4 minute read

REASONS FOR JUSTICE AND HUMAN RIGHTS?

CAN JUDGES IGNORE JUSTIFYING AND FORGIVENESS REASONS FOR

JUSTICE AND HUMAN RIGHTS?

Advertisement

Nama Jurnal : Sriwijaya Law Review Pengarang : Imam Fitri Rahmadi, Nani Widya Sari, dan Oksidelfa Yanto Tahun : 2022

Diulas Oleh : Ibrahim Ghifar Hamadi dan Nafja Livia Avissa

Pendahuluan

Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law). Prinsip tersebut diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empiris. Dalam bingkai kesetaraan, setiap sikap dan perbuatan diskriminatif merupakan sebuah hal yang dilarang. Dalam konteks penegakan hukum, seringkali prinsip equality before the law tidak terlaksana dengan baik. Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menggunakan prinsip tersebut untuk mendorong pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mengesampingkan segala bentuk perbedaan. Untuk dapat mencapai keadilan, seorang hakim tidak boleh mengabaikan alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana bagi terdakwa dalam proses peradilan pidana meskipun semua unsur tertulis dari suatu tindak pidana yang dirumuskan telah terpenuhi. Terdapat dua alasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dapat dibebaskan dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yaitu alasan pembenar dan pengampun. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana upaya hakim dalam menentukan alasan pembenaran dan pengampunan yang menjatuhkan pidana dalam perspektif keadilan hukum dan hak asasi manusia serta akibat hukum yang ditimbulkan jika hakim dalam putusannya mengesampingkan alasan pembenaran dan pengampunan yang dapat menghapuskan pidana bagi terdakwa.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian dilakukan dengan menganalisis norma, asas, dan kaidah hukum melalui pendekatan studi kasus. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Pembahasan

Penegakan hukum tidak dapat menjadi alasan untuk mengesampingkan HAM. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur mengenai alasan pembenaran dan pengampunan pada Pasal 44, 48, dan 49. Namun, dalam beberapa kasus terdapat ketiadaan alasan pembenaran dan pengampunan dalam putusan hakim. Padahal, pada kasus-kasus tersebut terdapat pelaku yang memiliki gangguan kesehatan mental, tindakan atas ketiadaan pilihan, dan pembelaan diri karena daya paksa. Alasan pembenaran dan pengampunan dapat memberikan pembelaan atas gugatan tindak pidana yang dilakukan sehingga terduga pelaku dapat terhindari dari hukuman pidana. Dalam KUHAP UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah diatur secara rinci mengenai langkah-langkah penyidikan tindak pidana. Pada KUHAP juga diatur wewenang pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pengadilan dan aturan-aturan yang menjamin HAM Pelaku tindak pidana ketika proses penegakan hukum dilakukan. Hakim memiliki wewenang untuk melakukan pembebasan pidana berdasarkan alasan pembenaran dan pengampunan. Kewenangan ini dapat terwujud apabila hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara menaati asas-asas hukum pidana dan menggunakan peraturan perundang-undangan untuk menciptakan keadilan dan penghargaan terhadap HAM. Dengan tunduk terhadap undang-undang yang berlaku, hanya pelaku yang melakukan tindakan yang melanggar hukum tanpa ada alasan pembenar dan pengampun yang dapat dituntut atas tindakan pidana. Jika hakim memilih mengabaikan alasan pembenaran dan pengampunan, maka akan menimbulkan akibat hukum berupa ketidakadilan, penghinaan terhadap HAM, dan pengabaian atas asas-asas hukum pidana. Keadilan sebagai tujuan hukum dan persamaan di hadapan hukum yang berasal dari supremasi hukum tidak tercapai dan bertentangan dengan prinsip negara hukum. Kebebasan sebagai HAM turut terampas jika alasan pembenar dan pengampun diabaikan.

Penutup

KUHAP belum mampu menyelesaikan masalah yang ada pada praktik di dalam pengadilan. Oleh karena itu, diperlukan pembaharuan berupa reformasi KUHAP untuk

memberikan objektivitas, kejujuran, dan keadilan yang bersandar pada asas dan kaidah hukum dalam melindungi kepentingan publik.

Catatan Kritis

Ditinjau dari aspek teoritis, konsep-konsep yang dibahas dalam artikel jurnal berjudul “Can Judges Ignore Justifying and Forgiveness Reasons for Justice and Human Rights?” yang ditulis oleh Imam Fitri Rahmadi, Nani Widya Sari, dan Oksidelfa Yanto sudah cukup komprehensif dalam menjawab rumusan masalah yang diajukan dengan menawarkan solusi berupa reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memberikan objektivitas, kejujuran, dan keadilan yang bersandar pada asas dan kaidah hukum dalam melindungi kepentingan publik. Ditinjau dari aspek metodologis, metode penelitian yuridis normatif sudah sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus karena penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dan memahami sebuah masalah yang terjadi dengan mengumpulkan berbagai macam informasi yang kemudian diolah untuk memperoleh sebuah solusi agar masalah yang diulas dapat terselesaikan. Ditinjau dari hasil penelitian, untuk rumusan permasalahan penelitian yang pertama, yaitu mengenai bagaimana upaya hakim dalam menentukan alasan pembenaran dan pengampunan yang menghapuskan pidana dalam perspektif keadilan hukum dan hak asasi manusia. Hasil yang diperoleh berhasil menjawab rumusan masalah tersebut. Meskipun terdakwa telah memenuhi semua unsur tindak pidana, hakim memiliki kewenangan menentukan alasan peniadaan tindak pidana dalam putusannya. Upaya tersebut dapat diwujudkan apabila hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara menaati asas-asas hukum pidana untuk mewujudkan keadilan dan penghormatan terhadap HAM. Untuk rumusan permasalahan penelitian yang kedua, yaitu mengenai akibat hukum yang ditimbulkan jika hakim dalam putusannya mengesampingkan alasan pembenaran dan pengampunan yang dapat menjatuhkan pidana bagi terdakwa; hasil yang diperoleh berhasil menjawab rumusan masalah tersebut. Terdapat beberapa akibat hukum yang ditimbulkan apabila hakim mengesampingkan alasan pembenar dan pengampun, yakni rasa keadilan tidak dapat tercapai, hak asasi manusia tertindas, dan asas-asas hukum pidana yang diabaikan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Imam Fitri Rahmadi, Nani Widya Sari, dan Oksidelfa Yanto dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian selanjutnya yang

berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam memberi putusan pidana, serta dapat berkembang menjadi penelitian lain seperti mengenai reformasi KUHAP untuk membantu hakim dalam menegakkan supremasi hukum.

This article is from: