2 minute read

Dilema Pembatasan Jam Malam

Griya Mahasiswa

Advertisement

Awal tahun ajaran semester genap ini mungkin akan menjadi angin segar bagi segenap civitas academica UMS. Pasalnya, setelah menanti cukup lama, akhirnya Griya Mahasiswa yang sudah menjadi rumah kedua bagi mahasiswa sekaligus aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kini telah menampakkan keelokannya. Proses pembangunan gedung baru yang disebutkan rampung pada Februari segera menemui titik peresmiannya. Mengingat hampir setiap lini bangunan gedung kini sudah bisa dikatakanrampung.

Akan tetapi, penantian di rumah baru yang digarap tak sebentar itu agaknya justru membuat sebagian mahasiswa sedikit menahan senyum kebahagiaan. Karena kabarnya akses Griya Mahasiswa nantinya akan ada pembatasan terkait jam malam Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, di Griya Mahasiswa memang tak dikenal pembatasan jam malam, alias setiap mahasiswa yang berada di dalamnya diberi kebebasan sampai kapan mereka di sana. Karena tak bisa dipungkiri juga, banyak dari UKM-UKM yang cenderung aktif di jam malam. Kebanyakan UKM memang memiliki agenda yang mengharuskan mereka berkegiatan di malam hari. Sebut saja Malimpa (Mahasiswa Muslim Pecinta Alam), Unit Seni dan Film (USF), Tapak Suci, dan lain sebagainya. Hal tersebut tentu dilakukan karena di siang hari mahasiswa masih diselimuti oleh aktivitas perkuliahan dan kesibukan pribadi lainnya, sehingga tak jarang jam malam menjadi opsi, yang mana di sisi lain mereka mempunyai tanggung jawab dan amanah di setiapUKMmasing-masing.

Akan adanya pembatasan jam malam tersebut memang bukanlah tanpa alasan. Kepala Ba- gian (Kabag) Sarana dan Prasarana (Sarpras) UMS dalam Koran Pabelan di edisi sebelumnya telah menerangkan bahwa, hal tersebut tak lepas dari adanya tindakan ataupun aktivitas yang dirasanya tak sesuai dengan nilainilai Islam. Seperti laki-laki dan perempuan yang tidur dalam satu ruangan. Tak hanya itu, pembatasan itu juga dilatarbelakangi oleh banyaknya mahasiswa yang dirasa produktivitas hingga larut malam, justru malah lalai akan ibadah salat Subuhnya. Dan juga dirasa mengganggu produktivitas mahasiswa di pagi harinya, karena kurangnya waktu istirahat yang cukup. Kemudian nantinya setiap pukul 22.00 rencananya akan ada security keliling Griya Mahasiswa untuk memastikan tidak ada lagi aktivitas diatas jam tersebut.

Berbagai macam respons pun pastinya akan bermunculan jika setiap pelaku UKM ditanya, atau bahkan diinformasikan secara menyeluruh perihal kebijakan yang kemungkinan akan segera disahkan itu. Hal semacam ini pada gilirannya, kita akan dihadirkan dengan dua kubu responsif yang bertentangan, atau mungkin tiga. Satu sisi pastinya ada mahasiswa yang sangat setuju dengan kebijakan tersebut, terlepas dari berbagai macam alasan yang melatarbelakanginya. Di sisi lain, tentu ada juga pihak yang kurang atau bahkan tidak setuju dengan hal tersebut. Biasanya, kubu ini adalah mereka yang memang sering melakukan aktivitas di Griya Mahasiswa hingga jam malam. Dan sebagian sisanya yang acuh tak acuh akan kebijakan tersebut karenamemangtakikutsertadalam UKM manapun. Atau biasa disebutmahasiswakupu-kupu.

Maka, menurut saya pribadi sebenarnya apa yang menjadi maqashid atau tujuan dari pihak

Kabag Sarpras sendiri merupakan langkah yang bagus jika melihat dari keresahan yang melatarbelakanginya. Namun, jika kemudian tindakan atau kebijakan yang dilakukan terkesan hanya keputusan sepihak tanpa melibatkan pihak mahasiswa di dalamnya, itu pun merupakan tindakan yang saya rasa kurang tepat Apalagi kebijakan yang diambil ini berhubungan dengan pola aktivitas atau pola kebiasaan yang sudah lama berjalan dalam ruang lingkup Griya Mahasiswa. Maka sudah layaknya seperti budaya, seharusnya setiap kebijakankebijakan yang diambil dengan maksud kemaslahatanpun haruslah dilakukan secara kooperatif dan dengan melakukan komunikasi langsung.Atau paling tidak lewat diskusi. Sehingga nantinya keputusan yang diambil oleh pihak yang terkait bisa diterima secara legawa dan mahasiswa bisabersikapadaptif.

Selain itu, seharusnya pihak Kabag Sarpras ataupun siapa pun itu tidak bisa dengan mudah mengambil kesimpulan hanya dengan fakta empiris yang didapatkannya. Seperti mahasiswa yang tidak salat Subuh karena berlarut-larut dalam Griya

Mahasiswa, ataupun mahasiswa yang nihil nilai akademiknya karena lebih produktif di malam hari dengan UKM-nya. Karena, toh jika ditinjau lebih jauh masih banyak, mereka yang bisa menyeimbangkan akademik maupun non-akademiknya. Memang, walaupun itu mengharuskan si mahasiswa untuk merelakan waktu tidurnya. Toh, bukankah banyak tokoh-tokoh besar yang banyak menghabiskan waktu malamnya hingga larut tetapi di kemudian hari itu tergantikan oleh karya-karya dan pencapaiannya yangmonumental.

Maka dalam kejadian semacam ini, jika berkaca pada apa yang pernah ditulis oleh Jurgen Hubermas, amat pentingnya sebuah perjumpaan dalam ruang publik demi membentuk kehidupan yang asri dan bermartabat, sehingga bisa meminimalisir terjadinya miskomunikasi yang dalam konteks ini antara mahasiswa dengan pemangku kebijakan di kampus. Tujuannya, agar pihak-pihak yang terkait bisa saling mengerti dan menemukan titik temu kebijakan seperti apa yangseharusnyadiambil.

This article is from: