap hak narapidana wanita adalah Pasal 20 PP 32/1999 yang secara garis besar mengakomodasi hak untuk diberi makan sesuai petunjuk dokter bagi narapidana wanita/anak yg tengah hamil, menyusui, atau sakit, lalu anak yang lahir di lembaga pemasyarakatan dari narapidana wanita dapat diberi makanan tambahan berdasarkan petunjuk dokter hingga berusia dua tahun, setelah berusia dua tahun anak wajib diserahkan ke bapaknya atau ke sanak keluarga lain atas persetujuan ibu (narapidana wanita), dan untuk kepentingan kesehatan anak Kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat menentukan

209Tirsa D.G. Ticoalu, “Perlindungan Hukum Pada Narapidana Wanita Hamil di Lembaga Pemasyarakatan,” Lex Crimen Vol.II, No. 2 (April-Juni 2013), hlm. 127.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

106

makanan tambahan. Kemudian, bagi narapidana wanita atas kodrat yang mereka miliki mereka berhak mendapatkan dispensasi ari melakukan kegiatan yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan kandungannya dalam kebijakan-kebijakan dari masing-masing lembaga pemasyarakatan.210 Walaupun mungkin dari pengaturan-pengaturan tersebut rasanya perlindungan hak terhadap tahanan/narapidana wanita sudah cukup memadai, tetapi pada kenyataannya masih banyak lembaga pemasyarakatan yang tidak memiliki sarana prasarana yang memadai untuk mengakomodasi hak-hak tersebut seperti tenaga medis, ruang persalinan, kloset yang aman bagi wanita hamil, maupun bimbingan konseling.211 Kemudian, dari tataran hukum internasional, terdapat beberapa ketentuan yang juga berupaya melindungi hak bagi tahanan/narapidana wanita. Pertama, dalam The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR), walaupun tidak spesifik diatur mengenai perlindungan narapidana wanita, tetapi SMR mengatur penempatan yang berbeda bagi tahanan sesuai dengan kategori jenis kelamin, umur, catatan kejahatan, dan alasan hukum penahanan. Selain itu, dalam SMR juga diatur bahwa penjaga laki-laki dilarang berhubungan dengan tahanan wanita tanpa kehadiran penjaga perempuan guna menghindari adanya serangan seksual, penyiksaan, atau penganiayaan atas ketimpangan relasi terhadap tahanan wanita.212 Kedua, dalam Body of Principles for the Protection of All Persons Under Any Form of Detention for Imprisonment ditegaskan bahwa setiap tindakan yang dilakukan guna melindungi hak tahanan wanita khususnya wanita hamil dan menyusui berdasarkan hukum tidak boleh dianggap sebagai perlakuan diskriminatif dan penolakan atas perawatan kesehatan terhadap tahanan wanita merupakan hal yang dilarang dalam hukum internasional. Selain itu, hak lain yang dilindungi dalam aturan ini adalah pemisahan tempat bagi tahanan wanita dan penyediaan aparat wanita dalam lingkup peradilan yang terlatih dalam merawat anak dan wanita hamil.213 Ketiga, hak-hak fundamental terkait kesehatan warga negara yang tercantum pada International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan wajib dipenuhi oleh negara diberlakukan juga terhadap tahanan/narapidana wanita, di mana tahanan/narapidana wanita berhak memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis dalam masa kehamilan, ketika persalinan, dan pasca persalinan di tahanan serta memperoleh makanan yang layak dan bergizi demi

210Ibid., hlm. 131.

211Ibid., hlm. 131-132.

212Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolution 663c (XXIV), 31 Juli 1957.

213Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 43/173, 9 Desember 1988.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

107

kesehatan kandungannya dan keperluan menyusuinya.214

D. Kasus Posisi

Tersangka kasus pembunuhan Brigadir Joshua, Putri Candrawathi (PC), telah menjalani pemeriksaan yang mengharuskannya menjawab sebanyak 23 pertanyaan dari Tim Penyidik. Seusai pemeriksaan tersebut, PC semestinya ditahan demi kelangsungan proses peradilan. Kendati demikian, penahanan PC dinyatakan untuk ditangguhkan setelah PC melayangkan permohonan penangguhan penahanan dengan dasar Pasal 31 KUHP. Pada ayat (2) dan (3) Pasal tersebut dikatakan bahwa pihak yang seharusnya ditahan berhak untuk dibebaskan asalkan ia mengganti waktu penahanannya tersebut dengan denda yang seimbang. Ditambah dengan dasar kemanusiaan, kepentingan kesehatan PC, dan fakta bahwa PC masih memiliki balita, Tim Khusus (Timsus) Polri yang menangani kasus ini akhirnya mengabulkan permohonan PC dengan mensyaratkan PC untuk wajib lapor dua kali seminggu. Demikianlah yang diberitakan oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Agung Budi Maryoto yang ditemui di Kantor Komnas HAM Jakarta pada 1 September 2022 lalu.215 Selain kasus PC, ada pula kasus lain di mana permohonan penangguhan penahanan dikabulkan atas alasan kemanusiaan karena masih memiliki anak balita. Hal itu terjadi pada Soyem seorang tersangka tindak pidana perjudian yang masih memiliki bayi berusia 22 bulan. Oleh karena bayi tersebut apabila ditinggal tidak ada yang mengurus dan bayi masih harus menyusu, bayi tersebut akhirnya ikut dibawa ke penjara agar dapat bersama dengan Soyem. Pada akhirnya, karena hal tersebut penahanan terhadap Soyem ditangguhkan dan Soyem dilepaskan dari penjara dengan kewajiban melapor setiap pekannya untuk dapat mengurus bayinya.216 Dari kasus Soyem ini juga dapat terlihat adanya perbedaan dengan kasus PC di mana seharusnya dalam hal penangguhan penahanan, tersangka haruslah telah ditahan terlebih dahulu baru ia dapat mengajukan penangguhan penahanan yang merupakan upaya untuk mengeluarkan tersangka/terdakwa dari tahanan sebelum masa

214Yeni Handayani, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Narapidana Wanita dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional,” Jurnal Rechtsvinding (2015), hlm. 6

215Nanda Perdana Putra, “HEADLINE: Kontroversi Penangguhan Penahanan Putri Candrawathi, Cederai Rasa Keadilan?” https://www.liputan6.com/news/read/5058344/headline-kontroversi-penangguhanpenahanan-putri-candrawathi-cederai-rasa-keadilan, diakses 14 November 2022.

216Sodik, “Bayi Ikut Dibui, Penahanan Soyem Ditangguhkan,” https://daerah.sindonews.com/berita/721156/22/bayi-ikut-dibui-penahanan-soyem-ditangguhkan, diakses 13 November 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

108

penahananya berakhir atas permintaan dari tersangka/terdakwa.217

Berbeda dengan apa yang dialami Putri Candrawathi, Sayang Mandabayang (SM) yang dipidana akibat perbuatan makar pada tahun 2019 silam tidak memperoleh penangguhan penahanan. Sempat beredar pula foto SM yang terlihat sedang menyusui seorang bayi dalam kamar tahanan wanita di Polres Manokwari.218 Ketika dikonfirmasi, pihak kepolisian menyatakan bahwa SM tidak memberitahu bahwa dirinya sedang memiliki anak bayi ketika hendak menjalani masa tahanan. Pula, dalam pertimbangan kepolisian, SM tidak dapat diberikan penangguhan penahanan meskipun dalam kondisi memiliki bayi yang harus dirawatnya dengan alasan SM berpotensi akan kabur atau kembali melakukan kesalahannya.219 Hal ini terlihat timpang jika dibandingkan dengan apa yang dialami PC.

E. Penangguhan Penahanan Dalam Kasus Posisi

Penangguhan penahanan ditentukan oleh syarat objektif dan syarat subjektif. Dalam KUHAP, kedua syarat tersebut diatur dalam Pasal 31 sebagai berikut:

Pasal 31

(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan; (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pada ayat (1), tertera syarat objektif penangguhan penahanan berupa syarat yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang melakukan penangguhan penahanan. Pihak tersebut di antaranya adalah hakim, penyidik, atau penuntut umum.220 Adapun pada penjelasan Pasal 31 KUHAP, syarat yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang tersebut berupa syarat

217Puteri Hikmawati, “Politik Hukum Pidana Pemberian Penangguhan Penahanan dalam Pemeriksaan Perkara,” NEGARA HUKUM Vol. 5, No. 1 (Juni 2014), hlm. 8.

218Mohamad Adlu Raharusun, “Beredar Foto Tersangka Makar Sedang Menyusui Bayinya di Sel Penjara,” https://kumparan.com/balleonews/beredar-foto-tersangka-makar-sedang-menyusui-bayinya-di-selpenjara-1rql1yVu5K3/full, diakses 14 November 2022.

219Sorongraya.co, “Meski Disorot, Ini Alasan Polisi Tolak Tangguhkan Penahanan ‘Sayang Mandabayan’” https://sorongraya.co/hukrim/meski-disorot-ini-alasan-polisi-tolak-tangguhkan-penahanansayang-mandabayan/, diakses 14 November 2022.

220Padian Adi Salamat Siregar, “SYARAT OBJEKTIFITAS DAN SUBJEKTIFITAS

PENANGGUHAN PENAHANAN,” De Lega Lata, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember 2019), hlm. 180.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

109

wajib lapor, tidak meninggalkan rumah, serta tidak keluar kota. Sehubungan dengan penjelasan Pasal 31, Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya juga memaparkan terkait syarat objektif penangguhan penahahan, antara lain:221

a. Jika penangguhan dicabut, tersangka atau terdakwa tidak menghindar untuk kembali ditahan baik dalam penahanan kota, rumah, maupun negara;

b. Tersangka atau terdakwa berkomitmen tidak kabur dari hukuman penghentian kemerdekaan (vrijheidsstraf) jika memang ia ditahan dengan alasan menurut Pasal 21 KUHAP;

c. Tersangka atau terdakwa secara pasti akan memiliki domisili tetap; d. Syarat lainnya. Melihat kasus PC, syarat-syarat objektif tersebut sebetulnya telah disanggupi oleh PC melalui kuasa hukumnya. Hal ini terbukti pada 30 September lalu, di mana PC mulai menjalani wajib lapor ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.222 Kemudian, dalam kasus penangguhan penahanan Soyem juga demikian. Bahwa setelah penangguhan penahanannya diberikan ia diwajibkan untuk melapor ke Polses Kokap, Kulonprogo setiap pekannya.223 Pada kasus SM, belum bisa dilihat apakah SM mampu memenuhi syaratsyarat di atas atau tidak. Pasalnya, Polres Manokwari pun tidak memberikan kesempatan bagi SM untuk ditangguhkan penahanannya karena dikhawatirkan SM dapat kembali melancarkan aksi provokasi tersebut. Keputusan Polres Manokwari di sini erat kaitannya dengan penggunaan diskresi Polisi yang menentukan apakah seorang terdakwa/terpidana layak menerima penangguhan penahanan atau tidak. Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa diskresi kepolisian erat hubungannya dengan pemenuhan syarat subjektif penangguhan penahanan. Syarat subjektif ini merupakan penilaian subjektif dari pihak yang berwenang melakukan penahanaan dalam menimbang permohonan penangguhan penahanan dari pemohon beserta alasan yang diajukannya untuk kemudian dikabulkan atau ditolak.224 Syarat subjektif dalam hal

221Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan Keadilan), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), hlm. 22.

222Muhammad Syaifulloh, “Apa Itu Wajib Lapor yang Dijalani Putri Candrawathi?” https://nasional.tempo.co/read/1640040/apa-itu-wajib-lapor-yang-dijalani-putri-candrawathi, diakses 20 November 2022.

223Sodik, “Bayi Ikut Dibui, Penahanan Soyem Ditangguhkan,” https://daerah.sindonews.com/berita/721156/22/bayi-ikut-dibui-penahanan-soyem-ditangguhkan, diakses 13 November 2022.

224Padian Adi Salamat Siregar, “SYARAT OBJEKTIFITAS DAN SUBJEKTIFITAS

PENANGGUHAN PENAHANAN,” De Lega Lata, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember 2019), hlm. 178.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

110

penangguhan penahanan juga pada dasarnya berkaitan dengan syarat subjektif penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, apabila penyidik atau aparat yang melakukan penahanan menurut penilaiannya terhadap diri tersangka/terdakwa merasa khawatir bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana maka permohonan penangguhan penahanan dapat ditolak.225 Pada tahun 2017 di Polresta Barelang, salah seorang penyidiknya memberikan data alasan penangguhan penahanan yang dikabulkan yang di antaranya adalah sakit berat, tulang punggung keluarga, adanya penjamin bagi tahanan dengan pertimbangan tertentu, kepentingan situasi, dan ibu rumah tangga.226 Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan dalam bagian penangguhan penahanan di atas, bahwa penangguhan penahanan harus diberikan dengan pertimbangan yang cukup dari segi kepentingan individu maupun ketertiban umum, dan dilakukan dengan memperhatikan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif, dan edukatif.227

Dalam kasus PC, Soyem, dan SM ketiganya memiliki alasan penangguhan penahanan yang sama, yakni mereka bertiga sama-sama memiliki anak balita yang masih membutuhkan ibunya, bahkan masih ada yang menyusui, tetapi perlakuan terhadap ketiganya berbeda-beda di mana ada yang permohonan penangguhan penahanannya diberikan dan ada yang tidak. Padahal, apabila mengacu pada pertimbangan alasan permohonan penangguhan penahanan menurut Yahya Harahap, terang bahwa ada faktor psikologis dan sosiologis yang perlu diperhatikan. Seorang ibu yang memiliki anak yang masih disusui tidak mungkin dipisahkan dari anaknya. Hal ini karena pada satu sisi apabila anak tersebut dipisahkan dari ibunya, maka berpotensi terjadi hal-hal buruk sebagaimana telah dijelaskan di bagian Pendahuluan sebelumnya di mana banyak anak-anak dari narapidana tersebut yang diperkosa atau bahkan dibuang oleh orang yang seharusnya merawatnya sehingga kerap membuat seorang ibu yang berada dalam tahanan terus mengkhawatirkan keadaan anaknya, tetapi di lain sisi apabila anak tersebut dirawat ibunya di dalam penjara juga tidak baik untuk tumbuh kembangnya karena kondisi penjara yang tidak layak untuk merawat seorang anak. Alasan ini seharusnya turut menjadi pertimbangan

225Charles Situmorang, “Alasan Subyektif Dikabulkannya Permohonan Penangguhan Penahanan,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/alasan-subyektif-dikabulkannya-permohonan-penangguhanpenahanan-lt56a293e872c62, diakses 13 November 2022.

226Supianto, “Tinjauan Yuridis terhadap Penangguhan Penahanan dengan Jaminan,” Era Hukum Vol. 18, No. 1 (Juni 2020), hlm. 53.

227Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 215.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

111

bagi penyidik dalam memberikan atau menolak permohonan penangguhan penahanan bagi seorang ibu yang masih memiliki balita atau sedang hamil.

F. Diskresi Penyidik dalam Menentukan Alasan Subjektif Penahanan serta Melakukan Penangguhan Penahanan Permohonan penangguhan penahanan pada hakikatnya memang merupakan hak bagi tersangka, tetapi terkait pemberian atau penolakan terhadap permohonannya merupakan sepenuhnya wewenang penyidik.228 Demikian pula dalam hal penahanan, selain karena alasan yuridis berdasarkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, penyidik juga melakukan penahanan berdasarkan diskresi kepolisian yang dilakukan menurut hukum dan adanya ‘keperluan’.229 Penilaian yang subjektif terkait alasan penahanan dan penangguhan penahanan apabila tidak dibatasi dengan jelas maka dapat memberi jalan terhadap kesewenangan penyidik. Diskresi polisi dapat diartikan sebagai suatu langkah atau tindakan di luar aturan yang semestinya yang diambil polisi dalam rangka memastikan keamanan dan ketertiban umum. Peraturan perundang-undangan tidak memaparkan spesifik terkait diskresi polisi, namun terdapat satu Pasal yang mengakomodasi landasan yuridis bagi diskresi tersebut, yakni Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU POLRI) sebagai berikut: Pasal 18

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Adapun penjelasan ayat (1) di atas menerangkan bahwa tindakan yang diambil oleh POLRI “menurut penilaiannya” tersebut harus benar-benar memperhatikan manfaat dan resiko dari tindakan yang diambil serta ditujukan untuk kepentingan umum.

Urgensi Polri untuk menggunakan diskresinya dipengaruhi oleh beberapa faktor,

228Supianto, “Tinjauan Yuridis terhadap Penangguhan Penahanan dengan Jaminan,” Era Hukum Vol. 18, No. 1 (Juni 2020), hlm. 46.

229Christovel F. Panggey, “Analisis Hukum Acara Pidana terhadap Pertimbangan Syarat Subjektif oleh Penyidik Sebagai Dasar Penahanan Tersangka dalam Pasal 21 KUHAP,” Lex Crimen Vol. 7, No. 2 (April 2018), hlm. 95.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

112

antara lain situasi dipertemukan dengan beberapa opsi, ketentuan hukum yang multitafsir, terdapat kekosongan hukum, serta benturan antara dua aturan hukum yang mengatur persoalan yang sama.230 Jika dikaitkan pada kasus PC, dasar dan alasan Timsus Polri untuk menangguhkan penahanan yang bersangkutan dipengaruhi oleh faktor ketentuan hukum yang multitafsir. Hal ini dapat dilihat dari frasa “keadaan yang sangat perlu” terkait diskresi Polri pada Pasal 18 ayat (2) di atas. Pada kasus PC, dapat diasumsikan keadaan yang sangat perlu tersebut merujuk pada alasan kemanusiaan yang berhubungan dengan kesehatan PC serta kondisi PC yang masih mempunyai balita berusia 1,5 tahun.231 Demikian pula pada kasus Soyem, ia diberikan penangguhan penahanan atas alasan kemanusiaan karena memiliki bayi yang masih berusia 22 bulan dan karena tidak ada yang mengurus anaknya, anaknya terpaksa dibawa ikut ke dalam penjara. Sementara itu, dalam kasus SM, atas alasan yang sama hal yang sebaliknya justru terjadi. Ketika SM harus ditahan dan tidak diberikan penangguhan penahanan, SM juga sedang memiliki anak di bawah umur 1 tahun yang bahkan masih harus disusui sehingga ia bahkan terpaksa menyusui bayinya di penjara.

Frasa “keadaan yang sangat perlu” pada Pasal 18 Ayat (2) UU Polri dapat pula dihubungkan dengan Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPOLRI No. 7 Tahun 2006). Pada pasal tersebut, termaktub bahwa kewenangan Anggota Polri, termasuk diskresi, wajib diamalkan dengan berdasar kepada norma hukum dan tetap memperhatikan norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Di samping itu, penting pula untuk dikaji apakah dalam standar operasional prosedur penyidikan, kode etik kepolisian, serta asas-asas dalam KUHAP terdapat dasar yang sekiranya dapat memengaruhi atau menentukan batasan diskresi penyidik dalam melakukan penahanan terhadap tersangka menurut alasan subjektif dalam KUHAP atau dalam memberikan penangguhan penahanan. Pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana hanya menyatakan bahwa tindakan penahanan dilakukan menurut peraturan perundang-undangan sehingga dalam hal ini jelas

230Abbas Said, “TOLAK UKUR PENILAIAN PENGGUNAAN DISKRESI OLEH POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA,” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 1, No. 1 (Maret 2012), hlm. 153-154

231Tim detikNews, “Alasan Timsus Polri Tidak Tahan Putri Candrawathi: Punya Anak Balita,” https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6266954/alasan-timsus-polri-tidak-tahan-putricandrawathi-punya-anak-balita,diakses 19 Nov 2022

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

113

bahwa terkait dasar penahanan hanya mengacu pada kedua syarat subjektif dan objektif penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP tanpa penjelasan lebih dalam mengenai batasan diskresi penyidik dari syarat subjektif tersebut. Kemudian, berdasarkan kode etik kepolisian yang kini diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia juga tidak diatur mengenai batasan diskresi penyidik dalam melakukan penahanan, tetapi dalam Pasal 5 huruf c dan j diatur bahwa pejabat kepolisian dalam menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya harus proporsional, profesional, dan prosedural serta mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender. Lalu, berdasarkan Pasal 12 huruf i dari kode etik kepolisian tersebut dinyatakan bahwa pejabat kepolisian dilarang bersikap diskriminatif dalam melayani masyarakat. Selanjutnya, dalam KUHAP terdapat asas-asas yang menjadi landasan dari tiap-tiap ketentuannya. Adapun dua asas yang relevan terkait diskresi penyidik dalam melakukan penahanan ini terdiri dari asas legalitas dan keseimbangan.232 Asas legalitas merupakan asas yang terdapat dalam konsiderans huruf a dari KUHAP yang mengandung pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, negara menjamin kesetaraan setiap warga negara dalam kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan, dan setiap warga negara wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Dari narasi konsiderans tersebut dapat terlihat bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana pelaksanaan penerapannya harus bertolak pada the rule of law, yang berarti setiap tindakan dalam penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta dapat diuji dan diletakkan di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang, dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat atau disebut juga supremasi hukum. Oleh karena itu, dengan bertolak pada the rule of law dan supremasi hukum, maka aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya tidak diperbolehkan untuk bertindak di luar ketentuan hukum atau melanggar due process of law dan dilarang bertindak sewenang-wenang (abuse of power). Kemudian, asas keseimbangan merupakan asas yang terdapat dalam konsiderans huruf c KUHAP yang pada intinya mengandung unsur perlindungan terhadap harkat martabat manusia dan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya senantiasa harus menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan

232Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 36-38.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

114

menghormati perlindungan kepentingan individu di samping menjaga kepentingan masyarakat.

Kemudian, terkait penentuan alasan subjektif dalam penahanan sendiri menurut Eddyono terdapat dua indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya. Hal yang pertama, untuk melihat kemungkinan tersangka/terdakwa melarikan diri dapat dilihat dari tingkat mobilitas, pekerjaan, keluarga, dan ada atau tidaknya domisili tetap. Kemudian, terkait kemungkinan tersangka/terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti dapat dilihat dari berapa banyak barang bukti yang dapat diperoleh penyidik atau dapat pula dilihat dari bagaimana sekiranya akses, kemampuan, dan dukungan terhadap tersangka/terdakwa selama menjalani proses peradilan.233 Pada hakikatnya mengenai alasan subjektif memang tidak dapat diukur ataupun dibuktikan karena hanya didasarkan pada kekhawatiran belaka sehingga apabila tidak ada kekhawatiran bahwa tersangka akan melakukan tindakan-tindakan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak perlu dilakukan penahanan.234 Namun, apabila penggunaan alasan subjektif yang bergantung pada diskresi penyidik dalam penahanan ini tidak dibatasi maka dapat menimbulkan hukum yang diskriminatif dan hal ini tentu melanggar prinsip kepastian hukum dan keadilan dalam sistem hukum Indonesia.235

G. Pengaruh Jaminan dalam Penangguhan Penahanan terhadap Dikabulkannya Permohonan Penangguhan Penahanan Sebagaimana yang diketahui, bahwa pada faktanya tidak semua permohonan penangguhan penahanan dikabulkan. Hal ini umumnya terjadi karena aparat yang melakukan penahanan tidak memiliki kepercayaan terhadap pemohon penangguhan penahanan tersebut. Sebagaimana narasi dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP bahwa penangguhan penahanan dapat diberikan dengan jaminan maupun tanpa jaminan. Namun, walaupun jaminan pada penangguhan penahanan sifatnya fakultatif, pada akhirnya akibat penyidik kurang percaya pada pemohon penangguhan penahanan, mungkin saja jaminan menjadi salah satu pertimbangan bagi penyidik untuk mengabulkam permohonan penangguhan penahanan agar penyidik merasa lebih mendapat kepastian bahwa

233Supriyadi Widodo Eddyono, Praperadilan di Indonesia: Teori Sejarah dan Prakteknya, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 89.

234Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana: Perkembangan dan Pembaruannya di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 91.

235Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana: Teori, Asas, dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 78.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

115

tersangka/terdakwa tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.236

Bahwa memang menurut Yahya Harahap sendiri, sebuah penangguhan penahanan tetap sah walaupun diberikan tanpa jaminan. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa memang sebaiknya penangguhan penahanan tetap diikuti dengan jaminan agar syarat penangguhan penahanan benar-benar ditaati oleh tersangka selaku penerima penangguhan penahanan dan bahwa dengan adanya jaminan dalam penangguhan penahanan maka hal itu lebih dapat dipertanggungjawabkan dalam mencegah kemungkinan tersangka melarikan diri.237 Bahkan dalam suatu wawancara dengan seorang penyidik di Polresta Barelang sendiri, penyidik menyatakan bahwa salah satu alasan dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan adalah jaminan baik jaminan orang maupun uang, selain daripada alasan tersangka dalam mengajukan permohonan penangguhan penahanan, status sosial tersangka dan penjaminnya, serta tindak pidananya.238

H. Kritik terhadap Diskresi Penyidik dalam Penentuan Alasan Subjektif Penahanan dan Pemberian Penangguhan Penahanan Setelah memaparkan mengenai bagaimana diskresi penyidik dalam menentukan alasan subjektif pada penahanan maupun pemberian penangguhan penahanan, dapat dilihat masih adanya kekurangan-kekurangan yang dapat menjadi poin kritik untuk perbaikan sistem hukum acara pidana di masa depan. Pertama, adalah terkait ‘bukti yang cukup’ untuk syarat subjektif penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP hanya mengacu pada bukti bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana, bukan termasuk bukti yang cukup yang menunjukkan bahwa tersangka akan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yakni melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Pada kenyataannya untuk menilai suatu keadaan merupakan keadan yang mengkhawatirkan itu sifatnya sangat subjektif dan apabila hal ini diserahkan sepenuhnya pada diskresi penyidik maka dapat menimbulkan kesewenang-wenangan padahal penahanan berkaitan erat dengan pelanggaran atas hak kebebasan yang menjadi hak asasi manusia sehingga harus dibatasi wewenangnya. Oleh

236Padian Adi Salamat Siregar, “SYARAT OBJEKTIFITAS

DAN SUBJEKTIFITAS

PENANGGUHAN PENAHANAN,” De Lega Lata, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember 2019), hlm. 178.

237Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 217.

238Supianto, “Tinjauan Yuridis terhadap Penangguhan Penahanan dengan Jaminan,” Era Hukum Vol. 18, No. 1 (Juni 2020), hlm. 56.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

116

karena itu, menurut hemat Penulis seharusnya penentuan syarat subjektif ini didasarkan pada bukti yang dapat menunjukkan bahwa tersangka/terdakwa akan melakukan tindakantindakan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP seperti adanya bukti membeli tiket pesawat ke luar negeri yang dapat menunjukkan bahwa ia hendak melarikan diri atau menyiapkan alat sejenis dengan yang ia gunakan untuk melakukan tindak pidana sebelumnya guna mengulangi tindak pidananya.239

Kedua, terkait alasan penangguhan penahanan yang sama sekali tidak diatur mengenai batasannya atau alasan seperti apa yang dapat dikabulkan dan yang tidak, dalam hal ini Penulis sependapat dengan Yahya Harahap yang menyatakan bahwa seharusnya alasan-alasan terkait hal itu diberi batasan dengan mempertimbangkan segi sosial, psikologis, preventif, korektif, maupun edukatif agar lebih ada kepastian hukum bagi tersangka/terdakwa yang ingin mengajukan penangguhan penahanan.240 Ketiga, terkait jaminan dalam penangguhan penahanan yang pada rumusan Pasal 31 ayat (1) KUHAP dapat ditafsirkan bahwa keberadaan jaminan merupakan hal fakultatif, tetapi apabila memang pada dasarnya jaminan menjadi salah satu dasar pertimbangan aparat yang melakukan penahanan untuk mengabulkan permohonan penangguhan penahanan dengan alasan apabila ada jaminan maka akan merasa lebih pasti bahwa tersangka tidak akan melakukan tindakan-tindakan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, sebaiknya rumusan terkait jaminan dalam penangguhan penahanan yang sifatnya fakultatif diubah menjadi rumusan yang sifatnya conditio sine qua non atau wajib dipenuhi di samping syarat tertentu yang diberikan oleh aparat pemberi penangguhan penahanan. Keempat, terkait aturan mengenai jaminan penangguhan penahanan dapat diajukan kritik bahwa berdasarkan Pasal 35 PP 27/1983 seharusnya uang jaminan diserahkan ke panitera Pengadilan Negeri dengan diberikan tanda terima, tetapi pada praktiknya seringkali uang jaminan langsung diserahkan kepada penyidik tanpa diberikan tanda terima, atau apabila telah terbukti bersalah menurut peraturan seharusnya uang jaminan dikembalikan kepada penjaminnya atau kepada terpidana, tetapi dalam banyak kasus uang jaminan tidak dikembalikan.241 Kelima, bahwa seharusnya diskresi penyidik atas penahanan dan penangguhan penahanan mematuhi aturan-aturan dalam Kode Etik

239Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, ed. 2, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 167.

240Ibid., hlm. 215.

241Hukumonline, “Penangguhan Penahanan dengan Uang Jaminan Perlu Diperjelas,” https://www.hukumonline.com/berita/a/penangguhan-penahanan-dengan-uang-jaminan-perlu-diperjelashol13271?page=1, diakses 13 November 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

117

Kepolisian yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, non diskriminatif, dan mengutamakan kesetaraan gender. Kemudian, sebagaimana asas yang melandasi ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang di antaranya adalah asas legalitas dan keseimbangan, seharusnya ada ukuran yang lebih jelas mengenai batasan-batasan terhadap penentuan alasan subjektif penahanan dan penangguhan penahanan.

III. PENUTUP

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan terjadinya disparitas dalam penangguhan penahanan bagi tersangka wanita yang dalam tulisan ini berfokus pada kasus PC, Soyem, dan SM walaupun ketiganya memiliki alasan permohonan penangguhan penahanan yang sama, yakni karena masih memiliki balita, adalah akibat dari diskresi penyidik. Adapun terkait diskresi penyidik ini menurut hemat Penulis pembatasannya selama belum diatur dalam KUHAP atau peraturan turunannya, maka harus tunduk pada prinsip-prinsip yang mengedepankan keadilan, non diskriminatif, mengutamakan keadilan gender, legalitas, dan proporsional serta penilaian seharusnya didasarkan pada bukti nyata. Hal ini karena penahanan dan penangguhan penahanan berkaitan erat dengan hak asasi manusia di mana kebebasan seorang individu terpaksa direnggut maka apabila tidak dibatasi tentu dapat merugikan seseorang dan melanggengkan kesewenangan aparat yang memiliki wewenang dalam melakukan penahanan.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

118

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Binacipta, 1996.

Eddyono, Supriyadi Widodo. Praperadilan di Indonesia: Teori Sejarah dan Prakteknya Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2014.

Effendi, Tolib. Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana: Perkembangan dan Pembaruannya di Indonesia. Malang: Setara Press, 2014.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Ed. 2. Cet. 15. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Kasim, Ramdhan dan Apriyanto Nusa. Hukum Acara Pidana: Teori, Asas, dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Malang: Setara Press, 2019.

Kerper, Hazel B. The Introduction to the Criminal Justice System. Minnesota: West Publishing Company, 1979.

Pangaribuan, Aristo MA, Arsa Mufti dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet. 3. Depok: Rajawali Press, 2020.

Prodjohamidjojo, Martiman. Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan Keadilan) Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989.

Artikel

Handayani, Yeni. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Narapidana Wanita dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional.” Jurnal Rechtsvinding (2015). Hlm. 1-7 Hikmawati, Puteri. “Politik Hukum Pidana Pemberian Penangguhan Penahanan dalam Pemeriksaan Perkara.” NEGARA HUKUM Vol. 5, No. 1 (Juni 2014). Hlm. 1-18. Panggey, Christovel F. “Analisis Hukum Acara Pidana terhadap Pertimbangan Syarat Subjektif oleh Penyidik Sebagai Dasar Penahanan Tersangka dalam Pasal 21 KUHAP.” Lex Crimen Vol. 7, No. 2 (April 2018). Hlm. 89-96. Said, Abbas. “TOLAK UKUR PENILAIAN PENGGUNAAN DISKRESI OLEH POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA.” Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 1, No. 1 (Maret 2012). Hlm. 147-170. Siregar, Padian Adi Salamat. “SYARAT OBJEKTIFITAS DAN SUBJEKTIFITAS PENANGGUHAN PENAHANAN.” De Lega Lata, Vol. 4, No. 2 (Juli-Desember

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

119

2019). Hlm. 175-188. Supianto. “Tinjauan Yuridis terhadap Penangguhan Penahanan dengan Jaminan.” Era Hukum Vol. 18, No. 1 (Juni 2020). Hlm. 43-59. Ticoalu, Tirsa D.G. “Perlindungan Hukum Pada Narapidana Wanita Hamil di Lembaga Pemasyarakatan.” Lex Crimen Vol.II, No. 2 (April-Juni 2013). Hlm. 125132.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pelaksanaan KUHAP, PP No. 27 Tahun 1983, LN No. 36 Tahun 1983, TLN No. 3258.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, PP No. 58 Tahun 1999, LN No. 112 Tahun 1999, TLN No. 3858.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846.

Dokumen Internasional

Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolution 663c (XXIV). 31 Juli 1957.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 43/173. 9 Desember 1988.

Internet

Catherine, Rahel Nahda. “Akhirnya Putri Candrawathi Ditahan.” https://nasional.kompas.com/read/2022/09/30/14283491/akhirnya-putricandrawathi-ditahan. Diakses 13 November 2022. CNN Indonesia. “Ferdy Sambo Dkk Didakwa Pembunuhan Berencana Brigadir J,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221016204752-12-861277/ferdysambo-dkk-didakwa-pembunuhan-berencana-brigadir-j. Diakses 13 November 2022.

Floretta, Jasmine. “Kasus Nikita Mirzani, Tebang Pilih Hukum, dan Hak Ibu Narapidana.” https://magdalene.co/story/kasus-nikita-mirzani-tebang-pilih-

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

120

hukum-dan-hak-ibu-narapidana. Diakses 13 Novmber 2022. Hardiantoro, Alinda. “Kritik dari Ahli Hukum dan Alasan Tidak Ditahannya Putri Candrawathi.” https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/03/080500265/kritikdari-ahli-hukum-dan-alasan-tidak-ditahannya-putri-candrawathi-?page=all.

Diakses 13 November 2022. Hukumonline. “Penangguhan Penahanan dengan Uang Jaminan Perlu Diperjelas.” https://www.hukumonline.com/berita/a/penangguhan-penahanan-dengan-uangjaminan-perlu-diperjelas-hol13271?page=1. Diakses 13 November 2022

Kompas. “Kisah-kisah Para Ibu yang Dipenjara Bersama Balitanya.” https://regional.kompas.com/read/2022/09/02/060600478/kisah-kisah-para-ibuyang-dipenjara-bersama-balitanya?page=all. Diakses 13 November 2022. Putra, Nanda Perdana. “HEADLINE: Kontroversi Penangguhan Penahanan Putri Candrawathi, Cederai Rasa Keadilan?” https://www.liputan6.com/news/read/5058344/headline-kontroversi-penangguhanpenahanan-putr i-candrawathi-cederai-rasa-keadilan. Diakses 14 November 2022.

Raharusun, Mohamad Adlu. “Beredar Foto Tersangka Makar Sedang Menyusui Bayinya di Sel Penjara.” https://kumparan.com/balleonews/beredar-foto-tersangkamakar-sedang-menyusui-bayinya-di-sel-penjara-1rql1yVu5K3/full. Diakses 14 November 2022.

Rozie, Fachrur. “Beda dengan Putri Candrawathi, Sederet Ibu Ini Tetap Ditahan Meski Punya Anak Kecil.” https://www.liputan6.com/news/read/5058703/beda-denganputri-candrawathi-sederet-para-ibu-ini-tetap-ditahan-meski-punya-anak-kecil. Diakses 13 November 2022.

Syaifulloh, Muhammad. “Apa Itu Wajib Lapor yang Dijalani Putri Candrawathi?” https://nasional.tempo.co/read/1640040/apa-itu-wajib-lapor-yang-dijalani-putricandrawathi. Diakses 20 November 2022.

Situmorang, Charles. “Alasan Subyektif Dikabulkannya Permohonan Penangguhan Penahanan.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/alasan-subyektifdikabulkannya-permohonan-penangguhan-penahanan-lt56a293e872c62. Diakses 13 November 2022.

Sodik. “Bayi Ikut Dibui, Penahanan Soyem Ditangguhkan.” https://daerah.sindonews.com/berita/721156/22/bayi-ikut-dibui-penahanansoyem-ditangguhkan. Diakses 13 November 2022.

Sorongraya.co. “Meski Disorot, Ini Alasan Polisi Tolak Tangguhkan Penahanan ‘Sayang

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

121

Mandabayan’.” https://sorongraya.co/hukrim/meski-disorot-ini-alasan-polisitolak-tangguhkan-penahanan-sayang-mandabayan/. Diakses 14 November 2022. Tim detikNews. “Alasan Timsus Polri Tidak Tahan Putri Candrawathi: Punya Anak Balita.” https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6266954/alasantimsus-polri-tidak-tahan-putri-candrawathi-punya-anak-balita. Diakses 19 November 2022.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

122

BIODATA PENULIS

Melody Akita merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Jakarta, 20 November 2001. Melody bergabung di organisasi LK2 FHUI dan Center of Health Law and Policy (CHLP) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Gabriela Milca merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Jakarta, 19 Maret 2002. Gabriela bergabung di organisasi LK2 FHUI.

Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

123

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.