MAJALAH BULANAN KARYA CIPTA SENI BUDAYA MANUSIA
EDISI 06 DESEMBER 2013 EDISI AKHIR TAHUN
KALEIDOSKOP KEBUDAYAAN
dariredaksi
Setahun Kebudayaan
U
ntuk pertama kalinya dalam Edisi Khusus Akhir 2013, ini kami mempersembahkan catatan kegiatan kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian, sepanjang tahun dari Januari sampai dengan Desember 2013. Baik yang diselenggarakan atas inisiatif masyarakat seni-budaya sendiri, maupun pelbagai kegiatan yang merupakan program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) khususnya yang berada di bawah payung Wakil Menteri Kebudayaan dan Direktur Jenderal Kebudayaan. Sejumlah kontributor dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bali pun kami kerahkan untuk mencatat dan melaporkan pelbagai agenda dan kegiatan seni budaya di wilayah masing-masing, maupun dari pelbagai daerah lain yang terpantau dari ketiga wilayah tersebut. Namun, mengingat banyaknya kegiatan di bidang kesenian, tentu saja porsi terbesar akan meliputi kegiatan tujuh cabang kesenian utama yakni, seni musik, seni tari, seni sastra, seni teater, senirupa, senisuara, dan seni film. Baik yang modern maupun yang tradisional. Baik yang eksperimental maupun yang klasik. Semoga pada masa mendatang, kami dapat lebih lengkap lagi mencatat agenda kebudayaan dari seluruh Indonesia dan
mancanegara. Untuk itu, sumbangan dari para pembaca, dan kontributor dari seluruh wilayah Nusantara, serta dari luar negeri, sangat kami harapkan. Sehingga laporan akhir tahun ini akan sungguh-sungguh mencerminkan kegiatan kebudayaan dan kesenian yang representatif, yang mencerminkan sejauh mana pemikiran dan kegiatan kebudayaan kita mewarnai perjalanan hidup umat manusia sepanjang tahun berjalan. Akhirnya, kepada para pembaca setia dan kontributor www.kultur-majalah. com, www.kulturpedia.com, dan Majalah kultur, yang selama ini dengan setia dan tanpa pamrih membantu keberlangsungan satu-satunya media yang memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan ini, kami ucapkan terima kasih kami yang tulus dan tak terhingga. Juga tentu saja kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), khususnya Wakil Menteri Kebudayaan Wiendu Nuryanti dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kacung Marijan yang telah memberikan dukungannya baik langsung maupun tak langsung, kepada kiprah dan eksistensi kami. Selamat membaca dan Selamat Tahun Baru 2014.l
Redaksi
Pemimpin Redaksi
Penerbit : www.kultur-majalah.com www.kulturpedia.com Majalah Kultur
: Noorca M. Massardi
Sidang Redaksi : Heryus Saputro Imam Hidayah Indri Ariefiandi Creative & Design : Nanang Suparna Kontributor : Naura Arasell Ni Made Purnamasari Ruslan Wiryadi Satmoko Budi Santoso Warih Wisatsana
Daftar ISI DARI REDAKSI 6 JANUARI Mengritisi Diskriminasi yang Laten Pameran Cagar Budaya Keraton Yogyakarta 2013 10 FEBRUARI Pendidikan Karakter, Perubahan Kurikulum yang Berbudaya, dan Transformasi Moral melalui Dongeng
Kultur
Edisi No. 07
l
Desember 2013
12 MARET Lembaga Sensor Film Wamendikbud Sambut Baik Maklumat Hari Sastra Indonesia 16 APRIL Kemdikbud Bentuk Tim Ahli Nasional Cagar Budaya 18 MEI • Warga Jakarta Nikmati Pergelaran Wayang Kulit di Kemdikbud • Wiendu Nuryanti, UNESCO Hangzhou Kongres, High Level Panel Diskusi Budaya di Post-2015 26 JUNI • 2000 Siswa dan Guru Nonton Bareng Film Inspiratif Bersama Wamenbud • Wamenbud : Selain Pakaian, Batik Bisa Dijadikan Penghias Interior
04
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
36 JULI • Kreatifitas Museum Untuk Menarik Pengunjung • Kritik Sosial lewat Bali Not For Sale • Pameran 100 Tahun Lembaga Purbakala
40 AGUSTUS • Festival Film Dokumenter Kebudayaan BPNB Padang Cermin Kebangsaan Dalam FFIBBB 2013 • Minikino Putar Sinema Festival Solo 44 SEPTEMBER • Mendikbud Promosikan Koleksi Museum dengan ‘Bumbu’ Cerita Mistik • Kemdikbud Bangun Museum Presiden di Istana Bogor 50 OKTOBER • Istano Basa Pagaruyung Dibangun Kembali sebagai Pusat Peradaban Minang • Festival Film Mahasiswa Tumbuhkan Kreativitas Seni Mahasiswa Indonesia • Apresiasi PTK PAUDNI Berprestasi 2013 56 NOVEMBER • Mendikbud : Tanpa Budaya Artinya Tanpa Masa Depan Indonesia-China Teken Pernyataan Bersama Kebudayaan
• Festival Music Ethnic Dunia 2013
66 DESEMBER • Teater Tanah Air Wakili Indonesia Terbang ke India • Puluhan Seniman Jogja Siap Pentaskan Puisi 68 KULTUR JELAJAH • Memburu yang Tertinggal di Cagar Manggarai • Never Ending Wae Rebo 90 WAWANCARA Dirjen Kebudayaan
“Pemerintah Memfasilitasi Tumbuh dan Berkembangnya Kebudayaan”
ESEI REDAKSI
OP K S DO YAAN I E KALBUDA KE
2
3 1 0
KOP S O D I E KAL DAYAAN KEBU
3 1 0 2
Januari data sosial yang didapat dari riset. Selama ini, Yayasan Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi telah melakukan sejumlah riset tentang perilaku diskriminasi etnis, wanita, keyakinan agama, serta percintaan sesama jenis.
Mengritisi Diskriminasi yang Laten Di awal tahun di Bulan Januari, sebuah lembaga pemerintah di Yogya yang notabene merupakan satu atap dengan Kemdikbud yakni Taman Budaya Yogya telah menjadi ajang penyelenggaraan pementasan teater bergenre monoplay. Pementasan teater ini pantas dicatat dalam kaleidoskop sebagai salah satu peristriwa yang cukup penting karena ternyata mempunyai efek respon publik yang baik secara nasional. Berbagai media massa meliput dengan memberikan apresiasi yang baik atas pementasan ini. Boleh jadi karena cerita yang dihadirkan adalah bertajuk “Sapu Tangan Fang Yin” yang menyoal isu diskriminasi warga Tionghoa. Acara tersebut digelar di Concert Hall Gedung Societiet Taman Budaya Yogyakarta pada Jumat-Sabtu (18-19/1). Pentas monoplay musikal “Sapu Tangan Fang Yin” tersebut naskahnya ditulis oleh Indra Tranggono dan Denny JA berdasarkan puisi -esai karya Denny JA. Karya puisi-esai adalah karya sastra yang menghadirkan unsur fiksi dan fakta sekaligus. Unsur fiksi tampil dalam cerita, plot, dan tokoh. Sedangkan fakta tampil dalam
Secara khusus, pentas ini menghadirkan tema diskriminasi etnis China yang terjadi saat kerusuhan sosial pasca mundurnya Soeharto menjadi Presiden RI yang disusul kerusuhan sosial di beberapa kota di Indonesia yang membuat banyak jatuh korban etnis China. Tema diskriminasi etnis yang menjadi latar belakang pentas monoplay musikal ini hadir melalui kisah tokoh Fang Yin (dimainkan Olivia Zalianty) yang menjadi korban perkosaan pelaku kerusuhan massal di Jakarta 1998. Dari sinilah peran teater melalui sejumlah aspek yang menghidupinya seperti tokoh, cerita, plot, dan panggung yang menghadirkan dramatisasi cerita muncul. Hal itu masih didukung kemunculan seorang narator (dalang) untuk membacakan data dari fakta sejarah diskriminasi terhadap etnis China di hadapan penonton. “Dalam kemasan yang menghibur itu, tetap bisa dimasukkan tema yang membawa kita pada pencerahan kesadaran. Hal ini menjadi solusi naskah teater yang pas. Isinya mencerahkan. Tapi kemasannya menghibur,” terang Denny JA alam buku Teater Monoplay
dan Musikal 5 Naskah Kisah Cinta dan Diskriminasi. Pentas tersebut disaksikan ratusan penonton yang didominasi masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta. Kemampuan para pemain teater mengekspresikan dirinya dalam menggambarkan masa kelam 1998 juga luar biasa. Tentu kita berharap jangan ada lagi diskriminasi. Tidak boleh ada diskriminasi, tidak boleh ada kekerasan lagi. Teks Satmoko Budi Santoso. l
Pameran Cagar Budaya Keraton Yogyakarta 2013 Salah satu tugas dan fungsi Balai Peletarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta adalah mensosialisasikan dan mempublikasikan benda cagar budaya kepada masyarakat luas dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk kegiatan sosialisasi yang dilakukan adalah melalui kegiatan pameran kepurbakalaan. Bentuk pameran semacam ini dipandang sebagai media yang cukup efektif sebagai sarana penyebarluasan informasi tentang keberadaan cagar budaya, sebagaimana diamanatkan dalam UU RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Melalui pameran cagar budaya diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam meningkatkan dan mengembangkan apresiasi dan kecintaan mereka terhadap warisan budaya, baik benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya. Selain itu juga memberikan hiburan yang bersifat rekreatif edukatif bagi masyarakat luas. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama antara BPCB Yogyakarta dengan Keraton Yogyakarta, yang dilaksanakan secara rutin setahun sekali dalam rangka menyemarakkan Perayaan Sekaten untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW, pada tahun 2013 pada bulan Maulud tahun Jimakir 1946 Jw (Januari 2013). Kegiatan pameran ini
dilaksanakan mulai tanggal 12 sampai dengan 24 Januari 2013, dan bertempat di bekas Kantor Rektorat UGM, Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Pameran kali ini mengambil tema “Satu Abad Kepurbakalaan�. Tema ini diambil dengan harapan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap benda cagar budaya, apa dan bagaimana warisan budaya artefaktual yang ada, serta memahami arti penting benda cagar budaya yang ada di sekitarnya sehingga masyarakat merasa berkewajiban untuk berperan aktif dalam perawatan dan perlindungan sebagai upaya pelestariannya. Dengan demikian warisan budaya kita tetap
dapat dimiliki dan dipahami oleh generasigenerasi selanjutnya, yang tetap akan mereka gunakan sebagai jati diri bangsa. Materi pameran yang ditampilkan kali ini berupa foto-foto dalam bentuk poster mengenai Kondisi Candi Prambanan, Candi Wisnu, dan Situasi Pemugaran Candi Siwa ; Kondisi Bangunan Kotagede Yogyakarta ; Kondisi Kraton Yogyakarta Plengkung Nirbaya Gading ; Kondisi Tamansari Gapura Agung, Pulo Kenanga, Gapura Panggung, Gapura Panggung setelah dipugar, Umbulbinangun, Umbulbinangun setelah dipugar serta beberapa benda temuan dari foto-foto EraOudheidkundige Dienst dan foto-foto kondisi situs masa sekarang koleksi BPCB Yogyakarta. l
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN JA
N UA R
2 0 1 3I
Februari Pendidikan Karakter, Perubahan Kurikulum yang Berbudaya, dan Transformasi Moral melalui Dongeng Ada dua acara penting di lingkaran Kemendikbud di seputaran bulan Februari 2013 ini. Pertama adalah seruan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh. Seruan tersebut adalah perihal kurikulum 2013 yang diharapkan dapat mengatasi kegersangan budaya. “Desain kurikulum 2013 sewajarnya tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi juga untuk mengatasi kegersangan budaya. Kegersangan budaya itu antara lain tampak dari lontaran-lontaran pernyataan kasar yang tidak berdasar. Perilaku tidak berbudaya itu, ada pada kehidupan seharihari. Untuk itulah Kurikulum 2013 didesain untuk mengatasi kegersangan budaya itu,” kata Pak Nuh usai meresmikan penegerian Politeknik Banyuwangi di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada Minggu (24/02/2013), “Karena itu pulalah, pendidikan seni budaya juga mesti tetap ada dalam kurikulum 2013. Filosofinya tidak pada keseragaman budaya (cultural uniformity), tetapi keberagaman budaya (cultural diversity).” Menteri Nuh menegaskan, salah satu alasan dikembangkannya kurikulum 2013 pada aspek mengatasi kegersangan budaya adalah perbaikan sikap. Banyak pihak, kata Mendikbud, yang memberi masukan bahwa pendidikan tidak boleh menekankan pada hafalan, tetapi harus bisa membentuk sikap. Karena itulah, lanjutnya, standar kompetensi lulusan dalam kurikulum 2013 adalah peningkatan dan keseimbangan kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. “Untuk
memastikan hal itu terpenuhi maka setiap mata pelajaran mesti dikaitkan dengan pembentukan sikap,” jelasnya. Menurutnya, pembentukan sikap tidak hanya bisa dilakukan melalui mata pelajaran agama, tetapi juga melalui mata pelajaran lainnya. Kompetensi dasar setiap mata pelajaran bisa dikaitkan dengan pembentukan sikap. Mata pelajaran agama sendiri, papar Menteri Nuh, mengalami penambahan materi. Untuk substansi, ditambah dengan materi budi pekerti, sehingga namanya menjadi Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Adapun jumlah jam belajar juga ditambah. Pada jenjang sekolah dasar (SD), yang semula dua jam ditambah menjadi empat jam pelajaran. Sementara pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), menjadi tiga jam dari semula dua jam pelajaran. “Pendekatannya pun diarahkan pada kehidupan keagamaan yang toleran dan kasih sayang bagi semuanya atau rahmatan lil-alamin. Jauh dari mencetak tukang saja,” papar Mendikbud. Acara yang kedua yang juga penting dan patut dicatat dalam lingkaran kegiatan Kemdikbud adalah pelatihan mendongeng. Kegiatan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non-formal, dan Informal (PAUDNI), di buka secara resmi
pada 22 Februari 2013 bertempat di D Mall, Depok, Jawa Barat. Tentu, acara ini sangat menarik karena merupakan bagian cukup penting dari pendidikan karakter. Kita tahu, mendongeng bukan hanya sekadar menghibur, tapi juga menjadi media transfer pengetahuan, terutama nilai moralitas yang baik bagi anak. Melalui dongeng, anak bisa berperilaku baik, sehat, sopan, patuh, dan jujur. “Mendongeng adalah salah satu cara ampuh dalam membentuk karakter anak,� kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Lydia Freyani Hawadi. Lydia mengapresiasi pelatihan mendongeng yang ditujukan pada Bunda PAUD tersebut. Kegiatan ini tidak hanya digelar di Depok, tapi juga di sejumlah kota lainnya yaitu Surabaya, Purwokerto, dan Semarang. “Ini adalah kegiatan yang sangat membahagiakan karena kita tahu PAUD adalah pondasi atau dasar perkembangan
anak manusia baik fisik, mental, kecerdasan, dan kepribadiannya,� kata Guru Besar Universitas Indonesia (UI) ini kepada seluruh peserta. Oleh karena itu, kepada para Bunda PAUD yang menjadi peserta, Lydia berpesan agar dapat fokus dan kreatif selama pelatihan sehingga kelak apa yang dipelajari dapat berguna bagi anak didiknya. Selain itu, untuk semakin memasyarakatkan kegiatan mendongeng, Dirjen PAUDNI juga berharap lomba mendongeng bisa terus diselenggarakan pada setiap Hari Anak Nasional. Saat ini, katanya menambahkan, jumlah anak PAUD di Indonesia ada 31 juta anak. Di antara mereka ada yang kurang beruntung, karena masih ada desa-desa yang belum terdapat PAUD. Oleh karena itu, kegiatan yang dapat meningkatkan kepedulian terhadap PAUD seperti ini diharapkan dapat terus diselenggarakan di seluruh penjuru tanah air. Teks Indri Ariefiandi, Satmoko Budi Santoso
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN FE
BRUA
2 0 1 3RI
Maret
Bioskop Keliling Program Kemdikbud yang cukup seru di bulan Maret di antaranya adalah Bioskop Keliling. Sebanyak 20 film Indonesia telah dipilih Kemdikbud untuk ditayangkan di berbagai wilayah di Indonesia. Film-film yang mengandung nilai-nilai pendidikan, budaya Indonesia, dan cinta tanah air seperti Petualangan Sherina, Garuda di Dadaku, Laskar Pelangi, Lima Elang, Darah Garuda, dan lain-lain telah dibeli hak siarnya untuk ditayangkan di program Bioskop Keliling tersebut. Saat ini Bioskop Keliling sedang dalam tahap uji coba dan simulasi sebelum nantinya
akan diserahterimakan ke unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan) di seluruh Indonesia. “Nanti setelah dalam tahap uji coba berjalan lancar, akan diserahkan ke UPT Kebudayaan yang ada di daerah,� ujar Yayuk Sri Budi Rahayu, Kepala Sub Bagian Kerjasama Sekretariat Ditjen Kebudayaan, pada saat simulasi pemutaran film Bioskop Keliling di SMP Negeri 41 Jakarta Selatan, 8 Maret 2013 lalu. Dari pengadaan tahun 2012, saat ini Ditjen Kebudayaan telah memiliki 20 unit Bioskop Keliling yang siap melayani masyarakat dengan hiburan yang mendidik. Di tahun 2013 ini
direncanakan akan ada pengadaan minimal 40 unit lagi. Program Bioskop Keliling diluncurkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh, pada tanggal 28 Desember 2012, di halaman kantor Kemdikbud, Senayan Jakarta. Seluruh pejabat eselon I Kemdikbud turut hadir dalam peluncuran tersebut. Mendikbud menyambut gembira kehadiran Bioskop Keliling sebagai sarana memperkuat karakter bangsa. Mendikbud dalam peluncuran tersebut menyatakan ada empat hal yang menjadi latar belakang mengapa Bioskop Keliling penting sebagai bagian dari layanan pendidikan dan kebudayaan. Pertama, tidak semua anak-anak didik maupun masyarakat Indonesia dapat menikmati produk-produk yang berupa film, di mana film-film tersebut sudah terseleksi baik dari sisi nilai maupun sinematografi.
Lembaga Sensor Film Selain acara Bioskop Keliling, yang juga menarik adalah acara soal pentingnya lembaga sensor film. Berkaitan dengan pengembangan dunia perfilman, Kemdikbud mengakomodir masukan insan perfilman pada 7/03/2013, khususnya dalam perspektif perihal sensor film yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Lembaga Sensor Film (LSF). Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Kacung Marijan menyatakan, tugas pemerintah adalah memfasilitasi dengan tidak terlalu banyak mengatur untuk tumbuh dan berkembangnya film Indonesia yang bagus. Sebelum RPP ini disahkan, kata dia, tentu pihaknya perlu mendengar masukan dari para pelaku film. Kacung menyampaikan, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas menegah pada lima tahun terakhir maka kebutuhan akan hiburan meningkat. Saat ini, kata dia, pusat film di Asia ada di India dan Hongkong. “Kalau pangsa pasar ini diisi oleh film lain, kita kalah set terus. Kita ingin dunia film Indonesia lebih hebat lagi,� katanya.
Kedua, seiring dengan bergabungnya Ditjen Kebudayaan ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional, menjadi tugas Kemdikbud untuk mengembangkan perfilman di Indonesia. Ketiga, Bioskop Keliling dapat diintegrasikan dengan TV Edukasi yang telah dimiliki Kemdikbud. Keempat, Bioskop Keliling ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengkomunikasikan kebijakan pendidikan dan kebudayaan kepada masyarakat.
Kacung meminta, penyusunan RPP ini tidak menggunakan pendekatan pasar atau kontrol penuh oleh negara, tetapi bertumpu pada pendekatan budaya. Menurut dia, konteks kultural menjadi penting. “Soal moral dan lain-lain menjadi lebih bijak. Kontrol tidak semata-semata dilakukan pemerintah, tetapi termasuk masyarakat,� katanya. Hadir pada rapat anggota LSF Anwar Fuadi dan sejumlah artis film di antaranya Dude Herlino, Indra Birowo, Kirana Larasati, Desta, dan Lukman Hakim. Selain itu, dihadiri
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN M
ARE T
2013
Maret perwakilan produser, film, sutradara, dan perwakilan gabungan studio film Indonesia. Perwakilan artis meminta agar RPP ini tidak membelenggu artis untuk berekspresi. Mereka juga merasa mempunyai moral untuk membuat sebuah tontonan menjadi sebuah tuntunan. Anggota LSF yang diangkat diharapkan adalah orang-orang yang mengerti budaya dan seni film. RPP LSF disusun mengacu pada pasal 66 Undang-Undang No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Wamendikbud Sambut Baik Maklumat Hari Sastra Indonesia Setelah sekian lama tidak memiliki satu tanggal yang dapat di kenang, akhirnya melalui sebuah acara yang bertajuk Maklumat Hari Sastra Indonesia, pada tanggal 24 Maret 2013, bertempat di Bukittinggi, Sumatera Barat, penggiat sastra Indonesia memiliki hari resmi yang dapat dirayakan setiap tahunnya.
dikembangkan oleh para sastrawan terkemuka, salah satunya adalah Abdoel Moeis, kelahiran Bukittinggi 3 Juli 1883. Gagasan Maklumat Hari Sastra Indonesia disampaikan para sastrawan di negeri ini, mengingat selama ini Indonesia belum mempunyai Hari Sastra. Padahal Hari Sastra itu perlu ditetapkan, untuk mengenang karya dan jasa para sastrawan yang telah ikut mengangkat nama bangsa. Lebih lanjut Isbedy Stiawan mengutip Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti menyatakan Indonesia perlu menetapkan adanya Hari Sastra untuk mengenang dan membangkitkan kecintaan membaca karya sastra. Menurut dia, pada 2016 kelak, Indonesia akan mendirikan rumah budaya di berbagai kota
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti menyambut baik Maklumat Hari Sastra Indonesia yang dinyatakan oleh sedikitnya 70 sastrawan ini. Pernyataan Wamendikbud itu seperti dikutip dari penyair asal Lampung Isbedy Stiawan ZS yang hadir pada acara tersebut. Maklumat Hari Sastra Indonesia itu dibacakan penyair Upita Agustin (Prof Dr Ir Raudha Thaib MP). Penyair asal Lampung Isbedy Stiawan ZS lebih lanjut menyampaikan bahwa Taufiq Ismail, salah seorang penggagas, menyebutkan Indonesia memiliki tradisi sastra yang luhur,
di luar negeri. Program ini guna mengangkat Indonesia menjadi negara adidaya dibidang kebudayaan. Pada program rumah budaya di luar negeri itu, juga akan diterbitkan buku-buku sastra dan kebudayaan dalam terjemahan bahasa Inggris. Kelak kami akan berdiskusi dengan sastrawan
ihwal penerjemahan buku sastra ini yang akan dipamerkan di rumah budaya-rumah budaya itu, ujar Wiiendu. Pada kesempatan Maklumat Hari Sastra Indonesia, Wiendu Nuryanti sekaligus menetapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia. Setelah Hari Puisi Indonesia yang dideklarasikan di Riau dan merujuk hari kelahiran Chairil Anwar, maka dengan Hari Sastra Indonesia semakin marak kegiatan-kegiatan sastra di tanah air.
Sejumlah sastrawan yang ikut Maklumat Hari Sastra Indonesia, di antaranya Fakhrunnas MA Jabbar, LK Ara, Damiri Mahmud, Chavchay Syaifullah, Budi Darma, D Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Aspar Paturusi, Darman Munir, Yusrizal KW, Harris Effendi Thahar, Dorothea Rosa Herliani, Helvy Tiana Rosa, Tuti Herati Noerhadi, Rusli Marzuki Saria, Jamal D Rahman, Joni Ariadianata, Yetti A Ka, dan sejumlah sastrawan lainnya.
Pentas Teater Serbu Solo Sama seperti bulan-bulan sebelumnya, dalam agenda kegiatan budaya bulan Maret tercatat beberapa agenda pementasan teater akan terselenggara di Kota Solo. Pementasan di beberapa lokasi pertunjukan dan sanggar di Kota Solo ini akan sedikit berbeda karena sebagaian besar bukan datang dari kelompok teater Kota Solo sendiri melainkan dari kota
tetangga, Jogjakarta. Tercatat setidaknya ada tiga kelompok teater Jogja, yang akan tampil di Kota Solo dalam tiga pertunjukan teater berbeda yaitu dari 15 hingga 27 Maret 2013. Ketiga kelompok teater tadi adalah Sanggar Kemanusian Jogjakarta atau Sarkem Jogjakarta, Kelompok Persaudaraan Teater Bening Jogjakarta dari STEI Jogjakarta, dan Kelompok Seni Saka Jogjakarta dari Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta. Sanggar Kemanusian Jogjakarta atau Sarkem Jogjakarta menjadi kelompok teater Jogja pertama yang pentas dengan membawakan lakon “Orang Kasar” karya Anton Chekov saduran WS Rendra. Mereka membawakan drama komedi satu babak ini di atas panggung Sanggar Teater Tesa FSSR UNS pada Jum’at, 15 Maret 2013, dari jam 7:00 malam hingga selesai. Pentas kelompok yang berbasis dari kegiatan mahasiswa FBS UNY dan Yayasan Umar Kayam ini adalah bagian dari pentas tiga kota yaitu Jogjakarta, Solo, dan Semarang. Selanjutnya pada Senin, 18 Maret 2013, akan ada pentas teater lakon “Sandal Jepit” karya Herlinas Chairani di gedung pertunjukan Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Pentas teater modern kali ini dibawakan oleh Kelompok Persaudaraan Teater Bening Jogjakarta yang merupakan kelompok pekerja teater asal STEI Jogjakarta. Kelompok teater Jogja terakhir yang akan pentas di Solo adalah kelompok pekerja seni teater dari Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta atau AUD Jogjakarta yaitu Kelompok Seni Saka Jogjakarta. Mereka akan menggelar pentas teater berjudul “Rashomon” karya Ryonosuke Akutagawa dari jam 7:30 malam di gedung pertunjukan Teater Arena TBJT pada Rabu, 27 Maret 2013. Teks Indri Ariefiandi, Satmoko Budi Santoso
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN M
ARE T
2013
April
Satmoko Budi Santoso
Kemdikbud Bentuk Tim Ahli Nasional Cagar Budaya Salah satu acara Kemdikbud yang penting di Bulan April adalah pembentukan Tim Ahli Nasional Cagar Budaya. Tim ini dibentuk untuk melakukan penetapan dan pencatatan Cagar Budaya Nasional sebagai kekayaan budaya bangsa. Tim ini memiliki beberapa wewenang, di antaranya merekomendasikan objek yang diduga sebagai cagar budaya yang memenuhi kriteria, serta melakukan klasifikasi atas ragam jenis cagar budaya sesuai pedoman pemerintah. Saat ini terdapat 22 cagar budaya di Indonesia yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Beberapa di antaranya adalah Candi Borobudur, Situs Sangiran, Tugu
Monumen Nasional, dan Bendera Pusaka Merah Putih. Wakil Mendikbud Bidang Kebudayaan (Wamenbud), Wiendu Nuryanti, saat jumpa pers di Gedung A lantai 2 Kemdikbud, 22 April silam di Jakarta, menyatakan Kemdikbud menargetkan tahun ini sebanyak 10 cagar budaya akan ditetapkan menjadi cagar budaya nasional. “Wamenbud menjelaskan, cagar budaya
sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, baru tahun ini Tim Ahli Nasional Cagar Budaya terbentuk. Saat ini terdapat 18 nama yang masuk dalam Tim Ahli Nasional Cagar Budaya dan 9 narasumber ahli, sesuai SK Mendikbud Nomor 029/P/2013.
yang diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya nasional pada tahun ini adalah cagar budaya yang memiliki tingkat kepunahan tinggi, misalnya yang terdesak tambang batubara, perumahan, atau adanya alih kepemilikan,� ujarnya.
Tim Ahli Nasional Cagar Budaya memiliki wewenang untuk melakukan penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan cagar budaya. Setelah terbentuk Tim Ahli Nasional Cagar Budaya ini, Kemdikbud akan membentuk pula tim ahli cagar budaya di tingkat provinsi dan kabupaten, serta Tim Ahli Nasional untuk Warisan Tak Benda.
Salah satu hambatan belum ditetapkannya ke-22 cagar budaya tersebut menjadi cagar budaya nasional adalah belum terbentuknya Tim Ahli Nasional Cagar Budaya. Sementara syarat menjadi anggota tim ahli tersebut adalah memiliki sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan Badan Nasional Sertifikasi dan Profesi (BNSP). Proses para calon anggota tim ahli dalam mendapatkan sertifikasi tersebut cukup memakan waktu. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN A
P R I L
2013
Mei
Peringatan 235 Tahun Museum Nasional Perjalanan panjang mengiringi eksistensi Museum Nasional, diawali dengan berdirinya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh Pemerintah Belanda pada 24 April 1778. Lembaga independen ini bertujuan untuk memajukan penelitian bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah, serta menerbitkan hasilhasil penelitian. Kini, 235 tahun sudah usia Museum Nasional menorehkan sejarah pengembangan
yang sangat panjang dan menyimpan banyak sekali kenangan. Salah satu kenangan terindah ketika dilaksanakannya pengembangan Museum Nasional diawali dengan pembuatanmaster plan tahun 1996. Sejak diresmikannya Gedung B (Gedung Arca) oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007, dengan perlahan tapi pasti, ada perubahan paradigma masyarakat terhadap Museum Nasional. Demikian dikatakan Kepala Museum Nasional, Intan Mardiana, pada acara Ceramah Ilmiah “Sejarah Pengembangan Museum Nasional� di Jakarta (29/05).
Intan menilai saat ini masyarakat semakin mengapresiasi museum dan banyak kalangan yang berminat melakukan aktivitas di museum. “Hal ini menumbuhkan rasa bangga pada diri kami dan perubahan ini tidak mungkin terwujud jika tidak ada tokoh penggagas yang berperan dalam pengembangan museum ini,” ujar Intan. Hingga saat ini, Museum Nasional menyimpan lebih dari 140 ribu koleksi bendabenda benilai sejarah tinggi, yang terdiri dari koleksi prasejarah, arkeologi, numismatik, heraldik dan keramik, etnografi, sejarah, dan geografi. Beragam koleksi tersebut dipamerkan di Gedung A (Gedung Lama) termasuk ruang penyimpanan koleksi (storage). Sementara Gedung B (Gedung Arca) difungsikan selain sebagai ruang pameran, juga sebagai kantor, ruang konferensi, laboratorium, perpustakaan, dan lain sebagainya. Kita tahu, beberapa daya tarik Museum Nasional, di antaranya adalah terletak di jantung kota Jakarta dan komponen koleksinya merupakan karya masterpiece yang sering dipamerkan di luar negeri. Karenanya, banyak hal yang perlu diperhatikan oleh pengelola museum sebagaimana yang dipaparkan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (19931998). Wardiman Djojonegoro pada acara Ceramah Ilmiah “Sejarah Pengembangan Museum Nasional” tersebut menyatakan bahwa salah satu bagian penting yang harus diperhatikan oleh para pengelola museum adalah pengelolaan pengunjung museum. Selain
terus mempertahankan kehadiran pengunjung tetapi pengelola museum juga harus dapat memaksimalkan nilai kunjungannya. Menurut ahli experiential marketing, Smith, pengunjung museum pun menginginkan hal-hal yang sesuai dengan keinginan mereka. “Jadi, museum harus menyesuaikan diri kepada apa yang masyarakat inginkan,” jelas Wardiman. Selain itu, disarankan komponen tata penyajian koleksi bertahap terus dimodifikasi agar lebih memiliki daya tarik pengunjung. Biasanya satu era atau setiap 6 bulan perlu ada penggantian koleksi yang dipamerkan, sehingga masyarakat tiap 6 bulan juga terus datang ke museum. Wardiman juga melihat perlu adanya link and match penataan koleksi yang ada di museum dengan apa yang dipelajari di sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya sehingga proses pendidikan dan pembudayaan terus berjalan. “Alangkah baiknya kalau pemajangan dibuat menarik dan melihat dari jenjang sekolahnya. Jadi, baik guru maupun pengelola museum sudah harus tahu dimana bahan yang menarik untuk tingkat tertentu sesuai dengan pelajaran Sejarah di sekolah,” ujar Wardiman. Wardiman juga menyarankan selayaknya di luar negeri agar ada ruang khusus peneliti, mahasiswa, dan masyarakat yang tertarik mempelajari lebih dalam tentang koleksi museum. Selain itu, koleksi museum juga perlu ditata khusus untuk pameran tetap, pameran study, maupun pameran museum dengan tujuan agar dapat meningkatkan cinta masyarakat terhadap museum. Bagi para insan museum, diperlukan tidak hanya kepedulian dan tekad pada profesi pemuseuman, tetapi rasa bangga kepada profesinya. Wardiman berharap agar para insan museum dapat bangkit dan penuh semangat
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN M
E
2 0 1 3I
Mei sehingga semua visi dan program bisa dilaksanakan meskipun secara bertahap. “Kita harus proaktif, bangga dan kita jadikan lembaran yang ada sebagai kebanggaan kita. Bangkitlah dan kenalkan diri kepada dunia,” harapnya. Selain itu, ada lagi beberapa catatan penting yang disampaikan oleh Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam forum tersebut. Wardiman memaparkan visi dan misi sebuah museum, berdasarkan Dewan Internasional Museum, bahwa museum memelihara, menginterpretasi, dan promosi aspek-aspek warisan alam dan budaya dari kemanusiaan. Museum melakukan koleksi dan memilikinya untuk kepentingan dan pengembangan masyarakat. Museum juga membuktikan untuk memperkuat dan memperdalam ilmunya. “Betapa luasnya Permuseuman ini, bukan hanya koleksi saja tetapi memelihara, dan Permuseuman juga sebagai ilmu yang masih perlu dikembangkan,” papar Wardiman. Oleh karena itu, tentunya museum bekerja susuai dengan hukum dan aturan, juga secara profesional. Jadi, profesionalisme tetap ditekankan,” jelasnya. Berdasarkan catatan seorang pemerhati budaya Nunus Supardi, Wardiman juga memaparkan beberapa kritik terhadap keberadaan museum di Indonesia, di antaranya gedung yang kusam, penerangan kelam, koleksi terbatas, tidak memiliki story line, kemampuan SDM kurang, dan dukungan anggaran yang terbatas. Karenanya, untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah konkret seperti menjadikan gedung museum tampak lebih
bersih dan bagus, penataan cahaya dan koleksi yang baik, pemberian pelatihan-pelatihan kepada SDM museum sehingga mampu memberikan penjelasan yang baik kepada pengunjung dan pengelolaan yang profesional, dan juga perlu dukungan anggaran yang cukup. Ke depan, ujar Wardiman, museum sebagai lembaga publik harus disiapkan menjadi sebuah lembaga yang tidak hanya dihidupi oleh dana pemerintah atau pendirinya, melainkan juga dikembangkan suatu konsep agar museum juga dirawat oleh publiknya. “Konsep seperti ini tidak terlepas dari makna koleksi museum sebagai karya budaya suku bangsa atau bangsa yang selalu dijunjung tinggi dan dimuliakan oleh masyarakat pemiliknya,” tandasnya.
Duta Museum: Gunakan Media Sosial untuk Promosi Museum Dua duta museum Provinsi DKI Jakarta tahun 2012, Maulana dan Olivia Sandra, mengemukakan strategi komunikasi untuk menarik masyarakat berkunjung ke museum. Konsep strategi ini mereka dapatkan setelah hasil kuisioner yang mereka sebarkan di jejaring sosial twitter mendapatkan respon dari pengikut (followers)-nya. “Selama lima bulan menjadi duta museum, salah satu yang kita lakukan adalah melakukan kuisioner kecil-kecilan di twitter,” kata Olivia saat menjadi narasumber dalam seminar “Museum dan Generasi Muda” yang diselenggarakan oleh Ditjen Kebudayaan Kemdikbud, di Museum Nasional, Selasa (28/05). Strategi pertama, disampaikan oleh Maulana, yaitu manajemen hubungan dengan pengunjung.
dalam menyelenggarakan pameran tentang kota tua Batavia. “Memang tidak mudah melakukan kerja sama seperti itu, tapi itu dimungkinkan dan sudah ada contohnya,” katanya.
Hubungan tersebut dapat berupa kartu keanggotaan yang berisi data-data pengunjung. Sehingga ketika ada event yang dilakukan di museum tersebut, pengunjung yang telah menjadi anggota memperoleh keutamaan. Keutamaan tersebut dapat berupa kemudahan akses, informasi terbaru, maupun potongan harga tiket masuk ke museum. “Misalkan, bagi yang punya kartu member akan dapat diskon untuk ikut workshop yang diselenggarakan museum tersebut,” kata Maulana. Kedua, menurut Sarjana Sastra Perancis Universitas Indonesia ini, akan sangat efektif jika mengumpulkan semua museum dalam satu wadah yang terkoneksi internet, misalkan dalam sebuah website. Dengan terkumpulnya semua museum dalam satu halaman web, pengunjung tidak perlu lagi mencari informasi satu persatu tentang museum tersebut. Selain website, penggunaan jejaring sosial dalam promosi dan publikasi museum akan sangat membantu. “Anak muda sekarang hampir semuanya tidak bisa lepas dari gadget-nya. Jadi promosi melalui social media tentu sangat efektif,” terangnya. Strategi ketiga, yaitu jalin kerja sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan komunitas. Dukungan dari komunitas akan sangat berarti, karena komunitas memiliki jaringan sangat luas. Sedangkan untuk masalah pendanaan, kerja sama dengan lembaga-lembaga bisa menjadi alternatif. Ia memberi contoh, dinas kebudayaan provinsi DKI Jakarta yang telah menjalin kerja sama dengan British Council
Pengenalan kepada masyarakat tentang museum sebagai sebuah produk kebudayaan ini sudah selayaknya kontinyu. Maulana menyatakan, dengan brand image, masyarakat dikenalkan dengan sebuah gambaran tentang arti museum yang dikemas dalam sajian yang menarik dan menyenangkan. Museum tidak lagi dikenalkan sebagai bangunan yang kumuh dan berisi benda antik saja, tapi ada ilmu dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Peran serta aktif masyarakat ini penting. Itulah yang akan membuat bahwa pada saat datang ke museum masyarakat tidak hanya datang dan melihat-lihat koleksi museum, kemudian pulang. Ada keikutsertaan mereka untuk membuat atau menjadi bagian dari museum tersebut. Olivia mencontohkan, saat ia mengunjungi museum Madame Tussauds di Perancis, ia menyaksikan pengunjung dapat membuat patung tangannya sendiri dari lilin. “Ada kenangan tak terlupakan yang didapat pengunjung saat mengunjungi museum tersebut, meskipun mereka harus mengantri lama,” tuturnya. Selain masukan-masukan tersebut, dalam seminar tersebut dipaparkan pula tentang perilaku pengunjung museum yang kurang baik. Seperti mencorat-coret tembok museum, menjadikan benda-benda antik sebagai alat bantu foto, bahkan untuk mengambil sebuah gambar mereka harus menduduki atau melanggar batas yang telah dipasang. Dengan kondisi tersebut, mereka menganggap perlu adanya edukasi bagi pegawai museum untuk ikut menjaga dan mengingatkan pengunjung.
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN M
E
2 0 1 3I
Mei Demikian pula perlunya tampilan yang menarik dari museum dan sumber daya manusianya. Menurut mereka berdua, adanya sarana umum seperti toilet yang bersih, ATM, tempat ibadah, dan tempat beristirahat, diperlukan untuk menjaga kenyamanan di sebuah museum.
Pusat Arkeologi Nasional Lindungi Situs Gunung Padang Situs Gunung Padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks “bangunan” kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar diAsia Tenggara. Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyelenggarakan diskusi ilmiah sehari dengan tema “Rasionalitas Gunung Padang dan Piramida Atlantis”, pada Jumat (26/4) di Gedung Pusat Arkenas, Jakarta. Diskusi ilmiah ini dihadiri para ahli seperti
arkeolog, vulkanolog, serta organisasi profesi Ikatan Arkeolog Indonesia (IAI). Kepala Pusat Arkeologi Nasional, Bambang Sulistyanto menyatakan, diskusi mengenai Situs Gunung Padang ini merupakan pertemuan mereka yang kedua. Berbagai isu terkait Situs Gunung Padang yang berkembang sejak tahun lalu membuat para ahli dan pengamat cagar budaya merasa perlu melakukan tindakan untuk menjaga Situs Gunung Padang. “Gunung Padang adalah situs yang fenomenal. Namun bagi arkeolog, Situs Gunung Padang hanyalah situs biasa yang perlu dilestarikan. Tujuan seminar ini untuk menjelaskan eksistensi Situs Gunung Padang. Pernah ada pembicaraan, namun belum ada kesepakatan,” ujar Bambang saat membuka diskusi ilmiah tersebut. Sejak tahun lalu, Situs Gunung Padang diberitakan terdapat sebuah piramida di dasarnya. Selain itu, berita simpang siur mengenai keberadaan berton-ton emas juga beredar di kalangan masyarakat. Isu tersebut terus berkembang sehingga banyak yang berdatangan ke Situs Gunung Padang, baik ahli, peneliti, maupun masyarakat biasa. Banyaknya pengunjung di Situs Gunung Padang dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan pada cagar budaya tersebut, apalagi penelitian yang tidak sesuai prosedur. Sementara arkeolog senior, Harry Truman Simanjuntak, yang hadir dalam diskusi menjelaskan, tidak ada piramida dalam Situs Gunung Padang, melainkan punden berundak. Punden berundak merupakan satu unsur megalitik yang berkembang di Nusantara yang berfungsi untuk pemujaan. Punden mempunyai simbol kosmologi yang menggambarkan alam
semesta. Di akhir diskusi, para peneliti tersebut membuat sebuah petisi atas nama Forum Pelestari Situs Gunung Padang untuk disampaikan ke Presiden. Poin-poin dalam petisi tersebut di antaranya meminta pemerintah segera mengeluarkan moratorium untuk menghentikan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang dan menunjuk lembaga negara yang memiliki kompetensi di bidang arkeologi sebagai penanggungjawab. Mereka juga meminta pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap nilai kesejarahan situs dan lingkungannya sebagai wujud tanggung jawab bersama, serta menempatkan batas-batas situs Gunung Padang dan pembagian zona untuk melindunginya.
Warga Jakarta Nikmati Pergelaran Wayang Kulit di Kemdikbud Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2013 dimeriahkan dengan pergelaran wayang kulit dengan lakon Begawan Cipto Ning. Pergelaran wayang kulit tersebut diselenggarakan di Plasa Insan Berprestasi Gedung A Kemdikbud, Jakarta, pada Jumat malam (3/5). Dalam pergelaran tersebut, diadakan juga dialog interaktif dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengenai Kurikulum 2013.
pergelaran wayang kulit, Mendikbud M. Nuh menjawab pertanyaan seputar Kurikulum 2013. Dijelaskannya, perubahan kurikulum pada tahun 2013 ini dilakukan karena pertimbangan perubahan zaman. Kurikulum 2013 akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran 2013/2014. Pemberlakuan kurikulum baru tersebut akan dilakukan secara bertahap dan terbatas. Bertahap berarti untuk awal akan diberlakukan bagi kelas 1, 4, 7, dan 10. Sedangkan terbatas diartikan bahwa jumlah sekolah yang melaksanakannya disesuaikan dengan tingkat kesiapan sekolah.
Seminar dan Lokakarya Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Prof. Dr. Mahsun, M.S., menjadi pembicara utama dalam seminar yang diselenggarakan oleh Inspektorat Jendral (Itjen) Kemendikbud dengan tema “Kebijakan Strategis Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam Meningkatkan Mutu Guru dan Siswa Berbahasa Indonesia Sesuai Standar Nasional�. Acara yang digelar di Hotel Santika, Jakarta tersebut dibuka oleh Inspektur 1, Suharyanto, Selasa, 21 Mei 2013. Dalam paparannya, Mahsun mengemukakan bahwa bangsa yang berperadaban unggul dibangun berdasarkan politik identitas berupa
Ki Anom Suroto bertindak sebagai dalang dalam pergelaran wayang kulit tersebut. Pergelaran wayang kulit dari dalang asal Solo tersebut dimeriahkan dengan kehadiran Kirun dan Mamik Prakoso sebagai bintang tamu. Antusiasme masyarakat terhadap pergelaran wayang kulit ini pun cukup tinggi. Ratusan orang mendatangi Gedung A Kemdikbud untuk menikmati pergelaran wayang kulit yang dimeriahkan juga dengan kehadiran para pedagang kaki lima di lapangan Kemdikbud. Dalam dialog interaktif di sela-sela
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN M
E
2 0 1 3I
Mei bahasa. Dicontohkan, Jepang yang mengalami masa kehancuran saat Perang Dunia II dapat segera bangkit kembali berkat kebijakan politik bahasanya, yaitu dengan menerjemahkan berbagai buku pengetahuan ke dalam bahasa Jepang. Hasilnya, Jepang kini menjadi salah satu negara yang unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang juga menjadikan bahasa sebagai identitas nasionalnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa Indonesia juga memilih bahasa sebagai identitas nasionalismenya karena sejarah telah membuktikan bahwa beragamnya ras akan mempersulit Indonesia membangun nasionalisme berdasarkan ras. Sehubungan dengan itu, Badan Bahasa memprogramkan pengembangan dan pembinaan bahasa dalam konteks keindonesiaan, yaitu dalam konteks NKRI, konteks wilayah (terdepan, terluar, dan tertinggal), dan konteks pembangunan karakter bangsa. Berkaitan dengan peningkatan mutu guru dan siswa dalam berbahasa Indonesia, Badan Bahasa memprogramkan layanan sistem pembelajaran/pembinaan bahasa melalui penguatan kompetensi profesional dan pedagogi guru bahasa Indonesia berbasis Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), pengembangan model sistem pembelajaran bahasa Indonesia pada jenjang pendidikan formal, pengembangan perangkat pembelajaran pendidikan karakter bangsa yang berbasis bahasa dan sastra. Seminar itu juga menampilkan Nurjanah Basir, Guru bahasa Indonesia SMAN 54 Jakarta, ia membahas masalah penerapan kurikulum bahasa Indonesia pada guru dan siswa, dan hasil penguasaan siswa dalam berbahasa Indonesia
yang baik dan benar. Selain itu ia juga menyoroti masalah silabus yang terlalu mengikat kreativitas guru. Acara yang dihadiri oleh auditor Itjen Kemendikbud, karyawan Badan Bahasa, dan guru bahasa Indonesia itu ditutup oleh Inspektur 1, Itjen Kemendikbud, Suharyanto.
Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia Telah Dirampungkan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merampungkan Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia. Pedoman ini telah disusun pada Bulan Mei 2013 di Semarang. Dalam sambutan penyusunan Pedoman Pemanfataan Cagar Budaya Nasional dan Dunia di Semarang, Gatot Ghautama Selaku Plt. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman menyatakan bahwa pedoman ini diperlukan mengingat Cagar Budaya di Indonesia sangat beranekaragam bentuk, bahan, jenis dan fungsinya.
Bahkan, Gatot menambahkan bahwa beberapa Cagar Budaya kita telah diakui oleh badan dunia UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (Cultural World Heritage). Pengakuan tersebut membuktikan bahwa Indonesia memiliki warisan budaya yang tidak kalah nilainya dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia. Di lain kesempatan, pada saat Sambutan Finalisasi Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia di Bandung, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto menyatakan bahwa Cagar Budaya memiliki nilai budaya tinggi, di samping menjadi kebanggaan juga menjadi sumber pembentukan karakter bangsa dan budi pekerti bangsa. ”Cagar Budaya tersebut boleh dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, pariwisata, dan lain sebagainya. Bahkan dari tahun ke tahun jumlah pemanfaatannya cenderung terus mengalami peningkatan,” ujarnya. Dalam sambutannya pula, Harry menambahkan di samping mempunyai dampak positif terhadap kelestarian Cagar Budaya, aktivitas pemanfaatan cagar budaya tidak sedikit yang menimbulkan dampak negatif, dan hal ini tidak boleh diabaikan. Pemanfaatan Cagar Budaya secara berlebihan dan tidak terkendali untuk berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan kaidah pelindungan dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap fisik bangunan maupun nilai-nilai yang terkandung dalam cagar budaya itu sendiri. Berbagai upaya untuk melestarikan Cagar Budaya telah, sedang, dan akan terus dilakukan.
Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Warisan Budaya Dunia. Dengan adanya pedoman ini akan menjadi jelas prinsipprinsip dan kebijakan, serta langkah-langkah teknisnya. Selain itu, batas-batas kewenangan lembaga menjadi jelas sehingga akan tergambar siapa dapat melakukan apa, di mana, kapan dan bagaimana caranya, secara terarah dan terpadu, serta mudah dipahami.
Wiendu Nuryanti, UNESCO Hangzhou Kongres, High Level Panel Diskusi Budaya di Post2015 Pada Bulan Mei ini, tepatnya 15 Mei 2013 hingga 17 Mei 2013, wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Wiendu Nuryanti berkesempatan menghadiri acara yang bertajuk UNESCO Hangzhou International Congress, “Culture: Kunci untuk Pembangunan Berkelanjutan”, yang berlokasi di Hangzhou, Cina. Acara ini merupakan, kegiatan panel budaya tingkat tinggi yang mendiskusikan mengenai Budaya di Post-2015 dan merupakan agenda pembangunan berkelanjutan.
Untuk mewujudkan terciptanya iklim koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi pemanfaatan Cagar Budaya antara pusat dan daerah, maka disusunlah
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN M
E
2 0 1 3I
Juni
Teks Indri Ariefiandi, Ni Made Purnamasari, Satmoko Budi Santoso
2000 Siswa dan Guru Nonton Bareng Film Inspiratif Bersama Wamenbud Pada pagi, 15 Juni 2013, sebanyak 2000 murid dan guru serta masyarakat umum mengikuti acara Nonton Bareng Film Inspiratif bersama Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti. Acara nonton bareng film inspiratif yang digelar di GOR Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, ini mendapat sambutan yang antusias dari pelajar, guru dan masyarakat.
Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk membangun karakter bangsa untuk semua lapisan masyarakat, khususnya bagi “Generasi Emas� yang dimiliki Indonesia. Sebagaimana diketahui, Kemendikbud RI tengah menggalakan sosialisasi dan edukasi terkait pengembangan nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa yang dituangkan dalam 18 Nilai Karakter Bangsa. Pada acara yang resmi dihadiri oleh Wamenbud Wiendu Nuryanti ini, sejumlah Film Inspiratif ditonton bersama diantaranya adalah Surat Kecil untuk Tuhan, Hasduk Berpola, dan Tampan Tailor.
Kegiatan NONTON BARENG FILM INSPIRATIF 2013 ini rencananya akan digelar di 30 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kotakota yang dipilih adalah kota-kota yang tidak atau belum memiliki sarana gedung bioskop (theater), sehingga dapat memberi kesempatan bagi pelajar, guru, dan tenaga pendidik di daerah untuk menonton film berkualitas yang dapat menginspirasi dan merangsang mereka untuk berdiskusi mengenai nilai budaya yang terdapat dalam film tersebut. Pameran Purbakala Warnai HUT 100 Tahun Lembaga Purbakala Kesemarakan peringatan 100 Tahun Lembaga Purbakala yang diperingati pada 14 Juni 2013 semakin lengkap dengan adanya pameran purbakala yang diadakan di Museum Sejarah Jakarta (dikenal sebagai Museum Fatahilah). Pameran tersebut mengangkat tema “Cagar Budaya: Jembatan Menuju Masa Depan Bersama Umat” berlangsung mulai dari 24 sampai dengan 30 Juni 2013. Selain bertujuan untuk mempublikasikan peringatan berdirinya Lembaga Purbakala Indonesia, pameran ini juga bertujuan mengkampanyekan pelestarian cagar budaya kepada masyarakat. Demikian dikatakan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Harry Widianto, saat memberikan sambutannya di halaman Museum Sejarah Jakarta, Senin (24/06). Pameran ini, menurut Harry, dapat memberikan informasi yang komprehensif atas perkembangan Lembaga Purbakala selama seratus tahun terakhir. “Sumbangsih Lembaga Purbakala terhadap majunya pembangunan bangsa tidak terlepas dari kepemimpinan tokoh-tokoh sehingga sosok mereka juga menjadi nilai yang perlu dihadirkan dalam memori masyarakat di jaman modern ini,” ujar Harry.
menyampaikan harapannya adanya kerja sama yang semakin erat antara masyarakat, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah untuk bersama-sama melakukan upaya pelestarian cagar budaya di Indonesia. “Semoga juga kita semua dapat lebih mengapresiasi Lembaga Purbakala sehingga tumbuh kecintaan terhadap dunia purbakala di Indonesia,” harapnya. Ada pun rangkaian peringatan 100 Tahun Lembaga Purbakala diawali dengan penyelenggaraan Seminar “Kebudayaan Indonesia dalam Wilayah Asia dan Pasifik” pada 14 Juni 2013 di Plaza Insan Berprestasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kiprah Lembaga Purbakala Indonesia harus diberikan apresiasi yang besar mengingat jasa-jasanya dalam memelihara dan melestarikan cagar-cagar budaya di Indonesia. Sebut saja rekonstruksi mahakarya nenek moyang kita, seperti Candi Borobudur dan Prambanan, adalah salah satu jasa Lembaga Purbakala. Demikian tutur Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kacung Marijan, saat memberikan sambutannya saat membuka Pameran 100 Tahun Lembaga Purbakala di halaman Museum Sejarah Jakarta, Senin (24/06).
Atas nama Kemdikbud, Harry
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U N I
2013
Juni “Tantangan kita cukup besar. Tidak usah jauh-jauh. Di kawasan Kota Tua ini juga banyak tantangan. Kita akan koordinasi dengan pemda terkait untuk melestarikan bangunan yang ada,” ungkap Kacung. Selain itu, menurut Kacung, tugas besar kita juga harus dapat menanamkan kecintaan kepada anak didik kita yang akan melanjutkan pelestarian di masa yang akan datang. “Kita bertekad mau kuat secara ekonomi dan juga budaya. Kita ingin Indonesia sebagai adidaya dalam bidang kebudayaan,” harapnya.
PUKUL GONG, PRESIDEN MELEPAS PAWAI PKB Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi melepas pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-35 tahun 2013 di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Bajra Sandhi, 15 Juni 2013 lalu. Kemudian malamnya, pada pukul 20.00 Presiden membuka PKB di Taman Budaya Denpasar. Presiden SBY menandai pelepasan pawai dengan memukul gong beri. Mendampingi Presiden antra lain Mendikbud, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Menteri ESDM Jero Wacik, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, dan Seskab Dipo Alam. Pawai diawali dengan atraksi seni Adi Merdangga kolaborasi antara Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan siswa SMK 5 Denpasar yang menampilkan ratusan
penabuh kendang dan penari. Mereka membawakan Tari Siwa Nataraja, yang menampilkan Dewa Siwa, yang dalam mitos Hindu merupakan Dewa Kesenian. Tema pawai kali ini adalah “Taksu, Membangkitkan Daya Kreativitas dan Jati Diri”. Diurutan kedua, tampil tim kesenian dari Papua Barat lengkap dengan busana tradisional, kendang tifa, gerakan khas, dan nyanyi bersaut-sautan. Penyanyi Edo Kondologit didukung sejumlah penyanyi latar, membawakan medley antara lain Apuse, Yamko Rambe Yamko. Di akhir atraksinya sekitar 70 seniman Papua Barat, membawakan tari Bendera Merah Putih, yang menggambarkan patriotisme masyarakat Papua sebagai bagian dari NKRI. Pawai yang berlangsung sekitar 2,5 jam melibatkan sekitar 15 ribu seniman. Peserta pawai meliputi: Kabupaten Karangasem;Kabupaten Jembrana;Kabupaten Buleleng;Kabupaten Gianyar;Kota Denpasar;Partisipasi Kabupaten Sumenep;Kabupaten Bangli;Kabupaten
Klungkung;Partisipasi Kabupaten Lampung Barat;Kabupaten Badung;Kabupaten Tabanan;Partisipasi Republik Demokratik Timor Leste;Stikom Bali;Universitas Udayana. Selain dari Papua, pawai PKB juga diikuti negara asing, yakni seniman dari Timor Leste. Dari panggung kehormatan, Ibu Negara Hj, Ani Yudhoyono, mengabadaikan atraksi seni dengan kamera fotonya, diikuti oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Pawai mengambil rute perempatan Jalan Moh Yamin, Renon, menuju ke barat melewati Monumen Bajra Sandhi dan finis di depan Kantor Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pawai PKB ini diprediksi akan disaksikan oleh ribuan warga Bali dan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
PENONTON DIJAMU LAYAKNYA TAMU Keraton Art Festival kembali digelar di bangsal Siti Hinggil Keraton Kasunanan Surakarta pada Rabu dan Kamis, 12 dan 13 Juni 2013. Pergelaran tahunan festival seni dan budaya Keraton Surakarta ini kembali digelar dengan konsep sederhana namun mendekatkan Keraton dengan masyarakat umum yang hadir. Kesederhanaan penyelenggaraan Keraton Art Festival 2013 dapat terlihat dari konsep panggung yang “simpel”. Tata lampu panggung layaknya pertunjukan pada umumnya juga tampak tidak terlihat dipergunakan dalam festival yang mempertontonkan tarian koleksi Keraton Surakarta yang dibawakan oleh sanggar seni Keraton Surakarta itu. Penonton yang hadir juga tidak berjubel. Memenuhi tempat duduk yang disediakan namun tetap rapi dan nyaman menyaksikan pertunjukan yang dimulai dari jam 8 malam lebih.
Meskipun sederhana, namun terdapat hal yang sangat menarik dalam penyelenggaraan Keraton Art Festival 2013 semalam. Hal itu tampak dari bagaimana penyelenggara ingin merangkul penonton yang hadir layaknya tamu. Ratusan penonton yang hadir di bangsal Siti Hinggil tidak hanya disuguhi tari-tarian seperti tari Kirono Ratih, tari Wireng Tohjoyo Bugis, tari klasik Bondan Kendhi atau fragmen Kusumo Yudo saja. Layaknya tamu kerajaan, ratusan penonton yang hadir juga diajak untuk menikmati “jamuan makam malam” yang sudah disiapkan oleh penyelenggara di ruang sisi timur bangsal. Sontak saja ratusan penonton yang hadir memindahkan perhatian mereka ke ruangan itu dimana berbagai hidangan tradisional telah disiapkan. Meskipun berebut, namun semua penonton mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dari wedang asle, cabuk rambak, nasi liwet, jenang lemu, ketan, dan yang lainnya menjadi penghangat suasana pertunjukan semalam. Reaksi dan respon positif pun banyak diberikan oleh penonton terhadap penyelenggaraan Keraton Art Festival 2013. Salah satu yang sangat antusias adalah Guntur, mahasiswa UNS, yang hadir bersama rekannya.
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U N I
2013
Juni “Baru pertama kali ini saya datang menonton. Ternyata bukan hanya ada tarian saja yah,” ujarnya sambil tertawa dan menambahkan, “Semoga tahun depan festival ini kembali digelar dengan cara yang sama.”
Lokakarya Kreasi Kertas Sekitar 50 anggota sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Jakarta Selatan mengikuti lokakarya membuat kreasi unik dari kertas bergelombang warnawarni yang digelar di Ruang Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Senayan, Jakarta, Jumat (28/6). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian acara Pameran dan Bazar Buku Murah dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diselenggarakan di halaman kantor Kemdikbud sejak Kamis (27/6) hingga Sabtu (29/6). Lokakarya tersebut disambut baik oleh peserta. Mereka diajak untuk membuat dua jenis kreasi, yaitu boneka binatang kepik dan bros kupu-kupu dari kertas bergelombang. Mengaku baru mengenal jenis kertas bergelombang warna-warni itu, para peserta berhasil membuat dua jenis kreasi pada lokakarya yang menghabiskan waktu sekitar dua jam itu. Kreasi semacam ini cocok untuk mengenalkan berbagai macam bentuk benda kepada anak-anak usia PAUD dengan cara yang menyenangkan. Para peserta yang terdiri atas pengurus lembaga PAUD dan orang tua yang memiliki anak usia PAUD mengaku senang dapat belajar berkreasi dengan kertas bergelombang ini. “Membuatnya membutuhkan waktu, tapi hasilnya unik
dan lucu,” ujar Santi, salah satu peserta dalam lokakarya tersebut. Creative Design of Kokoru, Chrisna Handayani menjelaskan, kertas bergelombang warna-warni atau dalam bahasa Inggris disebut color corrugated paper, merupakan kertas produk asli Indonesia. Jenis kertas ini disingkat dengan nama Kokoru yang merupakan kependekan dari kata dalam bahasa Inggris tersebut. Meski hanya kertas bergelombang, namun kertas ini dapat menghasilkan banyak kreasi menarik. “Nama Kokoru terdengar seperti produk dari negara lain, namun kokoru merupakan produk asli Indonesia,” ujarnya saat memberikan penjelasan di awal lokakarya kepada para peserta.
Wamenbud : Selain Pakaian, Batik Bisa Dijadikan Penghias Interior Setelah Batik ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda warisan manusia oleh UNESCO sejak 2009. Perjuangan menjadikan batik sebagai warisan budaya dunia terus dilanjutkan dengan melestarikan batik dari generasi ke generasi. Salah satu langkah kongkrit yang diambil
Kementerian pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk melestarikan batik yaitu dengan mengadakan Lomba Desain Motif Batik untuk Mahasiswa yang secara resmi dibuka pada 4 Juli 2013 lalu. Desain yang dilombakan selain desain untuk pakaian, ada juga untuk desain interior. “Batik tidak hanya berfungsi sebagai pakaian atau kain, tapi lebih luas dari itu,” kata Wiendu saat itu. Wiendu mengatakan, sebagai Global Home of Batik, Indonesia memiliki keragaman elemen motif batik yang sangat banyak. sehingga tak hanya digunakan untuk pakaian, batik telah berkembang menjadi penghias ruangan. “Mulai dari bed cover, wall paper,
tutup saji, gelas, piring, dan lain sebagainya,” kata Wiendu mencontohkan. Prinsip utama dari batik adalah penggunaan malam (lilin batik). Salah satu hal yang menjadi keunikan batik adalah karena merupakan ekspresi seni yang dihayati dengan hati. “Lomba ini salah satu upaya konkrit untuk bisa menyumbangkan, mempromosikan batik, yang kaya motif, dan warna,” katanya.
18 Orang Juarai Lomba Karya Jurnalistik Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) melalui Pusat Informasi dan Humas (PIH) mengadakan Lomba Penilaian Artikel, Lomba Artikel, Lomba Features, dan Lomba Foto Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013. Tahun ini sebanyak 18 orang terpilih sebagai juara pertama hingga ke tiga untuk masing-masing kategori, dimana lomba foto terbagi lagi menjadi kategori pelajar/mahasiswa, kategori umum, dan kategori wartawan. Lomba sejenis ini telah diadakan sejak tahun 2007. Saat itu lomba masih sebatas penilaian artikel dan features, ditambah penilaian berita dan tajuk rencana. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud, Ibnu Hamad mengatakan, lomba bertujuan untuk memberikan apresiasi dan penghargaan kepada para penulis serta fotografer atas ide dan karyanya di bidang pendidikan dan kebudayaan, sebagai masukan kepada Kemdikbud. ”Dan menjalin hubungan yang harmonis antara Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat dengan insan pers dan para pemangku kepentingan pendidikan,” ujarnya saat memberikan laporan panitia dalam acara penganugerahan dan ramah tamah dengan para pemenang, di Hotel Ambhara, Jakarta, Kamis siang (27/6). Ibnu menjelaskan, tema lomba pada tahun 2013 ini adalah ”Membeli Masa Depan dengan Harga Sekarang”. Untuk kategori Penilaian Artikel, naskah yang terkumpul sebanyak 250 naskah. Untuk kategori Lomba Artikel, naskah yang terkumpul sebanyak 97 naskah. Dan untuk kategori Lomba Features, naskah yang terkumpul sebanyak 26 naskah. Sedangkan untuk lomba foto kategori pelajar/ mahasiswa, panitia menerima 147 foto, untuk kategori umum sebanyak 434 foto, dan untuk kategori wartawan sebanyak 124 foto. Pemberian hadiah kepada juara I telah
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U N I
2013
Juni menerima sebesar Rp 750.000 pertahun. Tahun lalu, BSM SMP sebesar Rp 560.000 persiswa. Dan bantuan untuk Sekolah Menengah Atas/ Sekolah Menengah Kejuruan dan sederajat adalah Rp 1 juta persiswa pertahun.
dilakukan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pagi harinya, saat membuka pameran pendidikan di Gedung A Kemdikbud, Jakarta. Sedangkan pemberian hadiah untuk juara II dan III dilakukan Sekretaris Jenderal (Sesjen) Kemdikbud, Ainun Na’im, saat menghadiri acara penganugerahan dan ramah tamah di Hotel Ambhara. Dalam sambutannya, Sesjen Kemdikbud Ainun Naim mengucapkan selamat atas prestasi yang dicapai para pemenang. Ia juga menjelaskan beberapa program utama Kemdikbud pada tahun 2013, terutama program yang menjadi kompensasi dari penaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yaitu program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Ainun mengatakan, tahun ini, alokasi anggaran BSM berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 adalah sebesar 6,09 T untuk 13,53 juta siswa. Satuan biaya untuk siswa jenjang Sekolah Dasar adalah Rp 450.000 persiswa pertahun. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun lalu sebesar Rp 360.000 persiswa. Untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) masing-masing siswa akan
Pemenang masing-masing kategori mendapatkan penghargaan berupa Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta uang tunai sebesar: Rp 10.000.000 untuk juara pertama, Rp 7.500.000 untuk juara kedua, dan Rp 5.000.000 untuk juara ketiga, yang semuanya dipotong pajak.
Berikut daftar nama pemenang Lomba Penilaian Artikel, Penulisan Artikel dan Karya Jurnalistik Feature serta Lomba Foto Bidang Pendidikan 2013
I. Pemenang Penilaian Artikel Judul
Penulis
Media
Tanggal Terbit
Keterangan
Kurikulum Baru dan Kritik dalam Pembaruan
Rhenald Kasali
Koran Sindo
7 Maret 2013
Pemenang I
Menyoal Pelatihan Guru
Jejen Musfah
Media Indonesia
18 Februari 2013
Pemenang II
Salah Persepsi Otonomi Perguruan Tinggi
Herry Suhardiyanto
Kompas
30 Maret 2013
Pemenang III
II. Pemenang Lomba Penulisan Artikel Judul
Penulis
Media
Tanggal Terbit
Keterangan
Menyelisik Pendekatan Tematik- Terintegrasi dalam Kurikulum 2013
I Gusti Ketut Tribana
Bali Tribune
22 Maret 2013
Pemenang I
Dilahirkan dan Melahirkan Tradisi (Bag 1 dan 2)
Lukman Hakim Husnan
Kabar Sumatera
12 Februari 2013
Pemenang II
Memenangkan Masa Depan
Gusnaldi
Singgalang
3 April 2013
Pemenang III
III. Pemenang Lomba Features Judul
Penulis
Media
Tanggal Terbit
Keterangan
Sekolah dari Karung Beras
Heriyanto
Pontianak Pos
3 April 2013
Pemenang I
Pertaruhan Kurikulum 2013
Ag. Tri Joko Her Riadi
Pikiran Rakyat
1 April 2013
Pemenang II
Keluar Masuk Pedalaman, Hanya Ketemu Tiga Perajin
M. Hilmi Setiawan
Jawa Pos
26 Januari 2013
Pemenang III
IV. Pemenang Lomba Foto Kategori Pelajar / Mahasiswa Judul Foto
Fotografer
Keterangan
Angkutan Sekolah Dikala Banjir
M. Hendartyo Hanggi W.
Pemenang I
Horee
Yasin Hidayat
Pemenang II
Mengejar Pendidikan
Iman Firmansyah
Pemenang III
Judul Foto
Fotografer
Keterangan
Semangat Belajar
A Mei Harmawansah Pemenang I
Mendaki Cita-cita
Christian Heru Cahyo Saputro
Pemenang II
Meningkatkan Psikomotorik melalui Praktik
Yuniawan Setyono
Pemenang III
V. Pemenang Lomba Foto Kategori Umum
VI. Pemenang Lomba Foto Kategori Wartawan Judul Foto
Fotografer
Media
Keterangan
Mengabaikan Keselamatan
Kurniawan Arie Wibowo
Harian Joglo Semar
Pemenang I
Jembatan Rusak
Isra Triansyah
Koran Sindo Palembang
Pemenang II
Latihan Ujian
Maulana Surya Tri U
Harian Umum Solo Pos
Pemenang III
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U N I
2013
Juni Sastra Kelautan Di Tengah Materialisasi Budaya Setelah Kupang yang terasa makin bergairah beberapa tahun belakangan, kini matahari sastra mulai bersinar di Flores Timur. Itulah yang bisa dikatakan selepas mengikuti Temu Sastrawan Indonesia Timur (TSIT) selama tiga hari di Larantuka, 8 – 10 Juni 2013 lalu. Seperti judulnya, kegiatan ini memang dimaksudkan untuk menjadi ajang sharing dan silaturahmi kalangan sastra yang berdiam di kawasan Indonesia bagian timur. Sayang sekali, karena keterbatasan anggaran, panitia hanya sanggup mendatangkan para peserta yang berdomisili di propinsi NTT (Kupang, Manggarai, Ende, Adonara, Larantuka, dan Maumere ). Walaupun demikian para peserta rata-rata menyatakan sangat gairah mengikuti pertemuan ini hingga akhir acara. Sesuai tema acara “Menggali Akar Tradisi Maritim Sebagai Lokus Sastra Indonesia
Timur�, soal-soal yang dibahas memang terkonsentrasi pada upaya pengenalan dan penggalian khazanah kelautan. Menurut Bara Pattyradja, aktivis Lembaga Sastra Timur Matahari yang menjadi pelaksana kegiatan ini, aspek maritim selama ini masih belum banyak dieksplorasi ke dalam karya-karya para penulis di NTT. Padahal, katanya, baik geografi dan budayanya, NTT merupakan wilayah yang didominasi lautan. Selain itu, ia melihat masalah-masalah sastra di kawasan ini pun mempunyai karakter sendiri yang membedakannya dengan masalah-masalah kesastraan di wilayah lain. Untuk itulah, ia bersama sejumlah jaringan komunitas sastra di Flores mencoba membuka ruang dialog bagi melakukan identifikasi terhadap persoalan-persoalan sastra yang terkait isu maritim itu. Tak keliru memang, tema kelautan sangat cocok untuk digali oleh kalangan penulis di NTT. Kawasan ini, selain memiliki keindahan
lautan yang luar biasa, warisan-warisan budaya praneolitik, dan spesies-spesies kepulauan langka, memiliki pula sejumlah tradisi maritim yang unik. Yang turut membentuk kekayaan bahasa, toleransi, dalam mindset budaya yang heterogen. Latar belakang seperti itu, menurut penyair Yoseph Lagadoni Herin yang tampil sebagai pembicara pada kegiatan tersebut, mendorong munculnya gagasan mitis mengenai “Hari Jadi Bota Dewa” (nenek moyang pertama yang dilahirkan lautan) yang eksistensinya setara dengan “Ile Jadi” ( Nenek moyang dari gunung). Budaya laut di Flores Timur mencakup hampir keseluruhan aspek kehidupan masyarakatnya. Meskipun diikat oleh satu nation yang disebut Lamaholot, aspek keberagaman yang tercermin dalam mitologi asal-usul, bahasa, sejarah dan ras masyarakat wilayah ini tak pupus sampai sekarang. Flores Timur, sesungguhnya adalah miniatur masyarakat global purbakala yang merepresentasikan persilangan berbagai ras, bahasa dan kebudayaan dunia yang telah memadu dalam suatu pergaulan budaya. Perpaduan itulah yang terekam dalam benang merah mitologi asal-usul tentang manusia gunung dan manusia lautan. Dalam konteks yang meliputi prasejarah dan sejarah itulah, gagasan untuk melirik kembali wahana kelautan perlu dirayakan. Mengutip pernyataan Radhar Panca Dahana yang juga menjadi pembicara pada kegiatan ini “Sudah waktunya kita melepaskan ikatan imajinasi ‘daratan’ yang selama ini membelenggu pandangan kebudayaan kita...” Sastra tak sendirian dalam hal membangkitkan kesadaran kelautan ini. Belakangan, pemerintah (melalui program pariwisata ) juga gencar mempromosikan Indonesia Timur ke dunia internasional melalui festival-festival berbasis kelautan atau budaya kelautan. Namun realitanya, festivalfestival kelautan yang menghabiskan dana
besar seperti Sail Banda, Sail Komodo, festival Bunaken dan lain-lain festival itu, belum tentu berdampak positif bagi kebudayaan itu sendiri. Bahkan cenderung hanya menjadi proses materialisasi budaya. Dan pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk bersikap pragmatis terhadap warisan budaya mereka. Dr.Marsel Robot, pengajar dari UNDANA, pada kesempatan yang sama mengatakan, materialisasi dan pragmatisme budaya menjebak masyarakat dalam kepalsuan mental. Dalam proses materialisasi budaya itu, orang pada dasarnya tidak bekerja untuk kebudayaan. Melainkan menggunakan kebudayaan untuk memenuhi nafsu-nafsu material mereka. Itulah kenyataan tradisi kita. Sastra, katanya, berpeluang melakukan desakralisasi dan aktualisasi atas tradisi yang sudah dimaterialisasi itu. Pada tahap inilah sastra mengambil peran sebagai penyeimbang. Sastra yang dalam dirinya membawa watak batiniah dan kemampuan untuk mentransendensi gejalagejala material, akan melengkapi proses-proses budaya yang ada. Sehingga kebudayaan itu dapat berjalan pada koridornya sebagai haluan bagi masyarakat.
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U N I
2013
Juli
Teks Indri Ariefiandi, Ni Made Purnamasari, Warih Wisatsana
Kreatifitas Museum Untuk Menarik Pengunjung Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti di sela-sela kunjungannya ke Medan, Sumatera Utara menyempatkan diri untuk berkunjung ke Museum Sumatera Utara di Jalan HM Jhoni , pada 20 Juli 2013. Dalam Kunjungannya tersebut Wamenbud didampingi oleh Dirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Kepala LPMP Provinsi Sumatera Utara Drs.H.Bambang Winarji,M.Pd serta perwakilan dari pihak Museum Sumatera Utara.Wiendu berharap bahwa Pihak Museum
agar dapat lebih kreatif lagi dalam menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke museum khususnya siswa-siswi sekolah agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan mereka. Wiendu juga mengapresiasi pihak museum Sumatera Utara yang telah banyak memiliki koleksi benda-benda yang bernilai historis khususnya yang berasal dari sumatera utara serta dalam hal perawatan benda-benda yang bernilai historis itu.Setelah dari Museum provinsi Sumatera Utara wamendikbud melanjutkan perjalanan ke rumah Tjong A fie yang terletak di jl kesawan,medan.Setiba disana rombongan wamendikbud di sambut oleh cicit dari tjong afie yakni Fon Prawira Tjong beserta istri.Disana wiendu melihat barang-barang peninggalan dari
tjong a fie serta warisan yang ditinggalkannya tidak hanya bagi keluarga namun juga bagi masyarakat kota medan.Wiendu berharap agar pihak keluarga yang kini mengelola objek wisata rumah tjong a fie ini agar terus dapat melestarikan barang-barang peninggalannya serta merawatnya dengan baik agar tetap dapat dilihat serta dikagumi oleh masyarakat tidak hanya dari provinsi sumatera utara namun juga dari provinsi lain di Indonesia.
Kolaborasi Seni Bali-Australi Pelukis Bali, Wayan Sujana Suklu, menampilkan karya kolaborasi bersama seniman asal Perth, Australia, Paul Trinidad, di Sudakara Art Space pada 26 Juli – 26 Agustus 2013. Kurator pameran, Wayan Seriyoga Parta menuturkan bahwa dalam eksibisi ini khusus dihadirkan puluhan karya kanvas, ratusan sket dan karya instalasi keduanya. Menariknya, baik Suklu maupun Paul adalah seniman yang juga pengajar di Universitas. Paul sebagai dosen seni rupa di ALVA University of Western Australia, sedangkan Suklu dikenal sebagai dosen seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. “Pertemuan kedua seniman yang berbeda latar belakang budaya itu dimulai sejak tahun 2010 ketika Paul dan staf dosen serta mahasiswa
ALVA University berkunjung ke ISI Denpasar,� ujar Wayan Seriyoga Parta. Saat itu mereka melakukan workshop drawing bersama Suklu. Sejak saat itu mereka melakukan komunikasi yang intens berawal dari adanya kesamaan nama studio, Ancient Rock (Batu Purba) Studio (ARS) milik Paul di Perth dan Batubelah (Broken Rock) Art Space (BBAS) milik Suklu di Klungkung.
Kritik Sosial lewat Bali Not For Sale
Tajuk acara yang satu ini terbilang menggelitik: Bali Not For Sale. Tapi kegiatan yang digelar pada 26 Juli 2013 lalu tersebut bukan
diperuntukan khusus bagi transaksi jual-beli, apalagi promo cuci gudang. Ini adalah acara ekspresi generasi muda Bali yang peduli akan kekinian dan masa depan pulau yang dicintainya. Konser musik ini dimeriahkan dengan penampilan grup band asal Bali yang telah punya nama di lapis generasi anak muda, seperti Superman is Dead, Aji, Sanggar Dewata, xRMBx, Geeksmile, Nosstress, POSTMEN, The Bullhead Bali dan lain sebagainya. Selain mendengarkan lantunan lagu yang sebagian besar bertemakan sosial, acara juga dimaknai dengan kompetisi
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U L I
2013
Juli fotografi, bersepeda bersama, serta partisipasi berbagai komunitas seni budaya anak muda Bali. Digelar di Desa Junjungan, Ubud-Bali, acara ini boleh diberi arti sebagai ekspresi positif generasi kini Bali atas kondisi degradasi alam lingkungan Bali yang terus terjadi demi kepentingan investasi serta pariwisata. Hm, setidaknya ini upaya kritik yang menarik dan kreatif, tinimbang berdemonstrasi keliling kota sebagaimana lazimnya..
Pameran 100 Tahun Lembaga Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam rangka memperingati 100 tahun perjalanan lembaga purbakala menyelenggarakan
Pameran 100 Tahun Lembaga Purbakala yang dimulai 24 hingga 30 Juni 2013, di Museum Sejarah Jakarta. Pameran ini merupakan rangkaian dari peringatan 100 tahun lembaga purbakala yang mengangkat tema “Penguatan Citra Kebudayaan Bangsa”. Melalui pameran ini, pengunjung diajak untuk menelusuri perjalanan lembaga purbakala, dimulai pada tahun 1913 yang pada saat itu bernama Oudheidkundige Dienst in Nederlandsh Indie, hingga sekarang. Selain itu, pengunjung juga dapat melihat tokoh-tokoh yang berjasa dalam melestarikan warisan budaya kita. Dalam pameran ini juga akan diluncurkan Logo Cagar Budaya, buku 100 tahun Purbakala karya Nunus Supardi, dan Perangko edisi khusus 100 tahun Purbakala kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan PT. Pos Indonesia. Pameran ini terlaksana dengan kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika, PT. Pos Indonesia, dan Media Group.
Jogja Fashion on The Street, Burung Merak pun Jadi Busana Minggu 7 Juli 2013, Jalan Malioboro Daerah Istimewa Yogyakarta penuh dengan masyarakat yang ingin menikmati hasil kreativitas dan daya imajinasi dari para perancang busana yang menjadi pendukung dari acara karnaval atau kirab Jogja Fashion on The Street. Acara “pameran busana di jalan” ini ternyata juga telah ditunggu-tunggu masyarakat umum. Maklum, karena banyak anggota
masyarakat yang tidak bisa mengikuti semua rangkaian acara JFW. Karnaval atau kirab Jogja Fashion on The Street yang sesungguhnya boleh dikatakan sebagai puncak acara JFW menjadi ajang bagi masyarakat untuk menikmati semua hasil kreativitas dan daya imajinasi dari para perancang busana. Bagi awam, hasil rancangan busana yang tidak umum atau spektakuler membuat mereka terhenyak kagum. Barangkali memang
rancangan atau desain pakaian yang secara normatif kelihatan aneh tidak pernah masuk dalam kerangka pikiran mereka. Hal yang aneh, unik, tidak biasa, tidak umum, tidak pernah ada sebelumnya akan selalu memikat perhatian orang. Demikian pun dengan aneka macam desain atau rancangan pakaian yang diperagakan oleh para peragawati.Lepas dari aneh atau tidak. Indah atau tidak. Nyaman dikenakan atau tidak. Namun kesan tampilan yang luar biasa memang membuat semua orang yang menyaksikan cukup terperangah. Jogja Fashion on The Street merupakan rangkaian dari acara Jogja Fashion Week 2013. JFW 2013 merupakan JFW yang ke-8 atau sewindu. Rangkaian acara JFW diadakan selama 3-7 Juli 2013. Tema yang diangkat oleh JFW adalah Simfoni Khatulistiwa. Penyelenggaraan JFW berangkat dari visi bahwa JFW adalah pintu gerbang atau pintu masuk fashion
Indonesia. Titik berat rancangan busana yang ditampilkan dalam Jogja Fashion on The Street, yang mengambil catwalk sepanjang Jalan Malioboro –A Yani (depan Kantor Dinas Pariwisata Yogyakarta-Museum Benten Vredeburg), adalah mempresentasikan tren atau gaya etnik. Diharapkan hal demikian akan semakin membentuk dalam memperdalam kecintaan pada produk-produk budaya nasional. Beberapa bentuk busana yang menjadi ikon dalam acara ini antara lain adalah desain busana yang menyerupai burung merak. Desain ini dirancang khusus sehingga menampilkan sosok ekor merak yang sedang mekar dengan elok dan anggunnya. Untuk membuat ekor merak ini perancang atau desainer menggunakan bilahbilah bambu yang ditancapkan pada papan dan dihias aneka rupa jenis kain warna-warni. Papan itu kemudian tampak seperti digendong oleh peragawati atau peragawannya (seperti orang menggendong tas gendong). Selain itu ada juga desain yang menyerupai burung cendrawasih yang dipadupadankan dengan desain budaya tradisional kebaya. Demikian pula desain busana yang menekankan diri pada penggunaan keranjang bambu (kreneng). Kemampuan mengolah kreneng menjadi desain busana juga bukan hal yang mudah. Peragawan atau peragawati yang mesti membawakan desain-desain busana tersebut jelas harus dilatih khusus karena hakikatnya desain busana yang harus mereka peragakan memang bukan desain yang lumrah.
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN J
U L I
2013
Agustus
Teks Ni Made Purnamasari, Naura Arasell, Warih Wisatsana
Festival Film Dokumenter Kebudayaan BPNB Padang Untuk kelima kalinya, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang kembali menyelenggarakan Festival Film Dokumenter untuk wilayah Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Festival ini terdiri dari beberapa kegiatan diantaranya lomba pembuatan film dokumenter kebudayaan, pemutaran film peserta lomba di tengah-tengah masyarakat, dan pelatihan pembuatan film dokumenter. Tujuan dari kegiatan-kegiatan ini
diharapkan dapat mendorong bertambahnya jumlah masyarakat yang melakukan pendokumentasian aktivitas kebudayaan, menjadi ajang pertukaran pengetahuan budaya, dan juga dapat berefek terhadap peningkatan kualitas pendokumentasian aktivitas budaya. Untuk lomba pembuatan film dokumenter kebudayaan menargetkan peserta siswa tingkat SMA di wilayah kerja BPNB Padang. Ruang lingkup film yang dibuat harus memasukkan unsur-unsur kebudayaan yang ada di wilayah masing-masing, meliputi: pemainan tradisional, seni tradisi, upacara tradisional, pengobatan tradisional, pakaian tradisional, dan makanan tradisional.
Kepala BPNB Padang, Nurmatias pada jumpa pers di Kuranji,Padang (21/08) mengatakan dengan adanya kemajuan teknologi audio visual memungkinkan masyarakat melakukan pendokumentasian aktivitas kebudayaan. “Bahkan dengan handphone saja anak-anak dapat mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya yang ada di sekitar mereka,” ujarnya. Nurmatias juga menambahkan khususnya dengan adanya lomba pembuatan film dokumenter kebudayaan ini selain membantu menginventasisasi aktivitas kebudayaan, juga dapat merangsang minat siswa SMA untuk mengembangkan kemampuan bidang audio visual secara profesional yang berkarakter dan mempunyai jati diri kuat sebagai bangsa Indonesia. Disisi lain, Nurmatias berharap melalui pendokumentasian dapat mengamankan upaya-upaya pencaplokan hak paten oleh negara lain. Menurutnya kebudayaan bisa lintas daerah, provinsi, dan budaya. Dalam kondisi yang ada, banyak kebudayaan kita yang sudah dipatenkan oleh negara lain karena saat ini kebudayaanIndonesia dinilai mempunyai nilai ekonomi dan industri. “Dengan adanya kegiatan ini, kebudayaan yang ada bisa kita lestarikan, kita amankan dari usaha-usaha pencaplokan, sekaligus menjadi kebanggaan kita bahwa tingginya nilai kebudayaanIndonesia diakui negara lain yang memanfaatkannya,” jelasnya.
Cermin Kebangsaan Dalam FFIBBB 2013 Bentara Budaya Bali menggelar festival film perdana, Festival Film Internasional Bentara Budaya Bali (FFIBBB) pada 28 Agustus - 2 September 2013 lalu. Acara yang terselenggara atas kerjasama Udayana Science Club, mengusung tema utama ‘Kebangsaan’ dalam bingkai cerita ‘Ibu dan Anak’. Selain mengetengahkan sinema berbagai negara seperti Italia, Jerman, Belanda, India,
Jepang, Iran dan Tunisia, secara khusus juga menghadirkan film-film Indonesia terpilih bertautan dengan persoalan Kebangsaan, di antaranya karya Garin Nugroho (Surat untuk Bidadari), Riri Riza (Atambua 39 Celcius), Lola Amaria (Kisah Tiga Titik), dan Preview Film dari Sutradara Happy Salma (Kamis ke-300). Digelar pula acara untuk para penoreh sejarah, ‘A Tribute to Maestro : Film Hitam Putih’, karya sutradara legendaris Rashomon (Akira Kurosawa), The Kid (Charlie Caplin), serta Darah dan Doa (Usmar Ismail). Film-film lainnya adalah karya sutradara pemenang Cannes, Oscar, Berlin Festival dan peraih award lainnya, di antaranya Mehboob Khan (India), Bahman Ghobadi (Iran), Giuseppe Tornatore (Itali), Jean-Pierre Jeunet (Perancis), Wolfgang Becker (Jerman), Dennis Bots (Belanda), Kenji Nakanishi (Jepang) serta sutradara perempuan Najwa Limam Slama (Tunisia). Masing-masing film bersentuhan dengan persoalan kebangsaan, baik secara langsung maupun tidak, serta dituturkan melalui sosok Ibu dan/atau Anak. Pikiran-pikiran tentang kebangsaan dan nasionalisme kerap kali sulit diimplementasi lantaran gagasan, cakupan nilai, serta tantangannya yang sedemikian kompleksnya. Terlebih Indonesia memiliki kekayaan kultural yang beraneka, tersebar dari Sabang sampai Merauke mencakup lebih dari 17.000 pulau. Negeri ini tidak hanya semata-mata berhadapan dengan masalah bagaimana menjaga keutuhan bangsa seraya mengukuhkan penghormatan akan kebhinnekaan, namun sekaligus juga berada dalam pusaran globalisasi, yang menuntut peran cerdas dan strategis kita di bidang sosial, politik, dan kebudayaan. Kondisi ini membutuhkan pandangan atas kebangsaan yang lebih utuh dan menyeluruh, yang memadukan sebentuk kesadaran akan nasionalisme yang berperikemanusian serta universal. Problematik di seputar “Kebangsaan” ini ditetapkan Dewan
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN AG
USTU
2 0 1 3S
Agustus Kurator Bentara Budaya sebagai tema utama tahun 2013, yang direspon oleh empat venue (Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Balai Soedjatmoko Solo, dan Bentara Budaya Bali) dengan aneka program seni budaya. “Festival juga mengagendakan berbagai diskusi; “Dilema Kebebasan, Sensor Dalam Film Indonesia”, “Atambua dan Sumba: Cerita Indonesia Di Balik Kamera”, “Sosok Perempuan Dalam Sinema: Melintas Batas Entitas”. Kegiatan ini juga menyediakan sesi mengenai keberadaan komunitas film indie, berikut karya-karya film cerita dan dokumenter mereka. Sebagai honorable speech dan narasumber, Garin Nugroho, Noorca M. Massardi, Happy Salma, Putu Fajar Arcana, Nunus Supardi, Lola Amaria, Jean Couteau, Koes Yuliadi, Maria Matildis Banda, Putu Kusuma Widjaja, Putu Satria Kusuma, Agung Bawantara, Antonella de Santis, dan lain-lain.
Festival ini didukung oleh lembaga-lembaga kebudayaan, di antaranya Institut Française Indonesia (IFI) Jakarta, Pusat Kebudayaan Perancis Alliance Française Denpasar, Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut Indonesien, Pusat Kebudayaan Italia Istituto Italiano di Cultura Jakarta dan Konsulat Jenderal Italia di Denpasar, Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus
Huis, Japan Foundation Jakarta dan Konsulat Jenderal Jepang di Denpasar, Konsulat Jenderal India di Denpasar, dan Bidang Kebudayaan Kedutaan Besar Iran di Indonesia dan Embassy of the Republic of Tunisia, serta Honorary Consul of Republic of Tunisia di Denpasar. Di samping itu, program film bersama ini mendapat apresiasi dan dukungan dari Sinematek Indonesia, Lembaga Sensor Film Indonesia, Publicist Miles Films, Lola Amaria Production, Titimangsa Foundation, dan i netra production, STIKOM Bali, berikut komunitas-komunitas film di Tanah Air. Digelar pula ruang untuk sineas independen, yang karya cerita dan dokumenternya juga terbilang mumpuni; Chairun Nissa (Institut Kesenian Jakarta) dengan film Purnama di Pesisir, yang meraih Penghargaan Special Mention for Short Film 9th Roma Independen Film Festival (2010) dan Official Selection 39th International Film Festival Rotterdam (2010); penggagas Festival Film Dokumenter Denpasar, Agung Bawantara, berikut karya-karya pemenangnya; Komunitas Film Buleleng; Rai Pendet (Tarian Bumi; terilhami novel karya Oka Rusmini) – ISI Yogyakarta, dan lain-lain. Mendahului Festival Film Internasional Bentara Budaya Bali 2013 ini, diselenggarakan agenda workshop: Alih Bahasa (subtitling) Film oleh Ida Ayu Made Puspani; Penyutradaraan dan Mata Kamera oleh Putu Kusuma Widjaja; Seni Peran dan Adaptasi Naskah oleh Happy Salma, sedari 26 - 31 Juli 2013.
Maestro Wayan Bendi Pameran di Museum Rudana Museum Rudana, Ubud, kembali mempersembahkan Pameran The World
Harmony, mengetengahkan karya-karya maestro seni rupa tradisi Bali, I Wayan Bendi. Agenda yang dibuka pada 3 Agustus 2013 dan berlangsung hingga 3 September 2013 itu, menurut Putu Supadma Rudana, President of The Rudana, merupakan cerminan penghargaan terhadap para seniman, khususnya para kreator seni tradisi yang telah lama berkiprah dan berdikasi bagi pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali. Pameran The World Harmony tersebut menghadirkan empat puluh karya terkini dari maestro I Wayan Bendi, yang mencipta berbagai karya gemilang, mengolah kekayaan filsafat Bali atau local wisdom menjadi bahasa rupa yang bersifat universal. Pelukis kelahiran 1950 asal Batuan ini tersohor oleh kemaestroannya dalam mengolah wujud rupa seni lukis klasik Bali dengan tematema kekinian berlatar kehidupan keseharian masyarakat modern. Pelukis ini pernah berpameran juga di Fukuoka Art Museum di Jepang, Singapore Art Museum, The Asia Society Galleries dan sebagainya. Selain menggelar pameran, dialog budaya dan apresiasi seni lainnya, Museum Rudana juga telah meluncurkan buku Bali Inspires, merangkum koleksi terpilih dari museum yang didirikan pada 26 Desember 1995 ini. Di dalam buku yang ditulis oleh Jean Couteau dan diluncurkan pada tahun 2011 tersebut, terdapat salah satu bagian yang didedikasikan khusus untuk meluhurkan keadiluhungan seni budaya dan tradisi Bali, terutama karya-karya seni lukis klasik Bali yang tersohor itu.
Minikino Putar Sinema Festival Solo Minikino menggelar pemutaran film pada 24 Agustus. Kali ini, yang ditayangkan adalah film-film yang meraih penghargaan dalam Festival Film Solo 2013. Festival Film Solo merupakan festival film tahunan yang fokus pada perkembangan film-film fiksi-pendek Indonesia, melalui program-program kompetisi maupun non-kompetisi dan forum. Festival ini kali pertama diinisiasi oleh Ricas Cwu, Bayu Bergas dan Joko Narimo pada tahun 2011. Penghargaan tertinggi kompetisi dalam Festival Film Solo adalah Ladrang Award untuk Kategori Umum-Nasional, dan Gayaman Award untuk Kategori Pelajar-Nasional. Penghargaan
tersebut mewujud dalam bentuk Keris Pusaka Ladrang dan Keris Pusaka Gayaman, yang ditempa secara khusus oleh Empu Yohanes Yantono. Karya yang diputar di antaranya: “HALAMAN BELAKANG” (Sutradara: Yusuf Radjamuda asal Palu), “LIBURAN KELUARGA” (Sutradara: Tunggul Banjaransari asal Boyolali), “ON THE WAY “ (Sutradara: Jeihan Angga asal Solo) dan “SINEMA PURNAMA “ (Sutradara: Andra Fembriarto asal Pamulang).
KALEI K E B U DD O S K O P AYAAN AG
USTU
2 0 1 3S
September
Teks Ni Made Purnamasari, Naura Arasell, Riki Dhamparan
Mendikbud Promosikan Koleksi Museum dengan ‘Bumbu’ Cerita Mistik Koleksi museum sering dianggap hanya sebagai peninggalan masa lalu. Meskipun mempunyai nilai sejarah tinggi, namun antusiasme masyarakat dinilai masih rendah. Guna menarik minat pengunjung, aset bangsa itu harus terus dipromosikan. “Anakanak tidak bisa dipaksakan wajib mengunjungi Museum,” kata M Nuh Selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat memberikan keterangan pers di ruang kerjanya, di
Kemdikbud, Jakarta , Selasa (17/9/2013) malam Ia juga menambahkan bahwa kunci dari mempromosikan pariwisata adalah dengan membuatnya menjadi atraktif. “Memang penting mengajak anak (berkunjung) ke museum, tetapi bagaimana agar ajakan tersebut menjadi menarik. Supaya menarik, gunakan (cerita) mistik,” tambahnya. Menurut Mendikbud, cerita mistik dibalik koleksi museum ini tidak harus sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sekedar untuk menarik perhatian, kata dia, cerita mistik cukup disampaikan dengan ungkapan ‘katanya’. Penggunaan cerita mistik ini, lanjut
Mendikbud, juga digunakan untuk menarik pengunjung museum di berbagai negara sepertiJepang, Korea, bahkan Perancis. Salah satu sasaran pada rencana strategis Kemdikbud adalah meningkatnya jumlah pengunjung pada museum yang direvitalisasi sebanyak 5 juta orang. Mendikbud mengatakan, tugas pengelola museum tidak sekedar menjaga koleksi museum. Lebih dari itu, kata dia, mereka harus mampu mempromosikan koleksi museum menjadi sesuatu yang bermakna. “Koleksi museum itu tidak ada barang yang baru. Kepala museum harus bisa melakukan kontekstualisasi kekinian,” katanya. Mendikbud meminta, selain menambah perbendaharaan benda bersejarah, pengelola museum juga membuat sistem informasi untuk memudahkan pengunjung dalam melakukan penelusuran.Sistem ini, nantinya dapat menghubungkan informasi antarmuseum. “Tujuannya agar pengunjung awam dapat memahami sebagai rangkaian cerita yang utuh. Kalau bisa sampai ke museum di luar negeri.” Terkait dengan hilangnya empat artefak emas peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, yang disimpan di Museum Nasional pekan lalu, Mendikbud telah memberikan arahan kepada para kepala museum di Indonesia. Mendikbud meminta untuk meningkatkan keamanan, memperkuat tata kelola, dan membenahi kompetensi para pengelolanya. “Nilai barang sejarah tidak bisa dirupiahkan, sehingga harus lebih hati-hati betul mengelolanya. Jangan sampai kehilangan,” tegasnya. Mendikbud juga menginstruksikan
untuk menggunakan anggaran yang belum direalisasikan untuk pengadaan sistem keamanan yang dianggap mendesak, tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Kemdikbud Bangun Museum Presiden di Istana Bogor
Film dokumenter tentang presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, mulai diproduksi pekan depan. Rencananya Direktorat Kesenian dan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) membuat film dokumenter tentang Soekarno dengan mengambil tema masa pengasingan Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur
Kemdikbud juga akan memproduksi film dokumenter serupa tentang presiden Indonesia lainnya, juga niatan untuk membangun Museum Presiden. “Kita akan bangun museum presidenpresiden. Konstruksinya sudah dimulai tahun ini. Kita akan lengkapi dengan film dokumenter tentang presiden-presiden,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemdikbud, Kacung Maridjan, usai jumpa pers tentang film dokumenter Soekarno di Hotel Atlet Century, (5/9). Pembangunan museum yang berlokasi di dalam komplek Istana Bogor itu ditargetkan akan selesai pada akhir April 2014. Sedangkan untuk
KALEI K E B U DD O S K O P AY SEPTE A A N MBER
2013
September operasionalnya, akan dimulai pada pertengahan tahun depan. “Koleksi selain film ada pemikiranpemikiran presiden, ada patung lilin,� ujar Kacung. Ia menambahkan, Museum presiden akan dilengkapi dengan perpustakaan, terutama buku-buku tentang presiden-presiden Indonesia.
kerjasama di bidang-bidang yang memiliki persamaan. Dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh Dubes RI untuk Iran Dian Wirengjurit tersebut, Mendikbud mengajak kerjasama Iran untuk
Kemdikbud menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dalam pembangunan museum. Sedangkan untuk pengelolaan museum dalam operasionalnya, akan diserahkan ke Istana Bogor. Sementara Kemdikbud sendiri akan berperan dalam interior, isi museum serta story line untuk film dokumenter. Dalam pembuatan film dokumenter maupun Museum Presiden, Kemdikbud juga berkoordinasi dengan keluarga para mantan presiden RI, termasuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang masih menjabat. Diharapkan, kehadiran Museum Presiden bisa menambah media pembelajaran, terutama tentang sejarah, bagi masyarakat Indonesia.
Indonesia-Iran Sepakat Kembangkan Dialog Budaya Teheran- Dalam pertemuan pada 21 September 2013 di Teheran, Mendikbud RI M. Nuh dan Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran Ali Jannati sepakat mengembangkan dialog kebudayaan. Di antaranya peningkatan kerjasama penelitian di bidang kebudayaan dan dialog ulama Sunni-Syiah. Dalam kesempatan itu Mendikbud RI menyampaikan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan di antara negara-negara bahkan dalam sebuah keluarga sekalipun. Namun, Indonesia danIran memiliki banyak kesamaan dibanding perbedaan. Karena itu, menurutnya, saatnya kedua negara mengembangkan
mengembangkan Islam rakhmatan lil alamin serta mengundang Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran untuk berkunjung ke Indonesia. Menteri Ali Jannati menyatakan bahwa pemerintahan Iransekarang adalah pemerintahan yang moderat dalam arti menghindari eksterimisme dan radikalisme. Menurutnya, kedua sikap itulah yang merusak citra positif Islam sebagairakhmatan lil alamin. Pada akhir pertemuan, kedua belah pihak juga menyepakati peningkatan peran atase kebudayaan dalam meningkatkan kerjasama budaya kedua negara. Sebagai media diplomasi, kebudayaan sangat penting untuk meningkatkan kerjasama karena kebudayaan bisa melampaui batas-batas primordialisme.
Perempuan dalam Sinema, Cermin Kebangsaan Sosok perempuan dalam film dieskplorasi secara beragam oleh para sineas berbagai negara.
Tidak sedikit sutradara mengangkat tematik perempuan dan menuangkannya dalam beragam persoalan dan katakternya, yang turut memberi warna bagi kehidupan masyarakat lintas bangsa. Demikian diungkapkan Noorca M. Massardi, budayawan, redaktur media dan pengamat perfilman, dalam salah satu agenda diskusi serangkaian Festival Film Internasional Bentara Budaya Bali 2013, Senin (02/09) lalu. Noorca Massardi tampil sebagai pembicara bersama sineas Koes Yuliadi dalam satu sesi diskusi bertopik “.Sosok Perempuan Dalam Sinema: Melintas Batas Entitas.”. Noorca juga menjelaskan perkembangan sinema di Indonesia yang mengangkat sosok perempuan dengan aneka lapis identitasnya, yang sedikit banyak turut memberi perspektif tetnang sosok wanita Indonesia, berikut problematik yang dialaminya. “Indonesia memiliki beberapa karya sinema bertema perempuan atau ibu yang mumpuni, misalnya Ibunda dari Teguh Karya dan Cut Nyak Dien garapan Eros Djarot. Selain memiliki unsur estetik yang menawan, keduanya juga berhasil memotret karakter mendalam para perempuan Indonesia secara menarik,” ujarnya. Sementara itu Garin Nugroho, dalam pengantar pada agenda pembukaan festival menyebutkan, sejarah kebintangan alias star system dalam film Indonesia juga lebih mengedepankan capaiaan akting perempuan, sebutlah Roekiah di film Terang Boelan (1937) yang diingat sebagai film cerita pertama Indonesia. Dalam sinema dewasa ini, Christine Hakim telah menghidupi sinema Indonesia sejak 1971. Christine Hakim adalah satu-satunya produser perempuan Indonesia yang mampu mengantar tiga film ke Festival Cannes, yakni: Cut Nyak Dien (1988) karya Eros Djarot di sesi acara khusus Director’ s for Night, dan dua film yang saya sutradarai di sesi Un Certain Regard – Cannes, yakni film Daun Di atas Bantal (1998) dan Serambi (2011). Bahkan jika kita amati, sinema pasca orde baru dipenuhi produser Perempuan yang menjadi tonggak sinema Indonesia baru : Mira Lesmana, Shanty, Nia Dinata, Dewi Umaya, dan lain-lain.
“Ibu adalah rahim kehidupan, layaknya Kunti hingga Gandari yang melahirkan beragam kehidupan, ibu adalah perempuan menjaga, melawan, memberi jalan dan kehidupan bagi dirinya sendiri seutuhnya. Ibu adalah sebuah Gambar Hidoep. Sebuah tema penting dalam kebudayaan Indonesia. Kiranya tepat bila tema yang dipilih dalam festival ini adalah perihal Ibu dan dipertautkan dengan kekinian kebangsaan kita,” ungkapnya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Putu Fajar Arcana, Redaktur Kompas Minggu yang juga kurator Bentara Budaya. Dalam salah satu sesi diskusi, ia menyebutkan bahwa Lewat film publik tidak saja belajar tentang keadaan sekelompok masyarakat, tetapi gambar-gambar itu seolah menyodorkan perasaan terdalam dari satu komunitas masyarakat. “Seluruhnya, baik film cerita yang dibuat dengan perencanaan yang matang maupun gambar-gambar yang diunggah setiap detik di media sosial, adalah cerminan kondisi sosial dan pemikiran sekelompok masyarakat. Dan daripadanya kita bisa belajar banyak tentang sisi-sisi psikologis, sosiologis, sistem religi, dan kultural dalam kehidupan satu masyarakat dan individu. Di situ film menjadi media paling populer, lantaran dalam gambar-gambar itu kita bisa dengan serta-merta mengetahui segala sesuatunya. Semoga lewat festival ini kita bisa
KALEI K E B U DD O S K O P AY SEPTE A A N MBER
2013
September belajar lebih banyak dan dalam mengenai kebudayaan, cara berpikir dan bertindak bangsa-bangsa di dunia, yang dalam realitasnya jauh lebih maju dan makmur dari bangsa kita,” paparnya. Dia menambahkan, bila selama ini kehidupan sinema atau layar lebar selalu dianggap dan dirayakan sebagai dunia para bintang nan glamor atau selebrasi bagi selebriti, maka festival ini lebih diniatkan untuk perluasan kesadaran akan pengetahuan (transfer of knowledge). “Festival kali pertama ini tentulah sebuah torehan sejarah meski diselenggarakan secara bersahaja, jauh dari karpet merah nan glamoris,” ungkapnya.
Meriahnya Sanur Village Festival Desa Sanur bukan hanya dikenal sebagai daerah tujuan wisata dengan panorama pantainya yang elok. Tahun 2013 ini, tepatnya 24-28 September, sebuah festival seni budaya kembali digelar, mengagendakan aneka pertunjukan musik tradisi dan kontemporer, eksibisi seni rupa, pagelaran seni etnik berbagai provinsi di Indonesia, hingga yang
tak kalah menarik, pameran ikan koi. Acara yang diselenggarakan di Maisonette Inna Grand Bali ini mengusung tajuk ‘Segara Giri’, berangkat dari cerita Mahabarata yang merujuk pada laut nan kaya yang menjadi sumber tirta amerta atau air kehidupan. Ida Bagus Gede Sidharta Putra, Ketua Yayasan Pembangunan Sanur yang juga pelaksana kegiatan ini menyebutkan, Sanur Village Festival yang kini menginjak kurun tahun kedelapan ini telah berhasil dan akan terus menerus menjaga seni dan budaya sekaligus mengembangkan citra Sanur sebagai tujuan wisata di Bali. “Terlebih, Sanur kini telah dipercaya sebagai destinasi wisata nasional dan terpilih sebagai agenda road to APEC 2013,” ungkapnya. Walikota Denpasar, IB Rai Dharma Wijaya Mantra, dalam sambutannya menyampaikan bahwa festival ini telah menjadi kegiatan budaya yang dinanti. “Saya meminta kepada bagian promosi wisata agar bisa mendaftarkan tempat wisata yang ada di Bali kepada unesco,” ujarnya. Berbagai kemeriahan dihadirkan dalam festival, mulai dari festival layang-layang, lomba jukung (perahu tradisi khas Bali), turnamen memancing, sajian kuliner, pameran seni rupa, pameran forografi hingga pertunjukan musik dari musisi Indonesia seperti Dwiki Darmawan, Ayu Laksmi, Dialog Dini Hari dan lain sebagainya. Lebih dari itu, sebagai cerminan kecintaan pada lingkungan,
festival juga menggelar melepas tukik bersama dan penanaman pohon di beberapa titik pantai. Sanur Village Festival digelar setiap tahunnya pada bulan September. Ingin turut merasakan kemeriahannya?
Sajian Kuliner di Buleleng Festival Beragam menu khas Bali Utara disajikan dalam Buleleng Festival yang digelar kali pertama tahun ini. Lebih dari 72 menu terhidang, berasal dari sembilan kecamatan di Kabupaten Buleleng dalam kemeriahan perayaan yang berlangsung 23-25 Agustus 2013 lalu. Festival dibagi menjadi 5 zona utama lokasi kegiatan. Pusat kegiatan diadakan di pusat kota Singaraja tepatnya di seputaran patung Singa Ambara Raja di depan Kantor Bupati Buleleng, semua khalayak baik dalam maupun luar negeri dapat mencicipi hidangan unik asli Buleleng, mulai dari sate lilit Buleleng, hingga siobak khelok, makanan olahan babi perpaduan antara kuliner Bali dan Tionghoa. Pusat kuliner yang digelar di seputaran jalan Veteran. Blayag dan Siobak merupakan kuliner khas Buleleng.
meliputi karya-karya grafis, kanvas dua dimensi, serta yang paling khas dari Buleleng, yakni seni lukis kaca. Koordinator pameran yang juga pengajar di Universitas Pendidikan Ganesha, Wayan Sudiarta, menyebutkan bahwa pameran ini tidak terpaku pada satu aliran ataupun genre. “Kami menghadirkan beraneka ragam seni rupa Buleleng, mulai dari yang muda, hingga mereka yang telah lama berkiprah, misalnya Ketut Santosa dengan seni lukis kacanya. Semuanya merupakan perupa yang tergabung dalam Kelompok Perupa Buleleng (KPB).” Buleleng Festival (Bulfest) merupakan event budaya yang menyajikan kombinasi antara seni, budaya, pendidikan dan lingkungan sosial. Bentuk kegiatannya meliputi budaya lokal, seni kontemporer, industri rumah tangga, kuliner, sastra, dan musik. Merasa telah melewatkan agenda yang luar biasa? Jangan cemas, Buleleng Festival akan digelar kembali tahun depan, dan direncanakan berlangsung secara berkesinambungan.
Untuk pecinta kuliner jalanan ala Street Food Around The World – nya National Geographic Channel, dipusatkan di Lapangan Ngurah Rai atau Taman Kota Singaraja. Menariknya, pengunjung dapat menikmati santapan kaya selera itu dengan harga lebih murah dibandingkan dengan nilai umum di pasaran. “Ini bagian dari upaya Pemda Buleleng untuk lebih mengenalkan kuliner khas kabupaten ini. Semua menu disubsidi 50%,” ungkap I Made Lastriana, Dirut PDAM Buleleng yang instansina turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Selain menikmati sajian makanan nan menggoyang lidah, pengunjung dapat pula menyimak pameran dari 42 perupa di Buleleng. Sedikitnya, sekitar 17 seniman berpartisipasi dalam eksibisi bertajuk ‘Suryakanta’ tersebut,
KALEI K E B U DD O S K O P AY SEPTE A A N MBER
2013
Oktober
Teks Naura Arasell, Ni Made Purnamasar
Istano Basa Pagaruyung Dibangun Kembali sebagai Pusat Peradaban Minang Istana Basa Pagaruyung yang terbakar pada tahun 2007 telah dibangun kembali sesuai aslinya. Istano Basa Pagaruyung ini adalah salah satu pusat peradaban, pusat sejarah, dan ikon budaya Minang, yang menyimpang banyak peristiwa besar dan kenangan atas kebesaran masa lalu. Pembangunan kembali Istano Basa
Pagaruyung diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono serta menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh. Dalam sambutannya, Presiden SBY mengajak seluruh masyarakat untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berterima kasih kepada para pendahulu atas jasa-jasa mereka terhadap nusa bangsa. Presiden juga mengimbau untuk terus menjaga dan
melestarikan Istano Basa Pagaruyung. “Sepatutnya kita jaga, melestarikan, dan mengembangkan Istana Pagaruyung ini sekali lagi menjadi pusat peradaban, bukan hanya masa lalu tapi masa kini dan masa depan,” katanya saat berkunjung ke Istano Basa Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatera Barat, (30/10). Presiden menjelaskan, saat mendengar ada musibah kebakaran pada tahun 2007 lalu, pemerintah bertekad untuk kembali membangun Istana Pagaruyung. Hal tersebut dibicarakannya sengan Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla. “Kemudian kita membicarakan dengan sangat serius agar tekad baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di Sumatera Barat ini bagaimana kita membangun kembali seperti keagungan masa lampau yang ada di Istana Pagaruyung ini. Alhamdulillah pembangunan telah dapat dilakukan,” tuturnya. Dijuluki sebagai obyek wisata primadona, Istano Basa Pagaruyung memperlihatkan ciriciri khusus dibandingkan dengan bangunan Rumah Gadang yang terdapat di Minangkabau. Kekhasan tersebut tersirat dari bentuk fisik bangunan yang dilengkapi ukiran falsafah dan budaya Minangkabau. Pada tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa Pagaruyung mengalami kebakaran hebat akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan tiga tingkat ini hangus terbakar. Ikut terbakar juga sebagian dokumen, serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barangbarang berharga yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran tersebut sekarang disimpan di Balai Pelestarian Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Harta pusaka Kerajaan Pagaruyung sendiri disimpan di Istano Silinduang Bulan, 2 kilometer dari Istano Basa.
Festival Film Mahasiswa Tumbuhkan Kreativitas Seni Mahasiswa Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemdikbud menggelar Festival Film Mahasiswa Indonesia (FFMI) 2013. Festival ini merupakan ajang penghargaan pertama kali bagi insan dunia perfilman dari kalangan mahasiswa di Indonesia. Film berjudul A Note of Love karya mahasiswa Universitas Hasanuddin berhasil meraih Terbaik I dalam kategori Fiksi. Untuk kategori Dokumenter Terbaik I diraih Mahasiswa Universitas Esa Unggul dengan film berjudul Sumber Kehidupan. Sedangkan Terbaik I dalam kategori Animasi diraih oleh mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro dengan film berjudul Layanglayang. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Kemdikbud, Illah Sailah mengatakan, Festival Film Mahasiswa Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam bidang seni animasi dan
perfilman, sehingga mahasiswa mendapat wadah untuk mengembangkan kreativitasnya. ”Mahasiswa harus mampu memproduksi filmfilm yang memiliki nilai edukasi,” ujar Illah, dalam Acara Pengumuman Pemenang FFMI 2013, di Gedung D Kemdikbud, (28/10).
KALEI K E B U DD O S K O P AY O K TO AAN BER
2013
Oktober Melalui karya dan kreatifitasnya, Illah berharap mahasiswaIndonesia dapat berkontribusi dalam mewujudkan bangsaIndonesia yang beradab. Menyambut ASEAN Community 2015, Illah juga mengajak mahasiswa Indonesia meningkatkan kreatifitas dan produktifitas dalam dunia perfilman, sehingga industri perfilman Indonesia dapat bersaing di tingkat ASEAN. ”Ke depan, ajang penghargaan ini tidak hanya bagi mahasiswaIndonesia, namun juga mahasiswa dari negara-negara ASEAN lainnya,” katanya. Sebanyak 101 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia turut serta mendaftar dalam ajang ini. Sampai batas waktu yang ditentukan, dewan juri menerima 40 karya film dari berbagai perguruan tinggi. Film-film tersebut dibagi ke dalam tiga kategori, yakni Kategori Fiksi, Kategori Dokumenter dan Kategori Animasi. Berdasarkan hasil penilaian dewan juri, 12 karya berhasil muncul sebagai finalis Festival Film Mahasiswa Indonesia 2013. Untuk kategori animasi, Terbaik I diraih oleh mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro dengan film berjudul Layang-layang. Terbaik II diraih mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha dengan film berjudul Dalang Pandu. Untuk kategori film dokumenter, Terbaik I diraih mahasiswa Universitas Esa Unggul dengan film berjudul Sumber Kehidupan. Terbaik II diraih mahasiswa STMIK-AMIK Riau dengan film berjudul Tambak Kubur. Terbaik III diraih mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja dengan film berjudul Toraja di Persimpangan Jalan. Untuk kategori
film fiksi, Terbaik I diraih mahasiswa Universitas Hasanuddin dengan film berjudul A Note of Love. Terbaik II diraih mahasiswa Universitas Mercu Buana dengan film berjudul Cinta Cita. Terbaik III diraih mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dengan film berjudul The Paper Girl. Terbaik I mendapat hadiah uang sebesar Rp 15 juta, Terbaik II mendapat Rp 10 juta, Terbaik III mendapat Rp 7,5 juta, dan untuk Harapan I dan II dalam kategori film dokumenter dan film fiksi masing-masing mendapat Rp 5 juta. Selain itu semua pemenang juga mendapat plakat penghargaan dari Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Kemdikbud.
Tari Budaya Latah Komunitas Tari Galang Setelah sebelumnya berpentas di Bentara Budaya Jakarta, kali ini Komunitas Tari Galang kembali membawakan pertunjukan tari ‘Negeri Budaya Latah’ di Bentara Budaya Bali, Sabtu, 26 Oktober 2013. Pertunjukan ini merupakan perpaduan antara monolog dengan tari yang berangkat dari nilai-nilai tradisi Minangkabau, termasuk
silat. Didukung oleh Deslenda (koreografer/ pimpinan), Andi J. Satya Wicaksana (manager), dengan para penari Nike Suryani, Nurrahmania Hasanah, Rahmy Adhista, Deni Mayosta, Intania, dan Fitriani. Naskah monolog : Mahatma Muhammad. Sementara Susandra Jaya sebagai penata musik, dibantu Leva Kundri dan Yurnalis, S.Sn,M.Sn. Komunitas Tari Galang, didirikan oleh Deslenda tahun 1991 di Padang, yang mulanya bernama kelompok Olah Tari Galang. Kelompok ini hadir dengan mengedepankan potensi dan kekayaan tradisi Minangkabau sebagai landasan pengayaan dalam penciptaaan karya tari modern atau kontemporer. Debut karya perdananya mengusung tema Garak Tradisi Garik Kontemporer, sebentuk sinergi yang memunculkan pencerahan dalam sebuah karya dan bisa dinikmati sebagai produk budaya yang menawarkan pembauran. Deslenda (50 tahun) bersama Komunitas Tari Galang hingga kini telah menampilkan puluhan karya dalam berbagai event nasional maupun internasional, antara lain Indonesian Dance Festival di Jakarta, karya Tari Koma (1994), Contemporery Dance Festival di Padang dengan karya Kaji & pada tahun yang sama “Resital Tari Kontemporer” (1995), pertunjukan tari tunggal “Dalam Tiga Koreografi” di Padang & Pekan Baru (1996), karya Tari Tuduang pada event The Jakarta Internasional Festival di Jakarta (1997), Indonesian Dance Festival di Teater Utan Kayu Jakarta dengan karya Molah O Lai (2002), karya tunggal “Perempuan” kerjasama Yayasan Kelola Program Hibah Seni 2003 di Padang (2003), berpentas di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, “Pentas Keliling” (2010), menggelar karya “Negeri Budaya Latah” sekaligus 21th Galang Dance Company, saat itu juga berubah nama menjadi Komunitas Tari
Galang/Perfoming Art), menggelar karya “A Drama in Sirompak Raphsody” di University Malaya (2013), dan Festival Kebudayaan Mestermesse Basel-Swiss (MUBA) (2013).
Sidji Batik Award 2013 Sidji Batik Award 2013Wakil Menteri Pendidikan Bidang Kebudayaan, Prof.Ir. Wiendu Nuryanti M.Arch, PhD kembali memberikan penghargaan. Kali ini ditujukan kepada kepada para pembatik yang telah mengabdikan hidupnya pada batik dalam acara Sidji Batik Award 2013. Acara ini berlangsung di Hyatt Regency Hotel Yogyakarta, Rabu (2/10) malam. Wiendu mengungkapkan kebanggaanya pada para pejuang batik, pencipta kreatifitas yang semakin berkembang dan menjamur di nusantara. Bertepatan dengan Hari Batik Nasional yang termasuk dalam 14 matabudaya nasional masyarakat seringkali tidak akan manfaat penetapan dan pengakuan batik tersebut. “Manfaat penetapan batik ini telah meningkatkan omzet penjualan batik hingga 400
persen atau mencapailebih Rp 1 triliun. Dunia perbatikan juga telah menciptakan tenaga kerja hingga 2,5 juta orang,” paparnya. Lebih jauh ia menambahkan bahwa memiliki kreatifitas yang berkembang saat
KALEI K E B U DD O S K O P AY O K TO AAN BER
2013
Oktober ini perlu diimbangi dengan perlindungan penciptaan-penciptaan batik supaya tidak diintip dan diklaim negara tetangga. ‘Property right’ sangat diprioritaskan. “Paramaestro batik ini layak mendapatkan dan patut diapresiasi serta dibuktikan dengan membeli sebanyakbanyak,” imbuhnya.Kesepuluh pembatik lanjut usia tersebut yang mendapatkan Sidji Batik Award yakni, Mbah Suprihatin (70 tahun) dari Wijirejo Pandak Bantul, Mbah Jami’ah (79 tahun) dan Mbah Aisyah (70 tahun) dari Giriloyo Bantul, Mbah Casmi (70 tahun) dari Wiradesa, Pekalongan, Mbah Sukati (75 tahun) asal Desa Babagan, Lasem, Rembang. Kemudian Mbah Sarjinah (78 tahun) warga Desa Karasgede Lasem Rembang, Mbah Joyo Sumarto (76tahun) warga Desa Sanggungan, Pasar Kliwon, Solo, Mbah Mutma’inah (70tahun) warga Desa Bukuran, Kalijambe, Sragen dan Mbah Padmodirjo (73tahun) asal Desa Bergan, Wijirejo, Pandak. Selama tiga malam ke-10 pembatik tersebut mendapat fasilitas menginap di Hyatt Hotel dan hadiah berupa pemberian Cincin Emas, Tropi Canting Sidji Batik Awards 2013, merchandise dan uang tunai.
Apresiasi PTK PAUDNI Berprestasi 2013 Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan (Wamenbud) Wiendu Nuryanti, membuka Apresiasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUDNI Tingkat Nasional di Stadion Tumenggung Abdul Jamal, Batam. Kegiatan yang berlangsung 3-8 Oktober 2013 ini dibuka Wamenbud dengan diiringi guyuran hujan deras. Meski demikian, antusiasme peserta tetap tinggi. “Saya sangat menghargai walaupun dalam hujan deras dan
angina yang kencang namun para peserta tetap semangat dan antusias mengikuti acara ini,” kata Wiendu. Wamenbud juga menambahkan tugas PTK PAUDNI dalam memberikan layanan program PAUDNI sarat dengan beban dan tantangan. Untuk itu, sudah sepatutnya pemerintah lebih meningkatkan kualifikasi dan kompetensi mereka, serta memperhatikan tingkat
kesejahteraan mereka. Kegiatan apresiasi PTK PAUDNI ini merupakan media dalam memotivasi seluruh pelaku PAUDNI sebagai bentuk pemerataan dan perluasan aksespendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing. Selain itu, penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik juga merupakan tiga pilar pembangunan pendidikan di Indonesiaimbuhnya. Oleh karena itu kata Wiendu diharapkan kegiatan itu dapat membangunsemangat baru dalam meningkatkan kinerja, mengembangkan sikap sportivitas, memupuk wawasan dan saling berbagi pengalaman terbaik untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal di masa yang akan datang.
Sementara itu, Dirjen PAUDNI Kemdikbud, Lydia Freyani Hawadi dalam laporannya mengatakan, penyelenggaraan Apresiasi PTK PAUDNI Berprestasi Tingkat Nasional dimaksudkan untuk memberikan penghargaanterhadap PTK PAUDNI yang dinilai memiliki prestasi di bidang PAUDNI, meningkatkan mutu pembinaan PTK PAUDNI. Dikatakan oleh Dirjen, Kegiatan Apresiasi PTK PAUDNI Berprestasi Tingkat Nasional diawalidengan rangkaian kegiatan lomba, mulai dari tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan puncaknya padaIKAPENFI dalam kegiatan ini bertindak sebagai Dewan Juri dari Bidang Akademisi dan Peserta yang hadir pada puncak acara itu adalah PTK PAUDNI yang menjadi juara pertama pada lomba tingkat provinsi. Secara keseluruhan jumlah peserta lomba tingkat nasional sebanyak 480 orang dan pendamping sebanyak 32 orang sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 512 orang yang berasal dari 32 provinsi. Hadir pada acara pembukaan itu antara lain Gubernur Kepulauan Riau, Walikota Batam, Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau, dan sejumlah pejabat Kemdikbud Pusat maupun daerah.
Membentang Samudera dalam Rupa Gambar Fotografi
Selama pameran berlangsung, akan dipamerkan karya-karya foto dari wilayah Asia Pasifik yang dikuratori Barabara Stauss. Terdapat 13 seniman fotografi dari 11 negara yang turut serta dalam pameran ini antara lain Bruce Connew (New Zealand), Craig Golding (Australia), Juan Manuel Castro Prieto (Vanuatu), Robert Zhao Renhui (Singapore), Andrew Testa (Thailand), Zhang Xiao (China), Jack Price (Japan), Oleg Klimov (Russia), Michael Christopher Brown (Russia), Corey Arnold (Amerika Serikat), Daniel Silva Yoshisato (Peru), Tomás Munita (Peru), Kadir van Lohuizen (Tierra del Fuego). Pameran perdana ini mengambil tema “Angasraya: Arus Kebebasan dari Samudera”, dengan Bali sebagai lokasi pertama festival. Tujuannya untuk mengangkat potret peradaban kelautan Indonesia dan dunia. Sebagai sebuah festival citra, fotografi menjadi dasar atau titik berangkat yang dianggap dapat membuka eksplorasi ebih luas menuju samudera keberagaman media visual lainnya. Selain di BBB, digelar pula pameran karyakarya fotografer nasional yang dikuratori Oscar Motuloh di Danes Art Veranda (9 – 20 Oktober 2013) serta eksibisi bersama Komunitas Lubang Jarum Indonesia (Indonesia Pinhole Camera Community) yang dikuratori oleh Rai Bachtiar (10 – 20 Oktober 2013) di Maha Art Gallery, Denpasar.
Ini lagi satu acara seru, digelar Yayasan Indonesia Horizon, bekerjasama dengan matamera communication. Vision Image Festival namanya, digelar di Bentara Budaya Bali, 12-20 Oktober 2013 lalu, memamerkan foto-foto karta fotografer ternama di dalam maupun luar negeri. Selain mempertautkan samudera (maritim) yang menghubungkan Indonesia dengan bangsabangsa lain, festival ini juga dipandang sebagai sebentuk upaya mengangkat nilai-nilai daerah pelosok Nusantara berikut kehidupan pesisirnya. Program ini didukung sepenuhnya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
KALEI K E B U DD O S K O P AY O K TO AAN BER
2013
November
Teks Indri Ariefiandi, Naura Arasell
Mendikbud : Tanpa Budaya Artinya Tanpa Masa Depan Pada 2005 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan ide dan gagasan mengenai pentingnya kebudayaan sebagai kekuatan pembangunan berkelanjutan. Ide dan gagasan beliau inilah yang akhirnya menjadi ruh dari pelaksanaan World Culture Forum (WCF), yang diselenggarakan 24-27 November 2013 di Bali.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menyampaikan, karakteristik dasar budaya adalah lintas negara, lintas bangsa, agama, dan lintas ikatan primordialisme yang lain. Hal ini, kata dia, menyebabkan budaya menjadi kekuatan yang dasyat dalam membangun dunia yang berkelanjutan. “Kita menyadari tanpa budaya (artinya) tanpa masa depan,� katanya pada gala dinner World Culture Forum di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, Uluwatu Bali, Minggu (24/11/2013) malam.
Acara dihadiri Presiden SBY dan Ibu Ani Bambang Yudhoyono, Anggota DPR RI, utusan UNESCO, duta besar negara sahabat, dan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, serta para menteri kebudayaan dari berbagai negara. Kegiatan juga dihadiri sebanyak 700 tamu undangan dari dalam dan luar negeri.
Rakyat Tiongkok, Malaysia, Yaman, Filipina, Rusia, Brazil, dan Jepang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, WCF merupakan salah satu wujud peran sertaIndonesia dalam menciptakan perdamaian dunia melalui diplomasi kebudayaan atau cultural diplomacy.
Mendikbud mengatakan, dengan mengaburnya batas dan menyempitnya jarak, aliran lintas budaya menjadi semakin deras. Kenyataan ini, kata dia, akan menyebabkan terjadinya persinggungan budaya yang apabila tidak segera diantisipasi menyebabkan salah satu di antara dua kemungkinan. “Pertama adalah terjadinya dominasi budaya yang tentu tidak kita inginkan karena tidak akan menghasilkan satu kehidupan yang damai dan harmonis,” katanya.
Mendikbud menjelaskan, salah satu faktor yang melandasiIndonesia untuk menjadi penggagas WCF adalah kesadaran bahwa kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan. Kebudayaan, tuturnya, merupakan suatu kebutuhan jiwa. “No culture, no future,” ujarnya saat menggelar jumpa pers tentang WCF di
Adapun kemungkinan yang kedua adalah konvergensi budaya, yang dibangun atas prinsip saling memahami dan saling menghargai. Untuk mewujudkan terjadinya konvergensi budaya tersebut, diperlukan dialog dan kerja sama budaya yang melibatkan seluruh unsur budaya di dunia. “Kehadiran kita bersama malam ini dan pada WCF 2013 merefleksikan tekad dan dukungan terhadap pentingnya konvergensi budaya untuk menghasilkan kekuatan kebudayaan yang diperlukan sebagai daya dorong pembangun berkelanjutan pasca 2015,” kata Nuh.
Mendikbud: Indonesia Ikut Ciptakan Perdamaian Dunia Melalui World Culture Forum World Culture Forum (WCF) yang akan berlangsung di Denpasar, Bali, pada 24-27 November mendatang akan diikuti 17 menteri dari berbagai negara, di antaranya Republik
Gedung A Kemdikbud, Jakarta, (21/11). Salah satu kegiatan dalam WCF, jelas Mendikbud, adalah simposium internasional yang dibagi menjadi enam tema. Ke-enam tema tersebut yaitu Holistic Approaches to Culture in Development; Civil Society and Cultural Democracy; Creativity and Cultural Economics; Culture in Environment Sustainability; Sustainability Urban Development; dan Inter-faith Dialogue and Community Building. WCF 2013 akan didahului dengan Gala Dinner untuk menyambut para tamu dan
KALEI K E B U DD O S K O P AY NOVE A A N MBER
2013
November undangan, pada 24 November 2013, di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, Tanjung Nusa Dua. Gala Dinner akan dimeriahkan dengan penampilan budaya dari beberapa negara, di antaranya Kerala Festival dari India, Matsuri Festival dari Jepang, Mehter Takimi dari Turki, dan Jember Fashion Carnival. Kemudian pada 25 November 2013, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono akan membuka secara resmi WCF 2013, sekaligus menjadi pembicara kunci. Pembicara kunci lainnya adalah Amartya Sen, Peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998; Fareed Zakaria, pembawa acara untuk CNN, program Fareed Zakaria GPS; dan Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO, yang akan menjadi pembicara kunci melalui rekaman video karena berhalangan hadir. Mendikbud mengatakan, WCF akan diikuti sekitar 1.000 orang dari berbagai belahan dunia. Indonesia sebagai penggagas WCF, ujar Mendikbud, ingin mengembangkan potensi budaya warga dunia yang sangat luar biasa. “Kita menggagas tidak hanya untuk Indonesia semata. Tapi sharing dan promoting positive values dari berbagai negara,” tuturnya. Mendikbud mencontohkan, salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam mengatasi konflik antarbangsa adalah dengan diplomasi budaya. “Pendekatannya adalah pendekatan kebudayaan,” katanya. Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman mengatakan,
UNESCO sangat mendukung penyelenggaraan WCF karena PBB dan UNESCO memiliki agenda untuk memastikan bahwa pembangunan setelah 2015 haruslah pembangunan yang memanusiakan manusia dan yang berkelanjutan. “Takutnya yang tidak berhubungan dengan kebudayaan akan merusak perdamaian dunia,” ujarnya saat mendampingi Mendikbud dalam jumpa pers. Hal senada juga diungkapkan budayawan Taufik Ismail yang berharap WCF dapat mengantarkan kerja sama antarbangsa yang pada akhirnya akan terjadi perdamaian dunia.
“Bioskop Keliling” Kemdikbud Sapa Warga Jakarta Bertempat di sisi timur Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, dilaksanakan pemutaran film perdana dari “Bioskop Keliling” Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pemutaran film tersebut berlangsung pada Senin, 4 November lalu, dengan memutarkan film nasional Indonesia yang berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Perwakilan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Kuat Prihatin,
membuka pemutaran film perdana “Bioskop Keliling”. Dalam sambutannya, Kuat menyampaikan, pengadaan “Bioskop Keliling” ini bertujuan untuk memperkenalkan filmfilm nasional kepada masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah pedalaman. Sehingga pesan positif dan membangun yang terkandung dalam setiap film-film nasional dapat sampai kepada seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, adanya “Bioskop Keliling” memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesiauntuk turut serta menyaksikan filmfilm nasional yang berkualitas. Mobil “Bioskop Keliling” yang difasilitasi alat pemutaran film celluloid ini berjumlah 20 unit dan sudah didistribusikan ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemdikbud di seluruh Indonesia, seperti Aceh, Pontianak, Makassar, Bali, Manokwari, Jayapura, dan daerah lainnya di Pulau Jawa. Adapun di Jakarta, disediakan satu unit mobil yang sudah dipergunakan pada acara pemutaran perdana. Pada tahun berikutnya, akan didistribusikan 42 mobil “Bioskop Keliling” yang difasilitasi alat digital. Penambahan unit mobil ini diharapkan akan semakin mengenalkan film-film nasional berkualitas ke seluruh pelosok Indonesia. Bioskop Keliling diluncurkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, pada tanggal 28 Desember 2012, di halaman kantor Kemdikbud, Senayan Jakarta. Seluruh pejabat eselon I Kemdikbud turut hadir dalam peluncuran tersebut. Mendikbud menyambut gembira kehadiran Bioskop Keliling sebagai sarana memperkuat karakter bangsa.
Kemdikbud Bersama UNESCO Gelar Lokakarya Budaya Tak Benda Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yag unik di belahan bumi ini, karena memiliki berbagai kebudayaan. Kebudayaan itu ada
yang berwujud benda dan berwujud tak benda. Kebudayaan itu muncul dan memiliki ciri tersendiri sesuai dengan keberadaan suku-suku, etnis yang ada di wilayahIndonesia. Kebudayaan ini berkembang sesuai dengan perubahan zaman, globalisasi dunia sehingga di satu sisi ada yang memiliki nilai yang tinggi dan di sisi lain ada yang mengalami pengikisan dan kepunahann karena kurangnya perhatian untuk menyelematkannya. Demikian disampaikan Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kemdikbud, Diah Harianti ketika memberikan sambutan pembukaan Lokakarya Implementasi Konvensi UNESCO di Ancol pada Senin (11/11) yang akan berlangsung sampai tanggal 14 Nopember 2013. Diah menambahkan bahwa “Globalisasi dan transformasi sosial menjadi perhatian bersama terkait perlindungan Warisan Budaya Tak Benda untuk Kemanusiaan”. Dengan berkembangya globalisasi dan transformasi sosial, negara dan masyarakat menghadapi tantangan yang serupa dalam rangka melindungi dan mempromosikan nilai tradisi dan ekspresinya, seperti seni pertunjukan, praktekpraktek sosial., ritual, perayaan, pengetahuan tentang alam serta kerajinan tradisional. Pemerintah Indonesia bertekad mengadakan lokakarya tingkat sub-regional ini dalam rangka meciptakan konsdisi baru untuk dialog antar masyarakat dan membatu memastikan pemahaman yang lebih luas dalam pelaksanaan Konvensi UNESCO untuk “Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda” di Indonesia dan di Asia Tenggara, tegasnya lagi. Pada kesempatan yang sama Deputi Direktur UNESCO Jakarta, Mr. Shahbaz Khan mengatakan bahwa “Budaya Tak Benda merupakan tradisi bertahun-tahun sebagai interaksi sosial antar manusia”. Karena itu menjadi tantangan kita semua untuk
KALEI K E B U DD O S K O P AY NOVE A A N MBER
2013
November melindungi dari praktek-praktek budaya yang ingin merusak tatanan budaya nenek moyang yang dipercayakan kepada kita. Saya sangat mengapresiasi upaya Pemerintah Indonesia melalui Kemdikbud yang telah menyelenggarakan lokakarya yang penting ini yang bertujuan untuk mendorong para pemangku kepentingan di bidang kebudayaan secara bersama-sama menjaga Warisan Budaya Tak Benda serta melaksanakan Konvensi di Idonesia dan di Kawasan Asia Tenggara’’ katanya. Lokakarya ini di ikuti 60 orang peserta terdiri dari kemdikbud, organisasi musik tradisional, Angklung, Yayasan Batik Idonesia, Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia dan peserta luar negeri seperti utusan negara Malaysia, Brunai Darussalam, dan Timor Leste.
Integrasikan Budaya di Semua Agenda Pembangunan Pasca 2015 World Culture Forum (WCF) resmi ditutup pada Selasa (26/11/2013) sore dengan pembacaan “Bali Promise”. Peserta forum telah sepakat untuk secara eksplisit mengintegrasikan budaya di semua agenda pembangunan pasca 2015. Naskah dibacakan oleh delegasi internasional, Audrey Harare Chihota Charamba dari Zimbabwe, Shireen Mohammad Azis dari Irak, dan David Throsby dari Australia. Naskah kemudian diserahkan kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh. Forum ini merupakan inisiatif Indonesia dalam upaya harmonisasi budaya antarnegara. Melalui forum ini, para peserta menggarisbawahi, budaya sebagai penggerak, pengungkit, dan pengaya pembangunan berkelanjutan. Mendikbud menyampaikan, kebudayaan membawa sifat unik tersendiri. Ia dapat masuk ke dalam berbagai sendi keberagaman seperti etnis, agama, bangsa, dan negara. Keunikan sifat lintas batas pun menjadi kekuatan budaya. “Kekuatan budaya perlu diwujudkan dalam pengarusutamaan budaya. Maksudnya adalah menempatkan budaya dalam arus utama pembangunan berkelanjutan, bukan hanya sebagai pelengkap,” katanya saat memberikan keterangan pers usai penutupan World Culture Forum (WCF), di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Selasa (26/11/2013). Mendikbud menambahkan, metode pendekatan dan strategi dalam mengembangkan budaya dapat didekati dengan pendidikan. Sebab, kata dia, dalam pendidikan
sudah ada sistem dan mekanismenya. “UNESCO sangat gembira atas kerja sama yang baik dari pemerintah Indonesia. Forum berjalan harmonis dan sukses. Dokumen ini (Bali Promise) sangat penting dan membuka jalan pembangunan kebudayaan,� kata Asisten Direktur Jendral Urusan Budaya UNESCO, Francesco Bandarin. Forum ini juga merekomendasikan, dimensi budaya dalam pembangunan, secara eksplisit terintegrasi dalam semua tujuan pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan sejumlah hal. Pertama, mencari modalitas baru untuk memberikan nilai dan mengukur budaya dalam pembangunan berkelanjutan dan mengembangkan kerangka etika, yang akuntable, untuk keuntungan bagi pemangku kepentingan dengan melibatkan masyarakat. Pertimbangan lainnya adalah mendorong model partisipatif baru mempromosikan demokrasi budaya dan inklusi sosial, memastikan kejelasan konseptual, ekuitas dan peningkatan kapasitas dalam mengarusutamakan masalah gender, dan mendorong stabilitas dalam pembangunan sosial, politik, dan ekonomi untuk memelihara budaya damai baik di tingkat lokal maupun internasional.
dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan budaya. Pertimbangan terakhir, peserta forum meminta pemerintah untuk berkomitmen untuk integrasi budaya di agenda pembangunan berkelanjutan pasca 2015. Peserta forum menyadari, WCF sebagai platform permanen untuk mempromosikan peran budaya dalam pembangunan berkelanjutan dan melindungi keanekaragaman budaya dan keanekaragaman bahasa kemanusiaan. Para peserta WCF, menyambut komitmen Indonesia untuk menjadi tuan rumah lagi di ajang ini pada masa mendatang.
Indonesia-China Teken Pernyataan Bersama Kebudayaan Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) Mohammad Nuh dan Menteri Kebudayaan Republik China, Cai Wu, menandatangani pernyataan bersama bidang kebudayaan di Nusa Dua, Bali, Senin (25/11/2013). “Indonesia dan China sampai saat ini memiliki hubungan kerja sama antarnegara
Berikutnya, mendukung kepemimpinan dari kaum muda dalam berkebudayaan, mempromosikan sistem pengetahuan lokal dalam membimbing konservasi lingkungan dan perlindungan warisan, serta mengembangkan dan memperkuat kemitraan yang produktif antara sektor publik dan swasta . Pertimbangan lainnya adalah memperkuat kepemilikan masyarakat dan partisipasi masyarakat sipil dalam proyek-proyek pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan peran transformatif mereka, mendorong kreativitas dan mendorong pengembangan industri budaya untuk mengentaskan kemiskinan,
KALEI K E B U DD O S K O P AY NOVE A A N MBER
2013
November strategis dan komprehensif sebagai bentuk hubungan bilateral tertinggi. Namun semua itu dari sisi hubungan antarnegara yang umum,” ujar Nuh. Nuh juga menjelaskan bahwa pada tingkat kementerian, kata dia, baru memulai untuk membuatnya lebih kuat. Nuh optimistis hubungan kedua negara ini akan semakin kuat sejalan waktu. “Dengan pernyataan bersama ini, kami berencana membangun rumah budaya di masing-masing negara.”
International Convention Centre, Nusa Dua, Bali, Senin (25/11) pagi. Presiden SBY mengatakan, budaya dapat menjadi sumber penting pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan kewirausahaan. Menurut laporan PBB, industri budaya dan
Nuh menambahkan percepatan kerja sama kebudayaan salah satunya membangun rumah yang sifatnya timbal balik atau respirokal. “Jadi ada rumah budaya di masing-masing negara. Conficius Institute sudah ada di Indonesia,” katanya. Forum Budaya Dunia atau World Culture Forum diselenggarakan untuk pertama kalinya di Nusa Dua, Bali, pada 24-27 November. Forum ini diharapkan jadi ajang diskusi dan pertukaran informasi budaya dari berbagai negara.
Jadikan Budaya sebagai Penggerak Pembangunan Berkelanjutan Indonesia telah mengambil sejumlah langkah menjadikan budaya sebagai penggerak pembangunan berkelanjutan. Langkah menuju pembangunan berkelanjutan bermuara pada tercapainya keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlu membangun sistem nilai dan tradisi yang mempromosikan kelestarian lingkungan. Hal tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono aat membuka Forum Kebudayaan Dunia atau World Culture Forum (WCF) 2013 di Mangupura Hall, Bali
kreatif merupakan salah satu sektor yang paling berkembang pesat dalam ekonomi global. “Di Asia misalnya, tingkat pertumbuhannya mencapai 9,7 persen, di Afrika 13,9 persen, di Timur Tengah 17,6 persen, Amerika Selatan 11,9 persen, Oceania 6,9 persen, dan 4,3 persen di Amerika Utara dan Tengah,” kata Presiden SBY. Presiden SBY mengemukakan filosofi yang dianut masyarakat Baliyaitu Tri Hita Karana. Ini adalah filosofi yang memandang harmoni antarmanusia, antara manusia dengan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. “Tri Hita Karana merupakan landasan budaya Bali yang melestarikan dan menghormati alam. Saya percaya filsafat yang sama dapat ditemukan di setiap negara di dunia,” ujarnya
Presiden menggarisbawahi budaya inklusif yang penting untuk pembangunan berkelanjutan dengan ekuitas. Menurut dia, hal ini harus melibatkan partisipasi dan kontribusi komunitas lokal dan tradisional. Di Indonesia, mereka dikenal sebagai ‘masyarakat adat‘. Kegiatan ini juga meliputi perlindungan warisan budaya, pengetahuan, dan praktekpraktek tradisional. “Aset budaya yang merupakan modal bagi mereka seringkali rapuh, tetapi secara signifikan penting untuk mata pencaharian berkelanjutan mereka,” katanya. Partisipasi perempuan juga penting untuk meningkatkan inklusivitas dan pembangunan berkelanjutan dengan berkeadilan. “Oleh karena itu, pertimbangan gender juga harus diperhitungkan dalam penentuan kebijakan dan program pembangunan,” katanya. Selain itu, pembangunan dapat terwujud secara maksimal jika ketertiban dan stabilitas terjaga secara merata. Saat ini, kata Presiden, ada negara-negara yang tetap berada di bawah situasi konflik. Dalam kondisi seperti itu, keterbelakangan dan kemiskinan cenderung bertahan, atau bahkan menjadi lebih buruk. “Oleh karena itu , melestarikan budaya perdamaian adalah penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,” katanya.
bagi warga negara dari berbagai negara sahabat,” kata SBY. Usai membuka WCF 2013, Presiden SBY menuju Desa Datah, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Di tempat itu, SBY akan melakukan penanaman pohon dalam rangka peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) yang jatuh pada 28 November 2013.
Festival Music Ethnic Dunia 2013 Sebagai bagian dari rangkaian acara World Culture Forum Bali yang dibuka oleh presiden Indonesia di Nusa Dua, World Music Festival mengambil tempat di Art Centre Denpasar. Para musisi yang turut ambil bagian kali ini berasal dari 10 negara termasuk Indonesia yang diwakili oleh Ayu Laksmi Svara Semesta & Balawan. Musisi lainnya seperti David Takeshi Oye & Special group mewakili Amerika, Michael R Cunning & Anna S Van Dijk Cs mewakili Australia, OKSA – Ling Zhang, Weimin dari China, Musik Koto Soka Gakkai dari Jepang, Lee Chang Seon Deaguem Style dari Korea Selatan, Rashmi Aqarwal &
Tidakak lupa, lanjut Presiden, kerja sama antarnegara harus memberikan prioritas terhadap isu-isu budaya dan pembangunan. Kerja sama internasional tersebut dapat mencakup beasiswa budaya dan pembangunan, khususnya bagi kaum pemuda. “Selama bertahun-tahun Indonesia telah menawarkan beasiswa budaya
KALEI K E B U DD O S K O P AY NOVE A A N MBER
2013
November Group dari India, Burkina Faso dari Afrika, Mamak Khadem – Clara Xifra and friend dari Iran dan Band Indonesia & Ethnic Ansamble yang mewakili Rusia.
“World Music Festival yang mengusung tema We Are One in Harmony in bermaksud untuk memberikan kontribusi konkret bagi persahabatan dan perdamaian bangsa-bangsa di dunia; kesemuanya itu didalam ragka mengukir peradaban dunia yang bermartabat” demikian penjelasan Dewan artistik World Music Festival Bali 2013 yang terdiri dari H. Enteng Tanamal, Franky Raden, Phd., Bens Leo, Gde Sumarjaya Linggih, SE., Drs. Dharma Oratmangun, Msi., Johnnie W maukar, SH., Barche Van Houten, Lolita Zusye, Slamet Adriyadie, Munif Bahasuan dan Tedjo Baskoro, SH. “Penyelenggaraan World Music Festival
Bali 2013 ini didedikasikan bagi kedigjayaan peradaban manusia di dunia.” Demikian Drs. Dharma Oratmangun, Msi ketua KCI dan pelaksana kegiatan ini menambahkan. Selain pertunjukan musik dari berbagai negara, panitia juga menyelenggarakan workshop dan symphosium dengan tema: “Mewujudkan industri musik dunia yang berbasis pada keragaman musik etnik bangsabangsa di dunia” dengan narasumber Franky Raden, Phd. (etnomusikolog), Candra Darusman, SE. (WIPO), H. Enteng Tanamal (Ketua Badan Pembina KCI), Ir. Rully Ch. Anwar (Pencipta lagu/Komisi X DPR RI) dan Scott Edmund (CMO). Para pembicara lainnya adalah rektor ISI Denpasar dan masingmasing pimpinan delegasi manca negara. Pada kesempatan ini, deklarasi world music: We Are One in Harmony dicanangkan oleh para musisi dunia yang diabadikan dalam sebuah prasasti Musik Etnik Sedunia yang kelak akan diletakkan di lokasi wisata Tanah Lot.
Penyelenggaraan festival pada 24-27 November 2013 yang bertepatan dengan musim hujan rupanya membuat pertunjukan di panggung terbuka menjadi agak tersendat. Beberapa jadwal pertunjukan terpaksa diundur karena menunggu hujan reda. Namun demikian, penampilan kontingen Aceh dihari kedua, yang mempersembahkan tari Samanmemukau para penonton yang memenuhi panggung terbuka Ardha Chandra, Taman Budaya Denpasar. Selain Aceh, penampilanan kesenian dari Tanimbar, maupun Ayu Laksmi dan Svara Semesta yang berkolaborasi dengan Balawan juga tampil prima. Walau pada saat digelarnya acara farewell party di panggung teater terbuka Setia Dharma The House of Mask Ubud sempat terjadi hujan dan listrik padam, namun secara keseluruhan penyelenggaraan World Music Festival 2013 kali ini bisa dibilang cukup sukses. Kontingen kesenian Indonesia telah berhasil menunjukkan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia bahkan penampilan mereka telah memukau baik penonton maupun sesama kontingen kesenian dari luar negeri.
Iwel Sastra Sukses Gelar Pentas Komedi Iwel membuat penonton tertawa dengan stand up comedy dan ventriloquis di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu (23/11/2013).Iwel membuka pentas gelaran dengan ngerap diiringi oleh keyboard dan gitar dua musisi yang mendampinginya. Sebelumnya ia telah berjanji memberikan sesuatu yang baru dan segar di dunia lawak dan komedi Indonesia. Stand up comedy, bermain musik humor dan menjadi ventriloquis: seni berbicara menggunakan suara perut, yang biasanya menggunakan boneka sebagai media.Pria berdarah Minang ini ternyata tak hanya sebatas bicara. Ia mengikuti
lomba lawak RRI-TVRI tingkat Sumatera Barat tahun 1989 bersama teman-temannya. Dan akhirnya ia berhasil keluar sebagai juara umum. Ia lantas kembali meneruskan komedi ala dirinya. Banyak jokeyang ia berikan, tetapi semua lawakannya terbilang ringan, karena berlatar belakang budaya pupuler. Mulai dari soal Superman, Batman, Robin, Gus Dur, Eddie Soed, Bing Slamet sampai Benjamin S. Namun begitu,
lawakan Iwel mampu membuat pengunjung yang hadir bisa tertawa lepas tanpa beban.Bintang Republik Mimpi dan Democrazy Metro TV (2006-2012) ini sepertinya mulai memanaskan semua penonton dengan lawakan cerdas stand up comedy-nya. Lawakannya mulai terasa lebih memproduksi banyak tawa. Apalagi, ketika ia mulai memperbanyak lawakan politik. Mulai dari menyinggung Rhoma Irama, Gus Dur, Jokowi, Megawati sampai SBY.
KALEI K E B U DD O S K O P AY NOVE A A N MBER
2013
Desember
Teks Naura Arasell
di emperan Graha Bakti Budaya, TIM Jakarta.
Teater Tanah Air Wakili Indonesia Terbang ke India Lagi-lagi Teater Tanah Air akan unjuk kebolehan di pentas teater internasional. Kali ini mereka akan mengikuti 13th International Children’s Festival of Performing Art di New Delhi, India, 5-8 Desember mendatang. Pada pementasan mendatang mereka akan membawakan lakon Zero karya Putu Wijaya di bawah arahan sutradara Jose Rizal Manua. Telah mempersiapkan diri selama satu bulan, anakanak asuhan Jose Rizal ini memang telah berlatih
Jose menjelaskan, lakon Zero dipilih karena bentuknya teater visual. Lakon ini pernah dimainkan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta pada 2011 lalu. Teater ini pernah meraih penghargaan Penampilan Terbaik dan Sutradara Terbaik pada 9th World Festival of Children’s Theater pada 2006. Setelah mengikuti festival ini, Teater Tanah Air juga akan pentas di Jakarta pada akhir bulan depan. Mereka akan mementaskan lakonLegenda Saweri Gading Karya Remy Sylado.
Linus Suryadi dan masih banyak lagi. Para seniman tampil di panggung terbuka dan juga tampil di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Puncak acara pada Sabtu (7/11/2013) malam akan menghadirkan Emha Ainun Nadjib bersama kelompok Kyai Kanjeng.
Puluhan Seniman Jogja Siap Pentaskan Puisi Puluhan seniman terdiri dari penari, kelompok musik, hingga pemain ketoprak akan mengemas puisi melalui seni pertunjukan. Pentas ini akan disajikan dalam pergelaran Musikalisasi Sastra 2013 yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jl. Sriwedani dari tanggal 6-7 Desember 2013. Indra Trenggono, penggagas Musikaliasi Sastra 2013 mengungkapkan bahwa pentas yang menggunakan dana keistimewaan ini disuguhkan untuk mengangkat pamor sastra yang hingga saat ini masih kalah populer jika dibanding dengan seni lainnya seperti film, teater, dan musik. “Kalau dikemas dengan seni pertunjukan dengan basis musik harapannya akan membuat sastra menjadi lebih menarik sehingga masyarakat pun juga tertarik untuk menyaksikan,� katanya, Kamis (28/11/2013). Sejumlah seniman terkemuka Jogja dipastikan turut ambil bagian dalam gelaran ini, di antaranya kelompok Acapaella Mataram pimpinan Pardiman Djojonegoro, Wayang HipHop, kelompok Sanggar Bambu, Emha Ainun Nadjib bersama kelompok Kyai Kanjeng dan sejumlah kelompok lainya yang berasal dari kelompok mahasiswa dari berbagai daerah yang ada di Jogja. Masing-masing penampil, kata Indra, akan membawakan karya puisi milik penyair Jogja seperti SH. Mintardja, Hari Leo, WS Rendra,
Cak Nun tidak hanya tampil membawakan karya puisi yang dikemas melalui musik namun juga akan membawakan sejarah munculnya musikalisasi puisi di Jogja pada 1970-an silam. “Cak Nun akan berbicara soal penyair Malioboro di era 1970-an, di mana musikalisasi puisi yang sudah berkembang sedemikian rupa ternyata sudah ada sejak tahun itu. Hal ini penting disampaikan kepada penyair terutama generasi muda agar mereka juga mengetahui sejarah aslinya,� imbuh Indra.
Gelaran Musikalisasi Sastra 2013 akan ditandai dengan sarasehan bertajuk Membaca Musikalisasi Puisi dengan pembicara Hamdi Salad, Iman Budi Santoso dan Emha Ainun Nadjib yang juga dilangsungkan di TBY pada 5 Desember 2013
KALEI K E B U DD O S K O P AY DESE A A N MBER
2013
kultur jelajah
(Catatan Kunjungan Kerja Wamendikbud Bidang Budaya Ke Kabupaten Manggarai, NTT)
Memburu yang Tertinggal
DI CAGAR MANGGARAI TEKS : RIKI DHAMPARAN
G
l
FOTO : ISTIMEWA
unung Ranaka dan Golo Lusang tampak jernih sehabis hujan petang pada 11 September 2013 itu. Jalan utama kota Ruteng masih terlihat ramai, dan aroma kopi Manggarai yang wangi mulai memenuhi pikiran dalam udara yang mulai dingin. Menjelang malam, udara makin dingin, namun itu segera berganti kehangatan manakala ayam putih dan lobo berisi tuak murni dihaturkan kepada wakil rombongan. Orang Manggarai menyebut tradisi penyambutan tamu itu dengan istilah Curu. Selain memberikan
68
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
ayam putih dan lobo tuak, curu disertai dengan Goet, syair panembrama berisi doa dan ungkapan senang hati atas kedatangan Wakil Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan beserta rombongan: Yoo.. Ruma//...naka tite pe antana//kapu one mbaru//kudut ndeng lobo bekek// eko lobo toni kapu lobo pa’a//nakhe ne mai cai dite// neka mangababang, agu bentang// neka pae dupa te nekang go ko to golo... Wahai, Tuan. Kami menerima Anda dengan
Menurut kelaziman, curu dilakukan di batas desa. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, proses penyambutan ini mulai dilakukan di tempat-tempat tertutup, intinya, curu dilakukan untuk mengungkapkan rasa senang warga atas tamu-tamu penting mereka.... hati gembira, seperti hangatnya hati kami saat menggendong anak dan memeluk anak kami sendiri. Jadi (kami mohonkan) kepada yang kelihatan mata maupun yang tidak kelihatan, supaya menjaga dan melindungi mereka (Wamendikbud dan rombongan ) selama berada di tempat ini... Suara lantang seorang sesepuh adat yang duduk di atas sehelai loce ( tikar pandan ) menggema di ruang tamu tamu rumah jabatan wakil bupati Manggarai Dr. Deno Kamelus, SH, MH sebagai pertanda dimulainya ritual curu. Seusai menyelesaikan goetnya itu, ia lalu menyerahkan seekor ayam putih dan sebuah lobo (kendi) berisi tuak murni dari enau kepada Wamendikbud
Ibu Wiendu Nuryanti. Sebagai pemberian timbal balik, Wamendikbud kemudian menyerahkan buku “Seratus Keajaiban Budaya Indonesia� yang memuat Manggarai di dalamnya. Menurut kelaziman, curu dilakukan di batas desa. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, proses penyambutan
ini mulai dilakukan di tempat-tempat tertutup seperti halnya di rumah jabatan wakil bupati ini. Intinya, curu dilakukan untuk mengungkapkan rasa senang warga atas tamutamu penting mereka. Tak heran memang ungkapan kegembiraan itu. Kedatangan Wamendikbud Prof.Wiendu Nuryanti, M.arch,P.hd yang didampingi jajaran direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adat dan tradisi beserta rombongan ke Manggarai kali ini bakal membuka harapan baru bagi upaya pengembangan budaya di Manggarai. Selain meluncurkan program “Revitalisasi Desa Adat Rumah Budaya� di wilayah
Manggarai, juga dilakukan identifikasi atas sejumlah potensi, persoalan budaya dan masalah-masalah pendidikan di wilayah ini. Dalam dialog antara Wamendikbud dengan jajaran petinggi di pemda Ruteng, tokoh agama dan adat, terpapar potensi-potensi budaya yang sedemikian kaya yang dimiliki Manggarai. Menurut istilah Prof.Wiendu Nuryanti,
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
69
kultur jelajah
kawasan ini mempunyai sejumlah “harta karun budaya� berupa kosmologi, mitologi, ritual adat, arsitektur tradisional, seni dan kerajinan tradisional serta situssitus purba.
kawasan ini mempunyai sejumlah “harta karun budaya� berupa kosmologi, mitologi, ritual adat, arsitektur tradisional, seni dan kerajinan tradisional serta situs-situs purba. Bahkan dalam sambutannya pada dialog di rumah jabatan wakil bupati itu Wiendu Nuryanti menekankan posisi strategis Manggarai dalam mata rantai perjalanan peradaban manusia sejak dari zaman purba.
70
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Temuan fosil dan artefak manusia Flores di situs Liang Bua pada 2003, yang diperkirakan berusia 18.000 tahun, kata Wiendu adalah bukti yang nyata, yang mengungkapkan usia peradaban Nusantara. Manusia Liang Bua memang menjadi bahan perdebatan sengit para ahli semenjak ditemukannya situs ini. Selain meruntuhkan pandangan evolusionis mazhab Darwin dalam
bidang paleoantropologi, keberadaan manusia Liang Bua dapat mengembalikan rantai perjalanan peradaban ke negeri-negeri Timur (Indonesia) sebagai pusat peradaban. Konsekwensinya, kawasan Nusantara sejak dahulu menjadi wilayah yang sudah dihuni makhluk berpikir (Homo Sapiens). Bukan sekedar monyet yang berjalan tegak. Berbagai pandangan dikemukakan para ahli mengenai fosil ini. Para penganut evolusi (termasuk beberapa peneliti Indonesia) berpendapat manusia Flores adalah spesies tersendiri yang terpisah dari homo sapiens. Namun pandangan semacam itu ditolak oleh kebanyakan ahli paleoantropologi Indonesia. Prof. Teuku Jacob, salah satu ahli paleoantropologi terbaik Indonesia mengatakan bahwa penemuan kerangka manusia di Liang Bua bukanlah spesies baru melainkan homo sapiens atau manusia modern. Bahwa jumlah otak mereka sedikit itu karena mereka diserang sejenis penyakit yang disebut mikrocephaly yang membuat fisik dan otak mereka tidak berkembang.
Manusia Flores adalah perhitungannya tentang tulang lengan depan yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3 inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada 1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang. Tentang ukuran tengkorak manusia Flores yang sangat kecil, Henneberg mendukung pandangan ahli Indonesia yang mengatakan adanya semacam penyakit pengecilan ( microcephaly) yang mendera manusia homo sapiens Flores. Penyakit yang sama, menurut Henneberg, telah ditemukan pada spesimen Homo sapiens berusia 4.000 tahun yang didapatkan dalam penggalian di pulau Kreta. Tengkorak milik individu homo sapiens ini memiliki ukuran agak kecil, yang dinamai para ilmuwan sebagai fenomena microcephaly.
Belakangan para ahli Indonesia mendapat dukungan luar biasa justru kalangan evolusionis sendiri. Seperti misalnya Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika yang menyatakan bahwa anatomi wajah Manusia Flores masih dalam batas homo sapiens. Sebagaimana dikutip oleh Harun Yahya, Henneberg, ketua Departement of Anatomical Sciences, the University of Adelaide, Australia, telah menyatakan bahwa anatomi wajah Manusia Flores masih dalam batas homo sapiens.
Pandangan senada juga disampaikan Robert Martin, ilmuwan primatologi dari Field Museum Chicago, dan arkeolog James Phillips yang mendukung teori microcephaly berkaitan dengan volume otak Manusia Flores yang berukuran kecil. Teori microcephaly diajukan untuk membantah pandangan evolusionis yang tidak mengakui pentingnya manusia Flores dalam rantai temuan fosil homo sapiens. Pada saat ini, kajian-kajian terhadap temuan paling spektakuler dalam seratus tahun terakhir di jagad pertulangan purba ini masih terus dilakukan.
Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap hasil mengejutkan tentang
Berkaitan dengan itulah, Wamendikbud Wiendu Nuryanti melihat perlunya mewujudkan
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
71
kultur jelajah Hutan laksana jantung dalam budaya agraris masyarakat Manggarai yang bergantung pada air dan tanah. Tanpa hutan yang lestari, falsafah mbau eta temek wa ( di atas senantiasa hijau, di bawah senantiasa mengalir air ) yang menjadi moto kemakmuran orang Manggarai, tidak mungkin dapat diwujudkan.... pendirian museum purbakala di Manggarai yang sudah mendapat pengalokasian dana dari kementrian yang ia pimpin. Ini berangkat dari pengalamannya ketika melihat museum Sangiran yang menyimpan spesimen manusia Flores. Menurutnya, alangkah lebih baik jika seluruh spesimen fosil dan artefak purbakala yang ditemukan di Flores bisa diakses oleh masyarakat Flores sendiri sebagai wadah pengetahuan. Ini, menurut Prof.Wiendu Nuryanti, untuk lebih memotivasi dan meningkatkan rasa percaya diri kepada identitas kebudayaan kita sebagai manusia Indonesia. “Jika para ilmuwan luar negeri berupaya keras kemari dan pemerintahnya mendanai penelitian-penelitian tentang manusia Flores secara sungguh-sungguh, mengapa kita sendiri tidak berupaya untuk itu?� tandasnya pula yang disambut tepuk tangan hadirin. Tentu saja bukan hanya museum kepurbakalaan yang menjadi perhatian Wamendikbud dalam dialog tanggal 10 September 2013 malam tersebut. Ia juga menyatakan dukungan atas upaya sebagian kalangan akademisi di Manggarai untuk mendirikan Pusat Kajian Manggarai. Selain itu, Wamendikbud meminta kalangan penggiat budaya memberikan informasi yang seluas-luasnya berkenaan dengan kebutuhan untuk merevitalisasi tinggal-tinggalan budaya yang ada di Manggarai.
Infrastruktur Pendidikan Masyarakat Manggarai memang pantas gembira menyambut kunjungan kerja
72
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Wamendikbud Wiendu Nuryanti ke Manggarai pada 10-14 September 2013 lalu. Dalam tahun ini saja, selain rencana pendirian museum kepurbakalaan, kementrian pendidikan dan kebudayaan bidang budaya telah menetapkan pengalokasian dana bantuan bagi revitalisasi kampung dan arsitektur rumah adat Wae Rebo. Sebuah kampung tradisional di kecamatan Satar Mese yang telah menerima penghargaan Award of Excellence dari UNESCO pada tahun 2012 lalu dalam bidang pelestarian warisan budaya. Semua bantuan kemendikbud itu disalurkan melalui direktorat Adat Kepercayaan dan Tradisi. Termasuk bantuan dana komunitas yang diberikan kepada Ikatan Penggiat Seni Manggarai yang beralamat di kota Ruteng. Kunjungan kerja ini antara lain bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program-program itu. Tidak hanya terkait program revitalisasi desa adat dan pengembangan seni tradisi, Wamendikbud juga menerima banyak masukan dan pesan mengenai perkembangan pendidikan di kabupaten Manggarai. Wakil bupati Manggarai, Deno Kamelus mengeluhkan keterlambatan pembangunan pendidikan di Manggarai akibat masih rendahnya perkapita penduduk dan juga pengaruh topografi alam. Dikatakannya, 20 – 30 persen penduduk Manggarai masih tergolong miskin dengan perkapita 1,6 juta per kepala keluarga. Rendahnya perkapita ini membawa kabupaten Manggarai masuk dalam kategori daerah tertinggal di propinsi NTT. Hal ini turut berpengaruh pada tingkat partisipasi pendidikan yang cenderung
menjadi pilar pembangunan pendidikan di daerah Manggarai. Terhadap keluhan-keluhan itu, Wamendikbud Wiendu Nuryanti berjanji akan membicarakannya dengan jajaran terkait di Kemendikbud. Termasuk akan segera menyampaikan keinginan masyarakat Manggarai untuk memiliki sekolah tinggi kesehatan kepada kementrian kesehatan. rendah dari masyarakat. Angka partisipasi sekolah menengah lanjutan pertama misalnya, hanya mencapai 10 persen. Selain itu, berdasarkan statistik tahun 2007, jarak sekolah yang jauh dari perkampungan juga menjadi kendala. Upaya pemerintah membangun sekolah dekat dengan perkampungan-perkampungan yang tidak mempunyai akses jalan, diakuinya belum maksimal. Kurangnya infrastruktur pendidikan itu, membuat masyarakat harus keluar daerah ( ke Kupang ataupun ke pulau Jawa ) untuk melanjutkan pendidikan. Daftar kesulitan ini katanya, makin bertambah dengan keterbatasan kesediaan SDM (tenaga pengajar). Karena selama ini pendidikan di wilayah Manggarai lebih banyak didorong oleh peran swasta, maka tenaga pengajar yang ada umumnya adalah tenaga pengajar honorer yang berasal dari sekolah-sekolah swasta. Sayang sekali, karena dalam proses verifikasi yang dilakukan pemerintah pusat terhadap para pengajar honorer ini baru-baru lalu justru menimbulkan masalah. Terkesan pemerintah kurang menghargai peran swasta yang selama ini
Hutan laksana jantung dalam budaya agraris masyarakat Manggarai yang bergantung pada air dan tanah. Tanpa hutan yang lestari, falsafah mbau eta temek wa ( di atas senantiasa hijau, di bawah senantiasa mengalir air ) yang menjadi moto kemakmuran orang Manggarai, tidak mungkin dapat diwujudkan. Fungsi ekologi budaya semacam itulah yang diemban TWA Ruteng, sebuah kawasan konservasi seluas 32.245,60 ha yang menyangga sumbersumber kehidupan agraris masyarakat 60 desa di sekitar perbatasanya. Berada pada ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut, TWA Ruteng memang menjanjikan suguhan wisata hayati yang menarik. Selain memiliki berbagai spesies tanaman dan hewan yang sebagiannya tergolong langka dan dilindungi, kawasan ini adalah habitat manusia dan budaya dengan sejumlah potensi dan persoalannya. Seluas 8000 ha area hutan ini termasuk ke dalam kabupaten Manggarai sedangkan 24.245, 60 ha secara administratif termasuk ke dalam wilayah kabupaten Manggarai Timur.
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
73
kultur jelajah
Dari kota Ruteng ke arah selatan melalui punggung bukit Golo Lusang, jalan berliku sepanjang 30 km lebih di kesenyapan hutan TWA Ruteng akan membawa kita pada desadesa pertanian yang subur. Memasuki Iteng, hamparan sawah lereng yang sangat luas terhampar sejauh mata memandang. Parit-parit air yang jernih dan deras, yang berhulu di pong (hutan larangan) perbukitan, mengalir menuju lingko-lingko yang sebagian besarnya dijadikan persawahan serta kebun, ke tepian-tepian mandi dan mungkin berakhir pada sungai-sungai yang bermuara di laut dekat pulau Mulas.
yang melintas di desa mereka. Tanpa ada yang mengomando, penduduk yang kebetulan berada di pinggir jalan spontan melambailambaikan tangan sebagai salam penerimaan yang ramah dan hangat.
Kampung-kampung kadang berbatasan langsung dengan kawasan hutan sekunder dan ditumbuhi berbagai jenis tanaman seperti kemiri, kapas dan tanaman penyangga tebing. Di pagi hari, saat udara yang sejuk berhembus membawa aroma tanah, cahaya matahari akan jatuh pada pucuk-pucuk daun pohon kemiri yang tampak seperti kanopi yang lembut dan putih. Seakan-akan itu adalah gelombang sutera yang siap dipanen untuk dijadikan benang tenun dan songke NTT yang terkenal.
Tertinggal
Sepintas, terkesan tak ada yang perlu dicemaskan dari kehidupan masyarakat di wilayah ini. Kalau ada yang bisa mengejutkan penduduk dari ketenangan panorama pagi itu pastilah iring-iringan kendaraan pemerintah
74
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Ada terasa kepolosan dalam lambaian tangan itu. Hal seperti itu hanya mungkin lahir dari sebuah budaya komunitas yang menghormati pemimpin, sebagaimana berlaku dalam masyarakat tradisional Manggarai yang menjadikan para tetua sebagai faktor pengikat kekerabatan Wa’u dan aktifitas sosial budaya mereka. Sulit dipercaya memang, kalau kabupaten Manggarai yang subur tergolong daerah tertinggal sebagaimana dilaporkan dalam tabel resmi jawatan pemerintahan kabupaten. Namun itulah kenyataannya. Data pemerintah menyebutkan, bahwa produksi pertanian yang menjadi andalan daerah ini terus menurun sepanjang tahun, angka kemiskinan masih belum berkurang dan partisipasi pendidikan masih cenderung rendah. Alasan yang dikemukakan pemerintah sebagai penyebab ketertinggalan itu biasanya adalah kurangnya infrastruktur pembangunan seperti jalan, gedung sekolah, sarana kesehatan, komunikasi dan listrik yang tidak dapat mencapai daerah-
Sulit dipercaya memang, kalau kabupaten Manggarai yang subur tergolong daerah tertinggal sebagaimana dilaporkan dalam tabel resmi jawatan pemerintahan kabupaten. Namun itulah kenyataannya. Data pemerintah menyebutkan, bahwa produksi pertanian yang menjadi andalan daerah ini terus menurun sepanjang tahun, angka kemiskinan masih belum berkurang dan partisipasi pendidikan masih cenderung rendah.... daerah yang jaraknya jauh ke pedalaman.
Perempuan dan Seni Tenun
Kurang jelas, apakah ukuran kemajuan dan ketertinggalan dalam paradigma pembangunan yang bersifat fisikal itu tetap relevan digunakan untuk membaca realitas dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang sedemikian cepat. Yang pasti, sepanjang tahun 2004 hingga tahun 2013 ini, masalah-masalah kebudayaan mulai mencuat ke permukaan akibat adanya berbagai konflik antara masyarakat dan negara mengenai pengelolaan batas-batas lingko dan hutan konservasi. Pada satu sisi, hutan adalah sumber penghidupan budaya yang perlu dikonservasi, sementara pada sisi lain perkembangan masyarakat akan berpengaruh pada kelestarian hutan itu di masa depan.
Menurunnya produksi pertanian pada gilirannya mendorong masyarakat mencari alternatif usaha lain. Pada saat ini, sejalan dengan perkembangan promosi pariwisata di daerah tetangga ( Manggarai Barat ), masyarakat Manggarai mulai melihat peluang pada pasar tenun yang lebih luas dari sekedar pasar lokal. Di daerah-daerah seperti Cibal dan Todo, yang sejak dulu terkenal sebagai pusat tenun songke Manggarai, jumlah kaum perempuan yang menjadikan tenun songke sebagai sumber ekonomi disinyalir mengalami peningkatan. Para perempuan ini mulai mengendalikan ekonomi keluarga sejalan dengan menurunnya harga-harga pertanian komoditi di pasaran.
Kabar baik, karena belakangan antara pemerintah dan masyarakat adat di sekitar TWA Ruteng terus berupaya mencari solusi berdasarkan kearifan lokal untuk mengelola persoalan-persoalan yang muncul. Namun solusisolusi semacam itu tentu bersifat insidental, yang muncul dilatarbelakangi oleh adanya konflik adat - negara. Yang belum banyak dilakukan barangkali pemetaan lengkap dan detail atas potensi-potensi serta permasalahan budaya dalam masyarakat yang berdiam di kawasan TWA Ruteng ini.
pemerintah.
Sayangnya, pemerintah daerah sendiri tampaknya belum mempunyai satu strategi yang mumpuni untuk pengelolaan yang tepat bagi pengembangan seni tenun lokal ini. Alih-alih mempunyai konsep pengelolaan, potensi kerajinan tenun Manggarai sejauh ini tampaknya masih berjalan secara tradisional tanpa dukungan
Pembeli tenun songke tetaplah warga lokal yang tinggal di Ruteng, yang cukup kaya. Kain tenun biasanya sebagai pakaian sehari-hari dan upacara adat. Pembeli lainnya adalah turis yang datang ke Ruteng yang jumlahnya juga terbatas. Kondisi ini membuat tenun songke Manggarai belum banyak berkembang seperti halnya tenun Bugis dan Sumatra yang sudah menasional bahkan mendunia. l
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
75
kultur jelajah
Never Ending
Wae Rebo
TEKS : RIKI DHAMPARAN l FOTO : RIKI DHAMPARAN & ISTIMEWA
Jenny Ashby (Australia)
76
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Denge, hanyalah sebuah kampung kecil dengan topografi tanah yang landai di desa Satar Lenda, Manggarai. Namun kampung ini laksana ‘pusat kota’ bagi warga kampung-kampung di sekitarnya seperti Kombo, Sebu dan bahkan Dintor yang berjarak sekitar 10 km dari Denge.
Denge tentulah mempunyai arti tersendiri . Warga kampung Wae Rebo membangun kampung Kombo dekat Denge, yang dijadi pemukiman luar mereka. Agar mereka bisa tetap menyekolahkan anak, bersawah, menanam cengkeh dan berinteraksi layaknya manusia modern
P
ada 10-14 September 2013 lalu, Wamendikbud Wiendu Nuryanti melakukan “Blusukan Budaya” ke Wae Rebo Manggarai, NTT. Sebuah kampung adat di pedalaman hutan Manggarai yang telah menerima penghargaan UNESCO untuk bidang pelestarian budaya tahun 2012 lalu. Riki Dhamparan dari redaksi Majalah Kultur, yang mengikuti blusukan tersebut, membagi catatan ini untuk anda Denge, hanyalah sebuah kampung kecil dengan topografi tanah yang landai di desa Satar Lenda, Manggarai. Namun kampung ini laksana ‘pusat kota’ bagi warga kampungkampung di sekitarnya seperti Kombo, Sebu dan bahkan Dintor yang berjarak sekitar 10 km dari Denge. Hal itu karena di Denge terdapat satu-satunya sekolah dasar yang sudah dibangun sejak zaman pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1929. Hampir semua orang di Denge mendapat pendidikan dasarnya di SD Katolik Denge. Apalagi bagi warga Wae Rebo yang berada di pedalaman hutan sejauh 9 km meter ke perbukitan arah selatan,
Kini, semenjak Wae Rebo menjadi kampung internasional yang banyak dikunjungi wisatawan, Denge menjadi semacam daerah parkir, karena jalan yang bisa dilalui mobil berakhir sampai di Denge. Walaupun baru-baru ini pemerintah daerah Manggarai (bagian tengah) telah membuka jalan tanah sampai ke Wae Lomba, tetap saja bisa dilalui kendaraan bermotor terutama saat hujan. Lebih aman bagi pelancong berjalan kaki dari Denge walau untuk itu harus menyiapkan tenaga ekstra. Karena perjalanan ke Wae Rebo akan memakan waktu sampai empat jam. Penduduk di Denge mayoritasnya adalah petani. Selain padi sawah, masyarakat menanam cengkeh, kopi, damar dan kemiri. Untuk pengairan sawah terdapat parit irigasi yang airnya dibagi antara petani Denge dan Dintor. Biasanya pembagian berdasarkan waktu tanam yang silih berganti di masing-masing kampung itu. Jika empat bulan pertama air irigasi dialirkan ke Denge, empat bulan berikutnya dialirkan ke Dintor. Sejauh ini, belum pernah ada cekcok antara warga kampung. Prinsip lonto leok (musyawah mufakat) masih dipegang teguh warga Satar Senda umumnya dan dijadikan sebagai jalan keluar berbagai macam persoalan sosial yang mereka hadapi. Bersebelahan dengan gereja yang terletak di ketinggian di ujung kampung Denge, ada sebuah gedung serba guna dengan halaman rumput yang
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
77
kultur jelajah
Setelah memasuki gedung serba guna, Wamendikbud dan rombongan menyantap hidangan makanan sederhana (ikan dan sayuran ) yang sudah disediakan warga sambil dihibur dengan seni mbata yang dinyanyikan dengan fasih oleh siswa-siswi sekolah dasar di Denge.... luas. Dari halaman ini kita bisa memandang laut biru yang memisahkan persawahan Satar dengan pulau Mulas yang cantik arah utara. Sementara di bagian selatan adalah hutan pegunungan yang masuk dalam TWA Ruteng. Walaupun hanya mempunyai sebuah panggung kecil selebar 1,5 x 1,5 meter dan masih berlantai semen kasar, gedung ini menjadi satusatunya tempat bagi warga melangsungkan berbagai aktifitas kemasyarakatan, termasuk untuk menyambut tamu-tamu penting dari pemerintahan yang datang ke Denge. Kendaraan biasanya di parkir di tanah-tanah lapang yang terdapat pada kedua sisi jalan. Begitulah, Rabu 11 September 2013 itu menjadi hari yang berbeda bagi warga Denge dan sekitarnya. Sejak pagi, anak-anak sekolah dasar berpakaian seragam merah putih sudah berbaris sepanjang sisi jalan ke gedung itu untuk menunggu kedatangan Wamendikbud, Prof.Wiendu Nuryanti, M.Arch, P.hd beserta rombongan yang terdiri dari unsur pejabat direktorat kemendiknas, pemda ruteng, tenaga medis, polsek Satar Mese dan wartawan. Mereka sengaja mampir di Denge untuk beristirahat mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan pendakian ke Wae Rebo yang menjadi tujuan utama kunjungan kerja ini.
78
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Bocah-bocah itu tampak bersemangat. Terlebih ketika mereka mulai menyanyikan lagu Padamu Negeri saat rombongan Wamendikbud tiba dan memasuki gedung serba guna itu dengan berjalan kaki. Wajah Bu Wamen dan rombongannya yang kelihatan letih setelah melakukan perjalanan selama 3 jam lebih dari Ruteng, jadi kelihatan sumringah begitu mendengar nyanyian anak-anak sekolah dasar itu. Sesekali ia tampak melambaikan tangan kepada mereka dan dibalas dengan lambaian yang lebih hangat lagi. Sesuai jadwal, tidak ada seremoni yang dilakukan selama perhentian di Denge ini. Setelah memasuki gedung serba guna, Wamendikbud dan rombongan menyantap hidangan makanan sederhana (ikan dan sayuran ) yang sudah disediakan warga sambil dihibur dengan seni mbata yang dinyanyikan dengan fasih oleh siswa-siswi sekolah dasar di Denge. Seusai makan, sebelum melanjutkan perjalanan, Wamendikbud meminta semua anak-anak yang masih di luar untuk masuk ke dalam gedung. Kemudian berfoto ria bersama mereka.
Wae Lomba Air sungai Wae Lomba masih mengalir jernih walaupun menurut warga Wae Rebo sudah tak sederas dulu lagi. Pembalakan liar di hulunya telah
mengurangi debit sungai. Kalau saja warga Wae Rebo tak berjuang mencegah pembalakan liar itu, mungkin air sungai Wae Lomba benarbenar sudah susut sekarang. Untunglah, setelah beberapa kali konflik antara pembalak dan warga Wae Rebo, pemerintah akhirnya menetapkan hutan sekunder seluas 10.500 Ha di hulu Wae Rebo sebagai hutan lindung yang sekarang dikenal dengan nama Todo Repok. Sehingga para pejalan yang kelelahan menuju Wae Rebo masih bisa merasakan sejuknya air sungai ini sekarang. “Airnya dingin bangeeet,� seru dr.Mesty Ariotedjo kepada sahabatnya, dr.Komang Ayu Ferdiana, tim medis dari dinas kesehatan Manggarai yang menyertai rombongan sejak dari Ruteng. Dua dokter muda ini, juga baru pertama kali ke Wae Rebo walaupun sudah satu tahun bertugas sebagai dokter PTT di Ruteng. Tentu saja buat mereka ini pengalaman yang menarik. Sekaligus menimbulkan sejumlah pertanyaan soal layanan kesehatan di Wae Rebo. Satu-satunya Puskesmas terdekat ada di Denge. Sehingga warga yang mengalami sakit keras tak jarang harus ditandu turun hutan untuk berobat. Namun, sebagaimana diterangkan Pak Martinus Angga, warga Wae Rebo yang menjadi ketua tim pemandu rombongan, keadaan seperti
itu sudah dilewati selama beberapa generasi oleh warga Wae Rebo. Sehingga mereka tak mengeluhkannya. Tak jarang pula, katanya, ibu-ibu terpaksa melahirkan di tengah jalan di hutan sebelum sempat mencapai Puskesmas di perkampungan.Dapat dibayangkan betapa berat menjadi warga Wae Rebo. Untuk sampai ke Wae Lomba saja, sudah perlu mendaki selama dua jam melalui jalan tanah yang penuh longsoran tebing dan kubangan lumpur. Bahkan Bu Wiendu Nuryanti beberapa kali harus ditandu melewati medan-medan terberat. Mulanya kelihatan sulit baginya melakukan itu. Karena tandu yang digunakan hanyalah sebuah tandu darurat dengan alas sehelai kain sarung yang dimasukan pada dua batang bambu. Empat orang warga Wae Rebo bergantian memikul tandu itu tanpa kelihatan bersusah payah. Hebatnya, rata-rata mereka tidak menggunakan
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
79
kultur jelajah
alas kaki. Dan sama sekali tidak kelihatan terganggu sekalipun mungkin telapak kaki mereka lecet tergesek kayu ataupun duri. Mungkin itulah berkah alam yang utama kepada orang Wae Rebo. Sekali dua minggu sekurangnya mereka bolak-balik Wae Rebo – Kombo/Denge untuk membawa hasil kebun yang akan ditukar dengan barang-barang di pasar yang jaraknya mencapai belasan kilo meter. Anak-anak yang sekolah dan tinggal di Kombo dan di Denge, juga melakukan hal yang sama. Setiap libur sekolah, mereka akan kembali ke Wae Rebo untuk berkumpul dengan nenek, ayah ibu dan kerabat mereka. Termasuk tentu saja untuk mengadakan ritual-ritual sesuai kepercayaan lokal mereka yang hanya bisa dilakukan di Wae Rebo. Sebagaimana pernah dipaparkan Crishtine Allerton, peneliti Inggris yang dua tahun tinggal di Wae Rebo, religi lokal orang Wae Rebo terikat pada leluhur yang bermukim di Wae Rebo. Kombo, pemukiman luar mereka, dianggap bukan tanah leluhur karena
80
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
tanah di Kombo diberikan oleh desa lain untuk mereka tempati. Selama 18 generasi, hal semacam itu sudah mereka lalui. Keinginan pemerintah daerah agar mereka pindah turun ke perkampungan selalu mereka tolak, demi menjaga warisan leluhur yang tersimpan di Wae Rebo. Buat kita, hal itu wajar menimbulkan pertanyaan: kekuatan apakah sebenarnya yang tersembunyi di Wae Rebo, sehingga warganya begitu kukuh memilih tinggal dan menjaga tanah moyang mereka? Jawaban pertanyaan ini mungkin hanya orang Wae Rebo yang tahu. Para peneliti, pelancong dan orang-orang yang datang kemari mungkin hanya bisa meraba-raba. Mereka tidak mugkin bisa menjelaskan dengan jelas, pesona atau magnet seperti apa sebenarnya yang mengundang orang-orang dari tempat yang jauh datang ke Wae Rebo. Sehingga lembaga UNESCO pun harus memberi penghargaan untuk kampung di hulu hutan ini.
Jalan setapak yang diapit tebing bukit dan ngarai, makin menyempit dan mendaki setelah menyeberangi anak sungai Wae Lomba. Selama dua sampai tiga jam berikutnya kita akan sampai pada sebuah tikungan tajam dekat sarasah (air terjun kecil) yang sisi jurangnya dipagari oleh penduduk....
Mbaru Niang Jalan setapak yang diapit tebing bukit dan ngarai, makin menyempit dan mendaki setelah menyeberangi anak sungai Wae Lomba. Selama dua sampai tiga jam berikutnya kita akan sampai pada sebuah tikungan tajam dekat sarasah (air terjun kecil) yang sisi jurangnya dipagari oleh penduduk. Pemandu lokal menyebut tempat ini Poco Roko, ditandai oleh sebuah pagar pendek di sisi jurang yang diberi semen. Panorama indah terbentang sampai ke arah selat Sumba. Kalau menurut warga, dari Pocoroko ke Wae Rebo sudah dekat. Walaupun dekat itu bisa berarti masih ada satu jam perjalanan lagi. Dari sini, ngarai yang sebelumnya berada pada sisi kanan, kini berada pada sisi kiri. Kita mulai merasakan ada gelombang kabut yang kadang datang menutupi permukaan jurang, lalu hilang lagi. Tak lama lagi, kita akan sampai di Nampe Bakok, karena melalui jalan baru. Kalau lewat jalan lama tembus ke Ponto Nao. Jika tak sedang berkabut, sebuah tanjung yang berada di lembah antara tujuh bukit telah dapat dilihat. Tujuh rumah yang seperti kurungan ayam berdiri anggun di atasnya. Itulah Mbaru Niang yang terkenal. Bagian atas atapnya dilapisi ijuk yang dianyam halus, dan satu dari rumah kurung itu mempunyai sebuah tanduk di pucuknya, karena menjadi pusat kehidupan adat rumah-rumah di situ. Warga lokal menyebutnya Mbaru Tembong atau Mbaru Gendang. Mbaru Tembong dibedakan
dari rumah lain karena merupakan rumah yang pertama sekali dibangun oleh Empo Maro (Tuhan Dewa Patih?), leluhur orang Wae Rebo yang datang dari Minangkabau. Di Mbaru Tembong, seluruh aktifitas adat dipusatkan. Pada saat ini mbaru niang yang asli hanya tertinggal di Wae Rebo dan satu buahnya ada di Todo. Sejak tahun 1970-an, rumah-rumah ini telah ditinggalkan masyarakat Manggarai akibat ada anjuran resmi kepada masyarakat pegunungan agar pindah ke dataran rendah dan membangun rumah petak. Bahkan 3 dari mbaru niang yang ada di Wae Rebo baru saja dibangun kembali setelah mendapat sokongan dana dari sejumlah donatur. Termasuk Niang Gena yang dinamai Niang Gena Maro, hotel yang dikhususkan bagi para tamu, dilengkapi dengan bangunan kamar mandi, toilet dan dapur di bagian luar dan diberi atap sama seperti rancang atap mbaru niang lainnya. Jadi hanya ada empat mbaru niang yang benar-benar tua. Mbaru Niang disusun dalam posisi melingkar mengepung like, yang tegak di atas sompang batu pada bundaran tanah yang ditinggikan pada bagian tengah halamannya, persis di hadapan Mbaru Tembong. Konon, panggung batu itu dibangun dengan bantuan poti (makhluk halus penunggu rimba) yang rupanya mirip manusia yang sangat
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
82
kultur jelajah
Mbaru Niang disusun dalam posisi melingkar mengepung like, yang tegak di atas sompang batu pada bundaran tanah yang ditinggikan pada bagian tengah halamannya, persis di hadapan Mbaru Tembong.
jelita. Berambut hitam panjang dan memiliki enam jari di setiap kaki dan tangannya. Untuk membedakan mbaru gendang/ tembong dengan mbaru gena adalah pada fungsinya. Selain menjadi rumah tinggal 8 keluarga yang langsung diturunkan moyang pertama Wae Rebo, mbaru gendang berfungsi sebagai tempat permusyawaratan adat. Berdiameter karena merupakan rumah pertama yang dibangun. Sedangkan mbaru gena adalah rumah tempat tinggal keluarga yang berkembang. Setiap niang di Wae Rebo memiliki nama masing-masing: Niang
82
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Mbaru Gendang, Niang Gena Karo, Niang Gena Jintarn dan Niang Gena Maro yang berfungsi sebagai “hotel� bagi pelancong. Menurut penuturan warga, Empo Marolah yang mewariskan rancangan mbaru niang menggunakan teknologi ikat yang menggunakan rotan sebagai pengikat bambu dan kayu pada sambungan struktur bangunan. Menurut hasil penelitian sarjana ITB, struktur rumah ini kokoh, fleksibel dan tahan gempa. Terdapat lima tingkatan pokok dalam
sebuah niang. Yaitu, tenda atau lantai yang dibagi menjadi nolang dan lutur. Nolang merupakan ruang keluarga, terdiri kamar tidur dan tungku. Lutur adalah ruang publik tempat tamu dijamu. Di atas lantai ada lima loteng terbuka (langkan kayu) yang dinamai lobo, lentar, lemparai dan hekang kode. Berfungsi untuk menyimpan bahan makanan, meletakkan peralatan rumah dan kayu api. Sedang bagian paling pucuk ada loteng kilikiang untuk menaruh langkar sesaji. Ada sembilan tiang yang menjadi penopang beban bangunan pada setiap mbaru niang, disebut hiri mehe. Dari penopang paling tengah didirikan ngando dari kayu worok yang akan menembus atap. Untuk membentuk topi kerucut pada ujung atap dibuatlah rangka dari bambu, yang disebut buku. Lalu, atap alang-alang (wehang) yang dilapisi ijuk diikatkan pada buku tersebut. Ada sebuah bok (gerbang) yang menjadi jalan masuk perkampungan ini, dan itulah sekaligus yang menjadi jalan keluar. Tidak ada jalan lain untuk masuk ke kampung Wae Rebo, selain melalui jalan itu. Karena di belakang adalah ngarai yang berakhir pada dinding pegunungan. Gerbang sudah terlihat dihiasi dengan anyaman janur sebagai pertanda sedang ada acara penting. Di belakang bok itu barisan warga berpakaian
adat, yang dipimpin oleh seorang Tua Golo ( Pemimpin Kampung) sudah menunggu dengan sebuah robo di tangan. Di sebelahnya seseorang memegang ayam putih yang akan diberikan pada tamu. Suara gendang mulai terdengar, memantun dari dinding tujuh bukit yang mengepung Wae Rebo. Kalau gelombang suara itu bisa dilihat mata kasar, pastilah geraknya seperti putaran angin puyuh yang melepaskan tenaga ke awang-awang. Buss...sampai di kayangan. Ritual penyambutan pertama pun dimulai ketika Wamendikbud Wiendu Nuryanti sampai di depan mereka. Beberapa orang perempuan memakaikan kain tenun di tubuh Bu wakil mentri sebelum melewati bok itu. Lalu Tua Golo akan melantunkan goet dengan suara yang indah. Yo, Ruma... Robo tuak diberikan, juga ayam putih. Gendang pun ditabuh, dan nyanyian penyambutan dilakukan. Tamu selanjutnya diarak menuju mbaru Tembong, sambil menghentakhentakan kaki dalam gerak tarian. Semacam dolo kalau di Flores TimurSama seperti yang berlaku di seluruh wilayah Manggarai, curu (ritual penyambutan tamu) memang lazim dilakukan di pintu masuk kampung. Maksudnya untuk mendoakan kepada leluhur agar sang tamu dijaga saat memasuki kampung. Bedanya, mendengar tetua melantunkan goet di Wae Rebo terasa lebih menyentuh.
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
83
kultur jelajah
Halaman atau natas adalah segalanya bagi keturunan Empo Maro yang mendiami kampung Wae Rebo. Satu natas seakan menjadi penghubung 7 niang yang melingkunginya. Betapapun rumah-rumah itu diperbaiki ulang, halaman ini akan tetap pada tempat dan fungsinya. Penyambutan kedua, Wae Lu’u dilakukan di dalam rumah Tembong. Kali ini berisi seserahan berupa kain tenun. Sebaliknya, sang tamu juga memberikan sesuatu sebagai timbal balik. Dalam prosesi wae lu’u, tetua adat memperkenalkan para tamunya kepada leluhur mereka, meminta keselematan mereka dan menganggap mereka sebagai bagian dari orang Wae Rebo. Sebaliknya, para tamu juga menyampaikan terimakasih atas sambutan itu. Setelah seromoni penyambutan itu selesai, kopi dan talas rebus pun dihidangkan. Tamu dipersilahkan istirahat di dalam satu mbaru niang yang bisa menampung sampai 60 orang lebih. Bagi yang ingin berbersih diri, ada dua belas mata air di belakang kampung yang sudah diberi pancuran bambu. Yang terdekat ada dua, dipisahkan antara tepian mandi lelaki dan perempuan.
Petang Di Natas Halaman atau natas adalah segalanya bagi keturunan Empo Maro yang mendiami kampung Wae Rebo. Satu natas seakan menjadi penghubung 7 niang yang melingkunginya. Betapapun rumahrumah itu diperbaiki ulang, halaman ini akan tetap pada tempat dan fungsinya. Lebih dari sekadar ruang bermain, sebuah natas sebenarnya adalah gambaran dari falsafah komunal yang sangat kuat. Kelak mungkin, saat orang-orang Wae Rebo yang satu ninik itu berkembang makin banyak, bisa jadi satu sama lain tak akan saling mengenal lagi. Tapi saat mereka kembali ke Wae Rebo mereka
84
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
akan menemukan halaman yang sama sebelum mereka memasuki niang nenek mereka masingmasing. Di halaman ini mereka kembali diikat dalam suatu rantai kesadaran genetis dan kesatuan kekerabatan, yang melarang mereka berselisih paham dan bermusuhan. Seperti diungkapkan dalam nasehat leluhur orang Manggarai: muku ca pu’u néka woléng curup, téu ca ambo néka woléng jangkong, ema agu anak néka woléng bantang, asé agu ka’é néka woléng taé.” (Pisang sepohon jangan lain kata// tebu serumpun jangan lain tutur// ayah dan anak jangan lain sepakat// kakak dan adik jangan lain kata.) Kelak mungkin, antara keluarga dalam satu niang dengan niang lainnya bisa saja berselisih paham, tapi sebelum keluar rumah tentulah wajib bagi mereka menghilangkan perselisihan itu. Karena begitu turun dari tangga, mereka akan menemui halaman yang sama, sompang yang sama dan akan melihat bukit-bukit yang sama yang telah meneduhi mereka turun temurun di Wae Rebo. Atas dasar itu, layaklah dikatakan kalau halaman dalam pola komunal mbaru niang ini merupakan metafor dari sebuah harapan luhur: agar spirit kekeluargaan tak putus dilanda zaman. Tak heran, kalau pancang kayu di atas sompang, yang menjadi kiblat ritual serta religi orang Wae Rebo ditempatkan di tengah-tengah halaman. Tanpa pola natas yang seperti itu, saya membayangkan niang hanyalah sebuah sangkar sempit yang tak nyaman.
terlibat dalam perbicangan mitis yang serius. Sayangnya, petang selalu singkat. Begitu kabut turun dan gelap menyungkup, bunyi gong ditabuh dari mbaru tembong, sebagai pertanda agar warga kampung berkumpul ke situ untuk mempersiapkan acara malam hari terkait kedatangan Wamendikbud Wiendu Nuryanti. Mungkin karena ada kesadaran semacam itu pula, menghabiskan waktu petang di halaman menjadi rutinitas yang menyenangkan di Wae Rebo. Apalagi bagi para wisatawan yang hendak menghirup udara segar dari bukit-bukit yang melingkungi Wae Rebo. Tak terkecuali bagi ibu wakil mentri yang tau-tau muncul di natas itu saat saya dan dua tetua adat duduk melingkar di salah satu sisi halaman. Begitu bu Wamen duduk bersandar pada sompang batu, warga kampung dan sejumlah wisatawan lokal segera mendekatinya. Mereka duduk pula bersila membentuk lingkaran, dan berdiskusi mengenai banyak hal. Bagi warga Wae Rebo, tentulah keberadaan Wamendikbud ini sesuatu yang sangat bernilai. Sebab merupakan satu-satunya pejabat tinggi nasional yang pernah mengunjungi Wae Rebo. Banyak yang meminta foto bareng, menanyakan berbagai soal terkait rencana pemerintah tentang Wae Rebo, dan sebaliknya Bu Wamen juga bertanya tentang kehidupan mereka di situ. Sementara pada lingkaran lain, saya dan dua tetua adat
Sekolah & Puskesmas Listrik menyala. Sejak 2008, karena perkembangan jumlah wisatawan yang berkunjung, masyarakat membeli generator listrik dari modal kas desa yang berasal dari keuntungan pariwisata. Generator itu digerakkan dengan mesin diesel berkapasitas 3.000 watt. Tahun 2010, masyarakat menambah kapasitas listrik menjadi 5.000 watt. Meskipun demikian, listrik hanya dinyalakan saat ada wisatawan menginap. Telah disepakati melalui musyawarah adat, listrik tidak digunakan untuk konsumsi penggunaan TV dan perabotan rumah tangga yang tidak diperlukan. Seseorang menjemput bu Wiendu ke niang maro dan meminta rombongan menuju mbaru tembong. Di dalam niang tembong, di atas hamparan loce (tikar pandan) yang empuk karena sudah diisi kapas, warga dan para tetua sudah duduk bersila mengenakan pakaian putih
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
85
dan destar kain dililitkan di kepala. Maklum, ini adalah bagian inti dari kunjungan Wamendikbud ini. Selain menjelaskan perihal program revitalisasi rumah adat, Wiendu Nuryanti juga akan mendengar kebutuhan masyarakat Wae Rebo yang paling mendesak untuk dipenuhi. Setelah tetua adat membuka pertemuan itu dengan memohon restu leluhur mereka, warga menyampaikan keinginan mereka kepada Wamendikbud. Melalui juru bicara, Martinus Angga, warga menyatakan hanya menginginkan sebuah sekolah dasar dan sebuah puskesmas di Wae Rebo. Agar mereka tidak perlu jauh-jauh ke Denge bagi anak-anak bersekolah. Terhadap permohonan itu, Wamendikbud Wiendu Nuryanti menyatakan tidak masalah. Karena pendidikan adalah hak mendasar yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat. Namun, khusus untuk Wae Rebo, menurutnya perlunya dipikirkan bentuk sekolah yang tepat, yang adaptabel dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan masyarakat Wae Rebo, baik secara fisik maupun pola ajarnya. Wiendu khawatir, kalau menggunakan pola sekolah umum, Wae Rebo akan kehilangan ruh yang membuat kampung ini bisa memperoleh penghargaan budaya dari UNESCO. Konsep yang
86
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
baik perlu disusun kata Wiendu Nuryanti. Dan konsep itu mestilah komptibel dengan semangat tradisi dan modern. Terkait dengan permintaan untuk memiliki Puskesmas, Wiendu Nuryanti hanya bisa menjanjikan akan mengkoordinasikan masalah itu dengan kementrian terkait. Namun prinsipnya, ia sangat mendukung terealisasinya permintaan itu. Saking senangnya dengan jawaban Wamendikbud itu, warga Wae Rebo bertepuk tangan. Dan mengatakan dalam bahasa Manggarai “betapa cantiknya Bu Windu saat mengenakan sarung dan duduk di atas loce dalam mbaru gendang�. Setelah hampir dua jam berdiskusi, pembicaraan itu ditutup oleh tetua adat. Mbata pun ditabuh. Harapan dan impian disampaikan dalam syair-syair yang dinyanyikan cako mbata dengan suara merdu. Setiap syair yang ia lantunkan, disambut oleh penyanyi lain yang duduk dalam posisi melingkar. Semua lakilaki. Dalam komposisi pelantun mbata, mereka disebut cual mbata. Mbata adalah seni berhibur khas Manggarai yang biasa dimainkan dalam pesta-pesta tradisional. Menurut Drs.Stephanus Jenuddin,
Sebuah mbata adalah sebuah nyanyian yang dilantunkan bersama-sama dengan dipimpin seorang cako mbata sebagai pendahulu lagu. Baru kemudian yang lain meneruskannya secara bersama-sama.....
seorang guru sekolah menengah asal Ruteng yang aktif di IPSEM (Ikatan Seniman Manggarai), mbata masih terdapat dalam banyak gendang di Manggarai. Namun seni ini sekarang mendapat tantangannya dari seni-seni pop urban. Sehingga satu persatu kelompok mbata itu berguguran. Generasi muda, katanya mulai enggan mempelajari mbata. Tema lagu dalam setiap mbata biasanya disesuaikan dengan semangat pesta yang sedang dilakukan. Ada yang isinya tentang cerita-cerita lama, anjuran untuk bergotong royong sampai anjuran untuk melawan penjajahan. Pendek kata, syair mbata sangat fleksibel. Namun ciri mbata yang pokok lagi adalah komposisinya yang duduk melingkar. Mencerminkan perlunya memperkuat nilai kebersamaan dalam sebuah gendang atau kampung. Sebuah mbata adalah sebuah nyanyian yang dilantunkan bersama-sama dengan dipimpin seorang cako mbata sebagai pendahulu lagu. Baru kemudian yang lain meneruskannya secara bersama-sama. Instrumen yang digunakan adalah gendang dan gong. Pada masa dahulu, kata Pak Stephanus Jenuddin, mbata bisa dilangsungkan sampai pagi dan diulang lagi keesokannya.Tak jarang pula, sebuah kampung yang tidak memiliki
mbata, akan mengundang mbata dari kampung lain pada saat melakukan pesta-pesta adat semacam paki kaba ( upacara potong kerbau).
Di bawah naungan lobo niang Jarak lantai niang geno maro, hanya tiga bila anak tangga dari tanah. Untuk masuk atau keluar, kita mesti membungkukan badan karena ujung atap ijuk niang menutupi pintu dan tangga itu. Akan berbeda halnya jika sudah berada di dalam. Bentuknya yang melingkar, membuat ruang niang ini luas sekali dan dapat menampung enam puluh orang. Di situlah seluruh rombongan tidur. Tikar pandan yang lembut, karena sudah diisi kapas di dalamnya dibentangkan menurut lingkaran ruangan itu. Masing-masing sudah diberi bantal yang juga dibungkus dengan anyaman pandan. Bagian lantai ruang yang tidak dilapisi tikar hanya bagian tegah, karena di situ menjadi tempat lalu lalang dan menaruh makanan. Laki-laki tidur di sebelah kiri dan rombongan perempuan tidur di sebelah kanan. Pada bagian paling sudut, dekat pintu ke dapur, sengaja diberi
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
87
kultur jelajah
Semuanya memang kelihatan numpuk dalam sebuah ruang. Dapur, tempat tidur, tempat berembug, tempat makan, ada di ruang yang sama. Namun dalam niang gena maro ini, dapur itu ditutup, karena sudah dibangun dapur lain di bagian luar. Lalu bagaimana jika ada anggota keluarga yang menikah? panel kain karena menjadi tempat tidur wakil mentri Wiendu Nuryanti. Sayangnya, Bu Wiendu ini malah nyampir di antara yang lain. Mungkin ia tak mau terkucil dan ingin merasakan atmosfir kebersamaan dalam niang ini. Ia memilih tidur di samping bilik yang ditabir kain itu. Persis di sebelah ibu asisten bupati, dr.Mesty (yang juga bintang iklan nivea), dr.Komang Ferdiana,Mba Lanny, Mba Dwi wartawan Kompas dan berderet hingga ke dekat pintu keluar beberapa orang lagi. Sementara di seberang adalah barisan laki-laki yang terdiri dari Pak Gendro, Pak Made Purn;a, Pak Naga, Pak Kapolsek, Fajar, dr.Arif, Pak Martin, dan lain-lannya. Posisi tidur melingkar ini, membuat satu sama lain bisa mendengar gerak nafas kawan di sampingnya dengan cukup detail. Yang paling sengsara tentulah yang kebagian tidur dekat kawan yang ngorok. Nasib yang sama misalnya, dialami oleh mba Dwi, wartawan Kompas yang di sebelahnya tidur dr. Mario yang kebetulan sedang gak enak badan. Itu bagian lucunya. Yang menakjubkan, saat kita duduk dan berbicara satu sama lain, kita menyadari bentuk melingkar ini ‘memaksa’ kita harus berhadapan satu sama lain. Ini menimbulkan kesan hangat. Sehingga memudahkan untuk saling berbicara. Terutama saat bangun pagi dan kopi Wae Rebo yang segar dan wangi terhidang
88
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
bersama sepiring talas rebus. Hal pertama yang dilakukan setelah mereguk kopi adalah menyapa dan berbicara. Sudah terbukti dalam banyak penelitian modern, kegiatan menyapa dan berbicara antara sesama anggota keluarga dapat melanggengkan pernikahan. Banyak perceraian di dalam masyarakat urban perkotaan terjadi karena hilangnya komunikasi antara suami dan istri. Namun niang orang Wae Rebo, justu dirancang untuk tetap memelihara sentuhan sederhana semacam itu: menyapa dan berbicara. Tidur dan bangun sudah saling melihat. Semuanya memang kelihatan numpuk dalam sebuah ruang. Dapur, tempat tidur, tempat berembug, tempat makan, ada di ruang yang sama. Namun dalam niang gena maro ini, dapur itu ditutup, karena sudah dibangun dapur lain di bagian luar. Lalu bagaimana jika ada anggota keluarga yang menikah? Menurut keterangan warga, bila ada anggota keluarga yang menikah, maka yang tua-tua dan lainnya akan keluar rumah dan tidur di niang lain. Atau mereka ke pondok di luar kampung. Kebanyakan, setelah pernikahan dilangsungkan, penganten baru akan hijrah ke Kombo, kampung luar mereka. Dan hanya ke Wae Rebo untuk
melakukan upacara adat. Dengan demikian harmoni tetap terpelihara. Ada sembilan tiang yang menjadi penopang beban bangunan.Di niang geno maro, bagian umbi tiang penopang tengahnya dipasangi tempak colokan listrik. Sehingga pengunjung yang menginap bisa mengecas baterai hp dan menyalakan laptop di situ. Konsep ini tentu saja baru, dan jadi bonus buat pengunjung. Untuk ventilasi udara, ada dua jendela di sisi kanan dan kiri bagian atas. Begitu dibuka cahaya akan langsung terjun dari atas ke dalam ruangan karena posisi papan jendelanya yang vertikal. Sisi menarik lainnya tentulah lobo atau loteng. Beda dengan loteng-loteng rumah biasanya, lobo bukanlah plafon yang tertutup. Tetapi disusun dari kerangka-kerangka kayu yang dilintangkan dan diikat. Jumlahnya ada lima tingkat. Dan saat menelentangkan badan, kita dapat menerawang pandang sampai ke tingkat ke bagian paling pucuk lobo itu. Masing-masing digunakan sebagai tempat kayu api, bahan makanan, dan paling ujung adalah
langkar sesajian. Tentu akan banyak sekali cerita dan hikmah yang bisa diperoleh jika struktur lobo yang lima tingkat ini diselusuri lebih jauh. Sebab loteng umumnya adalah salah satu rahasia kebudayaan kita yang terpenting. Kajian –kajian kebudayaan menunjukkan, langit-langit rumah atau loteng dalam rancangan rumah tradisional kita, pada dasarnya mengandung metafor dari keluasan rahasia langit di luar sana. Seorang penyair mengatakan, langit-langit rumah sesungguhnya adalah langit yang sedang dibawa tidur. Harapan kita, generasi baru Wae Rebo kelak tetap dapat memahami rahasia di balik langit-langit niang dan kampung mereka. Untuk menjadi kebijakan hidup dalam menghadapi arus waktu yang sedemikian hebat. l
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
89
wawancara
TEKS : Noorca M. Massardi & Indri Ariefiandi
l
FOTO : ISTIMEWA
Pemerintah Memfasilitasi
TUMBUH & BERKEMBANGNYA KEBUDAYAAN
KACUNG MARIJAN Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tugas pemerintah di bidang kebudayaan itu sebenarya sederhana, yaitu pertama, memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan, dan kedua yang berkaitan dengan regulasi.
K
acung Marijan, adalah Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga bidang perbandingan politik, dan kebijakan publik, yang setelah diangkat sebagai staf ahli di Kementerian Pendidikan Nasional, kini ditugaskan menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sewaktu baru ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Dirjen Kebudayaan (22 November 2012), lulusan Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga (1988), itu mengatakan akan menjalankan program kebudayaan “tiga plus satu.” Pertama, melakukan konservasi kebudayaan, misalnya dengan melakukan aktivitas pendaftaran aset-aset budaya, dan perlindungan terhadap kebudayaan yang hampir punah. Kedua, pengembangan kebudayaan. Misalnya redesain produk budaya yang sudah ada. Ketiga, pemanfaatan produk budaya. Dan yang keempat, atau plus-nya adalah melakukan diplomasi budaya. Selain itu, Magister dalam bidang ilmu politik di Flinders University (1998), dan peraih PhD di Australia National University (2005), itu juga akan memadukan program-program kebudayaan dengan pendidikan supaya lebih serasi. “Contoh terdekat adalah kurikulum,” kata pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 25 Maret 1964 itu. Kurikulum baru itu akan memadukan pendidikan karakter dengan pendekatan kebudayaan, begitu juga dengan nilainilai sejarah.
Lalu apa saja yang digagas dan akan dilakukan Kacung Marijan setelah resmi menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan? Berikut petikan wawancaranya dengan Indri Ariefiandi, dan Noorca M. Massardi dari www. kultur-majalah.com, www. kulturpedia.com, dan Majalah Kultur, yang dilakukan di tengah kesibukan World Culture Forum (WCF), di Nusa Dua, Bali, akhir November 2013 lalu. Sejak kapan Anda resmi menjabat Dirjen Kebudayaan? Berawal sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kebudayaan pada 22 November 2012, sambil tetap merangkap sebagai staf ahli Mendiknas sejak Agustus akhir 2011. Kalau ditanya kenapa diminta menjadi PLT Dirjen Kebudayaan saya tidak tahu. Yang pasti, sebelum itu Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, pernah meminta saya memaparkan mengenai apa itu kebudayaan. Waktu itu yang terlintas dalam pikiran saya adalah, mungkinkah Menteri Pendidikan Nasional akan berganti jabatan menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Saya tidak begitu paham. Ketika ditunjuk menjadi Dirjen Kebudayaan, salah satu tugas saya adalah membenahi manajemen. Karena dalam proses transisi (dari Kemendiknas menjadi Kemendikbud), memerlukan penyesuaianpenyesuaian. Dan ternyata, setelah saya masuk, ada banyak hal yang harus kita kerjakan. Tugas pemerintah di bidang kebudayaan itu sebenarya sederhana, yaitu pertama, memfasilitasi tumbuh
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
91
wawancara dan berkembangnya kebudayaan, dan kedua yang berkaitan dengan regulasi. Tetapi jika dirinci kedua hal itu menjadi lumayan banyak dan besar. Kebudayaan itu sejatinya tumbuh dan berkembang dari dan oleh masyarakat. Tidak mungkin kebudayaan itu berkembang kalau hanya diserahkan kepada Negara. Masyarakatlah yang memiliki kekuatan, dan pemerintah lebih banyak memberikan ruang dan fasilitas terhadap tumbuh dan berkembangnya kebudayaan itu. Dalam hal regulasi, ada dua undang-undang yang berkaitan langsung dengan kebudayaan. Yaitu Undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Namun, yang membuat saya kaget adalah kefdua undang-undang itu belum ada Peraturan Pemerintahnya. Dan, itulah yang menjadi prioritas saya sejak saya duduk menjadi Dirjen Kebudayaan.
Edisi No. 06
l
Desember 2013
Dalam UU tentang perfilman sudah jelas. Kementerian yang mengurusi tentang film adalah Kementerian yang ruang lingkupnya mengurusi Kebudayaan.
Dalam UU perfilman sudah jelas. Kementerian yang mengurusi tentang film adalah Kementerian yang ruang lingkupnya mengurusi Kebudayaan...
PP tentang Perfilman juga sudah ada, tinggal menunggu tanda tangan dari menteri-menteri terkait. PP itu sejatinya sudah selesai sejak pertengahan tahun ini. Pertama, PP tentang Lembaga Sensor Film (LSF), dan kedua, yang sedang dikerjakan, PP tentang sanksi administratif untuk perfilman, sebagai penjabaran
Kultur
Seharusnya film itu berada di mana?
Jadi sekarang terjadi dualisme?
Saya kemudian meminta kepada tim penyusun Peraturan Pemerintah (PP) agar pada 2013 ini semua harus sudah selesai. Memang tidak mudah. Untuk film ada dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang harus kita selesaikan. Sedangkan untuk Cagar Budaya, masih banyak pasal yang harus dirinci untuk dituangkan dalam PP. Tetapi kemudian untuk Cagar Budaya, kita putuskan hanya akan mengeluarkan dua PP, yaitu tentang Museum dan tentang Pendaftaran dan Pelestarian Cagar Budaya, yang dua-duanya sudah selesai.
92
terkait amanah undang-undang. Jika film itu dulu patronnya adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, sekarang terbagi dua antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Nah, begini. Definisi kebudayaan itu ada yang definitive (letterlijk) dan ada yang substantive. Jika mengacu kepada yang letterlijk maka itu adalah Kementerian Kebudayaan, tidak ada yang lain. Hanya faktanya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu juga diberi amanah guna membina industri kreatif yang salah satunya adalah film. Hal itu menurut saya sebetulnya dapat diselesaikan dengan cara sederhana yaitu melalui koordinasi.
Misal tentang film. Untuk tataran normatif, itu di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedang untuk yang lebih riil, misal industri film, bisa saja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ikut terlibat di dalamnya, karena itu merupakan bagian industri kreatif. Soal bahwa misalnya, domain-nya dan lainlain, dinilai dari UU-nya yang seperti apa, kemudian dikoordinasikan antarkementerian. Seperti yang sudah saya katakan tadi, karena tugas pokok pemerintah adalah memberikan fasilitasi dan regulasi, maka yang mengurus secara nomenclature ya Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Kemudian, jika Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga ingin mengurus film ya, silakan saja. Karena semakin banyak yang mengurusi perfilman tentu semakin bagus, asal dikerjakan. Jangan sampai yang mengurusi banyak tetapi tidak ada yang mengerjakan. Itu yang tidak benar. Itu yang malahan akan merugikan masyarakat. Karena kebudayaan itu memang milik masyarakat. Namun bila ada anggapan bahwa kebudayaan hanya milik masyarakat dan pemerintah dilarang ikut campur, itu juga salah. Karena di pemerintahan mana pun untuk hal kebudayaan pasti sedikit banyak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. Saat ini memang telah ada MoU antara Kemenparekraf dan Kemendikbud. Namun masih bersifat umum, sehingga masih perlu pembicaraan yang lebih detil. Dan Kemendikbud telah meminta untuk ada koordinasi dengan Kemenparekraf, jangan sampai salah satu pihak berjalan sendiri tanpa diketahi pihak lain. Hal itu tidak boleh terjadi, sebab akan membingungkan masyarakat. Alhamdullilah, PP tentang LSF selesai sejak pertangahan 2013. RPP tentang pelestarian cagar budaya, sebetulnya telah selesai pertengan tahun ini. Namun semua itu harus dirapikan terlebih dulu dan berkasnya saat ini ada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. PP/RPP tentang cagar budaya didalamnya ada dua poin yaitu, tentang pendaftaran cagar budaya dan mengenai pelestarian cagar budaya itu sendiri. RPP tentang museum juga sudah ada
di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sudah dibicarakan agar lebih cepat selesai. Kementerian yang terlibat cukup banyak, bahkan TNI Angkatan Laut dimintakan keterlibatannya. Karena perlindungan untuk benda cagar budaya bawah laut diperlukan adanya keterlibatan TNI Angkatan Laut. RPP ini juga cepat selesai. Buat saya, karena saya ini bukan antropolog, bukan seniman, bukan arkeolog, tapi Insya Allah saya mencintai hal itu semua. Yang terpenting adalah setelah mengetahui hal ini bagaimana? Pengelolaannya bagaimana? Karena mengacu kepada dua hal tadi yakni fasitasi dan regulasi, jadi bagaimana mengatur kembali pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan kebudayaan. Sebagai contoh, mengenai museum itu akan ada tantangan. Standard Operational Procedure (SOP) Museum ini belum menyeluruh. Karena di daerah, akibat desentralisasi, museum diserahkan kepada pemerintah daerah, dan museum pemerintah itu hanya sisa enam buah. Saya pernah berkunjung ke Museum Nasional tanpa memberitahu kepala museum. Setelah di
Saya ingin tamu-tamu Negara dan orang yang ke Indonesia itu rujukan salah satunya adalah museum nasional.....
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
93
wawancara
dalam, saya tahu apa yang harus saya kerjakan untuk museum. Kita ingin agar orang-orang mencintai museum. Kesimpulan saya adalah, pengelolanya sendiri belum mencintai museum. Kemudian saya panggil kepala museum, saya minta perencanaan pembangunan museum di-review. Bahkan maketnya pun sudah jadi. Sejak tiga minggu lalu sudah mulai dibangun tahap ketiga pembangunan museum nasional. Saya ingin museum nasional dikelola dengan baik secara profesional, tidak ecek-ecek. Karena itu pesan saya di antaranya adalah, satu, bukan hanya tata pamernya yang diperbaiki, tetapi juga pendukungnya. Saya minta harus ada gedung teaternya. Harus ada toko buku. Harus ada art shop, souvenir dan lain-lain. Saat saya masuk dulu, kantin dan art shop itu menjadi satu dalam sebuah ruang kecil. Dan itu sangat tidak layak untuk sebuah museum nasional. Saya ingin tamu-tamu Negara dan orang yang ke Indonesia itu rujukan salah satunya adalah museum nasional. Mudah-mudahan 2016 akhir sudah selesai. Ke depan saya sudah meminta kepada Kemendikbud untuk membeli lahan di daerah Taman Mini, Jakarta Timur, seluas satu hektare, untuk menjadi lokasi penyimpanan. Sebab, jika semua disimpan di Museum Nasional tempatnya sangat terbatas. Selain untuk penyimpanan, di sana juga akan dibangun sebuah training center untuk
94
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
tenaga-tenaga museum. Sebab salah satu problem kita adalah sumber daya manusia perawat museum. Apa dan bagaimana tugas dan kewajiban Dirjen Kebudayaan secara hierarkis? Dirjen itu bertanggungjawab kepada menteri. Seluruh pejabat eselon satu, dirjen di seluruh kementerian yang ada di Indonesia, bertanggungjawab kepada menterinya masingmasing. Sedangkan Wakil Menteri itu menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh Menteri. Tetapi ada fungsi koordinasi. Ketika menteri memerintahkan kepada Wamen baik Bud atau Dik, maka kami siap berkoordinasi. Jadi, ketika kami melaksanakan koordinasi dengan Wamen, itu adalah atas nama menteri. Jadi, dirjen kebudayaan itu menjalankan tugas dan bertanggung jawab atas kebijakan yang diberikan oleh menteri. Tetapi jika saya memberikan laporan kepada Menteri, tembusannya selalu diberikan kepada Wamen. Progam-program Dirjenbud itu berasal
Selama ini kami selalu dikritik oleh banyak pihak mengenai minimnya fasilitas di pendidikan tinggi. Berkaca pada hal itu, maka prioritas yang harus kami kerjakan adalah ini. Kemudian jika ada APBN-Perubahan kami akan coba minta ditambahkan anggaran untuk kebudayaan.
dari atas atau dari bawah? Setiap direktorat jenderal itu memiliki bagian perencanaan. Bagian perencanaan itulah yang selalu mendiskusikan. Sehingga program itu datang dari bawah juga. Masing-masing bagian memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang memiliki program-program. Setelah itu, kami mendiskusikan di tingkat atas lagi. Misalnya, tahun depan ini apa programnya. Termasuk penganggarannya. Ini tidak lalu berdiri sendiri, karena Kementerian itu memiliki Rencana Strategis (Renstra), yang berada di bawah tanggungjawab Menteri. Dan, programprogram kita diarahkan untuk memenuhi dan mengimplementasikan Renstra itu. Bahwa kemudian hal itu ada tambahan supporting, ya tidak apa-apa. Contoh, tahun depan itu ada program “laboratorium seni budaya.� Dalam perintah secara eksplisit tidak ada, walaupun jika diurai lagi ya, masih ada. Termasuk sarana bacaan juga ada. Kenapa harus ada lab seni budaya? Pertama, karena selama ini anakanak belajar seni di dalam kelas belum cukup. Kedua, untuk praktek. Kalau membaca puisi dan bermain drama di depan kelas, mana bisa di tempat terbatas seperti itu? Karena itulah saya meminta adanya ujicoba lab budaya. Insya Allah kita akan memulai pada 2014. Di Lab itu ada ruangan berbentuk mini teater atau apa pun namanya. Sehingga anak-anak bisa belajar menari, belajar drama, bahkan menayangkan film yang mereka buat sendiri di situ. Ini yang masih
belum ada. Mungkin ada di sekolah-sekolah swasta yang bagus, tetapi secara by design oleh pemerintah belum pernah ada. Nah, pemerintah itu kan memfasilitasi. Di antaranya saya ingin memfasilitasi itu. Dan memang perencanaannya masih terbatas. Itu baru di tingkat SMA dulu, karena untuk film dan lainnya sudah di tingkat SMA. Jika nanti SD atau SMP mau membuat lab juga ya kami persilakan. Pilot project ini berada di sekitar 34 sekolah yang berarti satu di di setiap provinsi. Jadi, fasilitas atau fasilitasi itu bisa dengan sarana dan prasarana. Yang tidak ada diadakan, atau yang sudah ada diperbaiki. Tetapi kebudayaan ini sangat luas. Aktivitasnya selama ini hanya digerakkan oleh masyarakat, termasuk film, dan tanpa bantuan satu rupiah pun dari Pemerintah atau Negara‌! Jadi begini, itu yang memang harus dipikirkan. Tapi, kalau dikatakan sama sekali tidak ada, ya tidak juga. Tetapi jika semua harus dibiayai pemerintah, memang berapa dana yang dimiliki pemerintah? Misal kami memegang seratus juta rupiah, tetapi jumlah grup teater di seluruh Indonesia berapa banyak? Diberikan dua triliun juga tidak akan cukup. Nah, memang tidak banyak. Misal begini. Fasilitasi untuk ke luar negeri kita ada Rp 15 miliar. Bisa di cek siapa saja yang mendapat bantuan, di Direktorat Internalisasi dan Diplomasi Budaya.
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
95
wawancara
Tahun 2013 ini kami alokasikan sekitar Rp 15 miliar, untuk semua cabang kesenian. Untuk individu pasti terbatas, karena kebutuhan mereka untuk tiket dan penginapan saja. Walau belum banyak, tetapi itu sudah dilakukan. Tetapi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu 20 persen dari APBN, terbesar dari semua kementerian‌? Ini yang harus diluruskan. Anggaran 20 persen dari APBN itu sesungguhnya Kemendikbud hanya mengelola sekitar Rp 70an triliun. Itu pun dananya tidak ada di Kemendikbud semua. Sisanya yang hampir mencapai Rp 200 triliun itu dibagikan ke daerah-daerah. Dan, sekitar Rp 40-an triliun lagi ada di Kementerian Agama, karena di sana juga ada bagian Pendidikan. Jadi, selama ini persepsi masyarakat itu tidak akurat. Itu pun kebanyakan dialokasikan untuk Sektor Pendidikan. Sedangkan untuk sektor Kebudayaan hanya mengelola sekitar Rp 2 triliun pada 2013 dan 2014. Sebab, kami masih harus mengawal wajib belajar 9 tahun. Alokasi Rp 2 triliun untuk kebudayaan dari Rp 70an triliun untuk pendidikan, itu sangat terlalu kecil‌! Tetapi bukan berarti kebudayaan tidak wajib. Namun hal itu masih dapat ditunda. Dan, pada 2013, itu pemerintah memiliki pendidikan universal 12 tahun. Jadi kami sedang merintis, wajib belajar 12 tahun untuk level SMA. Itu juga membutuhkan anggaran yang sangat besar. Kemudian Pendidikan Tinggi. Selama ini kami selalu dikritik oleh banyak pihak mengenai minimnya fasilitas di pendidikan tinggi. Berkaca pada hal itu, maka prioritas yang harus kami kerjakan adalah ini. Kemudian jika ada APBN-Perubahan kami akan coba minta ditambahkan anggaran untuk kebudayaan. Apakah tidak mungkin Anda membalikkan
96
Kultur
Edisi No. 06
l
Desember 2013
paradigma bahwa, kebudayaan itu bukan bagian dari Pendidikan, tetapi pendidikanlah yang merupakan bagian dari Kebudayaan? Sejak saya masuk, saya sudah mengintroduksi culture mindstreaming. Tetapi tahun ini masih banyak dikritik karena terlalu lose atau terlalu longgar. Culture mindstreaming itu adalah, apa pun sektornya, itu harus memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah bagian terpenting di sektor itu. Misalnya, pembangunan infra struktur jalan, antara yang culture mindstream dan yang tidak, jelas berbeda. Mulai dari pembebasan tanahnya yang memakai kebudayaan dan yang tidak, itu berbeda. Apalagi mulai pembangunan fisiknya. Perumahan juga demikian. Kita ingin ada kesadaran untuk culture mindstreaming setiap sektor. Kenapa? Sesuai yang tadi saya katakan, budaya ini asalnya dari masyarakat, dan masyarakat itu sangat multisektor. Jadi, terlalu sempit jika dikatakan urusan kebudayaan itu hanya milik Dirjen Kebudayaan. Ketika culture mindstreaming itu sudah kita pegang, walau anggarannya selama ini masih terbatas, tetapi karena dimensi kebudayaan itu akan melekat di kementerian lain, maka otomatis anggaran itu akan masuk ke kementerian yang bersangkutan. Jadi, kalau mindsetnya sudah culture mindstream, apa pun programprogram yang ingin dilakukan maka dimensi kebudayaan akan selalu ada di situ. Termasuk dalam pembangunan sekolah. Maka, jika mengacu kepada culture mindstreaming maka lab budaya tetap harus ada. Jadi, tidak harus melulu dirjen pendidikan dasar yang membangun tetapi seluruh direktorat akan mampu membangun. Termasuk dalam indutri kita. Mereka yang memiliki mindset kebudayaan pasti akan berbeda dalam mengerjakan sesuatu. Saya ditanya banyak orang, kenapa pembangunan kebudayaan itu penting dan apa
hasilnya? Banyak Negara sebetulnya ketika mempromosikan produk-produk industrinya, yang diubah adalah mindset selera publiknya dulu, dan selera life-style itu adalah kebudayaan. Jadi kalau industri kita mau berkembang maka mindset tentang itu harus diubah. Anda setuju jika di kabinet yang akan datang Kementerian Kebudayaan itu berdiri sendiri? Jika culture mindstreaming itu dijalankan dengan baik, maka ada atau tidaknya Kementerian Kebudayaan tidaklah penting. Saya sedang menyiapkan cetak biru mengenai kebudayaan. Bagaimana wajah Indonesia saat ini dari sisi kebudayaan? Apa yang terjadi dan bagaimana seharusnya? Begini, kita selama ini dalam membangun Indonesia terutama masa Orde Baru, itu lebih menekankan pendekatan kelembagaan, misalnya, basic UUD 1945. Karena kita anggap UUD itu belum lengkap maka UUD itu kita amandemen. Kemudian, karena sentral kekuatan berada di eksekutif, maka dibuatlah balance of power sesuai asas trias politica. Tidak ada yang salah di situ. Tetapi yang namanya lembaga, itu tidak dapat lepas dari orang-orang dan values yang dimiliki mereka, mindset mereka. Akibatnya, lebih banyak institusi yang kita ciptakan. Tetapi mindset kita belum. Tetapi jika kita jalankan saja apa yang ada sekarang ini, saya percaya ke depan Indonesia akan jauh lebih baik. Indonesia diberi anugerah kekayaan kebudayaan yang demikian dahsyat, dan Anda diberi job sebagai salah seorang penentu kebudayaan, apa impian Anda? Saya tidak punya angan-angan sebagai dirjen kebudayaan, bahkan sampai saat saya menjadi staf ahli Mendiknas pun saya tidak memiliki angan itu.
Tapi, kemudian Pak Nuh yang menawarkan itu. Dan saya menerimanya. Kita memang diberi anugerah yang luar biasa oleh Tuhan. Dan, masyarakat kita telah bekerja luar biasa dalam memproduksi kebudayaan. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Jujur saja kami belum banyak melakukan sesuatu. Tapi tadi saya katakan, saya pragmatis saja. Kalau tidak ada maka kita adakan. Tentu saja dengan tenaga kita. Kemudian ada beberapa hal yang kita lakukan. Pertama, kita harus punya impian bahwa kebudayaan kita itu bukan hanya kebudayaan yang menjadikan “seolah-olah kita kaya� tetapi tidak kaya. Contoh, kalau kita betul-betul kaya akan kebudayaan, kenapa industri film kita tidak berkembang? Ada beberapa parameter yang saya lihat, dan itu menjadi introspeksi saya untuk menyusun program ke depan. Saya ambil contoh film, kalau saya lihat, kebetulan saya pecinta film, saya lihat film-film di dunia ini terporos pada beberapa Negara. Dan, jika kita lihat, masing-masing itu mengekpresikan budaya masing-masing. Artinya, mereka menjual kebudayaan mereka. Jadi, kenapa kita tidak menggali kebudayan kita sendiri dalam produksi dan industri film kita? Tetapi keberadaan UU tentang Perfilman itu merupakan anomali di negeri ini, karena hanya mengatur satu cabang kesenian saja. Mengapa tidak dibuat juga UU tentang Tari, tentang Musik, tentang Teater, tentang Sastra, tentang Senirupa, supaya cabang-cabang kesenian itu juga ditumbuhkembangkan dan difasilitasi oleh pemerintah? Yah, memang. Tetapi saya pragmatis saja. Saat ini pemerintah mempunyai UU saja tidak melakukan sesuatu, apalagi jika tidak memiliki UU, makin tidak dapat melakukan sesuatu. Saya berharap industri film kita berkembang dan berbasis kebudayaan kita. Saya lebih suka melakukan sesuatu walaupun itu kecil. l
Edisi No. 06
Kultur
l
Desember 2013
97
Esei Redaksi
Catatan Kebudayaan Secara kuantitatif, pembacaan bisa dimulai dari memperhatikan agenda atau kalender seni-budaya yang diterbitkan secara teratur dan berkesinambungan.
A
pa yang sudah dilakukan bangsa ini di bidang kesenian dan kebudayaan? Seberapa besar perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan seni budaya, mulai dari tingka regulasi, fasilitasi, pembiayaan, gagasan, pemikiran, karya, cipta, presentasi, dan resepsi atas apa yang terjadi di wilayah yang dikesankan hanya dimiliki dan menjadi perhatian minoritas bangsa ini? Sebagaimana di setiap negara yang dianggap berkebudayaan tinggi, salah satu ukuran sejauh mana suatu bangsa menaruh perhatian terhadap kesenian dan kebudayaan adalah dengan menyimak apa yang terjadi di bidang kesenian dan kebudayaan di negara itu, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan dan seterusnya. Secara kuantitatif, pembacaan bisa dimulai dari memperhatikan agenda atau kalender seni-budaya yang diterbitkan secara teratur dan berkesinambungan. Dan, seluruh kegiatan itu biasanya mulai dihitung dari bulan Januari sampai dengan Desember tahun berjalan. Mulai dari agenda yang diterbitkan pusat-pusat kesenian dan pusat kebudayaan nasional, daerah, maupun perwakilan asing. Atau dari galeri, ruang pamer, gedung pertunjukan, bioskop, sampai panggung-panggung tertutup dan terbuka. Atau agenda dan jadwal yang terkait kegiatan pariwisata di desa-desa dan di sejumlah kota yang khusus dan sudah dikenal sebagai wilayah tumbuh kembangnya kegiatan seni dan budaya tradisional tertentu. Simak pula misalnya, ihwal undangundang atau peraturan di tingkat pusat dan daerah. Berapa banyak hal-hal baru yang diundangkan atau yang diubah dan kemudian diberlakukan, serta apa maksud dan tujuan dari dikeluarkannya regulasi semacam itu. Apakah itu merupakan bentuk nyata dari janji dan dukungan pemerintah
98
Kultur
Edisi No. 06
l
November 2013
atau legislator bagi terciptanya suasana dan gairah bagi penciptaan dan pertumbuhan, atau justru itu merupakan upaya untuk melakukan pembatasan bahkan kontrol dan pengendalian kekuasaan politik atau agama, atas (seluruh) kegiatan seni budaya tertentu. Kemudian lihatlah agenda-agenda wacana atau diskursus tentang kesenian dan kebudayaan mulai dari tingkat perguruan tinggi sampai di lapak-lapak budaya kaki lima. Lalu berapa banyak literatur
tentang seni budaya yang diluncurkan atau diterbitkan sepanjang tahun, berikut pembahasan atau peliputan atau kritik dan resensi atasnya, serta seberapa besar perhatian media massa terhadap hal itu. Sehingga, dari situ bisa diketahui misalnya, berapa jumlah dan judul buku yang diterbitkan dan diliput selama satu tahun kalender. Baik berupa buku telaah seni budaya maupun karya cipta fiksi dan sastra (prosa dan puisi). Termasuk mana yang laris dan menjadi best-seller, dan mana yang hanya menumpuk di gudang-gudang perusahaan penerbitan atau di tokotoko buku. Serta siapa yang memenangi sayembara atau penghargaan apa. Baik di dalam maupun di luar negeri. Lalu, berapa banyak pameran karyakarya senirupa (lukis, patung, instalasi, multimedia, dan sebangsanya). Berapa banyak film-film baru yang diproduksi
Noorca M. Massardi
dan ditayangkan baik di bioskop umum maupun di ruang-ruang proyeksi khusus, dan bagaimana resepsi masyarakat terhadap karya sinematografis itu. Mana yang box-office laris manis dan mana yang flop alias rugi besar di pasar. Berapa banyak pula pertunjukan atau pementasan karya seni tari, teater, musik, dan seni suara di seluruh pelosok negeri, dan bagaimana gerangan reaksi masyarakat atau media massa yang menjadi penontonnya? Berapa banyak pula dana yang dibutuhkan untuk itu, berapa jumlah seniman yang terlibat, dan yang tak kalah pentingnya adalah berapa banyak jumlah penonton atau penikmatnya, serta berapa keuntungan dan atau kerugian dari penyelenggaraan acara semacam itu. Di negara-negara yang dianggap berkebudayaan maju, baik masyarakat maupun penciptanya, tentu semua itu akan dengan mudah dihitung fakta dan datanya, dan kemudian dianalisis. Baik untuk mengetahui biaya produksi maupun hasilnya, serta tentu saja berapa omset (anggaran dan pendapatan) dari seluruh agenda seni budaya tersebut. Namun, sayangnya, di negara-negara berkembang dan sedang berkembang, jangankan secara kualitatif, perhitungan secara kuantitatif pun tentu akan sangat berbeda jauh, untuk tidak dikatakan masih sangat memprihatinkan. Sebagaimana mungkin di negaram kita. Karena itulah, bila kita dapat mengukur kemajuan suatu bangsa secara ekonomi melalui seberapa tebal dan banyaknya buku telepon (yellow pages) yang diterbitkan di seluruh negeri, maka untuk mengukur seberapa tinggi dan seberapa besar perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap kesenian dan kebudayaan, kita juga bisa mengukurnya dari seberapa tebal dan banyaknya jadwal atau agenda acara seni budaya yang diterbitkan dan disebarkan di masyarakat. Baik melalui barang cetakan maupun melalui situs-situs di jejaring internet atau di media sosial. l
media kebudayaan terlengkap
www.kultur-majalah.com www.kulturpedia.com Majalah Kultur
Selamat natal & tahun baru 2014