![](https://assets.isu.pub/document-structure/221219070334-6c7ba85aacf5efc7395694982af35fd6/v1/5dc2e5786399b34965b00d323890b387.jpeg)
Fakta
Hukum:JusticeCollaborator:PerandanPerlindunganHukumnya dalamIklimPeradilanPidanadiIndonesia
OlehCornelliaDesyNatallina StafBidangLiterasidanPenulisan
Sumber:nasional.kompas.com
Beberapa bulan belakangan ini media tengah digemparkan dengan kasus penembakan seorang ajudan polisi yang bernama Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Dalam kasus ini, salah satu terdakwa, yaitu rekan korban yang bernamaBharadaRichardEliezeratauBharadaE diangkat menjadi justice collaborator Sebenarnya, istilah justice collaborator merupakan hal yang cukup baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Jika ditelaah lebih dalam, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai haluan dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia tidak memuat istilah mengenai justice collaborator Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 telah memberi definisi yang jelas untuk justice collaborator, yaitu seorangpelakutindakpidanayangbukan merupakan pelaku utama dan telah mengakui perbuatan tindak pidananya serta bersedia untuk menyerahkan seluruh aset yang diperolehnya dari hasil tindak pidana tersebut sekaligus bersedia memberikan kesaksiannya
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221219070334-6c7ba85aacf5efc7395694982af35fd6/v1/ea649c34d7ab45e39d1d73fffa6328b6.jpeg)
untuk membantu aparat penegak hukum guna membongkar tindak pidana agar seluruh pelaku danpelakuutamaditemukan.1 Jadi,dapatdisimpulkan bahwa justice collaborator adalah pelaku minor suatu tindak pidana yang berperan sebagai informan serta saksi yang akan membantu aparat penegak hukum untuk menemukanpelakulainnyaataupelakuutamayang berperansebagai mastermind dalamsuatutindakpidana.2 Ditinjau dari segi historisnya, istilah justice collaborator ini ternyata pertama kali diprakarsai oleh Amerika Serikat tepatnya di tahun 1970-an yang dilatarbelakangi oleh maraknya kejahatan yang dilakukan oleh mafia.3 Dalam banyak kasus, mafia-mafia tersebut lebih memilih tutup mulut daripada mengakui kejahatannya atau membongkar fakta adanya pelaku lain kepada para penyidik. Diamnya para mafia tersebut juga disebabkan oleh terikatnya mereka pada sebuah sumpah bernama sumpah omerta atau sumpah tutup mulut untuk melindungi para koloni mafianya. Maka dari itu, kelahiran istilah sekaligus norma terkait justice collaborator merupakan sebuah gebrakan baru yang sangat krusial perannya dalam hal melindungi pelaku yang memilih menjadi justice collaborator sekaligus memudahkan aparat penegak hukum dalam menemukandanmemberantaspelakulainnyadalamsebuahtindakpidana. Seiringperkembangannya,negara-negaralainpunikutmengadopsi norma hukum baru ini seperti Italia yang menggunakannya sejak tahun 1979, diikuti oleh Portugal pada tahun berikutnya, serta oleh Spanyol, Prancis, dan Jerman.4 Selanjutnya dilatarbelakangi oleh melambungnya kasus korupsi di dunia, maka beberapa negara bersatu dalam sebuah Konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption) yang diselenggarakan tahun 2003. Sebagai upaya untuk menurunkan
1 Indonesia,MahkamahAgung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu,SEMANomor4Tahun2011
2 FadliRazebSanjani,“Penerapan Justice Collaborator DalamSistemPeradilanPidana Indonesia,” JOM Fakultas Hukum,Vol.2,No.2,(Oktober 2015),hlm.3.
3 AhmadSofian,“Justice Collaborator danPerlindunganHukumnya,” https://business-lawbinusacid/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-hukumnya/#:~:t ext=Justice%20collaborator%20pertama%20kali%20diperkenalkan,istilah%20omerta%20sumpah %20tutup%20mulut%20,diakses1Desember2022
4 Ibid
angka korupsi dunia, akhirnya konvensi UNCAC ini menggunakan term justice collaborator yang diatur dalam Pasal 37 ayat (2) dan (3) yang kurang lebih mengatur ketentuan soal pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum guna mengusut pelaku lain dalam kasus korupsi tersebut. Kerja sama antara pelaku dan aparat penegak hukum itulah yang kemudian populer dengan nama justice collaborator
A. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan SaksidanKorban
Eksistensi justice collaborator dalam sistem peradilan hukum pidana di Indonesia diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sayangnya pada praktiknya, ditemukan masih banyak celah dan kekurangan, seperti tidak sebandingnya reward yang didapatkan oleh justice collaborator dengan risiko yang ditanggung, persyaratan yang masih ambigu, serta kurang maksimalnya perlindungan untuk justice collaborator 5 Sehingga undang-undang tersebut direvisi dan dicabut dengan Undang-UndangNomor31Tahun2014.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (2) menjabarkan bahwa yang disebut saksi pelaku ialah seorang tersangka, terdakwa, atau terpidana yang memutuskan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum guna mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.6 Lebih lanjut, UU tentang LPSK ini memfasilitasi perlindungan saksi pelaku yang dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) yang pada intinya mengatur bahwa saksi pelaku (justice collaborator) ataupun pelapor (whistleblower) tidak dapat dijatuhi sanksi pidana
5 SupriyadiWidodoEdiyono,“ProspekPenggunaanpelakuyangBekerjasama,” Jurnal LPSK,Vol.I,No.1,(2011),hlm.104-108
6 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,UUNo 31Tahun2014, LNNo293Tahun2014,TLNNo 5602,Ps 1
atas kesaksian yang telah diberikan dan jika terdapat tuntutan hukum terhadap saksi pelaku maupun pelapor, tuntutan tersebut wajib ditunda sampai kasus yang ia beri kesaksian telah diputus olehpengadilandanberkekuatanhukumtetap.7
Tak hanya itu, eksistensi Pasal 10A dalam UU LPSK ini juga seakan menjadi angin segar dalam hal perlindungan khusus kepada justice collaborator Dalam Pasal 10A ayat (1) dijelaskan bahwa justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dapat menerima penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan sebagai penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penanganan tersebut dijelaskan secara lebih detail di Pasal 10A ayat (2) yaitu adanya pemisahan tempat penahanan dengan justice collaborator dengan pelaku lain yang diungkap tindak pidananya, adanya pemisahan pemberkasan (splitsing) antara berkas justice collaborator dengan berkas pelaku lain yang diungkap tindak pidananya, serta diberikan kesempatan untuk memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa atau pelaku lain yang tengah diungkap tindakpidananya.
Sedangkan sebagai penghargaan atas kesaksian yang diberikan, justice collaborator berhak mendapatkan keringanan dalam vonis pidananya atau mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak-hak narapidana lainnya sepanjang tidak menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelakuyangberstatusnarapidana.
Kehadiran UU LPSK ini di Indonesia merupakan sebuah terobosan baru dalam dunia hukum di Indonesia. Dengan adanya payung hukum yang melindungi justice collaborator dan whistleblower ini, diharapkan para saksi maupun terdakwa yang bukan pelaku utama dalam tindak pidana tertentu tidak perlu lagi
7 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,UUNo 31Tahun2014, LNNo293Tahun2014,TLNNo 5602,Ps 10
ketakutan untuk memberikan keterangan yang dinilai esensial dan signifikandemikepentinganpenegakanhukum.8
B. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB AntiKorupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang terstruktur dan melibatkan banyak pihak sehingga dalam proses pengungkapan kasusnya, dibutuhkan kerja sama dari pelaku korupsi itu sendiri. Dikarenakan adanya urgensi untuk menekan angka korupsi dunia, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan sebuah konvensi yang bernama United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang kemudian diadopsi dan memiliki kekuatan hukum yangtetap pada 14 Desember 2003.9 Terhitung sampai 18 November 2021, sudah ada 189 negara yang mengikatkan diri pada konvensi anti korupsi, tak terkecuali Indonesia.10 Indonesia telah meratifikasi UNCAC dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang PengesahanUnitedNationsConventionAgainstCorruption.
Pasal37ayat(2)UNCACtelahmenyatakanbahwa: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”
Tentu saja tindakan Indonesia yang meratifikasi UNCAC telah membawa angin segar bagi perlindungan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator).Tidakhanyapenguranganatau keringanan vonis hukuman, justice collaborator juga berhak atas
8Supriyadi Widodo Ediyono, “Prospek Penggunaan pelaku yang Bekerjasama,” Jurnal LPSK,Vol.I,No.1,(2011),hlm.91.
9
United Nations General Assembly, “United Nations Convention against Corruption: Resolution adopted by the General Assembly” 21 November 2003, A/RES/58/4 http://www.un.org/ga/search/view doc.asp?symbol=A/RES/58/4,diaksespada1Desember2022.
10
United Nations Office on Drugs and Crime, “Signature and Ratification Status,” https://wwwunodcorg/unodc/en/corruption/ratification-statushtml,diakses1Desember2022
penghargaan dan perlindungan berupa kekebalan dari penuntutan yangditegaskandalamPasal37ayat(3)UNCAC: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.” Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan diratifikasinya UNCAC oleh Indonesia, peran dan kontribusi seorang justice collaborator lebih dihargai dan lebih dijamin perlindungannya melalui pengurangan vonis hukuman serta melaluisuatukekebalanpenuntutan.
C. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor4Tahun2011tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) di dalamPerkaraTindakPidanaTertentu Pada dasarnya, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 ini dibentuk guna menegakkan keadilan dalam penanganan kasus korupsi yang bentuknya cenderung terstruktur dan terorganisasi dengan baik sehingga dalam pengungkapan pelaku lain dan penanganan kasusnya, dibutuhkan kerja sama dengan salah satu dari banyak pelaku lainnya. Adapun untuk menyematkan status justice collaborator kepada seseorang, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,yaitu:
1) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidanatertentusebagaimanadimaksuddalamSEMAini;
2) Mengakuikejahatanyangdilakukannya;
3) Bukanmerupakanpelakuutama;
4) Memberikan keterangannya sebagai saksi di muka pengadilan;
5) Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat penting atau membantupenuntutumummengungkaptindakpidanayang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lain yang berperan lebih besar, dan/atau mengembalikan aset danhasilyangdiperolehnyadaritindakpidanatersebut;
6) Atas bantuannya tersebut, makaterhadapsaksipelakuyang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:
a) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau;
b) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbuktibersalah.11
Walaupun yang ditekankan pada SEMA ini adalah tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidanatertentuyangdimaksudadalah tindak pidana yang bersifat terorganisir seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, serta tindak pidanalainyangbersifatterorganisirsehinggamenimbulkan masalahdanancamanseriusbagistabilitasdankeamananumum.
D. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian NegaraRepublikIndonesia,KomisiPemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga PerlindunganSaksidanKorbanRepublikIndonesia
11 Indonesia, MahkamahAgung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu,SEMANomor4Tahun2011
Dikarenakan SEMA No 4 Tahun 2011 hanya mengikat aparat penegak hukum yang secara hierarkis di bawah kendali MahkamahAgung,makasecaraotomatisSEMAinitidakmemiliki kekuatan mengikat bagi aparat penegak hukum di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Maka dari itu, guna mengharmonisasi aparat-aparat penegak hukum yang berurusan dengan whistleblower dan justice collaborator,dibuatlahperaturan bersama menteri dan lembaga negara ini agar kesatuan visi, misi, pandangan, serta praktik lapangan tercapai sehingga kepastian hukumlebihterjamin. Adapun peraturan bersama ini telah melahirkan pijakan hukum dalam mengatur persyaratan seorang terdakwa atau tersangkayangdijadikanJusticeCollaborator:
1. Tindak pidana yang ditangani dengan justice collaborator merupakan jenis tindak pidana yang terorganisir dan/atau serius;
2. Keterangan yang diberikan oleh justice collaborator harus keterangan yang benar, jujur, serta dinilai sebagai keterangan yang penting guna mengefektifkan proses pengungkapan kasus tindak pidana yang terorganisir dan/atauserius;
3. Terdakwaatautersangkayangdijadikanjusticecollaborator tidak boleh pelaku utama tindak pidana yang tengah ditangani;
4. Terdakwa atau tersangka yang ingin dijadikan justice collaborator harusbersediamembuatpernyataantertulis Dengan terharmonisasinya regulasi terkait justice collaborator, diharapkan terdapat win-win solution bagi kedua belah pihak. Pihak penegak hukum dapat dimudahkan prosesnya dalam pengungkapan kasus pidana yang serius dan terorganisir, sedangkan pihak justice collaborator berpeluang mendapatkan keringananhukuman.
Seperti yang telah dilihat melalui beberapa payung hukumyangmengatur terkait justice collaborator, terlepas dari persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, ada beberapa keistimewaanyangberhakdidapatkanparaterdakwayang berstatus sebagai justice collaborator Diantaranya adalah keringanan hukuman, bahkan sampai pembebasan bersyarat. Barang tentuhaltersebuttelahmemancing pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan status justice collaborator ini sehinggaterjadipenyelewenganhukum.Diantaranyayaituterkait kasus korupsi yang menggemparkan publik beberapa tahun lalu, kasus mega korupsi Proyek Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON)diHambalang,KabupatenBogor,JawaBarat. Kasus mega korupsi tersebut melibatkan Muhammad Nazaruddin. Akan tetapi, dalam kasus korupsi tersebut Muhammad Nazaruddin disematkan status sebagai justice collaborator, tentu saja hal ini berseberangan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhisepertiyangtertulisdalamSEMANomor4Tahun2011serta Peraturan Bersama Menteri dan Lembaga Negara Lain yang mana untukmenjadi justice collaborator, seorangterdakwatidakbolehmerupakanpelakuutamadalam tindak pidana yang sedang ditangani. Padahal, Muhammad Nazaruddin merupakan pelaku utama dan mastermind dari mark up ataurekayasapembesaran anggaran proyek P3SON tersebut. Penyimpangan ini tentu memberikan kekhawatiran baru bagi iklim hukum di Indonesia, karena pemberian status sebagai justice collaborator ini seakan-akan memberikan perlindungan hukum bagiparaterdakwa.12
Sistem peradilan pidana di Indonesia kini telah mengadopsi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama sebagai salah satu dari cara pengungkapan sebuah tindak pidana yang serius dan terorganisir serta sebagai cara untuk menemukan dan menangkap pelaku-pelaku lain yang lebih besar peranannya. Walaupun tidak ada ketentuan yang mengatur justice collaborator dalam KUHAP sebagai pilar pelaksana peradilan pidana di Indonesia, Justice collaborator tetap berlaku secara sah karena telah diatur secara eksplisit dalam
12 Coby Elizabeth Mamahit, “Kajian Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Saksi Pelaku Tindak Pidana yang Bekerjasama (Justice Collaborator),” Lex Crimen, Vol 5,No 6,(Agustus2016),hlm 166
beberapa peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK), UNCAC yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20016 tentang Ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi, SEMA Nomor 4 Tahun 2011, serta melalui Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga PerlindunganSaksidanKorbanRepublikIndonesia. Penerapan justice collaborator di Indonesia bagai duabilahmatapisau,di satu sisi memudahkan para aparat penegak hukum dalam mengungkap sebuah kasus tindak pidanayangbesardanterorganisir,tetapidilainsisijugamenjadikan hal ini sebagai peluang yang legal bagi para terdakwa yang tidak bertanggung jawab untuk kabur dari jerathukumanyangberatsehinggaaparatpenegakhukum pun harus cermat dan bijak dalam menyetujui ataupun menolak permohonan pengajuanseorangterdakwadalammenjadi justice collaborator
DAFTARPUSTAKA
ArtikelJurnal Ediyono, Supriyadi Widodo. “Prospek Penggunaan pelaku yang Bekerjasama,” Jurnal LPSK Vol.I.No.1.(2011). Sanjani, Fadli Razeb. “Penerapan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan PidanaIndonesia.” JOM Fakultas Hukum Vol.2.No. 2.(Oktober2015).
Internet
Sofian, Ahmad. “Justice Collaborator dan Perlindungan Hukumnya,” https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlin dungan-hukumnya/#:~:text=Justice%20collaborator%20pertama%20kali% 20diperkenalkan,istilah%20omerta%20sumpah%20tutup%20mulut%20.. Diakses1Desember2022.
United Nations General Assembly.“United Nations Convention against Corruption: Resolution adopted by the General Assembly.” http://www.un.org/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/RES/58/4 Diakses pada1Desember2022.