MAJALAH BULANAN KARYA CIPTA SENI BUDAYA MANUSIA
EDISI 05 NOVEMBER 2013 EDISI KHUSUS BALI
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
dariredaksi
F
Janji Bali
orum Budaya Dunia (World Culture Forum) dengan tema “Kekuatan Budaya dalam Pembangunan Berkelanjutan,� atas inisiatif Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, diselenggarakan di Bali pada 24 – 27 November 2013. Forum yang diikuti para pemikir, pengamat, dan praktisi budaya sekitar 34 negara itu, menyerukan perlunya peran terukur dan efektif serta diintegrasikannya budaya pada semua tingkatan dalam agenda pembangunan pasca-2015. Mengingat pentingnya acara tersebut, kami dari www.kultur-majalah.com, www.kulturpedia.com, dan Majalah kultur pun segera mengirim tim khusus untuk melakukan peliputan forum yang baru pertama kali diselenggarakan itu. Tim terdiri dari Noorca M. Massardi, Indri Ariefiandi, dan Nanang Suparna. Dan seluruh tim kemudian dipusatkan selama sepekan, di wilayah Bali, untuk menggarap edisi khusus ini sampai siap cetak. Namun, mengingat luas dan beragamnya kegiatan WCF dan ikutannya, kami mendapatkan bantuan dari kontributor kami, antara lain Ruslan Wiryadi (Ubud Community Magazine), Warih Wisatsana (Bentara Budaya Bali), Satmoko Budi Santoso (DI Yogyakarta), dan Heryus Saputro (Jakarta). Akhirnya, kendati Anda dapat menyimak seluruh liputan kami di dalam Edisi Khusus Bali, ini tak ada salahnya kami mengutip beberapa pernyataan Bali Promise (Janji Bali), yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari ajang budaya internasional itu. Antara lain: merekomendasikan agar dimensi budaya dalam pembangunan secara eksplisit diintegrasikan dalam semua Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan dengan mempertimbangkan sejumlah hal. Yakni, menemukan modalitas baru untuk menilai dan mengukur budaya dalam pembangunan yang berkelanjutan; Mengembangkan kerangka kerja yang secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk tindakan berdasarkan bukti dari keterlibatan komunitas dan keuntungan pemangku kepentingan; Membantu perkembangan perkembangan model-model partisipatori baru yang
mempromosikan demokrasi kebudayaan dan inklusi sosial; Menjamin kejelasan konseptual, keadilan dan pembangunan kapasitas dalam urusan gender mainstreaming; Membantu perkembangan stabilitas dalam pembangunan sosial, politik dan ekonomi untuk memelihara budaya damai baik pada tingkat lokal maupun internasional; Mendukung kepemimpinan kaum muda dalam usaha budaya. Selain itu, Janji Bali juga akan mempromosikan sistem pengetahuan lokal dalam membimbing pelestarian lingkungan; Mengembangkan dan memperkuat kemitraan produktif antara sektor publik dan privat; Memperkuat kepemilikan komunitas dan masyarakat madani dalam menyelesaikan proyek pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan peran transformatif mereka; dan mendorong kreativitas danmembantu perkembangan indrustri kultural untuk mengurangi kemiskinan dan mempromosikan pemberdayaan ekonomi dan budaya. Komitmen lainnya yang sangat penting adalah, para partisipan WCF yang pertama, menyambut kesanggupan Indonesia untuk menjadi tuan rumah WCF di Bali lainnya, bersama dengan salah satu Negara lain sebagai tuan rumah pendamping. Selamat membaca! l
Redaksi
Pemimpin Redaksi
Penerbit : www.kultur-majalah.com www.kulturpedia.com Majalah Kultur
: Noorca M. Massardi
Sidang Redaksi : Heryus Saputro Imam Hidayah Indri Ariefiandi Creative & Design : Nanang Suparna Kontributor : Nuryana Asmaudi Ruslan Wiryadi Warih Wisatsana
Daftar ISI
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
DARI REDAKSI 76 KULTUR RUPA
6 KULTURAMA • Tanpa Kebudayaan Tak Ada Masa Depan • Bali Promise • Bali, Covarrubias & WCF • Musik Ethnic Festival • Opening Speech Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
62 KULTUR KULINER Ragam Rupa Kuliner Bali 68 KULTUR WISATA Wisata Curik Bali
04
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Menularkan Wabah Musikalisasi Puisi di Kalangan Muda Bali
• Gaya Hidup & Ruang Sosial Perupa Ekspatriat • Kemah Abadi Pelukis Made Budhiana
86 KULTUR ESEI
• Menimbang Kekinian Lewat Bali Tempo Doeloe • Seni Budaya Bali Sekilas Pandang
94 KULTUR INSPIRATIF
58 KULTUR FOLKLORE Lawar, Makanan & Peradaban
72 KULTUR VOX
Dalang Nardayana Cenk Blonk, Membawa Tradisi ke Masa Kini
ESEI REDAKSI
kulturama World Culture Forum
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Tanpa Kebudayaan
Tak Ada Masa Depan TEKS : INDRI ARIEFIANDI FOTO : ISTIMEWA
S
etelah menunggu sejak tahun 2005, akhirnya ide dan gagasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pentingnya kebudayaan sebagai kekuatan pembangunan berkelanjutan dapat terwujud. Ide dan gagasan inilah yang akhirnya menjadi ruh dari pelaksanaan World Culture Forum (WCF), yang diselenggarakan 24-27 November 2013 di Bali. Rangkaian acara World Culture Forum di mulai dengan acara Gala Dinner yang bertempat di Garuda Wisnu Kencana, Nusa Bali pada 24 November 2013. Gala Dinner dimeriahkan dengan pertunjukan budaya berjudul ‘The Renaissance of New World Civilization�. Ratusan penari, karnaval perwakilan negara-negara sahabat dan perwakilan festival-festival Indonesia bergabung menjadi satu pertunjukan terpadu yang mengitari dan berputar di area Garuda Wisnu Kencana. Festival yang berasal dari Indonesia, diwakili melalui Jember Fashion Carnival dan Reog Ponorogo, Jawa Timur. Festival Ogoh-ogoh, Bali. Festival Borneo Hudoq, Kalimantan Timur. Dan Asmat Agats serta Festival Lembah Baliem, Papua.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
07
kulturama World Culture Forum
Karakteristik dasar budaya adalah lintas negara, lintas bangsa, agama, dan lintas ikatan premodialisme yang lain. Hal ini, kata dia, menyebabkan budaya menjadi kekuatan yang dahsyat dalam membangun dunia yang berkelanjutan.
Sedangkan beberapa peristiwa karnaval terkenal di seluruh dunia di wakili oleh, Rio de Janeiro Carnival, Brazil. Barongsai Festival atau dikenal juga dengan Lantern Festival, Cina. Kerala Festival , India. Matsuri Festival, Jepang. Dan Mehter Takimi dari Turki.
dasar budaya adalah lintas negara, lintas bangsa, agama, dan lintas ikatan premodialisme yang lain. Hal ini, kata dia, menyebabkan budaya menjadi kekuatan yang dahsyat dalam membangun dunia yang berkelanjutan. “Kita menyadari tanpa budaya (artinya) tanpa masa depan,” katanya.
Sebagai pembuka dari rangkaian acara dalam gala dinner disajikan makanan tradisional, yakni tumpeng yang dinamakan ‘Tumpeng Archipelago’. Tumpeng ini merupakan hasil racikan pakar kuliner Indonesia, Vindex Tengker. Nasi kuning berbentuk piramida ini disajikan dengan beberapa makanan lezat khas Nusantara, antara lain, sapi panggang bumbu rendang Padang, ayam panggang bumbu rujak, ikan kakap acar kuning Borneo, udang bakar Jimbaran, sate lilit ayam Madura, dan sayur urap Yogyakarta. Tak ketinggalan makanan penutup khas Banyumas, onde-onde, disajikan dalam satu paket makanan.
Mendikbud menambahkan, dengan mengaburnya batas dan menyempitnya jarak, aliran lintas budaya menjadi semakin deras. Kenyataan ini, kata dia, akan menyebabkan terjadinya persinggungan budaya yang apabila tidak segera diantisipasi menyebabkan salah satu di antara dua kemungkinan.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh menyampaikan, karakteristik
08
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
“Pertama adalah terjadinya dominasi budaya yang tentu tidak kita inginkan karena tidak akan menghasilkan satu kehidupan yang damai dan harmonis,” katanya. Adapun kemungkinan yang kedua adalah konvergensi budaya yang dibangun atas prinsip saling memahami dan saling menghargai. Untuk mewujudkan terjadinya konvergensi budaya
tersebut, diperlukan dialog dan kerja sama budaya yang melibatkan seluruh unsur budaya di dunia. M Nuh menyebut, WCF yang akan digelar dua tahun sekali dan sejajar dengan World Economic Forum, yang kerap digelar di Davos atau World Environment Forum di Brazil. WCF dihelat untuk mempererat hubungan harmonis antar bangsa, menciptakan peradaban dunia yang harmonis, menjunjung tinggi dan menghargai keunikan dan keanekaragaman budaya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat “Kehadiran kita bersama malam ini dan pada WCF 2013 merefleksikan tekad dan dukungan terhadap pentingnya konvergensi budaya untuk menghasilkan kekuatan kebudayaan yang diperlukan sebagai daya dorong pembangun berkelanjutan pasca 2015,” kata Menteri Nuh.
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
dengan bunyi gong (kul kul) yang di lakukan oleh Presiden Yudhoyono, didampingi oleh Asisten Direktur Jenderal UNESCO, Francesco Bandarin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, serta Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika.
WCF dihelat untuk mempererat hubungan harmonis antar bangsa, menciptakan peradaban dunia yang harmonis, menjunjung tinggi dan menghargai keunikan dan keanekaragaman budaya.....
Namun Indonesia menggagas WCF ini, dijelaskan oleh Nuh, bukan untuk menggurui dan memaksakan tradisi Indonesia. Namun mencari solusi dari fenomena dunia atas hilangnya rasa-rasa kemanusiaan, dengan pendekatan kebudayaan. “Konflik antar negara dapat naik turun, namun diplomasi budaya dapat menjadi pendingin ketika hubungan politik antar negara memanas,” tuturnya. Secara resmi, World Culture Forum di buka keesokan harinya, di Mangupura Hall, BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Acara pembukaan secara simbolis ditandai
Dalam sambutannya, Presiden Yudhoyono merasa senang atas antusias dan keingintahuan para partisipan dalam Forum budaya Dunia yang di gelar untuk pertama ini. Selain itu, Presiden juga memuji kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga WCF dapat terselenggara.
“Kita sudah memiliki Forum Ekonomi Dunia untuk berdialog tentang isuisu bisnis dan ekonomi. Kita M. Nuh juga memiliki Forum Sosial Dunia untuk berdiskusi kritis terhadap globalisasi dan segala aspeknya. Namun, kita belum memiliki forum global untuk berdialog yang bermakna tentang pentingnya budaya,” kata Presiden SBY dalam pidato pembukaan. “Saya percaya, sekarang saatnya bagi kita untuk membangun sebuah platform, dimana bersama-sama kita dapat membangun rasa saling pengertian dan lebih menghargai akan keragaman budaya. Sebuah platform yang akan membantu komunitas budaya lokal dan nasional untuk berkembang dalam era globalisasi,” SBY menambahkan. WCF, ujar SBY, dirancang untuk melengkapi dan memperkuat inisiatif yang ada , termasuk yang berada dalam kerangka kerja UNESCO . Indonesia
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
09
kulturama World Culture Forum
dalam pemahaman satu budaya dibanding lainnya.
juga berharap dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, forum ini akan memberikan kontribusi untuk pengembangan kolaboratif dari budaya itu sendiri. Tema forum perdana ini adalah ‘The Power of Culture in Suistanable Development’. Presiden menilai isu tersebut tepat waktu. Forum hari ini memberi kita kesempatan untuk mendiskusikan secara menyeluruh bagaimana budaya dapat membantu mencapai pembangunan berkelanjutan. “Saya percaya bahwa kita akan sangat merasakan manfaat dari presentasi dan diskusi yang dilakukan,” SBY menjelaskan.
Memahami perbedaan budaya adalah salah satu cara untuk memperkuat kemampuan kita mengerti perbedaan agar hidup damai satu sama lain....
“Memahami perbedaan budaya adalah salah satu cara untuk memperkuat kemampuan kita mengerti perbedaan agar hidup damai satu sama lain, dibandingkan dengan jatuh pada penggunaan kekerasan,” katanya dalam pidato kunci pada pembukaan resmi Forum Budaya Dunia. Ia menambahkan bahwa forum ini sangat penting untuk memfasilitasi apresiasi semua orang terhadap keragaman budaya. Seperti forum WCF juga sangat efektif untuk menggantikan konfrontasi dengan dialog diplomasi.
pembangunan yang berkelanjutan.” Irina Bokova, Direktur Jendral UNESCO, memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia sebab telah berhasil menyelenggarakan Budaya Dunia yang dilakukan dengan sepengetahuan UNESCO. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia atas inisiatifnya mengadakan Forum Budaya Dunia. Memahami keberagaman budaya adalah vital, karena dunia kita tidak dapat dibangun secara berkelanjutan tanpa budaya yang memainkan perannya.” Ia menambahkan, UNESCO secara jelas telah memposisikan budaya sebagai penggerak pembangunan, memanfaatkan keberagaman, memper-dalam akar pembangunan bagi komunitas dunia. Hari pertama Forum Budaya Dunia juga
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
menampilkan Forum Kunci Tingkat Menteri, di mana para menteri kebudayaan dari berbagai negara menghadiri sidang. Pada sidang tersebut, semua menteri menyatakan strategi dan kebijakan budaya dalam pembangunan negara-negara yang bersangkutan. Di antara para menteri kebudayaan yang menhadiri sidang adalah Muhammad Nuh dari Indonesia, Cai Wu dari Republik Rakyat China, Mohamed Nazri bin Tan Sri Abdul Aziz dari Malaysia, Lana Mamkegh dari Yordania, Dato Seri Awang Haji Hazair bin Haji Abdullah dari Brunei Darussalam, Sultanbai Raev dari Republik Kyrgyztan, Elia Ravelomanatsoa dari Madagaskar, Felipe M. De Leon, Jr. dari Filipina, Maria Isabel de Jesus Ximenes dari Timor Leste, Marcelo Pedroso dari Brazil, Sam Tan dari Singapura dan Masanori Aoyagi dari Jepang. Sedangkan hari kedua, WCF
Dr. Fareed Zakaria, Secara pribadi, Presiden Amartya Zen jurnalis dan komentator SBY berharap WCF dapat ternama dunia, penulis diselenggarakan secara rutin. banyak buku, pembawa Dengan cara itu semua selalu acara andalan CNN tentang masalah luar negeri, dapat bekerja sama menyebarkan pesan dan budaya yang hadir sebagai salah seorang pembicara damai. Dalam pidato ini, Presiden mengutip syair utama, menekankan bahwa budaya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, pemikir budaya dan pilar yang sangat penting yang bisa mendorong penyair terkemuka Indonesia. “Kembangkan sayap, pertumbuhan ekonomi. kekar, dan lebar. Dan terbanglah, terbanglah. Terus lurus membumbung tinggi, Melampaui gunung “Budaya itu sangat cepat, sangat besar dan memecah mega.” sangat kompleks. Tapi anda bias menemukan elemen kunci sukses dalam budaya. Kalau anda Pada pembukaan WCF 2013 ditayangkan mencari etos kerja, anda dapat menemukannya, juga film documenter berdurasi singkat tentang dan jika kamu menemukan sumber-sumber kebudayaan Indonesia dan puncak-puncak keberhasilan ekonomi, anda dapat menemukan peradaban dunia. Dan pertunjukkan tari Saman elemen budaya juga,” katanya. oleh kelompok tari Saman Gayo Lues, Aceh. Selanjutnya acara langsung dilanjutkan dengan pemaparan para pembicara utama, dimulai dari Prof. Dr. Amartya Sen, peraih penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi dari Harvard University di Amerika yang menegaskan pentingnya sebuah forum internasional tentang dialog budaya seperti Forum budaya Dunia, guna memperoleh wawasan
10
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Tentu saja, budaya berbeda tertentu merefleksikan performa ekonomi tertentu. Fareed menyebutkan bahwa kesalahpahaman tentang budaya dapat menimbulkan halangan dalam perkembangan ekonomi. “Meskipun begitu, dengan pemahaman satu sama lain yang kuat, budaya dapat memainkan peran penting dalam
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
11
kulturama World Culture Forum
Simposium 4: Budaya dalam Kelestarian Lingkungan
menggelar forum diskusi yang bertujuan untuk menyampaikan dan mendiskusikan berbagai wacana serta masalah dalam lingkup kebudayaan dan pembangunan dan diberi nama symposia serta di bagi dalam enam tema symposia Symposia yang diselenggarakan sejak pukul 9 pagi hingga 3 siang hari Selasa, 26 November 2013.
Simposium 1: Pendekatan Holistik terhadap Budaya dalam Pembangunan Tinjauan dari praksis terakhir dan terkini sehubungan seni, budaya dan peninggalan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Simposium ini dimoderatori oleh Madame Alissandra Cummins dari Barbados. Cummins adalah kepala NATCOM. Pidato utama diberikan oleh Prof. Rick West, Presiden dan CEO The Autry, Amerika; Prof. Jean Couteau dari Indonesia, ahli budaya, penulis multi lingual serta kolomnis; Dr. Bussakorn Binson dari Thailand, Associate Professor dari Musik di Fakultas Seni Rupa dan Terapan Universitas Chulalangkorn, di Bangkok; Dr. Nanda Wickramasinghe, Sekretaris Kementrian Warisan Budaya, Sri Lanka; Frank J. Hoff dari Amerika, Presiden Atlantis Publications; Lynne Patchett dari Inggris, Kepala Budaya, Unit Eksekutif, Markas UNESCO; and Radhar Panca Dahana, dosen Universitas Indonesia dan kepala beberapa perusahaan media.
Simposium 2: Masyarakat Madani dan Demokrasi Kebudayaan Menyoroti demokrasi partisipan dan tata kelola inklusif sebagai isu penting dalam keterlibatan masyarakat madani. Simposium
12
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
menyajikan Dr. Hans d’Orville dari Prancis sebagai moderator. Dr Hans adalah Asisten Direktur-Jendral Kantor Perencanaan Strategis UNESCO. Pembicara utama adalah Goenawan Muhammad, pendiri majalah Tempo dan pakar budaya; Vladimir Tolstoy, Penasehat Kebudayaan Presiden Rusia; Kigge Hvid dari Denmark, Direktur dan CEO INDEX; Biennale; Mark Miller, Ketua Program Remaja di Tate London; Jordi Pascual dari Spanyol, Koordinator Agenda 21 untuk budaya; Yasmin Khan dari Inggris, ahli gender mainstreaming melalui transformasi antar generasi di sector budaya.
Membahas peninggalan kolonialisme dalam dikotomi alam-budaya, simposium menampilkan Dr. Erna Witoelar, mantan Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah Indonesia. Sebagai pembicara utama adalah Prof. Dr. Renato Flores, professor, Ajudan Khusus dan kepala Presiden EPGE, Kepala Unit Intelijen FGV, Brasil; Prof Dr. Emil Salim, ekonom dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia; Ngaire Blankenberg dari Prancis, ahli perencana dan pembangunan kota yang berkelanjutan dengan pemahaman yang mendalam tentang pengalaman budaya di beberapa kota di dunia; Dr. Yusria Abdel Rahman, direktur konservasi wanita pertama dan ahli budaya remaja dalam pembangunan dari Mesir; Prof. Dr. Slikkerveer dari Universitas
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
presiden dan professor Minja Yang, Pusat Konservasi internasional Raymond Lemaire, Inggris; Mohammad Basyir Ahmad, Walikota Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia; Hlaing Maw oo Hock dari Departemen Pembangunan Pemukiman dan Perumahan Masyarakat, Mayanmar; Rebecca Matthews, managing director Pusat Budaya Eropa, Demark; Ratish Nanda, Direktur Proyek Aga Khan Trust untuk budaya, New Delhi, India; Sabina Santarossa, Direktur Pertukaran Kebudayaan, Yayasan Asia Eropa.
Simposium 6: Dialog Antar-Agama dan Pembangunan Komunitas Diskusi mendalam tentang pentingnya pemahaman keyakinan dan toleransi agama sebagai elemen penting dalam dimensi budaya pembangunan yang berkelanjutan. Simposium ini menyajikan Dr. Clarence G. Newsome dari National Underground Railroad Freedom Center, Amerika. Sebagai
Symposium 3: Kreativitas dan Ekonomi Kebudayaan Wawasan dalam pendekatan berdasarkan fakta baik kualitatif dan kuantitatif oleh Prof. Dr. David Throsby dari Australia. Dia adalah seorang ekonom terkenal, penulis, Ketua Penasehat UN/UNESCO tentang Ekonomi Kebudayaan. Pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Sri Edi Swasono, professor ekonomi di Universitas Indonesia; Dr. Hubert Gijzen, Direktur Regional dan Wakil UNESCO; Prof. Dr. James J Fox dari Australia, sering menjadi konsultan pemerintah Indonesia yang pernah bekerja di program mikro ekonomi pertama di Indonesia; Anaya Bhattacharya dari India, pengusaha sosial bekerja untuk pendidikan komunitas dan pembangunan kapasitas menggunakan pendekatan budaya inovatif; dan Alexander Syoenko, Direktur Museum Seni Terapan dan Dekoratif Rusia.
Leiden, Belanda; Dr. Thomas Schaaf dari Jerman, mantan Kepala Divisi dari Ilmu Ekologi dan Bumi, Program Manusia dan Biosfir, UNESCO; dan Khaliffa Sall dari Senegal, Walikota Dakar dan presiden UCLG Afrika
Simposium 5: Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan Mendiskusikan pergerakan populasi dan bagaimana pendekatan diimplementasi agar kota berkembang sebagai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Simposium ini dimoderatori oleh Dr. Augusto Vilalon, Arsitek Konservasi Kota & Dewan Internasional untuk monument dan Situs, Filipina. Pembicara utama adalah
pembicara utama yaitu Prof. Dr. Azyumardi Azra, Profesor Sejarah di Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta; Dr. Chung Hyun Kyung, teolog Kristen Korea, penulis ‘Struggle to be the Sun Again: Introducing Asian Women’s Theology’, Korea Selatan; Rabi Jeremy Jones, Pengacara dan Promotor Dialog Antar Agama dari Sydney, Australia; Prof. Dr. Luh Ketut Suryani, Psikiater Bali, Pengajar Meditasi; Sharif Istvan Horthy, Wakil Ketua Yayasan Guerrand-Hermes, Hongaria; Darwis Khudori, Profesor dari Universitas Le Havre, Prancis; Seiichi Kondo, Badan Komisioner untuk Urusan Budaya Jepang; Prof. Dr. Michael Hitchcock, Profesor manajemen turisme dan dekan di Universitas Keilmuan dan Teknologi Macao.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
13
kulturama
BALI PROMISE Kami partisipan Forum Budaya Dunia: Kekuatan Budaya dalam Pembangunan Berkelanjutan, berkumpul atas inisiatif Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, di Bali tanggal 24 – 27 November 2013, menyerukan perlunya peran terukur dan efektif serta diintegrasikannya budaya pada semua tingkatan dalam agenda pembangunan pasca-2015.
Menutup rangkaian acara World Culture forum, dibacakan BALI PROMISE secara resmi
Bandarin, Asisten Direktur Jendral urusan Budaya UNESCO, menyatakan kebahagiaannya melihat bagaimana Forum ini dilaksanakan.
Dengan Bali Promise yang dibacakan oleh delegasi internasional, Audrey Harare Chihota Charamba dari Zimbabwe, Shireen Mohammad Azis dari Irak dan David Throsby dari Australia. Kemudian naskah Bali Promise diserahkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhammad Nuh.
“UNESCO sangat gembira melihat kerjasama yang luar biasa diperlihatkan oleh pemerintah Indonesia selama forum berjalan, begitu luar biasa, harmonis dan sukses,” katanya seraya menambahkan ia juga bahagia melihat dokumen ini (merujuk pada BALI PROMISE).
Penamaan bali Promise untuk dokumen hasil WCF merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh steering committee WCF pada hari Minggu 24 November lalu. WCF secara resmi di tutup oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, yang tak lupa dalam pidato penutupnya mengucapkan rasa terima kasih pada partisipan atas kontribusi dalam mewujudkan inisatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya sangat gembira melihat seluruh peserta memberi andil dalam mewujudkan World Culture Forum menjadi kenyataan. Forum ini adalah tempat menyatakan masalah keberagaman budaya dunia. Dengan peluncuran Bali Promise, saya berharap tujuan bersama untuk pembangunan yang berkelanjutan global akan tercapai,” tegas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejalan dengan pernyataan Nuh, Francesco
14
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
“Keberhasilan ini menegaskan bagaimana pembangunan kebudayaan membuka jalannya. Percayalah, dokumen ini begitu penting!” katanya dalam konferensi pers seusai acara penutupan. Pemerintah Indonesia akan membawa hasil World Culture Forum (WCF) ke sidang Unesco. Sebagai masukan pada Post Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Selain agenda formal dalam WCF Bali, digelar juga, acara penunjang yang berkaitan dengan perhelatan WCF seperti, International NGO round table, World Ethnic Music Festival yang bertempat di Art Center, Denpasar Bali dan Cultural Film Based Festival yang digelar di studio XXI Kuta Beach Hotel. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh juga melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Kebudayaan Republik Rakyat Cina, Cai Wu, dan menandatangani Joint Communiqué (pernyataan bersama) di bidang kebudayaan. l
Kami menggarisbawahi bahwa budaya adalah pemandu, membuat suatu mungkin dan pemerkaya pembangunan yang berkelanjutan. Kami sangat merekomendasikan agar dimensi budaya dalam pembangunan secara eksplisit diintegrasikan dalam semua Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan dengan mempertimbangkan:
Menemukan modalitas baru untuk menilai dan mengukur budaya dalam pembangunan yang berkelanjutan;
Mengembangkan kerangka kerja yang secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk tindakan berdasarkan bukti dari keterlibatan komunitas dan keuntungan pemangku kepentingan;
Membantu perkembangan perkembangan model-model partisipatori baru yang mempromosikan demokrasi kebudayaan dan inklusi social;
l
l
l
l
Menjamin kejelasan konseptual, keadilan dan pembangunan kapasitas dalam urusan gender mainstreaming;
Membantu perkembangan stabilitas dalam pembangunan sosial, politik dan ekonomi untuk memelihara budaya damai baik pada tingkat lokal maupun internasional;
Mendukung kepemimpinan kaum muda dalam usaha budaya;
l
l
Mempromosikan sistem pengetahuan lokal dalam membimbing pelestarian lingkungan;
Mengembangkan dan memperkuat kemitraan produktif antara sektor publik dan privat;
Memperkuat kepemilikan komunitas dan masyarakat madani dalam menyelesaikan proyek pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan peran transformatif mereka;
Mendorong kreativitas danmembantu perkembangan indrustri kultural untuk mengurangi kemiskinan dan mempromosikan pemberdayaan ekonomi dan budaya;
l
l
l
l
Kami menyerukan pada para pemerintah untuk berkomitmen agar mengintegrasikan budaya dalam Agenda Pembangunan yang Berkelanjutan Paska 2015. Kami mengakui Forum Budaya Dunia sebagai platform permanen untuk mempromosikan peran budaya dalam pembangunan yang berkelanjutan dan menjaga keberagaman kultural dan linguistik kemanusiaan. Kami, partisipan Forum Budaya Dunia yang pertama, menyambut komitmen Indonesia untuk menjadi tuan rumah Forum Budaya Dunia di Bali lainnya. Bali, Indonesia, 27 November 2013 Kami, partisipan Forum Budaya Dunia menyambut komitmen Indonesia untuk menjadi tuan rumah Forum Budaya Dunia. Bali, Indonesia, 26 november 2013
kulturama
Bali, Covarrubias & World Culture Forum
TEKS : WARIH WISATSANA l FOTO : WARIH WISATSANA
B
ukan suatu kebetulan Museum Pasifika terpilih menjadi venue ‘dinner’ acara penutupan World Culture Forum (WCF) 2013. Setelah tiga hari bertemu (24 hingga 26 November 2013), memperdebatkan problematik kebudayaan global dan peluang kultural lintas bangsa, serta sejurus pandangan akhir para moderator yang langsung dipimpin oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Wiendu Nuryanti, para delegasi meluncur menuju museum yang masih berada di kawasan Nusa Dua, tempat konferensi budaya internasional ini berlangsung.
World Culture Forum
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Museum ini didedikasikan untuk menyimpan dan merawat artefak seni budaya dari seniman-seniman yang berasal atau sempat bersentuhan dengan negeri-negeri di sepanjang Asia Pasifik.....
Museum Pasifika didirikan pada tahun 2006, memiliki koleksi lebih dari 600 karya seni oleh 200 seniman dari 25 negara. Oleh pendirinya, Moetaryanto P dan Philippe Augier, museum ini didedikasikan untuk menyimpan dan merawat artefak seni budaya dari senimanseniman yang berasal atau sempat bersentuhan dengan negeri-negeri di sepanjang Asia Pasifik. Tidak heran bila terhampar di dindingnya karya-karya para seniman tersohor, baik yang berasal dari Bali, seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Ida Bagus Nyoman Rai, hingga para perupa terkemuka Indonesia, semisal Sujana Kerton, Widayat, Affandi, Dullah, Sudarso, bahkan tak ketinggalan karya pelopor seni lukis modern Indonesia, Raden Saleh. Yang lebih unik lagi, museum ini juga memiliki koleksi khusus yakni karyakarya pesohor era kolonial yang sempat bermukim dan mengabadikan keunikan kebudayaan Bali atau daerah lain di Indonesia, semisal Wilem Gerard Hofker, Isac Israel, Hendrik Paulides, Walter Spies, Bonnet, termasuk para seniman asal Italia, antara lain Renato Chsritiano, Gilda Ambron, dan Piero Antonio Garriazo, dll. Di belahan ruang lain, para peserta World Culture Forum (WCF) 2013 juga berkesempatan menikmati karya Covarrubias. Kali ini, karyakarya seniman dunia asal Meksiko tersebut
khusus dihadirkan dalam suatu pameran akbar atau retrospektif, berlangsung dari 6 Oktober 2013 hingga akhir Januari 2014. Siapakah sebenarnya Covarrubias ini ? Apakah yang membuat dirinya, seorang kartunis tersohor di New York dan kota pusat seni dunia lainnya, terpikat datang ke Bali sedini tahun 1930? Kala itu memang, nama pulau ini mulai menjadi perbincangan kalangan atas Barat. Namun, Miguel Covarrubias, sang kartunis yang juga pelukis itu, pastilah tak akan menduga justru melalui bukunya, kelak pulau ini akan lebih populer menyandang sebutan ‘The Last Paradise’ atau ‘Sorga Terakhir’. Buku itu berjudul “The Island of Bali”, terbit tahun 1937, sederhana tuturannya, tapi mendalam serta rinci sewaktu menggambarkan keunikan kultural pulau ini, terlebih ragam ritual juga kehidupan keseharian penduduknya. Hal ini mengingatkan kita pada kemampuan seorang kartunis mumpuni dalam menghadirkan hal-hal esensial secara imajinatif dan memikat. Memang, melalui buku tersebut, Covarrubias, kelahiran Meksiko City, 22 November 1904, meninggal 4 Februari 1957, kuasa menampilkan sosok pulau Bali yang real sekaligus ideal, melampaui imajinasi kaum utopis romantis abad ke-19 tentang firdaus Timur nan mistis yang didamba itu.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
17
kulturama World Culture Forum
Delapan puluh tahun setelah pertemuan tersebut, kita kini dapat menyaksikan suatu gambaran utuh hasil cipta Covarrubias, khususnya terkait Bali. Karya-karya yang ditampilkan berasal dari berbagai penjuru dunia, koleksi pribadi, maupun resmi, semisal dari Documentary Archive of The University of Americas Puebla, termasuk didatangkan khusus dari Meksiko, di mana sang pesohor ini dikenang sejajar maestro muralis Diego Rivera dan Orozco, teman sejaman serta sepergaulan kreatif itu. Dibuka langsung oleh presiden Meksiko Enrique Peña Nieto bersama istri Angélica Rivera, menghadirkan sederetan sket, lukisan berwarna maupun hitam putih, berikut foto-foto bidikan istrinya, Rosa Rolanda, yang mengekalkan alam kultural dan manusia Bali lampau dalam wujud yang menawan. Di antaranya terdapat seri tersohor Covarrubias yang menggambarkan dua sosok wanita Bali tengah berangkulan secara ‘mesra’. Mencerminkan satu ragam gestual khas masyarakat setempat yang secara visual sangat mengesankan. Tak heran bila pose unik puitik tersebut menjadi ikonik rupa yang kelak dihadirkan berulang oleh para perupa yang tampil belakangan. Covarrubias mampu meraih hal esensial dari ragawi manusia Bali, dan mempopulerkan ke seantero dunia satu ragam keindahan, yang sebenarnya bersifat natural bagi masyarakat setempat, namun dibaca atau diresapi sebagai hal sensual bagi publik luar. Sedini itu, tak terelakkan
18
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
memang, ragam estetik antarkultur seringkali bersisian bahkan bersilang pandang, melahirkan sekian persepsi yang tak jarang bertolak belakang: antara estetik Barat atau keindahan Timur. Akan tetapi, pertemuan Covarrubias dengan Bali, tak serta merta dapat dibaca seperti itu. Ia sesungguhnya bukan layaknya pelancong dari Barat tempo dulu yang melulu hendak mencari firdaus Timur, melainkan mencerminkan pula kedekatan kultural antara Bali dengan negeri kelahirannya, Meksiko. Sebagaimana pulau Dewata, Meksiko juga mengalami proses panjang sinkretisme kultural, di mana budaya Indian – Inca, berbaur luluh dengan tradisi KatolikSpanyol; melahirkan aneka pernik upacara berikut persembahan-persembahan yang wujud ragamnya mirip dengan sesaji-sesaji ala ritual Bali. Dengan demikan, seniman yang sempat hidup bohemian di New York itu hakekatnya menemukan sisi tersembunyi dari kultur yang membentuk dirinya, justru sewaktu berjumpa dengan Bali –yang kala itu masih alami. Sekisah dengan hal tersebut, sejarah menorah kisah bahwa pada paruh akhir abad ke – 16, telah berlangsung satu pelayaran trans-pasifika --antara Meksiko, di bawah jajahan Spanyol, merentang hingga ke Filipina dan pulau-pulau di Maluku, Ternate, Tidore, serta pulau lainnya di jazirah itu. Pastilah di antara awak kapal Spanyol ini terdapat orang-orang pribumi Meksiko, yang
setibanya di nusantara Timur, berbaur dan kawin dengan masyarakat atau penduduk setempat. Hubungan historis ini terbukti terefleksikan juga dalam karya Covarrubias, entah tersuratkan sebagai garis atau warna, atau tersiratkan dalam keseluruhan pandangannya perihal pulau Dewata yang kemudian ditulisnya dengan nada penuh empati dan kecintaan.
Bahasa Estetik Covarrubias Perkembangan seni rupa Bali, dari tradisi, modern, hingga terkini, selalu mengemuka di seputar Walter Spies serta Bonnet. Padahal, tak disangkal, meski hanya pelancong semusim dan datang berulang, Covarrubias punya andil dalam mewarnai gerakan pembaharuan seni rupa Bali sebelum Pita Maha hingga akhir masa kolonial tersebut. Jejak itu, dapat dibaca melalui garis-garis linier yang hadir dalam karya-karyanya, selaras dengan patung-patung buah cipta I Tegehan, seniman dari banjar Belaluan Denpasar, di mana Covarrubias sempat bermukim sekian waktu di situ. Pematung I Tegehan berhasil menciptakan satu gaya baru yang kelak menjadi ikonik dan mempengaruhi seni patung maupun seni lukis Bali, di mana sosok manusia Bali distilirnya sedemikian rupa sebagai figur-figur yang memanjang linier –pada mulanya dipandang ganjil. Boleh dikata, pertemuan Covarrubias dengan Belaluan sebagai salah satu pusat
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
kesenian masa itu, serta tentunya dengan I Tegehan, merefleksikan proses akulturasi Bali secara keseluruhan; hakikatnya tidak jelas siapa mempengaruhi siapa. Pameran kali ini juga menyajikan hal menarik lainnya, reproduksi peta-peta kepulauan Pasifika buah karya Covarrubias, dibuat tahun 1940, aslinya dikoleksi di Museum San Francisco. Karya ini lebih terdepankan sebagai peta kultural dan jaringan ekonomi, justru di mana Jepang pada saat itu melihat Pasifik sebagai wilayah strategis yang segera harus diduduki. Dan belakangan memicu lahirnya Perang Dunia II. Hal ini berbeda dengan cara Covarrubias yang melihat secara visioner jaringan kepulauan di rentang laut Pasifika sebagai satu kesatuan yang padu. Terurai pandangannya yang jauh ke depan melalui buku “The Island of Bali”, suatu siratan kecemasan dirinya menyaksikan pertumbuhan ekonomi dan pariwisata, yang bila tak terkendali, akan bermuara pada kerusakan kultural masyarakat setempat. Bukankah kecemasannya itu kini terbukti dan bahkan menjadi salah topik bahasan utama para budayawan dunia dalam forum WCF ini: yakni mengemukanya hal-hal paradoks yang dialami oleh berbagai suku bangsa di dunia, antara kehendak menjadi warga global berkelindan dengan upaya menjaga harkat kultural lokal.l
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
19
kulturama World Culture Forum
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
MUSIK FESTIVAL ETHNIC DUNIA
Musik Mistis Menepis Gerimis... TEKS : WARIH WISATSANA l FOTO : RUSLAN WIRYADI & WARIH WISATSANA
D
ibayangi guyuran hujan sebagaimana hari sebelumnya, malam kedua perhelatan World Ethnic Music Festival, Selasa, 26 November 2013, di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar, akhirnya dapat berlangsung tuntas hingga pertunjukkan pamungkas oleh kelompok ‘Svara Semesta’ dari Indonesia. Gerimis tipis yang sedari awal mengiringi para pemusik berbagai bangsa ini, seakan tertepis begitu grup world music dari India tampil di pertengahan pertunjukkan, mengalunkan nada-nada mistis yang harmonis. Sang vokalis utama, Rashmi Aqarwal yang juga pimpinan grup ini, menyihir para penonton dengan olah suaranya yang dalam, mendendangkan syair yang dipetik dari puisi-puisi para penyair sufistis India, antara lain Khabir, Sana’i dan Tagore. Memang agenda opening ceremony World Ethnic Music Festival 2013 semalam
20
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
sebelumnya, berubah dari rencana semula. Acara pembukaan awalnya akan digelar di panggung terbuka Ardha Candra, karena didera hujan, pihak panitia memutuskan mengalihkan ke gedung Ksirarnawa. Mendikbud dalam sambutan pembukaannya menyatakan, “Melalui acara ini kita diharapkan dapat melestarikan kekayaan kultural di bidang musik yang dimiliki masing-masing negara”. Sedangkan Menko Kesra, Agung Laksono, sewaktu membuka secara resmi acara ini menegaskan bahwa WEMF ini adalah sebentuk diplomasi kebudayaan yang dapat mendorong hubungan yang selaras dan penuh pengertian antar bangsa dan negara. Festival musik Internasional yang merupakan rangkaian dari World Culture Forum 2013 ini diikuti 10 grup dari 10 negara, antara lain dari Native & Country pimpinan Jack Cliff (USA), kelompok
pimpinan Professor Jiang Hsia (Cina), Russian Pop Ethnic Colaboration pimpinan Alexandrov (Russia), Rashmi Aqarwal (India), Min On “Soka Gakkai” – Musik Koto (Jepang), Lein Mahide (Afrika), Mamak Khadem (Timur Tengah), Lee Chang Seon –Deaguem Style (Korea Selatan), Silvana Van Dijk (Australia), dan Svara Semesta –Ayu Laksmi berkolaborasi dengan Balawan serta Ivan Nestorman (Indonesia). Festival ini mengambil tajuk We Are in Harmony, secara khusus menghadirkan pemusik-pemusik yang masing-masing membawa ciri khas negara asalnya. Tak heran bila panggung terbuka Ardha Candra bergantian dipenuhi nada-nada etnik yang merangkum bunyi-bunyian dari rebana, seruling, kendang, harpa, kora, tabla serta alatalat musik etnik lainnya. Tidak hanya bernada mistis harmonis, namun juga tak sedikit yang menampilkan bunyi-bunyian eksperimen dan
rock, semisal ayng ditampilkan grup dari Russia yang bernama Indonesia dan grup musik dari Australia serta tak ketinggalan Cina. Suasana beralih bergantian dari senyap ke gempita atau sebaliknya, membius para penonton yang tak sedikit pun bergeser meski gerimis sesekali turun tipis. Sihir bunyi yang dialunkan alat musik tiup khas Korea ‘Deagum’, dibawakan oleh Lee Chang Seon, memukau publik dengan peralihan nada tinggi dan rendah yang atraktif. Demikian pula penampilan yang menonjol lainnya, yakni Mamak Khadem dari Iran yang menggaungkan nada irama Persia dalam ragam nada spiritual. Layak dicatat, pada pagelaran world music internasional ini adalah keberanian musikus Cina dan Russia yang melantunkan ekspresi kebebasan mereka melalui pilihan musik bernada rock. Bahkan pemusik Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
21
kulturama World Culture Forum
Russia ini mengarasemen secara apik lagu Rayuan Pulau Kelapa serta menyanyikannya dalam aliran rock, kemudian membawakannya pula dalam bahasa Russia. Adapun pemusik kora dari Afrika, Vieux Aliou Cissokho, dengan jimbe dan alat perkusi khas Burkina Faso, membuat panggung terbuka itu jadi hangat dan akrab. Ia mengajak para penonton untuk turut bernyanyi lagu dari tanah Papua, He Yam Ko Rambe Yam Ko. Memang World Ethnic Music Festival ini telah menjadikan musik dengan kekayaan etnik tapi dapat diresapi secara universal, mempertautkan berbagai kekayaan kultural antar bangsa dalam bahasa musik yang penuh semangat persaudaraan. Penampilan lainnya, seperti kelompok musik Min On “Soka Gakkai” dari Jepang yang dengan piawai memainkan alat musik petik (kecapi) khas Jepang, membawakan lagu Begawan Solo gubahan maestro keroncong Indonesia, Gesang. Tak kalah atraktif adalah grup Oryalalela dari Maluku yang membawakan irama musik khas Indonesia Timur itu.
Simposium World Ethnic Music Festival Pada simposium yang diselenggarakan pagi hari sebelum pertunjukkan malam kedua, direktur festival yang juga etnomusikolog, Dr. Franki Raden, Ph.D, Bali sangat potensial menjadi kiblat musik dunia ke depan, bila semua pihak terkait sepakat berjuang
22
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
bersama mewujudkan hal tersebut. Keyakinan itu ditunjang oleh pengamatannya selama ini, bahwa Bali memiliki rekam jejak sejarah permusikan yang memungkinkan lahirnya bentuk-bentuk world music yang universal. Contoh terbaik adalah terciptanya komposisi-komposisi lagu yang dicapai berkat kolaborasi unsur musik tradisional dan modern. Semisal ditunjukkan oleh Batuan Ethnic Fusion, pimpinan musisi jazz Wayan Balawan, asal Sukawati, kelompok musik Svara Semesta, yang didirikan Ayu Laksmi – mantan penyanyi rock, atau hadirnya Jegog Jazz dari Jembrana yang mengekplorasi kekayaan musik Jegog dari kota paling barat pulau Bali ini, tak ketinggalan fenomena yang ditunjukkan Gus Teja (Ubud), melalui eksperimen sulingnya yang komposisinya begitu populer belakangan ini, terutama di Bali. Persentuhan musik klasik Bali dengan musik modern Barat, ditandai dengan kehadiran Colin McPhee, komposer barat pertama yang melakukan studi etnomusikal tentang gamelan Bali. Musisi kelahiran Kanada, 15 Maret 1900 ini menciptakan beberapa komposisi yang berangkat dari khazanah kebudayaan Bali, di antaranya Taboeh-taboehan (1936) dan Symphony No.2 (1957). Kedatangannya ke Bali terpicu oleh
keterpukauannya terhadap ansambel gamelan pada salah satu rekaman pada tahun 1931. Sebuah publikasi di UCLA (University of California-Los Angeles) menyebutkan bahwa ia melakukan riset intensif mengenai ragam ansambel gamelan di beberapa daerah Bali, dan menjadikan rumahnya sebagai pusat studi musikal, suatu ruang edukasi bagi anak-anak setempat guna mempelajari gamelan dan tari. Bersama istrinya, Jane Belo, mahasiswi antropologi Margared Mead, ia menelusuri kemungkinan penciptaan musik baru, yang kemudian menjadi salah satu cikal bakal world music yang berkembang belakangan ini. Selain mencipta komposisi musik, ia juga menerbitkan buku mengenai Bali antara lain Music in Bali (1966), dan House of Bali (1946) sebuah kisah mengenai pengalaman residensinya di pulau ini. Sejak tahun 1958, ia menjadi profesor dalam bidang etnomusikologi di UCLA. Dalam simposium ini mengemuka pula pentingnya menemukan fondasi dan konsep baru yang dapat mewadahi perkembangan dan dinamika dunia musik yang terjadi selama ini. Musikus-musikus dari belahan dunia Timur memiliki momentum untuk menawarkan musik alternatif di luar musik mainstream yang bersumber dari perkembangan peradaban dunia Barat. Para peserta simposium walaupun bersilang pandangan terkait upaya-upaya pengembangan musik etnik, berkeyakinan bahwa world music akan menjadi genre ‘baru’ yang kuasa merangkum kekayaan musikal dari berbagai latar kultural dan etnik. Perkembangan ke depan akan menjadi
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
lebih dinamis mengingat batas dan sekat antar bangsa nyaris tak ada lagi, terutama berkat percepatan kemajuan teknologi informatika dewasa ini. Menurut Franki Raden, keberadaan world music mempunyai peluang untuk sejajar dengan musik mainstream seperti jazz dan rock. “Bahkan musik-musik mainstream sekarang sudah banyak yang memasukkan unsur-unsur world music, misalnya Sting, Peter Gabriel, Bjork, sampai Kanye West. Di Grammy bahkan ada penghargaan khusus untuk kategori world music, ini menunjukkan pengaruh genre ini besar, “ ujarnya. Bagi Ayu Laksmi, festival internasional ini layak untuk dikembangkan dan dilanjutkan, terlebih mengingat kekayaan musik etnik di Indonesia yang sangat beragam, ada Melayu, Jawa, Kalimantan, Bali, sampai Papua. Diperlukan satu riset yang berkelanjutan guna memetakan kekayaan kultural nusantara, termasuk di dalamnya ragam musik etnik kita yang tersebar di segenap penjuru negeri ini. Indonesia selaku inisiator dan tuan rumah World Music Forum and Festival 2013 dapat memainkan peran yang sangat strategis guna menjadikan genre ini kian memperoleh apresiasi dari masyarakat internasional, terutama karena negara ini memiliki kekayaan dan keberagaman kultur musik etnik. Festival musik etnik internasional ini memang sebuah awal, menunggu semaian lebih jauh agar tumbuh rindang menjadi naungan dan acuan para pemusik dari belahan dunia manapun.l Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
23
kulturama World Culture Forum
Forum for critical discussions on globalization and all its aspects. However, we are yet to have a global forum for meaningful dialogues on the importance of culture.
Opening Speech
H.E. DR. Susilo Bambang Yudhoyono
I believe, it is time for us to set up a platform where together, we can build mutual understanding and better appreciate cultural diversity. A platform that will help local and national cultural communities to flourish within the unfolding globalization.
at The World Culture Forum
Nusa Dua, Bali, 25 November 2013
B
ismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Om Swastiastu, Peace be upon us all, His Excellency Prof. Mohammad Nuh, Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia, Excellencies Ministers of participating countries, His Excellency Mr. Francesco Bandarin [: fran-ses-ko ban-da-rin], Assistant DirectorGeneral of UNESCO for Culture. Prof. Amartya Sen [: a-mar-tia sen] and Dr. Fareed Zakaria [: fa-riid za-ka-ria], our distinguished keynote speakers, and other distinguished panelists, Honorable Governor of the Bali Province, Excellencies Ambassadors and Representatives of United Nations Agencies and International Organizations, Distinguished Delegates and Guests, Ladies and Gentlemen, At the outset, I recognize among us, Mr. Felipe De Leon [: fe-lip d’ le-on], Chairman and Com-missioner of the National Commission for Culture and Arts of the Republic of the Philippines. Through you, I would like to once again express our deepest condolences and sympathy to our brothers
24
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
and sisters in the Philippines, for their huge loss caused by Typhoon Haiyan. We pray that the people of the Philippines will soon recover from this tragedy and emerge stronger. History is replete with stories of civilizations and cultures that perished due to calamities. And an event such as this, provides us with an opportunity to preserve the richness of our cultures and heritage. Therefore, I am deeply encouraged to see the enthusiasm and great interest among parti-cipants of this first World Culture Forum. And I would also like to commend the Indone-sian Ministry of Education and Culture, together with UNESCO, for organizing this auspicious Forum in Bali. As a salesperson-in-chief of Indonesia, let me give a short impression about Bali, especially for those of you visiting the island for the first time. When you have a chance to explore this island—after your three days discussions about culture—you will witness not only the uniqueness of local traditions, but also the presence of cosmopolitan cultures. Indeed, Bali is the place where East meets West and intertwine harmoniously. Now, on the World Culture Forum itself, let me begin by asking: Why do we need a World Culture Forum? We already have a World Economic Forum for dialogues on business and economic issues. We also have a World Social
This World Culture Forum is designed to complement and strengthen existing initiatives, including those under the framework of UNESCO. Indonesia also hopes that by engaging a wide range of stakeholders, this Forum will contribute to collaborative development of culture. The theme of this inaugural Forum “The Power of Culture in Sustainable Development” is indeed timely. Indeed, the international community has recog-nized the significance of culture on achieving equitable, inclusive and sustainable development. This is evident in the intergovernmental processes at the United Nations. In a landmark resolution in 2011, for example, UN member states acknowledged that culture is an essential component of human development. Cul-ture is also an important factor in social inclusion and poverty eradication. Such recognition can also be seen in the outcome documents of Rio + 20 Conference, which underscore that all cultures and civilizations can contribute to sustainable development. In addition, the UN High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda also had serious discussions on this subject. At the regional level, two years ago in Bali, ASEAN leaders adopted a declaration “ASEAN Unity in Cultural Diversity: towards Strengthening ASEAN Community.” The declaration underlines the importance of culture for our well-being and the realization of full human potential.
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
In the academic circle, I also observe that there have been a number of scholarly works on the topic of culture and development. These include analyses and observations by our distinguished keynote speakers, Prof. Amartya Sen [: a-mar-tia sen] and Dr. Fareed Zakaria [: fa-riid za-ka-ria], as well as our panelists.
Excellencies, Ladies and Gentlemen, Our forum today gives us an opportunity to discuss thoroughly—in a series of round-table discussions—on how culture can help achieve sustainable development. I believe that we will benefit greatly from the presentations and subsequent discussions. To add to your discussions later on, let me share a few thoughts on culture and sustainable development. FIRST, sustainable development envisions a balance between economic progress and environmental protection. Therefore, we need to build on value systems and traditions that promote environ-mental sustainability. We need to preserve indi-genous knowledge systems and environmental management practices that promote ecological sustainability. Here in Bali, for many centuries people embrace the philosophy of Tri Hita Karana. It is the philosophy that envisages harmony among human, between human and the environment, and between human and God the Creator. Tri Hita Karana is the bedrock of Balinese culture that conserves and respects nature. I believe that similar philosophy can be found in every country of the world. SECOND, culture of inclusiveness is essential to sustainable development with equity. Whereas, sustainable development itself envisions inclusive growth which leaves no one behind. Therefore, in my view, it is critical for us to integrate this culture of inclusiveness into development policies and programmes at all levels. This is in line with the Convention for the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions, which
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
25
kulturama World Culture Forum
places people at the center. To achieve this objective, we need to develop broad social inclusiveness and resilience for every community and its members. The idea of inclusiveness should also involve participation and contribution of local and traditional communities—in Indonesia they are known as masyarakat adat. THIRD, participation of women is also critical to enhance inclusiveness and sustainable development with equity. Therefore, gender consideration should also be taken into account in the mainstreaming of culture in development policies and programs. And speaking about gender mainstreaming, let me tell you a little secret about a new culture that my wife brought into the family. You know, my wife Ani, she has a unique habit she got from her father, and that was to give a tree for each birthday. This may break away from some traditions, but this new culture is good for the environment, good for our next generation, and certainly good for the tree sellers around the corner. The only thing is that, after so many years, with all the trees planted in our small back-yard, I will find myself one day busy cleaning up falling leaves. I also wish to inform you that the Association of Indonesian Women has developed a new tradition of planting millions of trees annually. They do it simultaneously all over Indonesia. At the national level, I also lead a similar campaign of planting a billion trees annually. Immediately after opening this Forum, I will travel to Mount Agung, at its cliff, to lead the national tree planting campaign for this year. I do believe that by ways of planting a billion trees each year, within the next twenty to thirty years Indonesia will be transformed into a much greener country. Through this initiative, I want to generate a new culture of tree planting of which Indonesia next generation will reap the benefits from what we sow. FOURTH, culture could become an important source of income, create employment, and foster entrepreneurship. According to a UN report, cultural and creative industries represent one of the most
26
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
rapidly expanding sectors in the global economy. In Asia for example, its growth rate reaches 9.7 percent; in Africa 13.9 percent; in the Middle East 17.6 percent; South America 11.9 percent; Oceania 6.9 percent; and in North and Central America 4.3 percent. On its part, Indonesia has taken a number of measures to make culture as a driver of sustainable development. This includes the development of sus-tainable cultural tourism and cultural infrastructure. During my second term of presidency, I have re-formed the Ministry of Tourism to also be respon-sible for creative industries. FIFTH, development can be realized to the fullest, only when order and stability prevail. Today, there are countries which remain under conflict situation. Under such condition, underdevelopment and poverty tend to persist, or even become worse. Therefore, nurturing a culture of peace is essential to achieving sustainable development. And SIXTH, inter-state cooperation should give priority to culture and development issues. In our case, we have joint development projects with other countries emphasizing on culture. With the Nether-lands for example, through Cultuur & Ontwikkeling [: kul-tur en ons-twi-ke-ling] programs, we bring more cultural elements into the already extensive development cooperation. Such international cooperation could also include scholarships on culture and development, especially for youths. In this regard, for many years Indonesia has offered cultural scholarships to nationals from various countries.
Excellencies, Ladies and Gentlemen, Before I conclude, I wish you all productive deli-berations. I do hope this forum will help us better appreciate the inter-linkages between culture and sustainable development. I also hope this forum will assist us in shaping sustainable development policies and strategies, with culture as the enabler and driver.
I believe through your efforts, this inaugural Forum could add value to the discussions on culture and sustainable development in many fora. In particular, I hope that the Forum could encourage further discussion for the convening of a UN conference on culture and development. On a more personal note, I certainly hope that this Forum can be convened regularly. I believe there are many other topics emanating from culture that we can discuss in the future.
represents the ideal behind our Forum, and also my sincere hope for its continuity. Kembangkan sayap, kekar dan lebar, Dan terbanglah, terbanglah, Terus lurus membumbung tinggi, Melampaui gunung memecah mega, which in English means:
In that way, we will always be able to work together to promote the importance of culture in all aspect of our life, including the culture of peace.
Spread your wings, mighty and wide,
I truly hope that a forum such as this will continue to gain international support. Therefore, international cooperation will not be confined only to economic cooperation as well as political and security cooperation. And instead, it will foster collaboration among nations to promote culture as a driver for human progress.
Over the mountains passing through the clouds.
To conclude, just two days ago I took a short trip to a beautiful lake here in Bali, at the foot of Mount Batur. At one end of the lake, I visited an old house that once belonged to Sutan Takdir Alisjahbana, a prominent Indonesian poet, writer, and linguist. Therein, I saw a piece of his poem written on a painting. In this light, let me read this poem for you in the Indonesian language. In my opinion, this poem
And fly, fly away, Stay the course and soar high,
And finally, by saying, Bismillahirrahmanirrahim, I declare the first World Culture Forum officially open. Thank you. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Om Shanti Shanti Shanti Om. NUSA DUA, BALI, 25 NOVEMBER 2013 PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Edisi No. 04
Kultur
l
Oktober 2013
27
kulturama World Culture Forum
reconciliation in the face of unprecedented globalization.” This is not only an inspiring thought, it also has major constructive implications. Indonesia’s extraordinary multicultural affluence, developed over thousands of years of globalization, makes it wonderfully appropriate for this great country to play a leadership role in making today’s flood of globalization serve as a constructive force. We have to save globalization from being exploited for the cultivation of divisiveness and inter-group hostility, with hugely flammable consequences, and instead draw on global cultural interactions to advance our future, even as we admire the past.
The Power of Culture in Sustainable Development Professor Dr. Amartya Sen Opening Keynote Speech
World Culture Forum
25, November 2013
Prof Sen: Nobel Laureate for Economic Sciences , Thomas W. Lamont University Professor and Professor of Economics and Philosophy at Harvard University, and first Chancellor of the proposed Nalanda International University, India.
T
his is my first visit to Indonesia, and yet I have been to Indonesia many times in my imagination. From my school days in Santiniketan in India – the school that the poet Rabindranath Tagore built – I was growing up surrounded by batik artists and puppet plays and shadow theatre, all developed with inspirations, ideas and technology from Indonesia. I was fortunate to have these exposures as I grew up in India. However, no matter where we are located, if we have an interest in the history of archaeology, or in the diversity of innovative arts, or in the chronicle of navigation, or in the fusion of mass culture with classical erudition, or in tolerant religiosity (especially the richness
28
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Why is this important? First and foremost, it is important to understand the ability of human beings to live in peace with each other, rather than falling for incitement to violence. Second, it is also important to appreciate the capacity of humanity to talk with each other, and to replace confrontation by dialogue and conversation. Third, a peaceful world is not only crucial for good human living, it also makes economic and social development possible, rather than diverting us into the destructive and damaging channels of getting our way
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
against those of others. Development may be influenced by technology – and modern technology is far in advance with what we had in the past – but the basic historical understanding that peace and security are central to social advancement – economic, social and cultural – still remains centrally relevant. Fourth, progress in health care is greatly helped by peace and security, and the removal of culture-centered tension can help to advance progress in longevity and reduction of unprevented and untreated morbidity. Fifth, the need to reverse traditional patterns of gender inequality is not only important for its own sake, but furthermore, releasing the creative agency of women can greatly contribute substantially to every aspect of social progress (as the recent experience of Bangladesh’s development powerfully brings out – and so does the history of modern Indonesia). Finally, in order to maintain and advance the quality of quality of human life – and ensure the survival of other species – in the future, we need global dialogue aimed at sustainable development. It is only through extensive consultations and dialogue among people from different parts of the world that a fair and feasible global protocol can be drawn
of Muslim multiculturalism that would have thrilled that pioneering pluralist thinker, Emperor Akbar, the Great Mughal), we cannot fail to see the glories of Indonesia. What is particularly important for us to recollect in the context of the meeting for which we have all gathered here amidst the beauty of Bali, is Indonesia’s wonderful history of making room for the cultivation of many different elements in its richly diverse cultural background, within an inclusive and powerfully constructive framework. In his warmly welcoming words for us, President Yudhoyono has emphasized that “strategic changes demand that culture in all its manifestations be championed as an indispensable agent of change and
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
29
kulturama World Culture Forum
Beyond the Perception of Civilizational Clash
All these are parts of the challenge we face today, and cogent and imaginative utilization of culture – in the broadest sense - can help to deal with each of these problems.... up to ensure our future (the meager nature of such dialogue ruined the prospects of the kind of world contract that the Copenhagen conference on climate change hoped, unsuccessfully, to secure). All these are parts of the challenge we face today, and cogent and imaginative utilization of culture – in the broadest sense - can help to deal with each of these problems.
Human Identity and Cultural Inclusion One of the central questions concerns the challenging issue of human identity: in particular, how we can reasonably see us, and how others can reasonably understand us. Should we allow ourselves to be categorized – and partitioned - in terms of exactly one of our many identities and affiliations? There is no doubt that our inherited traditions are important, given by our race, religion, language, nationality, or ethnicity, but there is a plurality of identifications even here. And we can acquire new identities in terms of location, education, profession, politics, and social commitment. To overlook the inescapable plurality in our identities and to place us into a singular box of one identity – be it race, or religion, or community, or whatever - is a remarkably efficient way of misunderstanding nearly everyone in the world.
30
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
I have tried to argue in my book, Identity and Violence: The Illusion of Destiny, that we all have many affiliations and associations, and each of these identities fit into the way we lead – and can continue to lead - our lives, without displacing other identities. When prioritization is needed in a particular choice where there is a need for putting more emphasis on one identification over another, we must ourselves choose – if only tacitly - the relative priorities between these diverse identities, which may vary from context to context (taking the responsibility that comes with reasoned choice). No “choice independent identity” can be reasonably imposed on us – our rich humanity is denied when we are pigeon-holed into just one identity emphasized by others, such as being Jewish or a gypsy in Nazi Germany, or being black in apartheid-dominated South Africa. Going further, rather than seeing multiculturalism merely as a policy of leaving people alone, we have to consider society’s responsibilities in trying to advance people’s ability to lead an integrated life, combined with - when necessary – the ability to make reasoned choices. Central to that engagement is the valuing of human freedom, which demands not only freedom from restraint, but also social opportunities of employment, education, political inclusion, and participation in civil society. And this is where the demands of reasoned multiculturalism – focused on human freedom and on reasoning – merges with the demands of sustainable development.
Consider the increasing fashionable subject of the clash of civilizations. Many leading commentators now tend to see a firm connection between global conflicts and civilizational confrontations (for example, between “Western” and “Islamic” civilizations). In fact, the invoking of “Western” values against non-Western ideas is rather commonplace in public discussions, and it makes regular headlines in tabloids as well as figuring in anti-foreign and anti-immigrant oratory (from the United States and Canada to Germany or France). Theories of civilizational clash have often provided allegedly sophisticated foundations of crude and coarse popular beliefs. Unfortunately, cultivated theory can sometimes end up bolstering uncomplicated bigotry. I would argue that the thesis of a “clash of civilizations” is basically confused and mistaken. But what is particularly important is to be clear about why it is mistaken, where exactly does it go wrong. There are, I would argue, two basic problems. First, the methodological foundations of the “clash thesis” involve a program of categorizing people of the world according to some one - allegedly commanding - system of classification. To see any person wholly, or even primarily, as a member of a so-called civilization (for example, in Samuel Huntington’s famous categorization, as a member of “the Western world,” “the Islamic world,” “the Hindu world,” or “the Buddhist world”) is already to reduce people into this one dimension, overlooking the important fact that we all have so many other affiliations, related to language, literature, arts, music, profession, business, politics, education, and so on. The deficiency of the clash thesis, I would argue, begins well before we get to the point of asking whether the disparate civilizations “must clash.” The problem begins with an impoverished vision of a singularly categorized world, dividing people into little boxes. Second, civilizational categories are far from clear-cut, and the simulated history that goes
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
with the thesis of clashing civilizations exaggerate the contrasts, partly by ignoring the heterogeneities within each culture, but also by being oblivious of the actual historical interactions between the different cultures. Consider the way “Western civilization” is separated out from the rest of the world in these theories. The champions of “the clash of civilization,” in line with their belief in the unique of profundity of the singular line of civilization division, tend to see tolerance as a special and exclusive feature of Western civilization, extending way back into history. Samuel Huntington, for example, asserts that the West has “a tradition of individual rights and liberties unique among civilized societies.” Tolerance and liberty are certainly among the important achievements of modern Europe (leaving out some aberrations like Nazi Germany, or the intolerant governance of British or French or Portuguese or Dutch empires in Asia and Africa). But to see a unique line of historical division there
- going back through history - is quite fanciful. The championing of political liberty and religious tolerance, in its full contemporary form, is not an old historical feature in any country or civilization in the world. Plato and Augustine were not less authoritarian in thinking than was Confucius in China, or Kautilya in India. This is not to deny that there were champions of tolerance in classical European thought, but even if this is taken to give pro-liberty credit to the whole Western world (from Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
31
kulturama World Culture Forum the ancient Greeks and Romans to the Ostrogoths, Visigoths, Druids, and Vikings), there are plenty of similar examples in other cultures as well. Indonesia’s own history gives many powerful examples of well reflected tolerance and constructive integration. There has been some remarkable advocacy of tolerance and assimilation. For example, the Buddhist Emperor Ashoka’s dedicated championing of religious and other kinds of tolerance in India in the third century B.C. (arguing that “the sects of other people all deserve reverence for one reason or another”) is certainly among the earliest political defence of tolerance anywhere. When a later Indian emperor, Akbar, the Great Mughal, was making similar pronouncements on religious tolerance at the end of the sixteenth century (such as: “no one should be interfered with on account of religion, and The dialectics anyone is to be allowed to go over of confrontation to a religion that pleases him”), the is powerfully Inquisitions were flourishing in fed by cultural Europe. Indeed, Giardino Bruno confusion, to was burnt at the stake for heresy which both in Campo dei Fiori in Rome in the Western 1600, even as Akbar was making supremacists visionary statements on the and anti-Western importance of individual liberty militants and religious tolerance in Agra. contribute... Similarly, what is often called “Western science” draws on a world heritage. There is a chain of intellectual relations that link Western mathematics and science to a collection of distinctly non-Western practitioners. Even today, when a modern mathematician, at Harvard or Stanford or Caltech, invokes an “algorithm” to solve a difficult computational problem, he or she helps to commemorate – usually unknowingly - the contributions the ninthcentury Iranian-Arab Muslim mathematician, Al-Khwarizmi, from whose name the term algorithm is derived (the term “algebra” comes from his book, “Al Jabr wa-al-Muqabilah”). A large group of contributors from different non-Western societies influenced the science, mathematics and philosophy that played a major part in European Renaissance and, later, in the European Enlightenment.
32
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Often-repeated public rhetoric on the contrast between “Western science” and “nonWestern cultures,” as well as crude civilizational classifications on theories of cultures and clashing civilizations, have attempted to incarcerate the latter - science and mathematics - well inside the closed basket of “Western civilization,” leaving other civilizations to seek their pride through specialized glorification, such as digging into religious depths. The anti-Western activists, including religious fundamentalists and cultural militants, then secure leadership roles through focusing on those issues that allegedly separate the nonWestern world from the West (such as religious beliefs, local customs and cultural specificities), rather than on those things that reflect positive global interactions running through history (including science, mathematics, literature, and so on), in which many non-Western societies, including Muslim societies, flourished. The dialectics of confrontation is powerfully fed by cultural confusion, to which both the Western supremacists and anti-Western militants contribute. The avoidance such a confused reading of history and culture has to be part and parcel of the call for making culture in all its manifestations serve in building a more peaceful and more prosperous and secure world (as President Yudhoyono has proposed).
Nalanda, Srivijaya and pan-Asian Intellectual Pursuit In the light of the general point I am trying to make in this talk, let me now comment briefly on a particular example of Asian integration and within-Asia globalization. I want to discuss an aspect of the history of the world’s oldest university, Nalanda, which drew on pan-Asian cooperation involving particularly India, Indonesia and China, but also Korea, Japan, Thailand, and other Asian countries, from about 1500 years ago. Nalanda University is now being re-established as a part of joint initiative of the East Asia Summit, of which Indonesia is an important member. When Nalanda University was founded by a Buddhist foundation in India in the fifth
century as an institution of higher learning, it was already committed to a global view of education, partly connected with Buddha’s own teaching, which took an affirmatively non-parochial view of intellectual pursuits. Buddha, the “enlightened one” (as his given name means), was ready to seek enlightenment from anywhere, but to be assessed always by one’s own reasoning. Though founded on Buddhist initiative, Nalanda was more than a Buddhist university: its teaching curriculum included linguistics and arts and sculpture, science and astronomy, medicine and public health care, and it was willing to acquire knowledge from any source. The engagement was not just on culture and religion, but on human development in the broadest sense. A word on the ancientness of Nalanda University may be worth mention here. It was not only the oldest university in the world, when the most ancient European university – the Bologna University – was founded; Nalanda University was already more than 600 years old. The University was also large: at its peak, it had more than 10,000 residential students, drawn from India and abroad. Two points are particularly important to note about Nalanda in the context of our discussion in this seminar of the World Cultural Forum. First, Nalanda was aimed throughout its history as a pan-Asian university, drawing its students not just from India, but also from China, Japan, Korea, Indonesia, Thailand, and elsewhere. A second point to note is that there were international linkages which made it easier for foreign students to come to Nalanda to study, thanks to pan-Asian collaboration. Aspiring students, for example from China, had the opportunity to be introduced to, and trained in, the Sanskrit language and literature and to Buddhist academic heritage, in Srivijaya – in Sumatra. This was one of the remarkable examples of ancient net-working. Perhaps the most famous student at Nalanda who first networked in Sumatra for one year before moving on the Nalanda was Yi Jing. He had little Sanskrit when he left China to come to Srivijaya, which was already – in the seventh century – a major centre of Sanskrit-based education in the
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
world. By the time Yi Jing sailed from Sumatra to India, landing in Tamralipta (not far from modernday Calcutta), he had already acquired considerable mastery over Sanskrit and the basic literature on the subject, acquired in Indonesia. Yi Jing stayed on in Nalanda for ten years, and among his other accomplishments is the fact that he wrote the first study of comparative medicine in the world, comparing Chinese and Indian medical studies and public health care. There is a lot of work to be done on the subject of the ancient traditions of networking in Asia. In the line of the programme of this conference, I would like to emphasize the importance of this aspect of cultural interactions. There have been many studies of comparative architecture and religious history, but a broader investigation of Asian intellectual interactions call for much more attention. Given the importance of the plurality of our identities, which can help to reduce confrontations based on some arbitrarily imposed privileged identity – religion, nationality, ethnicity or whatever – ignoring all others, on which I have already commented, the many ways in which different people and different cultures have historically worked together and interacted with each other deserve particular attention. Sustainable peace in the world demands that serious attention be paid to the value of such global cooperation, and sustainable development, in its turn, critically depends on the maintenance of peace, and on the use of human ability to talk and work together, rather than to threaten and fight. People have worked together in many different ways throughout world history, and these interactions are particularly important to study and appreciate to rescue culture from incarceration in the narrow boxes civilizational partitions, seen in confrontational rather than cooperative terms. We can definitely see culture as “an indispensable agent of change and reconciliation in the face of unprecedented globalization,” as President Yudhoyono has asked. This can happen if, and only if, we know what we are trying to do and why. There is much to be done in pursuit of the vision that President Yudhoyono has outlined in summoning us to the deliberations in this meeting.l Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
33
kulturama World Culture Forum
WORLD CULTURE FORUM, BALI 23-27 November 2013
THE CULTURAL MEMORY ISSUE
With Indonesia as the main reference Jean Couteau
My purpose is to dispel the misunderstandings about cultural memory and preservation and try to see whether there are ways to prevent the standardization of world cultures. New recording techniques allow us to do it in ways unthinkable only a few years ago.
H
HYBRIDIZATION OR STANDARDIZATION
Today’s world is becoming global, probably forever. They are at least two competing ways to view this globalization with regards to culture. Many welcome it, foremost among them the theoreticians of post-modernism and cultural studies, followed by the activists of all sorts of contemporary emancipations (homosexuals, ethnic minorities, indigenous people etc). They are characterized by their eagerness to cast away the straitjacket of “modernist” universal values that have to them, all too often, been the mask behind which hides the all-powerful Occident and the “white males” that have imposed their goods, taste and values. Now, they say, is the time to “speak” for the emancipated and resistant “others”, because now is the time when those “others” can, at last, make their voice heard on the global stage. This is the time of multiculturalism, they say. Usually referring to the visual arts, but this applies to other cultural products, they argue that contemporary arts and creations are taking and will increasingly take the
34
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
form of kaleidoscopic hybrid products that integrate heterogeneous visual and non-visual vocabularies and aesthetics that originate from the whole world and thus represent its variety. Thus, if one believes them, the non-Western world would finally have freed itself from the haunting ghosts of cultural dependence, sixty or seventy years after having broken the chains of political dependence. The global culture of the future would rest on an ‘infinity’ of localism and identities that would continuously enrich one another in an ongoing dialectical process.
According to this second point of view, globalization, far from bringing about a genuine recognition of diversity, on the contrary, fosters cultural standardization. The diversity that comes across is but the fodder on which the standardization process feeds itself. There is effectively a daunting contradiction: just when cultural diversity obtain full recognition, as non-Western cultural products appear at the surface of the global, it is being threatened of falling into irrelevance or oblivion, as its products are eradicated or functionalized in the system. Let us dig a little deeper. The global capitalist system can be compared to a bottomless maelstrom. It sucks at an accelerating pace everything that finds itself into its reach, i.e. all the elements that it senses to have and economic and marketable value, and it turns them into commodities. As it widens in scope in all directions, both geographically and structurally, it ends up sucking in everything in a mad whirling run. This is the situation we are in today. After land, general commodities and industrial products, it is the turn of all the intangible products –cultural ones paramount among them—to be sucked in as commodities within the whirling maelstrom. The closest to its center, the more valuable, and hence, more expensive those products are. The farther form this center, the less valuable and cheaper.
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
This of course also applies to information products, which, having become part of the whirling machine, guarantees their “owners” an increasing hold over mindset and market value. Creations and cultural products that correspond to the engineered market mood of the day are sucked closest to the center and become media “icons”; they command a higher price. Those less close to the center only obtains “niche” recognition and as such command a lower price, etc. etc. This is according to whatever their intrinsic quality is from the point of view of the local tradition that produced them. For those reasons, we should not expect creations from the economic and cultural margins to become ipso facto marketable in the center. There are first implicit conditions to fulfill. Not at least cultural ones. The capitalist system allegorically presented above as a maelstrom is run from New York by Wall Street’s financiers—thus by people with a clearly Western background. This Western center and its Westernized regional clones define not only the prices and conditions of exchange on the market, but also the prevailing aesthetic patterns, i.e. the ruling tastes and norms of the system. In order to be recognized, the margins have to adapt to the cultural conditions set by the
Such point of view is indeed appealing. If it corresponds to reality, it is the “the best in the best of possible worlds” –a world that would vindicate all the “damned of the earth”-- to paraphrase both Voltaire in Candide, and Frantz Fanon’s book, The Damned of the Earth (1961). The problem, however, according to another, more Marxian approach –and according to me-, is that this optimistic point of view does not take proper account of socio-economic realities, and, in particular, does not take into account the way those realities, with their capitalist inner logic, bear on cultural creativity, afferent cultural recognition, and the survival of non-Western cultures.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
35
World Culture Forum
related differences –in costumes, food religious practice, (some) sexual behavior etc. (Martel F., Mainstream, 2010).
center, and have to adopt the cultural patterns of the West. For this purpose they graft iconic nonWestern elements onto cultural products to underline the resistance of local identity, while adopting a Western general pattern, usually with regard to structure and basic symbolism to guarantee acceptance. This allows non-Western elements to appear in increasingly big numbers, albeit in a marginal position, within the Westcontrolled or West-inspired global system. The resulting hybridization, however, conceals what is a generalized standardization. This situation is most obvious in the fields of the fine arts, in particular in contemporary art –where control over information is a determining factor, whatever their local content, the works that obtain global recognition are only those whose aesthetics, symbolism and political content, correspond to the whims of the New York and Western (London, Paris, Berlin) “markets”. It was long the norm that so-called “international” modern art got this recognition— Western art spreading in all directions. It is now internationalized contemporary art from the whole world and available everywhere. But this does not mean that non-Western cultures find themselves in the field of contemporary art, on an equal footing with the West: Chinese and Indian contemporary art, presently popular, owes to a large extent their success to an aesthetic
36
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
and symbolic readability accessible to Western/ American eyes as well as, in the first case, to a political “protest” content that corresponds to the expectation of the West (Stallabrass J., Contemporary Art, a Very Short Introduction, 2004). Other smaller, West-inspired centers similarly rule over their margins under similar conditions: the Jakarta-controlled maelstrom sucks in the whole Indonesian artistic and cultural production and delineates its relatively marginal aesthetics within the global whirling system. This tendency to adapt to the demands of the market and, hence, to Westernized global culture is found, beyond the fine arts, in all fields of cultural production. Nowadays, as demonstrated in numerous studies on the media, and because they address the same consumer crowd of urban nuclear families facing the same economic and human problems, TV programming and series from the whole world follow everywhere similar patterns -- with only marginal and iconic identity-
On the positive side, all those global similarities accumulate on top of one another to create the space of a truly global culture: people the world over now share signs, structures and even a similar vocabulary in matters of language, music, food, narratives, visual arts, modern media etc. This comes on top of non-cultural fields that have been equally standardized out of economic, technical, social or legal necessity: education, engineering, medicine, law and management etc. Humans thus share with one another an even larger part of their culture, while cultures are becoming increasingly closer to one another. Let us sum up the two points of view. On the one side are those, apologist of post-modernism, who celebrate a global world that is said to give or promise a voice to all “the damned of the earth”, and who claim that hybridized works with a local content can now obtain international recognition in spite and because of their very difference. And, on the other side we have the pessimists/realists who, while welcoming global development for the cross-cultural and cross-national exchanges it promises, as well as for the hybrid creativity inherent to it, nevertheless worry that the globalizing phase the world is presently entering actually threatens to standardize all cultural products, minus those elements, endowed with an iconic role, whose function is to underline the appearance of difference and variety (Bourriaud N., Radicant 1999).
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
My private position is that while hybridization has to be supported, it must be without illusion. It may serve identity purposes and thus help sustain national and ethnic pride, but it does little to preserve what remains of the living memory of the world. Thus culture is an identity prop, which it is alright to support, and culture as cultural content and “memory” must be clearly differentiated from one another. It is the second that must be supported. Pride in the first ought not to make us indifferent to the fate of the second.
THE INDONESIAN CASE Indonesia offers a good example of the steps and missteps taken, as well as of the possibilities opened. Faced with the issues above, Indonesians presently feel that they are --at last-- given a voice on the global cultural stage. They can pride themselves of the international recognition given to Wayang (theater puppet show), batik and angklung, not to mention UNESCO-registered heritage monuments and sites like Borobudur, Prambanan and Raja Ampat. Yet isn’t this optimism illusory? True, Wayang is preserved. But what of the maze of stories and the philosophical system that underlies? Are they being lost? True, Balinese dance and music are being taught across the country and abroad. But what about the many local versions, what about the meaning associated to them? Only old men and women……? How did this happen? Indonesia justly prides itself of being one of the most culturally varied countries in the
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
37
kulturama World Culture Forum
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Only two types of cultural products obtained the regime’s green light: the first one was what one may call engineered “tradition”, i.e products picked from the old agrarian cultural memory, “sterilized” from all “improper” content, and reformatted to suit the political and symbolic needs of the regime..... world –only India can compete with it in that matter. Multiculturalism is enshrined in the constitution, in which it was stated, at the suggestion of the country’s first minister of Education, Ki Hajar Dewantara; that “National Culture consists of the peaks of all the (country’s) regional cultures.” Better still: religious and ethnic pluralism are also enshrined in the country’s motto--Bhinneka Tunggal Ika—Unity in Diversity— and in the five principles of the nation, Pancasila. The various cultures of the nation are thus given national priority. Reality is found not in words though, but in their interpretation. Theoretically perfect, Ki Hajar’s notion of culture mentioned above has been the object of constant manipulations. It has adapted to the political mood of the days, with important consequences. During the first presidency (1945-1966), that of President Sukarno, even though things were somewhat confused and unpleasant regarding culture, because parties had cultural wings that competed in and participated in the struggle for power (a reflection of the titanic fight between right and far-left and of the Cold War era then waged on the global stage). Cultural expression was relatively “free” and could be contradictory, as exemplified in the famous polemic between MANIKEBU (on the right) AND LEKRA (on the left). Regarding the regional (and in fact ethnic) cultures of the country, even though they had
been deeply shaken by colonization, their agrarian foundation was still functioning. Urbanization was limited and capitalization shackled. Even though some dances and attending musical pieces were picked up by the government and iconized in such a way as to officially represent abroad the country’s cultural riches (Lindsay J & Liem M.H.T., Heirs to World Culture, Being Indonesian, 1950-1965), the underlying socio-economic structure that sustained regional cultures was left relatively intact. Hence “local memory” was alive and productive. Ki Hajar’s “peaks of regional cultures” thus were still “living” peaks at the national level. Things changed drastically during the following decades (1966-1998). Suharto came to power in a protracted coup de force –between September 1965 and March 1966—which crushed all leftist forces and made the army the main holder of political power. Under the new military regime, cultural dynamics changed drastically. All references to social conflicts –hence to social change—were eradicated from public discourse and culture. Only two types of cultural products obtained the regime’s green light: the first one was what one may call engineered “tradition”, i.e products picked from the old agrarian cultural memory, “sterilized” from all “improper” content, and reformatted to suit the political and symbolic needs of the regime.
Such tradition was in fact “invented tradition” in the best Hobsbawnian sense of the word (Hobsbawn E., The Invention of Tradition, 1983)— i.e tradition invented for political purposes, to create an identity link between present and past. This “tradition” was advertized as representing the richness of the “real” Indonesian culture, the “peaks” of regional culture mentioned above. Thus, it was nationalist, like in the Sukarno days, but with a different political emphasis: it aimed at keeping people away from the politics associated with modernity. The second types of cultural products were purely modern. They appeared following the opening to foreign investment of the Indonesian economy, which accelerated socio-economic changes and led to the apparition of a local urban-based modern culture suited to the needs of an emerging “middle-class”. Its products, even though often labeled “foreign” and criticized as such, were in fact props of the capitalistic transformation advocated by the regime: films, songs, literary novels and a whole range of mass culture products. Many were imported from abroad (TV novellas, theme parks, advertizing fashions etc). More and more, however, were made locally. Iconic “traditional” signs (costumes, landscapes) were then grafted onto their modern structure to underline their supposedly “typical” Indonesian character. In short, during the New Order Suharto era, “tradition”, presented both in local ethnic heritage and in modern products with iconic Indonesian signs, aimed at marking as “nationalist” a regime otherwise fully submitted to foreign capitalistic rules.
38
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Development of the kind advocated by the New Order had deep perverse consequences. Not only were the “tradition” and local cultures the regime purported to defend increasingly fake, but the economic policies brought about in the regions deep-seated transformations had dramatic cultural consequences. Land and labor were turned into commodities; surplus labor moved to the cities, which grew exponentially; a growing part of the peasantry became salaried workers at local plantations. The socio-economic fabric that had until then sustained the old agrarian system collapsed. Local cultures and local memory followed suit, a process further accelerated with important changes in the processes of knowledge transmitted through generalized education and, beginning in late 1970s, the introduction of television throughout the country. The result is visible today, 15 years after the collapse of the military regime old local cultures –and their memory-- are not anymore productive. Worse! Engineered tradition is “celebrated” in seminars in the name of the nation, but the cultural leftovers of the original traditions are neglected and left to rot and thus be forgotten. They seem bound to certainly disappear. If things are let go this way for twenty, or perhaps forty more years in some places, nothing will be left of the old ways, old stories, old aesthetics, old beliefs and old underlying philosophy. What will be left will be only music, some of which has been recorded for years with the help of foreign foundations, and the few dances and craft that have been highlighted by the government or UNESCO, as said above, as icons
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
39
kulturama World Culture Forum
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Who should do the “job” suggested above? Not only governments or UNESCO, too prone to engineering “tradition” as denounced above, not only NGOs, overly idealistic like myself, but probably a mix of them all...
of local cultures. Thus the notion of Indonesian culture as consisting of “the peaks of all the cultures of Indonesia” will have become totally irrelevant, because the memory of the referred cultures will be dead for ever, save for a few selected iconic components.
state of affairs: i.e. that in most instances, traditional cultures are dying and not productive anymore.
l
WHAT CAN BE DONE? Indonesia is but a case study. Similar developments, perhaps unavoidable, have taken place and are taking place throughout the world, with similar political and economic causes and similar features: the iconization of typical “traditional” products (dances, music, etc) promoted to symbolize the “spirit of the nation, and the adoption of typical “traditional” signs to give a local identity to modern cultural and non-cultural products. Meanwhile, the standardization machine continues its destructive work. Such changes have always taken place throughout the length of human history, some will object. Certainly, but never on such a pace and on such a dimension—for the first time global. We run the risk to prepare a future of standardized societies in a standardized world, in which the range of cultural differences between societies will have become very narrow. But all is not lost. How to remedy this situation: by being aware of the situation, and using new available technologies.
First, instead of closing one’s eyes in the name of identity, one should recognize the existing
l
40
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
l
Secondly, the notions of “tradition” and “culture” should reconceptualised, and freed from their ideological baggage. Tradition as genuine local memory, inherited from the old agrarian traditions, must be clearly differentiated from engineered “tradition” and “culture” as identity-related notions that prevent us from facing social evolution and taking the right steps to preserve what remains of the memory of old. Practically the following steps should and could be followed:
What remains of the memory of old should be systematically recorded, documented and translated. The preservation policies must be much more ambitious than what has been done until now: we must create digital museums, to be fed with a systematic recording of ALL “living” memory (not only their political ersatz) from agrarian traditions. These museums must be organized in such a way as to contain, for ALL cultural areas of Indonesia, ALL the existing theater, dance and music forms, and all the narratives of oral traditions such as they survive among ancient village men of letters and knowledge. Such a task looks overly ambitious. It would of course have been impossible to implement it only ten years ago. But today, recording instruments are cheap, small and convenient. It is simply a matter of political will. To do this we have between 10 and 20-40 years left,
i.e. amounting to the remaining life expectancy of people whose memory was shaped by their local culture before the introduction of television and other modern media –which are quickly transforming the transmission of knowledge. Together with the recording above, text from ancient literature or stories from oral literature should be systematically collected, translated and studied. Those texts and their related moral and philosophical teachings should become integral components of national and regional education, at all levels. This is already done in many countries, including Indonesia, but again iconic and political considerations determine what is being done. (Strangely enough, in spite of the “worship” of [engineered] tradition in Bali, Java and other places, few students from institutions of higher learning, especially from art schools, are taught the stories, teachings and aesthetic principles that are at the core of their ancient tradition. Which students of art schools are seriously taught the teachings of Arjuna Wiwaha and Sutasoma? Which of them have studied the way those teachings are transmitted in local aesthetics? People boast about “tradition”, but almost no one studies its positive content in art schools and departments of literature). What would be the purpose of such systematic recording and documentation of the surviving agrarian memory? The purpose is to enable the local people to be masters of their own culture and cultural evolution. As explained above, the post-modern conviction that cultural globalization will enable
people from the whole world to become on an equal footing as global cultural actors is certainly illusory: not only is homogenization under way, but capitalism imposes its own cultural codes. When it sucks in its whirling marching cultural elements from the cultural margins, those are only the “iconic”, which are then re-functionalized in an alien system. They symbolize alienation. Who should do the “job” suggested above? Not only governments or UNESCO, too prone to engineering “tradition” as denounced above, not only NGOs, overly idealistic like myself, but probably a mix of them all. If we save as raw material ALL the surviving memory of the agrarian traditions, we shall provide future artists, authors and creators with the living material on the basis of which they can enrich their future cultural creativity. This will in turn spur the growth of re-indigenized culture, better ready to face the challenges of globalization. Imagine what results could be obtained from the encounter of all the newest techniques –video, digital data, modern techniques, with the re functionalization of old arts and techniques, such as shadow puppets, traditional bamboo structures, old instruments etc. Such an openness towards themes, techniques and aesthetics, in which the local meets the global, and where everything is studied and questioned –instead of being simply ideologized as “tradition—should then enable the birth of a hybridization of culture in which local components would be the determinant, instead of the minority. If we succeed in doing this, the world of the future will be more varied than it would otherwise be. l
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
41
kulturama World Culture Forum
Program
World Culture Forum BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013 Note: Agenda and List of Speakers may be subject to last minutes changesa
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
19.00 - 21.00 World Ethnic Music Festival – Welcoming Dinner
Mr. Marcelo Pedroso (Brazil) Mr. Felipe M. De Leon, Jr. (Philippines) Mr. Masanori Aoyagi (Japan)
Bali Art Center, Denpasar
Mr. Mikhail Shvydkoy (Russian Federation)
10.00 – 21.00 Cultural Based Film Festival for Public (Studio XXI Kuta Beach Walk)
Mr. Sam Tan (Singapore) 16.00 – 16.15 Moving to the Designated Rooms
DAY 3
Intergovernmental Round Table International NGO Round Table
Tuesday, 26 November 2013
Moderator:
08.00 – 09.00 Registration and Preparation
Mr. Francesco Bandarin
09.00 – 11.00
(ADG, Culture) Moderator:
Symposium 1
Prof. Dr. Amareswar Galla Inclusive Museum 1. Mr. Chung Utak (Director of APCEIU – Republic of Korea)
1. Dr. Pudentia (Indonesian Association for Oral Tradition)
DAY 1
H.E. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Sunday, 24 November 2013
Keynote Speakers
18.30 Arrival of Guests
09.50 – 09.53 Irina Bokova
2. Prof. Dr. Hans-Martin Hinz – President, ICOM (International Council of Museums),
19.00 Arrival of VIP Guests
Director-General of UNESCO
19.00 - 19.35 Opening by MC
10.00 – 10.30 Amartya Sen
19.35 - 19.40
Nobel Laureate for Economic Sciences
Welcoming Speech by the Minister of Education and Culture, The Republic of Indonesia
10.30 – 11.00 Fareed Zakaria
19.40 - 20.30 Gala Dinner 20.30 - 21.00 Culture Performance (Medley of hundreds of dancers, carnaval and video mapping
Editor-at Large, Time magazine / Host, CNN GPS 11.00 – 11.10 Photo Session 11.10 – 12.30 Lunch and Press Conference
Monday, 25 November 2013 08.00 – 09.00 Registration and Preparation 09.00 – 10.00 Grand Opening
Kultur
Edisi No. 05
l
3. Ms. Carolina Castellanos - ICOMOS (International Council on Monuments and Sites), 4. Dr. Seong -Yong Park - ICHAP Infant- Health Assessment Program
4. Ms. Sarah Gardner - IFACCA (International
H. E. Mr. Dato Seri Awang Haji Hazair bin Haji Abdullah
Federation of Arts Councils and Culture),
(Brunei Darussalam)
5. Dr. Rana Amirtahmasebi World Bank(USA)
H. E. Mr. Cai Wu (People’s Republic of China)
5. Mr. Charles Vallerand - IFCCD (International Federation of Coalitions for Cultural Diversity)
(Indonesia)
H. E. Ms. Lana Mamkegh (Jordan)
09.00 – 09.10 Opening by MC
H. E. Mr. Sultanbai Raev (Kyrgyz)
09.10 – 09.20
H. E. Ms. Elia Ravelomanatsoa (Madagascar)
6. Mr. Wend Wendland - WIPO (World Intellectual Property Organization),
Welcoming Remarks by the Minister for Education and Culture , The Republic of Indonesia
H. E. Mr. Mohamed Nazri bin Tan Sri Abdul Aziz (Malaysia)
6. Ms. Ellen Tise - IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions),
Mohammad Nuh
H. E. Mr. Bogdan Zdrojewski (Poland)
7. Mr. Yang Zhi - DG CERiHAP ( Cultural
09.20 – 09.50
H.E. Mr. Mathume Joseph Phaala (South Africa)
Opening and Keynote by the President of The Republic of Indonesia,
42
3. Mr. Gael de Guichen - ICCROM (International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property),
November 2013
Moderator: Madame Alissandra Cummins (Barbados) Chairperson, NATCOM and Immediate past Chairperson, UNESCO Executive & SIDS High Level Leadership Keynote: Prof. Rick West (USA) President and CEO, The Autry, USA. Prof. Jean Couteau (Indonesia) Culture Expert, multi-lingual writer and columnist As. Prof. Dr. Bussakorn Binson (Thailand) Associate Professor of Music at Chulalangkorn University’s Faculty of Fine and Applied Arts Bangkok, Thailand. Dr. Nanda Wickramasinghe (Sri Lanka) Secretary for Ministry of Heritage, Sri Lanka.
14.00 – 16.00 Ministerial Keynote Forum Chairman: H.E. Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA
DAY 2
2. Ms. Alicia Bala Deputy Secretary General of ASEAN,
Holistic Approaches to Culture in Development
H. E. Ms. Maria Isabel de Jesus Ximenes (Timor Leste) H.E. Mr. Hisham Ali Bin Ali (Yamen)
7. Mr. Luluk Sumiarso (Indonesia Heritage Trust)
17.30 – 18.30 Break
Mr. Frank J. Hoff (USA) President of Atlantis Publications, The under-study of Prof. Dr. Arysio Santos. Ms. Lynne Patchett (UK) Chief of Culture, Executive Unit, UNESCO Headquarter Mr. Radhar Panca Dahana (Indonesia) Heads of several media companies before he became lecturer Heritage in the Asia-Pacific region) 8. Mrs. Mehri Madarshahi President of MDCA in University of Indonesia.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
43
World Culture Forum
Symposium 2 Civil Society and Cultural Democracy Moderator: Dr. Hans d’Orville (France) Assistant Director-General for Bureau of Strategic Planning (BSP), UNESCO Keynote: Mr. Goenawan Muhammad (Indonesia) Former Foreign Minister of the Republic of Indonesia Prof. Vladimir Tolstoy (Russia) Cultural adviser to the Russian President,The director of the Yasnaya Polyana Museum Ms. Kigge Hvid (Denmark)
Mr. Khaliffa Sall (Senegal)
Mr. Sharif Istvan Horthy (Hungary)
Mayor of Dakar and President of UCLG Africa
Vice Chairman of the Guerrand-Hermes Foundation for Peace,
Social entrepreneur working for community education and capacity development using innovative culture based approaches
Symposium 5
International Think-Tank and Research Centre
Mr. Eros Djarot (Indonesia)
Moderator: Dr. Augusto Villalon (Philippines)
Architect and Historian. Associate Professor, University of Le Havre
Wellknown Indonesian songwriter, movie director and
Urban Conservation Architect & International Council for
Mr. Seiichi Kondo (Japan)
Politician
Monuments and Sites, Manila, Philippines
Commissioner Agency for Cultural Affairs of Japan
Mr. Alexander Sysoenko (Russia)
Keynote: Prof. Minja Yang (Belgium)
Prof. Dr. Michael Hitchcock (UK)
Was the vice-director at ROSIZO Museums and Exhibitions
President & Professor, Raymond Lemaire International Centre for Conservation,
Professor of Tourism Management and Dean of the
Center. His current position is Director at Russian Museum for Decorative and Applied Art.
KU Leuven
Sustainable Urban Development
Dr. Mohamad Basyir Ahmad (Indonesia) Mayor of Pekalongan, Central Java, Indonesia
As. Prof. Darwis Khudori (France)
Faulty of Hospitality and Tourism at the Macau University of Science and Technology. 130.0 - 14.30 Lunch
Department of Human Settlement and
Moderator: Dr. Erna Witoelar (Indonesia)
(Moderator: Prof. Dr. Wiendu Nuryanti, Vice
Housing Development, Author
Former Indonesian Minister of Human Settlements and
Minister of Culture, of the Republic of Indonesia)
Ms. Rebbeca Matthews (Denmark)
15.30 – 16.00 Discussion 16.00 – 17.00 The Bali Promise (Declaration)
Coordinator - Agenda 21 for culture, (UCG’s Commitee
Regional Development (1999-2001), Former UN Special
Managing Director of the European Capital of Culture Aarhus 2017
17.00 – 17.15 Grand Culture Finale
on culture)
Ambassador for MDGs in Asia Pacific (2003-2007)
Mr. Ratish Nanda (India)
Ms. Yasmin Khan (UK)
Keynote: Prof. Dr. Renato Flores (Brazil)
Projects Director of the Aga Khan Trust for Culture,
17.15 – 17.30 Closing Remarks: Minister of Education and Culture
Expert in gender mainstreaming through Intergeneration
Professor, EPGE Special Aide to the President Head,
New Delhi, India
17.30 Refreshment
transformations of the cultural sector
Intelligence Unit of the Presidency FGV, Rio de Janerio, Brazil
Ms. Sabina Santarossa (Singapore/Italy)
18.00 – 21.00 Dinner at Museum Pasifika, Nusa Dua Bali
Director of Cultural Exchange, Asia Europe Foundation
Supporting program:
Convenor of Young People’s Programmes at Tate’s London sites. Dr. Jordi Pascual (Spain)
Prof. Dr. Karlina Supelli (Indonesia) Indonesian philosopher and astronomer
Symposium 4
Prof. Dr. Emil Salim (Indonesia)
10.00 – 21.00 Cultural Based Film Festival, World Ethnic Music Festival
Economist and former Minister for the Environment of
Symposium 6
Indonesia.
Inter-Faith Dialogue in Community Building
Ms. Ngaire Blankenberg (France)
Moderator: Dr. Clarence G. Newsome (USA)
Symposium 3
Planner and urban sustainable development expert
National Underground Railroad Freedom Center,
Creativity and Cultural Economics
with in depth culture experience in several cities
Board of Trustees of Duke Divinity School
Wednesday, 27 November
Moderator: Prof. Dr. David Throsby (Australia)
of the world.
Keynote: Prof. Dr. Azyumardi Azra (Indonesia
Eminent Economist, Author, UN/UNESCO
Dr. Anak Agung Gede Agung (Indonesia)
Professor of history at Universitas Islam Negeri
2013 08.00 – 18.00 Post Conference Tours (Optional) * Registration Required (Subak World Heritage Site Tour)
Principal Adviser on Cultural Economics
Former Indonesian Minister of Social Welfare,
(UIN or State Islamic University), Jakarta
Keynote: Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Indonesia)
Culture Expert
Dr. Chung Hyun Kyung (USA)
Professor in Economics at the University of Indonesia.
Dr. Yusria Abdel Rahman (Egypt)
Korean Christian theologian, Author of “Struggle to
09.30 – 11.30 Ubud Tour (Monkey Forest)
Dr. Hubert Gijzen (UNESCO)
First female conservation director and
be the Sun Again: Introducing Asian Women’s Theology”,
11.30 – 13.30 Lunch at Art Museum Rudana, Ubud
UNESCO Regional Director and Representative
outstanding youth culture in development expert
South Korea
Prof. Dr. James J. Fox (Australia)
Prof. Dr. Slikkerveer (The Netherlands)
Rabbi Jeremy Jones (Australia)
13.30 – 18.00 Subak World Heritage Site Tour (Jatiluwih) Group B
Frequent consultant to Indonesian Government who
University of Leiden
Lawyer and Well Known promoter of Interfaith Dialogue
09.30 – 11.30 Subak World Heritage Site Tour (Jatiluwih)
worked on the first Micro Finance program in Indonesia
Dr. Thomas Schaaf (Germany)
Sydney, Australia
11.30 – 13.30 Lunch at Art Museum Rudana, Ubud
Ms.. Ananya Bhattacharya (India)
Former Head of Division of Ecological and Earth
Prof. Dr. Luh Ketut Suryani (Indonesia)
13.30 – 18.00 Ubud Tour (Monkey Forest)
Dr. Yenny Rehmayati (Indonesia). Aceh Heritage Forum, Band Aceh
l
University Professor, Indonesia
Culture in Environmental Sustainability
Mr. Mark Miller (UK)
Edisi No. 05
A Balinese Psychiatrist, Meditation Teacher, Healer,
UNESCO
15.00 – 15.30 Reports by Moderators of Symposia and Forum
INDEX Design to Improve Life, Biennale
Kultur
Sciences, Programme on Man and the Biosphere,
Ms. Hlaing Maw oo Hock (Myanmar)
Founding Director and CEO of
44
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
November 2013
DAY 4
19.00 World Ethnic Music Festival “Farewell Party” night at “Rumah Topeng & Wayang”, Ubud. Group A
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
45
kulturama World Culture Forum
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Prof. Dr. Amartya Sen
Speaker Profile
World Culture Forum BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Nobel Prize in Economic Science , Harvard University USA Amartya Kumar Sen, CH (born 3 November 1933) is an Indian philosopher and economist who was awarded the 1998 Nobel Memorial Prize in Economic Sciences for his contributions to welfare economics and social choice theory, and for his interest in the problems of society’s poorest members. Sen is best known for his work on the causes of famine, which led to the development of practical solutions for preventing or limiting the effects of real or perceived shortages of food. He helped to create the United Nations Human Development Index. In 2012, he became the first non-U.S. citizen recipient of the National Humanities Medal. He is currently the Thomas W. Lamont University Professor and Professor of Economics and Philosophy at Harvard University. He is also a senior fellow at the Harvard Society of Fellows, distinguished fellow of All Souls College, Oxford and a Fellow of Trinity College, Cambridge, where he previously served as Master from 1998 to 2004. Sen is a member of the Advisory Board of Incentives for Global Health, the not-for-profit behind the Health Impact Fund. He is the first Indian and the first Asian academic to head an Oxbridge college. He also serves as the first Chancellor of the proposed Nalanda International University.
Main Keynote Speakers
H.E. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono The President of The Republic of Indonesia
Dr. Fareed Zakaria
Elected President by popular, direct election by the people of Indonesia in 2004, he was reelected for a second term in 2009.
World Famous Journalist and Commentator, Author, CNN
The Initiator of the World Culture Forum (WCF – “Bali Forum”)
l
The Initiator of World Peace through “Soft Power” and a Cultural Diplomacy Approach
l
Received the first-ever “Valuing Nature Award” in New York. 2012, 21st Century Economic Achievement Award from US ASEAN Business Council (USABC)
l
2012, Literacy Prize from the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)
l
2012, Awarded Knight Grand Cross in the Order of the Bath by Queen Elizabeth II
l
Irina Bokova
Fareed Zakaria is an Indian-American journalist and author. From 2000 to 2010, he was a columnist for Newsweek and editor of Newsweek International. In 2010 he became editor-at-large of Time. He is the host of CNN’s Fareed Zakaria GPS. He is also a frequent commentator and author about issues related to international relations, trade and culture in development. Zakaria has been nominated five times for the National Magazine Award and won it once for his columns and commentary. His show has won a Peabody award and been nominated for several Emmys. He was conferred India Abroad Person of the Year 2008 award on 20 March 2009, in New York. Filmmaker Mira Nair, who won the award for 2007, honored her successor. He has received honorary degrees from Harvard University, Brown University, Johns Hopkins University, the University of Miami, Oberlin College, Bates College, and the University of Oklahama among others. In January, 2010, Zakaria was given the Padma Bhushan award by the Indian government for his contribution to the field of journalism.
Director General of UNESCO Irina Bokova is the Director-General of UNESCO. She was formerly a Member of the Bulgarian Parliament from the Bulgarian Socialist Party for two terms, minister and deputy minister of foreign affairs in the cabinet of Prime Minister Zhan Videnov, and was Ambassador of the Republic of Bulgaria to France and to Monaco, Permanent Delegate of Bulgaria to UNESCO and Personal Representative of the President of Bulgaria to the Organisation Internationale de la Francophonie (2005–2009). On 22 September 2009, Bokova’s candidacy was proposed for the post of Director-General of UNESCO. On 15 October 2009, The 35th Session of the General Conference elected Irina Bokova of Bulgaria as the tenth DirectorGeneral of UNESCO. Bokova is the first female and first Eastern European to head UNESCO. The 36th Session of the General Conference in November 2013 has reelected Irina Bokova for a second term as Director General of UNESCO.
46
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Ministerial Keynote For Speaker
H.E. Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA Minister for Education and Culture of The Republic of Indonesia, former Rector of ITS and hold Ph.D degree from the Université de Science et Technique du Languedoc in Montpellier, France. He was also the former Minister of Communication and Information Technology of the Republic of Indonesia. Prof. Nuh has long emphasized the key role of culture in education and the transfer of knowledge through culture convergence. He has received international recognition for his efforts over many years including a Special Award from JICA in 2003 and the Soka Award of Highest Honour in 2006 for his contribution to higher education, culture, humanitarian values and peace. He has also been awarded the title of Doctorate Honorius Causa from both the University of Technology Malaysia (2011) and Naresuan University of Thailand (2013). He is currently the member of the Executive Board of UNESCO. Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
47
kulturama World Culture Forum
H.E. Mr. Dato Seri Awang Haji Hazair bin Haji Abdullah Minister of Culture, Youth and Sports and a member of the Legislative Council since May 2010. Prior to that he was Deputy Minister of Health from 2005 to 2010. Before he was appointed into political office, previously he was PERMANENT SECRETARY II at the Prime Minister’s Office where he was also Chairman of Royal Brunei Airlines.
H.E. Cai Wu Mr. Cai Wu began his career as a lecturer at Beijing University. He was a member of the CYLC Central Committee and the All-China Youth Federation. Cai is now a professor and supervisor of doctoral students at the College of International Relations of the Renmin University of China, and is a senior advisor to the Academic Committee of the College of International Relations of Beijing University. Cai Wu was appointed Vice-Minister of the International Department of the CPC Central Committee in 1997. In 2005, he became Director of the Information Office of the State Council. He was a member of the 17th CPC Central Committee. Cai Wu is now a member of the 18th CPC Central Committee and Minister of the Ministry of Culture.
H.E. Dr. Lana Mamkegh Mamkegh obtained a PhD from the university of Jordan’s faculty of arts in 2002. She holds an MA and a BA in arts from the same university. She is a columnist at Al Rai Arabic daily and writes for a number of local and regional magazines. Mamkegh also produced and presented programmes on Jordan Television and several local radio channels. She taught at the University of Petra’s faculty of arts and sciences and at Isra University’s faculty of arts
H. E. Mr. Sultanbai Raev Minister of Culture and Information of the Kyrgyz Republic. He was appointed the Minister of Culture, Information and Tourism. An appropriate decree was signed by the President of Kyrgyzstan in July.
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
H.E. Mohamed Nazri bin Tan Sri Abdul Aziz He is a Malaysian politician from the United Malays National Organisation (UMNO), and is as of 2008 a Minister in the Prime Minister’s Department in charge of parliamentary affairs. Nazri was originally also the Minister in the Prime Minister’s Department in charge of legal affairs and judicial reform. After the 2008 general election, which saw the ruling Barisan Nasional coalition’s majority in Parliament significantly reduced, the then Prime Minister Tun Abdullah Ahmad Badawi reshuffled his Cabinet and gave Nazri’s legal affairs portfolio to Zaid Ibrahim.
H.E. Bogdan Zdrojewski Bogdan Zdrojewski was born in May 18th, 1957. He is a Polish politician, who was the first president of Wrocław, the historical capital of Silesia after the fall of communism in Poland, and held the seat from 1990 to 2001. Afterwards he was a senator and member of the Polish Sejm. Since November 2007, he has been the Minister of Culture and National Heritage.
Mr. Mathume Joseph Phaahla Member of SASO, BPC, AZASO and the ANC, medical doctor, Secretary of the UDF (KZN), Former Deputy Minister of Rural Development and Land Reform and present Deputy Minister of Arts and Culture in South Africa Phaahla studied for a Bachelor of Medicine and Bachelor of Surgery at the University of Natal. It was at university that Phaahla became a member of the Students Representative Council from 1979 to 1981. The following year in 1980, he served as an Executive Member of the Release Mandela Campaign Committee in KwaZulu-Natal. Phaahla was also a founding member of the Azanian Students’ Organization (AZASO) at its inaugural Conference in Wilgespruit, Johannesburg, in 1981.After completing his studies at the University of Natal, he became a Senior Medical Officer and Superintendant at Mapulaneng Hospital between 1987 and 1990n October 2010 when he was appointed Deputy Minister of Arts and Culture.
H.E. Maria Isabel de Jesus Ximenes Secretary of State for Arts and Culture, Ministry of Tourism, The Democratic Republic of Timor-Leste.
Ms. Elia Ravelomanantsoa Born in Antananarivo. She was on the Committee of the Group of Reflection and Action for the Development of Madagascar. In 1996, she founded Democratic Participation for Economic and Social Redress in Madagascar. In 2004, Ravelomanantsoa was appointed Chair of the Global Congress of Black Women. She is currently president of Femmes entrepreneurs de Madagascar. She is also the vicepresident of the French Carrefour des entrepreneurs.
48
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
HE. Hisham Ali Bin Ali Deputy Minister for Intellectual Property, Yemen Ministry of Culture. Representative of Yemen to Arab Knowledge Consultative Council.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
49
kulturama World Culture Forum
Mr. Marcelo Pedroso Director of International Markets for Embratur, the Brazilian Tourist Board who is motivating everyone to visit Brazil as the venue of Viva World Cup 2014 and Olympics 2016.
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Mr. Sam Tan He is a Singaporean politician and currently the Senior Parliamentary Secretary for the Ministry of Community Development, Youth and Sports and the Ministry of Foreign Affairs. He is the Member of Parliament (MP) for the Radin Mas Single Member Constituency (Radin Mas SMC). Tan started his political career in the 2006 general election season at Tanjong Pagar GRC. There were no opposition candidates for that ward in that election, resulting in a walkover.In 2011, the district within the GRC that he was a member of was carved out as Radin Mas Single Member Constituency (Radin Mas SMC).
H.E. Felipe M. De Leon, Jr. Chairman and Commisioner, National Commission for Culture and Arts of Republic of Philippines. He is a Professor of Art Studies at the University of the Philippines where he teaches humanities, aesthetics, music theory and Philippine art and culture. His experience as a cultural administrator/manager is extensive and widely recognized. He was Commissioner and Head of the Subcommission for the Arts of the National Commission for Culture and the Arts and the Chairman of its National Committee for Music from 2004-07.
Mr. Masanori Aoyagi Chairman of the Board of Directors at the Independent Administrative Institution National Museum of Art, Director-general of The National Museum of Western Art, and Professor Emeritus at The University of Tokyo. Born in Dalian in 1944, Masanori Aoyagi is a scholar of Greek and Roman archeology, holds a PhD in literature and is a member of The Japan Academy. He graduated from the Department of Art History at The University of Tokyo’s Faculty of Letters in 1967, and subsequently studied at the Classical Archeology Department of the University of Rome’s Faculty of Letters from 1969 to 1972. He has written numerous books, including Kotei-tachi no Miyako Roma (Rome, City of Emperors), Torimarukio no Kyoen (The Banquet of Trimalchio) (both published by CHUOKORON-SHINSHA. INC.)
IGO and INGO Mr. Francesco Bandarin (ADG, Culture) Assistant director-general for culture at the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, UNESCO. He is a specialist in architecture and urban planning, having worked in both public and private institutions in the fields of built heritage, cultural heritage conservation, environmental heritage and cultural events, and architectural and urban design in developing countries.
Dr. Chung Utak (Director of APCEIU – Republic of Korea) Dr. Utak Chung is the Assistant Secretary General and Director of Strategic Programs Division Korean National Commission for UNESCO, and is also Director of the Korea UNESCO Institute for Peace and Development (KUI),
Mr. Mikhail Shvydkoy Since 2008, Ambassador Mikhail Shvydkoy has been Special Envoy for International Cultural Cooperation to President Dmitry Medvedev, and from 2008-2008 he was the Minister of Culture of the Russian Federation. Before becoming Minister of Culture, Ambassador Shvydkoy held many prestigious positions, including editor-in-chief of Channel 5 and later Chairman of Russian State Television and Radio Broadcasting Company, Deputy Minister of Culture, and General Manager of the Kultura Publishing Complex. He is also co-chair of the Bilateral Presidential Commission’s Working Group on Education, Culture, Sports and Media (a subcommittee of President Barack Obama and President Medvedev’s US-Russia Bilateral Presidential Commission) and the President of the Russian Academy of Television.
50
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Ms. Alicia Bala (Deputy Secretary General of ASEAN) Positions held prior to her posting to ASEAN Secretariat include Undersecretary for Policy and Plans, Department of Social Welfare and Development; Philippines Representative on Child’s Rights to the ASEAN Commission for the Promotion and the Protection of the Rights of Women and Children; SOCA Focal Points for ASCC Philippines and Chair, Sub Committee on Social Protection Under the Social Development Committee of the National Economic and Development Authority.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
51
kulturama World Culture Forum
Mr. Gael de Guichen
Prof. Dr. Pudentia
ICCROM (International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property),
(Indonesian Association for Oral Tradition)
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Gaël de Guichen is a chemical engineer by training. He joined ICCROM International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property - in Rome in 1969. He spent his career dealing with museum.
Beside as lecturer in Culture Science Faculty (Fakultas Ilmu Budaya), she also is a researcher who has focused on oral tradition development, traditionally and academically. Her position as the director of Indonesian Association for Oral Tradition shows how deep her concern about the tradition.
(ICHCAP- Intangible Cultural Heritage in the Asia Pacific)
Prof. Dr. Hans-Martin Hinz - ICOM (International Council of Museums)
Recently is the Assistant Director-General, International Information and Networking Center for Intangible Cultural Heritage in the Asia Pacific. He is adjunct professor at Chung Ang University and author on safeguarding intangible cultural heritage.
Hinz became a member of the ICOM Executive Council after assuming several positions within the organisation, including Chair of ICOM Europe and Chair of ICOM Germany, as well as his involvement in the Ethics Committee, ICMAH (ICOM International Committee for Museums and Collections of Archaeology and History) and the Working Group on cultural tourism.
Dr. Rana Amirtahmasebi (World Bank (USA) ) Rana graduated from a Master’s program in architecture from Azad University in Tehran and also finished a dual Master’s program in city planning/advanced urbanism studies at MIT.
Mr. Wend Wendland WIPO (World Intellectual Property Organization), Mr. Wend Wendland is the Director of the Traditional Knowledge Division, at the World Intellectual Property Organization (WIPO). He was a founding member of this division at its establishment in late 1997.
Mr. Yang Zhi DG CERiHAP ( Cultural Heritage in the Asia-Pacific Recently is the DirectorGeneral of International Training Center for Intangible Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region under the Auspices of UNESCO CRIHAP
Carolina Castellanos ICOMOS (International Council on Monuments and Sites), She currently serves as World Heritage advisor for ICOMOS International. She has also served as a professor for site management and conservation planning at regional and international courses, including ICCROM’s Sharing Conservation Decisions (2008 edition), Conservation of Built Heritage (2010 edition) and PAT courses (1996 and 1999 editions).
Ms. Sarah Gardner IFACCA (International Federation of Arts Councils and Culture), Sarah has a Masters in Public Policy and a BSc. She served on the board of Object, the Australian Centre for Craft and Design, and of the Forum Cultural Mundial. She has a strong commitment to supporting artists and creativity, social inclusion and democratic policy making, a singular knowledge of international arts policies and a worldwide network of contacts.
Mr. Charles Vallerand IFCCD (International Federation of Coalitions for Cultural Diversity) Recently is the communications director for a non-governmental organization dedicated to the implementation of the International Bill of Human Rights of the United Nations through cooperation programs with civil society organizations in some 15 developing countries
Prof. Dr. Amareswar Galla (Executive Director, International Institute for the Inclusive Museum (Denmark/ India/Australia) His first hand heritage work in multilingual and multicultural societies over the past three decades spans across Vietnam, Cambodia, Bangladesh to more recently Afghanistan as well as postcolonial indigenous and inclusive heritage development in Australia, South Africa, The Netherlands. Editor, World Heritage: Benefits Beyond Borders, Cambridge University Press & UNESCO Publishing, November 2012.
52
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Ms. Ellen Tise IFLA (International Federation of Library Associations and Institutions Ellen Tise is currently the Senior Director, Library and Information Services at the University of Stellenbosch, South Africa. She previously held the position of University Librarian at the University of the Western Cape, Bellville, South Africa. Prior to that, she was Deputy University Librarian (Client Services) at the University of the Witwatersrand, Johannesburg
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
53
kulturama World Culture Forum
Mr. Luluk Sumiarso
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Symposium 2: Civil Society and Cultural Democracy
(Indonesia Heritage Trust) Recently is an expert staff of minister of human resources, Indonesia
Dr. Hans d’Orville (Moderator) Assistant Director-General for Bureau of Strategic Planning (BSP), UNESCO Mr. Goenawan Mohamad, Indonesia Famous Indonesian poet, The founder and main editor in Tempo Magazine, one of the most well-known magazine in Indonesia.
Mrs. Mehri Madarshahi President of MDCA (Melody for Dialogue among Civilisations Association) She was the first president of the UN Staff Union to organize a signature campaign from 14000 UN staff around the world, to bring problems related to safety and security of the staff in the peace-keeping missions to the attention of the Security Council.
Prof. Vladimir Tolstoy, Russia Main cultural adviser to the Russian President,The director of the Yasnaya Polyana Museum Ms. Kigge Hvid, Denmark Artistic and Director and CEO of the leading Biennale INDEX Design to Improve Life which has engaged with design, culture in development across 79 countries Mr. Mark Miller, UK He is the Convenor of Young People’s Programmes a Tate’s London sites.
Symposia
Dr. Jordi Pascual, Spain Coordinator - Agenda 21 for culture, (UCG’s Commitee on culture) Institut de cultura - Ajuntament de Barcelona
Symposium 1: Holistic Approach to Culture in Development
Ms. Yasmin Khan, UK Expert in gender mainstreaming through Intergeneration transformations of the cultural sector, independent curator of Inclusive Museum
Ms. Alissandra Cummins, Barbados (Moderator) NATCOM and Chairperson, UNESCO Executive Board & SIDS High Level Leadership Prof. Rick West, USA President and CEO, The Autry, USA. Founding Director Emeritus National Museum of the American Indian Smithsonian Institution
Prof. Dr. David Throsby, Australia (Moderator) Eminent Economist, Author, UN/UNESCO, Principal Adviser on Cultural Economics
As. Prof. Dr. Bussakorn Binson (Thailland) Associate Professor of Music at Chulalangkorn University’s Faculty of Fine and Applied Arts Bangkok, Thailand.
Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Indonesia (Keynote) Professor in Economics at the University of Indonesia, dedicates most of his lifetime for cooperation in Indonesia.
Mr. Frank J. Hoff President of Atlantis Publications, The under-study of Prof. Dr. Arysio Santos. Ms.Lynne Patchett, UK Chief of Culture, Executive Unit, UNESCO Headquarter Mr. Radhar Panca Dahana, Indonesia Heads of several media companies before he became lecturer in University of Indonesia.
Kultur
Edisi No. 05
l
Symposium 3: Creativity and Cultural Economics
Prof. Jean Couteau, Indonesia Culture Expert, multi-lingual writer and columnist, has lived long in Indonesia. Written more than 15 books in Bahasa, English and French.
Dr. Nanda Wickramasinghe, Srilanka Secretary for Ministry of Heritage, Sri Lanka.
54
Prof. Dr. Karlina Supeli, Indonesia Indonesian philosopher and astronomer. One of Indonesia’s first female astronomers, known to participate in humanitarian activities during Indonesia’s 1998 Reformation.
November 2013
Dr. Hubert Gijzen, Netherlands UNESCO Regional Director and Representative Prof. Dr. James J. Fox, Australia Frequent consultant to Indonesian Government who worked on the first Micro Finance program in Indonesia Dr. Ananya Bhattacharya, India Social entrepreneur working for community education and capacity development using innovative culture based approaches
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
55
kulturama World Culture Forum
Mr. Eros Djarot, Indonesia Wellknown Indonesian songwriter, movie director and politician Mr. Alexander Sysoenko, Russia He was vice-director at ROSIZO Museums and Exhibitions Center. His current position is Director at Russian Museum for Decorative and Applied Art.
BICC (Bali International Convention Center), Hotel Westin, Nusa Dua Bali 25 November 2013
Ms. Hlaing Maw Oo Hock, Myanmar Department of Human Settlement and Housing Development, Author Ms. Rebecca Matthews, (Denmark) Managing Director of the European Capital of Culture Aarhus
Symposium 4 : Culture and Environmental Sustainability Dr. Erna Witoelar, Indonesia (Moderator) Former Indonesian Minister of Human Settlements and Regional Development (1999-2001), Former UN Special Ambassador for MDGs in Asia Pacific (2003-2007) Prof. Dr. Renato Flores, Brazil (Keynote) Professor, EPGE Special Aide to the President Head, Intelligence Unit of the Presidency FGV, Rio de Janeiro, Brazil Prof. Dr. Emil Salim, Indonesia Economist and former Minister for the Environment of Indonesia. Ms. Ngaire Blankenberg, France Planner and urban sustainable development expert with in depth culture experience in several cities of the world. Dr. Anak Agung Gde Agung, Indonesia Former Indonesian Minister of Social Welfare, Culture Expert. Dr. Yusria Abdel Rahman First female conservation director and outstanding youth culture in development expert Prof. Dr. Slikkerveer, The Netherlands University of Leiden, Director Leiden Ethnosystems And Development Programme (LEAD) Dr. Thomas Schaaf, Germany Former Head of Division of Ecological and Earth Sciences, Programme on Man and the Biosphere, UNESCO Mr. Khaliffa Sall, Senegal Mayor of Dakar and President of UCLG Africa
Mr. Ratish Nanda, India Projects Director of the Aga Khan Trust for Culture, New Delhi, India Ms. Sabina Santarossa, Singapore Director of Cultural Exchange (ASEF) Symposia 6: Inter-Faith Dialogue and Community Building Dr. Clarence G. G. Newsome, USA (Moderator) National Underground Railroad Freedom Center, Board of Trustees of Duke Divinity School Prof. Dr. Azyumardi Azra, Indonesia (Keynote) Professor of history at Universitas Islam Negeri (UIN or State Islamic University), Jakarta Dr. Chun Hyun Kyung, USA Korean Christian theologian, Author of “Struggle to be the Sun Again: Introducing Asian Women’s Theology”, South Korea Rabbi Jeremy Jones, Australia Lawyer and Well Known promoter of Interfaith Dialogue Sydney, Australia Prof. Dr. Luh Ketut Suryani, Indonesia A Balinese Psychiatrist, Meditation Teacher, Healer, University Professor, Indonesia Mr. Sharif Istvan Horthy, Hungary Vice Chairman of the Guerrand-Hermes Foundation for Peace, International Think-Tank and Research Centre Mr. Darwis Khudori, Architect and Historian. Associate Professor, University of Le Havre
Symposium 5 : Sustainable Urban Development
56
Kultur
Edisi No. 05
l
Mr. Seiichi Kondo, (Japan)
Dr. Augusto Villalon, The Philippines (Moderator) International Council on Monuments and Sites, Manila, Philippines
Commissioner Agency for Cultural Affairs of Japan
Prof. Minja Yang, Japan (Keynote) Director for the Asia- Pasific Region and of the Information and Documentation Unit, UNESCO
Professor of Tourism Management and Dean of the Faulty of Hospitality and Tourism at the Macau University of Science and Technology
Dr. Mohamad Basyir Ahmad, Indonesia Mayor of Pekalongan, Central Java, Recipient of many awards for exemplary development
Prof. Dr. Wiendu Nuryanti, (Indonesia) Vice Minister Of education and Culture for Cultural Affairs Ministry of Education and Culture o f the Republic of Indonesia.
November 2013
Mr. Michael Hitchcock, (UK)
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
57
kulturfolklore
Kehidupan manusia tak bisa lepas dari keberadaan makanan, karena itu bisa dikatakan bahwa makanan merupakan salah satu penanda peradaban manusia. Manusia dan makanan merupakan dwi tunggal. Tak ada manusia maka tak ada makanan demikian juga sebaliknya.
P
ada awalnya, manusia merupakan pengumpul makanan. Mereka berburu binatang dan mencari umbi-umbian serta buah-buahan yang dapat dimakan. Pengolahan hewan hasil buruan hanya dengan cara dibakar saja. Pada masa ini, pola hidup manusia bisa dibilang hidup untuk makan. Mereka hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dimana sumber makanan lebih mudah ditemui.
Lawar, Makanan & Peradaban TEKS : RUSLAN WIRYADI
58
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
l
FOTO : RUSLAN WIRYADI
Setelah sekian lama menjalani tahapan sebagai pengumpul makanan, manusia mulai menemukan teknik bercocok tanam dan memelihara beberapa jenis hewan yang dapat dijinakkan sehingga mereka dapat memiliki persediaan makanan yang dapat mereka makan kapan saja mereka mau. Tahapan ini merupakan sebuah titik revolusi kehidupan manusia di dunia. Bercocok tanam membuat manusia terikat dengan tempat dan waktu selain juga bisa mengusahakan persediaan makanan untuk keluarga dan kelompoknya dengan lebih terencana dan terukur. Pada masa bercocok tanam inilah, cikal bakal kebudayaan manusia mulai muncul. Karena tidak disibukkan lagi akan keharusan berburu setiap hari demi mendapatkan makanan untuk hari itu, manusia mulai lebih sering
berkumpul bersama dengan anggota keluarga dan kelompoknya. Maka berdasarkan kajian para ahli sejarah, masa bercocok tanam merupakan masa awal lahirnya kebudayaan manusia di beberapa bidang, salah satunya adalah terkait dengan makanan. Seiring dengan berkembangnya tingkat kebudayaan manusia yang lebih tinggi, cara manusia mengolah makananpun lebih bervariasi. Tidak hanya melulu dibakar atau dipanggang melainkan juga digoreng, direbus, diasap dan sebagainya. Maka bisa dikatakan, semakin maju peradaban manusia, semakin beragam pula makanan dan metode pengolahannya. Semakin lama manusia semakin menguasai teknik bercocok tanam dan juga telah mengetahui cara menjinakkan hewan liar untuk dipelihara sebagai hewan ternak. Hal ini semakin menguntungkan manusia, karena manusia bisa mengusahakan persedian makanan. Maka manusiapun memiliki stok makanan yang berlimpah. Hal ini membuat manusia mulai memikirkan teknologi untuk mengawetkan makanan. Maka lahirlah beberapa teknik untuk mengawetkan makanan. Mulai dari yang tahan untuk beberapa hari hingga tahan beberapa minggu. Penggunaan garam maupun asam
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
59
kulturfolklore
Lawar biasanya dibuat ketika ada upacara, baik upacara di pura maupun di rumah. Selain untuk keperluan sembahyang, lawar dibuat untuk konsumsi para kerabat dan tetangga yang membantu pelaksanaan upacara....
cuka untuk mengawetkan makanan merupakan penemuan manusia yang terdorong atas dasar kebutuhan hidupnya. Cita rasa sebuah bangsa akan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Cara memasak dan ketersediaan bahan baku merupakan dua faktor utama yang membuat suatu masakan berbeda antara yang satu dengan lainnya. Selain cita rasa, karakter suatu bangsapun dapat dilacak jejaknya melalui makanannya. Indonesia terdiri dari banyak pulau dan suku bangsa. Ketersediaan bahan baku di masing-masing wilayah berbeda. Hal ini tentu membuat kuliner Indonesia sangat beragam dengan berbagai cita rasa yang khas. Cara memasak antara satu daerah dengan yang lainnya juga berbeda. Ada beberapa daerah yang memiliki masakan yang untuk membuatnya diperlukan waktu yang sangat lama sekali, bisa hingga lebih dari 24 jam karena menggunakan panas api yang sangat minimal, seperti masakan Gudeg dari Jogjakarta atau Betutu dari Bali. Sementara banyak jenis masakan lain hanya memerlukan waktu pengolahan yang singkat, berkisar antara 15 menit hingga setengah jam saja. Berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum,
60
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
baik di Indonesia ataupun di Bali khususnya, urusan memasak merupakan tugas para perempuan: ibu rumah tangga dan anak-anak perempuan dalam keluarga. Kecuali dalam membuat lawar, masakan favorite bagi penduduk Bali, biasanya diracik oleh kaum laki-laki. Lawar biasanya dibuat ketika ada upacara, baik upacara di pura maupun di rumah. Selain untuk keperluan sembahyang, lawar dibuat untuk konsumsi para kerabat dan tetangga yang membantu pelaksanaan upacara, oleh karena itu, untuk satu kali racikan, lawar dibuat cukup untuk konsumsi lebih dari 30 orang hingga 100 orang atau bahkan lebih tergantung dari berapa banyak orang yang terlibat untuk mempersiapkan upacara tersebut. Mungkin oleh karena itu memerlukan banyak tenaga dalam membuat lawar, mulai dari pemotongan hewan (biasanya babi atau bebek atau ayam) hingga menyiapkan beberapa jenis sayur seperti buah nangka muda, daun pakis, buah pepaya muda, parutan kelapa dan beberapa jenis sayur yang umum dipakai dalam masakan lawar,
maka pihak laki-laki dianggap sebagai pihak yang lebih pas untuk tugas membuat lawar. Lawar diberi nama sesuai dengan bahan yang dipakai untuk membuatnya, seperti misalnya lawar yang menggunakan nangka muda maka lawar tersebut dinamakan lawar nangka, lawar yang menggunakan daging bebek, maka lawar tersebut dinamakan lawar bebek dan sebagainya. Mungkin bagi banyak orang, lawar hanyalah salah satu jenis masakan khas asal daerah Bali, namun jika kita ingin menggali lebih jauh dan menghubungkannya dengan karakteristik masyarakat Bali, kita akan mendapati bahwa lawar bukan hanya sekedar makanan an sich, kita bahkan dapat menggali makna filosofisnya lalu mengkaitkannya dengan kehidupan masyarakat Bali. Lawar dibuat pada saat ada upacara keagamaan, karena lawar merupakan salah satu makanan yang diperlukan sebagai bagian dari persembahan dalam upacara di pura pada saat odalan (peringatan hari berdirinya pura tersebut menurut penanggalan Bali). Hal ini
bermakna kehidupan keseharian masyarakat Bali yang tak bisa dipisahkan dengan kegiatan keagamaan. Proses pembuatannya yang tidak bisa dikerjakan sendiri melainkan bersama-sama, menggambarkan kehidupan masyarakat Bali yang bersifat komunal, yang memiliki ketergantungan dan keterikatan satu sama lain dalam kehidupan keseharian. Meski awalnya lawar dibuat untuk keperluan upacara keagamaan, namun saat ini lawar telah menjadi bagian dari kuliner Bali yang bisa kita jumpai di warung kecil maupun di restoran-restoran besar di Bali. Selamat mencicipi kuliner yang cuma ada di Bali ini. l
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
61
kulturkuliner
Ragam-Rupa
Kuliner Bali B TEKS : HERIYUS SAPUTRO
l
FOTO : HERIYUS SAPUTRO
ali itu surga kuliner bagi pelancong, domestik maupun mancanegara, Konon, nyaris tiap minggu ada saja restoran baru dibuka di Bali, baik waralaba maupun yang berdiri sendiri. Tak cuma yang aseli made-in Bali, tapi juga hidangan kuliner dari wilayah budaya lain, bahkan pop-culinary berbagai negeri tetanggga. Berikut ini beberapa kuliner bali yang bahkan jarang ‘terlihat’ mata wisatawan.
Nasi Bali Men Weti
Bali itu surga kuliner bagi pelancong, domestik maupun mancanegara, Konon, nyaris tiap minggu ada saja restoran baru dibuka di Bali, baik waralaba maupun yang berdiri sendiri.
62
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
“Jangan ngaku pernah ke Bali kalo belum pernah mampir ke Nasi Bali Men Weti,” kata seorang teman. Berlokasi di lokasi strategis di Jalan Segara Ayu di tepi Pantai Sindhu, Sanur, warung ini memang selalu ramai pengunjung, sebagai satu indikasi bahwa hidangan di situ enak. Begitu banyaknya pengunjung di warung yang juga populer sebagai Nasi Pantai ini, jangan kecewa bila harus menunggu agak lama untuk bisa dilayani. Nasi Bali adalah ‘nasi campur’ khas Bali. Di warung yang masih menerapkan pola layan tradisional ini, pelayan hanya menyiapkan nasi di wadah-wadah piring, dan pengunjung bisa tunjuk
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
63
kulturkuliner
Nasi Bali adalah ‘nasi campur’ khas Bali. Lauk-pauk yang ditawarkan cukup beragam, semua khas Pulau Dewata. Mulai dari ayam betutu, sate lilit, jukut urap, ikan berbumbu, daun ubi bumbu cabai hingga sambal matah, dan lainnya..... menu yang diinginkannya atau comot sendiri. Lauk-pauk yang ditawarkan cukup beragam, semua khas Pulau Dewata. Mulai dari ayam betutu, sate lilit, jukut urap, ikan berbumbu, daun ubi bumbu cabai hingga sambal matah, dan lainnya. Ada yang bilang, sekali ke Bali, semua rasa ada di warung Men Weti. Cukup menyiapkan Rp 15.000 untuk seporsi Nasi Campur Bali di sini. Jangan khawatir, Nasi Bali Men Wati berlabel resmi: 100 persen halal.
Nasi Jinggo Ini nasih bungkus daun pisang, yang didalamnya diimbuhi lauk berupa irisan telur, suwiran daging ayam atau sapi, plus sambal. Sepintas mirip nasi ulam di Betawi. Seperti nasi kucing di Jawa, porsi nasi jinggo pun terbilang kecil walau relatif mengenyangkan sebagai pengganjal perut di pagi hari. Dijual di banyak tempat dengan harga antara Rp3000 – Rp 7500, tergantung porsi dan isi dalamnya., Penjual biasa menyediakan lauk-pauk tambahan semisal ceker ayam pedas, telur puyuh atau satu usus dan ati-rempelo. Dijajakan berkeliling atau dikios-kios. Nasi jinggo mudah ditemui di pusat kota Denpasar ataupun di keramaian kota lain di Bali. Di kawasan atau Kuta dan Seminyak juga ada. Cuma harganya sedikit lebih mahal. Abis, banyak turis, sih...!
Lawar Hidangan satu ini tak bisa dipisahkan dari masyarakat Hindu Bali. Karena selain menjadi lauk
64
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
pauk, lawar juga merupakan menu makanan khas yang disajikan saat melaksanakan upacara adat maupun keagamaan seperti upacara pernikahan, kematian dan upacara di pura-pura. Daging babi menjadi bahan dasar hidagan ini, meski kini ada juga lawar berbahan daging ayam atau sapi. Hidangan lawar juga berisi sayuran yang dicincang seperti nangka dan kacang panjang, ditambah parutan kelapa. Dijual Rp15.000 hingga Rp20.000 per porsi. Tak sulit menemukan lawar, karena memang masakan khas warga Bali, dijual luas di rumah-rumah makan. Lawar juga biasa dimasak dengan campuran darah hewan, hingga tak disarankan bagi kaum Muslim.
Lawar Kuwir Men Sono - Raya Sangeh Kuwir adalah bebek salam bahasa Bali. Rumah pemilik terletak di bagian belakang plang “Lawar Kuwir Sangeh”. Rumah dengan suasana pedesaan yang kental, dimana proses pengolahan makanan bisa dilihat. Satu porsi lawar kuwir terdiri dari sepiring nasi putih, sate, lawar dan jukut (sayur) ares lengkap dengan daging kuwir
Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku Nasi Ayam Kedewatan, sejenis nasi campur berisi daging ayam yang disajikan bersama telur, lawar, sate lilit dan sambal matah. Semua bumbu dalam nasi ayam kedewatan tidak digiling atau ditumbuk, melainkan dirajang halus di atas talenan
sebelum dimasukkan ke dalam rongga dada ayam yang dipotong tanpa membelahnya. Seperti nasi campur dan lawar, nasi ayam kadewatan dijual luas di Bali. Tapi, konon, paling ramai dikunjungi adalah Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku di Jalan Kedewatan, Ubud. Bagi yang kurang suka pedas, sila pesan tanpa tambahan sambal matah. Harga cukup terjangkau, Rp17.000/ porsi.
Sate Lilit Ikan Tenggiri Pasar Sukawati Ini makanan khas Bali yang harus dicicipi. Ada banyak bahan sate lilit, mulai dari ayam, sapi, ikan tuna bahkan babi. Yang khas dari hidangan hidangan ini, digunakannya pelepah batang kelapa sebagai batangan dan pegangan bahan sate, bukan lidi ataupun tusuk bambu sebagaimana tusuk sate pada umumnya. Temukan Sate Lilit Ikan Pak Nyoman di Pasar Sukawati, Gianyar, yang dipercaya banyak orang sebagai paling OK rasanya. Sate istimewa ini biasa dilengkapi sambal kuah kunyit dan potongan-potongan tipat atau ketupat, atau nasi tela (nasi beras yang dicampur cacahan singkong saat ditanak). Jangan kaget, walau warungnya diembel-embeli kata “Pak Nyoman”, namun sesungguhnya penjualnya adalah Pak Komang, hahaha...!
bumbu rempah Bali yang khas: bawang merah, bawang putih, cabai, kunyit, jahe, lada hitam dan minyak kelapa. Setelah itu, ayam dibungkus dengan daun pisang dan diungkap dalam tungku tradisional, dalam tempo cukup lama hingga dihasilkan aroma dan citarasa yang khas. Tak sukar menemukan ayam betutu, di warung di pinggir jalan ataupun hotel bintang lima. Tapi cobalah mampir ke Rumah Makan Ayam Betutu Men Tempeh di terminal lama Pelabuhan Gilimanuk. Seporsi ayam betutu plus nasi dan sayur cuma Rp28.000 di resto yang eksis sejak tahun 1976 ini.
Tipat Tahu Grenceng Bingung hendak lunch dimana? Jangan panik. Simak saja tepat makan yang ramai pengunjung. Datangi. Pasti hidangan di situ enak. Sebab prinsipnya, ada gula ada semut, hahaha...! Juga bila kebetulan sedang berad di pusat Kota Denpasar. Di Jl Dr Soetomo, ada tempat tempat makan yang selalu rame tiap siang, dengan plang terpampang jelas: “Tipat Tahu Grenceng”. Apa pula ini?
Ayam Betutu Men Tempeh
Pesanan datang berupa sajian ketupan campur tahu hangat, toge segar, dengan siraman bumbu melimpah. Menggiurkan. Aduklah! Mainkan sendok dan garpu untuk mencampur bumbu bersama tipat, tahu, dan sayur toge. Setelah rata, bibir boleh terbuka agak lebar, dan... glek!
Bicara kuliner khas Bali, tak afdol tanpa menyebut Ayam Betutu yang diolah dengan
Apa yang tampak di mata, sama dengan apa yang dirasa lidah. Bumbu kacangnya Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
65
kulturkuliner
Nasi Bali adalah ‘nasi campur’ khas Bali. Lauk-pauk yang ditawarkan cukup beragam, semua khas Pulau Dewata. Mulai dari ayam betutu, sate lilit, jukut urap, ikan berbumbu, daun ubi bumbu cabai hingga sambal matah, dan lainnya.....
“Kalo2 enak bilangin teman ... Kalo jelek salahin pedagangnya...”
Rujak Kuah Pindang. tertumbuk halus, melengkapi hangatnya tahu, segarnya toge, dan tentu...irisan ketupat. Harganya Rp9000/porsi plus segelas teh. Mantaaab...!
Warung Men Agus Di arah menuju Tanah Lot, menghampar kawasan Cangu. Bagi non-muslim, sila mampir di Warung Babi Guling Men Agus. Sebuah warung yang tertata sederhana, namun bersih, dengan pemandangan pesawahan belakang warung . Sejuk mata memandang.. Sepiring nasi babi guling, segelas es jeruk, dan semangkok kecil kulit babi guling dan kuah ares. Porsinya pas, perbandingan antara nasi dan lauknya seimbang, dan minyaknya juga tidak berlebihan. Rasanya? “Yummy...! Dapur pengapian pas, daging dan kulitnya benar-benar empuk.” lapor seorang teman.
Nasi Sela Taluh Kana
Nasi Panggang Rempah Ala Bali Nasi sebagai makanan pokok, bisa diolah menjadi nasi goreng hingga nasi bakar, dan bisa juga dipanggang. Gagasan kuliner ini hadir di kawasan wisata Ubud berupa resto Nasi Panggang Rempah ala Bali. Resepnya cukup unik. Nasi putih sebagai bahan utama, ditambah udang, daging ayam, daging ikan cincang diaduk bersama bumbu lain, dibungkus daun pisang, lalu dipanggang hingga matang. Rp 15.000/bungkus.
BLI COSBY Raja Rujak & Tipat Cantok
Bebek Bengil di Dekat Area GWK
Berlokasi di Jalan Sudirman, depan RESMAN, Denpasar, resto ini lumayan dikerubuti pembeli. Menu yang ditawarkannya lumayan banyak, dan terkesan unik bagi telinga pendatang. Coba simak: Rujak Kuah Ikan, Tipat Cantok, Bulung, Es Campur BBLI COSBY, dan lainnya. Harganya relatif murah, karenanya tak heran pengunjungnya banyak remaja. Tak kalah menarik , pada tiap lembar daftar menu terdapat kata-kata dalam bahasa Inggris, Perancis, Jepang, dan tentu saja: Indonesia serta bahasa Bali. Coba dengar:
Bebek Bengil, salah satu resto asal Bali, buka cabang di Plaza Amata, tak jauh dari areal wisata
“Yen jaan orain timpale ..... Yen jelek orain dagange ...”
Jika kebetulan lewat wilayah Mengwi, Kabupaten Badung, tak ada salahnya mencoba menu Nasi Sela Taluh Kana ala Men Unyil. Apa itu? Warung sederhana Men Unyil ada di area pasar Mengwi. Warung ini buka mulai pukul 4 sore sampai 10 malam.Menu khas di warung ini adalah nasi campur taluh kana. Harganya pun cukup murah, yakni hanya Rp 8 ribu sepiring
66
Garuda Wisnu Kencana (GWK) di kawasan Ungasan, dan jalan raya menuju Uluwatu. Sejak didirikan Anak Agung Raka Sueni tahun 1990 oleh Anak Agung Raka Sueni, Bebek Bengil kian banyak cabang dan populer sebagai tempat makan, tak Cuma di Bali.
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Semua tahu, rujak adalah sebentuk hidangan berbahan irisan ragam buah segar, yang lalu dicampur bumbu. Lalu apa hubungannya dengan kuah pindang, yang berkonotasi ikan? Begitulah kearifan tradisional Bali menghasilkan kulinernya satu ini. Kuliner populis yang memang rada unik. Bayangkan, segarnya buah-buahan dipadu citarasa asin kuah ikan. Itulah Rujak Kuah Pindang, cemilan khas masyarakat Denpasar. Bahannya buah kedondong, bengkuang, timun, dan buah-buah mentah lain. Kaldu ikan dicampur cabai dan terasi, bisa ditambah gula merah bila merasa keasinan. Yang pasti, percampuran segenap bumbu menjadikan kolaborasi rasa unik antara manis, renyah buah, asin, asam, dan kecut. Ingin coba? Kuliner rujak khas Bali ini banyak dijual di kawasan Badung maupun Denpasar. Antara lain ada di Jalan Bukit Tunggal, di kawasan Jimbaran.
Laklak. Serabi atau surabi, merupakan camilan umum di Indonesia. Juga di Bali yang menyebut kue berbahan tepung beras ini sebagai laklak. Bercita rasa asin, adonan laklak dimasak dengan
dengan menuangkannya ke mangkuk-mangkuk gerabah tanah liat, ditutup sejenak hingga matang, diangkat dan ditaburi parutan kelapa, dinikmati dengan salutan gula cair. Laklak merupakan kue khas Kabupaten Tabanan, di barat Bali. Namun, kue ini kini bisa ditemukan hampir di seluruh Bali. Di Tabanan, sila mencarinya di Pasar Tabanan. Sila nikmati sembari minum kopi.
Sudang Lepet. Sudang lepet adalah sejenis ikan rawa atau sungai di Bali. Ikan kecil bertubuh pipih, mirip beunteur di Jawa ataupun saluang di Sumatera. Biasa dijadikan ikan kering dengan citarasa asin. Ini merupakan produk khas Kabupaten Buleleng di utara Bali. Biasa digoreng garing, dibumbui jeruk nipis dan cabai, dinikmati bersama nasi panas kepul-kepul, jukut (sayur) undis dan plecing kakung, plus sambal matah. Memang, agak jarang tempat makan menghidangkan menu ini. Tapi bila melintas jalan raya Buleleng, sila mampir di Rumah Makan Pondok Asri. Atau masuk ke Pasar Buleleng, beli sudang lepet mentah dalam kemasan plastik, buat oleh-oleh pulang ke rumah. Cukup digoreng, dan nikmati renyahnya. Kriyuuuk...! Kriyuuk...! l
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
67
kulturwisata
Wisata
Curik Bali TEKS : HERIYUS SAPUTRO
l
FOTO : HERIYUS SAPUTRO
A
pa yang tersisa untuk diceritakan dari pariwisata Bali? Boleh dibilang, nyaris tiap jengkal tanah, tiap pernik dan bentuk kehidupan di Pulau Dewata itu, telah sejak lama diberdayakan masyarakat sebagai elemen pariwisata. Dan semua orang tahu. Bahkan dari waktu ke waktu, idiomidiom baru lahir dan hadir memperlengkap keanekaragaman pesona wisata Bali. Tapi barangkali, ada satu potensi wisata khas Bali yang diminati wistawan dunia, tapi di Bali
sendiri potensi itu sedang dalam kondisi kritis, bahkan dikhawatirkan hilang bila tak segera dicari cara menyelamatkannya. Pesona yang banyak mendapat decak kagum dunia itu tak lain adalah: Curik Bali. Curik adalah sebutan orang Bali untuk jalak, burung pengicau dari suku Sturnidae. Ada banyak jenis curik atau jalak, semisal: jalak suren, jalak kerbau dan sebagainya. Namun, Bali punya satu jenis curik yang tak ditemukan di kawasan lain di dunia. Bahkan habitan jenis Bali-asli satu ini hanya ditemukan di kawasan hutan di barat Bali yang kini menjadi Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Karenanya dunia internasional pun menyebutnya Curik Bali (Leucopsar rothschildi) Nama ilmiah tersebut didasarkan nama Walter Rothschild, pakar hewan berkebangsaan Inggris, sekaligus merupakan orang pertama yang mengungkap keberadaan satu-satunya species asli Bali ini ke dunia ilmu pengetahuan. Keberadaan Curik Bali teridentifikasi pertama kali di tahun 1910, saat Rothschildi meneliti satwa liar di kawasan hutan yang kini menjadi TNBB. Dua tahun kemudian, hasil penelitiannya diekspos di dunia internasional, tentang burung berukuran panjang lebih kurang 25cm, dengan ciri-ciri khusus: memiliki bulu putih di sekujur tubuh kecuali pada ujung ekor dan sayap yang berwarna hitam. Bagian pipi yang tak ditumbuhi bulu berwarna biru cerah, dengan kaki berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa. Penyebarannya terbatas hanya di kawasan TNBB yang dipeta yanya berupa ‘buntut’ di barat Pulau Bali. Tahun 1991, hewan endemik yang dilindungi undang-undang ini dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Penampilannya yang indah dan elok, menjadikan Curik Bali salah satu burung paling diminati para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah penyebaran yang sangat terbatas menyebabkan populasinya menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Di tahun 2005 misalnya, amat susah kita menemukan Curik Bali, bahkan di TNBB sekali pun. Diperkirakan saat itu Curik Bali hanya tinggal 5 ekor saja. Status kritis ini tetap tercantum dalam IUCN Red List dan dalam CITES Appendix I.
68
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
Untuk mencegah kepunahan, sebagian besar kebun binatang di dunia menjalankan program penangkaran curik Bali dari indukan yang ada di berbagai kandang. Di Indonesia misalnya, berdiri Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) yang berpusat di Bogor. Dimotori antara lain oleh Taman Safari Indonesia (TSI), TSI Prigen di Pasuruan – Jawa Timur, dan Bali Safari Marine Park di Bali..... induk Curik Bali siap kawin kepada 12 calon penangkar, yang setelah 2 tahun bisa digilir pinjamkan ke penangkar lain di desa lain. Pendampingan APCB tak hanya soal teknis penangkaran yang baik dan benar, juga menyangkut soal pengurusan surat/dokumen terkait mutasi burung dari TSI Bogor ke Sumberklampok. Tiap burung hasil penangkaran nantinya akan diregistrasi serta penning di kakinya. Ada perjanjian tertulis kepada penangkar untuk menyumbangkan sebagian hasil tangkaran, untuk dilepaskan di TNBB, menambah populasi yang ada.
70
Kultur
Edisi No. 05
l
Untuk mencegah kepunahan, sebagian besar kebun binatang di dunia menjalankan program penangkaran curik Bali dari indukan yang ada di berbagai kandang. Di Indonesia misalnya, berdiri Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) yang berpusat di Bogor. Dimotori antara lain oleh Taman Safari Indonesia (TSI) meliputi TSI Cisarua Bogor di Jawa Barat, TSI Prigen di Pasuruan – Jawa Timur, dan Bali Safari Marine Park di Bali, penangkaran yang dilakukan APCB merupakan yang paling berhasil di dunia. Sejak tahun 2007, sudah lebih dari seratus ekor Curik Bali hasil penangkaran yang dilepas ke habitat aslinya, menjdikan wisatawan mudah meneropongnya lagi di langit TNBB.
dilakukan penangkaran secara perorangan. Pihak Taman Safari misalnya, kini juga terus menggandeng para calon penangkar, semisal di Desa Sumberklampok di Kabupaten Buleleng. Berdasar surat permohonan peminjaman indukan Curik Bali dari kelompok kepada APCB, calon penangkar diberi arahan, bagaimana membuat sangkar penangkaran yang baik dan memenuhi syarat, termasuk faktor pencahayaan dan sirkulasi udara yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup Curik Bali di kandang penangkaran.
Curik Bali merupakan hewan dengan nilai konservasi tinggi. Meski begitu, dengan seijin Menteri Kehutanan, Curik Bali tetap bisa
APCB sebagai pendukung utama program penangkaran Jalak Bali Berbasis masyarakat juga meminjamkan 30 pasang
November 2013
Tertarik berwisata Curik Bali di Bali? Sila datang ke Bali Safari Marine Park atau ke desa-desa penangkaran. Atau lihat sendiri di habitan aslinya di TNBB. Terletak di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, TNBB berdiri bersadarkan SK Menteri Kehutanan No.493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September 1995, dengan luas kawasan 19.002,89 Ha, terdiri dari 15.587,89 Ha berupa wilayah daratan dan 3.415 Ha berupa perairan TNBB dikelola dengan sistem zonasi, sesuai SK Direktur Jenderal PHKA No.SK.143/IVKK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman Nasional Bali Barat, antara lain: Zona Inti seluas ± 8.023,22 Ha, Zona Rimba ± 6.174,756
Ha, Zona perlindungan Bahari ± 221,741 Ha, Zona Pemanfaatan ± 4.294,43 Ha, Zona Budaya, Religi dan Sejarah seluas ± 50,570 Ha, Zona Khusus ± 3,967 Ha dan Zona Tradisional seluas ± 310,943 Ha. TNBB dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan, penelitian, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Ssst...! Tak Cuma mengintai Curik Bali, di kawasan itu wisatawan juga bisa memotret ragam hewan liar, khususnya kawanan menjangan yang biasa turun minum ke rawa payau di pinggir pantai. Tapi hati-hati, ada banyak babi hutan sering memintas jalan! Oya, TNBB juga termasuk kawasan Pulau Menjangan yang memiliki pesona bawah laut. Bagi Anda yang punya sertifikat selam, bisa menyewa perlenggapan selam, atau pelampung dan kacamata selam buat snorkeling. Gunakan jasa buddy dan guide resmi, dan lengkapi kehadiran Anda dengan simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi Indonesia) di pos PHPA setempat. Selamat berwisata! l Taman Nasional Bali Barat Alamat: Jl. Raya Cekik – Gilimanuk – Jembrana 82253 Ph. +62365 61060 Fax. +62365 61479
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
71
kulturvox
Menularkan Wabah
Musikalisasi Puisi
Di Kalangan Muda Bali Pertumbuhan musikalisasi puisi di Bali sungguh menggembirakan. Seni pertunjukan puisi-musik ini begitu popular dan amat digandrungi kalangan muda, terutama pelajar dan remaja....
TEKS : NURYANA ASMAUDI
FOTO : Istimewa
M l
usikalisasi puisi bisa dijumpai setiap saat di berbagai acara seni dan non seni. Di mana saja dan kapan saja ada musikalisasi puisi. Untuk lomba saja, dalam tempo setahun bisa berkali-kali diadakan adu kreativitas seni yang menggabungkan puisi dan musik tersebut. Di luar acara lomba, hampir bisa dipastikan di setiap acara seni semisal lomba baca puisi, pentas teater, (bahkan pembukaan pameran seni rupa pun kadang) diisi pentas hiburan musikalisasi puisi. Bahkan dalam suatu acara seni, semisal Malam Apresiasi Seni (MAS) yang setiap tahun diadakan oleh Teater Angin SMAN 1 Denpasar, misalnya, bisa kadang lebih dari 6 kelompok musikalisasi puisi yang tampil. Demikian juga pada event parade seni lainnya. Musikalisasi puisi di Bali telah menjadi trend yang mewabah namun sangat menghangatkan dinamika kreatifitas seni di Bali. Pada tahun 2013 ini saja sudah
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
puluhan kali ada pentas musikalisasi puisi di berbagai tempat dan kesempatan, termasuk yang digelar dalam lomba. Lomba musikalisasi puisi terbesar pada tahun ini adalah yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali, Selasa 30 Juli 2013, diikuti oleh 32 kelompok musikalisasi puisi dari berbagai kota di Bali. Untuk ukuran sebuah lomba musikalisasi puisi, jumlah tersebut terhitung sangat banyak, jauh lebih banyak dari lomba sejenis selama ini. Menurut mantan Kepala Balai Bahasa
Denpasar, ketua panitia lomba tersebut, Drs. IB. Darmasuta, lomba musikalisasi puisi 2013 tersebut merupakan lomba dengan peserta terbanyak yang pernah terjadi di Bali, bahkan mungkin di Indonesia. Setelah itu, pada bulan Agustus juga ada lomba musikalisasi puisi untuk pelajar SMA/ SMK se-Bali pada acara tahunan Lautan yang diadakan leh Teater Angin SMAN 1 Denpasar.
Kamudian pada akhir September 2013 ada lagi lomba musikalisasi puisi tingkat SLTA se-Bali yang diadakan oleh Teater Biner STKOM Denpasar. Lagi, pada 15 – 17 November 2013 digelar lomba musikalisasi tingkat umum se-Bali pada acara “Barcreation 2013” yang dihelat oleh Teater Sadewa Denpasar, diikuti oleh 7 kelompok musikalisasi puisi. Belum lagi lomba tingkat lokal dan event non lomba yang diadakan di luar Denpasar, semisal yang diadakan oleh Komunitas Mahima Singaraja yang juga mengadakan lomba dan pentas parade musikalisasi. Komunitas Kertas Budaya Jembrana, baru-baru ini juga mengadakan lomba musikalisasi puisi untuk tingkat lokal di Jembrana serta mengadakan workshop musikalisasi puisi di beberapa sekolah di Bali Barat.
Kritik
Dari segi jumlah, peserta lomba maupun peminat dan penekun musikalisasi puisi di Bali boleh dibilang
“Dalam setiap lomba musikalisasi puisi yang pesertanya banyak, selalu ada beberapa kelompok yang bagus dan menjanjikan. Sayangnya, banyak juga yang tidak konsisten dalam menggarap dan menyajikan hasil kreasinya.... sangat membludak. Namun, apakah hasil olah kreasi musikalisasi puisi yang selama ini disuguhkan kalangan muda, para pelajar serta reamaja di Bali, kualitasnya juga membanggakan? Menurut tokoh musikalisasi puisi di Bali, Tan Lioe Ie, yang sering diminta menjadi juri lomba musikalisasi puisi, perkembangan musikalisasi puisi kalangan muda di Bali cukup menggembirakan. “Dalam setiap lomba musikalisasi puisi yang pesertanya banyak, selalu ada beberapa kelompok yang bagus dan menjanjikan. Sayangnya, banyak juga yang tidak konsisten dalam menggarap dan menyajikan hasil kreasinya. Bahkan ada saatnya garapan musikalisasi puisi mereka jatuh jadi lemah sekali baik dari sisi musik maupun
tafsir puisinya,” ujar Tan Lioe Ie. Namun, menurut seniman yang akrab dipangil Yoki ini, ada yang tak elok dan kerap jadi kelemahan penekun musikalisasi di kalangan remaja di Bali. Bahwa mereka sering menjadikan pemenang lomba sebagai contoh atau model untuk ditiru pada lomba berikutnya. “Kesan meniru gaya pemenang lomba musikalisasi puisi sering terlihat pada lomba pada masa berikutnya. Padahal aransemen lagu tergantung dari puisi itu sendiri. Puisi satu dengan puisi yang lain tentu beda dalam pendekatan aransemennya, mengikuti nafas atau isi puisi,” paparnya. Meski begitu, Tan Lioe Ie juga menilai posotif terhadap upaya Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
73
kulturvox kelompok musikalisasi puisi di Bali, misalnya ada yang melakukan terobosan dengan keroncong puisi atau aliran musik yang lain. “Upaya seperti itu perlu diapresiasi, walau puisi dan aransemennya belum pas, namun skil bermusik dan vocal beberapa sudah bagus. Tapi problem utamanya adalah keselarasan puisi dan musik kadang tercapai kadang tidak. Jadi masih spikulatif ” tutur Tan. Karenanya, menurut Tan, sebelum menggarap musik puisi, perlu dipahami betul puisinya dengan dibaca berulangulang, juga didiskusikan dengan orang yang paham, apakah aransemennya sudah Maraknya kegiatan musikalisasi puisi di selaras atau belum dengan isi puisi, Bali tak bisa dilepaskan dari peran Tan dan jangan takut Lioe Ie. Pada akhir tahun 1990-an Tan bereksplorasi dengan sering tampil membawakan musikalisasi bentuk yang tak puisi dari puisi karyanya sendiri.... umum.
Tokoh Penggerak Maraknya kegiatan musikalisasi puisi di Bali tak bisa dilepaskan dari peran Tan Lioe Ie. Pada akhir tahun 1990-an Tan sering tampil membawakan musikalisasi puisi dari puisi karyanya sendiri dan puisinya Umbu Landu Paranggi. Bahkan tahun 2000 dia meluncurkan kaset musikalisasi puisi bertajuk “Kuda Putih”, dan ditampilkan di beberapa kota di Indonesia. Kemudian, tahun lalu, Tan kembali meluncurkan karya sejenis yang disebutnya sebagai “puisi musik” (tak lagi memakai istilah musikalisasi puisi) dengan warna musik yang berbeda, yakni musik rock bertajuk “Exorcism”, dalam bentuk kaset VCD. Setelah itu Tan juga menggarap-hadirkan lagi “Kuda Putih” dalam bentuk rekaman VCD bersama kelompoknya yang diberi nama Bali Puisi Musik yang sempat pentas di beberapa kota di Indonesia termasuk
74
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
di Hotel Sahid Jakarta pada 29 Oktober serangkaian acara Bulan Bahasa 2013. Diakui atau tidak, sejak Tan Lioe Ie kerap menampilkan musikalisasi puisi di Bali, apalagi setelah ia meluncurkan album musikalisasi puisi “Kuda Putih” pada tahun 2000, seni musikalisasi puisi jadi semakin disukai kalangan muda. Sejak itu juga mulai sering diadakan lomba musikalisasi puisi oleh lembaga pemerintahan, kampus, sekolah maupun komunitas seni. Lomba dalam sekala besar dan spektakuler yang selalu diingat oleh para pecinta musikalisasi puisi di Bali adalah yang digelar oleh Bali Post pada tahun 2003, di Taman Budaya Denpasar. Lomba musikalisasi puisi tingkat umum se-Bali tersebut diikuti 25 kelompok peserta dari berbagai daerah di Bali, berlangsung selama 3 hari, dua hari untuk babak
penyisihan dan sehari untuk final yang memperbutkan posisi Juara I, II, III dan Harapan I, II, III, dengan hadiah cukup mengiurkan saat itu. Tiga tahun berikutnya, pada tahun 2006, Balai Bahasa Denpasar, bekerja sama dengan Bali TV menggelar lomba musikalisasi puisi berskala besar, di Aula Bali TV Denpasar. Mengejutkan, juara I lomba tingkat umum se-Bali tersebut adalah kelompok pelajar SMP, yakni Teater Jepun SMP Negeri 3 Denpasar. Sejak awal tahun 2000, Balai Bahasa Denpasar (kini Balai Bahasa Provinsi Bali) memang getol mengadakan lomba sastra, termasuk musikalisasi puisi. Lomba musikalisasi Balai Bahasa Denpasar yang diadakan serangkaian Olimpiade/Pesta Sastra Balai Bahasa, tersebut malah jadi patokan kalangan muda karena bisa dipastikan digelar setiap tahun pada seputar bulan Juli-Agustus. Lomba tersebut tidak memungut biaya pendaftaran, juga hadiahnya cukup menggiurkan, sehingga diminati banyak peserta. Selain itu, pemenang pertama lomba ini akan dikirim ke lomba tingkat Nasional yang
diadakan oleh Balai Bahasa Pusat. Kelompok musikalisasi puisi yang kerap menjuarai Lomba Musikalisasi Puisi Balai Bahasa Bali adalah Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph Denpasar. Kelompok ini setidaknya sudah tiga kali menjuarai lomba musikalisasi puisi Balai Bahasa Denpasar sehingga melenggang ke Jakarta mewakili Bali di lomba tingkat nasional. Teater La-Jose juga selalu merebut juara setiap lomba musikalisasi puisi di tempat lainnya. Juara Lomba Musikalisasi Puisi Balai Bahasa Bali 2013, yakni Teater Sekali Pentas pimpinan Heri Windi Anggara, adalah para alumnus Teater La-Jose yang tempo hari selalu juara. Karena ini kelompok umum, maka yang ditunjuk menjadi duta di tingkat Nasional adalah juara II, yakni Sanggar Galang Kangin SMAN 2 Amlapura, Karangasem, yang dikirim ke Makassar dan akhirnya menjadi Juara I Kompetisi Musikalisasi Nasional untuk wilayah Timur Indonesia. Kelompok seni yang getol dan kerap menjadi jawara lomba musikalisasi puisi di Bali adalah Teater LAH. Kelompok ini sebagian besar personilnya juga alumnus Teater La-Jose, sebab pendiri dan pelatihnya adalah Dadi Reza Pujiadi, mantan pelatih Teater La-Jose. Selain itu ada banyak lagi teater sekolah yang sesekali menang lomba musikalisasi puisi, di antaranya Teater Antariksa SMAN 7 Denpasar, Teater Wong Kutus SMAN 8 Denpasar, Teater Tiga SMAN 3 Denpasar, Teater Limas SMAN 5 Denpasar, Teater Kirana SMAN 6 Denpasar, Teater Blabar SMAN 4 Denpasar. Teater Angin SMAN 1 Denpasar yang pada awal tahun 2000-an sering jadi jawara, belakang prestasinya menurun drastis, nyaris tak pernah lagi menjuarai lomba musikalisasi puisi. Teater Bisma SMAN 1 Kuta Selatan, Teras SMAN 1 Kuta, Teater Prapat SMAN 2 Kuta, dan Teater Ombak SMAN 1 Kuta Utara, kadang juga
nyelonong jadi juara lomba musikalisasi puisi skala kecil. Komunitas Mahima Singaraja asuhan Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Oleh, juga sering menggelar lomba dan ikut lomba musikalisasi puisi. Di Singaraja juga banyak kelompok remaja yang suka bermusikalisasi puisi, di antaranya
Di Jembrana, selain ada Komunitas Kertas Budaya asuhan Nanoq dan Kansas, juga ada juga ada Teater Selagracia SMAN 1 Negara dan Teater Tanpa Nama SMAN 2 Negara, yang sesekali ikut lomba musikisasi puisi. Di Karangasem ada Sanggar Galang Kangin SMAN 2 Amlapura, di Tabanan ada Teater Jineng SMAN 1 Tabanan yang kerap ikut lomba musikalisasi puisi.
Melawan Arus Budaya Pop
.... sebelum menggarap musik puisi, perlu dipahami betul puisinya dengan dibaca berulang-ulang, apakah aransemennya sudah selaras atau belum, dan jangan takut bereksplorasi dengan bentuk yang tak umum....
Komunitas Cemara Angin, Komunitas Puntung Rokoh, Komunitas Ampas Kopi, Teater Seribu Jendela Undiksha, Teater Ilalang SMA Lab. Undiksha Singaraja, Teater Galang Kangin SMAN 4 Singajara, Teater Kontras SMAN 1 Singaraja, dan kelompok lainnya.
Belum diketahui secara pasti motivasi generasi muda Bali menggandrungi seni musikalisasi puisi. Menurut Dadi Reza Pujiadi, seorang pelatih musikalisasi puisi di sekolah-sekolah kota Denpasar, menilai musikalisasi puisi bisa dipandang sebagai pelarian batin dari budaya pop yang hanya mementingkan hiburan mata dan telinga. Sisi baik lainnya lagi, kata Dadi, musikalisasi puisi berangkat dari sastra menjadi jenis musik yang punya wibawa. Sehingga membutuhkan perjuangan keras untuk membuatnya. “Mengaransemen musikalisasi puisi sebenarnya tidak mudah, karena harus menyesuaikan dengan isi puisi, roh dan jiwa puisi, tidak asal bermusik” tutur Dadi. Musikalisasi puisi memang kian marak dan digandrungi kalangan pelajar dan remaja di Bali. Meski dari sisi kualitas masih perlu diasah lebih meningkat lagi, agar tak jalan di tempat. Di sisi lain, trend musikalisasi puisi bisa menjadi modal bagi pertumbuhan asah kreativitas, serta pengembangan bakat remaja/pelajar dalam dunia seni: puisi dan musik. Serta menjadi hiburan remaja yang berjiwa kreatif. l
Nuryana Asmaudi, penyair, wartawan dan pemerhati seni.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
75
kultur rupa
Gaya Hidup & Ruang Sosial
Perupa Ekspatriat TEKS : HELMI HASKA
l
Tahun 1990-an begitu banyak bar, café atau warung kopi bertebaran di Ubud, menjadi tempat kongkow para seniman. Kini Ubud berubah rupa. Café dan Warung kopi yang menjadi usaha keluarga hilang dari jalan raya. Digantikan mini market waralaba yang marak bermunculan. Studio atau kediaman para pelukis kian terpencil di pinggiran.......
FOTO : HELMI HASKA
Samarpan Elwin
Jenny Ashby (Australia)
B
ERUNTUNG saya mengenal para perupa mancanegara yang bermukim di Ubud atau disebut perupa ekspatriat, pada even Bali Art Fair 2013, September yang lalu. Sebagai fair director sebuah art fair yang merupakan gebrakan program perdana dari Bali Art Society (BAS), saya harus berhubungan dengan para perupa dari Bali dan perupa ekspatriat. Sebagian besar perupa mempunyai jam terbang tinggi, telah malang melintang di jagad seni rupa, sangat mendukung even yang diselenggarakan dengan ngayah atau gotong royong ini. Di samping perupa nasional seperti Nyoman Erawan, Made Wianta, Mangu Putra dan Chusin Setiadikara, terlibat juga perupa ekspatriat seperti Peter Dittmar, Samarphan Elwin dari Jerman, Mondo (Itali), Stephan Spicher (Swiss), Jenny Ashby (Australia) dan lain sebagainya. Peter Dittmar, telah tigapuluh tahun bermukim di Indonesia, sempat mengampu seni rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), seorang perupa mumpuni yang santun. Pada tahun 1990-an, sosoknya tidak bisa dipisahkan dengan
76
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
pipa cangklong dan seulas senyum yang hangat, acapkali terlihat di Jazz Café mendengarkan lantunan gitar Balawan dan tak canggung turun untuk berdansa. Jazz Café, menjadi salah satu tempat kongkow-kongkow seniman. Ketika malam kian merangkak, kita akan mendengar para seniman bercengkrama sambil meneguk bir. Pelukis Jasson Monet, asal Australia yang telah marhum, sosok sepuh bermisai, mewarnai café yang terletak di Tebesaya itu. Inilah tempat Jasson rileks malam hari, setelah seharian, mulai pukul 9 pagi hingga pukul 5 petang, melukis atau mengerjakan patung di studionya di Puri Anyar, ditemani siaran berita saluran radio dari negeri kangguru. Tahun 1990-an begitu banyak bar, café atau warung kopi bertebaran di Ubud, menjadi tempat kongkow para seniman. Kini Ubud berubah rupa. Café dan Warung kopi yang menjadi usaha keluarga hilang dari jalan raya. Digantikan mini market waralaba yang marak bermunculan. Studio atau kediaman para pelukis kian terpencil di pinggiran. Mini market, toko cinderamata dan spa tumbuh menjamur. Sulit menemukan lingkaran pergaulan seniman di warung atau café. Lama tak berjumpa, saya menanyakan keseharian seorang Peter Dittmar.Di studionya yang asri dengan pemandangan lembah Sungai Ayung, Peter Dittmar yang sepuh memilih bekerja dalam suasana meditatif. Ia kini dengan khusuk melakoni Zen Budhisme, yang direpresentasikan dalam lukisan-lukisan abstraknya. Secara fisik Ubud memang berubah. Seorang pegrafis dari Australia, Jenny Ashby,
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
77
kultur rupa
Peter Dittmar, telah tigapuluh tahun bermukim di Indonesia, sempat mengampu seni rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), seorang perupa mumpuni yang santun. Pada tahun 1990-an, sosoknya tidak bisa dipisahkan dengan pipa cangklong dan seulas senyum yang hangat, acapkali terlihat di Jazz Café mendengarkan lantunan gitar Balawan dan tak canggung turun untuk berdansa
ditamsilkan bagaikan kebun binatang, semuanya ada, anything goes. “Hampir tiap hari saya melihat Ubud berubah. Toko-toko dibangun silih berganti. Vila-vila muncul di tengah lahan persawahan. Pohon-pohon ditebang. Acapkali saya pergi ke pasar Ubud untuk membuat gambar dan sketsa sambil mendengarkan cerita para pedagang. Dalam sepuluh tahun terakhir ini Ubud memang berubah. Saya tak pernah membayangkan seperti ini,” kata perupa yang sempat mengenyam pendidikan tingkt master di Charles Sturt University, Wagga Wagga NSW. Sedari awal ketika melancong ke Bali sepuluh tahun yang lalu, ia ingin hidup dan berkarya di Ubud. Setelah jenuh menjadi dosen di kampus almamaternya, ia memutuskan menjadi seniman independen. Menurut Jenny, untuk menjadi seniman di Australia suatu hal yang muskil. Biaya hidup yang tinggi dan peralatan seni yang mahal menjadi kendala utama. “Tak mungkin hidup sebagai seniman independen di Australia hanya dengan mengandalkan penjualan dari karya seni,” kata perupa berambut gimbal, yang sempat bekerja sebagai joki kuda pacuan di Sydney. Makanya, ia memutuskan hijrah ke Ubud.
Peter Dittmar menggambarkan suasana Ubud kekinian dalam karya cukil kayu yang menggelitik pada pameran Bali Art Fair. Perempuan perupa itu mencerap kehidupan sehari-hari di Ubud: para ibu-ibu yang berjualan di pasar tradisional pada pagi hari, bus-bus besar yang mengangkut wisatawan, para turis yang mondar-mandir menyandang kamera, anak-anak bermain
78
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
layang-layang, vila, ruko dan pembangunan property menjamur menggantikan lahan persawahan, mini market ada di setiap sudut jalan, orang-orang bermeditasi dan yoga. Karya grafis yang dicetak di atas kertas gigantik itu bertitel “Welcome to ZooUbud”. Ya, perupa perempuan ini merekam perubahan di Ubud, yang
Selain melukis dan membuat karya seni cetak grafis, Jenny juga mendirikan Print Link, sebuah institusi nirlaba yang mengembangkan seni cetak grafis. Seni cetak grafis belum popular dalam kalangan seni rupa di Bali. Untuk mengenalkan seni cetak grafis, Jenny membuat workshop di Bentara Budaya Bali, yang diikuti ratusan siswa dan mahasiswa. Ia
juga kerap mengunjungi studio para perupa untuk mendorong mereka berkarya seni cetak grafis. Sebagian besar anak muda tertarik membuat seni cetak grafis, namun selalu terbentur kendala teknis, karena tidak adanya mesin cetak. Jenny memperkenalkan cara membuat seni cetak grafis di studionya secara sederhana, seperti teknik monotype dan wood cut (cukil kayu). Begitu plat hardboard selesai digambar dan dipahat langsung dicetak di atas kertas dengan cara diinjak dengan kaki. Proses mencetak dengan kaki ini diiringi dengan musik, seperti sedang berdansa. Berkunjung ke studio perupa adalah salah satu cara Jenny bersosialisasi. Atau mengikuti program life drawing, menggambar model, yang diselenggarakan Pranoto Gallery dua kali sepekan. Sejak pertengahan 1990-an Pranoto menyelenggarakan kelas menggambar model. Yang menjadi model perempuan atau laki-laki Bali yang berbusana tradisi. Namun kerap juga menggunakan model expatriate atau wisatawan yang melancong di Ubud dalam jangka waktu lama. Setiap partisipan dikenakan tarif Rp. 20.000,-. Biasanya kelas diikuti sekitar duapuluh pelukis. Setiap model berpose sedari pukul 10.00 hingga pukul 14.00, dengan jeda limabelas menit setiap berganti pose. Model mendapat imbalan Rp. 250.000. Akhir-akhir ini kelas menggambar menggunakan model dari Rusia. “Model dari Rusia itu tidak mengerti cara berpose untuk kelas life drawing,” ujar Jenny. Ya, sebagian besar berpose seperti model di majalah fashion, sedangkan perupa seperti Jenny menginginkan pose yang wajar. Namun setiap penampilan model asal Rusia nan seksi mendapat
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
79
kultur rupa UBUD sampai saat ini tetap melekat berjuluk Desa Seni, menjadi magnet bagi perupa dari beberapa kota di Tanah Air dan mancanegara untuk bermukim dan berkarya. Sejak tarikh 1930-an, Ubud tempat bermukim para seniman mancanegara, seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Ari Smit, yang memberikan kontribusi bagi perkembangan seni rupa Bali. sambutan antusias bagi pelukis lokal. “Mungkin karena sensualitas tubuh mereka yang menarik perhatian,” sergah Jenny sambil terkekeh. Bagi Ian Mullan, pelukis asal Australia, kelas life drawing adalah ajang bersosialisasi dan menjalin persahabatan dengan para pelukis yang bermukim di Ubud. Dari pertemuan itulah ia banyak belajar tentang Budaya Indonesia. “Sebagai expatriate saya ingin berteman dengan pelukis Indonesia, dan memahami budaya Indonesia. Selain bebas berkarya, saya ingin beradaptasi dengan kehidupan masyarakat di sini,” kata pelukis yang berusia menapak enampuluhan, yang menikmati masa pensiunnya di Ubud. Sebelum bermukim di Ubud, Ian Mullan bekerja di sebuah perusahaan desain komunikasi terkemuka di Melbourne, Australia. Tugasnya sebagai orangtua telah paripurna, anakanaknya telah bekerja dan berumahtangga. Kini saatnya ia memikirkan karirnya sebagai perupa. Ia bersama Jenny Ashby menyewa sebuah studio yang jembar, bekas sebuah gudang kerajinan di Banjar Kalah, Peliatan. Ia melukis sedari pagi hingga petang. Pada akhir pekan ia melancong ke Pantai Amed, Karangasem. Tidak semua perupa yang berkarya di Ubud memasuki usia senja. Beberapa seniman muda cukup mewarnai kalangan seni rupa di Ubud. Rodney, dari Inggris, mendirikan Seniman Café di Jalan Sriwedari, yang menghimpun beberapa perupa muda menggelar street art project, dengan
80
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
menggunakan seruas jalan menghadirkan karya patung yang digantung dan dipajang di atap rumah disertai mural, yang merupakan even pendamping dalam Ubud Writer & Reader Festival 2013. Rie Watanabe, perupa muda dari Okinawa, Jepang, yang aktif berkolaborasi dan berpameran bersama dengan para pelukis yang berasal dari beberapa kota di Jawa, yang telah lama bermukim dan berkarya di Ubud. UBUD sampai saat ini tetap melekat berjuluk Desa Seni, menjadi magnet bagi perupa dari beberapa kota di Tanah Air dan mancanegara untuk bermukim dan berkarya. Sejak tarikh 1930-an, Ubud tempat bermukim para seniman mancanegara, seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Ari Smit, yang memberikan kontribusi bagi perkembangan seni rupa Bali. Dari interaksi dengan seniman Bali, lahirlah kelompok Pita Maha yang dimotori Tuan Tepis (begitu seniman Bali menyapa Walter Spies) dan Tuan Bonnet, dibawah binaan sang Raja Ubud, Tjokorda Raka Sukawati. Sedangkan Ari Smit mendorong anak-anak muda di Desa Penestanan untuk melukis dengan gaya yang kelak dikenal sebagai gaya Young Artist. Sepenggal kisah pertemuan antara pelukis expatriate tempo doeloe itu banyak ditulis dalam pelbagai buku sejarah seni rupa Bali. Proses interaksi antara pelukis expatriate dengan pelukis Bali dalam sebuah program bersama jarang sekali dihelat. Ruang-ruang sosial yang kosong inilah yang ingin diisi oleh sebuah organisasi bernama Bali Art Society
karya : Stephan Spicher (Swiss)
(BAS) , yang didirikan 20 Januari 2013 di Tonyraka Art Gallery, Mas Ubud. Bali kini di tengah arus perubahan global, para seniman yang dulu hidup dalam budaya komunal kini beranjak individual. Bagi pelukis yang mengalami asamgaram tiga zaman, tentulah melihat kontras perubahan ini. Pelukis asal Medan Odong Djunaedi yang bermukim di Ubud sejak 1976, melihat kalangan seniman di Ubud semakin individual. Ia mengenang bagaimana pertama kali menginjakan kaki di Ubud, sebuah desa gelap gulita malam hari tanpa listrik, namun mencerahkan bagi karirnya sebagai pelukis muda. Sebagai pelukis muda ia ingin bertemu pelukis mumpuni. Suatu hari ia mengetuk pintu kediaman pelukis Rudolf Bonnet, yang dengan ramah menerima kunjungannya. Bonnet mempersilahkan pelukis muda itu duduk, menyuguhi teh hangat. Setelah pelukis muda memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa ia ingin bermukim di Ubud sebagai
pelukis, Bonnet menawarkan apakah dia mau menjadi modelnya. Bonnet pergi ke dalam membawa kain sarung, sebuah seruling dan gelang akar bahar. Serta merta Odong mengenakannya, dan duduk berpose meniup seruling. Bonnet menatap tajam ke arahnya sambil menggambar di atas kertas dengan menggunakan crayon. Gambar karya Bonnet itu kini menjadi koleksi Museum Neka. Begitu mudah perjumpaan antarpelukis kala itu. Sekarang para pelukis lebih banyak melakukan pertemuan (meeting) namun tanpa perjumpaan (enccounter). Zaman telah berubah.l Helmi Haska, fair director Bali Art Fair, bermukim di Ubud.
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
81
kultur rupa Dibangun pada tahun 2004 di area seluas 18 are (1800 meter persegi), Snerayuza Art Space tampaknya menjadi cerminan dari cara Budhiana mengembangkan perspektif estetikanya..... halaman dengan panggung-panggung batu dipenuhi rumput liar rupanya menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka untuk berlatih di Snerayuza. Hampir semua teater SMA/ SMK di Denpasar pernah beraktivitas di Snerayuza. Sebut saja misalnya Teater Rumput Sang Saka SMKN 1 Denpasar, Teater La-Jose SMAK Santo Yoseph Denpasar, Teater Antariksa SMAN 7 Denpasar, Teater Angin SMAN 1 Denpasar, dan Teater Tiga SMAN 3 Denpasar. Budhiana mengizinkan studio miliknya itu dijadikan tempat berproses seni bagi generasi muda dan anak-anak sekolahan yang ingin mendalami seni.
KEMAH ABADI PELUKIS MADE BUDHIANA
Kalangan pesohor seni pop juga tak jarang yang bertandang ke studio pelukis Made Budhiana. Gitaris Dewa Budjana misalnya beberapa kali datang untuk meminta Made Budhiana melukis gitarnya. Gitar yang diminta untuk dilukisi Budhiana tersebut, kata Budjana akan dipamerkan bersama puluhan gitar berhias lukisan (dilukisi oleh pelukis lain) yang
dikoleksinya. Nantinya gitar-gitar tersebut akan disimpan di museum. Setelah gitar tersebut selesai dilukis oleh Budhiana, diambil dan dibawa pulang oleh Budjana, beberapa bulan kemudian Budjana datang lagi ke studio tersebut ditemani kartunis Jango Paramatha, pelukis Mangu Putra, dan fotografer Rio Helmi. Syahdan, sore itu studio seni Snerayuza jadi panggung “kolaborasi” seni. Fotografer Rio Helmi sibuk dengan kameranya mengarahkan Budhiana untuk dipotret. Dewa Budjana sesekali disuruh berpose di belakang Budhiana, menjadi latar pemotretan tersebut. Bahkan penyair misterius Umbu Landu Paranggi yang sering dijuluki “tukang kebun peradaban” sering menyempatkan diri menonton siaran langsung sepakbola di tempat ini. Pesohor lainnya yang pernah bertandang ke studio seni tersebut antara lain Romo Mudji Sutrisno, Putu Wijaya, Efix Mulyadi, Putu Wijaya, Sawung Djabo, Leo Kristi, Made Wianta, Frans Nadjira,
TEKS : NURYANA ASMAUDI & RIKI DHAMPARAN l FOTO : NURYANA ASMAUDI & RIKI DHAMPARAN
M
ALAM sudah hampir pukul 00. 00 Wita, namun di dalam bangunan besar dan tinggi menyerupai sebuah tenda raksasa itu, sejumlah seniman masih asyik melukis dan sebagian berdiskusi. Sementara si pemilik studio, Made Budhiana tampak mencoba memainkan sebuah accordeon. Saat itulah, seorang temannya merespon permainan Budhiana dengan memetik sebuah gitar. Meskipun mereka bukan pemusik sungguhan, mereka mencoba menikmati spontanitas itu.
82
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Kegiatan seperti itu menjadi pemandangan sehari-hari di studio Snerayuza Art Space ( lebih dikenal dengan camp Ubung ) milik pelukis Made Budhiana di Jl. Kusuma Bangsa VI/10 Denpasar. Bermain musik, melukis, pemutaran film, pementasan wayang, monolog dan membaca puisi hingga diskusi-diskusi ringan merupakan kegiatan yang lazim dilakukan di tempat ini. Melibatkan sejumlah pesohor seni, mahasiswa, pelajar dan anak-anak yang berkunjung ke situ. Selain gratis, tata Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
83
kultur rupa
Bre Redana, Ayu Laksmi. Rata-rata mereka merasa senang dan memuji nuansa kreatif yang muncul dari tata ruang studio Senarayuza yang sebenarnya tergolong sederhana dari segi struktur dan bentuk bangunan.
Perspektif Ruang Dinamis Nama pelukis Made Budhiana memang tak asing lagi bagi kalangan seni rupa di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Pelukis yang disebut-sebut para pengamat seni sebagai perupa kontemporer Bali paling modis dan paling dinamis ini, dikenal dengan kebiasaannya berkemah. Sejak lama, Budhi mempunyai kegemaran berkeliling Bali mengajak sejumlah seniman muda yang kebanyakan terdiri dari murid-muridnya untuk melukis di bawah pelukan alam. Alam dan perjalanan itu selalu menjadi energi baginya. Mereka bisa berharihari berkemah di sebuah tempat dan kembali pulang dengan membawa karya-karya. Barangkali kegemaran yang sudah mendarah daging itulah yang turut berpengaruh pada tata ruang dan tata laman studio Snerayuza. Dibangun pada tahun 2004 di area seluas 18 are (1800 meter persegi), Snerayuza Art Space tampaknya menjadi cerminan dari cara Budhiana mengembangkan perspektif estetikanya. Ciri unik tata halaman studio ini adalah rumput dan tanaman liar yang dibiarkan tumbuh seakan pengganti bunga-bunga dan tanaman taman. Selama tidak terlalu semak, rimbunan rumput dan belukar itu tidak akan dipotong dan tidak pula dibonsai. Walhasil, rumput-rumput liar itu menjadi latar yang alamiah dan tampak selaras
84
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
dengan bentuk batu-batu alam yang ada di area halaman tersebut. Batu-batu itu kebanyakan adalah potongan batu gunung yang diperolehnya dari berbagai tempat. Kebanyakan dari daerah Karangasem yang memang banyak mengandung batu-batu sisa letusan gunung Agung. Di situ ia mempunyai rekan seorang pemahat batu yang biasa memenuhi pesanan Budhiana untuk memahat sesuai ukuran yang diinginkan. Sebelum studio Snerayuza Art Space direncanakan untuk berdiri, koleksi batu-batu Budhiana diletakan di rumahnya di Jalan Veteran Denpasar. Baru setelah studio mulai dibangun ia mulai memindahkan batu-batu itu ke studionya yang terletak di wilayah Ubung, Denpasar Barat. Konsep tata ruang (baik luar dan dalam) Snerayuza Art Space memang mencerminkan pribadi pelukis Budhiana yang dinamis dan santai. Menurut bli Budhi, demikian pelukis ini biasa dipanggil, dalam menata sebuah ruangan diperlukan kebebasan dan kepekaan dalam mendayagunakan potensi yang sudah tersedia. Tidak ada yang salah selama segala sesuatu ditempatkan pada tempatnya. Misalnya semak belukar selama tidak berada pada jalan yang rutin dilalui, tidak perlu ditebas habis karena dapat menjadi pengganti bunga-bunga. Tergantung sekarang benda apa yang cocok diletakkan di tengah semak itu. Ia sendiri menyiasatinya dengan menaruh bangku-bangku batu dan beberapa panggung kayu pada sejumlah titik. Sanggah untuk menaruh sesaji persembahyangpun ia buat dari batu yang disusun tinggi dan itu membedakan sanggah tersebut dengan bentuk
sanggah konvensional orang Bali umumnya. Menurut Budhi, hal itu di samping menampilkan kesan alamiah, tidak menyalahi aturan. Karena pada mulanya sanggah orang Bali memang hanya susunan batu biasa. Letak dan fungsi batu itulah yang memberikan status batu itu menjadi sakral. Tak salah memang pandangan itu. Dengan tindakan sederhana tersebut pelukis Budhiana sesungguhnya sedang melakukan kritik terhadap perspektif estetika Bali yang kian seragam dan monoton akibat perkembangan pariwisata. Khususnya yang berkaitan dengan ritual. Sanggah misalnya, selama ini orang terikat pada bentuk dan bahan sanggah konvensional. Sehingga orang lupa bahwa bentuk dan bahan seperti itu baru berkembang semenjak ekonomi meningkat sejalan dengan perkembangan pariwisata. Padahal, tidak salah bila orang menggunakan bahan dan bentuk lain sepanjang fungsi dan letaknya tidak dirubah. Malahan justru akan menimbulkan dimensi artistik dan estetika yang lebih kaya. Cara pelukis Budhiana mengembangkan
perspektif ruang luar studionya itu tidak jauh berbeda dengan tata ruang dalam studio. Meskipun masih berupa sebuah ruang dengan bahan dasar minimalis: lantai kasar, dinding batako kasar, empat tiang utama yang terbuat dari kayu kapal, studio Snerayuza mempunyai magnet bagi sesiapa yang memasukinya. Lampu spot, koleksi patung, peralatan melukis, buku-buku, alat musik dan koleksi kaset cd, dvd, piringan hitam, meja kayu, kursi santai, tangga kayu menjadi asesories yang menjadi daya tarik tersendiri. Memasuki ruangan ini orang akan terpancing alam kanak-kanaknya karena ruangan itu memang ditata sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan rileks dan kreatif. Di dalam ruang inilah tamutamu pelukis Budhi biasa beratraksi bebas, menggunakan peralatan yang ada, sekadar membaca buku, menabuh-nabuh gendang, memetik kecapi, seruling atau pun berdiskusi. Struktur bangunan yang belum jadi ternyata dapat disiasati dan difungsikan dengan sikap rileks dan keasyikan bermain. Mungkin itulah yang disebut seni. l Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
85
kultur esei Kebijakan baliseering pasca perang Puputan Badung dan Puputan Klungkung tahun 1908, yang bertujuan menjadikan Bali sebagai the living museum lewat upaya-upaya pelestarian kebudayaan.....
MENIMBANG KEKINIAN LEWAT BALI TEMPO DOELOE Oleh: Ni Made Purnamasari Sejak Juni 2013, Bentara Budaya Bali menggelar program budaya yang memutar film dokumenter dan diskusi mengenai kondisi kultural Bali di masa silam, dipertautkan dengan perubahan kekinian yang meliputinya.
86
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
A
genda yang bertajuk ‘Bali Tempo Doeloe’ ini telah bergulir selama lima edisi, mengulas aneka sisi kehidupan Bali mulai dari kajian antropologis Margared Mead dan Gregory Bateson perihal hubungan kekerabatan masyarakat pulau ini, dinamika perkembangan kota Denpasar selama berbagai kurun waktu, pemaknaan ritual dalam konteks sakral serta profan, berikut bahasan perihal perubahan seni tari beserta gamelan Bali. Warih Wisatsana, dari Bentara Budaya Bali, menuturkan bahwa program Bali Tempo Doeloe diselenggarakan dengan gagasan awal untuk mengetahui dan menyampaikan kepada khalayak perihal perubahan-perubahan sosial budaya Bali yang terjadi di masa kini. Tema-temanya pun mengkhusus pada satu fokus, baik mengenai wujud kultural ataupun fenomena sosial yang terbaca dalam film.
“Bali Tempo Doeloe diharapkan menjadi ruang edukasi dan interaksi untuk menemukan refleksi lebih jauh perihal masa lalu pulau ini, tahapan dinamika kultural serta pandangan kreatif dalam menyoroti gejala-gejala perubahan yang akan berimplikasi bagi masa depan Bali,” ujar Koordinator Bentara Budaya Bali ini seraya menambahkan bahwa sejalan dengan pelaksanaannya yang berlangsung secara berkala, beberapa perkembangan pun terjadi pada landasan kuratorial Bali Tempo Doeloe, yang diselaraskan dengan masukan dan buah pikiran dari para budayawan, seniman maupun pihakpihak lainnya. Pariwisata ditengarai menjadi salah satu faktor pendorong perubahan sosio-kultural Bali. Sejak pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan kebijakan baliseering pasca perang Puputan Badung dan Puputan Klungkung tahun 1908, yang bertujuan menjadikan Bali Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
87
kultur esei
mengubah cara pandang masyarakat Bali, termasuk para seniman yang bergelut di dalamnya. sebagai the living museum lewat upaya-upaya pelestarian kebudayaan—serta pula ditunjang gencarnya promosi turistik—pulau ini pun menarik minat para peneliti, antropolog, musisi, seniman serta para pakar lain untuk datang dan mendokumentasikan beberapa sisi kulturalnya. Sebut saja Margared Mead, Gregory Bateson, Miguel Covarrubias, Nikola Draculic dengan Sidney Caroll, Colin McPhee bersama Jane Belo, Walter Spies, dan sebagainya, yang masing-masing mencatat, merekam dan mengabadikan Bali lewat caranya tersendiri. Margared Mead, antropolog asal Amerika Serikat, bersama suaminya Gregory Bateson misalnya, selama beberapa tahun melakukan riset di Bali. Antara kurun 1936-1939, ia membuat wujud visual film dokumenter yang sebagian besar telah dijadikan rujukan dalam studi-studi antropologi tentang Bali, berjudul ‘A Balinese Family: The Karmas of Bajoeng Gede’ serta ‘Dance and Trance in Bali’, yang diputarkan dalam Bali Tempo Doeloe #1 pada Juni 2013. Di Bali, ia meneliti tentang fenomena trans pada ritual tradisi, pola pengasuhan anak, dan sebagainya, di samping juga menulis berbagai catatan antropologis, ditambah dengan hampir 8000 hasil foto dan lebih dari 10.000 klip kamera. Sementara pada serinya yang kedua, Bali Tempo Doeloe mengetengahkan tema yang cukup menarik,
88
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
yakni perihal perkembangan tari Bali akibat upaya adaptatif terhadap turistik, dikemas dalam tajuk ‘Tari Bali, Yang Lestari dan Kontradiksi’. Seri ini menampilkan perkembangan seni tari di Bali, yang sejak awal abad ke-20 dipandang sebagai warisan budaya yang terpujikan, bahkan juga menjadi ikonik pariwisata. Akan tetapi kini, di tengah pandangan bahwa tari merupakan warisan kebudayaan adiluhung, dengan muatan nilai dan makna spiritual dan estetik yang luar biasa, tari Bali justru berhadapan dengan segala kontradiksinya, di mana beberapa ragamnya malahan menjadi hiburan yang bersifat artifisial dan bahkan cenderung mengesampingkan nilai-nilai tersebut. Di satu pihak khalayak dapat menjumpai tari Sanghyang yang disakralkan, namun pada sisi lainnya kita menemukan satu jenis tari pergaulan joged yang kerap kali bersinggungan dengan nilainilai kesusilaan. Pembicara Kadek Suartaya, Dosen ISI Denpasar yang juga kolomnis di beberapa media massa, dalam diskusinya mengulas secara kritis dampak pariwisata yang secara signifikan
“Pelaku seni kita tampaknya telah beralih paradigma, dari kultur ngayah atau persembahan tulus tanpa pamrih, menjadi kultur mebayah yang berorientasi pada bayaran dan komersialisasi. Barangkali hal inilah yang membuat Bali menjadi kesulitan untuk menghasilkan para maestro seni, yang meraih pencapaian sungguh oleh karena pergulatan serta kecintaan tak bersudah pada kebudayaan,” ungkapnya. Masalah-masalah seputar dampak pariwisata juga muncul pada tiga bahasan berikutnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pada topik ‘Denpasar dalam Tantangan Zaman’ pada seri Bali Tempo Doeloe #3 di bulan September 2013, dengan pembicara Dr. Putu Sukardja, Sekretaris Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, muncul pertanyaan seputar perkembangan kota yang merupakan pusat dari Provinsi Bali ini, yakni apakah perubahan semata-mata hanya meliputi permukaan wajah kota berupa demografi kawasannya yang padat penduduk, sebagai akibat dari dibukanya kota ini sebagai sentra ekonomi dan salah satu destinasi pariwisata, ataukah menyangkut persoalan yang boleh jadi lebih esensial, yakni memudarnya
kesadaran perihal nilai-nilai kultural lokal yang disinyalir diakibatkan oleh kekurangmampuan mengelola arus perubahan dan globalisasi? Atau pada tema Bali Tempo Doeloe #4, ‘Sisi Lain Bali: Antara Ritual Sakral dan Pertunjukan Profan’, Oktober 2013. Berangkat dari film dokumenter karya Nikola Drakulic dan penulis naskah Sidney Caroll, acara membahas ritual-ritual Bali, yang tidak terpungkiri, mulai ditransformasikan demi kepentingan turistik. Wujud kesakralan ‘dimodifikasi’ menjadi bentuk pertunjukan, yang tak jarang bersifat profan. Lebih jauh, dalam paparan kuratorial acara, hal ini mungkin memberikan manfaat bagi keleluasaan khalayak luar untuk menyaksikan sebagian dari laku ritual orang Bali, namun di lain pihak dipandang berdampak kontraproduktif bagi perkembangan sosial budaya pulau ini, di mana masyarakatnya disinyalir akan cenderung mengadaptasi kesakralan kebudayaan tradisinya semata untuk tujuan pariwisata. Misalnya penjor, bambu melengkung tinggi yang dihiasi janur bermakna Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
89
kultur esei
simbolis Naga Basuki, cerminan mitis pelindung alam semesta, belakangan disesuaikan wujudnya dan dipergunakan sebagai dekorasi acara di luar kepentingan agama. Kontradiksi ini diulas bersama dengan agamawan dan budayawan Ida Bagus Agastya, dan Prof. Wayan Dibia
Gema Gamelan Bali Ke Masa Depan Adapun seri kelima yang belum lama digelar, lebih khusus membahas upaya pelestarian bagi seni gamelan Bali di tengah dinamika arus zaman modernitas yang terus berkelindan. Seni gamelan Bali telah berkembang pesat, bahkan mulai dikreasikan dalam langgam modern, sebagaimana yang dilakukan oleh Wayan Gde Yudane, pembicara dalam diskusi ini. Gamelan Bali umumnya menggunakan laras tradisi pelog ataupun slendro, dan ditampilkan pada saat ritual-ritual upacara maupun sebagai pengiring tari. Beberapa ruang budaya lokal di lingkungan komunitas adat secara berkelanjutan menggelar latihan ansambel gamelan dengan melibatkan generasi muda—barangkali adalah salah satu ragam seni tradisi yang masih mendapat tempat dalam arus percepatan perubahan di pulau ini. “Meskipun demikian, bukan berarti pula bahwa seni ini tidak berada dalam tantangan.
90
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Terkecuali mereka yang telah lama bergiat dalam ansambel, kian sedikit kalangan yang memahami jenis-jenis gamelan Bali, termasuk perangkat yang dipergunakan serta perbedaan fungsinya, seperti jiyeng, reyong, gender, gangsa, dan lain sebagainya. Sama halnya dengan langgam musik gamelan macam apa yang dihadirkan saat upacara tertentu, mungkin hanya terbatas yang tahu. Dengan kata lain, gamelan membutuhkan pelestarian yang lebih komprehensif, bukan hanya melalui pengenalan alat musik, namun juga ragam komposisi musikal serta makna-makna filosofis yang terkandung di dalamnya,” ujar Wayan Gde Yudane, komposer gamelan yang telah menampilkan berbagai nomor pertunjukan di mancanegara bersama sekaa Werdhi Swaram yang didirikannya. Diskusi ini berangkat dari upaya Colin McPhee, komposer asal Kanada yang mendokumentasikan ragam gamelan Bali dalam notasi musik Barat. Tahun 1920, Odeon Company, sebuah perusahaan rekaman, merilis beberapa album mengenai musik gamelan Bali. Lantunan gamelan itu mencuri perhatian Colin McPhee yang ketika itu telah mukim di New York. Ia sudah lama mempelajari serta mengkreasikan musik-musik kontemporer kala itu, didorong oleh harapan idealistis perihal upaya meraih pencapaian baru dalam dunia musikal era tersebut. Dengan segera ia terpesona
pada rekaman gamelan itu, menumbuhkan keinginannya untuk mendengar suara gamelan secara langsung dan mendokumentasikan notasi nada seluruh musik gamelan yang ada, yang tentu akan berpengaruh penting pada karir musisinya. Demikianlah, pada tahun 1931, ia tiba di Bali, menetap di sana, mulanya hanya untuk sementara waktu, namun kemudian berlanjut bahkan hingga 8 tahun. Persentuhan seni gamelan Bali dengan dunia barat tidak hanya berlangsung dengan upaya Colin McPhee yang selepas kepulangannya kembali ke USA dengan aktif menggelar konserkonser musik gamelan baru dengan instrumen orkestra. Kelompok gamelan Bali pertama yang menampilkan kreasi musikalnya ke mancanegara berasal dari desa Peliatan, hadir di Paris International Exhibition tahun 1931. Pertunjukan yang lebih berkesinambungan dan intens dilakukan juga oleh sekaa yang sama, berlanjut hingga tahun 1952, diselenggarakan atas prakarsa seorang pengusaha asal Inggris, John Coast. Belakangan, pementasan gamelan ini hadir juga di London, New York, dan Las Vegas, mengenalkan ragam musik dan tari tradisi Bali yang begitu memukau publik internasional pada masa itu. “McPhee meninggal tahun 1964, beberapa minggu sebelum karya monumentalnya, buku berjudul Music in Bali, diterbitkan. Ia telah bekerja lebih dari 30 tahun, akan tetapi hampir tidak pernah melihat hasil akhir dari segala kerja
kerasnya. Buku yang ditulisnya ini pun menjadi rujukan semua kalangan yang ingin mengetahui etnografi dan musik klasik tradisi Bali. Tanpa buku tersebut, yang menampilkan secara rinci kehidupan masyarakat Bali yang sarat musikal dan keindahan seni, maka penelitian dan elaborasi kreasi yang lebih mendalam dari periset ataupun seniman Barat barangkali menjadi hal yang sulit,” ungkap Michael Tenzer, etnomusikologi dari University of British Colombia, Kanada dalam bukunya Balinese Music (1998). Program Bali Tempo Doeloe ini terbilang menarik minat khalayak, yang begitu ingin tahu mengenai ragam gamelan serta usaha-usaha pelestariannya, tecermin dari beragamnya publik yang turut terlibat. “Kami akan membukukan lima edisi ini, untuk mendokumentasikan perdebatan dan pemikiran perihal konsep dan kondisi Bali Tempo Doeloe yang mengemuka selama acara. Muatan isi juga akan diperkaya dengan rujuan referensi yang relevan, sebagai upaya mempertajam ulasan diskusi. Sumber tersebut didapat dari riset-riset tentang Bali yang sudah dipublikasikan, data-data serta tuturan sekunder lainya yang dipandang penting. Dengan demikian, buku ini tidak semata menjadi rangkuman program, melainkan embrio kajian bagi mereka yang membutuhkan gambaran perihal kondisi masa lalu, perubahan berikut perkembangan pulau ini,” ungkap Warih Wisatsana. l Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
91
kultur esei
SENI BUDAYA BALI sekilas pandang
B
TEKS : RUSLAN WIRYADI
l
FOTO : RUSLAN WIRYADI
ali nampaknya merupakan salah satu yang daerah dimana kegiatan seni dan budayanya sangat semarak. Setiap hari dengan mudah kita dapat menjumpai aktivitas berkesenian yang sedang berlangsung. Mulai dari seni pertunjukan hingga seni rupa. Dari seni tradisional hingga kontemporer. Galleri seni rupa tersebar di seantero Bali. Sementara panggung pertunjukan untuk pentas para seniman juga tak kurang banyaknya. Setiap desa di Bali memiliki bangunan ataupun ruang terbuka yang dapat difungsikan sebagai panggung pertunjukan. Kesenian menjadi sesuatu yang menyatu dengan kehidupan keseharian masyarakat. Bahkan sebagian karya seni merupakan bagian dari persembahan kepada Tuhan dalam suatu kegiatan keagamaan masyarakat Hindu Bali. Beberapa jenis tari merupakan tari sakral yang boleh dipentaskan hanya pada waktu tertentu sebagai bagian dari suatu ritual.
92
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Selain itu, yang terpenting adalah dukungan masyarakat. Sehebat apapun sebuah kesenian di suatu daerah, tidak akan bisa hidup dan berkembang jika masyarakat luas tidak merasa memiliki warisan budayanya itu. Sikap acuh terhadap warisan budaya yang dimiliki mempercepat hilangnya eksistensi seni dan budaya di suatu daerah. Banyak hal yang menyebabkan masyarakat memiliki sikap kurang peduli terhadap keberadaan kebudayaannya ini. Salah satunya adalah kehidupan sosial masyarakat kita yang telah berubah. Pertumbuhan penduduk menyebabkan struktur kehidupan mulai berubah. Karena Jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan sebuah desa berkembang menjadi kota kecil. Sementara yang sebelumnya hanyalah sebuah kota kecil berkembang menjadi kota-kota yang lebih besar lagi, demikian seterusnya. Kebijakan yang diambil pemerintah untuk menjadi negara industri dan meninggalkan
bidang pertanian juga mempercepat perubahan wajah dari pedesaan menjadi perkotaan dengan banyaknya bangungan-bangunan yang dipergunakan untuk industri beserta dengan segala fasilitas penunjangnya. Tak pelak hal ini juga mempengaruhi kehidupan sosial para penduduknya. Dari yang semula bersifat agraris pedesaan menjadi industrial perkotaan. Kehidupan agraris tentu berbeda dengan kehidupan industri. Hal ini mempengaruhi pola pikir alam bawah sadar masyarakat. Dalam kehidupan agraris, masyarakat sangat menyatu dengan alam. Siklus kehidupan masyarakat selaras dengan siklus alam karena terkait dengan pola tanam sebagai pekerjaan utama mereka. Dalam kehidupan yang besifat agraris, ambisi manusia sedikit banyaknya juga bergantung dengan keadaan alam. Manusia menyadari keberadaannya yang merupakan bagian dari keadaan alam dimana dia tinggal. Sementara pola kehidupan masyarakat dalam dunia industri yang tidak bergantung sepenuhnya kepada alam sebagaimana kehidupan yang masih bersifat agraris, membuat manusia bisa merencanakan masa depannya tanpa terlalu banyak
bergantung kepada alam. Kehidupan perkotaan yang cenderung bersifat industrial memiliki karakteristik yang berbeda dengan kehidupan pesesaan yang masih bersifat agraris. Dalam kehidupan perkotaan, manusia semakin dituntut untuk hidup lebih praktis dan pragmatis guna memenuhi kebutuhan keluarga. Karena tuntutan ini, secara perlahan alam bawah sadar manusia perkotaan membuatnya berfikir taktis dan ekonomis. Hal ini berbeda dengan alam bawah sadar manusia pedesaan yang bersifat agraris yang lebih mengutamakan kehidupan yang harmonis dengan alam. Sebagaimana telah banyak dibahas oleh para ahli sejarah, awal lahirnya kebudayaan dimulai pada masa manusia telah berhasil menemukan teknik bercocok tanam dari sebelumnya hanya sebagai pengumpul makanan. Karena pada masa bercocok tanam, manusia lebih banyak memiliki waktu berkumpul bersama keluarga dan kelompoknya. Sehingga rasa artistik dalam diri Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
93
kultur esei
manusia berkembang. Dalam masa yang kondusif ini, rasa artistik manusia berwujud dengan menghasilkan karya seni dan unsur-unsur budaya yang lainnya. Tak mengherankan jika seni dan budaya tumbuh berkembang dengan baik di Bali karena kondisi sosio psikologis masyarakatnya masih bersifat agraris. Namun demikian bukan berarti dalam masyarakat yang sudah tidak agraris, seni dan budaya tidak bisa berkembang. Faktor lain yang tak kalah penting adalah rasa memiliki masyarakat sehingga masyarakat setempat mendukung keberadaan warisan seni dan budaya yang mereka miliki. Rasa memiliki lahir dari terpenuhinya unsur jasmani dan rohani baik dari sisi pelaku maupun penikmat karya seni. Unsur jasmani bersifat fungsional sementara unsur rohani terkait dengan unsur yang memenuhi rasa aman, tentram, menghibur dan sebagainya. Kedua unsur ini harus ada dalam kesenian sehingga dengan rasa memiliki masyarakat pun akan mendukung keberadaan budaya yang hidup di tengah mereka. Pelaku seni harus juga mendapat kepuasan selain dari sisi rohani juga dari sisi jasmani, misalnya penghasilan yang cukup untuk menafkahi kehidupan keluarganya. Sementara masyarakat sebagai penikmat juga mendapat kepuasan batin ketika melihat pertunjukan seni. Jika dua hal ini terpenuhi, maka dapat dipastikan kehidupan kesenian akan tetap terus berlangsung. Kehidupan kesenian di Bali dapat tumbuh berkembang dengan sangat baik dikarenakan beberapa faktor selain tersebut diatas. Pengetahuan bahwa kesenian merupakan bagian dari persembahan manusia kepada Sang Pencipta merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat Bali melakoni laku berkesenian dengan sukacita dan tidak melulu mengharapkan imbalan materi dalam
94
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
setiap pertunjukan. Bagi yang pandai mengukir, dengan senang hati mempersembahkan dirinya untuk berkarya membuat relief di pura, sang pelukis dengan sukacita membuat gambar-gambar dari cerita Mahabrata ataupun legenda Bali guna menghias bidang-bidang kosong sehingga nampak artistik. Bagi yang pandai menari, mempersembahkan kebolehannya mengolah gerak tubuh dalam sebuah upacara di pura merupakan kebahagiaan tersendiri. Sekelompok laki-laki disudut lain memainkan gamelan dengan gembira. Sementara penduduk lainnya dengan antusias akan menyaksikan pertunjukan ini, sambil berharap dalam hati agar kelak anak mereka dapat seperti para pelaku seni ini yaitu mempersembahkan keahlian mereka untuk sang Pencipta. Selain digerakkan oleh daya religi tersebut diatas, banyaknya wisatawan berkunjung ke Bali membawa berkah tersendiri. Karya-karya seni diapresiasi oleh para wisatawan sehingga memberi bahan bakar bagi para pelaku seni untuk terus berkarya. Seni ukir dan lukisan Bali telah dikenal di seluruh dunia. Dikoleksi oleh para pecinta seni. Para seniman panggung tak kekurangan tempat untuk berpentas menunjukkan kebolehannya menari. Walau materi bukan merupakan tujuan utama seorang seniman sejati namun sedikit banyak hal ini turut menambah spirit dalam berkarya. Namun banyaknya wisatawan yang datang ke Bali tentu juga menjadi ujian bagi ketahanan budaya lokal. Tidak hanya wisatawan asing yang datang langsung, namun serbuan budaya luar yang masuk melalui teknologi juga tak bisa dipandang remeh. Interaksi antar manusia, baik antara orang Bali dengan orang Indonesia lainnya yang berbeda
budaya maupun dengan orang dari berbagai bangsa dan negara yang jauh lebih berbeda lagi secara kultural dan cara berpikir, tentu akan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Gaya hidup dan pola pikir yang berubah tentu saja akan berdampak langsung terhadap tingkah laku masyarakat dalam memperlakukan budayanya sendiri. Sejak ratusan tahun yang lalu, orang Bali telah memiliki pengalaman berinteraksi dengan dunia luar, namun sampai sejauh ini, alih alih tersingkir, budaya Bali justeru mampu bertahan, bahkan unsur budaya luar melebur, berasimilasi dan memperkaya budaya Bali. Namun tantangan menghadapi serbuan budaya luar pada masa sekarang tentu berbeda dibanding dahulu. Tantangan pada masa sekarang jauh lebih kompleks karena masyarakat masa kini tidak hanya berhadapan dengan budaya luar yang “nyata� bentuknya namun juga sekaligus menghadapi tantangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kesibukan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya secara perlahan merubah pola pikir masyarakat dalam memandang sesuatu.
Kecenderungan untuk berpikir secara pragmatis pada sebagian masyarakatpun tak terhindarkan. Maka tantangan terbesar eksistensi seni budaya yang berbasis tradisional saat ini adalah kesibukan masyarakat itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Kebudayaan lahir pada masa manusia menemukan metode bercocok tanam dimana manusia memiliki cukup waktu luang dalam menunggu masa panen sehingga rasa artistik dalam diri manusia berkembang dan terejawantahkan menjadi karya seni dan kekayaan tradisi lainnya. Kebudayaan tidak lahir dalam masa manusia menjadi pengumpul makanan dan masa berburu karena manusia disibukkan oleh kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pada masa sekarang, kecenderungan manusia kembali kepada fase “berburu dan menjadi pengumpul makanan� semakin sulit dihindari. Budaya Bali berkembang dan mampu bertahan karena sebagian besar masyarakatnya masih hidup dalam dunia agraris, namun perkembangan industri pariwisata yang tidak terkontrol akan menggerus eksistensi seni dan budaya Bali. Apakah masyarakat akan mampu bertahan atau justeru larut dan meninggalkan akar tradisi yang telah diwariskan ratusan tahun yang lalu? Semoga Bali akan mampu terus bertahan. l
Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
95
kultur inspiratif
DALANG NARDAYANA CENK BLONK, MEMBAWA TRADISI KE MASA KINI
TEKS : RUSLAN WIRYADI
l
FOTO : RUSLAN WIRYADI
B
ertunjukan belum lagi akan dimulai, namun para penonton sudah memenuhi areal tempat pertunjukan. Dengan sabar mereka menanti pentas dimulai. Tua, muda, laki perempuan berbaur membanjiri TKP. Antusiasme penonton sangat terasa memenuhi tempat itu. Demikianlah sekilas suasana di setiap tempat dimana digelar pertunjukan wayang kulit tradisional Bali yang dibawakan oleh dalang Nardayana, salah seorang dalang yang sangat digemari oleh segenap lapisan masyarakat Bali. Mulai dari orang tua hingga remaja, mulai dari buruh hingga pejabat semua merasa terhibur jika menyaksikan pementasan wayang Cenk Blonk. Nama Cenk Blonk diambil dari penggalan suku kata akhir nama dua tokoh punakawan yaitu Nang Klenceng dan Pan Keblong (dalam bahasa Bali, nang merupakan panggilan pendek dari nanang yang berarti pak atau bapak demikian juga pan yang berarti bapak). Penggantian huruf g menjadi k pada Ceng menjadi Cenk dan Blong menjadi Blonk bertujuan untuk lebih mendekatkan diri dengan lingkungan bahasa pergaulan anak sekarang. Dalam setiap pentas selama sekitar 2 jam setengah, Nardayana yang lebih dikenal dengan julukan dalang Cenk Blonk, selalu berhasil
96
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
menyihir penonton untuk terus mengikuti pertunjukannya hingga tuntas. Daya kreativitasnya yang tinggi telah berhasil membuat pertunjukan wayang kulit menjadi sebuah tontonan yang menarik, tidak kalah dengan seni populer lainnya. Padahal sebagaimana kita ketahui, penggemar pertunjukan tradisional biasanya sangat terbatas, terutama hanya dikalangan generasi tua yang bertujuan untuk bernostalgia. Bahwa fenomena kesenian tradisional, khususnya wayang kulit, yang semakin ditinggalkan penonton dari kalangan muda inilah yang menjadi salah satu faktor kegelisahan Nardayana sehingga membuatnya berpikir untuk menjadikan wayang kulit sebagai tontonan yang bisa menghibur semua kalangan. Berdasarkan fungsinya, kesenian di Bali dibagi menjadi tiga kategori, yaitu wali (kesenian yang bersifat sakral), bebali (kesenian pengiring upacara) dan balih-balihan (kesenian yang bersifat hiburan). Jika sebelumnya wayang kulit Bali termasuk kedalam kategori bebali, yang dipentaskan untuk keperluan mengiringi pelaksanaan suatu upacara, Nardayana berkeinginan agar wayang kulit bisa juga menjadi seni balih-balihan, yang bisa menghibur semua kalangan. Jika tujuan wayang sebagai
seni hiburan tercapai sehingga masyarakat menggandrunginya maka tujuan kesenian wayang sebagai sarana tuntunan dan pendidikan akan mudah tercapai. Berangkat dari idealisme agar wayang kulit memiliki tempat yang istimewa di hati masyarakat, Nardayana berusaha agar kesenian wayang kulit mampu bertahan dan menjadi salah satu alternatif tontonan yang bisa menghibur. Untuk itulah dia melakukan beberapa inovasi dalam setiap pertunjukan wayang kulitnya. Sekitar tahun 1992 hingga 1996, Nardayana masih memulai pertunjukan dengan pakem wayang tradisional pada umumnya. Barulah pada sekitar tahun 1997 dia mulai memasukkan unsur kreatif dalam setiap pertunjukannya, seperti penggunaan tata lampu yang berwarna-warni serta dialogdialog para tokoh punakawan yang membicarakan issue-issue terkini dalam bahasa Bali sehari-hari bercampur dengan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa campur ini berhasil mendekatkan jarak antara sang dalang dengan penonton dari kaum muda. Dialog para wayang mudah dipahami dan pesan-pesan yang disampaikanpun dapat dimengerti oleh penonton dari kalangan generasi muda. Selain bahasa yang mudah dipahami, isi percakapan para tokoh wayangnya pun, terutama tokoh Cenk dan Blonk, kebanyakan mengangkat issu-issu yang sedang hangat di masyarakat, yang disampaikan dengan cara yang santai dan lucu. Penyampaian Pesan-pesan moral dan tuntunan seringkali disisipkan humorhumor lokal yang segar sehingga alih-alih membosankan justru menghibur. Keberaniannya melakukan terobosan diluar pakem tentu saja bukan tanpa resiko karena ada juga sebagian kalangan yang menganggap Nardayana bisa merusak pakem pewayangan, namun Nardayana meyakini bahwa apa yang dilakukannya tidak sampai merubah unsur spiritualnya hanya mengubah penampilan luarnya saja karena budaya memang bisa berubah setiap saat. Kepiawaian Nardayana meracikan pertunjukan wayang kulit ini menjadikannya
sebagai dalang yang sangat digemari tidak saja oleh masyarakat kebanyakan namun juga oleh para pejabat tinggi di Bali. Karena permintaan pentas sangat banyak, tak mengherankan jika jadwal manggungnya sangat padat, tak jarang dalam sehari dalang Nardayana harus pentas dua kali di tempat yang berbeda. Nardayana telah membuktikan bahwa kesenian tradisional bisa sejajar dengan bentuk kesenian modern lain yang dianggap lebih menghibur. Keberhasilan eksplorasi kreatif Nardayana akan kekayaan budaya adiluhung telah menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kesenian tradisional kita adalah harta karun budaya yang harus kita gali dan mengemasnya dalam bungkus kekinian agar tidak ditinggalkan generasi muda. Nardayana merupakan salah satu contoh seniman kontemporer dengan akar tradisi yang
Keberaniannya melakukan terobosan diluar pakem tentu saja bukan tanpa resiko karena ada juga sebagian kalangan yang menganggap Nardayana bisa merusak pakem pewayangan....
kuat. Dan sesungguhnya masih banyak lagi kekayaan budaya bangsa kita yang belum kita gali secara maksimal. Semoga kelak akan banyak lahir Nardayana-Nardayana dalam bidang kesenian lainnya. l Edisi No. 05
Kultur
l
November 2013
97
Budaya Dunia Kebudayaan adalah warisan dari peradaban umat manusia, dan peradaban adalah warisan dari kebudayaan manusia
S
Noorca M. Massardi
ESUNGGUHNYA kita tidak bisa dan tidak perlu membeda-bedakan kebudayaan yang silam, yang sedang berkembang, maupun yang akan datang. Tak usah pula memisahmisahkan timur dan barat, utara maupun selatan, karena kebudayaan adalah warisan dari peradaban umat manusia, dan peradaban adalah warisan dari kebudayaan manusia, yang di atas semuanya diawali oleh bakat, gagasan, dan daya cipta yang bersumber dari kekuatan yang sama: Tuhan yang Maha Kuasa. Yang membedakan hanyalah ruang dan waktu. Karena ruang dan waktu adalah sesuatu yang di luar kuasa manusia. Yang dulu maupun yang sekarang. Oleh karena itu, bila kita percaya bahwa Manusia, alam semesta, dan waktu, diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, maka kebudayaan dan peradaban manusia pun tentu tak bisa dipisahkan dari kekuasaan dan campur tangan Illahiah, yang juga telah menciptakan manusia, ruang, dan waktu, sesuai kehendakNya. Sehingga apa yang diwarisi umat terdahulu, dan yang pada gilirannya diwariskan kepada umat hari ini dan umat yang kemudian, tentulah merupakan sesuatu yang berkelanjutan dan tak pernah mengalami keterputusan. Yang membedakan hanyalah, sekali lagi, ruang dan waktu. Lalu, mengapa kini kita seolah mewarisi kebudayaan yang aneka warna dan aneka ruang, yang terkebelakang dan terkedepan? Yang klasik dan yang modern? Dan, yang seolah tiada keterkaitan satu sama lain? Yang seolah berakar dari rumpun yang berbeda-beda? Yang seolah lahir dari adat-istiadat, tradisi, dan sumber yang berlain ? Dan, yang bahkan bisa saling bertentangan satu dengan yang lain?
98
Kultur
Edisi No. 05
l
November 2013
Semua perbedaan dan mungkin persamaan kebudayaan yang seolah kita alami dan hidupi hari ini, yang telah memisah-misahkan dan bahkan memecah belah umat manusia di dunia hingga hari ini, sesungguhnya semua itu bisa terjadi semata karena kita hanya berkaca dan merujuk kepada satu versi Sejarah Kebudayaan belaka! Sebab, kita semua mafhum, Sejarah, dan khususnya
Kebudayaan, telah dengan sengaja disusun dan dibuat serta diwariskan turun temurun oleh suatu Kebudayaan yang Berkuasa, oleh suatu Kekuasaan yang Berkebudayaan, oleh suatu Kekuatan Politik, Militer, dan Pemerintahan Hegemonis yang menguasai dunia pada suatu masa, pada suatu ruang dan waktu yang terdahulu. Para penulis dan penyebar Sejarah Kebudayaan Hegemonis itulah yang telah memilah-milah, dan mengkategorisasi kebudayaan mana yang adiluhung, yang bernilai tinggi, dan yang terkebelakang, sehingga Sang Kebudayaan Hegemonis itu mampu memaksakan kehendak, selera, dan kekuatannya, untuk mendikte bahkan menghapuskan sebuah kebudayaan!
Dengan membaca Kebudayaan dan Sejarah Kebudayaan secara demikian itulah kita kini bisa mendekonstruksi dan kemudian merekonstruksi Sejarah dan Kebudayaan hari ini dan masa depan. Di tengah dunia yang telah menjadi global saat ini, yang sejatinya merupakan akibat dari kekuasaan dan kekuatan hegemonis global juga, kita telah dipaksa dan terpaksa menyepakati bahwa kita, umat manusia, sesungguhnya merupakan sebuah entitas global yang satu. Kebudayaan hegemonis itu telah memaksa kita, umat manusia sedunia, hari ini dan akan datang, untuk hanya memiliki satu cita rasa yang sama, dan mengkonsumsi sandang, pangan dan papan serta bahasa yang sama. Termasuk di dalamnya menyepakati kebudayaan yang sama: budaya pop, literature, hiburan, karya seni, wacana, bahkan alat komunikasi dan perangkat informasi yang sama, yang seragam dan berpola satu. Karena itulah, Forum Budaya Dunia (World Culture Forum) yang digagas Indonesia di Bali akhir November 2013, harus dibaca sebagai salah satu upaya untuk mengingatkan kembali, agar di tengah globalisasi saat ini dan ke depan, dunia juga harus tetap memberi ruang, waktu, dan hidup, bagi kebudayaan lokal, kebudayaan yang dianggap terkebelakang oleh Sejarah, dan Kebudayaan aktual, yang seyogyanya dipertahankan eksistensinya agar bisa hidup berbarengan menyongsong peradaban dan kebudayaan masa depan. Sebab, kebudayaan adalah warisan dari peradaban umat manusia, dan peradaban adalah warisan dari kebudayaan manusia, yang di atas semuanya diawali oleh bakat, gagasan, dan daya cipta yang bersumber dari kekuatan yang sama: Tuhan yang Maha Kuasa. l
media kebudayaan terlengkap
www.kultur-majalah.com www.kulturpedia.com Majalah Kultur
04
Kultur
Edisi No. 04
l
Oktober 2013