Tribune Express LK2 Intern 2022 - Esai Kritis: Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset

Page 1

“Gouverner c'est prevoi” menjalankan pemerintahan berarti melihat ke depan dan menjalankan apa yang harus dilakukan. Begitulah sebuah adagium tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik. Namun, bagaimana jika pemerintahan yang berjalan justru malah melakukan tindakan kelaliman, seperti melakukan tindakan korupsi. Korupsiadalahtindakanmerampasasetnegarayang merupakan hak negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk menyejahterakan rakyatnya yangberakibatrakyatkehilanganhak-hakdasaruntuk hidup sejahtera.1 Korupsi telah menjangkiti kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga telah menghancurkan peradaban dan pembangunan bangsa. Perlu diingat bahwa tindakan tersebut tidak hanya sekadar merugikan keuangan negara, tetapi lebih daripada itu. Korupsi berdampak pada sektor strategis dalam tata kelola pemerintahan. Dalam bidang ekonomi, Stephen J.H Dearden

1 Michael Levi, “Tracing and Recovering the Proceeds of Crime,” Cardiff University, Wales,UK,Tbilisi,Georgia,2004,hlm17

KoruptorTidakAkanMatiJikaDipidana,TetapiKoruptorAkanMatiJika Dimiskinkan:UrgensiPengesahanRancanganUndang-UndangPerampasan Aset Oleh:HervinJulianto StafMagangBidangLiterasidanPenulisan Sumber:Viva

5

2

mengemukakan bahwa korupsi memperlambat penanaman modal asing.2 Di bidang politik, Sun Manit mengemukakan bahwa korupsi mendemoralisasi populasi dan mengakibatkan berkurangnya keyakinan terhadap institusi-institusi negara.3 Mirisnya praktik korupsi di Indonesia dilakukan tidak hanya dari kalangan elite birokrasi saja, tetapi juga kalangan bawah pemerintah seakan korupsiadalahtindakanbiasayangmenjadibudayapejabatnegara.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2004 hingga 20 Oktober 2022, (KPK) telah menangani 1.310 kasus tindak pidana korupsi. Menurut laporan KPK tersebut, tindak pidana korupsi mayoritas dilakukan oleh instansi pemerintah kabupaten/kota yakni sebanyak 537 kasus sejak 2004 hingga 20 Oktober 2022. Di sisi lain, instansi kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi ada sebanyak 406 kasus dan 160 kasus.4 Selain itu, skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tergolong di bawah rata-rata. Skor CPIadalahsebuahgambarantentangsituasidankondisikorupsipadalevelnegara atau teritori. Padatahun2021,Indonesiamemperolehskor38denganranking96.5 Dengan banyaknya kasus dan rendahnya perolehan skor (CPI), tentu kerugian yang dialami oleh negara juga sangat banyak. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), totalkerugianakibattindakpidanakorupsidiIndonesia mencapai Rp62,93 triliun pada 2021. Nilai kerugian itu naik 10,91% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp56,74 triliun. Melihat besarnya kerugian dari tindak korupsi tersebut, tentunya memperjelas besarnya penderitaan masyarakat akibat kerugian tindak korupsi yang berakibat pada kemiskinan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Padahal, di satu sisi, (KPK) telah dibentuk sebagai penguat penegakkan hukum Kepolisian dan Kejaksaan

Stephen J.H., Deardeb, “Corruption and Economic Development,” Manchester Metropolitan University, Dapartement of Economic, DSA European Development Policy Study Group,DiscussionPaperNo 18,October200,hlm2

3

Sum Manit, “Legal Framework to Deter Corruption,” a Presentation in Internasional Conference on The legal Framework to Deter Corruption,hlm3

4 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Statistik TPK Berdasarkan Jenis Perkara,” https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkara,diakses18November 2022

TransparencyInternasional,“IndeksPersepsiKorupsi2021:Korupsi,HakAsasiManusia DanDemokrasi,”

https://tiorid/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-dan-demokrasi/,diakses 18November2022

9

6

dalam memberantas korupsi. Akan tetapi, upaya tersebut belum mampu untuk memperbaikikeadaanakibattindakkorupsiyangtergambardalamrendahnyaskor perolehan(CPI).

Perlu diketahui bahwasannya tindakan korupsi adalah tindak pidana dengan motif ekonomi. Awalnya hanya bersifat konvensional, seperti pencurian, penipuan dan, penggelapan. Akan tetapi, permasalahan korupsi dewasa ini sangatlah kompleks dan menjadi kejahatan transansional.6 Hal ini karena melibatkan pelaku yang terpelajar 7 Banyakasethasiltindakkorupsiyangdiambil oleh para koruptor dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil daritindak korupsi yang disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang membuat pelacakan aset menjadi sulit.8 Dengan demikian, korupsi dapat dikualifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional terorganisir khususnya korupsi yang dilakukan dalam skala besar, sebab korban akibat tindak korupsi tidak hanya terbatas dalam suatu negara saja, tetapi juga melibatkandanmengakibatkankerugianpadanegaralain.9

Negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset, tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktik dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.10 Berangkat dari hal ini, diskursus mengenai perampasan aset yang melibatkan hubungan antarnegara menjadi suatu perhatian yang penting. Selain itu, pembahasan terkait penyitaandanperampasan

YaraEsquitel,“The United Nations Convention against Corruption and Asset Recovery: the Trail to Repatriation,” Basel Institute on Governance (2009),hlm21

7

Dr.Ramelan,S.H.,M.H,“LaporanAkhirNaskahAkademik RancanganUndang-Undang TentangPerampasanAsetTindakPidana,”PusatPerencanaanPembangunanHukumNasional BadanPembinaanHukumNasionalKementerianHukumDanHakAsasiManusiaRI ,Jakarta, 2012,hlm2.

8

PakuUtama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi,(Jakarta: UniversitasIndonesiaPerpustakaan,2008),hlm2

DadangSiswanto,“KorupsiSebagaiBentukKejahatanTransnasionalTerorganisir,” MMH Jilid42,No 1(Januari2013),hlm129

10 Ibid ,hlm 3

hasil tindak korupsimenjadibagianpentingdariupayamenekantingkatkorupsi.11 Perampasan aset diatur dalam Bab V United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) sebagai penekanan akan pentingnya perampasan hasil tindak korupsi. Indonesia telah meratifikasi (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi. Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia merupakan negara pihak dari (UNCAC). Indonesia seharusnya memiliki legal standing yang sama dalam melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan perampasan aset yang diperolehsecaraillegaldandilarikankeluarnegeri.

UNCAC memberikan paksaan bagi para negara terlibat untuk wajib menerapkan kewajiban-kewajiban yang tercantum didalamnya termasuk sanksi yang terkandung bagi negara terlibat. Salah satu materi penting adalah asset recovery atau pengembalian aset yang dilarikan ke luar yuridiksi negara asal secara sistematisdengankerjasamainternasional. HalinidiaturdalamChapter V Asset Recovery (UNCAC) Pasal 51. Pasal itu secara tegas menyatakan bahwa pengembalian aset adalah prinsip mendasar sehingga negara anggota konvensi diharapkan dapat bekerja sama dalam membantu mengembalikan aset yang dimaksud dalam konvensi tersebut. Tentunya, upaya dalam mengembalikan aset yang berada di luar negara yuridiksi akan dipermudah dengan adanya ketentuan yang secara tegas menyatakan bahwa upaya pengembalian aset adalah suatu prinsipmendasaryangharusdihormatidandilaksanakannegara-negaraterlibat.12

Indonesia memang sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi ini sudah sejak lama dalam sejarah perkembangannya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak korupsi yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-kelemahan, misalnya fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak korupsi masih terbatas pada pengembalian aset yang ada di dalam negeri, tetapi ketentuan pengembalian aset

11

NaskahAkademikRancanganUndang-Undangtentang PerampasanAsetTindakPidana, PusatPerencanaanPembangunanHukumNasionalBadanPembinaanHukumNasional KementrianHukumdanHakAsasimanusiaRepublikIndonesia,2012,hlm.13.

12

KausarDwiKususma,“KajianYuridisPerampasanAset HasilTindakPidanaKorupsi MelaluiSaranaMutualLegalAssistance,”SkripsiUniversitasBrawijaya,Malang,2019,hlm 13

yang ditempatkan di luar negeri tidak ada. Selain itu, memang kerjasama internasional tentang pengembalian asetnya sudah ada, tetapi apakah peraturan perundang-undangan tersebut sudah diatur sebagai kewenangan negara? Dengan kata lain, belum adanya peraturan perundang-undangan yang sah yang berlandaskan ketentuan (UNCAC) untuk melakukan pengembalian aset. Hal ini didukung dengankenyataanbahwatindakkorupsisekaranginisudahberkembang sangat jauh dibandingkan ketentuan-ketentuan yangberlakusehinggaperaturanya tidak bisa bermain dengan peristiwa konkritnya. Belum adanya pembaharuan perundang-undangan baik yang berkaitan dengan hukum materil maupun hukum acaranya menjadi sebuah masalah sehingga belum dapat memaksimalkan pengembalian aset tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pembaharuan hukumtentangperampasanasetini.

Upaya konkrit yang dilakukan pemerintah dalam pembaharuan tersebut adalah dengan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset pada tahun 2008.13 Rancangan ini tetap memperhatikan dan mempetimbangkan kedaulatan nasional yang memiliki keterikatan untuk mengambil langkah-langkah yang digagas dalam konvensi UNCAC. Indonesia sudah menjadikannya sebagai usulan produk hukum (RUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak tahun 2012 melalui pembuatan Naskah Akademis. Jika dilihat secara umum, isi materi RUU Perampasan Aset sangatlah revolusional. Dalam proses penegakan hukumnya terhadap perolehan hasil kejahatan. Hal ini dapat tergambarkan dari tiga perubahan paradigmadalam penegakan hukum pidana, yaitu pertama, pihak yang didakwa dalamsuatutindak pidana, tidak hanya subjek hukum sebagai pelaku, tetapi juga aset yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Kedua,mekanisme peradilan terhadaptindak pidana yang dipakai merupakan mekanisme peradilan perdata. Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya. Hal ini disebabkan (RUU) Perampasan Aset ditujukanuntukmengejarasethasilkejahatan,bukanterhadappelakukejahatan.

13

PhilippaWebb,dalamWahyudiHafiludinSadeli,“Implikasi PerampasanAsetTerhadap PihakKetigaYangTerkaitDalamTindakPidanaKorupsi”,ProgramPascaSarjanaMagister HukumFakultasHukumUniversitasIndonesia(2010),hlm 32

Dalam prinsip internasional terdapat dua jenis perampasan aset.14 Jenis perampasan aset tersebutadalahdenganmekanismeperampasan In Personam dan mekanisme perampasan In Rem Perampasan In personam (perampasan pidana), merupakan tindakan yang ditujukan kepada diri seseorang atau yang dikejar adalah orangnya secara personal. Tindakan tersebut adalah bagian dari sanksi pidana sehingga harus dilakukan berdasarkan suatu putusan peradilan pidana. Dengan kata lain, Jaksa harus membuktikan bahwa aset yang akan dirampas merupakan hasil atau sarana dari sebuah tindak pidana. Selain itu, permohonan perampasan aset harus diajukan bersama dengan berkas penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan, jenis perampasan aset yang kedua merupakan mekanisme perampasan in rem atau perampasan perdata, Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture. Inti dari perampasan aset dengan menggunakan mekanisme In rem adalah gugatan terhadap asetnya atau barang hasil tindak pidana bukan terhadap orang. Mekanisme ini merupakan tindakan terpisah dari proses peradilan pidana dan membutuhkan bukti bahwa suatu properti telah tercemar oleh suatu tindakan kejahatan atau si tergugat tidak bisa menjelaskan dari mana ia mendapatkan aset tersebut.15 Mekanisme kedua inilah yang terdapat didalammateri(RUU)PerampasanAset.

Dalam Pasal 1 No. 8 (RUU) Perampasan Aset, definisi Perampasan In Rem adalah suatu tindakan negara yang mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana. Di Pasal tersebutdisebutbahwaasetyangdidugaberasaldaritindakpidanadisidangdalam pengadilan perdata. Mekanisme tersebut dilakukan murni dalam dugaan kasus tindak pidana dengan penjatuhan putusan berupa pengambilalihan aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana tanpa disertai dengan sanksi pidana

14 BarbaraVettori, Tough on Criminal Wealth: Exploring the Practice of Proceeds from Crime Confiscation in the EU,(Doordrecht:Springer,2006),hlm.8-11.

15 Pencemaran yang dimaksud disandarkan pada “Taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana dianggap menodai properti yang digunakan atau didapatkan dari tindak pidana David Scoott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response” The Guilt of The Res: 28th Suffolk University Law Review, (1994), hlm 390

terhadap pelaku kejahatannya.16 Hal ini logis karena yang dihadapkan ke pengadilanolehpenuntutumumadalahasetnyaitusendiribukanpelakunya.

Perampasan secara perdata ini sangat masuk akal mengingatkorupsitelah menjadi kejahatan terorganisir lintas negara sehingga tidak mudah untuk menanganinya. Pengejaran terhadap aktor utama kejahatan modern ini seringkali menghadapi kegagalan demi kegagalankarenasulitnyamenemukanjejakmereka. Selain itu, aktor utamanya seringkali adalah orang penting yang hanya memberikan perintah dan menerima keuntungan.17 Oleh karena itu, pilihan untuk mengejar aset hasil kejahatan adalah pilihan yang rasional mengingat dunia kejahatan yang semakin kompleks. Apalagi, tindak korupsi itu mengakibatkan kerugian pada negara sehingga harus dipulihkan karena menyangkut perekonomiandanhakwarganegara.

Namun, tidak semuaasetdapatdirampas.Pasal2(RUU)Perampasan aset mengaturbahwaasetyangdapatdirampasdenganUndang-Undanginiadalah

1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yangdiperolehdari kekayaan tersebut.

2. Aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukantindakpidana.

3. AsetlainnyayangsahsebagaipenggantiAsetTindakPidana;atau

4. Aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari tindakpidana. Dasar dapat dilakukannya perampasan aset, yakni setiap orang yang memiliki aset yang tidak seimbang yang dianggap tidak wajar dengan penghasilannya atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya serta tidak dapat membuktikan asal-usul perolehannya secara sah, maka aset tersebut dapat

16

R Saputra, “Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan AsetdiIndonesia,” Integritas: Jurnal Antikorupsi,(2017),hlm123

17 Ibid , hlm121

dirampas oleh (RUU) Perampasan Aset.18 Selain itu, pada Pasal 14 diatur bahwa perampasan aset tetap dilakukan dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, mengalami sakit permanen, atau menghilang tidak diketahui keberadaannya,ataubahkanterdakwanyadiputuslepasdarisegala tuntutan hukum. Hal ini sangatlah menguntungkan mengingat banyak koruptor yang melarikan diri ke luar negari atau mengaku sakit dengan tujuan menunda peradilan. Selain itu, perampasan juga dilakukan terhadap aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan atau telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hariternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas. Melihat potensi-potensi tersebut, (RUU) Perampasan Aset dinilai lebih efektif daripadaHukumpositifyangberlakusekarangyangmengaturperampasanaset.

Hal ini karenakebijakanperampasanasethasiltindakkorupsidiIndonesia menurut hukum positif adalah melalui mekanisme pidana diaturpada UUNo.31 Tahun 1999 Pasal 28 ayat (1) yang menyebutkan bahwa selain pidana tambahan menurut(UU)TindakPidanaKorupsi(Tipikor)adalah

1. Perampasanyangdigunakanataudiperolehdaritindakpidanakorupsi.

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama denganhartabendayangdiperolehdaritindakpidanakorupsi. Jika mengkaji dari pasal tersebut, tindakan perampasan asetnya diatur dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak korupsi yang mengupayakan untuk mengembalikan hasil kejahatan sehingga aset yang dirampas dijadikan sebagai sanksi pidana tambahan. Akan tetapi, jika perampasannya dilakukan melalui mekanisme seperti ini, terdapat kelemahan yang salah satunya adalah tindak pidana umumnya hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap sehingga apabila putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap atau sang tergugat belum terbukti bersalah atau menjadi pelaku, maka pidana tambahan berupa perampasan aset maupunuangpenggantitidakdapatdieksekusi.

18 Ramelan(Penys),“NaskahAkademikRancanganUndang-UndangTentangPerampasan AsetTindakPidana,BadanPembinaanHukumNasional,”Jakarta,2012,hlm 169

Kelemahan lainnya adalah penggunaan prinsip hukum tambahan. Pidana tambahan yang terdapat pada UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 18 ayat (1) yang menjadi dasar perampasan aset hasil tindak pidana korupsi masih bersifat fakultatif bukan merupakan sebuah keharusan atau imperatif untuk dijatuhkan oleh hakim pada putusannya. Jika hal ini terjadi, pada prakteknya hakim dapat saja menjatuhkan pidana pokok tanpa menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasanasetterpidanaataubentuklainyakniuangpengganti.Tentunyahalini mengingkaritujuanpemberantasankorupsiyangtercantumdalam(UNCAC)yang salah satunya mengembalikan aset negara yang dicuri oleh pelaku tindak pidana korupsi tentu tidak akantercapai.Negaraakanterusmenerusmengalamikerugian dan para koruptor masih bisa menikmati hasil korupsi saat ia terbebas dari hukumanpidana.

Dari pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP), pada Pasal 39 KUHAP diatur ketentuan barang-barang yang dapat dikenakan penyitaan. Barang tersebut adalah benda atau tagihan tersangka yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana, benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya, benda yang dipergunakan untuk menghalanghalangi penyelidikan tindak pidana, benda diperuntukkan melakukan tindak pidana, dan benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Dengan kata lain, mekanisme (KUHAP) membatasi hanya kepada barang-barang yang terkait langsung dengan tindak pidana. Oleh karenaitu,perampasanasetnyatidak akan maksimal karena benda yang dapat dirampashanyalahbendayangmemiliki keterkaitan langsung. Hal tersebut merupakan masalah baru bagi aparat penegak hukum yang melakukan penyitaan atau perampasankarenaharusmemilahbarang mana saja yang berkaitan langsung atau barang mana yang tidak memiliki kaitan langsung sehingga membutuhkan waktu yang lama, sedangkan sifat dari penyitaan dan perampasan aset membutuhkan kecepatan agar aset yang adatidak berpindahtangan.

Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk sebuah perkara sampai memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat yang menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan mungkin dalam hitungan tahun. Panjangnya waktu yang dibutuhkan, membuka kesempatan pada terdakwa untuk menyembunyikan aset yang dimiliki ini keluar negeri. Dengan tidak menjadikan perampasan aset sebagai fokus atas tindak pidana, maka terjadi pembiaran terhadap pelaku tindak pidana untuk menguasai dan menikmati hasil tindak pidana bahkan melakukan pengulangan atas tindak pidana yang pernah dilakukannya. Selain itu, adanya mekanisme subsider (penggantian) atas kewajiban pembayaran aset hasil tindak pidana juga menyebabkan upaya perampasan aset hasil tindak pidana menjadi kurang efektif. Hal ini karena sebagian besar terpidana pasti akan lebih memilih untuk menyatakan ketidaksanggupannya untuk mengembalikan aset yang dihasilkan dari tindak pidana yang telah dilakukannya sehingga ketidak-sanggupannya tersebut akan diganjar dengan kurungan badan sebagai pengganti. Mekanisme subsider ini ,masa kurungannya, tidak melebihi ancaman hukuman pidana pokoknya sebagai ganti dari jumlah aset yang harus dibayarkannya pada negara. Hal tersebut dapat menjadi alternatif yang sangat menjanjikan bagi para terpidana, dibandingkan harusmengembalikanasetyangdihasilkannyadaritindakpidana.

Undang-Undang Tipikor dan KUHP serta KUHAP, pada dasarnya itu sama, karena sifatnya menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat sehingga membutuhkan waktu yang lama dan tidak maksimal dalam upaya pengembalian kerugian negara yang dikorupsi. Selain itu, dalam sistem hukum yang ada di Indonesia saatini,dapatdikajibahwametodeyangdigunakan dalam penegakan hukum atas tindak pidana adalah menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect), seperti yang terkandungdalam(KUHAP)dan(Tipikor)yangternyatatidakmenimbulkan efek pencegahan dan belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan korupsi. Sebab, mekanismenya hanya ditekankan pada penghukuman pelaku denganmenempatkanpelakudipenjarasedangkanpenyitaandanperampasanaset hanya dilakukan sebagai pidana tambahan saja. Padahal, menyita dan merampas

hasil dan instrumen tindak pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuanbersamayaituterbentuknyakeadilandankesejahteraanbagisemuaanggota masyarakatlewatjalanmemiskinkankoruptor

Hukuman memiskinkan koruptor ini dilandaskan tesisdariMarcGelander yang berisikan bahwa “si kaya akan selalu menang.” Kekuatan dari kekayaannya itu dapat menjungkirbalikan nilai-nilai kekuatan hukum. Padahal ada sebuahasas equality before the law sebagai manifestasi dari negara hukum sehingga seharusnya ada perlakuan sama di depan hukum.19 Penelitian ini tidak hanya semata-mata bahwa koruptor mampu menyuap atau seorang penguasa mampu menawarkan sesuatu yang menjanjikan kesejahteraan, kebahagiaan hidup yang lebih tinggi, dan kenikmatan-kenikmatan secara ekslusif, tetapi juga kenyataan terkait mampu menggunakan advokat berkaliber sampai menggunakan saksi ahli yang berkualitas. Belum lagi relasi dengan lembaga-lembaga pendinamisasi bekerjanya hukum, seperti penyidik, penuntut umum, dan pengadilan. Kekayaannya dapat mempengaruhi pasifnya institusional tersebut karena terbatasnya biaya sehingga akan cenderung memihak si koruptor 20 Selain itu, menurut Wakil Koodinator (ICW) Ade Irawan yang mengatakan bahwa koruptor lebih takut dimiskinkan daripada dipenjara. Hal ini karena jika dipenjara saat keluar ia masih dapat menikmati sisa hasil korupsinya, bahkan saat di dalam tahanan pun ia masih mendapat fasilitas yang mewah. Tidak hanya itu, masih terdapat kemungkinan ia membuka bisnis dari hasil korupsi sehingga saat keluarpun uang hasil korupsi tersebut dapat berlipat ganda.21 Oleh karena itu, pemerantasan korupsi yang memberikan efek jera bagi para koruptor sangat dibutuhkan lewat jalan memiskinkan koruptor Hal ini dapat tercapai jika (RUU) PerampasanAsetdisahkan.

19 TemmyHastian,"ProDanKontraSanksiPemiskinanBagiPelakuTindakPidanaKorupsi DiIndonesia(ProandContraImproverishingPunishmenttoCorruptorinIndonesia)." Jurnal Nestor Magister Hukum,Vol 1,No 1(2017),hlm11

20 Ibid , hlm12

21 Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grand, And Larissa Gray, Stolen Asset Recovery, A Good Practices Guide For Non-Conviction Based Asset Forfeiture,(Washington DC:TheWorldBank&Unodc,2009),hlm 18

Hal ini selaras dengan penyebutan tindakan korupsi yang memakai motif ekonomi. di mana dalam tujuannya,parapelakuberkeinginanuntukmendapatkan harta sebanyak-banyaknya. Jika dikaji memakai cara berpikir logika, harta kekayaan hasil tindak korupsi tersebut merupakan darahdagingyangmenghidupi tindak kejahatannya sehingga isi materi dari (RUU) Perampasan Aset, yakni merampas aset merupakan cara yang efektif untukmelakukanpemberantasandan pencegahan terhadap tindak pidana dengan motif ekonomi. Membunuh inti kehidupan dari kejahatan tersebut dengan cara merampas hasil dan instrumennya.22

Dari paparan materi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya perampasan aset hasil tindak korupsi dalam sistem hukum di Indonesia pada dasarnya telahmemilikilandasanhukum,tetapidiperlukanpembaharuanterhadap mekanisme yang ada, baik mekanisme pidana maupun perdata, sehingga dapat terwujud upaya perampasan aset yang efektif. Pentingnya keberadaan Undang-Undang tentang Perampasan Aset diIndonesiadapatdilihatdari3faktor, yaitu Ratifikasi UNCAC, perkembangan masalah korupsi yang semakin kompleks, dan mekanisme perampasan aset yang belum memadai. Pemerintah Indonesia harus menyesuaikan ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan yang ada di dalam konvensi (UNCAC) karena hal tersebut merupakan konsekuensi sebagai negara terlibat. Selain itu, aspek lain yang mencerminkan kebutuhan Indonesia terhadap pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset adalah perkembangan jenis tindak pidana motif ekonomi. Kemajuan teknologi menciptakan kemudahan bagi para pelaku untuk menjalankan tindak pidana dan menyembunyikanhasiltindakpidanatersebutdenganmetodeyanglebihmudah.

22 Hasil tindak pidana atau proceeds of crime adalah harta kekayaan yang secara langsung maupun tidak langsung diperoleh dari suatu tindak pidana (“Proceeds of crime” shall mean any property derived from or obtained, directly or indirectly, through the commission of an offence). Sedangkan pengertian harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud (“Property” shall mean assets of every kind, wheter corporeal or incorporeal, movable or immovable, tangible or intangible, and legal documents or instruments evidencing title to, or interest in, such assets) Lihat Article 2 Use of Term,UnitedNationsConventionAgainstTransnationalOrganizedCrime2000,hlm 2

Hal ini harus diatasi dengan adanya ketentuan hukum yang sesuai dengan keadaan saat ini dan masa yang akan datang sehingga upaya perampasan aset dapat mencapai hasil yang maksimal. Faktor terakhir dari urgensi pembentukan Undang-Undang perampasan aset adalah mekanisme yang belum memadai. Mekanisme yang memadai dalam upaya perampasan aset diharapkan akan menggunakan mekanisme yang terdapat dalam UNCAC sehingga perampasan aset di Indonesia akan berjalan dengan efektif. Terlebih, berdasarkan data kerugian keuangan negara yang saya paparkan di atas, sangatlah masuk akal jika disebutbahwaIndonesiaadalahnegarakorban.Selainitu,danayangdikorupsikan tersebut seharusnya digunakan negara guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Aset yang dirampas harus dikembalikan kepada negara, entah untuk menyejaterakan kehidupan rakyat maupun menutup kerugian akibat tindak korupsi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah landasan hukum untuk melakukan pengembalian aset negara yang dirampas tersebut yang berlandaskan ketentuan UNCAC,yakni(RUUPerampasanAset)Pentingnyapengembalianaset ini bagi Indonesia didasarkan tindak korupsi yang telah merampas kekayaan negara, sedangkan sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekontruksi dan merehabilitasimasyarakatmelaluipembangunanberkelanjutan.23

23 AlineaPertamaKAK2003

DAFTARPUSTAKA

Buku

Barbara Vettori, Tough on Criminal Wealth: Exploring the Practice of Proceeds from Crime Confiscation in the EU,Doordrecht:Springer,2006.

Greenberg, Theodore S., Linda M. Samuel, Wingate Grand, dan Larissa Gray. Stolen Asset Recovery, A Good Practices Guide For Non-Conviction Based Asset Forfeiture. Washington D.C.: The World Bank & Unodc, 2009

Levi, Michael, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime. Wales: Cardiff University,2004.

Utama, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi. Jakarta: UniversitasIndonesiaPerpustakaan,2008.

JurnaldanNaskahakademik Hastian, Temmy "Pro Dan Kontra SanksiPemiskinanBagiPelakuTindakPidana Korupsi Di Indonesia (Pro and Contra Improverishing Punishment to Corruptor in Indonesia)." Jurnal Nestor Magister Hukum, Vol. 1, No. 1 (2017).

Ramelan. “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.” Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional KementerianHukumDanHakAsasiManusiaR.I.,Jakarta,2012.

Ramelan. “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan AsetTindakPidana,BadanPembinaanHukumNasional.”Jakarta,2012.

Romants, David Scoott. ”Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response.” The Guilt of The Res: 28th Suffolk University Law Review (1994).

Saputra, R. “Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)dalamRUUPerampasanAsetdi Indonesia.” Integritas : Jurnal Antikorupsi (2017).

Siswanto, Dadang. “Korupsi Sebagai Bentuk Kejahatan Transnasional Terorganisir.” MMH Jilid42,No.1(Januari2013).

Skripsi

Kusuma, Kausar Dwi. “Kajian Yuridis Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Sarana Mutual Legal Assistance.” Skripsi Universitas Brawijaya,Malang,2019.

Sadeli, Wahyudi Hafiludin. “Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang TerkaitDalamTindakPidanaKorupsi.”TesisProgramPascaSarjana MagisterHukumFakultasHukumUniversitasIndonesia,Jakarta,2019.

Internet

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Statistik TPK Berdasarkan Jenis Perkara.”

https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkar a.Diakses18November2022.

Transparency Internasional. “Indeks Persepsi Korupsi 2021: Korupsi, Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi.”

https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-da n-demokrasi/.Diakses18November2022.

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.