6 minute read
Cerpen: Untuk Ayah
Untuk Ayah
Oleh: Joti Dina Kartikasari | Illustrator: Dini Karuni | Desainer : Riris metta
Advertisement
Setahun silam, aku tersedu bersimpuh di tempat ini menahan isak yang teramat hebat. Satu-satunya orang yang kumiliki tepat hari itu harus pergi. Jauh sekali, ke tempat yang bahkan tak dapat kudatangi hingga sekarang. Hari ini aku akan bertemu dengan seseorang yang aku salahkan atas segala hal yang menimpaku. Orang yang bertanggung jawab atas kepergian orang terkasihku.
“Tidak bisa, Nak. Ini pekerjaan Ayah. Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Usiaku 20, aku sudah cukup dewasa untuk sekedar paham bahwa situasi ini jauh dari kata baik-baik saja.
Telah berulang-ulang, permohonan kusampaikan pada ayah untuk membatalkan keputusannya. Setiap kali kalimat larangan kulontarkan, ayah hanya akan melihatku dan tersenyum, banyak makna tersingkap di baliknya. Senyum ayah lain. Aku merasakannya.
“Ayah akan baik-baik saja, Nak." Begitu selalu lerainya. Tapi ucapannya tak pernah membuatku berpikir semua akan menjadi baik.
Pemahamanku terhadap urusan kerja MAJALAH DIMENSI 62 54
ayah memang belum bisa dikatakan sangat baik. Tapi situasi yang terjadi sekarang sungguh berbeda.
Pagi ini kotaku tengah berkabut, musim dingin hampir berakhir. Meski matahari terlihat, tetapi suhu tetap menyentuh angka di bawah 5⁰ Celcius.
“Perkiraan cuaca hari ini tidak terlalu bagus, Yah. Bawalah mantel Ayah, udara akan semakin dingin ketika salju mulai turun."
"Ini mantel Ayah," kuserahkan mantel coklat tebal milik ayah.
Mantel itu tampak lusuh, tapi ayah enggan membeli baru. Sejujurnya aku paham, mantel itu merupakan mantel couple ayah dengan ibu, tetap memakainya merupakan salah satu bentuk kesetiaan ayah pada ibu. Mungkin kira-kira seperti itu alasan ayah. Selain mantel, adapula mobil yang begitu disayangi ayah. Mobil yang ayah kendarai pagi ini. 'Saksi bisu perjalanan cinta ayah dengan ibu' begitu ayah menjulukinya. Itulah mengapa meski tua mobil itu masih terawat dengan baik. Selain merawat mesin, kata ayah kenangan bersama ibu juga terawat di dalam sana.
Hari ini kampusku diliburkan, seluruh pengajar diundang untuk menghadiri acara besar yang diselenggarakan wali kota. Prediksiku ativitas kota hari ini akan berpusat di gedung wali kota. Jalanan sepertinya akan sepi.
Sedangkan aku? Yap, aku di rumah. Masih memandangi layar laptopku lamat lamat. Membaca setiap kata pada portal berita tentang pemberitaan besar yang tengah menghebohkan kota beberapa bulan terakhir. Banyak sekali nama yang tertera di dalam sana. Beberapa pernah aku dengar dari cerita ayah, sisanya benar-benar asing.
Terdapat satu nama yang sangat tidak asing tertulis di salah satu laman berita. Ya, berita itu ditulis oleh ayah. Nama yang beberapa waktu lalu kutahu usai menelfon ayah, membicarakan sesuatu yang kuyakin penting. Ayah bilang pembicaraannya tak lebih dari pembicaraan dengan narasumber biasa. Ayah berkata tidak ada yang spesial, hanya seputar diskusi waktu untuk bertemu guna wawancara. Namun untuk kesekian kalinya, lagi-lagi penjelasan ayah sulit aku percaya. Penolakan jelas ada pada pikiranku. Tapi aku diam, aku tidak ingin menginterogasi ayah, sudah cukup harinya melelahkan. Akan lebih melelahkan jika aku mencecarnya lagi dengan segala pertanyaan-pertanyaan.
Aku membaca salah satu artikel yang ditulis oleh ayah dan baru kemarin diterbitkan, menuliskan ‘Penyebab munculnya wabah penyakit di kota, diduga kuat karena penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan, yaitu pemberian otoritas pembukaan lahan untuk perluasan wilayah guna pembangunan hotel. Daerah perluasan wilayah tersebut merupakan daerah yang diisolasi karena diduga mengandung gas berbahaya.’ Jangan lupa makan siang. Pesan dari ayah. Siang itu meski jadwal liputannya begitu padat, ayah selalu sempat mengirimiku pesan singkat. Aku curiga ini merupakan pesan singkat bot yang sengaja ayah setting di handphone-nya setiap jam makan siang, haha ya karena pesannya setiap hari selalu sama jadi aku curiga.
Hari ini, tak kurang dari 3 tempat yang harus ayah datangi untuk meliput berita terkait dengan kekacauan kota. Mulai dari daerah untuk perluasan hotel, kantor polisi, gedung wali kota, dan mungkin tempat lain yang tidak kuketahui. Ayah memang sudah membulatkan tekad untuk mengungkap kasus ini dengan segala resikonya. Yang bersalah perlu dihukum, dan warga kota perlu tahu kebenarannya. Begitu selalu dalihnya. Dan itulah yang menyibukkan ayah enam bulan terakhir. Tak pernah pulang tepat waktu, pun sesampainya di rumah masih disibukkan dengan pekerjaan di laptopnya.
Mataku masih belum mau lepas dari layar monitor, membaca setiap berita untuk setiap kata kunci yang kuketikkan di kolom pencarian. Mencoba menghubungkan banyak sekali hal, mencatat setiap nama yang kurasa penting dan andil dalam masalah ini. Siapa sangka, nama itu sudah lebih dari lima kali kutandai. Kini hipotesaku meyakini bahwa 60% ia punya andil besar dalam masalah ini. Orang yang beberapa waktu lalu sempat menelfon ayah.
Hampir semua stasiun televisi melakukan siaran langsung untuk meliput pidato wali kota. Semuanya sama, dengan judul headline yang hampir sama pula. Berharap beruntung akan melihat ayah di salah satu siaran yang sedang berlangsung. Namun nihil, tak ada satupun yang meperlihatkan ayah di sana.
"Saya harap seluruh warga bisa tenang dalam menyikapi masalah ini, kami pasti akan menindak pelaku kejahatan dengan hukuman yang setimpal. Kami akan berusaha ....."
Omong kosong apa lagi itu, rasanya pemerintah harusnya sudah tahu siapa dalang permasalahan dengan segala temuan bukti yang ada. Kenapa mereka semua seolah menutup-nutupi pihak di balik kasus ini. Apa mereka pikir warga kota sebodoh itu? Aku geram sekali mendengar penjelasan wali kota yang sedang berpidato. Mencoba menenangkan warga. Tapi aku, salah satu warganya tak sedikitpun merasa ditenangkan. Justru kian kalang kabut khawatir akan keadaan ayah.
Selepas pesan ayah yang mengingatkanku makan siang, hingga detik ini aku tak lagi berkomunikasi dan tidak tahu keberadaan CERPEN MAJALAH DIMENSI 62 55
ayah. Sudah lebih dari 30 panggilanku ke nomor ayah, tapi tak satupun dijawab.
Di televisi, terlihat kekacauan dari massa yang tidak puas dengan penjelasan wali kota. Massa mulai bertindak brutal. Massa yang memenuhi halaman gedung menjadi tak terkendali dan mencoba merangsek masuk. Suara reporter stasiun televisi yang sedang live report terdengar cemas meski kutahu mereka masih berusaha tenang dibalik wajahnya. Gelombang massa makin tak tertahan, meneriaki wali kota untuk segera mengambil tindakan tegas. Mobil-mobil yang terparkir di depan gedung pertemuan tak luput dari amukan massa sore itu. “Ayah, Ayah di mana?” sesungguhnya itu yang semakin membuat pikiranku kalut. Kring kring kring Aku terhenyak, ternyata sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tak sadar aku tertidur, dan laptopku masih menyala. Dering nyaring telfon membangunkanku.
Halo, suara seseorang di seberang sana tersengal. Apakah benar ini kediaman saudara Rama? “Benar, saya putrinya,” jawabku. Nak, bisakah kamu datang ke rumah sakit dekat gedung wali kota? Ayahmu tertembak dan kritis.
Entah siapa orang itu, entah apa kelanjutan kalimatnya. Yang kutahu setelah kata kritis, suara telfon di seberang benar benar samar. Aku terduduk, tidak percaya, sama sekali tidak percaya.
Aku segera menaiki taksi untuk menuju rumah sakit dekat gedung wali kota. Sisa-sisa kekacauan terlihat sepanjang kanan dan kiri jalan. Rumah sakit banyak dijaga oleh polisi, mungkin mengantisipasi agar massa tidak mendekat dengan rumah sakit, agar tidak mengganggu kegiatan medis.
Ayah terbaring dengan luka tembak di dalam ruang operasi, hatiku sungguh patah melihat keadaan ayah. Aku tidak ingin cemas, tapi kenapa Ayah seperti ini, batinku. Hingga tiba-tiba dokter di dalam ruang operasi terlihat panik dan memberikan aba-aba serius kepada suster, suster sigap mengeluarkan alat pacu jantung dan dokter segera menempelkannya ke dada ayah.
Memori itu, begitu terputar rapi di dalam otakku. Tak sedikitpun detail yang aku lupa. Memori yang hingga saat ini masih membuatku sedih dan marah. Dan orang itu, si narasumber ‘biasa’, sampai saat ini belum juga bertanggung jawab atas perbuatan jahatnya.
“Yah, akan aku ungkap kasus ini untuk Ayah, untuk warga kota."
Air mataku menetes tepat di pusara ayah. Satu tahun sejak kepergian ayah, dan sekarang saatnya aku membuka tabir kebenaran yang selama ini ayah coba ungkap.
“Berbahagialah bersama Ibu di surga, Yah.”