3 minute read
OPINI MAHASISWA
Menjadi “Orang Desa” Ditengah Pandemi
Oleh: Nova Ratri Anggraini*)
Advertisement
Siapa sangka makhluk kecil bernama Covid-19 itu secara masif menyerang manusia dari berbagai sisi? Mulai dari aspek kesehatan fisik, kesehatan mental hingga kesehatan finansial negara alias resesi ekonomi. Kenneth Rogoff (2020) menulis, krisis pagebluk ini merupakan yang terburuk sejak satu setengah abad lalu. Saya mengibaratkan di dalam permainan sepak bola, tidak ada yang bisa kita lakukan selain formasi bertahan di tengah resesi ekonomi. Namun, ada hal yang harus menjadi perhatian tatkala menggunakan formasi ini. Yakni masalah kekuatan mental pemain dalam bertahan. Fenomena melonjaknya pengangguran, kemiskinan, serta ketakutan terinfeksi virus telah menyatu dalam mindset yang berakibat pada permasalahan kesehatan mental. WHO, dalam sebuah pernyataan, menyebut ada sejumlah faktor yang bisa memicu kondisi kesehatan mental, mulai dari kepedihan, isolasi, hingga kehilangan pendapatan dan ketakutan yang muncul akibat pandemi. Hal ini juga disebut bisa memperburuk kondisi yang sebelumnya sudah ada. Indonesia, negara Bhineka Tunggal Ika dengan kearifan lokal yang kompleks tentu memiliki cara tersendiri dalam mengatasi permasalahan kesehatan mental ditengah resesi ekonomi ini.
Budaya Jimpitan
Belajar dari era 1960-1965 saat Indonesia mengalami inflasi di mana periode tersebut merupakan bencana bagi masyarakat. Harga barang kebutuhan pokok naik, rakyat prasejahtera kesulitan membeli barang kebutuhan pokok. Akan tetapi jimpitan menjadi penyelamat. Jimpitan beras membuat rakyat prasejahtera bisa mendapatkan beras cuma-cuma. Melalui tradisi ini, masyarakat prasejahtera jelas terbantu. Jimpitan sebenarnya diterapkan di masyarakat pedesaan dengan meletakkan “sejimpit beras” di pos ronda untuk disalurkan kepada masyarakat prasejahtera di wilayah tersebut. Secara sederhana, saya menganggap jimpitan ini merupakan kontekstualisasi gotong royong dalam masyarakat untuk meringankan beban satu sama lain. Dalam kondisi pandemi dan resesi ekonomi ini, kontekstualisasi budaya jimpitan ini diperlukan agar kita tidak merasa sendirian menghadapi permasalahan. Budaya ini bisa menjadi alternatif jawaban dari permasalahan kesehatan mental akibat tekanan ekonomi maupun permasalahan ekonomi akibat resesi. Di era modern hari ini, sebenarnya budaya jimpitan ini telah dilakukan pemerintah melalui peluncuran program securities crowdfunding oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait urun dana usaha mikro kecilmenengah (UMKM) untuk “naik kelas” dalam menghadapi resesi ekonomi. Sehingga budaya jimpitan ini tentu bukan hanya terkait dengan kebutuhan pokok, akan tetapi lebih kepada muara gotong royong masyarakat Indonesia.
Gagap Teknologi Juga Bermanfaat
Menurut data Kominfo 2021, sebanyak 1387 hoax beredar selama pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa banyak informasi yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh masyarakat sehingga diperlukan manajemen informasi yang baik untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi informasi yang tidak benar. Dalam konteks manajemen informasi ini, mari kita belajar dari masyarakat pedesaan di mana teknologi & informasi masih sulit untuk diakses, namun perlu kita renungi bahwa keterbatasan informasi itulah yang membuat masyarakat desa justru merasa tenang dan nyaman dengan eksistensinya di tengah masyarakat terlepas dari kebermanfaatan informasi itu sendiri. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengimbau untuk membatasi waktu menonton, membaca atau mendengar berita mengenai pandemi, baik di televisi, media cetak, maupun media sosial, sehingga terhindar dari rasa cemas berlebihan. Terlebih lagi berita dan informasi berkaitan dengan masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran dan informasi negatif lainnya. Tentu hal ini akan berpengaruh terhadap kecemasan masyarakat di tengah pandemi dan resesi ekonomi.
Menjadi Orang Desa
Terkadang, kita perlu menjadi “orang desa” untuk menghadapi permasalahan kesehatan mental di tengah pandemi dan resesi ekonomi. Kearifan lokal berupa budaya leluhur bangsa ini perlu kita renungi dan refleksikan untuk meraih ketangguhan mental.
Dok. bbc.com
Dok. tirto.id
Terkadang, Terkadang, kita perlu kita perlu menjadi menjadi “orang desa” “orang desa” untuk untuk menghadapi menghadapi permasalahpermasalahan an kesehatan kesehatan mental mental ditengah ditengah pandemi dan pandemi dan resesi resesi ekonomi ekonomi
*) Penulis merupakan Pemenang Lomba Opini Tingkat Mahasiswa dalam E-Day Competition
Dok. Pribadi