57 minute read

POLANDIA-BELARUSIA

KEWAJIBAN NEGARA DALAM PENERAPAN PRINSIP NON-REFOULEMENT

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL: ANALISIS POTENSI PELANGGARAN

Advertisement

PRINSIP NON-REFOULEMENT DALAM KEBIJAKAN IMIGRASI POLANDIA

TERHADAP PENCARI SUAKA DARI TIMUR TENGAH DI PERBATASAN

POLANDIA-BELARUSIA

Athallah Zahran Ellandra

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

zahranathallah19@gmail.com

Fahira Nauradhia Arifin

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

fahiraarifin@gmail.com

Qonita Syahfitri Meizarini Zulkarnaini Fakultas Hukum Universitas Indonesia

qonitasyahfitri@gmail.com

Abstrak

Pemerintah Polandia menerapkan kebijakan imigrasi yang melegalkan pengusiran pencari suaka dari Timur Tengah di perbatasan Polandia-Belarusia. Padahal, dalam Refugee Convention dikenal prinsip non-refoulement yang melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan pencari suaka ke wilayah dimana kehidupannya akan terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip non-refoulement dalam kebijakan imigrasi Polandia terhadap pencari suaka dari Timur Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Polandia gagal menjalankan kewajibannya menurut hukum internasional dalam menerapkan prinsip nonrefoulement terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia-Belarusia berdasarkan Refugee Convention. Kata Kunci: Kebijakan Imigrasi, Kewajiban Negara, Non-refoulement, Pencari Suaka, Polandia.

1

STATE RESPONSIBILITY IN APPLYING THE NON-REFOULEMENT PRINCIPLE

UNDER THE INTERNATIONAL LAW: ANALYSIS ON THE POTENTIAL

VIOLATIONS OF THE NON-REFOULEMENT PRINCIPLE IN POLAND'S

IMMIGRATION POLICY AGAINST ASYLUM SEEKERS FROM THE MIDDLE

EAST AT THE POLAND-BELARUSIAN BORDER

Abstract

The Polish government implemented an immigration policy that legalized the expulsion of asylum seekers from the Middle East on the Polish-Belarusian border. In fact, the Refugee Convention recognizes the principle of non-refoulement which prohibits states from expelling or returning asylum seekers to areas where their lives will be threatened. This research aims to examine the application of the principle of non-refoulement in Poland's immigration policy towards asylum seekers from the Middle East. The research method used is the normative juridical approach. The results showed that Poland failed to fulfill its obligations under international law in applying the principle of non-refoulement to Middle Eastern asylum seekers at the Poland-Belarus border based on the Refugee Convention. Keywords: Immigration Policy, State Responsibility, Non-refoulement, Asylum Seekers, Poland.

2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketika berbagai kalangan menyebut krisis Ukraina sebagai krisis kemanusiaan terbesar yang dialami Eropa setelah bertahun-tahun lamanya, perlu diingat bahwa sejak 2021 Eropa juga menghadapi krisis kemanusiaan lainnya, yakni permasalahan terkait pencari suaka dari negara-negara Timur Tengah di perbatasan PolandiaBelarusia. Penyebab krisis pengungsi ini sebenarnya secara tidak langsung didorong oleh pengenaan sanksi oleh Uni Eropa (“UE”) terhadap Belarusia.1 Meski Presiden Belarusia Alexander Lukashenko membantah bahwa Belarusia mendorong pencari suaka untuk datang dan menggunakan perbatasan Belarusia untuk memasuki Eropa, tetapi kenyataannya terdapat perubahan kebijakan migrasi di Belarusia yang memudahkan pencari suaka di Belarusia agar dapat masuk ke Eropa, yaitu dengan dibuatnya kebijakan bebas visa selama satu bulan untuk 76 negara di dunia.2 Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Belarusia, pemerintah Polandia merespon dengan mengeluarkan kebijakan baru mengenai migrasi dan pencari suaka yang ingin memasuki wilayahnya. Namun, berbeda dengan respon yang diberikan kepada pencari suaka Ukraina yang diterima secara positif, Polandia mengeluarkan kebijakan yang melarang pencari suaka memasuki perbatasan Polandia-Belarusia dengan cara mengizinkan petugas perbatasan untuk mendorong kembali pencari suaka yang masih mencoba memasuki Polandia, yakni melalui Regulation of the Minister of the Interior and Administration of August 20, 2021 yang mengubah Regulation on Temporary Suspension or Restriction of Border Traffic at Certain Border Crossings (“MSWiA Regulation”). 3 Hal ini tentu tidak sesuai dengan kebijakan pencari suaka yang dicanangkan oleh UE. Di sisi lain, Belarusia juga terus memaksa para pencari suaka untuk melanjutkan aksinya memasuki perbatasan

1 Akbar Yudha Susila,“Poland’s Double Standard Response on Ukraine and Belarus-Poland Border Refugee Crisis” https://kontekstual.com/polands-double-standard-response-on-ukraine-and-belarus-polandborder-refugee-crisis/, diakses 27 Juli 2022. 2 BBC News, “Belarus Border Crisis: How Are Migrants Getting There?” https://www.bbc.com/news/59233244, diakses 27 Juli 2022. 3 Sarah Huemer, “Polish Parliament Approves Law for Migrant Pushbacks at Belarus Border”, https://www.politico.eu/article/polish-parliament-approved-law-for-migrant-pushbacks-at-the-border/, diakses 27 Juli 2022.

3

Polandia secara legal maupun ilegal.4 Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan para pencari suaka harus terjebak dan bertahan hidup di daerah perbatasan PolandiaBelarusia

Dalam kerangka hukum internasional, hak dan kewajiban negara terkait pengungsi diatur dalam Convention relating to the Status of Refugees 1951 (“Refugee Convention”) beserta protokolnya yakni Protocol Relating to the Status of Refugees (“Protokol 1967”). Prinsip pokok dalam konvensi ini yang menjadi salah satu kewajiban negara terhadap pengungsi adalah prinsip non-refoulement, dimana negara dilarang untuk mengembalikan (refoulement) seseorang yang mencari perlindungan internasional ke negara lain yang mana kehidupannya akan terancam. Selain Refugee Convention, prinsip non-refoulement juga dijelaskan dalam European Convention on Human Rights (“ECHR”) dan International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”). Polandia sendiri adalah salah satu negara anggota dari Refugee Convention, sehingga Polandia pada hakikatnya wajib menaati prinsip nonrefoulement, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 Refugee Convention. Namun, dalam prakteknya, Polandia sempat melanggar prinsip nonrefoulement, yang mana pelanggaran itu diputuskan oleh European Court of Human Rights (“ECtHR”) dalam kasus D.A Others v. Poland pada 2021. Dalam kasus ini, pada Juli 2017 tiga orang Warga Negara Suriah dengan inisial DA, MA, dan SK ingin memasuki Polandia melalui perbatasan Polandia-Belarusia namun ditolak oleh otoritas Polandia serta diusir kembali ke Belarusia.5 Karena hal tersebut, ketiga orang itu menggugat Polandia ke ECtHR dan memohon ECtHR dapat menggunakan Rule 39 of the Rules of Court of ECtHR untuk memerintahkan Polandia agar tidak mengusir ketiga orang ini dari perbatasan Polandia-Belarusia.6 Adapun Majelis Hakim dalam kasus ini berpendapat bahwa ketentuan dari hukum UE, utamanya dalam Schengen Borders Code dan Asylum Procedure Directive, telah mengakui keberlakuan prinsip non-refoulement, dan berlaku juga bagi setiap orang yang harus menjalankan pemeriksaan di perbatasan negara-negara anggota UE.7 Sehingga, di

4 Lorenzo Tondo, “In Limbo: The Refugees Left on the Belarusian-Polish Border – A Photo Essay”,https://www.theguardian.com/global-development/2022/feb/08/in-limbo-refugees-left-on-belarusianpolish-border-eu-frontier-photo-essay, diakses 27 Juli 2022. 5 European Court of Human Rights, “Case of D.A. and Others v. Poland (Facts of the Case),” 22 November 2021, hlm. 2. 6 Ibid., hlm. 3. 7 Ibid., hlm. 16.

4

bawah Schengen Borders Code, Polandia seharusnya tidak perlu mengirim DA, MA, dan SK kembali ke Belarusia jika permohonan perlindungan internasional mereka telah diterima dan ditinjau dengan baik.8 Pada akhirnya, Majelis Hakim mengeluarkan putusannya pada 8 Juli 2021, yang menyatakan bahwa Polandia telah melanggar Pasal 3 Refugee Convention dan Dibawah Rule 39 of the Rules of Court, Polandia tidak diperbolehkan untuk memulangkan DA, MA, dan SK ke Belarus hingga putusan ini bersifat final.9

Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengkaji pengaturan mengenai pengungsi dan pencari suaka menurut hukum internasional, pengaturan mengenai prinsip nonrefoulement menurut hukum internasional, dan pelanggaran Polandia terhadap prinsip non-refoulement dalam kebijakan nasionalnya terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia-Ukraina.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mengenai pengungsi dan pencari suaka menurut hukum internasional?

2. Bagaimana pengaturan mengenai prinsip non-refoulement menurut hukum internasional?

3. Apakah kebijakan Polandia terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia-Belarusia melanggar prinsip non-refoulement?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Polandia melaksanakan kewajiban negaranya dalam menerapkan prinsip non-refoulement terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia-Belarusia.

1.4 Metode Penelitian

Penyusunan jurnal ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara melihat dari sisi yuridis normatif. Penelitian hukum normatif ini mencakup penelitian

8 Ibid. 9 Ibid.

5

terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.10 Pengumpulan data dalam penyusunan jurnal ini menggunakan teknik studi kepustakaan yang merupakan metode pengumpulan data melalui data tertulis dengan menggunakan konten analisis.11 Oleh karena itu, karakteristik utama dalam melakukan penelitian ini terletak pada sumber data yang digunakan, yaitu sumber data sekunder, yang berupa bahan hukum primer seperti konvensi-konvensi internasional dan yurisprudensi/putusan pengadilan internasional, serta bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, kamuskamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas konvensi internasional & putusan pengadilan internasional.

II. PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Pencari Suaka dan Pengungsi 2.1.1 Pencari Suaka

Dikutip dari buku Refugees: A Short Introduction, pencari suaka dapat diartikan sebagai seseorang yang telah melarikan diri dari negara asalnya dan mencari perlindungan dari penganiayaan atau konflik di negara lain sebagai pengungsi yang diakui.12 Menurut Black’s Law Dictionary, pencari suaka (asylee) didefinisikan sebagai “A refugee applying for asylum”.13 UNHCR memberikan definisi pencari suaka sebagai “person whose application for refugee status is being processed according to the asylum procedure or who are otherwise registered as asylum seekers”.14 Istilah pencari suaka belum didefinisikan secara tegas di dalam konvensi internasional. Pada esensinya, pencari suaka dapat diartikan sebagai seseorang yang mencari perlindungan internasional.15 Secara praktik, pencari suaka merupakan status keimigrasian yang diatur oleh negara dalam hukum nasional, yang merujuk pada status seseorang yang telah mendaftar secara formal kepada pihak berwenang untuk diberikan perlindungan dari negara tersebut dan berstatus sebagai pengungsi.16 Hak mencari suaka dalam hukum internasional dapat ditemukan dalam Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari dan mendapatkan suaka di negara lain atas dasar

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), hlm. 43. 11 Ibid. 12Gil Loescher, Refugees: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1,

hlm. 31.

13 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Saint Paul: Thomson Reuters, 2009), cet. 9, hlm. 144. 14 UNHCR, Global Report 2004: Achievements and Impact, (s.l.: s.n., s.a.), hlm. 45. 15 Frances Nicholson dan Judith Kumin, A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System, (s.l.: Inter-Parliamentary Union and the UNHCR, 2017), hlm. 17. 16 Ibid.

6

melindungi dirinya dari pengejaran.

17 Namun, hak tersebut dikecualikan dari orang yang dikejar karena kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar PBB.18

2.1.2 Pengungsi

Black’s Law Dictionary mendefinisikan pengungsi sebagai “A person who flees or is expelled from a country, especially because of persecution, and seeks haven in another country.”19 Untuk diakui sebagai pengungsi, seseorang harus memenuhi unsur adanya rasa takut yang beralasan akan dianiaya jika dikembalikan ke negara asal atau tempat tinggalnya.20 Hal ini sesuai dengan definisi pengungsi yang dikemukakan dalam Pasal 1 huruf A Refugee Convention, yang menyatakan sebagai berikut:21

“For the purposes of the present Convention, the term "refugee" shall apply to any person who: owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.” Pasal tersebut memberikan beberapa kriteria bagi seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi, yakni:22

1. Seseorang yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan

Terkait cakupan dari unsur “penganiayaan”, meskipun tidak

ada definisi umum yang tersedia, UNHCR telah mengidentifikasi beberapa kategori umum situasi yang dapat dianggap sebagai penganiayaan. Adapun kategori umum tersebut diantaranya yaitu:23

17 UN General Assembly, “Universal Declaration of Human Rights,” https://www.refworld.org/docid/3ae6b3712c.html, diakses 22 Juli 2022. 18 Ibid. 19 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Saint Paul: Thomson Reuters, 2009), cet. 9, hlm. 1394 20 Frances Nicholson dan Judith Kumin, A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System, (s.l.: Inter-Parliamentary Union and the UNHCR, 2017), hlm. 132. 21 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 1 huruf A. 22 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 56. 23 Ibid, hlm. 57.

7

a. ancaman terhadap kehidupan atau kebebasan karena karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial, atau pendapat politik; b. pelanggaran serius lainnya terhadap hak asasi manusia karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial, atau pendapat politik; c. diskriminasi yang mengarah pada akibat yang secara substansial bersifat merugikan bagi orang yang bersangkutan, seperti pembatasan pada hak untuk mencari nafkah, hak untuk menjalankan agamanya, atau akses ke fasilitas pendidikan yang biasanya tersedia; d. tindakan diskriminatif yang tidak sama dengan penganiayaan, tetapi yang menghasilkan, dalam pikiran orang yang bersangkutan, perasaan khawatir dan tidak aman sehubungan dengan keberadaannya di masa depan; e. penuntutan pidana atau ketakutan akan hal itu atas salah satu alasan yang tercantum dalam definisi pengungsi atau hukuman yang berlebihan atau ketakutan akan hal itu atas suatu tindak pidana. Penganiayaan yang dimaksud disini dapat terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh negara, juga dapat berasal dari agen-agen non-negara, seperti kelompok bersenjata, kelompok kriminal, anggota keluarga atau populasi umum, di mana negara tidak dapat atau tidak mau memberikan perlindungan.24

2. Penganiayaan harus karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik

Penganiayaan yang dikhawatirkan harus memiliki hubungan sebabakibat dengan salah satu dari 5 (lima) alasan: ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik. Dalam kasus-kasus tertentu, tidak dimungkinkan untuk menetapkan maksud

24 Frances Nicholson dan Judith Kumin, A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System, (s.l.: Inter-Parliamentary Union and the UNHCR, 2017), hlm. 132.

8

atau motif pelaku, sehingga hal tersebut tidak menjadi prasyarat.25 Fokusnya adalah pada keadaan yang dikhawatirkan dari pencari suaka dalam konteks negara secara keseluruhan. Selain itu, kelima alasan tersebut cukup dijadikan faktor relevan yang berkontribusi terhadap penganiayaan, dan tidak perlu menjadi penyebab utama atau penyebab satu-satunya.26

3. Orang tersebut harus berada di luar negara kebangsaannya atau, jika tidak berkewarganegaraan, di luar negara tempat tinggalnya sebelumnya; 4. Orang tersebut harus tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu untuk dirinya sendiri.

Selain dari yang disebutkan di atas, ketentuan mengenai cakupan dari istilah pengungsi juga termuat dalam Pasal 1 huruf C hingga huruf F yang mengatur mengenai pengecualian-pengecualian istilah tersebut yaitu diantaranya adalah orang yang telah bersedia untuk mendapatkan perlindungan negara asalnya kembali,27 telah melakukan kejahatan perang,28 telah bersalah atas tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB,29 dan lain-lain. Pada esensinya, orang yang diakui sebagai pengungsi adalah individu yang telah melarikan diri dari penganiayaan dan konflik di negara asalnya dan tidak lagi menikmati perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara suatu negara.30 Refugee Convention sebagai instrumen hukum internasional utama yang mengatur mengenai pengungsi telah menetapkan hak-hak pengungsi. Pengungsi berhak untuk dilindungi dan harus memiliki akses ke pengadilan nasional, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan, dan sejumlah hak sosial, ekonomi, dan sipil lainnya yang setara dengan warga negara dari negara tuan rumah. Pasal 1 huruf A angka 1 Refugee Convention juga merupakan pasal yang tidak diperbolehkan untuk direservasi oleh

25 Ibid, hlm. 133. 26 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 58. 27 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 1 huruf C angka (1). 28 Ibid., Ps. 1 huruf F poin (a). 29 Ibid., Ps. 1 huruf F poin (c). 30 Gil Loescher, Refugees: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1,

hlm. 32.

9

negara anggotanya, sehingga seluruh negara yang telah meratifikasi wajib untuk memberlakukan ruang lingkup pengungsi tersebut.31

2.1.3 Praktik Negara terkait Status Pengungsi dan Pencari Suaka

Istilah “pengungsi” dan “pencari suaka” seringkali digunakan secara bersamaan dengan pengertian yang sama, ataupun dengan pengertian yang berbeda. Secara kasat mata, Refugee Convention tidak menyebut istilah pencari suaka sama sekali. Sementara itu, dalam penerapan hukum nasional, “pengungsi” dan “pencari suaka” seringkali diinterpretasikan sebagai status hukum yang berbeda. Pencari suaka biasanya merujuk pada seseorang yang telah melarikan diri dari negara asalnya dan sedang dalam proses mencari perlindungan di negara lain, sedangkan pengungsi merujuk pada seseorang yang telah secara formal diterima permohonannya oleh negara dimana ia mencari perlindungan. Perbedaan ini disebabkan negara penerima menganggap imigrasi dan suaka sebagai masalah kedaulatan nasional, sehingga pada praktiknya terdapat perbedaan dari satu negara ke negara lain.32 Dalam Konstitusi Polandia 1997, tepatnya pada Pasal 56, telah diatur bahwa orang asing yang mencari perlindungan dari penganiayaan akan diberikan status pengungsi sesuai dengan Refugee Convention. Pasal tersebut memaparkan sebagai berikut: 1. Foreigners shall have a right of asylum in the Republic of Poland in accordance with principles specified by statute. 2. Foreigners who, in the Republic of Poland, seek protection from persecution, may be granted the status of a refugee in accordance with international agreements to which the Republic of Poland is a party. Sementara itu, Australia yang juga negara anggota Refugee Convention, memberikan definisi terhadap istilah pengungsi dalam Migration Act 1958 yang telah diamandemen melalui Migration And Maritime Powers Legislation Amendment (Resolving The Asylum Legacy Caseload) Act 2014. Dalam Pasal 5H Migration Act 1958, disebutkan bahwa seseorang yang berada di Australia dikategorikan sebagai pengungsi apabila:33 (a) in a case where the person has a nationality—is outside the country of his or her nationality and, owing to a well‑founded fear of persecution, is unable or unwilling to avail himself or herself of the protection of that country; or

31 Cathryn Costello, Michelle Foster, dan Jane McAdam, The Oxford Handbook of International Refugee Law, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 174. 32 Gil Loescher, Refugees: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1,

hlm. 38.

33 Australia, Migration And Maritime Powers Legislation Amendment (Resolving The Asylum Legacy Caseload) Act 2014, ps. 5H.

10

(b) in a case where the person does not have a nationality—is outside the country of his or her former habitual residence and owing to a well‑founded fear of persecution, is unable or unwilling to return to it. Selain itu, Turki sebagai negara yang telah meratifikasi Refugee Convention pada 1962 juga memiliki regulasi nasional tersendiri terkait dengan pengungsi. Regulasi tersebut tertuang dalam Law No. 6458 of 2013 on Foreigners and International Protection (as amended 29 Oct 2016). Pasal 61 menerangkan bahwa seseorang diberikan status sebagai pengungsi apabila proses penentuan statusnya telah selesai. Pasal tersebut mengatur definisi pengungsi sebagai berikut:34 A person who as a result of events occurring in European countries and owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his citizenship and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself or herself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it, shall be granted refugee status upon completion of the refugee status determination process. ”

Lantas, hal yang menjadi pertanyaan adalah, kapan negara-negara menerapkan hak-hak pengungsi: apakah setelah, atau termasuk sebelum status hukum pengungsi diberikan secara resmi? Apabila suatu negara tidak memiliki kewajiban perlindungan pengungsi kecuali dan sampai seseorang secara tegas ditemukan memenuhi kriteria definisi pengungsi, suatu negara yang berniat buruk mungkin memilih untuk menunda penerimaan seseorang yang mencari suaka di wilayahnya, atau bahkan menghindarinya sama sekali.35 Terkait hal ini, UNHCR telah memberikan penjelasan:36 A person is a refugee within the meaning of the 1951 Convention as soon as he fulfils the criteria contained in the definition. This would necessarily occur prior to the time at which his refugee status is formally determined. Recognition of his refugee status does not therefore make him a refugee but declares him to be one. He does not become a refugee because of recognition, but is recognized because he is a refugee.

Dapat dipahami bahwa seseorang disebut sebagai pengungsi ketika ia memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 1 huruf A angka 1 Refugee Convention. Ia tidak harus diberikan status hukum sebagai pengungsi secara resmi oleh otoritas terlebih dahulu untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi. Hal ini mengindikasikan bahwa ketentuan-ketentuan yang memberikan hak bagi pengungsi

34 Turki, Law No. 6458 of 2013 on Foreigners and International Protection (as amended 29 Oct 2016),

ps. 61.

35 Cathryn Costello, Michelle Foster, dan Jane McAdam, The Oxford Handbook of International Refugee Law, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 175. 36 Ibid.

11

yang diatur dalam Refugee Convention juga berlaku pada mereka yang belum diterima secara resmi oleh negara penerima sekalipun, sepanjang dia telah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh konvensi tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Refugee Convention juga mencakup hak untuk para pencari suaka.

2.2 Pengaturan Prinsip Non-Refoulement Dalam Hukum Internasional

Terhadap pengungsi dan pencari suaka, negara memiliki beberapa kewajiban yang telah ditentukan berdasarkan hukum internasional yang mengikat. Perjanjianperjanjian internasional yang secara tegas mengatur mengenai pengungsi diantaranya yaitu Refugee Convention, Protokol 1967, dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984 (“CAT”). Sementara itu, peraturan dalam lingkup regional seperti yang berlaku di UE, diantaranya yakni European Union Charter (“EU Charter”), European Convention on Human Rights (“ECHR”), Schengen Borders Code, dan Directive 2013/32/EU of the European Parliament and of the Council of 26 June 2013 on common procedures for granting and withdrawing international protection (“Asylum Procedures Directive”), turut mengikat negara-negara anggota dalam menjalankan kewajibannya terhadap orang yang mencari perlindungan internasional. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, negara anggota memiliki kewajiban prinsipil sebagai berikut:

Tabel 1

12

Meskipun secara eksplisit tidak ada kewajiban dalam hukum internasional untuk memberikan perlindungan internasional bagi pencari suaka, negara-negara tetap terikat oleh prinsip non-refoulement dalam Pasal 33 Refugee Convention. Prinsip fundamental yang mendasari perlindungan bagi orang yang mencari suaka ini melarang negara untuk tidak menolak atau mengusir atau mengembalikan seseorang yang bukan warga negaranya ke negara yang besar kemungkinan dapat membahayakan kehidupan dan hak asasinya. Kekuatan hukum yang mengikat negara terhadap prinsip non-refoulement didasarkan pada konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional, serta jus cogens. Melalui konvensi internasional, prinsip ini terjamin dalam dua rezim utama: 1) rezim hukum pengungsi, dan 2) rezim hukum hak asasi manusia (“HAM”). Pertama, pada Refugee Convention, prinsip non-refoulement terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:

No Contracting State shall expel or return ("refouler") a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion.37

Sekilas, ruang lingkup dari prinsip non-refoulement dalam Refugee Convention tampak terbatas pada istilah “pengungsi” sebagaimana didefinisikan

dalam Pasal 1 huruf A. Meskipun demikian, Pasal 33 Refugee Convention juga berlaku bagi pengungsi yang belum diakui secara formal, seperti pencari suaka yang sedang melakukan permohonan atas perlindungan internasional kepada suatu negara, karena pengakuan sebagai pengungsi bersifat deklaratif.38 Dalam konteks penerapan oleh negara, Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan unsur “…in any manner whatsoever…” memberikan arti luas bahwa negara tidak

boleh melakukan refoulement dengan cara apapun, artinya hal ini termasuk semua bentuk pemindahan seseorang dari wilayah suaka yang dituju.39 Selain itu,

37 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33 ayat (1). 38 European Asylum Support Office, Judicial analysis Asylum procedures and the principle of nonrefoulement, (Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2018), hlm. 27. 39 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law: Practitioners Guide No. 6, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 110.

13

keberlakuan prinsip non-refoulement juga mencakup pengungsi atau pencari suaka yang berada di perbatasan negara maupun yang berada di dalam wilayah negara.40 Namun, dalam Pasal 33 ayat (2) Refugee Convention terdapat pengecualian terhadap penerapan prinsip non-refoulement, yang menyatakan bahwa prinsip nonrefoulement tidak berlaku bagi seseorang yang memberi alasan yang masuk akal dianggap berbahaya bagi keamanan negara karena pernah dihukum atas kejahatan di negara asalnya, sehingga berbahaya bagi masyarakat di negara yang dituju.41 Walaupun demikian, pengecualian ini harus diinterpretasikan secara restriktif,42 dan hanya dapat diterapkan oleh negara apabila terdapat bukti secara langsung dengan orang yang berkaitan.43 Kedua, prinsip non-refoulement juga ditemukan dalam rezim hukum HAM, yaitu melalui CAT dan International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (“ICCPR”). Dalam rezim hukum HAM, kasus non-refoulement yang berkembang secara preseden adalah pengusiran atau pengembalian seorang pengungsi yang beresiko terhadap hukuman dan perlakuan yang tidak manusiawi seperti penyiksaan.44 Berbeda dengan rezim hukum pengungsi, non-refoulement dalam rezim hukum HAM bersifat absolut, artinya wajib diterapkan oleh negara anggota tanpa pengecualian apapun.45 Syarat penerapan prinsip non-refoulement menurut rezim hukum HAM adalah adanya resiko bahwa seorang pengungsi akan mengalami penganiayaan apabila diusir atau dikembalikan ke negara lain.46 Hal yang menjadi standar untuk membuktikan resiko tersebut adalah hadirnya suatu alasan substansial untuk meyakini bahwa seorang pengungsi benar-benar menghadapi resiko tersebut. Resiko ini harus bersifat personal bagi pengungsi, seperti misalnya dapat dibuktikan bahwa orang dengan ras, agama, bangsa, atau kelompok sosial dan politik yang sama dengannya juga terancam

40 Ibid. 41 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33 ayat (2). 42 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 245. 43 Kadarudin, “Penerapan Prinsip Non Refoulement Oleh Indonesia Sebagai Negara Transit Pengungsi Internasional,” (Tesis Magister Universitas Hasanuddin, Makassar), hlm. 70. 44 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law: Practitioners Guide No. 6, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 113. 45 Ibid., hlm. 121. 46 Ibid., hlm. 112.

14

kehidupan dan kebebasannya.47 Namun, dalam keadaan luar biasa, “mere general situations of violence” atau situasi kekerasan secara umum yang terjadi di negara asal

juga dapat menjadi dasar untuk mempertimbangkan ancaman yang dialami oleh pengungsi.48 Dasar atas pertimbangan resiko diperkuat dengan bukti bahwa pengungsi telah mengalami pelanggaran HAM.49 Pertimbangan ini juga dapat didukung apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh negara tujuan. Jadi, resiko ancaman yang dihadapi pengungsi dapat dipertimbangkan atas dasar pelanggaran yang ia alami baik sebelum maupun sesudah ia berada di negara tujuan. Selain berlaku dalam perjanjian internasional, prinsip non-refoulement telah memperoleh status sebagai hukum kebiasaan internasional, dan dalam perkembangannya, juga dikategorikan sebagai jus cogens. Dengan sifatnya sebagai hukum kebiasaan internasional, maka prinsip non-refoulement mengikat semua negara, terlepas dari apakah mereka menjadi pihak dalam Refugee Convention atau tidak.50 Sementara itu, dengan status jus cogens, prinsip non-refoulement menjadi suatu standar internasional yang telah diakui dan dianut oleh masyarakat internasional yang tidak dapat diselewengkan, diubah, dan/atau dikalahkan oleh ketentuan hukum lainnya, sebagaimana yang diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.51

2.2.1 Pengaturan Prinsip Non-Refoulement dalam Refugee Convention

Di dalam Refugee Convention sendiri, terdapat beberapa prinsip yang bertujuan untuk memberi perlindungan maksimal kepada pengungsi, yang mana prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:52 1. Non-discrimination principle, bermakna bahwa perlindungan terhadap pengungsi harus dilakukan tanpa mendiskriminasi ras, agama, maupun negara asal pengungsi tersebut.53

47 Ibid., hlm. 115. 48 Ibid. 49 Ibid., hlm. 116. 50 Jean Allain, “The jus cogens Nature of non-refoulement,” International Journal of Refugee Law, Volume 13, Issue 4 (2001), hlm. 538. 51 M. Alvi Syahrin, “The Principle of Non-refoulement as Jus Cogens: History, Application, and Exception in International Refugee Law,” Journal of Indonesian Legal Studies, Volume 6, No. 1 (2021), hlm. 68.

52 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33.

15

2. Non-expulsion principle, bermakna bahwa pengungsi tidak boleh untuk ditolak untuk memasuki negara penerima kecuali apabila kehadiran pengungsi itu dapat berakibat pada terganggunya keamanan nasional atau ketertiban umum negara itu.54 3. Non-refoulement principle, bermakna bahwa pengembalian pengungsi ke negara asalnya yang dapat mengancam keselamatan hidup mereka dengan alasan ras, agama, atau afiliasi politik adalah dilarang.55 4. Non-penalization principle, prinsip ini melarang negara memperlakukan pencari suaka atau pengungsi sebagai seorang pelanggar hukum walaupun cara mereka memasuki negara penerima secara ilegal.56 Asas non-refoulement sendiri diatur dalam Pasal 33 Refugee Convention, yang berbunyi sebagai berikut: 1. No Contracting State shall expel or return (‘refouler’) a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of the territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion. 2. The benefit of the present provision, may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country.

Pasal 33 ini memiliki ruang lingkup yang luas dalam mengatur perlindungan yang dapat diberikan dan dikembangkan kepada pengungsi.57 Menurut Commentary to the 1951 Refugee Convention, Pasal 33 berlaku untuk semua pengungsi yang secara fisik berada di dalam wilayah dari negara anggota tanpa mempertimbangkan apakah keberadaannya legal atau ilegal.58 Sir Elihu Lauterpacht dan Daniel Betlehem menjelaskan bahwa frasa “expel or return (‘refouler’) a refugee in any manner whatsoever” dapat dimaknai sebagai larangan eksplisit atas semua tindakan untuk memindahkan pengungsi (termasuk penolakan, pengusiran, deportasi, dan

53 Ibid., Ps. 2. 54 Ibid., Ps. 32. 55 Ibid., Ps. 33. 56 Ibid., Ps. 31. 57 David Weissbrodt dan Isable Hortreiter, The Principle of Non-refoulement: Article 3 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumane and Degrading Treatment or Punishment in Comparison with the Non-refoulement Provisions of Other International Human Rights Treaties, 5 Buffalo Human Rights Law Review 1, 18 (1999). 58 UNHCR, Commentary on the Refugee Convention 1951, (Jenewa: Division of International Protection of the United Nations High Commissioner for Refugees, 1997), Ps. 33.

16

pengembalian).59 Karena, pemindahan pengungsi, apalagi hingga memulangkannya ke negara asalnya, beresiko melanggar HAM dari pengungsi tersebut, utamanya adalah hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari perbuatan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.60

Penggunaan ekspresi “in any manner whatsoever” mengindikasikan bahwa asas non-refoulement harus diartikan secara luas dan tanpa pembatasan.61 Hal ini juga berarti asas non-refoulement harus diterapkan tanpa harus dibatasi adanya perjanjian ekstradisi antar negara. Apabila terdapat konflik di antara kewajiban akan nonrefoulement berdasarkan 1951 Refugee Convention dengan perjanjian ekstradisi di antara negara anggota, kecuali telah dilakukan reservasi terhadap Pasal 33 oleh negara anggota, maka non- refoulement yang akan berlaku sesuai dengan asas lex posterior derogate legi priori.62 Terakhir, terdapat juga frasa “where his life or freedom would be threatened” yang diinterpretasikan sebagai ketakutan atas persekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Refugee Convention.

2.2.2 Pengaturan Prinsip Non-Refoulement dalam Konvensi Internasional Lainnya a. European Convention on Human Rights (“ECHR”)

Mengenai asas non-refoulement dalam ECHR, ECHR tidak mengatur secara eksplisit, namun terdapat yurisprudensi ECtHR yang mengatakan bahwa tindakan pengusiran seseorang ke suatu negara yang dapat mengancam keselamatan dirinya dapat berujung pada pelanggaran Pasal 3 ECHR.63 Yurisprudensi tersebut adalah kasus Soering v. United Kingdom pada tahun 1990, dimana asas non-refoulement diaplikasikan untuk pertama kalinya.64 Singkatnya, kasus ini melibatkan Soering yang merupakan seorang terdakwa pembunuhan yang menurut hukum Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat harus menjalani proses peradilan yang memungkinkan Soering divonis

59 Sir Elihu Lauterpacht dan Daniel Bethlehem, Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 112. 60 Ibid. 61 Alice Farmer, “Non-refoulement and Jus Cogens: Limiting Anti-Terror Measures that Threaten Refugee Protection,” Georgetown Immigration Law Journal, (2008), hlm. 6. 62 Malcolm Shaw KC, International Law, Cet. 6, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hlm. 125. 63 Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary, cet..2, (Kehl: N.P. Engel Publisher, 2005), hlm. 185. 64 L.E. Bacaian, The Protection of Refugees and Their Right to Seek Asylum in the European Union, Institut Européen de l'Université de Genève, Collection Europa, Master Thesis, Vol.70, 2011, hlm. 40.

17

hukuman mati.65 Lalu, ECtHR menetapkan bahwa hukuman mati yang

Soering alami dapat dikategorikan sebagai death row phenomenon yang melanggar Pasal 3 ECHR.66 ECtHR kemudian memutuskan bahwa Pasal 3 juga mencakup kewajiban tersirat untuk negara anggota untuk tidak mengekstradisi seseorang ke tempat dimana individu itu dapat terancam keselamatan hidupnya.67 Dengan demikian, ECHR berlaku ke semua individu yang berada di dalam wilayah yurisdiksi negara anggota, yaitu negara-negara di Benua Eropa. Selain itu tidak terdapat pengaturan eksplisit mengenai asas non- refoulement melainkan diidentifikasi sebagai kewajiban implisit dalam rangka memenuhi kewajiban menurut ECHR, khususnya Pasal 3.

b. International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”)

Sama halnya seperti ECHR, asas non-refoulement dalam ICCPR tidak diatur secara spesifik, namun Pasal 2 dari ICCPR merinci tipe-tipe obligasi atau kewajiban yang mewajibkan negara anggota dalam menghormati dan memastikan pemenuhan hak asasi manusia yang dijamin di dalam kovenan termasuk kewajiban untuk tidak mengekstradisi, mendeportasi, mengusir atau memindahkan seorang individual dari wilayah mereka ke wilayah lain dimana individu tersebut akan menghadapi resiko kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (risk of irreparable harm).68 Hal ini terjadi dalam kasus Kindler v.

Canada, dimana Human Rights Committee (“HRC”) menerapkan asas nonrefoulement untuk pertama kalinya. Kasus tersebut melibatkan ekstradisi seorang individu yang dihadapkan dengan hukuman atas pembunuhan dan penculikan di Pennsylvania di tahun 1985. Kindler melarikan diri ke Quebec,

Kanada sebelum eksekusi hukuman dilakukan.69

2.2.3 Pengecualian dalam Prinsip Non-Refoulement a. Pengecualian dalam Prinsip Non-Refoulement Menurut Refugee Convention

65 Jelena Ristik, “The Right to Asylum and the Principle of Non-Refoulement Under the European Convention of Human Rights”, European Scientific Journal, Vol. 13, No. 28, 2017, hlm. 115. 66 Soering v. The United Kingdom, 1/1989/161/217, Council of Europe: European Court of Human Rights, 7 July 1989, para. 90. 67 Ibid., para. 35-6. 68 Manfred Nowak, Op. Cit.., hlm. 21. 69 Kindler v. Canada (Minister of Justice), [1991] 2 S.C.R. 779, Canada: Supreme Court, 26 September 1991, para. 15.3.

18

Prinsip non-refoulement yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) Refugee Convention tidak bersifat absolut. Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) Refugee Convention, dinyatakan bahwa: “The benefit of the present provision may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country. ” Berdasarkan ketentuan tersebut, larangan bagi Pengungsi untuk dikembalikan secara paksa ke suatu negara, di mana kehidupan dan kebebasannya akan terancam, tidak berlaku bagi Pengungsi yang mengancam keamanan negara tempat pengungsi, dan telah mendapat putusan akhir dari hakim atas kejahatan berat yang dilakukannya, serta membahayakan publik negara setempat. Pada dasarnya pengungsi dapat dikembalikan dengan dua alasan: (i) jika terjadi ancaman terhadap keamanan nasional negara tuan rumah; dan (ii) dalam hal sifat dan catatan kriminalnya terbukti membahayakan masyarakat. UNHCR telah menyatakan, bahwa praktik negara-negara dan travaux preparatoire dari Refugee Convention menunjukkan bahwa pelanggaran pidana, tanpa implikasi keamanan nasional yang spesifik, tidak dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.70 UNHCR juga menafsirkan “particularly serious crime” sebagai kejahatan

yang sangat berat dan “hanya boleh dipertimbangkan ketika satu atau beberapa

hukuman merupakan gejala dari sifat kriminal yang pada dasarnya tidak dapat diperbaiki dari orang tersebut dan di mana tindakan-tindakan lain, seperti penahanan, penempatan atau pemukiman kembali di negara lain. tidak praktis untuk mencegahnya membahayakan masyarakat”.71

Pengecualian prinsip non-refoulement harus diinterpretasikan secara restriktif72 dan hanya berlaku untuk keadaan yang sangat mendesak di mana harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara keberadaan pengungsi di

70 UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), “UNHCR Note on the Principle of Non-Refoulement,” https://www.refworld.org/docid/438c6d972.html, diakses 25 September 2022. 71 UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), UNHCR Note on the Principle of Non-Refoulement, November 1997, https://www.refworld.org/docid/438c6d972.html, diakses 25 September 2022. 72 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 245.

19

suatu negara dengan keamanan nasional negara yang terancam.73 Pengecualian juga tidak berlaku bagi penerapan prinsip non-refoulement meskipun terjadi fenomena migrasi pengungsi secara masif (large-scale influx) yang dapat menyebabkan kesulitan bagi negara penerima gelombang pengungsi untuk mencari solusi penempatan.74 The Executive Committee of the High Commissioner’s Programme telah menegaskan bahwa prinsip nonrefoulement diterapkan dalam keadaan yang melibatkan irregular movement of refugees and asylum seekers terlepas dari efek destabilisasi dari tindakan tersebut.75 Apabila situasi large-scale influx dapat dikatakan menimbulkan bahaya bagi keamanan negara tempat pengungsi, Conclusion No. 22 dari Executive Committee of the High Commissioner’s Programme atas rekomendasi Sub-Committee of the Whole on International Protection of

Refugees memperjelas bahwa 'dalam semua kasus large-scale influx, prinsip dasar non-refoulement – termasuk non-rejecting di perbatasan – harus diperhatikan dengan cermat'.76 Pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat dengan menerapkan uji proporsionalitas antara bahaya terhadap keamanan masyarakat atau beratnya kejahatan, dan konsekuensi bagi pengungsi jika dia dikembalikan ke negara asalnya.77 Pencari suaka harus diterima di Negara tempat mereka pertama kali mencari perlindungan.78 Jika Negara tersebut tidak dapat menerima mereka untuk jangka waktu yang lama, Negara tersebut harus selalu menerima mereka setidaknya untuk sementara dan memberi mereka perlindungan sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi ras,

73 M. Alvi Syahrin, “The Principle of Non-refoulement as Jus Cogens: History, Application, and Exception in International Refugee Law,” Journal of Indonesian Legal Studies, Volume 6, No. 1 (2021), hlm. 173.

74 Rohmad Yulianto, “Integrasi Prinsip Non-Refoulement Dengan Prinsip Jus Cogens Pada Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14 (November 2020), hlm. 497. 75 UNHCR, “Problem Of Refugees And Asylum-Seekers Who Move In An Irregular Manner From A Country In Which They Had Already Found Protection,” https://www.unhcr.org/uk/4aa77aa09.pdf, diakses 25 September 2022. 76 UNHCR, “Protection of Asylum-Seekers in Situations of Large-Scale Influx No. 22 (XXXII) - 1981,” https://www.unhcr.org/excom/exconc/3ae68c6e10/protection-asylum-seekers-situations-large-scale-influx.html, diakses 26 September 2022. 77 Sir Elihu Lauterpacht, Daniel Bethlehem, Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection, ed. Erika Feller, Volker Turk, dan Frances Nicholson (s.l.: Cambridge University Press, 2003), hlm. 135; Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 342. 78 UNHCR, “Protection of Asylum-Seekers in Situations of Large-Scale Influx No. 22 (XXXII) - 1981,” https://www.unhcr.org/excom/exconc/3ae68c6e10/protection-asylum-seekers-situations-large-scale-influx.html, diakses 26 September 2022.

20

agama, pendapat politik, kebangsaan, negara asal atau ketidakmampuan fisik, prinsip non-refoulement, dan non-rejection. 79 Aturan pengecualian ini juga harus diartikan bersama dengan ketentuan Pasal 32 Refugee Convention, di mana negara tidak dapat Dalam setiap kasus di mana Negara berusaha untuk menerapkan pengecualian terhadap prinsip non-refoulement, Negara harus terlebih dahulu mengambil semua langkah yang wajar untuk mengamankan penerimaan individu yang bersangkutan ke negara ketiga yang aman.80

b. Praktek Negara terhadap Pengecualian Prinsip Non-Refoulement

Sebagai state parties terhadap Refugee Convention, Amerika Serikat pernah menerapkan pengecualian terhadap prinsip non-refoulement.

Pengecualian ini telah direproduksi di bawah ketentuan The Immigration and

Nationality Act (INA) 208 (b)(2), yang menetapkan bahwa orang asing tidak dapat mengajukan permohonan suaka jika, (i) orang asing memerintahkan, menghasut, membantu, atau berpartisipasi dalam penganiayaan setiap orang di rekening ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik; (ii) orang asing, yang telah dihukum oleh keputusan akhir atas kejahatan yang sangat serius, merupakan bahaya bagi komunitas Amerika Serikat; (iii) ada alasan serius untuk meyakini bahwa orang asing tersebut telah melakukan kejahatan non-politik yang serius di luar

Amerika Serikat sebelum kedatangan orang asing di Amerika Serikat; (iv) ada alasan yang masuk akal untuk menganggap orang asing sebagai bahaya bagi keamanan Amerika Serikat; (v) orang asing tersebut terlibat dalam kegiatan teroris dalam pengertian INA 212(a)(3)(B)(i) atau 237(a)(4)(B); dan terakhir, (vi) orang asing tersebut dimukimkan kembali secara tegas di negara lain sebelum tiba di Amerika Serikat. Setelah peristiwa 11 September 2001, undang-undang baru diberlakukan yang juga membatasi hak-hak pencari suaka, khususnya, U.S. Patriot Act dan Real ID Act of 2005. Undang-undang ini mengubah beberapa undang-undang, diantaranya, undang-undang imigrasi, yang menetapkan bahwa orang asing yang terlibat dalam kegiatan teroris tidak memenuhi syarat untuk menerima visa dan tidak diizinkan masuk ke Amerika

79 Ibid. 80 Sir Elihu Lauterpacht, Daniel Bethlehem, “The scope and content of the principle of nonrefoulement: Opinion,” dalam Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection, ed. Erika Feller, Volker Turk, dan Frances Nicholson (s.l.: Cambridge University Press, 2003), hlm. 134.

21

Serikat. Di bawah U.S. Patriot Act, istilah 'kegiatan teroris' berarti setiap kegiatan yang melanggar hukum menurut undang-undang tempat dilakukannya (atau yang, jika dilakukan di Amerika Serikat, akan melanggar hukum menurut undang-undang Amerika Serikat atau Negara Bagian mana pun). Diatur pula bahwa seseorang yang terlibat dalam kegiatan terorisme, antara lain, jika dia melakukan tindakan yang diketahui, atau seharusnya diketahui oleh pelaku, memberikan dukungan material, termasuk rumah persembunyian, transportasi, komunikasi, dana, transfer dana atau keuntungan finansial material lainnya, dokumentasi atau identifikasi palsu, senjata (termasuk bahan kimia, biologi, atau radiologi), bahan peledak, atau pelatihan untuk tindakan teroris, aktivitas, atau individu atau organisasi teroris. Ketentuan “seseorang yang telah memberikan dukungan kepada individu atau

organisasi yang telah terlibat dalam “kegiatan teroris” sebagaimana

didefinisikan secara luas oleh INA tidak serta merta menimbulkan bahaya bagi keamanan Amerika Serikat”.81 Kritik lain dari istilah "dukungan material" adalah bahwa istilah itu tidak membedakan pengungsi yang memberikan dukungan dengan sukarela dengan yang di bawah tekanan atau paksaan. Ketentuan U.S. Patriot Act ini berdampak langsung pada pengungsi dan pencari suaka. Human Rights First, sebuah organisasi non-pemerintah, menyatakan bahwa jumlah tersebut pengungsi yang terkena dampak adalah sekitar 18.000. Salah satu kasusnya ialah melibatkan seorang wanita Baptis dari minoritas China di Burma (Myanmar) dimana hakim imigrasi dan BIA menerima bahwa wanita tersebut memiliki ketakutan yang dapat dipercaya akan penganiayaan dan meskipun dia memberikan dukungan materi yang sederhana kepada China National From, kelompok yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang tidak didukung Amerika Serikat, dukungan itu tidak mewakili ancaman terhadap keamanan Amerika Serikat. Namun, Mahkamah beralasan bahwa karena U.S. Patriot Act of 2001 dan Real ID Act of 2005 mendefinisikan “organisasi terorisme” begitu luas, maka pemohon masuk ke dalam lingkup kegiatan terorisme dan oleh karena

81 Cfr. United Nations High Commissioner for Refugees, “Amicus Curiae in Support of Petitioner, Thawng Vung Thang v. Alberto Gonzales”, http://www.refworld.rujgrflgfekwpo, diakses 26 September 2022.

22

itu suaka harus ditolak.82 Terhadap ketentuan U.S. Patriot Act, UNCHR telah menyatakan bahwa jika seseorang, yang memberikan dukungan kepada organisasi teroris di bawah ketentuan INA, tidak menimbulkan bahaya bagi keamanan Amerika Serikat, atau setidaknya tidak ada alasan yang masuk akal untuk menganggap orang itu berbahaya, maka penolakan penahanan penghapusan berarti pelanggaran prinsip non-refoulement.

83

2.3 Potensi Pelanggaran Prinsip Non-Refoulement dalam Kebijakan Polandia terhadap Pencari Suaka Timur Tengah di Perbatasan Polandia-Belarusia 2.3.1 Kebijakan Polandia terhadap Pencari Suaka dari Timur Tengah di Perbatasan Polandia-Belarusia

Negara Polandia terletak di dua lempeng geopolitik yang menghubungkan negara-negara di Eropa Barat, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan negara-negara Balkan. Lokasi yang strategis ini menimbulkan banyak tantangan regional bagi Polandia. Salah satunya ialah sebagai negara tujuan bagi para pencari suaka dari zona konflik yang berasal dari negara-negara Timur Tengah seperti Suriah, Irak, Yaman, dan Afghanistan. Pada pertengahan tahun 2021, jumlah pencari suaka yang ingin melintasi Polandia melalui perbatasan Polandia-Belarusia meningkat secara signifikan dari 100 menjadi 3000 per bulan.84

Peningkatan tersebut menjadi fokus perhatian media internasional akibat peristiwa politik yang mengiringi kehadirannya. Sejak Juni 2021, otoritas Belarusia secara aktif mengizinkan para imigran dari Timur Tengah untuk melakukan perjalanan ke Belarusia dengan memfasilitasi visa turis, dan mengizinkan mereka melakukan perjalanan ke daerah perbatasan dengan Polandia, Lithuania, dan Latvia.85 Jumlah penerbangan langsung dari Irak, Suriah, dan Uni Emirat Arab ke Belarusia

82 Bill Frelick, “The U.S. Asylum and Refugee Policy: The ‘Culture of No’,” dalam The Future of Human Rights. U.S. Policy for a New Era, ed. Schultz, William, (Pennsylvania: University of Press, 2008), hlm. 221.

83 Shirley L. Arenilla, “Violations to the Principle of Non-Refoulement Under the Asylum Policy of the United States,” Anuario Mexicano de Derecho Internacional 15 (2015). 84 Caritas Europa, “Migrant Emergency in Poland”, https://www.caritas.eu/migrant-emergency-inpoland/#:~:text=In%20the%20summer%20of%202021,its%20eastern%20border%20with%20Belarus, diakses 29 Juli 2022. 85 HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 1.

23

meningkat lebih dari dua kali lipat, termasuk penerbangan charter dari Suriah dan Irak.86

Pada saat yang sama, pemerintah Polandia mengambil tindakan legislatif yang cepat dengan mengamandemen hukum nasionalnya, salah satunya adalah Regulation of the Minister of the Interior and Administration of August 20, 2021 yang mengubah Regulation on Temporary Suspension or Restriction of Border Traffic at Certain Border Crossings (“MSWiA Regulation”). Dalam amandemen tersebut, ditetapkan

bahwa individu yang tidak berwenang memasuki Polandia diinstruksikan untuk segera meninggalkan wilayah Polandia serta dikembalikan ke garis perbatasan negara87 dan pencari suaka tidak dicantumkan di antara mereka yang berwenang memasuki wilayah Polandia. Kemudian pada 2 September 2021, pemerintah Polandia memberlakukan “emergency state”88 di 183 kota dan desa yang berjarak dua mil dari perbatasan serta memblokir semua akses ke daerah tersebut untuk jurnalis, organisasi masyarakat sipil, sukarelawan, dan lainnya.89 Kebijakan tersebut dijustifikasi oleh pemerintah Polandia dengan alasan adanya “ancaman khusus terhadap keselamatan warga dan ketertiban

umum sehubungan dengan situasi yang sedang berlangsung di perbatasan PolandiaBelarusia”.90

Laporan dari Amnesty International pada September 202191 dan laporan dari Helsińska Fundacja Praw Człowieka mengkonfirmasi adanya praktik pushback dan penolakan oleh otoritas Polandia.92 Seluruh pencari suaka yang diwawancarai menyatakan bahwa otoritas Polandia gagal memberikan perlindungan yang

86 Reliefweb, “Behind the Frictions at the Belarus-Poland Border”, https://reliefweb.int/report/belarus/behind-frictions-belarus-poland-border, diakses 29 Juli 2022. 87 Ibid. 88 European Council on Refugees and Exiles, “Poland: Rule of Lawlessness Continues as State of Emergency is Extended”, https://ecre.org/poland-rule-of-lawlessness-continues-as-state-of-emergency-isextended, diakses 29 Juli 2022. 89 HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 2. 90 Marta Górczyńska, “Legal Analysis of the Situation on the Polish-Belarusian Border Situation on: 9 September 2021 Author: Marta Górczyńska,” Helsińska Fundacja Praw Człowieka, (23 September 2021), hlm. 4.

91 Amnesty International, “Poland/Belarus Border: A Protection Crisis”, https://www.amnesty.org/en/latest/research/2021/09/poland-belarus-border-crisis/, diakses 30 Juli 2022. 92 Helsińska Fundacja Praw Człowieka, “On The Side Of The Law: An Analysis Of The Situation On The Polish-Belarusian Border,” https://www.hfhr.pl/en/on-the-side-of-the-law-an-analysis-of-the-situation-onthepolish-belarusian-border/ , diakses 30 Juli 2022.

24

dibutuhkan para pencari suaka atau mengikuti prosedur formal suaka.93 Menurut hasil wawancara Human Rights Watch (“HRW”), para pencari suaka tidak dibawa ke pos

perbatasan untuk diproses, yang seharusnya mencakup interogasi, pemotretan, pengambilan sidik jari, dan prosedur pemulangan yang sah.94

Pada 14 Oktober 2021, parlemen Polandia mengesahkan Undang-Undang yang mengamandemen Act on Foreigners dan Act on Granting Protection to Foreigners in the Territory of the Republic of Poland (“Act of 13 June 2003”). Menurut amandemen ini, Chief of the Office of Foreigners dapat menolak permohonan perlindungan internasional tanpa perlu melakukan pemeriksaan kepada imigran yang ditangkap.95 Kemudian imigran tersebut dilarang memasuki kembali negara Polandia untuk jangka waktu mulai dari enam bulan hingga tiga tahun. Hal ini dikecualikan terhadap imigran yang ‘datang langsung’ dari tempat di mana kehidupan atau kebebasannya terancam. Selain itu, seseorang yang tertangkap secara ilegal melintasi perbatasan dapat diperintahkan untuk meninggalkan wilayah Polandia berdasarkan keputusan Local Border Guard Chief. Meski imigran dapat mengajukan banding atas keputusan tersebut kepada Commander-in-Chief of the Border Guard, sayangnya banding tersebut tidak dapat menangguhkan eksekusi perintah untuk pergi dari wilayah perbatasan. Para imigran juga secara rutin ditolak haknya untuk mengajukan suaka agar kasus mereka diadili.96 Pada hari yang sama, Polish Council of Ministers mengadopsi Rancangan Undang-Undang pembangunan tembok perbatasan di sepanjang perbatasan Polandia-Belarusia dengan panjang 180 kilometer dan tinggi 5,5 meter sebagai lanjutan dari pembangunan pagar kawat berduri untuk mencegah penyebrangan.97

93 HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 12. 94 Journal of Laws of the Republic of Poland, “Act on Foreigners, of December 12, 2013,” https://www.asylumlawdatabase.eu/sites/default/files/aldfiles/EN%20%20Poland%20act_on_foreigners_en_0.pdf, diakses 30 Juli 2022 95 Halemba, A., “Ethnographic Snapshot: Europe in the Woods: Reflections on the Situation at the Polish-Belarusian Border" , Ethnologia Europaea 52, (2022), hlm. 1. 96 Sertan Sandersons, “EU and UNHCR raise alarm over pushback methods in Poland, Latvia and Lithuania”, https://www.infomigrants.net/en/post/37885/eu-and-unhcr-raise-alarm-over-pushback-methods-inpoland-latvia-and-lithuania, diakses 30 Juli 2022. 97 European Council on Refugees and Exiles, “Poland: Parliament Approves ‘Legalisation’ of Pushbacks, Council of Ministers Adopt Bill to Construct Border Wall, Another Life is Lost at Border with Belarus”, https://ecre.org/poland-parliament-approves-legalisation-of-pushbacks-council-of-ministers-adoptbill-to-construct-border-wall-another-life-is-lost-at-border-with-belarus/, diakses 30 Juli 2022.

25

Pada tahun 2022, masih terdapat laporan perilaku kekerasan dan penolakan yang tidak manusiawi dari petugas Polandia di perbatasan Polandia-Belarusia.98 Polandia secara tidak sah mengusir para imigran dan pencari suaka kembali ke Belarusia, di mana mereka menghadapi pemukulan dan pemerkosaan oleh penjaga perbatasan.99 Di Belarusia, para pencari suaka melaporkan adanya kekerasan, kematian, pemerkosaan, pemerasan, pencurian, dan pembatasan kebebasan bergerak oleh perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat serta bentuk-bentuk pemaksaan lainnya oleh penjaga perbatasan Belarusia.100 Berdasarkan laporan HRW, para pencari suaka juga telah melaporkan adanya pelanggaran berat di gudang darurat yang digunakan untuk kamp pencari suaka Timur Tengah di Bruzgi, Belarusia, yang mencakup terjadinya pemerkosaan, pemukulan, dan kondisi kehidupan yang tidak manusiawi.101

Pada Maret–Juni 2022, terdapat laporan pengungsi yang hilang dan tenggelam karena didorong otoritas Polandia102, laporan sekelompok pengungsi Kurdi di pusat penahanan yang kelaparan dan sulit menghubungi pengacara103, dan laporan kasuskasus ketidaklayakan akses air bersih dan makanan sehingga menimbulkan berbagai penyakit serius dan kelelahan massal104 .

Pada 30 Juni 2022, Polandia telah menyelesaikan pembangunan tembok baja baru di perbatasan Polandia-Belarusia untuk menahan arus pengungsi dari Timur Tengah yang tidak berdokumen.105 Pada 1 Juli 2022, pihak berwenang Polandia mencabut status “emergency state”. Terlepas dari pencabutan tersebut, penyeberangan ke

Polandia akan tetap mustahil karena terdapat tembok baja yang baru dibangun di perbatasan. Dari rangkaian peristiwa, tindakan, dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Polandia sejak 2021 hingga 2022, terlihat bahwa pemerintah Polandia

98 Reliefweb, “ACAPS Thematic Report - Migration crisis on the Poland-Belarus border (update),” https://reliefweb.int/report/poland/acaps-thematic-report-migration-crisis-poland-belarus-border-update-01-july2022, diakses 30 Juli 2022. 99 HRW, “Violence and Pushbacks at Poland-Belarus Border,” https://reliefweb.int/report/belarus/violence-and-pushbacks-poland-belarus-border, diakses 30 Juli 2022. 100 Ibid. 101 Ibid. 102 Ibid. 103 Benjamin Bathke, “Kurdish asylum seekers' hunger strike in Poland enters third week”, http://www.infomigrants.net/en/post/40855/kurdish-asylum-seekers-hunger-strike-in-poland-enters-third-week, diakses 30 Juli 2022. 104 Agnieszka Pikulicka-Wilczewska, “As Poland repels migrants, locals offer humanitarian aid“, https://www.aljazeera.com/news/2021/11/11/poland-locals-aid, diakses 30 Juli 2022. 105 Ibid.

26

telah melarang secara kolektif imigran dari negara-negara Timur Tengah di perbatasan Polandia-Belarusia untuk masuk ke Polandia.

2.3.2 Analisis Status Kepengungsian Para Pencari Suaka Timur Tengah di Perbatasan Polandia-Belarusia

Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, Pasal 1 huruf A angka 2 Refugee Convention telah memberikan beberapa kriteria bagi seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi, yakni:106 1) seseorang yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan; 2) penganiayaan harus karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik; 3) orang tersebut harus berada di luar negara kebangsaannya atau, jika tidak berkewarganegaraan, di luar negara tempat tinggalnya sebelumnya; dan 4) orang tersebut harus tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu untuk dirinya sendiri. Berdasarkan kronologi kasus yang telah dibahas, para pengungsi Timur Tengah yang berada di perbatasan Polandia-Belarusia berhak atas hak-hak yang diatur dalam Refugee Convention, sehingga berlaku asas non-refoulement bagi mereka. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan fakta-fakta berikut ini: 1. Fakta pertama, para pencari suaka Timur Tengah di Belarusia mengalami berbagai bentuk kekerasan oleh penjaga perbatasan Belarusia, antara lain pemerkosaan, pemerasan, pencurian, dan pembatasan kebebasan bergerak oleh perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat.107 Selain itu, beberapa pencari suaka yang ditempatkan oleh Belarusia di gudang darurat di Bruzgi, Belarusia, mengalami pemerkosaan, pemukulan, dan kondisi kehidupan yang tidak manusiawi.108 Hal ini menunjukkan adanya penganiayaan yang dilakukan oleh Belarusia selaku negara asal pencari suaka Timur Tengah yang mencari perlindungan ke Polandia. 2. Fakta kedua, para pencari suaka yang mencari perlindungan di Polandia dari Belarusia merupakan orang-orang yang berkebangsaan negara-negara Timur

106 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 56. 107 Ibid. 108 HRW, “Violence and Pushbacks at Poland-Belarus Border,” https://reliefweb.int/report/belarus/violence-and-pushbacks-poland-belarus-border, diakses 30 Juli 2022.

27

Tengah, seperti Yaman, Afghanistan, dan Iran.109 Oleh karenanya, terdapat indikasi bahwa mereka mengalami penganiayaan tersebut di Belarusia atas dasar ras dan kebangsaan yang mereka miliki, sehingga memenuhi salah satu dari 5 (lima) alasan yang diatur dalam Pasal 1 huruf A Refugee Convention. 3. Fakta ketiga, diketahui bahwa mayoritas imigran yang mendatangi perbatasan

Polandia-Belarusia dari sisi Belarusia sejak Juni 2021 adalah para imigran dari negara-negara Timur Tengah yang dilanda konflik dan krisis kemanusiaan, seperti Suriah, Irak, Yaman, dan Afghanistan.110 Berdasarkan fakta tersebut, kriteria ketiga dari seorang pengungsi menurut Pasal 1 huruf A angka 2

Refugee Convention telah terpenuhi, yakni orang yang berada di luar negara kebangsaannya. Hal ini dikarenakan mereka adalah warga negara dari negaranegara Timur Tengah tersebut, bukan merupakan warga negara dari Polandia ataupun Belarusia. 4. Fakta keempat, selama Maret hingga Juni 2022, masih terdapat laporan pengungsi Timur Tengah di perbatasan Polandia-Belarusia yang kesulitan untuk mendapatkan akses air bersih dan makanan yang layak hingga menimbulkan penyakit serius dan kelelahan massal.111 Ini menggambarkan bahwa keadaan hidup para pengungsi tersebut sangat tidak layak dan mereka tidak dapat memanfaatkan bantuan maupun perlindungan yang seharusnya disediakan oleh petugas perbatasan. Berdasarkan fakta itu, maka kriteria keempat terpenuhi, yakni para imigran dari Timur Tengah tersebut tidak mampu, berada dalam ketakutan karena perlakuan petugas perbatasan yang tidak manusiawi, sehingga mereka gagal untuk mendapatkan ataupun memanfaatkan bantuan yang seharusnya mereka terima.

2.3.3 Pelanggaran Polandia terhadap Prinsip Non-Refoulement menurut Refugee Convention

Polandia sebagai negara anggota dari Refugee Convention, Protokol 1967, CAT, dan ECHR turut memiliki kewajiban dalam menerapkan prinsip nonrefoulement. Dalam mengkaji penerapan prinsip non-refoulement pada kebijakan

109 Ibid. 110 HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 1. 111 Agnieszka Pikulicka-Wilczewska, “As Poland repels migrants, locals offer humanitarian aid“, https://www.aljazeera.com/news/2021/11/11/poland-locals-aid, diakses 30 Juli 2022.

28

imigrasi Polandia terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan PolandiaBelarusia, penulis telah menganalisis sejumlah unsur esensial dalam Pasal 33 ayat (1) Refugee Convention. Berdasarkan pasal tersebut, Polandia dilarang untuk “mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun.”112 Sejumlah laporan yang dihasilkan oleh organisasi internasional menunjukkan bahwa pada September 2021 pemerintah Polandia telah melakukan push back atau penekanan terhadap orangorang Timur Tengah yang mencari perlindungan internasional ke Polandia di perbatasan Polandia-Belarusia. Mereka yang mencari suaka di perbatasan tersebut ditolak untuk masuk ke wilayah Polandia oleh otoritas Polandia, bahkan diperlakukan dengan kekerasan, dengan tujuan untuk mengembalikan para pencari suaka Timur Tengah tersebut ke Belarusia. Lebih lanjut, intensi pemerintah Polandia dalam mengembalikan para pencari suaka ke Belarusia ditandai dengan diberlakukannya MSWiA Regulation113 serta dibangunnya tembok baja oleh Polandia di perbatasan Polandia-Belarusia.114 Hal ini menunjukkan bahwa tindakan Polandia dapat dikategorikan ke dalam makna “mengusir” dan “mengembalikan” sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (1) Refugee Convention. Selanjutnya, unsur “ke perbatasan wilayah di mana kehidupan atau kebebasannya akan terancam” memiliki makna yang sama dengan “ketakutan yang

beralasan akan penganiayaan” dalam Pasal 1 huruf A ayat (2) dari Refugee Convention. 115 Wilayah dalam konteks ini berlaku untuk negara asal pengungsi maupun negara lain di mana ia juga memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan atau risiko dikirim ke negara tersebut.116 Pasal 33 dapat dikatakan dilanggar hanya jika pengembalian risiko penganiayaan benar-benar terjadi.117 Berkaca pada kasus ini, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Polandia mencerminkan tujuannya untuk menahan para pengungsi Timur Tengah yang datang

112 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33 ayat (1). 113 Reliefweb, “Behind the Frictions at the Belarus-Poland Border”, https://reliefweb.int/report/belarus/behind-frictions-belarus-poland-border, diakses 29 Juli 2022. 114 Al Jazeera, “Poland completes Belarus border wall to keep asylum seekers out”, https://www.aljazeera.com/news/2022/6/30/poland-belarus-border-completed-wall-to-keep-asylum-seekers-out, diakses 30 Juli 2022. 115 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 245. 116 Ibid. 117 Lieneke Slingenberg, The Reception of Asylum Seekers under International Law: Between Sovereignty and Equality, (Oxford: Hart Publishing Ltd, 2014), hlm. 253.

29

dari perbatasan Belarusia dalam memasuki wilayah Polandia. Hal ini menyebabkan para pencari suaka terdorong kembali ke wilayah Belarusia, di mana mereka beresiko untuk diperlakukan dengan kekerasan oleh pemerintah Belarusia.118 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketakutan yang beralasan, yakni suatu ancaman yang konkrit bahwa para pencari suaka Timur Tengah tersebut akan mengalami penganiayaan jika kembali ke wilayah Belarusia sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. Berkenaan dengan pengecualian terhadap prinsip non-refoulement yang dikemukakan dalam Pasal 33 ayat (2) Refugee Convention, perlu dimaknai bahwa terdapat dua syarat yang harus dipenuhi: pengungsi harus telah dihukum oleh putusan akhir untuk kejahatan yang sangat serius, dan ia harus merupakan bahaya bagi masyarakat negara tersebut. Untuk pengecualian dapat menjadi sah, prinsip proporsionalitas harus dipatuhi, yaitu, apakah bahaya yang ditimbulkan pada pengungsi dengan pengusiran atau pengembalian melebihi ancaman terhadap keamanan publik yang akan timbul jika dia diizinkan untuk tinggal.119

2.3.4 Analisis Pengecualian Pasal 32 Refugee Convention dalam Kasus Polandia

Kebijakan Polandia terhadap pengungsi di perbatasan Polandia-Belarus tidak dapat dijustifikasi dalam pengecualian prinsip non-refoulement pada Pasal 32 Refugee Convention. Pada 2 September 2021, pemerintah Polandia memberlakukan “emergency state”120 di 183 kota dan desa yang berjarak dua mil dari perbatasan serta memblokir semua akses ke daerah tersebut untuk jurnalis, organisasi masyarakat sipil, sukarelawan, dan lainnya. Diketahui bahwa kebijakan tersebut dijustifikasi oleh pemerintah Polandia dengan alasan adanya “ancaman khusus terhadap keselamatan warga dan ketertiban umum sehubungan dengan situasi yang sedang berlangsung di perbatasan Polandia-Belarusia”.

Pertama, pemerintah Polandia telah salah dalam menerapkan alasan “keselamatan

warga” dan “ketertiban umum” dalam menerapkan pengecualian prinsip non-

118 HRW, “Violence and Pushbacks at Poland-Belarus Border,” https://reliefweb.int/report/belarus/violence-and-pushbacks-poland-belarus-border, diakses 30 Juli 2022. 119 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 246. 120 European Council on Refugees and Exiles, “Poland: Rule of Lawlessness Continues as State of Emergency is Extended”, https://ecre.org/poland-rule-of-lawlessness-continues-as-state-of-emergency-isextended, diakses 29 Juli 2022.

30

refoulement. Syarat ini bersifat kumulatif, pengungsi di perbatasan Polandia-Belarus yang diusir harus memenuhi syarat bahwa kehadirannya membawa ancaman terhadap keamanan nasional negara tuan rumah dan pengungsi tersebut memiliki catatan kriminal yang terbukti membahayakan masyarakat. Ketentuan pengecualian ini bersifat restriktif dan harus melalui proses hukum terlebih dahulu. Dalam travaux preparatoire dari Refugee Convention, salah satu delegasi yaitu negara Austria menyatakan bahwa due process of law tidak hanya mencakup prosedur ke pengadilan, tetapi juga prosedur dari otoritas administratif dan polisi. Dalam kasus ini otoritas Polandia tidak menerapkan due process of law sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Refugee Convention, terutama dalam meng-assess pengungsi yang hendak masuk ke negaranya, melainkan langsung mengusirnya tanpa menilai ada tidaknya ancaman yang datang dari kedatangan pengungsi tersebut. Kedua, Polandia juga tidak mendasarkan kebijakan tersebut pada peraturan nasional mana pun. Seperti dijelaskan dalam kasus pengusiran pengungsi di Amerika Serikat, Amerika Serikat mendasarkan ketentuan “aktivitas terorisme” dalam U.S. Patriot Act sebagai dasar dilakukannya pengusiran yang dapat mengancam negaranya. Ketiga, jika mengacu pada uji proporsionalitas dalam penerapan pengecualian terhadap prinsip non-refoulement, dalam kasus ini konsekuensi bagi pengungsi jika dia dikembalikan ke negara asalnya jauh lebih berat daripada bahaya terhadap keamanan masyarakat, yaitu terancam hidup dan kebebasannya akibat tindakan kekerasan oleh otoritas Belarusia. Keempat, pun jika Polandia hendak menerapkan pengecualian prinsip non-refoulement ini, Polandia tetap harus melakukan serangkaian prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Refugee Convention, Polandia harus terlebih dahulu mengambil semua langkah yang wajar untuk mengamankan penerimaan individu yang bersangkutan ke negara ketiga yang aman. Jika Polandia tidak dapat menerima pengungsi tersebut untuk jangka waktu yang lama, Polandia harus selalu menerima mereka setidaknya untuk sementara dan memberi mereka perlindungan sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi, non-refoulement, dan non-rejection.

III. PENUTUP

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa untuk dikategorikan sebagai pengungsi, seseorang harus memenuhi kriteria yang ditentukan dalam Refugee

31

Convention, yakni 1) seseorang yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan; 2) penganiayaan harus karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik; 3) orang tersebut harus berada di luar negara kebangsaannya atau, jika tidak berkewarganegaraan, di luar negara tempat tinggalnya sebelumnya; dan 4) orang tersebut harus tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu untuk dirinya sendiri. Adapun terkait dengan prinsip non-refoulement, hal tersebut diatur dalam Refugee Convention dan konvensi-konvensi internasional lainnya, seperti ECHR dan ICCPR. Terakhir, dapat disimpulkan bahwa Polandia telah mengabaikan kewajibannya berdasarkan Refugee Convention dalam menegakkan prinsip nonrefoulement terhadap pencari suaka dari Timur Tengah di perbatasan PolandiaBelarusia. Hal ini ditunjukkan dengan, pertama, para pencari suaka di Timur Tengah telah memenuhi kriteria pengungsi dalam Pasal 1 huruf A angka 2 Refugee Convention, sehingga hak-hak pengungsi yang dijamin dalam konvensi tersebut berlaku untuk mereka, termasuk hak atas non-refoulement. Kedua, Polandia telah mengusir para pencari suaka dari Timur Tengah yang meminta perlindungan di perbatasan Polandia-Belarusia. Ketiga, pengecualian prinsip non-refoulement tidak berlaku bagi Polandia berdasarkan Pasal 32 Refugee Convention, sehingga Polandia tetap memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip non-refoulement tanpa terkecuali.

32

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang

Australia. Migration And Maritime Powers Legislation Amendment (Resolving The Asylum Legacy Caseload) Act 2014. Turki. Law No. 6458 of 2013 on Foreigners and International Protection (as amended 29 Oct 2016).

Buku

Costello, Cathryn, Michelle Foster, dan Jane McAdam. The Oxford Handbook of International Refugee Law. Oxford: Oxford University Press, 2021. Cet. 1. European Asylum Support Office. Judicial analysis Asylum procedures and the principle of non-refoulement. Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2018. Feller, Erika, Volker Turk, dan Frances Nicholson. Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International

Protection. s.l.: Cambridge University Press, 2003. Frelick, Bill. “The U.S. Asylum and Refugee Policy: The ‘Culture of No’.” Dalam The Future of Human Rights. U.S. Policy for a New Era, ed. Schultz, William, (Pennsylvania: University of Press, 2008. Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. Saint Paul: Thomson Reuters, 2009. Cet. 9. Górczyńska, Marta. “Legal Analysis of the Situation on the Polish-Belarusian Border Situation on: 9 September 2021.” Helsińska Fundacja Praw Człowieka, (23 September 2021). HRW. Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses. New York: HRW, 2021. International Commission of Jurists. Migration and International Human Rights Law. Geneva: International Commission of Jurists, 2014. Lauterpacht, Bethlehem. Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

33

Loescher, Gil. Refugees: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press, 2021. Cet. 1.

Nicholson, Frances dan Judith Kumin. A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System. S.l.: Inter-Parliamentary Union and the UNHCR, 2017. Nowak, Manfred. U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary. Cet..2. Kehl: N.P. Engel Publisher, 2005. Professor Atle Grahl-Madsen, Commentary of the Refugee Convention 1951 (Articles 2-11, 13-37). (s.l.: UNHCR, 1997). Rohl, K. Fleeing Violence and Poverty: Non-Refoulement Obligations under the European Convention on Human Rights, Working Paper No.111. Geneva: UNHCR, 2005. Slingenberg, Lieneke. The Reception of Asylum Seekers under International Law: Between Sovereignty and Equality. Oxford: Hart Publishing Ltd, 2014. Shaw, Malcolm. International Law. Cet. 6. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2007. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet 1. Jakarta: Rajawali Pers, 1985. UNHCR. Global Report 2004: Achievements and Impact. (s.l.: s.n., s.a.). Weis, Paul. The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis. S.l.: UNHCR, 1990.

Jurnal

Allain, Jean. “The jus cogens Nature of non-refoulement.” International Journal of Refugee Law 13 (2001). Hlm. 533–558. Arenilla, Shirley L. “Violations to the Principle of Non-Refoulement Under the Asylum Policy of the United States.” Anuario Mexicano de Derecho Internacional 15 (2015). Hlm. 283–322. Farmer, Alice. “Non-refoulement and Jus Cogens: Limiting Anti-Terror Measures that Threaten Refugee Protection.” Georgetown Immigration Law Journal (2008). Hlm. 6.

34

Halemba, A. “Ethnographic Snapshot: Europe in the Woods: Reflections on the Situation at the Polish-Belarusian Border." Ethnologia Europaea 52 (2022). Hlm. 1.

Ristik, Jelena. “The Right to Asylum and the Principle of Non-Refoulement Under the European Convention of Human Rights”. European Scientific Journal 13 (2017). Hlm. 115. Syahrin, M. Alvi. “The Principle of Non-refoulement as Jus Cogens: History, Application, and Exception in International Refugee Law.” Journal of Indonesian Legal Studies 6 (2021). Hlm. 53–82. Weissbrodt, Hortreiter. “The Principle of Non-refoulement: Article 3 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumane and Degrading Treatment or Punishment in Comparison with the Non-refoulement Provisions of Other International Human Rights Treaties.” 5 Buffalo Human Rights Law Review 1, 18 (1999). Yulianto, Rohmad. “Integrasi Prinsip Non-Refoulement Dengan Prinsip Jus Cogens Pada Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14 (2020), hlm. 497.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Bacaian, L.E. “The Protection of Refugees and Their Right to Seek Asylum in the European Union.” Tesis Magister Institut Européen de l'Université de Genève, Geneva, 2011. Kadarudin. “Penerapan Prinsip Non Refoulement Oleh Indonesia Sebagai Negara Transit Pengungsi Internasional.” Tesis Magister Universitas Hasanuddin,

Makassar, 2012.

Dokumen Internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951). ECtHR. “Case of D.A. and Others v. Poland (Facts of the Case).” 22 November 2021.

ECtHR, “Case of D.A. and Others v. Poland (Conclusion of Admissibility).” 22

November 2021.

35

ECtHR. Guide on Article 4 of Protocol No. 4 to the European Convention on Human Rights, Strasbourg: Council of Europe Publishing. 2022. ECtHR, “Soering v. The United Kingdom. Application No.14038/88.” 1989.

Inter-American Commission on Human Rights. Cartagena Declaration on Refugees. 1984.

Supreme Court of Canada. "B010 v. Canada (Citizenship and Immigration)." 2015. Supreme Court of Canada. Kindler v. Canada (Minister of Justice), 2 S.C.R. 779, Canada: Supreme Court, 1991. UNHCR. “Legal and Protection Policy Research Series: Article 31 of the 1951 Convention Relating to the Status of Refugees.” Juli 2017.

UNHCR. “Revised Guidelines on Applicable Criteria and Standards relating to the

Detention of Asylum Seekers.” Februari 1999.

UNHCR. “Summary Conclusions: Article 31 of the 1951 Convention.” Juni 2003.

Uni Afrika. The Organisation of African Unity Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa. UNTS 14691 (1974). United Nations Human Rights Committee. “Van Duzen v Canada (1982).” 7 April

1982.

Internet

Al Jazeera. “Poland completes Belarus border wall to keep asylum seekers out.” https://www.aljazeera.com/news/2022/6/30/poland-belarus-border-completedwall-to-keep-asylum-seekers-out. Diakses 30 Juli 2022. Amnesty International. “Poland/Belarus Border: A Protection Crisis.” https://www.amnesty.org/en/latest/research/2021/09/poland-belarus-bordercrisis/. Diakses 30 Juli 2022.

Bathke, Benjamin. “Kurdish asylum seekers' hunger strike in Poland enters third week.” http://www.infomigrants.net/en/post/40855/kurdish-asylum-seekershunger-strike-in-poland-enters-third-week. Diakses 30 Juli 2022. BBC News. “Belarus Border Crisis: How Are Migrants Getting There?” https://www.bbc.com/news/59233244. Diakses 27 Juli 2022. Błaszczak, Mariusz. “Na granicy z Białorusią powstanie nowy, solidny płot o wysokości 2,5 m. Więcej żołnierzy będzie zaangażowanych w pomoc Straży Granicznej. Wkrótce przedstawię szczegóły dotyczące dalszego zaangażowania Sił Zbrojnych RP” 23 Agustus 2021 5:33 p.m. Twitter.

36

Caritas Europa. “Migrant Emergency in Poland.” https://www.caritas.eu/migrantemergency-inpoland/#:~:text=In%20the%20summer%20of%202021,its%20eastern%20bord er%20with%20Belarus. Diakses 29 Juli 2022.

Council of the European Union. “Ukraine: Council unanimously introduces temporary protection for persons fleeing the war,” https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2022/03/04/ukrainecouncil-introduces-temporary-protection-for-persons-fleeing-the-war/. Diakses 30 Juli 2022.

De Benedetti, David. “Poland's Finest Hour: Helping Ukraine After The Russian Invasion.” https://www.mondaq.com/constitutional-administrativelaw/1175858/poland39s-finest-hour-helping-ukraine-after-the-russianinvasion- . Diakses 30 Juli 2022.

European Council on Refugees and Exiles. “Poland: Parliament Approves ‘Legalisation’ of Pushbacks, Council of Ministers Adopt Bill to Construct Border Wall, Another Life is Lost at Border with Belarus.” https://ecre.org/poland-parliament-approves-legalisation-of-pushbackscouncil-of-ministers-adopt-bill-to-construct-border-wall-another-life-is-lost-atborder-with-belarus/. Diakses 30 Juli 2022.

European Council on Refugees and Exiles. “Poland: Rule of Lawlessness Continues as State of Emergency is Extended.” https://ecre.org/poland-rule-oflawlessness-continues-as-state-of-emergency-is-extended. Diakses 29 Juli 2022.

France 24. “Russian invasion risks displacing more than 7 million Ukrainians, says EU crisis commissioner.” https://www.france24.com/en/europe/20220227europe-must-prepare-for-millions-of-ukrainian-refugeeseu-commissioner-says. Diakses 27 Juli 2022.

Górczyńska, Marta. “Legal Analysis of the Situation on the Polish-Belarusian Border.” https://www.hfhr.pl/wp-content/uploads/2021/09/Legal-analysisENG.pdf. Diakses 29 Juli 2022. Helsińska Fundacja Praw Człowieka. “On The Side Of The Law: An Analysis Of The Situation On The Polish-Belarusian Border.” https://www.hfhr.pl/en/on-the-

37

side-of-the-law-an-analysis-of-the-situation-on-thepolish-belarusian-border/. Diakses 30 Juli 2022.

Helsińska Fundacja Praw Człowieka. “Stanowisko HFPC w sprawie wprowadzenia stanu wyjątkowego.” https://www.hfhr.pl/stanowisko-hfpc-w-sprawiewprowadzenia-stanu-wyjatkowego/. Diakses 30 Juli 2021. HRW. “Violence and Pushbacks at Poland-Belarus Border.”

https://reliefweb.int/report/belarus/violence-and-pushbacks-poland-belarusborder. Diakses 30 Juli 2022.

Huemer, Sarah. “Polish Parliament Approves Law for Migrant Pushbacks at Belarus Border.” https://www.politico.eu/article/polish-parliament-approved-law-formigrant-pushbacks-at-the-border/. Diakses 27 Juli 2022. Journal of Laws of the Republic of Poland. “Act on Foreigners, of December 12, 2013.” https://www.asylumlawdatabase.eu/sites/default/files/aldfiles/EN%20%20Poland%20act_on_foreigners_en_0.pdf. Diakses 30 Juli 2022. Morales, Felipe González. “End of visit statement of the Special Rapporteur on the human rights of migrants, Felipe González Morales, on his visit to Poland and Belarus (12 – 25 July 2022).” https://www.ohchr.org/sites/default/files/documents/issues/migration/2022-0727/EndofVisitStatement-Poland-Belarus26.07.2022.docx. Diakses 29 Juli

2022.

Pikulicka-Wilczewska, Agnieszka. “As Poland repels migrants, locals offer humanitarian aid.” https://www.aljazeera.com/news/2021/11/11/polandlocals-aid. Diakses 30 Juli 2022.

Reliefweb. “ACAPS Thematic Report - Migration crisis on the Poland-Belarus border (update).” https://reliefweb.int/report/poland/acaps-thematic-report-migrationcrisis-poland-belarus-border-update-01-july-2022. Diakses 30 Juli 2022. Reliefweb. “Behind the Frictions at the Belarus-Poland Border.”

https://reliefweb.int/report/belarus/behind-frictions-belarus-poland-border. Diakses 29 Juli 2022.

Sandersons, Sertan. “EU and UNHCR raise alarm over pushback methods in Poland, Latvia and Lithuania.” https://www.infomigrants.net/en/post/37885/eu-andunhcr-raise-alarm-over-pushback-methods-in-poland-latvia-and-lithuania. Diakses 30 Juli 2022.

38

Tilles, Daniel. “Poland passes law expanding support for Ukrainian refugees.” https://notesfrompoland.com/2022/03/14/poland-passes-law-expandingsupport-for-ukrainian-refugees/. Diakses 30 Juli 2022. Tondo, Lorenzo. “In Limbo: The Refugees Left on the Belarusian-Polish Border – A Photo Essay.” https://www.theguardian.com/globaldevelopment/2022/feb/08/in-limbo-refugees-left-on-belarusian-polish-bordereu-frontier-photo-essay. Diakses 27 Juli 2022. UN General Assembly. “Universal Declaration of Human Rights.” https://www.refworld.org/docid/3ae6b3712c.html. Diakses 22 Juli 2022. UNHCR Operational Data Portal. “Ukraine Refugee Situation.”

http://data2.unhcr.org/en/situations/ukraine. Diakses 27 Juli 2022. UN High Commissioner for Refugees (UNHCR). “UNHCR Note on the Principle of Non-Refoulement.” http://www.refworld.rujgrflgfekwpo. Diakses 25

September 2022. UNHCR. “Amicus Curiae in Support of Petitioner, Thawng Vung Thang v. Alberto Gonzales.” 9 February 2007, http://www.refworld.rujgrflgfekwpo. Diakses 26

September 2022. UNHCR. “Problem Of Refugees And Asylum-Seekers Who Move In An Irregular Manner From A Country In Which They Had Already Found Protection.” https://www.unhcr.org/uk/4aa77aa09.pdf. Diakses 25 September 2022. UNHCR. “Protection of Asylum-Seekers in Situations of Large-Scale Influx No. 22 (XXXII) - 1981.”https://www.unhcr.org/excom/exconc/3ae68c6e10/protectionasylum-seekers-situations-large-scale-influx.html, diakses 26 September 2022. UNHCR. “The 1951 Refugee Convention.” https://www.unhcr.org/1951-refugeeconvention.html. Diakses 13 Juli 2022. Yudha Susila, Akbar. “Poland’s Double Standard Response on Ukraine and BelarusPoland Border Refugee Crisis.” https://kontekstual.com/polands-doublestandard-response-on-ukraine-and-belarus-poland-border-refugee-crisis/. Diakses 27 Juli 2022.

39

BIOGRAFI PENULIS

Athallah Zahran Ellandra, lahir di Jakarta, 19 April 2001. Telah menyelesaikan pendidikan menengah di SMPN 19 Jakarta dan SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu. Saat ini tengah menempuh studi sebagai mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi kampus, kompetisi hukum nasional maupun internasional, konferensi nasional maupun internasional, magang, volunteer, pengabdian masyarakat, dan memiliki ketertarikan dan kompetensi di bidang Hukum Tata Negara Hukum Internasional Publik, dan Hak Asasi Manusia. Dalam konteks magang, ia telah berkesempatan untuk magang di sektor publik, sektor swasta, maupun lembaga think-tank.

Fahira Nauradhia Arifin merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang lahir pada 17 Februari 2001 di Melbourne. Penulis saat ini sedang mengambil konsentrasi Hukum Internasional Publik dengan ketertarikan utama pada bidang Hukum Udara, Hukum Lingkungan Internasional, dan Hukum Hak Asasi Manusia. Selama kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi di bidang penulisan dan riset, juga dalam mengikuti kompetisi hukum tingkat nasional maupun

40

internasional.

Qonita Syahfitri Meizarini Zulkarnaini merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang lahir pada 31 Agustus 2001 di Jakarta. Penulis memiliki berbagai pengalaman organisasi, terakhir menjadi Manager of External Relations di Asian Law Students’ Association Local

Chapter UI, dan pengalaman volunteer, terakhir menjadi volunteer di Sandya Institute of Peace & Human Rights. Selain itu, beliau juga telah berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman bermagang perusahaan swasta, BUMN, firma hukum, dan instansi pemerintah. Penulis memiliki ketertarikan dan fokus

terhadap isu-isu hak asasi manusia, hukum internasional publik, dan hukum bisnis.

41

This article is from: