31 minute read

762/PID.B/2020/PN.JMB

60 Anjas Rinaldi Siregar dan Alif Fachrul Rachman, “Menolak Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP,” https://news.detik.com/kolom/d-6154614/m enolak-pasal-penghinaanpresiden-dalam-rkuhp, diakses 10 Agustus 2022. 61 Tempo, “BEM UI Rencanakan Lagi Demonstrasi Tolak Draf RUU KUHP,” https://nasional.tempo.co/read/1610850/bem-ui-rencanakan-lagi-demontrasi-tolak-draf-rkuhp, diakses 10 Agustus 2022.

setidak-tidaknya dapat membuka mata dan pikiran kita terhadap pentingnya limitasi supaya tidak ada lagi penghakiman yang semena-mena terhadap kritik yang dilontarkan oleh rakyat, yang belum tentu kritik tersebut memang mengandung indikasi penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, Pasal 218-220 RUU KUHP tidak seharusnya “dipersekusi” dengan narasi-narasi yang menggiring opini, seperti “menolak pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP,”60 “Draf RUU KUHP tidak mengakomodir tuntutan-tuntutan masyarakat,” “Draf RUU KUHP berisi pasal-pasal yang mengancam kebebasan berpendapat yang mengancam HAM dan demokrasi,”61 serta narasi-narasi serupa yang memberikankesanbahwadrafRUUKUHPseolah-olahtidakberpihak pada rakyat dan hanya mewakili kepentingan penguasa, khususnya melalui Pasal 218-220 RUU KUHP tersebut. Padahal, seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam menentukan suatu tindakan itu merupakan defamasi atau kritik belaka, dilibatkan pula ilmu linguistik forensik untuk menganalisis suatu pernyataan guna menentukan mens rea dari yang bersangkutan sehingga secara tidak langsung hal itu membatasi ruang gerak APH untuk menangkap orang-orang yang diduga telah melakukan penghinaan terhadap presiden. Sebab, dibutuhkan syarat-syarat untuk menentukan apakah seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana defamasi terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Dengan demikian, Pasal 218-220 RUU KUHP ini perlu dilihat dan disimak secara menyeluruh agar pesan yang ada di baliknya tersampaikan, yaitu memberi batasan kepada masyarakat supaya tetap memberi kritik yang membangun untuk pemerintah dan lebih memperhatikan tutur bahasa serta isi dalam menyampaikan kritik tersebut sehingga tidak dinilai sebagai defamasi.

Advertisement

Dengan demikian, kami, penulis, menyarankan bahwa Pasal-Pasal tersebut tetap dipertahankan eksistensinya di dalam RUU KUHP yang kelak akan diresmikan menjadi KUHP baru Indonesia. Dengan catatan, pelaksanaan Pasal ini pada praktiknya harus diiringi dengan perbaikan sikap dari APH. Hal ini menjadi syarat penting agar penegakan hukum berdasarkan Pasal ini dapat dilakukan sesuai dengan porsinya, supaya penerapannya pada kemudian hari dapat berjalan maksimal dan tidak terjadi hal-hal seperti yang telah terjadi di Turki akibat keberadaan Pasal yang serupa dalam KUHP Turki serta mengubur sisa-sisa model sanksi era Orde Baru yang cenderung otoriter.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan. Malang: Bayumedia Publishing, 2022. Hiariej, Eddy O. S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Ed. Rev. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016. Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Cet. 10. Bogor: Politeia, 1988.

Artikel/Jurnal

Ramdan, Ajie. “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RUU KUHP.” Jurnal Yudisial 13 (2020). Hlm. 245-266. Rindayani, Lilik Rita. et. al.. “Forensic Linguistics Study on Cases of Insulting President Joko Widodo in Social Media.” Journal of Positive School Psychology 6 (2022). Hlm. 11759-11768. UNHCR, Division of International Protection, Geneva. “Guidance Note on Refugee Claims Relating to Crimes of Lèse Majesté and Similar Criminal Offences.” International Journal of Refugee Law 27 (2015).

Harian

Mochtar, ZainalArifin. “Pasal Penghinaan, Hukum,dan Demokrasi.” Kompas, (13 Juli 2022). Hlm. 7. Hiariej, Eddy O. S. “Pelibatan Publik dan Dekolonisasi.” Kompas Digital, (28 Juli 2022).

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999. LN. No. 165. TLN No. 3886. Turki. Turkish Constitution of 1982. Turki. Turkish Criminal Code 1926.

Dokumen Internasional

Skripsi dan Disertasi

Wiratraman, Herlambang Perdana. “Press freedom, law and politics in Indonesia : a socio-legal study.” Disertasi Doktor Universitas Leiden. Leiden, Belanda, 2014. Veda,Justitia Avila. “Penerapan Pasal 134 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013).” Skripsi Universitas Indonesia. Depok, 2015.

Internet

Agustin, Hasyry. “4 Kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang Diproses Hukum.” https://www.hukumonline.com/berita/a/4-kasus-penghinaan -terhadappresiden-yang-diproses-hukum-lt571a2c098997e. Diakses 29 Juli 2022. Aljazeera. “Turkish journalist arrested for insulting President Erdogan.” https://www.aljazeera.com/news/2022/1/23/turkish-journalist-arrested-oncharge-of-insulting-erdogan. Diakses 30 Juli 2022. CRI. “Perkara Delik Penghinaan Presiden, Tak Perlu Menghadirkan Presiden.” https://www.hukumonline.com/berita/a/perkara-delik-penghinaanpresiden-tak-perlu-menghadirkan-presiden-hol15576?page=all. Diakses 29 Juli 2022. Deutsche Welle. “Turkey: Journalist Jailed on Suspicion of Insulting Erdogan.” https://www.dw.com/en/turkey-journalist-jailed-on-suspicion-of-insultingerdogan/a-60526786. Diakses 4 Agustus 2022. Djaman, Fachri. “Viral Foto Jokowi di Tiang Salib, Netizen: Penghinaan Agama Nasrani.”https://makassar.terkini.id/viral-foto-jokowi-di-tiang-salibnetizen-penghinaan-agama-nasrani/. Diakses 7 Agustus 2022.

Komisi Venesia. Opinion on Articles 216, 199, 301, and 314 of The Penal Code of Turkey (2016). PerserikatanBangsa-Bangsa.InternationalConventiononCivilandPoliticalRights (1966).

Putusan Pengadilan

Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 013-022/PUUIV/2006.

Lainnya

Indonesia,KementerianHukumdanHakAsasiManusia,BadanPembinaanHukum Nasional. Draft Naskah Akademik RUU KUHP.

English, Duvar “Nearly 129,000 People Probed for Insulting Erdogan in 5 Years.” https://www.duvarenglish.com/nearly-129000-people-probed- forinsulting-erdogan-in-5-years-news-56834. Diakses 4 Agustus 2022. Institute for Criminal Justice Reform. “Kalau RUU KUHP Diketok, Kritik seperti Ketua BEM UI Bisa Masuk Penjara.” https://icjr.or.id/kalau-rkuhp-diketokkritik-seperti-ketua-bem-ui-bisa-masuk-penjara/. Diakses 29 Juli2022. Manurung,M Yusuf. “PerempuanPenghinaJokowiDitangkap, PelakuBuatVideo Tahun 2019.” https://metro.tempo.co/read/1415051/perempuan -penghinajokowi-ditangkap-pelaku-buat-video-tahun-2019. Diakses 7 Agustus 2022. Rahmawati, Maidina. “Pemetaan dan Analisis Isu Bermasalah RUU KUHP 4 Juli 2022 oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP.” https://reformasikuhp.org/pemetaan-dan-analisis-isu-bermasalah-rkuhp-4juli-2022-oleh-aliansi-nasional-reformasi-kuhp/. Diakses 29 Juli 2022. Simanjuntak, Rico Afrido. “Deretan Kasus Penghinaan Presiden, dari Sri Bintang Pamungkas hingga Arsyad Penjual Sate.” https://nasional.sindonews.com/read/453694/13/deretan-kasuspenghinaan-presiden-dari-sri-bintang-pamungkas-hingga-arsyad-penjualsate-1623492410?showpage=all. Diakses 30 Juli 2022. Siregar, Anjas Rinaldi dan Alif Fachrul Rachman. “Menolak Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP.” https://news.detik.com/kolom/d-6154614/m enolak-pasal-penghinaan-presiden-dalam-rkuhp. Diakses 10 Agustus 2022. The Guardian. “Insulting the French president is no longer a criminal offence.” https://www.theguardian.com/world/2013/jul/25/insulting-frenchpresident-criminal-offence. Diakses 31 Agustus 2022. Tempo. “BEM UI Rencanakan Lagi Demonstrasi Tolak Draf RUU KUHP.” https://nasional.tempo.co/read/1610850/bem-ui-rencanakan-lagidemontrasi-tolak-draf-rkuhp. Diakses 10 Agustus 2022.

Indonesia. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Versi 4 Juli 2020.

BIODATA PENULIS

Amelia Oryzae Norhasni merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Tangerang, 21 Juli 2002. Amelia bergabung di organisasi Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia.

Patricia Quina Gita Naviri merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Surakarta, 28 Mei 2002. Patricia bergabung di Podium FHUI sebagai Vice Head Academic Writing Podium FHUI.

Putu Ferlyne Grace Evangeline Wardana merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 kelahiran Denpasar, 20 April 2002. Ferlyne bergabung di organisasi Hopehelps Network.

TINDAK PIDANA PEMBAJAKAN FILM SECARA DARING DI INDONESIA: ANALISIS PUTUSAN NOMOR 762/PID.B/2020/PN.JMB

Oleh:

Farrell C. Firmansyah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020 Korespondensi: farrell.charlton@ui.ac.id

Melvina Indria Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 Korespondensi: melvina.indria@ui.ac.id

Raden Farah Najwa Madiena Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2021 Korespondensi: raden.farah@ui.ac.id

Abstrak

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi, pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual semakin marak terjadi, salah satunya pelanggaran hak cipta berupa pembajakan film secara daring. Dalam rangka melindungi hak cipta dari tindak pidana pembajakan, telah terdapat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini akan membahas teori dan penerapan hukum dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb, serta membandingkan hukum pidana mengenai pembajakan film di Indonesia dengan Amerika Serikat melalui tinjauan UU Hak Cipta dan United States Code. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan hukum. Melalui penelitian, diketahui bahwa regulasi di Indonesia mengenai hak cipta dalam rangka perlindungan film sudah cukup tepat, akan tetapi dalam putusan yang dibahas terdapat penerapan pasal yang kurang tepat.

Kata Kunci: Tindak Pidana, Hak Cipta, Pembajakan Film, Daring

Abstract

In the midst of rapid development of technology, information, and communication, violations of Intellectual Property Rights are increasingly common, one of which is copyright infringement in the form of online film piracy. In order to protect copyright from criminal acts of piracy, there has been Law Number 28 of 2014 concerning Copyright and Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. This study will discuss the theory and application of the law in Decision Number 762/Pid.B/2020/PN.Jmb, and compare the criminal law regarding film piracy in Indonesia and the United States. The research method used is a normative juridical method using a conceptual approach, a statutory approach, and a case approach. Through this research, it is known that the regulation regarding copyright in the context of film protection is quite complete, but in the Court Decision discussed there is an inappropriate application of the article.

Keywords: Criminal, Copyright, Movie Piracy, Internet

I. PENDAHULUAN

Latar belakang

Pesatnya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi turut mengakibatkan maraknya pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual, terutama hak cipta. Kemudahan akses informasi di internet sering kali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Penyalahgunaan tersebut kerap dilakukan untuk memperoleh keuntungan, salah satunya seperti pembajakan film yang dilakukan secara daring. Pembajakan merupakan suatu tindak pidana yang melanggar hak-hak pencipta atas hasil karya ciptaannya. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu melalui kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Dengan kecerdasan tersebut, manusia dapat menghasilkan karya-karya di berbagai bidang, mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, hingga sastra.1 Karya-karya yang lahir dari hasil pemikiran manusia tersebut diciptakan dengan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang disebut sebagai kekayaan intelektual. Setiap kekayaan intelektual memiliki nilai atau manfaat ekonomi tersendiri bagi penciptanya. Oleh karena itu, setiap pencipta memiliki hak atas hasil karyanya melalui Hak Kekayaan Intelektual yang sudah sepatutnya dilindungi oleh hukum. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights merupakan hak yang timbul untuk melindungi suatu produk atau proses yang bersumber dari hasil kemampuan intelektual manusia.2 HKI diberikan oleh negara kepada para pencipta (kreator), penemu (inventor), atau pendesain sebagai bentuk pengakuan, penghargaan atau apresiasi, dan perlindungan atas hasil karya yang diciptakannya dengan berbagai pengorbanan, baik itu tenaga, waktu, maupun biaya.3 HKI terbagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta (copyrights) dan hak desain industri (industrial property rights). Apabila dilihat dari aspek hukum kebendaan, benda yang dilindungi oleh HKI merupakan benda tidak berwujud (immateriel)

1 Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 2. 2 Abdul Astar, Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 3. 3 Yoyo Arifardhani, Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, ed. 1, cet 1 (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 9. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

4 Insan Budi Maulana, Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) (Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005), hlm. 15. 5 Isnaini Yusran, Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 9. 6 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 1. 7 Ibid., Ps. 5. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

karena dapat dialihkan, salah satunya karya sinematografi atau film.4 Karya sinematografi merupakan salah satu kekayaan intelektual yang dilindungi melalui hak cipta. Hak cipta merupakan hak yang dimiliki secara otomatis oleh pencipta atas suatu karya yang diciptakannya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hak cipta diberikan secara eksklusif kepada pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil karyanya atau memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan hal yang sama, tetapi tetap dalam batasan hukum yang berlaku.5 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”) mendefinisikan hak cipta sebagai: “Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”6 Hak cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada pencipta, yang berarti hak tersebut akan tetap ada bahkan setelah pencipta meninggal dunia. Hak moral memberikan hak kepada pencipta untuk melindungi kepentingan pribadinya, seperti mencantumkan atau tidak mencantumkan nama asli atau nama samarannya, mengubah ciptaannya baik itu judul maupun ciptaan itu sendiri, dan mempertahankan haknya apabila terjadil hal-hal yang dapat merusak reputasinya.7 Sedangkan hak ekonomi adalah hak bagi pencipta melakukan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan ekonomi atas ciptaannya, salah satunya seperti penggandaan ciptaan. Penggandaan ciptaan yang dilakukan oleh pihak lain untuk keperluan komersial memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Apabila penggandaan ciptaan dilakukan tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta, maka pihak tersebut telah melakukan pembajakan, di mana hal tersebut melanggar hak cipta atas karya yang digandakan. Meskipun telah terdapat regulasi yang mengatur mengenai hak cipta, tetapi kesadaran masyarakat mengenai perlindungan hak cipta masih minim. Nyatanya, masih banyak kasus pelanggaran hak cipta yang

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan hukum pidana dalam pembajakan film secara daring di Indonesia, terutama dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb? 2. Bagaimana perbandingan hukum pidana dalam UU HC di Indonesia dengan US Code di Amerika Serikat mengenai pembajakan film secara daring?

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, digunakan metode penelitian hukum normatif yang dititikberatkan pada peraturan-peraturan tertulis baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun sumber hukum tertulis lainnya.9 Penelitian dilakukan dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan – bahan hukum terutama bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, untuk memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma positif yang mengatur mengenai kehidupan manusia.10 Tujuannya untuk kebenaran koherensi yaitu kesesuaian aturan hukum atau tindakan dengan norma/prinsip hukum dalam pokok bahasan.11

8 Akamai, State of the Internet/Security: Pirates in the Outfield, Vol. 8 Issue. 1, https://www.akamai.com/resources/state-of-the-internet/soti-security-pirates-in-the-outfield, diakses 3 Agustus 2022. 9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1, cet 6 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 118. 10 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 104. 11 Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, cet. 1 (Tangerang Selatan: UNPAM Press,2018), hlm. 72. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

terjadi, khususnya dalam kasus pembajakan. Berdasarkan laporan Pirates in the Outfield oleh Akamai State of the Internet, permintaan pembajakan di dunia mencapai 3,7 miliar dari bulan Januari hingga September 2021.8 Pada laporan tersebut, Indonesia menduduki posisi ke-9 dalam daftar lokasi teratas untuk kunjungan ke situs web pembajakan dengan 3,5 miliar kunjungan. Saat ini pun, kasus pembajakan film di Indonesia masih marak terjadi. Terlebih di tengah pesatnya perkembangan teknologi, di mana kemudahan akses internet turut mengakibatkan mudahnya akses ke situs-situs pembajakan film. Salah satunya seperti kasus pembajakan film pada Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb.

II. PEMBAHASAN a. Teori dan Regulasi Pidana Pembajakan Film di Indonesia

Pesatnya perkembangan teknologi saat ini turut berdampak pada eksistensi kekayaan intelektual, terutama karya-karya yang perlu dilindungi hak ciptanya seperti film. Bagaikan pedang bermata dua, perkembangan teknologi, khususnya internet memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap keberadaan perfilman di Indonesia. Dampak positifnya, industri perfilman di Indonesia mengalami peningkatan baik dari segi penonton, produksi, maupun karyanya itu sendiri. Namun di lain sisi, kemudahan akses internet akibat perkembangan teknologi juga memberikan dampak negatif terhadap perlindungan HKI, di mana pelanggaran hak cipta semakin marak terjadi, salah satunya pembajakan film melalui daring.

Pembajakan atau piracy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan ilegal, seperti illegal downloading atau pemalsuan yang berhubungan

58. 12 Ibid, hlm. 82 13 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Statute Approach atau pendekatan peraturan perundang-undangan, Case Approach atau pendekatan kasus, dan Comparative Approach atau pendekatan perbandingan. Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menganalisis seluruh regulasi yang berhubungan dengan isu hukum terkait.12 Kemudian pendekatan kasus merupakan tinjauan terhadap kasus yang telah menjadi putusan berkekuatan hukum tetap, dalam penelitian ini yang dianalisa adalah Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb.13 Terakhir, digunakan juga pendekatan perbandingan melalui studi perbandingan hukum antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait pokok bahasan. Adapun perbandingan dilakukan dengan melakukan tinjauan atas UU HC dan United States Code. Amerika Serikat memiliki pengaturan sanksi pidana dan jalan yang beragam dalam hal penerapannya. Maka, perbandingan dilakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan regulasi pidana dan penerapan di masing-masing negara untuk mengetahui kelebihan dan kelemahannya, sehingga dapat menjadi masukan untuk melakukan pembaharuan pengaturan dan implementasi sanksi tindak pidana pembajakan film secara daring di Indonesia agar menjadi lebih baik.

14 Ayup Suran Ningsih dan Balqis Hediyati Maharani, “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring,“ Jurnal Meta-Yuridis, Vol. 2 No.1 (2019), hlm. 17. 15 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps. 1. 16 Indonesia, Undang-Undang Perfilman, UU No. 33 Tahun 2009, LN No. 45 Tahun 2009, TLN No. 5060, Ps. 1.

17 Yoyo Arifardhani, Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, ed. 1, cet 1 (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 73. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

dengan internet.14 Berdasarkan UU HC, pembajakan didefinisikan sebagai penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Penggandaan sendiri merupakan perbuatan yang menggandakan atau menduplikasikan satu atau lebih salinan ciptaan dengan cara dan bentuk apapun, baik secara permanen maupun sementara.15 Sedangkan film sendiri adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.16 Film sebagai karya sinematografi merupakan salah satu kekayaan intelektual yang dilindungi hak ciptanya berdasarkan undang-undang, baik itu hak moral maupun hak ekonomi. Maka dari itu, pembajakan film merupakan perbuatan ilegal yang melanggar hak cipta suatu film karena dilakukan dengan menggandakan atau memperbanyak ciptaan secara tidak sah dan menyebarkannya secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari suatu karya cipta merupakan hak ekonomi yang sudah seharusnya dimiliki pencipta atau pemegang hak cipta. Dalam hal ini, pencipta atau pemegang hak cipta dapat menggunakan hak ekonominya untuk melakukan perbuatan yang dapat menghasilkan keuntungan atas suatu karya, seperti melakukan penerbitan, penggandaan, pendistribusian, pertunjukan, pengumuman, dan penyewaan ciptaan.17 Apabila pihak lain ingin melaksanakan hak ekonomi atas suatu karya, maka pihak tersebut wajib memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta karya tersebut. Jika terdapat pihak yang telah menggandakan dan mendistribusikan film secara tidak sah atau tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta untuk memperoleh keuntungan ekonomi, maka pihak tersebut telah melanggar hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta. Pada dasarnya, perlindungan atas hak cipta telah timbul secara otomatis sejak ciptaan itu terbentuk dan bukan karena pencatatan, sebagaimana hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul berdasarkan prinsip deklaratif. Pencatatan ciptaan diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Pencatatan ciptaan bukanlah suatu syarat untuk mendapatkan hak

64.

19 Oksidelfa Yanto, “Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan Karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD),” Yustisia, Vol. 4 No. 3 (2015), hlm. 750.

18 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps.

cipta.18 Namun, pencatatan suatu ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti dan bentuk perlindungan dalam hal terjadi sengketa terkait ciptaan tersebut. Dalam rangka melindungi hak cipta, setiap karya yang dihasilkan dari kemampuan intelektual seseorang memiliki perlindungan hukum secara preventif dan represif, tidak terkecuali film. Perlindungan hukum secara preventif dilakukan oleh pemerintah dan dimaksudkan untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran hak cipta. Pemerintah memiliki peran besar dalam upaya pencegahan pelanggaran hak cipta dengan membentuk regulasi yang dapat mengakomodasi perbuatan-perbuatan berkenaan dengan hak cipta dan pelanggarannya. Mengenai hal tersebut, pemerintah telah meregulasikan UU HC sebagai payung hukum yang memberikan aturan dan batasan bagi berbagai pihak dalam melakukan perbuatan terhadap suatu karya cipta. Pada Pasal 54 UU HC disebutkan pula bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, pengawasan terhadap tindakan perekaman hak cipta di tempat pertunjukan, serta melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka mencegah pelanggaran hak cipta melalui sarana berbasis teknologi informasi. Perlindungan hukum atas hak cipta umumnya dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta secara keperdataan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penyelesaian perkara dengan ketentuan pidana.19 Pasal 105 UU HC menyebutkan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta tetap berhak untuk menuntut secara pidana atas pelanggaran hak cipta karyanya. Dalam hal gugatan secara pidana, Pasal 120 UU HC menyebutkan bahwa tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini merupakan delik aduan sehingga hanya dapat ditindaklanjuti apabila diadukan oleh pihak yang berkepentingan. Mengenai ketentuan pidana pembajakan film sendiri diatur pada Pasal 113, tepatnya pada (4) yang menyebutkan secara eksplisit bahwa setiap orang yang melakukan pembajakan dengan memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00. Sedangkan pada Pasal 113 ayat (3) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran hak ekonomi atas suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g—berupa penerbitan, penggandaan, pendistribusian, dan pengumuman ciptaan—untuk kepentingan komersial

b. Analisis Penerapan Hukum Pidana dalam Putusan Nomor 762/Pid.B/2020/PN.Jmb 1. Kasus Posisi

Terpidana dalam hal ini merupakan Aditya Fernando Phasyah (AFP) bersama dengan RBP merupakan administrator dari situs DUNIAFILM21 (https://95.217.177.179/). Situs tersebut merupakan platform tempat terpidana mengunggah sekitar 3000 (tiga ribu) judul film sejak tahun 2008. Melalui layanan streaming film yang disediakan, AFP mendapatkan keuntungan melalui iklan-iklan yang terpasang di dalam situs tersebut. Hal ini akhirnya diketahui oleh PT Visinema Pictures (PT VP) selaku pemegang hak cipta dari beberapa film yang diunggah dalam situs tersebut. Diketahui pula bahwa AFP telah melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan PT VP. Dari perbuatannya AFP mendapatkan keuntungan melalui pemasangan iklan dalam situs web yang digunakan sebagai sarana mengakses film bajakan. AFP mendapatkan akses film-film tersebut melalui situs unduh film gratis. AFP dilaporkan oleh PT VP karena telah menayangkan film-film karya yang HKI-nya dimiliki oleh PT VP, seperti NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI, FILOSOFI KOPI, dan beberapa film lainnya. Atas perbuatannya AFP dinyatakan bersalah karena telah melanggar Pasal 113 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g UU HC jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

2. Analisis Penerapan Pasal

Diketahui bahwa dakwaan dalam putusan dibuat secara kombinasi dengan menggabungkan antara dakwaan alternatif dan dakwaan subsidair. Dakwaan alternatif merupakan dakwaan yang disusun secara berlapis, dimana Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00. Selain UU HC, perlindungan hukum terhadap pembajakan film yang dilakukan secara daring juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan Pasal 25 UU ITE, semua informasi atau dokumen elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20 Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1993 tentang Surat Dakwaan. 21 Ibid. 22 Pengadilan Negeri Jambi, Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb, hlm. 30. 23 Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.” 24 Fitri Pratiwi Rasyid, “Kajian Relevansi Delik Aduan Pada Implementasi Undang-Undang Hak Cipta,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 32 No. 2 (2020), hlm. 217. 25 Indonesia, Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002), hlm. 8. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

lapisannya merupakan alternatif dan mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya, sehingga hanya satu saja dakwaan yang perlu dibuktikan tidak secara berurut.20 Berbeda halnya dengan dakwaan subsidair yang tiap lapisannya berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya dan pembuktiannya harus dilakukan secara berurutan.21 Dikarenakan bentuk dakwaan alternatif subsidair maka majelis hakim membuktikan berdasarkan dakwaan yang dirasa paling tepat yakni dakwaan kedua yang mendalilkan bahwa AFP melanggar ketentuan dalam UU HC.22 Dalam dakwaan alternatif kedua primair yang digunakan adalah Pasal 113 ayat (4) UU HC jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 113 ayat (3) UU HC jo. Pasal 55 ayat (1). 23 Pasal 113 UU HC merupakan delik pidana bagi pihak yang melanggar hak ekonomi dari pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU HC. Mengenai jenis delik, Pasal 113 UU HC menyebutkan delik aduan yang urgensi keberadaanya adalah untuk kepentingan privat dari pihak yang dirugikan dan harus dapat dibuktikan secara subjektif oleh pihak yang berkepentingan. Ditegakkan oleh negara atas dasar pengakuan pihak yang berkepentingan karena merupakan pelanggaran atas kebebasan pihak tersebut.24 Delik ini merupakan delik aduan karena hubungan hukum antara pencipta dan pelaku merupakan hubungan privaatrechtelijk.25 Dijelaskan lebih lanjut dalam Laporan Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002) bahwa digunakannya delik aduan adalah karena beberapa hal, yaitu karena aparat penegakan hukum sulit menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta, karena hanya pencipta yang lebih mengetahui mana yang merupakan ciptaan asli. Selain itu, karena aparat belum tentu mengetahui apakah pihak terkait sudah mendapat izin dari pencipta dan dalam praktek pihak

26 Ibid, hlm. 36-38. 27 Pengadilan Negeri Jambi, Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb, hlm. 13. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

yang haknya dilanggar lebih menginginkan ganti rugi.26 Dalam putusan dapat ditemukan bahwa perkara pidana ini didasari atas laporan dari Putro Mas Gunawan selaku karyawan PT VP yang mendapatkan kuasa untuk membuat laporan.27 Pasal 55 ayat (1) KUHP merupakan pasal yang mengatur mengenai penyertaan dalam tindak pidana. Dalam hal ini diketahui bahwa AFP melakukan tindak pidana bersama-sama dengan RBP, di mana AFP bertugas untuk melakukan pencarian, pengunduhan, dan pengunggahan film ke situs milik mereka. Berlaku Pasal 55 ayat (1) ke-1 karena AFP turut serta melakukan perbuatannya bersama-sama dengan RBP.

3. Analisis Pertimbangan Hukum

Dalam pertimbangannya diurai bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kedua primair yakni Pasal 113 ayat (4) UU HC jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terdiri dari: a. Unsur setiap orang, terpenuhi karena AFP merupakan subjek hukum yang cakap dan sehat secara jasmani rohani; b. Unsur telah melakukan dan turut serta melakukan, terpenuhi karena AFP telah melakukan tindak pidana bersama-sama dengan RBP; c. Unsur “dengan tanpa hak dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta”, terpenuhi karena AFP mengunduh film dari situs gratis sehingga jelas dilakukan tanpa hak dan izin; d. Unsur melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,b,e, dan/atau g untuk penggunaan secara komersial yang dilakukan secara komersial dalam bentuk pembajakan, tidak terpenuhi karena AFP mendapatkan film dari situs gratis sehingga tidak tahu film tersebut milik PT VISINEMA PICTURES. Dikarenakan ada unsur yang tidak terpenuhi dibuktikan dakwaan kedua subsidair melanggar Pasal 113 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1) huruf a, b, e, dan/atau g U HC jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsur yang dibuktikan sama dengan dakwaan primair kecuali pada poin d, dimana unsur yang harus dipenuhi adalah melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta. Unsur melakukan

28 Pengadilan Negeri Jambi, Putusan No. 762/Pid.B/2020/PN Jmb. hlm. 35. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,b,e, dan/atau g untuk penggunaan secara komersial. Unsur ini terpenuhi karena telah jelas bahwa AFP melakukan tindakannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan komersial yang dinikmati secara ekonomi melalui iklan dalam situs tersebut. Sehingga PT VP mengalami kerugian karena seharusnya mendapatkan royalti dan dilakukan tanpa izin. Mengenai pertimbangan hukum ini, penulis berpendapat seharusnya unsurunsur dalam dakwaan kedua primair sudah terpenuhi. Hal ini dikarenakan pembajakan berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU HC adalah “Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.” Dalam hal ini perbuatan AFP yang melakukan pengunduhan dari situs gratis merupakan bentuk penggandaan yang tidak sah. Mengenai penggandaan sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 2 UU HC, yakni “proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara”. Kemudian perbuatannya tersebut dilakukan secara tidak sah dan untuk mendapatkan keuntungan komersial. Berdasarkan definisi dari WIPO Intellectual Property Handbook, pembajakan terjadi ketika hak pencipta dilanggar melalui suatu perbuatan yang dilakukan tanpa izin dari pencipta tersebut. Berdasarkan definisi baik dari WIPO dan UU HC telah jelas bahwa sama sekali tidak ada penjelasan bahwa dalam melakukan pembajakan pelaku harus mengetahui terlebih dahulu bahwa milik siapa karya intelektual tersebut. Dalam pembuktian dakwaan kedua primair tidak penuhnya unsur pembajakan karena AFP tidak tahu film tersebut milik PT VP karena didapatkan tersebut melalui situs gratis di internet.28 Hal ini seharusnya tidak mengecualikan tindakannya dari perbuatan pembajakan karena tetap sesuai dengan unsur-unsur dalam definisi pembajakan. Selain itu, terdapat juga fakta bahwa film-film tersebut merupakan kekayaan intelektual yang didaftarkan, sehingga seharusnya mempermudah pembuktian karena merupakan bentuk konstitutif sistem yang

c. Perbandingan Hukum dan Penerapan Hukum Pidana Terkait Pembajakan Film

Secara Daring di Indonesia dengan Amerika Serikat: Tinjauan UU Hak Cipta dan US Code 1. Regulasi Pidana Mengenai Hak Cipta di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, pembajakan film sebagai sebuah pelanggaran hak cipta mengakar pada Article I, Section 8, Clause 8, dari konstitusi Amerika Serikat yang berbunyi, “[The Congress shall have power] … To promote the progress of science and useful arts, by securing for limited times to authors and inventors the exclusive right to their respective writings and discoveries. ” Ayat tersebut memberi kuasa pada kongres untuk melakukan promosi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni yang bermanfaat dengan memberikan hak eksklusif kepada penulis dan penemu untuk waktu yang terbatas atas tulisan dan penemuan mereka masing-masing.31 Meski kongres memiliki kuasa untuk membuat sejumlah peraturan pemerintah federal terkait hak cipta, beberapa peraturan negara lainnya mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan pemerintah federal. Dalam sejarahnya, regulasi mengenai perlindungan atas hak cipta–termasuk

29 M. Jeffry Stanzah dan Tatty A. Ramli, “Pencatatan Ciptaan E-Hak Cipta dan Kedudukan Surat Pencatatan Ciptaan dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi Pencipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2 (2018), hlm. 779. 30 Hendri Jayadi Pandiangan, “Perbedaan Hukum Pembuktian dalam Perspektif Hukum Acara Pidana dan Perdata”, Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 3, No.2 (Agustus 2017), hlm. 572. 31Constitutional Rights Foundation, “Digital Piracy in the 21st Century,” https://www.crfusa.org/bill-of-rights-in-action/bria-23-4-b-digital-piracy-in-the-21st-century, diakses 6 Agustus 2022. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

menghasilkan kepastian hukum.29 Dalam pembuktian Hukum Acara Pidana selain alat bukti sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) terdapat pula Pasal 184 ayat (2) yang mengatur mengenai hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan atau notoire feiten. Walaupun dalam kenyataan hal ini tidak dapat berdiri sendiri karena harus dikuatkan alat bukti lain.30 Dalam hal ini seharusnya pengetahuan bahwa film merupakan milik objek kekayaan intelektual yang dimiliki satu atau lebih pihak merupakan sesuatu hal tidak perlu dibuktikan, karena merupakan hal yang seharusnya umum diketahui. Selain itu, kenyataan bahwa kepemilikan PT VP merupakan notoire feiten tidak berdiri sendiri karena dikuatkan oleh bukti surat pencatatan kekayaan intelektual film.

2. Ketentuan Sanksi Pidana dalam United States Code

Sanksi pidana pembajakan film menurut United States Code terdiri atas sanksi pidana penjara dan denda. Terhadap pelanggaran Section 506, Title 18 pada Section 2319 United States Code mengatur macam sanksi pidana sesuai perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Pertama, yaitu pelanggaran terhadap Section 506 (a)(1)(A) pada Title 17 dapat dipidana penjara tidak lebih dari 5 tahun atau denda sesuai jumlah yang ditetapkan dalam titletersebut, atau keduanya jika pelanggaran terdiri dari reproduksi atau distribusi, termasuk secara elektronik, selama periode 180 hari, setidaknya terdapat 10 salinan atau rekaman suara, dari 1 atau lebih karya berhak cipta, yang memiliki total nilai eceran lebih dari $2.500. Kedua, yaitu pidana

32 LegalMatch, “Movie Piracy Lawyers,” https://www.legalmatch.com/law-library/article/moviepiracy.html, diakses 6 Agustus 2022. 33 Department of Justice Archives, United States Code, Title 7 Section 506. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

film–diberlakukan sejak Copyright Act 1790. Sejak saat itu, telah dilakukan empat revisi pada 1831, 1870, 1909, dan 1976. Di samping itu, telah dilakukan beberapa amandemen. Beberapa perubahan terhadap US Copyright Act melahirkan beberapa produk hukum, di antaranya The Digital Milllenium Copyright Act dan The Sonny Bono Copyright Term Extension Act. Adapun Copyright Act merupakan suatu regulasi yang menyediakan perlindungan atas duplikasi dan distribusi yang melanggar hak cipta. Peraturan ini menyediakan kemampuan untuk menggugat secara perdata dalam rangka melindungi hak cipta dan juga dapat menjadikannya sebagai suatu tindak pidana.32 Mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta yang ditilik sebagai tindak pidana dapat ditemui dalam United States Code, Section 506 Title 7. Pertama adalah tindakan pelanggaran hak cipta dengan tujuan keuntungan komersial atau keuntungan finansial pribadi. Kedua, memperbanyak atau mendistribusikan 1 atau lebih salinan atau rekaman suara dari karya berhak cipta selama periode 180 hari yang memiliki nilai eceran total lebih dari $1.000. Ketiga, pendistribusian suatu karya yang sedang dipersiapkan untuk distribusi komersial dengan menyediakannya di jaringan komputer yang dapat diakses oleh anggota masyarakat, jika orang tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa karya tersebut dimaksudkan untuk distribusi komersial. Adapun sanksi pidana mengacu pada Section 2319 Title 18.33

3. Perbandingan Limitasi Hak Cipta dalam UU Hak Cipta dengan United States

Code

Dalam hal limitasi, terdapat beberapa pembatasan hak cipta berupa

34 Ibid., Title 18 Section 2319. 35 Ibid. 36 Ibid. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

penjara tidak lebih dari 10 tahun atau denda sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam title tersebut, atau keduanya jika pelanggaran tersebut merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan subsection (a). Ketiga, yaitu akan dipenjara tidak lebih dari 1 tahun, atau didenda dalam jumlah yang ditentukan dalam judul ini, atau keduanya, dalam kasus lain.34 Dalam hal pelanggaran Section 506(a)(1)(B) pada Title 17, terdapat tiga macam sanksi pidana. Pertama, pidana penjara tidak lebih dari 3 tahun atau denda yang telah ditetapkan pada title tersebut, atau keduanya jika pelanggaran terdiri atas reproduksi atau distribusi berupa 10 atau lebih karya atau rekaman suara terhadap 1 atau lebih dari karya berhak cipta yang memiliki total nilai eceran sebesar $2.500 atau lebih. Kedua, pidana penjara tidak lebih dari 6 tahun atau denda yang telah ditetapkan pada title tersebut, atau keduanya jika pelanggarannya merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan subsection (a). Ketiga, pidana penjara tidak lebih dari 1 tahun atau denda yang telah ditetapkan pada title tersebut, atau keduanya jika pelanggaran terdiri atas reproduksi atau distribusi berupa 1 atau lebih karya atau rekaman suara terhadap 1 atau lebih karya berhak cipta dengan total nilai eceran sebesar $1.000.35 Kemudian, pelanggaran atas Section 506(a)(1)(C) pada Title 17 memiliki tiga poin ketentuan sanksi pidana. Pertama, pidana penjara tidak lebih dari 3 tahun, denda, atau keduanya. Kedua, pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, denda, atau keduanya, jika pelanggaran ditujukan untuk kepentingan komersial atau keuntungan finansial pribadi. Ketiga, pidana penjara tidak lebih dari 6 tahun, denda, atau keduanya, jika pelanggaran merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan subsection (a). Keempat, pidana penjara tidak lebih dari 10 tahun, denda, atau keduanya, jika pelanggaran merupakan kejahatan berat dan merupakan pelanggaran kedua atau berikutnya berdasarkan paragraf (2).36

44.

44.

40 Bambang Pratama, “Fair Use vs Penggunaan yang Wajar dalam Hak Cipta,” https://businesslaw.binus.ac.id/2015/01/31/fair-use-vs-penggunaan-yang-wajar-dalam-hak-cipta/, diakses 7 Agustus 2022.

37 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps.

38 Department of Justice Archives, United State Code, Section 121. 39 Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN No. 266 Tahun 2014, Ps.

perbuatan-perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pada UU HC, di antaranya diatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, keamanan dan penyelenggaraan pemerintahan serta legislatif dan peradilan, dan lain sebagainya.37 Dalam perbandingannya dengan hukum Amerika Serikat, US Copyright Laws yang terdiri atas Title 17 United States Code dan mencakup seluruh amandemen beserta Copyright Act of 1976, sanksi pidana tidak berlaku karena adanya beberapa ketentuan pembatasan terhadap hak eksklusif. Beberapa kemiripan antara UU HC dan US Copyright Laws salah satunya ditemui dalam hal pengaturan fasilitasi akses suatu ciptaan, dalam hal ini termasuk film, terhadap penyandang disabilitas. Pada Section 121, termaktub beberapa perbuatan yang tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak cipta–termasuk pembajakan–di antaranya membuat reproduksi karya produk rekaman suara menjadi bentuk tulisan untuk tunanetra dan penderita disabilitas lainnya.38 Adapun Pasal 44 ayat (2) UU HC mengatur bahwa pembatasan hak cipta berlaku pada fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.39 Selain itu, baik hukum pidana Amerika Serikat maupun Indonesia samasama mengenal fair use atau kepentingan yang wajar, di mana terdapat pengecualian hak cipta yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.40 Pada UU HC, Pasal 26 mengatur pembatasan perlindungan terhadap pelaku pertunjukan, produser fonogram, dan lembaga penyiaran. Pembatasan yang dimaksud terdiri atas empat kategori, dua di antaranya

41 Rika Ratna Permata, dkk. “Regulasi Doktrin Fair Use Terhadap Pemanfaatan Hak Cipta pada Platform Digital Semasa dan/atau Pasca Pandemi COVID-19,” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 13 No. 1 (November 2021), hlm. 134. 42 Amerika Serikat, Copyright Law of the United States and Related Laws Containted in Title 17 of the United States Code, Section 107. 43 Ayup Suran Ningsih, Balqis Hediyati Maharani, “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring”, Jurnal Meta-Yuridis, Vol. 2 No. 1 (2019), hlm. 101. Volume 1, Nomor 2, September 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI

berkaitan dengan pembajakan film yaitu penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan keperluan pengajaran.41 Sementara itu, doktrin fair use Amerika Serikat dalam penerapannya mengacu pada ketentuan limitasi pada Section 107, yaitu diperbolehkannya penggunaan karya berhak cipta untuk memperbanyak salinan atau rekaman suara atau dengan cara lain apapun yang ditentukan oleh bagian tersebut seperti dengan tujuan seperti kritik, komentar, pelaporan berita, pengajaran (termasuk beberapa salinan untuk penggunaan di kelas), beasiswa, atau penelitian. Pembatasan ini mengacu pada ketentuan bagian 106 dan 106a mengenai hak eksklusif.42

4. Lembaga yang Berwenang

Di Indonesia, penertiban situs yang menyediakan fitur download dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan cara melakukan pemblokiran agar pengguna internet tidak bisa mengakses secara bebas situs yang ada.43 Hal ini menjadi perwujudan dari Pasal 54 UU HC yang mengatur pencegahan pelanggaran hak cipta dan hak terkait melalui sarana teknologi informasi. Kemudian, penegakan hukum menurut Pasal 120 UU HC menunjukkan bahwa pembajakan film secara daring merupakan delik aduan. Delik aduan menunjukkan sifat pribadi dari hak yang ingin dilindungi sehingga yang dapat melaporkan adalah pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, penegakan dilakukan oleh penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian di bidang tindak pidana hak cipta. Sementara itu, Amerika Serikat memiliki lembaga di berbagai tingkat dalam hal penerimaan laporan terkait pembajakan film. Kejahatan mengenai kekayaan intelektual dapat dilaporkan untuk investigasi lebih lanjut kepada pemegang otoritas di tingkat setempat, negara, federal, dan internasional tergantung pada lingkup kejahatannya. Warga negara ataupun perusahaan yang mengetahui adanya kejahatan dapat melapor ke kantor Federal Bureau of Investigation (FBI) setempat

This article is from: