25 minute read

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PELARANGAN EKSPOR MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA OLEH

UNI EROPA AKIBAT RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE II

Advertisement

BERDASARKAN HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

R. Yahdi Ramadani

Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura

Abstrak

Permasalahan Indonesia dan Uni Eropa muncul dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II). Indonesia sebagai pengekpor minyak sawit mengklaim bahwa kebijakan Uni Eropa merupakan tindakan diskriminatif dalam perdagangan internasional akan tetapi Uni Eropa berpendapat bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah Uni Eropa untuk konsisten pada Paris Agreement sehingga permasalahan tersebut menjadi isu hukum yang menarik untuk di bahas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) oleh Uni Eropa merupakan pelanggaran terhadap Prinsip Most Favored Nation pada produk minyak sawit Indonesia. Uni Eropa berpendapat (RED II) merupakan Exceptions sebagai bentuk komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement dan menyatakan bahwa alih fungsi lahan gambut dapat menyebabkan pemanasahan global yang diakibatkan oksidasi gambut yang melepaskan CO2 ke Atmosfer. Maka dapat dipahami bahwa pemberlakukan (RED II) bukanlah tindakan yang diskiminatif yang melanggar hukum perdagangan internasional.

Kata Kunci : Perdagangan Internasional, Renewable Energy Directive II, Minyak Kelapa Sawit

69

THE PROHIBITION OF PALM OIL EXPORTS IN INDONESIA

BY THE EUROPEAN UNION DUE TO RENEWABLE ENERGY

DIRECTIVE II BASED ON INTERNATIONAL TRADE LAW

Abstract

The problems between Indonesia and the European Union emerged from the Renewable Energy Directive II (RED II) policy. Indonesia as a palm oil exporter claims that the EU's policy is a discriminatory act in international trade but the European Union argues that this policy is a step by the European Union to be consistent with the Paris Agreement so that the issue becomes an interesting legal issue to discuss. This study aims to determine whether the Renewable Energy Directive II (RED II) policy by the European Union is a violation of the Most Favored Nation Principle on Indonesian palm oil products. The European Union argues (RED II) is an exception as a form of the European Union's commitment to the Paris Agreement and states that the conversion of peatland can cause global warming which causes peat oxidation which releases CO2 into the atmosphere. So it can be understood that the implementation of (RED II) is an act that violates international trade law.

Keywords: International trade, Renewable Energy Directive II, Palm Oil

70

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perdagangan internasional merupakan faktor terpenting dalam perkembangan globalisasi di dunia dengan ditandai mudahnya kerjasama internasional antar negara sehingga perdagangan internasional dapat meningkatkan perekonomian setiap negara. Perdagangan internasioal biasanya identik berhubungan dengan kegiatan bisnis yaitu ekspor,impor, jasa, lisensi, hak cipta dan lain sebagainya. Selain itu perdagangan internasional mewujudkan negara untuk menjadi negara sejahtera (welfare state).1 Dalam perkembangan perdagangan internasional tentunya terdapat Organisasi internasional yang mengatur mengenai mekanisme tentang perdagangan internasional yaitu WTO (World Trade Organization) yang mempunyai kerangka pengaturan yang tercantum didalam GATT, GATS dan TRIPS. Dalam perkembangan perdagangan internasional atau dikenal dengan era liberalisasi perdagangan saat ini memudahkan negara untuk meningkatkan ekonomi setiap negara terutama pada sektor impor dan ekspor barang.

2

Perdagangan internasional tentunya akan memberikan kesempatan kepada setiap negara baik negara maju, berkembangan dan Low Income agar meningkatkan pendapatan devisa negaranya. 3 Perdagangan internasional juga bemanfaat untuk memenuhi kebutuhan setiap warga negara dengan terpenuhinya produktivitas barang dan jasanya serta meningkatan taraf hidup manusia dengan mudahnya setiap orang memenuhi kebutuhan pokoknya. Untuk mendukung liberalisasi perdagangan internasional, WTO (World Trade Organization) dalam kerangka aturan hukumya mewajibkan kepada setiap anggota WTO (World Trade Organization) untuk patuh dalam prinsip perdagangan internasional. Salah

hlm.1. 1 Muhamaad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2011),

2 Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton, ‘Fair Trade For All How Trade Can Promote Development’ (Oxford University Press inc, 2005), hlm 11. 3 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013). hlm.19.

71

satu prinsip utama perdagangan bebas yaitu Non-diskriminasi yang terdiri dari dua : Most Favored Nation dan National Treatment.4

WTO (World Trade Organization) memberikan pengucualian atas pelanggaran prinsip-prinsip perdagangan bebas yaitu yang tercantum General Exceptions yaitu pada pasal 20 GATT yang menjelaskan beberapa komponen setiap negara boleh melakukan hambatan atau penghentian dalam perdagangan dengan beberapa alasan.5 Salah satunya adalah pasal 20 GATT huruf b berbunyi “necessary to protect human, animal or plant life or health”. 6 Dan pasal 20 GATT huruf g berbunyai “relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption”. 7 WTO (World Trade Organization) mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan ini didalam Preamble of the World Trade Organization yang menjelaskan bahwa setiap perdagangan internasional harus meningkatkan taraf hidup secara optimal dengan memperhatikan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dalam setiap pembangunan ekonomi. 8

Salah kasus yang berhubungan dengan lingkungan dan perdagangan adalah kasus Indonesia melawan Uni-eropa. Kasus ini bermula dengan dikeluarkan suatu kebijakan oleh Uni Eropa yaitu Renewable Energy Directive II (RED II) yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement.9 Indonesia keberatan dengan Pasal 26 ayat (2) RED II turunan dari pengaturan Indirect land-use change (ILUC) yang menjelaskan bahwa setiap negara membatasi penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi. Uni Eropa berpendapat bahwa negaranegara anggota Uni Eropa tidak boleh mengkonsumsi bahan bakar biofuels, bioliquid atau biomass yang dalam proses penamannya yang menggunakan lahan

4 Ibid 5 Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton, Ot Cipt,. hlm 14-15. 6 Pasal 20 GATT huruf b The General Agreement On Tariffs And Trade 7 Pasal 20 GATT huruf g The General Agreement On Tariffs And Trade 8 Ibid 9 Sekar Wiji Rahayu dan Fajar Sugianto, ‘Implikasi Kebijakan Dan Diskriminasi Pelarangan Ekspor Dan Impor Minyak Kelapa Sawit Dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia’. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 16 Nomor 2. 2020. hlm. 205

72

gambut dan lahan basah, kecuali disertifikasi sebagai bahan bakar yang berisiko rendah .

Kebijakan Uni Eropa ini akan terus melakukan pembatasan hingga tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%. Sehingga pada akhirnya kebijakan RED II menyebabkan hambatan perdagangan internasional di Eropa untuk tidak lagi melakukan ekspor impor biofuels, bioliquid atau biomass yang masih menggunakan lahan gambut dan lahan basah dalam alih fungsi lahannya10. Permasalahan Indonesia dan Uni Eropa muncul dari kebijakan ini Renewable Energy Directive II (RED II) mengingat bahan bakar sawit merupakan bakan bakar berbentuk biofuels, bioliquid, atau biomass. 11 Perlu dipahami bahwa berdasarkan data ekspor minyak sawit merupakan penyumbang devisa negara yang besar bagi Indonesia mengingat ekspor minyak sawit mencapai 70% melebihi kebutuhan dalam negeri yang cukup 30% telah memenuhi kebutuhan dalam negeri.12 Hal ini tentunya dapat mempengaruhi devisa Indonesia mengingat target eropa pada tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%.13

Indonesia sebagai negara pengekpor minyak sawit membuat suatu pernyataan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Uni-eropa yaitu Renewable Energy Directive II merupakan tindakan yang diskriminatif dalam perdagangan internasional. Sehingga indonesia melakukan konsultasi pada WTO dengan melakukan Request For Consultation. Indonesia menganggap bahwa Uni-eropa melakukan hambatan dalam perdagangan internasional yang dianggapnya aturan tersebut melanggar pasal I:1 GATT. Pasal I:1 GATT menjelaskan Prinsip Most Favored Nation yang berarti bahwa setiap negara anggota WTO tidak boleh memperlakukan berbeda sesama anggota WTO dalam suatu produk barang yang

10 Philippe Dusser, “Review The European Energy Policy for 2020-2030 RED II : What Future for Vegetable Oil as A Source of Bioenergy?”, Oilseeds and Fats, Crops and Lipids Journal. Volume 26. No 51. 2019. hlm. 4 11 Ibid 12 European Commission.“Report From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions On The Status Of Production Expansion Of Relevant Food And Feed Crops Worldwide”, Report From The Commission (European Commission 2019). hlm 3 13 Hari Widowati, “Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa”https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a50331f13c/sejarah-dan-kontroversikampanye-anti-minyak-sawit-uni-eropa, diakses pada 05 Juni 2022.

73

masuk kedalam negaranya. Maka dari kasus ini dapat kita pahami posisi kasus antara Indonesia dan Uni eropa berkenaan dengan produk minyak sawit yang menjadi permasalahan dimana kedua negara memposisi kasus ini dalam dua pandangan. Padangan pertama Uni Eropa mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk melindungi lingkungan sebagai mana yang diatur dalam Paris Agreement, sedangkan indonesia beranggapan tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa merupakan suatu tindakan diskriminasi dalam produk minyak sawit yang tidak sesuai dengan Prinsip Most Favored Nation.

2.1 Rumusan Masalah

Pada kasus Indonesia dan Uni-eropa terdapat isu hukum menarik yang perlu dibahas terutama tentang permasalahan kasus pembatasan impor minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa. Uni Eropa memberikan kebijakan tersebut ditujukan kepada negara-negara yang masih menanam sawit dengan penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi. Adapun isu hukum dalam artikel ini, yaitu : 1. Apakah Kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) Oleh Uni Eropa Merupakan Pelanggaran Terhadap Prinsip Most Favored Nation Pada Produk Minyak Sawit Indonesia ?

2.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Apakah Kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) Oleh Uni Eropa Merupakan Pelanggaran Terhadap Prinsip Most Favored Nation Pada Produk Minyak Sawit Indonesia 2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normative, penelitian yuridis normatif sendiri adalah penelitian yang membahas tentang doktrin-doktrin atau asas-asas, penelitian ini kerap disebut sebagai penelitian Teoritis. Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 14Pendekatan perundang-undangan adalah pengkajian terhadap suatu undang-undang atau konvensi internasional, serta perkembangan historis tentang

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm. 133

74

pengaturan tentang hukum lingkungan dan perdagangan internasional.15 Pendekatan konseptual berasal dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.16 Penggunaan konseptual yang digunakan oleh penulis di harapkan menemukan pemikiran mengenai pengertian hukum, konsep hukum dan asas-asas hukum dalam konteks perdagangan internasional dan lingkungan internasional. 3. Analisis Dan Pembahasan

Kasus indonesia dan Uni-eropa muncul dikarenakan suatu kebijakan oleh Uni Eropa yaitu Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Act yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement atau Paris Agreement on Climate Change following the 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Indonesia menganggap bahwa Uni-eropa melakukan hambatan dalam perdagangan internasional yaitu dengan melakukan tindakan diskriminasi yang melanggar pasal I:1 GATT. Pasal I:1 GATT menjelaskan Prinsip Most Favored Nation yang berarti bahwa setiap negara anggota WTO tidak boleh memperlakukan berbeda sesama anggota WTO dalam suatu produk barang yang masuk kedalam negaranya.17 Sedangkan Padangan Uni Eropa mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk melindungi lingkungan sebagaimana yang diatur dalam Paris Agreement dan mewajibakan negara-negara pengimpor untuk patuh dalam Renewable Energy Directive II (RED II).18

Sebelum menganalisa kasus Indonesia dan Uni Eropa tentunya perlu dipahami terlebih dahulu prinsip utama dalam GATT yaitu Prinsip Most Favored Nation yang menjelaskan bahwa setiap anggota WTO harus berkomitmen pada aturan WTO untuk tidak melakukan dikriminasi kepada anggota WTO dengan tidak melakukan dikriminasi produk. Secara implisit pengertian dari Prinsip Most Favored Nation adalah prinsip non diskirminasi yang memberikan ketentuan dan

15 Ibid., hlm. 136. 16 Ibid., hlm. 177. 17 Pasal 1 ayat 1 The General Agreement On Tariffs And Trade 18 Pasal 20 The General Agreement On Tariffs And Trade

75

perberlakuan yang sama terhadap setiap anggota WTO tanpa syarat-syarat (immediately and unconditionally).19

Pada kasus ini Indonesia menganggap bahwa Pihak Uni Eropa telah melakukan dikriminasi produk minyak sawit terutama Indonesia keberatan dengan Pasal 26 ayat (2) RED II turunan dari pengaturan Indirect land-use change (ILUC) yang menjelaskan bahwa setiap negara membatasi penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi. Uni Eropa juga dalam pasal ini menjelaskan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa tidak boleh mengkonsumsi bahan bakar biofuels, bioliquid atau biomass yang dalam proses penanamannya yang menggunakan lahan gambut dan lahan basah, kecuali disertifikasi sebagai bahan bakar yang berisiko rendah. Kebijakan Uni Eropa ini akan terus melakukan pembatasan hingga tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%.20 Sehingga pada akhirnya kebijakan RED II menyebabkan hambatan perdagangan internasional di Eropa untuk tidak lagi melakukan ekspor impor biofuels, bioliquid atau biomass yang masih menggunakan lahan gambut dan lahan basah dalam alih fungsi lahannya.

Perlu dipahami bahwa kebijakan Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) sangat merugikan Indonesia mengingat bahan bakar sawit merupakan bakan bakar berbentuk biofuels, bioliquid, atau biomass. Perlu dipahami bahwa berdasarkan data ekspor minyak sawit merupakan penyumbang devisa negara yang besar bagi Indonesia mengingat ekspor minyak sawit mencapai 70% melebihi kebutuhan dalam negeri yang cukup 30% telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia mendapatkan devisa negara pertahunya dari minyak sawit sebesar US$ 20,54 miliar atau Rp 289 triliun rupiah. 21Adapun tujuan eskpor minyak sawit Indonesia adalah Tiongkok sebanyak 4,41juta ton, Uni Eropa sebanyak 4,78 juta ton dan India sebanyak 6,71 juta ton. Sehingga secara tidak langsung Indonesia kehilangan atau akan merugi 4,78 juta ton dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni-eropa yaitu Renewable

19 Huala Adolf, Ot Cipt., hlm.21. 20 Hari Widowati, “Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa”, https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a50331f13c/sejarah-dan-kontroversi-kampanye-antiminyak-sawit-uni-eropa, diakses pada 05 Juni 2022. 21 Sekar Wiji Rahayu and Fajar Sugianto, Ot Cipt, hlm.230.

76

Energy Directive II (RED II) tentunya dapat mempengaruhi devisa Indonesia mengingat target eropa pada tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%. Sehingga dapat didilihat pemasukan indonesia sebagai negara pengekspor sawit akan merugi sebanyak 4,78 juta ton. Dari kebijakan tersebut maka Indonesia akan mengalami kerugian sebesar US$ 858 juta atau sekitar Rp. 12 triliun setiap tahunnya. 22

Secara tidak langsung Uni Eropa dalam Renewable Energy Directive II (RED II) mengindikasikan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia dapat merusakan lingkungan global terutama penggunaan lahan gambut dan lahan basah yang digunakan oleh perusahan-perusahan yang digunakan untuk menanam sawit. Dapat dipahami bahwa perkebunan sawit Indonesia dalam pengusaannya terbagi menjadi 3 penguasaan yaitu : 1. Perkebunan Rakyat menguasai 6,9% lahan sawit, 2. Perkebunan Negara menguasai 41,5% lahan sawit dan Perkebunan Swasta menguasai 51,6% lahan sawit dari total 14,68 juta hektar. 23Umumnya Pohon sawit di Indonesia tumbuh di lahan basah dan lahan gambut sehingga secara tidak langsung minyak kelapa sawit Indonesia termasuk pelarangan impor yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (2) RED II turunan dari pengaturan Indirect landuse change (ILUC) yang menjelaskan bahwa setiap negara membatasi penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi.

Indonesia beargumentasi bahwa anggapan tersebut tidak didasarkan pada penelitian dampak linglungan yang memadai, mengingat budidaya minyak kelapa sawit merupakan tumbuhan yang ramah lingkungan terutama dalam proses produksi, pengumpulan bahan baku minyak sawit, pengolahan sawit, distribusi hingga taraf konsumsi minyak dari pada dampak lingkungan pada biji rapa dan biji matahari sehingga Indonesia menanggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Uni-eropa adalah tindakan diskirminatif. 24Indonesia menyangkan kebijakan untuk menghentikan dan melakukan ekspor minyak sawit oleh Uni Eropa.

22 Ibid, hlm.233. 23 Gisa Rachma Khairunisa and Tanti Novianti, ‘Daya Saing Minyak Sawit dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa Terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa’, Jurnal Agribisnis Indonesia. Vol. 5 No. 2, Desember 2017. hlm. 130. 24 Hari Widowati, “Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa”,( katadata.co.id, 2019) diakses pada 05 Juni 2022.

77

Indonesia berkesimpulan bahwa Renewable Energy Directive II (RED II) merupakan tindakan yang melanggar pasal I:1 GATT yang menjelaskan Prinsip Most Favored Nation yang berarti bahwa setiap negara anggota WTO tidak boleh memperlakukan berbeda sesama anggota WTO dalam suatu produk barang yang masuk kedalam negaranya. Indonesia juga menitikberatkan kepada Uni-Eropa mengapa Lahan gambut dan lahan basah menjadi permasalahan hambatan terhadap terhadap perdagangan internasional mengingat dalam proses proses produksi, pengumpulan bahan baku minyak sawit, pengolahan sawit, distribusi hingga taraf konsumsi penanaman sawit Indonesia lebih baik dari pada dampak lingkungan pada biji rapa dan biji matahari.

Sebelum merujuk pada posisi Uni-Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) tentunya harus dipahami terlebih dahulu bahwa Prinsip Most Favored Nation bukanlah Prinsip yang tidak boleh dilanggar secara absolut mengingat setiap negara berhak memberikan Exceptions pada suatu produk tertentu yang diperbolehkan dan tercantum dalam The General Agreement On Tariffs And Trade. 25Pemberlakukan General Exceptions tentu memberikan padangan padangan WTO (World Trade Organization) bahwa suatu produk boleh diberikan hambatan atau melarang produk tersebut masuk kedalam negaranya. Salah satunya yang tercantum dalam pasal 20 GATT huruf b berbunyi “necessary to protect human, animal or plant life or health”, pasal ini menjelaskan bahwa setiap negara boleh melakukan Exceptions pada suatu produk apabila produk tersebut diperlukan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhtumbuhan. 26Selain itu terdapat pasal 20 GATT huruf g berbunyai “relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption”. 27 kedua Pasal ini tentunya sangat berhubungan dengan aspek lingkungan mengingat dalam perkembangan perjanjian WTO, WTO berupaya untuk memberikan perlindungan lingkungan dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional yaitu prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam

25 Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton, Ot Cipt,. hlm.14-15. 26 Pasal 20 GATT huruf b The General Agreement On Tariffs And Trade 27 Pasal 20 GATT huruf g The General Agreement On Tariffs And Trade

78

perdagangan internasional. 28 WTO (World Trade Organization) mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan ini tercantum didalam Preamble of the World Trade Organization yang menjelaskan bahwa setiap perdagangan internasional harus meningkatkan taraf hidup secara optimal dengan memperhatikan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan tetap berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dalam setiap pembangunan ekonomi. 29

Uni Eropa memberikan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) bukan tanpa alasan dan memberikan Exceptions pada produk minyak sawit indonesia dengan alasan lingkungan internasional. Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Act yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement atau Paris Agreement on Climate Change following the 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change. 30Salah satu pasal yang memberatkan Indonesia sebagai negara pengeskpor sawit ke Uni Eropa adalah recitals RED II no 8 yang menjelaskan bahwa ketikan perubahan penggunaan lahan basah dan lahan gambut untuk ditanami biofuel, bioliquids dan bahan bakar biomassa dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca sehingga kegiatan tersebut dapat menyebabkan pemanasan global Climate Change dan menyebabkan kerugian pada aspek lingkungan.31

Uni Eropa menyatakan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa tidak boleh mengkonsumsi bahan bakar biofuels, bioliquid atau biomass yang dalam proses penamannya yang menggunakan lahan gambut dan lahan basah, kecuali disertifikasi sebagai bahan bakar yang berisiko rendah . Kebijakan Uni Eropa ini akan terus melakukan pembatasan hingga tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%. Sehingga pada akhirnya kebijakan RED II menyebabkan hambatan perdagangan internasional di Eropa untuk tidak lagi melakukan ekspor impor biofuels, bioliquid atau biomass yang masih

28Mella Ismelina Farma Rahayu, Ot cipt .hlm.230. 29 Ibid 30 Sekar Wiji Rahayu and Fajar Sugianto, Ot Cipt, hlm.210. 31 Verdinand Robertua, Environmental Diplomacy: Case Study Of The Eu-Indonesia Palm Oil Dispute.Jurnal Hubungan Internasional. Vol.2 No.1 Januari-Juni 2019. Hlm 3

79

menggunakan lahan gambut dan lahan basah dalam alih fungsi lahannya. Adapun isi Pasal 26 ayat (2) RED II, yaitu :32 “For the calculation of a Member State's gross final consumption of energy from renewable sources referred to in Article 7 and the minimum share referred to in the first subparagraph of Article 25(1), the share of high indirect land use change-risk biofuels, bioliquids or biomass fuels produced from food and feed crops for which a significant expansion of the production area into land with high-carbon stock is observed shall not exceed the level of consumption of such fuels in that Member State in 2019, unless they are certified to be low indirect land-use changerisk biofuels, bioliquids or biomass fuels pursuant to this paragraph. From 31

December 2023 until 31 December 2030 at the latest, that limit shall gradually decrease to 0 %...”

Uni eropa berpendapat bahwa tindakan Exceptions (pengecualian) yang dilakukan oleh Uni Eropa bukanlah tindakan yang dikriminatif atau melanggar Prinsip Most Favored Nation yang dituduhkan oleh Indonesia. 33Tindakan Exceptions sejatinya sejalan dengan Paris Agreement on Climate Change following the 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change dimana indonesia juga telah meratifikasinya dalam bentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement .34 Sehingga Uni Eropa meminta komitmen indonesia untuk mempehatikan selain melakukan perdagangan internasional bebas dan adil, akan tetapi Indonesia juga harus memperhatikan aspek lingkungan terutama adanya indikasi bahwa lahan gambut yang dalih fungsi akan meningkat gas rumah kaca secara berlebih.

Adanpun tindakan Uni Eropa sendiri dikarenakan Indonesia menjadi negara yang mempunyai lahan gambut kedua terbesar di dunia yang mencapai 22,5 juta hektare (ha). Lahan gambut di Indonesia ini tersebar diberbagai pulau di Indonesia

32 Pasal 26 ayat (2) Recitals Renewable Energy Directive II (RED II) 33 Akbar Kurnia Putra, “Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization”, Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 46 No. 1 tahun 2016. Hlm.93. 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement

80

yaitu: Papua yang mempunyai lahan gambut seluas 6,3 juta hektare (ha), Riau yang mempunyai lahan gambut seluas 2,2 juta hektare (ha), yang mempunyai lahan gambut seluas 2,2 juta hektare (ha), Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut seluas 2,7 juta hektare (ha), Kalimantan Barat yang mempunyai lahan gambut seluas 1,8 juta hektare (ha), Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan masing-masing mempunyai lahan gambut seluas 0,6 hektare (ha) dan Sumatera Selatan yang mempunyai lahan gambut seluas 1,7 hektare (ha). lahan gambut sendiri terbentuk dari bahan-bahan organik selama ribuan tahun yang mengendap didalam tanah yang bertujuan untuk menyimpan 30 persen karbon dunia. 35

Saat ini Uni Eropa memperhatikan Indonesia yang mulai mengembangkan lahan gambut menjadi pohon sawit yang di Indikasikan akan menggunakan lahan gambut sebanyak 14 hektare (ha) di seluruh Indonesia. Tindakan Indonesia tersebut tentunya akan sangat mempengaruhi keadaan lingkungan global di dunia mengingat Indonesia menjadi negara kedua terbesar yang mempunyai lahan gambut sebanyak 22,5 juta hektare (ha). maka secara tidak langsung 40-50% lahan gambut di Indonesia berpotensi untuk dialih fungsikan untuk tanaman kelapa sawit sehingga menjadi persoalan lingkungan internasional.

Uni Eropa juga sangat mempertimbangkan bahwa alih fungsi lahan gambut sebagai tanaman kelapa sawit akan membuat perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah. Perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah pada era gambut yang telah dialih fungsikan sebagai tanaman kelapa sawit akan menyebabkan gambut kering sehingga akan mengalami oksidasi gambut sehingga gambut akan melepaskan CO2(karbon dioksida) ke atmosfer. Lepasnya CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer akan menghasilakan 20 ton CO2 (karbon dioksida) perhektare (ha)/pertahun sehingga tindakan ini akan menyembabkan pemanasan global. 36 Uni Eropa berupaya untuk mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk menghindari pemanasan global sehingga tindakan yang dilakukan oleh

35 Soni Sisbudi Harsono. Mitigation and Adaptation Peatland through Sustainable Agricultural Approaches in Indonesia. Asian Journal of Applied Research for Community Development and Empowerment. Vol. 4 No.1 tahun 2020 hlm.10. 36 Oksariwan Fahrozi.'Analisis Karakteristik Lahan Gambut Di Bawah Tegakan Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Riau'. Fakultas Pertanian Universitas Riau.Vol.7 No 31.Tahun 2013. Hlm 9

81

Uni Eropa bukanlah suatu tindakan yang melanggar Prinsip Most Favored Nation. Dapat dilihat bahwa dengan alasan Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) mengindikasikan bahwa setiap negara yang ingin melakukan ekspor ke anggota Uni Eropa harus memperhatikan aspek lingkungan. Perlu diingat bahwa setiap perdagangan internasional tentunya harus mempehatikan lingkungan internasional, hal ini tercantum di dalam Preamble of the World Trade Organization dengan menyatakan:37 “.....expanding the production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of the world resources in accordance with the objective of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment and enhance the means of doing so in a manner consistence with their respective needs and concerns at different levels economic development”

Maka dapat dipahami bahwa pemberlakukan Renewable Energy Directive II (RED II) bukanlah tindakan yang diskiminatif dan dalih Indonesia yang menyatakan bahwa tindakan yang melanggar pasal I:1 GATT yang menjelaskan Prinsip Most Favored Nation tidak dapat dibenarkan. Mengingat tindakan Uni Eropa melakukan Exceptions oleh pihak Indonesia pada produk minyak sawit didasarkan pada pasal 20 GATT huruf (b) dan pasal 20 GATT huruf (g) yang fokus pada aspek lingkungan dan sumber daya alam yaitu tanah gambut bila tidak diperhatikan kelestariannya akan menyebabkan pemanasan global. 38Pada kasus ini, Indonesia harus cermat dalam melakukan Konservasi lingkungan terutama kebijakan untuk menjadikan tanah gambut untuk dijadikan pohon sawit. Selain itu apabila Indonesia ingin menggugat Uni-Eropa di WTO (World Trade Organization) harus dapat membuktikan bahwa tindakan Renewable Energy Directive II (RED II) benar-benar melakukan diskriminasi akan tetapi pada penulisan ini dapat dilihat bahwa bukti-bukti diskriminasi yang di sampaikan oleh Indonesia tidak sejalan dengan kebijakan Indonesia sendiri sebagai negara yang telah bergabung dalam Paris Agreement on Climate Change following the 21st

37 Preamble of the World Trade Organization 38 Muhammad Hanif Faishal. Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi Dalam Perdagangan Kelapa Sawit Antara Indonesia Dan Uni Eropa. PalArch's Journal of Archaeology of Egypt .Vol.17 No 3. 2020 hlm. 12-24

82

Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change dimana indonesia telah meratifikasinya dalam bentuk UndangUndang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement. 4. Kesimpulan

Uni Eropa memberikan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) bukan tanpa alasan akan tetapi Renewable Energy Directive II (RED II yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement. Uni Eropa juga sangat mempertimbangkan bahwa alih fungsi lahan gambut sebagai tanaman kelapa sawit akan membuat perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah. Perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah pada area gambut yang telah dialih fungsikan sebagai tanaman kelapa sawit akan menyebabkan gambut kering sehingga akan mengalami oksidasi gambut sehingga gambut akan melepaskan CO2(karbon dioksida) ke atmosfer. Lepasnya CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer akan menghasilakan 20 ton CO2 (karbon dioksida) perhektare (ha)/pertahun sehingga tindakan ini akan menyembabkan pemanasan global.

Maka dapat dipahami bahwa pemberlakukan Renewable Energy Directive II (RED II) bukanlah tindakan yang diskiminatif dan dalih Indonesia yang menyatakan bahwa tindakan yang melanggar pasal I:1 GATT yang menjelaskan Prinsip Most Favored Nation tidak dapat dibenarkan. Memingat Uni Eropa melakukan Exceptions oleh pihak Indonesia pada produk minyak sawit didasarkan pada pasal 20 GATT huruf (b) dan pasal 20 GATT huruf (g) yang fokus pada aspek lingkungan dan sumber daya alam yaitu tanah gambut bila tidak diperhatikan kelestariannya akan menyebabkan pemanasan global. Sehingga Uni Eropa berupaya untuk mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk menghindari pemanasan global dan tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa bukanlah suatu tindakan yang melanggar Prinsip Most Favored Nation. Dapat dilihat bahwa dengan alasan Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) mengindikasikan bahwa setiap negara yag ingin melakukan ekspor ke anggota Uni Eropa harus memperhatikan aspek lingkungan

83

Buku : DAFTAR PUSTAKA

Muhamaad Sood. Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2011)

Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton. ‘Fair Trade For All How Trade Can Promote Development’ (Oxford University Press inc, 2005)

Huala Adolf. Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2013).

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2017)

Jurnal :

Mella Ismelina Farma Rahayu, ‘Isu Penegakan Hukum Lingkungan dalam

Kerangka Perdagangan Bebas di Era Globalisasi’. Jurnal Sosial dan

Pembangunan. Volume. 19 No. 3 Juli – September 2003

Sekar Wiji Rahayu and Fajar Sugianto. ‘Implikasi Kebijakan Dan Diskriminasi

Pelarangan Ekspor Dan Impor Minyak Kelapa Sawit Dan Bijih Nikel

Terhadap Perekonomian Indonesia’. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 16

Nomor 2. 2020.

Dusser, Philippe. “Review The European Energy Policy for 2020-2030 RED II :

What Future for Vegetable Oil as A Source of Bioenergy?”. Oilseeds and

Fats, Crops and Lipids Journal. Volume 26. No 51. 2019

European Commission.“Report From The Commission To The European

Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee

And The Committee Of The Regions On The Status Of Production

Expansion Of Relevant Food And Feed Crops Worldwide”, Report From

The Commission (European Commission 2019)

Dwi F. Moenardy. Determination of Restrictions on Palm Oil Biofuel Imports by the European Union Through RED II (Reneweable Energy Directive)

Against CPOPC (the Council of Palm Oil Producing Countries). Review of

International Geographical Education.Vol. 11 No. 5 Tahun 2021

Gisa Rachma Khairunisa and Tanti Novianti, ‘Daya Saing Minyak Sawit dan

Dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa Terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa’, Jurnal Agribisnis Indonesia. Vol 5 No 2,

Desember 2017

Verdinand Robertua. Environmental Diplomacy: Case Study Of The Eu-Indonesia

Palm Oil Dispute.Jurnal Hubungan Internasional. Vol.2 No.1 Januari-Juni 2019.

84

Akbar Kurnia Putra, “Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization”, Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 46 No. 1 tahun 2016

Jurnal Hukum & Pembangunan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang

Pengesahan Paris Agreement

Soni Sisbudi Harsono. Mitigation and Adaptation Peatland through Sustainable

Agricultural Approaches in Indonesia. Asian Journal of Applied Research for Community Development and Empowerment. Vol 4 No.1 tahun 2020

Oksariwan Fahrozi.'Analisis Karakteristik Lahan Gambut Di Bawah Tegakan

Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Riau'. Fakultas Pertanian Universitas

Riau.Vol.7 No 31.Tahun 2013.

Muhammad Hanif Faishal. Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi Dalam

Perdagangan Kelapa Sawit Antara Indonesia Dan Uni Eropa. PalArch's

Journal of Archaeology of Egypt .Vol.17 No 3. 2020

Dasar Hukum :

The General Agreement On Tariffs And Trade

Preamble of the World Trade Organization

Internet:

Hari Widowati. ‘Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa’.( katadata.co.id, 2019) https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a50331f13c/sejarah-dankontroversi-kampanye-anti-minyak-sawit-uni-eropa. Diakses pada 05 Juni 2022.

85

BIOGRAFI PENULIS

R. Yahdi Ramadani, S.H lahir di Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, 05 Desember 1997. Ia adalah merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Saat ini Ia aktif bekerja di PT. Jembatan Nusantara Group sebagai Staf Legal. Ia juga bekerja sebagai Asisten Peneliti Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas

Airlangga. Di bidang sosial, ia pernah menjadi anggota kacong jebbing bangkalan pada tahun 2014 yang fokus untuk memberikan edukasi untuk melestarikan budaya dan adat-istiadat Kabupaten Bangkalan.

Dr. Aktieva Tri Tjitrawat, S.H, M.Hum Lahir 07 Januari 1964. Ia adalah dosen di Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga dimana beliau menjadi staf pengajar sejak tahun 1989. Ia meraih gelar Magister dan Doktor di Universitas Padjadjaran dan studi sarjana di Universitas Airlangga. Beliau meraih gelar doktor pada tahun 2005, jurusan perdagangan internasional dan hukum lingkungan. Menjabat sebagai Ketua Program Sarjana Hukum dari tahun 2014 hingga 2020, setelah menjadi Ketua Departemen Hukum Internasional pada tahun 2011. Saat ini, beliau menjabat sebagai Ketua Program Magister Hukum.

86

This article is from: