23 minute read

TERHADAP KONSEP MALA IN SE DALAM HUKUM PIDANA

Pertimbangan Hakim a) Hakim tidak sependapat dengan

Jaksa mengenai beratnya pidana penjara yang dituntut yakni 3 tahun penjara karena dirasa telah mencederai rasa keadilan dan menyimpang dari tujuan pemidanaan; b) Terdakwa bersikap sopan di persidangan; c) Terdakwa tidak mempersulit jalannya persidangan; dan d) Terdakwa menyesali perbuatannya. a) Terdakwa mampu bertanggung jawab maka dapat dikenakan pidana; b) Perbuatan Terdakwa merugikan

Advertisement

Saksi Korban; c) perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat; d) Terdakwa bersikap sopan; e) Terdakwa mengakui segala perbuatannya tersebut; f) Antara Terdakwa dengan saksi korban sudah ada perdamaian; g) Terdakwa belum pernah dihukum.

Tabel 1. Perbandingan Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns dan Putusan No. 452/Pid.B/PN.Gns Dalam Hukum Pidana Islam, pencurian dapat dihukum dengan had dan ta’zir. Pencurian yang dapat dihukum dengan had adalah pencurian yang telah memenuhi seluruh unsur-unsur pencurian dan hukumannya adalah potong tangan, sedangkan pencurian yang diancam dengan ta’zir adalah pencurian yang tidak lengkap atau tidak terpenuhi seluruh unsur pencurian sebagaimana yang dapat diancam dengan had. 99 Abdul Qadir Audah membedakan pencurian menjadi pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil adalah pengambilan harta kekayaan yang tidak diketahui oleh korban dan dilakukan tanpa izin atau diam-diam. Unsur-unsur dalam pencurian kecil ini harus dipenuhi secara kumulatif, kalau ada satu unsur yang tidak terpenuhi maka tidak termasuk dalam pencurian kecil. Jika seseorang mencuri harta benda dari sebuah rumah dengan diketahui oleh si pemilik rumah (korban) dan tidak ada kekerasan dan kekuatan fisik maka tidak termasuk pencurian kecil, tetapi penjarahan. Begitu pula dengan seseorang yang merebut harta orang lain disebut dengan pemalakan atau perampasan, bukan termasuk kedalam pencurian kecil. Penjarahan, pemalakan, dan perampasan, semuanya masuk ke dalam lingkup pencurian, tetapi tindak pidana tersebut tidak dikenakan hukuman had melainkan dikenai hukuman ta’zir. 100

99 Sekar Resti Fauzi dan Fery Dona, “Penyidikan Tindak Pidana Pencurian di Polres Purworejo,” Jurnal AlHakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Studi Syariah, Hukum dan Filantropi,” Vol. 4 No. 1, ( May 2022), hlm. 56. 100 Ibid. hlm. 57-58 Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Dari putusan-putusan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat disparitas putusan walaupun tindak pidana yang dilakukan adalah sama dan berbarengan. Dalam putusannya Hakim juga telah menyebutkan pertimbangan-pertimbangan dari keadaan yang terjadi dan keadaan terdakwa. Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Islam, penjatuhan hukuman oleh Hakim dapat dikatakan sudah tepat, karena pencurian dengan ancaman kekerasan maupun pencurian dengan kekerasan bukanlah termasuk pencurian kecil yang hukumannya adalah had, melainkan pencurian yang hukumannya dijatuhi dengan hukuman ta’zir, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Qadir Audah. Dalam putusan Hakim tersebut, Hakim menggunakan asas keseimbangan dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan kepada kedua terdakwa. Berdasarkan asas keseimbangan, sebuah asas dasar dalam pemidanaan di hukum pidana Islam, seorang pelaku kejahatan dapat dihukum seimbang dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Asas tersebut memperhatikan kondisi pelaku dalam melakukan tindak pidana, kondisi korban dari tindak pidana yang dilakukannya, serta kondisi ketika pelaku akan menjalani hukumannya. Dalam menjatuhkan putusan, Hakim menggunakan asas keseimbangan sebagai salah satu unsur bersama dengan pemenuhan pasal pidana, alat bukti dan pembuktian, alasanalasan pemberat dan peringan, fakta-fakta persidangan, serta tingkah laku terdakwa selama persidangan. Kedepannya para Hakim dapat menggunakan asas keseimbangan yang dikenal dalam Hukum Pidana Islam dalam menjatuhkan putusan sebagai salah satu dasar pertimbangan.

III. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa disparitas putusan yang dilakukan oleh Hakim merupakan hal yang umum terjadi dalam praktik dan merupakan suatu wajar. Hal ini dikarenakan Hakim menggunakan asas keseimbangan yang dikenal dalam hukum pidana Islam dimana Hakim memperhatikan kondisi pelaku dalam melakukan tindak pidana, kondisi korban dari tindak pidana yang dilakukannya, serta kondisi ketika pelaku akan menjalani hukumannya. Berbeda dengan hukum pidana barat yang menunjukkan pemidanaan sebagai fokus pembalasan dan fokus pencapaian tujuan tertentu, hukum pidana Islam menunjukkan pemidanaan sebagai pembalasan, pencegahan, pemulihan/perbaikan, restorasi, dan penebusan dosa. Perbedaan utama terletak dalam aspek penebusan dosa dikarenakan hukum Islam bersifat ukhrawi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan &Ajaran Kausalitas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet. 4. Jakarta:Rineka Cipta, 2019. Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya AtmaPustaka, 2014. Komisi Yudisial. Disparitas Putusan Hakim (Identifikasi dan Implikasi). Jakarta: Komisi Yudisial, 2014. Majid, Mahmood Zuhdi Abdul. Bidang Kuasa Jenayah Mahkamah Syari`ahdi Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001. Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Penerbit Alumni 1992. Pangaribuan, Aristo M. A., Arsa Mufti dan Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidanadi Indonesia. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020. Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2016. Santoso, Topo. Hukum Pidana Suatu Pengantar. Cet. 1. Jakarta: Rajawali Pers, 2020. Shabbir, Mohammad. Outlines of Criminal Law and Justice in Islam. Selangor Darul Ihsan: International Law Book Services, 2002. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994.

Jurnal dan Artikel

Fauzi, Sekar Resti dan Fery Dona, “Penyidikan Tindak Pidana Pencurian di Polres Purworejo,” Jurnal Al-Hakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Studi Syariah, Hukum dan Filantropi,” Vol. 4 No. 1, ( May 2022), hlm. 43-64. Gulo, Nimerodi dan Ade Kurniawan M. “Disparitas dalam Penjatuhan Pidana” MasalahMasalah Hukum 47 (Juli 2018). Hlm. 215-227. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

Pidato

Harkrisnowo, Harkristuti. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan TerhadapProses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi Pada Upacara Pengukuahan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia. Depok, 2003.

Kitab Suci

Al Qur’an. diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1984.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN1981/76; TLN NO. 3209 Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LNNo. 157Tahun 2009, TLN No. 5076. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. DiterjemahkanolehMoeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita,1976.

Mubarok, Nafi. “Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional dan Fiqh Jinayah”. Al-Qānūn 18 (Desember 2015) Hlm. 298-323 Nugorho, Wahyu. “Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian DenganPemberatan Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor1055/Pid.B/2007/PN.Smg” Jurnal Yudisial 5. (2012). Hlm. 261-282. Nurahman, Adiansyah dan Eko Soponyono. “Asas Keseimbangan dalamRancanganKitab Undang-Undang Hukum Pidana Sebagai Upaya Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkeadilan”. Pandecta 13 (Desember 2019). Hlm. 100-106. Ocktoberrinsyah. “Tujuan Pemidanaan dalam Islam” In Right Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia 1 (2011). Hlm. 21-38. Ramadhani, Suci Kurnia. “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan (Studi di Pengadilan Negeri Sidoarjo)” (2013). Hlm. 1-15.

Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Putusan No. 127/Pid.B/2015/PN.Gns. Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Putusan No. 452/Pid.B/2013/PN.Gns.

Website

Togar S.M. Sijabat, “Disparitas Putusan Hakim dalam Perkara Narkotika,”https://www.hukumonline.com/klinik/a/disparitas-putusan-hakimdalam-perkara-narkotika lt5705da9c9e32d, diakses 5 Mei 2022.

BIODATA PENULIS

Muhammad Radithya Shinhadrian Ali lahir di Pekanbaru, 5 Oktober 2002. Ia telah menempuh pendidikannya di SMPN 4 Pekanbaru dan SMAN Plus Provinsi Riau. Kini, ia sedang berkuliah S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Kelekatan Sifat Jahat dengan Suatu Perbuatan: Kajian Teoritis terhadap Konsep Mala In Se dalam Hukum Pidana Muhammad Hanif Fajar Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 Korespondensi: haniffajar300@gmail.com

Abstrak

Dalam hukum pidana, terdapat konsep mala in se dan mala prohibita. Mala in se merupakan perbuatan-perbuatan yang secara kodratiah memiliki sifat jahat, sedangkan mala prohibita merupakan perbuatan yang dianggap jahat setelah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bagaimana suatu perbuatan dapat dianggap memiliki kualifikasi mala in se. Penelitian dilakukan dengan metode doktriner melalui studi pustaka terhadap data sekunder yang berkaitan dengan pemikiran doktrinal mengenai konsep mala in se dan mala prohibita. Penelitian ini menemukan bahwa mala in se berlaku pada masyarakat-masyarakat secara individual berdasarkan mores dan tidak berlaku secara universal.

Kata kunci: mala in se, mala prohibita, kejahatan, mores.

Abstract

In the theory of criminal law, there is the concept of mala in se and mala prohibita. Mala in se are acts that are inherently evil, while mala prohibita are acts that are considered evil after being stated in the laws and regulations. The purpose of this study is to find out how an act is considered to have the qualification of mala in se. The research was conducted using the doctrinal method through literature study of secondary data related to doctrinal thinking regarding the concept of mala in se and mala prohibita. This study found that mala in se applies to individual societies based on mores and does not apply universally.

Keywords: mala in se, mala prohibita, felonies, mores.

101 Pusat Informasi Kriminalitas Nasional Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, ”Jurnal Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri Edisi Tahun 2021,” Jurnal Tahunan Pusiknas Bareskrim Polri (2021), hlm. 94. 102 Ibid., hlm. 157. 103 Piers Beirne dan James W. Messerschmidt, Criminology: A Sociological Approach,(Oxford: Oxford University Press, 2015), hlm. 15-16. 104 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New Brunswick: Transaction Publishers, 2006), hlm.51. 105 Ibid., hlm. 52. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

I. PENDAHULUAN

“Peraturan diciptakan untuk dilanggar”. Demikianlah ungkapan yang telah menjadi kredo dalam kehidupan masyarakat. Ungkapan tersebut seolah menjustifikasi tindakantindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh manusia. Meski demikian, tatkala kenyataan mengenai jumlah kasus pelanggaran yang terjadi di Indonesia ditelusuri, dapat terungkap sebuah temuan yang menarik. Berdasarkan Jurnal Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri Edisi Tahun 2021, pada tahun 2021, terjadi sebanyak 2.115.244 kasus pelanggaran lalu lintas.101 Sedangkan, pada tahun yang sama, kasus pembunuhan terjadi sebanyak 1.074 kali.102 Meskipun kasus pembunuhan terjadi dalam jumlah yang besar, jumlah tersebut tampak kecil sekali ketika dibandingkan dengan jumlah kasus pelanggaran lalu lintas yang demikian masifnya. Dengan demikian, tampak seolah-olah ungkapan “Peraturan diciptakan untuk dilanggar” hanya berlaku untuk peraturan yang melarang tindakan yang, terbilang, ringan, seperti peraturan lalu lintas. Ungkapan tersebut seakan tidak berlaku terhadap peraturan yang melarang tindakan semacam pembunuhan. Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan: mengapa ada tindakan-tindakan yang, meskipun sudah dilarang, tetap dilakukan? Sedangkan, ada tindakan-tindakan yang meskipun tidak dilarang, tidak akan dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijelaskan dengan menelusuri konsep mala in se dan mala prohibita. Dalam ilmu hukum pidana, terdapat konsep yang mengkategorikan perbuatan jahat, yaitu mala in se dan mala prohibita. 103 Mala in se merupakan perbuatan yang, dengan sendirinya, jahat (jahat secara kodratiah).104 Sedangkan, mala prohibita merupakan perbuatan yang jahat, hanya karena ia dilarang oleh hukum positif.105

Mala in se meliputi perbuatan-perbuatan seperti pembunuhan dan perkosaan. Tentunya, masyarakat umum akan berpikir bahwa pembunuhan dan perkosaan merupakan perbuatan yang jahat dan memang jahat; tidak perlu diketahui dan ditelusuri, mengapa ia jahat. Meski begitu, muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimanakah sebuah perbuatan dapat dianggap jahat dan pihak apakah yang menetapkan bahwa suatu perbuatan

itu jahat. Dua pertanyaan tersebut akan menjadi tema utama dari tulisan ini. Tulisan ini mengajukan bahwa mala in se merupakan hal yang terlokalisasi. Mala in se berlaku pada masyarakat-masyarakat secara individual dan tidak berlaku secara universal. Di Indonesia, tidak banyak ditemukan penelitian-penelitian yang membahas mengenai mala in se dan mala prohibita. Dalam sedikit penelitian tersebut pun, hal yang dibahas adalah mala in se dan mala prohibita serta kaitannya dengan konsep lain. Pada penelitian ini, mala in se akan dibahas secara khusus demi mengetahui bagaimanakah suatu perbuatan dapat dianggap jahat. Penelitian ini bertujuan untuk menyelami konsep mala in se dan menerangkan mengenai status kejahatan yang dimiliki sebuah perbuatan. Untuk mewujudkan tujuan itu, artikel ini akan disusun sebagai berikut. Pada bab Isi, pertama-tama akan dipaparkan mengenai pemikiran-pemikiran para pemikir hukum perihal doktrin mala in se-mala prohibita. Kemudian, akan dijelaskan mengenai sejumlah konsep yang terdapat dalam bidang ilmu sosiologi yang berkaitan dengan konsep mala in se, yaitu konsep folkways, mores, dan tabu. Terakhir, akan dilakukan penghubungan antara pemikiran doktrinal, yang telah dipaparkan di awal, dengan konsep-konsep sosiologis tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah. Pada bab Penutup, akan dituliskan kesimpulan yang telah didapatkan dari penelitian ini.

II. ISI

Pada dasarnya, konsep mala in se-mala prohibita merupakan konsep yang telah mulai terbentuk, setidak-tidaknya, sejak zaman Aristoteles. Dalam bukunya, Ethica Nicomachea, Aristoteles menggariskan perbedaan yang terdapat di antara the “natural” (hal yang “alami”) dan the “conventional” (hal yang “konvensional”) sebagai berikut: ”That is natural which has the same validity everywhere, and does not depend on our accepting or rejecting it; that is conventional which at the outset may be determined in this way or in that indiferrently, but which when once determined is no longer indifferent.” 106

Mengacu pada definisi tersebut, konsep “hal yang alami” merupakan hal-hal yang memiliki keberlakuan yang sama di tempat mana pun. Sedangkan, konsep “hal yang konvensional” merupakan hal-hal yang, sesungguhnya, merupakan hal yang dianggap tidak berbeda dengan hal lainnya, tetapi, ketika ditetapkan, menjadi dianggap berbeda.107 Tatkala definisi mala in se dan mala prohibita ditinjau kembali, dapat dimengerti bahwa mala in se dan mala prohibita merupakan bentuk aplikasi dari konsep “hal yang alami” dan “hal yang konvensional” terhadap ilmu hukum pidana. mala in se merupakan hal yang secara alami dianggap jahat, sedangkan mala prohibita merupakan hal yang dianggap jahat berdasarkan konvensi. Beragam pemikir hukum telah lama berseteru mengenai doktrin mala in se-mala prohibita. Di satu sisi, pemikir seperti William Blackstone percaya bahwa terdapat kejahatan-kejahatan yang salah secara kodratiah.108 Di sisi lain, pemikir pemikir seperti Jeremy Bentham, Hans Kelsen, dan Jerome Hall memercayai bahwa pembedaan antara kejahatan yang salah secara kodratiah dengan kejahatan yang salah karena terdapat peraturan yang melarang mereka adalah sebuah omong kosong.109 Blackstone merupakan pemikir yang pertama kali menanamkan doktrin mala in semala prohibita ke dalam yurisprudensi Inggris.110 Dalam buku Commentaries on the Laws of England in Four Books, Blackstone menyatakan perbedaan yang terdapat di antara mala in se dan mala prohibita sebagai berikut: “Neither do divine or natural duties (such as, for instance, the worship of God,

106 Aristoteles, The Nichomachean Ethics, diterjemahkan oleh F. H. Peters, M.A., (London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co., Ltd., 1906), hlm. 163. 107 Ibid. 108 Richard L. Gray, Eliminating the (Absurd) Distinction between Malum In Se and Malum Prohibitum Crimes, Washington University Law Quarterly, Vol. 73 (1995), hlm. 1376. 109 Ibid. 110 Ibid., hlm. 1375. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

the maintenance of children, and the like) receive any stronger sanction from being also declared to be duties by the law of the land. The case is the same as to crimes and misdemeanors, that are forbidden by the superior laws, and therefore styled mala in se, such as murder, theft, and perjury; which contract no additional turpitude from being declared unlawful by the inferior legislature. For that legislature in all these cases acts only, as was before observed, in subordination to the great law-giver, transcribing and publishing his precepts. So that, upon the whole, the declaratory part of the municipal law has no force or operation at all, with regard to actions that are naturally and intrinsically right or wrong. ”111 Blackstone menyatakan bahwa kejahatan yang berkualifikasi mala in se adalah jahat secara kodratiah dan tidak dipengaruhi sama sekali tingkat kejahatannya oleh dinyatakannya ia dalam peraturan perundangan-undangan. Lebih jauh lagi, Blackstone berkata bahwa dalam hal mala in se, manusia terikat oleh hati nuraninya.112 Dapat dipahami bahwa mala in se juga menyalahi moral. Tidak lama setelah buku Commentaries on the Laws of England in Four Books diterbitkan, Jeremy Bentham membuat sebuah buku sebagai balasan, yaitu buku A Comment on the Commentaries. Dalam buku tersebut, Bentham memberikan tanggapannya terhadap distingsi mala in se-mala prohibita yang dituliskan oleh Blackstone. “[Blackstone’s presentation of mala in se] is the first occasion of our hearing of the acute distinction between mala in se, and mala prohibita: which being so shrewd, and sounding so pretty, and being in Latin, has no sort of occasion to have any meaning to it: accordingly it has none.”113 Bentham, dengan ringannya, menyatakan bahwa perbedaan antara mala in se dan mala prohibita tidaklah memiliki arti; sebuah omong kosong. Dengan demikian, dapatlah terlihat, dua pandangan mengenai doktrin mala in se-mala prohibita: pandangan yang mendukungnya dan pandangan yang menolaknya. Pandangan yang menolak doktrin mala in se-mala prohibita terus berkembang. Pada 1941, Jerome Hall mempublikasikan artikel Prolegomena to a Science of Criminal Law. Hall menganggap bahwa pembedaan antara mala in se dan mala prohibita yang digariskan oleh Blackstone merupakan sebuah rintangan yang telah mencegah konstruksi dari sosiologi hukum pidana.114 Hall berargumen bahwa, selama sebuah kepentingan publik membutuhkan regulasi yang dapat mengaturnya, regulasi tersebut tidaklah bersifat konvensional.115 Hall mengilustrasikan argumen tersebut dengan skenario berikut: dalam

111 William Blackstone, Commentaries on the Laws of England in Four Books, (Philadelphia: J.B. Lippincott Co., 1893), hlm. 54-55. 112 Ibid., hlm. 56. 113 Richard L. Gray, Eliminating, hlm. 1376. 114 Jerome Hall, Prolegomena To A Science Of Criminal Law, University of Pennsylvania Law Review And American Law Register Vol. 89 (Maret 1941), hlm. 563. 115 Ibid., hlm. 564. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

116 Ibid. 117 Ibid. 118 Ibid. 119 Ibid. 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Ibid. 123 Ibid. 124 Ibid. 125 Richard L. Gray, Eliminating, hlm. 1394. 126 Ibid., hlm. 1396. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

konteks doktrin mala in se-mala prohibita, peraturan lalu lintas hanyalah sebatas peraturan konvensional.116 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa pengemudi di Inggris mengendarai kendaraannya di sisi kiri, sedangkan pengemudi di Amerika Serikat berkendara di sisi kanan.117 Dengan demikian, esensi dari peraturan lalu lintas adalah untuk mengatur lalu lintas.118 Peraturan-peraturan lalu lintas mungkin tidak ada di Gurun Sahara, tetapi, pada kota-kota yang memiliki lalu lintas, peraturan-peraturan tersebut sangatlah dibutuhkan.119 Oleh karena itu, menurut Hall, peraturan lalu lintas tidak seharusnya dianggap sebagai peraturan yang konvensional karena masyarakat pada sebuah kota yang menyokong lalu lintas jelas-jelas membutuhkannya. maka tindakan tersebut bukanlah malum dalam arti hukum; bukan delik.120 Dengan demikian, tidak ada mala in se; hanya ada mala prohibita. 121 Hal tersebut terjadi karena sebuah tindakan merupakan malum apabila ia prohibitum. 122 Menurut Kelsen, hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege. 123 Tidak terdapat sanksi tanpa adanya peraturan hukum yang mengatur sanksi tersebut, tidak terdapat delik tanpa adanya peraturan hukum yang menentukan delik tersebut.124 Berkaitan dengan pandangan Kelsen, Richard Gray memiliki pandangan yang serupa. Dalam artikel Eliminating the (Absurd) Distinction between Malum In Se and Malum Prohibitum Crimes, Gray mencoba untuk meruntuhkan dinding—yang menurutnya absurd—yang membedakan kejahatan mala in se dengan kejahatan mala prohibita. Bagi Gray, dalam penegakan hukum pidana, sama sekali tidak perlu ditentukan, apakah sebuah kejahatan merupakan mala in se atau mala prohibita. 125 Hal tersebut demikian karena legislator seharusnya sudah menginkorporasikan kehendak dan pandangan moral masyarakat ke dalam peraturan perundang-undangan pada tahap perumusannya.126 Sistem moral dan sistem hukum merupakan dua sistem pengaturan tingkah laku manusia yang berbeda; sistem moral mengatur tingkah laku manusia secara internal melalui mekanisme sosial yang bersifat informal, sedangkan sistem hukum mengatur tingkah laku

127 Ibid., hlm. 1394. 128 Ibid., hlm. 1394—1395. 129 Ibid., hlm. 1396. 130 Ibid. 131 Ibid. 132 Ibid. 133 Ibid., hlm. 1398. 134 Ibid. 135 Jeremy Bentham, The Works of Jeremy Bentham, vol. 1, (Edinburgh: William Tait, 1843). Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

manusia secara eksternal melalui mekanisme sosial yang bersifat formal.127 Kedua sistem tersebut bersinggungan pada arena pembentukan hukum, di mana perundingan legislatif sedapat mungkin harus melibatkan masyarakat untuk memastikan bahwa kehendak moral publik dapat diikuti.128 Gray berargumen bahwa, ketika membahas mengenai larangan-larangan yang didasarkan oleh sebuah peraturan, tidak ada alasan untuk menelusuri latar belakang yang mendasari pelarangan tersebut; hanya perlu diketahui bahwa tindakan tersebut telah dilarang, atau, dengan kata lain, “melawan hukum.”129 Pada saat hakim mengetahui bahwa suatu tindakan adalah melawan hukum, dia telah memiliki seluruh informasi yang diperlukan untuk menentukan apakah suatu peraturan telah dilanggar.130 Dia tidak perlu menganalisis sifat mala in se atau mala prohibita yang melekat pada peraturan tersebut.131 Tatkala sebuah undang-undang telah disahkan dan diundangkan, kesempatan untuk membicarakan moralitas telah lewat; hukum telah diundangkan dan manusia hanya perlu menerapkannya.132 Melalui pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa ketika membicarakan peraturan mengenai larangan, Gray sama sekali tidak mempertimbangkan latar belakang pembentukannya. Ia hanya peduli bahwa peraturan tersebut telah diundangkan. Gray menganggap bahwa seluruh tindakan yang melanggar hukum, mulai dari pembunuhan hingga penerobosan lampu lalu lintas, harus dipandang secara seragam dan dalam derajat yang sama.133 Hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa hanya terdapat dua kemungkinan: (1) hukum adalah hukum karena ia melarang tindakan yang, secara inheren, melawan moral, atau (2) hukum adalah hukum karena ia melarang tindakan yang dapat menghambat sebuah masyarakat untuk berjalan dengan efektif.134 Dengan demikian, dalam pemahaman Gray, mala in se dan mala prohibita tidak dapat berkoeksistensi. Hanya satu yang boleh ada: mala in se atau mala prohibita. Tidak keduanya. Selanjutnya, Bentham berpendapat bahwa mala in se memiliki sifat tetap dan universal.135 Di tempat mana pun, mala in se adalah salah secara moral dan dilarang oleh

136 Ibid. 137 Case Western Reserve University, “What is Sociology?” https://sociology.case.edu/what-is-sociology/, diakses 9 September 2022. 138 William Graham Sumner, Folkways: A Study of The Sociological Importance of Usages, Manners, Customs, Mores, and Morals, (Boston: Ginn & Company, 1907), hlm. 2-3 139 Ibid., hlm. 3. 140 Ibid. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

undang undang.

136 Dapat terlihat bahwa terdapat satu hal yang membedakan pengertian dari mala in se yang dimiliki oleh Bentham dengan pemikir lainnya, yaitu, menurut Bentham, mala in se juga selalu dilarang dalam undang-undang. Terhadap pengertian tersebut, langsung muncul permasalahan yang telah ditemui sejak awal: hukum positif yang berbeda mengatur mengenai perbuatan yang berbeda pula. Melalui pemaparan mengenai bermacam pemikiran doktriner di atas, dapat diidentifikasi masalah yang terdapat pada doktrin mala in se-mala prohibita: seharusnya, doktrin mala in se-mala prohibita berlaku universal, tetapi kenyataannya tidaklah demikian: setiap masyarakat berbeda yang hidup pada waktu dan tempat yang berbeda, juga memiliki hukum positif yang berbeda. Berdasarkan ilustrasi yang dikemukakan oleh Hall, di mana peraturan-peraturan lalu lintas mungkin tidak ada di Gurun Sahara, tetapi, pada kota-kota yang memiliki lalu lintas, peraturan-peraturan tersebut sudah pasti ada, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan suatu peraturan sejatinya bergantung sepenuhnya kepada masyarakat tempat peraturan tersebut berasal. Pada titik ini, bahasan mengenai mala in se dan mala prohibita sudah meluas. Tidak hanya dalam bidang keilmuan ilmu hukum, bahasan ini mulai merambah bidang keilmuan ilmu sosiologi yang mempelajari mengenai kehidupan sosial, perubahan sosial, serta penyebab dan konsekuensi sosial dari tingkah laku manusia.137 Dalam ilmu sosiologi, terdapat sejumlah konsep yang memiliki kaitan dengan bahasan mala in se dan mala prohibita, yaitu konsep folkways, mores, dan tabu. Konsep folkways dan mores pertama kali dikemukakan oleh William Graham Sumner. Mores merupakan hal yang melekat dengan folkways sehingga perlu dipahami konsep folkways terlebih dahulu sebelum konsep mores diselami. Folkways merupakan tata cara dalam memenuhi kebutuhan manusia yang berkembang dalam sebuah masyarakat.138 Folkways tercipta melalui pengulangan berkala dari tindakan-tindakan kecil oleh banyak orang dalam suatu masyarakat dalam memenuhi suatu kebutuhan.139 Tindakan-tindakan kecil tersebut kemudian menjadi kebiasaan pada anggota-anggota individual serta masyarakat tersebut.140 Perlu diketahui bahwa tindakan-tindakan tersebut menjadi kebiasaan secara tanpa

141 Ibid. 142 Ibid. 143 Ibid., hlm. 4. 144 Ibid. 145 Ibid., hlm. 19. 146 Ibid. 147 Ibid. 148 Ibid., hlm. 20. 149 Ibid., hlm. 5. 150 Ibid. 151 Ibid. 152 Ibid. 153 Ibid., hlm. 6. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

disadari. 141 Sangat penting untuk mengetahui bahwa seluruh tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya, dilakukan secara berdiri sendiri dan tidak memiliki tujuan lain selain dari terpenuhinya kebutuhan tersebut.142 Anggota-anggota masyarakat tidak akan langsung menyadari bahwa sejumlah tindakan yang menjadi kebiasaan tersebut telah menjadi folkways. 143 Dengan demikian, folkways tidak terbentuk oleh akal atau pikiran manusia, tetapi, terbentuk dari insting alami yang manusia lancarkan secara tidak sadar.144 Menurut Sumner, folkways terbentuk atas “pikiran komunal” dari sebuah masyarakat yang terpisah dari pikiran-pikiran anggota-anggota yang membentuknya.145 Pikiran komunal tersebut membentuk ide-ide yang kemudian berpindah dari pikiran satu ke pikiran lain.146 Seiring waktu, ide-ide baru muncul dan bercampur dengan ide-ide yang telah ada.147 Sumner mendeskripsikan cara pikiran komunal tersebut bekerja sebagai berikut: terdapat kooperasi dan sugesti konstan yang beroperasi dalam masyarakat yang mengkonsentrasikan hal-hal yang tersebar, memverifikasi dan mengkoreksi ide yang telah tercipta, manghapuskan kesalahan yang terdapat dalam ide-ide tersebut, dan memadukan serta mengkonstruksikan ide-ide tersebut.148 Karena folkways merupakan cara-cara yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan, folkways selalu bergantung dan beradaptasi kepada kebutuhan yang mereka penuhi.149 Tidak jarang terjadi, bahwa folkways belum dapat beradaptasi dengan sempurna terhadap kebutuhannya, sehingga menimbulkan kegagalan.150 Kegagalan tersebut menggerakkan manusia untuk terus maju dan belajar.151 Dengan demikian, folkways: (a) akan terus berkembang untuk menghasilkan cara yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan, dan (b) konsisten dengan satu sama lain.152 Dalam sejarah manusia, setiap peradaban memiliki folkways yang berbeda dengan satu sama lain, tetapi, terdapat konsistensi perihal elemenelemen yang terkandung di dalamnya: mereka memiliki filsafat masing-masing, mores masing-masing, bentuk industri masing-masing.153 Meskipun dalam bentuk yang berbeda,

154 Ibid., hlm. 27. 155 Ibid., hlm. 28. 156 Ibid. 157 Ibid. 158 Ibid. 159 Ibid. 160 Ibid. 161 Ibid., hlm. 30. 162 Ibid. 163 Ibid. 164 Ibid., hlm. 59. 165 Ibid., hlm. 30. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

elemen-elemen yang sama dalam folkways dapat, secara konsisten, ditemukan dalam peradaban-peradaban berbeda

Folkways memiliki dua karakteristik khusus, yaitu tepat dan benar.154 Perihal bagaimana manusia menemukan hal yang tepat dan benar tersebut, Sumner memberikan ilustrasi sebagai berikut: tatkala seorang manusia memiliki keinginan untuk menangkap seekor hewan untuk dijadikan makanan, ia harus mengobservasi tingkah laku hewan tersebut serta menyiapkan metode dan perangkat yang tepat, sesuai dengan tingkah laku hewan tersebut.155 Apabila metode dan perangkat yang telah ia siapkan gagal untuk menangkap hewan tersebut, ia harus mencoba kembali sampai pada titik di mana observasinya “benar” dan metode serta perangkatnya “tepat”.156 Dengan demikian, elemenelemen yang terdapat pada folkways dibentuk oleh nalar wajar, akal, atau intuisi.157

Folkways merupakan cara-cara yang tepat untuk memenuhi segala kebutuhan.158 Terdapat cara yang tepat untuk menangkap hewan, untuk mengobati penyakit, dan untuk memperlakukan orang lain. Cara yang “tepat” merupakan cara yang digunakan oleh para leluhur dan diwariskan secara turun-temurun.159 Dengan demikian, menurut Sumner, segala hal yang berada dalam folkways merupakan hal yang tepat.160 Tatkala elemen ketepatan dan kebenaran dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan, folkways naik menuju tingkatan berikutnya.161 Pada tingkatan baru tersebut, folkways mendapat kemampuan untuk membuat ketetapan, berkembang, serta menyebarkan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat secara lebih luas.162 Tingkatan baru tersebut dikenal sebagai mores. 163 Mores merupakan cara-cara manusia memenuhi kebutuhannya yang berlaku pada waktu dan masyarakat tertentu.164 Sebagian besar dari mores terdiri atas tabu-tabu yang menunjukkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan sama sekali oleh manusia.165 Tabu mengandung larangan atas tindakantindakan yang—telah terbukti—menghasilkan hasil yang tidak diinginkan, seperti

296. 166 Ibid. 167 Ibid., hlm. 31. 168 Ibid. 169 Ibid. 170 Ibid. 171 Ibid. 172 Ibid. 173 Ibid., hlm. 39. 174 Ibid. 175 Ibid. 176 Ibid., hlm. 55. 177 Ibid. 178 Ibid. 179 Ibid. 180 Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (Stanford: Stanford University Press, 1983), hlm.

mengkonsumsi makanan beracun.166 Terdapat tabu yang melarang tindakan-tindakan yang akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat.167 Tabu berisikan pengetahuan yang terakumulasi selama bergenerasi-generasi.168 Pengetahuan tersebut ditemukan melalui rasa sakit, kematian, atau kemalangan lainnya.169 Lebih jauh, Sumner menjelaskan bahwa terapat dua jenis tabu: tabu yang protektif dan tabu yang destruktif.170 Tabu yang protektif bertujuan untuk melindungi dan memberikan keamanan kepada manusia.171 Sedangkan, tabu yang destruktif bertujuan untuk menghapuskan kejahatan dan mencegah manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain.172 Apabila terjadi perubahan terhadap kondisi kehidupan suatu masyarakat, mores masyarakat tersebut seharusnya ikut berubah mengikutinya.173 Mores bukanlah suatu hal yang kaku dan tidak dapat berubah; ia merupakan hal yang terus berkembang dan beradaptasi.174 Dengan demikian, dalam menilai sebuah mores, harus diperhatikan pula waktu dan tempat mores tersebut berasal.175 Masyarakat berbeda yang tinggal di tempat dan pada waktu yang berbeda, akan memiliki mores yang berbeda pula. Lebih lanjut, di atas mores, terdapat satu tingkatan lagi yang lebih tinggi, yaitu hukum.176 Hukum berasal dari mores. 177 Agar suatu produk legislasi dapat meraih validitas yang kuat, para legislator diharuskan untuk mendasarkan produk legislasi tersebut pada mores yang telah ada.178 Kemudian, peraturan mengenai larangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan berfungsi untuk menggantikan peran tabu yang ada pada mores. 179 Berkaitan dengan pembentukan hukum dari kenyataan yang berlaku dalam masyarakat, terdapat pendapat senada yang diajukan oleh Herbert Packer. Dalam buku The Limits of The Criminal Sanction, Packer berbicara mengenai pelanggaran moral dan kaitannya dengan pemberian sanksi pidana terhadapnya.180 Menurut

This article is from: