Edisi LXIII / OKTOBER 2019
TERBIT 16 HALAMAN
LAPORAN UTAMA
TELEPON REDAKSI: 085817296629
LAPORAN KHUSUS
EMAIL: REDAKSI.INSTITUT@GMAIL.COM
WAWANCARA
Hijrah Ala Milenial: Dorongan atau Tren Belaka
Peran Mahasiswa dalam Pergerakan Era 4.0
Ulik Pergerakan Mahasiswa Masa ke Masa
Hal. 2
Hal. 3
Hal. 11
TABLOID
MENYUARAKAN KEBEBASAN, KEADILAN, DAN KEJUJURAN
LPMINSTITUT.COM
LPM Insitut - UIN Jakarta
@LPMINSTITUT
@LPMINSTITUT
@XBR4277P
Ciputat Menggugat: Era Baru Gerakan Mahasiswa Rizki Dewi Ayu & Nurul Dwiana rizkikidew@gmail.com & nurull.dwiana@gmail.com Sudut-sudut Ciputat melahirkan pelbagai warna pemikiran, ragam ideologi organisasi pun tumbuh subur di dalamnya. Ciputat menggugat di Gedung DPR silam menjadi sirene era baru gerakan mahasiswa.
Sebulan sejak berita ini ditulis, tepatnya 23-24 September 2019, halaman depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Senayan dipenuhi ribuan mahasiswa. Mereka datang dengan mengenakan ragam warna jaket almamater yang merepresentasikan ciri kampusnya masing-masing. Di depan gedung tempat para wakil rakyat itu mereka menyuarakan aspirasinya dengan membawa tujuh tuntutan. Isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tuntutan utama aksi mahasiswa tersebut. Pasalnya, Revisi Undang-Undang KPK dipandang melemahkan lembaga independen negara tersebut. Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak lepas dari sorotan. Tuntutan lainnya berkaitan dengan isu kriminalisasi aktivis, isu lingkungan, penuntasan pelanggaran hak asasi manusia dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Berbekal spanduk dan poster berisi coretan kritikan, sejak Senin (23/9) pagi ribuan massa aksi telah memenuhi jalanan Senayan. Mereka berstatus mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Tak kalah dengan sigap massa aksi,
aparat keamanan pun sejak pagi buta telah siap siaga menjaga keamanan sekitar Gedung DPR. Bahkan, diketahui mencapai 5000 personil aparat gabungan dikerahkan guna mengawal aksi demonstrasi. Esoknya, Selasa (24/9) aksi masih berlanjut dengan massa yang lebih besar dari hari sebelumnya. Bak aksi tak tanpa solusi, demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa tersebut pada akhirnya ricuh. Hujan gas air mata menerjang peserta aksi, mereka pun berhamburan tak menentu. Carut marut terlihat jelas tak menentu, bahkan korban pun berjatuhan dari pihak mahasiswa. Aksi mahasiswa September 2019 silam menjadi bukti konkret mahasiswa sekarang tidak tertidur dengan keadaan. Setidaknya, aksi tersebut dapat menggambarkan mereka masih peka dengan isu sosial dan melek keadaan. Jika menilik lapangan, aksi mahasiswa 23-24 September 2019 di depan Gedung DPR menjadi fenomena aksi terbesar pasca reformasi Orde Baru 1998. Pasalnya bukan hanya terjadi di Jabodetabek, bahkan merambat di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Bersambung ke halaman 15...
2
LAPORAN UTAMA
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Salam Redaksi Pembaca yang budiman, Sebagai bagian dari Civitas Academica Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, kita mengimani Ciputat tak akan lekang pesona kultur budaya intelektual dan dunia pergerakannya. Dari rahim Ciputat lahir tokoh-tokoh besar dengan kedisiplinan ilmu dan keagungan nama di dunia pergerakan. Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra dan M. Sirajuddin Syamsuddin hanya secuil dari deretan nama tokoh yang dibesarkan dari ruang gejolak pemikiran Ciputat. Dari pojok-pojok Ciputat, gagasan demi gagasan terus berdentum seiring laju peradaban. Ruang-ruang diskusi, aksi demi aksi, hingga benturan ide tumbuh subur dari pelbagai golongan. Dari sinilah, corak pluralistis warna terpatri dalam tubuh Ciputat membentuk kebudayaan intelektual dan pergerakan. Tidak berlebihan kiranya, jika Ciputat dinobatkan sebagai rumah pluralisme ideologi keilmuan dan dunia pergerakan. Bahkan tak khayal kiranya, dialektika yang terjadi di setiap rongga kehidupan intelektual Ciputat di kemudian hari melahirkan sub kultural baru dalam tradisi keilmuan. Bahkan, istilah Mazhab Ciputat sudah turun menurun hadir sebagai identitas gagasan keilmuan yang melekat erat. Dalam hal organisasi pergerakan, label rumah pluralisme ideologi pada tubuh Ciputat bukan tanpa bukti. Pelbagai warna ideologi organisasi bersemi subur dengan pandangannya masing-masing. Bagi Civitas Academica UIN Jakarta, pastinya akrab paling tidak mengenal nama-nama organisasi pergerakan seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan banyak lainnya tumbuh subur di Ciputat. Bagi kami insan pers, peradaban intelektual dan pergerakan yang pluralistis di Ciputat patut diabadikan sejarah. Oleh karena itu, pada Tabloid Institut Edisi LXIII/Oktober 2019 kali ini tapak tilas kultur budaya intelektual dan dunia pergerakan di Ciputat kami abadikan dalam karya jurnalistik. Dari sudut padangan karya jurnalistik, kami ajak pembaca untuk lebih mengenal Ciputat dari pelbagai corak. Tak hanya bicara budaya intelektual dan pergerakan Ciputat, Tabloid Institut kali ini seperti biasa juga menghadirkan konten-konten menarik seputar dunia mahasiswa. Peringatan Hari Sumpah Pemuda tak lepas dari pembahasan, kolom sastra pun siap memanjakan pembaca setia Tabloid Institut dengan muatan karya menarik dan menghibur. Baca, tulis, lawan!
Hijrah Ala Milenial: Dorongan atau Tren Belaka Herlin Agustini & Muhammad Silvansyah Syahdi M. herlinagustini97@gmail.com & syahdi.muharam@gmail.com Maraknya tren hijrah di kalangan milenial khususnya di Indonesia menjadi perbincangan yang tak pernah habis. Bahkan, makna hijrah yang berbeda pemahaman turut mempengaruhinya.
Hijrah di kalangan muslim milenial merupakan pembahasan yang sedang hangat diperbincangkan satu dekade terakhir. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan lahirnya apa yang disebut “ulama online”. Seperti yang dibahas dalam salah satu artikel Firly Anisa berjudul Hijrah Milenial: Antara Kesalehan dan Populisme. Pada artikel tersebut, Firly Anisa mengambil satu sampel ulama yang dikategorikan micro-selebrities yaitu Hanan Attaki. Penampilannya khas, ia menggunakan topi ala musim dingin Eropa, bermain papan seluncur, dan mengenakan hoodies. Hal tersebut yang membuatnya terkenal dan mempunyai pengikut yang cukup banyak di media sosial. Tak hanya itu, di kalangan milenial, ia pun disebut sebagai ustaznya kaum jomblo. Bahkan, Hanan Attaki juga memperkenalkan terminologi hijrah melalui kajian yang ia sebarkan melalui media sosial seperti Youtube dan Instagram. Terkait fenomena di kalangan muslim milenial, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Diana Satira beranggapan bahwa Hijrah sebagai makna proses, dari mulai kebiasaan hingga pakaian yang merupakan dampak dari hijrah itu sendiri. Namun, hal itu belum pasti orang yang menggunakan pakaian tertutup itu berhijrah. Diana menambahkan bukan suatu masalah ketika seseorang ‘hijrah’ hanya untuk mengikuti tren—seperti berpakaian syar’i—asalkan bisa menjaga nilai-nilai. Karena faktanya saat ini, yang disalahkan bukan orangnya, tapi pakaiannya (misalnya bercadar). “Semua kembali kepada diri masing-masing, mungkin bisa mendapat hidayah melalui jalan itu,” pungkas Diana, Jumat (18/10). Fenomena semacam itu—menurut Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi M. Yunan Yusuf—merupakan sebuah paham yang mengakui dan menjunjung tinggi suatu keutamaan, yang disebut dengan populisme. populisme merupakan tren kebangkitan orang-orang yang bertambah bangga menyatakan diri sebagai seorang mus-
lim. Dengan menyatakan diri sebagai seorang muslim, orang merasa akan mendapatkan tempat di mana-mana. Sehingga, mereka akan dipandang sebagai sesuatu yang lebih memasyarakat. Jika dikaitkan dengan hijrah, istilah tersebut menjadi sesuatu yang sedang membumi khususnya di Indonesia. Karena itu, hijrah sendiri merupakan salah satu pintu menuju populisme Islam. Hijrah yang banyak dipahami oleh kaum milenial saat ini adalah hijrah seputar simbol-simbol yang mereka kenakan. Mereka berpindah dari suatu simbol yang tidak dipahami sebagai seorang muslim ke simbol yang memang merupakan identitas seorang muslim. “Seperti menggunakan hijab dan pakaian tertutup bagi seorang wanita,” ujar Yunan Yusuf, Senin (14/10). Yunan juga menambahkan, berhijrah dari segi pakaian menjadi pintu gerbang dari hijrah itu sendiri. Karena pada dasarnya, sehelai pakaian akan memperlihatkan postur dan gambaran luar dari keber-Islaman seseorang. Namun, hijrah tentunya tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi juga harus masuk kepada hijrah dari segi sikap, tingkah laku, akhlak, dan kecerdasan. Konteks hijrah menurut istilah yang dipahami adalah meninggalkan yang buruk, kemudian digantikan dengan yang baik. Selaras dengan Yunan, Direktur Center for the Study of Religion and Culture Idris Hemay mengatakan, hijrah yang berkembang menjadi tren di kalangan milenial adalah hijrah dari segi simbol, terutama pakaian. “Mereka menganggap bahwa hijrah sebatas itu, padahal makna hijrah sendiri luas konteksnya,” ujar Idris di ruangannya, Kamis (17/10). Suatu hal yang menjadi permasalahan dalam dunia perhijrahan adalah ketika mereka yang sudah menggunakan beberapa simbol ke-Islaman mengklaim dirinya lebih
Ilustrasi: CNN Indonesia
benar dari orang lain, begitu juga sebaliknya. Idris menambahkan, sifat tersebut dekat dengan sebuah prinsip Al-Wala wa Al-Bara, yaitu mencintai yang sama dengan dirinya dan memusuhi yang berbeda, termasuk muslim yang berbeda aliran. Oleh karena itu, jangan sampai hijrah terjebak hanya pada simbol. Hijrah harus dimaknai secara komprehensif agar tidak terjadi gesekan-gesekan. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman suku, agama, dan budaya. Idris juga berpendapat, hijrah yang baik adalah bagaimana pemuda itu dapat berperan lebih aktif dalam menjaga perdamaian. “Hijrah dari hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian,” imbuh Idris. Senada dengan Idris hemay, Andi Ramadhan sebagai Mahasiswa Dirasat Islamiyah memaknai hijrah adalah berpindah dari tempat dianggap baik ke tempat yang lebih baik lagi, baik dari segi sosial maupun ibadah. “Tampilan fisik seseorang bukan aspek yang paling penting dalam hijrah,” pungkas Andi, Jumat (21/10).
Pemimpin Umum: Hidayat Salam | Sekretaris Umum: Moch. Sukri Bendahara Umum: Siti Heni Rohamna | Pemimpin Redaksi: M. Rifqi Ibnu Masy | Redaktur Online: Nuraini Pemimpin Penelitian dan Pengembangan: Ayu Naina Fatikha | Pendidikan: Nurfadillah | Pemimpin Perusahaan: Nurlely Dhamayanti Anggota: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Muhammad Silvansyah Syahdi M., Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Koordinator Liputan: Sefi Rafiani | Reporter: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Muhammad Silvansyah Syahdi M., Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Penyunting : Ayu Naina Fatikha, Hidayat Salam, M.Rifqi Ibnu Masy, Moch. Sukri, Nuraini, Nurfadillah, Nurlely Dhamayanti, Siti Heni Rohamna | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Muhammad Silvansyah S. M. | Desain Sampul: Muhammad Silvansyah S. M. | Info Grafis: Muhamad Silvansyah S. M. Penyelaras Bahasa: Herlin Agustini, Ika Titi Hidayati, Nurul Dwiana, Rizki Dewi Ayu, Sefi Rafiani Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 089618151847/085817296629 | Email: redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter Institut dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter Institut yang sedang bertugas
LAPORAN KHUSUS
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Peran Mahasiswa dalam Pergerakan Era 4.0 Ika Titi Hidayati ikatitihidayati999@gmail.com Peralihan zaman yang diiringi dengan pesatnya kemajuan teknologi di era 4.0 tidak memupuskan semangat pergerakan mahasiswa. Hal tersebut terbukti dengan adanya aksi mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
Sebagai kaum intelektual, mahasiswa memiliki beberapa peran sebagai kontrol sosial. Salah satunya adalah pro terhadap kepentingan rakyat. Aksi mahasiswa yang turun ke jalan pada 23-24 September di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bukti mahasiswa memiliki nilai idealisme yang tinggi. Dalam aksi tersebut, para mahasiswa mengajukan tujuh tuntutan Aksi Reformasi Di korupsi. Salah satu tuntutan mahasiswa yang sampai sekarang masih disuarakan yaitu pembatalan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Gerakan mahasiswa tersebut tentunya bertujuan untuk terciptanya berbagai kondisi yang ideal di masyarakat. Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Syarif Hidayatullah, Riski Ari Wibowo turut memberi tanggapan mengenai rele-
vansi aksi mahasiswa di depan Gedung DPR di tengah era revolusi industri 4.0. Menurut pandangannya, aksi tersebut selaras dengan zaman di era 4.0. Selain itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh mahasiswa di antaranya selektif dalam memilih berita yang beredar. “Dalam era teknologi seperti sekarang ini kita juga harus pintar untuk memilah-milah berita-berita yang beredar di sosial media,” Ucap Ari Pada Jumat (18/10) Mahasiswa juga berperan sebagai kekuatan moral yang memiliki sikap kritis dalam menilai kebijakan di jajaran pemerintah. Kekuatan moral dalam hal ini menjadi poin penting yang harus diperhatikan oleh mahasiswa. Selain itu, penuangan ide dan gagasan mahasiswa adalah
pokok utama dalam peranannya di era revolusi industri 4.0 (four point zero). Hal tersebut diungkapkan Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Politik, Iding Rosyidin “ Ide dan gagasan bisa dituangkan baik melalui tulisan atau forum-forum yang lebih luas” Ujar Iding, Pada Senin (21/10) Dengan peralihan zaman menuju ke era revolusi industri 4.0, memberikan perubahan sangat cepat terkait dengan segala dimensi kehidupan d e n g a n wujud adanya sebuah digitalisasi sektor kehidupan. Revolusi ini tentunya juga menjadi tantangan mahasiswa dalam menentukan arah baru pergerakan. Terdapat beberapa tantangan yang harus dihada-
pi oleh mahasiswa salah satunya adalah menjaga idealisme dan daya nalar kritis. Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Walisongo Semarang, M. Eka Gusti Agung Pratama mengatakan dalam era ini mahasiswa dihadapkan oleh berbagai persaingan global. Di sisi lain, mahasiswa juga turut berperan dalam mengawasi dan mengkritisi pemerintah sebagai representasi dari masyarakat. “Pembangunan daya nalar kritis itu penting,” ungkapnya saat diwawancarai via WhatsApp pada Jumat (11/10) Sementara itu, Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM), Nizar Surya Isadono, menambahkan bahwa mahasiswa pada era ini masih identik dengan aksi turun ke jalan, gerakan yang masih tere-
3
bak romantisme 1998. Banyak orang mengatakan bahwa gerakan yang demikian itu sudah tidak pada zamannya atau sudah tidak efektif dilakukan di zaman yang serba canggih dan serba digital ini. Baginya gerakan mahasiswa yang berkiblat pada 1998 sampai saat ini tetap relevan dan dibutuhkan oleh negara ini, ungkap Nizar saat diwawancarai via WhatsApp pada Jumat (18/10). Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Masri Mansoer pun turut memberikan tanggapan mengenai pergerakan mahasiswa di era revolusi industri 4.0. Masri mengungkapkan salah satu yang dibutuhkan oleh mahasiswa era 4.0 adalah mahasiswa yang kritis terhadap kondisi di sekitar, terutama di sektor pemerintahan. Selain daya kritis, mahasiswa juga harus selektif dalam memandang sebuah berita yang beredar. “ Ciri mahasiswa era ini harus bisa memilah-memilah, bisa menganalisis, dan bisa mengkritisi berita-berita yang tersebar,” jelasnya, Kamis, (10/10).
Upaya Bungkam Suara Mahasiswa Sefi Rafiani serafiani99@gmail.com Mahasiswa dari berbagai daerah turun aksi. Rektor yang dianggap mengerahkan aksi akan Menristek beri sanksi.
Dewasa ini terjadi peristiwa demo besar-besaran yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah pada Senin dan Selasa (23-24/9). Pergerakan tersebut membuat mahasiswa dari berbagai daerah melakukan demonstrasi yang berpusat di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta Pusat. Hal tersebut membuat Menteri Riset, Teknologi Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menurunkan imbauan pada para rektor untuk tidak mengerahkan mahasiswanya turun ke jalan. Imbauan tersebut ia terapkan semenjak mendapat panggilan dari presiden di istana negara mengenai aksi unjuk rasa mahasiswa, pada Kamis (26/9). Berdasarkan data yang dihimpun dari Kompas. com, Nasir akan memberi sanksi bagi para rektor yang mengerahkan mahasiswanya untuk berdemonstrasi. Bahkan, jika ada dosen yang ketahuan menggerakkan aksi maka dosen tersebut akan diberi sanksi oleh rektornya. “Kalau dia mengerahkan (mahasiswa), sanksinya keras. Sanksi keras ada dua; bisa SP 1, SP 2,” Tegas Nasir.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Iding Rosyidin tidak setuju atas pernyataan sikap Mohammad Nasir yang akan memberi sanksi bagi para rektor yang mengerahkan mahasiswanya untuk aksi turun ke jalan. Menurutnya, hal tersebut berlebihan. “Toh, sampai saat ini aksi tersebut tidak membahayakan, jadi tidak perlu harus sampai seperti itu,” Ungkap Iding saat ditemui di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta, Jumat (21/10). Seorang peserta aksi, Dinda Marta Asri juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan sikap Menristek tersebut. Menurutnya hal tersebut merupakan pembungkaman secara perlahan terhadap ruang demokrasi. Padahal mahasiswa memiliki peran sebagai kontrol sosial. Lagipula menurutnya aksi yang dilakukan membawa substansi, bukan sekadar aksi sembarangan. “Bukan hanya sekadar aksi, aksi mahasiswa kemarin membawa substansi. Aksi itu sudah melalui berbagai kajian ilmiah, ada bundaran kajiannya, kemudian kita juga adakan diskusi publik,” Tutur Dinda, Senin (14/10).
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut turut menceritakan bagaimana Wakil Rektor tiga UNJ membuat surat edaran mengenai pernyataan sikapnya terhadap aksi yang akan dilakukan pada 24 September 2019. Dalam surat edaran tersebut tertulis bahwa UNJ tidak Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan Jokowi meminta agar rektor meredam demonstraterlibat secara si mahasiswa. (Foto dan Caption: CNN Indonesia) konstitusional dan tidak mendukung kegiatan dan oknum-oknum yang memang sampai melakukan tindakan aksi tersebut. Jika ada mahasiswa sengaja mebuat situasi menjadi inkonstitusional,” ungkap Nasir, yang ikut aksi, maka risiko men- rusuh,” ungkap Mahasiswa Ko- Kamis (26/10). jadi tanggung jawab pribadi. munikasi Penyiaran Islam terseBahkan, MenristekdikTak hanya Dinda, Mahasiswa but, Senin (14/10). ti mengungkapkan saat ini UIN Jakarta Farah Zakiah yang Sementara itu, dalam web re- ia telah menjadwalkan kunjuga menjadi peserta aksi men- smi ristekdikti.go.id, Menristek- jungan ke beberapa perguruan gungkapkan ketidaksetujuan- dikti memberikan pernyataan tinggi untuk membuka pinnya dengan pernyataan sikap bahwa seharusnya mahasiswa tu dialog dengan masyarakat. Nasir. Menurutnya pernyataan lebih mengutamakan dialog akad- Menristekdikti meminta pemMohammad Nasir untuk tidak emis dalam mengatasi permasa- impin perguruan tinggi untuk turun ke jalan dengan dalih su- lahan bangsa. Menteri Nasir juga menjaga penyaluran aspirasi dah banyak kejadian yang diluar mengingatkan para mahasiswa mahasiswa sesuai mekanisme batasnya adalah hal yang tidak untuk menyalurkan aspirasi kon- aturan perundang-undangan wajar. “Saya rasa tidak bisa han- stitusional dan tidak melakukan yang berlaku. ya dilihat ke mahasiswanya, bisa tindakan anarkis. “Jangan sampai dilihat dari dua sisi; aparatnya, melakukan hal anarkis dan jangan
4
KAMPUSIANA
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Mobile AIS Tak Praktis Muhammad Silvansyah Syahdi M. syahdi.muharam@gmail.com Mobile AIS seharusnya memberikan kemudahan kepada penggunanya. Minim pengembangan, kemudahan tersebut tak kunjung terwujud.
Academic Information System (AIS) menjadi suatu kebutuhan bagi setiap Dosen dan Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melangsungkan berbagai kegiatan akademik. AIS dapat diakses melalui situs web ais.uinjkt.ac.id untuk perihal Kartu Rencana Studi (KRS), Kartu Hasil Studi, Kuliah Kerja Nyata, beasiswa, wisuda, dan sebagainya. Kini, berkembangnya platform Android di era digital membuat aplikasi mobile kian menjadi tren khususnya di kalangan mahasiswa. Tak terkecuali Pusat Teknologi Informasi dan Pang-
kalan Data (Pustipanda) yang merilis Mobile AIS for Students untuk perangkat Android pada November 2018. Walau jumlah unduhan Mobile AIS sudah mencapai 10.000 di Playstore, beberapa mahasiswa masih ragu akan kebergunaannya dibanding dengan situs web AIS. Seperti yang dialami oleh Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir Semester 5 Ardahman, ia bahkan tidak dapat mengisi KRS melalui Mobile AIS. “Sama saja tidak ada fungsinya, hanya untuk lihat nilai dan jadwal,” ujar Ardahman, Rabu (9/10). Tak hanya berpendapat mengenai fitur, Ardahman pun menyayangkan
tampilan Mobile AIS yang terlalu sederhana. Hal tersebut selaras dengan pendapat Muhammad Faturrahman, Mahasiswa Manajemen Semester 7. Fatur mengatakan, ia kurang nyaman menggunakan Mobile AIS karena User Experience (UX) yang belum optimal. “Tampilan dan cara pakainya nggak banget,” pungkasnya, Rabu (9/10). Sehubungan dengan UX, User Interface (UI) juga menjadi hal yang perlu diperhatikan dari Mobile AIS. Seperti yang dialami oleh Mahasiswi Sistem Informasi Semester 7 Lega Adilawati, UI Mobile AIS terkadang masih membingungkan. Pemilihan warna aplikasi pun ia nilai tertalu monoton. “Perlu diteliti lagi kebergunaannya, sudah memenuhi kebutuhan mahasiswa atau belum,” tambah Lega, Kamis
(10/9). Tanggapan juga datang dari Mahasiswa Sistem Informasi Semester 7 Ananda Vickry Pratama. Ia menilai Pustipanda tidak mengetahui kebutuhan mahasiswa atas Mobile AIS dan belum jelas ditujukan untuk apa, menimbang fitur situs web AIS yang lebih lengkap. Ananda pun mengatakan, pembuatan Mobile AIS terkesan ‘asal jadi saja’. Terlebih lagi, tidak ada pembaharuan berjangka oleh Pustipanda. “Padahal, banyak bug system yang harus diperbaiki,” sesal Ananda, Selasa (8/9). Kepala Pustipanda Muhammad Qomarul Huda pun mengakui pengembangan Mobile AIS yang belum optimal. Hal tersebut dikarenakan karena tidak adanya developer khusus untuk aplikasi mobile. Di samping dua puluh staf yang ada, hanya terdapat
Mobile AIS for Students: Ada Apa Saja?
lima orang programmer di Pustipanda. Jumlah tersebut Qomarul katakan sangat kurang melihat jumlah mahasiswa aktif yang mencapai 23.000 dan dosen serta karyawan yang mencapai 2.000. Qomarul juga mengatakan, pihak Pustipanda sudah mengusulkan kepada pihak pimpinan agar lebih memperhatikan pengembangan teknologi informasi UIN Jakarta yang masih tertinggal jauh dengan kampus lain. Untuk memenuhi harapan-harapan pengguna terkait Mobile AIS, perlu ada keselarasan antara strategi bisnis dan manajemen dengan strategi teknologi informasi. “Agar semua pengguna teknologi informasi dapat dilayani,” pungkas Qomarul di Ruang Kepala Pustipanda, Rabu (9/10).
JAJAK PENDAPAT
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
5
Minat Terhadap Kegiatan Penunjang Mahasiswa Sebagai mahasiswa, tentunya memiliki tugas menjadi salah satu kekuatan pelopor dalam setiap perubahan. Keberadaan mahasiswa di tanah air—terutama sejak awal abad ke dua puluh—dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran strategis dalam masyarakat. Akan tetapi lebih dari itu, mereka telah terlibat aktif dalam perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Di era Revolusi Industri 4.0 ini, menjadi seorang mahasiswa yang bermodalkan nilai akademik saja tidak cukup. Selain mengikuti arus perkembangan industri 4.0, mahasiswa pun harus mengikuti kegiatan yang menunjang minat dan bakat untuk menggali potensi diri. Setidaknya ada empat pengelompokan kegiatan penunjang minat dan bakat mahasiswa, diantaranya:
organisasi ekstra (aktivis pergerakan); Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau softskill; forum diskusi (intelektual), dan kepanitiaan acara (volunteer). Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober, Litbang Lembaga Pers Mahasiswa Institut ingin mengetahui kegiatan penunjang apa yang kini diminati Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui survei yang disebarkan ke 200 responden dari 12 fakultas di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut berhasil mengumpulkan bidang minat dan bakat apa saja yang banyak digemari mahasiswa. Berdasarkan hasil jajak pendapat LPM Institut, ketika ditanya akan kebutuhan kegiatan penunjang minat dan bakat mahasiswa, sebanyak 61% Maha-
siswa UIN Jakarta merasa perlu mengikuti kegiatan penunjang minat dan bakat. Adapun 38% merasa sangat perlu untuk bergabung dalam kegiatan penunjang tersebut. Sementara 1% lainnya, menjawab tidak mengikuti kegiatan apa pun. Sementara itu dalam bidang kegiatan penunjang, sejumlah 38% mahasiswa lebih memilih organisasi ekstra sebagai kegiatan penunjang yang ia ikuti. Adapun sebanyak 35% mahasiswa memilih mengikuti UKM yang ada di UIN Jakarta. Sekitar 32% mahasiswa memilih menjadi volunteer dalam kepanitiaan suatu acara dan 16,5% mahasiswa memilih forum diskusi sebagai kegiatan penunjangnya. Sedangkan sisanya sebanyak 14,5% mahasiswa tidak mengikuti kegiatan penunjang apapun. Beberapa alasan mahasiswa bergabung dalam kegiatan
penunjang diantaranya; sesuai minat atas dasar keinginan sendiri, mengisi waktu luang bahkan ikut-ikut teman. Sebanyak 66,5% mahasiswa memberi alasan mengikuti kegiatan penunjang atas dasar keinginan sendiri. Adapun sekitar 17% mahasiswa memberi alasan untuk mengisi waktu luang yang ada. Saat ditanya apakah kegiatan penunjang tersebut sudah memenuhi kebutuhan mahasiswa atau belum?, sejumlah 69,5% mahasiswa mengaku kegiatan tersebut sudah memenuhi kebutuhan mereka. Sekitar 11,5% mahasiswa menjawab kegiatan penunjang yang ia pilih sangat memenuhi kebutuhan. Namun 16,5% mahasiswa mengaku kegiatan penunjang yang ia pilih belum memenuhi kebutuhan mereka sebagai mahasiswa. UIN Jakarta sudah menyediakan kegiatan penunjang mi-
raw design by freepik.
SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 2019
nat dan bakat mahasiswa seperti adanya UKM sebagai contoh. Sebanyak 58,5% mahasiswa mengaku UIN Jakarta sudah cukup menyediakan kegiatan yang penunjang yang dibutuhkan mahasiswa. Adapun sekitar 32,5% mahasiswa merasa UIN Jakarta sudah menyediakan kegiatan penunjang tersebut. Dan 9% lainnya merasa UIN Jakarta belum sepenuhnya menyediakan kegiatan penunjang bagi mahasiswa. *Jajak pendapat ini dilaksanakan sejak 15 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2019, dengan jumlah responden sebanyak 194 dari 12 fakultas di UIN Jakarta. Metode pengambilan dalam survei ini adalah proportionated stratified random sampling. Hasil ini tidak bermaksud menyudutkan suatu lembaga atau pihak manapun di UIN Jakarta.
6
INFO GRAFIS
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
27 Juni 2014
Saat mengunjungi Pesantren Babussalam di Malang, Jokowi janji akan menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri jika terpilih sebagai presiden.
Saat Jokowi Terpilih
Nahdlatul Ulama (NU) menolak Hari Santri diperingati pada 1 Muharram.
22 April 2015 Dua belas ormas Islam menandatangani usulan Hari Santri diperingati setiap 22 Oktober.
15 Oktober 2015
Penetapan Hari Santri 22 Oktober melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.
22 oktober merupakan tanggal ketika para ulama dan kiai nu mengeluarkan resolusi jihad pada 1945 untuk melawan penjajah.
Resolusi Jihad lahir dari musyawarah ratusan kiai berbagai daerah untuk merespon agresi belanda ii dan sebanyak 20 ribu santri meninggal syahid.
“
mEMBELA TANAH AIR DAN MELAWAN PENJAJAh HUKUMNYA WAJIB ATAS SELURUH INDIVIDU ~kIAI hAJI HASYIM ASY’ARI Vector KH. Hasyim Asy’ari oleh NGARTVENTURE
Ralat
Ralat
Pada Salam Redaksi paragraf kedua tertulis: Gaya kepemimpinan Rektor UIN Jakarta Amay Burhanuddin Umar Lubis... Seharusnya tertulis: Gaya kepemimpinan Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis...
Kilas
Kilas
BSA Peraih Juara 1 Middle East Festival 2019 Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Arab (BSA) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ikhlasul Amalludi, Mahbubi, dan Rico Adrian meperoleh tim juara Middle East Festival 2019 Universitas Indonesia. Mereka mengantongi juara satu dari kategori debat bahasa Arab pada 30 September lalu. Sebelumnya, Ikhlas beserta kawan-kawan memang aktif tergabung dalam klub bahasa Arab Ats-Tsuraya yang mengasah kemampuan berbahasa Arab. Hingga, mereka pun hadir mengikuti acara kejuaran Middle East 2019 pada 26 hingga 30 September. Mereka berhasil menyisihkan 19 tim dari berbagai kampus di Indonesia Seperti Universitas Islam Indonesia, Univesitas Al-Azhar Indonesia hingga Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Ar-Rayah. Kemenangan yang diraih tidak datang begitu saja. Pasalnya, empat kali babak penyisihan untuk mencapai final, mereka sempat mengalami kendala dikarenakan kurangnya persiapan. Sehingga, mereka nyaris tereliminasi di babak enam besar. Namun,saat di babak final mereka menyisihkan satu-satunya lawan hingga mencapai juara satu. Dengan membawa prestasi debat bahasa Arab ini bisa dijadikan contoh bagi mahasiswa UIN Jakarta. Khususnya, program studi BSA UIN Jakarta bisa terus mempertahankan prestasinya terus bisa berkompetisi dengan baik dikancah nasional maupun internasional. “Bisa terus mempertahankan prestasinya,”ujarnya, Senin (7/10).
Nurul Dwiana | nurull.dwiana@gmail.com
LPMINSTITUT.COM
Rizki Dewi Ayu rizkikidew@gmail.com
Saksi Bisu Sumpah Pemuda
Destinasi wisata yang memberikan edukasi sejarah memang patut dikunjungi. Seperti halnya Museum Sumpah Pemuda yang mengedukasi pengunjung perihal kongres pemuda II tahun 1928 silam.
Berbicara soal Jakarta rupanya tak melulu tentang pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit yang menjulang. Dibalik gemerlapnya, Ibukota Indonesia ini juga menyimpan sejuta kisah. Salah satunya gedung yang pernah dijadikan sebagai tempat berlangsungnya Kongres Pemuda II. Kini, gedung itu telah disulap menjadi museum bernama Museum Sumpah Pemuda. Sebelum dijadikan museum oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, mulanya gedung tersebut bernama Gedung Kramat 106. Gedung milik Sie Kong Liong ini dulunya diperuntukkan sebagai pondokan pelajar, tempat latihan kesenian “Langen Siswo� dan juga diskusi politik. Gedung tersebut juga menjadi saksi sejarah lahirnya Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Saat ini, bangunan utama Gedung Museum Sumpah Pemuda yang beralamat di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat ini ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat Nasional melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 254/M/2013, tanggal 27 Desember 2013. Pilihan moda transportasi untuk menuju ke Museum Sumpah Pemuda cukup mudah. Pengunjung dapat naik busway kemudian turun di Halte PAL Putih dan dilanjutkan dengan berjalan kali sekitar 5 menit. Hanya dengan merogoh kocek Rp2000 pengunjung dapat menikmati suasana museum. Museum Sumpah Pemuda ini sangat mudah dijumpai karena letaknya persis di pinggir jalan. Ketika tiba di depan museum, pengunjung disuguhkan dengan pemandangan gedung bergaya tempo dulu dengan jendela dan pintu yang besar. Teras gedung pun dilengkapi dengan kursi dan meja yang menambah nuansa klasik bak era tahun 20an. Memasuki ruang utama, pengunjung langsung diperlihatkan diorama pemuda yang sedang berdiskusi. Di ruang sebelahnya, terdapat bendera yang menjadi lambang organisasi pergerakan pemuda pada waktu itu. Tak hanya itu, dinding ruangan juga dihias dengan gambar yang dilengkapi sejarah organisasi pemuda seperti Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Di ruangan lainnya, terdapat diorama
para pemuda yang sedang memperhatikan patung replika W. R. Soepratman yang tengah memainkan biola. Bukan hanya diorama, museum ini juga menyimpan biola yang pernah dipakai oleh sang pencipta lagu Indonesia Raya tersebut. Untuk menjaga keamanannya, biola diletakkan di etalase kaca. Terdiri dari 8 ruangan, museum ini memang hanya berisi diorama dan juga gambar yang terpajang rapi di dinding. Tapi, ada satu keunikan dan kelebihan lainnya, yakni masih terawatnya sebuah motor vespa berwarna biru yang menjadi saksi bisu lahirnya sumpah pemuda. Di bagian belakang gedung terdapat juga relief yang menggambarkan suasana pembacaan naskah sumpah pemuda. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Danvie Utami mengaku mengunjungi museum ini karena ingin melihat jejak peninggalan para pemuda ketika melaksanakan sumpah pemuda. Hanya saja, menurutnya, koleksi museum ini masih kurang lengkap. Tapi dari segi fasilitas, menurutnya museum ini cukup nyaman. “Harapan saya koleksi tentang pergerakan pemuda pada waktu itu bisa ditambah lagi untuk edukasi juga,� ujar perempuan yang akrab disapa Vivi ini, Rabu (9/10).
PERJALANAN
7 Foto: Instituers
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
8
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Agama dan Budaya dalam Pusaran Globalisasi
OPINI
Oleh: M. Bisyrul Hafi
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan secara kasat mata mampu memotong jarak perbedaan budaya, kehidupan sosial dan pesatnya arus informasi. Hal tersebut tentu membawa pengaruh besar dalam pergeseran sudut pandang manusia tehadap agama dan budaya. Dalam pesatnya perkembangan zaman, agama tidak hanya bisa dilihat dengan pendekatan teologis belaka, akan tetapi erat kaitannya dengan sosio kultular yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini semakin menunjukan bahwa hakikat beragama tidak sebatas hubungan antara manusia dengan Tuhannya akan tetapi juga memeberikan kesadaran dalam berkelompok, dan relasi antar individu. Dari sinilah mulai muncul pelbagai problematika yang melibatkan agama baik secara langsung maupun tidak langung, dimulai dari masalah kekerasan, hubungan antar manusia, produk budaya modern, yang dimana agama dituntut selalu menujukan eksistensinya untuk membersamai manusia, agar agama tetap relevan digunakan dalam taraf nilai pegangan hidup. Ditambah dengan cepatnya perubahan zaman di era global-
isasi dimana budaya berubah begitu cepat sehingga segala persoalan dituntut agar bisa dijawab dengan jawaban yang konkret, karena hakikatnya memang agama diposisikan sebagai pijakan utama untuk menujukam relevansinya dalam menjawab segala persoalan dan tantangan zaman. Dengan segala perkembangan yang begitu cepat, perlu kiranya kita untuk membelokan cermin ke belakang , sekedar melihat apa yang telah diramu oleh para pendahulu kita, dengan melihat seksama para tokoh perdaban islam masa lalu, seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Sina, yang secara masif menjawab segala problematika pada zamanya, dengan buah pikiran yang cemerlang. Sehingga pada saat itu Islam dapat menyeimbangkan segala fenomena perubahan budaya dan keagaman yang begitu cepat, sehingga umat Islam pada saat itu bisa mapan dalam majunya peradaban sekaligus dapat mewariskan pemikiran untuk generasi penerus sampai sekarang. Dengan formula diatas sebenarnya bangsa kita sendiri juga mempunyai jejak manis dalam merespon perkembangan zaman. Terkhusus dalam “men-
damaikan” nilai-nilai budaya dan agama sebagai jawaban atas kondisi masyarakat pada zamannya yang terkungkung dengan ajaran agama pendahulu yang dibebani dengan perbedaan kasta. Maka pemahaman ini menjelama menjadi daya Tarik sendiri pada abad ke-15 yaitu dalam masa penyebaran Agama Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga. Misalkan Sunan Bonang yang mengubah penggunaan gamelan yang identik dengan estetika Hindu menjadi hal yang bernuansa dzikir, sedangkan Sunan Kalijaga berdakwah melalui media kesenian lokal yang berupa wayang, dan tembang-tembang Jawa. Maka relasi antara agama dan budaya modern tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi segala produk budaya modern bisa dijadikan sebagai media dakwah Islamiyyah dan menebar persaudaraan dan kebaikan. Dakwah Walisongo di Nusantara ini menunjukkan tidak adanya nalar Arabisasi, akan tetapi yang ada adalah nalar sufistik Walisongo yang sangat toleran terhadap budaya lokal dan berusaha memasukkan nilainilai Islam sekaligus memilh ciri khas keindonesiaan, bukan kearaban. Memilih ciri khas keindonesiaan bukan anti dengan arab, akan tetapi hal ini semata untuk menunjukan bahwa subtansi agama dan budaya dapat ‘dikawinkan’ untuk mewujudkan formula dakwah yang tepat agar hati mereka merasa terwakili oleh agama yang masih baru mereka kenal. Berkaca dengan diktat yang ditulis Jaques Berque diawal ta-
hun 1990-an berjudul Relie le Coran at le Bible, yang intinya perlu “membaca ulang” Al-Quran dan Bibel untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan abadi diantara pemeluk kedua kitab suci tersebut. Dalam bukunya Islam Fungsional Prof Dr. Nazaruddin Umar menjabarkan bahwa ada beberapa hal filosofis dan filologis yang perlu dicermati dalam “membaca ulang” kitab suci. Diantaranya, dari mana datangnya teks kitab suci, bagaimana teks itu diperoleh, apakah teks itu disabdakan, diceritakan, dan atau dilakonkan oleh seseorang, bagaimana autentitas teks itu sendiri yakni bagaimana pertalian sanad yang meriwayatkannya. Sehingga yang terjadi adalah kritalisasi pemikiran yang melebur dengan realitas zaman menjawab sekiranya yang benar sekaligus bijak untuk dijadikan pijakan umat. Dari batas ini kita benar-benar merasakan bahwa Islam benar-benar bagian dari keterwakilan kita, agama yang uptodate mengikuti perkembangan zama (Sholihun Likulli Zaman Wa Makaan) Maka dari itu, gagasan budaya harus bisa diaktualisasikan seperti yang telah dilakukan dan muncul dari para Wali dan Ulama terdahulu yang mencoba menerjemahkan Islam agar ide yang terkandung didalmnya dapat dikontribusikan secara langsung dalam memecah permasalahan yang terjadi diantara umat. Hal ini menjadi bekal penting yang bisa dipakai generasi selanjutnya, terbukti di tahun 90-an, muncul gerakan-gerakan ilmu sosial muslim, yang mencoba mengaktualisasikan Islam sesuai zamannya, maka muncullah ide seperti Islam Transformative (Islam Abdurrahman), pribu-
misasi atau kulturisasi islam (Cak Nur dan Gus Dur), Tauhid sosial (Amien Rais), dan Islam Keindonesiaan (Syafii Ma’aarif), dan yang terbaru adalah gerakan yang di nahkodai oleh dua ormas di Indonesia NU (Nahdlatul Ulama) Muhammadiyah, dengan mengusung ide Islam Nusantara dan Islam Kemajuan yang sama-sama mencoba mengaktualisasikan dan merumuskan gaya Islam yang secara khusus terpola di Indonesia. Oleh karena itu dalam era globalisasi agama tidak hanya dipandang sebagai gerakan ritual vertical yang terjadi antara hubungan pribadi hamba dengan Tuhannya, akan tetapi juga mengajak dan membantu dalam mengentaskan masalah sosial secara langsung bersama mewujudkan baldatun thayyaibatun wa rabbun ghofur. Sekaligus wacana tersebut merupakan gerakana akuturisasi antara kultur budaya di nusantara dengan nilai-nilai subtantif Islam, sehingga tidak ada nilainilai yang tumpang tindih yang saling menjatuhakan sehingga nilai-nilai pendahulu menjadi terhapuskan. Maka dari itu berangkat dari falsafah diatas, bangsa Indonesia dapat menunjukan identitas khas “Kenusantaraan” yang diramu dari “kompromi” antara nilainilai budaya sebagai produk yang sekaligus menjadi benteng dalam memfilter gusuran Era Globalisasi yang negative dan dapat memberikan dampak yang positif dalam kehidupan nasional sehingga bangsa kita mempunyai ciri khas tersendiri dalam watak dan tingkah lakunya. *Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah
idealisme adalah pemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. ~TAN MALAKA
KOLOM
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Editorial Maraknya fenomena hijrah di Indonesia turut menyedot perhatian kaum milenial. Pasalnya, hijrah diartikan sebagai makna simbol yang mereka gunakan misalnya busana dan atribut lainnya. Parahnya tren hijrah bahkan menjadi pintu gerbang populisme di Indonesia. Begitu pula dalam memperkenalkan terminologi hijrah melalui kajian. Hingga akhirnya, makna hijrah turut mempengaruhi sikap beragama di kalangan milenial. Akan tetapi, kaum milenial tidak memahami makna hijrah sebagai mana mestinya, mereka hanya melihat hijrah sebagai simbol identitas muslim. Sedangkan makna sebenarnya adalah meninggalkan yang buruk, kemudian digantikan dengan yang baik. Makna berpindah sendiri bukan hanya dari segi pakaian, melainkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim. Benar saja, muncul suatu hal yang menjadi permasalahan dalam dunia berhijrah ketika simbol keislaman mengklaim dirinya benar dibandingkan orang lain. mereka beranggapan, sifat tersebut adalah hasil dari mencintai satu yang sama dengan dirinya dan memusuhi perbedaan yang mereka lihat. Alhasil, kata hijrah pun terjebak hanya pada simbol. Hijrah harus dimaknai secara komprehensif agar tidak terjadi gesekan-gesekan. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman suku, agama, dan budaya. hijrah yang baik adalah bagaimana pemuda itu dapat berperan lebih aktif dalam menjaga perdamaian. Kata hijrah bukan suatu masalah untuk mengikuti tren seperti pakaian syar’i dan lain-lain. Akan tetapi, menjaga sebuah nilai-nilai keragamaan, budaya, suku, dan agama. Sehingga semua kembali pada penilaian masing masing dan mendapatkan toleransi yang kuat.
LPM INSTITUT BUKA PAID PROMOTE INSTAGRAm, LHo! kamu punya jasa atau barang dagang lainnya? buruan
promosi di instagram @LPminstitut dengan 5100 followers ! HUBUNGI: 081287058782 (Herlin)
9
Eksistensi Kitab Kuning di Era Disrupsi Oleh: M. Rifqi Ibnu Masy*
Ciri khas suatu lembaga maupun instansi pendidikan menjadi daya tarik tersendiri khususnya dalam budaya intelektualnya. Dalam hal ini, pesantren hadir dengan kajian kitab kuning sebagai tradisi keilmuan yang tak lekang zaman. Jika melirik fakta sejarah di lapangan, hampir semua pesantren khususnya di pulau Jawa menjadikan kitab kuning sebagai kurikulum pembelajaran wajib sejak puluhan dekade bahkan beberapa abad silam. Mari sejenak menilik sejarah. Sebelum deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, pesantren telah tumbuh subur dan punya peranan besar dalam gerakan revolusi. Dari fakta tersebut, dapat ditarik kesimpulan sistem pembelajaran pesantren khususnya dalam penerapan kitab kuning sebagai bahan studi jauh lebih tua bahkan dengan usia negeri kita tercinta ini. Tidak berlebihan kiranya, kitab kuning menjadi corak tradisi keilmuan Islam di Nusantara. Sebagaimana disinggung di atas, pesantren-pesantren tua di Indonesia telah mewarnai corak keilmuan Islam dengan kitab kuningnya jauh sebelum pendidikan formal ada. Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo di Kediri misalnya, salah satu pesantren tua yang diasaskan oleh ulama karismatik KH. Abdul Karim ini telah menerapkan metode pembelajaran kitab kuning sejak awal berdiri pada 1910 Masehi (M). Metode pembelajaran kitab kuning di Ponpes Lirboyo pun punya daya tarik sendiri. Sistem Sorogan yang dilakukan seorang guru dan santri dengan tatap muka langsung, dimana seorang santri membaca kitab kuning dan gurunya menyimak serta memberikan koreksi. Selain itu terdapat pula Sistem Bandongan dalam mempelajari kitab kuning. Berbeda dengan Sorogan, Sistem Bandongan ini seorang santri hanya menyimak penjelasan kitab kuning yang dibacakan gurunya. Lain dari Ponpes Lirboyo, beberapa pesantren tua seperti Ponpes Tebuireng –didirikan oleh Muasis Nahdlatul Ulama
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 1899 M– dan Ponpes Sidogiri Pasuruan –berdiri pada 1745 M– juga menerapkan sistem yang sama menjadikan kitab kuning sebagai bahan utama pembelajaran. Pesantren-pesantren di atas hanya sebagaian kecil dari ribuan pesantren di Indonesia yang menjadikan kajian kitab kuning sebagai tradisi intelektual pesantren yang dipertahankan dari masa ke masa. Kaitannya dengan kitab kuning, dalam tulisannya Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai kitab kuning sebagai keunggulan tersendiri bagi pesantren yang tidak ada dalam instansi pendidikan lainnya. Lebih lanjut, Gus Dur memberikan penilaian bahwa pesantren mampu memberikan nilai inovatif secara berangsur selama berabad-abad lamanya. Darisana lah, Gus Dur menganggap kitab kuning sebagai asal usul tradisi keilmuan pesantren dan kekayaan tradisi kehidupan pesantren itu sendiri (Gus Dur, 2007: 121129). Literasi Digital Bagi Santri Era distrupsi itu sendiri secara umum dipahami sebagai fenomena ketika masyarakat mengubah aktifitas-aktifitas yang lazim dilakukan di dunia nyata namun sekarang bisa dilakukan di dunia maya. Era ini hadir dalam pelbagai lini kehidupan, baik itu bidang sosial ekonomi, pendidikan, hingga kebudayaan di tengah masyarakat kita. Suka atau tidak, dunia pesantren dan narasi-narasi keagamaan pun turut larut di dalamnya. Hadirnya internet dan maraknya pengguna gawai di Indonesia sebagai alarm bangsa kita memasuki era disrupsi. Dari memesan ojek, makanan, hingga bimbingan belajar pun dilakukan melalui media daring. Di kalangan pesantren kita lazim mengenal istilah al-waqa’i ghair al-mutanahiyah (fenomena sosial yang tidak terbatas). Era disrupsi menjadi bukti fakta fenomena sosial kita terus berubah tak terbatas. Namun di sisi lain, teks-teks keagamaan itu terbatas–al-Nusus al-Mutanahiyah–.Sehingga, kaum pesantren dalam hal ini santri dituntut untuk kreatif dan inovatif menyampaikan nilai keagamaan di tengah fenomena sosial yang terus berubah dan tak terbatas. Era disrupsi menjadi menjadi tantangan sekaligus peluang baru bagi kaum santri untuk menyampaikan narasi-narasi keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam merujuk pada sumber yang tepat. Era disrupsi menghadirkan kemudahan bagi kita, namun di sisi lain dampak negatif juga turut hadir. Sekarang siapapun bebas berbicara agama di me-
dia sosial tanpa landasan dan tuntunan, tentu hal tersebut dapat merusak tatanan keagamaan pada masyarakat kita. Yang menjadi perhatian sekarang, bagaimana ajaran kitab kuning sebagai sumber referensi keilmuan santri dapat berperan mengisi ruang-ruang media sosial. Melihat angka pengguna internet berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pada tahun 2018 pengguna internet di Indonesia mencapai 171,18 juta jiwa, angka tersebut mencapai 64,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Bahkan di tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-5 pengguna internet terbesar di dunia di bawah Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Brazil. Masyarakat kita, khususnya pengguna media sosial berhak mendapatkan ajaran keagamaan yang benar. Menjadi tanggung jawab santri tentunya, kaum milenial yang melek teknologi dan paham ajaran agama untuk menghiasi beranda-beranda media sosial dengan kajian-kajian keagamaan dengan sumber yang tepat, Min al-Nass ila al-Waqi’ bagaimana menghadirkan teks keagamaan menuju realitas sosial. Untuk menjawab pelbagai permasalahan di atas, pemahaman literasi digital bagi santri bisa menjadi solusi. Simpelnya, literasi menurut Ricard Lanham kemampuan untuk membaca dan menulis–the ability to read and write–. Lebih jauh Lanham mendefinisikan literasi sebagai keampuan untuk memahami pelbagai informasi dari manapun datangnya –the ability to understand information however presented–. Sedangkan literasi digital menurut Paul Gilster dalam bukunya Digital Literacy sebuah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai bentuk dan sumber yang diakses melalui internet –the ability to understand and use information in multiple formats from a wide variety of sources when it is presented via computers and, particularly, through the medium of the Internet–. Dengan demikian, santri harus mampu membawa kandungan ilmu dalam kitab kuning ke dunia maya. Sebagai contoh, kajian kitab Ihya Ulumuddin secara daring di media sosial oleh KH. Ulil Absar Abdallah. Selain itu, digitalisasi kitab-kitab kuning juga perlu dilakukan di era disrupsi ini. Selain dalam bentuk cetak, kitab elektronik–e-book–juga perlu di sebabar luaskan di pelbagai platform media daring. Maktabah Syamilah bisa menjadi contoh digitalisasi kitab kuning. Dengan demikian penulis menyakini kitab kuning akan terus eksis sebagai identitas keilmuan santri di era disrupsi. *Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatul-
kunjungi lpminstitut.com Update terus berita kampus!
10
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Entitas Kehidupan Pemulung Foto oleh Komunitas Mahasiswa Fotografi KALACITRA Teks oleh Ika Titi Hidayati (LPM Institut)
Terik matahari dan bau tak sedap menusuk hidung dari setiap sudut. Tampak para pemulung sedang memunguti sampah-sampah yang berada di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Bantargebang, Bekasi. Keberadaan tempat pembuangan sampah ini ternyata tidak selalu menimbulkan kesan negatif. Justru dengan adanya keberadaan tempat pembuangan sampah tersebut membawa berkah bagi para pemulung yang berada di sekeliing TPS Bantar Gebang. Setiap harinya para pemulung ini bergulat di antara kerumunan lalat yang berasal dari gundukan sampah. Berbekal keranjang yang terbuat dari anyaman bambu kemudian di tempatkan di atas pundak untuk dapat menampung kuantitas sampah lebih banyak. Tak lupa perlengkapan lainnya seperti sepatu boots dan topi mereka kenakan. Para pemulung turun menyusuri tumpukan-tumpukan sampah untuk kemudian dikumpulkan di atas keranjang yang mereka bawa. Bagi mereka, sampah adalah harta karun. Pundi-pundi uang dapat diraup bergantung dari banyaknya sampah plastik yang mereka peroleh. Demi secarik uang bau menyengat dan kotoran yang berserakan tak lagi dihiraukan. Pemulung hidup dalam lingkaran sampah yang kumuh. Tempat kumuh tersebut terkesan tidak sehat dan menjadi gaya hidup bagi para pemulung.
TUSTEL
Ulik Pergerakan Mahasiswa Masa ke Masa Muhammad Silvansyah Syahdi M. syahdi.muharam@gmail.com Relevansi demonstrasi sebagai bentuk pergerakan mahasiswa kerap dipertanyakan. Terlebih lagi, tantangan beriring muncul di era Revolusi Industri 4.0.
Senin—Selasa (23—24/9), mahasiswa dari berbagai daerah turun ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI). Mereka melakukan demonstrasi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itulah puncak dari aksi mahasiswa #ReformasiDikorupsi. Seiring berkembangnya zaman, pergerakan mahasiswa tentu tak bisa dikatakan sama lagi. Kondisi sosial politik saat ini jelas berbeda dengan saat pergerakan mahasiswa tahun 1998. Untuk mengulik hal tersebut, maka Reporter Institut Muhammad Silvansyah Syahdi Muharram mewawancarai salah seorang Mantan Aktivis 1998 Tubagus Ace Hasan Syadzily yang juga merupakan Presiden Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta Periode 1998—2000. 1. Apakah pergerakan mahasiswa dulu dan sekarang masih memiliki misi yang sama? Sejatinya, mahasiswa memang merupakan salah satu alat kontrol terhadap pemerintahan. Mereka menjadi bagian dari kelompok strategis atau civil society yang juga mengontrol pihak-pihak lain dalam hal pengambilan kebijakan publik. Tentu, semangat mahasiswa yang memiliki peran tersebut saya kira seharusnya sama sampai kapan pun walau mungkin
latar sosial dan politiknya berbeda. Mahasiswa ang k at a n 1 9 9 8 secara kritis melakukan hal tersebut karena situasi sosial politik yang mengharuskan. Terutama, sistem pemerintahan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa dan nyaris tanpa kontrol dari lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Demokrasi hanya omong kosong karena semua kekuatan politik dan kebijakan tersentralisasi. Terlebih lagi, gerakan mahasiswa dibungkam dan mereka dicengkram oleh negara. Saat ini, latar politiknya agak berbeda dengan tahun 1998. Perbedaan itu terletak pada gerakan mahasiswa yang lebih bebas untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan publik. Apalagi saat ini, semua lembaga-lembaga demokrasi dari mulai eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya relatif telah menjalankan fungsi dengan baik. 2. Bagaimana pandangan Anda dengan Aksi Mahasiswa #ReformasiDikorupsi di Gedung DPR RI pada 23—24 September 2019?
Menurut saya, itu hak mahasiswa. Kami mengapresiasi mahasiswa yang melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan yang dinilai tidak baik atau tidak tepat oleh mereka. Namun kalau kita lihat, isu yang diangkat dalam demonstrasi pada saat itu ada berbagai macam. Secara substansi, kalau semisal kita menolak terhadap RUU KUHP, itu artinya mengembalikan KUHP yg lama—buatan Belanda yang lebih represif. Oleh karena itu, menurut saya isu yang diangkat harus lebih spesifik dan didalami hal apa yang perlu diprotes. 3. Apakah pergerakan mereka sesuai dengan cita-cita Reformasi 1998? Kalau itu tergantung pemahaman kita—terhadap UU KPK misalnya. Saya katakan bahwa jelas UU KPK yang direvisi tersebut sama sekali tidak memberhentikan KPK. Saya mema-
Kilas
hami revisi tersebut justru ingin memperkuat kredibilitas KPK. Karena selama ini, tidak ada kontrol KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi secara internal. Oleh karena itu, ada dewan pengawas. Sebetulnya, itu isu yang harusnya dipahami oleh banyak pihak terutama mahasiswa—apakah penting atau tidak yang namanya dewan pengawas tersebut? Kalau soal isu RUU KUHP, isu apa yang ingin kita kritisi? Toh, RUU KUHP juga sudah ditunda. 4. Bagaimana siklus pergerakan Mahasiswa Ciputat? Proses gerakan mahasiswa pada 1998 di Ciputat saat itu diwarnai oleh munculnya kelompok-kelompok studi. Kelompok studi itu lah yang selama ini menggodok berbagai isu, mengetahui tentang hal yg harus kita idealkan dalam konteks negara demokrasi. Kami sendiri waktu itu melakukan penggalangan kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru yang sangat otoriter. Saya tidak tahu dalam konteks Mahasiswa Ciputat yang hampir selama 20 tahun tertidur sejak pascareformasi dan justu sekarang tiba-tiba bangkit. Akan tetapi tentu, kritik saya yang paling penting adalah bahwa setiap mahasiswa pun juga harus memiliki kemampuan untuk mengkaji berbagai isu secara mandalam. Jangan sampai informasi yang didapatkan dari isu yang diangkat dalam demonstrasi jelas tidak memiliki argumentasi yang
kuat. 5. Bagaimana tantangan pergerakan mahasiswa di era Revolusi Industri 4.0? Saya selalu mengingatkan agar kita melek literasi politik. Sekarang ini, hampir semua di antara kita sudah menggunakan gadget. Dunia ada dalam genggaman, berbagai informasi sangat cepat didapat sebagai konsekuensi dari Revolusi Industri 4.0. Kita harus betul-betul menjaga kemampuan untuk menyeleksi berbagai informasi agar tidak terjebak ke dalam informasi yg bertendensi pada hoaks. Maka dari itu, saya pribadi tentu berharap untuk mahasiswa mengedepankan semangat akademik dan intelektual. Supaya nantinya, isu yang mereka angkat bukan semata-mata informasi sepihak dari media sosial, tetapi berdasarkan informasi yang utuh. Tantangan kita adalah bagaimana memanfaatkan Revolusi Industri 4.0 ini dengan penggunaan teknologi yang tepat. 6. Harus apa dan bagaimana pergerakan mahasiswa ke depannya? Saya kira, hal yang paling penting adalah gerakan mahasiswa tetap menjadi kekuatan kritis yang mampu menjadi gerakan moral bagi perbaikan bangsa ini. Namun demikian, tentu tidak asal menyampaikan pendapatnya yang kritis, tetapi juga harus didasarkan pada informasi yang akurat, data-data yang mendalam, juga kajian-kajian yang tajam. Sehingga dari situ, akan melahirkan formulasi isu dari gerakan yang tepat dan sesuai dengan konteks demokrasi saat ini.
Kilas
Penggiat Kajian Islam AICIS Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ialah konferensi internasional bagi para peminat kajian agama Islam yang diadakan Kementerian Keagamaan di bawah Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. Acara ini diselenggarakan pada 1 hingga 4 Oktober 2019 di hotel Mercure Batavia Jakarta. Dengan dihadiri 300 peserta dari berbagai panel, yakni invited panel, open panel, dan extended panel. AICIS tersebut memiliki tema 40 panel, masing masing panel terdiri dari 4 atau lima orang. Alhasil, puluhan akademisi turut partisipasi meramaikan AICIS ke-19. Dari abstrak yang dikirimkan melalui laman daring AICIS ke-19, difasilitas
mempresentasikan hasil temuan. Dengan berbagai macam tema, 300 partisipan tergabung dalam 40 kelompok. Salah satu partisipan Dadi Darmadi terpilih sebagai chair dengan abstrak berjudul The Consumption of Mecca: Umrah Pilgrimage Among Indonesians yang memimpin kelompok dengan topik fenomena hijrah. “Dalam kelompok ini tema dan judul diambil tentang umroh serta haji dll yang relevan dijadikan satu kelompok,” ucapnya, Jumat (18/10). Nurul Dwiana nurull.dwiana@gmail.com
11
Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Instituters
WAWANCARA
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
12
RESENSI
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Bumi Manusia: Perlawanan Menghapus Feodalisme Sefi Rafiani serafiani@gmail.com Berada dalam kasta sosial tinggi tak membuat Minke terbebas dari masa-masa sulit. Bahkan, ia harus berjuang menuntut keadilan bagi diri, mertua, dan bangsanya.
Judul Tahun Genre Sutradara Durasi
Tiada kisah seperih romansa masa lalu, sebuah peradaban kolot jauh dari kata kemajuan. Perbedaan kasta, budaya, bahasa, idealisme hingga gagasan kerap saling beradu. Era kolonial selalu menampilkan torehan luka pada nilai kemanusiaan. Inilah yang dirasakan Minke seorang pemuda pribumi Jawa tulen yang jatuh hati kepada seorang gadis cantik keturunan Indonesia-Belanda. Pertemanan Minke dengan Robert Surhof—teman sekolah di Hoogore Burgerschool—mengan: Bumi Manusia tarkannya berjumpa : 2019 dengan sosok gadis pujaan : Drama, Sejarah hatinya. Sebut saja Annelies : Hanung Bramantyo Mellema, gadis ayu kepu: 181 Menit nyaan Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Selain bertemu dengan Annelies di Boerderij Buitenzorg sebuah perusahaan pertanian, Minke
juga bertemu dengan ibu kandungnya. Berada dalam golongan pribumi dengan kasta sosial tinggi, Minke sebenarnya bebas melakukan apa saja yang ia mau, termasuk dalam hal pergaulan. Ia bebas bergaul dengan siapapun yang ia pilih. Namun, sebagai pribumi yang terpandang, Minke justru berhadapan dengan masa-masa sulit. Masa sulit tersebut muncul saat Minke begitu dekat dengan Annelies sosok gadis yang telah menyalakan api asmara. Namun siapa sangka, Annelies terlahir dari rahim gundik orang Belanda. Lain halnya dengan apa yang dirasakan Minke, Annelies merupakan seorang anak yang begitu mengagumi ibunya sendiri, Nyai Ontosoroh. Baginya menjadi seorang pribumi yang utuh dan menikah dengan seorang pribumi adalah impian luhur. Hadirnya Minke menjadi oase kala dahaga cinta menimpa Annelies. Adapun Nyai Ontosoroh merupakan seorang istri simpanan Herman Mellema sehingga dinilai negatif oleh lingkungannya. Pada masa kolonial, budaya feodal masih mengakar kuat. Posisi nyai atau gundik orang asing mempunyai harga diri rendah dan juga dipandang sebelah mata. Derajat seorang nyai tak berbeda jauh dengan binatang peliharaan. Be-
runtung, Nyai Ontosoroh dididik dengan pengetahuan serta manajemen yang baik oleh suaminya sendiri. Tak ayal hal itu membuat perusahaan pertanian milik Mellema semakin berkembang pesat. Minke menganggap Nyai Ontosoroh layak untuk memiliki posisi terhormat. Bukan soal status sosialnya, namun karena gagasan-gagasan yang ada di kepalanya. Kedekatan Minke dengan Nyai Ontosoroh membuka pandangan tentang dunia Eropa baginya. Di tunjukan pada saat itu, Eropa dengan kekayaan intelektual belum mampu menjamin menempatkan hak-hak manusia dengan layak dan pantas. Meskipun ditentang ayahnya, Minke percaya masih ada hal-hal baik yang dapat mengubah bagaimana cara seseorang melihat sosok Nyai. Kematian Herman Mellema menjadi tanda tanya besar bagi setiap orang. Kesedihan pihak keluarga Annelies tak hanya karena kematian ayahnya tersebut. Berbagai fitnah didapatkan Nyai Ontosoroh saat di pengadilan, ia dituduh sebagai pembunuh suaminya sendiri. Masalah tersebut selesai, muncul lagi masalah baru. Konflik
makin rumit ketika nyai harus memperjuangkan hak-haknya di ranah kehidupan feodal. Nyai tak diakui oleh pengadilan sah tentang kepemilikan Annelies. Ia dihujat dan digunjingkan di tanah kelahiran sendiri oleh kaumnya. Film yang diadopsi dari karya Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan perjuangan Minke seorang pribumi yang menuntut keadilan bagi diriya, mertua, dan bangsanya. Perjuangan yang akhirnya meruncing menjadi pertentangan antara Hukum Eropa dan Hukum Islam. Hukum Eropa sebagai sebuah tatanan aturan yang dianggap ‘beradab’ dan ‘modern’ ternyata tak lebih dari sekadar hukum yang menjerat dan menyengsarakan. Dengan durasi 180 menit, film yang digarap oleh Sutradara Hanung Bramantyo ini berhasil membuat penonton ikut merasakan kisah perjuangan Minke terhadap cintanya dan kesetaraan kaumnya. Perjuangan tersebut harus mundur tatkala pengadilan Eropa memutuskan untuk mencabut hak asuh Nyai Ontosoroh terhadap Annelies. Alhasil Annelies harus kembali ke Belanda dan diasuh oleh pihak keluarga Herman Mellema.
Fenomena Pendidikan Sarjana Kertas Nurul Dwiana nurull.dwiana@gmail.com Ketika IPK tinggi, cumlaude, serta membanggakan ijazahnya menjadi hal belum tentu dipelukan di luar kampus. Sementara, soft skill yang dibutuhkan untuk berkarya dan menunjang kehidupan di masa depan.
Pendidikan menjadi buah bibir yang sering diperbincangkan di berbagai kalangan. Dikarenakan pendidikan menyangkut masa depan generasi mendatang. Namun, masalah pendidikan tak kunjung diselesaikan. Pada buku J. S. Khairen yang berjudul Kami Bukan Sarjana Kertas memuat kritik terhadap pratik pendidikan Indonesia selama ini yang dinilai bermasalah. Dalam Novel J. S. Khairen, ia mengisahkan tentang kehidupan para mahasiswa Universitas Eka Daulat Laksana yang biasa disebut UDEL. Mereka merupakan orang yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah. Dengan alasan yang bermacam-macam mereka pun masuk UDEL. Seperti tidak mampu bersaing di kampus negeri, kurangnya biaya dari orang tua, dan beragam masalah lainnya yang menerpa para mahasiswa tersebut. Pada hari pertama di kampus tersebut, mereka tidak langsung kuliah, tidak pula ospek. Melain-
kan para mahasiswa tersebut dikumpulkan ke dalam kelas bimbingan konseling hingga lulus dan menyandang gelar sarjana. Dari sinilah kisah 7 mahasiswa tersebut bertemu. Ogi, Randi Jauhari alias Ranjau, Arko, Gala, Sania, Juwisa dan Catharine dipertemukan dalam satu kelompok yang dibimbing Bu Lira, selaku dosen dan anak pemilik yayasan UDEL. Kelak peran Bu Lira sebagai dosen konseling yang selalu memberi semangat serta pembelajaran makna kehidupan bagi ke tujuh mahasiswa tersebut menjadi kunci keberhasilan meraka walaupun dengan cara-cara absurd. Seperti menebar tikus dalam kelas jika dilihat tikus itu tidak lebih menjijikan daripada dunia nyata serupa potret yang dicontohkan Bu Lira. Di sisi lain, Ogi merupakan mahasiswa yang kuliah lantaran keterpaksaan, kalau saja bukan hasil bujuk rayu sahabatnya Ranjau serta Babenya yang hutang emas demi satu bangku di pergu-
ruan tinggi. Atas dasar ikut-ikutan pun Ogi mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi yang sama dengan Ranjau. Hingga mereka bertemu dengan Arko yang nyatanya satu jurusan jadilah mereka tiga sekawan. Hingga tibalah Ujian Tengah Semester dan Ogi tak mampu mengisi lembar jawabannya. Akhirnya Ogi pasrah dengan hasil IPK 1,83 yang akan di Drop Out apabila tak mencapai 2,50 dalam dua semester. Kabar IPK Ogi anjlok terdengar sampai ke telinga Bu Lira. Menurut Bu Lira, Ogi hidup harus seperti kecoak spesies yang bisa bertahan hidup bertahan dari gempuran hal-hal berbahaya. Nasihat tersebut sampai ke relung hati Ogi. Lambat laun Ogi mulai berubah. Sayang, nasib buruk menimpanya. Ogi malah terpengaruh dengan narkotika. Ia mengkonsumsi narkoba hingga matahari terbit ia baru pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia mendapati Babenya yang telah meninggal dunia. Kejadian ini membuat Ogi merasa terpuruk terhadap masalah yang menimpanya. Ogi berusaha mengakhiri hidupnya. Namun usaha tersebut digagalkan oleh para sahabatnya. Bangun dari keadaan tersebut, Ogi yang telah DO dari kampusnya melanjutkan hidupnya. Ia bekerja sebagai tukang bengkel
untuk menghidupi Emak dan adik-adiknya seperti mendiang Babenya. Dari hidup yang semrawut, tak sengaja Ogi bertemu dengan Miral anak rantau yang berkuliah di kampus bergengsi sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Ogi yang sedikit bisa dalam programmer secara otodidak mengajak Miral untuk tinggal di rumahnya dengan balasan mengajarkan semua tentang pengaplikasian perangkat komputer maupun website. Giat Ogi ini mencapai hasil dengan keahlian tersebut, ia pun diterima perusahaan Alphabet inc yang membawahi Google. Berbanding terbalik dengan Ogi, Ranjau yang menyelesaikan kuliahnya hanya butuh waktu tiga setengah tahun. Dia pun lulus paling cepat serta cumlaude di antara teman seperjuangannya. Suatu prestasi yang membanggakan, namun Ranjau merasa tidak puas karena ia tak mempunyai kemampuan serupa Ogi dan Arko. Dalam buku ini, J. S. Khai-
ren sebagai penulis fiksi mampu mengalirkan cerita tentang fenomena yang dialami mahasiswa serta civitas academica. Drama dalam buku Kami Bukan Sarjana Kertas yang kental dari kehidupan sehari-hari bagi pembaca. Pembawaan setiap karakter yang mempunyai masalah pelik sama seperti pernah dialami diri kita sendiri.
: Kami (Bukan) Judul Sarjana Kertas : J. S. Khairen Penulis hlm Jumlah Halaman : 355 br : Fe uari 2019 Terbit
SOSOK
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Muda, Berkarya, dan Berprestasi
13
Herlin Agustini herlinagustini97@gmail.com
Menggeluti bidang ekonomi, bukan berarti menutup peluang untuk berakrier di bidang lain. Seperti profesi yang dijalani oleh Aditya Widya Putri saat ini. Lulusan Akuntansi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta enam tahun silam, kini ia terjun di dunia jurnalis. Sebuah profesi yang justru bertolak belakang dengan jurusan yang diambil selama menempuh bangku formal perkuliahan. Wanita kelahiran Semarang ini, mulanya menggeluti dunia jurnalistik hanya untuk mendapatkan uang tambahan. Namun seiring berjalannya waktu, lomba-lomba yang Aditya ikuti memperoleh juara, dari situlah ia merasa menemukan passion-nya di bidang jurnalistik. Selain itu, menjadi seorang jurnalis merupakan kebanggaan tersendiri ketika karyanya dihargai dan diapresiasi. “Walaupun tidak besar, namun saya senang menjalaninya,” ujar Aditya, Senin (7/9). Kecintaan Aditya terhadap dunia jurnalistik kemudian menghantarkannya menjadi salah satu penerima penghargaan Has-
san Wirajuda Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Awward (HWPA). HWPA adalah bentuk apresiasi yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) kepada pihak-pihak yang berperan dalam upaya perlindungan WNI. Keahliannya sebagai penulis mild report – sejenis laporan semi feature berbasis data jurnalistik – di media digital, Tirto. id. Adit melakukan investigasi di Entikong, di mana ia mengamati tentang berbagai kejadian di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia di Entikong, yakni perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia. Dari investigasi tersebut menghasilkan berita berjudul Petugas PLBN Entikong: Demi Indonesia Kami Bertaruh Nyawa semasa melaksanakan cuti ke Entikong. Awal mula Aditya Widya Putri pergi ke Entikong untuk liburan pribadi, namun pada saat mengajukan cuti ia diminta untuk melakukan riset atau observasi lapangan tentang situasi di perbatasan Entikong. Sesampainya di Entikong, ia mulai
Foto: Dokumentasi Pribadi Aditya Putri
Meskipun Aditya Widya Putri lulus sebagai mahasiswi akuntansi, namun ia kompeten dalam bidang jurnalistik. Tak hanya terampil, Adit juga mampu membawa pulang penghargaan bergengsi HWPA 2019 yang diselenggarakan oleh Kementrian Luar Negeri.
mengirim electronic mail (email) ke birokrat-birokrat yang ada di sana. Setelah melakukan observasi dan wawancara, Aditya menemukan fakta-fakta di lapangan dan menulisnya, yang pada akhirnya tulisan tersebut mendapat penghargaan. Awalnya, Aditya tidak percaya ketika sebuah isi email menyatakan tulisannya tentang investigasi di perbatasan Entikong mendapatkan penghargaan. “Saya tidak pernah merasa mengirim tulisan,” tutur Aditya, Senin (7/9). Usul punya usul, ternyata HWPA menyeleksi para
kandidat dengan melakukan penelitian dan penyaringan tanpa sepengetahuan kandidatnya. Penghargaan yang pernah diterima Aditya tak berhenti di situ. Beragam penghargaan dalam berbagai kategori pun sudah pernah Aditya raih, antara lain The Best Graduate for Health and Nutrition Journalist Academy – winner (AJI – Danone), “Bisnis Limbah Rumah Sakit” 2017, Winner of Followship Awward Raja Ampat (SISJTNC)- “Perdagangan Sirip Ikan Hiu” 2018, Winner of Followship Participant (FAO-KBR Antara)
“Penyakit Zoonosis” 2019, dan beberapa penghargaan lainnya. Tulisan-tulisan yang mendapat penghargaan tersebut adalah tulisan jenis tulisan investigasi. Naik jabatan dan memenangkan sebuah penghargaan diakui oleh Adit menjadi sesuatu yang penting. Akan tetapi menurutnya proses untuk mendapatkan tujuan itu justru jauh lebih penting. “Hal terpenting ialah prosesnya dalam mendapatkan ilmu dan pengalaman baru,” tutupnya.
Komunitas Rempah Untuk Sejarah
KOMUNITAS
Herlin Agustini herlinagustini97@gmail.com
Berangkat dari kegelisahan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yakni Firman Faturohman, Endi, Dirga, Mulki, Tati, Hana, Wilda, Indi, danYeni akhirnya membentuk sebuah komunitas untuk para penggiat sejarah. Komunitas ini mereka namakan Komunitas Rebukkan Penggiat Sejarah (Rempah) yang didirikan sejak 2015. Salah satu pendiri Ketua Komunitas Rempah Firman Faturohman mengatakan bahwa ia merasa lingkungan akademis tidak terbina lagi dalam lingkungan kerjanya. Hal tersebut yang mendorong dirinya dan delapan teman yang lain membentuk Komunitas Rempah. Firman khawatir bila ilmu yang mereka dapatkan di bangku kuliah perlahan-lahan hilang. “Ketika libur waktunya hanya untuk istirahat, nah dari situlah ada kegun-
dah-gulanaan,” tuturnya, Selasa (8/9). Gagasan awal berdirinya Komunitas Rempah ini berawal dari sebuah kelompok diskusi yang latar belakangnya anak-anak sejarah di UIN Jakarta. Di mana, di tahun 2011 mereka sering mengadakan diskusi bersama secara rutin di lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta. Salah satu kegiatan rutin Komunitas Rempah adalah diskusi yang diadakan setiap hari Jumat di jam 17.00 WIB. Selain itu, kegiatan dari komunitas ini yaitu mengunjungi situs-situs bersejarah seperti museum yang berada di daerah Tangerang Selatan.“Kita tinggal di Tangerang, tapi kok tidak tahu tempat-tempat sejarah yang ada di Tangerang,” ujar Firman Faturohman saat ditemui di tempat kerjanya di Museum Bahari, Selasa, (8/9). Tujuan utama dari komunitas ini adalah sebagai wadah untuk
mengenalkan sejarah pada generasi-generasi muda dan berbagi pengetahuan tentang sejarah. Lebih lanjut, komunitas ini juga menyediakan ruang untuk mahasiswa yang ingin konsultasi tugas kuliah maupun tugas akhir secara gratis. Komunitas Rempah akan memberikan arahan terkait beberapa sumber dan beberapa topik yang menarik untuk diambil kepada mereka yang ingin konsultasi. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak mahasiswa yang ingin bergabung dengan komunitas Rempah. Selain karena tertarik dengan kegiatan dari Komunitas Rempah untuk bergabung dalam komunitas ini tidak ada syarat-syarat tertentu, Komunitas Rempah juga terbuka untuk umum. Komunitas Rempah juga pernah menyelenggarakan Free Photo Contest yang bertajuk “Menjarah: Menelusuri Jejak Se-
Foto: Dokumentasi Komunitas Rempah
Komunitas Rempah merupakan wadah pemuda berlatar belakang sebagai mahasiswa di bidang sejarah. Akan tetapi Komunitas Rempah juga mengajak para pemuda selaku Bangsa Indonesia untuk lebih sadar dan peduli akan sejarah.
Komunitas Rempah photo bersama dengan pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi hari (21/7/18). Kegiatan Komunitas Rempah yaitu melakukan kunjungan ke museum.
jarah” Kota Tangerang Selatan. Di mana dalam event ini adalah lomba foto di tempat-tempat bersejarah yang ada di kota Tangerang Selatan. Firman mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat dan generasi muda saat ini sedang mengidap penyakit amnesia kolektif. Ia berpendapat bahwa masyarakat saat ini lupa bahwa mereka memiliki identitas. “Masyarakat lupanya berjemaah, jadi kalau tidak belajar dari se-
jarah dari mana lagi?” tuturnya, Selasa (8/9). Oleh karena itu, dengan adanya Komunitas Rempah, Firman Faturohman sebagai salah satu founder dari mempunyai harapan besar. “Jangan sampai lupa pada sejarah, kita harus bangkit, kita harus sembuh dari penyakit amnesia kolektif ini. Jangan sampai sampai kita terasing di negeri sendiri,” ucapnya saat ditanya tentang harapan kedepannya, Selasa (8/9).
14
SASTRA
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Pengangguran Oleh: Ikhlashul Amalludin*
S
emburan asap knalpot siang ini mengingatkanku, bahwa kota ini masih sama seperti biasanya, sesak padat dan angkuh. Sebagai ibu kota negara, Bakarta memang sangat maju: melesat jauh sampai tega meninggalkan kota lain di sekitarnya. Ia memonopoli budaya kota modern, teknologi canggih, roda ekonomi, peradaban elite, bahkan kata orang “sukses” pun di sana! Hanya di Bakarta! Masih kata orang, hidup di Bakarta itu cuma buat manusia pilihan saja. Kau yang gagal melewati seleksi alam hanya akan jadi gelandangan. kau perlu kepandaian biar gak dibohongi orang pake macem-macem. Kau perlu relasi kenalan buat loncat sana sini di antara gemunung gedung, layaknya bajing. Kau perlu uang agar jadi yang berpengaruh, atau setidaknya tak bakal terinjak. Ahh, persetan kata orang, aku pun tetap ingin mencicipnya. Tak peduli mereka bilang apa, toh yang aku butuhkan sekarang ada tempat di kota ini yang mau menerima lamarankerjaku, segera. Aku terus berjalan. Entah dari kapan aku susuri sayap jalanan Bakarta sambil berharap sepotong roti jatuh dari langit. Sudah banyak tempat kulamar pekerjaan, jawaban pun tak kunjung mesra: penolakan. Aku tidak menerima penolakan, apapun bentuknya. Tapi saat ini, apa mungkin aku lolos darinya? Ya, aku hanya rakyat biasa yang membutuhkan kerja. Manusia memang perlu bekerja agar tak bergelar mayat hidup. Jadi masih kuteruskan pencarian roti itu di bawah kolong langit Bakarta ini: “Permisi, ada lowongan kerja ngga, Pak?” sapaku menyalami satpam penjaga “Wah, mas, maaf. Lagi gak nerima lowongan, kalo ada juga kita umumkan di website resmi online,” sahutnya menjawab “Oh begitu yah pak, kira-kira kapan itu Pak?” “Loh ya mas tunggu aja sampai ada pengumumannya nanti!” Nadanya mulai mengusir. “Gimana nunggu pengumuman onlinenya Pak?” Entah pertanyaan macam apa ini, aku bingung. “Mas gimana sih? Ya cari aja di internet nama perusahaan kita. Kunjungi website resminya, tunggu deh sampai keluar informasinya,” kali ini nadanya merendahkan. Aku memang tak pandai perkara internet online begitu. Sinyal pelecehan dalam semprotan katanya pun kutangkap, tapi aku bisa apa? “saya titip berkas ini dulu boleh Pak?” masih mengharap.
“Percuma mas, gak bakal kepake, Mas coba cari di tempat lain aja!” Maksudnya jelas mengusir. “Baik, Pak. Terima kasih,” merespon usiran tanpa dapat jawaban. Menunggu selalu tidak menyenangkan, menunggu online pula. Tapi apalah daya, kemajuan zaman dengan segala eksesnya telah menghantarkan manusia ke perubahan sedemikian rupa. Hanya orang dungu yang alergi perubahan dan tak mau menyesuaikan diri: kolot. Aku sendiri bisajadi bagian dari barisan orang kolot itu. Sampai saat ini aku memang masih belum pandai menggunakan teknologi online. Kampungku terlalu dalam. Jangankan mengenal teknologi canggih semacam itu, bisa menelpon keluarga di kampung dari kota pun rasanya istimewa. Susah Sinyal. Ah Bakarta, teganya kau semaju ini! Lamaran masih kubawa, entah ke mana lagi raga menuju. Matahari makin perkasa menyombongkan sengatnya. Aku perlu bersimpuh. Atau paling tidak berteduh. Tapi ke mana? aku butuh tujuan. Karena tanpa tujuan, hidup itu sendiri adalah kebingungan. Aku tersasar bingung. Seruan azan Zuhur setidaknya menjawab ke mana harus menuju: Masjid. Sepengalamanku, memang itu tempat terbaik dalam bingung. Masuknya gratis! Aku bisa mengadu ke Tuhanku segala perkara kebingungan dalam hidup. Atau aku juga bisa datang kepadaNya dalam keadaan senang. “Tapi kenapa masjid seringkali sepi dijamah orang?” Sesekali hatiku bergumam, ah mungkin hanya sedikit manusia bingung. Lepas sembahyang, aku masih khusyu’ berdoa. Memang jauh lebih tenang. Aku masih punya Tuhan, Allah Yang Maha Mengatur. Ustaz di Surau Kampung bilang, “Doa itu senjata terampuh kaum muslimin, berdoalah.” Tapi aku sadar, senjata tiada berarti jika hanya disimpan. Kau perlu menggunakannya, dengan usaha. Buktinya aku sering berdoa, dan masih saja pengangguran. Seperti sekarang ini. Mungkinkah usahaku belum sempurna? atau malah senjataku yang tumpul dari sananya? Aku lelah. “Mas, bangun mas,” entah suara dari mana mengguncang ketenanganku. “Ehh iya Pak, gimana?” Tak terasa kepalaku pening. Lelaki tua di hadapanku berdiri mengoyak mimpiku. “Maaf jangan tidur di dalam Masjid mas, dilarang!” peringatannya menembus kantuk. “kalo masih mau tidur silahkan di luar
saja Mas, di teras Masjid.” “Subhanallah. Maaf Pak, gak sengaja saya ketiduran. Mungkin lelah sampai gak kerasa lagi doa terus ketiduran,” aku berdalih. Hati jengkel sebab orang ini merusak istirahatku. “Oh iya ngga apa-apa, silakan Mas keluar. Kalo gak wudhu aja dulu.” “Sudah mau Ashar yah Pak?” “Barang setengah jam lagi, mas.” “Masnya mau ke mana?” Interogasinya berlanjut. “Entahlah Pak, saya lagi cari kerja, tapi belum nemu tempat yang mau nerima saya. Waktu zuhur saya solat, dan ternyata saya ketiduran sampe bapak bangunin saya tadi. Mungkin abis asar saya pulang ke kontrakan aja, capek dari pagi muter-muter” seketika kata-kata berhamburan dari pangkalnya mencurahkan kegundahan hati. “Oh lagi nyari pekerjaan tah. Pengangguran dong” Hey Pak, Tak perlu kau sebut gelarku! Hati berontak mendengar sebutan itu. Tapi mulutku ternyata masih bersandirwara. “hehehe iya nih Pak, butuh kerjaan” tak lupa tunggingan senyumanku membalas “kalo gitu Masnya nanti ngikut maulidan aja di sini, sekalian dengerin ceramah pak ustaz Abdul abis itu. Kan lagi senggang. Siapa tau nanti rejeki Mas bisa dilapangkan. Dan barangkali jadi lancar, dimudahkan urusannya, semoga.” kali ini sambil ia duduk di sebelahku. “Ah bapak ini, tapi saya udah ingin tidur di Rumah. Mungkin lainkali saja. Biar habis Asar nanti saya pulang, kebetulan saya pengin beli sesuatu” jelas ini omongkosong. Aku hanya berkilah, ia seolah ingin mengintimidasi kesengganganku. “Oh begitu. Tapi mau sholat Asar di sini dulu kan?” Bapak ini terus menginterogasi. “Eh? iya Pak, tanggung rasanya kalo keluar sekarang” sahutku malas “Nah bagus kalo begitu. Mas luangkan waktu buat beritikaf saja dulu, lagian Masnya juga lagi senggang.” Ahh bapak ini, 2x dia menyebut gelarku. “lagi senggang.” Kan itu katalain dari “lagi nganggur!” dan lagi, mau sampai kapan dia ceramah? “Hahaha iya Pak, ada betulnya juga” basa-basiku menjawab. “Kenalan Mas, saya Amar” tangannya yang kurus hitam kecoklatan menjulur ke arahku, menagih jabattanganku. “Nama Masnya siapa?” “Oh saya Bagus” segera kujawab uluran tangannya dengan
tanganku berikut kupaksakan tersenyum semanis mungkin. “Bapak sendiri dari mana?” “Saya tinggalnya di Bojur. Emang sengaja dari rumah pengen ngunjungin maulidan nanti” “Oh bapak jamaah Masjid di sini?” “Bukan Mas.” “Loh kok mau dateng jauhjauh begini dari rumah Pak?” “Iyah Mas, saya ngefans sama ustaznya. Beliau selalu jadi panutan saya dalam hidup, terkhusus waktu saya lagi di masa-masa sulit. Ceramah dari beliau bener-bener bikin saya tenang dan yakin. Saya sedang proses mau berhijrah” Pak Amar terkesan sangat mantap mengutarakan alasannya. Memang belakangan fenomena hijrah kian marak di Masyarakat. Teman-teman di Kampung pun berbondong-bondong bergerak hijrah. “Hijrah itu proses berpindah dari keburukan menuju kebaikan Gus!” “Loh, lantas apa bedanya dengan bertobat kalo begitu Cak? Mana ada komunitasnya pula. Trend fashionnya juga ada kan?” kira-kira seperti itu pertanyaanku saat dijelaskan teman perihal hijrah. Aku sendiri pun sibuk mencari pekerjaan. “Iya tapi saya juga belum ada setahun Mas,” tiba-tiba pak Amar melanjutkan. “Sebelum-sebelumnya emang gimana Pak?” tanyaku penasaran. “Masa lalu saya kelam. Saya diPHK sama kantor, kontrak saya ga diperpanjang. Karena pake sistem kontrak ya saya gak dapet pesangon apa-apa. Padahal, Saya nunggu-nunggu masa di mana saya jadi pegawai tetap kaya abang saya, eh malah ujungnya dipecat. Dulu juga saya sering mabok-mabokan sampe pulang ke rumah istri ngomel melulu. Ironi sih.” Matanya tajam menembus langit-langit Masjid. “Dulu, saya pengin banget jadi orang besar, dihormati dan dikagumi orang. Berdasi dan bisa memerintah banyak orang. Memberi manfaat buat orang-orang susah dengan harta kekayaan saya,” ia terus mengenang ambisinya. “Dan memang keinginan saya hanya mimpi, sekarang saya cuma jualan gorengan di gang deket rumah. Aktif ikutin kajian keisliman di beberapa tempat di sela-sela dagang. Ya sambil belajar hijrah lah,” senyumnya keluar menghias kisahnya, tapi terasa masih membekas lukanya. “Saya butuh ketenangan, acara dengan pak Ustaz Abdul ini cukup bikin saya tenang Mas. Setidaknya bebas dari penatnya kebutu-
han hidup.” dia melanjutkan. Ternyata pak Amar ini tidak jauh lebih baik dari kisahku. Duda beranak dua. Ditinggal istri karena kesulitannya. Penghasilan pas-pasan. Anak satu-satunya diambang putus sekolah. Hidupnya hampir saja jadi pengangguran seperti aku sekarang. Tidak ada yang begitu istimewa darinya selama kuberbincang. Mungkin, hanya rutinitas menghadiri acara kajian ustaz Abdul yang kukagumi. Dari rumahnya di kota Bojur, ia ke rap melintasi antar kota untuk dapat menyimak kajiannya langusng. Jelas jaraknya jauh, tukang gorengan pula! Entah apa yang memotivasinya begitu. Dia bilang mencari ketenangan, tapi ketenangan apa dari rutinan semacam ini? aku tidak memahaminya. Tapi aku jadi menikmati perbincangan ini. “jadi bapak tidak ada rencana untuk memajukan hidup Pak?” tanyaku sesekali padanya “Hahaha memajukan bagaimana Mas?” “Yaa meneruskan misi yang pernah bapa ambisikan” dengan hati-hati kulanjutkan “bapak bisa mencari modal baru buat usaha yang lebih baik. Biar anak tidak putus sekolah, melanjutkan pendidikan selanjutnya. Mencari istri baru buat ngurusin rumah tangga. Membangun lembaran hidup baru lebih indah.” Sekarang ia mulai kuceramahi “Ah Mas ini, kan saya udah menua. Bahkan mungkin segera menemui masa purnanya. Kembali ke Tuhan. Tidaklah menarik lagi gemerlap duniawi kehidupan semacam itu.” Sanggahnya dengan yakin “Tapi kan bapak masih punya tanggungjawab dalam hidup. Hidup yang patut diperjuangkan, bukan malah terhinakan. Anak bapak tentu akan sedih bila tidak bisa lanjut sekolah misalnya” Kali ini senyumnya bermekaran lebih yakin. “Cukup dia nerusin dagangan saya. Terus dia tinggal jadi anak yang baik biar gak ngerepotin orang lain, apalagi nyusahin negara. Ia bakal saya arahin biar mandiri, atau dia bakal kerja sendiri, gampang itu mah. Lagian semuanya udah diatur sama yang di atas Mas. Dan ujungnya juga gak dibawa mati.” “Saya udah berpengalaman banyak hal Mas Bagus,” suaranya sekarang melunak. “Mendingan Mas perbaiki ibadah Mas dan tekun di situ. InsyaAllah rejekinya bakal berdatangan berduyun.” ...
*Penulis mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
SENI BUDAYA
Edisi LxIII / OKTOBER 2019
Sang Pemberani di Kutolama
15
Ika Titi Hidayati ikatitihidayati999@gmail.com Kisah masa lalu Rinto yang kelam, tak membuatnya pupus harapan. Bersama penduduk di Kutolama, Rinto justru menyebarkan kebaikan dengan menolong penduduk yang tertindas.
gakhiri hidup. Melihat kebaikan Asep, Lantas Rinto mengunjungi tempat yang ditinggali Asep. Hingga akhirnya, Rinto pun bergabung dengan para penduduk di sekitar Stasiun Kutolama. Mereka pun sudah menganggap Rinto sebagai keluarganya sendiri. Suatu ketika, Rinto melihat seorang bapak menangis tersedu-sedu berlutut di bawah kaki Bu Farida (Rosaline Eva Wijaya). Bapak tersebut menangis akibat bentakan keras dari Bu Farida yang ketika itu sedang menagih hutang. Melihat kejadian itu, dengan rasa solidaritasnya yang tinggi, Rinto lantas menyelamatkan bapak tersebut dengan melunasi hutangnya. Rinto digambarkan sebagai sosok heroik di Kutolama yang sering menyelamatkan penduduk sekitar dari para rentenir kejam dan preman-preman bengis. Bukan hanya itu, Rinto juga pernah menolong seorang gadis belia bernama Wati (Angelicya Duarta) yang hampir putus sekolah karena masalah biaya. Lantas, Rinto dengan rasa sosialnya yang tinggi melunasi semua biaya sekolah Wati. Bahkan Rinto pun pernah menolong seorang wanita muda bernama Dana (Erna K. Siallagan) dalam proses melahirkan bayinya. Rinto datang se-
bagai penyelamat dalam proses kelahiran Dana. Rinto sang penyelamat penduduk Stasiun Kutolama telah merasakan kebahagiaannya. Namun semua kebahagiaan itu sirna begitu saja, dua orang polisi datang menangkap Rinto. Pasalnya, Kedua polisi menceritakan bahwa Rinto telah membunuh temannya. Tanpa berkutik, Rinto pun mempasrahkan diri kepada polisi. Ia kemudian berpamitan kepada orang-orang di Kutolama. Disertai isakan tangis, para pelayan dan orang-orang stasiun Kutolama merelakan kepergian Rinto. Drama Musikal bertajuk Peron ini dipentaskan di Gedung Graha Bhakti Budaya pada 11 sampai 12 Oktober. Drama Musikal Peron merupakan Drama Musikal produksi D’Artbeat yang
ke-12. Disadur dari naskah asli Suatu Saat di Stasiun karya Varian Adiguna. Dikembangkan oleh Tim Kreatif D’Artbeat menjadi sebuah tontonan panggung yang kekinian, menarik namun juga menyentuh. Menurut Sutradara Ibas Aragi, Drama musikal Peron ini mengadaptasi dari Drama Musikal ketiga berjudul Suatu Saat di Stasiun karya Varian Adiguna. Beberapa adaptasi yang ditampilkan dengan menampilkan penambahan tokoh-tokoh, lagu-lagu dengan aransemen baru yang akan membuat kisah lama mampu dibangkitkan kembali dengan cita rasa yang baru. Latar Peron menurut Ibas menjadi penghubung di mana berbagai latar belakang kalangan masyarakat berkumpul menjadi satu. “Se-
lain itu, barbagai kisah, polemik, dan tragedi terungkap dan dimunculkan di tempat ini,” ujar Ibas pada Jumat (11/10) Wakil pimpinan D’Artbeat, Grace Kusno mengatakan, Drama Musikal Peron ini produksi ke-12 dari D’Artbeat. Sebelumnya, D’Artbeat telah memproduksi karya drama di antaranya berjudul Inspektur jenderal, Pulang, Stasiun, Satu Kata dan masih banyak lagi. D’Artbeat telah memproduksi berbagai macam Drama sejak 2003. Nama D’Artbeat sendiri berarti detak seni. Untuk pemain dan yang berperan di belakang panggung ±100 orang. “Pemain drama yang naik ke atas panggung ada sekitar 50-an dan orang yang dibelakang panggung 50-an orang,” ungkap Grace saat ditemui di Gedung Graha Bhakti Budaya Lantai 1, Jumat (11/10).-+=
menyia-nyiakan momen tersebut, berbagai organisasi di Ciputat turun aksi. Baik organisasi intra kampus maupun ekstra seperti HMI, PMII, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan banyak lainnya mengambil bagian dari aksi bersejarah tersebut. Tak hanya organisasi ekstra kampus, aksi besar di depan Gedung DPR beberapa waktu silam telah menyatukan beberapa kampus di Ciputat. Dalam hal ini, Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) UIN Jakarta Rizki Ari Wibowo mengaku telah merangkul beberapa kampus di Ciputat untuk satukan suara dalam tuntutan aksi dengan jargon Ciputat Mengugat. Konsolidasi pun terjalin, beberapa kampus di Ciputat dan sekitarnya turun aksi bersama dengan tuntutan sama. Beberapa nama kampus seperti UIN Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta bersama dalam kesatuan aksi. ”Konsolidasi antar universitas itu sepakat untuk demonstrasi bersa-
ma depan Gedung DPR,” tegas Wibowo, Jumat (18/10). Dari latar belakang organisasi ekstra kampus, Ketua Umum (Ketum) HMI Cabang Ciputat Tharlis Dian Syah Lubis menganggap dunia pergerakkan mahasiswa Ciputat secara khusus telah melakukan langkah-langkah soft terkait isu-isu nasional. Dalam artian, telah bergerak di bidang literasi dan forum diskusi. Ia juga menyambut baik aksi yang dilakukan oleh mahasiswa ciputat pada September silam sebagai tindakan nyata merespons isu nasional. “Menurut saya kalau aksi kemarin karena kegundahan hati,” Ujar Tharlis pada Senin (21/10). Selain Ketum HMI, Ketum PMII Komisariat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta Mochamad Bahrul Ikhsan berpendapat demonstrasi mahasiswa di Gedung DPR beberapa waktu lalu seharusnya dikaji fokus pokok permasalahannya. Sehingga demonstrasi memiliki tujuan yang matang bukan hanya sekadar ikut-ikutan dan sebatas eksistensi semata. Menurutnya, semua hal terkait aksi bukan untuk kepentingan
mahasiswa atau pemerintah tapi untuk rakyat. “Sebagai mahasiswa jangan hanya teriak-teriak tapi lupa esensi dan target awalnya,” Tutur Bachrul pada Jumat (18/10). Lebih lanjut, Ketum IMM Cabang Ciputat Hisbullah menilai dunia pergerakan Ciputat memiliki semangat luar biasa. Terlihat dari banyaknya organisasi ataupun primordial yang memiliki konsentrasi berbeda. Terkait aksi, ia memandangnya sebagai bentuk dan upaya mahasiswa untuk menjembatani akses antara rakyat dan pemerintah. Ia pun yakin semangat membangun kesejahteraan rakyat masih diterapkan oleh organisasi lain. “Kita harus tetap mengedepankan idealisme, jangan mudah terprovokasi,” ujar Hisbullah, Sabtu (19/10). Hal yang sama juga diungkapkan Pengurus Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) Asror. Asror beranggapan pergerakkan mahasiswa di Ciputat sudah baik, terlebih ketika turun langsung ke jalan dalam sebuah aksi. Namun menurutnya, persoalan pergerakan sekarang ini tidak hanya mengkritisi tapi ha-
rus ada solusi. “Kritik tajam yang berdasarkan fakta dan data belum terlihat dan belum tampak,” Kata Asror, Selasa (15/10). Aktivis mahasiswa era 1998 Tubagus Ace Hasan Syadzily angkat bicara, baginya demonstrasi mahasiswa merupakan hak mahasiswa. Pria yang kini menjadi politisi itu juga sangat mengapresiasi mahasiswa karena telah mengoreksi hal-hal yang dinilai tidak baik atau tidak tepat. Namun, baginya alangkah baik jika isu yang diangkat dalam demonstrasi perlu dikaji dahulu. Ia berharap agar gerakan mahasiswa tetap menjadi kekuatan kritis yang mampu menjadi gerakan moral perbaikan bangsa. Tak hanya Ace, Pakar Politik UIN Jakarta Iding Rosyidin menilai gerakan mahasiswa perlu taktis serta jangan sekadar aksi tanpa dibarengi pemikiran yang kritis dan pengetahuan. Perihal dunia pergerakan mahasiswa Ciputat, menurutnya saat ini tengah mengalami fluktuasi dan mulai bangkit kembali karena isu besar. Lebih lanjut, bagi Iding sepanjang aksi yang dilakukan tidak bercampur dengan kelompok lain serta murni aspirasi mahasiswa itu adalah hal yang bagus.
Foto: Institut
Bunyi kereta api menderu kencang, gorden berwarna merah terbuka perlahan. Tampak kilatan cahaya biru dan kuning menyoroti area panggung. Menampilkan pelataran sebuah stasiun di Kutolama. Beberapa warung makan tersaji di sisi belakang dengan background bangunan klasik berwarna putih disertai lengkungan pintu abu-abu. Deretan meja dan kursi tertata rapi. Bunyi gong ketiga menggema. Rinto (Kevin Jones Levar) merupakan tokoh peran dalam perjalanan seorang diri, merantau ke Stasiun Kutolama karena ingin mencari suasana baru dan ingin melupakan semua kejadian kelam yang dialaminya. Pasalnya, saat itu Rinto telah melakukan pembunuhan terhadap temannya. Ditambah lagi dengan kepergian ibunya yang membuatnya sangat begitu terpukul dan putus asa. Semenjak kejadian itu, Rinto memilih pergi meninggalkan rumahnya. Tokoh Rinto terus berjalan sembari menangis terisak-isak diperlintasan kereta api dan berniat untuk bunuh diri. Tak disangka, datang seorang anak remaja (Asep) menyelamatkan nyawanya. Rinto pun sadar akan kebodohannya untuk men-
Nuansa adegan penuh dramatis diperankan oleh beberapa tokoh dalam Drama Musikal berjudul Peron Jumat (11/10). Drama Musikal Peron ini ditampilkan oleh Komunitas D’Artbeat dan beberapa relawan di Gedung Graha Bhakti Budaya.
Sambungan dari halaman 1...
Ciputat Menggugat Jika menilik sejarah, peradaban intelektual Ciputat tak dapat lepas dari gejolak organisasi pergerakan. Bukan rahasia umum kiranya, berbagai organisasi pergerakan tumbuh subur mengisi sudut-sudut ruang diskusi dan penyampaian aspirasi. Pelbagai corak dan ragam ideologi organisasi pun tak jarang menciptakan sebuah diskursus baru yang membentuk jati diri kebudayaan intelektual Ciputat. Peradaban Ciputat tak dapat terlepas dari hadirnya organisasi-organisasi pergerakan yang beraneka ragam. Sebagai bagian dari Civitas Academica Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tentu paham betul bagaimana organisasi pergerakan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan banyak lainnya turut berperan menghidupkan dinamika intelektual dan dunia pergerakan di Ciputat. Aksi besar 23-24 September 2019 di depan Dedung DPR RI menjadi momentum berharga bagi organisasi-organisasi pergerakan di Ciputat. Tanpa
LPM INSTITUT BUKA PAID PROMOTE INSTAGRAm, LHo! kamu punya jasa atau barang dagang lainnya? buruan promosi di instagram @LPminstitut dengan 5100 followers ! HUBUNGI: 081287058782 (Herlin)
channel youtube lpm institut isinya apa sih? yuk, subscribe channel youtube kami: youtube.com/c/lpminstitut
Kunjungi LPMINSTITUT.COM MEDIA PARTNER
PASANG IKLAN Sejak didirikan 34 tahun silam, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal e-Tabloid Institut Majalah Institut, dan beberapa tahun ini secara berkelanjutan mempercantik portal lpminstitut.com. Ruang iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM Institut. Oleh sebab itu, yuk beriklan di produk kami! e-Tabloid Institut Pendistribusian di media sosial LPM Institut, yaitu Instagram dengan 5100 followers dan Youtube dengan 880 subscribers! Portal Web Institut Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari! Majalah Institut Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.
Hubungi: Nurul Dwiana 082111133650
designed by freepik.