2 minute read
Resensi Film: Gundala
GUNDALA GUNDALA GUNDALA Oleh : Sandra Gusti A | Desainer : Ilham Fatkhu Arroyyan
Advertisement
Tanggal rilis : 29 Agustus 2019 (Indonesia) Durasi : 123 menit Sutradara : Joko Anwar Pemeran : Abimana Aryasatya, Tara Basro, Rio Dewanto, Lukman Sardi
Di tahun 2019 ini, industri perfilman tanah air tengah dihebohkan dengan rilisnya serial film superhero yang digadang-gadang menjadi Avengers versi Indonesia. Film Gundala menjadi gerbang pembuka perjalanan cerita Jagat Sinema Bumilangit. Gundala sendiri diadopsi dari komik pahlawan super Gundala Putra Petir yang dibuat tahun 1969 oleh Harya Suraminata. Film garapan Joko Anwar ini dihiasi dengan konflik seputar kemanusiaan, percintaan, kensenjangan sosial, dan politik yang relevan dengan masalah yang terjadi di masa kini. Gundala bercerita tentang seorang anak bernama Sancaka yang tanpa ia sadari merupakan manusia super pemilik kekuatan petir. Pada bagian awal, film ini mengisahkan Sancaka kecil (Muzaki Ramdhan) yang harus berjuang untuk bertahan hidup sendirian. Ayah Sancaka (Rio Dewanto) yang saat itu berkerja sebagai buruh sedang melakukan demonstrasi dengan para buruh lainnya. Malang, para buruh dijebak kemudian ia ditusuk dan mati di tempat kejadian. Selang setahun, ibunya pamit pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Namun, tidak pernah kembali ke rumah. Singkat cerita, Sancaka (Abimana) tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah. Ia bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik percetakan koran. Pada film ini juga hadir tokoh heroik wanita bernama Wulan, yang dikisahkan sebagai tetangga Sancaka. Wulan merupakan pembela pedagang-pedagang di pasar. Dalam kisah ini, Pengkor (Bront Palarae) dihadirkan sebagai tokoh antagonis yang kuat. Dengan perwujudan laki-laki tua berwajah setengah rusak, ia menjadi sosok yang disegani dan ditakuti. Dendamnya akan masa lalu membuatnya mendidik anak-anak panti asuhan menjadi manusia yang kuat dan kejam. Anak didiknya tersebar di seluruh pelosok negeri, yang setiap saat bisa saja datang ketika dibutuhkan. Konflik dimulai ketika timbul keresahan di kalangan masyarakat akan beredarnya isu bahwa ada serum amoral yang telah di
suntikkan ke gudang penyimpanan beras. Pengkor menyusun skenario agar seluruh masyarakat berbondong-bondong untuk menyuntikkan obat penawarnya. Belakangan diketahui bahwa cairan yang disuntikkan tersebut merupakan serum amoral yang berdampak langsung kepada masyarakat khususnya ibu hamil. Anggota dewan mencari solusi mengenai masalah tersebut untuk menenangkan masyarakat namun sialnya malah semakin menjadi-jadi. Perkembangan sinematografi film Gundala tersaji dengan sangat epic, baik dalam tone background serta efek tambahan yang mendukung. Peningkatan ini patut diapresiasi. Ditambah penggunaan pencak silat yang sarat akan budaya Indonesia menambah kesan yang kental akan Indonesia. Alur cerita ditampilkan secara menarik. Namun sebagai penonton, saya merasa bahwa Gundala adalah salah satu sisi kecil dari Jagat Sinema Bumilangit. Dalam film ini beberapa tokoh bermunculan. Meski tanpa penjelasan atau scene yang lebih detail, sudah cukup memberi sinyal kepada penonton siapa yang akan muncul dalam film serial Jagat Bumilangit berikutnya. Walaupun film ini mengangkat tema superhero, namun cerita yang disajikan sangat realistis tidak seperti kebanyakan cerita superhero yang kisahnya fiktif. Adegan Sri Asih dan Ki Wilawuk ditampilkan sangat minim, sehingga membuat penonton penasaran akan kelanjutan kisahnya. Namun sangat disayangkan, beberapa scene dirasa belum maksimal, khususnya pada adegan perkelahian Sancaka dewasa. Klimaks yang ditampilkan terkesan datar. Karakter superhero yang dibawakan kurang kuat, sehingga seperti perkelahian antar orang biasa. Kekuatan Sancaka tidak diperlihatkan secara istimewa. Penggunaan bahasa yang sedikit kasar disertai umpatan kurang cocok apabila ditonton oleh anakanak. Secara keseluruhan, saya memberi rating 8/10 pada film ini.