KATALOG PENELITIAN LK2 FHUI 2022

Page 1

KATALOG PENELITIAN PENELITIAN 2022 2022 Bidang Penelitian LK2 FHUI 2022
KATALOG
DAFTAR PENELITIAN LK2 FHUI 2022 DAFTAR PENELITIAN LK2 FHUI 2022 PENELITIAN BESAR Urgensi Perumusan Konsep Persidangan Elektronik dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata oleh Wahyu Sulistyo, Pudja Maulani Savitri, dan Grace Patricia Hasian Reviewed by Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. (ILUNI FHUI)
Tinjauan Hukum Materil dan Formil atas Judicial Pardon dalam RKUHP serta Peluang Pelaksanaan Prinsip Restorative Justice oleh Vanesha Ayu Sekarini Zega, Brainda Amoreta Dewi, dan Dhia Amirah Deaz Putri Reviewed by Matheus Nathanael Siagian, S.H. Politik Hukum dalam Isu Natuna di Balik Rencana Pengesahaan Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia oleh Diandra Paramita Dewi, Alvianda Novanianto, Arlianne Rania Reviewed by Arie Afriansyah, Ph.D. Rancang Bangun Pengaturan GIG Economy Sebagai Perlindungan Hukum Pekerja Platform
PENELITIAN MANDIRI
Digital di Indonesia oleh Wahyu Sulistyo, Muhammad Ravanza Kindy, Shafira Meutia Syahrial, Akbar Ksatrio Hajriawan, dan Natasya Safira Khaerudin Reviewed by Fitriana, S.H., M.H., Ph.D. Koordinator Bidang Penelitian LK2 FHUI 2022 Koordinator Bidang Penelitian LK2 FHUI 2022 Evelyna Putri Athallah Sekretaris Bidang Penelitian I Wahyu Sulistyo Manajer Bidang Penelitian Mellysa Cahya Kartika Sekretaris Bidang Penelitian II Terima Kasih kepada ILUNI Terima Kasih kepada ILUNI FH UI FH UI atas kerja samanya dalam penyusunan Penelitian Besar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, Bidang Penelitian LK2 FHUI 2022 dapat menyelesaikan Penelitian Besar dan Penelitian Mandiri yang dikompilasikan dalam Katalog Penelitian ini. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penyelesaian penelitian ini tidak akan terwujud. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H., yang merupakan bagian dari ILUNI FHUI selaku mitra bestari Lembaga Kajian Keilmuan FHUI yang telah menjadi mentor sekaligus reviewer Penulis dalam menyusun Penelitian Besar dan telah memberikanwaktu, ilmu, kritik dansaran,sertamasukan yang sangat bermanfaat;

2. Bapak Arie Afriansyah, Ph.D., Bang Matheus Natanael Siagian, S.H., Mba Fitriana, S.H., M.H., yang telah menjadi mentor sekaligus reviewer Penulis dalam menyusunPenelitian Mandiri dantelah memberikanwaktu, ilmu, kritik dansaran, serta masukan yang sangat bermanfaat;

3. Bapak dan Ibu dari Dekanat dan Kemahasiswaan FHUI yang telah memberikan wadah dan dukungan kepada Penulis untuk menghasilkan Penelitian Besar ini;

4. Vanesha, Brainda, Vian, Diandra, Kindy, Shafira, Grace, dan Pudja selaku staf Bidang Penelitian LK2 FHUI 2022 yang selalu menyemangati dan tidak lelah berkontribusi dalam penulisan Penelitian Besar di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa; dan

5. Seluruh Keluarga Besar Lembaga Kajian Keilmuan FHUI. Penulis menyadari banyak kekurangan pada penelitian ini. Oleh sebab itu, saran dankritiksenantiasadiharapkandemiperbaikankaryakamiselanjutnya.Penulisberharap semoga penelitian ini mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum.

Depok, 1 Desember 2022 Penulis

KATA
PENGANTAR

LAPORAN PENELITIAN

URGENSI PERUMUSAN KONSEP PERSIDANGAN ELEKTRONIK DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PERDATA

Disusun oleh:

Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. Wahyu Sulistyo

Pudja Maulani Savitri Grace Patricia Hasian

PENELITIAN KOLABORASI LK2 FHUI DAN ILUNI FHUI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2022

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1

BAB II PENGATURAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN MALAYSIA DAN JERMAN……………………………………………………………………….....7

BAB III HAMBATAN DAN TANTANGAN PENERAPAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DI INDONESIA SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN MALAYSIA DAN JERMAN…………………………………………………………12

BAB IV KONSEP USULAN UNTUK PENGATURAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DI RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PERDATA……………………………………………………………………………..18

BAB V PENUTUP……………………………………………………………………..30

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….33

DAFTAR
ISI

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Perbandingan Hambatan dan Tantangan Penerapan Persidangan Elektronik di PengadilanNegariDonggaladanPengadilanNegeriNegara….......................................12

Tabel 4.2 Perbandingan Hambatan dan Tantangan Penerapan Persidangan Elektronik di Malaysia dan Jerman …………………………………...15

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi telah menghasilkan disrupsi-disrupsi yang luar biasa dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kini hampir seluruh hal mulai dari perdagangan, jasa, komunikasi, pendidikan, pemerintah, dan masih banyak hal lainnya dipermudah dengan penggunaan berbagai teknologi. Salah satu aspek yang terdampak disrupsi ini adalah peradilan sebagai bentuk penyelesaian sengketa. Kemajuan teknologi mendorong pengadilan untuk menghadirkan pelayanan administrasi dan persidangan yang lebih efisien. Mengenai tujuan untuk mencapai peradilan yang lebih efisien pada dasarnya merupakan cita yang perlu dicapai berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa peradilan harus dilakukan secara sederhana, cepat, dan ringan. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Kemudian yang dimaksud biaya ringan adalah yang terjangkau bagi masyarakat dan cepat maksudnya tidak dilakukan secara berlarut-larut.1 Untuk mengaktualisasikan asas-asas tersebut serta mengakomodasi kemajuan teknologi yang ada, Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia mengeluarkan produk hukum yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Peradilan Secara Elektronik (Perma 3/2018). Perma tersebut kemudian dicabut menjadi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 (Perma 1/2019) yang kemudian diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 (Perma 7/2022) tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik untuk mengakomodasi keperluan penyelesaian sengketa secara elektronik.

1 Ni Putu Rivani Kartika Sari, “Eksistensi E-Court Untuk Asas Sederhana, Cepat, Biaya Ringan dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Yustisia Vol. 13 No. 1 (2019), hlm 7

1
BAB I

Mengingat perkembangan kehidupan bangsa Indonesia yang semakin maju, peraturan perundang-undangan pun perlu mengakomodasi perkembanganperkembangan tersebut. Dalam hal ini adalah dalam bidang hukum acara perdata. Saat ini, Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang berlaku di zaman Hindia Belanda yaitu Herziene Indlandsch Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg). Pada 17 Desember 2019, Pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata (RUU Hukum Acara Perdata) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).2 Dilansirdari laman resmi DPR,RUUHukum AcaraPerdatamerupakan salahsatu Program Legislasi Nasional 2022. Saat ini, RUU Hukum Acara Perdata sedang berada dalam tahap pembahasan. Penyusunan RUU Hukum Acara Perdata perlu memperhatikan perubahan dan perkembangan setiap aspek yang berkaitan dengan acara perdata. Tentunya, kebutuhan pengaturan acara perdata seratus tahun yang lalu dengan sekarang berbeda. Berbagai perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi yang terjadi di masyarakat perlu diperhatikan secara saksama. Hal ini bertujuan agar tercipta produk hukum kekinian yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Pembaharuanhukumacaraperdatabertujuanuntukmenciptakankepastianhukum terkait pelaksanaan acara perdata di era Indonesia modern. Salah satu pengaturan modern yang diperlukan adalah terkait peradilan elektronik. Pengaturan terkait peradilan elektronik atau electronic court (E-Court) bersifat vital mengingat perkembangan teknologi yang semakin pesat. E-Court merupakan sebuah revolusi dalam hukum acara perdata di mana acara peradilan dapat diselenggarakan secara elektronik. Melalui penggunaan sistem elektronik penyelenggaraan acara perdata menjadi lebih mudah dan cepat. Para pihak tidak lagi terhalang oleh jarak dan waktu. Melalui sistem elektronik, proses validasi dokumen juga menjadi lebih mudah dan akurat. Meskipun pembaharuan hukum acara perdata sedang berjalan, ketentuan mengenai E-Court belum dinyatakan dalam RUU Hukum Acara Perdata. Dalam naskah RUU Hukum Acara Perdata yang dipublikasikan, tidak ditemukan pasal yang mengatur E-Court. Pengaturan

2 DPRRI, “RUU tentang Hukum Acara Perdata,” https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/427, diakses 18 Juli 2022.

konsep persidangan elektronik dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (RUU HAP) menjadi penting mengingat ketentuannya yang masih diatur dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Selain itu, Indonesia perlu melakukan kajian perbandingan negara dalam merumuskan konsep persidangan elektronik di RUU HAP untuk memperoleh lesson learned dari negara-negara lain.

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum acara perdata merupakan sebuah momen yang krusial bagi penegakan hukum di Indonesia. Maka dari itu, setiap rumusan yang dinyatakan dalam RUU Hukum Acara Perdata haruslah mengakomodasi seluruh kebutuhan dalam menyelenggarakan acara perdata di Indonesia secara khusus di era modern. E-Court adalah salah satu aspek yang menurut peneliti seharusnya menjadi rumusan dalam UU Hukum Acara Perdata yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah. Tiadanya pengaturan terkait E-Court dalam RUU Hukum Acara Perdata merupakan sebuah isu yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Maka dari itu, penelitian ini dilaksanakan untuk memahami lebih dalam terkait urgensi penyertaan aspek E-Court dalam RUU Hukum Acara Perdata.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini agar penjelasan menjadi lebih terarah dan mudah dipahami. Penelitian ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan E-Court dalam hukum positif Indonesia serta perbandingannya dengan Malaysia dan Jerman?

2. Bagaimana hambatan dan tantangan pelaksanaan E-Court di Indonesia serta perbandingannya dengan Malaysia dan Jerman?

3. Bagaimana konsep usulan pengaturan E-Court di RUU Hukum Acara Perdata Indonesia?

3

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan mengenai pengaturan E-Court dalam hukum positif Indonesia serta perbandingannya dengan Malaysia dan Jerman.

2. Untuk menjelaskan mengenai hambatan dan tantangan pelaksanaan ECourt di Indonesia serta perbandingannya dengan Malaysia dan Jerman.

3. Untuk menjelaskan mengenai konsep usulan untuk pengaturan E-Court di RUU Hukum Acara Perdata Indonesia.

1.4 Definisi Operasional

Dalam rangka menunjang validasi serta memberi pembatasan yang jelas, berikut pemaparan terminologi dan konsep-konsep dasar dalam penelitian ini.

1. E-Court merupakan layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara Secara Online, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya Perkara secara online, Pembayaran secara online, Pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan Persidangan yang dilakukan secara Elektronik.3

2. E-Litigasi merupakan layanan persidangan yang dilakukan secara elektronik (online) sehingga dapat dilakukan pengiriman dokumen persidangan seperti Replik, Duplik, Jawaban dan Kesimpulan secara elektronik.4

1.5

Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode yuridis normatif yang merupakan penelitian menggunakan bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder.5 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai urgensi

3 E-Court Mahkamah Agung RI, “E-Court Mahkamah Agung RI,” https://ecourt. mahkamah agung.go.id/, diakses tanggal 10 Juli 2022.

4 Ibid.

5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 13-14.

penerapan E-Court di Indonesia dalam penyelesaian perkara perdata pada tahuntahun mendatang. Penelitian ini juga menggunakan studi komparatif dengan negara Malaysia dan Jerman. Adapun alasan studi komparatif dengan kedua negara tersebut adalah kesamaan sosial budaya dengan negara Malaysia dan kesamaan sistem hukum dengan negara Jerman. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa hasil wawancara dengan beberapa hakim mengenai efektivitas pelaksanaan E-Court di Indonesia. Kemudian, untuk data sekunder berupa bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum positif seperti norma hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, PERMA No. 1 Tahun 2019 sebagaimana telah diubah oleh PERMA No. 7 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, RUU Hukum Acara Perdata, Rules of Court 2012, Courts of Judicature Act 1946, dan Zivilprozessordnung (ZPO).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer seperti buku, artikel ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan terkait pengadilan acara perdata elektronik (E-Court) acara singkat dan acara cepat dalam penyelesaian sengketa di berbagai negara yang dapat menunjang penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum baik yang tercatat ataupun tersedia dalam media yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan selanjutnya terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum tersier yang digunakan adalah internet.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini akan diuraikan ke dalam lima bab dengan susunan sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan

5

Bab ini akan memaparkan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian.

2. Bab II Pengaturan Electronic Court dalam Hukum Positif Indonesia

Serta Perbandingannya dengan Malaysia dan Jerman

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan E-Court di Indonesia serta perbandingannya dengan pengaturan di Malaysia dan Jerman.

3. Hambatan dan Tantangan Pelaksanaan Electronic Court di Indonesia

Serta Perbandingannya dengan Malaysia dan Jerman

Bab ini akan membahas mengenai hambatan dan tantangan pelaksanaan E-Court di Indonesia serta perbandingannya dengan pelaksanaan di Malaysia dan Jerman.

4. Bab IV Konsep Usulan untuk Pengaturan Electronic Court di RUU Hukum Acara Perdata Indonesia

Bab ini akan membahas mengenai konsep usulan pengaturan E-Court di RUU Hukum Acara Perdata.

5. Bab V Penutup

Bab ini akan menutup dengan menyimpulkan seluruh pembahasan penelitian serta memberikan saran-saran terhadap penyelesaian perkara perdata melalui E-Court dalam RUU Hukum Acara Perdata.

BAB II

PENGATURAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN MALAYSIA DAN JERMAN

2.1 Pengaturan Electronic Court dalam Hukum Positif Indonesia

Konstitusi tidak mengatur secara langsung terkait pelaksanaan E-Court. Namun, jaminan terhadap penyelenggaraan peradilan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan tercantum di Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Jaminan ini menunjukkan bahwa setiap upaya penyelenggaraan peradilan yang merdeka dapat dilaksanakan. Saat ini, UndangUndang yang mengatur terkait pelaksanaan E-Court belum dibentuk. Namun, UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pelaksanaan peradilan di Indonesia memuat asas-asas penyelenggaraan peradilan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan E-Court. Secara khusus Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan tersebut secara implisit menjadi pondasi bagi penyelenggaraan pengadilan elektronik yang bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses peradilan.

Kemajuan teknologi dalam kehidupan manusia mendorong manusia untuk melakukan efisiensi dalam seluruh lini kehidupan termasuk peradilan. Hal ini menjadi tantangan baru bagi Mahkamah Agung (MA) untuk menghadirkan solusi atas hal tersebut. Salah satu inovasi MA yang dibentuk sebagai solusi atas permasalahan tersebut adalah sistem E-Court. Sistem E-Court pertama kali diatur dalam Perma 3/2018 yang berlaku sejak tanggal 4 April 2018. Kemudian dalam rangka menyempurnakan proses pelayanan penyelesaian perkara publik melalui E-Court, Mahkamah Agung mencabut Perma 3/2018 dan menggantinya dengan Perma 1/2019 pada tanggal 19 Agustus 2019.

Pada awalnya ruang lingkup dalam Perma 3/2018 hanya terdiri dari efilling, e-payment, pengiriman dokumen persidangan secara elektronik, dan esummons. Selain itu, pengguna yang dapat menggunakan E-Court terbatas pada pengguna yang terdaftar yaitu advokat yang telah diverifikasi di Pengadilan

7

2.2

Tinggi. Penggunaan sistem elektronik terbatas pada administrasi perkara. Pengaturan terkait persidangan secara elektronik pun belum hadir di Perma tersebut. Untuk mengakomodasi kebutuhan atas persidangan secara elektronik, MA mengeluarkan Perma 1/2019 dengan terobosan baru dalam aplikasi E-Court yaitu penambahan menu E-Litigasi. Kemudian, MA juga mengeluarkan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Perma ini mengatur substansi yang sama dengan Perma 1/2019 dengan spesifikasi bagi peradilan pidana.6 Perma 1/2019 kemudian diubah dengan Perma 7/2022 tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik. Selain pengaturan di level Peraturan MA, pengaturan E-Court juga terdapat di beberapa Keputusan MA, yaitu Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 271/KMA/SK/XII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Secara Elektronik. Keputusan MA tersebut dikeluarkan sebagai upaya penyeragaman tata cara pelaksanaan persidangan elektronik.

Perbandingan Pengaturan Electronic Court antara Indonesia dan Malaysia Kekuasaan kehakiman di Malaysia mengenal dua sistem peradilan yaitu peradilan sipil dan peradilan syariah.7 Oleh karena itu, pelaksanaan peradilan dilaksanakan oleh dua entitas yang berbeda tergantung pada jenis perkara. Pada praktiknya, kedua jenis peradilan tersebut memiliki mekanisme manajemen peradilan elektroniknya masing-masing. Pada peradilan sipil, manajemen

6 DirektoriPutusan MahkamahAgungRepublikIndonesia,“Peraturan MANomor4Tahun2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik,” https://putusan3.mahkamahagung.go.id/peraturan/detail/11eb127604a3e840bcb1303 834363035.html, diakses 28 Oktober 2022.

7 Yvonne Tew,“TheMalaysian LegalSystem: A TaleofTwo Courts,” Georgetown Law Faculty Publications and Other Works (2011), hlm. 4

elektronik peradilan dinamakan E-Court 8 Sementara itu, manajemen elektronik peradilan elektronik syariah dinamakan E-Syariah. 9

Awalnya, dalam E-Syariah, pelaksanaan manajemen peradilan elektronik hanya terbatas pada manajemen administrasi peradilan bukan pada pelaksanaan acara di pengadilan.10 Hal yang sama juga berlaku bagi peradilan sipil dengan pengecualian bagi Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur dan Pengadilan Tinggi Sarawak.11 Namun, Pengadilan Tinggi Sarawak adalah satu-satunya pengadilan yang mengimplementasikan mekanisme peradilan elektronik tersebut.12 Pengaturan dasar mengenai pelaksanaan peradilan elektronik di Malaysia dapat ditemukan pada Rules of Court 2012. Pasal 1 ayat (4) Rules of Court 2012 menyatakan

“attend” includes the appearance by any person using electronic, mechanical or other means permitted by the Court;

Pasal tersebut mengindikasikan adanya kebolehan kehadiran dalam suatu persidangan secara elektronik.

Secara umum, Pasal tersebut menjadi satu-satunya pengaturan yang berkaitan dengan peradilan elektronik hingga tahun 2020. Namun, kehadiran pandemi yang diakibatkan oleh COVID-19 mengubah tata cara peradilan di Malaysia ke sistem elektronik.13 Circular 77/2020 Hearings to be Conducted Online During the Movement Control Order pun dikeluarkan sebagai landasan hukum terkait pelaksanaan persidangan secara online di masa pandemi. Sebagai akibatnya, peradilan secara elektronik menjadi sebuah norma di Malaysia. Amandemen terhadap Courts of Judicature Act 1946 pun dilakukan untuk

8 Office of The Chief Registrar, “E-Court Division,” https://www.kehakiman.gov.my/en/aboutus/chief-registrars-office/division-pkpmp/e-court-division, diakses 30 Oktober 2022.

9

Wan Satirah Wan, Mohd Saman, dan Abrar Haider, "E-Shariah in Malaysia: Technology Adoption within Justice System," Transforming Government: People, Process and Policy 7, no. 2 (2013), hlm. 263.

10 Ibid

11 ZaitonHamin,MohdBahrinOthman,danAniMunirahMohamad,“BenefitsandAchievements of ICT Adoption by the High Courts of Malaysia,” IEEE Symposium on Humanities, Science and Engineering Research (2012), hlm. 1235.

12 Ibid

13

Yun Xuan Poon, “Malaysia moves to Virtual Court hearings during Covid-19,” https://govinsider.asia/digital-economy/malaysian-bar-malaysia-moves-to-virtual-court-hearings-covid19/, diakses 30 Oktober 2022.

9

mengakomodasi kebutuhan akan pengaturan peradilan secara elektronik.14 Selanjutnya, Arahan Amalan Ketua Hakim Negara Bil 1 Tahun 2021 Pengendalian Prosiding Kes Sivil Melalui Teknologi Komunikasi Jarak Jauh Bagi Mahkamah di Seluruh Malaysia dikeluarkan pada tanggal 9 Januari 2021. Peraturan tersebut mengatur ketentuan teknis terkait penyelenggaraan peradilan elektronik pada perkara perdata. Secara garis besar, pengaturan terkait peradilan elektronik di Indonesia telah berkembang lebih awal dibandingkan Malaysia. MA telah mengeluarkan Peraturan terkait peradilan elektronik pada tahun 2018. Sementara Malaysia baru mengeluarkan regulasi terkait peradilan elektronik pada tahun 2020. Hal tersebut pun didorong oleh kehadiran pandemi. Pengaturan peradilan elektronik di Indonesia sendiri didorong oleh kebutuhan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi yang semakin pesat. Meskipun demikian, Malaysia telah memiliki pengaturan terkait peradilan elektronik di dalam peraturan selevel dengan Undang-Undang melalui amandemen yang dilakukan di tahun 2020. Indonesia sendiri masih mengatur E-Court dalam Perma.

2.3 Perbandingan Pengaturan Electronic Court antara Indonesia dan Jerman Hukum Acara Perdata Jerman (Zivilprozessordnung, selanjutnya disebut "ZPO") telah mengatur ketentuan undang-undang mengenai pelaksanaan sidang jarak jauh menggunakan teknologi konferensi video sejak tahun 2002 dan telah diperbarui pada tahun 2013. Namun, dalam prakteknya pelaksanaan sidang jarak jauh menggunakan teknologi konferensi video tersebut jarang digunakan.15 Barulah setelah Pandemi Covid-19 menyebar di seluruh dunia pada tahun 2020, sistem tersebut telah menjadi hal yang biasa digunakan dalam praktek sehari-hari. Pengaturan dasar mengenai pelaksanaan peradilan secara elektronik di Jerman termaktub dalam Pasal 128a ZPO mengenai negosiasi melalui transmisi gambar dan suara. Pasal 128a (1) ZPO mengizinkan para pihak, wakil yang sah,

14 Shahrul Mizan Ismail, Teoh Shu Yee, Shafinah Mohd Hussein, “Taking and Sharing Photographs of Virtual Court Proceedings to Social Media: A Critical Appraisal on the Law of Contempt in Malaysia,” International Journal for Court Administration 13 (2022), hlm. 7-8.

15 Britta Grauke, Dzmitry Krupadiorau, and Gero Pogreba, “Remote Hearings in Germany: are they here to stay?,” https://european-disputes-blog.weil.com/germany/remote -hearings-in-germany-arethey-here-to-stay/, diakses 02 November 2022.

dan penasehatnya untuk melakukan tindakan prosedural dari luar ruang sidang dan sidang akan disiarkan dalam bentuk gambar dan suara yang terhubung langsungkeruang pertemuansidang.Sementaraitu, Pasal 128a(2)ZPOmengatur kemungkinan pengambilan bukti dengan saksi dan ahli di tempat lain selama pemeriksaan melalui konferensi video yang terhubung langsung ke ruang pertemuan sidang. Sejak reformasi tahun 2013, perintah berdasarkan ayat 1 dapat dikeluarkan secara ex officio dan tidak memerlukan persetujuan para pihak, sedangkan pengambilan barang bukti secara virtual hanya dapat dilakukan atas permintaan salah satu pihak atau orang bukti yang bersangkutan.16

Pemberian sidang jarak jauh menggunakan teknologi konferensi video ini sepenuhnya merupakan kewenangan yang dimiliki pengadilan. Walaupun salah satu pihak yang sedang berperkara dapat mengajukan permohonan untuk melakukan pemeriksaan sidang jarak jauh menggunakan teknologi konferensi video, keputusan akhir tetap berada di tangan hakim. Selain itu, keputusan akhir yang dipegang hakim mengenai apakah pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara jarak jauh atau tidak sangat bergantung pada peralatan teknik pengadilan yang berwenang dan seberapa yakin pengadilan dalam menggunakan teknologi tersebut.17 Selain mengatur mengenai pelaksanaan peradilan secara elektronik, Hukum Acara Perdata Jerman juga mengatur mengenai dokumen elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 130a (1) dan (3) dimana permohonan-permohonan dan pernyataan-pernyataan oleh para pihak diajukan secara tertulis. Keteranganketerangan pendapat ahli yang diajukan secara tertulis dapat diajukan ke pengadilan secara elektronik dimana dokumen elektronik tersebut harus memiliki tanda tangan elektronik.

Pengaturan terkait peradilan elektronik di Jerman telah berkembang lebih jauh dibandingkan dengan peradilan elektronik di Indonesia. Hukum Acara PerdataJermanataubiasadisebutdenganZPOtelahmengaturketentuanperadilan elektronik pada tahun 2002 dan telah direformasi pada tahun 2013. Sementara itu, Indonesia baru mengatur peradilan elektronik pada tahun 2018 melalui Perma 3/2018 yang kemudian dicabut dengan Perma 1/2019.

16 Astrid Stadler, GöttingerKolloquien zurDigitalisierungdesZivilverfahrensrechts, (Goettingen: Universitätsverlag Göttingen, 2022), hlm. 6.

17 Ibid

11

HAMBATAN DAN TANTANGAN PENERAPAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DI INDONESIA SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN MALAYSIA DAN JERMAN

3.1 Hambatan dan Tantangan Penerapan Persidangan Elektronik di Indonesia

Kehadiran persidangan elektronik sebagai mekanisme peradilan kekinian oleh Mahkamah Agung bertujuan untuk mewujudkan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel guna memberikan kemudahan dalam pelayanan publik. Namun, secara praktik, ide tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud. Beberapa hambatan yang terjadi dalam pelaksanaannya menjadi refleksi ketidakmampuan persidangan elektronik untuk berdiri kokoh dalam sistem hukum Indonesia. Dalam mengidentifikasi hambatan dan tantangan efektivitas penerapan persidangan elektronik yang sudah berlangsung di Indonesia sejak mendapatkan legitimasi melalui PERMA 3/2018, peneliti menggunakan data primer dengan mewawancarai dua hakim yang bertugas di wilayah Indonesia Tengah dan Indonesia Timur, yaitu hakim Pengadilan Negeri Negara, Bali, dan hakim Pengadilan Negeri Donggala, Sulawesi Tengah. Di bawah ini peneliti mengidentifikasihambatandantantangandarimasing-masingpengadilantersebut dengan mengacu pada setiap tahapan persidangan elektronik.

Tabel 4.1 Perbandingan Hambatan dan Tantangan Penerapan Persidangan Elektronik di Pengadilan Negeri Donggala dan Pengadilan Negeri Negara

Tahap Hambatan dan Tantangan

Pengadilan Negeri Donggala Pengadilan Negeri Negara

Pendaftaran

1. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai mekanisme pengadilan secara elektronik

2. Belum terdapat alat untuk memvalidasi kebenaran email dari para pihak.

3. Masih digunakannya transaksi tunai dalam pengembalian uang panjar

1. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap teknologi

2. Pengaburan informasi mengenai kepemilikan email dan nomor rekening

3. Pemanggilan terhadap para pihak menjadi tidak masuk ke email yang dituju

BAB III

Jawab Jinawab

1. Dokumen jawab jinawab yang sering tidak terkirim dalam sistem persidangan elektronik

2. Dokumen yang diunggah dalam sistem persidangan elektronik tidak lengkap

1. Dokumen jawab jinawab yang sering tidak terkirim dalam sistem persidangan elektronik

2. Dokumen yang diunggah dalam sistem persidangan elektronik tidak lengkap

3. Pembatasan ukuran file/dokumen yang harus diunggah dalam sistem

2. Belum adanya mekanisme pembuktian melalui media elektronik

Putusan 1. Rentannya sistem yang sering mengalami error dan kendala jaringan

2. Penerapan Asas Terbuka untuk Umum dalam pembacaan putusan masih menjadi perdebatan

1. Persidangan elektronik hanya dijadikan sebagai transfer sarana

3. Pembatasan ukuran file/dokumen yang harus diunggah dalam sistem Pembuktian 1. Persidangan elektronik hanya dijadikan sebagai transfer sarana

2. Belum adanya mekanisme pembuktian melalui media elektronik

1. Rentannya sistem yang sering eror dan kendala jaringan

2. Penerapan Asas Terbuka untuk Umum dalam pembacaan putusan masih menjadi perdebatan

Berdasarkan data yang dipaparkan di atas, terdapat empat tahapan dalam proses persidangan elektronik yang digunakan peneliti untuk mengidentifikasi tantangan dan hambatan selama pelaksanaan persidangan elektronik sejak diluncurkan pertama kali pada 29 Maret 2018.18 Pertama, Perihal Pendaftaran. Sejak tahun 2021, Mahkamah Agung sudah menginstruksikan untuk semua Pengadilan menggunakan persidangan elektronik. Dalam praktiknya, meskipun prosesnya tidak dilakukannya secara elektronik, setidaknya pendaftarannya harus melalui e-court. Hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya panggilan kepada para tergugat karena dilakukan dengan mengirimkan email kepada para pihak. Apabila mengalami kesulitan, kini di setiap pengadilan telah disediakan petugas e-court yang bertugas untuk membantu para pihak dalam e-court. Dalam beberapa kasus, khususnya di Donggala, pendaftaran e-court dilakukan di Pengadilan, melalui

18 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Mahkamah Agung RI Meresmikan Aplikasi E-Court”, Direktorat Jenderal Badan Peradilan UmumMahkamah Agung RI Meresmikan Aplikasi E-Court, diakses 16 November 2022.

13

meja e-court. Kendati demikian, para pihak masih belum memahami eksistensi ecourt di Pengadilan. Alhasil, apabila kondisinya penggugat berbohong atas kepemilikan email, penggugat tidak akan mengetahui jadwal sidang pertama dan gugatannya dianggap gugur. Sayangnya, sampai saat ini sistem ecourt Indonesia masih belum memiliki peralatan yang memadai untuk memvalidasi email tersebut. Dalam hal pengembalian uang panjar, terdapat dua konsep. Pertama, pihakdapatdilakukansecaratunaidankedua,nomorrekeningyangbersangkutan. Di lain sisi, penerapan persidangan elektronik di Indonesia masih terhambat oleh adanya kepercayaan publik terhadap sistem pembayaran elektronik. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam pendaftaran perkara melalui sistem e-court, seperti pemberian nomor rekening bukan milik pribadi. Akibatnya, pengembalian uang panjar menjadi terhambat dan tidak tepat sasaran. Selain itu, praktik suap di lingkungan peradilan juga berpotensi terjadi karena sistem pembayarannya masih dilakukan secara konvensional. Kedua, Perihal Jawab Jinawab. Pengiriman jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan seringkali tidak terkirim dalam sistem e-court yang sering mengalami gangguan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari para pihak yang berperkara mengenai dokumen-dokumen tersebut terhadap hasil verifikasi dari Majelis Hakim. Dalam praktiknya, Majelis Hakim sering menemukan dokumen yang diserahkan belum lengkap dan tidak sesuai ketentuan, hal ini berbeda dengan persidangan konvensional yang dapat segera diserahkan dan diperbaiki oleh para pihak. Hambatan lainnya selama penerapan sistem e-court adalah adanya pembatasan ukuran dokumen yang harus diunggah. Hal ini menjadi permasalahan bagipersidanganelektronikuntukperkarayangkomplekssehinggamembutuhkan kapasitas yang besar untuk dokumen unggahannya. Ketiga, Perihal Pembuktian. Sampai saat ini, sistem e-court hanya berfungsisebagaitransfersaranasaja.Dalamprakteknya,tidakadapengunggahan berkas pembuktian di dalamnya. Berdasarkan keterangan narasumber, pembuktian secara langsung berkaitan erat dengan persangkaan hakim untuk memverifikasi keaslian dokumen sehingga sulit untuk mengimplementasikannya di Indonesia saat ini. Selanjutnya, narasumber mengusulkan bahwa pemeriksaan keterangan saksi dapat dilakukan secara elektronik dengan syarat dilakukan di

wilayah hukum saksi. Hal ini dikarenakan sense untuk membuktikan lebih kuat saat dilakukan secara langsung. Keempat, Perihal Putusan. Pembacaan putusan dalam persidangan elektronik sejatinya masih terdapat ambiguitas terhadap penerapan asas terbuka untuk umum. Meskipun dalam perkembangannya beberapa pengadilan di Indonesia, khususnya di Pengadilan Negeri Donggala telah melakukan penyebarluasan akses video conference melalui media sosial, hal ini sesungguhnya masih menjadi perdebatan hakim. Narasumber mengungkapkan bahwa kedepannya sistem persidangan elektronik di Indonesia dapat menerapkan live streaming sehingga dapat diketahui oleh masyarakat umum. Hambatan yang terakhir berkaitan dengan masalah infrastruktur internet di Indonesia yang belum memadai sehingga menimbulkan kerentanan sistem e-court

3.2 Hambatan dan Tantangan Penerapan Persidangan Elektronik di Malaysia dan Jerman

Kehadiran pandemi COVID-19 membawa transisi bagi peradilan di Malaysia dan Jerman. Pandemi COVID-19 telah menghambat proses berperkara yang mengharuskan pihak berperkara untuk datang langsung di muka persidangan di kedua negara tersebut, hal ini disebabkan adanya peraturan yang mengharuskan masyarakat untuk membatasi interaksi antar sesama dan membatasi ruang gerak masyarakat untuk melakukan aktifitas diluar rumah agar memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Dalam konteks ini, kedudukan hukum (legal standing) dan infrastruktur teknologi akan menjadi bahan pembanding dalam studi komparasi di Malaysia dan Jerman terhadap pelaksanaan persidangan elektronik.

Tabel 4.2 Perbandingan Hambatan dan Tantangan Penerapan Persidangan Elektronik di Malaysia dan Jerman

Pembanding

Hambatan dan Tantangan Malaysia Jerman

Legal Standing Belum adanya peraturan perundang-undangan yang Telah ada sejak tahun 2002 dalambentukundang-undang

15

memberikan legal standing terhadap pelaksanaan persidangan elektronik sebelum adanya pandemi COVID-19.

Infrastruktur Teknologi Terhambatnya proses persidangan karena koneksi internet yang tidak stabil dan kerentanan sistem persidangan dalam e-court dan e-syariah.

yaitu Zivilprozessordnung dan telah diperbarui pada tahun 2013, namun baru efektif digunakan saat pandemi COVID-19.

Kurangnya infrastruktur teknologi di beberapa pengadilan yang menghambat pelaksanaan persidangan elektronik.

Di Malaysia, sebelum kehadiran pandemi, tantangan utama dalam pelaksanaan peradilan elektronik adalah tidak adanya peraturan perundangundangan sebagai legal standing pelaksanaan peradilan elektronik.19 Kekosongan hukum tersebut mengakibatkan tidak adanya perkembangan peradilan elektronik di Malaysia. Namun, kondisi pandemi yang menghambat pelaksanaan persidangan secara tatap muka memaksa kekuasaan kehakiman di Malaysia untuk menerapkan persidangan secara elektronik. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat atas peradilan. Tidak lama setelah diterapkannya pengadilan elektronik, Pemerintah melakukan amandemen untuk mencantumkan ketentuan pengadilan elektronik sebagai dasar hukum pelaksanaan peradilan elektronik.20

Tantangan lainnya dalam pelaksanaan peradilan elektronik di Malaysia adalah akses terhadap teknologi dan internet. Meskipun peradilan elektronik mempermudah pelaksanaan peradilan dengan dimungkinkannya dilaksanakan persidangan jarak jauh, tidak meratanya fasilitas pendukung peradilan elektronik menjadi salah satu tantangan utama. Hakim Agung Malaysia Tengku Maimun Tuan Mat dalam salah satu kesempatan menyatakan bahwa akses terhadap fasilitas pendukung menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan peradilan

19

Ida Lim, “How MCO helped Malaysia’s judges, lawyers switch faster to online hearings, paperless system,” https://www.malaymail.com/news/malaysia/2021/01/01/how-mco-helped-malaysiasjudges-lawyers-switch-faster-to-online-hearings-pa/1936496, diakses 14 November 2022. 20 Ibid

elektronik.21 Alhasil, manfaat dari peradilan elektronik menjadi eksklusif bagi anggota masyarakat tertentu. Selain itu, juga terdapat kerentanan sistem. Penggunaan teknologi dalam persidangan membawa hambatan berupa kerentanan sistem terhadap malfungsi.22 Sebagaimana teknologi pada umumnya, persidangan elektronik terkadang mengalami beberapa malfungsi seperti suara, gambar, ataupun koneksi internet. Hal ini yang terkadang menghambat jalannya persidangan yang sedang berlangsung. Padahal, persidangan perlu diselenggarakan secara tepat waktu.

Di Jerman, Pandemi Covid-19 telah menghambat proses berperkara yang mengharuskan pihak berperkara untuk datang langsung di muka persidangan di Jerman. Oleh karena itu, pengadilan di Jerman memiliki solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan mengubah sistem peradilan secara konvensional menjadi peradilan secara elektronik yang sebelumnya sudah memiliki legal standing dalam Zivilprozessordnung dantelah diperbaruipadatahun2013, namun baru efektif digunakan saat pandemi COVID-19. Dalam prakteknya tidak jarang di beberapa pengadilan di Jerman tidak memiliki fasilitas perangkat keras yang memadai untuk dapat melaksanakan peradilan secara elektronik yang menghubungkan antara para pihak yang berada di luar ruang sidang dengan ruang pertemuansidang.Olehkarenaitu,pelaksanaan peradilan secara elektronik sangat bergantung padaseberapasiappengadilantersebut menggunakan teknologi dalam prakteknya.

21 Sharanjit Singh, “Virtual hearings to remain as the new norm,” https://www.nst.com.my/news/crime-courts/2022/01/762942/virtual-hearings-remain-new-norm, diakses 14 November 2022.

22 V Anbalagan, “Virtual hearings to stay as part of new normal, says chief justice,” https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2022/01/14/virtual-hearings-to-stay-as-part-of-newnormal-says-chief-justice/, diakses 20 November 2022.

17

KONSEP USULAN UNTUK PENGATURAN PERSIDANGAN ELEKTRONIK DI RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PERDATA

4.1

Bentuk Produk Hukum Persidangan Secara Elektronik

Sejak awal hadirnya ketentuan E-Court di peradilan Indonesia, pengaturannya dimuat di dalam Peraturan Mahkamah Agung. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, saat ini E-Court diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik sebagaimana telah diubah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 (Perma 7/2022). Selama 77 tahun merdeka, Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur terkait Hukum Acara Perdata. Namun saat ini, rancangan produk Hukum Acara Perdata menjadi salah satu Program Legislasi Nasional. Undang-Undang Hukum Acara Perdata (UU Hukum Acara Perdata) diharapkan dapat memuat segala ketentuan terkait pelaksanaan acara peradilan perdata. Selama ini kekosongan produk Undang-Undang terkait acara perdata menjadi hambatan bagi diaturnya E-Court dalam sebuah Undang-Undang. Maka daripadaitu,dapatdipahamialasanpencantumanketentuanE-Courtdalamsebuah Perma. Namun, pengaturan E-Court sebagai salah satu bagian dari tata beracara peradilan perdata selayaknya diatur dalam UU Hukum Acara Perdata. Nantinya, Perma hanya menjadi peraturan pelaksana bukan sebagai landasan hukum utama. Hal ini juga yang dilakukan di negara Malaysia dan Jerman di mana pengaturan terkait E-Court terdapat di peraturan level Undang-Undang. Walaupun sebelumnya kedua negara tersebut belum memiliki pengaturan terkait E-Court tetapi segera ketika E-Court dilaksanakan pengaturannya dicantumkan dalam Undang-Undang. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan E-Court. Maka dari itu, pengaturan E-Court di Indonesia perlu dirumuskan dalam UU Hukum Acara Perdata.

4.2 Perumusan Definisi Persidangan Secara Elektronik

Saat ini, istilah yang digunakan dalam Perma adalah persidangan secara elektronik. Namun, laman Mahkamah Agung menggunakan istilah E-Court untuk

BAB IV

proses persidangan secara elektronik. Penggunaan istilah E-Court dapat dipahami sebagai usaha untuk mempermudah penyebutan istilah. Namun, penggunaan bahasa Indonesia sebagai pedoman dalam Undang-Undang tetap diperlukan. Maka dari itu, istilah yang digunakan dalam UU Hukum Acara Perdata nantinya dapat digabungkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Istilah yang digunakan adalah Persidangan secara Elektronik/E-Court. Hal ini untuk mengakomodasi kebutuhan normatif dan praktis di masyarakat. Adapun definisi persidangan secara elektronik di Perma 1/2019 adalah proses memeriksa dan mengadili perkaraoleh pengadilanyang dilaksanakan dengan dukunganteknologi dan informasi. Definisi tersebut telah memberi batasan yang jelas terkait persidangan secara elektronik. Maka dari itu, definisi tersebut dapat kembali digunakan dalam UU Hukum Acara Perdata.

Hal yang sama juga diterapkan di Malaysia di mana rumusan dalam Undang-Undang menggunakan bahasa Malaysia. Namun, sistem peradilan elektroniknya menggunakan istilah E-Court dan E-Shariah. Sementara itu, persidangan secara elektronik di Jerman tidak menggunakan istilah tertentu. Perundang- undangan Jerman hanya menyatakan bahwa persidangan dapat dilakukan secara jarak jauh menggunakan teknologi konferensi video. Terhadap sistemnya juga tidak terdapat penamaan tertentu.

4.3 Konsep Putusan dalam Persidangan Secara Elektronik

Pada dasarnya suatu putusan pengadilan dikatakan sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan secara langsung dalam persidangan yang terbuka untuk umum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 13 Ayat (2) UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, di tengah era digitalisasi yang semakin maju dan didukung dengan adanya pandemi Covid19, Mahkamah Agung melakukan suatu inovasi baru dalam hukum yaitu dengan menghadirkan peradilan elektronik yang dimana proses memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dilakukan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, Mahkamah Agung membuat peraturan yang mengatur mengenai penyampaian putusan secara elektronik kepada pihak yang sedang berperkara melalui Layanan Aplikasi E-Court yang sah dan memiliki

19

kekuatan dan akibat hukum yang sah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26 ayat (6) Perma 7/2022.

Majelis Hakim atau Hakim dan Panitera Sidang menandatangani putusan atau penetapan dengan menggunakan tanda tangan manual, kemudian putusan atau penetapan tersebut disampaikan secara elektronik oleh Majelis Hakim. Pada hari dan tanggal yang sama dengan pengucapan putusan atau penetapan, salinan putusan atau penetapan tersebut di unggah ke dalam sistem informasi yang disediakan oleh Mahkamah Agung yaitu Sistem Informasi Pengadilan (SIP). Salinan putusan atau penetapantersebut dapat diakses olehparapihakmelalui SIP dalam bentuk Portable Document Format (PDF), oleh karena itu pengucapan putusan atau penetapan tersebut secara hukum dianggap telah memenuhi asas sidang terbuka untuk umum karena dianggap telah dihadiri oleh para pihak.23 Setelah mengunggah salinan putusan atau penetapan ke Sistem Informasi Pengadilan, Majelis Hakim dan Panitera melakukan verifikasi terhadap salinan tersebut. Kemudian bagi para pihak yang bersangkutan yang ingin mengunduh salinan putusan atau penetapan tersebut harus membayar biaya Biaya Leges salinan putusan atau penetapan dengan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Biaya Leges yang telah diatur Negara dan Peraturan Mahkamah Agung melalui virtual account. Tarifnya disesuaikan dengan jumlah halaman salinan tersebut dengan tarif Rp. 300,00,- perlembar dan ditambah dengan biaya leges.24 Hal ini membuktikan bahwa pada prakteknya asas terbuka untuk umum belum benar-benar terlaksana karena salinan putusan dan penetapan tersebut hanya bisa diakses oleh para pihak yang bersangkutan sedangkan masyarakat umum tidak dapat mengakses salinan putusan dan penetapan pengadilan tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkan asas terbuka untuk umum diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kebolehan untuk masyarakat umum mengakses putusan dan penetapan dalam peradilan elektronik dalam RUU Hukum Acara Perdata.

23 Dalih Effendy, “PemeriksaanPerkara Secara Elektronik (ELitigasi) Antara Teori Dan Praktek Di Pengadilan Agama,” https://www.pta-pontianak.go.id/berita/artikel/543- pemeriksaan-perkara-secaraelektronik-e-litigasi-antara-teori-dan-praktek-di-pengadilan-agama-i-oleh-dr-drs-h-dalih-effendy-s-h-mesy-hakim-tinggi-pta-pontianak, diakses 16 November 2022.

24 MahkamahAgungRIPengadilanAgamaSoreang,“BanyakYangTidakTahu,SalinanPutusan Elektronik Bisa Diambil Tanpa Datang Ke Kantor,”diakses 17 November2022.

Kewenangan Kuasa Hukum dalam Persidangan Secara Elektronik

Kuasa hukum berperan penting dalam proses beracara di pengadilan. Dalam tatarannormatif,kuasahukum disebut denganistilahadvokat sebagaimana yang diatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).Menurutundang-undang a quo,disebutkanbahwaadvokat merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan.25 Sebagai penegak hukum yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan26, advokat berhak untuk berpendapat dalam membela perkara dalam persidangan dengan tetap memperhatikan kode etik profesi.27 Seiring dengan perkembangan persidangan elektronik, peran advokat dalam beracara diakomodasi dalam Perma 1/2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik sebagaimana telah diubah Perma 7/2022. Pada peraturan a quo disebutkan bahwa advokat yang memenuhi persyaratan dapat menjadi pengguna terdaftar dalam layanan administrasi secara elektronik, seperti memiliki kartu tanda penduduk, kartu keanggotaan advokat, dan berita acara sumpah advokat oleh pengadilan tinggi.28 Pada praktiknya, penerapan persidangan elektronik di Indonesia yang dilakukan secara jarak jauh menimbulkan beberapa permasalahan. Pertama, keterbatasan akses terhadap advokat dalam mendampingi pihak yang berperkara di pengadilan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kualitas pendampingan hukum dalam proses beracara. Kedua, kerentanan yang ditimbulkan akibat pencabutan kuasa hukum atau advokat oleh pihak prinsipal di tengah proses pemeriksaan persidangan. Meskipun dalam PERMA 1/2019 telah diatur ketentuan mengenai kewajiban pihak prinsipal untuk melaporkan terlebih dahulu pencabutan tersebut kepada kepaniteraan pengadilan29, namun hal ini tetap perlu menjadi perhatian dari pihak prinsipal agar tidak disalahgunakan oleh kuasa hukum atau advokat sebagai pengguna terdaftar dalam layanan administrasi secara elektronik. Oleh

25 Indonesia, Undang-undang tentang Advokat, UU No. 18 Tahun 2003, Ps. 1 angka 1.

26 Ibid., Ps. 5 ayat 1.

27 Ibid., Ps. 14 ayat 1

28 Mahkamah Agung, Peraturan tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan, PERMA Nomor 1 Tahun 2019, Ps. 29 Ibid., Ps. 28 Ayat 1

21
4.4

karena itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan advokat dalam persidangan elektronik dalam RUU Hukum Acara Perdata.

4.5 Ketentuan Penerapan Asas Terbuka untuk Umum dalam Sistem Peradilan Elektronik

Asas Terbuka untuk Umum merupakan paradigma yang sejak lama ada dalam konstruksi Pasal 179 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).DalamPasal ini dijelaskan bahwa putusan hakim dibacakan di dalam sidang yang terbuka untuk umum, sehingga apabila ketentuan ini dilanggar mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.30 Selain diakomodasi dalam norma di HIR, asas terbuka untuk umum juga dimuat dalam Pasal 13 UndangUndangNomor48Tahun2009tentangKekuasaanKehakiman(“UUKekuasaan Kehakiman”)yangmenyatakanbahwa:

1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.31

Dalam ketentuan Pasal 1 undang-undang a quo, pengecualian terhadap asas terbuka untuk umum atau persidangan dinyatakan tertutup untuk umum ditujukanuntuk kasus-kasus yangmenyangkut ketertibanumum ataukeselamatan negara32, pemeriksaan gugatan perceraian33, kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara34, dan perkara anak kecuali dalam pembacaan putusan.35

30

Herziene Inlandsch Reglement (HIR), Ps. 179.

31 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman,UU Nomor 48 Tahun 2009, Ps. 13.

32 Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Pasal 70 ayat (2).

33 Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 80 ayat (2).

34 Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Militer, Undang-UndangNomor 31 Tahun1997, Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3).

35 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Pasal 54.

Sementara itu, ketentuan Pasal 2 undang-undang a quo menjadi syarat putusan pengadilan menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum apabila telah mengimplementasikan pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Pada masa globalisasi yang semakin pesat di mana digitalisasi mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan masyarakat, pelaksanaan asas terbuka untuk umum dalam proses peradilan di Indonesia menghadapi berbagai peluang dan tantangan. Hal ini semakin terlihat jelas setelah hadirnya berbagai regulasi yang mengatur mengenai peradilan elektronik. Peraturan Mahkamah Agung (“PERMA”) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di PengadilanSecaraElektronik menjadi tantanganawal daripenerapan asas terbuka untuk umum dalamperadilanelektronik. Pasalnya,dalamPasal 4ayat (1)undangundang a quo menjelaskan bahwasanya layanan administrasi perkara secara elektronik dapat digunakan oleh advokat maupun perorangan yang terdaftar.36 Berdasarkan konstruksi asas terbuka untuk umum yang dilaksanakan secara konvensional, dipahami bahwaproses peradilan dapat disaksikandandiakses oleh masyarakat umum, bukan terbatas pada segelintir orang saja. Hal ini secara jelas menimbulkan kekaburan norma. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat kesesuaian antara konstruksi persidangan terbuka untuk umum dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2018 dengan konstruksi persidangan terbuka untuk umum secara konvensional. Hal yang membedakan adalah PERMA Nomor 3 Tahun 2018 memberlakukannya secara terbatas. Setelah pencabutan terhadap PERMA Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diganti dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, perubahan paradigma terhadap konstruksi asas terbuka untuk umum dalam persidangan konvensional ditunjukkan dalam Pasal 27 peraturan a quo yang menyatakan bahwa:

Persidangan secara elektronik yang dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pengadilan pada jaringan internet publik secara hukum telah memenuhi asas dan ketentuan persidangan terbuka untuk umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.37

36 Mahkamah Agung, Peraturan tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, PERMA Nomor 3 Tahun 2018, Ps. 4 ayat (2).

37 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, PERMA Nomor 1 Tahun 2019, Ps. 27.

23

Selain Pasal 27 peraturan a quo, Pasal 26 ayat 1-3 juga menjelaskan klaim telah diakomodirnya pelaksanaan asas terbuka untuk umum sebagaimana berbunyi sebagai berikut:

1. Putusan/penetapan diucapkan oleh Hakim/Hakim Ketua secara elektronik.

2. Pengucapan putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara hukum telah dilaksanakan dengan menyampaikan salinan putusan/penetapan elektronik kepada para pihak melalui Sistem Informasi Pengadilan.

3. Pengucapan putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara hukum dianggap telah dihadiri oleh para pihak dan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.38

Dalam substansi Pasal 26 dan 27 peraturan a quo, terdapat inkonsistensi dalam pemaknaan asas terbuka untuk umum dan juga kontradiksi dengan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman yang menjadi dasar dalam penyusunan peraturan a quo. Maka dari itu, diperlukan reformulasi atau perubahan ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman untuk mengakomodasi administrasi perkara di pengadilan secara elektronik.39

Rancangan Undang-UndangHukumAcaraPerdata(“RUUHukumAcara Perdata”)sebagailandasanyuridisyang akandigunakandalampenyelenggaraan peradilan perdata di Indonesia nantinya perlu mengakomodasi ketentuan tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Meskipun ketentuannya telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2019, dibutuhkan payung hukum berupa produk perundang-undangan yaitu undang-undang. Dalam perumusan materi muatan tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik dalam RUU Hukum Acara Perdata, salah satu rumusan pasal yang perlu dibentuk agar tidak menimbulkan kekaburan hukum adalah terkait pelaksanaan asas terbuka untuk umum dalam persidangan elektronik. Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa ketentuan Pasal 26 dan 27 PERMA Nomor 1 Tahun 2019 perlu untuk diubah agar sinergis dengan konstruksi asas terbuka untuk umum sebagaimana yang tercantum dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

38 Ibid., Ps. 26 ayat 1-3

39 Bernadette Mulyati Waluyo, “Asas Terbuka Untuk Umum dan Kehadiran Fisik Para Pihak dalam Sidang di Pengadilan Negeri Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun2019”, VeJ Vol. 6, hlm. 241.

Sebagai usulan terhadapsolusi penerapan asas terbukauntuk umum dalam persidangan elektronik, Mahkamah Agung perlu mengembangkan situs yang berfungsi sebagai live streaming court. Dalam hal ini, masyarakat umum dapat mengakses dan menyaksikan secara daring proses persidangan yang sedang berlangsung. Selain itu, Mahkamah Agung perlu memberikan akses digital yang mudah kepada masyarakat umum untuk mengakses putusan pengadilan. Sebagaimana konstruksi PERMA Nomor 1 Tahun 2019 yang menjadi landasan yuridis administrasi persidangan di pengadilan secara elektronik di Indonesia saat ini masih membatasi akses digital hanya kepada pengguna terdaftar dan pengguna lain.DalamPasal1butir(4)dan(5)peraturan aquo menjelaskanbahwapengguna terdaftar adalah advokat yang memenuhi syarat sebagai pengguna sistem informasi pengadilan dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh Mahkamah Agung. Sementara itu pengguna lain adalah subjek hukum selain advokat yang memenuhi syarat untuk menggunakan sistem informasi pengadilan dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh Mahkamah Agung meliputi antara lain Jaksa Pengacara Negara, Biro Hukum Pemerintah/TNI/POLRI, Kejaksaan RI, Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk badan hukum (in-house lawyer), kuasa insidentil yang ditentukan undang-undang.40 Dengan menerapkan dua usulan tersebut, pelaksanaan asas terbuka untuk umum dalam persidangan elektronik akan tetap sinergis dengan paradigma yang ada dalam konstruksi HIR dan UU Kekuasaan Kehakiman.

4.6 Perumusan dan Analisis Ketentuan Pengadilan Elektronik Sebagai Alternatif Penyelenggaraan Peradilan di Pengadilan Konvensional

Asas penyelenggaraan peradilan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Berdasarkan asas tersebut, penyelenggaraan peradilan harus berjalan melalui tahapan yang sederhana dan cepat serta biaya yang ringan. Pada dasarnya, asas ini bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak yang berperkara di pengadilan.

40 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, PERMA Nomor 1 Tahun 2019, Ps. 1 butir (4) dan (5).

25

Saat ini, pengadilan merupakan opsi tunggal bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa melalui peradilan yang diselenggarakan oleh negara. Namun, penyelenggaraan peradilan melalui pengadilan tersebut seringkali tidak mencerminkan asas penyelenggaraan peradilan. Hal utama yang menghambat adalah akses terhadap pengadilan yang sulit. Sebagaimana diketahui bahwa pengadilan negeri dan tinggi berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota dan ibukota provinsi. Sementara itu, wilayah ibukota tersebut tidak selalu berada dalam jangkauan seluruh masyarakat. Maka dari itu, permasalahan muncul ketika masyarakat yang berada di wilayah jauh dari jangkauan ibukota hendak mengakses peradilan di pengadilan.

Pengadilan seyogyanya harus bersifat sederhana di mana perkara para pihak diselesaikan tanpa proses yang berbelit-belit. Namun, hambatan terhadap akses pengadilan yang dialami oleh para pihak menghilangkan asas sederhana tersebut. Para pihak harus menempuh proses-proses yang rumit hanya untuk datang ke pengadilan. Pelaksanaan asas cepat tidak hanya ditafsirkan sebagai cepat dalam penyelesaian perkara. Asas cepat juga dapat ditafsirkan sebagai cepat dalam mengakses peradilan. Sekali lagi, jarak yang membentang antara masyarakat dan pengadilan memperpanjang waktu yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Dalam situasi di mana masyarakat memiliki kepentingan yang sifatnya darurat, aksesibilitas yang rendah tersebut menjadi penghambat utama. Pada akhirnya, asas cepat juga tidak terpenuhi. Aksesibilitas yang rendah juga menimbulkan biaya yang tinggi bagi masyarakat yang hendak beracara di pengadilan. Masyarakat terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk berpergian ke pengadilan. Padahal, peradilan seharusnya tidak memberatkan biaya bagi masyarakat. Kehadiran pengadilan elektronik dapat menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Penyelenggaraan peradilan melalui media elektronik memudahkan akses pengadilan bagi seluruh pihak. Seluruh masyarakat dapat mengakses pengadilan tanpa khawatir terkait jarak yang harus ditempuh serta biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Namun, penyelenggaraan peradilan secara elektronik dirumuskan menjadisebuahopsi.Artinya,parapihakyangakanberacaradapatmemilihsistem peradilanyangakandigunakansesuaikebutuhanmasing-masing.Halinidilandasi

perbedaan latar belakang masing-masing pihak. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi beberapa pihak yang berada di dekat pengadilan opsi beracara di pengadilan adalah mudah. Maka dari itu, akomodasi terhadap kebutuhan seluruh masyarakat dinyatakan melalui rumusan pelaksanaan peradilan elektronik sebagai sebuahopsi penyelenggaraan peradilan konvensional.

4.7 Perumusan dan Analisis Ketentuan Pembuktian Secara Elektronik

Seiring perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, Mahkamah Agung memiliki visi dalam mewujudkan Badan Peradilan Modern dengan berbasis Teknologi Informasi terpadu.41 Dalam mewujudkan visi tersebut, Mahkamah agung melakukan Modernisasi Manajemen Perkara dalam Penerapan Peradilan berbasis elektronik. Modernisasi Manajemen Perkara tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu keterbukaan revitalisasi sistem pelaporan, modernisasi business process & pelayanan publik, dan pelayanan hukumterintegrasi.Padabagianmodernisasi businessprocess &pelayananpublik berorientasi pada pelayanan dan pemanfaatan teknologi informasi agar menciptakan efisiensi dalam proses peradilan dengan melakukan perubahan seperti migrasi manajemen perkara berbasis elektronik, pelayanan publik berbasis elektronik, simplifikasi administrasi perkara cepat.42 Dengan hadirnya modernisasi manajemen perkara tersebut, diharapkan dapat mengurangi keluhan masyarakat dalam proses pelayanan berperkara di peradilan yang dinilai lambat dan bertele-tele. Salah satu bentuk perwujudan modernisasi manajemen perkara dalam penerapan peradilan berbasis elektronik adalah penerapan pembuktian secara elektronik. Padaprakteknyakedudukanalatbuktimemegangperan sangat penting dalam dunia peradilan. Pembuktian elektronik diatur dalam Undang-Undang Nomor No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE dijelaskan bahwa Alat Bukti Elektronik merupakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah, 41 Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 (Jakarta, 2010), hlm. 13-14. 42 Ibid, hlm. 35-36.

27

dengan syarat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.43

Berdasarkan pasal 1866 KUH Perdata, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/surat, ditempatkan dalam urutan pertama sebab surat/dokumen/akta memegang peran penting dalam perkara perdata. Namun, sampai saat ini pembuktian surat/dokumen/akta secara elektronik belum diakui oleh pengadilan untuk diakui sebagai alat bukti yang sah. Sesuai isi dari pasal 1888 KUHPer yang menjelaskan secara tegas bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Oleh karena itu, mengacu pada PERMA No 1 Tahun 2019, dalam prakteknya tahap pembuktian surat dilakukan dengan dua tahap yaitu, tahap pertama adalah pembuktian secara elektronik dengan mengunggah alat bukti surat yang berupa dokumen atau tanda tangan, kemudian tahap selanjutnya adalah verifikasi keaslian dari alat bukti tersebut di muka persidangan atau secara offline. Tahapan verifikasi tersebut bertujuan untuk mencocokkan dokumen elektronik yang diunggah pada sistem dengan dokumen yangasliuntukmeminimalisiradanyapraktikpemalsuandatasehinggakeabsahan dari alat bukti tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak yang sedang berperkara.44

Saat ini dibutuhkan akomodasi ketentuan mengenai keabsahan dan proses atau tata cara pembuktian secara elektronik dalam penyelenggaraan peradilan perdata di Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Walaupun ketentuan pembuktian elektronik telah diatur Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masih terdapat kekosongan yang belum dinyatakan. Hal ini menyebabkan diperlukannya payung hukum berupa produk hukum yaitu perundang-undangan untuk mengisi kekosongan

43

Dewi Asimah, “Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti Elektronik,” Jurnal Hukum Peratun Vol. 3 No. 2 (2020), hlm. 99.

44 IDewaAyuDwiMayasari,“KeabsahanAlatBuktiSuratDalamHukumAcaraPerdataMelalui Persidangan Secara Elektronik,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 9 No. 1 (2021), hlm. 173.

hukum agar pembuktian secara elektronik menjadi suatu norma yang jelas dan tidak kabur bagi para masyarakat pencari keadilan.

29

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Dasar penyelenggaraan pengadilan elektronik dalam hukum positif Indonesia terakomodir dalam beberapa peraturan yaitu, Pertama, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin terselenggaranya pengadilan elektronik sebagai sarana peningkatan mutu peradilan. Kedua, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum dan Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4) yang menyatakan bahwa peradilan harus diselenggarakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan dasar penyelenggaraan pengadilan secara elektronik guna mempermudah proses peradilan. Ketiga, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 merupakan landasan hukum penyelenggaraan pengadilan secara elektronik untuk mewujudkan asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Keempat, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik merupakan petunjuk teknis dalam pelaksanaan administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik. Kelima, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 271/KMA/SK/XII/2019 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali SecaraElektronik yang dibentuk sebagai petunjuk teknis dalam persidangan di pengadilan tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Apabila dibandingkan dengan Malaysia dan Jerman, pengaturan E-Court di Indonesia masih terbelakang. Malaysia

BAB V PENUTUP

dan Jerman telah merumuskan pengaturan E-Courtnya dalam UndangUndang terkait hukum acara. Hal tersebut masih belum terlaksana di Indonesia saat ini.

2. Kehadiran pengadilan elektronik untuk mewujudkan pelayanan publik yang transparan dan akuntabilitas tentu memberikan kemudahan dalam pelayanan publik. Namun, di samping memberikan kemudahan dalam pelayananpublik,nyatanya masih terdapat hambatandantantangan dalam penerapannya. Penulis melakukan wawancara terkait pendaftaran, pembuktian, jawab jinawab dan putusan dengan hakim yang bertugas di Bali dan Sulawesi Tengah. Dari hasil wawancara tersebut penulis mengidentifikasi empat indikator hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan persidangan elektronik di Indonesia. Pertama mengenai pendaftaran, masih rendahnya pengetahuan dan kepercayaan masyarakat mengenai mekanisme pengadilan secara elektronik dan masih kurangnya fasilitas untuk memvalidasi kebenaran email para pihak. Kedua mengenai pembuktian, masih belum adanya mekanisme pembuktian melalui media elektronik. Ketiga mengenai jawab jinawab, adanya kendala dalam hal pengiriman dokumen jawab jinawab yang sering tidak terkirim, tidak lengkapnya dokumen yang diunggah dan besarnya ukuran dokumen yang harusdiunggah.Keempat mengenai putusan, adanyakendaladalam sistem jaringan yang sering error. Sedangkan di Malaysia dan Jerman, kedua negara tersebut mengalami hambatan yang sama dalam pelaksanaan pengadilan secara elektronik yaitu masih kurangnya fasilitas pendukung yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadilan secara elektronik di beberapa pengadilan.

3. Ada 7 (tujuh) usulan terkait pengaturan electronic court di RUU Hukum Acara Perdata. Pertama, pengaturan terkait E-Court dicantumkan dalam UU Hukum Acara Perdata. Kedua, penyebutan dalam UU Hukum Acara Perdata adalah persidangan secara elektronik dengan penyertaan istilah ECourt. Ketiga, konsep putusan adalah disampaikan secara langsung melalui persidangan dan dipublikasikan kepada umum melalui laman pengadilan. Keempat, pengaturan terkait kewenangan advokat

31

dicantumkan dalam UU Hukum Acara Perdata. Kelima, pencantuman penggunaan asas terbuka untuk umum dalam persidangan secara elektronik. Keenam, perumusan persidangan elektronik sebagai alternatif. Ketujuh, pengaturan terkait pembuktian elektronik dalam persidangan secara elektronik.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu untuk segera memasukkan ketentuan penyelenggaraan pengadilan di RUU Hukum Acara Perdata dan mengatur ketentuan teknisnya dalam peraturan pelaksananya.

2. Pemerintahperlumenjaminkeberlangsungan pengadilansecara elektronik berdasarkan hakikat asas terbuka untuk umum dalam penyelenggaraannya dengan membangun infrastruktur berkaitan yang memadai.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076.

Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344.

Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, LN No. 49 Tahun 1989, TLN No. 3400.

Undang-Undang tentang Peradilan Militer, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, LN No. 84 Tahun 1997, TLN No. 3713.

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332.

Undang-Undang tentang Advokat, UU No. 18 Tahun 2003, LN No. 49 Tahun 2003, TLN No. 4288.

Peraturan tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.Perma Nomor 3 Tahun 2018.

Peraturan Mahkamah Agung tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.Perma Nomor 1 Tahun 2019.

Peraturan Mahkamah Agung tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.Perma Nomor 4 Tahun 2020.

Peraturan Mahkamah Agung tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik Perma Nomor 7 Tahun 2022

Buku Army, Eddy. Bukti Elektronik Dalam Praktik Peradilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2020. Council of Europe. European judicial systems CEPEJ Evaluation Report 2020 Evaluation cycle (2018 data). Strasbourg: Council of Europe, 2020 Irawaty, S. H., and S. H. Martini. Hukum Perdata Dan Hukum Acara Perdata. Surabaya: Jakad Media Publishing, 2019. Reiling, Dory. Technology for Justice. How Information Technology can support Judicial Reform. Leiden: Leiden University Press, 2010.

Mahkamah Agung. Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Jakarta, 2010.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Ed.1. Cet. 10. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Soeroso, R. Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis: HIR, RBg, dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika, 2021.

33 DAFTAR

Artikel Jurnal

Asimah, Dewi. “Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti Elektronik.” JurnalHukumPeratun Vol.3No.2(2020).Hlm.99.

Hamin, Zaiton, Mohd Bahrin Othman, dan Ani Munirah Mohamad. “Benefits and Achievements of ICT Adoption by the High Courts of Malaysia.” IEEE Symposium on Humanities, Science and Engineering Research (2012). Hlm. 1235.

Ismail, Shahrul Mizan, Teoh Shu Yee, Shafinah Mohd Hussein. “Taking and Sharing Photographs of Virtual Court Proceedings to Social Media: A Critical Appraisal on the Law of Contempt in Malaysia.” International Journal for Court Administration 13 (2022). Hlm. 7-8.

Mayasari, IDewaAyuDwi.“KeabsahanAlatBukti Surat Dalam Hukum Acara Perdata Melalui Persidangan Secara Elektronik.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 9 No. 1 (2021). Hlm. 173.

Sari, Ni Putu Rivani Kartika. “Eksistensi E-Court Untuk Asas Sederhana, Cepat, Biaya Ringan dalam Sistem PeradilandiIndonesia.” Yustisia Vol. 13 No. 1 (2019). Hlm 7

Stadler, Astrid. Göttinger Kolloquien zur Digitalisierung des Zivilverfahrensrechts, (Goettingen: Universitätsverlag Göttingen, 2022), Hlm. 6. Tew,Yvonne.“TheMalaysianLegalSystem:ATaleof TwoCourts.” Georgetown Law Faculty Publications and Other Works (2011). Hlm. 4 Waluyo, Bernadette Mulyati. “Asas Terbuka Untuk Umum dan Kehadiran Fisik Para Pihak dalam Sidang di Pengadilan Negeri Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor1Tahun2019.” VeJ Vol. 6. Hlm. 241.

Wan, Wan Satirah, Mohd Saman, dan Abrar Haider. "E-Shariah in Malaysia: Technology Adoption within Justice System." Transforming Government: People, Process and Policy 7, no. 2 (2013). Hlm. 263.

Lain-lain dari Internet

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia. “MahkamahAgungRIMeresmikanAplikasiE-Court”,DirektoratJenderal Badan Peradilan Umum - Mahkamah Agung RI Meresmikan Aplikasi E-Court. Diakses 16 November 2022.

DPRRI.“RUUtentangHukumAcaraPerdata.” https://www.dpr.go.id /uu/detail/id/427. Diakses 18 Juli 2022.

E-Court Mahkamah Agung RI. “E-Court Mahkamah Agung RI,” https://ecourt mahkamah agung.go.id/. Diakses tanggal 10 Juli 2022.

Effendy, Dalih. “Pemeriksaan Perkara Secara Elektronik (E Litigasi) Antara Teori Dan Praktek Di Pengadilan Agama.” https://www.ptapontianak.go.id/berita/artikel/543- pemeriksaan-perkara-secara-elektronik-elitigasi-antara-teori-dan-praktek-di-pengadilan-agama-i-oleh-dr-drs-h-daliheffendy-s-h-m-esy-hakim-tinggi-pta-pontianak. Diakses 16 November 2022.

Grauke, Britta,Dzmitry Krupadiorau, andGeroPogreba.“RemoteHearingsinGermany: aretheyheretostay?” https://european-disputes- blog.weil.com/germany/remotehearings-in-germany-are-they-here-to-stay/. Diakses 02 November 2022.

Lim,Ida.“HowMCOhelpedMalaysia’sjudges,lawyersswitchfastertoonlinehearings, paperlesssystem.”https://www.malaymail.com/news/malaysia/2021/01/01/how-

mco-helped-malaysias-judges-lawyers-switch-faster-to-online-hearingspa/1936496. Diakses 14 November 2022.

Mahkamah Agung RI Pengadilan Agama Soreang. “ Banyak Yang Tidak Tahu, Salinan Putusan Elektronik Bisa Diambil Tanpa Datang Ke Kantor.” Diakses 17 November 2022.

Office of The Chief Registrar. “E-Court Division.” https://www.kehakiman .gov.my/en/about-us/chief-registrars-office/division-pkpmp/e-court-division. Diakses 30 Oktober 2022.

Poon, Yun Xuan. “Malaysia moves to Virtual Court hearings during Covid-19.” https://govinsider.asia/digital-economy/malaysian-bar- malaysia-moves-tovirtual-court-hearings-covid-19/. Diakses 30 Oktober 2022

Singh, Sharanjit. “Virtual hearings to remain as the new norm,” https://www.nst.com.my/news/crime-courts/2022/01/762942/virtual-hearingsremain-new-norm. Diakses 14 November 2022.

35

LAPORAN PENELITIAN

PENELITIAN MANDIRI BIDANG PENELITIAN LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2022
TINJAUAN HUKUM MATERIL DAN FORMIL ATAS JUDICIAL PARDON DALAM RKUHP SERTA PELUANG PELAKSANAAN PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE

BABIPENDAHULUAN 3

A.LatarBelakang 3

B.RumusanMasalah 4

C.TujuanPenelitian 4

D.DefinisiOperasional 5

E.MetodePenelitian 6

F.SistematikaPenulisan 7

BAB II Judicial Pardon dan Peluang Penerapan Restorative Justice dalam Hukum MateriilIndonesia 8

A.Sekelumittentang Judicial Pardon 8

B. Restorative Justice sebagaiPergeseranParadigmaPemidanaan 15

C. Judicial Pardon DilihatdariDasarPenghapusPidana 17

D.Perbedaan Judicial Pardon denganBeberapaMetodePenyelesaianPerkaraLainnya 21

E. Judicial Pardon DitinjaudariPerspektifTeori LawrenceMeirFriedman 29

BABIII Judicial Pardon dariSisiHukumAcaraPidana Indonesia 33

A.Hubungan Judicial Pardon denganAsas Judicial Independence 33

B.MekanismePenerapan Judicial Pardon 34

C.KlasifikasiPutusanPidanadanImplikasinyaTerhadap Judicial Pardon 35

D.UpayaHukumyangDapatDiterapkanpadaPutusan Judicial Pardon 37

BABIVPENUTUP 40

A.Kesimpulan 40

B.Saran 42

DAFTARPUSTAKA 44

DAFTAR
ISI

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum dalam penerapannya dituntut untuk menjadi dinamis, beradaptasi dengan cepat dalam perkembangan di tubuh masyarakat Indonesia, layaknya seekor bunglon. Tak ayal, perubahan-perubahan terhadap naskah hukum setiap tahun menjadi pembahasan hangat hingga kontroversial di masyarakat. Salah satu pembahasanyangcukup menyitaperhatianadalah mengenaipasal judicialpardon dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).1 Konsep judicial pardon dituangkan dalam Pasal 54 ayat (2) RKUHP yang berbunyi:

“Ringannyaperbuatan,keadaanpribadipelaku,ataukeadaanpadawaktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”

Judicial pardon atau pemaafan hakim adalah suatu konsep hukum baru yang memberikan kewenangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara hukum dengan melihat syarat-syarat tertentu.2 Sekilas, judicial pardon memiliki kemiripan dengan dasar penghapus pidana. Alasan pembenar dan pemaaf dalam dasar penghapus pidana dengan judicial pardon sama-sama memiliki implikasi hukum untuk tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa.3 Walaupun demikian, tentu keduanya memiliki perbedaan masing-masing. Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Tidak hanya itu, penelitian ini juga akan membahas mengenai penerapan prinsip-prinsip restorative justice dalam mekanisme judicial pardon. Restorative justice yang berupaya menangani perkara dengan mengutamakan hak korban

1 Fitria Chusna Farisa, “Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ancam Perbuatan Penghinaan terhadap Penguasa” https://nasional.kompas.com/read/2022/06/22/14343521/pasal-pasal-kontroversialrkuhp-yang-ancam-perbuatan-penghinaan-terhadap, diakses 4 Oktober 2022.

2 MufatikhatulFarikhah,“Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Masyarakat Adat di Indonesia,” Jurnal Media Hukum, Vol. 25 No. 1 (Juni 2018), hlm. 82.

3 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ps. Pasal 44, Ps. 49 ayat (2), dan Ps. 51 ayat (2) (Dasar Pemaaf) juncto Ps. 48, Ps. 49 ayat (1), Ps. 50, dan Ps. 51 ayat (1) (Dasar Pembenar).

3
BAB I

1.2

telah diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penanganan perkara dengan mengedepankan restorative justice diharapkan dapat mencapai tujuannya. Begitu pula dengan judicial pardon, diharapkan dapat memberikan keadilan kepada pelaku dengan tidak mengesampingkan hak-hak korban dan pemulihannya. Lalu, bagaimanakaitan keduanya dalamhukum pidana Indonesia? Bagaimana judicial pardon dapat mencapai tujuan dari sistem restorative justice? Hal-hal tersebut akan dibahas dalam penelitian ini. Pengaturan tentang judicial pardon di atas merupakan pengaturan yang dilihat dari sisi hukum materilnya saja. Untuk dapat menerapkan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana Indonesia, perlu adanya pembahasan tentang pengaturan tata beracara judicial pardon ini. Penulis memahami bahwa perlu adanya pembahasan mengenai mekanisme atau tata beracara yang menggunakan judicial pardon. Pembahasan tentang judicial pardon merupakan topik yang menarik untuk dibincangkan. Pada kesempatan ini, penulis berusaha untuk membahas tentang judicial pardon sebagai salah satu upaya penerapan sistem restorative justice dengan melihat pasal tersebut dari segi materiil dan formilnya.

Rumusan Masalah

Dimasukkannya pasal judicial pardon dalam RKUHP akan memengaruhi putusan dalam peradilan pidana Indonesia. Perumusan pasal yang terlihat multitafsir berpotensi disalahgunakan dalam proses penegakan hukum. Di sisi lain, judicial pardon diharapkan dapat mewujudkan keadilan dalam peradilan pidana Indonesia. Oleh karena itu, diperlukannya penelitian lebih lanjut untuk memecahkan persoalan tersebut. Berdasarkan permasalah yang dipaparkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah yang terdiri dari:

1. Bagaimana tinjauan hukum materil atas judicial pardon dalam RKUHP serta peluang penerapan restorative justice dalam peradilan pidana di Indonesia?

2. Bagaimana tinjauan hukum formil atas judicial pardon dan peluang penerapannya dalam hukum acara pidana di Indonesia?

4

1.3

Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu mengenai pengaturan judicial pardon dalam RKUHP, baik dari segi materil dan formil.

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Menjelaskan tinjauan hukum materil atas judicial pardon dalam RKUHP serta peluang penerapan restorative justice dalam peradilan pidana di Indonesia; dan

2. Menjelaskan tinjauan hukum formil atas judicial pardon dan peluang penerapannya dalam hukum acara pidana di Indonesia.

1.4 Definisi Operasional

Untuk memberikan batasan-batasan dalam penelitian ini sehingga hasil penelitian sesuai dengan tujuanpenelitiandi atas,diperlukansuatu konsep-konsep dasar sebagai parameter terminologi dalam tataran definitif penelitian, yaitu sebagai berikut:

a. Hukum Materil

Hukum materil merupakan hukum yang dilihat dari sisi isi atau muatannya.4 Dengan begitu, hukum materil adalah hukum yang mengandung perintah dan larangan yang dimuat dalam sebuah peraturan. Sebagai contoh, dalam KUHP memuat mengenai perbuatan-perbuatan hukum dalam ranah pidana.

b. Hukum Formil

Hukum formil dapat dipahami sebagai hukum yang mengatur mengenai tatacaraatauprosedurpelaksanaanmengenaikaidah-kaidahhukumdalam hukum materiil itu sendiri. Tidak hanya itu, hadirnya hukum formil juga merupakan bentuk atas penegakkan dari perintah dan larangan yang termuat dalam hukum materil.

4 TheresiaNgutra,“HukumdanSumber-SumberHukum,” Jurnal Supremasi Vol. XI (2016), hlm. 193. 193-211

5

c. Judicial Pardon

Judicial pardon merupakan sebuah konsep saat hakim memberikan pemaafannya kepada pelaku tindak pidana yang telah terbukti bersalah dengan tidak menjatuhkan sanksi pidana sama sekali.5 Judicial pardon sejatinya telah dituangkan dalam RKUHP Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa syarat dalam pemberiannya. Namun, judicial pardon masih menjadi perdebatan terutama mengenai pemenuhan keadilan dalam pemberian putusannya.

d.

Restorative Justice

Restorative justice merupakan prinsip penanganan perkara yang mengutamakan kondisi korban dalam pelaksanaannya. Dengan begitu, dalam restorative justice keadilan akan dicapai saat kepentingankepentingan korban telah terpenuhi.6 Tujuan dari adanya prinsip restorative justice ini adalah untuk mengembalikan keadaan seperti semula dengan adanya pertimbangan korban dalam menangani perkara.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang mengkaji aspek-aspek pada hukum positif.7 Penelitian ini mencoba untuk mengkaji norma atau peraturan yang berlaku di Indonesia dan menjadikannya bahan pertimbangan dalam pembuatan rancangan undangundang. Tipe penelitian ini bersifat deskriptif dan komparatif karena bertujuan untuk mengetahui pengaturan judicial pardon dalam RKUHP dan negara lain, baik dari segi materil dan formil. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan sumber data-data sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka. Data sekunder penelitian ini terdiri dari:

5 Nefa Claudia Meliala, “Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) : Suatu Upaya Menuju Sistem Peradilan Pidana Dengan Paradigma Keadilan Restoratif,” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 8 Issue 3 (Desember 2020), hlm. 553.

6

John Braithwaite, Criminal Justice Theory, cet. 1 (New York: Taylor and Francis Group, 2020), hlm. 283.

7 Kornelius Benuf dan Muhamad Azhar, “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen MenguraiPermasalahanHukumKontemporer,” Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7 Ed. 1 (Juni, 2020), hlm. 23.

6

1.6

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang mengikat, terdiri dari norma, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, peraturan tidak terkodifikasi, dan yurisprudensi.8 Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan tentang judicial pardon.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberi penjelasan tentang bahan primer, terdiri dari naskah rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan pandangan pakar atau ahli.9 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP); Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP); jurnal dan buku terkait penelitian tentang judicial pardon.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang menjelaskan tentang bahan primer dan sekunder, terdiri dari ensiklopedia dan kamus.10 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari penelitian ini dipaparkan ke dalam lima bab dengan susunan sebagai berikut:

a. Bab I Pendahuluan

Bab ini memaparkan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian.

b. Bab II Judicial Pardon dan Peluang Penerapan Restorative Justice dalam Hukum Materil Indonesia

8Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. Revisi, cet. 11 (Depok: Rajawali Pers, 2020), hlm. 32. 9Ibid. 10Ibid.

7

Bab ini membahas tentang pengertian judicial pardon, restorative justice sebagai pergeseran paradigma pemidanaan, perbandingan antara judicial pardon dengan dasar penghapus pidana, perbedaan judicial pardon dengan metode penyelesaian perkara lainnya, dan perspektif teori Lawrence Meir Friedman dalam meninjau pengaturan judicial pardon.

c. Bab III Judicial Pardon dari Sisi Hukum Acara Pidana Indonesia

Bab ini membahas tentang hubungan judicial pardon dengan asas judicial independence, mekanisme penerapan judicial pardon, dan klasifikasi putusan pidana dan implikasinya terhadap putusan judicial pardon.

d. Bab IV Penutup

Bab ini menutup dengan menyimpulkan penelitian secara menyeluruh dan memberi saran-saran dari peneliti terhadap kedudukan dan pengaruh judicial pardon yang dilihat dari segi hukum pidana materil dan formil.

8

2.1

BAB II

JUDICIAL PARDON DAN PELUANG PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM MATERIIL INDONESIA

Sekelumit tentang Judicial Pardon

Hukum hadir untuk melindungi kepentingan manusia. Begitu pula dengan hukum pidana, hadir untuk melindungi kepentingan umum. Hukum pidana bertujuan untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai kepada orang yang melanggar hukum tersebut.11 Dengan sifatnya yang memaksa, hukum pidana dapat melindungi kepentingan manusia yang akan terus berkembang. Dalam perkembangannya, pemidanaan yang dilaksanakan mengacu pada teori pemidanaan absolut (teori retributif) yang dikenal dengan pendekatan keadilan retributifdengan menjadikanpembalasansebagai tujuanpemidanaan. Pendekatan keadilan retributif ini menghendaki penderitaan pelaku atas kejahatan yang dilakukan.12 Pada akhirnya, pendekatan retributif ini dianggap sebagai sistem penyelesaian perkara yang ideal.13

Pendekatan keadilan retributif yang berfokus pada pemidanaan pelaku berpotensi mencederai hak asasi pelaku. Dalam pemberian putusan, seseorang dapat dijatuhi putusan dengan hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidananya. Hal ini dapat terjadi melihat tujuan dari pendekatan retributif adalah hukuman yang menimbulkan kesengsaraan bagi pelaku. Di satu sisi, pembalasan sebagai karakteristik pendekatan retributif juga tidak menghendaki pengembalian pelaku kepada masyarakat.14 Oleh karena itu, penjatuhan pidana semata sebagai balasan terhadap tindak pidana saja tidak cukup. Pelaku harus diadili dengan adil sesuai dengan tindak pidana dan akibat yang ditimbulkannya.

Pendekatan keadilan retributif yang dianggap ideal tersebut tidak boleh hanya dimaknai sebagai penghukuman pelaku saja. Jauh dari itu, keadilan

11 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 7.

12 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),hlm.105.

13 Ibid.

14 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009), hlm 26.

9

retributif juga harus melihat hal-hal yang mendorong pelaku melakukan tindak pidana, keadaan pribadi pelaku, dan hal yang terjadi setelah tindak pidana itu dilakukan. Pemidanaan terhadap pelaku haruslah dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusian karena pelaku juga memiliki hak-hak asasi yang wajib dipenuhi. Dengan begitu, konsep pemidanaan tidak hanya memberi efek jera bagi pelaku, tetapi jugadapat mengembalikanpelakukemasyarakat sebagai pribadi yang baru. Salah satu perwujudan dari pendekatan keadilan retributif tersebut tercermin pada Pasal 54 ayat (2) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) edisi 4 Juli 2022 yang berbunyi:

“Ringannyaperbuatan,keadaanpribadipelaku,ataukeadaanpadawaktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”

Pasal tersebut mengatur tentang judicial pardon atau pemaafan hakim yang merupakan kewenangan seorang hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan kepada terdakwa yang terbukti bersalah dengan melihat syarat-syarat pada ayat di atas.15 Dalam pasal tersebut, diketahui bahwa yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam memberikan judicial pardon kepada terdakwa ialah ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada saat tindak pidana dilaksanakan, dan pertimbangan atas rasa keadilan dan kemanusiaan. Penggunaan kata “atau” pada ayat di atas mengartikan bahwa unsur-unsur pertimbangan tersebut tidak harus terpenuhi secara keseluruhan. Dengan demikian, ketika salah satu unsur di atas terpenuhi, maka hakim dapat memberikan judicial pardon 16

Mengulas Pasal 54 ayat (2) RKUHP, yang dimaksud dengan “ringannya perbuatan” adalah apabila perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak menimbulkan akibat yang cukup berarti kepada korban atau berdampak besar

15

Mufatikhatul Farikhah, “Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Masyarakat Adat di Indonesia,” Jurnal Media Hukum, Vol. 25 No. 1 (Juni 2018), hlm. 82. 16 Ibid

10

terhadap kestabilan masyarakat.17 Dalam hal ini, tidak dijelaskan apakah perbuatannya merupakan delik ringan, delik berat, atau delik sangat berat karena akan membatasi hakim dalam menentukan pidana.18 Hal ini karena jika dilakukannya spesifikasi suatu delik dalam pasal ini dikhawatirkan akan terlalu membatasi hakim dalam menentukan putusan pidananya.19 Sering kali suatu delik dianggap sebagai tindak pidana berat yang perlu dijatuhkan pidana semata-mata karena ancaman pidana dalam rumusan peraturannya tinggi. Misalnya, tindak pidana pencurian sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP yang dianggap sebagai perbuatan berat karena ancaman pidana penjaranya yang mencapai lima tahun. Pada kenyataannya, tindak pidana pencurian tidak selalu bersifat berat, baik secaraperbuatan,maupun konsekuensi. Sebagai contoh, seseoranghanya mencuri sandal jepit seharga Rp. 15.000 memang telah memenuhi seluruh rumusan delik pada Pasal 362 KUHP. Akan tetapi, perbuatannya tidak mengindikasikan urgensi untuk dipidanakarenasifatnyayangsangat ringan. Demikianlahmengapa judicial pardon tidak seharusnya diberikan berdasarkan ancaman pidananya saja. Pertimbangan pemberian judicial pardon cukup dilakukan atas dasar ringan beratnya perbuatan menurut fakta hukum konkret yang bersifat kasuistis.

Lebih lanjut, hal yang perlu dipertanyakan adalah hubungan unsur ringannya perbuatan dengan klasifikasi tindak pidana ringan (tipiring). Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tipiring merupakan tindak pidana yang dilakukan seseorang dengan maksimal hukuman penjara 3 (tiga) bulan dan denda maksimal Rp 7.500.20 Peraturan tentang tipiring kemudian diperbaharui melalui Peraturan Mahkamah AgungNo.2 Tahun 2012 tentangPenyesuaianBatasanTindakPidanaRingandan Jumlah Denda dalam KUHP. Hal ini kemudian dibahas lebih lanjut dalam Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi

17 Mufatikhatul Farikhah, “Rekonseptualisasi Judicial Pardon dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Perbandingan Sistem Hukum Indonesia dengan Sistem Hukum Barat),” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 48 No. 3 (Februari 2018), hlm. 567.

18 Adery Ardhan Saputro dan Supriyadi Widodo Eddyono, “Tinjauan Atas Non-Imposing of a Penalty/ Rechterlijk Pardon/ dispensa de pena dalam R KUHP serta Harmonisasinya dengan RKUHAP,” (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm. 19.

19 Wawancara dengan Matheus Nathanael Siagian, Peneliti di Indonesia Judicial Research Society, 29 Juni 2022.

20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Keni Media, 2022), Ps. 205 ayat (1).

11

Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang ada pada Pasal 1 ayat (1). Adapun pasal-pasal yang digolongkan tipiring adalah Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482 KUHP dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp 10.000.21 Batasan ringannya perbuatan dalam judicial pardon berbeda dengan konsep tindak pidana ringan dalam KUHAP, PerMA, dan Nota Kesepakatan. Pada dasarnya, ringannya perbuatan memiliki konsep yang lebih luas dibandingkan dengan tipiring. Hal ini dapat dilihat dari ringannya perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan manapun dan sangat bergantung kepada penilaian hakim. Di sisi lain, tipiring telah diatur dalam KUHAP, PerMA, dan Nota Kesepakatan. Letak perbedaan lain antara tipiring dan unsur “ringannya perbuatan” yang disebutkan dalam pasal judicial pardon adalah bahwa pada tipiring tidak dilakukan penahanan, sedangkan tindak pidana pada pasal 54 ayat (2) RKUHP tersebut dimungkinkan dilakukannya penahanan. Seperti yang diketahui, penahanan hanya dilakukan pada tindak pidana yang diancam 5 (lima) tahun penjara atau lebih.22 Dapat saja tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa diancam pidana lebih dari 5 (lima) tahun penjara, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dijatuhkan putusan judicial pardon, mengingat pada sifat ringannya perbuatan. Sementara itu, tipiring diberlakukan hanya kepada tindak pidana yang diancam maksimal 3 (tiga) bulan penjara. Hal ini menyimpulkan bahwa dengan bedanya kemungkinan ancaman pidana penjaranya akan memengaruhi ada atau tidaknya penahanan. Selain itu, melihat syarat objektif pengaturan tipiring pada KUHP, tipiring juga sudah diatur dengan jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang tentang Penyelesaian

21 Indonesia, Nota Kesepakatan Bersama tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Nota Kesepakatan Bersama No. 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012, Ps. 1 ayat (1). 22 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Keni Media, 2022), Ps. 21 ayat (4).

12

Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP yang berbeda dengan judicial pardon yang melihat dari kacamata hakim itu sendiri. Selain mencantumkan unsur ringannya perbuatan, judicial pardon juga melihat kondisi pribadi pelaku yang tercantum pada frasa “ringannya keadaan pribadipelaku.”PenjelasanmengenaikondisipribadipelakumerujukpadaPasal 54 ayat (1) huruf b, c, dan g berisi tentang motif dan tujuan terdakwa melakukan tindak pidana; sikap batin terdakwa; dan riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaanekonomiterdakwa.23 Sikapbatinataudalamhukumdikenalsebagai mens rea dapat mempengaruhi perbuatan dalam konteks peran sebagai penentu dasar peringan atau dasar pemberat tindak pidana. Terdakwa yang terbukti melakukan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) tentu akan mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada terdakwa yang terbukti melakukan pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).24 Hal ini karena terdakwa memiliki niat untuk melakukan pembunuhan dan menyiapkan rencana dalam waktu yang lebih lama dan matang.25

Syarat selanjutnya adalah keadaan pada saat dan yang akan terjadi setelah tindak pidana dilakukan. Dalam RKUHP tidak dijelaskan mengenai hal ini. Hal ini akan membuat hakim dapat menafsirkan tentang unsur ringannya keadaan pelaku saat melakukan tindak pidana. Dalam hal ini, perlu diberi penjelasan lebih mengenai unsur ini sehingga tidak akan ada salah tafsir dalam pemberian putusan. Namun, menurut penulis dalam hal pada saat tindak pidana dilakukan, perlu dilihat ada tidaknya keadaan yang mendesak pelaku untuk melakukan tindak pidana, baik secara lahir, maupun batin. Misalnya, seseorang yang mencuri sepotong roti karena kelaparan dan tidak memiliki uang. Ia terdesak untuk mencuri karena keadaannya yang tidak berkecukupan, sedangkan ia harus memenuhi kebutuhan pangan untuk bertahan hidup. Pada kasus seperti ini, hal tersebut bisa menjadi pertimbangan hakim dalam pemberian judicial pardon

23 Adery Ardhan Saputro dan Supriyadi Widodo Eddyono, “Tinjauan Atas Non-Imposing of a Penalty/ Rechterlijk Pardon/ dispensa de pena dalam R KUHP serta Harmonisasinya dengan RKUHAP,” (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm. 22.

24 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (s.l.: Permata Press, 2018), Ps. 340 dan Ps. 338.

25 Willa Wahyuni, “Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana,” https://www.hukumonline.com/berita/a/pembunuhan-dan-pembunuhan-berencanalt62d68b0036f97?page=all, diakses pada 22 September 2022.

13

karena pada keadaan normal, dapat diasumsikan bahwa pelaku tidak akan melakukan kejahatan tersebut.

Terakhir, unsur rasa keadilan dan kemanusiaan. Terdakwa yang mendapat judicial pardon dari hakim memang telah terbukti memenuhi seluruh unsur delik, tetapi diberikannya judicial pardon ini adalah karena pemidanaan terhadap terdakwa tidak akan memenuhi unsur keadilan.26 Nilai keadilan yang dimaksud merupakan nilai keadilan yang hidup di masyarakat sesuai dengan Pasal 54 ayat (1)hurufk.Keadilan bersifat abstrakyangartinya pandanganorang-orangtentang keadilan ini tidak sama. Hal ini kemudian menjadi diskresi hakim untuk menemukan dan memberi keadilan kepada korban dan pelaku tindak pidana.

Selain nilai keadilan, nilai kemanusiaan juga menjadi poin pertimbangan dalam putusan hakim. Nilai kemanusiaan ini erat kaitannya dengan pemenuhan hak-hak dalam kehidupannya: “apakah haknya sebagai manusia akan terpenuhi walaupun ia juga bersalah karena telah melakukan tindak pidana?”. Nilai kemanusiaan ini akan mengarah pada ada tidaknya kebermanfaatan yang akan didapat oleh terdakwa dan/atau korban atas hukuman yang dijatuhkan. Diberikannya judicial pardon dapat disertai dengan pertimbangan bahwa nilai kebermanfaatan yang didapat akan jauh lebih kecil dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Seperti yang disebutkan oleh Gustav Radbruch, tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan.27 Dalam memberikan putusan tidak hanya sebatas tentang penghukuman terdakwa yang bersifat retributif semata, tetapi juga mengarah pada keadilan restoratif yang mementingkan konsep keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan yang ingin dicapai.

Nilai keadilan dan kemanusiaan dapat dilihat dari wewenang jaksa dalam mengesampingkan perkara (deponering). Dalam hal ini, deponering dilakukan karena perkara tersebut bertentangan dengan kepentingan umum. Kepentingan umum tersebut merujuk pada Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam penjelasan per pasal, kepentingan umum yang dimaksud

26 Nico Keizer dan D. Schaffmeister, Beberapa Catatan Tentang Rancangan Permulaan 1998 Buku I KUHP Baru Indonesia (s.l.: Belanda 1990) hlm. 55.

27 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman terhadap Asas Kepastian Hukum melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” Jurnal Crepido, Vol. 1 No. 1 (Juli 2019), hlm. 14.

14

adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.28 Sama dengan judicial pardon, menurut Andi Hamzah, deponering diberikan berdasarkan pertimbangan keadaan pribadi pelaku, tindak pidana yang dilakukan adalahtindak pidanaringan,dantelahadanyadendadamaiantarpihak(pelakudan korban).29 Pemberian deponering dilakukan untuk mencapai keadilan dan memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan putusan, seorang hakim harus melihat pertimbangan tentang apakah ada dan dapat terwujudnya nilai keadilan dan kemanusiaan yang bersifat abstrak ini. Diskresi hakim untuk menilai keadilan dan kemanusiaan ini dapat dilihat dari apakah akan lebih banyaknya kebermanfaatan yang didapat dalam putusan tersebut dan apakah dengan dijatuhkannya putusan tersebut akan mencapai kepastian hukum dan kepentingan umum. Sarjana-sarjana hukum memiliki pendapat yang beragam terhadap pembatasan judicial pardon. Pendapat pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwapembatasan judicialpardon dalamRKUHP dianggapsebagaibatasanyang terlalu luwes dan tidak memberikan kepastian sehingga membutuhkan adanya penjelasan lebih lanjut mengenai pembatasannya.30 Dalam judicial pardon, terdapat batasan-batasan yang sifatnya terkesan terlalu luas dan abstrak. Batasan tersebut antara lain seperti ringannya perbuatan dan pertimbangan dari segi keadilan dan kemanusiaan. Dengan sifat tersebut, judicial pardon berpeluang disalahgunakan untuk memberikan pemaafan dalam suatu kasus.31 Maka dari itu, dibutuhkan rumusan baru yang lebih rigid, jelas, dan tidak abstrak agar dapat menutupi segala celah pemberian judicial pardon yang tidak semestinya oleh hakim. Namun, sarjana hukum lainnya memiliki pandangan yang berbeda. Dalam judicial pardon, batasan-batasan yang tertuang dalam RKUHP dianggap telah cukup dan tidak perlu diubah sedemikian rupa agar menjadi rumusan yang lebih rigid karena rumusan yang kaku belum tentu dapat memenuhi kebutuhan hukum

28 Indonesia, Undang-Undang Kejaksaan, UU No. 16 Tahun 2004, Ps. 35 huruf c.

29

Andi Hamzah, et. al., Laporan Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006 (Jakarta: s.n., 2006), hlm. 66.

30 Aska Yosuki dan Dian Adriawan Daeng Tawang, “Kebijakan Formulasi Terkait Konsepsi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia,” Jurnal Hukum Adigama Vol. 1 No.1 (2018), hlm. 23.

31 Wawancara dengan Ahmad Ghozi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Juni 2022.

15

di masa depan.32 Batasan yang tidak terlalu rigid nantinya akan berkaitan dengan fungsi dari doktrin dan yurisprudensi. Apabila batasan yang diatur dalam RKUHP bersifat sangat kaku, maka yurisprudensi dan doktrin akan memiliki pengaruh yang lemah bagi hakim untuk dapat memutuskan judicial pardon. 33 Tidak ada yang salah dari kedua pendapat tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing pendapat memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Batasan dalam judicial pardon memang perlu memiliki penjelasan lebih lanjut terutama pada unsur yang terlihat terlalu luas. Namun, penggunaan doktrin dan yurisprudensi diharapkan juga mampu berperan besar dalam memberikan pemaafan oleh hakim. Batasan-batasan tersebut sejatinya merupakan hal yang sangat esensial dalam konsep judicial pardon. Batasan tersebut menandakan bahwa hakim tidak dapat memberikan judicial pardon dalam putusan peradilan secara cuma-cuma. Terdapat kriteriaataualasanyangkuat dalampenggunaan judicial pardon sebagai sebuah putusan. Batasan ini juga berguna untuk mencegah adanya lembaga peradilan yang memberikan putusan irasional dan semena-mena. Apabila konsep judicial pardon dibentuk tanpa adanya pembatasan, maka hal ini akan berdampak pada lembaga peradilan yang seolah-olah memiliki wewenang yang terlampau kuat untuk tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana.

2.2 Restorative Justice sebagai Pergeseran Paradigma Pemidanaan

Proses penangananperkaradenganprinsip keadilanretributifmenekankan pada pemidanaan pelaku sebagai bentuk balasan atas perbuatan pidana yang ia lakukan. Proses penanganan perkara dengan prinsip keadilan retributif ini tidak melibatkan korban dalam penanganan perkara karena hak-hak korban yang meliputi ganti rugi kepada korban, pelibatan korban dalam penyelesaian perkara, dan penyelesaian perkara untuk kepentingan korban yang seharusnya didapat korban sudah diwakili oleh negara.34 Dengan demikian, berkembanglah stigma di masyarakat bahwa pemidanaan harus mengutamakan kesengsaraan bagi pelaku.

32

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 251.

33 Wawancara dengan Matheus Nathanael Siagian, Peneliti di Indonesia Judicial Research Society, 29 Juni 2022.

34 Rahmat Muhajir Nugroho, “Saatnya Terapkan Restorative Justice”, https://uad.ac.id/id/saatnya-terapkan-restorative-justice/, diakses pada 30 Juli 2022.

16

Denganberfokus padapemidanaanpelaku,prinsip retributifini tidakmemberikan keadilan kepada korban. Dengan dihukumnya pelaku, korban dianggap telah mendapat keadilannya.35 Padahal, belum tentu korban mendapatkan keadilan tersebut. Oleh karena itu, muncullah keadilan restoratif untuk menjawab permasalahan tersebut. Keadilan restoratif adalah prinsip penanganan perkara yang fokus untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat tindak pidana dengan melibatkan korban yang dirugikan.36 Keadilan restoratif mengharuskan adanyaketerlibatankorban,pemenuhanhakkorban,danpemulihankeadaan,serta penyelesaian perkara untuk menciptakan keadaan yang aman dan nyaman di masa depan.37 Keadilan restoratif tidak berfokus pada pemenjaraan pelaku, melainkan pada pemenuhan hak korban.

Restorativejustice dansistemperadilanpidanamemilikipemahamanyang berbeda ketika menerjemahkan keadilan. Dalam prinsip restorative justice, keadilan dicapai saat kepentingan korban telah terpenuhi.38 Sementara itu, sistem peradilan pidana menerjemahkan keadilan ketika adanya keseimbangan antara tindak pidanayangdiperbuat denganhukumanyangdiberikan.39 Selainitu,pidato Pulus E. Lotulung, seorang ketua muda Mahkamah Agung Indonesia tahun 20002013, menjelaskan bahwa keadilan pada sistem peradilan pidana terwujud ketika legal justice dan moral justice tercapai.40 Dalam hal ini, penegakkan hukum dan kepastian hukum harus telah terlaksana sehingga dapat diikuti dengan upaya pencapaian keadilan.41 Ada kalanya, pencapaian keadilan tidak harus didahului dengan pencapaian kepastian hukum (harus mengikuti peraturan yang berlaku). 35 Ibid 36

Dewi Setyowati, “Memahami Konsep Restorative Justice sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan,” Pandecta, Vo. 15 No. 1 (Juni 2020), hlm. 124. 37 Iba Nurkasihani, “Restorative Justice, Alternatif Baru dalam Sistem Pemidanaan,” https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/restorative-justice-alternatif-baru-dalam-sistempemidanaan, diakses pada 1 Agustus 2022.

38 John Braithwaite, Criminal Justice Theory, cet. 1 (New York: Taylor and Francis Group, 2020), hlm. 283.

39 Nefa Claudia Meliala, “Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) : Suatu Upaya Menuju Sistem Peradilan Pidana Dengan Paradigma Keadilan Restoratif,” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 8 Issue 3 (Desember 2020), hlm. 563.

40 AsepNursobah,“Mewujudkan Putusan Berkualitas Yang Mencerminkan Rasa Keadilan | Prof. DR. Paulus E. Lotulung, SH,” https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/122mewujudkan-putusan-berkualitas-yang-mencerminkan-rasa-keadilan-prof-dr-paulus-e-lotulung-sh, diakses pada 27 Oktober 2022. 41 Ibid

17

Hal ini karena keadilan bersifat subjektif dan manakala hukum tidak dapat mencapainya. Oleh karena itu, hakim hadir untuk memberikan keadilan dari sudut pandang hakim.

Penerapan judicial pardon nyatanya juga sejalan dengan tujuan pemidanaan dalam RKUHP yangmenggunakanprinsip restorative justice.Dalam Pasal 51 huruf c RKUHP yang berbunyi: “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat”. Pemberian pemaafan oleh hakim yang telah dipertimbangkan sedemikian rupa sejatinya akan mengarah kepada tujuan pemidanaan yang tertuang dalam RKUHP. Menilik pada Pasal 54 ayat (2) RKUHP, terdapat frasa “keadaan… yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Hal ini dapat ditafsirkan bahwa dapat dilakukannya penyelesaian perkara antarpihak yang berperkara di luar persidangan. Dengan adanya keterlibatan korban dalam penyelesaian perkara dapat menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan judicial pardon. Dengan ini, pemberian putusan judicial pardon yang mempertimbangkan kehadiran korban merupakan bentuk implementasi prinsip restorative justice. Seperti yang dituangkan di atas, restorative justice merupakan prinsip penanganan perkara yang berfokus pada pencapaian keadilan kepada korban. Sementara itu, judicial pardon merupakan putusan yang diberikan demi keadilan pelaku. Perbedaan objek yang ada dalam restorative justice dan judicial pardon menunjukkan tidak adanya hubungan antarkeduanya. Kendati demikian, prinsip restorative justice ini dapat diterapkan dalam perkara judicial pardon Tidakdapatdipastikanbahwasemuatindakpidana yangdiberikan judicial pardon akan berujung kepada restorative justice. Sebagai contoh, apabila hakim memberikan judicial pardon terhadap suatu kasus dengan pertimbangan ringannya perbuatan, terdapat kemungkinan bahwa korban masih merasa tidak terima terhadap pemaafan yang diberikan oleh hakim. Dengan begitu, restorative justice yang seharusnya memberikan keadilan dengan mengutamakan korban tidak akan tercapai.

18

2.3

Judicial Pardon Dilihat dari Dasar Penghapus Pidana

Rencana penerapan judicial pardon yang dituangkan dalam RKUHP memberikan pandangan seolah-olah adanya dualisme peraturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia. KUHP yang sedang berlaku mengatur tentang dasar penghapus pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar dan pemaaf yang menghapuskan penjatuhan pidana kepada terdakwa terlihat sama dengan judicial pardon yang menghapuskan pidana kepada terdakwa. Lalu, di manakah letak perbedaan keduanya? Jawaban tersebut dijawab berdasarkan penjelasan di bawah ini.

a. Apakah Judicial Pardon Sama dengan Dasar Penghapus Pidana? Jawabannya adalah tidak. Judicial pardon adalah diskresi hakim yang baru dan tidak berkaitan dengan dasar penghapus pidana yang saat ini diatur dalam KUHP. Penjelasan lebih sederhana tercantum sebagai berikut:42

No. Unsur Pembedanya Dasar Penghapus Pidana Judicial Pardon

1. Sifat melawan hukum dan unsur kesalahan

Alasan pembenar menghilangkan sifat melawan hukumnya dan alasan pemaaf menghapuskan kesalahan.

2. Pidana yang diberikan Tidak dijatuhkan pidana atau tindakan karena fakta hukumnya.

Tetap mengakui perbuatannya melawan hukum dan memiliki unsur kesalahan.

Merupakan sebuah diskresi bagi hakim untuk tidak dijatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan meskipun perbuatan

42 Wawancara dengan Ahmad Ghozi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Juni 2022.

19

terdakwa melawan hukum dan mengandung kesalahan.

3. Sifat yang melekat pada terdakwa Alasan pembenar bersifat universal, sedangkan alasan pemaaf bersifat individual.

Judicial pardon bersifat individual.

b. Perbedaan Judicial Pardon dengan Dasar Penghapus Pidana

1. Dari Sisi Kehadiran Restitusi Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan terdakwa kepada korban atau keluarga korban sebagai upaya untuk mengembalikan korban pada keadaan semula.43 Ada perbedaan peraturan mengenai restitusi dalam KUHP dan RKUHP. KUHP tidak mengatur mengenai pemberian restitusi. Walaupun demikian, ada beberapa peraturan yang mengatur tentang restitusi, diantaranya adalah Pasal 98-101 KUHAP, Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 7A UU No.31Tahun 2014tentangPerubahan atas UUNo.13Tahun2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Pasal 36A UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Pasal 48 UU 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 71D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

43 Fauzy Marasabessy, “Restitusi bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 1 (Januari-Maret 2015), hlm. 55.

20

Perlindungan Anak, dan Pasal 10 UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam keseluruhan UU tersebut, restitusi dimaksud sebagai hak korban sehingga dapat digunakan atau tidak digunakan. Sementara itu, RKUHP mengatur restitusi sebagai bentuk pidana tambahan pada Pasal 66 ayat (1) huruf d.

Kehadiran restitusi ini dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan RKUHP melahirkan perdebatan. Pertama, restitusi yang tidak diatur dalam KUHP memberikan kesempatan kepada undang-undang untuk membebankan restitusi kepada terdakwa. Walaupun demikian, dalam hal alasan pembenar ataupun alasan pemaaf tidak dapat dijatuhi restitusi kepadanya.

Hal ini terjadi karena sifat melawan hukum pada alasan pembenar hapus sehingga tidak ada pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh terdakwa. Di samping itu, alasan pemaaf juga menghapuskan restitusinya karena sejak awal tidak ada pertanggungjawaban secara hukum yang disebabkan oleh hapusnya kesalahan terdakwa. Hal ini disimpulkan bahwa restitusi dalam peraturan perundang-undangan hanya diberikan kepada terdakwa yang tidak memenuhi dasar penghapus pidana. Perdebatankemudianmuncul dalamkonseprestitusi dalam RKUHP. Berbeda dengan alasan pemaaf, restitusi tidak diberikan pada terdakwa yang mendapat putusan judicial pardon. Hal ini dikarenakan restitusi termasuk ke dalam jenis pidana tambahan dalam RKUHP. Dalam pasal judicial pardon, seorang terdakwa yang mendapat pemaafan hakim tidak akan dikenakan putusan pidana atau tindakan. Hal itu berarti restitusi yang merupakan bentuk pidana tambahan tidak dapat diberikan kepada terdakwa. Kendati demikian, penulis berpendapat bahwa pengaturan restitusi sebagai bentuk pidana tambahan sekaligus diaturnya pasal tentang judicial pardon dalam RKUHP dirasa tidak tepat. Hal ini karena jika seorang terdakwa mendapat putusan judicial pardon,

21

maka terdakwa tidak dapat diberikan pidana atau tindakan, sekalipun perbuatan terdakwa adalah tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan dimasukkannya restitusi sebagai bentuk pidanatambahan dalamRKUHP, makarestitusi tidakdapat diberikan kepada terdakwa. Dalam hal korban menggunakan haknya untuk meminta ganti rugi, terdakwa bisa tidak memberikan ganti rugi tersebut. Padahal, pemberian restitusi merupakan kewajiban terdakwa untuk korban. Oleh karena itu, dimasukkannya restitusi sebagai pidana tambahan dalam RKUHP perlu ditinjau lagi karena akan menghapuskan kewajiban terdakwa yang mendapatkan putusan judicial pardon untuk memberikan ganti rugi kepada korban.

2. Dari Sisi Sifat Subjektif

Judicial pardon pada nyatanya bersifat subjektif.44 Dengan demikian, penjatuhan judicial pardon ini hanya kepada terdakwa yang dilihat sebagai individu. Seorang terdakwa lainnya yang melakukan tindak pidana yang sama bisa tidak mendapat judicial pardon. Berbeda dengan judicial pardon, alasan pembenar bersifat objektif yang melihat pada tindak pidananya sehingga bisa jadi seorang terdakwa lain dengan tindak pidana yang sama dapat memiliki alasan pembenar. Walaupun demikian, alasan pemaaf pada dasar penghapus pidana memiliki sifat yang sama dengan judicial pardon, yaitu subjektif yang melihat dari sisi terdakwa.

3. Dari Sisi Riwayat Kriminal

Apabilaseorangterpidanadiberikan judicialpardon,maka ia tidak akan mendapat hukuman pidana atau tindakan. Namun, catatan kriminalnya akan tetap ada.45 Oleh karena itu, catatan kriminal masih melekat pada terdakwa. Jika suatu saat ia melakukan tindak pidana yang sama, ia tetap disebut sebagai residivis. Walaupun demikian, penjatuhan pidana pada pelaku

44 Wawancara dengan Matheus Nathanael Siagian, Peneliti di Indonesia Judicial Research Society, 29 Juni 2022. 45 Ibid

22

tindak pidana residivis yang pernah mendapat judicial pardon tidak dapat dikenakan dasar pemberat pidana. Hal ini karena judicial pardon yang hakim berikan sebelumnya tidak memberikan pidana atau tindakan kepadanya sehingga tidak dapat dihitung pemberatannya.

Berbeda dengan judicial pardon, dasar penghapus pidana tidak memiliki catatan kriminal. Pada dasar pembenar, tindakan tersebut bukan merupakan tindakan pidana sehingga tidak ditemukannya unsur melawan hukum. Dengan tidak adanya unsur melawan hukum, maka tidak ada pidana yang diberikan. Hal ini mengartikanbahwatidakmungkinadariwayatkriminalpadadasar pembenar. Sama dengan dasar pembenar, dihapusnya kesalahan mengakibatkantidakadanyapertanggungjawabanpidanasehingga tidak akan dijatuhi pidana. Dengan demikian, tidak ada catatan kriminal pada terdakwa yang mendapat dasar pemaaf.

2.4 Perbedaan Judicial Pardon dengan Beberapa Metode Penyelesaian Perkara Lainnya

Selain konsep pemaafan hakim atau judicial pardon yang digunakan sebagai salah satu bentuk upaya mewujudkan keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sudah terdapat sejumlah peraturan lain yang berperan memberikan keadilan yang ditimbang dengan pendekatan restorative justice. Hal tersebut dapat dilihat dari peraturan terkait amnesti dan grasi, pidana kerja sosial dalam RKUHP, pidana pengawasan dalam RKUHP, pidana bersyarat atau pidana percobaan dalam KUHP, penyelesaian perkara di luar persidangan, deponering, dan sepoonering

a. Grasi dan Amnesti

Pemberian amnesti dan grasi merupakan hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Grasi merupakan hak presiden untuk memberikan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah mendapat

23

46

47

putusan tetap.46 Mirip dengan grasi, namun tak serupa amnesti juga hadir untuk memberikan pengampunan oleh presiden kepada terdakwa tidak pidana atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA).47 Pemberian amnesti ini akan menghilangkan semua akibat hukum yang diberikan kepada terdakwa.48

Jika dilihat, pemberian grasi dan amnesti ini hampir serupa dengan pemberian judicial pardon. Grasi misalnya, kesalahan yang terdapat pada terdakwa yang mengajukan grasi kepada presiden tetap ada, namun pidananya saja yang dihapuskan. Hal ini sama dengan judicial pardon. Jikademikian,untuk apa diaturnyabanyakperaturan yang samapada tiaptiap lembaga kekuasaan yang berbeda? Hal ini dapat dijawab dengan melihatperbedaannya.Masih adaperbedaan yang cukupjelas antaragrasi, amnesti, dan judicial pardon Pertama, lembaga kekuasaan negara yang memberikannya. Grasi dan amnesti diberikan oleh presiden atas perimbangan MA atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan judicial pardon diberikan oleh hakim yangmenangani perkara.Kedua, pihakyangmengajukannya.Grasi dan amnesti dapat diajukan oleh terdakwa, keluarga korban atau kuasa hukumnya. Namun, judicial pardon tidak bisa diajukan secara formil oleh siapapun dan hanya hakimlah yang dapat memberikannya jika dirasa perlu. Ketiga, pihak yang menerima. Grasi hanya diberikan kepada terpidana yang mendapat hukuman mati, hukuman seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun.49 Dalam hal ini, pidana yang dijatuhkan bukan merupakan tindak pidana ringan (tipiring). Namun demikian, pembahasan mengenai kepada siapa amnesti ini dapat diberikan belum terlihat dengan jelas. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi hanya menyebutkan bahwa amnesti dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana yang artinya pelaku

Indonesia, Undang-Undang Grasi, UU No. 22 Tahun 2002, Ps. 1.

Indonesia, Undang-Undang Darurat Amnesti dan Abolisi, UU No. 11 Tahun 1954, Ps. 1 dan Ps. 4.

48 Ibid, Ps. 4.

49

Indonesia, Undang-Undang Grasi, UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Ps. 2 ayat (2).

24

b.

tersebut dapat melakukan tindak pidana ringan atau berat. Terakhir, akibat yang diterima. Sementara itu, judicial pardon diberikan kepada terdakwa terdakwa yang telah mendapat putusan peradilan yang dianggap hakim telah memenuhi unsur pada Pasal 54 ayat (2) RKUHP. Dalam hal pengajuan grasi, presiden memiliki 3 (tiga ) pilihan, yaitu menghapus, meringankan, atau mengurangi pidana. Pada amnesti, dalam hal dikabulkan, maka akan dihapusnya semua akibat hukumnya. Sementara itu,dalam judicialpardon hanyamengenalsatu,yaitupenghapusanpidana atau tindakan.

Pidana Kerja Sosial

Pengaturan mengenai pidana kerja sosial dicantumkan di Pasal 85 RKHUP. Dalam Pasal 85 Ayat (1) RKUHP, disebutkan bahwa pidana kerja sosial dapat diberikan kepada terdakwa pelaku tindak pidana yang diancam dengan hukuman kurang dari lima tahun dan hakim menjatuhi hukuman pidana penjara paling lama enam bulan. Hakim dalam memberikan sanksi pidana kerja sosial harus memiliki tujuh pertimbangan. Tujuh pertimbangan yang tertulis dalam Pasal 85 Ayat (2) RKUHP tersebut antara lain: a. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan, b. kemampuan kerja terdakwa, c. persetujuan terdakwa setelah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial, d. riwayat sosial terdakwa, e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa, f. keyakinan agama dan politik terdakwa, dan g. kemampuan terdakwa membayar pidana denda. Sanksi pidana kerja sosial sejatinya bukan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia.

Dengan begitu dapat dilihat bahwa pidana kerja sosial memiliki perbedaan dengan judicial pardon. Pertama, syarat yang harus dipenuhi. Dalam judicial pardon, syarat yang harus terpenuhi adalah ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, kondisi ketika tindak pidana dilakukan, dan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Sementara itu, dalam pidana kerja sosial, pertimbangan yang harus dipenuhi akan menjadi berbeda sesuai dengan Pasal 85 Ayat (2) RKUHP. Kedua,

25

pidananya. Pelaku tindak pidana yang mendapatkan sanksi pidana kerja sosial harus melakukan kegiatan bermanfaat tertentu di masyarakat, seperti bekerja di rumah sakit, panti lanjut usia, panti asuhan, dan lainlain.50 Sementara itu, dalam judicial pardon, pelaku tindak pidana berkemungkinan dimaafkandan tidakmendapatkansanksi pidana apapun.

c. Pidana Pengawasan

Pidana pengawasan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang dicantumkan dalam Pasal 75 RKUHP 2022 (edisi Juli) yang berbunyi:

Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 dan Pasal 70. Batasan pemberian pidana pengawasan adalah ancaman pidana penjara paling lama lima tahun. Dengan demikian, pidana pengawasan hanya ditujukan kepada tindak pidana yang tidak berat.51 Untuk mendapatkan pidana pengawasan, pelaku tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat terlebih dahulu. Syarat tersebut dituangkan dalam Pasal 76 RKUHP yang membagi syarat menjadi dua, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum untuk pidana pengawasan adalah terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana lagi. Syarat khusus pidana pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan dan/atau terpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Dalam praktiknya, pidana pengawasan dapat dilaksanakan oleh lembaga sosial, pejabat pembina dari pemerintah daerah, dan orang lain. Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelaku tidak akan mengulangi kejahatannya.

50 Asiyah Jamilah dan Hari Sutra Disemadi, “Pidana Kerja Sosial: Kebijakan Penanggulangan Overcrowding Penjara,” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 8 No.1 (April 2020), hlm. 31.

51 Puteri Hikmawati, “Pidana Pengawasan Sebagai PenggantiPidana Bersyarat Menuju Keadilan Restoratif,” Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan, Vol. 7 No. 1 (2016), hlm. 79.

26

Dengan begitu, pidana pengawasan berbeda dengan judicial pardon. Tidak hanya dilihat dari batasan yang dimiliki oleh keduanya, tetapijugabentukpemidanaanyangdiberikan.Dalampidanapengawasan, pelaku tindak pidana akan diawasi tingkah lakunya agar tidak mengulangi kejahatan yang dilakukan. Pengawasan ini kemudian akan menjadi tanggung jawab pengawas untuk dapat mengetahui tingkah laku pelaku tindak pidana. Namun, dalam judicial pardon tidak ada kewajiban bagi lembaga apapun untuk mengawasi tingkah laku pelaku tindak pidana. Pelakutindakpidanayangmendapatkan judicial pardon,berkemungkinan untuk mendapatkan pemaafan sepenuhnya tanpa pengawasan apapun.

d. Pidana Bersyarat/Pidana Percobaan (Voorwaardelijke Veroordeling)

Hal mendasar yang perlu diketahui terkait perbedaan antara pidana bersyarat dan judicial pardon adalah tentang ada tidaknya pidana yang diberikan. Dalam putusan yang berisi judicial pardon terdakwa tidak mendapatkan pidana atau tindakan sama sekali sehingga terdakwa akan bebas. Berbeda dengan pidana bersyarat atau pidana percobaan, pidana bersyarat atau pidana percobaan masuk ke dalam jenis putusan pidana bersalah sehingga terdakwa harus menjalankan putusan pidana yang dijatuhkan apabila terdakwa melanggar syarat tertentu dari hakim selama masa percobaan. Dari sini, kita dapat melihat bahwa terdakwa yang mendapat judicial pardon tidak menjalankan pidana apapun karena tidak ada pidananya.

Selanjutnya, mengenai pemberatan pidana. Terdakwa yang mendapat putusan berisi judicial pardon akan tetap dianggap bersalah dan memiliki catatan kriminal serta dapat dianggap sebagai seorang residivis jika ia mengulang tindak pidananya. Walaupun demikian, jika terdakwa tersebut melakukan tindak pidana lagi setelah mendapat putusan tetap berisi judicial pardon, terdakwa tidak dapat diberikan pemberatan pidana. Hal ini dikarenakan oleh putusan sebelumnya yang tidak memberikan pidana atau tindakan kepada terdakwa sehingga tidak dapat dihitung.52

27
52 Wawancara dengan Hasril Hertanto, Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 19 September 2022.

Sementara itu, bagi terdakwa yang melakukan pengulangan tindak pidana setelah mendapat pidana percobaan atau pidana bersyarat dapat diberikan pemberatan pidana pada tindak pidana yang dia lakukan. Pemberlakuan pidana bersyarat ini diatur pada Pasal 14a KUHP yang menekankan pada tindak pidana yang diancam kurungan penjara paling lama satu tahun. Dijelaskan pula, dengan pemberian pidana bersyarat terdakwa tidak perlu dikurung, tetapi dapat dibebaskan dengan pengawasan.53 Di samping itu, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan pidana bersyarat ini, salah satunya adalah perilaku terdakwa saat persidangan.54

e. Berbagai Penyelesaian Perkara di Luar Persidangan (Afdoening Buiten Process)

1. Denda Damai untuk Pelanggaran (Afkoop)

Denda damai untuk pelanggaran yang diatur pada Pasal 82 KUHP berbeda dengan judicial pardon. Setidaknya ada dua perbedaan. Pertama, tentang jenis tindak pidananya. Dalam Pasal 82ayat(1)dikatakanbahwa“kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam denda saja menjadi hapus,...” yang berarti denda damai hanya berlaku pada tindak pidana pelanggaran. Sementara itu, pada Pasal 54 ayat (2) RKUHP tidak disebutkan jenis tindak pidana apa saja yang mendapat judicial pardon ini. Mengingat bahwa RKUHP yang tidak lagi memisahkan pelanggaran dan kejahatan di dalam bukunya, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 54 ayat (2) ini berlaku bagi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran.

Kedua, dilihat dari jenis pemidanaannya. Dalam pasal judicial pardon, terdakwa tidak akan dijatuhkan pidana apapun, baik berupa pidana murni, maupun tindakan. Sementara itu, dalam denda damai dijatuhkan sebagai pidana pokok. Dalam RKUHP,

53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (s.l.: Permata Press, 2018), Ps. 14A ayat (4).

54 Anandito Utomo, “Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-pidana-bersyarat-dan-pembebasan-bersyaratlt517dec08d1200, diakses pada 3 Oktober 2022.

28

denda telah masuk ke dalam jenis pidana pokok55 sehingga masih diberikannya pidana kepada pelanggar tersebut. Di samping itu, perlujugadiketahui bahwadalampidanadenda,tidaksemuaorang mendapat catatan kriminal. Telah diketahui bahwa jika pelanggar tersebut membayar denda maksimum, denda pidananya akan hilang. Sementara itu, jika ia tidak ingin membayar denda maksimum, pelanggar tersebut akan menyelesaikan perkara melalui proses persidangan. Putusan yang akan keluar membuat pelanggar itu memiliki catatan kriminal. Hal ini sama dengan terdakwa yang mendapat putusan berisi judicial pardon. Sementara itu, schikking dapat bermakna sebagai denda koreksi, denda damai, atau denda ganti; maknanya tidak berbeda dengan afkoop 56 Menurut UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), makna dari denda damai adalah sebuah perkara dapat dihentikan di luar pengadilan dengan pembayaran denda (schikking) yang diketahui dan disetujui oleh jaksa agung. Schikking digunakan dalam konteks tindak pidana ekonomi, tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan, dan tindak pidana ekonomi lain yang diregulasikan pada undang-undang.57

Setelah diteliti, ternyata perbedaan schikking dan judicial pardon adalah pada tahapannya. Tahapan schikking dapat dilaksanakan pada tahap asesmen berkas (tahap pra-peradilan) sebelum masuk ke tahap peradilan.58 Sementara itu, judicial pardon termasuk ke tahap peradilan, karena hakim menilai dan mengadili terdakwa di tahap tersebut hingga akhirnya memutus

55 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, Ps. 65 ayat (1) huruf d.

56

Johana F.R. Mamengko, “Denda Damai Dalam Tindak Pidana Ekonomi,” Lex Crimen, Vol. 1 No. 1 (Jan-Mar 2012), hlm. 89.

57 Ibid, hlm. 93.

58

Michael Barama, “Denda Damai Menurut Pasal 29 Rechten Ordonantie,” http://repo.unsrat.ac.id/67/1/DENDA_DAMAI_MENURUTPASAL_29_RECHTEN_ORDONANTIE.pd f, diakses pada 3 Oktober 2022.

29

59

terdakwa dengan judicial pardon

2. Diversi

Diversi adalah proses peradilan perkara anak yang dilakukan di luar persidangan.59 Diversi ini diatur pada Pasal 6 hingga Pasal 15 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Diversi memanglah berbeda dengan judicial pardon. Hal ini dapat dilihat dari jenis tindak pidana, subjek hukumnya, dan penyelesaian perkara. Pertama, jenis tindak pidana. Judicial pardon diberikan hakim kepada terdakwa yang telah dewasa dan terbukti melakukan tindak pidana yang diatur dalam RKUHP. Oleh sebab itu, perkara diadili menggunakan RKUHP. Sedangkan, pada diversi tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana khusus, yaitu yang dilakukan oleh orang di bawah umur atau anak. Hal ini yang menjadi alasan diversi diatur dalam UU SPPA. Proses peradilan dan pemidanaannya pun akan sangat berbeda, namun pasti kedua hal tersebut bertujuan untuk mencapai restorative justice. Kedua, subjek hukumnya. Judicial pardon yang termasuk ke dalam tindak pidana umum dilakukan oleh orang dewasa (bukan anak seperti yang diatur dalam UU SPPA). Lain halnya dengan diversi yang dimanapelakutindakpidanatersebutadalahseoranganak.Dengan demikian, akan berbeda pula proses peradilan dan bentuk pidananya. Terakhir, penyelesaian perkaranya. Pada Pasal 6 huruf d UU SPPA, diversi dilakukan di luar peradilan guna menciptakan ruang aman dan nyaman pada anak yang berhadapan dengan hukum. Berbeda dengan diversi, penyelesaian perkara pada tindak pidana yang mendapatkan judicial pardon dilakukan di peradilan saat sidang perkara.

f. Asas Oportunitas Eksklusif Jaksa Agung (Deponering): Mengesampingkan Perkara demi Kepentingan Umum

30
Indonesia, UU SPPA, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Ps. 1 ayat (7).

Seorang jaksa agung dalam melaksanakan tugas harus memprioritaskan kepentingan umum dan mengesampingkan perkara.60 Makna kepentingan umum dalam konteks ini adalah hal-hal yang menjadi kepentingan bangsa, negara, dan/atau masyarakat Indonesia. Sementara itu, makna mengesampingkan ialah hanya seorang jaksa agung yang dapat menjalankanasasoportunitassetelahadanyapertimbanganatassaranserta opini dari badan-badan kekuasaan negara yang memiliki relasi atas masalah yang bersangkutan.61 Contohnya seperti Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maupun Presiden.62 Perbedaannya dengan judicial pardon terletak di adanya syarat dijalankan atau tidaknya proses litigasi. Apabila jaksa mengesampingkan perkara dan mementingkan kepentingan umum dengan dengan tidak melaksanakan proses litigasi, maka judicial pardon melaksanakan proses litigasi terlebih dahulu namun dengan muara mementingkan kepentingan umum (memutus terdakwa dengan judicial pardon sehingga memenuhi rasa keadilan yang hidup di masyarakat).

g. Asas Oportunitas Inklusif Jaksa (Sepoonering): Diskresi Jaksa dengan Kebijakan (Case Disposal Policy/Beleidsepot)

Bunyi Pasal 34A UU No. 1 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan): “Untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik.”63 Makna dari pasal tersebut ialah dalam menjalankan tugas yang berlandaskan keadilan, jaksa bisa saja tidak melanjutkan proses perkara sebuah kasus yang beririsan

60 Indonesia, UU Kejaksaan, UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Ps. 35 ayat (1) huruf c.

61 I Kadek Darma Santosa, Ni Putu Rai Yuliartini dan Dewa Gede Sudika Mangku, “Pengaturan Asas Oportunitas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, Vol. 9 No. 1 (Februari 2021), hlm. 65.

62 Andi Hamzah dan RM Surachman, Jaksa di Berbagai Negara: Peranan dan Kedudukannya, (Sinar Grafika, 1996), hlm. 102.

63 Ibid, Ps. 34A.

31

2.5

dengan tindak pidana ringan ataupun tindak pidana yang nilai kerugian ekonomisnya kecil. Hal ini bertujuan untuk menyesuaikan perkembangan di tubuh masyarakat yang ingin tindak pidana tersebut tidak diproses.64 Sepoonering ini berbeda dengan judicial pardon. Perbedaan tersebut terletak pada tahapan dan pemberi putusan itu. Sepoonering merupakan diskresi jaksa yang diberikan saat pra-ajudikasi. Di sisi lain, judicial pardon merupakan diskresi hakim yang diberikan saat ajudikasi. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa judicial pardon berbeda dengan sepoonering.

Judicial Pardon Ditinjau dari Perspektif Teori

Lawrence Meir Friedman

Lawrence Meir Friedman beropini bahwa kemantapan penerapan hukum bertumpu pada tiga hal, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (pranata hukum/legal structure), dan budaya hukum (legal culture).65 Dengan demikian, relevansi dari judicial pardon dapat dilihat dari teori ini. Berikut merupakan penjelasan teori ini apabila dikaitkan dengan konteks judicial pardon:

a. Substansi Hukum (Legal Substance)

Lawrence mengemukakan bahwa substansi dari sebuah produk hukum memiliki kemampuan untuk melihat apakah produk hukum tersebut berhasil diterapkan atau tidak. Hal-hal yang dimaksudkan ke dalam konteks substansi hukum ialah keputusan yang dihasilkan dan regulasi yang tersusun.66 Selain itu, cakupan dari poin ini adalah hukum yanghidup (living law)danbukanregulasi di kitabundang-undangsemata (law books).67 Mengingat bahwa judicial pardon dalam RKUHP belum diberlakukan di Indonesia, maka estimasi terhadap keberhasilan penerapan substansi judicial pardon di Indonesia dapat dilihat dari penerapan penanganan pidana lain yang kiranya serupa dengan judicial pardon, seperti pidana bersyarat. Sebuah studi kasus di kejaksaan negeri

64 Ibid

65

Slamet Tri Wahyudi, “Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Konteks Penegakan Hukum diIndonesia,” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 2 (Juli 2012), hlm. 85.

66 Ibid, hlm. 85.

67 Ibid, hlm. 85.

32

di Makassar menyatakan bahwa implementasi hukuman pidana bersyarat berjalan dengan sangat efektif.68 Hal ini terlihat dari terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana bersyarat di Kejaksaan Negeri Makassar tidak ada yang melakukan tindak pidana selama masa percobaan dan setelah masa percobaannya.69 Dari sana, dapat dilihat bahwa judicial pardon sejatinya memiliki kecenderungan baik dalam potensi keberhasilan dalam penerapannya ke depan.

b. Struktur Hukum (Pranata Hukum/Legal Structure)

Lawrence berpendapat bahwa keberhasilan sebuah produk hukum dapat ditentukan oleh struktur hukum yang tersusun pada sebuah negara.70 Di Indonesia sendiri, struktur hukum dijelaskan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di mana struktur hukum Indonesia tersusun dari aparat kepolisian, kejaksaan pengadilan, serta Badan Pelaksana Pidana.71 Selain ketersediaan struktur hukum yang memadai, tentunya setiap sumber daya manusia dari aparat penegak hukum harus memiliki kredibilitas dan kompetensi yang tinggi. Adapun hal ini apabila dikaitkan dengan rencana penerapan judicial pardon di Indonesia ialah Indonesia sendiri seperti yang sudah disebutkan memiliki pranata hukum yang lengkap dan memadai. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah aparat penegak hukum Indonesia sudah cukup kompeten?

Gambaran jawaban tersebut dapat ditinjau dari Ombudsman Republik

Indonesia yang telah melaksanakan survei kepatuhan hukum terhadap penegak hukum Indonesia pada tahun 2018 berdasarkan pemenuhan unsur dokumen pada tahap penyidikan, penuntutan tahap peradilan, dan tahap pemasyarakatan.72 Hasilnya adalah ternyata tingkat kepatuhan hukum penegak hukum Indonesia masih relatif rendah. Kenyataan yang terjadi

68

Fajar Jaelani Hardian, “Efektivitas Pelaksanaan Pidana Bersyarat (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Makassar,” (Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin,Makassar, 2008), hlm. 62. 69 Ibid, hlm 62.

70 SlametTriWahyudi,“ProblematikaPenerapanPidanaMatiDalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 2 (Juli 2012), hlm. 90.

71 Ibid, hlm. 90.

72 Ratna Sari Dewi, “Tingkat Kepatuhan Hukum dan Potensi Maladministrasi Penegakan Hukum,” Tingkat Kepatuhan Hukum dan Potensi Maladministrasi Penegakan Hukum - Ombudsman RI, diakses pada 9 Agustus 2022.

33

adalah pemenuhan unsur dokumen pada tahap penyidikan bernilai 46,66%, tahap penuntutan bernilai 47,98%, tahap peradilan bernilai 69,05%, dan tahap pemasyarakatan bernilai 46,66 %.73 Dari data ini, bagian struktur hukum harus dimaksimalkan agar judicial pardon tidak disalahgunakan atau menyimpang dari tujuan seharusnya.

c. Budaya Hukum (Legal Culture)

Bagaimanakah reaksi masyarakat terhadap produk hukum yang bersangkutan? Apakah masyarakat mendukung atau menolak ketentuan hukum tersebut? Hal-hal tersebut termasuk ke dalam budaya hukum yang dimaksud oleh Lawrence Friedman. Lawrence mengemukakan bahwa keberhasilan sebuah produk hukum ditunjukkan dengan budaya hukum yang hidup di masyarakat.74 Kepatuhan dan kesadaran masyarakat terhadap hukum yang diterapkan menjadi titik krusial dalam keberhasilan sebuah produk hukum.75 Apabila dikaitkan dengan rencana penerapan judicial pardon di Indonesia, hal tersebut berpotensi terjadi jika pemerintah memperhatikan kepatuhan hukum masyarakat Indonesia. Namun, pada realitanya kepatuhan hukum di Indonesia masih perlu dievaluasi lagi76. Masyarakat boleh saja paham dan sadar dengan hukum, namun mereka tetap melakukan tindakan yang tidak patuh terhadap hukum. Contohnya dapat dilihat dari hal-hal kecil di sekitar kita, seperti tidak membawa surat izin mengemudi (SIM) ketika mengendarai kendaraan di jalanan dengan alasan hanya berkendara untuk waktu sebentar.77 Dengan hadirnya judicial pardon, bisa saja pelaku pidana mengulangi tindakannya di kemudian hari (residivis) karena tidak mendapatkan efek jera yang diharapkan dari semua pidana. Hal-hal ini seharusnya tidak luput dari pertimbangan pembuat dan penegak hukum di Indonesia dalam rencana penerapan judicial pardon di Indonesia.

73 Ibid. 74 SlametTriWahyudi,“ProblematikaPenerapanPidanaMatiDalamKonteksPenegakanHukum di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 2 (Juli 2012), hlm. 91.

75 Ibid, hlm. 91.

76 Ellya Rosana, “Kepatuhan Hukum Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum Masyarakat,” Jurnal TAPIs, Vol.10 No.1 (Januari-Juni 2014), hlm. 54.

77 Ibid, hm. 54.

34

Dengan demikian, kesimpulan dari pemaparan di atas adalah apabila ditinjau dari perspektif teori Lawrence Meir Friedman mengenai penegakan hukum, rencana penerapan judicial pardon di Indonesia melalui RKUHP dapat ditinjau dari tiga unsur, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure),danbudayahukum (legal culture).Darisana,dapat diperkirakan persentase keberhasilan penerapan judicial pardon di Indonesia. Dari analisis yang disajikan, ternyata dapat diasumsikan apabila judicial pardon diterapkan di Indonesia, ada tantangan dari poin struktur hukum dan budaya hukum. Kedua hal ini perlu terus ditingkatkan beriringan kesadaran hukumnya agar judicial pardon dapat berjalan baik di Indonesia jika nantinya betul-betul diterapkan.

35

BAB III

JUDICIAL PARDON DARI SISI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

3.1 Hubungan Judicial Pardon dengan Asas Judicial Independence

Hakim sebagai bagian dari lembaga yudisial memiliki kemandirian dalam menjaga marwah peradilan. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan bukti bahwa hakim tidak harus mandiri. Mandiri hakim ini ditujukan agar proses peradilan dilakukan dengan adil dan tanpa intervensi pihak lain.78 Terkait hal tersebut, dalam menjalankan lembaga kehakiman harus sesuai dengan asas judicial independence. Asas judicial independence adalah asas yang mengharuskan lembaga peradilan untuk bersikap mandiri, menjalankan peradilan tanpa campur tangan pihak lain.79 Namun, independensi ini tidak bersifat mutlak, tetapi relatif sesuai dengan yang diatur oleh UU.80 Independensi peradilan membuat hakim tidak perlu terikat dengan lembaga lain di luar peradilan. Hal ini membuat putusan hakim akan berasal dari hasil pemikiran para hakim. Dalam memberikan putusan, hakim dapat memberikan putusan bebas, putusanlepas, ataupunputusanbersalah.Hal initentuditentukanolehharussesuai dengan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan diskresi hakim. Penggunaan judicial pardon dilakukan berdasarkan asas judicial independence. Dalam hal ini, pada dasarnya, hakim dapat memberikan judicial pardon, sebagaimana dalam Pasal 54 ayat (2) RKUHP atas dasar diskresi yang dimiliki.

Hakim menjatuhkan putusan tanpa diganggu gugat oleh pihak manapun dengan memastikan terpenuhinya asas keadilan, asas kemanusiaan, serta asas kepastian hukum.81

78 Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No.48Tahun2009 tentangKekuasaan Kehakiman, Ps. 3.

79 Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=597:desainkonstitusional-komisi-yudisial-dalam-sistem-ketatanegaraan-indonesia&catid=100:hukum-tatanegaraperundang-undangan&Itemid=180, diakses pada 10 Oktober 2022.

80 Ibid.

81

FirmanFlorantaAdonara,“PrinsipKebebasanHakimdalamMemutusPerkaraSebagaiAmanat Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol. 12 No. 2, (Juni 2015), hlm. 232.

36

3.2

Mekanisme Penerapan Judicial Pardon

Judicial pardon sebagai gagasan baru yang ingin diterapkan dalam peradilan Indonesia memiliki tujuan filosofis. Judicial pardon yang lahir sebagai upaya penerapan restorative justice bertujuan untuk memberikan keadilan kepada pelaku dengan tidak menjatuhkan pidana atau tindakan walaupun ia telah memenuhi unsur melawan hukum dan kesalahan.82 Saat ini, pengaturan tentang judicial pardon hanya terdapat dalam RKUHP. Pengaturan tersebut hanya memuat unsur materialnya saja.

Pengaturan judicial pardon yang hanya ada dalam RKUHP ini menjadi polemik dalam tata hukum Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana judicial pardon dapat diterapkan jika undang-undang hukum acara pidana belum mengatur mengenai mekanismenya. Hal ini dapat membuat judicial pardon sebagai pasal mati yang hanya tercantum dalam perundang-undangan yang tidak bisa diaplikasikan. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan hukum acara pidana yang mengatur tentang tata cara penerapan judicial pardon dalam hukum acara Indonesia.

Tujuan hukum tentu tidak hanya ditujukan kepada para pelaku, tetapi juga pada korban. Tujuan hukum diartikan bahwa hukum dapat memberikan keseimbangan hidup di masyarakat.83 Tujuan tersebut dapat dicapai jika hukum itu sendiri mengandung nilai kebermanfaat, kepastian, dan keadilan bagi semua orang. Dalam mencapai tujuannya, tidak semua tindak pidana itu harus dibalas dengan penghukuman pelaku. Dengan hadirnya judicial pardon, sistem peradilan pidanaIndonesiadapatmencapaitujuanhukumyangsebenarnyadanmemberikan keadilan bagi pelaku tindak pidana. Tentu dalam hal ini, hadirnya judicial pardon bukan dimaknai sebagai dispensasi kriminalitas, tetapi bagaimana menciptakan keadilan bagi pelaku yang sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat.

82 Ridwan Suryawan, Asas Rechterlijk Pardon (Judicial Pardon) dalam Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 2 No. 3 (November 2021), hlm. 172.

83 S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 40

37

Pengaturan tentang judicial pardon yang hanya ada dalam RKUHP masih dapat dikatakan multitafsir. Banyak unsur-unsur yang ada dalam pasal tersebut yang bisa dimaknai berbeda bagi setiap hakim, misal pada unsur keadilan dan kemanusiaan dalam frasa “dengan mempertimbangkan segi kemanusiaan dan keadilan.” Definisi kemanusiaan dan keadilan setiap hakim dapat dimaknai berbeda-beda. Hal ini dapat menyebabkan akan berbedanya tindakan yang hakim berikan kepada setiap terdakwa. Dalam unsur tersebut, ada dua pendapat. Pendapat pertama meyakini bahwa tidak dibuat kakunya pasal tersebut berguna agarhakimdapatmenilaisendirimaknakemanusiaandankeadilanyangiaanggap benar karena jika membatasi hakim dalam menafsirkan suatu pasal akan ditakutkan tidak dapat memberi keadilan kepada terdakwa. Namun, di sisi lain sarjana lain beranggapan dengan luasnya makna kemanusiaan dan keadilan tersebut mengakibatkan adanya multitafsir dalam pemberian keputusan yang dapat berakibat pada penyalahgunaan hukum.84 Mekanisme penerapan judicial pardon yang belum diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, baik dalam KUHAP maupun Rancangan Kitab Undang-UndangHukum AcaraPidana(RKUHAP)menyebabkan judicial pardon tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, selain diatur dalam RKUHP, judicial pardon juga perlu diatur dalam RKUHAP. Selain itu, perlu dibuatnya tujuan pemidanaan agar terciptanya konsistensi lembaga peradilan. Dengan demikian, judicial pardon ini dapat digunakan dalam peradilan pidana Indonesia.

3.3 Klasifikasi Putusan Pidana dan Implikasinya Terhadap Judicial Pardon

Hukum acara pidana Indonesia mengenal tiga jenis putusan pidana, yaitu putusan menghukum terdakwa (verordeling), putusan bebas (vrijsraak/acquittai), dan putusan lepas (onslag van alle rechtsvervolging) Penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Jenis-Jenis Putusan Pidana yang Berlaku

1. Putusan Menghukum Terdakwa (Verordeling)

84 Wawancara dengan Ahmad Ghozi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Juni 2022.

38

Terdakwa dihukum setelah terbukti secara sah serta meyakinkan berdasarkan hukum di yang diatur dalam KUHP telah melaksanakan tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.85

2. Putusan Bebas (Vrijsraak/Acquittai)

Terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan yang dituduhkan kepadanya karena perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti. Hal ini bisa disebabkan oleh alat bukti yang tidak ada; tidak cukup; atau lengkap, tetapi hakim tidak memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah. Hal ini diatur pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP.86

3. Putusan Lepas (Onslag van Alle Rechtsvervolging)

Terdakwadibebaskandari segalatuntutanyang dituduhkan kepadanya oleh hakim walau perbuatannya terbukti. Akan tetapi, perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak masuk kategori tindak pidana. Hal ini tertuang pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP.87 Contohnya adalah seseorang melakukan wanprestasi terhadap perjanjian bersama. Dengan demikian, hal ini masuk ke ranah hukum acara perdata, sehingga apabila seseorang melaporkan orang lain karena wanprestasi ke pengadilan pidana, maka hakim akan memutus putusan lepas.

b. Perbandingan Unsur Jenis Putusan Pidana yang Berlaku dengan Judicial Pardon Berikut merupakan perbandingan unsur-unsur yang ada di putusan menghukum terdakwa, putusan lepas, putusan bebas, dan judicial pardon yang disajikan dalam bentuk tabel ringkas. 85 SandroUnas,“KajianYuridisterhadapBentukPutusanHakimDalamTindakPidanaKorupsi,” Lex Et Societatis, Vol. 7 No. 4, (April 2019), hlm. 97. 86 Ibid 87 Ibid

39

No. Putusan Menghukum Terdakwa Putusan Lepas Putusan Bebas Judicial Pardon

1. Unsur perbuatan melawan hukum terbukti

2. Unsur kesalahan terbukti

Unsur perbuatan melawan hukum terbukti

Unsur kesalahan belum tentu terbukti

Unsur perbuatan melawan hukum tidak terbukti

Unsur perbuatan melawan hukum terbukti

Unsur kesalahan tidak terbukti Unsur kesalahan terbukti

3. Dipidana Tidak dipidana Tidak dipidana Tidak dipidana88

Dari tabel yang disajikan di atas, dapat dilihat bahwa judicial pardon tidak memenuhi unsur yang ada di dalam ketiga jenis putusan pidana yang berlaku di Indonesia saat ini.

c. Implikasi terhadap Judicial Pardon

Berdasarkan penjelasan dan perbandingan antara ketiga putusan hukum acara pidana dan unsur judicial pardon. Dengan demikian, disimpulkan bahwa ternyata judicial pardon secara keseluruhan tidak memiliki kesamaan dengan tiga jenis putusan yang telah dijelaskan di atas sehingga membuatnya tidak dapat dimasukkan ke jenis putusan apapun. Oleh karena itu, penulis mengusulkan untuk adanya nomenklatur putusan baru untuk memasukkan judicial pardon ke dalam jenis putusan di hukum acara pidana Indonesia agar nantinya substansi dari KUHP dan KUHAP dapat berjalan beriringan.

3.4 Upaya Hukum yang Dapat Diterapkan pada Putusan Judicial Pardon Upaya hukum merupakan langkah untuk dapat melawan putusan hakim yang telah dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).89 Sesuai pada Pasal 1 ayat (12) KUHAP yang berbunyi,

88 Wawancara dengan Hasril Hertanto, Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 19 September 2022.

89 Putra Halomoan, “Tinjauan Yuridis tentang Upaya-Upaya Hukum,” Yurisprudentia, Vol. 1 (Juni 2015), hlm. 43.

40

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dengan begitu, diketahui bahwa apabila terdakwa atau penuntut umum merasa tidak puas terhadap putusan yang telah diberikan oleh pengadilan, maka keduanya dapat mengajukan upaya hukum demi mendapatkan keadilan dan kebenaran.90 Sejatinya, upaya hukum yang diatur dalam KUHAP terbagi menjadi dua, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.91 Upaya hukum biasa terbagi lagi menjadi banding dan kasasi. Sementara itu, upaya hukum luar biasa terdiri atas kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (herziening). Dalam dua jenis upaya hukum tersebut, perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan diantara keduanya. Perbedaan pertama adalah dalam upaya hukum biasa pada dasarnya dilakukan untuk menangguhkan eksekusi, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak dilakukan untuk menangguhkan eksekusi.92 Perbedaan kedua adalah bahwa upaya hukum luar biasa hanya dapat dilakukan setelah suatu putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap. Banding dapat diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh penuntut dan terdakwa untuk meminta pengadilan tinggi memeriksa kembali putusan yang diberikan oleh pengadilan negeri.93 Selain banding, terdapat kasasi yang menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusanputusan pengadilan tingkat banding dan putusan pengadilan tingkat terakhir dari semua tingkatan pengadilan. Tidak hanya itu, semua putusan bebas juga dapat dilakukan upaya hukum kasasi tanpa mempertimbangkan murni atau tidaknya putusan bebas tersebut.94 Upaya hukum luar biasa terdiri atas kasasi demi

90

Rendi Renaldi Mumbunan, “Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana,” Lex Crimen, Vol. 7 (Desember 2018), hlm. 41.

91

Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2020), hlm. 349.

92

Putra Halomoan, “Tinjauan Yuridis tentang Upaya-Upaya Hukum,” Yurisprudentia ,Vol. 1 (Juni 2015), hlm. 43.

93

Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2020), hlm. 350.

94 Tri Jata Ayu Pramesti, “Bentuk-Bentuk Putusan Bebas,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-bentuk-putusan-bebas-lt52e84ef784aac, diakses 31 Oktober 2022.

41

kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (herziening). Kasasi demi kepentingan hukum dapat diartikan sebagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Jaksa Agung mengenai sebuah putusan berkekuatan hukum tetap tanpa memberikan implikasi hukum terhadap para pihak yang berkepentingan. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah upaya hukum untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap sebuah putusan berkekuatan hukum tetap kepada Mahkamah Agung oleh terpidana atau ahli warisnya. Selanjutnya, muncul pertanyaan mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh apabila hakim memberikan putusan judicial pardon. Dalam sistem hukum Belanda, putusan judicial pardon merupakan putusan yang final dan mengikat sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum.95 Hal ini karena putusan judicial pardon yang bersifat final dan mengikat (binding). Sifat final dan mengikat ini sejalan dengan kesalahan yang sudah dimaafkan dan pembebasan yang diberikan kepada terdakwa sehingga tidak ada lagi hal yang dapat dibandingkan.96 Namun, dalam sistem hukum acara pidana Indonesia belum terdapat pengaturan mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh dalam putusan judicial pardon. Dalam hal ini, Indonesia tidak berkewajiban untuk mengikuti peraturan Belanda yang sudah terlebih dahulu mengadaptasi judicial pardon. Terdapat dua kemungkinan mengenai upaya hukum dalam putusan judicial pardon di Indonesia. Kemungkinan pertama adalah putusan judicial pardon akan bersifat final dan mengikat yang mengakibatkan tidak adanya upaya hukum apapun terhadap putusan judicial pardon. Kemungkinan kedua adalah Indonesia memperbolehkan adanya upaya hukum terhadap putusan judicial pardon dan tidak bersifat final dan mengikat. Adanya upaya hukum yang dapat ditempuh merupakan salah satu langkah untuk dapat mengendalikan putusan judicial pardon agar tidak disalahgunakan.

95 Adery Ardhan Saputro, “Konsep Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim dalam Rancangan KUHP,” Mimbar Hukum Vol. 8 No.1 (2016), hlm. 71. 96 Wawancara dengan Hasril Hertanto, Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 19 September 2022.

42

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Judicial pardon yang dimaknai sebagai pemaafan hakim merupakan kewenangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan kepada terdakwa yang terbukti bersalah secara hukum dengan melihat syarat-syarat tertentu yang diatur pada Pasal 54 ayat (2) RKUHP. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, dan keadaan pada saat atau setelah tindak pidana itu dilakukan. Pemberian judicial pardon tidak harus memenuhi semua unsur pada pasal tersebut, jika salah satu unsur telah terpenuhi, hakim dapat memberikan judicial pardon.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal judicial pardon dapat dikatakan masih multitafsir. Hal ini menyebabkan judicial pardon rentang akan penyalahgunaan. Apalagi, judicial pardon adalah kewenangan hakim dalam penerapan asas judicial independence yang tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Walaupun demikian, dimasukkannya peraturan judicial pardon ini bukan berarti tidak tepat karena sejatinya judicial pardon dibuat untuk menciptakan keadilan di masyarakat. Dalam pengertiannya, judicial pardon ini tidak bisa disamakan dengan dasar penghapus pidana. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, judicial pardon mengakui perbuatan terdakwasebagai perbuatanmelawan hukum dan memiliki unsur kesalahan, sedangkan dasar pemaaf menghapuskan kesalahan terdakwa. Kedua, judicial pardon bersifat individual yang artinya hanya dapat diberikan kepada satu orang dan tidak dapat diberikan serta merta kepada terdakwa lainnya yang melakukan tindak pidana yang sama. Sementara itu, dasar penghapus pidana, dalam hal ini dasar pembenar, diberikan bersifat universal yang artinya dapat kepada semua orang yang melakukan tindak pidana yang sama dengan pertimbangan hakim. Ketiga, judicial pardon tidak perlu ada restitusi karena dalam RKUHP restitusi masuk ke dalam jenis pidana, sedangkan pada dasar penghapus pidana restitusi dapat diberatkan kepada terdakwa. Keempat, walaupun tidak adanya pemidanaan apapun pada judicial pardon, tetapi judicial

43
BAB IV

pardon masih memiliki catatan kriminal dan dapat menjadi residivis jika pelaku mengulangi perbuatan pidana yang sama. Sementara itu, dasar penghapus pidana yang menghapus unsur kesalahan dan pertanggungjawaban pidananya tidak akan memiliki catatan kriminal. Dengan demikian, orang tersebut tidak dapat menjadi residivis. Namun demikian, judicial pardon ini tidak dapat dilakukan upaya hukum karena judicial pardon bersifat final dan mengikat. Selain berbeda dengan dasar penghapus pidana, judicial pardon juga berbeda dengan metode penyelesaian perkara lainnya. Metode penyelesaian perkara lainnya yang dimaksud adalah amnesti dan grasi, pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana bersyarat/pidana percobaan, denda damai untuk pelanggaran, diversi, deponering, dan sepoonering. Perbedaan tersebut dapat terletak pada lembaga kekuasaan yang berwenang, subjek hukum, jenis tindak pidanayangakandiberikan,danlain-lain.Dengandemikian, judicialpardon yang akan diberlakukan tidak akan memberikan dualisme hukum di peradilan pidana Indonesia karena semua memiliki fungsi masing-masing. Judicial pardon merupakan ide baru dalam upaya menerapkan restorative justice di Indonesia. Kendati demikian, judicial pardon tidak lepas dari beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut di antaranya adalah judicial pardon tidak diikuti dengan pembuatan mekanisme penerapan dan jenis putusan sehingga dikhawatirkan judicial pardon hanya berupa pasal mati yang tidak dapat diaplikasikan dalam peradilan pidana Indonesia. Dengan demikian, judicial pardon perlu diikuti dengan mekanisme penerapan dan penetapan jenis putusan yang harus diatur dalam KUHAP sehingga dapat digunakan secara nyata dalam peradilan. Selain itu, perlu adanya penjelasan lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang ada dalam pasal 54 ayat (2) RKUHP sehingga putusan yang diberikan sesuai dengan pasal tersebut tanpa membatasi hakim dalam memberikan diskresi. Terakhir, dimasukkannya restitusi sebagai bentuk pidana tambahan akan membuat terdakwa yang dijatuhi putusan judicial pardon tidak diwajibkan memberikan restitusi kepada korban. Padahal, dalam hal terdakwa bersalah, terdakwa harus memberikan restitusi yang merupakan hak korban. Jika hal ini terjadi, prinsip keadilan restoratif dalam peradilan pidana Indonesia tidak

44

terwujud. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan ulang terkait pemasukkan restitusi sebagai pidana tambahan dalam RKUHP.

Dalam menerapkan judicial pardon, perlu dilakukan peninjauan terhadap teori Lawrence Meir Friedman, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (pranata hukum/legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Hal yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah peningkatan struktur hukum dan budaya hukum dalam pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Berdasarkan teori tersebut, diyakini bahwa penerapan judicial pardon dapat terlaksana dengan baik jikaaparatpenegakhukumdanmasyarakat Indonesiasecarasadarpatuhdantertib terhadap peraturan yang berlaku. Jika penegakan hukum dan kesadaran masyarakat terhadap hukum dilaksanakan dan ditumbuhkan dengan baik, kiranya penerapan judicial pardon ini akan mencapai tujuannya, yaitu keadilan bagi masyarakat Indonesia.

4.2 Saran

Dari pemaparan penelitian mengenai judicial pardon yang diatur dalam Pasal 54 ayat (2) RKUHP maka, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut. Pasal judicial pardon masih terlihat multitafsir. Pertama, unsur “ringannya perbuatan”. RKUHP yang sudah membagi perbuatan pidana ke dalam beberapa kategori pemidanaannya harus pula diikuti dengan penafsiran pada unsur ringannya perbuatan. Ringannya perbuatan juga tidak semata-mata melihat pada perbuatan itu, tapi juga pada efek yang didapat dari perbuatan tersebut. Kedua, kata “kemudian” dalam frasa “pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat” berarti perbuatan sebelum peradilan, sehingga dapat diartikan bahwa judicial pardon juga diberikan jika sudah ada kesepakatan damai di antara kedua belah pihak. Ketiga, kata penghubung “atau” dalam frasa “untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan” berarti bahwa dengan dijatuhkannya judicial pardon tidak akan diberi pidana dan tindakan, juga tidak dapat dijatuhi pidana tapi diberikan tindakan. Makna kata “atau” tersebut ialah bahwa terdakwa tidak dijatuhi apapun. Digunakannya kata “atau” karena jikamenggunakankata“dan”makatidakbisakarenapenjatuhanpidanatidakbisa sekaligus (pidana dan tindakan), maka akan lebih tepat jika menggunakan kata

45

“atau”. Dengan begitu, penulis berpendapat perlu adanya penjelasan lebih lanjut mengenai unsur ringannya perbuatan. Namun, penjelasan tersebut tidak boleh dibuat dengan rigid sehingga membatasi hakim dalam menggunakan doktrin dan yurisprudensi.

Tidak hanya itu, Pemerintah juga harus fokus kepada kondisi masyarakat yang dapat dilihat dalam teori Lawrence sehingga terdakwa hasil putusan judicial pardon tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi dan penyuluhan mengenai kepatuhan hukum terus menerus. Putusan judicial pardon juga tidak dapat dikategorikan ke dalam putusan-putusan yang ada seperti putusan menghukum terdakwa, putusan lepas, dan putusan bebas. Dengan demikian, perlu adanya penambahan jenis putusan baru yang dapat mengakomodir putusan judicial pardon. Belum adanya pengaturan mengenai ada atau tidaknya upaya hukum yang dapat ditempuh juga menjadi suatu isu penting. Diperlukan pengaturan mengenai upaya hukum dalam putusan judicial pardon agar judicial pardon dapat dijalankan secara efektif dan tidak disalahgunakan.

46

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Darurat Amnesti dan Abolisi, UU No. 11 Tahun 1954. Undang-Undang Grasi, UU No. 22 Tahun 2002.

Undang-Undang Grasi, UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Kejaksaan, UU No. 16 Tahun 2004. Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (s.l.: Permata Press, 2018).

Nota Kesepakatan Bersama tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Nota Kesepakatan Bersama No. 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012.

Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Ed. Revisi. Cet. 11. Depok: Rajawali Pers, 2020. Braithwaite, John. Criminal Justice Theory.Cet. 1. New York: Taylor and Francis Group, 2020. Hamzah, Andi et. al.. Laporan Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006. Jakarta: s.n., 2006. hlm. 66

Hamzah, Andi dan RM Surachman. Jaksa di Berbagai Negara: Peranan dan Kedudukannya. Sinar Grafika, 1996.

Kansil, S.T.. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Keizer, Nico dan D. Schaffmeister. Beberapa Catatan Tentang Rancangan Permulaan 1998 Buku I KUHP Baru Indonesia. s.l.: Belanda 1990. hlm. 55. Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Pangaribuan, Aristo M.A., Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Depok: Rajawali Pers, 2020. Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Press, 2010. Priyanto, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung: PT. Rafika Aditama, 2009.

Jurnal

Benuf, Kornelius dan Muhamad Azhar. “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer.” Jurnal Gema Keadilan Vol. 7 Ed. 1 (Juni, 2020). Hlm. 20-33. Farikhah, Mufatikhatul. “Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Masyarakat AdatdiIndonesia,” Jurnal Media Hukum Vol. 25 No. 1, Juni 2018. Hlm. 81-92.

47 DAFTAR
PUSTAKA

Farikhah, Mufatikhatul. “Rekonseptualisasi Judicial Pardon dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Perbandingan Sistem Hukum Indonesia dengan Sistem Hukum Barat),” Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 48 No. 3 (Februari 2018). Hlm. 22 & 567.

Halomoan,Putra.“TinjauanYuridistentangUpaya-UpayaHukum.” Yurisprudentia Vol. 1 (Juni 2015). Hlm. 42-53.

Hikmawati, Puteri. “Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju KeadilanRestoratif.” Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan. Vol. 7 No. 1 (2016). Hlm. 71-88.

Jamilah, Asiyah dan Hari Sutra Disemadi. “Pidana Kerja Sosial: Kebijakan Penanggulangan Overcrowding Penjara.” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol. 8 No.1 (April 2020). Hlm. 26-38. Julyano, Mario dan Aditya Yuli Sulistyawan. “Pemahaman terhadap Asas Kepastian Hukum melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum.” Jurnal Crepido Vol. 1 No. 1, Juli 2019. Hlm. 13-22.

Mamengko, Johana F.R. “Denda Damai Dalam Tindak Pidana Ekonomi.” Lex Crimen Vol. 1 No. 1 (Jan-Mar 2012). Hlm. 89-104.

Marabessy,Fauzy. “RestitusibagiKorbanTindakPidana:SebuahTawaranMekanisme Baru.” Jurnal Hukum dan Pembangunan. No. 1 (Januari-Maret 2015). Hlm. 5375.

Meliala, Nefa Claudia. “Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) : Suatu Upaya Menuju Sistem Peradilan Pidana Dengan Paradigma Keadilan Restoratif.” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 8 Issue 3 (Desember 2020). Hlm. 552-568. Mumbunan, Rendi Renaldi. “Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Pidana.” Lex Crimen, Vol. 7 (Desember 2018). Hlm. 40-47.

Ngutra, Theresia. “Hukum dan Sumber-Sumber Hukum.” Jurnal Supremasi Vol. XI (2016). Hlm. 193-211.

Rosana, Ellya. “Kepatuhan Hukum Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum Masyarakat.” Jurnal TAPIs Vol.10 No.1 (Januari-Juni 2014). Hlm. 1-25.

Santosa, I Kadek Darma, Ni Putu Rai Yuliartini dan Dewa Gede Sudika Mangku. “Pengaturan Asas Oportunitas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 9 No. 1 (Februari 2021). Hlm. 70-80.

Saputro, Adery Ardhan. “Konsep Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim dalam RancanganKUHP.” Mimbar Hukum Vol. 8 No.1 (2016). Hlm. 61-76.

Saputro, Adery Ardhan dan Supriyadi Widodo Eddyono. “Tinjauan Atas Non-Imposing of a Penalty/ Rechterlijk Pardon/ dispensa de pena dalam R KUHP serta Harmonisasinya dengan RKUHAP.” (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm. 19.

Setyowati, Dewi. “Memahami Konsep Restorative Justice sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan,” Pandecta, Vol. 15 No. 1 (Juni 2020). Hlm. 121-141.

Wahyudi,SlametTri. “ProblematikaPenerapanPidanaMatiDalamKonteksPenegakan Hukum di Indonesia.” Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 1 No. 2 (Juli 2012). Hlm. 207-234.

Yosuki, Aska dan Dian Adriawan Daeng Tawang. “Kebijakan Formulasi Terkait Konsepsi

48

Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.” Jurnal Hukum Adigama, Vol. 1 No.1, 2018. Hlm. 1-25.

Adonara, Firman Floranta.“PrinsipKebebasan Hakim dalamMemutusPerkaraSebagai Amanat Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol. 12 No. 2, (Juni 2015). Hlm. 232.

Suryawan, Ridwan. “Asas Rechterlijk Pardon (Judicial Pardon) dalam Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia.” Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 2 No. 3 (November 2021). Hlm. 172.

Unas, Sandro. “Kajian Yuridis terhadap Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi,” Lex Et Societatis, Vol. 7 No. 4 (April 2019). Hlm. 97.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Hardian, Fajar Jaelani. “Efektivitas Pelaksanaan Pidana Bersyarat (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Makassar.” Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 2008.

Wawancara

Wawancara dengan Ahmad Ghozi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Juni 2022.

Wawancara dengan Hasril Hertanto, Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 19 September 2022.

Wawancara dengan Matheus Nathanael Siagian, Peneliti di Indonesia Judicial Research Society, 29 Juni 2022.

Lain-lain dari Internet

Barama, Michael. “Denda Damai Menurut Pasal 29 Rechten Ordonanti.,” http://repo.unsrat.ac.id/67/1/DENDA_DAMAI_MENURUTPASAL_29_REC HTEN_ORDONANTIE.pdf. Diakses pada 3 Oktober 2022.

Dewi, Ratna Sari. “Tingkat Kepatuhan Hukum dan Potensi Maladministrasi Penegakan Hukum.” Tingkat Kepatuhan Hukum dan Potensi Maladministrasi Penegakan Hukum - Ombudsman RI. Diakses pada 9 Agustus 2022.

Fitria Chusna Farisa, “Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ancam Perbuatan Penghinaan terhadap Penguasa” https://nasional.kompas.com/read/2022/06/22/14343521/pasal-pasalkontroversial-rkuhp-yang-ancam-perbuatan-penghinaan-terhadap. Diakses 4 Oktober 2022.

Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM Republik. “Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=ar ticle&id=597:desain-konstitusional-komisi-yudisial-dalam-sistemketatanegaraan-indonesia&catid=100:hukum-tata-negaraperundangundangan&Itemid=180. Diakses pada 10 Oktober 2022.

Nugroho, Rahmat Muhajir. “Saatnya Terapkan Restorative Justice”, https://uad.ac.id/id/saatnya-terapkan-restorative-justice/. Diakses pada 30 Juli 2022.

49

Nurkasihani, Iba. “Restorative Justice, Alternatif Baru dalam Sistem Pemidanaan.” https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/restorative-justicealternatif-baru-dalam-sistem-pemidanaan. Diakses pada 1 Agustus 2022.

Nursobah,Asep.“Mewujudkan Putusan Berkualitas Yang Mencerminkan Rasa Keadilan | Prof. DR. Paulus E. Lotulung, SH,” https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/122-mewujudkanputusan-berkualitas-yang-mencerminkan-rasa-keadilan-prof-dr-paulus-elotulung-sh. Diakses pada 27 Oktober 2022.

Pramesti, Tri Jata Ayu. “Bentuk-Bentuk Putusan Bebas.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-bentuk-putusan-bebaslt52e84ef784aac. Diakses 31 Oktober 2022.

Utomo, Anandito. “Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-pidana-bersyarat-dan-pembebasanbersyarat-lt517dec08d1200. Diakses pada 3 Oktober 2022.

Wahyuni, Willa. “Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana,” https://www.hukumonline.com/berita/a/pembunuhan-dan-pembunuhanberencana-lt62d68b0036f97?page=all. Diakses pada 22 September 2022.

50

LAPORAN PENELITIAN

MANDIRI BIDANG PENELITIAN LEMBAGA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2022
POLITIK HUKUM INDONESIA DALAM ISU NATUNA DI BALIK RENCANA PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG LANDAS KONTINEN INDONESIA PENELITIAN
KAJIAN KEILMUAN

BAB I PENDAHULUAN

Kontinen

DAFTAR
ISI
……………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 7 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………...7 1.4 Definisi Operasional……………………………………………………………..7 1.5 Metode Penelitian………………………………………………………………..9 1.6 Sistematika Penulisan 9 BAB II KEBUTUHAN POLITIK HUKUM RANCANGAN UNDANG-UNDANG LANDAS KONTINEN INDONESIA………………………………………………...11 2.1 Sejarah Pengaturan Landas Kontinen Indonesia 11 2.2 Urgensi Rancangan Undang-Undang Landas
13 2.3PotensiAncamanKlaimTiongkokatasLautNatunaUtara….………………….20 BAB III TINJAUAN PERATURAN SERUPA RUU LANDAS KONTINEN DI NEGARA-NEGARA LAIN…………...……………………………………………... 24 3.1 Amerika Serikat …………..................................................................................24 3.2 Filipina …………………………………………………………………………26 3.3 Malaysia 29 BAB IV PENUTUP……………………………………………………………………33 4.1 Kesimpulan……………………………………………………………………..33 4.2 Saran……………………………………………………………………………34 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….36

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik Natuna berawal dari kedatangan dua kapal tentara angkatan laut dan satu kapal pengawas Tiongkok yang mengawal 63 kapal penangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia pada 19 Desember 2019.1 Pada 24 Desember 2019, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut memerintahkan kapal-kapal Tiongkok tersebut untuk menghentikan penangkapan ikan ilegal di wilayah kedaulatan Indonesia, tetapi mereka tidak mengindahkan permintaan itu.2 Setelah peristiwa ini terjadi, berbagai upaya diplomasi telah dilakukan. Namun, Tiongkok bersikeras bahwa perbuatannya dilegitimasi oleh keberadaan nine-dash line, yaitu garis wilayah historis yang dibuat sepihak oleh negara ini sejauh 2.000 km dari daratan Tiongkok hingga Filipina, Malaysia, dan Vietnam.3 Isu ini semakin memanas pada Desember 2021 ketika Tiongkok mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna Utara.4

Dalam jangka waktu 2016 hingga 2021, konflik Natuna di Indonesia semakinmemanas. Pada Maret 2016,konflik ini diawali dengan kedatangan kapal ilegal Tiongkok. Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebutsaatitu,tetapiupayainitidakbisadilakukanakibatadanyacampurtangan kapal coast guard Tiongkok yang dengan sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.5 Setelah situasi mereda selama beberapa tahun, Tiongkok kembali berulah dengan mendatangkan dua kapal tentara angkatan laut dan satu kapal pengawas Tiongkok yang mengawal 63 kapal penangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi

1 Damos Dumali Agusman dan Citra Yuda Nur Fatihah, “Celebrating The 25th Anniversary of UNCLOSLegalPerspective:TheNatunaCase,” Indonesian Journal of International Law (2020), hlm. 17.

2 Ibid.

3 IrawanSaptoAdhi,“ApaItuNineDashLineyangSeringDipakaiChinauntukKlaimNatuna?” https://internasional.kompas.com/read/2021/12/04/150000970/apa-itu-nine-dash-line-yang-seringdipakai-china-untuk-klaim-natuna-?page=all, diakses 9 November 2022.

4 Aditya Jaya Iswara, “Konflik Laut China Selatan Memanas, Indonesia Dekati AS,” https://www.kompas.com/global/read/2022/04/24/233000470/konflik-laut-china-selatan-memanasindonesia-dekati-as?page=all, diakses 30 April 2022.

5 FaindatulMuslimah,Wazi’atusSantiyah,danDepictPristineAdi,“AnalisisKonflikKepulauan Natuna pada Tahun 2016 - 2019,” Al-Ahkam 2 (2020), hlm. 89.

1
BAB I

Eksklusif (ZEE) Indonesia pada 19 Desember 2019.6 Pada 24 Desember 2019, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut memerintahkan kapal-kapal Tiongkok tersebut untuk menghentikan penangkapan ikan ilegal di wilayah kedaulatan Indonesia, tetapi mereka tidak mengindahkan permintaan itu.7 Setelah peristiwa ini terjadi, berbagai upaya diplomasi telah dilakukan. Namun, Tiongkok bersikeras bahwa perbuatannya dilegitimasi oleh keberadaan nine-dash line, yaitu garis wilayah historis yang dibuat sepihak oleh negara ini sejauh 2.000 km dari daratan Tiongkok hingga Filipina, Malaysia, dan Vietnam.8 Isu ini semakin memanas pada Desember 2021 ketika Tiongkok mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna Utara yang berhubungan dengan masalah landas kontinen.9 Pelanggaran ZEE oleh Tiongkok menimbulkan pertanyaan mengenai landasan hukum perlindungan hak berdaulat di wilayah laut Indonesia. Aturan mengenai ZEE Indonesia tercantum dalamUndang-Undang Nomor1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (UU LKI) yang dikeluarkan pasca ratifikasi Konvensi Jenewa 1958 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961.10 Selanjutnya, Indonesia meratifikasi United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982, tetapi proses ini tidak diiringi revisi UU LKI yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958.11 Padahal, revisi ini diperlukan agar Indonesiamemilikiaturanlandaskontinenyangmelindungihakberdaulatsebagai negara pantai di luar 200 mil. Jika revisi UU LK melalui RUU LKI disahkan, Indonesia mempunyai dasar hukum ketika ingin memanfaatkan kekayaan di landas kontinen di luar 200 mil. Dalam konteks isu Natuna, melalui perpanjangan submisi ini, Indonesia berkesempatan untuk memberikan perlindungan yang lebih

6 Damos Dumali Agusman dan Citra Yuda Nur Fatihah, “Celebrating The 25th Anniversary of UNCLOSLegalPerspective:TheNatunaCase,” Indonesian Journal of International Law (2020), hlm. 17.

7 Ibid.

8 IrawanSaptoAdhi,“ApaItuNineDashLineyangSeringDipakaiChinauntukKlaimNatuna?” https://internasional.kompas.com/read/2021/12/04/150000970/apa-itu-nine-dash-line-yang-seringdipakai-china-untuk-klaim-natuna-?page=all, diakses 9 November 2022.

9 Aditya Jaya Iswara, “Konflik Laut China Selatan Memanas, Indonesia Dekati AS,” https://www.kompas.com/global/read/2022/04/24/233000470/konflik-laut-china-selatan-memanasindonesia-dekati-as?page=all, diakses 30 April 2022.

10 Davina Oktivana, “Urgensi Revisi Undang-Undang Landas Kontinen di Indonesia,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 3 (2016), hlm. 263.

11 Ibid., hlm. 282.

2

luas di wilayah landas kontinennya. Ancaman Tiongkok pun dapat tereduksi seiring dengan adanya effective control oleh Indonesia. Dengan Tiongkok yang terus berupaya menguasai Natuna, Indonesia melihat ketidakpastian hukum ini sebagai peluang untuk memperluas wilayahnya yang memang menjadi haknya. Campur tangan Tiongkok yang menyuruh Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas di landas kontinennya menimbulkan pertanyaan mengenai landasan hukum perlindungan hak berdaulat di wilayah laut Indonesia. Aturan mengenai landas kontinen Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (UU LKI) yang dikeluarkan pasca ratifikasi Konvensi Jenewa 1958 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1961.12 Selanjutnya, Indonesia meratifikasi United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982, tetapi proses ini tidak diiringi revisi UU LKI yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958.13 Padahal, revisi ini diperlukan agar Indonesia memiliki aturan landas kontinen yang melindungi hak berdaulat sebagai negara pantai di luar 200 mil (submisi). Perpanjangan submisi landas kontinen Indonesia sejalan dengan asas pertahanan yang menjadi prinsip penyusunan norma Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen (RUU LK). Berdasarkan norma ini, jika klaim landas kontinen digunakan semaksimal mungkin dengan melakukan perpanjangan, Indonesia dapat melindungi semakin besar wilayahnya.14 Dengan Tiongkok yang terus berupaya menguasai Natuna, Indonesia melihat ketidakpastian hukum ini sebagai peluang untuk memperluas wilayahnya yang memang menjadi haknya melalui RUU LK. Untuk memperbarui aturan terkait landas kontinen yang disesuaikan dengan UNCLOS 1982, Dewan Perwakilan Rakyat memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (RUU LKI) ke dalam Program Legislasi

12 Davina Oktivana, “Urgensi Revisi Undang-Undang Landas Kontinen di Indonesia,” Padjadjaran Jurnal Ilmu HukumJournal of Law 3 (2016), hlm. 263.

13 Ibid., hlm. 282.

14 SuparmanA.Diraputra,etal.,“NaskahAkademikRUUtentangLandasKontinenIndonesia,” https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_landas_kontinen_indonesia.pdf, diakses 30 April 2022.

3

Nasional 2022.15 Berdasarkan naskah akademik Badan Pembinaan Hukum Nasional, RUU ini diharapkan dapat menjaga sumber daya alam di wilayah Indonesia yang digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.16 Selain dari aspek ekonomis terkait penguasaan dan eksplorasi, RUU ini juga mendukung Indonesia untuk menghindari kemungkinan infiltrasi atau penyusupan dari pihak asing, misalnya Tiongkok dalam konflik Natuna.17 Hal ini karena semakin luas wilayah yang dikuasai, semakin besar pula perlindungan yang dapat diberikan Indonesia. Apabila RUU ini tak kunjung disahkan, konsekuensi hukumnya adalah ketidakpastian hukum laut akan mempermudah Tiongkok mempersengketakan batas wilayah Indonesia seperti yang dilakukan selama ini di Natuna. Dalam konteks ini, ketidakpastian hukum tampak dari adanya ketidakharmonisan antara pengaturan landas kontinen dalam UU LKI terkini yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 ketika Indonesia faktanya telah mengimplementasikan pengajuan submisi yang diatur dalam UNCLOS 1982. Selain sebagai upaya preventif untuk menghindari bumerang dari ketidakpastian hukum laut Indonesia, rencana pengesahan RUU Landas Kontinen juga tampak dilakukan sebagai respons negara ini terhadap Belt and Road Initiative (BRI).18 BRI adalah program Tiongkok untuk mendukung konektivitas perdagangan dengan negara lain dan meningkatkan pasokan minyak dan gas melalui ekspansi infrastruktur transportasi yang dikenal dengan proyek Maritime Silk Road (MSR) dan pembangunan beberapa pelabuhan baru.19 Dalam program tersebut, Tiongkok mempunyai kepentingan ekonomi di Laut Natuna Utara yang

15 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “RUULandasKontinenDitargetkanRampung Tahun 2022,” https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/36551/t/RUU+Landas+Kontinen+Ditargetkan+Rampung+Tahun+2 022, diakses 30 April 2022.

16 Suparman A. Diraputra, et al.,“NaskahAkademikRUUtentangLandasKontinenIndonesia,” https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_landas_kontinen_indonesia.pdf, diakses 30 April 2022.

17 Ibid.

18 Antara Kepri, “RUU Landas Kontinen untuk optimalkan kepentingan nasional di laut,” https://kepri.antaranews.com/berita/108961/ruu-landas-kontinen-untuk-optimalkan-kepentingan-nasionaldi-laut, diakses 9 November 2022.

19 Fernando Ascensão, et al.,“EnvironmentalchallengesfortheBeltandRoadInitiative,” Nature Sustainability 1 (Mei 2018), hlm. 206.

4

menyimpan 160 triliun kaki kubik gas dan 12 miliar barel minyak.20 Kepentingan ini tampak dari kecenderungan kapal Tiongkok yang terdeteksi berada melalui batas ZEE Indonesia yang bersinggungan dengan Vietnam.21 Dengan keberadaan RUU Landas Kontinen, Tiongkok tidak bisa semena-mena berlindung di balik program BRI yang sebelumnya telah disepakati untuk memanfaatkan sumber daya laut di ZEE Indonesia.

Upaya Indonesia untuk mengesahkan RUU Landas Kontinen dapat dipandang sebagai politik hukum negara ini dalam menanggapi isu Natuna. Politikhukum sendiri adalahbagiandariilmu pengetahuanhukum yangmenelaah perubahan yang harusdilakukandalamhukum yangberlakuagardapat memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat.22 Jika dikaitkan dengan isu Natuna, melalui RUU Landas Kontinen, pemerintah ingin mengusahakan kepastian hukum pengajuan submisi landas kontinen demi melindungi wilayahnya secara optimal dengan luas yang lebih besar. Dari penjelasan ini, arah kebijakan pemerintah Indonesia berfokus untuk memperkuat effective control di Laut Natuna Utara dengan semakin luasnya wilayah yang bisa dilindungi hak berdaulatnya melalui RUU Landas Kontinen. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan posisi Indonesia di mata hukum saat Tiongkok terus menunjukkan kekuasaannya atas Laut Natuna Utara dengan mengirimkan kapal-kapal perang dan menggalang dukungan dari berbagai negara.

Tensi yang meningkat antara Tiongkok dan Indonesia sebenarnya juga terjadi pada beberapa negara lain yang terlibat dalam sengketa di Laut Natuna Utara sehingga politik hukum negara ini pun juga mengarah pada proteksi landas kontinennya masing-masing. Di Amerika Serikat terjadi sengketa dengan Rusia mengenai batas wilayah Alpha-Mendeleev Ridge. Di Filipina, konflik di Laut Natuna Utara mendorong negara ini untuk membuat seperangkat hukum demi memperkuat posisinya, seperti dengan mengeluarkan Sotto Bill yang merupakan “peta tandingan” dari Nine-Dash Line demi mempertegas batas wilayahnya.

20 M. Razi Rahman, “DPR: RUU Landas Kontinen untuk optimalkan kepentingan nasional di laut,” https://www.antaranews.com/berita/2416865/dpr-ruu-landas-kontinen-untuk-optimalkankepentingan-nasional-di-laut, diakses 30 April 2022.

21 Ibid.

22 Syahriza Alkohir Anggoro, “Politik Hukum: Mencari Sebuah Penjelasan,” Jurnal Cakrawala Hukum 10 (2019), hlm. 81.

5

Filipina juga sudah mengesahkan House Bill No. 9981/Philippines Maritime

Zones Act (UU Landas Kontinen Filipina) sebelumnya yang memberikan dasar hukum pengajuan submisi untuk memperluas landas kontinen negaranya.23 Selanjutnya Malaysia yang merupakan salah satu dari sekian negara yang memiliki konflik dengan Tiongkok di Laut Natuna Utara juga memperbaharui rezim hukum landas kontinen mereka agar sesuai dengan UNCLOS 1982. Malaysia melakukan amandemen di tahun 2009 Continental Shelf Act 1966 (Revised 1972) Act 82 yang memasukkan secara eksplisit pernyataan pasal 76 UNCLOS 1982. Selain mengharmonisasikan peraturan landas kontinen Malaysia agar sesuai dengan UNCLOS 1982, Malaysia juga membentuk agensi khusus yang melakukan penegakkan hukum di wilayah maritimnya Malaysian Maritime Enforcement Agencies Act 2004 yang diundangkan pada 15 Februari 2005, kedua langkah diatas menunjukkan komitmen Malaysia untuk melindungi wilayah landas kontinennya. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian yang berjudul “Kepentingan Politik Hukum Indonesia dalam Isu Natuna di Balik Rencana Pengesahan Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen” bermaksud untuk menjawab urgensi RUU ini dalam menangani permasalahan diplomatik di wilayah tersebut. Penelitian ini akan diperkuat dengan studi perbandingan dengan negara lain yang telah mengklaim hak pemanfaatan dasar laut pada batas terluar landas kontinennya lebih dari 200 mil laut sesuai UNCLOS 1982. Studi perbandingan ini bertujuan untuk meninjau bagaimana peraturan serupa RUU Landas Kontinen dapat mengoptimalisasi kepentingan nasional Indonesia di Laut Natuna Utara.

23 Sofia Tomacruz, “House okays bill declaring Philippines’ maritime zones,” https://www.rappler.com/nation/house-passes-measure-declaring-philippines-maritime-zones/, diakses 22 September 2022.

6

1.2

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini agar penjelasan menjadi lebih terarah dan mudah dipahami. Penelitian ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana RUU LKI dapat menjawab kebutuhan politik hukum terkait isu di Laut Natuna?

2. Bagaimana tinjauan peraturan serupa UU Landas Kontinen di negara lain dalam memberikan perlindungan hukum landas kontinen negara tersebut?

1.3

Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk meninjau manfaat RUU Landas Kontinen dalam mendukung posisi Indonesia pada konflik Natuna secara aplikatif.

b. Tujuan Khusus

Penelitian diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan dari tujuan khusus berikut:

1. Memaparkan bagaimana RUU Landas Kontinen dapat menjawab kebutuhan politik hukum terkait isu di Laut Natuna.

2. Membandingkan seberapa efektif peraturan serupa RUU Landas Kontinen di negara lain dalam memberikan perlindungan landas kontinen negara tersebut.

1.4

Definisi Operasional

a. Negara Pantai

Secara umum, negara pantai adalah negara dengan garis pantai yang yurisdiksinyaberkaitan dengan zonamaritimnyasendiri dan segalakegiatan serta dampak eksternal di dalamnya.24 Pada UNCLOS 1982, pengaturan

24

7
Erik Molenaar, et al., Port and Coastal States, cet. 1, (Oxford: Oxford University Press, 2015), hlm. 280.

tentang negara pantai difokuskan untuk eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen sebagai perwujudan hak berdaulat.25

b. Zona Ekonomi Eksklusif

Berdasarkan Black’s Law Dictionary, ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif adalah wilayah sampai dengan 200 mil (321,87 Km) lepas pantai yang menjadi wilayah eksklusif pengelolaan sumber daya oleh pemerintah dan negara pemilik pantai tersebut. ZEE berbeda dengan landas kontinen yang merupakan lanjutan dari dasar laut sedalam kurang dari 150 meter dan perpanjangan dari garis dasar ke arah laut sepanjang 200 mil.26

c. Landas Kontinen

Pasal1poinaUULKImenyatakan,“Landas kontinen adalah adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih di mana masih mungkin diselenggarakaneksplorasidaneksploitasikekayaanalam.”27

d. Submisi

Menurut Black’sLawDictionary pengertiandarisubmisiadalahpenyerahan pada suatu perjanjian dimana kedua pihak yang berselisih satu sama lain, menyerahkan dan mengikatkan diri mereka pada suatu pengadilan untuk memutus suatu perkara yang diperselisihkan.28

e.

Hak Berdaulat

Berdasarkan pengertian dari Pasal 56 ayat 1 huruf (a) dari UNCLOS 1982, hak berdaulat adalah hak suatu negara untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, mengonversi, dan mengelola sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya.29

25 Octaviani Georgina Hetharia, “Pengaturan Landas Kontinen Menurut UNCLOS 1982 dan ImplementasinyadiIndonesia,” Lex Administratum 5 (November 2017), hlm. 144.

26 Trisna Wulandari, “Wilayah Laut: Laut Teritorial, Landas Kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif,”,https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5755968/wilayah-laut-laut-teritorial-landaskontinen-dan-zona-ekonomi-eksklusif, diakses 10 Mei 2022.

27 Indonesia, Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, LN. 1973.

28 Black’s Law Dictionary, “SUBMISSION Definition & Legal Meaning,” SUBMISSION Definition & Meaning - Black's Law Dictionary (thelawdictionary.org), diakses 20 Juni 2022

29 Lihat Pasal 56 ayat 1 huruf (a)

8

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode ini diambil untuk meninjau norma hukum tertulis dan sumbersumber hukum terkait yang menjadi fokus bahasan. Penelitian ini bersifat deskriptif komparatif karena berusaha menggambarkan objek berupa dampak potensial pengesahan secara mendalam dengan membandingkan keoptimalan peraturan serupa RUU Landas Kontinen dalam mendukung kepentingan nasional. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji bahan kepustakaan atau data sekunder sebagai berikut:

a. Bahan hukum primerberupanorma, peraturan perundang-undangan(UU 1/1973 dan UU 6/1996), yurisprudensi, dan dokumen internasional (Konvensi Jenewa 1958 dan UNCLOS 1982);

b. Bahan hukum sekunder berupa buku, skripsi, tesis, disertasi, dan artikel ilmiah; dan

c. Bahan hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedia.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari empat bab sebagai berikut:

a. Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian.

b. Bab II Kebutuhan Politik Hukum RUU Landas Kontinen

Bab ini menjelaskan potensi RUU Landas Kontinen dalam memperkuat posisi Indonesia di Laut Natuna Utara sebagai dampak pengesahan peraturan tersebut.

c. Bab III Tinjauan Peraturan Serupa RUU Landas Kontinen di Negara Lain

Bab ini membandingkan peraturan serupa RUU Landas Kontinen di negara pihak UNCLOS 1982 lainnya, salah satunya Truman Proclamation di Amerika Serikat.

d. Bab IV Penutup

9

Bab ini akan menyimpulkan bagaimana RUU Landas Kontinen dapat memberikan dampak positif bagi kepentingan Indonesia dalam konflik Natunadengan berkacadarikeberlakuan peraturan serupadi negaralain. Pada bab ini juga penulis juga mencantumkan hasil analisis penelitian yang diharapkan berguna untuk merancang peraturan terkait RUU Landas Kontinen yang mampu menjawab kepentingan politik hukum Indonesia di Laut Natuna.

10

KEBUTUHAN POLITIK HUKUM RANCANGAN UNDANG-UNDANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

2.1 Sejarah Pengaturan Landas Kontinen Indonesia

Indonesia sejak masih bergelar Nusantara telah dikenal sebagai kawasan maritim. Namun, produk hukum maritim pertama yang berlaku bagi sebagian besar wilayah Indonesia adalah Territoriale Zeeë en Maritieme Kringen Ordonnantie yang disahkan oleh Staatsblad tahun 1939 No.442. Peraturan perundang-undangan ini disahkan oleh Staatblad No. 442 pada tahun 1939. Ordonansi ini tetap berlaku setelah kemerdekaan sesuai Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan dalam ordonansi tersebut membagi wilayah perairan Nusantara menjadi 4 kelompok: Laut Teritorial Indonesia, Laut Teritorial Hindia Belanda (termasuk bagian yang terletak pada sisi darat dan daerah liar berbagai perairan), perairan pada sisi darat laut Indonesia (sungai, terusan, danau, dan rawa), dan perairan laut teritorial (bagian yang berada di pedalaman Indonesia) 30.Ordonansi ini, walaupun sesuai dengan hukum internasional yang berlaku saat itu, masih cenderung merugikan Indonesia karena hanya memberikan 3 mil lebar laut yang diukur dari garis air rendah daripada pulau-pulau dan bagi pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan dari Indonesia.31 Dalam lingkup internasional muncul kebijakan baru mengenai pengaturan wilayah kelautan pada tahun 1945. Kebijakan ini adalah Proklamasi Truman yang dikeluarkanolehAmerikaSerikat. Proklamasi Trumanmengaturmengenai landas kontinen. Proklamasi ini merupakan langkah revolusioner karena pada umumnya, seperti pada Territoriale Zeeë en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939, wilayah perairan yang diatur hukum negara adalah laut teritorial. Proklamasi ini menyadarkan negara-negara lain bahwa landas kontinen adalah elemen yang penting untuk diatur. Di Indonesia sendiri juga terjadi pembaruan kebijakan

30

Potongan Nostalgia, “TZMKO Masa Hindia Belanda.” https://kumparan.com/potongannostalgia/territoriale-zee-en-marietieme-kringen-ordonantie-tzmko-masa-hindia-belanda. Diakses 31 Juli 14.33

31

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia

11
BAB II

wilayah kelautan melalui Deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Deklarasi ini mulai melepaskan hukum kelautan Indonesia dari pengaruh negara lain. Deklarasi Djuanda mengandung tiga butir pernyataan, yaitu:

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri;

2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan; dan

3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.32

Peraturan-peraturan regional seperti Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939, Proklamasi Truman 1945, dan Deklarasi Djuanda dapat diberlakukan begitu saja karena tidak ada regulasi yang mengikat di lingkup global. Hal tersebut berubah dengan keberadaan Konvensi Jenewa 1958 yang mengatur mengenai perairan internasional. Konvensi yang disebut juga sebagai KonvensiLautTinggidanKonvensiHukumLautinidiprakarsaiolehPerserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi tersebut terdiri dari empat konvensi dengan salah satunya khusus membahas landas kontinen. Salah satu aspek terpenting dari landas kontinen adalah pengertiannya yang dapat dilihat di UU LKI 1973. Pengertian tersebut termasuk kemajuan bagi negara-negara berbentuk kepulauan termasuk Indonesia karena memberikan hak yang serupa dengan negara yang bukan kepulauan33. Hasil ratifikasi dari konvensi tersebut ditransformasikan Indonesia dalam Undang-Undang LKI 1973. berdasarkan UU No. 17 Tahun 1985. UU LKI 1973 memiliki objek yang serupa dengan Proklamasi Truman yaitu landas kontinen walaupun berbeda sifat. Proklamasi Truman adalah pernyataan politik berupa deklarasi sedangkan UU LKI 1973 adalah produk hukum berupa undang-undang. Proklamasi Truman sebagai produk hukum merupakan pernyataan politik, yaitu pernyataan sikap oleh negara terkait konflik atau sengketa. Pernyataan politik tidak selalu menimbulkan akibat hukum.

32 Muhammad Ahalla Tsauro, Arti Deklarasi Djuanda dan Konferensi Hukum Laut PBB bagi Indonesia, (Gema Keadilan: 2017) Vol. 4, no. 1, hal. 186 33 Erlidya Yohana Mangero, dkk., Konsep Landas Kontinen dalam Konvensi Hukum Laut Internasional, (Lex Administratum: 2022) Vol. 10, no. 2, hal. 2

12

Pernyataan politik juga tidak harus dipatuhi oleh negara-negara lain yang bersangkutan. UU LKI 1973 sebagai produk hukum pasti menimbulkan akibat hukum. Undang-undang juga dilahirkan melalui prosedur yang resmi serta lebih rumit daripada sekadar deklarasi. Keberlakuan undang-undang juga lebih kuat.34

Perkembangan terakhir dalam bidang hukum maritim adalah adanya UNCLOS 1982. Konvensi ini mengatur tentang hukum laut internasional. Konvensi ini penting agar negara-negara kepulauan termasuk Indonesia dapat menerapkan prinsip-prinsip yang diinginkan secara legal dalam lingkup internasional35. Salah satu perubahan signifikan yang ditimbulkan adalah perbedaan pengukuran untuk landas kontinen. Konvensi Jenewa 1958 menentukan pengukuran dengan kedalaman sedangkan UNCLOS 1982 menggunakan luas. UU LKI yang merujuk pada Konvensi Jenewa 1958 kurang sesuai dengan hukum internasional terbaru. Oleh karena itu, RUU Landas Kontinenyang sedang dirumuskanakan berdasarkan padaUNCLOS 1982dengan segala pembaruannya yang diharapkan akan menguntungkan Indonesia.

2.2 Urgensi Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen

Pada bagian ini tim peneliti akan memberikan dua alasan mengapa diperlukannya melakukan pengesahan Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen.Pertama,penulis akanmenjelaskanmengenai perbedaanantaraUndang Undang No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (UU LKI) yang mengacu pada Geneva Conventions on the Law of the Sea 1958 dengan Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen (RUU LKI) mengacu pada United Nations Convention on the Law of The Sea 1982 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut 1982) dan telah ditransformasikan melalui UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985. Pada bagian kedua penulis akan menjelaskan bahwa masih terdapat dualisme hukum antara UU LKI dengan Undang-Undang yang berlaku.

34 Rama Surya Pradhipta, Pernyataan Politik Sebagai Unwritten Treaty Dalam Hukum Internasional (Jurist-Diction: 2020) Vol. 3 No. 2, Hlm. 617

35Lembaga Bantuan Hukum Pengayoman, https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/unclos-danindonesia-refleksi-menjelang-40-tahun-pembentukan-konvensi-pbb-tahun-1982/. Diakses 21 Agustus 2022 16.42

13

Pengertian Landas Kontinen menurut Pasal 1 UU LKI menjabarkan “Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah dibawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Peraturan Pemerintah Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaanalam“.36 PadaPasal1RUULKImenjabarkan“LandasKontinenadalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial Indonesia, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luartepikontinentidak mencapai jarak tersebut, hinggapalingjauh350 (tigaratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter, atau berdasarkan perjanjian internasional dengan negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan denganIndonesia”.37 Melihat dari kedua definisi di atas maka dapat dilihat bahwa pengertian pada UU LKI hanya menekankan pada sejauh mana kemampuan suatu negara untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sehingga memberikan penjelasan yang rancu karena tidak memberikan batasan yang jelas hingga mana kegiataneksplorasi dan eksploitasi dilakukan,38 hal ini memberikankerugianpada negara berkembang karena hanya negara maju dengan tingkat penguasaan teknologi tinggi yang dapat melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Pada RUU LKI menjelaskan lebih rinci terkait pengertian landas kontinen dengan memberikan empat opsi penentuan landas kontinen suatu negara sehingga tidak hanya memberikan keuntungan pada negara maju saja. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai status hukum landas kontinen, Pasal 2 UU LKI menjabarkan bahwa negara memiliki hak untuk melakukan penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia.39 Pada RUU LKI dijelaskan bahwa landas kontinen adalah bagian dari

36 Indonesia, Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, UU No 1 Tahun 1973, Ps. 1. 37 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, RUU LKI, Ps. 1 38 Davina Oktivana, “Urgensi Revisi Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia,” PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) 3, no. 2 (2016): 261–284.

39 Indonesia, Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, UU No 1 Tahun 1973, Ps. 2.

14

wilayah yuridiksi (Pasal 10 huruf 1) kemudian dijabarkan lebih lanjut mengenai hak berdaulat dan kewenangan tertentu (Pasal 10 huruf 2). Hak berdaulat sebagaimana merujuk pada Pasal 56 konvensi hukum laut (UNCLOS 1982) menyatakan bahwa hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin, istilah tempat berlakunya hak berdaulat disebut dengan yurisdiksi.40 Hak berdaulat berbeda dengan Hak Kedaulatan yang berlaku di wilayah negara yang merupakan kewenangan milik suatu negara untuk melaksanakan hukum nasional suatu negara.

Gambar 2.1 (Delineasi Batas Terluar Landas Kontinen Ekstensi Indonesia: Status dan Permasalahannya, I Made Andi Arsana)

RUU LKI menjabarkan lebih lanjut mengenai kewenangan tertentu di landas kontinen, pada Pasal 12 RUU LKI dijelaskan kewenangan tertentu mencakup: penelitian ilmiah kelautan, pembuatan & penggunaan instalasi buatan serta perlindungan dan pengelolaan fungsi lingkungan laut. Pasal 13 RUU LKI

40 Syahmin A.K., “Beberapa perkembangan dan masalah hukum laut Internasional: sekitar penegakanhukumdiperairanyurisdiksinasionalIndonesiadewasaini”,(Bandung:Binacipta,1988).

15

menjabarkan lebih lanjut mengenai kewenangan negara pada bidang kepabeanan dan cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan keamanan, dan imigrasi di atas Pulau Buatan, Instalasi dan Bangunan Lainnya yang dibangun di Landas Kontinen. Melihat perbandingan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada UU LKI hanya menjabarkan mengenai pengaturan kekayaan alam sedangkan pada RUU LKI menjabarkan mengenai pengaturan kekayaan alam serta menjelaskan mengenai hak berdaulat suatu negara di landas kontinen. Selanjutnya mengenai kegiatan di landas kontinen, kegiatan di landas kontinen padaPasal 4 dan5UULKIhanyamenerangkansecarasingkat mengenai kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan penelitian ilmiah sedangkan pada Bab IV RUU LKI mengatur secara komprehensif mengenai kegiatan di Landas Kontinen. Pada Pasal 16 RUU LKI dijabarkan bahwa kegiatan yang dilakukan di Landas Kontinen adalah Penelitian Ilmiah Kelautan; eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam; pemasangan kabel dan/atau pipa bawah laut; dan kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,41 tidak hanya menjabarkan jenis kegiatan yang dapat dilakukan pada pasal berikutnya diberikan keterangan lebih lanjut mengenai tujuan, kepentingan dan penyelenggara kegiatan di landas kontinen. Berikutnya Pasal 8 UU LKI menyinggung mengenai pencemaran air laut ketika melakukan kegiatan di landas kontinen, namun pada pasal ini penjelasan mengenai masihlah sangat kurang karena hanya menyebutkan pencegahan air laut di landas kontinen dan udara di atasnya serta pencegahan perluasan pencemaran di landas kontinen. Berbeda dengan UU LKI, pada RUU LKI penjelasan mengenai pencemaran air laut diluaskan kembali dengan mengatur tidak hanya mengenai pencegahan namun juga penanggulangan dan pemulihan lingkungan laut, serta meluaskan pencegahan pencemaran tidak hanya pada wilayah Indonesia namun juga pada wilayah negara dan zona ekonomi eksklusif negara lain.42 Tidak hanya itu pada RUU LKI juga memberikan tanggung jawab bagi pelaku yang melakukan pencemaran untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan laut serta memberikan

41 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, RUU LKI, Ps. 16. 42 Ibid., Ps. 35

16

kewajiban bagi siapapun yang mendapati terjadi pencemaran di landas kontinen untuk melakukan pelaporan pada pihak terkait.43

Terakhir mengenai ketentuan pidana, pada UU LKI terdapat ancaman pidana yang disebutkan pada Pasal 11 yang memberikan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- jika tidak mematuhi Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1973 dan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan pasal 5 dan pasal 8 UU No. 1 Tahun 1973.44 Pada RUU LKI diatur berbagai ancaman pidana yaitu terkait dengan penelitian ilmiah kelautan,45 pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya,46 perusakan jaringan kabel/pipa bawah laut,47 dan pencemaran lingkungan.48 Melihat penjabaran di atas maka dapat dilihat bahwa ketentuan pidana pada RUU LKI jauh lebih komprehensif karena melakukan pembedaan tindak pidana dan sanksi yang dijatuhkan. Terdapat dua aliran hukum yang berusaha menjelaskan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, aliran pertama adalah aliran monisme yang menjelaskan bahwa hubungan hukum internasional dengan aliran hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum. Aliran kedua adalah aliran dualisme yang menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing-masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda serta terpisah satu sama lainnya, adapun perbedaannya terletak pada sumber hukumnya, subyek hukumnya, dan kekuatan hukum.49

Di Indonesia sendiri tidak tercantum secara jelas apakah menganut aliran monisme atau dualisme, namun penulis mengambil pendapat dari Prof. Dr. Sefriani dalam bukunya “Hukum Internasional: Suatu Pengantar“ yang 43

Ibid., Ps. 36.

44

Achmad IndraIrfansyah,“Keberlakuan Pengaturan LandasKontinen Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia Dan United Nations Convention on the Law Of theSea1982(UNCLOS1982),” Jurist-Diction 4, no. 5 (2021): 1723.

45 Indonesia, Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, RUU LKI, Ps. 47 – 48 46 Ibid., Ps. 49 - 50. 47 Ibid., Ps. 51- 52. 48 Ibid., Ps. 53.

49

MunsharifAbdulChalim,“TinjauanAnalisisAtasPengaturanWilayahLandasKontinen Dengan Berlakunya Konvensi HukumLautPbb1982,” Jurnal Pembaharuan Hukum 3, no. 1 (2016): 54

17

menerangkan bahwa Indonesia menganut baik monisme dan dualisme.50

Ratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 menunjukkan bahwa Indonesia telah berkomitmen mengikuti perkembangan rezim hukum laut internasional. Permasalahan muncul ketika menengok UU No 17 Tahun 1985 yang mengatur tentang ratifikasi UNCLOS 1982. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, UU LKI masih mengacu pada Konvensi Jenewa yang sudah mengalami banyak perbedaan dibandingkan dengan RUU LKI yang mengacu pada UNCLOS 1982. Sebagai UU Ratifikasi, UU No 17 Tahun 1985 dielaborasikan lebih lanjut dalam banyak peraturan pelaksana, salah satunya UU No 6 Tahun 1996 yang mencabutUUNo4Prp.Tahun1960karenatidaksesuaidenganUNCLOS1982.51 Namun meskipun pemerintah telah mencabut UU No 4 Prp. Tahun 1960 masih diperlukan RUU LKI agar tidak terjadi tumpang tindih antar peraturan karena UU WilayahNegaradanUUKelautanyangmasihbersifatumumsehinggatidakdapat menggantikanperaturanyangbersifatkhusus(lex specialisderogatlexgeneralis).

Tabel 2.1 Perbandingan Pengertian Landas Kontinen dalam

UU Nomor 1 Tahun 1973, UU Nomor 2008, dan UU Nomor 32 Tahun 2014

UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen (Pasal 1 huruf a)

Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin

UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Pasal 1 angka 9)

Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200

UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) huruf c)

Landas Kontinen meliputi dasar Laut dan tanah dibawahnya dari area di bawah permukaan Laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis

50 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, cet. 10, (Depok: PT Grafindo Persada, 2019), hlm. 88.

51 Ibid., Hlm. 88.

18

diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.

(dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.

pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur; dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.

Melihat dari ketiga perbandingan diatas maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada UU LKI masih menggunakan definisi landas kontinen yang mengacu pada GenevaConventionsontheLawoftheSea1958 sedangkan UUNo43Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan mengacu pada United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Hingga saat ini Landas Kontinen Indonesia telah berbatasan dengan India (antara Andaman dan Aceh), dengan Thailand dan Malaysia di bagian Utara Selat Malaka, dengan Malaysia dan Vietnam di Laut Natuna Utara yang berhadapan dengan kabupaten Anambas dan Natuna, dengan Papua New Guinea di Utara Papua, dan dengan Papua New Guinea dan Australia di Laut Arafura dan di sebagian Laut Timor.52 Tentunya penyelesaian secara bilateral membutuhkan kesamaan rezim hukum dalam memandang pengaturan landas kontinen, oleh karenaitusangatlahpentingbagi pemerintahuntuk melakukanpembaharuan pada UU LKI agar mengikuti acuan UNCLOS 1982 dan tidak menimbulkan dualisme hukum yang menimbulkan kerancuan. Kedua penjelasan di atas sudah memaparkan mengapa diperlukannya mengesahkan RUU LKI karena pengaturan landas kontinen yang didasarkan pada UU LKI yang masih berlaku sampai saat ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum laut internasional karena menggunakan acuan yang sama

52 Hasjim Djalal, “Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakan Hukum,DanKedaulatanNkri,” Jurnal Pertahanan & Bela Negara 3, no. 2 (2018): 15–40.

19

2.3

sekali berbeda dan menghindari dualisme hukum karena belum dicabutnya UU LKI, diharapkan juga dengan mengesahkan RUU LKI memperkuat posisi Indonesia dalam bargaining position di dunia internasional. Pada bagian selanjutnya akan dijabarkan mengenai pentingnya RUU LKI menghadapi ancaman Tiongkok atas Laut Natuna Utara.

Potensi Ancaman Klaim Tiongkok atas Laut Natuna Utara

Berdasarkan paparan pada bagian sebelumnya, kehadiran RUU Landas Kontinen menunjukkan keberpihakan pemerintah Indonesia untuk mengoptimalisasi hukum demi kepentingan nasional. Berkaitan dengan hal ini, TaufikBasari, Wakil KetuaPanitiaKhusus(Pansus)RUULandas Kontinen DPR, menyatakan RUU ini tak hanya berperan sebagai norma UU yang sesuai dengan hukum internasional, tetapi juga dapat dimaksimalkan untuk kepentingan nasional.53 Sinergis dengan hal tersebut, Kepulauan Riau, provinsi di mana Laut Natuna Utara berada, memang dijadikan sumber data dan informasi dalam penyempurnaan pembahasan RUU Landas Kontinen.54 Hal ini karena provinsi ini memiliki wilayah laut yang berbatasan langsung dengan berbagai negara, salah satunya Laut Natuna Utara.55

Penjelasan terkait peran RUU Landas Kontinen sebelumnya menunjukkan bahwa kondisi politik hukum di Laut Natuna Utara dapat dikatakan cukup dinamis. Konsep politik hukum dapat dimaknai sebagai keterkaitan antara hukum dan politik. Hukum dipahami sebagai produk dari kekuasaan politik sehingga suatu produk hukum digunakan untuk mencapai kepentingan tertentu.56 Dalam konteks RUU Landas Kontinen yang berhubungan dengan konflik di Laut Natuna Utara, pembahasan RUU ini dilakukan lebih dari sekadar untuk harmonisasi

53

MRaziRahman,“DPR:RUULandasKontinenuntukoptimalkankepentingannasionaldilaut,” https://www.antaranews.com/berita/2416865/dpr-ruu-landas-kontinen-untuk-optimalkan-kepentingannasional-di-laut, diakses 18 Juli 2022.

54 DewanPerwakilanRakyatRepublikIndonesia,“PansusRUU LandasKontinenIndonesiaSerap Aspirasi di Kepri,” https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/34482/t/Pansus+RUU+Landas+Kontinen+Indonesia+Serap+Aspira si+di+Kepri, diakses 19 Juli 2022.

55 Ibid.

56 Syahriza Alkohir Anggoro, “Politik Hukum: Mencari Sebuah Penjelasan,” Jurnal Cakrawala Hukum 10 (2019), hlm. 78.

20

peraturan perundang-undangan. Pembahasan ini juga diupayakan demi menjaga keamanan di Laut Natuna Utara.

Jika dikaitkan dengan bahasan di atas, keamanan di Laut Natuna Utara sempat terancam dengan klaim Nine Dash Line, sembilan garis putus-putus yang dibuat sepihak untuk melegitimasi hak maritim historis Tiongkok.57 Karena sebatas klaim historis, Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional yang kuat dalam menerapkannya. Sebagai negara pihak UNCLOS 1982, Tiongkok seharusnya mengetahui fakta bahwa Nine Dash Line tidak diatur dalam dokumen internasional ini. UNCLOS hanya mengatur batas maritim suatu negara pantai ditarik dari garis pangkal (baseline) yang terdiri dari tiga cara penarikan, yaitu normal, straight, dan archipelagic baseline 58 Namun, minimnya dasar hukum Tiongkok atas klaimnya terhadap Laut Natuna Utara tidak menjadikan isu ini tidak berbahaya. Hal ini dapat dilihat dari sikap Tiongkok yang masih mempertahankan klaimnya dengan mengadopsi posisi nonpenerimaan dan nonpartisipasi pasca Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional Nomor 2013-19 dikeluarkan.59 Sejak tahun 2015, intensitas usaha Tiongkok untuk mengklaim Laut Natuna Utara semakin meningkat dengan langkah-langkah konkret, misalnya dengan mengirimkan kapal perang. Upaya Tiongkok ini belum berakhir. Beberapa waktu yang lalu, pada September 2021, kapal perang Tiongkok berjenis destroyer, Kunming 172, juga terlihat di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) Indonesia yang ada di Laut Natuna Utara.60 Kehadiran kapal ini membuat para nelayan setempat panik.61 Walau kapal asing sebenarnya berhak berlayar di wilayah ZEE sesuai prinsip Freedom of Navigation, upaya ini

57 IrawanSaptoAdhi,“ApaItuNineDashLineyangSeringDipakaiChinauntukKlaimNatuna?” https://internasional.kompas.com/read/2021/12/04/150000970/apa-itu-nine-dash-line-yang-seringdipakai-china-untuk-klaim-natuna-?page=all, diakses 18 Juli 2022.

58 Atikah Firdaus, et al., “JadiDasar Hukum China Klaim Laut Natuna, Bagaimana Posisi Nine Dash Line di LingkupHukumInternasional,” Prosiding Webinar Strategi Peningkatan Sitasi Internasional 1 (2021), hlm. 4.

59 Ayu Megawati, “Dinamika Sikap Tiongkok atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional Nomor 2013-19danPengaruhnyaterhadapIndonesia,” Lentera Hukum 5 (2018), hlm. 36.

60 Beni Sukadis, “Menegakkan Kedaulatan RI di Laut Teritorial dan Perbatasan Maritim,” https://news.detik.com/kolom/d-5731747/menegakkan-kedaulatan-ri-di-laut-teritorial-dan-perbatasanmaritim, diakses 20 Juli 2022.

61 Ibid.

21

kemungkinan dilakukan dengan motif tertentu, contohnya demi menunjukkan kekuatan (power) dan mencari kesempatan untuk mengambil sumber daya alam di ZEE Indonesia.62 Tak hanya ZEE, permasalahan di Laut Natuna Utara telah merambah ke landas kontinen yang menjadi fokus utama pada RUU Landas Kontinen. Kapal Tiongkok pernah tertangkap mengganggu aktivitas kapal tambang pada September 2021.63 Lebih parahnya, kapal Tiongkok juga pernah memintaIndonesiauntuk menghentikanpengeboranminyakdiLautNatunaUtara pada Desember 2021.64 Padahal, Indonesia berhak melakukan aktivitas-aktivitas tersebut di landas kontinennya yang kaya akan sumber daya minyak dan gas (hidrokarbon).65

Aksi Tiongkok dalam mengusahakan klaimnya terhadap Laut Natuna Utara tanpa dasar hukum yang kuat tidak serta-merta membuat posisi negara ini mudah dikalahkan. Klaim sepihak (unilateral claim) Tiongkok atas Laut Natuna Utara memang tidak bisa langsung mengikat negara lain untuk mengakuinya, tetapi kepercayaan diri Tiongkok untuk mendorong klaimnya tetap berpotensi menimbulkan instabilitas kawasan.66 Meski Indonesia selalu konsisten menolak klaimtersebutataudapat disebutsebagai persistentobjector,Tiongkokjugaterusmenerus menganggap kedaulatannya di Laut Natuna Utara tidak harus dilandaskan oleh UNCLOS.67 Hal ini karena klaim Tiongkok ini didasarkan pada hak historis yang terbentuk di bawah rezim independen dari UNCLOS.68 Optimisme Tiongkok terkait posisinya di Laut Natuna Utara ini pun didukung

62 Ibid.

63

TommyPatrioSorongan,“HebonKapalChinadiNatunaGangguTambang,RIKirimProtes?” https://www.cnbcindonesia.com/news/20210914102533-4-276049/heboh-kapal-china-di-natuna-ganggutambang-ri-kirim-protes, diakses 30 Juli 2022.

64 BBC News Indonesia, “Laporan China minta Indonesia hentikan pengeboran minyak diLaut Natuna: 'Indonesia tidak perlu takut' karena beroperasi di wilayah hak berdaulat,” https://www.bbc.com/indonesia/dunia-59505406, diakses 30 Juli 2022.

65 Oktaviana,“UrgensiRevisi,”hlm.262.

66

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, “Menjawab Provokasi Tiongkok di Laut Natuna,” https://law.ui.ac.id/v3/menjawab-provokasi-tiongkok-di-laut-natuna-2/, diakses 30 Juli 2022.

67 Yoyon Mulyana Darusman, Anisa Fauziah, dan Boru Dwi Sumarna, “The Study of Natuna Island Dispute Between Indonesia and China, Based on UNCLOS 1982,” Advances in Social Science, Education, and Humanities Research 499 (2020), hlm. 387.

68 Ibid , hlm. 387.

22

oleh 71 negara di dunia.69 Data ini diperoleh dari riset Chongyang Institute for Financial Studies Renmin University of China dengan mengeksplorasi dukungan negara-negara terhadap isu Laut Natuna Utara di laporan media, penyataan resmi, dokumen diplomatik, dan database hubungan luar negeri Tiongkok.70 Dukungan berbagai negara terhadap Tiongkok seharusnya dapat mendorong Indonesia untuk memperkuat hukum lautnya dengan mengesahkan RUU Landas Kontinen. RUU ini mampu memberikan kepastian hukum laut Indonesia tentang landas kontinen yang diatur dalam UU LKI sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 2.2. Tak seperti di UU LKI yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958, RUU ini mengizinkan Indonesia untuk mengajukan perpanjangan batas (submisi) landas kontinen sejauh maksimal 350 mil karena aturan ini didasarkan oleh UNCLOS 1982. Pengajuan submisi ini penting agar Indonesia dapat memaksimalkan pemanfaatan sumber daya laut dan menjaga keamanan laut dengan penguasaan hak berdaulat dengan batas yang lebih jauh. Faktanya, meski telah meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia belum mentransformasikannya ke UU LKI sehingga pembaruan UU pun diperlukan melalui RUU LKI. Sekilas, hal ini terlihat seperti harmonisasi peraturan saja. Namun, penyelarasan ini menjadi urgensi untuk mempertahankan posisi Indonesia di Laut Natuna Utara. Tanpa adanya kepastian hukum landas kontinen yang diperbarui dengan merujuk pada UNCLOS 1982, Tiongkok bisa saja mempertanyakan landasan hukum Indonesia dalam mengajukan submisi yang dapat memengaruhi stabilitas di Laut Natuna Utara.

69 Wang Wen dan Chen Xiaochen, “Who Supports China in the South China Sea and Why,” https://thediplomat.com/2016/07/who-supports-china-in-the-south-china-sea-and-why/, diakses 30 Juli 2022.

70 Ibid.

23

BAB III

TINJAUAN PERATURAN SERUPA RUU LANDAS KONTINEN DI NEGARA-NEGARA LAIN

3.1 Amerika Serikat

Amerika Serikat belum meratifikasi perjanjian hasil UNCLOS walaupun menghadiri konvensinya. Namun, Amerika Serikat sudah memiliki regulasi yang mengatur mengenai landas kontinen. Salah satu regulasi tersebut adalah Outer Continental Shelf Lands Act. Peraturan ini merupakan hasil dari sengketa antara Amerika Serikat dengan negara bagiannya sendiri, Texas. Amerika Serikat berbentuk negara federal sehingga setiap negara bagiannya mempunyai kedaulatan tersendiri71. Sengketa disebabkan adanya wilayah yang tumpang tindih antara 2,5 hektar wilayah bawah air di Teluk Meksiko dan batas wilayah teluk yang dimiliki Texas72 .

Berdasarkan peraturan a quo, Amerika Serikat mendefinisikan bahwa landas kontinen adalah daerah yang terendam air laut di sisi laut dan di luar area di bawah perairan yang dapat dinavigasi, serta yang mana subsoil dan dasar lautnya bagian dari Amerika Serikat dan merupakan subjek yurisdiksi dan kontrolnya. Selain memberikan definisi, pembahasan utama dalam peraturan ini adalah mengenai penyewaan mineral di wilayah landas kontinen. Salah satu kelemahan dari Act ini adalah terlalu berfokus pada segi ekonomis. Selain Act, bentuk produk hukum lainnya di Amerika Serikat adalah State of the Union (SOTU) Message to Congress. SOTU adalah salah satu perwujudan diskresi presidenberbentukkomunikasi antarapresidendenganKongres. Laporan ini memuat situasi terkini negara serta proposal kebijakan untuk tahun berikutnya73. Proposal ini hanya bersifat rekomendasi sehingga kekuatan hukumnya tidak terlalu mengikat. Namun, SOTU merupakan pernyataan publik sehingga memberikan tekanan pada pemerintah untuk memenuhi isi SOTU agar

71

M.Ramadhan,“NegaraFederaldanEksistensinya”,hal.4 72 https://www.boem.gov/oil-gas-energy/leasing/ocs-lands-act-history. Diakses 9 Oktober 2022

73 ColleenJ.Shogun,ThePresident’sSOTUAddress:Tradition,Function,andPolicy Implications (CRS: 2015) hal. 1

24

dapat memenuhi ekspektasi masyarakat74 Salah satu SOTU yang memiliki dampak nyata dideklarasikan oleh mantan Presiden Barack Obama, beliau membuka 75% landas kontinen Amerika Serikat untuk produksi minyak dan gas. Hal tersebut menyebabkan produksi hidrokarbon Amerika Serikat mengalami peningkatan. Dari kejadian tersebut dapat dilihat salah satu manfaat penggunaan landas kontinen.

Negara pertama yang mengajukan perpanjangan batas landas kontinen adalah Rusia. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, terdapat perbedaan satuan pengukuran batas landas kontinen antara Konvensi Jenewa dengan UNCLOS 1982 terutama Pasal 76. Hal ini sangat memungkinkan perubahan batas landas kontinen tiap negara. Russia mengajukan permohonan tersebut kepada Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) pada 20 Desember 2001. Namun, Amerika Serikat menganggap permohonan Rusia tidak tepat. Perpanjangan yang diminta–mencapai Alpha-Mendeleev Ridge di Kutub Utara–dirasa melebihi batas kewajaran yang telah ditentukan UNCLOS 1982.

Selainpembuatan produk hukum seperti Acts dan SOTU,AmerikaSerikat berupaya mengimplementasikan perlindungan wilayah landas kontinennya dengan Proyek Extended Continental Shelf (ESP). Proyek ini meneliti potensi pengklaiman wilayah yang melebihi batas ZEE.75 Pemerintahan Amerika Serikat bahkan membuat satuan tugas khusus untuk mengerjakan proyek ini.76 Di Indonesia sendiri tidak ada tim khusus dengan spesialisasi dalam pengembangan dan/atau perlindungan landas kontinen. Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa UNCLOS 1982 bermanfaat sebagai hukum internasional yang menjadi rujukan kepada berbagai negara sehingga kepentingan masing-masing negara terlindungi. Pembuatan tim khusus seperti di Amerika Serikat juga cukup penting mengingat Indonesia merupakan negara maritim dengan landas kontinen yang sangat potensial.

74 Kenneth Lowande dan Charles R. Shipan, Where is Presidential Power? Action, Expectations, and Executive Discretion (2020) hal. 27

75 Joanna Mossop, The Continental Shelf Beyond 200 Nautical Miles: Rights and Responsibilities (2016: Oxford University Press. Oxford) hlm. 4

76 U.S. Department of State, “About The U.S. Extended Continental Shelf Project”, https://www.state.gov/about-the-u-s-extended-continental-shelf-project/. Diakses 26 September 2022

25

Filipina

Pemberlakuan UNCLOS 1982 pada tahun 1994 di Filipina tidak menjadikan negara ini terbebas dari konflik Laut Natuna Utara. Berlakunya UNCLOS 1982 memang telah memberikan hak kepada negara ini untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah sebagai dasar penentuan batas terluar landas kontinen. Namun, klaim hak historis Tiongkok di laut tersebut menyebabkan rencana Filipina untuk melindungi kepentingannya melalui UNCLOS 1982 seketika berantakan. Hal ini karena Tiongkok sebagai negara yang juga sudah meratifikasi UNCLOS 1982 tidak tunduk pada konvensi tersebut. Filipina pun menggugat Tiongkok terkait penafsiran hak historis dan tumpang tindih wilayah yangdiklaim.77 Sayangnya,dalamprosespenyelesaiansengketamelaluiarbitrase, Tiongkok sama sekali tidak menunjuk perwakilannya, tidak mengirimkan counter memoriam, tidak mengikuti Sidang Yurisdiksi pada Juli 2015, dan tidak menindaklanjuti permintaan yang diajukan tribunal terkait biaya sidang arbitrase.78 Padahal, proses penyelesaiansengketa ini sangat esensial bagi Filipina yang zona ekonomi dan landas kontinennya terancam untuk melaksanakan hak berdaulatnya. Keresahan Filipina akan ancaman dari Tiongkok mendorong negara ini untuk lebih memperhatikan landas kontinennya. Pada awal pemberlakuan UNCLOS 1982 di tahun 1994, Filipina otomatis memiliki hak untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang dijadikan dasar penentuan batas terluar landas kontinen negara ini.79 Salah satu bukti kemajuan ini dapat dilihat dari adanya Republic Act No. 9522 (UU Garis Pangkal Kepulauan Filipina) yang merupakan implementasi UNCLOS 1982 diadopsi pada Maret 2009.80 Berdasarkan Pasal 3 UU a quo, Filipina menyadari negaranya memiliki kekuasaan, kedaulatan, dan yurisdiksi atas semua bagian dari wilayah nasional.81

77 Mifta Hanifah, Nanik Trihastuti, dan Peni Susetyorini, “Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina terhadap China mengenai Laut China Selatan melalui Permanent Court of Arbitration,” Diponegoro Law Journal 6 (2017), hlm.3.

78 Ibid., hlm. 7.

79 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen, hlm. 63.

80 Ibid., hlm. 7.

81 The Lawphil Project, “Republic Act No. 9522,” https://lawphil.net/statutes/repacts/ra2009/ra_9522_2009.html, diakses 22 September 2022.

26
3.2

Filipina sebagai negara kepulauan mengerti ketiga hal tersebut dapat terlindungi dengan adanya aturan mengenai garis pangkal. Hal ini karena garis pangkal digunakanuntuk mengukurlandas kontinensampai200mil lautdenganmaksimal jarak 350 mil. Pada Pasal 4 a quo, kedudukan negara ini diperkuat dengan adanya keharusan untuk menyimpan dan mendaftarkan aturan, koordinat geografis, dan peta garis pangkal pada Sekretaris Jenderal PBB.82 Oleh karena itu, beberapa poin dalam aturan ini sudah dapat menunjukkan komitmen Filipina untuk melindungi wilayah lautnya dengan mengharmonisasi UNCLOS 1982 pada hukum nasionalnya.

Selanjutnya, pada 2021, Filipina menindaklanjuti pembangunan hukum terkait landas kontinennya dengan mengesahkan House Bill No. 9981/Philippines Maritime Zones Act (UU Landas Kontinen Filipina).83 UU ini akan membawa Filipina selangkah lebih dekat untuk menyelaraskan hukumnya dengan UNCLOS 1982.84 Pengesahan undang-undang a quo mempermudah proses eksploitasi dan eksplorasi di Benham Rise yang kaya akan deposit metana. Sebelum undangundang a quo disahkan, sebenarnya Filipina telah mengajukan submisi kepada Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) agar bisa memperpanjang landas kontinennya di luar 200 mil. Meski memang tinggal menunggu deklarasi formal bahwa Benham Rise merupakan bagian dari landas kontinen Filipina, keberadaan UU Landas Kontinen Filipina telah memberikan negara ini dasar hukum yang kuat untuk mengeksplorasi sumber daya alam di daerah tersebut.

Mulusnya proses submisi landas kontinen di Benham Rise tentunya juga didukung dengan tiadanya sengketa perbatasan laut seperti di Laut Natuna Utara. Pasalnya, landas kontinen di laut ini sarat akan konflik dengan Tiongkok. Tanpa dasar hukum landas kontinen yang kuat, jika Filipina ingin mengajukan submisi di Laut Natuna Utara yang memang telah diklaim sejak lama oleh negara ini, prosesnya dapat dikatakan sulit. Filipina mengharapkan eksistensi UU Landas

82 Ibid. 83 Sofia Tomacruz, “House okays bill declaring Philippines’ maritime zones,” https://www.rappler.com/nation/house-passes-measure-declaring-philippines-maritime-zones/, diakses 22 September 2022. 84 Ibid.

27

Kontinen dapat melindungi kepentingan eksplorasi dan eksploitasi di laut tersebut. Maka dari itu, usaha Filipina tidak berhenti sampai dengan mengesahkan UU Landas Kontinen saja.

Tak hanya mengharmonisasi dengan UU Landas Kontinen, Filipina melakukan pendekatan yang lebih ekstrem dengan mencanangkan Sotto Bill. Presiden Senat Vicente Sotto III mengajukan RUU ini yang bertujuan untuk memetakan zona maritim Filipina demi “melestarikan dan melindungi” hak kedaulatan negara dalam menghadapi peningkatan militerisasi Tiongkok di Laut Natuna Utara atau yang juga dikenal sebagai Laut Filipina Barat.85 Kebijakan ini menampakkan political will pemerintah Filipina untuk melindungi wilayahnya dengan menetapkan sendiri peta zona maritimnya sebagaimana Tiongkok melakukannya pada klaim nine-dash line. Hal ini karena pemerintah Filipina menyadari keberadaan UU Landas Kontinen saja tidak cukup dalam menghadapi Tiongkok dalam sengketa di Laut Natuna Utara. Berdasarkan penjelasan di atas, Indonesia dapat mengikuti langkah Filipina dalam melindungi kepentingan negaranya di landas kontinennya. Sebagai negarayangtelahmeratifikasiUNCLOS1982,Indonesiaberangkatdarititikyang sama dengan Filipina. Perbedaannya adalah Filipina telah mengesahkan UU Landas Kontinen di negaranya yang telah memperkuat dasar hukum untuk mengajukan submisi demi memanfaatkan landas kontinen di wilayahnya secara maksimal, sedangkan Indonesia belum melakukannya. Dalam konteks ini, Filipina telah membuktikan signifikansi dari pengesahan UU Landas Kontinen yang dibuktikan dengan adanya kemudahan eksploitasi dan eksplorasi di Benham Rise. Jika Indonesia mengesahkan UU Landas Kontinen di negaranya, tentunya pemanfaatan landas kontinen juga dapat dimaksimalkan, tak terkecuali di wilayah yang bersengketa seperti Laut Natuna Utara. Selanjutnya, berkaca dari penindaklanjutan pasca pengesahan UU Landas Kontinen di Filipina, Indonesia juga dapat mengamankan posisinya di Laut Natuna Utara dengan mencontoh semangat Sotto Bill yang berisi pemetaan zona maritim.

85 MaraCepeda,“SottobilldefinesPhilippines’maritimezonesto‘setourfootdown’vsChina,” https://www.rappler.com/nation/sotto-bill-defines-philippines-maritime-zones-set-foot-down-againstchina/, diakses 25 September 2022.

28

Malaysia

Malaysia sebagai salah satu negara yang memiliki kepentingan di Laut Tiongkok Selatan (Laut Natuna Utara) sering kali mengalami konflik perbatasan dengan banyak negara, salah satunya Republik Rakyat Tiongkok. North Luconia Shoals dan South Luconia atau yang lebih dikenal sebagai Luconia Reefs adalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi persengketaan antara Malaysia dan Republik Rakyat Tiongkok, terletak 100 kilometer (62 mil) di lepas pantai Sarawak, Borneo, yang berlokasi di barat daya paling selatan dari Kepulauan Spratly. Memanjang hingga beberapa ratus kilometer, baik North Luconia Shoals dan SouthLuconia terendamsecaraterusmenerusdikedalaman5hingga40meter (16 hingga 130 kaki) di bawah permukaan laut.86 Luconia Reefs berada di bawah air saat air pasang, yang berarti tidak dapat diklaim oleh Republik Rakyat Tiongkok sebagai wilayah mereka dan merupakan bagian dari landas kontinen Malaysia.87 Wilayah ini diyakini mengandung banyak cadangan minyak dan gas bumi yang berlimpah. Menurut U.S. Energy Information Administration Data, Malaysia saat ini adalah pengelola minyak dan gas minyak bumi paling aktif di Luconia Reefs.88 Namun hal tersebut tidak menghentikan lalu lalang kapal penjaga pantai Tiongkok (China Coast Guard) untuk melakukan patroli hingga intimidasi terhadap MMEA (Malaysia Maritime Enforcement Agency) di wilayah tersebut. Menurut Peneliti Keamanan Maritim di Nanyang Technological University, Collin Koh mengatakan “Sebagian besar kapal MMEA cukup kecil menyebabkan kapal milik MMEA bergantung pada kondisi cuaca di sekitar Luconia Reefs untukmelakukanpatroli.”.89 Secara historis, Malaysia adalah sebuah negara maritim dilihat dari lokasi geografisnya yang dekat dengan perairan internasional, serta garis pantai total

86

J.AshleyRoach,“MalaysiaandBrunei:AnAnalysisofTheirClaimsintheSouthChinaSea,” CNA Analysis & Solutions, no. August (2014), hlm.14.

87 AsianMaritimeTransparativeInitiative,“TrackingChina’sCoastGuardOffBorneo”, https://amti.csis.org/tracking-chinas-coast-guard-offborneo/#:~:text=Like%20James%20Shoal%2C%20the%20Luconia,part%20of%20Malaysia%27s%20co ntinental%20shelf

88 Ralph Jennigs, “Why China’s Coast Guard Spent 258 Days in Waters Claimed by Malaysia,”https://www.voanews.com/a/east-asia-pacific_why-chinas-coast-guard-spent-258-days-watersclaimed-malaysia/6177878.html, diakses 15 September 2022.

89 Ibid

29 3.3

Malaysia sepanjang 4.675 km di semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak.90 Luasnya garis pantai yang dimiliki Malaysia mendorong Malaysia tersebut untuk melakukan penandatangan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 10 Desember 1982 dan melakukan ratifikasi pada 14 Oktober 1996. Namun Malaysia baru memasukkan pengertian landas kontinen yang sesuai dengan UNCLOS 1982 pada tahun 2009 dalam rangka persiapan mengajukan landas kontinen ekstensi pada Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS).91

Namun jauh sebelum Malaysia meratifikasi UNCLOS 1982, Malaysia telah memiliki beberapa peraturan terkait yang mengatur mengenai landas kontinen yaitu Continental Shelf Act 1966 & Petroleum Mining Act 1966.92 Pada mulanya Continental Shelf Act 1966 hanya berlaku untuk landas kontinen di lepas pantai Semenanjung Malaya (Malaysia Barat), namun untuk menindaklanjuti Emergency(EssentialPowers)OrdinanceNo.10, yangdiundangkanpadatanggal 3 November 1969 yang menyatakan bahwa Continental Shelf Act 1966 & Petroleum Mining Act 1966 berlaku di seluruh Malaysia dengan menghilangkan kalimat“shallapplyonly totheStatesofMalaya”pada ContinentalShelfAct 1966 (Revised 1972) Act 82 93 Lebih lanjut, padatahun2009 Continental Shelf Act 1966 (Revised 1972) Act 82 dilakukan revisi yang memasukkan secara eksplisit pernyataan pasal 76 UNCLOS 1982. Perubahan ini mendefinisikan ulang “continental shelf” menjadi“the sea-bed and subsoil of the submarine areas that extend beyond the territorial sea throughout the natural prolongation of the land territory of Malaysia to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 M from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured”.94 Selanjutnya Malaysia juga membentuk Malaysian Maritime Enforcement Agencies (MMEA) melalui Malaysian Maritime Enforcement Agencies Act 2004 yang diundangkan pada 15 Februari 2005, badan ini dibentuk 90 Sumathy Permal, “UNCLOS and Maritime Governance: Why It Matters to Malaysia”, UNCLOS and Maritime Governance: Why It Matters to Malaysia | FULCRUM, diakses 9 September 2022 91 MazlanMadon,“TheContinentalShelf– Five Decades of Progress (1966-2016),” Bulletin of the Geological Society of Malaysia 63, No. June 2017 (2017): 145–156.th 92 Ibid. 93 Ibid., hlm 149 94 Op Cit., Mazlan Madon, hlm. 150.

30

karena penegakkan hukum di wilayah maritim Malaysia tidak efektif karena terlalu banyak instansi yang terlibat yang mengakibatkan tumpang tindih fungsi, tumpang tindih yurisdiksi, dan penggunaan sumber daya yang efektif.95

Tidak hanya dengan memperbaharui rezim hukum landas kontinen yang berlandaskan pada UNCLOS 1982 dan membentuk agensi khusus yang melakukan penegakkan hukum di wilayah maritimnya, Malaysia juga melakukan penegakkan otoritas kedaulatannya secara luas, damai, berkelanjutan dan bersifat publik, termasuk pembangunan dan pemeliharaan pelampung ringan (light buoy) di James Shoal, Parson’s Shoal, Lydie Shoal yang berdekatan dengan Luconia shoals secara terus menerus serta melakukan patroli harian oleh Angkatan Laut Kerajaan Malaysiadan Malaysian Maritime Enforcement Agencies (MMEA); dan melakukan kegiatan ekonomi seperti eksplorasi dan produksi sumber daya minyak dan gas bumi di area tersebut secara berkelanjutan. Di bawah hukum internasional, mendemonstrasikan aktivitas damai dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama menandakan titer de souverain (tindakan penguasaan/penegakkan kedaulatan). Asas hukum ini sangat penting dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau yang disengketakan, bebatuan dan elevasi air surut dan dengan simpulan, fitur-fitur terendam (submerged features) di landas kontinen.96 Dapat dilihat dari penjelasan di atas bahwa perkembangan hukum yang dilakukan Malaysia semakin memperkuat klaim Malaysia atas beberapa wilayah di Laut Tiongkok Selatan karena konsistensi hukum laut Malaysia dengan rezim hukum UNCLOS dan hukum internasional memperkuat posisi klaim Malaysia pada wilayah landas kontinen yang sedang dipersengketakan, selain itu tindakan Malaysia untuk melakukan patroli, eksplorasi, dan pengelolaan sumber daya di daerah yang dipersengketakan semakin dibenarkan karena Malaysia memiliki dasar hukum yang konsisten dengan UNCLOS 1982.

Indonesia dapat meniru beberapa langkah Malaysia non konfrontatif dalam menegakkan kedaulatan klaim landas kontinen di Laut Natuna Utara

95 Malaysia Maritime Enforcement Agency, “MMEA's Background”, MMEA's Background, diakses pada 16 September 2022. 96 B.A.Hamzah, RSIS Commentaries, “China’s James Shoal Claim: Malaysia the Undisputed Owner”,(2014)hlm2-3.

31

dengan cara mengharmonisasikan pengaturan landas kontinennya (RUU LKI) dengan ketentuan UNCLOS 1982 sehingga memiliki dasar hukum yang kuat apabila bersengketa terkait wilayah landas kontinennya, kemudian tidak hanya dengan melakukan harmonisasi peraturan saja. Indonesia harus mendemonstrasikan aktivitas damai dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama di landas kontinen yang diklaim karena tindakan tersebut menandakan titer de souverain (tindakan penguasaan/penegakkan kedaulatan).

32

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pengaturan terkait Landas Kontinen di Indonesia memiliki sejarah yang panjang semenjak zaman Hindia Belanda yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 mengatur mengenai pembagian wilayah laut di Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan Indonesia melakukan pembaharuan kebijakan wilayah kelautan melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) bermakna bahwa laut antar pulau merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Pada tahun 1958, dilaksanakan UNCLOS I yang salah satu pokok bahasannya mengenai landas kontinen. UU LKI pada tahun 1973 lahir untuk mengakomodir pengaturan terkait landas kontinen sesuai UNCLOS 1958, namun UU LKI 1973 saat ini menjadi kurang relevan karena banyak perubahan & perluasan makna mengenai pengertian landas kontinen berdasarkan UNCLOS 1982. Ditambah lagi terdapat tumpang tindih hukum antara peraturan yang mengatur mengenai wilayah maritim di Indonesia yang dapat memicu munculnya dualisme hukum/ketidakharmonisan peraturan. UU LKI 1973 juga masih belum menjawab kebutuhan politik hukum Indonesia di Laut Natuna Utara, sebagaimana diterangkan di atas agresivitas Tiongkok di Laut Natuna Utara yangberkalikalimemasukiwilayahZEEIndonesiadengantujuanmelakukan show of force meskipun kapal asing berhak berlayar di wilayah ZEE sesuai prinsip Freedom of Navigation. Tiongkok juga melakukan klaim atas Laut Tiongkok Selatan dengan menggunakan klaim Nine Dash Line, sembilan garis putus-putus yang dibuat sepihak untuk melegitimasi hak maritim historis Tiongkok, meskipun hak historis ini tidak diakui pada rezim hukum UNCLOS namun Tiongkok tetap bersikukuh atas klaimnya atas Laut Tiongkok Selatan. Hal ini tentunya merupakan momentum yang tepat untuk

33 BAB IV

Indonesia untuk segera melakukan pengesahan RUU LKI guna menjawab kebutuhan politik hukum dan menguatkan klaim landas kontinen Indonesia di Laut Natuna Utara.

2. Dalam penelitian ini telah dibahas 3 negara yang memiliki regulasi serupa UU LKI yaitu Amerika Serikat, Filipina, dan Malaysia. Di Amerika Serikat terdapat Outer Continental Shelf Land (OCSL) Act, di Filipina terdapat Republic Act No. 9522 (UU Garis Pangkal Kepulauan Filipina), dan di Malaysia terdapat Continental Shelf Act 1966 & Petroleum Mining Act 1966. Di Amerika Serikat, OCSL Act dan SOTU Obama telah menghasilkan dampak nyata bagi pemanfaatan landas kontinen serta sebagai dasar dalam sengketa dengan Rusia pada CLCS. UU Landas Kontinen Filipina telah membuktikan kegunaannya dalam sengketa Benham Rise. Namun, Filipina tetap mencanangkan regulasi tambahan selain UU Landas Kontinen yang sudah ada untuk lebih melindungi kepentingan nasionalnya. Hal ini membuktikan bahwa walaupun berfungsi, efektivitas UU LKI masih bisa ditingkatkan lagi untuk menegaskan wilayah Indonesia dengan segala potensinya. Sementara itu, transformasi ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 telah sangat bermanfaat bagi Malaysia terutama dalam penyelesaian sengketa. Selain tindakan hukum, Malaysia juga terus-menerus melakukan tindakan nyata yang mempertegas pendirian dan pelaksanaan regulasi yang telah dimiliki. Hal ini patut dilakukan juga oleh Indonesia. Dapat dilihat dari praktik baik di Amerika, Filipina, maupun Malaysia, keberadaan UNCLOS 1982 dapat mendukung peraturan serupa UU LKI.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti dapat memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Pemerintah harus segera mengesahkan RUU Landas Kontinen demi memperkuat posisi Indonesia di Laut Natuna Utara. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pengesahan RUU Landas Kontinen akan memperkuat dasar hukum Indonesia dalam mengajukan submisi landas kontinen.Jikadiajukan di Laut Natuna Utara, submisi yangberpengaruhpada

34

bertambah luasnya landas kontinen Indonesia dapat meningkatkan potensi Indonesia dalam menjaga keamanan lautnya.

2. Pemerintah harus mempertimbangkan praktik-praktik UU Landas Kontinen yang telah diterapkan di negara lain. Tindakan negara-negara yang berusaha memperkuat landas kontinennya menunjukkan komitmen mereka dalam menjaga keamanan lautnya.

35

PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Landas Kontinen. UU No. 1 Tahun 1973. LN Tahun 1973. Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perairan Indonesia. Perpu No. 4 Tahun 1960. LN No. 22 Tahun 1960, TLN No. 1942.

Buku

A.K, Syahmin. “Beberapaperkembangandanmasalahhukumlaut Internasional:sekitar penegakan hukum di perairan yurisdiksi nasional Indonesia dewasa ini”. Bandung: Binacipta, 1988.

Molenaar, Erik, et al., Port and Coastal States. Cet 1. Oxford: Oxford University Press, 2015.

Mossop, Joanna. The Continental Shelf Beyond 200 Nautical Miles: Rights and Responsibilities. Oxford: Oxford University Press, 2016.

Roach, J. Ashley. Malaysia and Brunei: an analysis of their claims in the South China Sea. Virginia: CNA Corporation, 2014.

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar. Cet. 10. Depok:PT Grafindo Persada, 2019.

Artikel Jurnal

Agusman, Damos Dumali dan Citra Yuda Nur Fatihah. “Celebrating The 25th Anniversary of UNCLOS Legal Perspective: The Natuna Case.” Indonesian Journal of International Law (2020). Hlm. 17.

Anggoro, Syahriza Alkohir. "Politik hukum: mencari sejumlah penjelasan." Jurnal Cakrawala Hukum 10, no. 1 (2019): 77-86.

Ascensão, Fernando, et al.,“EnvironmentalchallengesfortheBeltandRoadInitiative.” Nature Sustainability 1 (Mei 2018). Hlm. 206.

Chalim, MunsharifAbdul."TinjauanAnalisis AtasPengaturanWilayahLandas Kontinen Dengan Berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982." Jurnal Pembaharuan Hukum 3, no. 1 (2016): 54-70.

Djalal, Hasjim. "MenentukanBatas Negara Guna MeningkatkanPengawasan,Penegakan Hukum, Dan Kedaulatan Nkri." Jurnal Pertahanan & Bela Negara 3, no. 2 (2018): 15-40.

Darusman, Yoyon Mulyana, Anisa Fauziah, and Boru Dwi Sumarna. "The Study of Natuna Island Dispute Between Indonesia and China, Based on UNCLOS 1982." In The 2nd International Conference of Law, Government and Social Justice (ICOLGAS 2020), pp. 386-394. Atlantis Press, 2020.

Firdaus, Atikah, et al. "Jadi Dasar Hukum China Klaim Laut Natuna, Bagaimana Posisi Nine Dash Line Di Lingkup Hukum Internasional." Seminar Peningkatan Sitasi Internasional. Vol. 1. No. 1. 2021.

Hetharia, Octaviani Georgina. “Pengaturan Landas Kontinen Menurut UNCLOS 1982 danImplementasinyadiIndonesia.” LexAdministratum 5(November2017).Hlm. 144.

36
DAFTAR

Hamzah, B. A. "China’s James Shoal Claim: Malaysia the Undisputed Owner." In The South China Sea Disputes: Flashpoints, Turning Points and Trajectories, pp. 231234. 2017.

Hanifah,et.al. "Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina Terhadap China Mengenai Laut China Selatan Melalui Permanent Court of Arbitration." Diponegoro Law Journal 6, no. 1 (2017): 1-9.

Irfansyah, Achmad Indra. "Keberlakuan Pengaturan Landas Kontinen Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia dan United Nations Convention on theLawOftheSea1982(UNCLOS 1982)." Jurist-Diction 4, no. 5 (2021): 1723-1738.

Lowande, Kenneth dan Charles R. Shipan “Where is Presidential Power? Action, Expectations,andExecutiveDiscretion”(2020)Hlm.27.

Madon, Mazlan. "The Continental Shelf five decades of progress (1966-2016)." Bulletin of the Geological Society of Malaysia 63 (2017).

Mangero,ErlidyaYohana,dkk.,“KonsepLandasKontinendalamKonvensiHukumLaut Internasional” Lex Administratum 10:(2022) No. 2. Hlm. 2.

Megawati, Ayu. “Dinamika Sikap Tiongkok atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional Nomor 2013-19 dan Pengaruhnya terhadap Indonesia.” Lentera Hukum 5 (2018). Hlm. 36.

Oktivana, Davina. “Urgensi Revisi Undang-Undang Landas Kontinen di Indonesia.” Padjadjaran Journal of Law 3 (2016). Hlm. 263.

Pradhipta, Rama Surya. “Pernyataan Politik Sebagai Unwritten Treaty Dalam Hukum Internasional”. Jurist-Diction (2020). Hlm. 617

Ramadhan,M.“NegaraFederaldanEksistensinya”.Hlm. 4

Shogun, Colleen J. “The President’s SOTU Address: Tradition, Function, and Policy Implications”CRS(2015).Hlm.1

Tsauro,MuhammadAhalla.“ArtiDeklarasiDjuandadanKonferensiHukumLautPBB bagiIndonesia”GemaKeadilan(2017).Hlm.186.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Wysocki, Joseph F. "Rhetorical Practice in Congress: A New Way to Understand Institutional Decline." Disertasi Baylor University. Texas, 2013.

Lain-lain dari Internet

Adhi,Irawan Sapto. “Apa Itu Nine Dash Line yang Sering Dipakai China untuk Klaim Natuna?” https://internasional.kompas.com/read/2021/12/04/150000970/apa-itunine-dash-line-yang-sering-dipakai-china-untuk-klaim-natuna-?page=all. Diakses 9 November 2022.

Antara Kepri. “RUU Landas Kontinen untuk optimalkan kepentingan nasional di laut,” https://kepri.antaranews.com/berita/108961/ruu-landas-kontinen-untukoptimalkan-kepentingan-nasional-di-laut. Diakses 9 November 2022.

Asian Maritime Transparative Initiative. “Tracking China’s Coast Guard Off Borneo”, https://amti.csis.org/tracking-chinas-coast-guard-offborneo/#:~:text=Like%20James%20Shoal%2C%20the%20Luconia,part%20of% 20Malaysia%27s%20continental%20shelf. Diakses 16 September 2022.

BBCNewsIndonesia. “LaporanChinaminta Indonesiahentikanpengeboranminyakdi Laut Natuna: 'Indonesia tidak perlu takut' karena beroperasi di wilayah hak

37

berdaulat,” https://www.bbc.com/indonesia/dunia-59505406. Diakses 30 Juli 2022.

Cepeda, Mara. “Sotto bill defines Philippines’ maritime zones to ‘set our foot down’vsChina,” https://www.rappler.com/nation/sotto-bill-defines-philippinesmaritime-zones-set-foot-down-against-china/, diakses 25 September 2022.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. “RUU Landas Kontinen Ditargetkan Rampung Tahun 2022.” https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/36551/t/RUU+Landas+Kontinen+Ditarget kan+Rampung+Tahun+2022. Diakses 30 April 2022.

Diraputra, Suparman A. et al. “Naskah Akademik RUU tentang Landas Kontinen Indonesia.” https://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_landas_ kontinen_indonesia.pdf. Diakses 30 April 2022.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia. “Menjawab Provokasi Tiongkok di Laut Natuna,” https://law.ui.ac.id/v3/menjawab-provokasi-tiongkok-di-laut-natuna-2/. Diakses 30 Juli 2022.

Iswara, Aditya Jaya. “Konflik Laut China Selatan Memanas, Indonesia Dekati AS.” https://www.kompas.com/global/read/2022/04/24/233000470/konflik-lautchina-selatan-memanas-indonesia-dekati-as?page=all. Diakses 30 April 2022.

Jennings, Ralph. “Why China’s Coast Guard Spent 258 Days in Waters Claimed by Malaysia. ”https://www.voanews.com/a/east-asia-pacific_why-chinas-coastguard-spent-258-days-waters-claimed-malaysia/6177878.html. Diakses 15 September 2022.

Lembaga Bantuan Hukum Pengayoman. https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/unclos-danindonesia-refleksi-menjelang-40-tahun-pembentukan-konvensi-pbb-tahun-1982/. Diakses 21 Agustus 2022 16.42

The Lawphil Project, “Republic Act No. 9522.” https://lawphil.net/statutes/repacts/ra2009/ra_9522_2009.html. Diakses 22 September 2022.

Nostalgia,Potongan.“TZMKOMasaHindiaBelanda.”

https://kumparan.com/potongan-nostalgia/territoriale-zee-en-marietieme-kringenordonantie-tzmko-masa-hindia-belanda. Diakses 31 Juli 14.33

Permal, Sumathy. “UNCLOS and Maritime Governance: Why It Matters to Malaysia”, https://fulcrum.sg/unclos-and-maritime-governance-why-it-matters-to-malaysia/ Diakses 9 September 2022.

Rahman,M.Razi.“DPR:RUULandasKontinenuntukoptimalkankepentingannasional di laut.” https://www.antaranews.com/berita/2416865/dpr-ruu-landas-kontinenuntuk-optimalkan-kepentingan-nasional-di-laut. Diakses 30 April 2022.

Sorongan, Tommy Patrio. “Hebon Kapal China di Natuna Ganggu Tambang, RI Kirim Protes?”

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210914102533-4276049/heboh-kapal-china-di-natuna-ganggu-tambang-ri-kirim-protes. Diakses 30 Juli 2022.

Sukadis,Beni.“MenegakkanKedaulatanRIdiLautTeritorialdanPerbatasanMaritim,” https://news.detik.com/kolom/d-5731747/menegakkan-kedaulatan-ri-di-lautteritorial-dan-perbatasan-maritim. Diakses 20 Juli 2022.

Tomacruz, Sofia. “House okays bill declaring Philippines’ maritime zones,” https://www.rappler.com/nation/house-passes-measure-declaring-philippinesmaritime-zones/. Diakses 22 September 2022.

38

U.S. Department of State. “About The U.S. Extended Continental Shelf Project”, https://www.state.gov/about-the-u-s-extended-continental-shelf-project/. Diakses 26 September 2022.

U.S. Department of The Interior. “OCS LANDS Act History.” https://www.boem.gov/oil-gas-energy/leasing/ocs-lands-act-history. Diakses 9 Oktober 2022.

Vito, Adrianus Adityo. “UNCLOS dan Indonesia: Refleksi Menjelang 40 Tahun Pembentukan Konvensi PBB Tahun 1982.“ https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/unclos-dan-indonesia-refleksi-menjelang-40tahun-pembentukan-konvensi-pbb-tahun-1982/. Diakses 21 Agustus 2022.

Wulandari,Trisna.“WilayahLaut:LautTeritorial,LandasKontinen,danZonaEkonomi Eksklusif.” https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5755968/wilayah-laut-lautteritorial-landas-kontinen-dan-zona-ekonomi-eksklusif. Diakses 10 Mei 2022.

Wen,WangdanChenXiaochen.“WhoSupportsChinaintheSouthChinaSeaandWhy,” https://thediplomat.com/2016/07/who-supports-china-in-the-south-china-seaand-why/. Diakses 30 Juli 2022.

39

LAPORAN PENELITIAN

RANCANG BANGUN PENGATURAN GIG ECONOMY SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA PLATFORM DIGITAL DI INDONESIA

PENELITIAN MANDIRI BIDANG PENELITIAN LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN (LK2) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA 2022

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………...3 1.4 Definisi Operasional……………………………………………………………..3 1.5 Metode Penelitian………………………………………………………………..4 1.6 Sistematika Penulisan 5 BAB II STATUS QUO GIG ECONOMY DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA …………………………………………….....7 2.1 Permasalahan Hukum GIG Economy 7 2.2 Kekosongan Hukum Ketenagakerjaan tentang GIG Economy di Indonesia..... 15

BAB III STUDI KOMPARASI PENGATURAN GIG ECONOMY DI PERANCIS DAN INGGRIS………………………………………………………………………..19 3.1 Perancis …………...............................................................................................19 3.2 Inggris ………………………………………………………………………….24 BAB IV RANCANG BANGUN PENGATURAN GIG ECONOMY SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PLATFORM DIGITAL DI INDONESIA….………………………………………………………………………..30 4.1 StatusPekerjadalam GIG Economy …………………………………………….30 4.2 Kekuatan Hukum Kontrak/Klausula Baku dalam GIG Economy……...……….32 4.3 Kesejahteraan Pekerja dalam GIG Economy 34

BAB V PENUTUP……………………………………………………………………..40 5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………..40 5.2 Saran……………………………………………………………………………42 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….43

DAFTAR
ISI

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini disrupsi teknologi telah melahirkan pergeseran aktivitas perekonomian masyarakat yang dulunya dilakukan secara konvensional menjadi serba digital. Masyarakat semakin dimudahkan dengan adanya teknologi dalam bekerja. Salah satunya adalah perkembangan platform digital berjenis aplikasi ondemand-platform yang menelurkan istilah GIG Economy. Istilah ini diartikan sebagai hubungan kerja yang menghubungkan pekerja dengan konsumen melalui perantara platform digital untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang singkat.1 GIG Economy telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi jutaan penduduk di dunia tak terkecuali Indonesia. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa jumlah pekerja gig economy per-Agustus tahun 2020 sebanyak 33,33 juta, naik sekitar 26% dari tahun 2019. Jumlah yang terbilang banyak tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara.2 Hal ini sinergis dengan amanat Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 3

Eskalasi jumlah pekerja gig economy di pasar kerja Indonesia dipengaruhi oleh ketiadaan pilihan pekerja. Hal ini menimbulkan terjadinya precarious labour market yang berakibatkan pada masuknya tenaga kerja pada pekerjaan rentan dengan bayaran rendah dan tidak adanya job security. 4 Terbatasnya pilihan untuk bekerja menjadi penyebab tenaga kerja Indonesia terdesak untuk menerima kondisi tersebut daripada tidak memiliki mata pencaharian sama sekali. Mirisnya, konsep hubungan kerja dalam gig economy memiliki konstruksi yang berbeda

1 Katriina Lepanjuuri, Robert Wishart, and Peter Cornick. "The characteristics of those in the gig economy." Department for Business, Energy and Industrial Strategy (UK), (2018).

2 Badan Pusat Statistik, Statistik Telekomunikasi Indonesia 2020, Badan Pusat Statistik (bps.go.id), diakses 20 Oktober 2022

3 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 27 ayat (2).

4 Catarina Canivet, et al. "The negative effects on mental health of being in a non-desired occupation in an increasingly precarious labor market." SSM-population health 3 (2017), hlm. 516-524.

1
BAB I

dengan rezim hukum ketenagakerjaan Indonesia. Dalam hal ini, gig economy memberikan kategori tersendiri terhadap pekerja dengan sebutan hubungan kemitraan. Dengan kata lain, tidak terdapat hubungan kerja antara pengusaha (perusahaan gig) dengan pekerja sebagaimana konstruksi hubungan kerja yang adadalamUndang-UndangNomor13Tahun2003tentangKetenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”). Kondisi yang demikian tentu mempersempit ruang gerak pekerja gig untuk mendapatkan hak-hak serta perlindungan hukum seperti pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan. Hubungan kemitraan juga menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha atau perusahaan gig untuk merekrut pekerja dengan skema hubungan kemitraan. Dengan adanya skema tersebut, pengusaha dapat terbebas dari kewajiban terhadap pemenuhan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, tindakan tersebut tidak dapat dijustifikasi sebagai perbuatanmelawan hukum karenatidak adanyapayung hukum yang mengatur mengenai hubungan kemitraan dalam UU a quo. Sampai saat ini, isu terkait hubungan kemitraan dalam economy gig belum mendapatkan legitimasi sebagai hubungan kerja dalam rezim ketenagakerjaan Indonesia. Urgensi untuk mengubah UU Ketenagakerjaan harus segera dilakukan untuk menjaminhak-hakdanperlindunganhukumbagipekerjayangsudahdiamanatkan dalam konstitusi tanpa terkecuali pekerja platform digital. Selain itu, keberhasilan negara-negara lain dalam mengatur hubungan kemitraan gig economy, dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam mengisi kekosongan hukum tersebut. Berlandaskan latar belakang tersebut, penelitian ini akan membahas mengenai “Rancang

.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini agar penjelasan menjadi lebih terarah dan mudah dipahami. Penelitian ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan sebagai berikut.

2
Bangun Pengaturan Gig Economy Sebagai Perlindungan Hukum Pekerja Platform Digital di Indonesia”

1. Bagaimana status quo gig economy dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia?

2. Bagaimana studi komparasi pengaturan gig economy di Perancis dan Inggris?

3. Bagaimana rancang bangun pengaturan gig economy sebagai perlindungan hukum terhadap pekerja platform digital di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan status quo gig economy dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia.

2. Menjelaskan studi komparasi pengaturan gig economy di Perancis dan Inggris.

3. Menjelaskan rancang bangun pengaturan gig economy sebagai perlindungan hukum terhadap pekerja platform digital di Indonesia.

1.4

Definisi Operasional

Kerangka konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti5, dan di dalamnya diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan digunakan sebagai dasar penelitian hukum.6

1. Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

2. Hubungan Kemitraan

Hubungan Kemitraan dalam kemitraan adalah sebuah bentuk kerjasama dalam usaha yang saling terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip yang mendasarinya adalah saling memerlukan,

5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI Press, 2014), hlm. 132.

6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm.7.

3

mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar.7

3. GIG Economy

Istilahgigberarti“proyek”atau”kontraksementara”,istilahinibiasanya digunakan untuk pekerjaan tidak tetap di industri hiburan. Karena lambat laun semakin banyak jenis pekerjaan dengan menggunakan kontrak sementara atau freelance, hal ini membuat gig economy menjadi istilah baru untuk menyebut pekerjaan tidak tetap semacam ini. Pekerja di gig economy biasa disebut dengan gig workers, pekerja kontrak independent.8

1.5 Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang berusaha meneliti bahan pustaka berupa bahan hukum, baik berupa hukum primer, sekunder, maupun tersier.9 Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitudatayangdiperolehmelaluistudikepustakaanyangterdiriatasbahanhukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut:10

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, serta perjanjian internasional.11

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti laporan penelitian, artikel ilmiah, buku, makalah, berbagai pertemuan ilmiah, tesis, dan disertasi.12

7 Indonesia, Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, Ps. 1 angka 13.

8 Nikos Koutsimpogiorgos et al., “Conceptualizing the Gig Economy and Its Regulatory Problems,” Policy and Internet 12, No. 4 (2020), hlm. 525–45.

9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 52.

10 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.

11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, hlm. 52. 12 Ibid.

4

1.6

c. Bahanhukum tersier, yaitubahan yang memberikanpetunjukmaupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, seperti abstrak, buku pegangan, buku petunjuk, ensiklopedia, dan kamus hukum.13

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data yang tertulis14, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan komparasi (comparative approach).

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini akan diuraikan ke dalam empat bab dengan susunan sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri atas enam subbab, yang terdiri atas latar belakang, pokokpokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsepsional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II Status Quo GIG Economy dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

Bab ini akan menjelaskan status quo hukum ketenagakerjaan mengenai hubungan kemitraan dalam gig Economy yang meliputi permasalahan hukum gig Economy dan kekosongan hukum gig Economy dalam rezim hukum ketenagakerjaan Indonesia.

3. Bab III Studi Komparasi Pengaturan Hubungan Kemitraan dalam GIG Economy di Perancis dan Inggris

Bab ini akan menjelaskan pengaturan hubungan kemitraan dalam GIG Economy di Perancis dan Inggris yang nantinya akan menjadi lessonlearned bagi Indonesia untuk merancang pengaturan hubungan kemitraan dalam gig economy 13 Ibid. 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 21.

5

4. BAB IV Rancang Bangun Pengaturan Hubungan Kemitraan Dalam

GIG Economy Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Platform Digital di Indonesia.

Bab ini akan menjelaskan rancang bangun regulasi hubungan kemitraan dalam gig economy sebagai perlindungan hukum terhadap pekerja platform digital di Indonesia berdasarkan lesson -learned pengaturan di negara lain yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

5. Bab V Penutup

Bab ini terdiri atas kesimpulan yang bertujuan menjawab pertanyaan yang terdapat pada sub bab rumusan masalah, serta saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini.

6

STATUS QUO GIG ECONOMY DALAM

HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA

2.1 Permasalahan Hukum GIG Economy

Istilah gig economy muncul ketika dunia ketenagakerjaan mengalami perubahan yang sangat cepat dengan didorongnya perkembangan teknologi digital. Pada dasarnya, istilah gig economy pertama kali digunakan untuk para pekerjaseni dan hiburan padatahun1915.Dalamhal ini,para musisi atauseniman tersebut menerima upah atau bayaran yang senilai dengan proyek yang telah diselesaikan oleh mereka.15 Seiring berkembangnya teknologi yang begitu pesat, saat ini terjadi perubahan istilah gig economy. Dewasa ini, istilah gig economy dikenal sebagai sistem ekonomi di mana lebih banyak jenis pekerjaan kontrak jangka pendek tersedia daripada pekerjaan tetap.16 Berkembangnya teknologi informasi membuat pekerjaan yang bersifat kontrak jangka pendek mudah ditemukan oleh para pekerja, seperti melakukan program website dan perangkat lunak, hingga jasa transportasi berbasis aplikasi online. Anthony Hussenot, profesor dari Université Nice Sophia Antipolis (UNS), menyatakan bahwa sejumlah pelaku usaha tertentu tidak memerlukan karyawan tetap akibat dari perkembangantelekomunikasisertapemanfaatansumberdayabersama.17 Dengan demikian, seiring berjalannya waktu para perusahaan mulai mempekerjakan pekerja secara lepas untuk menyelesaikan proyek tertentu saja yang telah ditentukan.

Apabila diteliti lebih jauh, perkembangan gig economy dapat memberikan dampak terhadap hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif maupun negatif bagi pekerja. Dalam hal ini,

15 Gabrielle Pickard Whitehead, “The History and Future of the Gig Economy,” https://smallbiztrends.com/2019/11/the-history-and-future-of-the-gig-economy.html, diakses 27 Oktober 2022.

16 Oxford, “gig economy,” https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/gigeconomy#:~:text=%2F%CB%88%C9%A1%C9%AA%C9%A1%20%C9%AAk%C9%91%CB%90n%C 9%99mi%2F,subjected%20to%20last%2Dminute%20scheduling, diakses 18 November 2022.

17 Abdul Hadi, “Mengenal 'Gig Economy': Dunia Kerja Baru yang Rentan Eksploitasi,” https://tirto.id/mengenal-gig-economy-dunia-kerja-baru-yang-rentan-eksploitasi-eqxU,diakses 27 Oktober 2022.

7
BAB II

dampak positif bagi pekerja adalah fleksibilitas waktu yang telah diberikan oleh perusahaan (penyedia platform)bagi pekerja.Karenaadanyafleksibilitastersebut, pekerja dapat bekerja kapan dan di mana saja. Meskipun demikian, gig economy memiliki dampak negatif, seperti kerentanan pekerja untuk mengalami eksploitasi oleh perusahaan.18 Dalam hal ini, bentuk eksploitasi pekerja dalam gig economy diantaranya adalah mudah terganggunya work-life-balance, pola tidur, dan aktivitas sehari-hari. Hal ini disebabkan karena gig economy menggunakan sistem upah pekerja per proyek sehingga pekerja telah diberikan deadline atau jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan proyeknya.19

Seiring perkembangan waktu, permasalahan-permasalahan terkait gig economy mulai bermunculan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pekerja gig di California seperti pekerja yang bertugas untuk mengirimkan bahan makanan yang mengajukan pengaduan kepada Human Right Watch dan menyatakanbahwabanyakperusahaantidakmenentukanupahyangharusdibayar kepada mereka per pengiriman (setiap paketnya). Akibat hal ini, pendapatan para pekerja yang berdampak pada para pekerja tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, menurut hasil penelitian selama tujuh tahun terhadap pekerja gig yang dilakukan oleh seorang ekonom dan sosiolog di Universitas Boston, Juliet Schor, menyatakan bahwa seseorang yang penghasilannya bergantung kepada gig economy cenderung menerima upah yang lebih rendah dengan beban pekerjaan yang sama. Mereka juga bekerja lebih lama untuk mendapatkan uang ekstra.20 Berkaitan dengan masalah di atas, terlihat bahwa seringkali terjadi ketidakadilan terhadap pekerja gig. Tidak hanya itu, gig workers juga mengalami ketimpangan dengan pekerja pada umumnya, khususnya dari segi upah. Dari kasus tersebut, terlihat bahwa pembedaan status gig workers dengan pekerja pada umumnya sangat penting karena sejatinya hubungan antara perusahaan dengan

18 Afifa Yustisia Firdasanti, Afiyati Din Khailany, Nur Ahmad Dzulkirom, Tiur Maulina Putri Sitompul,danAmalindaSavirani,“MahasiswadanGigEconomy:Kerentanan/PekerjaLepas(Freelancer) diKalanganTenagaKerjaTerdidik,” Jurnal PolGov, Vol. 3 No. 1 (2021), hlm. 197.

19 Ben Lutkevich, “Gig Economy,” https://www.techtarget.com/whatis/definition/gig-economy, diakses 28 Oktober 2022.

20 Amos Toh, “US ‘Flexible Work’ Bill Would Spell Disaster for Rights in Gig Economy,” https://www.hrw.org/news/2022/08/11/us-flexible-work-bill-would-spell-disaster-rights-gig-economy, diakses 29 Oktober 2022.

8

gig workers umumnya bukanlah hubungan kerja. Menurut pendapat International Labor Organization (ILO), terdapat tiga jenis hubungan kerja, yaitu pekerjaan bersifat penuh waktu, pekerjaan bersifat tetap (bukan pekerjaan kontrak), dan pekerjaan dilandasi dengan perjanjian kerja. Pada perkembangannya, lahir jenis hubungan kerja baru yang sering disebut sebagai non-standard form of employment atau hubungan kerja nonstandar. Non-standard form of employment adalah hubungan kerja yang berbeda dari hubungan kerja pada umumnya.21 Perbedaan tersebut dapat dilihat dari adanya fleksibilitas terhadap waktu yang digunakan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. ILO membagi non-standard form of employment menjadi empat kategori, yakni temporary employment, multi-party employment relationship, part time dan on-call work, dan disguised employment relationship dan dependent self-employment 22 Pertama, temporary employment. Jenis hubungan kerja ini adalah hubungan kerja yang bersifat sementara dengan jangka waktu tertentu atau dikenal dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kedua, multi-party employment relationship. Pengertian dari hubungan kerja ini adalah jenis pekerjaan yang dipekerjakan oleh pihak ketiga (penyedia layanan) untuk bekerja di perusahaan kliennya (pembeli layanan).Ketiga, part time dan oncall work. Dalam part time dan on-call work, pekerja memiliki jam kerja yang lebih sedikit daripada pekerja full time (karyawan tetap). Terakhir, disguised employmentrelationship dan dependentself-employment.MenurutILO, disguised employment relationship merupakan kategori hubungan kerja nonstandar di mana pekerja tidak dianggap pekerja karena disembunyikan statusnya. Sedangkan, dependent self-employment diartikan sebagai seorang pekerja yang berada di bawahkontrak,tetapitidakdikategorikansebagaipekerja.Apabiladianalisislebih lanjut, hubungan kerja pekerja gig termasuk ke dalam kategori disguised employment relationship dan dependent self-employment.

21 International Labour Organization, “Non-standard forms of employment,” https://www.ilo.org/global/topics/non-standard-employment/lang en/index.htm#:~:text=They%20include%20temporary%20employment%3B%20part,employment%20and %20dependent%20self%2Demployment, diakses 27 Oktober 2022. 22 Ibid,.

9

BerdasarkanKonvensi ILONomor118Tahun1962,ILOtelahmelindungi hak-hak para pekerja, yang meliputi hak perawatan medis, tunjangan sakit, tunjangan kecelakaan kerja, dan lain sebagainnya. Sebagai salah satu kategori pekerja, pekerja gig sudah seharusnya juga berhak atas hak-hak yang disebutkan dalam konvensi tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu hal ini menjadi permasalahan di berbagai negara, salah satunya adalah Indonesia. Di Indonesia, permasalahan terkait pekerja gig terjadi pada hubungan kerja pada perusahaan aplikasi transportasi berbasis online (“perusahaan aplikasi”),seperti Gojek dan Grab. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan berbasis online yang utamanya bergerak di bidang transportasi. Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan aplikasi menjalin hubungan dengan para pengemudi ojek online (“driver”). Menurut Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat (“Permenhub No. 12 Tahun 2019”), hubungan antara perusahaan aplikasi dengan driver dikategorikan sebagai hubungan kemitraan. Namun, pada faktanya hingga saat ini masih terjadi perdebatan terkait hal tersebut. Pasalnya, hubungan antara perusahaan aplikasi dengan driver sejatinya berada di spektrum tersendiri sehingga tidak termasuk ke dalam hubungan kemitraan maupun hubungan kerja. Hal tersebutlah yang menyebabkan adanya perdebatan terkait kategorisasi hubunganantaraperusahaanaplikasidenganpekerja gig yangdalamhalini adalah driver.

Jika dianalisis menggunakan sudut pandang ketenagakerjaan, hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pekerja gig tidak termasuk hubungan kerja.

Dalam Pasal 1 butir 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa suatu hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur, yakni pekerjaan, upah, dan perintah. Pengertian dari unsur pekerjaan adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh penerima kerja dan bersifat individual. Selain itu, pengertian dari unsur perintah adalah pihak penerima kerja bergantung pada perintah dari pihak pemberi kerja sehingga

10

terjadinya subordinasi. Lebih lanjut, pengertian dari unsur upah adalah imbalan atas pekerjaan dari pemberi kerja yang telah dilakukan oleh penerima kerja.23

Jika hal ini dikontekstualisasikan dalam hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi, ketiga unsur hubungan kerja tersebut tidaklah terpenuhi. Dalam hal ini, unsur pekerjaan tidak terpenuhi karena driver hanya menangani pesanan yang masuk ke telepon genggam milik driver 24 Tidak hanya itu, unsur perintah juga tidak terpenuhi karena driver hanya memenuhi perintah dari penumpang, bukan dari pihak perusahaan aplikasi.25 Hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi juga tidak memenuhi unsur upah sebab driver tidak mendapatkan upah dari perusahaan aplikasi. Dalam hal ini, hasil yang driver dapatkan terdapat mekanisme bagi hasil antara driver dengan perusahaan aplikasi.26

Selain harus terpenuhinya ketiga unsur sebelumnya, maka harus memenuhi empat karakteristik berikut untuk dapat dikatakan sebagai hubungan kerja. Pertama, orang tersebut harus dibayar dengan upah atau gaji. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah mereka yang bekerja di bawah pengaturan tersebut kemungkinan akan dilindungi oleh asuransi pengangguran, kompensasi pekerja, dan undang-undang dan peraturan pasar tenaga kerja lainnya yang berlaku untuk mereka. Kedua, hubungan kerja yang terus berlanjut. Pekerja yang memiliki hubungan kerja cenderung terus berlanjut karena mereka memiliki keterikatan dengan perusahaannya. Ketiga, memiliki jadwal kerja yang dapat diprediksi. Hal ini dikarenakan dalam hubungan kerja cenderung memiliki jadwal atau jam kerja yang relatif diprediksi atau teratur. Keempat, memiliki penghasilan yang dapat diprediksi saat bekerja. Hal ini disebabkan jam dan penghasilan yang dapat diprediksi merupakan bagian dari pengaturan suatu jenis pekerjaan. Dalam hal ini, para pekerja yang memiliki hubungan kerja cenderung memiliki jam kerja serta penghasilan yang cenderung dapat diprediksi. Sementara itu, para pekerja

23

Aloysius Uwiyono, et al., Asas-Asas Hukum Perburuhan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm.57.

24 I Gusti Agung Dhian Maharani Swari Dewi, Ida Ayu Putu Widiati, dan Ni Made Puspasutari Ujianti, “Hubungan Keperdataan Antara Pengemudi dengan Perusahaan Ojek Online,” Jurnal Analogi Hukum, Vol. 1 No. 3 (2019), hlm.327.

25 Ibid,. 26 Ibid,. 667

11

gig mendapatkan gaji yang dapat diprediksi, namun dengan jam kerja yang tidak dapat diprediksi olehnya.27

Di sisi lain, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa hubungan antara pekerja gig dengan perusahaan aplikasi termasuk hubungan kemitraan. Peraturan perundang-undangan Indonesia, tepatnya Permenhub No. 12 Tahun 2019, telah menyatakan bahwa hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi hanyalah sebatas hubungan kemitraan. Jika berpatokan terhadap pendapat ini, hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pekerja gig tidak dapat dilandaskan pada UU Ketenagakerjaan. Hal ini dikarenakan UU Ketenagakerjaan hanya mengatur hubungan kerja dan tidak mengatur hubungan kemitraan. Dalam hal ini, UU Ketenagakerjaan hanya mengatur persoalan hubungan kerja terkait antara atasan dengan bawahan sehingga tidak mengatur hubungan kemitraan. Sedangkan, unsur utama dari hubungan kemitraan adalah kesetaraan antarpihak, bukan subordinasi. Namun, jikadianalisis lebih lanjut hal ini jugadirasakurangtepat sebabhubungan antara pekerja gig dengan perusahaan aplikasi tidaklah sejalan dengan konsep hubungan kemitraan yang dikenal peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Jika ditinjau lebih lanjut dalam konsep hukum perdata, hubungan kemitraan di Indonesia hanya berlandaskan pada ketentuan hukum perdata yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), tepatnya pada Pasal 1338 KUHPer. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut konsep hukum perdata, perjanjian kemitraan termasuk ke dalam perjanjian innominat. Perjanjian innominat sendiri adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas serta nama perjanjian disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya. Meskipun demikian, pengaturan Pasal 1338 KUHPer melingkupi segala perjanjian, baik nominat maupun innominat. Dengan demikian, sebagai bentuk perjanjian innominat, perjanjian kemitraan juga tunduk terhadap ketentuan Pasal 1338 KUHPer. 27 Kathrine G. Abraham, John. C Haltiwanger, Kristin Sandusky, and James R. Spletzer, “Measuring the Gig Economy Current Knowledge and Open Issues,” National Bureau of Economic Research, (2021), hlm. 264

12

Pada hakikatnya, Pasal 1338 KUHPer mengandung asas kebebasan berkontrak yang berarti bahwa setiap orang diberikan kebebasan untuk membuat suatu perjanjian sepanjang tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.28 Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, para pihak memiliki kebebasan untuk membuat klausula-klausula yang menyimpangi ketentuan-ketentuan opsional yang terdapat dalam Buku III KUHPer. Asas kebebasan berkontrak bermula dari kedudukan para pihak yang setara dan sama kuat.29 Namun, pada praktiknya seringkali hal ini tidak terjadi. Kedudukan para pihak dalam perjanjian seringkali tidak setara.

Lebih lanjut, dalam berkontrak perlu dipenuhi beberapa syarat perjanjian. Syarat-syarat perjanjian termuat dalam Pasal 1320 KUHPer. Adapun salah satu syarat terpenting dalam perjanjian adalah unsur sepakat. Terkait hal ini, dikenal suatu asas dalam hukum perikatan, yakni asas konsensualisme. Asas konsensualisme menjadikan suatu perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya sejak tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan.30 Dengan ini, dapat disederhanakan bahwa perjanjian dikatakan mengikat bagi para pihak cukup dengan kata sepakat. Adapun asas konsensualisme ini termuat dalam Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUHPer.

Berdasarkan penjelasan tersebut, konsep hubungan kemitraan dalam kerangka hubungan keperdataan harus mengikuti asas-asas yang dianut dalam hukum perikatan. Adapun beberapa dari asas tersebut adalah asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme. Namun, pada praktiknya asas kebebasan berkontrak maupun asas konsensualisme seringkali tidak diterapkan dalam hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pekerja gig. Tidak diterapkannya asas kebebasanberkontrakdapat dibuktikandarifaktabahwaseringkali perjanjian hubungankemitraantersebut telahdibuat olehpihak perusahaanaplikasi sehingga perjanjian tersebut bersifat baku. Dalam hal ini, driver hanya diberikan dua opsi, yaitu menerima atau menolak perjanjian yang telah dibuat oleh pihak perusahaan aplikasi. Hal ini menyebabkan driver tidak memiliki hak untuk mengubah perjanjian tersebut sesuai kehendaknya. Tidak hanya itu, driver juga tidak

28

Prof Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 31, Jakarta: PT Intermasa, 2003, hlm. 127. 29

R. Subekti, Aspek-Aspek Perikatan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1980) hlm. 16. 30

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hlm. 15.

13

memiliki kebebasan dalam menentukan tarif. Dalam hal ini, tarif dalam aplikasi ditentukan oleh pihak perusahaan aplikasi, bukan oleh driver. Driver dalam hal ini hanyadapat menerima ataupunmenolakpesananyangmasukkedalamtelepon genggamnya. Bahkan, berdasarkan penelitian ditemukan bahwa driver yang terlalu banyak melakukan cancel atas pesanan dapat dikenakan suspend secara otomatis oleh pihak perusahaan aplikasi.31 Dengan demikian, selayaknya perikatan lainnya seharusnya hubungan kemitraan mematuhi asas kebebasan berkontrak. Namun, pada faktanya hal ini tidak diterapkan dengan baik dalam konteks hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi.

Tidak hanya itu, dalam praktik hubungan kemitraan perdata antara perusahaan aplikasi dengan driver tidak memenuhi unsur sepakat. Contoh konkrit dari permasalahan tersebut adalah pihak platform ojek online memotong biaya aplikasi yang menyentuh di atas batas yang telah ditentukan. Dalam hal ini, menurut Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan Dengan Aplikasi, ambang batas biaya tidak langsung yang dibebankan kepada driver adalah sebesar 15 persen. Namun, dalam praktiknya perusahaan aplikasi melakukan pemotongan biaya aplikasi di atas ambang batas biaya tidak langsung yang telah ditetapkan kepada driver secara sepihak, yaitu sebesar 20 hingga 30 persen.32 Hal ini tentu menandakan bahwa tindakan sepihak perusahaan aplikasi dalam memotong biaya aplikasi di atas ambang batas yang telah ditentukan telah melanggar asas konsensualisme.

Di luar konteks hukum perdata, istilah kemitraan dan hubungan kemitraan juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UsahaMikro,Kecil,danMenengah(“UU UMKM”)sertaPeraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan PemberdayaanKoperasidanUsahaMikro,Kecil,danMenengah(“PPUMKM”).

31 ErnaEviana,“PenerapanSuspendBagiDriverOnlineGojekCabangPalangkaRaya,”(Skripsi Sarjana Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Palangka Raya, 2020), hlm. 15-16.

32 Intan Rakhmayanti Dewi, “Driver Ojol Protes, Potongan Aplikator di Atas 15%,” https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220926132520-37-374978/driver-ojol-protes-potongan-aplikatordi-atas-15, diakses 29 Oktober 2022.

14

Dalam Pasal 1 angka 13 UU UMKM, kemitraan diartikan sebagai kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. Hal ini kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 11 huruf (d) UU UMKM hubungan kemitraan harus bersifat saling menguntungkan.33 Dalam praktiknya, hubungan yang terjalin antara driver dengan perusahaan aplikasi tidaklah saling menguntungkan. Penentuan secara sepihak besaran potongan biaya aplikasi mengakibatkan tidak timbulnya hubungan yang saling menguntungkan antara driver dengan perusahaan aplikasi. Pasalnya, hal ini cenderung mengakibatkan kerugian dari sisi driver.

Berdasarkan penjelasandi atas,dapat disimpulkanbahwahubungan antara driver sebagai pekerja gig dengan perusahaan aplikasi tidak termasuk ke dalam kategori hubungan kerja. Di sisi lain, jika hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi ditelaah dalam kacamata hukum perdata, hubungan tersebut tidak memenuhi unsur kebebasan berkontrak dan unsur sepakat. Terlebih lagi, menurut konsep hubungan kemitraan dalam UU UMKM dan PP UMKM, hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi juga tidak memenuhi unsur saling menguntungkan. Dari analisis tersebut, dapat terlihat bahwa hubungan antara driver dengan perusahaan aplikasi beradadi spektrum yangberbedadengan hubungan kerja dengan hubungan kemitraan. Hubungan tersebut berada di antara keduanya.

2.2 Kekosongan Hukum GIG Economy di Indonesia

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya terlihat bahwa hubungan kemitraan tidak termasuk pada rezim ketenagakerjaan karena tidak termasuk dalam hubungankerja.Sejauhini,hubungankemitraanbelumdapatdikategorikansebagai hubungan kerja. Pasalnya, jumlah gig workers di Indonesia mencapai 33,33 juta. Jumlah ini naik sekitar 26 persen dari tahun 2019.34 Jika status gig workers

33 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 11.

34 Fajar Pebrianto, “Jumlah Freelancer Melonjak 4,32 Juta Orang, Kominfo: Karir Ini Sedang Berkembang,” https://bisnis.tempo.co/read/1403763/jumlah-freelancer-melonjak-432-juta-orangkominfo-karir-ini-sedang-berkembang, diakses 7 November 2022.

15

dialihkan menjadi pekerja, tentu hal ini tidak memungkinkan karena dapat memicu terjadinya pemutusanhubungankerja(“PHK”)secarabesar-besaran. Hal ini tidak lain disebabkan oleh ekonomi Indonesia dapat dikatakan belum siap dan belum cukup kuat untuk menopang hal tersebut. Selain itu, apabila hubungan kemitraan diubah menjadi hubungan kerja akan menimbulkan akibat hukum bagi driver dan perusahaan aplikasi. Apabila dilihat dari pihak driver, mereka akan terikat dalam suatu perintah, ketentuan jam, dan lain sebagainya yang diberikan dari perusahaan aplikasi. Sedangkan, apabila dilihat dari pihak perusahaan aplikasi, perusahaan aplikasi akan memiliki kewajiban yang diberikan kepada driver, seperti mempekerjakan driver, membayar upah tiap bulannya, dan lain sebagainya. Selanjutnya, perusahaan aplikasi tidak akan dapat mempekerjakan semua driver sehingga mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian.35 Alih-alih mengubah status gig workers sebagai pekerja, dibutuhkan pengaturan yang memadai terkait hubungan kemitraan dalam gig economy. Hingga saat ini, pengaturan mengenai hubungan kemitraan dalam gig economy dapat dikatakan belum memadai. Hal ini terlihat dari adanya kekosongan hukum pada konsep hubungan kemitraan yang termuat dalam UU UMKM, PP UMKM, Permenhub No. 12 Tahun 2019, dan Pasal 1338 KUHPer. Kekosongan hukum tersebut dapat terlihat dari ketiadaan skema perlindungan untuk melindungi hakhak gig workers dalam hubungan kemitraan. Dalam regulasi-regulasi yang telah ada, hanya didapat konsep hubungan kemitraan, namun tidak termuat perlindungan bagi gig workers. Padahal, apabila dibandingkan dengan kedudukan perusahaan aplikasi, kedudukan gig workers dapat dikatakan timpang sehingga sangat rentan untuk dieksploitasi dalam hubungan kemitraan. Ketimpangan kedudukan antara gig workers dengan perusahaan aplikasi salahsatunyadapatterlihatdaritindakanperusahaanaplikasiyangmenyalahartikan hubungan kemitraan. Penyalahartian hubungan kemitraan ini dapat menyebabkan terlanggarnya hak-hak gig workers. Hal ini dapat terlihat dari adanya keputusan yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan aplikasi di dalam hubungan kemitraan. Padahal, secara normatif seharusnya hubungan antara gig workers dengan

35 Luthvi Febryka Nola, “Perjanjian Kemitraan Vs Perjanjian Kerja Bagi Pengemudi Ojek Online,”KajianSingkatTerhadapIsuAktualdanStrategis,Vol.10No.7(2018),hlm.4.

16

perusahaan aplikasi bersifat setara dan koordinatif. Jika keadaan ini terus dipertahankan, hubungan kemitraan dapat saja disalahgunakan oleh perusahaan aplikasi untuk merekrut pekerja tanpa memenuhi hak-hak gig workers sebagai pekerja. Denganini,diperlukaninstrumenhukum yangdapatmengatursecarategas mengenai konsep hubungan kemitraan dengan skema perlindungan bagi gig workers

Selain perlindungan bagi gig workers, diperlukan juga penegakan hukum berupa pemberian sanksi bagi perusahaan aplikasi yang melanggar ketentuanketentuandalamhubungankemitraan.Pasalnya,hinggasaatiniperusahaan aplikasi yang menyalahartikan hubungan kemitraan tidak mendapat sanksi. Padahal, penerapan sanksi bagi perusahaan aplikasi yang melanggar dapat mendorong ekosistem kemitraan yang sehat antara driver dengan perusahaan aplikasi. Pengaturan mengenai hubungan kemitraan dalam gig economy juga tentu sangat krusial bagi pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah merupakan pihak yang kedudukannya sangat penting dalam mengatur kebijakan terkait ketenagakerjaan di Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu tujuan negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD NRI 1945”). Dalam hal ini, tujuan negara tersebut tertuang pada alinea keempatUUDNRI1945yangberbunyi,“MelindungisegenapbangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Penjelasan dari tujuan negara tersebut tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupanyanglayakbagikemanusiaan.”Berdasarkankeduaregulasidiatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah harus memenuhi setiap hak-hak dan perlindunganbagipara gigworkers di Indonesiasehinggamencapaikesejahteraan hidupnya.

Tidak hanya itu, pengaturan serta penegakan hukum yang jelas terkait hubungan kemitraan dalam gig economy juga tentu dapat memberikan ruang gerak yang lebih jelas bagi perusahaan aplikasi dalam mengembangkan bisnisnya. Pengaturan yang bersifat abu-abu menyebabkan minimnya legitimasi dari tindakan

17

perusahaan aplikasi. Selain itu, hubungan kemitraan pada konsep saat ini juga menyebabkan timbulnya risiko dalam pengembangan bisnis perusahaan terkait. Dengan ini, diperlukan penegakan hukum yang jelas agar hubungan kemitraan antara perusahaan dengan driver dapat berjalan dengan saling menguntungkan.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi mengenai gig workers memiliki urgensitas bagi negara Indonesia. Hal ini dikarenakan negara Indonesia belum memiliki regulasi yang dapat memenuhi hak-hak gig workers. Dengan demikian, diharapkan dapat memenuhi serta melindungi terhadap hak-hak para gig workers di Indonesia.

18

BAB III

STUDI KOMPARASI PENGATURAN GIG ECONOMY DI PERANCIS DAN INGGRIS

3.1 Perancis

Perancis mengatur hal-hal terkait ketenagakerjaan dalam Code du Travail Code du Travail merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari sebagian besar teks legislatif dan peraturan yang berlaku di bidang hukum perburuhan.36 Code du Travail pada dasarnya menjadi payung hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja di sektor swasta dengan pemberi kerja.37 Labor law is the set of legal rules Code du Travail mengatur syarat dan ketentuan kerja seperti jam kerja, hari libur dan waktu istirahat, upah, lembur, dan hubungan kerja. Hubungan kerja juga diatur oleh serangkaian Collective Bargain Agreements (“CBA”) atau perjanjian perundingan bersama dan yurisprudensi.

Berdasarkan Book II Code du Travail, terdapat empat jenis kontrak kerja yang ada di Perancis. Beberapa kontrak kerja tersebut di antaranya, yaitu Contract Duration Indeterminée (“CDI”) atau kontrak permanen, Contract Duration Determinée (“CDD”) atau kontrak dengan jangka waktu tetap, kontrak magang atau profesionalisasi, dan kontrak integrasi tunggal.38 Pada praktiknya, penerapan jenis kontrak kerja tergantung pada sifat dan jangka waktu kerja yang dibutuhkan oleh pemberi kerja.

CDI adalah jenis kontrak kerja paling umum yang ada di Perancis. Dalam kontrak kerja ini tidak ditentukan persyaratan kerja terkait tanggal berakhirnya kontrak.39 Hal ini berarti bahwa hubungan kerja terus berlanjut tanpa batas waktu sampaipemberikerjaataupekerjamengakhirikontrak.Selainitu,penandatanganan kontrak CDI menandakan pekerja dan pemberi kerja akan tunduk pada Code du Travail dan CBA jika berlaku. Kontrak CDI penuh waktu dapat berupa perjanjian

36 Espace CSSCT, “Code du travail,” https://www.espace-cssct.fr/dispositifs-cssct/code-dutravail/, diakses 30 Oktober 2022.

37 RepublikPerancis,“Le droit du travail,” https://code.travail.gouv.fr/droit-du-travail, diakses 30 Oktober 2022.

38 Marie Laure Troadec, “A Complete Guide to Employment & Labor Laws in France,” https://nhglobalpartners.com/employment-law-in-france/, diakses 30 Oktober 2022.

39

Republik Perancis, “Permanent contract,” https://www.welcometofrance.com/en/fiche/permanent-contract, diakses 30 Oktober 2022.

19

lisan maupun ditulis dalam bahasa Prancis atau Inggris. Sementara itu, kontrak paruh waktu harus selalu tertulis. Dalam CDI, pemberi kerja maupun pekerja bebas untuk memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang sesuai dengan kontrak dan/atau undang-undang.40 Kontrak CDI dapat diakhiri melalui 4 (empat) cara, yaitu pemutusan hubungan kerja yang sah oleh pemberi kerja, pengunduran diri, pemecatan karyawan, dan dalam hal perusahaan ditutup.41 Jika pemberi kerja ingin memutuskan hubungan kerja, pemberi kerja perlu mengikuti proses hukum tertentu yang dapat mencakup periode pemberitahuan yang wajar, pesangon yang diwajibkan pemerintah,dantugas-tugaslainyang mungkinperlumelibatkanproses pengadilan.

Di sisi lain, CDD merupakan jenis kontrak kerja jangka waktu tetap atau sementara dan hanya dapat diberlakukan dalam keadaan tertentu.42 Dalam kontrak jenis ini, pekerja dipekerjakan oleh pemberi kerja untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk alasan lain yang diperbolehkan oleh hukum Perancis dengan tanggal akhir yang telah ditentukan. CDD biasanya ditandatangani untuk alasan tertentu, misalnya ketika pemberi kerja membutuhkan pekerja musiman, pertumbuhan sementara perusahaan, atau penggantian karyawan yang tidak hadir. Kontrak CDD harus ditulis dalam bahasa Perancis dan ditandatangani oleh pemberi kerja dan karyawan. Kontrak CDD umumnya berlaku untuk masa kerja beberapa bulanhingga1 (satu) tahun.43 Setelahkontrakberakhir,pemberi kerjamemiliki hak untuk memperbarui, memperpanjang, ataupun mengakhiri kontrak.44 Umumnya, pemberi kerja maupun pekerja tidak dapat mengakhiri kontrak lebih awal dari jangka waktu yang telah ditentukan kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Kontrak magang atau profesionalisasi merupakan jenis kontrak yang bertujuan agar karyawan dapat memperoleh sertifikasi profesi. Kontrak ini merupakan kontrakkerja yangbersifat permanenatau sementaradandibuatsebagai bagian dari pelatihan awal. Kontrak magang dapat berlangsung selama 1 3

40

Antoine Boquen, “Indefinite Contract vs. Fixed-Term: Which to Choose?” https://nhglobalpartners.com/indefinite-contract-permanent-contract/, diakses 30 Oktober 2022. 41 Ibid.

42

Croner-i, “Employment Law in France: In-depth,” https://app.croneri.co.uk/topics/employment-law-france/indepth, diakses 30 Oktober 2022.

43 Antoine Boquen, “What Is a Fixed-Term Employment Contract? (Definition, Pros & Cons),” https://nhglobalpartners.com/fixed-term-employment-contract/, diakses 30 Oktober 2022. 44 Ibid

20

tahun.45 Kontrak ini biasanya ditujukan untuk orang dengan usia dari 16 29 tahun yang memenuhi syarat kontrak magang.46 Kontrak ini harus dalam bentuk tertulis yang berisi ketentuan pelatihan dan ketentuan kegiatan kerja.

Kontrak integrasi tunggal adalah jenis kontrak kerja yang dibuat antara pemberi kerja yang akan menerima bantuan keuangan dengan karyawan yang akan menerima manfaat dari bantuan integrasi profesional.47 Hal ini ditujukan untuk memudahkan orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan. Hal ini tentu memungkinkan pekerja untuk memiliki integrasi profesional sementara serta memberikan peluang lebih lanjut untuknya di masa depan. Pada prinsipnya, jangka waktu kontrak integrasi tunggal dibatasi hingga 24 (dua puluh empat) bulan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.48 Kontrak integrasi tunggal dapat berupa kontrak tetap maupun kontrak sementara dengan jam kerja mingguan minimal 20 (dua puluh) jam.49 Pada hakikatnya, pekerja di Perancis telah diberikan perlindungan hukum yang baik dalam hal tunjangan dan hak kerja. Namun, ekspansi gig economy telah menyebabkan perubahan besar pada pasar tenaga kerja di Eropa dalam 15 tahun terakhir. Ekspansi gig economy memunculkan permasalahan-permasalahan permasalahan terkait gig workers

Perancis telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengenai gig workers. Salah satu undang-undang yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan hubungan kerja antara gig workers dengan pemberi kerja adalah UU Nomor 2016-1088 tertanggal 8 Agustus 2016 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan definisi hukum mengenai platform elektronik, memperluas hak individu dankolektifuntuk pekerja platform,serta mendefinisikan prinsip tanggung jawab sosial platform. Lebih lanjut, modernisasi dialog sosial dan pengamanan karir profesional atau El-Khomiri Law juga memberikan pekerja

45

CEDEFOP,“Professionalisation contract,” https://www.cedefop.europa.eu/en/tools/financingapprenticeships/apprenticeship-schemes/professionalisation-contract, diakses 30 Oktober 2022. 46

CEDEFOP, “Professionalisation contract,” https://www.cedefop.europa.eu/en/tools/apprenticeship-schemes/scheme-fiches/professionalisationcontract, diakses 30 Oktober 2022. 47 DéborahZerbib,“The different types of employment contracts in France,” https://www.cabinetroche.com/en/the-different-types-of-employment-contracts-in-france/, diakses 30 Oktober 2022. 48 Ibid 49 Ibid

21

platform wiraswastadenganhakindividu dan kolektif.Selainitu,terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lain seperti UU Nomor 2018-898 tertanggal 23 Oktober 2018 tentang perlawanan terhadap penipuan dan UU Nomor 2019-1428 tertanggal 24 Desember 2019 tentang Orientasi Alat Transportasi (loi d'orientation des mobilités). Di sisi lain, terdapat juga dua ordonansi telah diadopsi pada bulan April 2021, yaitu Ordonansi Nomor 2021-487 tentang pelaksanaan kegiatan platform intermediasi digital di berbagai sektor transportasi jalan umum dan Ordonansi Nomor 2021-484 mengenai syarat representasi pekerja wiraswasta yang menggunakan platform selama aktivitas kerja, dan kondisi untuk pelaksanaan representasi ini. Kedua ordonansi ini juga turut mengatur mengenai pekerja platform di Perancis.

Pada dasarnya sebagaimana negara Uni Eropa lainnya, gig workers di Perancis secara umum dikategorikan sebagai wiraswasta.50 Namun, seperti halnya di beberapa negara lain, case law telah diterapkan dalam menentukan status pekerja.51 Dalam hal ini, pengadilan harus melihat substansi hubungan antara pekerja platform dengan perusahaan platform terlepas dari label yang diberikan para pihak tersebut. Pengadilan juga akan meninjau sejumlah faktor, seperti sejauh mana integrasi pekerja dalam operasi perusahaan, peralatan yang disediakan, dan tingkat kontrol yang dilakukan oleh perusahaan guna memutuskan terkait status pekerja.

Terlepas dari berbagai pengaturan serta perkembangan hukum terkait gig workers, Perancis sejatinya masih memiliki masalah terkait hal ini. Permasalahan ini bermula saat beberapa perusahaan seperti Just Eat, Uber, dan Deliveroo mengubah model bisnis mereka dengan hanya mempekerjakan driver sebagai pekerja lepas. Terkait hal ini, perusahaan platform digital hanya memposisikan dirinya sebagai perantara antara pengguna dengan penyedia layanan sebagai pekerja lepas. Dalam hal ini, driver berkedudukan sebagai kontraktor independen. Namun, dalam praktiknya perusahaan seperti Uber, Deliveroo, dan Just Eat dapat

50 Norton Rose Fulbright, “Doing business in the gig economy: A global guide for employers,” https://www.nortonrosefulbright.com/en-fr/knowledge/publications/87afaec5/doing-business-in-the-gigeconomy-a-global-guide-for-employers, diakses 7 November 2022.

51 DirkGillis,KarolienLenaerts,danWillemWaeyaert,“France:LessonsFromTheLegislative Framework On Digital PlatformWork,” Policy Case Study (2022), hlm. 1.

22

memiliki kontrol yang cukup besar atas driver sebagai kontraktor independen. Hal ini terlihat dari beberapa hal yang ditentukan oleh perusahaan seperti harga yang akan dibebankan kepada klien, jam ketersediaan pekerja, area geografis yang akan dicakup, dan sebagainya.52 Tidak hanya itu, driver juga dapat diputus sementara dari platform jika menolak perjalanan dalam beberapa kali, driver juga dapat ditangguhkan bahkan diberhentikan jika pelayanannya dikeluhkan oleh pelanggan.53 Hal ini tentu janggal sebab sebagai kontraktor independen sudah seharusnya driver memiliki kebebasan terkait hal-hal tersebut.

Terkait hal ini, pada tahun 2020, Mahkamah Agung Prancis memutuskan untuk mendukung sejumlah driver Uber yang mengklaim status karyawan.54 Hal ini didasarkan pada fakta bahwa layanan taksi sepenuhnya diselenggarakan oleh Uber. Hal ini menyebabkan driver tidak dapat mencari pelanggan mereka sendiri, memutuskan berapa harga yang akan dibebankan kepada klien, atau bahkan rute yang akan diambil. Selain itu, Uber memiliki hak untuk memutuskan hubungan driver jika mereka menolak sejumlah perjalanan tertentu.

Berbeda halnya dengan kasus pada 7 April 2021, pengadilan banding Paris memutuskan bahwa driver Deliveroo yang berbeda berkedudukan sebagai kontraktor independen.55 Pengadilan menilai hal ini didasarkan pada fakta bahwa driver bebas untuk menerima atau menolak pekerjaan, diizinkan bekerja untuk pesaing,sertadiizinkanuntukmensubkontrakkanpekerjaantersebut.Dalamhalini, driver terikat di bawah kontrak kerja yang berbeda dari driver lain.

Dalam kasus lain pada April 2022, pengadilan Perancis mendenda Deliveroo sebesar 375.000 euro atas dasar pelanggaran yang disengaja terhadap undang-undang ketenagakerjaan.56 Di sisi lain, Deliveroo mengklaim para driver adalah pekerja lepas. Namun, akhirnya pengadilan menemukan bahwa para driver beroperasi di bawah pengawasan yang hampir permanen dari Deliveroo. Hal ini

52

Laurence Harvey Wood dan Paul Whinder, “Digital Platform Workers in Europe - Recent Developments,” https://www.seyfarth.com/news-insights/digital-platform-workers-in-europe-recentdevelopments.html, diakses 30 Oktober 2022. 53 Ibid. 54 Ibid 55 Ibid 56

PollySmythe,“Deliveroo Thinks France Has the ‘Most Progressive’ Gig Economy. Deliveroo Has Been Fined for Workers’ Rights Abuses in France,” https://novaramedia.com/2022/10/01/deliveroothinks-france-has-the-most-progressive-gig-economy-deliveroo-has-been-fined-for-workers-rightsabuses-in-france/, diakses 30 Oktober 2022.

23

terlihat dari fakta bahwa pengendara dialokasikan slot waktu yang lama untuk memastikan platform memiliki sebanyak mungkin pengendara di akhir pekan, serta driver yang menolak mereka tidak diizinkan bekerja pada minggu-minggu berikutnya. Berdasarkan fakta tersebut terlihat bahwa Deliveroo ingin memiliki kontrol terhadap pekerja lepasnya. Padahal, jika pengendara dipekerjakan sebagai karyawan oleh suatu perusahaan di bawah hukum Perancis, mereka seharusnya diberikan jaminan sosial, kontribusi pensiun, dan tunjangan pengangguran. Berdasarkan putusan yang berbeda terkait kasus-kasus di atas, hal ini mengisyaratkan bahwa permasalahan status karyawan untuk gig workers di Perancis belum terselesaikan. Hal ini disebabkan karena kasus-kasus hubungan kerja terkait gig workers akan terus bergantung pada fakta spesifik yang bersifat kasuistis.Padahal,penentuanstatuskaryawan gigworkers sangatlahpentingkarena mengingat hal tersebut juga menentukan hubungan kerja antara perusahaan platform digitaldengankaryawan.Selainitu,penentuanstatus karyawanjugadapat memberikan social security bagi gig workers sehingga hal ini perlu untuk menjadi perhatian masyarakat.

3.2 Inggris

Di Inggris, status pekerja gig economy tidak ditentukan oleh kesepakatan tertulis yang kompleks, melainkan oleh apa yang dilakukan pekerja gig economy, seperti bagaimana mereka melakukan pekerjaan mereka dan kenyataan mengenai siapa yang mengontrol pekerjaan tersebut.57 Status pekerja gig economy di Inggris adalah kontraktor independen dan pekerja. Kontraktor independen adalah orang atau entitas wiraswasta yang dikontrak untuk melakukan pekerjaan atau memberikan layanan kepada entitas lain sebagai non-pekerja.58 Oleh karena itu, kontraktor independen sama dengan kemitraan karena tidak ada unsur hubungan kerja. Status pekerja gig economy di Inggris diputuskan berdasarkan kasus per kasus daripada satu tes tentang status yang diterapkan pada pekerjaan tersebut.

57 Lexology, “Gig economy workers: the UK Supreme Court rules,” https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=d2cf01d5-4deb-47a9-917d-c00733fcac38, diakses 7 November 2022.

58 TheInvestopediaTeam,“IndependentContractor:Definition,HowTaxesWork,andExample,” https://www.investopedia.com/terms/i/independent-contractor.asp, diakses 7 November 2022.

24

Inggris telah memiliki regulasi yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. Regulasi tersebut adalah Employment Rights Act 1996. Dalam sub-bab 230 angka 3 Employment Rights Act 1996, pekerja adalah seseorang yang telah mengadakan atau bekerja di bawah kontrak kerja atau kontrak lain, baik tersurat maupun tersirat, baik lisan maupun tertulis, di mana individu tersebut berjanji untuk melakukan secara pribadi setiap pekerjaan atau layanan untuk pihak lain dalam kontrak yang statusnya bukan berdasarkan kontrak sebagai klien atau pelanggan dari setiap profesi atau usaha yang dijalankan oleh individu; dan setiap referensi ke kontrak pekerja harus ditafsirkan sesuai dengan itu.59

Uber BV adalah perusahaan Belanda yang memiliki teknologi dalam aplikasi Uber. Uber London Ltd adalah anak perusahaan Inggris yang memiliki lisensi untuk mengoperasikan kendaraan sewaan pribadi di London. Pada tahun 2016, jumlah pengemudi Uber yang beroperasi di Inggris diperkirakan sekitar 40.000, diantaranya sekitar 30.000 beroperasi di London. Di Inggris, pengemudi pada aplikasi Uber diperlakukan sebagai kontraktor independen karena Uber mengklaim bahwa mereka hanya menghubungkan pengemudi dengan penumpang dan menyatakan bahwa pengemudi bukan pekerja mereka.60 Namun, pada tahun 2016, dua pengemudi Uber, Yaseen Aslam dan James Farrar tidak setuju dengan pernyataan Uber dan mengajukan klaim kepada Employment Tribunal yang mengklaim bahwa mereka merupakan pekerja Uber berdasarkan ketentuan dari Employment Rights Act 1996, National Minimum Wage Act 1998, dan Working Time Regulations 1998 dan berhak dibayar setidaknya upah minimum nasional, menerima cuti tahunan yang dibayar, dan mendapatkan manfaat dari perlindungan hukum lainnya. Akan tetapi, Uber membantah klaim mereka dengan menyatakan bahwa pengemudi merupakan kontraktor independen dan bukan pekerja.61 Employment Tribunal memutuskan bahwa pengemudi Uber merupakan pekerja karena mereka bekerja kapanpun mereka mengaktifkan aplikasi Uber, mereka berada dalam wilayah di mana mereka diizinkan untuk bekerja, dan mampu

59

United Kingdom, Employment Rights Act 1996, Sub-Bab 230 angka 3. 60 N.K.Ashokbharan,“Are Uber & PickMe drivers “Employees”? -Approaching the question in light of the United Kingdom Supreme Court’s latest judgement in Uber BV v Aslam [2021] UKSC 5, Hulftsdrop Law Journal 2021, Colombo Law Society (2022), hlm. 4. 61 Ibid

25

dan mau menerima tugas-tugas, yang berarti bahwa mereka berhak atas hak-hak dasarpekerjaseperti upah minimumnasional dancuti tahunanyangdibayar.62 Uber mengontrol pengemudi secara signifikan termasuk melakukan penetapan harga, memberi sanksi kepada pengemudi karena membatalkan perjalanan, dan menyimpan informasi penumpang. Employment Appeal Tribunal dan Court of Appeal menguatkan keputusan Employment Tribunal. Setelahnya, Uber mengajukan banding kepada Supreme Court dan United Kingdom Supreme Court (UKSC) menyampaikan putusannya pada 19 Februari 2021.63

Uber mengajukan banding kepada UKSC karena berkaitan dengan status pekerjaan pengemudi kendaraan sewaan pribadi dimana pelayanan servis mereka tersedia melalui aplikasi Uber. Permasalahan utamanya adalah apakah pengemudi Uber merupakan pekerja sesuai peraturan ketenagakerjaan yang memberikan hak kepada pekerja untuk setidaknya dibayar upah minimum nasional, menerima cuti tahunan yang dibayar, dan mendapatkan manfaat dari perlindungan hukum lainnya. UKSC juga mempertimbangkan pertanyaan tentang berapa waktu kerja yang dihitung apabila pengemudi Uber merupakan pekerja.64

Uber berpendapat bahwa Uber BV bertindak sebagai penyedia teknologi dengan anak perusahaannya, yaitu Uber London yang bertindak sebagai agen pemesananuntukpengemudiyangdisetujuiolehUberLondonuntukmenggunakan Uber. Uber berpendapat bahwa ketika perjalanan dipesan melalui aplikasi Uber, kontrak dibuat langsung antara pengemudi dan penumpang di mana pengemudi setuju untuk menyediakan layanan transportasi kepada penumpang. Tarif dihitung oleh aplikasi Uber dan dibayar oleh penumpang kepada Uber BV yang memotong sebagian dan membayar sisanya kepada pengemudi. Uber mencirikan proses ini sebagai mengumpulkan pembayaran atas nama pengemudi dan membebankan biayalayanankepada pengemudi untuk penggunaanteknologi danlayanan lainnya. Uber mengandalkan kata-kata dari standar kontrak tertulis antara Uber BV dan

62

Aslam and others v Uber BV and others [2017] IRLR 4 ET.

63 N.K.Ashokbharan,“Are Uber & PickMe drivers “Employees”? -Approaching the question in light of the United Kingdom Supreme Court’s latest judgement in Uber BV v Aslam [2021] UKSC 5, Hulftsdrop Law Journal 2021, Colombo Law Society (2022), hlm. 5.

64 Seyi Clement, “Uber BV and others -v- Aslam and others [2021] UKSC 5,” https://www.augustineclement.com/uber-bv-and-others-v-aslam-and-others-2021-uksc-5/, diakses 27 Oktober 2022.

26

pengemudi dan antara perusahaan Uber dan pengemudi. Uber juga menekankan bahwa pengemudi bebas bekerja kapanpun mereka mau dan sebanyak atau sesedikit yang mereka inginkan. Dengan demikian, Uber berpendapat bahwa pengemudi adalah kontraktor independen yang bekerja berdasarkan kontrak yang dibuat dengan pelanggan dan tidak bekerja untuk Uber.65 UKSC tidak setuju dengan pernyataan Uber karena faktanya tidak ada kontrak tertulis antara pengemudi dan Uber London sehingga sifat hubungan hukum mereka disimpulkan dari perilaku para pihak dan tidak ada dasar faktual untuk menyatakan bahwa Uber London bertindak sebagai agen pengemudi. Uber London mengontrak penumpang dan melibatkan pengemudi untuk melakukan pemesanan tersebut. Pada prinsipnya salah untuk memperlakukan perjanjian tertulis sebagai titik awal dalam memutuskan apakah seseorang adalah pekerja.66 Putusan UKSC menekankan lima aspek dari temuan yang dibuat oleh Employment Tribunal yang membenarkan kesimpulannya bahwa penggugat bekerja untuk dan di bawah kontrak dengan Uber. Pertama, apabila perjalanan dipesan melalui aplikasi Uber, maka Uber yang menetapkan tarif dan pengemudi tidak diizinkan mengenakan biaya lebih dari tarif yang ditetapkan oleh aplikasi Uber. Oleh karena itu, Uber yang menentukan berapa banyak pengemudi yang dibayar untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Kedua, persyaratan kontrak di mana pengemudi melakukan layanan mereka yang diberlakukan oleh Uber dan pengemudi tidak memiliki hak suara di dalamnya. Ketiga, setelah pengemudi masuk dalam aplikasi Uber, pilihan pengemudi tentang apakah akan menerima permintaan perjalanan dibatasi oleh Uber. Salah satu cara yang dilakukan adalah memantau tingkat penerimaan dan pembatalan permintaan perjalanan pengemudi dan mengenakan denda apabila terlalu banyak permintaan perjalanan ditolak atau dibatalkan dengan mengeluarkan pengemudi dari aplikasi Uber secara otomatis selama sepuluh menit sehingga mencegah pengemudi bekerja hingga diizinkan untuk masuk kembali. Keempat, Uber juga melakukan kontrol yang signifikan atas cara pengemudi memberikan layanan mereka. Salah satu metode yang disebutkan dalam penilaian adalah penggunaan sistem penilaian dimana penumpang diminta

27
65 Ibid 66 Ibid

untuk menilai pengemudi pada skala satu hingga lima setelah setiap perjalanan. Setiap pengemudi yang gagal mempertahankan peringkat rata-rata yang disyaratkan akan menerima serangkaian peringatan dan apabila peringkat rata-rata mereka tidak membaik akan mengakhiri dan menghentikan hubungan mereka dengan Uber. Kelima, Uber membatasi komunikasi antara penumpang dengan pengemudi seminimal mungkin untuk melakukan perjalanan tertentu dan mengambil langkah aktif untuk mencegah pengemudi menjalin hubungan apapun dengan penumpang yang mampu melebihi perjalanan individu.67 Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, layanan transportasi yang dilakukan oleh pengemudi dan ditawarkan kepada penumpang melalui aplikasi Uber dikendalikan oleh Uber dengan sangat ketat. Pengemudi berada dalam posisi subordinasi dan ketergantungan dengan Uber sehingga mereka memiliki sedikit atau tidak ada kemampuan untuk meningkatkan posisi ekonomi mereka melalui keterampilan profesional atau kewirausahaan. Dalam praktiknya, satu-satunya cara mereka dapat meningkatkan penghasilan adalah dengan bekerja lebihlamasembariterus-menerusmemenuhiukurankinerjaUber.PengemudiUber benar ditemukan sebagai pekerja.68 Tidak ada hambatan dan tantangan dikarenakan Uber telah melakukan perubahan dan pembaruan ketentuan sesuai dengan putusan pengadilan.

Setelah adanya putusan pengadilan UK Supreme Court: [2021] UKSC 5 pada 19 Februari 2021, pengemudi Uber digolongkan sebagai pekerja untuk memberikan perlindungan hak-hak kerja dan muncul kepastian hukum atas status pekerjaan hubungan kerja non-standar dependent self-employment. Status pekerja pengemudi Uber di Inggris telah dianggap sebagai hubungan kerja. Skema perlindungan pembagian hasil tarif perjalanan Uber untuk pekerja agar tidak dirugikan oleh penyedia platform adalah Uber BV melakukan pembayaran mingguan kepada pengemudi berupa sejumlah uang yang dibayarkan oleh penumpang untuk perjalanan yang dikendarai oleh pengemudi dikurangi dengan biayalayananyang disimpanoleh Uber BV.Dalam kasus Yaseen Aslam danJames Farrar,biayalayanan sebesar20%daritarifperjalanan.DalamputusanUKSC tidak

28
67 Ibid 68 Ibid

disebutkan atau dijelaskan mengenai perlindungan hak-hak pekerja yang bisa didapatkan oleh pekerja gig economy di Inggris.

29

BAB IV

RANCANG BANGUN PENGATURAN GIG ECONOMY SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PLATFORM DIGITAL DI INDONESIA

4.1 Status Pekerja dalam GIG Economy

Sudah dipaparkan sebelumnya bahwa perjanjian kerja sama antara mitra pekerja gig workers dengan perusahaan yang menaungi mitra tersebut bukanlah perjanjian kerja karena tidak adanya unsur upah, melainkan perjanjian tersebut adalah perjanjian kemitraan dengan pola kemitraan bagi hasil. Melihat peristiwa di negara Inggris dan Perancis yang berhasil mengubah status kemitraan pekerja gig workers di bidang transportasi online menjadi hubungan kerja tidak serta merta dapat diimplementasikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu di Pasal 1 butir 15 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa unsur dari hubungan kerja itu sendiri minimal harus memenuhi tigaunsuryaitu kerja,perintah,danupah.69 Berdasarkan pasal tersebut, maka jelas bahwa hubungan kemitraan ini tidak memenuhi unsur perintah. Hal tersebut karena mitra driver tidak mengambil perintah dari perusahaan aplikasi melainkan hanya bekerja sesuai dengan keinginan driver sendiri sehingga hal ini bukan lah sebuah hubungan kerja. Hal ini justru berbeda dengan Inggris yang menerapkan common law sehingga hakim sangat berperan besar terhadap sebuah putusan. Sedangkan di Indonesia menerapkan civil law system, yang artinya adalah keputusan hakim tidak mengikat hakim yang lain, sekaligus hakim di Indonesia hanya sebatas corong pelaksana dan penegak undang-undang.70 Apabila dilihat dari analisis hukumnya sama seperti penjelasan bab 2 bahwa hubungan mereka adalah kemitraan dikarenakan dalam Pasal 1 butir 15 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa unsur dari hubungan kerja itu sendiri minimal harus memenuhi tiga unsur yaitu kerja, perintah, dan upah. Sehingga hubungan antara perusahaan aplikasi terhadap driver nya merupakan hubungan kemitraan.

69 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003, Ps. 1 (15) . 70 SiPokrol,“Civil Law dan Common Law,TemukanBedanyadiSini,” Civil Law dan Common Law, Temukan Bedanya di Sini (hukumonline.com), diakses 2 Oktober 2022.

30

Selanjutnya juga sudah terdapat yurisprudensi mengenai gig workers di bidang transportasi online, di mana dalam menentukan hubungan antara pengemudi transportasi online dengan perusahaan platform yang menaunginya dapat berkaca pada putusan Mahkamah Agung No. 841K/Pdt.Sus/2009 dalam perkara antara sopir taksi dengan perusahaan taksi, MA menyatakan tidak ada unsur upah karena sopir taksi menerima persentase dari pembayaran argo oleh penumpang.71 Tidak terdapat juga unsur perintah dalam hubungan ini, karena sopir taksi bebas mencari sendiri penumpangnya. Mitra pengemudi merupakan gig workers, yang dalam putusan Supreme Court United Kingdom merupakan pekerja bagi perusahaan aplikasi. Namun, status pekerja bagi gig workers masih belum dapat diakomodir dalam peraturan ketenagakerjaan karena tidak ada unsur upah.72

Selanjutnya, apabila kita meninjau dalam perspektif ekonominya, di mana ingin memaksakan hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi dengan driver nya menjadi status hubungan kerja, yang artinya perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi online di Indonesia membuat status mitra-mitranya menjadi karyawannya.Halinitentuakanberdampakpadabebankeuangandariperusahaan aplikasi sendiri yang akan mengalami kenaikan drastis, karena harus menutupi pengeluaran dasar pada karyawan seperti upah minimum per bulan, jaminan kesehatan, hingga hak-hak dasar lainnya, hal ini sejalan dengan Pasal 35 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.73

Hal ini sejalan juga dengan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa

71 Imas Hadi Wibowo, “Status Hubungan Pengojek dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek,” Status Hubungan Pengojek dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek - Klinik Hukumonline, diakses 20 Oktober 2022.

72 Ibid. 73 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003, Ps. 35 ayat (3).

31

pekerja/buruh.74 Maka dari itu, karena adanya beban pengeluaran tambahan sudah dipastikan perusahaan aplikasi akan melakukan efisiensi perusahaan dengan cara melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran. Tentu saja hal ini malah menjadi sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan awal adanya gig economy untuk menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Sehingga hemat penyusun status kemitraan yang sudah berlaku sekarang sudah benar dan harus dipertahankan.

4.2 Kekuatan Hukum Kontrak/Klausula Baku dalam Gig Economy

Sebelum seseorang dapat menjadi mitra driver ojek online, maka orang tersebut diwajibkan untuk menyetujui dan menandatangani kontrak baku yang sudah disediakan pihak perusahaan aplikasi. Isi dari kontrak baku tersebut menjelaskan hubungan kerja sama antara perusahaan aplikasi dengan driver nya. Namun, perihal kontrak baku menjadi suatu permasalahan dalam hubungan kemitraan antara perusahaan aplikasi dengan driver nya. Hal tersebut karena hubungan kemitraan in nature haruslah berdasarkan dua arah, tetapi dalam kasus kontrak kemitraan antara perusahaan aplikasi Gojek dan Grab dengan driver nya, mitra driver diharuskan menyetujui atau menolak perjanjian kontrak baku yang sudah disediakan oleh perusahaan aplikasi tersebut tanpa bisa mengubah atau menegosiasi klausul-klausul yang terdapat di kontrak tersebut. Pengaturan mengenai kontrak baku terdapat di dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) yang menjelaskan kontrak baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Sehingga dalam rezim UU Perlindungan Konsumen sebenarnya diperbolehkan adanya suatu kontrak baku. Namun, dalam isi kontrak baku tersebut tidak diperbolehkan adanya klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi menurut Rijken adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian di mana satu pihak menghindarkan diri

74Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2007), hlm. 45.

32

untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.75 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen yang menjelaskan larangan-larangan pelaku usaha dalam mencantumkan kontrak baku yang pada Pasal 18 huruf a menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Maka dari itu, tidak diperbolehkan adanya klausula eksonerasi dalam suatu kontrak baku.76

Tentunya tidak bisa dipersamakan antara konsep kemitraan ini dengan rezim UU Perlindungan Konsumen yang berbasis hubungan antara produsen dengankonsumen,dimanatentusajakedudukankonsumenyangdimaksud lemah atau tidak seimbang dibanding produsennya. Oleh karena itu, berdasarkan yang sudah dipaparkan di atas, maka hubungan kemitraan sudah seharusnya setara sehingga tidak boleh ada kontrak baku. Namun, melihat dari perspektif bisnis dan kemudahan untuk berusaha, maka kontrak baku dalam kemitraan diambil agar tercapainya efisiensi biaya, waktu, dan tenaga. Hal ini dikarenakan mitra hanya bisa menyetujui dan menandatangani perjanjian yang diberikan kepadanya. Sekaligus dengan diterapkannya perjanjian baku ini, maka homogenitas perjanjian yang dibuat dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak.77

Kemudahan untuk berusaha ini seharusnya tidak mengorbankan hak-hak dasar mitra yang terjamin di konsep kemitraan sebagaimana diatur di Pasal 11 UU UMKM yang menjelaskan bahwa hubungan kemitraan yang dilakukan harus menguntungkan kedua belah pihak.78 Maka dari itu, perjanjian kemitraan yang dilakukan haruslah sesuai dengan unsur-unsur dalam Pasal 34 UU UMKM.79 Lebih spesifik dalam kasus ini dibutuhkan campur tangan pemerintah dalam menjaga keseimbangan kontrak kemitraan tersebut sesuai dengan amanat dalam Pasal 34 ayat (2) UMKM yang menjelaskan sebuah perjanjian kemitraan tersebut

75 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2007), hlm. 40.

76 Ibid., hlm. 50.

77 Muhammad Abdulkadir, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hlm 7- 8.

78 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 11.

79 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 34.

33

4.3

haruslah dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.80 Atas dasar ini lah pemerintah memiliki kewenangan untuk mengintervensi sebuah kontrak kemitraan yang dirasa tidak adil bagi mitra dalam hal ini ojek online.

Kesejahteraan Pekerja dalam GIG Economy

Sebagaimana yangsudah dijelaskansebelumnya, hubunganantarapekerja gig workers dengan perusahaan yang menaunginya merupakan hubungan kemitraan. Hubungan kemitraan dapat diartikan adanya hubungan yang setara antara usaha besar dan UKM dalam bekerja sama, berbeda dengan konsep hubungan kerja di mana terdapat hubungan yang tidak setara antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan karena adanya hubungan subordinasi dan perintah antara pemberi kerja dengan pekerja.81 Meskipun tidak setara, dalam perjanjian hubungan kerja terlindungi oleh peraturan-peraturan ketenagakerjaan terutama dalam hal pendapatan minimum, keamanan dan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jam kerja dan lembur, cuti, sakit, dan lain-lain, hal ini sejalan dengan Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan.82 Oleh karena itu, dikarenakan mitra pekerja gig workers merupakan hubungan kemitraan, maka tidak mendapat segala kepastian dan benefit yang ada dalam hubungan kerja.

Berdasarkan analisa dari pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hubungan antara perusahaan aplikasi Gojek dan Grab dengan driver nya merupakan hubungankemitraanpalsu karena; (1) semuakeputusanpenting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform, (2) perusahaan memiliki kontrol atas proses kerja dari pengemudinya, (3) perusahaan memonopoli akses informasi dan data, dan (4) hubungan kemitraan yang dijalankan bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia, di mana terdapat kedudukan tidak setara antara para pihak dan adanya kekuasaan dalam pembuatan keputusan dari satu

80 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 34 ayat (2).

81 Haktivah, “Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja beserta Sifatnya,” https://www.kompasiana, diakses 25 Oktober 2022.

82 Ibid.

34

pihak, seperti dalam pembuatan isi perjanjian kemitraan dan pengambilan keputusan. Kemudian, terdapat juga kasus nyata lainnya, yaitu adanya penyusunan dan perubahan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dilakukan oleh perusahaan aplikasi secara sepihak. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbuatan penguasaan dan pengambilan keputusan secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan aplikasi, hal ini merupakan pelanggaran dalam Pasal 35 ayat (1) UU UMKM.83 Kemudian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kewenangannya melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kemitraan dan kemampuan usaha menengah maupun besar untuk melakukan terminasi atau penghentian sementara perjanjian kemitraan secara sepihak. Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (3) Permenhub No. 12 Tahun 2019 menjelaskan bahwa perusahaan aplikasi wajib melakukan pembahasan dengan mitra driver nya, khususnya terkait perwakilan mitra. Berbeda dengan pekerja yang memiliki serikat buruh, driver yang dinaungi oleh perusahaan aplikasi tidak memiliki serikat resmi sebagaimana buruh yang memiliki serikat buruh.84 Kondisi ini mengakibatkan ketidakjelasan siapa pihak yang dapat dianggap mewakili mitra dalam berdiskusi dengan perusahaan aplikasi untuk menentukan “aturan pelaksana”bagi driver sendiri.

Atas berbagai permasalahan tersebut, pemerintah sebenarnya sudah melakukan upaya hukum untuk memberikan perlindungan hukum terhadap mitra melalui perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai peraturan perundangundangan dan keputusan menteri yang dikeluarkan diantaranya:85

a. Dalam sektor perlindungan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan bagi pengemudi danpengguna angkutansepeda motor diaturdi dalamPasal 4,Pasal 5, Pasal 6, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Permenhub No. 12 Tahun 2019. Dalam Pasal 4 mengatur mengenai pemenuhan standar perlengkapan keselamatan pengemudi dan penumpang; Pasal 5 ayat (1) mengatur mengenai

83 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 35 ayat (1).

84 Oka Halilintarsyah, “Ojek Online, Pekerja atau Mitra,” Jurnal Persaingan Usaha, Vol. 2 (2021), hlm. 20.

85 Ibid.

35

pemenuhan aspek keamanan berupa larangan membawa senjata tajam bagi pengemudi dan penumpang sepeda motor; Pasal 5 ayat (2) mengatur mengenai pemenuhan aspek keamanan yang wajib dilakukan oleh perusahaan aplikasi kepada pengemudi dan penumpang sepeda motor agar terhindar dari kejahatan, termasuk melengkapi aplikasi dengan fitur panic button dalam keadaan darurat; Pasal 5 ayat (3) mengatur mengenai pengemudi mengangkut penumpang yang tidak sesuai aplikasi, harus ada pernyataan data penumpang dari pemilik akun; Pasal 6 mengatur mengenai pemenuhan standar etika pengemudi dalam memberikan pelayanan kenyamanan; Pasal 16 ayat (1) mengatur mengenai pelindungan masyarakat dalam pelayanan penggunaan sepeda motor kepada pengemudi dan penumpang; Pasal 16 ayat (2) mengatur mengenai jenis-jenis pelindungan terhadap penumpang sepeda motor; Pasal 16 ayat (3) mengatur mengenai pelindungan dalam aplikasi kepada pengemudi sepeda sepeda motor; Pasal 16 ayat (4) mengatur mengenai pengemudi sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi, bagi pengemudi yang dikenai penghentian operasional sementara (suspend) setelah melalui proses klarifikasi dan dinyatakan layak untuk kembali beroperasi; Pasal 17 mengatur mengenai jenis-jenis kewajiban pengemudi yang dinaungi oleh perusahaan aplikasi untuk kepentingan masyarakat; dan Pasal 18 mengatur mengenai kewajiban perusahaan aplikasi menyediakan pusat layanan pengaduan.86

b. Dalam sektor pelindungan terhadap formulasi perhitungan biaya jasa diatur di dalam Pasal 11 s.d Pasal 13 yang terletak di Bab III Permenhub No. 12 Tahun 2019. Dalam Pasal 11 ayat (1) mengatur mengenai perhitungan biaya jasa diperuntukkan bagi penggunaan sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi; Pasal 11 ayat (2) mengatur mengenai formulasi perhitungan biaya jasa terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung; Pasal 11 ayat (3) mengatur mengenai jenisjenis biaya langsung; Pasal 11 ayat (4) mengatur mengenai biaya tidak langsungberupajasapenyewaanaplikasi;Pasal11ayat (5)mengaturmengenai pedoman perhitungan biaya jasa ditetapkan oleh Menteri; Pasal 11 ayat (6)

86 Ibid,

36

mengatur mengenai penetapan oleh Menteri ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri; Pasal 12 ayat (1) mengatur mengenai perusahaan aplikasi wajib menerapkan biaya jasa berdasarkan formula dan pedoman perhitungan biaya jasa; Pasal 12 ayat (2) mengatur mengenai perusahaan aplikasi diwajibkan melakukan pembahasan dengan pemangku kepentingan; Pasal 12 ayat (3) mengatur mengenai perusahaan aplikasi wajib melakukan sosialisasi dan melakukan pengumuman kepada pengemudi dan penumpang; dan Pasal 13 mengatur mengenai keharusan Menteri untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai formula dan pedoman perhitungan biaya jasa.87

c. Dalam sektor pelindungan dalam pelaksanaan kemitraan terkait dengan penghentian operasional sementara (suspend) dan putus mitra diatur di dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 18 Permenhub No. 12 Tahun 2019. Dalam Pasal 14 ayat (1) mengatur mengenai perusahaan aplikasi harus membuat standar, operasional dan prosedur dalam penghentian operasional sementara (suspend) dan putus mitra terhadap pengemudi; Pasal 14 ayat (2) mengatur mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam standar, operasional, dan prosedur mekanisme penghentian operasional sementara (suspend) dan putus mitra; Pasal 14 ayat (3) mengatur mengenai sebelum ditetapkannya standar, operasional, dan prosedur dalam mekanisme penghentian operasional sementara (suspend) dan putus mitra harus dilakukannya pembahasan terlebih dahulu dengan mitra kerja; Pasal 14 ayat (4) mengatur mengenai standar, operasional, dan prosedur yang telah ditetapkan harus disosialisasikan kepada mitra kerja oleh perusahaan aplikasi; Pasal 15 ayat (1) mengatur mengenai hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi yang merupakan hubungan kemitraan; Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai hubungan kemitraan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Pasal 18 mengatur mengenai kewajiban perusahaan aplikasi menyediakan pusat layanan pengaduan.88

d. Dalam sektor perlindungan dalam besaran potongan komisi yang diterima driver dan pembagiannya oleh aplikasi diatur di dalam Keputusan Menteri 87 Ibid. 88 Ibid.

37

Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Berdasarkan keputusan menteri tersebut ditentukan biaya minimal untuk melakukan perjalanan dengan driver sehingga mitra mendapat upah yang layak. Selanjutnya juga terdapat ketentuan dalam keputusan menteri tersebut, bahwa perusahaan aplikasi menerapkan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi bagi driver paling tinggi 15% (lima belas persen).89 Tidak hanya perlindungan hukum preventif, pemerintah juga harus memberikan perlindungan hukum represif untuk mengawasi jalannya perusahaan aplikasi dalam menaungi mitra driver. Demi mewujudkan adanya perlindungan hukum represif, dalam kontrak baku yang disepakati antara perusahaan aplikasi dengan mitra driver harus dimuat klausul sanksi bagi perusahaan aplikasi yang melanggar unsur kesetaraan antar pihak, karena hal tersebut melanggar ketentuan yangadadalam Pasal 36 ayat (1) UUUMKM yang menjelaskanbahwaparapihak dalam kemitraan mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.90 Apabila dalam praktiknya perusahaan aplikasi sebagai usaha besar menguasai atau mempunyai kendali atas kerja mitra driver (usaha mikro kecil), maka hal tersebut mengkhianati arti hubungan kemitraan itu sendiri, hal ini sejalan juga dengan ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) UU UMKM yangmenjelaskanbahwausahabesardilarangmemilikidan/ataumenguasaiusaha mikro, kecil, dan/atau menengah sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.91 Sehingga, diperlukan juga bagi pemerintah untuk segera membentuk badan khusus yang menjadi sentralisasi pengawasan terhadap jalannya perusahaan aplikasi yang menaungi mitra driver. Hal tersebut karena di Indonesia hanya memiliki KPPU yang bertugas untuk mengawasi dan menciptakan ketertiban dalam memelihara iklim persaingan usaha sebagaimana 89 Ibid. 90

Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 36 ayat (1). 91 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 35 ayat (1).

38

yangdiaturdalamPasal 36ayat (2)UUUMKM.92 Dengandemikian,kewenangan dari KPPU sendiri tidak spesifik mengawasi persaingan usaha bagi perusahaan aplikasi yang menaungi mitra driver. Hal ini tidak mencerminkan bentuk upaya preventif yang sudah dilakukan oleh pemerintahan daerah, yaitu kebijakan pemerintah kota Bogor membentuk tim pengawas mitra driver pada 4 April 2017 melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pengawasan dan Pengendalian Kendaraan Roda Dua Menggunakan Aplikasi Berbasis Teknologi di Kota Bogor.

92 Indonesia, Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 36 ayat (2).

39

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Hubungan para pekerja gig dengan perusahaan aplikasi harus berlandaskan asas kebebasan berkontrak serta asas konsensualisme yang telah diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Akan tetapi, dalam praktiknya asas kebebasan berkontrak maupun asas konsensualisme seringkali tidak diterapkan dalam hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pekerja gig. Dalam hal ini, tidak diterapkannya asas kebebasan berkontrak dapat dibuktikan dari fakta bahwaseringkali perjanjianhubungankemitraan tersebut telahdibuat oleh pihak perusahaan aplikasi sehingga perjanjian tersebut bersifat baku. Tidak hanya itu, driver juga tidak memiliki kebebasan dalam menentukan tarif. Dalam hal ini, tarif dalam aplikasi ditentukan oleh pihak perusahaan aplikasi, bukan oleh driver. Lebih lanjut, dalam praktik hubungan kemitraan perdata antara perusahaan aplikasi dengan driver tidak memenuhi unsur sepakat. Contoh konkrit dari permasalahan tersebut adalah pihak platform ojek online memotong biaya aplikasi yang menyentuh di atas batas yang telah ditentukan. Dalam hal ini, menurut Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan Dengan Aplikasi, ambang batas biaya tidak langsung yang dibebankan kepada driver adalah sebesar 15 persen. Dengan demikian, hubungan terhadap para pekerja gig dengan perusahaan aplikasi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik. Selanjutnya, hubungan kemitraan tidak termasuk pada rezim ketenagakerjaan karena tidak termasuk dalam hubungan kerja dan ekonomi Indonesia masih belum dikatakan siap dan cukup kuat. Selain itu, apabila hubungan kemitraan diubah menjadi hubungan kerja

40 BAB V
PENUTUP

akan menimbulkan akibat hukum bagi driver dan perusahaan aplikasi. Hal ini didorong oleh pengaturan mengenai hubungan kemitraan dalam gig economy dapat dikatakan belum memadai. Hal ini terlihat dari adanya kekosongan hukum pada konsep hubungan kemitraan yang termuat dalam UU UMKM, PP UMKM, Permenhub No. 12 Tahun 2019, dan Pasal 1338 KUHPer. Lebih lanjut, Penyalahartian hubungan kemitraan dapat menyebabkan terlanggarnya hak-hak gig workers. Oleh karena itu, diperlukan sanksi bagi perusahaan aplikasi yang melanggar ketentuan dalam hubungan kemitraan. Pemerintah juga tentu memiliki peran yang sangat krusial. Hal ini dikarenakan pemerintah merupakan pihak yang kedudukannya sangat penting dalam mengatur kebijakan terkait ketenagakerjaan di Indonesia. Hal tersebut juga merupakan salah satu tujuan negara yang termaktub dalam alinea keempat UUD NRI 1945 sehingga diperlukan pengaturan serta penegakan hukum yang jelas terkait hubungan kemitraan dalam gig economy

2. Secara umum, Perancis mengkategorikan gig workers sebagai wiraswasta. Permasalahan status karyawan untuk gig workers di Perancis belum terselesaikan karena kasus-kasus hubungan kerja gig workers bergantung pada fakta spesifik. Dengan kata lain, case law diterapkan dalam menentukan status pekerja. Di Inggris, pengemudi pada aplikasi Uber dikatakan sebagai kontraktor independen karena Uber mengklaim bahwa mereka hanya menghubungkan pengemudi dengan penumpang dan menyatakan bahwapengemudi Uberbukan pekerjamereka.Namun, setelah adanya putusan pengadilan UK Supreme Court: [2021] UKSC 5, status pengemudi Uber di Inggris digolongkan sebagai pekerja. Hal ini dikarenakan layanan transportasi yang dilakukan oleh pengemudi dan ditawarkan kepada penumpang melalui aplikasi Uber dikontrol dengan sangatketatolehUbersehinggapengemudiberadadalamposisisubordinasi dengan Uber.

3. Hubunganyangterjadiantaramitra driver denganperusahaannyamemang tidak bisa diubah menjadi hubungan kerja karena unsur-unsurnya yang tidak terpenuhi. Meskipun begitu, terdapat berbagai metode untuk tetap

41

melindungi hak mitra driver agar hak-haknya tidak ditindas oleh perusahaan. Berbagai metode yang sudah dilakukan seperti pembentukan peraturan-peraturan sektoral yang mencakup perlindungan keselamatan dan keamanan driver serta perlindungan pembagian komisi mitra driver denganperusahaannya. Namun diperlukanjuga upayapreventif in the first place untuk mencegah ketimpangan status antara mitra driver dengan perusahaannya. Dalam hal ini campur tangan pemerintah dalam pengawasan kontrak kemitraan diperlukan.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu untuk segera membentuk pengaturan GIG Economy guna melindungi hak-hak pekerja platform digital di Indonesia.

2. Diperlukan kajian lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan yang harus diakomodasi dalam pengaturan GIG Economy di Indonesia nantinya.

42

PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, PP Nomor 7 Tahun 2021.

Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

Undang-Undang tentang Cipta Kerja, UU Nomor 11 Tahun 2020, LN No. 245 Tahun 2003, TLN No. 6573.

Undang-Undangtentang Ketenagakerjaan,UUNomor13Tahun2003,LNNo.39Tahun 2003, TLN No. 4279.

Undang-Undang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

United Kingdom. Employment Rights Act 1996.

Aslam and others v Uber BV and others [2017] IRLR 4 ET.

Buku

Abdulkadir, Muhammad. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.

Aloysius Uwiyono, et al., Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.

Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2007.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 31. Jakarta: PT Intermasa, 2003.

Subekti, R.. Aspek-Aspek Perikatan Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, 1980.

Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2005. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 31. Jakarta: PT Intermasa, 2003.

Artikel

Abraham, Kathrine G., John. C Haltiwanger, Kristin Sandusky, and James R. Spletzer. “Measuring the Gig Economy Current Knowledge and Open Issues.” National Bureau of Economic Research. (2021). Hlm. 257-298.

Ashokbharan, N.K. “Are Uber & PickMe drivers “Employees”? -Approaching the questioninlightoftheUnitedKingdomSupremeCourt’slatest judgement inUber BV v Aslam [2021] UKSC 5.Hulftsdrop LawJournal 2021,ColomboLawSociety (2022). Hlm. 4-5.

Cherry,MiriamA,.danAntonioAloisi,““DependentContractors”IntheGigEconomy: A Comparative Approach.” American University Law Review. Vol. 66 No. 3 (2017). Hlm. 635-689.

Darma, Susito Andi. “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat.” Mimbar Hukum. Vol. 29 No. 2 (2017). Hlm. 221-234.

Dewi, I Gusti Agung Dhian Maharani Swari, Ida Ayu Putu Widiati, dan Ni Made Puspasutari Ujianti. “Hubungan Keperdataan Antara Pengemudi dengan PerusahaanOjekOnline.” Jurnal Analogi Hukum. Vol. 1 No. 3 (2019). Hlm. 324329.

43 DAFTAR

Firdasanti, Afifa Yustisia, Afiyati Din Khailany, Nur Ahmad Dzulkirom, Tiur Maulina Putri Sitompul, dan Amalinda Savirani. “Mahasiswa dan Gig Economy: Kerentanan Pekerja Lepas (Freelancer) di Kalangan Tenaga Kerja Terdidik.” Jurnal PolGov. Vol. 3 No. 1 (2021). Hlm. 195-234.

Gillis, Dirk, Karolien Lenaerts, dan Willem Waeyaert, “France: Lessons From The Legislative Framework On Digital Platform Work.” Policy Case Study (2022). Hlm. 1-7.

Halilintarsyah,Oka,“OjekOnline,PekerjaatauMitra?.” Jurnal Persaingan Usaha. Vol. 2 (2021). Hlm. 64-74.

Izzati, Nabiyla Risfa. “Eksistensi Yuridis dan Empiris Hubungan Kerja Non-Standar Dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum. Vol. 50 No. 3 (2021). Hlm. 290-303.

Izzati,NabiylaRisfa,danMasMuhammadGibranSesunan,“MisclassifiedPartnership’ andtheImpactofLegalLoopholeonWorkers.” BESTUUR. Vol. 10 No. 1 (2022). Hlm. 57-67.

Ruyter,AlexDe,MartynBrown,danJohnBurgess.“GigWorkandTheFourthIndustrial Revolution:ConceptualandRegulatoryChallenges.” Journal of International Affairs, Vol. 72 No. 1 (2018), hlm. 37-50.

Nola,LuthviFebryka.“PerjanjianKemitraanVsPerjanjianKerjaBagiPengemudiOjek Online.” Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis. Vol. 10 No. 7 (2018). Hlm. 1-6.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Eviana, Erna. “Penerapan Suspend Bagi Driver Online Gojek Cabang Palangka Raya,” Skripsi Sarjana Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Palangka Raya, 2020.

Izzati, Nabiyla Risfa. “Eksistensi Yuridis dan Empiris Hubungan Kerja Non-Standar Dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum. Vol. 50 No. 3 (2021). Hlm. 290-303.

Izzati,NabiylaRisfa,danMasMuhammadGibranSesunan,“MisclassifiedPartnership’ andtheImpactofLegalLoopholeonWorkers.” BESTUUR, Vol. 10 No. 1 (2022). Hlm. 57-67.

Lain-lain dari Internet

Boquen, Antoine. “Indefinite Contract vs. Fixed-Term: Which to Choose?” https://nhglobalpartners.com/indefinite-contract-permanent-contract/. Diakses 30 Oktober 2022.

Boquen, Antoine. “What Is a Fixed-Term Employment Contract? (Definition, Pros & Cons).” https://nhglobalpartners.com/fixed-term-employment-contract/. Diakses 30 Oktober 2022.

Clement, Seyi. “Uber BV and others -v- Aslam and others [2021] UKSC 5.” https://www.augustineclement.com/uber-bv-and-others-v-aslam-and-others2021-uksc-5/. Diakses 27 Oktober 2022.

Croner-i. “Employment Law in France: In-depth.” https://app.croneri.co.uk/topics/employment-law-france/indepth. Diakses 30 Oktober 2022.

44

CEDEFOP.

“Professionalisation contract,” https://www.cedefop.europa.eu/en/tools/apprenticeship-schemes/schemefiches/professionalisation-contract. Diakses 30 Oktober 2022.

Dewi, Intan Rakhmayanti. “Driver Ojol Protes, Potongan Aplikator di Atas 15%.” https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220926132520-37-374978/driver-ojolprotes-potongan-aplikator-di-atas-15. Diakses 29 Oktober 2022.

EspaceCSSCT.“Codedutravail.”https://www.espace-cssct.fr/dispositifs-cssct/code-dutravail/. Diakses 30 Oktober 2022.

Hadi, Abdul. “Mengenal 'Gig Economy': Dunia Kerja Baru yang Rentan Eksploitasi.” https://tirto.id/mengenal-gig-economy-dunia-kerja-baru-yang-rentan-eksploitasieqxU. Diakses 27 Oktober 2022.

Haktivah. “Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja beserta Sifatnya.” https://www.kompasiana. Diakses 25 Oktober 2022.

International Labour Organization. “Non-standard forms of employment.” https://www.ilo.org/global/topics/non-standard-employment/lang en/index.htm#:~:text=They%20include%20temporary%20employment%3B%20 part,employment%20and%20dependent%20self%2Demployment. Diakses 27 Oktober 2022.

Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. “Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja.” https://jdih.kemnaker.go.id/berita-hubungan-kerja-danpemutusan-hubungankerja.html#:~:text=Hubungan%20kerja%20adalah%20hubungan%20. Diakses 29 Oktober 2022.

Lexology. “Gig economy workers: the UK Supreme Court rules.” https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=d2cf01d5-4deb-47a9-917dc00733fcac38. Diakses 7 November 2022.

Lutkevich, Ben. “Gig Economy.” https://www.techtarget.com/whatis/definition/gigeconomy. Diakses 28 Oktober 2022.

Marie Laure Troadec. “A Complete Guide to Employment & Labor Laws in France.” https://nhglobalpartners.com/employment-law-in-france/. Diakses 30 Oktober 2022.

Norton Rose Fulbright. “Doing business in the gig economy: A global guide for employers.” https://www.nortonrosefulbright.com/enfr/knowledge/publications/87afaec5/doing-business-in-the-gig-economy-aglobal-guide-for-employers. Diakses 7 November 2022.

Oxford. “gig economy.” https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/gigeconomy#:~:text=%2F%CB%88%C9%A1%C9%AA%C9%A1%20%C9%AAk %C9%91%CB%90n%C9%99mi%2F,subjected%20to%20last%2Dminute%20s cheduling. Diakses 18 November 2022.

Pebrianto, Fajar. “Jumlah Freelancer Melonjak 4,32 Juta Orang, Kominfo: Karir Ini Sedang Berkembang.” https://bisnis.tempo.co/read/1403763/jumlah-freelancermelonjak-432-juta-orang-kominfo-karir-ini-sedang-berkembang. Diakses 7 November 2022.

Pokrol, Si. ““Civil Law dan Common Law, Temukan Bedanya di Sini.” Civil Law dan Common Law, Temukan Bedanya di Sini (hukumonline.com). Diakses 2 Oktober 2022.

Republik Perancis. “Le droit du travail.” https://code.travail.gouv.fr/droit-du-travail Diakses 30 Oktober 2022.

45

Republik Perancis. “Permanent contract.” https://www.welcometofrance.com/en/fiche/permanent-contract. Diakses 30 Oktober 2022.

Smythe, Polly. “Deliveroo Thinks France Has the ‘Most Progressive’ Gig Economy. Deliveroo Has Been Fined for Workers’ Rights Abuses in France.” https://novaramedia.com/2022/10/01/deliveroo-thinks-france-has-the-mostprogressive-gig-economy-deliveroo-has-been-fined-for-workers-rights-abusesin-france/. Diakses 30 Oktober 2022.

The Investopedia Team. “Independent Contractor: Definition, How Taxes Work, and Example.” https://www.investopedia.com/terms/i/independent-contractor.asp. Diakses 7 November 2022.

Toh,Amos.“US‘FlexibleWork’BillWouldSpellDisasterforRightsinGigEconomy.” https://www.hrw.org/news/2022/08/11/us-flexible-work-bill-would-spelldisaster-rights-gig-economy. Diakses 29 Oktober 2022.

Whitehead, Gabrielle Pickard. “The History and Future of the Gig Economy.” https://smallbiztrends.com/2019/11/the-history-and-future-of-the-gigeconomy.html. Diakses 27 Oktober 2022.

Wibowo, Imas Hadi. “Status Hubungan Pengojek dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek.” Status Hubungan Pengojek dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek - Klinik Hukumonline. Diakses 20 Oktober 2022.

Wood, Laurence Harvey, dan Paul Whinder, “Digital Platform Workers in EuropeRecent Developments.” https://www.seyfarth.com/news-insights/digitalplatform-workers-in-europe-recent-developments.html. Diakses 30 Oktober 2022.

Zerbib, Déborah. “The different types of employment contracts in France,” https://www.cabinet-roche.com/en/the-different-types-of-employment-contractsin-france/. Diakses 30 Oktober 2022.

46

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.