33 minute read

STUDI TERKAIT KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA

Next Article
IMPLEMENTASINYA

IMPLEMENTASINYA

PERAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ATAS

PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Advertisement

DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL

(STUDI TERKAIT KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA)

Hafidz L. Botua

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran hlbotua@gmail.com

Abstrak

Berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum terselesaikan dikarenakan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan pondasi bagi langkah penyelesaian yang berkelanjutan dan komprehensif. Kasus-kasus yang ada selain perlu diselesaikan melalui Pengadilan HAM, perlu pula untuk mampu diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyediakan keadilan transisional bagi para korban. Mekanisme KKR pada akhirnya terbentuk melalui UU nomor 27 tahun 2004, meskipun demikian, KKR pada kenyataannya berumur pendek pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006. Selama hampir dua dekade sejak dihapuskannya KKR, inisiatif untuk menghidupkan KKR terus bermunculan meskipun belum menghasilkan wujud konkrit. Terlepas dari proses yang sedang berlangsung, adalah perlu untuk melakukan studi mengenai praktik KKR berdasarkan kerangka hukum internasional dan perkembangan praktik oleh negara-negara untuk menyediakan rujukan atas reformasi hukum bagi KKR di Indonesia yang nantinya akan terbentuk. Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif dengan mengkaji berbagai literatur hukum. Penelitian ini juga menerapkan metode deskriptif analisis serta studi kepustakaan melalui berbagai data sekunder yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghidupkan kembali KKR di Indonesia, pemerintah perlu untuk merujuk pada praktik yang telah ada untuk menyelesaikan kasus secara efektif, beberapa yang perlu dipersiapkan adalah manajemen dalam kompleksitas teknis, jaminan ganti kerugian bagi para korban dan pemberian amnesti bagi pelaku.

Kata Kunci: Amnesti, Hukum Internasional, Keadilan Transisional, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pelanggaran HAM Berat.

87

THE ROLE OF THE TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION

TO SETTLE GROSS VIOLATIONS OF HUMAN RIGHTS

UNDER INTERNATIONAL LAW

(STUDY RELATED TO THE TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION IN INDONESIA)

Abstract

Various cases of gross violations of human rights in Indonesia are still unresolved due to the government's inability to provide the foundation for a sustainable and comprehensive settlement. The existing cases, other than the necessity to resolve them through the Human Rights Court, are also necessitated through the Truth and Reconciliation Commission (TRC) to provide transitional justice for the victims. The TRC mechanism was finally formed through Law No. 27 of 2004, however, TRC was in fact short-lived after the issuance of the Constitutional Court's

Decision No. 006/PUU-IV/2006. For almost two decades since the dissolution of

TRC, initiatives to revive TRC have continued to emerge, although they have not yet produced concrete results. Regardless of the ongoing process, it is necessary to conduct studies on TRC practices based on international legal frameworks and developments in practice by countries to provide a reference for legal reforms for TRC in Indonesia that will later be formed. This study applies a normative juridical method by reviewing various legal literature. This research also applies descriptive analysis method and literary research through various relevant secondary data. The results show that in order to revive the TRC in Indonesia, the government needs to refer to existing practices to resolve cases effectively, some of which need to be prepared, namely management in the complex technical aspects, the guarantee of compensation for victims and granting amnesty for perpetrators.

Keywords: Amnesty, Gross Violations of Human Rights, International Law, Transitional Justice, Truth and Reconciliation Commission.

88

A. Pendahuluan

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (selanjutnya disebut dengan pelanggaran HAM berat) di Indonesia masih belum terselesaikan secara berkelanjutan dan komprehensif sejak beberapa dekade lalu. Bahwa untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menyelesaikannya dengan menjamin pertanggungjawaban hukum para pelaku dan ganti kerugian kepada para korban yang terlibat pada berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Dengan memperhatikan sejarah terjadinya kasus yang sebagian besar memiliki keterlibatan pejabat pemerintah maupun militer sebagai pelaku, keberadaan impunitas dan ego institusional menghambat adanya proses hukum terhadap para pejabat yang terlibat.1 Rekam jejak impunitas pemerintah atas pelanggaran HAM berat sejak beberapa dekade terakhir cukup beragam, beberapa diantaranya pada kasus pembunuhan masal pada tahun 1965-1966, kejahatan di sekitar era reformasi, konflik di Papua, dan belasan kasus lainnya yang terdokumentasi oleh Komnas HAM yang sebagian besar belum terselesaikan.2

Apabila mempertimbangkan kompleksitas di atas, rezim hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat perlu dibentuk secara khusus.3 Bahwa selain dibentuknya Pengadilan HAM untuk memperoleh pertanggungjawaban secara pidana bagi para pelaku yang upayanya sering terhambat, maka perlu pula dibentuk mekanisme alternatif melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(selanjutnya disebut dengan KKR). KKR di Indonesia telah diupayakan pada tahun 2004,4 pembentukannya diharapkan menjadi komplemen Pengadilan HAM

1 Joyner, Christopher C. "Redressing Impunity for Human Rights Violations: Universtal Declaration and the Search for Accountability." Denv. J. Int'l L. & Pol'y (1997), hlm. 611. 2 Komnas HAM. "Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat." Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2014); Komnas HAM. "Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat." Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2020). 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 4 Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dicabut oleh Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

89

untuk mendorong para pelaku pelanggaran HAM berat dalam mengakui kesalahannya serta menyesali perbuatannya untuk kemudian diberikan amnesti.5 Meskipun demikian, KKR dibubarkan dua tahun kemudian tanpa memiliki kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat.6 Pembatalan UU KKR didasari atas permasalahan krusial dalam peran KKR terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat. Beberapa permasalahan tersebut berada pada hak korban atas ganti kerugian yang bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara (Pasal 27). Selanjutnya, pada pemberian amnesti yang memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial (Pasal 44).7 Pasca pembatalan UU KKR, keberadaan KKR di Indonesia hanya memiliki lingkup yang sempit sebatas pada Provinsi Aceh,8 namun perlu diketahui bahwa KKR di Aceh tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan pada kasus pelanggaran HAM berat,9 melainkan terbatas pada pelanggaran HAM yang mendasar seperti hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik selama memiliki keterkaitan dengan konflik Aceh.10 Berkaitan dengan Provinsi Aceh, perlu diingat bahwa sejarah pembentukan beberapa daerah otonomi khusus di Indonesia berkaitan dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat (Aceh dan Papua). Upaya tersebut bergantung pada Pengadilan HAM dan KKR terhadap kasus di dua wilayah tersebut. Meskipun konflik di Aceh telah selesai, upaya pemenuhan keadilan pada kenyataannya masih melalui proses yang panjang. Lebih lanjut, perkembangan saat ini perlu untuk meninjau konflik berkepanjangan di Papua. Mengacu pada pendapat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, salah satu akar permasalahan di Papua berkaitan dengan akuntabilitas

5 Pasal 29 ayat 3 - Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 6 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006. 7 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 104. 8 Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo. Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. 9 Pasal 30 ayat 1 - Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. 10 Pasal 19 - Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

90

atas kekerasan yang mengganggu efektivitas pelaksanaan otonomi khusus.11 KKR penting untuk diwujudkan dengan mempertimbangkan amanat dari UU OTSUS Papua yang mana pasca dua dekade pelaksanaannya hingga beberapa kali revisi belum menemui penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat.12 Terlepas dari berbagai potensi untuk menghidupkan kembali KKR di Indonesia, perlu dipahami bahwa perkembangan KKR sejak beberapa tahun terakhir telah mendapat perhatian yang cukup dari sistem hukum internasional dan praktiknya semakin pesat di bagian dunia yang lain yang mana menjadi penting untuk dijadikan acuan. Untuk itu, artikel ini akan menyediakan rujukan bagi transformasi hukum atas praktik KKR Indonesia di masa mendatang.

Artikel ini akan terlebih dahulu membahas mengenai KKR yang pernah ada di Indonesia sebagai pedoman dasar untuk melakukan evaluasi berdasarkan praktik yang telah berkembang (B). Selanjutnya, akan dibahas mengenai kerangka praktik KKR dalam hukum internasional dan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) sebagai organisasi internasional yang secara signifikan berperan dalam mempromosikan pelindungan HAM (C). Dengan mempertimbangkan kerangka hukum di Indonesia yang menjadikan Pengadilan HAM dan KKR sebagai institusi yang saling berkomplemen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, artikel ini akan membahas bagaimana praktik berbagai pengadilan pidana dalam hukum internasional terhadap mekanisme KKR untuk memberikan rujukan yang lebih komprehensif (D). Meskipun memperoleh suatu landasan yuridis yang cukup komprehensif, sangat disayangkan bahwa berdasarkan referensi poin C dan D pada kenyataanya kurang “praktis” untuk diterapkan di Indonesia. Maka dari itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih praktis, akan dibahas bagaimana praktik KKR di beberapa negara sebagai rujukan berdasarkan “best practice” untuk KKR ndonesia di masa mendatang (E).

11 Widjojo, Muridan S., Adriana Elizabeth, Amirudin Al Rahab, Cahyo Pamungkas, and Rosita Dewi. Papua road map: Negotiating the past, improving the present, and securing the future. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. 12 Pasal 45 - Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

91

B. KKR di Indonesia

KKR di Indonesia terbentuk pada tahun 2004, pembentukannya memiliki esensi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang menekankan perlunya pelaku dan korban untuk saling memaafkan guna terwujudnya rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.13 Indonesia menetapkan sistem komplementer atas hubungan KKR dengan Pengadilan HAM untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat, artinya segala urusan yang tidak dapat diselesaikan pada KKR akan diarahkan pada Pengadilan HAM.14 Meskipun demikian, KKR dibubarkan pada tahun 2006 karena permasalahan substantif dalam kerangka hukumnya tanpa memiliki kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat.15

Permasalahan KKR di Indonesia pada dasarnya terdiri atas tujuh pokok substantif dari UU KKR sendiri,16 yang dapat diringkas menjadi dua poin utama: 1. Prioritas antara pemberian ganti kerugian dengan amnesti, bahwa ketentuan Pasal 27 UU KKR membuat hak korban atas ganti kerugian bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara.

Ketentuan ini telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti. Implikasi dari perumusan

Pasal 27 UU KKR telah mendisriminasikan hak atas pemulihan yang melekat pada korban sehingga tidak menghargai korban yang telah menderita akibat pelanggaran HAM berat yang dialaminya; serta 2. Permasalahan pemberian amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat, bahwa Pasal 44 UU KKR memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan lembaga pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial. Pengaturan Pasal 44 UU KKR yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan HAM Ad Hoc, apabila

13 Ketetapan MPR-RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. 14 Pasal 29 ayat 3 - Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 15 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006. 16 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 104-105.

92

pemeriksaan tersebut telah diselesaikan melalui KKR, maka menghilangkan hak negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM berat.

Dari dua permasalahan tersebut, pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut dengan MK) menjawab permasalahan kedua bahwa amnesti merupakan hal yang rasional untuk diterapkan dalam praktik KKR. MK berpendapat bahwa KKR merupakan satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, yang akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Telepas dari kaitannya dengan impunitas, praktik pemberian amnesti atas pelanggaran HAM berat telah diterima secara praktik, misalnya pada KKR di Afrika Selatan.17 Lebih lanjut, MK juga mempertimbangkan bahwa pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang menyebabkan hilangnya alat-alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam pendekatan pertanggungjawaban pidana. KKR juga dengan pengaturan dalam UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian secara alternatif.18

Meskipun demikian, KKR tetap dibatalkan dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 27 UU KKR yang bertentangan dengan konstitusi.19 Hal ini karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka dengan dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Lebih lanjut, permasalahan UU KKR berlanjut pada lima bentuk permasalahan teknis yang yang mana menyebabkan praktiknya akan saling kontradiktif apabila dilanjutkan.20

17 Truth and Reconciliation Commission (TRC), https://www.justice.gov.za/trc/. 18 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 123. 19 Ketentuan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (5), yang merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya korban yang seharusnya HAM-nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi kepada korban, tanpa persyaratan lain 20 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 126-131.

93

Penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia selalu menjadi topik atas kampanye presiden di setiap tahunnya, termasuk pada inisiatif atas menghidupkan kembali KKR. Wacana tersebut telah muncul sejak beberapa tahun terakhir, meskipun kerangka regulasinya maupun RUU belum terpublikasi.21 Political will dalam membentuk UU KKR baru kenyaataannya cukup rendah dengan beberapa kali penempatan statusnya sebagai RUU prioritas sejak 2007-2017 namun pada kenyataannya tidak pernah termanifstasi.22 Terlepas dari permasalahan demikian, adalah perlu untuk menyediakan rujukan studi berdasarkan hukum internasional yang berfokus pada poin mengenai prioritas antara pemberian amnesti dan ganti kerugian, keabsahan pemberian amnesti, dan urusan lain yang dirasa perlu untuk dipelajari dalam pembentukan KKR kedepannya dengan mempertimbangkan berbagai transformasi hukum yang akan dijabarkan di bagian selanjutnya.

C. KKR dalam Hukum Internasional dan Peran Perserikatan BangsaBangsa

Perkembangan KKR dalam hukum internasional berasal dari inisiatif untuk melawan impunitas yang kemudian mengembangkan hak untuk tahu (right to know) yang selanjutnya berkembang menjadi hak atas kebenaran (right to truth) sebagaimana telah dipromosikan melalui berbagai perjanjian internasional dan putusan pengadilan.23 KKR dalam hukum internasional pertama kali disebutkan pada tahun 2004, keberadaannya merupakan bagian dari kerangka keadilan transisional (transitional justice). 24 Rujukan utama atas kerangka tersebut mengacu pada Laporan Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2004 yang dibentuk

21 Ali, “MPR Dukung UU KKR Dihidupkan Kembali” https://www.hukumonline.com/berita/a/mpr-dukung-uu-kkr-dihidupkan-kembalilt4da4718922dc9. Diakses 20 April 2022; Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Siap ke DPR”, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10951. Diakses pada 20 April 2022; Hukumonline.com, “Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-bahas-ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasilt5e6a223e4f42d?page=all. Diakses 20 April 2022. 22 Abdurrahman, Ali, and Mei Susanto. "Urgensi Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu." Padjadjaran Journal of Law 3, no. 3 (2016): 509-530. 23 United Nations Economic and Social Council, E/CN.4/Sub.2/1997/20. Final report on the Question of the impunity of perpetrators of human rights violations (civil and political); E/CN.4/2004/88; E/CN.4/2006/91. 24 Report of the Secretary-General to the Security Council on the rule of law and transitional justice in conflict and post-conflict situations (S/2004/616).

94

untuk mengkaji peran konkrit PBB dalam penegakan hukum dan keadilan di wilayah pasca konflik. PBB mendefinisikan keadilan transisional sebagai:25

“the full range of processes and mechanisms associated with a society’s attempts to come to terms with a legacy of large-scale past abuses, in order to ensure accountability, serve justice and achieve reconciliation. These may include both judicial and non-judicial mechanisms, with differing levels of international involvement (or none at all) and individual prosecutions, reparations, truth-seeking, institutional reform, vetting and dismissals, or a combination thereof.” Berdasarkan pengertian di atas, kerangka “truth-seeking” dalam wujud konkrit merupakan prinsip dasar dari KKR sebagai salah satu metode untuk mencapai keadilan transisional. KKR didefinisikan dengan beberapa elemen, diantaranya:26 “Truth commissions are official, temporary, non-judicial fact-finding bodies that investigate a pattern of abuses of human rights or humanitarian law committed over a number of years. These bodies take a victim-centred approach and conclude their work with a final report of findings of fact and recommendations.” Terlepas dari konsep keadilan transisional yang baru dinyatakan oleh Sekjen PBB pada tahun 2004 dan menggolongkan KKR sebagai salah satu metode pencapaiannya, perlu diketahui bahwa praktik KKR sendiri telah berlangsung lama dan setidaknya ada pada 30 negara, beberapa diantaranya Argentina, Chile, Afrika Selatan, Peru, Ghana, Maroko, El-Salvador, Guatemala, Sierra Leone, Ekuador, Nigeria, Panama, Peru, dsb. Tujuan dari KKR diantaranya adalah untuk membantu masyarakat pasca-konflik menetapkan fakta tentang pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, mendorong akuntabilitas, menjaga keberadaan sumber daya untuk pembuktian, mengidentifikasi pelaku dan merekomendasikan ganti kerugian dan reformasi kelembagaan. KKR juga dapat menyediakan platform publik bagi para korban untuk berbicara kepada masyarakat secara langsung dan dapat memfasilitasi kebutuhan publik tentang bagaimana berdamai dengan masa lalu.27

Pasca dilakukan studi terhadap beberapa praktik, Sekjen PBB menekankan beberapa poin dalam permasalahan KKR, diantaranya masyarakat sipil yang

25 Report… ¶ 8. 26 Report… ¶ 50. 27 Report… ¶ 50.

95

lemah, ketidakstabilan politik, ketakutan korban dan saksi untuk bersaksi, sistem peradilan yang lemah atau korup, waktu yang tidak cukup untuk melakukan investigasi, kurangnya dukungan publik dan pendanaan yang tidak memadai. Komisi kebenaran selalu dikompromikan jika diangkat melalui proses yang terburu-buru atau dipolitisir. Maka dari itu, KKR paling baik dibentuk melalui proses konsultatif yang menggabungkan pandangan publik tentang mekanisme kerja KKR itu sendiri.28

Lebih lanjut, KKR perlu menjadi lembaga independen. Strategi informasi dan komunikasi publik yang kuat sangat penting untuk mengelola harapan publik dan korban serta untuk memajukan kredibilitas dan transparansi. Kepekaan dan daya tanggap terhadap permasalah gender terhadap korban yang terdiskriminasi harus terjamin. Dalam perkembangannya, dengan mempertimbangkan instabilitas pasca konflik, KKR membutuhkan dukungan internasional untuk berfungsi.29 Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Sekjen PBB adalah menolak adanya pemberian amnesti yang menjadi ciri khas atas praktik KKR di beberapa negara. Pada dasarnya, Sekjen PBB menolak amnesti untuk genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang berkaitan dengan kejahatan internasional berbasis etnis, gender, dan seksual. Hal ini dikarenakan amnesti merupakan penghalang untuk penuntutan di hadapan pengadilan.30 Terlepas dari inisiatif di atas, sangat disayangkan bahwa kerangka KKR dalam hukum internasional sendiri belum memiliki landasan konkrit dan

komprehensif dalam wujud baik perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional dikarenakan basis bentuk pelanggaran HAM, keadaan politik dan kelembagaan yang kompleks dan berbeda di berbagai negara. Meskipun demikian, PBB setidaknya telah memberikan gagasan awal atas kerangka hukum internasional terkait KKR melalui dokumen yang disediakan atas organ di bawah naungan PBB. Bahwa karakter keadilan transisional yang luas mengacu pada keahlian PBB dalam urusan pelindungan HAM, pembangunan berkelanjutan, pertanggungjawaban pidana dan reformasi hukum. Salah satu kekuatan terbesar

28 Report… ¶ 51 29 Report… ¶ 51. 30 Report… 64.

96

PBB dalam keadilan transisional adalah kemampuannya untuk berkontribusi secara politik dan finansial. Pada saat yang sama, entitas PBB yang luas yang dipanggil untuk mendukung mekanisme keadilan transisional di suatu negara juga dapat menyebabkan kebingungan mengenai mandat dan peran di seluruh sistem.31 Terlepas dari hal tersebut, peran PBB dalam lingkup ini telah menerapkan kebijakan dan kerangka normatif, dan berperan menjadi promotor pelindungan HAM dengan luasnya jangkauan kerja di negara-negara pasca konflik dan dengan menjadi perantara bagi banyak pemangku kepentingan, yang memungkinkannya memperkuat sinergi antara keadilan transisional dan program pembangunan, kemampuannya untuk meningkatkan hubungan dekat dengan negara-negara anggota dan badan antar pemerintah lainnya, untuk memberikan dukungan langsung kepada proses keadilan transisional; dan kekuatannya yang menyediakan platform bagi para korban dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk terlibat langsung dengan pemerintah dalam keadilan transisional.32

D. Pengadilan Pidana Internasional dan Praktik KKR

Dengan mempertimbangkan kerangka hukum di Indonesia yang menjadikan Pengadilan HAM dan KKR sebagai institusi yang saling berkomplemen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, maka adalah perlu untuk meninjau bagaimana praktik berbagai pengadilan pidana internasional terhadap mekanisme KKR. Dalam lingkup hukum internasional, PBB telah membentuk berbagai pengadilan pidana khusus. Salah satu tujuan adalah membawa pelaku pelanggaran HAM berat untuk bertanggung jawab secara hukum dan mencegah terulangnya kembali, melindungi martabat bagi para korban, dan menegakkan kembali supremasi hukum untuk berkontribusi pada pemulihan perdamaian.

Untuk tujuan tersebut, berbagai pengadilan pidana internasional ad hoc yang telah terbentuk diantaranya di Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), serta pengadilan hybrid yang dibentuk dengan mempertahankan pengaruh sistem hukum nasional dan internasional satu sama lain,33 beberapa diantaranya pengadilan di Sierra Leone (SCSL), Kamboja (ECCC), pengadilan hybrid dalam

31 Davidian, Alison, and Emily Kenney. "The United Nations and transitional justice." In Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017. 32 Ibid. 33 Fichtelberg, Aaron. "Transitional justice and the end of impunity: Hybrid tribunals." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017.

97

bentuk Kamar Khusus di Pengadilan Negeri Bosnia dan Herzegovina (BWCC), Panel dengan Yurisdiksi Eksklusif atas Tindak Pidana Serius di Timor-Leste (SPSC) yang dibentuk oleh Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNTAET), serta penggunaan hakim dan jaksa internasional untuk pengadilan di Kosovo (IJP) sesuai dengan peraturan Misi Administrasi Sementara PBB di Kosovo (UNMIK).

Keberadaan pengadilan pidana memiliki posisi sentral memberikan kepercayaan publik yang lebih besar terhadap kemampuan dan kemauan negara untuk menegakkan hukum. Pengadilan juga dapat membantu masyarakat untuk pemulihan konflik, mendorong transisi menuju perdamaian dan pencegahan atas peristiwa serupa dengan efek pemidanaan. Namun, penuntutan yang komprehensif juga tidak mungkin karena sumber daya keuangan dan manusia yang terbatas, kapasitas dan kemauan politik yang terbatas, dan retensi kekuasaan politik atau militer oleh rezim pendahulu.34

Memandang permasalahan tersebut, perlu dilakukan alternatif untuk memperoleh rasa keadilan yang kemudian dikenal sebagai keadilan transisional yang menjamin nilai-nilai akuntabilitas, perdamaian, dan rekonsiliasi.35 Inisiatif tersebut diwujudkan dengan KKR sebagai alternatif pengadilan pidana yang karena kompleksitasnya, kejahatan yang dilakukan oleh ribuan pelaku, dan berpotensi memiliki ratusan ribu korban, sehingga tidak mungkin untuk menyediakan suatu proses pemeriksaan yang panjang dan fasilitas pemidanaan yang memadai.36

Praktik KKR untuk menjamin keadilan transisional perlu untuk dirancang dengan tepat, PBB berperan untuk mempertimbangkan melalui perencanaan dan konsultasi bagaimana mekanisme keadilan transisional yang berbeda akan berinteraksi untuk memastikan agar tidak bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Namun berbeda dengan pengadilan pidana, KKR dalam praktik hukum internasional belum pernah terbentuk sebagai suatu organisasi internasional yang kedudukannya serupa dengan pengadilan pidana. Melainkan hanya terbentuk

34 Pablo de Greiff, ‘Report of the Special Rapporteur on the Promotion of Truth, Justice, Reparation and Guarantees of Non-recurrence’, A/HRC/27/56, ¶ 18–26. 35 Ruti Teitel, Transitional Justice (Oxford University Press 2001). Hlm. 215. 36 Schabas, William A. "The Rwanda case: Sometimes it’s impossible." In Post-conflict justice. Brill Nijhoff, 2002. Hlm. 499.

98

sebagai organ nasional yang menerima donor internasional baik secara finansial maupun bantuan teknis dalam pelaksanaannya.

Sepanjang praktik dari berbagai pengadilan internasional dan KKR yang terbentuk di berbagai negara, pembahasan teoritis banyak berfokus pada pertanyaan mengenai bagaimana pengadilan akan menghormati mekanisme nasional khususnya pada pemberian amnesti sebagai alternatif dari pertanggungjawaban pidana yang bersifat kontradiktif dengan prinisp hukum internasional sebagaimana dijabarkan pada bagian sebelumnya.37 Pertanyaan lain adalah permasalahan teknis mengenai sinergi atas praktik keduanya, pada praktik di Yugoslavia (ICTY), pengadilan berpendapat apabila KKR tidak dibentuk selama penuntutan belum selesai, untuk menghindari proses yang tumpang tindih.38 Lebih lanjut, muncul kekhawatiran bahwa KKR dapat melemahkan pengadilan dengan kenyataan bahwa Bosnia belum siap untuk memiliki KKR dan bahwa prosesnya kemungkinan akan dimanipulasi oleh faksi-faksi politik lokal. Selain itu, kekhawatiran juga mengarah pada pelaksanaan KKR yang bergantung pada pendanaan internasional dapat menarik sumber daya dari pengadilan.39

Mempertimbangkan beberapa contoh di atas, pada kenyataannya praktik sinergi atas pengadilan dan KKR cukup sulit untuk diterapkan secara universal. Selain karena kenyataan mendasar dari wujud konflik sendiri yang memerlukan penyesuaian terhadap sistem yang akan dibentuk, hal ini dikarenakan mandat dari pengadilan sendiri yang bersifat terbatas. Bahwa berbagai pengadilan pidana internasional dibentuk oleh konstitusi secara khusus yang artinya kewenangan pengadilan terbatas pada kerangka hukum tersebut.40 Hubungan pengadilan dengan KKR selama ini telah dipermasalahkan pada beberapa negara, diantaranya

37 Robinson, Darryl. "Serving the interests of justice: Amnesties, truth commissions and the International Criminal Court." European Journal of International Law 14, no. 3 (2003): 481505; Dukic, Drazan. "Transitional justice and the International Criminal Court-in the interests of justice." Int'l Rev. Red Cross 89 (2007): 691. 38 The Need for and Possibility of Truth and Reconciliation Commissions in the Territory of the Former Yugoslavia,” Conference on War Crimes Trials, Belgrade, November 7–8, 1998; Ivanisevic, Bogdan. "The War Crimes Chamber in Bosnia and Herzegovina: From Hybrid to Domestic Court (2008)." International Center for Transitional Justice (2008): 11. 39 Ibid. 40 Sebagai contoh Rome Statute of the International Criminal Court, Statute of The International Tribunal for Rwanda, Statute of The International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia dsb.

99

di Sudan, Sierra Leone dan Peru yang sama-sama muncul dari masalah pada kewenangan dan tujuan dari pengadilan dengan KKR.41

Hingga terbentuknya pengadilan pidana dalam kerangka hukum internasional yang tersentralisasi oleh International Criminal Court (ICC) berpraktik sejak 2002,42 solusi dari permasalahan teknis sulit untuk terjawab dengan tidak adanya kasus nyata atas benturan pengadilan dengan KKR sebagai rujukan praktik.

Meskipun praktik ICC terhadap mekanisme KKR sendiri masih belum jelas, intuk dapat membuat ICC mampu berkontribusi lebih banyak dengan mekanisme KKR bergantung pada manajemen yang efisien dan responsif oleh ICC atas kebutuhan korban, keselarasan praktik dan politik dan dukungan keuangan dari masyarakat internasional. Upaya tersebut lebih lanjut dapat dilakukan melalui negosiasi dan koordinasi yang cermat dengan mempertimbangkan politik internasional dan domestik.43 Lebih lanjut, beberapa pendapat menekankan bahwa hubungan ICC dengan KKR dalam hukum nasional perlu untuk membentuk perjanjian untuk menjamin kebebasan dan sinergi dalam praktik.44

E. Perbandingan Praktik Rekonsiliasi di Beberapa Negara

Berdasarkan penjabaran dari dua bab di atas, pada kenyataanya rujukan atas praktik KKR dalam lingkup hukum internasional dinilai kurang “praktis” untuk

diterapkan di Indonesia. Maka dari itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih praktis, akan dibahas bagaimana praktik KKR di beberapa negara untuk menyediakan rujukan berdasarkan “best practice” untuk KKR di Indonesia. Perlu diingat kembali bahwa penelitian ini perlu untuk mendapatkan rujukan atas

41 Witness to Truth: Report of the Sierra Leone Truth and Reconciliation Commission, vol. 3b, chap. 6, ¶ 224; Cueva, Eduardo González. "The Peruvian Truth and Reconciliation Commission and the challenge of impunity." Transitional Justice in the Twenty-First Century: Beyond Truth versus Justice 70 (2006). Hlm. 71.; Totten, Christopher D. "The International Criminal Court and truth commissions: a framework for cross-interaction in the Sudan and beyond." Nw. UJ Int'l Hum. Rts. 7 (2009): 1. 42 Beberapa pengadilan pidana sebelum ICC masih memiliki kewenangan residual untuk menangani kasus yang tesisa, diantaranya Residual Special Court for Sierra Leone untuk SCSL serta International Residual Mechanism for Criminal Tribunals untuk ICTR dan ICTY. 43 Gallen, James. "The International Criminal Court: In the interests of transitional justice?." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017. 44 Priscilla, Hayner. "Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions." (2011). Hlm. 119; Flory, Philippe. "International criminal justice and truth commissions: From strangers to partners?." Journal of International Criminal Justice 13, no. 1 (2015): 19-42.

100

prioritas antara pemberian amnesti dan ganti kerugian, keabsahan pemberian amnesti, dan urusan lain yang dirasa perlu untuk dipelajari dalam pembentukan KKR kedepannya dengan mempertimbangkan berbagai transformasi hukum yang dirasa perlu untuk diterapkan di Indonesia. Bagian ini akan menjabarkan pada contoh praktik negara yang dinilai relevan untuk dijadikan rujukan dengan mengambil contoh terbatas pada konflik vertikal dimana kejahatan dilakukan oleh pihak yang terafiliasi dengan pemerintah dan korban adalah masyarakat.

Perihal pemberian amnesti, hukum internasional menentang amnesti menyeluruh dan ketentuan yang merampas upaya penuntutan pidana dan hak-hak keperdataan dari korban atas pelanggaran HAM berat. Sistem KKR tanpa amnesti diterapkan pada sistem Argentina yang berarti sistem KKR memang dibentuk dengan tujuan bahwa penuntutan pidana akan dilakukan mengikuti proses KKR. Dengan sistem ini, KKR dipandang sebagai suatu langkah menuju penuntutan pidana dengan didapatkannya sumber daya seperti saksi, fakta dasar dan potensi tersangka yang mana berkas dapat diserahkan kepada jaksa untuk mempersiapkan proses pemeriksaan.45

Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan konstelasi politik yang beragam, beberapa praktik KKR tetap memberikan amnesti dengan jaminan ganti kerugian pada korban. Sistem demikian berarti bahwa amnesti sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dan hak keperdataan akibat pelanggaran hak asasi manusia dapat didamaikan hanya apabila negara secara bersamaan telah menyediakan mekanisme mengungkap kebenaran dan pemberian ganti kerugian bagi para korban. Pemberian amnesti telah diterapkan pada beberapa sistem seperti di Afrika Selatan, Liberia dan Kenya.46

Amnesti ini bersifat timbal balik yang berarti sistem demikian menekankan kewajiban negara untuk menghormati dan memastikan penghormatan terhadap

45 Crenzel, Emilio. "Argentina's National Commission on the Disappearance of Persons: Contributions to transitional justice." The International Journal of Transitional Justice 2, no. 2 (2008): 173-191. 46 Sarkin, Jeremy Julian. "Amnesties and Truth Commissions." In The Oxford Handbook of Atrocity Crimes dalam Holá, Barbora, Hollie Nyseth Nzitatira, and Maartje Weerdesteijn, eds. The Oxford Handbook on Atrocity Crimes. Oxford University Press, 2022; Gready, Paul. The era of transitional justice: The aftermath of the truth and reconciliation commission in South Africa and beyond. Routledge, 2010.

101

korban untuk memperoleh ganti kerugian.47 Meskipun tidak ada kebijakan ganti rugi yang konsisten yang telah berkembang dalam hukum internasional, namun ada konsensus yang masuk akal tentang kewajiban negara untuk memberikan ganti kerugian atas pelanggaran HAM berat. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, sebagai dokumen acuan tentang hak asasi manusia internasional, menyatakan bahwa:48

“Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law.”

Rujukan lebih lanjut atas ganti kerugian dapat ditemukan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966); Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966); Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Genosida (1948); Konvensi Menentang Penghukuman dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1984); Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (1985); Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pembentukan Komisi Kompensasi PBB (1991), dan studi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCHR) tentang hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi bagi korban kejahatan berat pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan fundamental (1993).

Oleh karena itu, karena proses amnesti merampas akses para korban ke pengadilan, legitimasi internasionalnya bergantung pada ketentuan ganti kerugian yang memadai bagi para korban. Dalam konteks Afrika Selatan, memperbaiki luka-luka korban pelanggaran HAM berat dimana kemampuan mereka untuk mencari reparasi telah diambil dari mereka dengan demikian merupakan kewajiban moral yang tak terhindarkan sebagai negara demokrasi pasca-apartheid. Pelindungan hak asasi manusia secara luas diakui sebagai tujuan mendasar dari hukum internasional modern yang meminta negara bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran yang mereka atau agen yang

47 Roche, Declan. "Truth commission amnesties and the International Criminal Court." British Journal of Criminology 45, no. 4 (2005): 565-581. 48 Article 8 - Universal Declaration of Human Rights

102

secara atributif berkaitan dengan negara. Maka dari itu, konsep KKR di Afrika Selatan menekankan bahwa kerangka amnesti ditambah dengan ketentuan yang memadai dan efektif untuk reparasi dan rehabilitasi memenuhi kewajiban pemerintah untuk menjamin keadilan bagi para korban di masa lalu. Dengan kata lain, amnesti tanpa program reparasi dan rehabilitasi yang efektif akan menjadi ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap pelindungan HAM. Selanjutnya, perihal prioritas atas pemberian amnesti dan ganti kerugian. Sejak diserahkannya Laporan Akhir Komisi KKR di Afrika Selatan dengan proposal ganti kerugian, ada penundaan yang signifikan di pihak pemerintah dalam menetapkan visinya untuk program Reparasi dan Rehabilitasi.49 Penundaan ini telah menyebabkan perdebatan publik dan kritik luas. Sebagian besar kritik ini ditujukan kepada Komisi, karena persepsi publik, terus melihat reparasi sebagai tanggung jawab KKR daripada tanggung jawab pemerintah. Fakta bahwa penundaan ini terjadi dengan latar belakang proses amnesti juga disayangkan. Fakta bahwa korban terus menunggu reparasi sementara pelaku menerima amnesti telah memicu perdebatan tentang keadilan bagi korban dalam proses komisi. Bahwa poin penting KKR sendiri adalah untuk memaafkan pelaku dengan disertai pemberian ganti kerugian bagi para korban, tanpa komponen tersebut, KKR tidak seimbang. Dengan mempertimbangkan dua rujukan di atas, maka putusan MK telah tepat untuk memperbolehkan pemberian amnesti dengan mempertimbangkan konstelasi politik di Indonesia. Lebih lanjut, adalah tepat untuk menganggap bahwa prasyarat ganti kerugian dengan pemberian amnesti bagi pelaku merupakan praktik yang tidak wajar. Sebagaimana praktik di Afrika Selatan, meskipun amnesti tidak dijadikan prasyarat, dengan mempertimbangkan bahwa amnesti diberikan terlebih dahulu daripada ganti kerugian, dapat dilihat bahwa penundaan pemberian ganti kerugian sendiri adalah masalah yang dapat diprediksi dan merupakan ancaman atas pemenuhan rasa keadilan.

Dikarenakan akar permasalahan dari pelanggaran HAM berat, keadaan politik dan budaya institusional dari negara yang menerapkan sistem KKR, adalah

49 Truth and Reconciliation Commission, South Africa (TRC), Report of the Reparation and Rehabilitation Committee, hlm. 96.

103

sulit untuk mendapatkan rujukan yang beragam untuk menjawab situasi di Indonesia. Lebih lanjut, upaya tersebut memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan melebihi kapasitas penelitian sederhana saat ini. Meskipun demikian, keberagaman tersebut dapat disediakan dengan beberapa rujukan atas praktik KKR di negara lain yang dinilai sebagai beberapa KKR terkuat selain di Afrika Selatan, diantaranya praktik di Guatemala, Peru, Timor-Leste dan Maroko,.50 Secara singkat, praktik beberapa negara di atas menekankan pada beberapa poin teknis atas praktik KKR yang mencakup pada kapasitas investigasi, transparansi dengan penyedian katalog data yang dapat diakses dengan mudah oleh publik, serta sistem pelaporan yang baik. Beberapa poin penting yang lain adalah kapasitas KKR dalam sensitivitasnya atas kasus terkait Sexual and genderbased violence (SGBV), dan jaminan kerahasiaan data.

Merujuk pada putusan MK terkait pada permasalahan teknis pada kerangka hukum KKR di Indonesia,51 maka perlu untuk terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan tersebut dan melakukan revisi struktural agar lebih lanjut dapat mempersiapkan kapasitas KKR dalam melakukan perannya seara efektif. Perlu diingat bahwa pelaksanaan KKR berlangsung hingga bertahun-tahun menyesuaikan kasus yang ada, dengan demikian kapasitas sumber daya manusia dan finansial perlu untuk kembali disesuaikan yang mana termasuk pada peran serta pemerintah secara keseluruhan.

F. Penutup

Praktik KKR dalam hukum internasional pada kenyataannya tidak menyediakan rujukan yang praktis untuk diadopsi dalam sistem KKR di Indonesia di masa mendatang. Meskipun demikian, terdapat beberapa rujukan yang dapat dipergunakan. Dari kerangka hukum internasional sendiri, Indonesia kedepannya dapat merujuk pada prinsip-prinsip umum yang telah dipromosikan oleh PBB. Terlepas bahwa usulan PBB sendiri kurang konkrit dan praktis untuk diterapkan. Peran PBB dalam membantu pengembangan KKR di berbagai negara cukup signifikan, terutama pentingnya untuk meninjau evaluasi PBB atas praktik KKR

50 Priscilla, Hayner, hlm. 27-44. 51 Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 126-130.

104

secara keseluruhan yang penting untuk ditinjau ulang dalam praktik di Indonesia di masa mendatang. Berkaitan dengan praktik Pengadilan Pidana Internasional dan praktik KKR. Sistem tersebut pada kenyataannya tidak apple-to- apple untuk ditetapkan di Indonesia. Bahwa kewenangan Pengadilan Pidana Internasional sendiri bergantung pada konstitusinya, untuk mampu berkontribusi pada suatu sistem KKR, maka diperlukan kerangka hukum lebih lanjut (e.g. perjanjian) untuk dijadikan dasar kewenangan pengadilan. Kerangka hukum di Indonesia sendiri cukup memadai untuk mendasari sinergi Pengadilan HAM dengan KKR untuk bekerja secara komplementer. Dengan mempertimbangkan bahwa praktik hukum internasional kurang praktis untuk diterapkan, maka perlu untuk mencari rujukan lain untuk transformasi praktik KKR di Indonesia untuk masa mendatang. Rujukan tersebut mengarah pada praktik KKR di beberapa negara sebagai rujukan “best practice”

dalam menjalankan KKR. Permasalahan pada UU KKR sendiri pada akhirnya terjawab, diantaranya yakni pemberian amnesti adalah hal yang dapat diterima dan diadopsi untuk praktik kedepannya. Lebih lanjut, mengenai ganti kerugian adalah hal yang perlu diprioritaskan daripada pemberian amnesti, bahwa pemberian amnesti tidak boleh dijadikan prasyarat atas ganti kerugian.

KKR bukanlah suatu sistem yang tidak memiliki rujukan universal dan dapat diterapkan di semua negara. Rekonsiliasi bukanlah konsep yang dapat diimpor ke suatu negara dari luar negeri. Ia harus muncul dari dalam masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat itu dan dibentuk secara khusus untuk memenuhi penyelesaian konflik yang terjadi. Rujukan lebih lanjut yang perlu diadopsi pada sistem KKR di Indonesia untuk masa mendatang adalah perihal teknis dari KKR sendiri, berdasarkan evaluasi PBB, evaluasi dari KKR di negara lain serta Putusan MK yang telah menerapkan lima poin permasalahan teknis yang sebaiknya tidak boleh terulang. Menindaklanjuti reformasi dari permasalahan tersebut, Indonesia perlu mempersiapkan segala sumber daya finansial dan manusia untuk dapat memberikan suatu sistem KKR yang memuaskan dengan mempertimbangkan jangka waktunya dan jumlah kasus yang perlu diselesaikan.

105

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Abdurrahman, Ali, and Mei Susanto. "Urgensi Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu." Padjadjaran Journal of Law 3, no. 3 (2016): 509-530. Crenzel, Emilio. "Argentina's National Commission on the Disappearance of Persons: Contributions to transitional justice." The International Journal of Transitional Justice 2, no. 2 (2008): 173-191. Cueva, Eduardo González. "The Peruvian Truth and Reconciliation Commission and the challenge of impunity." Transitional Justice in the Twenty-First Century: Beyond Truth versus Justice 70 (2006). Davidian, Alison, and Emily Kenney. "The United Nations and transitional justice." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017. Dukic, Drazan. "Transitional justice and the International Criminal Court-in the interests of justice." Int'l Rev. Red Cross 89 (2007): 691. Fichtelberg, Aaron. "Transitional justice and the end of impunity: Hybrid tribunals." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward

Elgar Publishing, 2017. Flory, Philippe. "International criminal justice and truth commissions: From strangers to partners?." Journal of International Criminal Justice 13, no. 1 (2015): 19-42. Gallen, James. "The International Criminal Court: In the interests of transitional justice?." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017. Gready, Paul. The era of transitional justice: The aftermath of the truth and reconciliation commission in South Africa and beyond. Routledge, 2010. Ivanisevic, Bogdan. "The War Crimes Chamber in Bosnia and Herzegovina: From Hybrid to Domestic Court (2008)." International Center for Transitional Justice (2008): 11

106

Joyner, Christopher C. "Redressing Impunity for Human Rights Violations: The Universtal Declaration and the Search for Accountability." Denv. J. Int'l L. & Pol'y 26 (1997). Komnas HAM. "Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat." Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) (2014). ------------------- "Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat." Jakarta: Komisi Nasional HakAsasi Manusia (Komnas HAM) (2020). Priscilla, Hayner. "Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions." (2011). Robinson, Darryl. "Serving the interests of justice: Amnesties, truth commissions and the International Criminal Court." European Journal of International Law 14, no. 3 (2003): 481-505. Roche, Declan. "Truth commission amnesties and the International Criminal Court." British Journal of Criminology 45, no. 4 (2005): 565-581. Ruti Teitel, Transitional Justice (Oxford University Press 2001). Sarkin, Jeremy Julian. "Amnesties and Truth Commissions." In The Oxford Handbook of Atrocity Crimes dalam Holá, Barbora, Hollie Nyseth Nzitatira, and Maartje Weerdesteijn, eds. The Oxford Handbook on Atrocity Crimes. Oxford University Press, 2022. Schabas, William A. "The Rwanda case: Sometimes it’s impossible." In Postconflict justice. Brill Nijhoff, 2002. Totten, Christopher D. "The International Criminal Court and truth commissions: a framework for cross-interaction in the Sudan and beyond." Nw. UJ Int'l Hum. Rts. 7 (2009): 1. Widjojo, Muridan S., Adriana Elizabeth, Amirudin Al Rahab, Cahyo Pamungkas, and Rosita Dewi. Papua road map: Negotiating the past, improving the present, and securing the future. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

107

Dokumen Nasional

Ketetapan MPR-RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006. Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945, amandemen ke-IV. Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dicabut oleh Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

Dokumen Internasional

Pablo de Greiff, ‘Report of the Special Rapporteur on the Promotion of Truth, Justice, Reparation and Guarantees of Non-recurrence’, A/HRC/27/56. Report of the Secretary-General to the Security Council on the rule of law and transitional justice in conflict and post-conflict situations (S/2004/616). Truth and Reconciliation Commission, South Africa (TRC), Report of the Reparation and Rehabilitation Committee, Volume 6, Part 2, Chapter 1. Universal Declaration of Human Rights. United Nations Economic and Social Council, E/CN.4/Sub.2/1997/20 Final report on the Question of the impunity of perpetrators of human rights violations (civil and political); E/CN.4/2004/88; E/CN.4/2006/91. The Need for and Possibility of Truth and Reconciliation Commissions in the Territory of the Former Yugoslavia,” Conference on War Crimes Trials,

Belgrade, November 7–8, 1998.

108

Witness to Truth: Report of the Sierra Leone Truth and Reconciliation Commission, vol. 3b, chap. 6.

Sumber Lain

Ali. “MPR Dukung UU KKR Dihidupkan Kembali.”

https://www.hukumonline.com/berita/a/mpr-dukung-uu-kkr-dihidupkankembali-lt4da4718922dc9. Diakses 20 April 2022. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Siap ke DPR”,

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10951. Diakses pada 20 April 2022. Sahbani, Agus, “Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-bahas-ruu-komisikebenaran-dan-rekonsiliasi-lt5e6a223e4f42d?page=all. Diakses 20 April 2022.

Truth and Reconciliation Commission (TRC), https://www.justice.gov.za/trc/.

109

BIOGRAFI PENULIS

Hafidz Laksamana Botua menempuh studi pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Program Kekhususan Hukum Internasional). Penulis lulus dengan predikat pujian pada tahun 2022. Selama perkuliahan, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan, diantaranya Asian Law Students' Association dan Moot Court Society dimana Penulis banyak terlibat dalam penulisan publikasi hukum serta mengadakan seminar dan workshop bagi mahasiswa. Penulis juga aktif pada kompetisi peradilan semu baik sebagai pelatih maupun peserta, kompetisi yang penulis ikuti diantaranya National Moot Court Competition Piala Tjokorda Raka Dherana ke-5 pada tahun 2018 dan The Willem C. Vis (east) International Commercial Arbitration Moot ke-17 pada tahun 2020. Dalam mendukung pemahaman penulis dalam praktik hukum, penulis memiliki pengalaman magang di Pengadilan Negeri Magelang (2019), SSEK Legal Consultants (2021) dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2021). Saat ini penulis merupakan Associate di Solon Law, suatu konsultan hukum di Guernsey yang berfokus pada regulasi dan analisis kebijakan publik, penulis menangani proyek terkait lingkungan dan hak asasi manusia.

110

This article is from: