q
“N
o game, no life�, begitulah khalayak global menafsir permainan dalam kehidupan. Sedari belia kita diperkenalkan dengan permainan. Bahkan, hanya dengan bermain seorang bayi bisa belajar bagaimana berjalan, melompat, melempar, maupun memanjat, yang kesemuanya menjadi naluri murni seorang manusia. Dan nyatanya, kita hidup dalam kolaborasi permainan. “Permainan merupakan bentuk investigasi paling tinggi bagi manusia�, tutur Albert Einstein. Juga permainan, yang menyebabkan manusia tetap menjadi manusia seutuhnya. Sebab, tatkala timnas sepak bola menjuarai piala dunia, bukankah rasa bangga pada negrinya kian meluap-luap? Atau ketika dua orang hansip berstrategi di papan catur, bukankah kehangatan yang hadir didinginnya gulita malam? Juga saat kakak beradik bersama menyelesaikan satu lap ular tangga, bukankah semakin mengeratkan kebersamaan mereka? Pula pada bocah kampung yang berpetak umpet di selasar rumah, bukankah kejujuran yang terbentuk nantinya? Bukankah permainan mengajarkan kita bagaimana merajut kasih sayang, kesetiaan, kutulusan, juga pengorbanan? Sebab, permainan
diciptakan agar manusia bisa memaknai kehidupannya menjadi lebih indah. Sampai-sampai, demi permainan segalanya menjadi fantastis. Pagelaran internasional digelar guna menghidupakan eksistensi permainan. Dari perhelatan olahraga, hingga kompetisi video game berbasiskan Artificial Intelligence. Malah video game Great Treft Auto V menghabiskan 270 miliyar dollar dalam pembutannya! Jadilah permainan seakan memiliki dunia sendiri, terpisah dari dunia nyata. Akibatnya, banyak yang mengkultuskan permainan sebagai ambisi hidupnya. Ada pemuda yang menghabiskan gajinya jutaan rupiah hanya untuk melepas penat di Timezone. Ada siswa yang membolos demi bermain game online 24 jam nonstop. Atau saking parahnya, seorang Tim Kretschmer, gamer Jerman, membunuh lima belas orang lantaran terinspirasi Counter Strike. Lalu, masihkah permainan menjadi kebutuhan manusia? Pada akhirnya, ketika permainan menggantikan kebutuhan manusia lainnya, semisal belajar ataupun bekerja, ia akan menjadi hasrat buta yang tak manusiawi. Ia menikam kejam, kala tak kuasa menahkodainya. Maka, bermainlah selagi itu menjadikan hidupmu lebih bermakna, bukan menjadikan hidupmu porak-poranda.
Permainan jaman dulu memang identik dengan permainan tradisional yang biasa dimainkan di lapang terbuka bersama teman teman. Tapi ada juga loh permainan virtual jaman dulu yang nggak harus dimainin di lapang. Permainannya juga nggak kalah seru sama permaianan virtual jaman sekarang. Kita punya beberapa contoh permainan virtual jaman dulu nih.
K
urasa ini sudah keterlaluan. Sri menangis dan berlari ke luar pesta. Malam ini adalah farewell party kelulusan kami di SMA dan aku berhasil membuatnya mati berdiri. Sungguh tak kukira leluconku kali ini menusuknya. Walaupun semua orang tertawa saat itu, tapi aku sebagai juru komedi tahu ini tidak baik-baik saja. Hampir genap tiga tahun aku menjadi juara sosial dan Sri selalu menjadi sasaran. Semua ini tidak lain karena luapan iriku kepadanya lantaran cinta segitiga. Dan aku rela mengorbankannya untuk alasan “nonesense”. Setelah malam itu, aku berada di posisi canggung dengannya. Saling menghindar, diam tapi berbicara di belakang. Sekarang, karma telah sempurna. Aku yang sulit bekerja mengabdi di rumah Sri untuk menghidupi anak semata wayang. Suamiku sudah tiada. Sehingga Rio yang masih kecil harus kubawa bekerja. Untuk seorang PRT, gajiku cukup besar tapi dendam Sri seolah menutupinya. Berkali-kali ia mencaci dan menganggap kami tak pernah kenal sebelumnya. Jujur semua terasa berat ketika bekerja dengan perlakuan tidak manusiawi. Tapi bagaimanapun juga aku masih butuh pekerjaan ini. Hari ini, Sri ulang tahun. Semua sudah kusiapkan. Makanan, kue berhias lilin, dan opor kesukaan Sri
telah tersedia. Aku berharap Sri mau memaafkanku. Perlahan ia ke luar kamar dan terkejut melihat apa yang ada. Aku segera mendekati Sri. “Sri, aku tahu kesalahanku dulu, maafin aku, Sri. Aku tahu hatimu baik, tapi aku ingin segera mengakhiri penyakit hati ini.” Seraya kuberikan sepucuk surat kepadanya. Dan syukurlah ia mau membacanya, matanya berkaca-kaca dan segera memelukku. Semua usahaku terbalaskan dan kesabaran telah berujung kehabisan. Kurasa inilah saatnya kembali dari awal. “Aaaa..” tiba-tiba Cindy putri Sri berlari menangis dengan kepala yang tengah mengucurkan darah, diikuti Rio yang menangis meminta maaf tidak sengaja. Suasana menjadi runyam, emosi Sri tumpah, “Ternyata ibu dan anak sama saja, pembawa sial.” Ditempelengnya anakku hingga jatuh ke lantai. Terkejut melihatnya, “Sri! Aku memang salah, tapi tolong jangan lampiaskan ke anakku!” Kali ini aku menyerah. Kurasa ini sudah keterlaluan. Kubawa anakku dan segera berkemas pergi dari sini. Dengan mata basah kecewa, aku ke luar dari rumah. Kini aku percaya seseorang bisa berubah karena dua hal, pikirannya terbuka atau hatinya terluka. (red: kazama ed: ai)
D
unia telah menjadi taman bermain bagi manusia. Lalu ada dua jenis pemeran yang bermain di taman, ada yang antagonis dan protagonis. Bagi para antagonis yang berhati iblis, mereka memiliki permainan dinamis yang bersifat tak bersahaja bagi umat manusia. Mereka senang memainkan nyawa serta hidup manusia, memainkan jiwa serta psikis manusia dan memainkan hati serta perasaan manusia. Hal itu memanglah jahat.
Namun seiring dengan berkembangnya zaman, kejahatan pun berevolusi secara maraton. Para antagonis tak hanya menggunakan teknologi tinggi untuk memporak-pondakan suatu negeri. Karena dengan hal itu akan merubah citra antagonis (red: Amerika) menjadi negara bengis. Maka dibentuklah suatu drama, skenarionya adalah “si Pembunuh� akan sekaligus berperan sebagai hakim. Tahukah anda apa judul drama tersebut?
Pengakuan sepihak atas Yerusalem menjadi ibu kota Israel yang dihujamkan Amerika bukanlah langkah konyol semata tanpa ada akal bulus sandiwara meja bundar PBB. Empat belas tangan kanan yang diangkat para peserta meja bundar nyatanya tak bernilai dibanding satu kalimat yang dikeluarkan oleh mulut perwakilan Amerika yang berbunyi “hak veto”. Hidup manusia kian hari, kian tersungkur sebab tersandung oleh tatanan hidup baru yang menjadikan perbudakan edisi baru di zaman ini. Kini umat manusia telah serentak berteriak di depan telinga perbudakan yang ada di zaman 600 M. Tiap detiknya kini kita menghirup oksigen kebebasan, semua orang mendapatkan haknya seakan kita menganggap semua manusia terbebas dari rantai perbudakan. Namun ketika Anda membuka mata, yang terlihat tak berbanding lurus dengan realita. Ketika MEA memaksa kehendak negeri yang lemah untuk melawan badai perusahaan asing, ketika hak veto menjadi alasan mutlak untuk kembali menetapkan ibu kota Israel dan ketika diler memaksa Anda untuk membeli motor tak secara cash. Dalam tiga kasus yang saya angkat di antara ribuan kasus berterbangan, mengandung arti hak yang kita miliki terkungkung dengan keinginan “mereka”. Bukankah itu lebih kejam dibanding perbudakan abad ke-6 M? Lantas dimanakah HAM yang selalu didengungkan sebagai narasi mengglobal yang menjadi “ayunan” di taman bermain
mereka. Seolah HAM menjadi payung hukum untuk berlindungnya umat manusia. Nyatanya itu hanya tameng pribadi yang dipakai secara objektif. HAM berlaku bagi non-islam di lingkungan minoritas dan tidak berlaku bila islam berada di daerah minoritas. Maka dari itu hanya ada satu narasi untuk solusi kemunduran peradaban ini tentang menghargai hak manusia dan hanya ada satu narasi untuk solusi kemunduran tekanan hidup manusia, yaitu Islam. Karena syariatnya memiliki konsep keadilan untuk menghargai hak manusia dan memiliki konsep perdamaian untuk memperbaiki tatanan hidup manusia. (red: maspres, ed: ai)
“Mungkin jalan Allah bukanlah yang termudah atau yang tercepat, tapi yang terbaik.” -Qazil