Tabloid INSTITUT Edisi 23

Page 1

Edisi XXIII/ Maret 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Wawancara: Ahmad Baso

Nama Syarif Hidayatullah, Basisnya kok Wahabi? Baca halaman 5

Laporan Khusus

Disorientasi Mahasiswa Organisasi Ekstra Baca halaman 6

Tertinggal di Nasional, Bermimpi Internasional Nur Azizah

Resensi Buku:

Tapol: Rindu Tanah Air Baca halaman 13

Wacana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menjadi World Class University (WCU) bak panggang jauh dari api. Di tingkat nasional saja, UIN Jakarta hanya mampu bertengger pada posisi 41. Posisi tersebut berdasarkan The Webometrics Ranking of World Universities, sebuah kelompok riset non-profit asal Spanyol.

Secara sederhana, WCU adalah sebuah universitas yang memiliki standar-standar internasional dan juga diakui secara internasional, baik dari kualitas dosen, program, dan fasilitasnya. Sebagaimana yang dikatakan Ketua Badan Penjaminan Mutu (BPMA) Universitas Indonesia (UI) Depok, Hanna HB Iskandar, Kamis (7/3). Namun, realitasnya UIN Jakarta belum sanggup mencapai hal tersebut. Mengingat, minimnya program dan fakultas bertaraf internasional. Bahkan tempo lalu, salah satu kelas internasional di Jurusan Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) ditutup. “Mau internasional tetapi tak memiliki jurusan dan akreditasi internasional, itu omong kosong,� tegas Hanna ketika ditemui di ruang kerjanya, Gedung Rektorat UI, lantai 7. Menurut orang nomor satu di BPMA UI, ada beberapa langkah yang harus dilakukan universitas untuk menuju kampus kelas dunia. Pertama, universitas harus sadar diri, bagaimana kondisi mutu internalnya. Setelah itu universitas harus sering melakukan evaluasi secara rutin. Evaluasi tersebut meliputi evaluasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dengan begitu, universitas bisa Bersambung ke hal 15 kol. 2


2

LAPORAN UTAMA

Salam Redaksi Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pembaca budiman. Ada yang bilang, setelah pertemuan akan ada perpisahan. Namun, perpisahan yang dimaksud tidak abadi. Pada semester baru ini kami mencoba kembali menghadirkan tabloid ke hadapan pembaca yang budiman. Menghadirkan tabloid edisi 23 ini bukanlah proses yang mudah. Di saat mahasiswa biasa berlibur, reporter kami rela mengorbankan waktu liburnya demi terbitnya taboid, dan itu dilakukan untuk memuaskan pembaca sekalian. Ada yang beda pada tabloid edisi kali ini. Edisi ke-23 ini diisi oleh reporter generasi baru. Regenerasi adalah hal yang terpenting dalam organisasi. Namun adanya regenerasi ini, tak serta merta membuat kualitas tabloid kami menurun dari sebelumnya. Pada tabloid edisi ini, kami mengangkat tema World Class University (WCU) dan segala kegundahan dalam mencapainya. Untuk mencapai predikat kampus kelas internasional agaknya, seperti si pungguk merindukan bulan. Di tingkat nasional saja UIN Syarif Hidayatullah masih jauh tertinggal dari universitas bergengsi seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada. Bahkan dengan kampus bercorak Islam sekelas Universitas Islam Indonesia dan UIN Maulana Malik Ibrahim, kita masih berada di bawahnya. Maka dari itu ada baiknya pembaca yang budiman tak melewatkan edisi tabloid kali ini. Semoga apa yang kami sajikan ini dapat berkenan di hati kawan-kawan. Kami harap sajian kami ini bisa dinikmati walaupun Anda sedang gundah gulana. Lebih baik dibaca bersama kawan-kawan dan kerabat, apalagi sambil menyeruput kopi hitam. Selamat menikmati!

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta SK. Rektor No.23 Th. 1984 Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006 Pemimpin Umum: Muhammad Umar | Sekretaris: Rahayu Oktaviani | Bendahara Umum: Trisna Wulandari | Pemimpin Redaksi: Rahmat Kamaruddin | Redaktur Cetak: Makhruzi Rahman | Redaktur Online: Rizqi Jong | Web Master: Jaffry Prabu | Pemimpin Perusahaan: Aprilia Hariani | Iklan & Sirkulasi: Muji Hastuti | Marketing & Promosi: Ema Fitriani | Pemimpin Litbang: Aditia Purnomo | Riset: Aam Maryamah | Kajian: Aditya Putri Koordinatur Liputan: Nurlaela Reporter: Ahmad Sayid Muarief, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Muawwan Daelami, Nurlaela, Nur Azizah, Siti Ulfah Nurjanah, Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Rizqi Jong Karikaturis: Azizah Nida Ilyas Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-9214-5881 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Ingin Capai WCU, UIN Nurlaela

UIN Jakarta menargetkan untuk mencapai predikat World Class University (WCU) pada 2015 mendatang, sebagaimana yang diberitakan Jurnal Wisuda edisi ke-80 Juli 2010. Namun kini, di usianya yang ke-11, UIN Jakarta dihadang berbagai kendala dalam proses pencapaian target tersebut. Menyoal target bergengsi itu, Ketua Lembaga Peningkatan dan Penjaminan Mutu (LPJM) UIN Jakarta, Achmad Syahid membenarkan mimpi UIN menuju WCU. “Ya, memang sudah seharusnya UIN Jakarta sejajar dengan universitas kelas dunia, mengingat UIN Jakarta mempunyai target menuju WCU saat ulang tahun yang ke-8,” tuturnya, Rabu (6/3). Terkait menggapai mimpi UIN Jakarta, Achmad Syahid mengakui masih banyak yang harus dibenahi UIN Jakarta untuk mencapai WCU. Salah satunya, UIN Jakarta kurang melakukan kerjasama antar lembaga struktural dan non-struktural untuk meraih mimpinya. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Rektor UIN Jakarta, Komarudin Hidayat dalam wawancaranya dengan Majalah DINAMIKA edisi ke-02/THN VI/2012, yang mengatakan, banyaknya tawaran kerja sama yang

diterima UIN. Namun belum diback up karena terkendala oleh berbagai sarana. Selain itu, jumlah mahasiswa asing yang dimiliki UIN belum mencapai 20% dari total mahasiswa sebagaimana yang disyaratkan Times Higher Education (THE) dalam memperoleh WCU, kemudian minimnya jurnal UIN Jakarta yang terakreditasi. “Dari dulu kita nggak pernah percaya diri. Tapi, susah juga buat cari jalan keluarnya. Bagaimana mau menjadi WCU kalau gaji dosennya saja masih empotempotan,” ungkap Syahid saat ditemui INSTITUT di Cafe Cangkir lantai 2. Mahasiswa pun mempertanyakan kemampuan UIN Jakarta Menuju WCU. Semisal Masmuhah. Menurut mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional program Internasional semester 4 ini, UIN Jakarta masih belum bisa mencapai WCU di 2015 mendatang, jika dilihat dari aspek kurikulum. Kurikulum di kelas Internasional masih menggunakan kurikulum Inggris yang diterapkan menggunakan Bahasa Indonesia. Selain itu, kurangnya fasilitas yang dimiliki program Internasional seperti student lounge. Bagi Masmuhah terkesan memaksakan. “Saya dan kawan-kawan pernah melakukan demonstrasi mengenai kenaikan biaya yang mencapai lima kali lipat, karena tak sebanding dengan fasilitas dan kurikulumnya yang tidak mencapai standar, namun akhirnya dicekal,” jelasnya, Selasa (5/3).

Dana Penelitian Naik, Dituntut Kreatif Gita Juniarti

Menghasilkan artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional merupakan salah satu syarat universitas untuk menyandang gelar World Class University (WCU). Sayangnya, beberapa dosen terhambat menghasilkan artikel ilmiah disebabkan minimnya dana yang diberikan universitas. Dosen Multimedia Jurusan Sistem Informatika (SI) Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Qurrotul Aini menuturkan, dana yang diberikan universitas sebesar 5–8 juta masih terasa minim. “Jika universitas menginginkan dosen agar menghasilkan artikel ilmiah yang bermutu untuk menuju WCU, tentunya dosen harus melakukan penelitian. Bagaimana mau melakukan penelitian jika dananya saja masih kurang?” ucapnya, Selasa (5/3). Menanggapi pernyataan tersebut, Wakil Rektor (Warek) II Bidang Administrasi dan Umum, Amsal Bachtiar mengatakan, di tahun 2013, dana penelitian untuk dosen dinaikkan dua kali lipat sehingga dosen tidak perlu khawatir lagi. “Nominal biaya riset untuk artikel ilmiah sejumlah 6,5 milyar, sedangkan tahun lalu sebesar 3 milyar. Biaya 6,5 milyar itu digunakan untuk 560

judul penelitian,” jelasnya, Rabu (6/3). Mengutip dari Ketentuan Usulan Penelitian Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Anggaran 2013, rincian dari 560 judul penelitian antara lain 482 judul penelitian individu, 55 judul penelitian kolektif, dan 23 judul penelitian kompetitif. Dana untuk penelitian individu sebanyak 7,5 juta, penelitian kolektif sebanyak 15 juta, dan penelitian kompetetif sebanyak 40 juta. Biaya tersebut sudah termasuk biaya pajak, seleksi, percetakaan, dan pengelolaan di lembaga penelitian.

Bukan Dana, Tapi Dosen Kurang Kreatif Amsal menyampaikan, sumber dana penelitian berasal dari Anggaran Pengeluar-

an Belanja Negara (APBN). UIN Jakarta sengaja meningkatkan dana penelitian karena sesuai dengan visi, misi, dan tujuan UIN Jakarta menjadi Universitas Riset. “Ini merupakan sebuah perkembangan yang baik. Kalau dosen masih mengeluhkan dananya kurang, dosen harus kreatif. Mereka bisa mencari donatur dari dalam dan luar negeri, dari instansi lain, atau dari lembaga-lembaga swasta. Mereka bisa mendapatkan dana puluhan, bahkan ratusan juta untuk penelitian,” katanya di Gedung Rektorat lantai dua. Senada dengan Warek II, Ketua Lembaga Pengembangan Jaminan Mutu (LPJM), Achmad Syahid menuturkan, dana yang kurang selalu menjadi alasan dosen untuk tidak meneliti. Seharusnya dosen dengan gigih mengatakan bahwa dana sudah cukup.


Minim Sarana Senada dengan Masmuhah, mahasiswa asing asal TimorLeste, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM) semester 12, Edy Mahmud mengeluhkan, UIN Jakarta kurang bertanggung jawab terhadap mahasiswa asing, yaitu mengenai penilaian dan absensi yang tak terjadwalkan. “Bahkan, saat mengurusi keimgirasian seharusnya UIN Jakarta yang bertanggung jawab ngurusin, seperti paspor dan visa, bukannya kita yang gerak. Mahasiswa kan tugasnya belajar,” ungkap Edy. Menyoal pelayanan terhadap mahasiswa asing yang dikutip dalam Majalah DINAMIKA hal-4, Komarudin Hidayat mengakui, bahwa UIN Jakarta belum mempunyai tradisi melayani mahasiswa asing, sehingga terjadinya birokrasi yang lambat.

Langkah-langkah mencapai WCU

FOTO: DOK. INSTITUT

Syahid berujar, banyak langkah yang sudah ditempuh oleh UIN Jakarta menuju WCU. Langkah-langkahnya antara lain dengan meningkatkan kualitas dosen dengan memberikan beasiswa terhadap dosen agar semua pengajar di UIN Jakarta berstatus Doktor, dan juga melakukan kerja sama dengan universitas luar. “Selain itu, memberikan dana penelitian bagi dosen yang sudah lulus sertifikasi sebesar 7,5 juta,” ucapnya. Ia juga menambahkan, dengan me-

ningkatkan dana, semoga penelitian dapat diakses dengan mudah dan pada saat yang sama bisa menaikan pangkat dosen UIN Jakarta. Tahun ini UIN Jakarta juga memaksakan peningkatan website bandwidth dalam hal publikasi jurnal. Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang sedang merealisasikan menjadi World Class Faculty pun mendukung citacita UIN Jakarta untuk mencapai target WCU. “Syariah memiliki tekad untuk membawa fakultas menjadi World Class Faculty, ya karena UIN Jakarta sendiri kan ingin menjadi WCU,” tutur Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Muhammad Amin Suma, Rabu (6/3). Baginya, World Class Faculty bukan sekadar wacana, namun sudah dipersiapkan dan sudah dikomunikasikan. Seperti Jurnal Ahkam yang sudah terakreditasi nasional, pengajaran sudah menggunakan tiga bahasa, dan sudah melakukan kerja sama dengan kampus luar. Selain itu, FSH sudah sampai ke tahap penyiapan fasilitas serta terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran. “Proses pembenahan yang dilakukan UIN Jakarta agak terlambat. Seharusnya pembenahannya dilakukan sejak lima tahun yang lalu,” tutup Amin.

Dosen “Padahal jika dilihat berdasarkan hasil pengukuran akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT), tidak sedikit artikel yang dihasilkan oleh dosen mendapatkan akreditasi. Padahal, dana yang diberikan untuk penelitian tidak lebih dari 3 sampai 5 juta,” ujarnya, Rabu (6/3). Ia menyampaikan pesan dan solusi untuk dosen di UIN Jakarta.“Jika dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) atau dosen FST ingin meneliti, alat-alat yang diberikan oleh universitas sudah lengkap. Tidak hanya dosen di kedua fakultas tersebut, tapi juga dosen di fakultas lain. Kalau dana tetap masih kurang, kenapa tidak sharing bersama dosen dari universitas lain yang lebih maju, seperti Universitas Indonesia (UI) atau Institut Pertanian Bogor (IPB)? Ajak mereka diskusi atau meminjam laboratorium universitas,” tegasnya, Rabu (6/3).

Ahkam, Jurnal yang Terakreditasi Nasional Ahkam merupakan salah satu jurnal terakreditasi di bawah naungan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta. Jurnal yang bekerjasama dengan Himpunan Sarjana Syariah Indonesia (HSSI) dan beberapa universitas di Australia itu berhasil memenuhi syarat yang tercantum di Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun

FOTO: GITA.J/INSTITUT Mahasiswi Pascasarja sedang mencari jurnal History of Christian di Perpustakaan Utama (PU) UIN Syarif Hidatullah Jakarta, Jumat (8/3)

2011 Pasal 8 tentang syarat terakreditasinya terbitan berkala ilmiah. Salah satu penyunting Jurnal Ahkam, Muhammad Amin Suma mengatakan, dana Jurnal Ahkam diperoleh dari kerjasama dengan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI). Kerjasama tersebut dilakukan seperti Peradilan Agama MA RI membeli beberapa puluh majalah dari FSH, kemudian FSH mendapatkan timbal balik berupa dana.

Selain itu, FSH juga mengajak Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM), Fakultas Psikologi, dan Fakultas Ushuludin (FU) bekerjasama dalam pengelolaan jurnal. Kelima fakultas tersebut berencana patungan bersama agar efisien dalam pengelolaan dana. Nominal yang diterima oleh FSH memang dibawah 30 juta. Sebagai dekan FSH, ia menerapkan prinsip ekonomi syariah dalam pengelolaan dana Jurnal Ahkam. “Selain sistem

kerjasama yang kami terap-kan di atas, kami juga mengelola dana yang diberikan UIN sebaik mungkin. Dalam prinsip ekonomi syariah, berapapun dana yang diberikan adalah berkah dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin,” ucapnya, Rabu (6/3).


4

LAPORAN UTAMA

Kurikulum Tak Beres, Bahasa Arab Dianggap Tak Penting Muawwan Daelami

Kurikulum UIN Jakarta saat ini dirasa tidak sesuai dengan karakter mahasiswa. Terutama, mata kuliah berbasis agama yang cenderung memberatkan mahasiswa jebolan non-madrasah. Yudaris Oktian salah satunya, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) ini menilai, mata kuliah Bahasa Arab cukup memberatkan bagi mahasiswa awam, Selasa (12/3). Mahasiswa yang kini duduk di semester delapan ini mengatakan, seharusnya, dibentuk pengelompokan antara mahasiswa yang memiliki latar berlakang agama dan umum. Karena tidak semua mahasiswa umum itu pernah belajar Bahasa Arab. Buku yang digunakan, menurutnya, sudah menginjak level advance sehingga cukup menyulitkan dirinya untuk memahami mata kuliah tersebut. Pola penggabung an yang diterapkan UIN saat ini juga membuatnya ngap-ngapan. Karena secara tidak langsung, ia dituntut untuk memiliki pemahaman yang setingkat dengan mahasiswa jebolan madrasah. Hal serupa dikatakan Dosen Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Syamsul Arifin, dalam hal ini, mahasiswa UIN Jakarta memang perlu dikelompokan antara tadris dan non-tadris atau pengelompokan antara mahasiswa jebolan madrasah dan non-madrasah. Ia mengusulkan, kurikulum dan materi Bahasa Arabnya juga harus dibedakan. Artinya, materi-materi dasar Bahasa Arab itu hanya diperuntukan bagi mahasiswa jebolan

non-madrasah. Sedangkan mahasiswa jebolan madrasah, materinya itu dilanjutkan seperti halnya yang sudah mereka pelajari sewaktu aliyah atau pesantren. Sejauh ini, lanjut Syamsul, UIN belum menerapkan kurikulum seperti itu dan cenderung menyerahkan kepada dosen. Mestinya, rektorat turut mengontrol karena ini merupakan kurikulum universitas. “Akibatnya, Bahasa Arab cenderung tidak terbimbing, sehingga dosen bisa mengajar seenaknya,” katanya. Dulu, menurut Syamsul, semua materi bahasa itu ditangani Pusat Bahasa. Namun, sekitar awal 1990-an pengajaran materi bahasa mulai diserahkan ke fakultas dan pengawasannya pun di sana. Kini terlihat tidak terkendali, karena ada yang menganggap Bahasa Arab itu penting, dan ada yang tidak. Seharusnya rektorat menjadikan Bahasa Arab sebagai materi utama, karena Bahasa Arab merupakan nafas UIN. “Apapun jurusannya, selama mahasiswa UIN berarti Bahasa Arab itu penting. Kalau nggak mau Bahasa Arab, jangan masuk UIN,” tandasnya.

Adalah persoalan mendasar, menurut Syamsul, bagaimana UIN mampu menata kurikulum dan memanajemeni pembelajarannya. Kini Bahasa Arab semakin hilang, karena ada yang menganggap tidak penting. “Ya sekadar ada, padahal dulu bobot Bahasa Arab itu sampai enam Satuan Kredit Smester (SKS),” kenangnya. Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF), Zainun Kamal menyampaikan, wajar jika hal itu terjadi, karena orientasi pendidikan UIN Jakarta sudah berubah. Menurutnya, kini UIN cenderung berorientasi pada bisnis, ketimbang pada penguatan akademis. Bagi Zainun, kurikulum UIN sekarang tak ubahnya seperti kondisi pemerintah saat ini. “Percuma kurikulumnya dirubah tapi dosennya nggak dirubah. Yang terpenting itu kompetensi dosen, dan dosen perlu dikontrol,” katanya.

Polemik Kurikulum Ketidakberesan kurikulum juga dirasakan mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

FOTO: AWANG/ INSTITUT Beberapa mahasiswa Jurusan BSI tengah berdiskusi mata kuliah B. Arab di teras lantai IV Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Rabu (13/3).

(KPI), Zahid Husain. Ia mengatakan, keberadaan mata kuliah agama sebenarnya sedikit banyak memberatkan mahasiswa. Pun demikian dengan mata kuliah jurusan yang tidak relevan dan tidak mendukung. “Apalagi, ada beberapa dosen yang tidak memiliki kompetensi baik dalam bidang komunikasi,” ungkapnya. Selain itu, Zahid menyampaikan, kurikulum UIN Jakarta saat ini membuatnya merasa ketinggalan dengan institusi pendidikan lain. Salah satunya Kahfi, sebuah sekolah yang juga memiliki orientasi serupa dengan jurusan yang ia ambil. “Karena di UIN nggak puas, akhirnya saya ngambil mata kuliah tambahan di Kahfi,” keluhnya. Meskipun begitu, lanjut Zahid, kurikulum UIN Jakarta tidak sepenuhnya berantakan, hanya saja perlu adanya stimulus guna memancing semangat mahasiswa dalam belajar. Menurutnya, kurikulum UIN Jakarta itu terlalu banyak teori sementara praksisnya kurang. Terkait mahasiswa masuk Kahfi, Kepala Jurusan (Kajur) KPI, Jumroni menjelaskan, hal itu mer-

upakan kekuatan bagi mahasiswa yang ingin maju dan bukan kelemahan bagi UIN. Karena yang terpenting, UIN sudah memberikan mata kuliah dasar yang bisa dijadikan bekal bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmunya di tempat lain. Disampaikan Jumroni, universitas itu bukan lembaga kursus yang mampu menjamin masa depan mahasiswa. Di manapun, kurikulum lembaga formal tidak akan sama dengan kurikulum lembaga non-formal. Jumroni menambahkan, universitas itu hanya sebatas konseptor. Karena muatan kurikulumnya 70% teori dan 30% praktik. Tentu, hal ini berbeda dengan lembaga non-formal yang memuat 25% teori dan 75% praktik.

“Percuma kurikulumnya diubah tapi dosennya nggak diubah. Yang terpenting itu kompetensi dosen, dan dosen perlu dikontrol,”

Mahasiswa UIN Jakarta yang tergabung dalam Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi (LS-ADI) bersama anak-anak pengamen menolak UU Perguruan Tinggi (UU PT) yang dinilai akan mengakibatkan biaya pendidikan meningkat.

FOTO: APRILIA/INSTITUT


5

Wawancara

ADI PRIB OK. O: D FOT

Nama Syarif Hidayatullah, Basisnya kok Wahabi? Bagi UIN Jakarta, menyandang nama Syarif Hidayatullah tentu bukan tanpa alasan. Selain dikenal pintar, beliau juga memiliki akar keislaman nusantara yang kuat. Sebagai Islamis Nasionalis, Ahmad Baso menilai, kini UIN Jakarta cenderung mengadopsi teori dan literatur berbasis Wahabi ketimbang berbasis kenusantaraan sebagai muatan dan referensi kurikulum. Melihat fenomena tersebut, Baso menyampaikan, UIN Jakarta perlu mengedepankan aspek kenusantaraan daripada kewahabian. Berikut petikan hasil wawancara Muawwan Daelami/INSTITUT dengan penulis Buku Pesantren Studies, Ahmad Baso, terkait pola dan sistem kurikulum yang diterapkan UIN Jakarta dalam mempelajari Islam, Kamis, (7/3). Bagaimana seharusnya UIN Jakarta mempelajari Islam?

Menggunakan Islam nusantara sebagai basis dan kajian keislaman, saya kira sangat tepat. Selain relevan, corak Islam seperti ini juga memiliki basis praktekpraktek kebangsaan dan keindonesiaan yang kini tidak lagi menjadi bahan studi di universitas Islam. Apalagi, sekarang cenderung dibuat dikotomi antara Islam yang benar (high tradition) dengan Islam nusantara (reveal tradition). Akibatnya, tak ada lagi pengkayaan wacana setelah adanya dikotomistik seperti itu. Apalagi, buku-buku yang ada di UIN Jakarta kan sudah nggak pake akar identitas kita lagi.

Islam (high tradition) itu seperti apa?

Ini tuh sebenarnya, tradisi Islam yang sudah diformat dalam kerangka frame Wahabi. Frekuensi Wahabi juga nggak nyambung dengan paradigma keagamaan yang berkembang di Indonesia. Sehingga, hanya akan menjadi kurikulum yang terkotak-kotak dalam ruang kelas. Hasilnya, praktis dinamika apapun yang muncul di kampus akan selalu dicari mana yang asli

dan palsu.

yang relevan dengan perjuangan beliau. Tapi nyatanya nggak ada karya beliau yang menjadi referensi kajian.

Dampak negatif bagi mahasiswa jika Islam (high tradition) diterapkan di UIN Jakarta?

Perubahan IAIN menajadi UIN, menurut Anda?

Saya kira sudah jelas, hal tersebut tidaklah sehat dan tidak membuat cara berpikir mahasiswa produktif. Apalagi, saat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) beralih menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Tak sedikit sponsor masuk ke kampus, mulai dari buku, dosen, sampai materi-materi perkuliahan pun pesanan dari luar. Ya bisa dikatakan model Islam Puritan.

Saya kira, perubahan IAIN menjadi UIN bisa menjadi bencana. Dulu, waktu masih jadi IAIN, institusi ini punya kemampuan berkarya dalam aspek keilmuan. Karena sekarang basisnya imported dan banyak dipengaruhi sponsor dari luar. Akhirnya, UIN nggak mandiri lagi dalam berkarya. Saran saya, kalau UIN masih ingin menunjukan jati dirinya Islam dan bukan faham-faham Wahabi yang diimpor, maka hasil karya anak- anak bangsa harus dijadikan muatan perkuliahan. Ngomongin konsep integrasi keilmuan tapi kok yang jadi referensi Barat, nama Syarif Hidayatullah tapi nggak punya tradisi.

UIN Jakarta cenderung mengadopsi teori-teori Barat, tanggapan Anda?

Ya ini memang problem, apalagi UIN Jakarta menyandang nama Syarif Hidayatullah. Salah seorang wali yang dikenal banyak memiliki karya, tradisi pemikiran terkait keagamaan, politik, budaya, dan paradigma kebangsaan. Beliau juga dikenal sosok yang menyatukan dunia kenusantaraan walisongo. Harusnya kan ada muatan-muatan kuliah yang memiliki orientasi dan progres

Apakah kurikulum pesantren relevan jika diterapkan dalam universitas?

nawarkan satu pengalaman yang teruji selama berabad-abad, dimulai dari cara wali songo dalam mempertemukan dunia keilmuan dengan dunia keseharian masyarakat, yang kemudian diolah melalui berbagai macam jaringan, seperti keilmuan, politik, ekonomi.

Bagaimana seharusnya karakter mahasiswa sekarang?

Harusnya sih, mahasiswa sekarang itu punya kemampuan secara mandiri dimulai dari akar kebangsaan dan keilmuan yang berkarakter peradaban nusantara. Kalau nggak begitu, mahasiswa atau generasi kita cuma akan jadi penonton. Dalam hal ini, saya juga cuma menawarkan bagaimana memberikan kontribusi untuk melihat gambaran ideal tentang studi Islam. Dengan catatan, kita menggunakan referensi milik sendiri. Boleh kita mengadopsi dari luar, tapi kita harus memperkuat aspek kemandiriannya dulu.

Menurut saya cukup relevan, karena bagaimanapun pesantren pernah me-

Daya Tulis Rendah, UIN Jakarta Keukeuh Kejar WCU Menyandang gelar World Class University (WCU) merupakan impian setiap Perguruan Tinggi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Untuk mencapai gelar tersebut, banyak persyaratan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing perguruan tinggi. Adapun salah satu syarat untuk menjadikan sebuah perguruan tinggi bergelar WCU adalah tingginya tingkat publikasi artikel ilmiah hasil penelitian yang dilakukan oleh para dosen, baik dalam bentuk cetak maupun noncetak. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah satu dari sekian banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mulai merintis jalan ke arah WCU. Maka dari itu, penelitian memilih salah satu indikator pencapaian WCU, yakni karya ilmiah yang dihasilkan

dosen. Tujuannya untuk melihat frekuensi penulisan karya ilmiah, karakteristik karya ilmiah yang dihasilkan, hingga kendala yang dirasakan dosen tetap UIN Jakarta. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Litbang LPM INSTITUT, sebagian besar dosen hanya menghasilkan satu karya ilmiah dalam setahun, sebanyak 44,8%. Bahkan masih ada dosen yang menulis satu karya ilmiah di atas satu tahun sebanyak 10,4%. Sedangkan dosen yang menghasilkan lebih dari dua karya ilmiah hanya sebanyak 12,5% dan dua kali dalam satu tahun mencapai 27,1%. Hal tersebut, menandakan bahwa ‘gairah’ menulis para dosen di UIN Jakarta masihlah rendah. Padahal,ada apresiasi yang diberikan universitas bagi peneliti misalnya kenaikan jabatan. Se-

Seberapa sering Anda menulis Artikel untuk Jurnal ilmiah? 1 kali dalam 1 tahun

1 kali di atas satu tahun

>2 kali dalam 1 tahun

abstein 13%

2 kali dalam satu tahun

banyak 12,5% responden telah melakukan penelitian demi kenaikan jabatan semata. Apresiasi seperti itu memang bisa dijadikan ‘pemecut’ gairah menulis para dosen. Namun, tidak sedikit juga alasan menambah wawasan menjadi motif utama dalam melakukan penulisan karya ilmiah,42,7%. Dari karya ilmiah yang telah dihasilkan para dosen tersebut, sebanyak 41,7% sukses diterbitkan secara nasional dan 10,5% diterbitkan secara internasional. Hal tersebut merupakan titik baik bagi UIN Jakarta untuk terus mengembangkan budaya riset di lingkungannya. Adapun bahasa yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang paling dominan adalah Bahasa Indonesia sebanyak 60% dibanding bahasa lain seperti Bahasa Inggris

Hasil penelitian di atas, menun-

Apa kendala yang dihadapi dalam penelitian?

Alasan Utama Anda menulis karya ilmiah? kenaikan jabatan

kewajiban

menambah wawasan 0%

4%

14%

lain-lain

abstein

kekurangan dana

kekurangan waktu

lain-lain

abstein

12%

6% 45% 11%

6%

tidak mempunyai data

2%

31% 43%

27%

jukkan universitas masih memiliki banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera diselesaikan, agar mencapai WCU. Sebelum ketataran mahasiswa, WCU menuntut peningkatan mutu dosen terlebih dahulu. Pepatah mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru atau dosen merupakan teladan muridnya atau mahasiswanya. Jika kendala yang dihadapi para dosen tertangani dengan bijaksana oleh pimpinan universitas, maka dosen pun akan mampu melaksanakan penelitian dengan serius. Akhirnya, dosen pun dapat mewarisikan ilmunya kepada mahasiswa secara totalitas.

27,1% dan Bahasa Arab 9,4%. Karya ilmiah berbahasa Indonesia memang lebih mudah dipahami dan dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh kalangan akademisi. Walau demikian, Bahasa Inggris merupakan Bahasa Internasional, yang dengannya karya kita bisa dipandang oleh dunia. Oleh karena itu adanya kemampuan berbahasa (selain Bahasa Indonesia) memberikan nilai plus terhadap jurnal ilmiah yang diterbitkan UIN Jakarta. Lantas, apa kendala sesungguhnya yang dirasakan para dosen untuk melakukan kegiatan penelitian? Sebanyak 52% responden sepakat bahwa dana merupakan alasan utama yang menghambat dilakukannya penelitian.

34%

52%


6

Laporan

KHUSUS

Pemira BEMU

Sekian Lama Molor, Kini BEMU Kembali Diadakan Siti Ulfah Nurjanah

Setelah tiga tahun dibekukan sejak tahun 2010 lalu, kini gerbang menuju adanya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) kembali terbuka. Ini terbukti dari adanya keputusan untuk membentuk Komisi Pemilihan Umun (KPU) yang akan mengatur teknis Pemilihan Umum (Pemilu) BEMU. Keputusan tersebut merupakan salah satu poin dari hasil rapat yang diadakan pada 22 Januari 2013. Rapat yang dihadiri Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim dan seluruh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) itu membuka kembali kesempatan bagi mahasiswa untuk meraih kepercayaan dari rektorat. Hal tersebut diungkapkan Ketua BEM Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Didin Sirojudin. Menurutnya, mahasiswa harus mampu menjaga kesempatan agar BEMU tidak dibekukan lagi. Senada dengan Didin, Ketua BEM Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Ardhy Dinata Sitepu juga menuturkan, kini sudah saatnya BEMU kembali diadakan. Baginya, tiga tahun sudah cukup untuk masa vakum BEMU. “Bah-

kan, terlalu lama,” tuturnya dengan tegas, Selasa (19/2). Selain Ardhy, Ketua Forum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Yusuf Muarif Hidayat juga mendukung akan adanya lagi BEMU. Selain itu, ia pun berharap agar sistem yang ditawarkan rektorat jelas, “Student Government (SG) atau Senat,” tegasnya, Senin (25/2) Selain keputusan pembentukan KPU, pertemuan yang diadakan di ruang rektorat juga menetapkan sistem representatif untuk menetapkan ketua BEMU. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor Dj. 253/2007 tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Berdasarkan SK tersebut, ketua BEMU tidak dipilih oleh semua mahasiswa, melainkan secara per-

wakilan. Namun, sistem spesifik representatif masih belum pasti. Menurut Sudarnoto, sistem itu akan ditentukan oleh KPU yang terpilih kelak. Di sisi lain, Didin mengungkapkan, ia sempat memperjuangkan agar setiap mahasiswa dapat memilih langsung. Namun, pihak rektorat menolak. Meski demikian, ia mengakui sistem representatif untuk saat ini lebih cocok untuk dijalankan. Sama halnya dengan Didin, menurut Ardhy, sekarang ini mahasiswa lebih baik menjalani sistem yang ada. “Kalau ribut, entar berantakan dan BEMU tidak ada lagi,” ujarnya yang juga mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional. Menanggapi hal tersebut, Sudarnoto menjelaskan, tidak semua jenis demokrasi harus memilih secara langsung, ada juga yang

FOTO: HAIDAR/KALACITRA

perwakilan. Ia menambahkan, sistem one man one vote sudah cukup pada pemilu jurusan dan fakultas. Lagipula, lanjutnya, sistem representatif merupakan salah satu cara menghindari cheos yang kerap terjadi.

Urgensi BEMU Selama tiga tahun terakhir, setiap BEMF menjalankan programnya sendiri-sendiri. Padahal, menurut Didin, hal demikian tidak perlu terjadi jika ada BEMU, karena BEMU merupakan wadah untuk menyatukan seluruh BEMF. Tak hanya itu, menurut Ardy, adanya BEMU juga dapat menyerap lebih banyak potensi dari mahasiswa. Artinya, mahasiswa tidak hanya dapat berkreasi

di tingkat jurusan atau fakultas, melainkan juga di tingkat universitas. Menyoal pembekuan BEMU, Sudarnoto memaparkan, pihak rektorat tidak akan mengambil keputusan tanpa alasan. Ia menambahkan, cheos yang kerap terjadi saat Pemira BEMU menjadi salah satu alasannya. Sudarnoto berharap, pemilihan BEMU mendatang dapat melahirkan para pimpinan kampus yang cerdas, mau mendengar, dan mengerti leadership. Selain itu, tambah Sudarnoto, juga bermutu secara intelektual dan kepribadian. “Jika tidak bermutu, untuk apa dipertahankan,” imbuhnya, Senin (25/2).

Mahasiswa dan Organisasi

Disorientasi Mahasiswa Organisasi Ekstra Gita Nawangsari E. Putri

FOTO: DOK. INSTITUT

Mahasiswa organisasi ekstra (oreks) terjebak ke arah politik praktis yang menciptakan persaingan antar mahasiswa itu sendiri. Hal itu diungkapkan mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Sudarnoto Abdul Hakim, sebagai imbas dari reformasi kebablasan. Sudarnoto yang saat ini berprofesi sebagai Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta beranggapan, mahasiswa tidak cukup hanya sekadar bermain-main dalam politik praktis, namun lebih kepada pertimbangan nyata untuk memajukan universitas di bidang intelektual. “Harapannya mahasiswa kembali pada khitah,” katanya, Senin (25/2). Menanggapi politik praktis ala mahasiswa, mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mengatakan, Mohammad Matsna organisasi merupakan alat bantu untuk menunjang karir mahasiswa dan memperkaya diri

dalam hal kemasyarakatan. “Oreks hanya sebagai penunjang tapi itu penting,” ungkapnya,Senin (4/3). Menurut Matsna, oreks kini memang lebih berorientasi untuk memperebutkan kekuasaan. Baginya, hal tersebut tidak menjadi masalah, namun prioritas mahasiswa di kampus adalah untuk meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Di lain pihak, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Zainun Kamal menyatakan, oreks tidak perlu ada di UIN Jakarta. Karena menurutnya hal itu akan menimbulkan persaingan yang tidak akademis. “Akademis tidak perlu membawa identitas oreks,” katanya.

Degradasi Keilmuan Sementara itu, mahasiswa yang selama 3 tahun aktif di Organisasi IMM, Dedi Sutiadi menyatakan,

Sebelum dan kala reformasi bergelora, mahasiswa yang turun ke jalan untuk menjatuhkan kekuasaan Orde Baru tidak menghilangkan posisinya di bidang intelektualitas. Disorientasi diakibatkan oleh reformasi yang tidak terkawal dengan baik. lambat laun tradisi kajian ilmiah menurun. Oreks mengalami degradasi kualitas intelektual dilihat dari budaya baca dan diskusi. Menurutnya, mahasiswa saat ini dihadapkan dengan kondisi pragmatis dan hedonis yang menjadikan diskusi dan kajian menjadi pilihan kedua. “Konsistensi dan intensitas diskusi menurun,” tambahnya. Ia menambahkan, jika dibenturkan dengan keadaan kampus saat ini, organisasi ekstra yang besar lebih kuat untuk eksis di kampus. Menurutnya, ekspresi intelektualitas dan politik praktis menjadi dua sisi mata uang dalam organisasi. Bagi Dedi, organisasi tidak harus terjun ke ranah politik, namun lebih memperkaya diri dengan wawasan akademis. Pada kenyataannya kini, oreks lebih mengejar untuk mendapatkan kekuasaan di kampus. Aktifis Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi (LS-ADI), Farhan

Fuadi juga menyatakan, oreks memang condong untuk memperebutkan kekuasaan. Saat ini, menuju Pemilu Raya (Pemira), kader-kader hanya dijadikan pasar suara saja tanpa adanya penunjang terhadap hak suara yang dikeluarkannya. “Tidak ada jaminan bagaimana pengembangan diri terhadap kader-kadernya,” katanya (20/2). Ia menjelaskan, sebelum 2009, etos oreks tidak fokus terhadap pencarian kader belaka, namun terhadap pengisian skill dan ability. Kala itu, budaya baca masih berkembang sehingga pertarungan mereka ada di meja diskusi dan tempat-tempat yang menguji kemampuan intelektual mereka. Matsna menambahkan, degradasi budaya baca terjadi karena terjebak dalam pragmatisme sehingga mahasiswa kehilangan perspektif. Mahasiswa perlu menyadari bahwa organisasi harus

ditopang dengan ilmu. “Di manapun harus punya kapasitas keilmuan,” tegasnya.

“Mahasiswa saat ini dihadapkan dengan kondisi pragmatis dan hedonis yang menjadikan diskusi dan kajian menjadi pilihan kedua.”


Kampusiana

E-Learning, Media Belajar Tanpa

7

Ruang dan Waktu Siti Ulfah Nurjanah

Manfaat pisau tergantung pada siapa yang menggunakan. Bila digunakan untuk memotong buah atau sayur, tentu akan bermanfaat. Sebaliknya, bila digunakan untuk melukai seseorang, pisau tersebut akan memberikan dampak buruk bagi pemakainya. Begitu pun dengan dunia maya. Dunia maya akan sangat bermanfaat jika digunakan untuk hal positif, misalnya, sebagai media alternatif dalam pembelajaran di kampus. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Hepi Prawidyawan merupakan salah satu dosen yang memanfaatkan dunia maya dengan baik. Setiap kali mengajar di kelas, Hepi melarang mahasiswanya mencatat. Hal tersebut dikarenakan seusai mengajar, ia selalu mengunggah materi yang telah disampaikan di situs pribadinya dan mahasiswa tinggal mengunduh materi tersebut. Dengan demikian, mahasiswa Hepi tidak memiliki alasan jika materi yang telah ia berikan hilang, sehingga mereka tidak belajar. “Kan bisa diunduh kapan saja,” imbuhnya, Senin (4/3).

Selain itu, Hepi juga sering berkomunikasi atau memberikan informasi kepada mahasiswanya via Twitter. “Artinya, media sosial juga mendongkrak birokrasi,” tutur dosen yang sudah tiga tahun memanfaatkan situs pribadinya untuk media pendukung pembelajaran. Menurut Hepi, dengan media sosial kegiatan belajar mengajar tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Ia juga sering kali melakukan bimbingan skripsi via email. Meski demikian, Hepi beranggapan pertemuan tatap muka harus tetap dijalankan. “Ada halhal yang tidak dapat tergantikan dalam pertemuan tatap muka,” tambahnya. Pakar komunikasi, Ignatius Hariyanto memaparkan, penggunaan media sosial dan internet sebagai media pembelajaran akan bermanfaat jika hanya sebagai me-

dia pendukung. “Artinya bukan yang utama”, tambahnya, Jumat (1/3). Bagi Ignatius, pertemuan tatap muka jauh lebih penting. Dengan demikian, respon mahasiswa dapat terlihat langsung. “Kan kalau via internet atau media sosial tidak dapat diketahui apakah mahasiswa boring atau tidak,” imbuhnya. Pemanfaatan dunia maya sebagai media pendukung pembelajaran juga dimanfaatkan oleh salah satu komunitas mahasiswa, Uin Community. Dalam situsnya, Uin Community mengembangkan salah satu rublik untuk forum diskusi. Pada rublik tersebut, orangorang yang mempunyai akun Uin Community dapat menulis artikel dan mempublikasikannya. “Tapi, tulisan yang mengisyaratkan SARA atau pornografi akan kami (admin) hapus,” kata salah satu admin Uin Community, Dimas Istanto, Jumat (8/3). Dimas menambahkan, siapa saja dapat tergabung dalam situs tersebut. “Tidak harus mahasiswa,” imbuhnya. Namun, saat ini produktivitas para pemilik

akun untuk menulis menurun. Meski demikian, para pengunjung situs Uin Community cukup banyak.

E-Learning di UIN Jakarta Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM), Achmad Syahid mengatakan, e-learning merupakan kebalikan dari pembelajaran konvensioal. Artinya, dalam metode pembelajaran e-learning, diskusi tidak dilakukan secara langsung, melainkan menggunakan media elektronik. Syahid menambahkan, sejumlah fitur media sosial seperti Skype atau YouTube juga dapat diman-

faatkan. E-learning memungkinkan mahasiswa dapat mengikuti kuliah umum dengan guru besar universitas lain. Hal ini pernah diaplikasikan oleh Pusat Teknologi Informasi Nasional. Syahid menjelaskan, sebenarnya UIN Jakarta sudah memiliki program yang memfasilitasi Elearning. Namanya Academic Information System. Hanya saja program tersebut belum dimanfaatkan oleh para dosen. “Padahal sudah ada aplikasi untuk absensi atau upload modul,” katanya, Rabu (6/3).

Sepak Bola Lebih Dari Sekadar Olahraga Ahmad Sayid Muarif

S

epak bola merupakan salah satu olahraga yang sangat digemari di muka bumi, mulai dari kota sampai ke desa, kaya, miskin, pria, wanita, dewasa maupun anak-anak. Itulah yang membuat sepak bola menjadi olahraga paling populer di dunia, sehingga tidak salah jika olahraga ini menjadi bagian dari gaya hidup. Sepak bola memang sudah menjalar ke semua penjuru dunia. Di UIN Jakarta kepopuleran sepak bola pun ditandai dengan bermunculan komunitas-komunitas klub sepak bola, mulai nasional sampai internasional. Seperti Jak Kampus, Viking UIN, Juventus Club Indonesia (JCI) Kampus UIN, Gooners UIN, Man UINited, Milanisti UIN, Madridista UIN dan masih banyak lagi. Humas Gooners UIN, Akbar Ramadhan mengatakan, sepak bola bukan hanya sekadar per-

mainan tapi juga mengajarkan bagaimana cara untuk hidup. “Disiplin, kerjasama, kesabaran, sangat penting, seperti halnya dalam pertandingan sepak bola” katanya, Senin (4/3). Akbar menambahkan, sepak bola membuat kehidupan mahasiswa menjadi lebih berwarna. “Komunitas bola bermunculan, mahasiswa kuliah memakai jersey, obrolan tentang sepak bola di mana-mana,” papar mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester dua ini. Senada dengan Akbar, Ketua JCI Kampus UIN, Syarifullah mengatakan, adanya komunitaskomunitas sepak bola membuat mahasiswa dapat memperlebar tali silaturahmi. “Sparing futsal, nonton bareng, dan nongkrong bareng. Selain itu kami bisa saling kenal” ujarnya, Rabu (6/3). Menurut Syarif, sepak bola juga menjadi bagian dari hiburan

untuk anak-anak, orang dewasa dan masyarakat sehingga tercipta kebersamaan dan keceriaan. “Malah sekarang sepak bola menjadi ladang bisnis mahasiswa,” ujar sarjana Teknik Informatika ini. Syarif juga menganggap positif mahasiswa yang kuliah memakai jersey, asalkan itu sopan. Anggota Man. UINited, Nabyla Jamal mengatakan, memakai jersey saat kuliah terlihat lebih sopan dari pada kaus oblong biasa, “Kalau untuk perempuan, asal jangan yang ketat saja,” kata mahasiswa yang mengidolakan Chicharito penyerang Manchester United, Jumat (8/3). Disamping itu, sepak bola juga menjadi bagian dari gaya hidup yang memberikan andil cukup besar bagi perkembangan mahasiswa. Bagi Nabyla, sepak bola memberikan nilai lebih, seperti bekerjasama dan bersosialisasi dengan teman dalam satu tim dan me-

ngenal tim lain yang artinya mengenal orang-orang baru. “Sepak bola pun dapat menambah kebugaran tubuh dan meningkatkan keterampilan sosial, emosional dan mental, prestise dan prestasi serta hiburan untuk mahasiswa,” paparnya.

Sepak Bola dan Wanita Sudah hampir dua tahun UIN Jakarta memiliki tim futsal wanita yang bernama Ladies Futsal UIN Jakarta (LF UIN Jakarta). Tim futsal ini tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa). Ketua LF UIN Jakarta, Desi Riani mengatakan, tujuan dibentuknya LF UIN Jakarta untuk menampung hobi mahasiswi UIN Jakarta yang suka sepak bola. “Karena nggak bisa dipungkiri kalau sekarang banyak mahasiswi

yang suka sepak bola. Ternyata peminatnya juga lumayan banyak,” ujar mahasiswi semester 8 Jurusan Akutansi, Jumat (8/3). Meski sepak bola merupakan olahraga yang berpotensi cedera cukup besar, menurut Desi hal itu tak menjadi masalah. “Malah menjadikan kami lebih sehat, urusan cedera itu kan risiko,” ujar perempuan yang ngefans dengan klub Manchester United. Salah satu anggota LF UIN Jakarta, Nurul Fazriah mengatakan, sepak bola tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga untuk perempuan. “Meski di sini agak ribet, pakai kerudung, kaus kaki yang menutupi semua, itu bukan hambatan bagi kami,” ujarnya, Rabu (6/3).


8

KOLOM

Balada Mahasiswa

Editorial Revisi Mata Kuliah Agama Paska berkonversi dari IAIN menjadi UIN, klasifikasi kualifikasi mahasiswa santri dan non santri menimbulkan kendala anyar, terutama berkaitan kurikulum agama. Sebagai universitas, UIN kini tak hanya mempelajari ilmu keagamaan saja, tapi juga ilmu pengetahuan umum, laiknya universitas lain. Komposisi mahasiswa yang dulu didominasi santri, berganti sebaliknya. Sinar fakultas agama perlahan redup tepat di hadapan fakultas umum yang dilabuhi mahasiswa baru berduyun-duyun. Bahasa Arab, misalnya. Mahasiswa yang sebelumnya tak mengeyam pelajaran bahasa Arab terpaksa mengikuti mata kuliah tersebut sembari mengernyitan dahi. Pada fakultas dan jurusan non-agama, mata kuliah Bahasa Arab dinilai sebagai mata kuliah normatif, tidak substantif. Kompetensi pembelajaran lebih berorientasi sekedar menggugurkan kewajiban sebagai universitas bercorak Islam, yang oleh karena itu harus belajar bahasa Arab. Pula, implikasi mata kuliah agama pada beberapa fakultas dan jurusan umum, seperti yang diliput media ini, membuat mahasiswa harus legowo menerima sikap beberapa dosen yang mengajar selaiknya pegawai, bukan pendidik. Paham tak paham urusan belakang, yang penting telah menunaikan kerja berdasarkan standar yang ada. Tentu tidak semuanya, masih ada dosen yang tulus bekerja keras meracik formula tepat dalam mengajar mata kuliah-mata kuliah agama. Tapi kita harus tetap prihatin dengan kondisi seperti itu. Porsi mata kuliah agama yang tidak substantif pada fakultas umum perlu direvisi, mengingat banyak materi khusus yang membutuhkan pendalaman terkait disiplin dan konsentrasi masingmasing jurusan dan fakultas. Media ini merilis, beberapa mahasiswa yang peduli terhadap masa depannya sendiri --dan menyadari kondisi universitas-- akhirnya mengambil kursus di berbagai instansi luar, dengan merogoh kocek pribadi. Jika tidak, para pemegang kebijakan universitas harus berani berpikir dan bertindak realistis dalam proyeksi kurikulum agama yang ada pada fakultas-fakultas umum. Mengingat objek kurikulum adalah manusia, pemuda; penerus bangsa yang kelak diharapkan menjadi agen perubahan di tengah masyarakat. Cita-cita mahasiswa sedari awal dengan memilih jurusan idamannya perlu didukung dengan merevisi kembali porsi mata pelajaran agama, lalu meningkatkan kualitas mata kuliah konsentrasi jurusan, sehingga kelak tidak menjadi sarjana setengah matang. Ilmuwan tidak, ustadz apalagi.

Oleh Rizqi Jong*

K

ampus pada dasarnya merupakan tempat belajar. Dilengkapi fasilitas semodern apapun, dihiasi seindahindahnya pun, ia akan tetap hening dan tanpa makna. Jiwa-jiwa di dalamnyalah, para mahasiswa, yang membuat kampus memiliki makna. Suatu kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa ketika melihat berbagai kemegahan yang dimiliki suatu perguruan tinggi. Lebih-lebih tempat seperti itu ada dan dirasakan oleh kita sebagai mahasiswa, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kita pun sepakat, untuk tataran universitas Islam di Indonesia, UIN Jakarta-lah yang paling megah . Tidak hanya itu, jika berbicara mengenai kampus, tentunya tidak lepas dari peran sivitas akademika di dalamnya. Dalam hal ini terdapat hak-hak mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika yang juga berperan membangun lingkungan kampus menjadi lebih baik. Masih hangat dalam ingatan tragedi “berdarah� di lorong rektorat pada awal 2012 lalu, mahasiswa menuntut diberlakukannya Student Goverment (SG) dan terjadi keributan saat Pemilihan Umum Raya (Pemira) merupakan secuil fenomena yang terjadi di kampus. Atas kejadian tersebut, sudahkah terbentuk dialog antara pihak-pihak yang terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang ada atau sekadar men-

yandingkan keduanya? Kenyataannya, khususnya di UIN Jakarta tidak ada ruang di mana mahasiswa dan pihak kampus duduk bersama untuk berdialog menyelesaikan persoalan kampus, baik persoalan internal maupun eksternal. Sekalipun ada, pejabat kampus masih bersikap represif. Agaknya, Tri Dharma Perguruan Tinggi hanyalah sebuah kamuflase lembaga, tanpa diimplementasikan ke ranah sivitas akademik. Istilah “pengkerdilan intelektual mahasiswa� telah tersistem secara apik oleh kebijakan kampus. Daya kritis mahasiswa begitu saja luntur akibat terkekangnya pola pikir mereka. Pada akhirnya mahasiswa yang pragmatis tumbuh dengan subur. Hal tersebut kiranya bisa dijadikan renungan, di mana peran lembaga yang notabene merupakan tempat berintelektual. Mahasiswa seakan dibungkam, mereka tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan kampus. Sekalipun ada, mereka hanya menjadi pendengar. Dalam hal ini, mahasiswa seolah dikekang dalam berdemokrasi di kampus. Bahkan parahnya lagi, sikap kritis mahasiswa dianggap sebagai representasi sikap antipati mahasiswa terhadap universitas. Lalu, apakah pantas kita sebagai mahasiswa membiarkan fenomena ini begitu saja? Fenomena yang akan

semakin menutup aspirasi mahasiswa. Sebagai pejabat kampus yang baik, seharusnya tidak serta merta menganggap sikap kritis mahasiswa sebagai sikap antipati, melainkan harus menganggap dan menilai suara-suara mahasiswa secara arif dan bijaksana. Bukan menanggapi dengan arogan. Kehidupan yang demokratis tentang nilai-nilai, yang akan berdampak pada sekitarnya amat disayangkan bila berfungsi hanya sebagai pembentukan image, bukan bentuk perilaku. Apalagi UIN Jakarta dengan segudang pendekar kemanusiaan, tentunya akan melahirkan orang-orang yang penuh kebijaksanaan. Memang pada akhirnya, pejabat kampus mempunyai hak dalam mengambil kebijakan. Tapi, bukan serta merta suara mahasiswa diabaikan. Bukankah mahasiswa itu layaknya rakyat yang berada di dalam miniatur politik yang mempunyai sendi-sendi demokrasi pada suatu negara yang dapat menyuarakan aspirasinya dengan bebas? Ataukah mahasiswa hanya benar-benar dibungkam dalam kebijakan kampus? * Penulis adalah Redaktur Online LPM INSTITUT/ Mahasiswa FITK Jurusan Pendidikan IPS

Bang Peka...

Redaksi LPM INSTITUT

Menerima: Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, dan cerpen. Opini, cerpen, tekno, dan esai: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Bagi pengirim tulisan akan mendapat bingkisan menarik dari Institut. Tulisan dikirim melalui email: lpm.institut@yahoo.com Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085242878868. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

Quote

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda -Tan Malaka


Menyoal ‘‘Demam” Kampus Kelas Dunia

OPINI

9

Oleh Fahrus Zaman Fadhly*

T

ulisan Profesor Conrad W. Watson bertajuk, Universitas Kelas Dunia (UKD) di Pikiran Rakyat (14/3) menarik sekali untuk dicermati dan ditanggapi. Beberapa pandangan Prof. Watson tampaknya amat kritis dalam mencermati “demam” perguruan tinggi (PT) di Indonesia untuk menyandang predikat UKD atau World Class University. Prof. Watson tampaknya jeli melihat persoalan fundamental dari bangsa ini sejak merdeka hingga sekarang, yakni: tidak mampu menempatkan prioritas terpenting dan mendesak dari kebutuhannya sendiri. Karena itu, saat ditanya mana yang harus diutamakan lebih dulu antara mencerdaskan bangsa atau mencari “nama” di dunia pendidikan internasional, maka penulis berkeyakinan untuk memilih mencerdaskan bangsa terlebih dulu daripada sekedar mengejar peringkat dalam tabel liga dunia (global league tables). Pandangan Prof. Watson tampaknya juga berangkat dari kecermatannya dalam menilik salahnya rencana strategis (renstra) PT dalam menempatkan prioritas, sekaligus menguak eksistensi lembaga-lembaga penentu peringkat PT itu yang kerap tidak bekerja berdasarkan klasifikasi ilmiah. Sehingga pesan yang ingin ia

sampaikan adalah: PT di Indonesia harus bekerja sesuai kebutuhan atas bangsa ini sendiri, yakni mencerdaskan bangsa sebagai amanat konstitusi. PT di Indonesia tidak perlu terganggu dan terpesona atas berbagai publikasi tentang ranking universitas di dunia. Karena, seperti saran beliau, betapa pun kerasnya upaya yang dilakukan PT di Indonesia untuk berlomba dengan PT-PT di dunia, dipastikan tidak akan menang dan akan terus kalah. Wacana yang dikemukakan Prof Watson ini mengingatkan kita pada perdebatan tentang strategi pembangunan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru: Apakah memilih strategi pertumbuhan atau pemerataan? Namun Rezim Orde Baru memilih strategi pertumbuhan yang berujung pada krisis ekonomi di Juli 1998. Capaian pertumbuhan yang tinggi ternyata tak kunjung menetes ke bawah (trickle down effect), jurang kaya-miskin makin menganga lebar, fundamental ekonomi nasional pun rapuh. Soeharto yang saat itu diback up para ekonom lulusan Universitas California di Berkeley, atau “Mafia Berkeley”—–meminjam istilah Ramson, aktifis kiri ‘baru’ AS—– mengabaikan pembangunan fundamental ekonomi dan pemerataan, terpaksa harus menelan tragedi ekonomi dan politik sekaligus. Pendapat Prof. Watson tentu beralasan karena sejumlah kriteria sebuah PT terkategori sebagai UKD —seperti disyaratkan oleh Times Higher Education (THE) Magazine dan QS, tidak mungkin bisa terpenuhi oleh PT-PT di Indonesia. Kriteria-kriteria itu adalah: 40% tenaga pendidik bergelar Ph.D, publikasi internasional 2 artikel/staf/tahun, jumlah mahasiswa pasca 40% dari total populasi mahasiswa (student body), anggaran riset minimal US$ 1300/ staf/tahun, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan Information

Communication Technology (ICT) 10 KB/mahasiswa. Kriteria-kriteria tersebut sulit terwujud di tengah keterbatasan anggaran pendidikan, tuntutan pemerataan dan keadilan pendidikan, serta upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mengejar Gengsi dan Popularitas Semu? Kendati tidak secara detail menjelaskan apa yang harus dilakukan bangsa ini terkait mencerdaskan bangsa, Prof. Watson tampaknya ingin mengingatkan kalangan akademisi dan petinggi PT yang sedang “demam UKD’ agar menyadari bahwa mengejar peringkat UKD sama artinya dengan mengejar pertumbuhan, gengsi dan popularitas suatu PT. Mestikah kita harus memboroskan anggaran negara triliunan rupiah tiap tahunnya hanya untuk mengejar predikat semu tersebut? Sementara pada saat yang sama, banyak mahasiswa yang berprestasi dari kalangan tidak mampu tidak terakses pendidikan tinggi. Mereka adalah “mutiara” bangsa, yang bila diasah oleh dosen yang memiliki kemampuan pedagogik yang mumpuni, mereka akan lahir sebagai pemimpin bangsa yang berkualitas. Predikat UKD yang berbasis pada pertumbuhan, gengsi dan popularitas tapi di dalamnya rapuh hanya akan melahirkan lulusan dan akademisi yang tidak berkarakter. Lalu, pertanyaannya adalah: Apakah antara mencerdaskan bangsa dan mengejar peringkat UKD keduanya bisa berjalan seiring? Mungkin ya, tapi lebih pastinya tidak mungkin! Pasalnya, pada praktiknya keduanya bertabrakan satu sama lain. Salah satu contoh faktual, ada satu PTN yang karena demam untuk menjadi UKD, para petinggi PTN tersebut melakukan berbagai “ikhtiar” seperti banyak keliling ke berbagai

negara dengan dalih studi banding, memermak berbagai fasilitas kampus, membenahi kurikulum, ICT, sistem manajemen serta memberi beasiswa kepada mahasiswa asing untuk kuliah di PTN yang bersangkutan, demi mengejar predikat UKD. Pendeknya, banyak anggaran negara dan SPP mahasiswa (yang kian mahal) digelontorkan demi membeli citra! Namun, apa yang terjadi: tidak sedikit calon mahasiswa dari keluarga miskin tidak bisa melanjutkan studinya di kampus tersebut gara-gara tidak bisa membayar biaya masuk (uang pangkal dan SPP) pada saat registrasi ulang. Orang tua dan sang calon mahasiswa akhirnya terpaksa harus menelan kekecewaan, tertunduk lesu dan tidak berdaya menghadapi fenomena kapitalisasi pendidikan seperti ini. Kebijakan pimpinan PT seperti demikian jelas mengabaikan hakikat keadilan dan pemerataan pendidikan bagi semua anak bangsa. Fenomena abai (intellectual ignorance) pada prioritas pencerdasan bangsa ini pimpinan PT ini juga tidak sejalan dengan program yang sedang digalakkan oleh Mendikbud, Muhammad Nuh, pada 2012 dengan slogan Menjangkau Mereka yang Tidak Terjangkau. Program yang merupakan kelanjutan dari program Keramahan Sosial yang dicanangkan pada 2011 ini sekaligus sebagai ikhtiar Kemendikbud dalam menjawab fenomena menurunnya peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan (education development index) untuk semua (education for all) tahun 2011. Data yang dirilis organisasi PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO), peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan seperti tertuang dalam EFA Global Monitoring Report 2011, turun pada posisi ke-69 dari 127 negara

Kembali ke Substansi Pendidikan Pimpinan PT perlu berintrospeksi, apakah ikhtiar dalam rangka mengejar citra sebagai UKD ini sudah berada di jalan yang lurus? Tentu, pasti ada dalih bahwa berbagai upaya tersebut tidak selalu berlawanan dari arah upaya pencerdasan bangsa. Namun yang pasti, faktanya, biaya dan tenaga yang dikeluarkan justru tidak berdampak langsung bagi upaya pencerdasan bangsa. Karena itu, setiap energi yang kita miliki sebaiknya diarahkan kepada pencapaian substansi pendidikan itu sendiri yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan rakyat, membangun manusia Indonesia seutuhnya, membangun karakter bangsa (nation character building) dan mengembalikan jati diri bangsa. Dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan mulia pendidikan itu, kita perlu pimpinan PT yang visioner, nasionalistik, berorientasi pada Menjangkau Mereka yang Tidak Terjangkau dan memiliki visi kerakyatan yang kuat (pro poor). Wallahu a’lam. Tulisan ini pernah dimuat di Kolom Opini di HU Pikiran Rakyat, Jumat, 16 Maret 2012 * Dosen FKIP Universitas Kuningan (UNIKU)

Eksistensi untuk Maksimalkan Potensi Oleh Tanwirun Nadzir*

M

ahasiswa dan kampus adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Adanya kampus tentu karena adanya mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Keterkaitan adanya kedua hal tersebut menjadi sebuah keterikatan keduanya. Demikian pula dengan maju mundurnya kedua hal tersebut tergantung peranan keduanya harus saling melengkapi. Pertama dari kampus itu sendiri. Kampus secara keseluruhan merupakan sarana yang kita gunakan untuk belajar, ajang mencari

jati diri, serta mengasah kemampuan individual kita. Dengan banyaknya kegiatan yang ada di kampus merupakan salah satu bukti dari kampus tidak sekedar sarana belajar saja seperti di sekolah-sekolah. Sebagai sarana belajar bukan berarti kemudian hanya dari kampus saja, akan tetapi hal yang berhubungan dengan kampus pun bagian dari pelajaran yang bisa kita ambil. Salah satu contoh organisasi intra maupun ekstra kampus. Kedua, mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa merupakan agent of change. Sebagai agen perubahan seorang mahasiswa dituntut untuk aktif. Aktif dalam hal menggembleng kemampuan. Setelah semua dapat dipelajari, maka kita akan siap untuk terjun untuk mengatasi kebutuhan sosial. Sehingga target “agen perubahan” dapat mengenai sasaran. Oleh karena itu, antara mahasiswa dan kampus semestinya mempunyai keterkaitan yang saling mendukung, serta mampu saling berintegrasi. Berbeda cerita jika kampus hanya memberikan mata kuliah tanpa memberikan ruang gerak kepada para mahasiswa

untuk aktif. Keadaan tersebut memaksa mahasiswa untuk “diam” di bangku kuliahnya. Dalam aplikasinya sampai saat ini masih terjadi ketidakseimbangan di antara keduanya, seperti kurangnya integritas antara sistem kampus dengan mahasiswa itu sendiri, seperti dengan adanya keapatisan mahasiswa. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kurang terdistribusinya sebuah informasi dari pihak kampus sampai ke mahasiswa. Dan hal ini didukung menurunnya daya kritis mahasiswa. Hal ini bisa dilihat dengan menurunnya minat pada diskusi maupun seminar. Jika kita terjun langsung, mahasiswa UIN Jakarta terutama pasti sudah sangat familiar dengan adanya diskusi. Namun, pada kenyataanya peminatnya amatlah sedikit. Perlunya Multiple Self Dalam setiap fakultas maupun jurusan tentu mahasiswanya berbeda-beda. Begitu pula tingkah laku, banyak hal yang telah mempengaruhi ataupun yang sudah menjadi dirinya sendiri. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan

juga adalah justru dengan kemajemukan inilah yang terkadang menjadi penghalang integritas dalam kampus tersebut. Seperti contoh bahwa saya adalah mahasiswa Aqidah filsafat, namun kurang merasa ada ikatan emosional dengan mahasiswa fakultas lain. Artinya satu hal yang perlu kita butuhkan bersama adalah multiple self, artinya kita memerlukan diri yang jamak, bukan diri yang tunggal. Dengan kata lain bahwa kita adalah mahasiswa jurusan tertentu, kita secara emosional orang desa tertentu, namun satu sisi kita juga mahasiswa UIN Jakarta secara keseluruhan, yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai mahasiswa UIN Jakarta. Bukan pula dengan multiple self ini kita tidak teguh pada pendirian. Namun justru dengan multiple self akan mewujudkan kedewasaan dalam hidup bersama. Artinya, kita memanajemeni diri kita sesuai tempatnya. Butuh Eksistensi Mahasiswa Pelbagai hal yang menjadi faktor integritas mahasiswa menjadi penurunan eksistensi mahasiswa

UIN Jakarta secara umum. Seperti yang kita ketahui, BEM/ HMJ telah disediakan dari pihak kampus, namun jika tidak adanya multiple self maka bukan tidak mungkin berdampak pada penurunan eksistensi mahasiswa. Setelah berhenti selama beberapa waktu, kini BEM/ HMJ telah diadakan kembali. Khususnya di tingkat jurusan maupun tingkat fakultas. Oleh karena itu, satu sarana sudah terbuka. Dan sudah saatnya semua mahasiswa bergerak untuk saling mengisi dan memaksimalkan potensi yang kita miliki. Semua mahasiswa yang berada di UIN Jakarta amatlah berpotensi, dalam segala bidang. Tidak pandang apakah jurusan mereka. Untuk itulah dengan adanya BEM/ HMJ selaiknya dapat dijadikan sarana untuk mengoptimalkan potensi, serta menunjukan eksistensi mahasiswa, baik pada ajang keilmuan, kekritisan, maupun kekreatifan. * Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Penggerak kajian diskusi di Piramida Circle, Ciputat.


10

T

erik matahari mengiringi nyanyian anak-anak di bawah kolong jembatan flyover Lebak Bulus, Kamis (7/3). Ketika lampu merah menyala dan kendaraan perlahan berhenti, kaki-kaki kecil mereka melangkah menuju mobil, angkot, dan kendaraan lain, berharap mendapat sekeping uang receh penyambung hidup mereka. Modal mereka tak lebih dari nyanyian diiringi gemerisik suara beras dalam botol kecil. Walau demikian, keceriaan mereka tak pernah berkurang. Disamping keharusan bernyanyi nyaring di bawah kolong, tetap ada tawa, canda, dan permainan yang mengisi harihari mereka laiknya dunia anak-anak sebagaimana mestinya.

Cerita di Bawah Kolong Jembatan

Foto Pilihan

Gita Juniarti

Mahasiswa Ilmu Dakwah dan Komunikasi


S O S O K

11

The Youngest Motivator Terdengar Hingga Negeri Jiran

Nur Azizah

“Saya berharap hadirnya Golden IDE bisa bermanfaat bagi orang lain dan bisa mengurangi penganguran di bangsa ini,” ujar Edvan. Selasa (5/6) siang di masjid ElNusa, kawasan Tb Simatupang, terdengar suara jernih begitu menyejukan hati. Perasaan semakin ngelayut seiring doa dan musik kitaro menyatu menjadi alunan serasi. Rambatan lirih yang menenangkan jiwa itu berasal dari pemuda asal Tasikmalaya, Edvan Muhammad Kautsar. Suasana haru terlihat saat motivator mengakhiri seminar yang bertajuk Parenting dengan memanjatkan pujian untuk Sang Pencipta. Edvan, begitu panggilan akrabnya, adalah salah satu motivator muda yang mampu mengaduk-aduk perasaan audiens. Edvan memulai karir sejak berumur 14 tahun. Tepat ketika ia masih mengenakan seragam putih biru. Berdiri dihadapan puluhan bahkan ratusan orang dengan berbagai macam karakter tidaklah mudah. Dengan terus berlatih dan belajar berbicara, akhirnya ia bisa menjadi motivator berkualitas. Akhirnya, kegigihan serta totalitas Edvan mulai membuahkan hasil. Ia didaulat sebagai

Nurlaela

The Youngest Motivator of ASIA 2012 pada acara Entrepreneur Festival. Lelaki berumur 19 tahun ini mampu membuktikan kepada orang-orang di sekitarnnya, ia mampu menjadi pembicara yang baik. Tak hanya didengar oleh masyarakat Indonesia, perlahan suara bulatnya mulai meroket ke telinga masyarakat di Negeri Jiran dan Singapura. “Insya Allah, lusa saya akan menjadi pembicara utama di Dubai dan Madinah,” ucapnya sembari tersenyum. Selain menjadi motivator, Edvan juga mencoba bergelut di dunia bisnis. Namun, peruntungan lelaki berkulit putih ini tak semanis gula jawa. Saat berusia 16 tahun, Edvan mencoba menggandeng Kang Teddy Snadda dan Yustinus untuk berbisnis batu bara. Namun, tak lama usaha yang dirintisnya mengalami kemunduran dan terpaksa gulung tikar. Memasuki usia 17 tahun, Edvan kembali bangkit. Kali ini ia memulai bisnis pada bidang enter-

tainer. Kesukaannya terhadap dunia keartisan akhirnya membuat Duta HIV/AIDS UNICEF Jawa Barat 2007 ini mendirikan sebuah Production House. Namun sayang usahanya kembali gagal. Dalam berbisnis, Edvan dikenal nekad. Edvan bersama temantemannya membangun kembali sebuah holding perusahaan dengan modal nol rupiah. Ia yakin, dengan modal yang diberikan Tuhan, yakni anggota badan yang sempurna ia mampu mendirikan perusahaan Golden IDE (Indonesia Education and Entrepeuneur). Pasang surut bisnis dan kehidupannya membuat Business Coachini semakin tertantang. “Dari kegagalan itu saya belajar. Dan manusia harus memiliki sifat tahan banting. Kalau gagal coba lagi, gagal lagi coba lagi, dan harus terus be-gitu,” seru Direktur Golden IDE kala ditemui usai mengisi sebuah seminar. Ingin mengurangi pengangguran

Sebuah negara dikatakan sebagai negara maju apabila minimal 2% dari keseluruhan warga negaranya adalah entrepreneur, hasil survei tahun 2011 menyatakan bahwa Indonesia hanya berada pada titik 1.5%, itu pun kebanyakan dari mereka adalah pengusaha berbasis mikro dan tidak terarah. Indonesia membutuhkan sekitar 4.4 juta pengusaha untuk mencapai 2%. Untuk itu, Edvan berusaha menciptakan perusahaan untuk menyerap pengangguran di negara ini. Motivator sekaligus penulis novel Kekuatan Doa tersebut memiliki tujuan hidup untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Oleh karena itu, pemuda berwajah kharismatik ini mendirikan sebuah perusahaan yang diberi nama Golden IDE. Hingga kini, perusahaan yang didirikan bersama beberapa temannya, telah memiliki tiga anak perusahaan di berbagai bidang yakni, Echating (Entrepreneur character training), Kautsar Dimsum, dan Synergy Eng-

Dok. Pribadi lish Conversation. “Saya berharap hadirnya Golden IDE bisa bermanfaat bagi orang lain dan bisa mengu-rangi penganguran di bangsa ini,” harapnya optimis. Edvan memiliki visi untuk membuat Indonesia menjadi bangsa yang maju dengan memperbanyak jumlah entrepreneur dan perusahaan besar di Indonesia.

Nama : Edvan Muhammad Kautsar TTL : Tasikmalaya, 02 Juni 1993 Kegiatan: • Motivator untuk kelas Publik dan In House Class (Korporasi, Kampus dan Sekolah) • Entrepreuneur (Owner Echating, Kautsar Dimsum, Synergy English Conversation) • Dosen pendidikan karakter • Narasumber Radio-Televisi • Penulis buku Kekuatan Doa • Business Coach Bens Radio • Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Sepeda Sehat UIN = Go Green Kampus

Isu pemanasan global membuat warga dunia mencari cara alternatif agar polusi udara yang dihasilkan oleh asap kendaraan motor bisa berkurang. Selain menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, perlahan masyarakat di dunia—terutama anak muda—mulai gemar berpergian ke tempat beraktivitas dengan menggunakan alat transportasi yang ramah lingkungan seperti sepeda. Melihat hasrat untuk mengurangi pemanasan global tersebut, seorang mahasiswa UIN Jakarta tergerak membuat komunitas sepeda untuk menjadikan go green kampus. “Secara tidak langsung dengan gowes telah menjadi orang yang mengurangi polusi di kampus dan menjadikan kampus lebih hijau,” ujar Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Supriyadi, pendiri Komunitas Sepeda Sehat UIN, Rabu (6/3). Berangkat dari kekecewaan yang dirasakan Supriyadi—yang biasa disapa Cuplis—ia bercerita, waktu itu ia ingin sekali gowes di Universitas Indonesia (UI) yang sudah menyediakan fasilitas sepeda, tapi karena statusnya bukan

mahasiswa kampus tersebut, ia tak diperkenankan untuk menggowes. “Padahal gue ngebujuk security di sana malah niat sewa sepedanya, tetap saja nggak boleh ngegowes. Dari situ kepikiran tuh pengen buka penyewaan sepeda di kampus,” kenang Cuplis. Mulanya, ia bertemu dengan pengguna sepeda lainnya, Hilmi dan Deswantoro. Saat itu ia berencana mendirikan komunitas bernama Kuda UIN Jakarta yang diketuai Azhari, Oktober 2012, yang kemudian diubah menjadi Sepeda Sehat UIN. Nama Sepeda Sehat UIN dipilih karena manfaat bersepada menyehatkan tubuh, dan pendiri sekaligus targetnya mahasiswa UIN. Bagi Cuplis, tujuan lainnya

itu bisa mewadahi pesepeda antar fakultas. “Inilah yang ngebedain kita dengan komunitas lainnya,” kata Cuplis. Jumlah pengguna sepeda yang tergabung di komunitas ini memang belum begitu besar, sekitar 15 orang yang aktif dari 30-40 orang. Meski begitu, kegiatan komunitas ini tetap berjalan dan rutin melakukan gowes pagi setiap Jumat. “Biasanya seusai gowes ada pemberian materi, dan sharing tentang sepeda yang diberikan seorang bikepacker, Kang Ana Mulyana, ” jelasnya. Sementara ini, kegiatan Sepeda Sehat UIN berpusat di wilayah Tangerang. Rutenya dimulai dari Situ Gintung, Bintaro, dan BSD. Tak hanya gowes rutin, Sepeda Sehat UIN pun mengadakan acara menyambut Hari Kartini. Acara yang bertemakan menggowes Jakarta dengan semangat Kartini yang diadakan pada 19-20 April nanti. Acara tersebut bekerja sama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Pecinta Alam

(KPA) Arkadia. Tak hanya dari kalangan mahasiswa, dosen pun turut bersemangat menggowes ke kampus. Cuplis menceritakan, banyak dari kalangan dosen yang mendukung programnya untuk merealisasikan fasilitas gowes di kampus. Atas dukungan dari berbagai kalangan tersebut, akhirnya ia dan Sepeda Sehat UIN berhasil mendapatkan dukungan dari rektorat. “Kini sudah tersedia parkiran sepeda, meskipun bukan kami yang berhasil ngajuin tapi, alhamdulillah atas gagasan kita Wakil Rektor (Warek) IV bekerjasama dengan Bank BTN, dan kami pun mendapatkan kabar dari salah seorang satpam bahwa UIN akan menyediakan fasilitas sepeda,” tutur Cuplis, sumringah. Selama menjalankan kegiatan rutin menggowes bukan tanpa kendala. Menumbuhkan kesadaran seseorang untuk bersepeda sangatlah sulit, masih banyak orang yang memandang sepeda itu sebelah mata. Banyaknya jenis sepeda menjadi kendala lainnya yang dihadapi ko-

munitas ini, bagaimana pun tugas komunitas ini saling support antara pegiat sepeda fixie, sepeda lipat, dan sepeda gunung. Karena track yang mereka lalui punya feel yang berbeda. Jadi, tak semua pegiat sepeda berkumpul menggowes. “Mungkin butuh paksaan juga,” tukasnya. Tak harus memiliki sepeda untuk bergabung dalam Komunitas Sepeda Sehat UIN, karena Komunitas ini menerima jasa penyewaan sepeda. Bagi yang ingin bergabung tak ada syarat tertentu, cukup dengan ikut menggowes berarti sudah tergabung berpartisipasi. “Untuk jadwalnya, paling kita memberi info melalui Twitter (@SepedaSehatUIN),” katanya.

“Secara tidak langsung dengan gowes telah menjadi orang yang mengurangi polusi dikampus dan menjadikan kampus lebih hijau,”


12 SASTRA Puisi...

Cerpen...

Diari Denting Hati

Dialah Angin

Oleh Trisna Wulandari*

Oleh Ema Fitriyani* Di antara hujan dan anak-anak tangga yang licin Ada seonggok angin berjalan Kukatakan seonggok karena dia adalah angin yang mempunyai kewajiban menjaga rahim wanita yang pernah disakitinya ketika akan melihat dunia. Kukatakan seonggok karena dia adalah angin yang tidak hanya menjaga rahim wanita itu tapi juga menyelamatkan peradaban hati wanita yang jiwanya disakiti yang raganya dienyahkan raja yang tega meninggalkan permaisuri beranak tiga. Kasihan! Katanya, “Raja telah pergi ntah ke mana,” Katanya lagi, “Mungkin ke laut, mencari selir.” Pada anak-anak tangga yang licin Dia ditemui onggokan lain bernama takdir Disapanya ia dengan tiba-tiba Tubuh keringnya merinding. Dibisikinya ia Bulu kuduknya berdiri. Pada kupingnya

Alvin masih terlelap. Aku kembali membaca Yasin dalam diam. Tetap saja tak fokus. Benakku sedari tadi hanya memutar ulang vonis dokter semalam. Leukemia. Mataku kembali memanas. Aku tidak rela Ya Rabb..bolehkah aku tidak rela? Mengapa jalan yang kau berikan terasa berliku sejak aku menjalani hidup? Aku kembali memutar-mutar waktu dalam rekam otak. Aku dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat, yang menjadi panutan warga sekitar dalam beribadah dan berbuat. Tapi Ayah adalah pribadi yang keras, tak menghendaki kata tidak dalam jawabku atas pinta dan perintahnya. Aku menjadi penurut, seperti Ibu. Namun Ibu yang lembut dan patuh itu seringkali menemukan buku harianku yang berisi kemarahan dan kekecewaan atas sikap ayah dengan tinta luntur dimana-mana, terkena tetes tangisku. Aku menentangnya sebatas tulisan. Saat itu. Tapi Ayah semakin jauh saat ia dan Ibu mengatakan sesuatu di hari kedua aku berumur dua puluh dua tahun. Aku bukan anak kandung mereka. Seakan petir menggelegar di hatiku. Tapi itu belum apa-apa. Kuterima pengakuan mereka dengan bersyukur atas kasih sayang yang dicurahkannya hingga detik itu. Bagian yang menyakitkan adalah ketika mereka melarangku menemui ayah kandungku, yang kemudian kusebut Bapak, setelah memberitahukan siapa dan dimana lelaki itu. Jiwo namanya, tukang sampah komplek. Ia tinggal di sebuah rumah papan, di belakang komplek kami. Ayah bilang, ia tidak ingin aku nanti disakitinya, karena banyak yang tidak kutahu tentang dirinya. Sontak aku membantah dalam hati, bagaimana mungkin lelaki tua yang selalu ramah menyapa setiap aku menaruh sampah di depan rumah itu mampu menyakitiku?

Maka setiap hari selanjutnya, teduh wajahnya yang lewat di depan rumah memupuk rindu di hatiku. Ingin rasanya kucium tangannya yang letih menarik gerobak bau itu, atau sekedar menyuguhinya teh saat pulang ke rumah. Tapi harapku tak pernah sampai. Aku tak pernah bisa hingga ia ditemukan dengan mulut berbusa dan bir oplosan tumpah membasahi lantai papannya. Keracunan. Malamnya aku demam. Dalam igauanku, kulihat Bapak tersenyum mengelus kepalaku yang tunduk mencium tangannya. Lusanya, badanku masih tak segar. Namun kupaksakan juga datang ke kampus, mengurus wisudaku yang tinggal menghitung hari. Biarlah otakku dipenuhi tetek-bengek acara itu, agar bayang Bapak tak begitu menggerogoti. Tapi tetap saja aku tak bisa berlamalama menyimpan sedihku dalam hati. Josh, sahabatku, mampu melihatnya dalam hitungan detik. Kutumpahkan semua sesakku akan Bapak dan Ayah. “Kenapa harus kehilangan ketika aku baru mengetahuinya?” ujarku dengan mata basah. “Tenanglah Din, kau masih punya aku kan? Aku kan juga keluargamu,” jawabnya. “Tapi darahnya mengaliri darahku, Josh.” “Kalau begitu, buatlah keluarga denganku. Kita satukan darah ini pada anak kita nanti.” Mataku melotot pada mata coklatnya yang indah. Tak kutemukan nada gurau atau dusta. “Menikahlah denganku, Dini,” ujarnya perlahan. Kutatap parasnya yang diam-diam mengisi sudut hati. Wajahku memerah.

annya tak kupedulikan lagi. Toh Ayah memang tak bisa menjadi wali nikahku. Nafasnya sedikit tersengal di detikdetik aku meninggalkan rumah. “Bila kau menikah dengan lelaki tak beragama itu, maka putuslah hubungan kita, Nak.” Kutahan air mataku sambil menarik koper, menyumbat telinga dari tangis Ibu. +++ Dan di sinilah aku sekarang. Menunggui Alvin, darah dagingku dan Josh di kamarnya. Baru saja akan kutangkupkan tangan saat anak semata wayangku itu membuka mata. “Mom?” “Ya, sayang?” “Mom sedang apa?” “Mom baru mau berdoa sayang, biar Vin cepat sehat,” ujarku sambil tersenyum. “Amin.. Dad mana, Mom?” “Dad belum pulang, sayang.” “Apa Dad akan berdoa untuk kesehatanku?” “Tentu, sayang.” “Tapi, kepada siapa Dad akan berdoa, Mom?” Saat itulah pertama kalinya aku berharap memiliki suami seperti Ayah, agar mampu kusebut nama-Mu, menjawab pertanyaan Alvin dengan mantap. Padang, Agustus, 2011 * Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, semester 6

+++ Ayah tentu saja murka saat kuungkapkan keinginan aku dan Josh. Bagaimana tidak, Josh itu Atheis. Tapi kemarah-

terdengar suara, “Ibu dan adik-adikmu menunggu di rumah.” Ia menjawab, “Aku takkan ke mana-mana

Kolom Bahasa

takkan pula bertahan

Oleh Rahmat Kamaruddin*

Aku angin takkan lari diburu harimau Akulah angin takkan lari diterkam serigala karena kutahu harimau dan serigala telah bersemayam dalam tubuh raja yang tega meninggalkan permaisuri dan ketiga anaknya. Mulutnya mendekati kuping takdir lebih dekat dan bicara, “Aku pasti akan melindungi ibu dan adik-adikku.” Ciputat , 11 Januari 2012

*Penulis adalah mahasiswa FITK, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dinosaurus

Seorang arif bijak berujar “We can never step into the same river twice”. Ini bisa terjadi, karena setiap saat air sungai itu mengalir. Serupa dengan sungai, sejarah juga demikian. Tak ada sejarah berulang dengan persis sama. Jangankan dalam rentan waktu lama, sehari saja sejarah dapat muncul dengan kecenderungan berbeda. Segalanya berubah kecuali perubahan itu sendiri. Puing-puing peninggalan sejarah menfosil di tengah deru perubahan yang terus bergerak tanpa henti, bahkan semakin cepat. Di tengah perubahan tersebut, rumus bertahan hidup hanya dua: berubah atau punah. Kita pasti sering membaca sejarah peradaban suatu bangsa, instansi, perusahaan, dan organisasi begitu kuat, teruji mampu bertahan lintas generasi, karena mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Pula beberapa dari mereka yang terbenam memfosil karena gagal menyambut perubahan. Jika tak berubah menjadi UIN, IAIN Jakarta sendiri tak menutup kemungkinan akan tertinggal jauh dari perguruan tinggi lain ‘merayu’ calon maha-

siswa baru di setiap tahun. Mengingat arus modernisasi dan globalisasi yang kian tak terbendung, berimplikasi kepada orientasi calon mahasiswa dalam memilih jurusan saat berkuliah. Perkembangan harus dihadapi dengan sigap, agar tak punah di tengah kompetisi persaingan dengan universitas lain yang jauh lebih mapan dalam menghasilkan lulusan kompeten di bidangnya. Hampir seluruh tokoh Indonesia berasal dari universitas tanpa embel-embel Islam, mulai dari bidang hukum, komunikasi, sains, teknologi, psikologi, politik hingga kedokteran. Jangan sampai definisi perubahan menjadi universitas ini berhenti hanya tataran instansi, yang dulu institut, kini berganti menjadi universitas. Selebihnya, baik kurikulum, sistem, tenaga pengajar, karyawan, fasilitas, birokrasi hingga pemahaman keislaman, kesemuanya tetap bercorak ‘fosil’. Tak relevan. Mahasiswa, sebagai bagian terbesar dari sivitas akademik, merupakan bagian penting juga di sini. Dalam hal lembaga kemahasiswaan dan keorganisasian, misalnya. Sebagai kam-

pus ‘kedua’ untuk menempa diri dan bersosialisasi, mahasiswa seyogyanya menyeksamai nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya, seperti kerjasama, kepemimpinan, intelektual, dan lain sebagainya. Pemira universitas kita akan segera berlangsung. Sebuah tradisi perhelatan akbar yang sejak 2010 dibekukan karena aksi tawuran, diadakan kembali dengan mekanisme pemilihan sedikit berbeda. Kadar kualitas kedewasaan organisasi mahasiswa yang terlibat pemira, baik secara langsung maupun tidak, akan diuji. Perjalanan panjang sejarah universitas jika berjalan dengan pola-pola ‘fosil’, tanpa perubahan, akan berpotensi mengalami kepunahan. Jika pemira yang akan berlangsung nanti dijangkiti penyakit lama, seperti anarkisme, egoisme, dikarenakan mahasiswa tak mau belajar dari sejarah pemira lalu, maka kita tunggu saja saat-saat kepunahan itu. *Penulis adalah mahasiswa Ushuluddin.


Tapol: Rindu Tanah Air Gita Nawangsari E. Putri

Judul : Pulang Penulis : Leila S. Chudori r Gramedia Penerbit : Kepustakaan Popule : 464 Halaman Isi Terbit : Desember 2012 ISBN : 978-979-91-0515-8

yang berafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat mereka tak bisa menginjakkan kaki lagi di tanah air. Apalagi dengan terjadinya tragedi berdarah di tahun 1965. Sebuah peristiwa yang menjadikan ayahnya bagian dari sejarah yang tak tertulis. Hingga akhirnya, ia ‘terpaksa’ membuka kembali lembar hitam kelam masa lalu ayahnya. Melalui penelitiannya sebagai tugas akhir kuliah, ia pun membeberkan sebuah fakta tentang Indonesia. Fakta tentang peristiwa yang dihapus di dalam buku sejarah Indonesia. Ia pun mendapat jawaban atas pertanyaan mengapa ayah dan sahabat-sahabatnya tidak bisa kembali ke Indonesia dan mengapa ayahnya tak memiliki identitas kewarganegaraan setelah beranjak dari Indonesia. Bukti penelitiannya dipaparkan dengan sejumlah surat-surat yang dikirim oleh kerabat ayahnya. “Di tahanan ini, ibu ditanya terus-menerus. Setiap hari. Sampai capek. Sampai kedua mata ibu bengkak dan wajahnya kehitaman. Sementara ibu ditanya dari pagi sampai malam, saya mendapat tugas membersihkan beberapa ruangan setiap pagi. Mengepel bekas darah kering yang melekat di lantai. Saya yakin banyak sekali yang disiksa di sini. Saya mendengar jeritan orang-orang.

Laki-laki, perempuan. Banyak sekali. Bergantian,” (Surat dari Kenanga, anak Hananto: 22) Salah satu surat yang mengisahkan betapa berat kehidupan yang dijalani para tahanan politik di Indonesia, akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka yang dianggap terlibat partai komunis atau keluarga komunis kemudian diburu-buru, ditahan dan menghilang begitu saja. Belum lagi dampak dari label yang disandang oleh para eksil tahanan politik. Seperti tidak bolehnya bekerja di perusahaan milik negara dan dikucilkan oleh masyarakat. Pemerintah Orde Baru begitu perkasanya sebab mampu menumbuh-suburkan kebencian masyarakat terhadap komunisme dengan menciptakan imaji tentang kejahatannya. Novel karya wartawan senior ini disajikan dengan renyah melalui tata bahasa yang lugas. Begitupun dengan deskripsi yang begitu detail tentang latar belakang tempat, maupun gambaran suasana yang terjadi. Kisah dengan alur maju dan mundur ini menggabungkan drama persahabatan, percintaan, dan berbagai masalah yang dihadapi dari sudut pandang para tokoh.

Jawaban atas Feminisme “Hijab adalah pembebasan dari ketergantungan kosmetik dan topeng. Hijab adalah pembebasan untuk jujur pada hatimu. Hijab adalah pembebas jiwamu dari rantai-rantai duniawi. Karena hijab berbasis pada penghambaan, totalitas dari rasa cinta seorang muslimah kepada Tuhannya ” (h.72). Novel ini menjelaskan tentang seseorang gadis yang berketurunan darah Jerman-Indonesia yang bernama Charlotte Melati Neumuller. Gadis cantik yang dengan kehidupannya di tengah propaganda negatif tentang Islam. Ia menjadi aktifis dan penganut faham feminis. Sebuah organisasi yang berjuang untuk emansipasi dan kesetaraan gender dan ingin membebaskan perempuan dari moral-moral agama (Islam) yang mengekang. Professor Angelica, dialah orang di balik organisasi feminis. Semua pro pagandanya telah meracuni pikiran anggotanya bahwa posisi perempuan dalam ajaran Islam sangatlah rendah. Hal inilah yang membuat Charlotte begitu gigih untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan. “Agama ini mengekang, menyiksa kaum perempuan dengan amat kejam. Memaksa menutup kepala mereka dengan hijab yang berat dan panas. Sementara kaum laki-lakinya bebas menikmati kaum perempuan sebagai budak-budak birahi! Mengawini tanpa batas, melakukan kekerasan dengan pukulan yang dilegalkan oleh kitab suci mereka.”-Charlotte (Hal.16) Menjadi orang yang selalu diterpa oleh sajian berita dan informasi dari berbagai media massa, membuat Charlotte kurang menyadari terhadap informasi-informasi yang masuk ke dalam alam pikirnya tanpa adanya filter yang objektif. Islam merupakan agama yang paling ia benci, hal ini berlandaskan dengan paham feminisme, serta ditambah lagi oleh paham orang tuanya. Ayahnya merupakan keturunan Yahudi Polandia, sedangkan

ibunya seorang Evangelikal. Membuat Charlotte sedari kecil diberikan isu-isu negatif tentang Islam. Hingga pada akhirnya Lale Sabitoglu (sepupu Charlotte) hadir di Berlin. Membuat suatu dimensi yang baru bagi kehidupan Charlotte. Segala propaganda jahat dan isu-isu yang tidak baik tentang agama Islam ditepisnya. Lale telah menyadarkan sepupunya tersebut dengan penjabaran yang sangat indah, sehingga sepupunya tersebut luluh dan terhanyut dalam penjelasan Lale yang berlandaskan Alquran dan Hadis. Lale tak menyangka bahwa Charlotte semakin tertarik dengan agama Islam. Ia yakin bahwa Allah Swt yang telah memberikan hidayah serta membimbing Charlotte. Tapi sebagai gadis yang sangat kritis, Charlotte tidak langsung menerima apa yang telah dikemukakan oleh Lale. Charlotte belum bisa memutuskan sesuatu yang hanya berdasarkan perasaan hati, dia butuh mengkonfirmasinya lagi, dengan pikirannya, dan juga dengan kesadarannya. Butuh waktu dan keyakinan yang teguh untuk mengambil langkah lebih jauh. Hingga pada akhirnya, perasaan spiritual datang menghampirinya. Perasaan tersebut dirasakan ketika ia sedang ikut bersujud dibelakang Lale yang sedang menunaikan ibadah shalat. Ada hal aneh yang ia rasakan, batinnya merasakan ketenangan, ia merasakan cahaya yang berkilauan memasuki dirinya. Sehingga hatinya pun mantap, dan ia-pun mengatakan “Aku sudah memutuskan! Aku akan menerima Islam dalam hidupku.” Dan ia-pun mendapatkan nama Islam, Chadija Maryam. Sebuah ga-

bungan nama Ketetapan hati Charlotte yang memutuskan menjadi seorang Muslimah, tentu dapat banyak pertentangan dari orang-orang terdekatnya. Yaitu dari kaum feminis dan keluarganya. Kaum feminis termasuk Professor Angelica sangat membenci keputusan Charlotte yang masuk Islam. Begitu pula ayah dan ibunya yang merasa gagal mendidik anaknya. Ia dianggap sebagai aib bagi keluarganya, sehingga Charlotte pun segera diusir dari rumahnya sendiri. Dia tetap tegar dengan terus bertasbih dan berserah kepada Allah Swt, ia berharap kemantapan hatinya tidak akan luntur hanya karena cobaan yang datang silih berganti. “Tidak ada yang bisa membeli keimananku, walau matahari di tangan kananku dan bulan purnama di tangan kiriku, semuanya tak akan kutukar dengan cintaku kepada Allah.” – Charlotte (hal.243) Di tengah cobaaan yang terus menerpa, datanglah sosok Hamada. Seorang pria tampan yang juga membuat kehidupan Charlotte yang kelam menjadi bersinar kembali. Benihbenih cinta tumbuh diantara mereka. Akan tetapi Lale, apakah ada hubungannya dengan Hamada? Apa yang terjadi antara Charlotte, Lale, dan Hamada? Sejuta Inspirasi dalam Satu Buku Menelisik rangkaian cerita di dalam novel ini akan membawa kita ke era propaganda tentang kesetaraan gender yang terjadi di dunia ketiga. Dengan background di kota Berlin, London, dan Jakarta telah menam-

Judul Ratu Yang Bersujud Penulis Mochammad Mahdavi Penerbit Republika Penerbit, 2013 Hal iv + 396 hlm; 13.5 x 20.5 cm ISBN 978-602-8997-59-1 bah menariknya alur cerita yang terjalin di novel ini. Charlotte yang kritis dan Lale gadis muslimah yang sangat bersahaja, membuat kita mendapatkan sejuta inspirasi yang luar biasa di dalam novel ini. Jawaban dari segala pertanyaan tentang kesetaraan gender ala feminisme liberal, dapat dijelaskan dengan mudah yang semuanya terbantahkan dengan konsep Islam. Bahwa laki-laki dan perempuan memang mempunyai kedudukan yang setara di hadapan Allah. Sebuah novel highly recommended yang akan menginspirasi para muslimah untuk tampil dan berani berdialog tentang Islam dan perempuan di dalam kehidupan sehari-hari, lingkungan, bahkan dunia internasional. (Yusuf Tadarusman Mahasiswa KPI Fidkom UIN Jakarta) @cupuchup

RESENSI

A

ku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik bernama Prancis. Tapi menurut ayah, darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang siasia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk dan keimanan. Tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran. (Lintang Utara dalam Pulang: 139) Petikan paragraf dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori merupakan bentuk pergolakan batin salah satu tokoh utama, Lintang Utara terhadap identitas tanah kelahirannya. Darah Indonesia mengalir dalam raganya yang berkewarganegaraan Prancis. Indonesia, negara yang memiliki sejarah kelam akibat pertentangan ideologi. Ayahnya seorang warga asli Indonesia--sebuah tempat yang belum Lintang kenal dan belum terjamah olehnya. Ia hanya mengenal Indonesia dari cerita-cerita ayahnya, Dimas Suryo, Risjaf, Tjahjadi, dan Nugroho serta dari buku-buku dan film dokumenter. Selama tinggal di Indonesia, hidup ayah dan ketiga sahabatnya itu penuh dengan drama politik. Berkerabat dengan Hananto,

13


SENI

14

BUDAYA

Pameran Foto

Potret Sejarah, Sepi yang K Berbicara

Pengunjung sedang melihat foto-foto bertema “Berlin” di Pameran Foto Sibylle Bergemman, Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (27/2).

Gita Juniarti

Potret gersangnya gurun di Dakar, Senegal, terlukis dalam foto yang terbingkai di salah satu dinding ruangan Galeri Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Tampak seorang wanita berkulit hitam memayungi kepalanya dengan kain tipis berwarna merah yang berkibar tertiup angin. Tanpa alas kaki, wanita itu berjalan di atas gurun pasir gersang dan bermandikan terik matahari. Reruntuhan bangunan yang tertimbun pasir menjadi latar belakang salah satu foto di bilik African-Arabian itu.

arya tersebut merupakan salah satu foto Sibylle Bergemman, fotografer wanita tangguh yang berasal dari Berlin dan meninggal tahun 2010. Selain memotret cerita di Afrika, Sibyille juga bercerita tentang kehidupan di Jerman pada era 1970-an. Di pojok bilik, sebuah foto bertema Berlin menggambarkan terpisahnya dua tanah air oleh sebuah tembok besar. Tembok besar Berlin berdiri pada malam 12 Agustus 1961 dan membentang sepanjang 154 kilometer untuk memisahkan ibu kota menjadi Berlin Barat dan Timur. Terlihat deretan rumah susun dengan desain yang sama. Di depan rumah susun, sejumlah rakyat Berlin terlihat muram ketika bermain seluncur es. Hampir dua puluh tahun setelahnya, garis muram di wajah mereka berakhir. Tembok pemisah berubah menjadi puing-puing, ketika ibu kota Jerman menyatakan penyatuan untuk membangun masa depan Berlin pada tahun 1990. Bertempat di galeri BBJ tanggal 23 Februari–5 Maret 2013, Goethoe Institut dan BBJ menyajikan lebih dari dua puluh hasil potret Sibylle sepanjang hidupnya dalam pameran bertajuk Pameran Foto Sibylle Berge-

mann. Gadis Putih menjadi salah satu tema dari berbagai macam foto yang berlokasi di Eropa. Tema itu berkisah tentang masa kanak-kanak. Masa yang menjadi ranah peluang tanpa batas. Seorang anak bisa menjadi apa saja dalam dunia dongeng yang diciptakannya sendiri tanpa beban hidup yang menghimpitnya. Tampak foto bocah perempuan di Brooklyn sedang menatap mantel bulu di etelase toko pakaian dengan sorot mata penuh keinginan, seolah berandai-andai akan mengenakan mantel tersebut ketika ia sudah dewasa nanti. Dalam biografinya yang ditayangkan di galeri BBJ oleh resepsionis, wanita yang hidup di era perang dingin antara Blok Timur dan Barat Berlin memiliki pandangan bahwa foto bukan sekedar citra, melainkan medium yang memberikan petunjuk mengenai berbagai kaitan dalam realitas sekaligus sebagai interpretasi kejadian. Wanita yang meninggal akibat kanker itu merintis karirnya sebagai fotografer mode. Bakat fotografinya pun merambat ke foto esai dan foto reportase. Karya-karyanya pun dikenal oleh dunia setelah menghasilkan berbagai foto yang dimuat di majalah produksi Jerman, Paris,

New York, dan berbagai negara lainnya, seperti GEO, Die Zeit, Der Spiegel, Stern, dan The New York Times Magazine. Walau nama Sibylle telah dikenal hingga ranah internasional, pameran di ibu kota Indonesia agaknya kurang dilirik. Sejak siang hari, suasana senyap pun tak kunjung berubah walau matahari telah bergeser ke barat. Resepsionis pun memilih berdiam diri usai memutar film biografi Sibylle Bergemann. Jarum jam menunjuk angka lima ketika seorang pengunjung menjejakkan kaki di pameran tersebut. Sambil menonton biografi yang ditayangkan di galeri, pengunjung bernama Alifia Utami menuturkan, foto-foto karya Sibylle Bergemman memiliki aliran tersendiri dan unik. “Saya memang tidak mengerti banyak tentang fotografi. Tetapi dibanding karya-karya dari Indonesia, Sibylle memiliki ciri khas sendiri untuk hasil karyanya. Fotonya bagus, walau sedikit sulit untuk dipahami,” ucap gadis berambut panjang itu, Rabu (27/2).


15

FOTO: APRILIA/INSTITUT

Demo buruh menuntut kenaikan upah di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta. Pendemo mengancam akan mendorong paksa pagar kantor balai kota. Mereka berencana menginap di sekitar balai kota jika tuntutan mereka tidak dipenuhi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi.

FOTO: APRILIA/INSTITUT

Pertunjukan Java Jazz Festival 2013 Berlangsung Selama 3 hari, 1-3 Maret 2013. Pertunjukkan tersebut dimeriahkan oleh musisi jazz kelas dunia. Beberapa musisi jazz yang tampil, seperti Roy Hargove, Kenny Garret, Chucho Valdes, Stanley Clarke, dan Jamaes Carter. Tidak ketinggalan musisi dari Indonesia seperti Andien, RAN, Maliq n d’essential, hingga Jamaica Cafe.

Sambungan... Tertinggal di nasional, bermimpi Internasional mengetahui di mana posisi universitasnya dan apa yang sudah dicapai. Langkah selanjutnya, melakukan akreditasi nasional. Jika tahap kedua sudah berhasil, barulah universitas me- lakukan persiapan menuju akreditasi internasional. Sementara itu Ketua Lembaga Penjamin Mutu Perguruan Tinggi Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Reny Yunus, mengatakan, sebelum menjadi WCU, UIN Jakarta harus mampu bersanding dengan universitas sekelas Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Indonesia (UI). Namun, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi. Indikator tersebut sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP meliputi proses pembelajaran, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga pengajar, sarana dan prasarana, pengelolaan, pem-

biayaan, penilaian pendidikan, penelitian dan publikasi, pengabdian pada masyarakat, menajemen lembaga, sistem informasi dan kerjasama dalam dan luar negeri. Tridarma, Kunci WCU Menurut pakar pendidikan Indonesia, H.A.R Tilaar, universitas tak perlu mencari standar WCU untuk universitasnya. Karena setiap universitas telah memiliki pondasi untuk membangun WCU, yakni Tridarma Perguruan Tinggi. Lanjutnya, universitas tinggal menguatkan pondasi tersebut. Misalnya, pada poin pertama yang menitikberatkan pada peningkatkan pengajaran. Untuk meningkatkan pengajaran, diperlukan dosen-dosen yang memiliki pengalaman serta memiliki gelar doktor dan profesor. Poin kedua, penelitian. Sejauh mana UIN Jakarta memiliki penelitian yang terakreditasi internasional? Hingga Maret 2013, UIN baru memiliki 29 jurnal yang

diterbitkan dari berbagai prodi, fakultas, dan pusat studi. Namun sayang, jurnal yang terakreditasi baru secara nasional dan bisa dihitung dengan jari. Di antaranya, Jurnal Studia Islamica yang diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) dan Jurnal Ahkam dari Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Padahal menurut Tilaar, jurnal ilmiah menjadi salah satu syarat terpenting untuk menuju kampus kelas dunia. “Jangan hanya memiliki banyak profesor dan doktor, tapi tidak bisa memuat jurnal ilmiah. Itu namanya profesor, doktor, tapi tolol,” kata Tilaar, Kamis (21/2). Poin selanjutnya, pengabdian pada masyarakat, yaitu universitas memiliki mahasiswa dan alumni yang mampu memberdayakan masyarakat dan perekonomian nasional. UIN di Kancah Internasional Mengutip hasil peringkatan uni-

versitas tingkat dunia, Webometrics yang dirilis Januari lalu, menempatkan UIN Jakarta di posisi 41 tingkat nasional dan 2785 pada tingkat dunia. Sedangkan UGM, ITB, dan UI masing-masing berada pada posisi tiga teratas tingkat nasional dan peringkat 440, 497, dan 581 dunia. Dari data tersebut menunjukan perbedaan jarak yang signifikan Pada kancah nasional, dua universitas Indonesia yang bercorak Islam lainnya yakni, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogjakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berada pada posisi masing-masing 16 dan 35 tingkat nasional, Selasa (12/3). Kamis, (6/3), selepas azan Zuhur di kafe Cangkir lantai 2, Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPJM) UIN Jakarta, Achmad Syahid menanggapi, Wobemetrics tidak bisa menjamin mutu universitas baik atau tidak, karena penilaian Webometrics berdasarkan pada situs web sebuah universitas. Dilihat dari visibilitas (bobot 50%), Google Scolar dan Scimago

(bobot 30%) dan sisanya kekayaan konten dan ukuran website memiliki skor masing-masing 15%. Lantas, mengapa pada penilaian yang berdasarkan tampilan web, UIN Jakarta belum bisa menduduki posisi terbaik? Dan bagaimana jika UIN Jakarta mengunakan standar penilaian The Higher Education Suplement (THES)-Quacquarelli Symonds (QS)? Penilaian THES menitikberatkan pada empat indikator, yakni kualitas penelitian (bobot 60%), kriteria pandangan internasional (bobot 10%), kualitas pengajaran (bobot 20%), dan kesiapan kerja lulusan universitas (bobot 10%). Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, posisi UIN Jakrarta hingga tahun 2013 masih belum dapat masuk dalam WCU. Kriteria yang dikeluarkan THES jika direfleksikan dengan kondisi UIN Jakarta terasa sangat berat. “Untuk memenuhi standar THES sepertinya sulit,” ujar Syahid yang juga dosen Fakultas Psikologi.


Pasang Iklan Sejak didirikan 28 tahun lalu, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produkproduknya, semisal pada Tabloid Institut, Majalah Institut, dan beberapa tahun ini secara kontinyu mempercantik portal lpminstitut. com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk mari beriklan di ketiga produk kami. Kenapa? Ini alasannya:

Tabloid INSTITUT

Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar seIndonesia dan Instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)

INSTITUT Online

Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari

Hub: 083807711942

Hub: 089637572010 Pin: 29DA1849

Majalah INSTITUT

sajian berita bercorak investigatif dam terbit per-semester Untuk pemasangan iklan hubungi:

April : 081932276534 Pin BB : 27966A94


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.