MAJALAH BULANAN I KARYA I CIPTA I SENI I BUDAYA I MANUSIA
01 OKTOBER 2011 I RP 30.000
Budaya Anak Muda Tanpa Negara
Dari Redaksi
Majalah Kebudayaan
Akhirnya perdebatan panjang itu berhasil kami akhiri. Dengan santun, Pemimpin Redaksi Noorca M. Massardi mengambil kata akhir. “Majalah ini adalah majalah kebudayaan, bukan majalah kesenian, atau majalah kesusastraan semata,” kata Noorca. Saudara. Sejak lama, mungkin satu dekade silam, komunitas yang dimotori Noorca memang memimpikan sebuah majalah seni dan kebudayaan yang lebih luas cakupannya, sekaligus lebih ringan penyajiannya. Impian itu tentu bukan tanpa dasar. Pertama, kami menganggap, sebuah media kebudayaan ikut menunjukkan maju-mundurnya sebuah bangsa. Kedua, media serupa yang sudah ada selama ini, selain kerap terlalu khusus, hanya membahas atau menyajikan salah satu cabang kesenian, penyajiannya pun – bagi sebagian orang – kerap dinilai terlalu serius. Watak seni sebagai wahana rekreasi – dengan “r” kecil – kerap sirna. Tentu saja, “keseriusan” tadi tidak salah. Namun, kami juga melihat sebuah realitas sosiologi yang lain: Masyarakat menginginkan sebuah perbincangan ringan tentang kesenian dan kebudayaan. Pun liputan lebih luas, dan mendalam, tentang realitas sosiologis tadi. Antara lain, musik dangdut yang sejak lama menjadi “anthem” masyarakat kita, maraknya komunitas kesenian di banyak tempat, kreativitas masyarakat yang belum terpetakan dalam media yang ada selama ini, dan terutama, tidak adanya kepedulian Negara terhadap kebudayaan. Misalnya, sejak republik ini merdeka 1945, kita tidak pernah punya Strategi Kebudayaan. Belum pernah ada Undang Undang tentang Kebudayaan, atau UU tentang Kesenian. Juga belum pernah ada Departemen/Kementerian khusus yang mengelola Kebudayaan, yang bukan sekadar ditempelkan dengan Pendidikan apalagi dengan Pariwisata seperti selama ini. Selain itu, idealisme itu juga terpentok kepada realitas lainnya: Kemampuan modal dan operasionalisasi gagasan-gagasan besar tadi. Salah satunya sebagaimana yang tersirat di alinea awal: Adakah majalah ini akan tampil sebagai majalah kesenian atau majalah kebudayaan? Dan setelah perdebatan panjang, akhirnya diputuskan majalah ini akan lebih tampil sebagai majalah kebudayaan. Selain menampilkan karya-karya dari berbagai cabang kesenian, khususnya yang bisa disajikan dalam sebuah media cetak, kami juga tak akan melupakan “realitas sosiologi” tadi. Maknanya, majalah ini tak hanya berkutat pada persoalan estetika, makna, dan persoalan berat lainnya. Tapi, juga mengupas aspek-aspek sosiologi dari peristiwa di seputar kesenian. Contohnya, sebagaimana Simpul Utama kali ini. Di sini kami mencoba menyajikan fenomena lama yang kian menarik: Munculnya aneka kreativitas anak muda Indonesia. Itu, tak semata untuk menyambut Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Namun, faktanya, sejauh yang kami pantau, pembinaan anak-anak muda kita masih jauh dari memadai. Mudah-mudahan, hasil pergulatan kami ini bisa diterima semua pihak. Terutama Anda, para (calon) pembaca majalah kultur.
Daftar Isi
64
70
20
03 Dari Redaksi 06 Surat Pembaca 08 Artualitas 10
4
Oktober 2011
SELEKSI Nonfiksi Fiksi Humaniora Cakram
22
80
30
84
24 SENIRUPA Pertarungan Bumi Tarung 26 VOX Sebuah Simfoni untuk Anak Indonesia 28 TRADISI Alimpaido : Tradisi Melawan Kekalahan 30 SASTRA Ignas Menafsir Pram
18 MUSIK Konser Sastra - Musik Semesta cinta
32 KULTURAMA Yang (Nyaris) Dilupakan Negara
20 FILM Rise of the Planet of the Apes
44 PUISI Hanna Fransisca & Wayan Sunarta
22 TARI Kutukan Si Pahit Lidah
52 CERPEN Yanusa Nugraha : Purwalaya
56 GALERI KARTUN 60 CERITA BERSAMBUNG Noorca M Massardi : Straw 64 PROSES KREATIF Antigoneo 70 GALERI CITRA Ray Bachtiar 74 ESEI BUDAYA Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi : Kembali ke Budaya Orangutan
28
56
32
84 GALERI RUPA Agus Suwage 88 TERAJU BUKU 90 CAKRAM PILIHAN 92 WAWANCARA Seno Gumira Ajidarma : ”Jangan Terjebak Pada Mitos-Mitos...” 98 ESEI REDAKSI Noorca M Massardi : CCR
80 BIO-LOGOS Raksasa Sastra dengan Sejumlah Perempuan
OKtober 2011
5
SURAT PEMBACA
MANAJEMEN Pemimpin Umum Jeffrie Geovanie Wakil Pemimpin Umum Joice Triatman Pemimpin PERUSAHAAN Chantal Della Concetta WAKIL Pemimpin PERUSAHAAN Fenty Noverita Veronica Pribadi Foto tindaktandukarsitek.wordpress.com
Pemimpin Redaksi Noorca M Massardi Sidang Redaksi Heryus Saputro Indri Ariefiandi Maman Gantra FOTOGRAFER Mulyana Leonardus Wisnu
Wawasan Nusantara Indonesia terdiri dari lebih 17.000 pulau yang membentang di Khatulistiwa. Diibaratkan sebagai serakan zamrud, bukan cuma karena kesuburan hayati tanah dan lautnya, tapi juga keanekaragaman budayanya. Kami berharap, dalam pelaporannya KULTUR tak cuma bertumpu dengan bahan-bahan yang ada di pusat (baca Jakarta), tapi juga mau datang dan mengungkap potensi seni-budaya di berbagai pelosok Nusantara, hingga wawasan kita akan seni-budaya menjadi lebih luas.
Desain & Grafis Leonhard Sekretariat Lily Fachry Marketing Suci Mayang (0812-839-4160)
Ahmad Febriansyah Jl. Veteran, Padang
Distribusi Hadi Joko Subiyanto Alamat Redaksi Jl Wahid Hasyim No 194 Kampung Bali Tanah Abang, Jakarta 10250 Telp. 021-3160681
6
Oktober 2011
Foto tindaktandukarsitek.wordpress.com
Keuangan Rahmanita Akunting Lucky Lukman Budiana
Foto tindaktandukarsitek.wordpress.com
REDAKSI
Balai Rakyat & Gelanggang Remaja Apa khabar Gelanggang Remaja yang digagas almarhum Ali Sadikin, Gubernur Jakarta di tahun 1970an? Dulu, institusi pendidikan intra sekolah ini amat berpengaruh bagi pengembangan jiwa dan kepemimpinan para remaja yang aktif didalamnya. Banyak nama beken di ‘panggung’ Indonesia saat ini, khususnya di bidang seni budaya, dulu lahir lewat Gelanggang Remaja. Lembaga ini pula
pula yang mengilhami lahirnya Balai Rakyat dan berbagai balai kesenian di berbagai pelosok negeri. Bahkan beberapa negara, semisal Malaysia dan Brunei Darusalam, membangun lembaga serupa karena terilhami keberadaan Gelangang Remaja di Jakarta. Menjadi tugas KULTUR untuk mengungkap, mengapa fasilitas Gelanggang Remaja di Jakarta saat ini tampil cuma sekadar sebagai tempat pesta pernikahan. Kami tunggu! Malik Ahmad Warung Buncit, Mampang, Jakarta Perhatian Pemerintah Selamat atas terbitnya KULTUR. Saya berharap media ini bisa lebih mengungkap wajah dan rupa budaya seni Indonesia yang amat beragam, dan cenderung tak diperhatikan oleh pemerintah saat ini. Sebagai contoh misalnya, banyak produk kesenian klasik khas Indonesia yang ingin diklaim sebagai milik bangsa dan negeri lain. Ini bisa terjadi karena selama ini, pemerintah sendiri kurang perhatian pada produk budayanya sendiri. KULTUR harus berada di depan untuk mengungkap dan memperjuangkannya!. Anwar Syueb, Bekasi
Pusat Kebudayaan KULTUR sebagai majalah budaya dan kesenian bisa menjadi lokomotif bagi masyarakat luas untuk lebih memahami peta budaya dan kesenian yang ada di Indonesia. Satu hal yang menarik untuk dikupas adalah mengenai pusat-pusat kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta misalnya, ada pusat-pusat kebudayaan apa saja selain Taman Ismail Marzuki? Bagaimana dengan kota-kota dan daerah lain di amparan kepulauan Indonesia? Apa dan bagaimana pusat-pusat kebudayaan itu bisa tetap hidup? Kami tunggu laporannya. Salam budaya! Ridwan Fauzi Jl. Suralaya, Buah-Batu, Bandung
Kirim Surat Pembaca Surat pembaca dikirimkan melalui email ke redaksi.and@ gmail.com. dengan dilampiri fotokopi KTP atau identitas lainnya. Harap mencantumkan nama dan alamat email yang jelas. Redaksi berhak mengedit setiap surat yang dimuat.
OKtober 2011
7
Artualitas
Gelar Produk Koperasi & UMKM
Ensemble Guitar OPUS 78 Saturday Nite Concept
Pentas Teater Sastra Ui Baju Baru Sang Raja
Festival Tabot
Gelar Wisata dan Budaya Indonesia
BENGKULU
Jakarta
Festival Kakao, Kopi & Teh Indonesia 2011
Graha Bhakti Budaya TIM Kamis – Minggu, 24 – 27 November 2011 Karya I Yudhi Soenarto, keinginan raja untuk memiliki sebuah pakaian yang baru.
Gedung Kesenian Jakarta Sabtu, 26 November 2011, pukul 20.00 WIB Konser Musik Gitar Akustik
Pagelaran Seni dan Budaya
Pameran Dwi Tunggal Budi Karmanto & Mas Padhik
Gedung Kesenian Jakarta Minggu, 20 November 2011, pukul 19.00 WIB Menampilkan pelbagai macam kesenian daerah di Indonesia
Festival Budaya Anak
World Music Concert
Graha Bakti Budaya TIM 20 – 22 November 2011/15.30 Sutradara Ibe Karyanto, music oleh Andrie Setiawan & Doge Abdurahman.
8
Oktober 2011
Taman Ismail Marzuki Jakarta 18 – 23 November 2011 Menampilkan ragam budaya dan permainan anak Indonesia.
The Art of Over Sixty ASRI
Galeri Cipta II 18 – 27 November 2011 Pameran seni lukis dan patung alumni ASRI/ STSRI/ISI Yogyakarta.
Batam Agrobussiness Expo
Festival Mahakam
ASEAN Community
Bali
Alun-alun Kota Ponorogo, 20 – 27 November 2011, Pesta rakyat, seni dan tradisi masyarakat di Ponorogo menyambut bulan suro .
Pantai Sanur Bali, 19 – 23 November 2011, Agenda tahunan Sanur juga dimeriahkan dengan festival layang-layang.
Kongres UNESCO
Bali 22 November 2011 Rencananya akan diajukan tari saman, tari pendet dan TMII sebagai milik Indonesia.
Festival Muharram
Festival Sriwijaya
Palembang 11 November 2011/ 09.00 WIB Festival memperingati hari lahir kota Palembang.
Paralayang Exibition
Bali Nusa Dua Convention Center 17 – 19 November 2011, Bali akan menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi.
Pesta Pantai
Kabupaten Agam, Sumatera Barat 1 – 2 November 2011 Acara pesta rakyat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.
Festival Multicultural
Batam
Kalimantan Timur
Graha Bakti Budaya TIM Jakarta 12 November 201/20.00 WIB Pagelaran Indonesia untuk dunia dengan Miss Tradisional Saigon oleh Mahagenta.
Konserta Lentera Rumah Kita
Galeri Cipta III TIM Jakarta 4 – 14 November 2011/10.00 WIB Pameran Lukisan karya Budi Karmanto & Mas Padhik.
Balai Rakyat Semarak Bengkulu 27 November 2011 – 6 Desember 2011 Berpadunya sejarah, tradisi dan kemeriahan pertunjukan seni.
Sanur Village Festival & International Lite Festival
Sumatera Selatan
Gedung Kesenian Jakarta Jumat - Sabtu, 11 – 12 November 2011 Konser Musik Gitar
Mega Mall Batam, 25 – 28 November 2011, Menampilkan potensi dan peluang investasi sector pariwisata nusantara.
Grebeg suro Ponorogo
Jawa Timur
Rumah Tembi Budaya Konser Musik Strings
Mega Mall Batam, 18 – 21 November 2011, Pameran produk unggulan koperasi dan UMKM dari pelbagai daerah Indonesia.
Sumatera Barat
Balai Kartini Expo, Indonesia Rabu – Jumat, 9 – 11 November 2011. Pameran dan konferensi tentang kakao, kopi, dan teh.
Festival Mahakam, 11 – 14 November 2011, Festival Budaya Sungai Mahakam yang rutin diselengarakan setiap tahun.
Mega Mall Batam 11 – 14 November 2011, Seminar, Pameran, Temu Bisnis Pelaku dan Praktisi serta lelang produk pertanian.
Kota Bukittinggi, Sumatera Barat 29 November 2011 Pesta rakyat, seni dan tradisi masyarakat di Bukittinggi menyambut bulan Muharram.
Kota Sawahlunto, Sumatera Barat November 2011 Ajang pertemuan dan perlombaan cabang olahraga Layang Gantung.
Kota Sawahlunto, Sumatera Barat 27 November 2011 – 3 Desember 2011 Festival bertaraf internasional memeriahkan perayaan hari jadi kota Sawahlunto.
OKtober 2011
9
Seleksi FIKSI
Kening (194 halaman) Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU), Penulis : Rakhmawati Fitri (Fitri Tropica) Fitri Tropica yang dikenal cuek dan sedikit ‘gila,’ berupaya mengungkapkan sisi lain kehidupan dan perjuangannya dalam meniti karir. Perempuan kelahiran Bandung, itu juga memaparkan percintaannya secara gamblang. Walhasil, bagi yang peduli, karya ini cukup komplet menyajikan sisi pribadi penulisnya. Disajikan dengan ringan dan mengalir, pembaca dapat mengikuti ke mana arus yang diinginkan si penulis.
Antologi Fiksi Mini (222 halaman) Penulis : 26 Pengarang Indonesia, Penerbit : Kosa Kata Kita, Jakarta, September 2011 Pada dasarnya dunia sastra adalah belantara yang pada wilayah tertentu belum terjamah manusia. Lebih dari itu, sastra pun bisa lahir dari celotehan di twitter atau fb. Sehingga, apa yang disebut fiksi mini pun tumbuh dan berkembang seperti sekarang. Buku yang bermula dari account twitter @fiksimini, ini adalah salah satu contohnya. Secara keseluruhan, kisah-kisah yang termuat di sini bertemakan cinta, perselingkuhan dan masalah kehidupan lainnya. Toh, definisi fiksi mini sendiri masih terus dipertanyakan. Meskipun, ada yang memberikan batasan sangat praktis: Maksimal 140 karakter.
Remember When (260 halaman) Penulis : Winna Efendi Penerbit :Gagas Media, Jakarta, 2011 Sinopsis : Remember When mengisahkan perjalanan empat sahabat yang mulai saling mengenal saat mereka berseragam putih abu-abu. Cerita yang biasa terjadi di dunia remaja, itu disajikan penulisnya dengan alur berbeda. Pembaca nyaris dibuat bingung karena penulis menceritakan setiap tokoh di dalam kisah ini seakan pembaca sedang mengintip diary anak-anak SMU. Toh, cerita-cerita ringan itu tetap mengesankan. Dan, Winna Efendi adalah salah seorang penulis muda yang mulai dikenal berkat cara penulisannya.
10
JUNI 2011
1Q84 944 halaman) Penulis : Haruki Murakami, Penerbit : Knopf, New York, Oktober 2011 Setelah pertama kali diterbitkan, 2009, edisi asli buku ini segera mengalami cetak ulang berkali-kali. Hanya dalam tempo sebulan, tak kurang dari sejuta kopi terjual. Bahkan, sebelum terbit, penerbit dan toko buku sibuk melayani banjir pesanan. Murakami, kelahiran Kyoto, 1949, memang penulis kontemporer Jepang paling fenomenal. Berkisah tentang petualangan aneh, misterius, dan mistis dari seorang gadis bernama Aomame, yang menemukan realitas paralel, yang ia sebut sebagai 1Q84; novel yang terdiri dari tiga volume ini benar-benar meyakinkan. Aomame tak hanya saling mencari dengan “belahan jiwanya”, Tengo. Kedua pribadi dalam satu tubuh itu saling berdialog tentang berbagai hal – mulai dari agama, politik, sampai kriminalitas – seraya melakoni petualangan aneh.
The Parihaka Woman (280 halaman) Penulis : Witi Ihimaera, Penerbit : Random House, New York, Oktober 2011 Parihaka, sebuah desa Maori di Semenanjung Taranaki, 55 kilometer barat daya New Plymouth, Selandia Baru, adalah tempat mukim Erenora ketika kawasan itu diserang para penjarah yang kemudain merampas lahan mereka. Toh, Erenora menemukan kekuatan dan keberanian yang tak hanya menyelamatkan dirinya. Tapi juga, Horitana, sang suami. Dengan latar sejarah dan pergolakan di Parihaka menjelang akhir abad 19, novel ini tak semata sebuah novel sejarah. Tapi, seperti novel-novel Ihimera lainnya: Berkisah tentang kekuatan cinta seorang perempuan. “Novel ini menegaskan konsistensinya dalam memperluas jangkauan kemanusiaannya, serta dalam mengeksplorasi sejarah Selandia Baru, yang kemudian ia pertemukan dalam fiksi,” tandas situs The Wheelers.
The Litigators (400 halaman) Penulis : John Grisham, Penerbit : kosakatakita Sinopsis : Seorang pengacara muda yang baru kehilangan pekerjaannya tiba-tiba muncul di kantor hukum Finley&Figg. Semula, baik Oscar maupun Wally, pemilik firma itu, memandang sebelah mata kepada anak baru itu. Namun, ketika si pemuda menunjukkan data-data yang diunduhnya dari internet, dua kompanyon itu terbelalak: Kasus besar menanti mereka. Sebagaimana novel-novel Grisham sebelumnya, The Ligitators tak hanya menyajikan ketegangan dan kejutan. Tapi, juga trik-trik hukum yang membuat kaum awam terpana. Tak aneh bila novel Grisham ke 27 ini hanya mengukuhkan lelaki kelahiran Jonosboro, Arkansas, itu sebagai penulis kisah hukum nomor wahid di muka bumi.
JUNI 2011
11
N ON F I K S I
Grand Pursuit: The Story of Economic Genius (576 halaman) Penulis : Sylvia Nasar, Penerbit : Simon & Schuster, New York, September 2011 Ini kisah epik terciptanya ekonomi modern. Juga tentang bagaimana manusia menyelamatkan dirinya dengan menyerahkan nasibnya kepada kekuatan sendiri – bukan pada Takdir. Nasar, salah satu karyanya antara lain John Nash, biografi pakar Amerika yang kemudian memberikan Academy Award bagi Ron Howard setelah ia membuaf film berdasarkan buku tersebut, A Beautiful Mind (2001); melintasi waktu dalam memaparkan sejarah ekonomi ini. Melesak jauh ke era Victoria, ketika Charles Dickens dan Henry Mayhew menyaksikan munculnya mayoritas kaum miskin di pertengahan abad 19 di London,.Kemudian, ia menggambarkan upaya heroik dan revolusioner yang dilakukan Marx, Engels, Alfred Marshall, Beatrice dan Sydney Webb, dan Irving Fisher. Sampai sosok besar John Maynard Keynes, Schumpeter, Hayek, Joan Robinson, Paul Samuelson, Milton Freedman, dan Amartya Sen. Dalam narasi yang dramatis, Nasar menunjukkan bagaimana para penemu itu menyaksikan kehidupan.
Just My Type: A Book About Fonts (356 halaman) Penulis : Simon Garfield, Penerbit : Gotham Book, New York, September 2011 Simon Garfield dikenal sebagai penulis yang memilih topik-topik aneh dengan gaya berturut yang indah. Dan kali ini, ia memilih tema tentang font atau jenis huruf, yang muncul seiring penemuan mesin cetak pada abad 15. Bagi kita yang hidup di abad internet, adalah mengejutkan menemukan fakta bahwa pencetakan bukubuku secara massal baru berlangsung menjelang akhir kehadiran manusia. Selama 600 tahun, buku, subyek yang menjadi bagian integral hidup kita, hanya dimiliki para penguasa agama dan orang-orang kaya. Tak hanya memberikan perhatian khusus kepada jenis-jenis huruf yang paling akrab dengan kita -semisal Helvetica, Gill Sans, Arial, dan Akzidenz Grotesk. Dia juga berkisah tentang sosok-sosok di balik font tadi. Lengkap dengan emosi terkait penemuan-penemuan jenial itu. Sehingga, kitapun berfikir: Alangkah menjemukan bila hidup hanya diisi dengan satu jenis font.
The Magic of Reality: How We Know What’s Really True (272 halaman) Penulis : Richard Dawkins & Dave McKean (Ilustrator), Penerbit : Free Press, New York, Oktober 2011 Sihir digunakan nenek moyang kita untuk menjelaskan dunia sebelum mereka mengembangkan metode ilmiah. Bangsa Mesir kuno menjelaskan malam dengan menyebutkan Dewi Nut menelan matahari. Bangsa Viking mempercayai pelangi sebagai jembatan para dewa menuju bumi. Orang Jepang menjelaskan gempa bumi dengan kibasan lele raksasa yang menggnggam bumi. Semua itu jelas luar biasa. Meskipun, ada jenis lain dari sihir, dan itu terletak pada kegembiraan untuk menemukan jawaban nyata untuk pertanyaan ini: Keajaiban realitas-ilmu pengetahuan. Dikemas dengan eksperimen pemikiran yang cerdas, ilustrasi mempesona dan penuh fakta, buku ini menjelaskan berbagai macam feonema alam yang memukau. Seuatu benda terbuat dari apa? Berapa usia alam semesta? Mengapa benua terlihat seperti potongan-potongan teka-teki silang yang terputus? Apa yang menyebabkan tsunami? Mengapa ada begitu banyak jenis tanaman dan hewan? Siapakah manusia pertama? Lelaki atau perempuan? Sebuah flashback, kisah detektif grafis yang tidak hanya sebuah tambang ilmu. Tapi, juga membawa pembaca menjasi seorang ilmuwan.
12
JUNI 2011
Sinopsis :
The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World (816 halaman) Penulis : Daniel Yergin, Penerbit : Penguin Press HC, London, September 2011 Buku ini menyajikan kisah menarik tentang isu-isu global paling penting abad ini: Pencarian dan kebutuhan enerji yang terus membumbung, kelestarian lingkungan, keamanan dan perhatanan negara, modernisasi, dan globalisasi. Selain membahas perkembangan politik terkait minyak, diungkapkan pula sejarah mengejutkan dan penuh gejolak terkait enerji alternatif: nuklir, batubara, listrik, dan gas alam. Pun “kelahiran kembali enerji terbarukan” biofuel dan tenaga angin serta peran Zaman Es Baru dalam perubahan iklim planet bumi. Daniel Yergin, seorang pakar enerji terkemuka Amerika, merajut seluruh masalah itu dengan gaya reportase yang basah – lengkap dengan analisis-analisisnya yang tajam. “Buku ini menguasai dan menerangi salah satu masalah paling penting zaman kita ini. Ini akan mempengaruhi politik internasional, ekonomi, dan negara-negara di seluruh dunia, harus menjadi bacaan penting bagi para pembuat kebijakan di mana-mana,” ujar mantan Menlu AS Dr. Henry Kissinger.
Boomerang: Travels in the New Third World (224 halaman) Penulis : Michael Lewis , Penerbit : W. W. Norton & Company, New York, Oktober 2011 Tsunami kredit murah yang melanada planet bumi sepanjang 2002-2008 lebih dari fenomena keuangan sederhana. Melainkan, sebuah godaan yang memungkan orang memanjakan dirinya di luar kemampuan. Orang-orang Islandia tak lagi pergi memancing, mereka malah menjadi bankir investasi. Orang-orang Yunani pun ingin mengubah negara mereka jadi sebuah boneka pinata dengan uang tunai dan memungkinkan mereka mengambil mendera hal itu. Jerman ingin jadi lebih Jerman, sementara Irlandia ingin berhenti menjadi Irlandia. Investigasi Michael Lewis ini begitu cemerlang, sekaligus menyajikan realitas yang lucu sekaligus menyedihkan: Sementara orang-orang Amerika mentertawakan masyarakat Eropa, di California dan Washington sebuah perangkap menganga lebar. Amerika ternyata debitur paling rakus. Sebuah buku analisis ekonomi dan keuangan yang, seperti gaya Lewis selama ini, disajikan dengan penuh humor.
Wheat Belly: Lose the Wheat, Lose the Weight, and Find Your Path Back to Health (304 halaman) Penulis : William Davis MD, Penerbit : Rodale Books, New York, Agustus 2011 Setiap hari, lebih dari 200 juta orang Amerika mengkonsumsi produk makanan yang terbuat dari gandum. Akibatnya, lebih dari 100 juta dari mereka mengalami berbagai efek kesehatan dan estetika yang merugikan. Mulai dari ruam ringan, gula darah tinggi, sampai perut yang menjorok jauh ke depan. Dan itu, kata Davis, tak ada kaitannya dengan kerakusan, kemalasan, atau mentega yang terlalu banyak kita lahap. Itu semata karena gandum yang membungkus makanan kita, yang kemudian menjadi wabah nasional Amerika: Obesitas. Tentu ini bukan buku kesehatan biasa. Terlebih, sebuah buku soal diet. Davis, seorang ahli jantung terkenal, setelah meneliti 2.000 pasien, menjelaskan bagaimana menghilangkan gandum dari makanan kita dapat mencegah penimbunan lemak, mengecilkan tonjolan sehingga tubuh sedap dipandang, dan tentu saja membuah kita lebih sehat. Ia juga mengingatkan bahaya lebih jauh dari produk bisnis dan genetika yang disebut gandum ini.
JUNI 2011
13
H U M A N IOR A Jacqueline Kennedy: Historic Conversations on Life with John F. Kennedy (400 halaman, 8 set CD dan 85 foto). Penulis : Caroline Kennedy, Penerbit : Hyperion, New York, 2011 Selama hidupnya, Jacqueline Kennedy dikenal sebagai pribadi yang enggan membicarakan kehidupan pribadinya. Namun, tak lama setelah pembunuhan suaminya, Presiden John F.Kennedy, ketika Amerika berkabung dan tertegun, ia menyetujui sebuah proyek sejarah lisan yang akan memaparkan kehidupan JFK dari tangan pertama. Meskipun, sejarawan Arthur Schlesinger, yang mendapat kesempatan langka itu, hanya bisa takjub mendengarkan keterangan Jacky. Adalah Caroline, salah satu anak mendiang JFK-Jacky, yang mebuka kembali rekaman-rekaman tersebut. Delapan setengah jam wawancara bersejarah itu menyodorkan catatan unik dan menarik dari sebuah era penuh gejolak, memberikan wawasan segar pada banyak orang, dan mengungkap banyak hal di balik peristiwa penting dunia. “Wawancara ini menunjukkan prespektif santun Mrs.Kennedy, juga keterusterangan dan kecerdasannya yang meyakinkan kita akan keluasan dan kedalamannya,” tulis ABC.
A Stolen Life, A Memoir (313 halaman) Penulis : Jaycee Dugard, Penerbit : Simon & Schuster, New York, 2011 Sementara sejumlah korban seperti dirinya meratap dan mengasihani diri, Jaycee Dugard berjalan dengan leher tegak. Ia tak mengistimewakan dirinya. Ia hanya bicara apa adanya, dengan percaya diri dan penuh harga diri. Setelah menulis sejumlah buku, antara lain My Dreams for the Future dan Write a best seller, yang banyak menarik perhatian pembaca, Jaycee memaparkan kisah hidupnya yang sebagian terasa sangat pahit: Mengawali 10 tahun pertama hidupnya dengan normal, kala berusia 11 tahun, ia diculik kala menunggu bis yang akan membawanya sepulang sekolah. Tak tanggung-tanggung, ia disekap para penculiknya, sepasang suami isteri, selama 18 tahun sekaligus melahirkan dua anak dari salah seorang penculiknya. “Saya tak menganggap diri saya sebagai seorang korban, saya berhasil melalui semua itu. A Stolen Life adalah kisah hidupku — dalam kata-kata saya sendiri, dengan cara saya sendiri, seperti apa yang saya ingat,” kata Jaycee.
In the Garden of Beasts: Love, Terror, and an American Family in Hitler’s Berlin (464 halaman) Penerbit : Crown Publishing Group, New York, 2011 Penulis : Erik Larson Setelah Isaac’s Storm, The Devil in the White City, dan Thunderstruck, lewat buku ini Erik Larson kembali menunjukkan bakat dan ketrampilannya dalam menuliskan kisah non fiksi yang berlapis-lapis dan sering kali mengejutkan. William E. Dodd, seorang profesor sejarah, adalah sosok yang tidak tepat untuk menjadi duta besar Amerika di Jerman semasa negeri itu dikuasai Hitler. Dan itu disadari Presiden Roosevelt. Dodd sejatinya pilihan terakhir dari lima calon kerika itu. Maka, tak heran bila semasa tinggal di Berlin itu, Dodd tak hanya menyaksikan kebiadaban dari “Jerman Baru”. Tapi, juga tersentuh oleh sikap mengharukan Martha, puterinya. “Larson menempatkan kisah-kisah yang sangat pribadi itu dalam konteks peristiwa yang terus memburuk,” ujar Roberto Ueno, pengulas dari Milan.
14
Oktober 2011
A Point in Time: The Search for Redemption in This Life and the Next (123 halaman) Penulis : David Horowitz, Penerbit : Regnery Publishing Inc, Washington DC, 2011 David Horowitz dikenal sebagai petarung yang penuh keberanian dalam soal-soal politik. Dia akan pergi ke mana saja untuk berdebat. Dan, dalam bukunya yang tipis ini, hanya 123 halaman, ia mempertanyakan persoalan yang telah lama menjadi pertanyaan para filosof dan agamawan: Apa tujuan keberadaan kita di dunia? Adakah sesuatu setelah kematian? Apakah kita bagian dari pawai sejarah yang maju menuju dunia yang lebih baik? Jika kita percaya kita dinilai hanya oleh sesama kita, apa yang membuat kita bersikap lebih baik terhadap orang lain? Menjawab pertanyaan dasar itu, tak heran bila Horowitz berlari ke sana ke mari, tak jarang melintasi rentang waktu yang sangat panjang, lebih dari seribu tahun untuk mencari jawabannya. Di bagian pertama, misalnya, ia mengutip Marcus Aurelius dan Fyodor Dostoevsky. “Jika alam semesta hanya kumpulan unsur yang membentuk massa, mengapa saya harus terus berada di dalamnya?,” ujar Horoewitz, mengutip Aurelius.
Kutemukan Makna Jihad (137 halaman) Penulis : Ifa Avianty , Penerbit : Lazzuardi Biru, Jakarta, 2011. Memperingati 10 tahun Tragedi 9/11, LSM Lazuardi Birru tak ingin ketinggalan momentum: Meluncurkan komik berjudul Kutemukan Makna Jihad, berdasarkan pengalaman tiga sosok yang sempat terlibat serta korban kegiatan radikalisme dan terorisme. Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III Jemaah Islamiyah (JI) yang menjadi tokoh utama dalam komik itu, mencurahkan seluruh pengalamannya berkecimpung dalam perjuangan menegakkan jihad itu. Menurut Nasir, sebelum 2003, jihad yang dia peajari menganggap pemerintahan yang tidak Islam, Amerika Serikat, dan umat Kristen adalah musuh yang harus diperangi. Namun, hal itu berubah ketika ia ditangkap karena terlibat dalam teror bom di Indonesia. Ia menemukan makna baru jihad. Jihad membutuhkan tempat yang jelas serta musuh yang jelas pula. Teror bom di Kedutaan Australia, gereja, dan sejumlah teror lainnya di Indonesia, kata dia, bukan tempat yang jelas dan tidak menghadapi musuh yang jelas.
In My Time, A Personal and Political Memoir Penulis : Dick Cheney bersama Liz Cheney, Penerbit : Simon & Schuster, New York, 2011 Mantan Wakil Presiden AS Dick Cheney memberikan sebuah potret pantang menyerah dari politik Amerika selama hampir empat dekade. Buku ini juga mencerminkan refleksi pribadi Cheney sebagai salah satu negarawan Amerika yang penuh kontradiksi. Lahir dalam keluarga Demokrat di Lincoln, Nebraska, Cheney adalah anak seorang seorang veteran Perang Dunia. Dia pindah ke Casper, Wyoming, dia tak hanya berhasil masuk tim bisbol dan sepak bola di sekolahnya. Tapi, juga menjadi ketua OSIS dan menarik Lynne Vincent sebagai pacar dan, kemudian, isterinya. Gagal menyelesaikan studinya di Yale, tapi berhasil meraih BA dan MA bidang politik di Universitas Wyoming, karir politik Cheney terbilang gemilang: Kepala Sataf Gedung Putih termuda di periode pertama pemerintahan Gerald Ford, menjadi salah seorang pimpinan kongres di masa Reagan, Menteri Pertahanan semasa Presiden George HW Bush, Wakil Presiden George W.Bush dan bersama-sama melancarkan perang terhadap teror di muka bumi, dan CEU Halliburton yang membuatnya kian menjulang di mata pengagumnya.
OKtober 2011
15
CAKRAM
ADELE – 21 Menyusul album pertamanya, Adele 19 (2008), penyanyi kelahiran 22 tahun silam ini langsung meraih Grammy Awards sebagai Best New Artist dan Best Female Pop Vocal Performance (2009). Para kritikuspun menabalkannya sebagai wanita paling berpengaruh di jagat musik pop dunia. Tak heran bila album keduanya ini langsung menjadi salah satu album terlaris. Padahal, berbeda dari sebelumnya, album berisikan 11 lagu ini melesak dari genre country yang nyaris menjadi ciri khasnya. Atau, justru karena keberaniannya merambah genre lain, ia menjadi salah satu musikus fenomenal sekarang ini?
Maher Zain – Thank You Allah Di tengah hingar bingarnya kecurigaan terhadap Islam, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran Maher Zain. Penulis dan produser lagu asal Lebanon yang kini mukim di Swedia itu mampu menarik perhatian publik dunia dengan lagu-lagu Islami-nya. Thank You Allah, album debutnya yang berisi 13 lagu plus dua lagu sebagai bonus, itu masuk dalam deretan lagu-lagu laris sekarang ini. Menampilkan keyakinan agamanya dalam balutan musik R&B, album Maher tak hanya digemari kalangan muslim. Kalangan non muslim pun, konon, menyukai lagu-lagu dia. Karena itu, selain merilis versi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, Maher juga menyajikan albumnya ini dalam bersi perkusai dan Bahasa Prancis.
Lima Elang Kesal dengan keputusan orangtuanya, yang pindah dari Jakarta ke Balikpapan, Baron menenggelamkan diri dalam permainan mobil RC. Pun ketika ia terpilih sebagai salah satu wakil dalam perkemahan Pramuka. Terlebih, dalam kegiatan itu, ia harus satu regu dengan Rusdi yang menjengkelkelkan. Semua itu berubah ketika Rusdi dan Anton diculik komplotan penebang liar pimpinan Arip Jagau di tengah hutan. Baron, Aldi, dan Sindai, yang tadinya mau kabur dari perkemahan, memilih kembali untuk menolong kedua temannya itu. Berhasilkan usaha mereka? Benarkah Baron bisa berubah?
Fast & Furious 5 Brian O’Connor dan Mia Toretto berhasil membebaskan Dom dari tahanan. Meskipun, untuk itu, mereka harus kucing-kucingan dengan para petugas perbatasan. Dan, kini, di Rio de Janeiro, mereka harus menyelesaikan pejuangan mereka merebut kebebasan: Menghadapi pengusaha korup yang menginginkan kematian mereka. Maka, agen federal Lukas Hobbs pun sadar: Ia dan anak buahnya tak semata harus menangkap Brian dan Mia. Sasaran lainnya menunggu. Karena itu, iapun harus ia harus mengandalkan nalurinya untuk menangkap mereka. Sebelum pihak lain mendahuluinya!
16
Oktober 2011
I See The Sign - Sam Amidon Tentu saja, folk song yang dibawakan Amidon berbeda dari lagu-lagu Dylan. Di tangan Amidon, lagu-lagu rakyat, atau malah lagu pop yang sangat kita kenal, menjadi sesuatu yang baru – tanpa kehilangan asal-usulnya. Berbagai suara ia tampilkan menjadi sajian harmonis yang bisa kita nikmati kapan saja. Meskipun, Amidon sendiri menampik disebut sebagai pencipta. Toh, kita paham: Ia seorang pencipta melodi yang jenius, yang bahkan mampu menghadirkan sunyi sebagai bunyi. Floklore dan kisah-kisah yang ada dalam Alkitab dibawakannya dengan cara baru.Berisikan sebelas lagu, dengan I See The Sign sebagai andalannya, dalam album ini Amidon melibatkan banyak musisi dengan berbagai latar belakang tradisi. Shahzad Ismaily, backing vocal, penabuh perkusi dan pemetik gitar, misalnya, akrab dengan musik-musik sufi Timur Tengah. Sementara, Nico Muhly, biasa mengiringi paduan suara di gereja.
True Love Cast Out All Evil - Roky Erickson With Okkervil River Bila kita merasakan kengerian, kehampaan, dan kenestapaan dalam album ini hendaknya kita tak perlu terlalu risau. Album ini merupakan catatan hidup Rocky Erikson, pendiri The 13th Floor Elevators. Terutama periode empat dekade silam, ketika ia tenggelam dalam obat bius dan segala ketidakpatutan hidup. Ditambah dengan raungan gitar Okkervil River, gitaris era psikadelik, kegelapan masa muda Erickson itu kian terasa. Tak seperti album Time Out of Mind-nya Bob Dylan, album ini dikerjakan bersama para musisi rock yang mampu membuktikan bahwa usia tua masih mampu menghasilkan karya yang baik. Sehingga, optimisme jua yang kita rasakan pada akhirnya. Terlebih, lewat God Is Everywhere-nya, Erikson yakin perjuangan hidupnya tak pernah sia-sia.
So Runs The World Away - Josh Ritter Album ini selayaknya rollercoaster dalam gaya bermusik, penulisan lagu yang intim dan emosional. Tetapi yang lebih penting adalah, terlihat sebuah peningkatan , ritters membuat pendengarnya mendengarkan setiap lirik dalam lagu tersebut. Bukan hanya melakuan yang terbaik, tetapi ia menjadi menjadi lebih baik dibandingkan dengan musisi kebanyakan. Pemilihan alur yang tidak biasa dan bahan asli adalah sebuah penggabungan yang cerdas, suatu pemilihan yang baik adalah mereka. Tetapi secara keseluruhan, tidak ada kekurangan yang nampak, ini memberikan rasa penasaran.
World Music Australia - Roky Erickson With Okkervil River Dimulai sejak dekade 80-an, World Music Australia (WMA) menampilkan khazanah musik Benua Kanguru. Karena itu, tak heran bila dalam album yang merupakan penampilan terpilih dari WMA 2007 ini kita akan mendengar desah kaum Aborigin, gemericik air, kicau burung, atau suara daun kering yang terinjak kaki telanjang. Pendek kata, suasana dan nuansa pedalaman asli Australia terdengar nyaring dalam album ini. Meskipun, yang mungkin agak kita sayangkan: Semua itu kerap terlalu artifisial. Campurtangan komputer dan teknologi digital seringkali terlalu bening. Sehingga, alih-alih mendengarkan keaslian suku Aborigin, kita malah disuguhi kecanggihan teknologi. Hal yang juga kita rasakan manakala mendengar sejumlah kaset-kaset lagu orang Indian dari Amerika Utara sana.
OKtober 2011
17
Musik
Semesta Musik Secinta Sastra TEKS Heryus Saputro dan Rizkita Sari FOTO Dok.Salihara
Bila puisi-puisi yang baik diberi sentuhan musik yang juga apik, maka lahirlah lagu-lagu atau nyanyian yang enak didengar dan menghentak rasa.
M
usikalisasi puisi, atau usaha pemusik untuk member i sentuhan nada dan irama pada sebuah kar ya puisi, bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Rocker Ahmad Albar ataupun grup musik Bimbo, sudah lama membuat lagu-lagu apik berdasarkan karya puisi Taufik Ismail. Bahkan penyair dan dramawan ( a l m a r h u m ) A g s A r y a D i p ay a n a , bekerjasama dengan duo-musikus Ari & Reda Guadiamo, banyak menghasilkan lagu-lagu apik berdasarkan puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Tak kalah menarik untuk dicatat adalah kolaborasi komposer Dian HP dengan penyair Sitok Srengenge, dalam album Semesta Cinta. Puisi-puisi karya Sitok diimbuhi nada dan irama, membuahkan 12 buah lagu, yang lantas digelar dalam konser sastra-musik –juga bertajuk Semesta Cinta-- di Teater Salihara , Jakarta, 6 - 7 Agustus silam. Ketika puisi-puisi yang baik bercinta dengan musik yang apik, bisa dipastikan akan lahir lagu-lagu atau nyanyian yang tak sekadar enak didengar, tapi juga menghentak rasa. Barangkali itu juga kesan umum yang hadir malam itu. Berdasar puisi-puisi Sitok, Dian menafsir makna cinta dari pelbagai persepsi, memberinya sentuhan nada dan lahirlah lagu-lagu yang intim dan romantis. “Tiap puisi memiliki makna. Tafsir terhadapnya selalu menjadi tantangan bagi saya,” begitu antara lain ucap Dian. Ada kepuasan unik tiap kali ia 18
Oktober 2011
menggarap musik sastra macam itu, dan ini membuatnya ketagihan. Dian memang bukan sekali ini memusikalisasikan puisi. Sebelumnya, ia pernah menafsir puisi Nirwan Dewanto, juga Sitok Srengenge, yang dirangkum dalam album Komposisi Delapan Cinta, dan didendangkan Ubiet alias Nyak Ina Raseuki. Pa d a a l b u m S emes ta C inta , D i a n menyertakan 22 pendendang. Tiap lagu didendangkan pasangan penyanyi, perempuan dan laki-laki, dengan karakter suara yang berbeda satu sama lain. Dian memang jeli memilih pendendang untuk albumnya ini. Penyanyi tenor Christopher
Abimanyu dan soprano Binu Sukarman misalnya, keduanya sama menyajikan karakter yang khas dan tampak solid saat dipasangkan. Aransemen lagu yang dicipta Dian pada album ini juga tak semuanya sama. Memang, lagu dengan akar komposisi musik klasik terdengar mendominasi. Tapi warna pop dengan iringan musik format big band juga ada, sebagaimana ditampilkan duet Hedi Yunus dan Dea Mirella. Tak kalah menarik adalah lagu Bayang yang dinyanyikan duet Sruti Respati-Samsara. Dua vokalis ini membawakan lirik dalam warna berbeda.
Sruti dengan komposisi pentatonik Jawa, sedangkan pasangannya tetap berpegang dalam komposisi pop. Perpaduan tangga nada yang terdengar menyenangkan, ibarat konser dengan rasa gamelan Jawa. Lagu Tanah yang didendangkan Ira Batti dan Gideon Hallatu juga tak kalah menarik. Lagu ini dikomposisi dalam warna jazzy, melibatkan Doni Sunjoyo (double bass) dan Indra Dauna sebagai peniup terompet. Art song, begitu Dian dan Sitok menyebut lagu-lagu kolaboratif itu. Lagu-lagu dinyanyikan secara duet oleh sepasang
penyanyi, kecuali lagu kedua belas, bertajuk Cinta, yang dinyanyikan secara koor oleh seluruh pendendang: Agus Wisman, Andrea Miranda, Ary Kirana, Binu Sukaman, Chandra Satria, Christopher Abimanyu, Dea Mirella, Gabriel Harvianto, Gideon Hallatu, Hedi Yunus, Ira Batti, Jeanette, Lea Simanjuntak, Leo Simanjuntak, Lisa Depe, Lucky Octavian, Pungky Purnanto , Rayen, Samsara , Sita Nursanti, Sruti Respati, dan Ucie Nurul. Lagu-lagu yang ditafsir dari puisi-puisi Sitok Srengenge, dirayakan musik berformat orkestra dengan Dian HP sebagai music director. Konser sastramusik yang menarik! OKtober 2011
19
Film
Rise of the Planet of the Apes TEKS HERYUS SAPUTRO
Apa yang dipikirkan hewan-hewan percobaan di laboratorium penelitian, bila mereka bisa memiliki kepandaian setara manusia? Berontak, dan menuntut keadilan!
R
odman, ilmuwan pabrik farmasi Gen Sys, tengah mengembangkan obat untuk penyakit Alzheimer dengan mengujinya pada 12 ekor simpanse. Efek dari uji rekayasa genetika obat pada hewan percobaan itu, seekor simpanse menjadi amat reaktif dan memiliki berbagai kecerdasan mirip manusia. Seekor simpanse betina terpaksa ditembak mati petugas, karena ngamuk, mengacau dan mengganggu seisi kantor Gen Sys. Siapa mengira, Rodman menemukan seekor bayi di kamar induk simpanse yang telah tewas, dan membawanya pulang untuk dirawat. Lima tahun berselang, bayi simpanse yang diberi nama Caesar itu tampil secerdas manusia. Efek obat bekerja dengan baik, pikir Rodman yang lalu menyuntikkan obat sama ke tubuh ayahnya, Charles, yang juga menderita Alzhemeir. Kondisi Charles memang mmembaik. Namun beberapa tahun kemudian, alzhemeir kembali menyerang sang ayah. Satu ketika, Charles bertindak brutal dan mengganggu ketenangan tetangga sebelah rumah. Spontan Caesar datang untuk membantu dan melindungi Charles dari kemungkinan teraniaya tetangga
20
Oktober 2011
akibat perbuatan yang tak disadarinya itu. Namun polisi keburu datang, dan menduga Caesar sebagai otak dari kerusuhan tersebut. Caesar ditangkap dan dibawa ke tempat penampungan primata. Di penampungan, Caesar dan simpanse lain diperlakukan secara tidak wajar. Mereka kerap disakiti anak pengurus penampungan. Terpaksa makan makanan yang tidak layak, dan kalau melawan...para sinpanse akan disetrum. Caesar marah, dan ingin kembali ke rumah Rodman. Namun surat pengadilan belum keluar. Itu berarti, Caesar belum bisa dibawa pulang. Di sisi lain, Rodman kembali membuat obat baru yang lebih gress, untuk merawat dan membuat ayahnya sehat kembali. Uji coba pada simpanse membuktikan bahwa kerja obat ini memang jauh lebih kuat, lebih menimbulkan efek kecerdasan tinggi, dibanding obat sebelumnya. Tapi di lain pihak, Rodman akhirnya tahu bahwa pengurus penampungan primata kerap memperlakukan Caesar dan sinpanse lainnya dengan cara-cara tidak baik . Untuk i t u i a te r p a k s a menyogok petugas dengan beberapa lembar uang, agar Caesar bisa dibawa pulang. Tapi Caesar muthung, tak ingin pulang. Ia kadung marah, karena
merasa Rodman telah dengan sengaja mengulur-ulur kepulangannya ke rumah. Perubahan sikap itu bikin hati Rodman sedih.Ia pun pulang dengan tangan hampa, tanpa Caesar. Si apa meng ira , ter nyata C aes ar punya sebuah misi rahasia: melawan para ilmuwan Gen Sys yang selalu menggunakan simpanse sebagai mahluk percobaan atas obat. Dengan kecerdasan yang sudah dimiliki, para simpanse pun mengacaukan kota dan membentuk perlawanan keras terhadap Gen Sys. Berdurasi 105 menit, fiksi ilmiah karya sutradara Rupert Wyatt berdasarkan skenario Rick Jaffa dan Amanda Perak, ini dibintangi James Franco, Freida Pinto, John Lithgow, Brian Cox, Tom Felton, David Oyelowo, Tyler Labine, Andy Serkis, Chelah Horsdal, David Helwet, Jamie Harris, Richard Riddings, dan Karin Konoval. Menghabiskan biaya USD $ 93.000.000 atau sekitar Rp 744 Milyar, Studio 20th Century Fox memanfaatkan teknologi Weta Digital untuk memvisualkan gerakgerak tertentu Caesar yang diperankan sosok simpanse digital. Film apik yang menyentuh rasa, diimbuhi komposisi musik oleh Patrick Doyle yang digarap di Studio Symphoni Holywood.
OKtober 2011
21
Tari
Kutukan Si Pahit Lidah TEKS Rizkita Sari FOTO Leonardus Wisnu
Sakit hati karena kehadirannya tak dihiraukan para gadis, pria itu murka dan mengutuk mereka jadi batu.
S
i Pahit Lidah telah mengutuk sebuah desa menjadi gua. Dalam gua itu hidup pasangan suami istri, yaitu raja dan permaisuri, yang memiliki seorang putri. Di gua juga mengalir Sungai Semuhun yang bermuara di Sungai Ogan, tempat Putri Dayang Merindu serta para gadis desa biasa mandi dan mencuci pakaian. Suatu kali Si Pahit Lidah mengintip dan lalu menyapa sang putri. Namun, sang putri tak hirau pada sapaan itu, membikin Si Pahit Lidah murka mengutuk sang putri jadi batu. Kisah ini diungkap apik oleh sejumlah penari dari tim kesenian Provinsi Sumatera Selatan dalam Festival Nasional Kesenian, Tari Nusantara Tahun 2011. Tarian Putri Dayang Merindu, begitu nama tarian yang diangkat dari legenda bertajuk sama yang hidup di kalangan puak bud aya di K abupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. A d a banyak versi k isah b ere d ar. Dari ragam versi itu, koreografer Ermayanti menangkap spiritnya dan memformulasikannya ke dalam komposisi gerak yang dirancangnya. Bisa dibilang, “Ini tari tradisional yang sudah dimodifikasi, sebagai upaya kami mengangkat akar kedaerahan dan memvisualkannya ke khalayak di masa kini,� tutur Ermayanti. Untuk itu, sesuai tren zaman, ia sisipkan unsur-unsur teatrikal untuk menjadikan tarian lebih hidup. Lewat greget itu, tarian bertutur
22
Oktober 2011
bak sebuah kisah hingga mudah dicerna penonton. Ada beberapa adegan teaterikal yang sengaja diungkap Ermayanti di panggung. Antara lain lewat adegan para penari membawa kain sebagai simbol dari pance atau bale. Adegan berlanjut dengan kehadiran sosok pria sebagai Si Pahit Lidah yang tak dihiraukan oleh para penari perempuan sebagai simbolisasi dari penduduk desa. Dalam gerak dinamis, Si Pahit Lidah lantas mengambil kain tersebut. Kain lalu diangkat, dijembreng dalam sebentuk komposisi gerak diam (tabloe) cukup lama, gerakan ini sebagai simbolisasi dari penduduk desa yang lantas tegak diam saat dikutuk Si Pahit Lidah menjadi gua. D i ba l u t s a j i a n mu s i k e t n i k k h a s Palembang yang dibawakan Cristianto SM. Novian Rahardianto, Andy Sastra Wijaya, Yopy Frisanti, dan Firdaus Syafei; tarian apik dan dinamis ini dibawakan penari Asnila Wati, Vina Aprilia, Istianti, Mutia Maryanti, Elma Tiana, dan Angga Saputra. Ber tema eksplorasi tradisi untuk mendukung upaya pelestarian seni tradisi lokal dengan rupa kreatif dan inovatif, Festival yang berlangsung dari 20-22 September 2011 di Gedung Kesenian Jakarta, itu juga menampilkan tarian-tarian tim kesenian dari 28 provinsi di Indonesia. Gebyar kultural yang diharapkan bisa memikat dan mengimbangi kecenderungan generasi muda yang gandrung terhadap kesenian popular. OKtober 2011
23
Seni Rupa
Pertarungan Bumi Tarung TEKS MAMAN GANTRA FOTO LEONARDUS WISNU
Sanggar Bumi Tarung melakukan Pameran Besar setengah abad usia mereka. Pameran kedua setelah Orde Baru tumbang. Tapi, apa sebenarnya “kiri” itu?
S
eorang wartawan, yang lahir di paruh pertama dekade 50-an, mengenang era 60-an sebagai masa yang panas dan penuh gesekan. “Tak hanya lewat pawaipawai, dalam kehidupan sehari-hari pun kaum komunis kerap melecehkan dan mendiskreditkan kaum agama,” katanya. Dan, menurut dia, salah satu sayap komunis itu adalah Sanggar Bumi Tarung (SBT). “Mereka itu seniman kiri. Sekarang, mereka membela diri dengan menonjolkan penindasan yang mereka alami selama Orde Baru dengan melupakan penindasan yang mereka lakukan semasa mereka jaya dulu,” tandasnya. Namun, penindasan – bahkan, pertikaian ideologis -- itu seakan tak berjejak pada karya-karya yang terpajang dalam 50 Tahun Bumi Tarung, Pameran Besar 50 Tahun Sanggar Bumi Tarung, yang digelar di Galeri Nasional, Jakarta, sepanjang 24
JUNI 2011
22 September-2 Oktober silam. Pada karya-karya Ng.Bana Sembiring dan Sabri Jamal, contohnya. Dalam Para Ibu Petani, selain judul dan obyeknya yang berkisah tentang kaum perempuan tani, yang konon menjadi salah satu keprihatinan kaum kiri; sekilas, karya Sembiring ini tak berbeda dengan para pelukis “kanan” yang juga kerap terpesona dengan kehidupan rakyat kecil. Demikian pula dalam Bos Tebu-nya Sabri Jamal. Tiga lelaki, yang tampak makmur dan bahagia, dua di antaranya memegang dagu, tersenyum menghadap pemirsa. Pun Tembang Kenangan Suhardjija Pudjanadi, Ibu Bawa Kayu Mur yono, ataupun Keluarga-nya Isa Hasanda. Semuanya tak menggambarkan sikap revolusioner dan ketegangan politik masa silam itu. Benar, si Ibu dalam Keluarga tampak merengut, penuh kerut, dan seperti kurang bahagia. Tapi, kebahagiaan, ketidakbahagiaan atau penderitaan, dan kemurungan hidup lainnya, tak semata
menjadi perhatian kaum “kiri”. Bahkan, diorama beraroma politik dan sejarah pun, yang kerap disajikan dalam gaya gigantik, yang dalam pameran ini cukup dominan, juga dilakukan pelukis lainnya. Bukankah pemerintah Orde Baru, musuh politik mereka di masa lalu, memiliki banyak karya seperti ini? Mulai dari baliho di pinggir jalan sampai karya-karya yang tersimpan rapi di museum dan gedung pemerintahan. Demikian pula para seniman yang lebih kini. Tapi, sebelum tulisan ini lebih sok tahu, ada baiknya kita menengok pendapat dan pengamatan Bambang Subarnas dan EZ Halim yang lebih memahami pertarungan kaum Bumi Tarung ini. Mengutip Amrus Natasya, yang bersama Djoko Pekik menjadi ikon penting SBT, karya para seniman yang diasosiasikan sebagai kaum kiri itu telah mengalami metamorfosis. Setidaknya dalam wujud karya-karya mereka. ”Kanvas-kanvas Bumi Tarung tidak lagi semata-mata didominasi warna-
warna muram sepia yang memendam dendam dan luka,” kata Halim. Artinya, karya mereka cukup beragam – baik dalam hal tema dan warna. Bahkan, kritik sosial dan politik pun divisualisasikan dengan sublim. Sementara itu, masih mengutip Amrus, Bambang, yang bertindak selaku kurator dalam pameran ini, mencoba menjelaskan “evolusi ideologis” yang dijalani kelompok ini. Kendati tetap berpegang teguh kepada prinsip “1-5-1” – politik sebagai panglima, meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner, dan memadukan tradisi yang baik dengan kekinian revolusioner – perahu SBT kini menjadikan kontemporer(isme?) sebagai dayung. Maknanya, kendati tetap mengusung cita-cita revolusi, tampilan mereka tak lagi kusam dan kumuh. Tapi, bisa juga penuh warna seperti sekarang ini. JUNI 2011
25
Vox
Sebuah Simfoni untuk Anak Indonesia TEKS Indri Ariefiandi dan Rizkita Sari FOTO LEONARDUS WISNU
Tak hanya meneguhkan konsistensi dan strategi STSO dalam hal bermusik. Konser Simfoni Anak Indonesia juga mengukuhkan Dewi Atmodjo sebagai komponis dan konduktor handal Indonesia.
I
ndonesia surga bagi musik. Segala macam genre dapat dengan mudah ditemukan di negeri ini. Bahkan, tak jarang lahir pemusik ataupun penyanyi Indonesia yang mampu bersaing di dunia internasional. Meskipun, dalam hal musik yang dianggap serius, seperti orkestra, jarang kaum muda yang mau menekuninya. Tak heran bila kaum muda mendapat stigma yang membosankan: Lebih gandrung pada musik-musik “ringan” semisal pop, rock, ataupun metal. Toh, di tengah kesunyian itu ada lembaga pendidikan Santa Theresia dengan Santa Theresia School Orchetra (STSO)-nya. Kelompok orekstra ini tak hanya menjadi pilihan ekstra kurikuler siswa-siswi SMP, SMA, dan SMK Santa Theresia. Tapi, dibimbing maestro Addie ms, sejak 2007 merekapun aktif melakukan pagelaran. Dan Simfoni Anak Indonesia (SAI) yang digelar di auditorium Gedung BPPT Thamrin, Jakarta, 15 September silam, adalah konser mereka yang ke lima. Seperti konser-konser sebelumnya, dengan cerdik STSO meramu sejumlah reportoir yang berasal dari berbagai khazanah. Mulai dari khazanah musik klasik, pop, daerah, dan – bahkan – lagu anak-anak serta theme song sejumlah film populer. Menggenapi strategi tersebut, setelah sebelumnya menggaet diva senior Vina Panduwinata, kali ini mereka pun 26
Oktober 2011
menampilkan penyanyi jazz yang terus naik daun: Andien. Selain itu, Paduan Suara Simfoni Anak Indonesia (PSSAI) yang terdiri dari 70 anak TK dan SD dari berbagai sekolah di Jakarta, pun ikut mewarnai konser STSO kali ini. Tentang anak-anak, tampaknya menjadi perhatian utama – kalaupun tak disebut ideologi -- mereka. Dan ini bukannya tanpa alasan. Selain dekat dengan usia para pemain, usia kanak-kanak merupakan masa yang tepat untuk memperkenalkan musik. Sehingga, seluruh reportoir, yang berjumlah sembilan komposisi, bertemakan dunia kanakkanak. Hanya satu di antaranya, Piano Concerto No 2 karya Shostakovich (19061975), dimainkan pianis Ananda Sukarlan, yang diperuntukkan bagi kalangan remaja atau anak muda. Maklum, komposisi itu
ditulis Shostakovich pada 1957 sebagai hadiah ulangtahun ke 19 anaknya, Maxim. Konser sendiri dibuka dengan Variation from Twinkle-Twinkle Little Star yang gubahan Renardi Effendi. Seper ti judulnya, komposisi ini merupakan berbagai variasi gubahan atas lagu anak-anak Twinkle, Twinkle, Little Star. Sehingga, nada ringan dan riang lagu tersebut tak hanya menampilkan beragam instrumen musik. Tapi, juga berbagai jenis genre musik yang ada. Tak pelak, malam itu, STSO sudah mendapat aplaus panjang sejak lagu pertama berakhir. Diselingi versi lengkap Piano Concerto No 2 Shostakovich oleh Ananda, konser berlanjut pada nomor Simfoni Anak Indonesia, yang juga menjadi tema dan
judul pagelaran ini. Lirik lagu ini karya Dewi Atmodjo dan Christian Febrianto, yang memenangi lomba penulisan lirik lagu bertemakan perdamaian yang diselenggarakan Yayasan Musik dan Sastra Indonesia (YMSI), yayasan yang didirikan Ananda Sukarlan, dalam salah satu proyek mereka, Children in Harmony. Sementara, komposisi lagunya merupakan salah satu bagian dari karya sang konduktor, Dewi Atmodjo, yang kini sedang disusunnya. Menampilkan Andien dan PSSAI, karya ini tak hanya menampilkan concern Dewi terhadap pendidikan dan dunia anak-anak. Tapi, juga meneguhkan kepiawian dia sebagai komponis dan, tentu saja, sebagai konduktor. “Sipit, belo, hitam, putih, Indonesia tercinta. Nusantara luas alam semesta...,” demikian Dewi dan Christian
mengawali lagu mereka. Setelah itu, berbagai lagu yang menjadi theme song sejumlah film Walt Disney mengalun di auditorium itu. Little Mermaid, Aladdin, Pinnochio, dan beberapa film lainnya seakan kembali berputar di sana. Semua itu disajikan Dewi lewat berbagai macam gaya musik, sejak era Renaisance dan Baroque sampai masa kini. Sajian sejenis, medley sejumlah theme song lagu-lagu popular, kembali membahana di akhir pertunjukkan ketika Simfoni Layar Kaca dimainkan. Namun, sebelumnya, Andien dan PSSAI kembali menguasai pagelaran di lima reportoir sebelumnya. Diiringi denting piano Ade Irawan, seorang pianis tunanetra yang selama ini malang melintang di dunia jazz
dan blues Negeri Paman Sam, Andien membawakan lagu kenangannya, Masa Kecil. Konon, semasa belajar vokal di Elfa’s Music School, lagu inilah yang kerap ia bawakan. Tentu saja dengan irama jazz yang menjadi kekhususannya. Sedangkan PSSAI menghentak gagah kala membawakan Aku Anak Indonesia karya AT Mahmud yang diaransemen Guntur Nur Puspito. Keceriaan anak-anak mereka tampilkan dalam sebuah medley yang merangkai lagu Cublak Suweng, Ular Naga, Ampar-ampar Pisang, dan MeongMeong. Sementara, lewat nomor Nyanyian Langit Anak Palembang, penghormatan terhadap AT Mahmud mereka sampaikan lewat serangkaian lagu bertema peristiwa sehari-hari ciptaan alamrhum. Mulai dari Awan Putih, Pelangi, Bintang Kejora, sampai Ambilkan Bulan, Bu. OKtober 2011
27
Tradisi
Alimpaido : Tradisi Melawan Kekalahan
Bak Olimpiade di arena olahraga, permainan tradisional anak-anak Jawa Barat kembali dihidupkan lewat pertandingan Alimpaido. Banyak kabupaten saling berebut untuk menjadi tuanrumah. Wabah mendongkrak PAD lewat pariwisata?
P
TEKS Maman Gantra FOTO MULYANA erepet jengkol, jajahean.. Kadempet kohkol jejeretean Nyanyian anak-anak itu terdengar nyaring di tengah riuhnya ratusan penonton yang memadati Lapangan Tegar Beriman, Pemkab Bogor, Cibinong, Jawa Barat. Anak-anak dengan pakaian warna-warni saling menumpangkan kaki mereka yang terangkat ke belakang, berputar dan berputar, seraya terus menyanyikan lagu tersebut. Kaki siapa yang melorot dari tindihan, ia dinyatakan kalah. Pada 17-18 September itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat kembali menyelenggarakan Alimpaido untuk ketiga kalinya. Selain permainan perepet jengkol tadi, kegiatan itu juga menampilkan sembilan permainan tradisional lainnya: egrang, kelom batok, rorodaan,
28
Oktober 2011
engkle/sondah, sorodot gaplok, gatrik, gasing, bedil jepret, dan sumpit. Walhasil, selama dua hari itu, lapangan di depan kantor Pemkab Bogor tadi tak hanya dipadati anak-anak kecil dari kawasan Bogor dan sekitarnya. Sejumlah anak dari kabupaten lain pun ikut tumplek di lapangan tersebut. Bersorak, bergembira, sekaligus tegang, menyaksikan permainan yang ada. Sesekali, mereka merubung sejumlah gerai makanan yang juga menyajikan menu tradisional. “Kalau tadi si Roni jalannya tak terlalu gancang, Tim Bogor pasti kalah,” kata Apit, siswa sekolah dasar dari Tasikmalaya, tentang tim Kelom Batok kabupatennya yang jalan terlalu cepat. “Habis, anjeun ngahalangan,” kata bocah lainnya, menyalahkan anak lain yang konon menghalangi lari anak bernama Roni tadi. Sebagaimana Apit, Bahasa Indonesia bocah itu kacau balau, berbaur dengan Bahasa Sunda.
Sementara, sekelompok anak lainnya, agak menepi dari arena pertandingan, tengah asyik memukulkan sepotong bambu kepada potongan bambu lainnya -- yang lebih kecil – dari satu titik ke titik lainnya. Mereka, rupanya, sedang berlatih bermain gatrik. “Gagangna diputer-puter heula, terus tiup,” kata seorang anak menyuruh rekannya, yang memegang bilah bambu tadi, agar memutar-mutar dan meniupnya terlebih dulu sebelum memulai memukul anak bambu lainnya. Soal memutar-mutar pemukul tadi, entah tradisi dari mana. Sebab, resminya, tak ada keharusan seperti itu sebelum seseorang memukulkan bambu tersebut. Toh, permainan gatrik sebenarnya sederhana saja: Sepotong bambu diletakkan di atas batu, kemudian dipukul potongan bambu yang lebih panjang. Siapa yang berhasil memukul bambu kecil itu lebih jauh dari yang
dilakukan lawannya, dialah yang jadi pemenang. Sebagai hukuman, biasanya kelompok yang kalah diwajibkan berjalan dengan satu kaki. Atau, dalam keasyikan yang lebih memberi ruang untuk mengeksploitasi orang lain: Menggendong para pemenang dari titik terjauh lemparan potongan bambu tadi. Tapi, itulah kesungguhan jiwa anak-anak. Bisa jadi terasuki pelbagai takhayul yang ada di sekelilingnya. Bisa juga karena kreativitas murni dari sanubarinya: Agar menghasilkan lemparan sejauh mungkin, pemukul bambu itu harus diputar-putar dan ditiupnya lebih dulu. “Benar-benar meng har uk an,” kata Jafar
Fakhrurozi, seorang guru dan peneliti seni dari Bogor, yang menyengajakan diri menyaksikan hajatan tersebut. “Acara seperti ini boleh juga,” katanya, ketika diminta penilaian. Di tengah g lobalisasi yang ter us menderas, menurut Jafar, kegiatan ini bisa diharapkan menyemaikan kembali nilai-nilai tradisional yang ada dalam masyarakat. “Tentu tak bisa langsung terlihat hasilnya. Tapi, kalau konsisten, termasuk dibarengi pengajaran dan pendidikan kesenian di sekolah, lamalama pemahaman mereka terhadap kebudayaan tradisi pun bisa terbentuk,” kata Jafar. Kalaupun “impian” soal nilainilai itu tidak tercapai, masih kata Jafar, kegiatan seperti itu setidaknya bisa memberikan alternatif bagi anak-anak. Bahwa selain nintendo, film Korea, dan lawakan ala Opera Van Java, kita juga memiliki pelbagai jenis permainan tradisional. “Toh, di beberapa daerah, terutama di kampung-kampung yang masih memiliki tanah yang lapang, permainan-permainan itu sebenarnya masih dilakukan,” kata Jafar. Kendati terdengar mirip kata “olimpiade”, istilah alimpaido sendiri tulen
berasal dari Bahasa Sunda: “alim” dan “paido”. Walau penggabungan dua kata itu tidak pas, karena seharusnya “alim dipaido”, maknanya cukup gamblang: Tak mau dipersalahkan. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, rupanya, tak mau disalahkan kalau anak-anak masa kini lebih akrab dengan pelbagai games – baik yang online maupun tidak – dibandingkan mengenal permainan-permainan tradisional. “Di Jawa Barat terdapat kurang lebih 200 permainan tradisional yang dimiliki s e l u r u h k a b u pate n d a n ko t a . I n i merupakan potensi bagi pengembangan w i s a t a b u d a y a . O l e h k a re n a n y a , Alimpaido menjadi agenda tahunan yang dilaksanakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar,” ujar Kepala Ddisparbud Jabar Herdiwan, dalam rilis yang diterbitkannya menjelang kegiatan. Karena itu, tak aneh bila banyak kabupaten saling berebut untuk menjadi tuan rumah acara itu. Dan, itu pula yang agak disayangkan Jafar. “Kalau saja kegiatan ini tak dikaitkan dengan upaya mendongkrak PAD (Penghasilan Asli Daerah), mungkin tujuan utamanya bisa tercapai,” katanya. Jafar, rupanya, tak sadar: Nilai kongkret dari kebudayaan sebenarnya ya PAD itu. Tentu saja kalau kebudayaan hanya dimaknai sebagai wisata belaka.
OKtober 2011
29
Sastra
Ignas Menafsir Pram Ignas Kleden menawarkan empat cara membaca karya-karya Pramoedya.Toh, seluruh karya itu menonjolkan kekuatan perempuan. TEKS Heryus Saputro FOTO Dok. Salihara
K
arya-karya novel Pramoedya Ananta Toer ibarat samudra sastra yang terbuka luas untuk dijelajahi dan ditafsir orang. Medio September silam di Teater Salihara, Jakarta, misalnya, sosiolog Dr. Ignas Kleden, menafsir dengan apik beberapa sisi dari tetralogi novel ‘Pulau Buru’ karya Pram --Bumi Manusia (BM), Anak Semua Bangsa (ASB), Jejak Langkah (JL), dan Rumah Kaca (RK) -- lewat kuliah sastra berdurasi 120 menit bertajuk“Kekuasan, Gender dan Hubungan Produksi: Perspektif Tetralogi Pulau Buru”. “Empat novel itu dapat dinikmati dengan beberapa cara baca, karena karya-karya itu menampilkan suasana awal munculnya kesadaran kebangsaan (Indonesia) di (masa) Hindia Belanda, dengan berbagai faset persoalan yang sama menariknya,” papar Ignas Kleden membuka ceramahnya. ‘Cara baca’ yang ditawarkan Kleden adalah: (1) Melihat keempat novel itu sebagai narasi tentang kehilangan yang harus ditanggung setelah melalui perjuangan panjang dan getir, (2) Membacanya sebagai cerita tentang hubungan lelaki dan perempuan dengan simpati besar terhadap peranan perempuan, (3) Meninjaunya sebagai lukisan tentang 30
Oktober 2011
peranan hubungan produksi dalam perubahan masyarakat, khususnya dalam usaha emansipasi orang terjajah terhadap pihak penjajah, emansi(pasi) perempuan terhadap dominasi laki-laki. Seperti kita tahu, di akhir kisah BM, Nyai Ontosoroh kehilangan anak perempuannya, Annelies, yang harus dibawa ke Belanda untuk ditempatkan di bawah perwalian Nyonya Amalia Mellena, istri sah Herman Mellema almarhum, yang meninggalkan dua anak hasil pergundikannya dengan Nyai Ontosoroh. Kisah ASB ditutup dengan dirampasnya perkebunan dan pabrik susu Boerderij Buitenzorg oleh anak Herman Mellema dari istri sah. Sementara Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang tak dilindungi hukum Belanda, walau turut mengelola dan mengembangkan perkebunan dan perusahaan itu selama 20 tahun, tak mendapat sepeser pun. Gundik itu pun harus kehilangan kedua anaknya: Annelies yang akhirnya meninggal di RS Huizen – Belanda, dan Robert Mellema – abang Annelies yang meninggal tersebab sipilis di Los Angeles JL juga berkisah tentang banyak kehilangan. Mingke, menantu Nyai Ontosoroh, bukan cuma kehilangan kesempatan jadi dokter karena menulis
resep buat kekasihnya yang sakit payah, walau belum berstatus dokter; tapi juga kehilangan Ang San Mei, istrinya yang kedua . K ehilangan terbesar adalah pembuangan Minke ke Ambon, karena koran Medan yang dipimpinnya menerbitkan tulisan Marko yang mengeritik keras perjalanan Gubernur Jenderal Idenburg ke Rembang untuk melayat jenasah suami R.A Kartini. Pada RK antara lain dikisahkan hal Nyai Ontosoroh, yang sukses sebagai wanita karier di Paris, pulang ke Batavia untuk menjenguk Minke, menantunya yang pulang dari pembuangan, dan ternyata hanya mendapatkan kubur Minke yang telah ditutup ter hitam. Ada banyak hal diungkap Ignas dalam ceramah itu. Namun satu hal yang dicatat dan ia garisbawahi, “Novel tetralogi karya Pram itu mengungkap tentang ketegaran hampir semua sosok-sosok perempuan yang jadi tokoh cerita, dalam mengatasi problem hidup yang mengimpitnya. Sebaliknya, hampir semua tokoh laki-laki ditampilkan Pram sebagai tokoh lemah. Seperti Paiman, abang Sanikem, adalah pemburu jabatan seperti ayah mereka, yang tak sanggup melindungi anak perempuannya dari keinginan dan nafsu administratur pabrik gula” .Sungguh, sebuah kuliah sastra yang mencerahkan!.... OKtober 2011
31
Kulturama Kulturama
Budaya Anak Muda Tanpa Negara TEKS Rubayyi Astari, Rizkita Sari, dan Winda Destiana
Ada banyak kreativitas yang diciptakan anak muda Indonesia masa kini. Padahal, di tengah janji menyisihkan 20% anggarannya untuk pendidikan, banyak di antara mereka tak pernah disentuh negara.
M
alam menggantung di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Di bawah tenda di halaman sebuah minimarket, tak jauh dari ujung Jalan Salemba Tengah, Diza dan dua kawannya tak melepaskan mata mereka dari layar laptop di atas meja bundar itu. Sementara tangan Diza tak lepas dari scroll, mengutak-atik gambar di layar monitor itu. “Harus selesai malam ini,” kata Diza. “Bagian produksi sudah menunggu dari sore tadi,” tambahnya.
32
Foto www.balinesdance.com
Bagian produksi yang dia maksud, tak lain para penyablon yang ada di kawasan Jalan Pramuka, tak sampai satu kilometer jaraknya dari tempat mereka nongkrong malam itu. Rupanya, “Sudah satu setengah tahun ini, kami berempat bikin usaha clothing,” kata Nyoman, salah seorang teman Diza. Berbekal uang jajan, yang jumlahnya tak lebih dari Rp 3 juta setelah tiga bulan menabung, plus kegemaran mereka membuat gambar-gambar aneh dan lucu, ketiga gadis remaja itu berhasil mendirikan usaha pembuatan T-Shirt. “Selain kepada teman-teman dan saudara, produknya kami titipkan di sebuah distro di Cempaka Putih,” kata Nyoman. “Alhamdulillah, lebaran kemarin kami tak perlu minta uang kepada orangtua untuk beli baju baru,” kata Diza, penuh kebanggaan.
Oktober 2011
Di tengah kecemasan sebagian orang akan kreativitas anak-anak muda kita, sejatinya banyak bentuk kreativitas yang diciptakan anak muda Indonesia sekarang ini. Mereka beramai-ramai menciptakan suatu
inovasi untuk diperlihatkan kepada negeri sendiri maupun dunia internasional. Baik di bidang musik, senirupa, fashion, kuliner, dan juga kerajinan tangan. Selain Diza dan kawan-kawan, dan ribuan anak muda lainnya, di Bandung, ada Nata yang juga mencemplungkan diri di dunia clothing – usaha produksi pakaian. “Malah, sekarang kami sedang merintis membuat asesori dan perlengkapan outdoor,” kata Nata. Bicara soal clothing atau distro, mau tak mau kita memang harus menyebut Bandung. Karena kreativitas anak muda ini memang bermula di Kota Kembang. Sejak 1996, Bandung sudah memulainya. Meskipun, seiring usia dan kemapanan para pengelolanya, tak semua distro itu berumur panjang. Walaupun, ada juga yang konsisten sampai kini. Salah satunya, Airplane System, yang berdiri sejak 1998. Selama ini mereka pun konsisten dengan pola penjualan dan distribusinya: Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi menghampiri calon pembeli. Ketika itu, pertengahan 1990-an, orang lagi ramai-ramainya menggandrungi merek luar negeri: Billabong, Roxy, Ripcurl, Oakley, dan lain sebagainya, anak-anak muda itu berpikir, kenapa tak membuat merek lokal yang kualitasnya tak kalah bagus dengan merek luar? Maka, setelah Airplane dan kawan-kawan, puluhan distro pun menjamur di kota Bandung. Tak jarang, mereka pun menjual produk-produk nonclothing, yang sekilas tampak ganjil, mengingat Bandung nun jauh dari laut: Peralatan olahraga surfing. OKtober 2011
33
Aku ngerasa majalah-majalah yang udah ada kurang real. Kurang bisa in-touch sama pembacanya,” kata Anita.
Dan di Jakarta, pemuda yang terjun ke dunia distro adalah Martin beserta adikadiknya. Mereka mendirikan Bloops, 2003, di Tebet Utara. “Dulu pernah ada distro pertama di daerah Blok M, sekitar tahun 2000an, tapi sekarang sudah tidak ada,” kata Martin. Kala itu, 2003, daerah Tebet hanya diwarnai dengan sekolah, tempat les, dan salon. Martin pun berpikir, mengapa tidak ada distro? Toh, bagi anak-anak Jakarta, Tebet dikenal sebagai kawasan trend setter. Maka, demi mewujudkan impiannya menjadi entrepreneur di usia dini, ia pun mendirikan Bloops di kawasan itu. Masih di Jakarta, dan agak menyebal dari urusan distro, ada pula Anita Moran. Lahir dari keluarga pengusaha, sehingga urusan modal tak jadi soal, bersama kakak dan adiknya, ia tak ragu mendirikan majalah remaja gogirl!, 2005, kala usianya masih 23. Ketika itu ia melihat, majalah-majalah remaja yang ada memiliki celah yang bisa mereka isi. “Aku ngerasa majalah-majalah yang udah ada kurang real. Kurang bisa 34
Oktober 2011
in-touch sama pembacanya,” kata Anita. “Misalnya bahasa. Pada saat itu, semua majalah menggunakan bahasa sangat baku. Mereka pakai kata ‘tidak’, tak pakai kata ‘enggak’,” tambah alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Trisakti itu, memberi contoh. Dengan tagline Magazine For Real, dan ruang yang lebih lapang untuk dunia mode, menurut Anita, kini gogirl! bertiras 100 ribu eksemplar – jumlah yang istimewa untuk ukuran majalah di negeri ini. Sementara itu, di Makassar, Sulawesi Selatan, untuk contoh yang lebih memiliki warna seni-budaya, kita akan menemukan anak-anak muda yang berkiprah di komunitas Tanahindie. Dibentuk sejak 1999, komunitas itu menggalakkan program berbasis seni dalam pengertian seluas-luasnya. Baik berupa pameran, penulisan, penelitian, maupun penerbitan. K arenanya, selain menger jakan pembuatan sampul setiap buku terbitan Ininnawa, yang menjadi mitra mereka, OKtober 2011
35
Salah satu gagasan yang ideal, sebuah masyarakat itu bisa maju dan berkembang secara maksimal kalau kita juga memiliki kemampuan untuk berpikir -- demi proses penciptaan dan inovasi
Tanahindie juga menyelenggarakan perpustakaan Kampung Buku di kawasan Panakukang, Makassar. Selain itu, bekerjasama dengan ruangrupa, Jakarta, sejak April lalu, mereka juga menyeleng garakan acara Gerobak Bioskop CV Dewi Bulan. Diselenggarakan setiap bulan purnama, kegiatan itu tak lain merupakan pengembangan dari aktivitas perpustakaan Kampung Buku. Beralaskan karpet plastik, warga di sekitar perpustakaan itu menyaksikan film yang tersaji di sebuah televisi yang berada di atas sebuah gerobak bakso, sebagaimana video player yang memutar film tersebut. Adapun nama CV Dewi Bulan, selain kompleks Panakukkang Indah juga dikenal sebagai BTN CV Dewi, istilah itu juga mengacu kepada sebuah bioskop ternama di Makassar yang kini sudah tak ada lagi. Walhasil, “protes” mereka terhadap punahnya salah satu infrastruktur kesenian di kota itu berbaur dengan selera humor yang cukup tebal. Sementara , kembali ke Bandung , sejumlah anak muda kerap berkumpul di Common Room, yang didirikan Gustaff Hariman Iskandar sejak 2003 silam di kediamannya, Jl. Kiai Gede Utama, kawasan Dago. Di sana, mereka melakukan berbagai aktivitas. Mulai dari sekedar nongkrong, membuat suatu workshop, pameran, pertunjukan musik, diskusi film, hingga latihan seni Sunda. Setidaknya untuk kawasan Bandung dan sekitarnya, Common Room kini menjadi semacam institusi yang ikut memberikan kontribusi pada perkembangan seni budaya. Maklum, selain Common Room, Gustaff juga membuat lembaga lain yang ikut mewadahi dan mendorong terjadinya proses penciptaan dan inovasi, sekaligus memicu proses berfikir dan imajinasi. 36
Oktober 2011
“Salah satu gagasan yang ideal, sebuah masyarakat itu bisa maju dan berkembang secara maksimal kalau kita juga memiliki kemampuan untuk berpikir -- demi proses penciptaan dan inovasi,” kata Gustaff. “Tanpa itu semua, hanya akan menjadi bangsa kuli. Kalau saya, sih, enggak mau selamanya jadi bangsa kuli,” tambah Gustaff. Selain Common Room, di Bandung ada juga Tobucil & Klab. Didirikan Tarlen Handayani, alumni Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung, Tobucil diniatkannya untuk melatih kreativitas anak-anak muda Bandung di bidang kerajinan tangan, mulai dari menjahit, menyulam, melipat kertas hingga menulis sastra. Terkait itu, aktivitas Tobucil juga berupa pelatihan fotografi, jurnalistik, membuat workshop, dan ... menonton film. Ya, menonton film. Dalam arti bagaimana kita menjadi penonton yang produktif, yang tak hanya menganggap sebuah film sebagai sarana hiburan semata. Melainkan, juga media menambah wawasan dan pengetahuan – lengkap dengan dialog timbal balik antara film itu dengan si penonton. Sejak awal berdirinya, Tobucil memang mensuport literacy movement. Literacy atau keberaksaraan dalam arti luas, tentunya. Tak sekadar kemampuan baca-tulis. Tapi juga kemampuan membaca diri sendiri, membaca lingkungan sekitarnya, dan memaknai setiap peristiwa yang ada di sekelilingnya. Termasuk dalam hal menoton film, memaknai sebuah film. Tarlen mengakui, untuk sementara, kegiatan Tobucil dikhususkan untuk kalangan kelas menengah. “Banyak yang bilang kalau kelas menengah itu sudah tak perlu diajarin, sudah tidak perlu OKtober 2011
37
Tapi, banyak juga anak muda yang sudah tidak tahu apa-apa, tapi tak berusaha untuk mencari tahu dan mau tahu.
diberdayakan, tetapi kalau menurut saya, justru kelas menengah di Indonesia itu masih perlu dimotivasi karena kemampuan finansial mereka memang cukup tinggi, kemampuan pendidikannya pun cukup tinggi, tetapi mereka sering kali tidak punya kepercayaan diri untuk mendayagunakan kemampuannya,” ungkap Tarlen, yang terpaksa ditemui di tempat lain karena rumah tempat Tobucil mangkal sedang dipakai pemiliknya untuk hajatan. Melihat semua contoh itu, tak pelak, anak muda kita terus bergerak. Karena itu, Gustaff melihat anak muda kita tetap memainkan perannya sebagai agen perubahan. Meskipun potensi itu, kata Gustaff, kerap mengalami pengerdilan baik secara sistemis maupun kultural. Padahal, menurut Anita, “Anak muda itu, kan sangat terpengaruh dengan peer group, sama orang yang setara dengan kita? Terlebih dengan adanya media sosial sekarang, seperti fb dan twitter, mereka lebih saling mempengaruhi lagi”. Artinya, kekerdilan dan kedigdayaan mereka bisa melembaga sebagai sebuah kebudayaan. Dan pada gilirannya, mengingat peranannya tadi, “kekerdilan” dan “kedigdayaan” anak muda itu bisa menjangkiti seluruh bangsa. Mungkin karena itu pula, sutradara dan penelitia teater Erry Anwar melihat anak muda zaman sekarang cenderung bermain 38
Oktober 2011
di permukaan tanpa bersedia menyelam lebih dalam. “Yang terjadi saat ini, apa yang dibuat oleh mereka tidak luas seperti yang saya harapkan. Mereka tidak tajam dan tidak dalam,” kata Erry. “Memang bukan salah mereka. Dulu, orang menjadi cukup mampu atau fokus pada satu hal atau persoalan karena tidak ada gangguan. Sekarang ini gangguan sangat banyak. Berkembang apa yang disebut dengan pendekatan multitasking,” tandas Erry. Ia memberi contoh bagaimana seorang anak muda sedang belajar atau berkarya dengan laptop menyala, cd player yang mengeluarkan musik hingar bingar, dan handphone yang terus berdering. “Pokoknya segala hal yang mengganggu tersebut dapat menyebabkan fokus hilang dan proses konsentrasi berkurang” kata Erry. Sementara itu, Tarlen melihat, jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu, tekanan sosial terhadap anak-anak muda kini jauh berbeda. Generasi muda yang lahir di akhir tahun 1970-an dibesarkan dalam kultur Orde Baru, menyaksikan lahirnya teknologi internet. “Mereka setidaknya punya pembanding,” kata Tarlen. Sementara, anak-anak muda yang lahir pada era 1980-an, tak memiliki tekanan sosial yang membuat mereka lebih struggle. Dan, itulah, antara lain, yang membuat Erry berkesimpulan: Sebagian besar anak muda kita lebih berperan sebagai konsumen, dibandingkan sebagai produsen. Meskipun, kata Erry, mereka lebih produktif dan atraktif. “Anak muda sekarang mencari informasi sangat mudah, tinggal searching dari handphone. Banyak informasi di sana. Tapi, banyak juga anak muda yang sudah tidak tahu apa-apa, tapi tak berusaha untuk mencari tahu dan mau tahu. Banyak juga OKtober 2011
39
Karena itu, Gustaff melihat anak muda kita tetap memainkan perannya sebagai agen perubahan.
yang seperti itu sekarang ini. Masa bodo, tidak ada daya jelajah, dan rasa ingin tahu berkurang,” kata Erry. “Inilah yang terjadi pada bangsa Indonesia sekarang. Satu sisi banyak juga anak muda yang cerdas, memenangi lomba ilmu pengetahuan, satu sisi juga masih banyak anak muda yang harus diperhatikan,” tandas Erry. Muhammad Iman Usman, penggagas Parlemen Muda Indonesia, berpendapat senada. “Kita masih lebih banyak pada posisi followers, apa yang berkembang kita ikutin, apa yang hit kita ikutin,” kata Iman. “Culture kita belum sampai pada tahap inisiator, orang yang memulai. This is a breaktrough, ini lho yang mau dibawa... Culture-nya masih kurang, meskipun dalam beberapa hal, dalam beberapa konteks tertentu, it happens, di mana anak-anak muda menjadi breaktrough, menjadi inisiator. Tapi memang, kalau ingin dibicarakan secara general ya culture-nya masih menjadi followers,” tandas Iman. Demikian pula yang dilihat Anita Moran. “Kalau menurut aku mereka lebih cenderung followers, ya. Tapi yang produsen ada, tapi sedikit dibanding yang followers. Tapi masih lebih baik dibanding dulu. Kalau sekarang mungkin angka produsen lebih naik, tapi tetap kalah dengan angka followers,” kata Anita. Sementara, Tarlen menegaskannya dengan menunjuk proses kreatif di lingkungannya. “Dibandingkan tiga tahun lalu, sekarang yang memproduksi sudah jauh lebih banyak dibandingkan yang mengkonsumsi. Meskipun, desainnya masih banyak pengulangan atau peniruan dari cluster-cluster di luar,” kata Tarlen, merujuk aktivitas kreatif di Tobucil & klab Sementara, sastrawan dan budayawan Seno Gumira Ajidarma lebih santai menyikapi semua itu. Menurut Seno, 40
Oktober 2011
proses produksi dan konsumsi itu, termasuk di bidang kebudayaan, tak lepas dari kepentingan. “Apakah mewakili kepentingan mereka atau tidak? Dan ketika mereka sudah memutuskan untuk mengambil dan menggunakannya atas nama kepetingan mereka sendiri, ya artinya mereka sudah menjadi produktif, tepatnya menjadi produsen makna,” kata Seno. “Pokoknya ini pandangan yang sangat optimistiklah...,” tambah Seno. Terlebih, katanya, bila konsumsi tadi dilakukan dengan sukarela. “Mereka tidak terpaksa, secara sukarela, malah sengaja mengikuti, jadi ya bagus.” Bagi Seno, berkaca kepada pengalaman pr ibadi dan dunia kesenian yang ditekuninya, ada perbedaan situasi dan kondisi antara anak muda pada masanya dan anak muda masa kini. “Kalau dulu kuper, lebih sok tahu, dan lebih romantis. Dulu itu, kalau kita enggak punya uang karena berkesenian, itu enggak apa-apa. Seolah-olah malah agak mulia. Oh, dia idealis... Tapi, sekaligus memang kuper dan sok tahu. Dirasa enak, miskin tapi sombong. Sekarang, enggak ada tempatnya itu...,” kata Seno. “Sekarang orang harus kerja. Jadi, romantisisme itu enggak ada. Atau romantisismenya ya workaholic-nya itu. Kalau sekarang ada orang enggak mau kerja, duitnya banyak, orang enggak akan melihatnya hebat,” tambah Seno. Bagi Seno, yang tidak berubah adalah perhatian pemerintah terhadap anak muda. Terlebih, anak-anak muda yang berkecimpung di dunia kesenian. “Enggak ada treatment apa-apa. Kecuali pada presidennya sendiri, yang memakai lagunya sendiri untuk upacara 17 Agustusan di Istana,” kata Seno. Karena itu, ia berwasiat kepada anak-anak muda yang menekuni kesenian dan dunia kreatif OKtober 2011
41
“Sekarang orang harus kerja. Jadi, romantisisme itu nggak ada. Atau romantisismenya ya workaholic-nya itu. Kalau sekarang ada orang nggak mau kerja, duitnya banyak, orang enggak akan melihatnya hebat,” tambah Seno.
lainnya: “Berkreasilah kapan saja dan di mana saja. Asal jangan sama pemerintah,” k at a nya . P u n ke t i k a p e me r i nt a h mengalokasikan 20 persen APBN bagi pendidikan, yang notabene treatment-nya kepada kaum muda, seperti sekarang ini. Faktanya, baik Gustaff di Bandung, anakanak Tanahindie di Makassar, atau Diza dan kawan-kawan di Jakarta, mereka nyaris dilupakan negara, dilupakan pemerintah. Sekarang ini, misalnya, Tanahindie sedang mengusahakan dana hibah sejumlah Rp 116 juta untuk pelatihan jurnalisme warga di kota mereka. “Kami ingin, setelah pelatihan ini berjalan, sedikitnya lahir dua orang jurnalis dari masing-masing komunitas yang ikut pelatihan ini,” kata Bondan, manajer program Tanahindie. Mereka menargetkan sedikitnya pelatihan itu diikuti 20 komunitas. Alih-alih menadahkan tangan kepada pemerintah, pusat maupun daerah, Bondan dan kawan-kawan memilih memajang proposalnya di situs ciptamedia, sebuah situs yang mengimbau peran serta publik dalam beragam kegiatan yang bertujuan mempermudah akses masyarakat terhadap media. “Kami tidak antipemerintah,” kata Arif Yudi, aktivis Jatiwangi Art Factory, komunitas yang tekun menyelenggarakan berbagai aktivitas seni budaya di Jatiwangi, Jawa Barat. 42
Oktober 2011
Hanya, menurut Arif, sebagaimana DPR, pemerintah masih sibuk dengan urusannya sendiri. “Boro-boro memikirkan hal-hal yang berkaitan langsung dengan kebudayaan atau peradaban, termasuk mengentaskan kreativitas anak-anak muda. Menertibkan korupsi di lingkungannya pun mereka belum sanggup,” kata Arif, mencoba arif. Sehingga, kalaupun bukan dari donatur asing, ia dan kawan-kawannya kerap merogoh kocek masing-masing demi mewujudkan sebuah kegiatan. Padahal, kata Arif lagi, aktivitas yang dilakukan anak-anak muda, itu tak semata kegiatan membuang uang. Tapi, juga memberikan dampak ekonomi langsung kepada masyarakat. “Saya belum tahu persis, berapa persen PAD yang kami sumbangkan lewat kegiatan-kegiatan yang kami lakukan,” kata Arif. Tapi, setidaknya, setiap kali mereka bikin kegiatan, para pemuda setempat dapat penghasilan tambahan dari uang parkir atau ongkos ojeg. Para pedagang pun mendapatkan lebih banyak pembeli. “Bisa dibayangkan bagaimana dampak ekonomi yang dilakukan Gustaff dan kawan-kawan di Bandung, yang skala-nya seringkali lebih besar dan lebih luas. Belum lagi, kegiatan-kegiatan yang memiliki wajah ekonomi seperti distro dan bisnis clothing itu,” kata Arif. OKtober 2011
43
Puisi
PADA HARI RAYA
Hanna Francisca
Ita dan Manaf, seekor tikus mati di depan pintu. Saat kusiapkan lima puluh ikat uang Hari Raya --termasuk buat kalian berdua, yang akan pulang kampung besok lusa. Lima puluh ikat tunai. Tak perlu sebulan kerja. Jakarta akan jadi kuburan, Ita. Jalanan lengang, dan bulan sabit lebih tampak pada jendela. Aku sedih tiba-tiba. Bukan pada sepi. Tapi pada ingatan. Kalian yang pergi. Bukan pula pada sunyi rezeki, yang harus lepas tiba-tiba. Meski parasmu memutih saat kautanya: Berapa jumlah harus dibagi untuk semua pekerja, Nyonya? ”Seratus delapan puluh juta, Ita. Tunai dibayar tanpa harus sebulan kerja.” Aih, alangkah banyak tumbal untuk bahagia. Lantaran Tuhan berkata, ”Di Hari Raya semua orang harus bahagia.” Seekor tikus mati di depan pintu, Ita, saat kuhitung cermat lima puluh ikat. Setiap sen adalah perih keringat dan air mata. Aku sedih pada segala yang sia-sia. Tapi lima puluh binar mata yang bahagia, melebihi keindahan maut Gurun Gobi --tempat leluhurku dulu pernah berdiri. Aku melolong, Ita, memandang bulan sabit di jendela. Jakarta akan jadi kuburan. Aku panggil Ema, Nita, --dua pembantu setia. Siapa menaruh racun tikus menjelang Hari Raya? ”Itu cuma hewan, Nyonya. Hanya nyawa tak berharga” Ita dan Manaf. Bulan sabit ikut kalian saja, tinggalkan Jakarta. Bersama takbir setiap pintu, di kampungmu yang rindu. Biar fajar hangat, biar seluruh kerabat memeluk erat. Meski hanya kemeja baru dan sarung biru, bagi rumah yang menunggu. Aku sedih bukan pada angka. Tapi pada ingatan setiap yang pergi. Siapa begitu kejam memberi harga pada nyawa di Hari Raya? Seekor Tikus mati di depan pintu, Ita. Maka aku ingin pergi saja, menuju vihara.
PADA POHON JAMBU
Hanna Francisca
Di bawah pohon jambu aku ikrarkan sumpah padamu. Seribu putik melayang di angin lengang, seperti kata yang merujuk pada namamu. Di hari usai sembahyang bintang terang menampakkan sumpahku: wajahmu ada di mana-mana. Maka aku nyalakan kembali dupa, berkata sungguh aku yang rindu telah bertamu. Engkau menjawab sepi dengan air mataku sendiri. Saat pamit pulang tak kudengar suaramu. Sejak itu aku memutuskan belajar bahasa yang tak terdengar dan tak terucap, dari hatiku yang bisu. Jakarta, Agustus 2011
Pagar Bunga
Hanna Francisca
Bunga kecil di ujung pagar. Bunga mekar harum semerbak. Langit dan bumi tidak bernama. Bunga kecil, bunga kecil. Dipetik lelaki. Langit dan bumi jadi belukar. Jakarta, Agustus 2011
Jakarta adalah kuburan bagi yang sia-sia. Di jalan lengang ketemu suara adzan menggema. Di altar vihara aku menangis tanpa suara. Tuhan ada di mana-mana. Jakarta, Agustus 2011 44
Oktober 2011
OKtober 2011
45
PADA SUATU HARI
Interlude Perjalanan Hanna Francisca
Adakah nyanyi Hutan Bambu* sampai padamu? Telah kuputuskan menunda hati pada embun pucuk pagi. Sebelum burung tiba, dan angin menjatuhkan derainya pada tanah yang mengekalkan sepi. Maka dengarkan suara hati sebelum pergi. Sebab telah kularang siapapun menjelma burung. Kutolak serta para pemanggil angin. Lantaran embun yang terlanjur jatuh menjadi batu, adalah cintaku yang terus menunggu. Kaulihat malaikat menuruni tangga langit, di malam udara, membawa embun dan menidurkan aku di sini. Pada suatu hari. Menunggu hangat langkahmu tiba di sini.
Wayan Sunarta
kita melaju searah jalanan yang kian mendebarkan gerimis tak lagi dingin bara cinta masih menghangati jiwa meski tak sepenuhnya kita pahami Gunung Agung menerka setiap detak di nadi mengurai detik demi detik yang telah lewat dewa-dewi terlelap di lipatan selimut kabut gemuruh laut Tulamben seperti menggumamkan asmarandana kita melaju karang-karang lahar beku dan pepohonan hijau begitu sumringah hari yang lelah kini merekah namun, entah tiba dimana kita
Pada suatu hari. Di pucuk bambu. Dari sepi ke sunyi. Dari angin ke bunyi. Menyeru deru. Sebutir debu. Catatan:*Hutan Bambu adalah tempat suci, tempat Dewi Kwan Im bertapa. Jakarta, Agustus 2011
kekasih, apa yang kau lamunkan? mungkin, jalan yang kita tempuh tak semudah waktu dulu mungkin, jalanan ini akan bermuara di hati yang kelu ah, kau yang melamun, uap garam membelai hitam rambutmu pucuk-pucuk ilalang riang menerbangkan bunga-bunga putihnya namun, kau selalu merasa kehilangan separuh hatimu ada saat kita mesti rela membuka jiwa menerima rahasia semesta ikhlas melepas segala yang telah jadi tilas
Hanna Fransisca (Zhū Yǒng Xiá Zhū Jiā Yǔn) lahir
di Singkawang 30 Mei 1979, Kalimatan Barat. Menulis puisi dan prosa. Tulisan-tulisan motivasinya bisa dijumpai di andaluarbiasa.com. Puisi dan cerpennya dimuat di Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Malang Post, Jurnal Nasional, dan sejumlah majalah sosial. Kumpulan puisinya terbit pada April 2010 dengan judul Konde Penyair Han (Penerbit KATAKITA), terpilih sebagai buku sastra terbaik 2010 versi Majalah Tempo. Cerpennya terbit dalam antologi bersama berjudul Kolecer dan Hari Raya Hantu. Selain menulis ia mengelolah usaha di bidang otomotif dan aktif sebagai sekretaris di Lions Club Jakarta Kalbar Prima.
46
Oktober 2011
sejauh perjalanan mungkin tak terhitung berapa tikungan telah kita lewati berapa debar masih tersisa berapa lubang telah buat kita oleng berapa tanjakan bikin kita mengeluh terkadang menjerit gemas melepas hasrat yang mencemaskan saat menuruni lembah curam yang begitu rawan...begitu rawan... ah, jalanan ini telah menjebak kita
memeram kisah demi kisah kenang sepanjang kenang (Karangasem-Buleleng PP, 10 Oktober 2010)
OKtober 2011
47
Ibu Pasar Kumbasari
Wayan Sunarta
Ubud, Gerimis Menyapa...
subuh belum luruh kau telah menanak peluh di jalan-jalan becek pasar kota bergelut dengan bayang-bayang pagi yang setengah buta
si pemabuk itu kembali menyusuri jalan yang sama kini gerimis menyapanya lebih ramah layaknya saudara yang lama berpisah
kebaya rombeng dan kain lusuh sayur mayur, ikan asin, bumbu dapur, palawija dalam keranjang anyaman bambu di kepalamu berbagi cerita tentang letih subuh dan penat tubuh aku tahu, ibu, kaulah pengempu kehidupan kota ini dari jalanan desa kau melata tersihir cahaya lampu-lampu merkuri tak ada yang mampu menahanmu untuk tak putus-putus mencurahkan kasihmu
mungkin, gerimis rindu padanya rindu celoteh dan igau-igau yang membungkam malam sebelum dia sendiri tersungkur dihajar mimpi-mimpinya
ibu, tarianku tak ‘kan pernah sampai di jalan-jalan yang kau pijak dengan kaki telanjang aku menghormatimu melebihi hormatku pada para dewa yang selalu kau puja dengan sesajen dan upacara-upacara hingga tanganmu terasa mati rasa di pucuk-pucuk janur, serbuk-serbuk dupa dan kelopak-kelopak bunga
pernah suatu waktu sembari kencing di lorong-lorong Ubud dia mengutuki tiang-tiang listrik dan lampu-lampu kafe yang mencibirnya sinis “kembalikan cahaya kunang-kunang padaku!” teriaknya pada cahaya lampu kafe, yang makin malam makin genit menyapa turis
ibu, jika saat itu tiba ijinkan aku merasakan peluhmu mengurapi sanubariku agar aku makin memahami rahasia semesta yang menyala di ubun-ubunmu (Denpasar, Mei 2011)
Demi Bayangmu demi bayangmu yang begitu lekat entah puisi apa mampu kugurat saat senja tiba tertatih di berandamu iringi langkah-langkah letihku ceritakan apa yang jadi galaumu ingin raih aksara demi aksara tepi-tepi mimpi kelabumu risau serupa halimun di danau anginkah yang menerka segala peristiwa?
Wayan Sunarta
terhuyung dia melangkah menyusuri jalan yang sama, jalan yang pernah mencegatnya dari cinta pertama jalan yang dulu hanya pematang sawah jalan yang kini disesaki reklame, hotel, ruko, dan tentu saja kafe
Wayan Sunarta
seorang turis perlente iseng menyapanya: “hello, apa kau masih punya tanah, pratima, uang kepeng, atau benda antik lainnya? saya mau membelinya!” belum sempat menjawab si pemabuk tersungkur dalam comberan yang mampet gerimis Ubud menyelimuti tubuhnya dengan mesra… (Ubud, 9 Oktober 2010)
nujuman apa merasuki langkahmu ingin jadi penyair ketika segala aksara raib di hingar bingar mayapada malam begitu terburu kelam aku pun sirna di jelita matamu lalu ‘kan tiba matahari baru angankan puisi sejatimu (Karangasem, Bali, Februari 2010)
48
Oktober 2011
OKtober 2011
49
Dua Jiwa Disatukan Semesta Wayan Sunarta cahaya senja menyepuh pepucuk pohon cempaka di halaman pura bayangmu merekah di ubun-ubunku
-untuk: Radhar Panca Dahana-
Wayan Sunarta
risau itu telah lesap dalam aliran darahmu, menyatu dalam keikhlasan, menerima segala batu takdir hingga menjadi pasti apa yang mesti dinanti apalah kita, selain hanya debu yang ragu, atau risalah yang tak habis ditulis, tak puas terbaca
kau tiba dari tiada menjadi ada menjalani garis karma semesta selalu tak terduga entah mengapa kita berada dalam lingkaran yang sama begitu akrab, begitu dekat
pelitakah yang menuntunmu bertahan dalam kelam atau secercah cahaya dari semesta? nafiri telah ditabuh di kejauhan celah indah kegaiban melingkupimu antara ada dan tiada dalam kesunyataan
siapakah kau, siapakah aku hanya semesta yang maha tahu kemanakah kita, mau apakah kita hanya semesta yang maha rahasia
deritamu seperti paripurna, serupa sisypus angin pun tak mampu meniup kabut di puncak bukit hanya embun yang coba bertahan di kelopak bunga apalah kita, yang selalu berupaya sekemilau kata puisi namun, telah kau temukan kesejatian antara jalan derita, seteguk doa, sekelumit harapan...
kita, dua jiwa yang disatukan semesta bergandengan tangan menari riang di taman rahasia menjelajahi langit warna ungu.. (Kesiman, 4 September 2011)
Malam-malam Pelayaranku
Jalan Derita, Seteguk Doa, Sekelumit Harapan...
(Karangasem, Bali, 5 April 2010)
Wayan Sunarta
desau igaumu mengiringi malam-malam pelayaranku isyarat yang pucat, gurat-gurat yang layu angan yang liar, ingin yang kuyu namun semua bermula dari kata demi kata cuaca penuh rahasia umpama lautan tak terbaca nahkoda di geladak perahu oleng, mabuk kepayang pelayaran nujuman peri-peri penipu gagu meraba arah kata pada akhirnya kau melampaui rahasia yang diperam angin garam arah makin samar, peta buram memudar serupa buih lautan entah pelabuhan mana mesti disinggahi silau cahya senja telah menyepuh buritan walau masih mampu kuterka angan yang mengantarmu, riuh camar yang sekejap sirna iringi pelayaranku, malam-malam penuh igau
WAYAN SUNARTA lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Belajar Antropologi Budaya di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Sempat belajar seni lukis di ISI Denpasar. Menulis sejak 19 90 berupa puisi, prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisannya antara lain dimuat di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Jawa Post, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Kebudayaan Kalam, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Visual Arts.
(Karangasem, Bali, 31 Maret 2010)
50
Oktober 2011
OKtober 2011
51
Cerita Pendek
“T
PURWALAYA TEKS Yanusa Nugroho
52
Oktober 2011
ahukah kamu, kota yang bernama Purwalaya?” dia tiba-tiba bertanya, seolah sebuah penggalan kalimat panjang yang entah sejak kapan diucapkan. Aku menggeleng. “Pernah dengar?” Aku kembali menggeleng. Lalu, dia—laki-laki bertubuh kecil itu— bertanya kepada orang-orang lain, yang seperti halnya aku, duduk melingkari meja kecil. Pertanyaan yang sama, dan jawabannya pun sama: gelengan kepala, atau tatapan mata penuh keraguan. “Suralaya, saya pernah dengar. Surabaya, ya, itu tempat kelahiran saya..hehehe. Tapi, Purwalaya, di mana itu?” celetuk salah seorang di antara kami. “Apa sampean mau ke sana?” tanyaku. “Ya.” Jawabnya singkat. “Lho, tapi sampean sendiri tidak tahu di mana?” “Makanya aku tanya kamu..” “Sampean punya saudara, atau family, di sana?” Tanya yang lain. “Aku dilahirkan di sana.. “ Aku terdiam. Kawan-kawan yang lain juga terdiam. Mungkin kami terdiam karena bingung. Dia tertawa kecil ketika menyadari ucapannya membuat kami bingung.
“Begini.. menurut cerita ibu saya, kami memang berasal dari kota itu. Ibu, bapak, bahkan eyang-eyang kami memang berasal dari tempat itu. Nah, begitu lahir, aku dibawa orangtuaku merantau.. sampailah di Jakarta ini..” Beberapa saat kami diam, lantas, seperti baru menyadari kewajaran kisahnya, kami mulai mencair dan menertawakan ketololan kami sendiri. *** Entah sudah berapa lama rentang waktu antara pembicaraan di meja kecil itu dengan hari ini, aku tak ingat lagi. Yang jelas, hari ini aku menemaninya, mencari tahu tentang sebuah kota yang bernama Purwalaya. Berhari-hari sebelumnya aku sempatkan mencari tahu, baik bertanya dengan banyak orang maupun menelusuri google map. Tidak kutemukan tempat bernama Purwalaya. Jangan-jangan memang bukan kota, tapi sebuah desa kecil, atau pedukuhan saja, yang bisa jadi ‘luput’ dari pemetaan. Ada memang, sebuah tempat di Solo, yang bernama Purwalaya, tapi itu bahkan bukan pedukuhan atau desa, tapi kuburan. Dengan bekal ketidaktahuan itulah aku menemaninya. Dia sendiri tampak tenang, seperti biasanya. Seolah-olah dia sudah tahu kemana langkah kakinya menuju. “Jadi, ke mana kita mengarah?” “Kalau menurut kamu?” “Lho, gimana, sih?”ucapku sambil menertawakan entah apa. Dia pun tertawa saja. “Sudahlah, mari kita jalan. Eh, sudah sarapan?” sambungnya dengan santai. “Belum.” “Ngopi dulu, yuk.. sambil makan ketan, kan sip..hehehe” *** “Purwalaya?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari si pemilik warung kopi. Setelah kami mengiyakan, dia malah tertawa ngakak. “Sampean berdua ini lucu.. makanya saya tertawa..” lantas dia pun tertawa lagi sampai puas. Sambil menghapus airmata yang berleleran dia pun menjelaskan bahwa semua orang tahu di mana tempat itu. Kami bersitatap. Semua orang tahu, kecuali kami. Aneh. “Lho, apalagi kalau sampean ke terminal..
semua bis di sana tujuannya sama: Purwalaya. Wah, jan, sampean berdua ini, kok, ya, neka-neka saja.. sampean ini lucu banget, lho, mengalahkan Tukul ..” lalu dia pun tertawa lagi. K ami pun ter tawa, mener tawakan ketololan kami sendiri. Aku bahkan ingin membenturkan kepalaku sendiri ke meja; ngapain sampai tanya ‘mbah’ Google segala, padahal langsung ke terminal, bisa langsung tahu, ah.. tolol bin bodoh. *** Semua bis memang hanya punya satu tujuan: Purwalaya. Kami tersenyum, kembali menyenyumi ketololan kami. Tapi, memang ada yang aneh, setidaktidaknya di mataku, karena kulihat ada tulisan yang seperti baru diganti. “Ini.. Lebak Bulus, kan?” tiba-tiba kawanku itu berbisik, rupanya dia pun mengendus sesuatu yang mencur igakan. A ku mengangguk. “Lihat bis itu, yang bagus itu.. tulisan di atas itu, perhatikan.. apakah bukan Purwosari? Kenapa jadi Purwalaya?” “Benar..mataku juga melihat bis yang itu.. tuh, itu, kan seharusnya Purbalingga, apa Purwokerto?..” Kami diam kembali, sementara itu entah dari mana tiba-tiba sekumpulan orang menyambut kami. “Mari Pak, Bis siap berangkat..yang itu pak.. langsung Purwalaya..” “Ini aja Pak.. bisnya baru, awak bisnya professional.. ada karaokenya, lagi.. lebih cepat, lebih nyaman..lebih baik.. langsung Purwalaya..” “Nanti makan malamnya di restoran Punggung Bukit Pak, sambil menikmati lembah-lembah indah .. yang di sini saja pak, ini.. yang warnanya hijau, pak.. Purwalaya..” Ucapan dan semua kata-kata yang memberondong itu sama sekali tak kami duga. Dan semuanya membuat kami malah berpikir dua kali. Sementara seseorang malah sudah meraih tas ransel kawanku, bermaksud membawakannya ke bis yang disarankannya. Temanku buru-buru menahannya dengan senyum. “Bapak mau kemana?” “Ya, Purwalaya..” jawab temanku kalem. “Nah, tunggu apa lagi. Ini sudah siap berangkat. Bapak duduk, langsung wesss.. Mari Pak..” lalu dia berbisik, kemudian tertawa kecil, dan disambung.. “.. joss, OKtober 2011
53
to, josss to.. “ Sementara kawanku hanya tersenyum. “Baik, baik.. sebentar.. kami mau cari makan dulu..” kata kawanku sambil buru-buru mengajakku menjauhi kumpulan orangorang itu. Sesampai di salah satu warung dia berbisik: “Masak, naik bis dapat bonus tidur sama artis.. edan.” Kami terkikik geli, ada-ada saja. Kembali kami termangu. Semua bis bertujuan sama: Purwalaya, tapi entah mengapa kami malah bingung. Saat itulah seorang laki-laki paruh baya, berperawakan sedang, berpakaian rapi, dengan wajah santun, mendekati kami. “Mas, mas ini mau ke Purwalaya?” K a m i te rs e ny u m d a n me n g i ya k a n pertanyaannya. “Yah, sama dengan saya.” Ucapnya kalem seperti ingin berbagi kebingungan dengan kami. Rupanya dia juga ‘korban’ iklan bis ke Purwalaya. “Saya bingung, sedemikan banyak bis yang menuju ke Purwalaya.. masak satu terminal tujuannya sama semua?” kataku memulai percakapan. “Sebetulnya ada jurusan lain juga.. banyak, malah.. tapi, jurusan yang paling padat, ya, Purwalaya, makanya semua bis mengambil
“Oh, tidak.. ada bisnis saja di sana.. tiap bulan saya bolak-balik, JakartaPurwalaya..” jawabnya tenang sambil mengeluarkan sebatang rokok. “Anda berdua?” “Mmm.. sebetulnya, saya hanya ingin tahu tempat kelahiran saya….” Tutur temanku dengan tenang. “Ooo.. jadi sampean belum pernah ke sana, gitu?” tiba-tiba si laki-laki santun itu memotong dengan nada gembira yang sangat. Aku agak heran dengan sikapnya. “Begini, mas.. ini kalau sampean tidak keberatan, lho, ya.. tidak ada paksaan.. sampean nanti bareng saya saja. Ini saran, lho, ya.. soalnya saya sudah pengalaman..” “wah, terimakasih, Pak…” sahutku spontan. “Nah, gini.. sampean berdua persis seperti saya ketika pertama kali ke Purwalaya. Bingung. Semua bis mengaku yang paling baik. Semua bis mengaku yang paling tahu jalan. Semua bis berjanji macam-macam, bahkan ada yang dengan janji menggiurkan laki-laki to?” ucapnya seakan tahu bisikan yang tadi. Kami hanya tersenyum. “Lho, memangnya tidak sesuai janjinya?” “Wong bisnis, lho, mas.. mereka bisa
Aneh, sesaat pengeroyokku terdiam. Lebih aneh lagi, si laki-laki berjaket yang tadi membantuku, segera menghantamkan tinjunya ke tengkukku. Aku terhuyung, jaketku lepas.Jauh lebih membingungkan, mereka yang mengeroyokku segera beralih sasaran. trayek itu..” “Kenapa?” “Lha, pasti menguntungkan..hehehhe..” “Maksud saya, apa benar semua penumpang itu bertujuan ke Purwalaya?” tanyaku agak geli. “Lha, sampean mau ke mana?” dia balik bertanya. Aku tersenyum. Dia tertawa. “Saya juga ke Purwalaya, sampean berdua juga ke sana.. coba cari orang-orang yang bertujuan selain ke Purwalaya, coba, kalau ada..hahahahaha. Tidak ada, mas.. semua ke sana, jadi, ya..bisnya mengambil jalur yang lebih menguntungkan, to? Wong bisnis, kok..hehehehe” “Bapak pulang kampung?” Tanya temanku. 54
Oktober 2011
berkilah dengan seribu satu alasan. Saya pernah suatu kali dulu, naik bis yang katanya full ac, nyatanya di tengah jalan, di luar kota acnya mati.. makanannya ndak enak, suspensi bisnya mirip suspensi truk.. wah, tersiksa saya. Kapok. Kali yang lain juga begitu, sampai akhirnya saya temukan yang benar. Yang paling benar. Sesuai janjinya. Tidak kurang, tidak dilebih-lebihkan. “ “Bis yang mana?” tanyaku spontan. Laki-laki itu tersenyum menang. “Jadi, nanti sampean berdua percaya sama saya, ikuti saja saya sampai duduk di dalam bis. Jangan dengarkan tawaran lain, sudahlah, saya jamin aman.”
“Berapa, sih tiketnya?” Tanya kawanku. “Sudahlah.. murah, pokoknya, ya.. maksud saya, harganya standarlah..” “Iya, berapa, maaf..maksud saya, uang kami pas-pasan.. jadi kalau ..” “Sudahlah, sama saya beres semua. Mari, kalau sudah siap?” “Tapi..” “Sudahlah, ngapain lama-lama di sini, nanti makin bingung lho, apalagi kalau ketahuan gerombolan itu..mari, itu bisnya sudah mau jalan..” Seperti kerbau dicocok hidungnya, kami beranjak—tentu setelah membayar minuman kami—mengikuti langkah si laki-laki. Segerombolan orang yang tadi mengepung kami pun kembali seperti mendapat ‘mangsa’ baru. Tapi si lakilaki yang kami ikuti tadi segera berteriak keras:”Mereka ikut saya, jangan cobacoba, ya..” Segerombolan laki-laki itu takut, mereka menyingkir dengan wajah tak suka. Aku— kurasa kawanku juga—merasakan ada sesuatu yang ganjil; aku curiga, janganjangan dia bukan penumpang tapi cal obis juga seperti segerombolan orang itu. Ah, tapi, bisa saja aku keliru. Pintu bis terbuka, arus dingin merebak membawa keharuman pewangi mobil. Segar. Laki-laki itu melangkah masuk mendahului kami dengan mantap. Kami menyusul di belakangnya. Segera setelah kakiku sempurna menginjak lantai bis, pintu tertutup. “Saudara-saudara, mari kita sambut saudara seperjalanan kita yang baru..” lalu terdengar tepuk tangan, wajah-wajah cerah, senyum kegembiraan, dan ..semuanya membuat kami berdua senang campur bingung. Semua penumpang mengenakan jaket seragam. Ah, promosi yang hebat. Bis ac, penumpangnya diberi jaket perusahaan. Lalu, seorang pramugari—layaknya sebuah pesawat, mempersilakan kami duduk di kursi yang rupanya memang untuk kami berdua. Sambil tersenyum manis menawan, dia meletakkan dua gelas minuman hangat di gelas plastic bertutup, kemudian menanyakan menu apa yang dipilih untuk makan nanti. “Mmm.. gini mbak, maaf, maaf.. tapi saya belum punya tiket..” ucap kawanku agak kikuk. Si pramugari tersenyum manis, sambil menempelkan jemarinya yang lentik
ke lengan kawanku dia berbisik bahwa tidak usah bayar apa-apa, semua sudah ditanggung sama, ah, rupanya laki-laki yang tadi. Kawanku menatapku dengan wajah tegang. Aku paham, karena akupun entah mengapa merasa tiba-tiba ‘terjebak’ pada situasi tak mengenakkan. Entah bagaimana, mata kami tiba-tiba memandang si laki-laki yang tadi, yang kebetulan memperhatikan kami. Dia tersenyum ramah, dengan tangannya dia mengisyaratkan bahwa semua memang dia yang menanggung. Kami berdua jadi merasa tak enak; sekaligus curiga. *** Dengan berbagai perasaan berkecamuk, sementara menunggu bis berjalan, aku mengintip ke jendela, sekadar membuang perasaan aneh ini. Tiba-tiba kusaksikan perkelahian di luar sana. Segeroimbolan orang yang tadi mengerumuni kami sedang baku hantam dengan orangorang yang—ya, ampun, bereragam sama dengan kami yang ada di bis ini. “Ah, rebutan penumpang..” jawab kawanku sedih. “Ya, begitulah, Mas..:” tiba-tiba si laki-laki itu ada di antara kami dan ikut mengamati peristiwa di luar sana. “Mereka memang harus diberantas. Mereka menyesatkan..” “Lho, kenapa?” “Seperti kata saya tadi, mereka hanya janji ini itu ke penumpang, tapi lain di bibir lain di kenyataan..” “Ya, maksud saya, apakah polisi atau pihak LLAJ tidak bertindak, mengapa harus sesama awak bis yang menyelesaikan masalah?” “Hmmm.. cerita lama, mas.. protes sudah banyak tapi ndak ada tindakan apa-apa.. Jadi, ya, inilah yang terjadi..” Smentara baku hantam makin seru. Jumlah yang terlibat makin banyak. Tibatiba kulihat ada seseorang yang diseret paksa oleh orang yang berjaket sama dengan penumpang bis ini. Lalu ada lakilaki lain yang mencoba mempertahankan. Tarik menarik terjadi. Ada anak kecil, rupanya anak si orang itu, menangis. Darah mulai muncrat, keberingasan memuncak, senjata tajam bicara. Aku tak tahan, dan rupanya kawanku pun begitu. Meski dicegah oleh si lakilaki akhirnya kami bisa keluar. Kami bermaksud menyelamatkan si bocah
yang meraung-raung di tengah kelebatan kelewang. Ketika tanganku nyaris meraih si bocah, tiba-tiba ada laki-laki yang menghantamku: “Ini orang mereka, ngasih bantuan..” teriaknya dan serempak yang ada di sekitarnya beralih mengeroyokku. Orang berjaket yang ada di dekatku segera membantu. Sambil berusaha menyelamatkan diri dan si bocah, aku buka jaket sebagai senjata melawan golok dan kelewang. Aneh, sesaat pengeroyokku terdiam. Lebih aneh lagi, si laki-laki berjaket yang tadi membantuku, segera menghantamkan tinjunya ke tengkukku. Aku terhuyung, jaketku lepas. Jauh lebih membingungkan, mereka yang mengeroyokku segera beralih sasaran. Mereka mengeroyok laki-laki berjaket dan melindungiku. Sempat kusaksikan kawanku pun akhirnya melepas jaketnya dan, entah bagaimana berhasil menyelamatkan diri ke tepian terminal. ** Anak kecil itu masih meraung-raung. Kami mencoba menata napas. Peristiwa apa ini? Perkelahian makin sengit karena entah dari mana segerombolan orang berjaket itu makin banyak. Mereka bahkan bukan saja membanjiri arena perkelahian, tapi mencari-cari kami berdua. Begitu salah seorang mengenali kami—dan itu adalah si laki-laki yang membayari tiket perjalanan kami—mereka menyerbu kami. “Tangkap pengkhianat itu, tangkap.. bawa paksa merekaa!” ***
Entah sampai di mana, dan sudah berapa lama kami berlari keluar terminal, tak jelas lagi. Yang kurasakan tiba-tiba perasaan sedih, marah, sekaligus takut berkecamuk menjadi satu. Diam-diam aku berdoa, semoga para pengejar kami itu tak menemukan anak kecil yang kusorongkan di sela-sela krat-krat minuman kemasan yang menumpuk di salah satu warung di situ. Semoga saja dia selamat. “Kita pulang?” “Kemana? Tak ada jalan pulang, mereka akan mencegat kita. Kita terus saja jalan..” jawab kawanku dengan wajah mulai tenang. “Iya, tapi kemana?” “Purwalaya..” “Jalan kaki?” “Mungkin lebih baik..” “Tapi.. “ aku kehabisan tenaga untuk bertanya. Karena bukankah aku juga tahu jawaban atas semua pertanyaanku padanya. Jadi, aku pun ikut saja. “Kita harus menempuhnya dengan kaki kita sendiri. Kita harus berpegang pada ketetapan hati kita sendiri. Aku yakin, kita akan sampai di Purwalaya, semua orang akan sampai di Purwalaya, kalau dia mengikuti pijaran nuraninya sendiri. Jika soal arah, mari kita bertanya pada bintang—ketika malam hari. Kepada matahari di siang hari.. dan aku yakin, di jalan kita akan menjumpai para pejalan kaki, yang lebih tahu pasti arah Purwalaya.” Maka kami pun berjalan. Meretas jalan keheningan malam, berpedoman bintang, berpelita keyakinan. Tak soal lagi tentang arah, yang penting adalah tujuan.
Yanusa Nugraha Lahir di Surabaya, 2 Januari 1960, lulus Fakultas Sastra UI tahun 1989, Yanusa Nugroho redaktur Berita Buku IKAPI, dan penulis naskah di biro iklan, sebelum hidup jadi penulis lepas.Cerpennya dimuat Kompas, Matra, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Merdeka, Republika, Femina, Amanah, Syir’ah, Noor, Ayahbunda; dan dibukukan pada Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di Daun Tal (1992), Menggenggam Petir (1996), Segulung Cerita Tua (2002), Kuda Kayu Bersayap (2004), dan Tamu dari Paris (2005). Cerpen ”Kunang-Kunang Kuning”(1987) meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nederland, kumpulan cerpen ”Segulung Cerita Tua” masuk nominasi Hadiah Sastra Katulistiwa 2002, cerpen ”Wening” mendapat Anugerah Kebudayaan tahun 2006 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.Yanusa juga menulis novel Di Batas Angin (2003), Manyura (2004), dan Boma (2005) berdasarkan kisah pewayangan; skenario film serial animasi ”Dongeng Untuk Anak dan Kau”, skenario seri Tokoh Bangsa: Bung Hatta produksi SET Production, naskah panggung Gallery of Kisses di EKI DANCE COMPANY, membantu Deddy Luthan Dance Company menggarap beberapa karya tari, dan aktif di komunitas pedalangan Indonesia. Bersama istri dan dua orang anak,Yanusa tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan.
OKtober 2011
55
Galeri Kartun
56
Oktober 2011
OKtober 2011
57
Kadek Jango Pramartha lahir di Denpasar, Bali, 21 Desember,1965. Menamatkan Studi S1 di Jurusan desain Grafis di Universitas Udayana Bali (1991) dan melanjutkan studinya (Elicos) di University of Western Australia Perth ( 1992-1994). Mengawali karir sebagai kartunis di koran harian Bali Post beberapa kali membawa dunia kartun Bali ke pameran - pameran Internasional seperti Australia, Belanda, Paris & New South Wales.
58
Oktober 2011
OKtober 2011
59
Cerita Bersambung
itu, hujan lebat bisa sontak mendadak mengguyur bumi. Diiringi kilatan petir dan gelegar guruh yang mampu menggetarkan kaca-kaca jendela hotel, resort, villa, dan rumah-rumah penduduk.
menebar, menyebar, melata dan menggelar diri dalam keluasan jangkauan sesuai kodrat dan kemampuannya. L alu, mereka menyelimuti butiran pasir seiring kekuatan dan daya dorong yang tadi mereka hempaskan.
Tan pesangkan, ia juga tak bisa menggerakkan lagi otot serta seluruh anggota tubuhnya yang lain. Ia seperti terhisap. Sekaligus terlontar.
NOVEL : NOORCA M. MASSARDI
(1)
Mestinya purnama sudah menunjukkan wajahnya yang sempurna pada kaping 15 Sasih Kasanga Tahun Saka ini. Namun cuaca buruk dan hempasan angin yang begitu lantang masih menghantui Pulau Dewata. Padahal masyarakat Hindu Bali baru merayakan Galungan, hari kemenangan dharma, sebulan sebelumnya. Toh, langit selalu mendung dan hujan kadang menderas tiba-tiba di banyak wilayah. Tak seorang pun karenanya, yang dapat menyaksikan penampakan candra, sang rembulan, keajaiban langit yang menjadi salah satu bukti dan kuasa Sang Hyang Widhi di jagad raya. Tak hanya di kawasan perbukitan, di sungai, di lembah, dan di ngarai sekitar Ubud, rembulan pun tak tercingak di sepanjang pantai Lebih dan pantai Saba,
60
Oktober 2011
Gianyar, yang berpasir hitam. Sudah berkali-kali dan selama beberapa bulan terakhir ini sejumlah pemukiman dan kawasan pelancongan di Pulau Seribu Pura itu dihempas puting beliung dan keganasan gelombang ting gi yang menyerbu sampai ke atas wuwungan, dan menghantam serta menghancurkan sejumlah bangunan. Karena itulah, tak sebagaimana biasa dalam pelbagai cuaca, malam itu tak seorang pun berani bercengkerama, atau melepas penat, atau mengunyah sepi, atau pergi memancing di bibir pantai atau di air-air payau di sepanjang pesisir. Tak banyak kegiatan yang dilakukan oleh warga banjar sekitar atau para pelancong. Tak ada pula yang berusaha menikmati keindahan laut selepas senja. Apalagi, sebagaimana hari-hari lainnya pada masa
Namun kendati suasana malam tengah menyimpan kelam seperti itu, sebuah pemandangan yang agak tak biasa terlihat di salah satu teras kamar hotel internasional di kawasan pantai Sanur. Di lantai 13, seorang lelaki setengah baya tampak berdiri di tepi pagar besi setinggi dada orang dewasa. Lelaki berbatik lengan pendek dan bercelana panjang hitam, itu terlihat sangat santai. Kedua bola matanya tengah mengamat-amati dan terkesan begitu menikmati cuaca yang cukup mencekam itu. Dari teras kamar nomer 1313 yang menghadap ke laut terbuka itu, yang sesungguhnya pintunya jarang dibuka oleh tamu kebanyakan – apalagi dalam cuaca dan angin cukup deras seperti itu – tanpa rasa takut atau gamang, ia asyik mencermati debur ombak yang memecah pantai di bawah kejauhan sana. Gelombang laut malam yang terkadang meninggi dan bergulung-gulung itu, tampak sangat setia menyusuri hitungan waktu dan gerak tertentu. Dalam irama yang padu, mereka meluncur melandai dan menyerbu merayap ke arah pantai. Begitu bertemu dengan permukaan karang atau menabrak permadani pasir di pantai, mereka pun terpecah menimbulkan buih-buih putih yang menggelepar bagaikan hamparan kapas tersapu angin. Dalam kecepatan tertentu pula, atau mungkin dalam kelambatan yang sudah tersurat, pecahan buih itu langsung
Permukaan air, pecahan ombak, dan buih putih itu tampak berkilatan dalam warna keperakan. Sebelum menyur ut kembali dan tersedot oleh tenaga dalam lautan, atau terserap oleh pori-pori pantai, mereka masih sempat memantulkan cahaya yang menghunjam dari lampu-lampu sorot sejumlah hotel, yang memang sengaja selalu diarahkan ke bibir pesisir. Pantai yang diselimuti pasir putih tebal di sepanjang pantai Sanur itu, ternyata buah dari kerjasama proyek reklamasi yang dilakukan pemerintah daerah dengan bantuan pemerintah Jepang. Beberapa waktu lalu, berton-ton pasir putih didatangkan entah dari mana, untuk menguruk pantai yang sudah habis terkikis erosi dan abrasi air laut. Pada siang hari, pasir itu akan terlihat sangat tebal bagai tumpukan kasur yang luas. Tak aneh bila pantai Sanur menjadi sasaran empuk dan sangat disukai para pelancong yang sengaja datang ke situ untuk menjemur badan. Terutama mereka yang berusia 40 tahun ke atas. Biasanya para tetamu asing itu membawa sendiri alas-alas kain Bali yang warna-warni, atau menggelar tikar plastik bermotif, yang dihamparkan di atas pasir panas. Sedang bagi para tamu hotel, telah disediakan kursi pantai bercat putih dengan alas jok empuk warna biru yang bisa dilipat. Sementara itu, di teras lantai 13, lelaki berbatik yang tengah mengamati ombak dan buih pantai itu tampaknya tidak terlalu menyadari bahwa sesungguhnya ia bisa mabuk juga bila berdiri berlama-lama di dalam posisi itu. Bukan hanya karena bisa masuk angin, tapi juga karena ia terus menerus menyimak gerak yang berirama tetap dan yang berkesinambungan tanpa akhir. Dan, pada kondisi seperti itu bagi
orang kebanyakan dapat menimbulkan dampak hipnotik tertentu. Itulah sebabnya mengapa mereka yang tengah berada di tepi pantai dan yang pandangan matanya diarahkan ke tengah laut, sering tampak terbengong-bengong dan terlongong beberapa saat. Apalagi bila mereka menikmati pemandangan alam itu dalam waktu relatif lama. Lebih-lebih pada malam hari. Terutama di tengah cuaca yang demikian dingin dan mencekam, disertai terpaan angin kencang seperti malam itu. Di pantai Sanur pula. Pantai yang sejak lama terkenal angker pada waktu malam. Konon pula pada purnama sasih. Bulan purnama raya. Dan purnama tilem. Ketika rembulan tertidur pulas. Menurut cerita penduduk setempat, di wilayah itulah sesungguhnya orangorang Bali atau mereka yang berniat memperdalam ilmu kebatinan atau ilmu hitam, khususnya ilmu nge-leak, akan menyempurnakan kemampuan rohani-jasmaninya pada malam-malam seperti itu. Sebuah informasi lama yang entah mengapa, mendadak juga terlintas di benak lelaki yang masih berdiri di ketinggian teras hotel itu. Dan, karena menyadari hal itulah, antara percaya dan tidak percaya, antara takut dan tidak takut, lelaki berbatik itu hendak segera menyudahi kenikmatannya menyaksikan gelombang laut dari ketinggian teras kamar hotel itu.
Tan pesangkan, ia juga tak bisa menggerakkan lagi otot serta seluruh anggota tubuhnya yang lain. Ia seperti terhisap. OKtober 2011
61
Namun, belum lagi melepaskan pandangan dari gemerlap permukaan laut lepas itu, tiba-tiba saja sesosok bayangan hitam datang berkelebat, dan muncul tepat di hadapannya. Tak ayal, lelaki berkacamata minus itu hanya bisa ternganga. Ia sungguh amat terkesima. Karena sekonyong-konyong, entah dari mana datangnya, bayangan hitam itu kini sudah berada dan berdiri tepat di depan matanya. Di ujung hidungnya. Di hadapan tubuhnya. Posisi bayangan itu pun nyaris tak berjarak lagi. Sosok hitam kelam itu tahu-tahu sudah merapat ke tubuh lelaki berbatik yang posturnya cukup tinggi besar itu. Meskipun demikian, lelaki itu masih sempat berusaha untuk tetap menguasai dirinya. Ia masih mencoba untuk berpikir. Ia merasa yakin bahwa sejatinya lebar dan panjang teras itu kurang dari satu meter persegi. Ia pun percaya bahwa sepanjang waktu tadi, ia berdiri sambil merapatkan dada depannya ke pagar besi itu. Jadi, tidak mungkin lagi ada cukup ruang yang memungkinkan bagi orang lain, atau bagi entah apa, dan entah siapa pun, untuk bisa berdiri tepat di hadapannya seperti saat itu. Karena itulah, dalam terpana, dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, dalam keterkejutan yang amat sangat, dalam selimut takut yang tiba-tiba muncul dan membungkus dirinya, ia merasakan denyut jantungnya seolah berhenti berdetak. Apalagi, saat itu pun sesungguhnya seluruh pikiran dan perasaannya, seluruh panca inderanya, masih dalam keadaan terbawa hanyut dan terbius oleh gerak dan deburan ombak pantai, serta cuaca malam yang amat pekat. Dalam kondisi setengah hipnotik itu ia sungguh-sungguh merasa tak siap untuk menghadapi kejutan apa pun. Apalagi melakukan perlawanan atas ketiba-tibaan yang tak ternyana itu. Konon pula untuk membuka mulut atau berteriak. Ia betulbetul tak punya waktu dan tak memiliki kesempatan apa pun barang sedetik. Syaraf kesadarannya tak bisa bekerja sama sekali. Termasuk ketika dalam kecepatan tak terduga, ia merasakan keningnya seperti tiba-tiba ditepuk atau tepatnya dipukul sedemikian rupa, entah oleh apa, atau oleh siapa. Mungkin sekali oleh 62
Oktober 2011
Ia ditiup dan dihembuskan oleh sesuatu yang tak terperikan panca indera, oleh akal sehat, dan oleh pelbagai rasa yang selama hidupnya pernah ia miliki. Rasa yang sejati. Rasa yang paling palung.
sosok gelap pekat di depan hidungnya itu. Sosok yang dilihatnya hanya menampilkan sepasang mata yang tak sanggup ia menatapnya. Bola mata yang sorotnya semakin membuat lelaki itu tak berdaya. Sorot yang sangat menakutkan. Yang membuat nyalinya menciut dan mengerut seketika. Dan, pandangan soca sosok itu memang sungguh amat melumpuhkan. Kilatan cahaya yang menyilaukan dari sepasang mata itu berkilap berkelebat bagai datang dari sinar damar samudera di kegelapan. Ia pun merasa seperti hendak dibawa entah ke mana dan entah oleh siapa. Yang pasti, ia merasa seperti tengah didorong atau ditarik oleh suatu kekuatan yang tak terperikan, untuk terus berjalan menuju ke dalam sebuah dunia yang pekat. Melayang ke sebuah tempat seperti delta yang belum pernah ia lihat dan ia datangi sebelumnya. Sebuah wilayah dengan sungai dan jalanan yang begitu panjang, berliku, terjal, dan berlumut. Sebuah lorong yang
tidak merasakan adanya daya kejut atau daya tolak yang kuat, yang seharusnya ia alami saat itu, dan yang memungkinkan kepalanya terdorong keras ke arah belakang.
menyemburkan uap panas berbusuk menusuk kalbu. Sebuah lubang yang tak mungkin bisa ia hindarkan. Sebuah growong yang membawanya menuju ke keabadian. Sebuah titik menjelang dermaga sungai kematian. Kematian dirinya. Dan, di tengah panorama yang kosong dan sunya itulah agaknya, sepersekian detik yang lalu, sesungguhnya ia masih sempat merasakan hembusan hawa energi yang mengisyaratkan datangnya sebuah ancaman. Tapi ia sudah tak berdaya. Sebuah benda keras tiba-tiba menghantam bagian depan tengkorak kepalanya. Tenaga pukulan itu sungguh amat kuat. Ia seperti digodam oleh sebuah balok besar yang sangat keras. Sebuah benda yang padat namun amat dingin bagaikan bongkahan besar gunung es yang tumbang di kutub utara akibat perubahan iklim. Toh, pada saat itu juga ia merasakan adanya sesuatu yang aneh. Hantaman dahsyat yang demikian kuat, itu ternyata juga sekaligus empuk dan lembut. Ia merasa telah dihantam oleh sebongkah balok es yang langsung berubah menjadi segumpal kapas atau awan atau kembang gula harum-manis. Karena itulah, ia pun
Namun, tak sampai sekejapan mata, setelah mendapatkan hantaman itu ia langsung terlena. Ia merasa terpedaya. Ia terhempas ke ruang hampa yang amat luas. Ia terpelanting ke dalam rongga yang membuatnya melayang terbang ke dunia baka. Dunia yang tak pernah dikenalnya sama sekali. Dunia tak terperi. Dunia yang terapung-apung. Yang mengalun di ujung jalan yang lengang. Jalan menuju kehilangan. Dan, seperti terkena kibasan daya hipnosis, seluruh kesadaran lelaki itu pun sirna seketika. Ta n p e s a n g k a n , i a j u g a t a k b i s a menggerakkan lagi otot serta seluruh anggota tubuhnya yang lain. Ia seperti terhisap. Sekaligus terlontar. Entah ke mana. Ia seperti uap bagaikan asap. Ia terbang melayang ke ketiadaan. Ia ditiup dan dihembuskan oleh sesuatu yang tak terperikan panca indera, oleh akal sehat, dan oleh pelbagai rasa yang selama hidupnya pernah ia miliki. Rasa yang sejati. Rasa yang paling palung. Sekejap kemudian, sosok gelap yang telah melumpuhkan lelaki berbatik itu dengan sigap menggendong tubuh lelaki itu. Badan lelaki itu telah menjadi kaku bagaikan patung kayu di etalase-etalase toko busana. Sementara sosok gelap itu bergerak dengan sangat ringan dan amat cekatan dalam setiap langkahnya. Seolah tanpa beban sama sekali. Di bawah siraman penerangan lampu baca di atas tempat tidur, satu-satunya lampu yang menyala di kamar yang temaram itu, tubuh kaku lelaki itu dibaringkan di atas tempat tidur. Lelaki berbatik itu tampak seperti bayi yang tertidur pulas di pangkuan orangtuanya. Lalu sosok itu merapikan posisi tilem korbannya, agar pria berbatik itu tampak seperti sungguhsungguh tertidur atas kemauannya sendiri. Dan, sosok hitam itu lalu melepaskan kacamata minus korbannya, sebelum kemudian meletakkannya di atas
...bersambung OKtober 2011
63
Proses Kreatif
Dari Dewan Senior ke Skenografi
Didukung “Oom dan Tante�, Rangga Riantiarno terlebih dulu harus merepresentasikan gagasan panggungnya. Setelah itu, serangkaian diskusi dan pembuatan skenografi, menjadi ajang berikutnya. TEKS HERYUS SAPUTRO & Rubayyi Astari. FOTO LEONARDUS WISNU
64
Oktober 2011
OKtober 2011
65
M
enjadi anak Ratna dan Norbertus Riantiarno, “founder d an C EO” Teater Koma, tak berarti Rangga Riantiarno bisa seenaknya tampil sebagai sutradara. Ada tahap-tahap seleksi ketat dan terukur yang harus dilalui setiap anggota Teater Koma untuk bisa menempati posisi masingmasing. Termasuk bagi Rangga.
Ia misalnya, pada usia empat tahun sudah tampil sebagai ‘aktor cilik’ dalam lakon Opera Ikan Asin (1983). Sejak enam tahun silam, ia pun rutin berlatih bersama generasi baru Teater Koma lainnya. Selain itu, ia pun kerap menerjemahkan naskah drama. Mengapa Leonardo? yang digelar Teater Koma pada 2008, adalah terjemahan Rangga dari lakon What About Leonardo? karya Evald Flisar. Setahun kemudian, lewat lakon Ain// Idoep, naskah teater yang ditulisnya berdasarkan karya Kwee Tek Hoay, ‘dewan senior’ menyatakan dia lulus sebagai calon sutradara baru. “Tapi saat itu ia menyatakan belum siap, dan menyilakan
66
Oktober 2011
sutradara baru segenerasinya untuk lebih dulu tampil. Baru pada AntigoNEO ini ia berani memastikan diri untuk tampil sebagai sutradara,” kata Budi Ros, anggota senior Teater Koma. Mengantongi restu itu, tak berarti pula ia bisa langsung nyelonong membuat pementasan. Sama seperti sutradara lain, termasuk Nano, Rangga diwajibkan mempresentasikan semua gagasan panggungnya di hadapan tim penilai sebelum AntigoNEO dinyatakan ‘OK” untuk diproduksi. Setelah melalui tahap itu pun, ia tak sertamerta melatih para pemain. Namun, harus melalui pembedahan naskah lewat serangkaian diskusi. Setelah itu beres, ketika setiap pemain dan tim produksi paham apa yang dimaui Sutradara, dimulailah latihan-latihan rutin. Lima kali dalam seminggu, setiap latihan paling tidak menghabiskan waktu dua jam. Rangga beruntung, ada banyak stock anggota Teater Koma yang siap berlatih, sebagai pemain atau kru
OKtober 2011
67
STAGE AREA ANTIGONEO GKJ - SEPT 2011
16 m 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Cm
14.3 m
0
CYC LAYER
1 2
FLYING CYC LAYER
3
produksi. Ia juga beruntung, ada banyak pemain senior yang biasa disapanya sebagai “ Oom dan Tante”. “Tapi sebagai pemain atau kru produksi, tiap anggota Teater Koma, termasuk Mama dan Papa saya, kudu tunduk pada kebijakan yang diterapkan sutradara,” tegas Rangga.
4 5
KARUNG GONI
BLACK CURTAIN
BLACK CURTAIN
6
LEVELING 120
7
140
JA ERE
120
8
G
9
90 Cm
100
10
180 Cm PTW
PTT
L 60
80
11 12
180 Cm
13
PTM
PTP
90 x 180 LEVELING 60
BLACK CURTAIN
L 60 L 40
PH
14
60 Cm 760 Cm
15
720 Cm 10.5 m
16 Cm
CENTER STAGE
SCALE : 1 : 100
Sebuah Teater pada Era Krisis
Lewat Antigoneo, Teater Koma tak hanya bersikukuh dengan keprihatinannya atas dunia. Tapi, juga regenerasi – terutama – sutradara. Tawa penonton pun berkurang. TEKS Maman Gantra & Rubayyi Astari
S
eorang pemain akordeon muncul. Dua orang lainnya menyusul. K e t i g a n y a m e l i u k- l i u k d a n berjingkrakan. Imaji gerak pun tersaji, diiringi suara akordeon. Pertunjukan dimulai. Tak lama kemudian, dari arah penonton, berdatangan sekelompok turis. Mereka langsung menuju kompleks pemakaman, yang sering menjadi perbincangan di korankoran. Disebut-sebut sebagai keramat, konon, pemakaman itu dijaga seorang gadis yang pandai bernyanyi. Pertunjukan ini sendiri sebenarnya berkisah 68
Oktober 2011
tentang krisis ekonomi yang menimpa sebuah kota kecil di pinggir pantai. Kota itu bangkrut habis ketika sebuah proyek baru membuat warganya tak putus harapan: pembangunan sebuah hotel mewah, lengkap dengan kasino dan lapangan golf. Mereka percaya, proyek yang dibiayai penanam modal asing itu mampu memulihkan perekonomian kota. Ganjalan, sekaligus akar drama d ar i pertunjukan ini, muncul terkait lapangan golf yang kekurangan lahan. Kompleks pemakaman tadi terpaksa harus digusur. Toh, warga kota yang keluarganya dikubur di pemakaman itu memberikan persetujuannya. Hanya satu
yang menolak: Clara. Dia tidak mau kuburan adiknya digali dan mayatnya dikremasi. Dialah yang paling ngotot soal kekeramatan kuburan tersebut. Lagipula, “Adikku takut api,” katanya. Walikota pusing tujuh keliling. Clara adalah keponakan kesayangannya. Sejak kecil ia diasuh bak anaknya sendiri. Tapi, di lain pihak, para investor mengancam mundur kalau tidak ada lapangan golf. Haruskah ia menempatkan kepentingan umum, atau bisa jadi, kepentingan pribadi, di atas rasa kemanusiaan? Patutkah sejahtera ekonomi menggusur hati nurani?
Antigoneo, saduran Antigone Now karya pengarang Slovenia, Evald Flisar, yang juga merupakan versi modern dari karya klasik Sophocles, Antigone. Naskah ini terbilang sexy: Mempertanyakan kembali nilai tradisi, sejarah, kebanggaan, dan masa lalu, yang akan terus aktual. Terlebih, di depan terjangan krisis ekonomi global seperti sekarang ini. Tata panggung yang realistik, dengan patung gaya Yunani dan cahaya redup, sementara di latar belakang Dewi Keadilan dengan pedangnya tak henti membayang, tak pelak menyodokkan kemuraman itu. Suara tembakan itu, pun ikut membangun suasana. Sungguh, sebuah tontonan yang mencekam. Walikota yang bimbang, Pak Guru Guido, mantan tunangan Clara, Philip, dan kakak Clara, Sabina, semuanya saling mengadu argumentasi. Sementara Peter, si pewarta, diam-diam merekam seluruh adegan muram itu lewat kamera tersembunyi yang dipasang
Bersama Asisten Sutradara, Adri Susetyo, Rangga memimpin latihan-demi latihan sepanjang enam bulan. Merancang plotplot adegan, menyesuaikannya dengan skenografer dan rancang panggung yang lulus uji. Kepada Penata Kostum ia juga menumpahkan gagasan-gagasannya untuk diterjemahkan. Atau sebaliknya, Penata Kostum mengajukan rancang busana tokoh-tokoh yang tampil, untuk disetujui atau didiskusikan bersama. Juga diskusi-diskusi hangat dengan Penata Lampu, Penata Musik, Penata Artistik, bahkan dengan bagian pencari sponsor
di salah satu pohon. Memang ada Satpam berkepala botak yang kerap mengundang tawa. Kendati seorang penonton mengomentarinya sebagai “tontonan yang penuh perenungan sekaligus menghibur”, pertunjukan ini jelas miskin tawa dibandingkan sejumlah aksi Teater Koma sebelumnya. Dan ihwal miskin tawa itu tentu bukan sebuah kekurangan. Tak semata karena Teater Koma bukan kelompok lawak selayaknya Opera Van Java di televisi. Tapi, juga karena beberapa hal. Pertama, naskah ini jelas bukan naskah yang ringan. Ia bicara tentang krisis ekonomi yang menimpa planet kita sekarang ini, sehingga Wall Street pun hendak diduduki para penganggur dan gelandangan. Seperti diakui Flisar, “Dalam dunia kita yang terglobalisir ini, Antigone Now bisa terjadi di mana saja, tidak hanya sebuah kota di kawasan Mediterania. Hanya sedikit tempat di bumi yang belum tersentuh oleh modal yang mencari investasi
dana. Ini penting! Tanpa sponsor dana, yang bisa mencapai setengah milyar rupiah untuk tiap produksi, “Teater Koma akan sulit naik panggung!” ungkap Rangga, yang juga terus melakukan chatting dengan Evald Flisar, minta masukan berbagai hal menyangkut materi naskah yang disadurnya. “Merupakan kebahagian dan penghargaan bagi kami bahwa Pak Evald Flisar berkesempatan hadir di Jakarta untuk menyaksikan pementasan AntigoNEO,” kata Rangga. Didukung pelakon unggul semisal Budi Ros, Cornelia Agatha, N. Riantiarno, Ratna Riantiarno, Salim Bungsu, dan Tuti Hartati, AntigoNEO pun tampil sebagai tontonan penuh hiburan, dan sarat makna perenungan. Gedung Kesenian Jakarta pun ‘diubah’ menjadi kompleks pemakaman yang sudah digusur. “Di kuburan itulah kisah berawal dan di situ pula cerita berakhir tragis,” kata Rangga....
dan keuntungan”. Kedua, pertunjukan ini juga debut Rangga Riantiarno sebagai sutradara. Boleh jadi ia gagal mengarahkan akting para pelakon tukang pukul itu, yang terkesan kaku dibandingkan memberikan dampak komikal sebagaimana diharapkan. Toh, kehadirannya di tengah mandegnya regenerasi yang kerap menimpa kelompok-kelompok teater tersohor, kehadiran dan keberaniannya justru layak mendapat tepuk tangan. Dengan itu, Teater Koma tak hanya menjadi kampiun dalam perkara mengerahkan para penontonnya – sekaligus meyakinkan sejumlah perusahaan besar untuk ikut mendanai pentas mereka. Tapi, juga dalam hal regenerasi ini. Terlebih, setelah sempat memberi kesempatan kepada sejumlah anggota seniornya beberapa waktu lalu. Maka, produksi ke 28 Teater Koma ini sudah sepantasnya mendapat catatan yang layak. Sungguh. OKtober 2011
69
Galeri Citra
9/17/11 10:06 AM
Ya, Penyair . Ya, Pelukis Ray Bachtiar
Suatu ketika tiga orang kreatif yang terdiri dari seorang penyair, pelukis, dan fotografer, duduk-duduk di sebuah bangku di pinggir jalan pedesaan berbukit-bukit. Tiba-tiba terlihat dari arah bawah sana seorang wanita tua mendaki tertatih-tatih sambil menggendong beban berat berupa potongan-potongan kayu. Ketiganya memperhatikan peristiwa tersebut dengan seksama. Lalu apa yang dilakukan ketiganya? Imajinasi si penyair pasti menerawang jauh ke belakang dan jauh ke depan dari kedudukan wanita renta dengan wajah kerut merut itu. Begitu pula si pelukis, niscaya ia akan menjadikan peristiwa tersebut sebagai sumber ide karyanya. Namun, pengendapan ide bagi seorang fotografer harus bisa dengan cepat menggumpalkan rangkaian peristiwa dalam “kata-kata� sekaligus “goresan-goresan garis� yang indah pada saat itu pula. Oleh karena itu seketika itu ia harus mencermati dari mana arah cahaya matahari datang dan di mana posisi untuk bisa mendapatkan sudut pengambilan yang paling baik. Lalu, perlukah kontras-kontras di langit ditonjolkan yang berarti berkonsekuensi dengan keputusan perlukah menggunakan filter atau flash, yang menyangkut pula perihal bukaan lensa dan kecepatan, serta soal pilihan lensa. Tidak cukup sampai di situ. Perlukah ia menunggu waktu yang tepat atau justru menyutradarai dengan cara menggoda si nenek renta tadi agar bisa tersenyum, syukur-syukur tertawa atau malah sebaliknya lalu mengeksploitasi penderitaannya dengan bantuan alam sekitarnya. Pada akhirnya, keputusan yang diambil (jurnalistik, dokumentasi atau art) pasti akan bermuara pada jatidiri si fotografer
70
Oktober 2011
Pare-Pare Pk 9/17/11 19.00 Wib
OKtober 2011
71
Pelabuhan tuban pk 17.08
Pelabuhan tuban pk 17.47
72
Oktober 2011
Pelabuhan tuban pk 17.26
OKtober 2011
73
Esei Budaya
Kembali ke Budaya Orangutan TEKS Yudhistira ANM Massardi
Pendidikan kebudayaan adalah upaya pencerdasan untuk membangun pemahaman atas warisan nilai-nilai yang hidup di dalam sebuah masyarakat, dan untuk mendorong lahirnya karya cipta rasa dan karsa. Karya-karya intelektual dan artistik yang khas itulah, yang kemudian bisa dijadikan sebagai komoditas bagi industri pariwisata – karena keunikan, perbedaan dan eksotikanya -yang bisa memberikan nilai ekonomis kepada masyarakat dan negara.
74
Oktober 2011
endidikan, kebudayaan, dan pariwisata adalah tiga komponen otonom yang masing-masing harus dipahami maknanya terlebih dulu. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun kebudayaan, secara umum dipahami sebagai nilai-nilai sosialkemasyarakatan yang dimiliki sebuah komunitas , yang bersifat tur untemurun, serta hasil karya artistik dan intelektual yang khas dan menjadi j atidir i bangsa itu. Di d al amnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain dari anggota masyarakatnya. Dalam definisi yang lebih ringkas: kebudayaan adalah hasil karya cipta rasa dan karsa manusia. Sedangkan pariwisata adalah aktivitas pelancongan sejauh sekitar 80 kilometer ke sebuah tempat untuk mendapatkan hiburan dan kesegaran serta membuka wawasan baru. Industri pariwisata adalah sebuah usaha jasa yang melibatkan bisnis transportasi, tempat tinggal, makanan, minuman, pelayanan, perbankan, asuransi, keamanan, dan lain-lain. Menurut Undang Undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah aneka macam kegiatan wisata yang didukung pelbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan
pemerintah daerah. Dengan demikian, pendidikan kebudayaan ad alah upaya pencerd asan untuk membangun pemahaman atas warisan nilai-nilai yang hidup di dalam sebuah masyarakat, dan untuk mendorong lahirnya karya cipta rasa dan karsa. Karya-karya intelektual dan artistik yang khas itulah, yang kemudian bisa dijadikan sebagai komoditas bagi industri pariwisata – karena keunikan, perbedaan dan eksotikanya – yang bisa memberikan nilai ekonomis kepada masyarakat dan negara. Proses pewarisan Di sini kita menyadari, kebudayaan tidaklah statis. Ia bergerak. Ia hidup. Kebudayaan bukan hanya merupakan kumpulan artefak nilai-nilai dan karyakarya yang diwariskan nenek-moyang juga sekaligus mengandung hasil karya ciptarasa-karsa yang terus bertumbuh. Itulah sebabnya, kebudayaan pun membutuhkan dan melahirkan pendidikan, bag i terjadinya proses pewarisan (secara oral, tekstual dan fisikal) sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan demi kelangsungan hidupnya, dan di sisi lain, bisa dicapai hasil karya artistik dan intelektual yang lebih baik, lebih indah, dan lebih pelik. Dengan kata lain, tanpa pendidikan, sebuah kebudayaan hanya akan menjadi prasasti: dongeng silam bagai karya fiksi yang terputus dari ruang dan waktu, seperti kisah tentang Atlantis, Babylonia, Sriwijaya, Majapahit... Para bapak pendiri bangsa Indonesia telah merumuskan Undang Undang Dasar 1945 yang antara lain mewajibkan kepada negara untuk menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara. Itu artinya, hidup dan matinya kebudayaan
terutama merupakan tanggungjawab negara.
karena itu tanpa arah – di tengah-tengah samudera global.
Sayangnya, sistem pendidikan nasional yang kemudian disepakati adalah sistem yang mengakomodasi dualisme: sistem pendidikan yang bersifat nasionalsekuler, dan sistem pendidikan yang bercorak Islam. Lebih dari itu, tampaknya kita hanya melanjutkan paradigma pendidikan kolonial, yang diselenggarakan secara pragmatis guna menghasilkan para pegawai negeri dan buruh murah untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan penjajahan dan industri kolonial. Sehingga, yang terjadi kemudian bukanlah langkah-langkah pertahanan diri dan peningkatan kualitas karya artistik dan intelektual yang memperkuat kebudayaan Indonesia, melainkan sebaliknya: menyerap kebudayaan kolonial, dan melumpuhkan kebudayaan nasional. Paradigma sistem pendidikan kolonial itu dilanjutkan oleh rezim Orde Baru hingga sekarang, dengan akibat semakin terlepasnya generasi muda Indonesia dari akar budaya dan buminya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kini sebagian besar rakyat Indonesia tidak lagi memahami dan mengenali nilai-nilai dan karya-karya intelektual dan artistik yang ditinggalkan dan diciptakan para leluhurnya. Dengan kata lain, kini bangsa Indonesia telah kehilangan jatidirinya sebagai sebuah bangsa dan sebuah entitas budaya. Kini kita tengah menjadi sebuah bangsa yang mengapung tanpa akar – dan
Pencurian harta budaya Sebaliknya, negeri-negeri baru seperti Singapura dan Malaysia, yang lahir tanpa akar kebudayaan yang khas dan kukuh, begitu gigih mencari dan coba membangun fondasi baru untuk meneguhkan eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Dalam kerangka itulah, maka dengan berbagai cara, Malaysia berulang kali mencuri harta budaya Indonesia dan mendakunya tanpa rasa malu sebagai miliknya. Sejauh yang kita ketahui, pemerintah Malaysia telah mengklaim 21 karya budaya rakyat Indonesia sebagai miliknya. Yang terakhir (2009) adalah klaim untuk Tari Pendet dari Bali, yang mereka gunakan untuk iklan pariwisata Malaysia. Sebelum itu, Malaysia menghaki: 1. Naskah Kuno dari Riau. 2. Naskah Kuno dari Sumatera Barat. 3. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan. 4. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara. 5. Rendang dari Sumatera Barat. 6. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku. 7. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur. 8. Lagu Soleram dari Riau. 9. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi. 10. Alat musik gamelan dari Jawa. 11. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur. 12. Tari Piring dari Sumatera Barat. 13. Lagu Kakak Tua dari Maluku. 14. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara. 15. Motif Batik Parang dari Yogyakarta. 16. Badik Tumbuk Lada
dari Riau. 17. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat. 18. Kain Ulos dari Sumatera Utara. 19. Alat musik angklung dari Jawa Barat. 20. Lagu Jali-Jali dari Jakarta. OKtober 2011
75
Menghadapi ulah negeri jiran itu, kita sebagai bangsa pun terkaget-kaget dan kemudian marah. Ekspresi dari kemarahan yang diungkapkan berbagai kalangan, ada yang merupakan reaksi wajar, ada juga yang berlebih-lebihan. Tetapi, sebagian besar hanya marah kepada Malaysia, dan menganggapnya sebagai negeri para pencuri. Hanya sedikit yang terusik untuk, terutama, marah kepada diri dan bangsa sendiri. Sesungguhnya, sebagaimana saya tulis di Harian Kompas 29 Agustus 2009 (Agenda Besar Kebudayaan), jika kita merasa merupakan sebuah bangsa yang besar, kita pun harus berjiwa besar dan berpikir besar. Bukan yang selalu reaktif, melainkan yang kreatif dan proaktif. Untuk menegakkan mar tabat dan mempertahankan kualitas kebudayaan bangsa yang besar, pemerintah bersama seluruh pewaris, pemilik dan pelaku kebudayaan, harus berani membuat rencana besar dan kerja besar, sekarang juga! Seluruh energi nasional diperlukan untuk menyalakan apinya, agar kerja bisa terus terjaga, dan cahayanya semarak di langit luas.Kerja besar paling utama dan strategis yang harus dilakukan bangsa ini, khususnya pemerintah, adalah penyelenggaraan pendidikan (tentang) kebudayaan untuk seluruh bangsa, sejak jenjang pendidikan usia dini. Sebab,
harus diakui, dari ke-21 karya budaya Indonesia yang diklaim pemerintah Malaysia tadi misalnya, berapa banyak warga negara Indonesia yang sungguhsungguh mengenali dan memahaminya? Apakah generasi muda kita mengetahui dan mendapatkan informasi memadai mengenai bentuk, isi, filosofi dan asal-usul karya-karya warisan budaya itu? Apakah mereka juga bisa dan sering memainkan atau membawakannya dalam kehidupan sehari-hari? Perhelatan besar Sebagai negara-bangsa yang selalu mengaku (sambil enggan ker ja) merupakan bangsa besar, kaya, dan berbudaya adiluhung, kita sudah terlalu lama terlena dan berlupa. Sebagai pokok kayu besar dengan seribu akar serabut, kita terlalu lama membiarkan banyak bagiannya melapuk. Sementara, pokok kecil yang tumbuh di seberang – sebagaimana galibnya pokok kecil yang ingin besar – begitu bersemangat mencari zat hara untuk menguatkan akarnya. Meskipun, dia tahu belaka, bijinya berasal dari pokok induk di sebelah, dan dia tidak bisa mengingkari DNA biologis-historiskulturalnya. Untuk itu, sebagai pokok yang besar, bolehlah kita berbelaskasihan kepadanya. Sebab, dia memerlukan evolusi berbilang abad dan protein dari sel punca untuk bisa bermutasi menjadi sebuah
spesies baru. Hal yang lebih penting kita lakukan adalah membikin perhelatan besar kebudayaan ber jangka panjang dan berkesinambungan. Untuk itu, pemerintah Pusat tidak bisa bekerja sendirian, melainkan harus bekerjasama dengan pemerintah provinsi, kota dan kabupaten, dengan melibatkan perguruan-perguruan tinggi setempat, dan menggairahkan masyarakat di masing-masing lokus dan situs untuk peduli dan terlibat. Karena, sesudah itu, kelak merekalah yang akan lebih banyak memetik manfaatnya melalui program pariwisata domestik maupun mancanegara. Inventarisasi dan publikasi Yang harus dilakukan adalah inventarisasi seluruh kekayaan budaya: sastra tulis/ lisan, teater, tari, musik, kriya, arsitektur, tekstil, desain, kostum, dolanan, kuliner, upacara adat, religi, mitos, legenda, fabel, flora dan fauna, dan lain-lain. Kepada yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru. Bersamaan dengan inventarisasi adalah kerja besar dokumentasi. Sesudah itu, tentu saja publikasi yang luas dengan berbagai macam moda, dalam aneka bahasa, dan memanfaatkan sebesarbesarnya teknologi internet yang begitu mudah, murah, dan meluas. Bangun sebuah situs jejaring ”Warisan Besar Budaya Indonesia” atau apa pun namanya. Kerja selanjutnya adalah tetapkan agenda ker ja eksibisi/visualisasi: pementasan-pementasan karya orisinal dan kreasi baru, festival, lomba, pameran, seminar, loka karya, bengkel kerja dan laboratorium eksperimental, dalam skala nasional maupun internasional. Agenda tetap dan berkelanjutan Alangkah indahnya jika setiap daerah
76
Oktober 2011
memiliki agenda tetap dan berkelanjutan untuk keriaan besar kebudayaan itu. Durasinya, masing-masing bisa selama seminggu atau sebulan. Sehingga, selain bisa terus-menerus berdenyut memberi penyadaran kepada masyarakat akan kuantitas dan kualitas kekayaan budayanya, juga bisa menjadikannya sebagai komoditas wisata domestik dan mancanegara. Sehingga, kegiatan itu tidak hanya menjadi acara yang menghabiskan anggaran, melainkan menjadi adrenalin bagi kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan bisa dinikmati banyak sektor usaha masyarakat. Dengan demikian, seluruh untaian mutiara di Khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke itu akan tampak berkelap-kelip memancarkan gairah pesona masingmasing sepanjang masa. Di Ibu Kota, hal serupa wajib diselenggarakan. Area Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bisa diubah menjadi Taman Besar Indonesia Indah – ini sesuai belaka dengan slogan pariwisata Indonesia 2011: Wonderful Indonesia. Setiap daerah/anjungan bisa secara bergilir mengadakan perhelatan selama sebulan – misalnya, Festival Budaya Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan lain-lain – dengan memanfaatkan seluruh kawasan TMII. Jika dipromosikan secara luas, didukung oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk para sponsor dan pengusaha, acara semacam itu niscaya memiliki gaung yang bersipongang ke segala arah, menumbuhkan kebanggaan, memperkuat jatidiri bangsa , dan menghasilkan devisa. Tak cukup hanya dengan cogito ergo sum. Tidak cukup hanya dengan mengaku dan mendaku. Hanya dengan bekerja, maka kita ada. Untuk itu, mungkin perlu dibentuk sebuah lembaga swadaya masyarakat semacam ”Lembaga Pewaris Budaya Bangsa,” yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang peduli dan mau bekerja untuk memajukan kebudayaan. Jika tidak, di tubuh pemerintahan, kita sudah memiliki lebih dari cukup kementerian, berikut anggaran dan jaringannya: Kemendiknas, Kemenbudpar, Kemkominfo, Kemendagri, Kemenlu. Jika dalam setahun ke depan, seluruh OKtober 2011
77
kekuatan tersebut masih belum mampu mengerjakan agenda besar tadi, berarti kita harus mengakui bahwa sesungguhnya kita bukanlah bangsa yang besar. Maka, kita harus ikhlas menerima kenyataan itu, berikut seluruh pelecehannya yang akan datang. Sebab, hanya kekuatan dan kualitas kebudayaan yang bisa menentukan tinggi-rendahnya harkat dan martabat sebuah bangsa. Pendidikan Kekuatan dan kualitas kebudayaan sebuah bangsa, sangat ditentukan oleh sistem pendidikan nasional yang tepat, unggul dan cerdas. Sebuah sistem pendidikan yang memperkuat akar dan batang tubuh bangsa, serta menghasilkan bunga dan buah manusia yang kaya ilmu dan berakhlak mulia. Sebuah sistem pendidikan yang mampu membangun seluruh kecerdasan tubuh dan jiwa, dan ditujukan bagi seluruh warga bangsa sejak anak-anak usia dini. Kualitas kebudayaan sebuah bangsa hanya bisa dicapai bila sistem pendidikannya memberikan perhatian besar kepada pendidikan anak usia dini. Tentang ini, saya sudah menulis kolom Urgensi Pendidikan di Usia Dini di Koran Tempo, 3 Agustus 2011. Dalam tulisan itu, saya mengutip James J. Heckman, pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi (2000) yang menegaskan bahwa usia 0-3 tahun adalah periode paling penting bagi investasi untuk pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun, inilah yang dilalaikan oleh para orangtua, pemerintah, dan juga para pengusaha dan pendidik di banyak negara, termasuk Indonesia. Sehingga, kita pun gagal membangun generasi baru yang andal, unggul, berakhlak mulia dan memiliki jatidiri yang mengakar kuat pada kebudayaan Indonesia. Kita tidak bisa membawa warga negara – terutama kaum miskin yang merupakan populasi mayoritas – ke pintu sukses dalam kehidupan pribadi, sosial maupun ekonomi. Berdasarkan sejumlah penelitian, Heckman menyimpulkan: kecerdasan kognitif saja tidak cukup untuk membuat seseorang berhasil dalam hidupnya. Sukses seseorang lebih ditentukan oleh kecerdasan nonkognisi (sosioemosional, kesehatan fisik dan 78
Oktober 2011
mental, ketekunan, perhatian, motivasi, dan percaya diri). Semua kemampuan itu hanya bisa dibangun jika rangsangan untuk itu diberikan sejak usia dini, dan berbasis n i l a i - n i l a i b ud aya ya n g h id u p d i lingkungan dan negaranya. Sebab, setiap kebudayaan akan hidup sebagai organisme yang mengadaptasi keadaan lingkungan tempat masyarakatnya tinggal: iklim, struktur tanah, keanekaragaman hayati (flora dan faunanya). Lingkungan seperti itulah yang telah diabaikan secara sistematis oleh sistem pendidikan nasional selama ini. Sehingga, kini jutaan anak Indonesia kehilangan kearifan lokal dan daya hidup, yang menyebabkan mereka menjadi terasing di lingkungan nenek-moyangnya sendiri, dan tak mampu bekerja di tempat asalnya karena tidak menguasai keterampilanketerampilan yang dulu telah menghidupi keluarga-keluarga leluhur mereka, seperti keterampilan membuat jaring, menangkap ikan, menganyam tikar, merangkai janur, mengolah sawah atau membentuk tanah liat menjadi tembikar. Mereka telah menjadi anak-anak yang terdeportasi dari desanya sendiri dan sekonyongkonyong terlempar ke desa global, tanpa keterampilan dan tanpa identitas budaya. Tanpa kebanggaan dan harga diri. Usia Emas Penelitian tentang perkembangan otak membuktikan: kualitas kecerdasan dan karakter manusia ditentukan oleh “asupan” yang diberikan kepada anak pada usia 0-3 tahun (50%), usia 4-8 tahun (30%) dan usia 9-17 tahun (20%). Oleh karena itu, 0-8 tahun disebut sebagai “golden age.” Kegagalan para orangtua dan pemerintah dalam memahami dan memaknai mahapentingnya usia emas, terbukti menimbulkan bencana kemanusiaan. Kondisi “buta baca masalah” ini hanya melahirkan: angkatan (kerja) muda yang tak berkualitas – berakibat pada perlambatan pertumbuhan keterampilan angkatan ker ja, dan merosotnya produktivitas dan daya saing – serta generasi baru yang berkarakter buruk (antisosial, kriminal, dan destruktif). Secara ekonometri, Heckman menunjukkan, langkah-langkah untuk
memperbaiki kualitas SDM saat calon angkatan kerja mulai dewasa (usia pelajar/ mahasiswa), jauh lebih mahal ketimbang merangsang kemampuan anak sejak usia dini. Lebih dari itu, daya “kembali modal” (return to invesment) dari mereka yang kemampuannya terbangun sejak usia dini, jauh lebih cepat ketimbang mereka yang diberi berbagai pelatihan tatkala sudah dewasa atau menjadi karyawan baru. Di titik inilah, fakta rendahnya kualitas SDM bertemu dengan dilema pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI), yang sebagian besar hanya menjadi buruh kasar dan pembantu rumahtangga. Dan solusi dari pemerintah selalu hanya bersifat reaktif, parsial, darurat dan temporer, tidak substansial. Misalnya, sekarang dianggarkan Rp 15 triliun lebih untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri agar pengiriman TKI bisa dihentikan. Penciptaan lapangan kerja memang mutlak dan menjadi kewajiban konstitusional dari negara. Untuk itu, yang diperlukan adalah program jangka panjang yang berkesinambungan dan lintas sektoral, bukan langkah akrobatik para badut yang kebakaran jenggot. Pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kesehatan rakyat adalah substansi dari segalanya.
Belajar kepada Orangutan Data pada 2003/2004 menunjukkan: dari 28.235.400 jumlah penduduk anak usia dini, yang bisa terserap di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hanya 7.915.912 anak (28.04%). Artinya, lebih dari 20 juta anak terabaikan. Menurut Sensus 2010, populasi anak usia 0-14 tahun kini mencapai 64,1 juta jiwa (lebih dari separuhnya dalam usia emas
0-8 tahun). Namun, Direktorat PAUD Kemendiknas hanya diberi alokasi anggaran Rp 1,3 triliun. Bandingkan dengan ang garan untuk pro g ram sertifikasi 3,4 juta orang guru yang mencapai Rp 70 triliun! Sertifikasi adalah sebuah program yang dimaksudkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, namun sejatinya hanya, lagilagi, merupakan pemberhalaan terhadap domain kognisi yang menyesatkan, dan selembar kertas bernama ijazah, yang banyak terbukti tidak ada hubungannya dengan kualitas! Program “gelar karbitan” yang menghambur-hamburkan uang itu harus dihentikan, digantikan dengan pola rekrutmen guru yang lebih baik dan terencana.Maka, harus ditegaskan sekali lagi, jika pemerintah melalaikan pembangunan anak usia dini, itu artinya sama dengan penganiayaan dan penyianyiaan terhadap sumber daya manusia, kebudayaan, dan martabat bangsa! Jika pemerintah tak mau juga belajar kepada pemenang Hadiah Nobel, atau kepada para pakar perkembangan otak dan perkembangan anak, mungkin bisa belajar kepada komunitas orangutan di Kalimantan. Para induk orangutan baru mau melepaskan bayi dari susuannya setelah sang anak berumur tujuh tahun. Karena, pada waktu itulah si anak memiliki cukup kemampuan, “pengetahuan” dan keterampilan untuk bisa survive. Hanya dengan begitu, mereka bisa melanjutkan kehidupan spesiesnya di dalam rimba. Jika anak-anak orangutan dilepaskan sebelum mereka berumur tujuh tahun, maka mereka akan binasa dimangsa binatangpredator, termasuk manusia. Artinya, jika kita ingin menyaksikan kelahiran generasi baru Indonesia yang berbudaya dan kenal baik jatidirinya sebagai bangsa, kita harus membangunnya sejak usia dini. Jika tidak, mereka akan ditumpas oleh budaya predator di luarnya, yang jauh lebih kuat karena didukung teknologi dan konglomerasi yang digdaya menciptakan aneka produk dan komoditas budaya yang menggiurkan. Pertanyaannya, jika para orangutan saja bisa memaknai mahapentingnya pendidikan dan pengasuhan anak pada “usia emas,” apakah pemerintah (eksekutif dan legislatif) tidak?...
Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi
atau Yudhistira ANM Massardi lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Menulis kumpulan cerpen Penjarakan Aku Dalam Hatimu (1979); novel: Arjuna Mencari Cinta (1977), Arjuna Mencari Cinta Part II (1980), Ding Dong (1978), Yudhistira Duda (1981), Arjuna Wihaha (1984), Forum Bang Karung (1994), Wanita Dalam Imajinasi (1994); dan kumpulan sajak Rudi Jalak Gugat (1982), serta Sajak Sikat Gigi (1983). Sastrawan, pewarta dan dosen penulisan kreatif yang kini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, ini juga menulis berbagai lirik lagu yang dinyanyikan Franky & Jane.
OKtober 2011
79
Bio-logos
Mario
Vargas Llosa TEKS MAMAN GANTRA FOTO MULYANA
80
Oktober 2011
Raksasa Sastra dengan Sejumlah Perempuan Mario Vargas Llosa memiliki hubungan khusus dengan Gabriel Garcia Marquez. Tapi, apa gerangan yang membuat keduanya perang dingin lebih dari tiga dekade?
esawat kecil bermesin ganda itu menembus lapisan kabut tebal yang menyelimuti langit Lima setiap musim dingin. Mario Vargas Llosa duduk di samping Gerald Marzorati. Tangannya memegang sebuah buku. Namun, pikirannya jelas menerawang ke luar jendela, ke hamparan gumpalan kabut yang putih bak seprei baru keluar dari binatu. ‘’Anda tahu, Herman Melville menyebut Lima sebagai kota paling aneh dan menyedihkan?,” kata Mario, dalam bahasa Inggris yang baik dengan aksen Spanyol yang kuat. ‘’Kenapa? Karena kabut dan gerimis,’’ katanya lagi, seraya tertawa tipis, matanya tetap memandang keluar jendela pesawat. ‘’Saya tak begitu yakin bahwa kabut dan gerimis adalah masalah besar Lima,’’ kata Mario. Ia seakan mengalihkan lamunannya ke arah Peru, negara yang ketika itu tengah berada di tubir jurang kehancuran: Krisis ekonomi mendera, membuat mereka yang bergaji
menurunkan standar hidupnya sampai 50 persen, rakyat di pedesaan -- hanya beberapa kilometer dari Lima -- hidup dalam kemiskinan, rumah-rumah yang dibangun dari anyaman jerami, antrean panjang demi mendapatkan seliter minyak tanah, dan Sendero Luminoso – yang disebut orang Inggris sebagai Shining Path -- serta para pedagang narkoba, bukan hal asing di negeri itu.
Tentang gerombolan Maoist Jalan Berkilau itu, beberapa bulan sebelumnya, ketika mendarat di Pucallpa, sebuah kota lain di dataran Andes, pesawat Mario disergap para pemberontak. Dia sendiri selamat tak kurang apa-apa, tapi empat orang lainnya mengalami luka tembak cukup parah. Dan hari itu, November 1989, ditemani Gerald, Patricia, isterinya, dan beberapa asistennya, Mario sedang terbang menuju Jauja, sebuah kota di dataran tinggi Andes. Ia tak sedang mengerjakan riset bagi novelnya. Melainkan, berkampanye bagi ambisi politiknya maju dalam pemilihan OKtober 2011
81
Rangkaian kampanye itu tak membuahkan kemenangan pada Mario. Ia disingkirkan pesaing kuatnya, Alberto Fujimori. Namun, keterlibatan Jorge Pedro Mario Vargas Llosa dalam politik, mengukuhkan tradisi intelektual negara-negara Latin: Tak hanya berkutat dengan estetika dan wacana, yang membuat mereka terjebak dalam kegenitan intelektualisme. Tapi, juga turun ke tengah gelanggang kehidupan nyata. Termasuk hiruk pikuk dunia politik. Lahir di Arequipa, Peru, 1936, Mario memulai ketertarikannya dengan dunia politik sejak mahasiswa. Yakni, ketika ia terdaftar sebagai mahasiswa hukum di Universitas San Marcos. Ia aktif dalam Cahuide, kelompok bawah tanah Partai Komunis Peru yang kemudian dinyatakan terlarang. ‘’Kami hanya beberapa orang, tapi sangat dogmatis, Stalinistis. Setiap saat kami mendiskusikan masalahmasalah berat. Selama bertahun-tahun, saya menjadi seorang militan,” kenang Mario suatu kali. Ia menyebal dari kelompok itu manakala rekan-rekannya menganggap dia seorang dekaden. Dan itu, karena Mario sangat menggemari karya-karya James Joice, Andre Gide, dan – terutama – Faulkner. Maka, ketika pemerintahan sipil kembali dibentuk, 1957, pikiran Mario jauh ke benua sebrang: Eropa. Dia ingin mengikuti jejak para sastrawan Amerika Latin sebelumnya, yang mengembara ke Eropa demi melahirkan karya-karya besar mereka. presiden – mewakili koalisi tengah-kanan, Front Demokratik. Jauja, yang berada di administratos Jaujin, salahsatu kawasan termiskin di Peru. Tiba di bandara, ia melakukan rapat kilat dengan panitia kampanye setempat. Seraya memegang sebuah berkas, Mario sibuk berdiskusi dengan mereka. Selepas itu, di luar ruang, seorang gadis cantik mengalungkan bunga ke lehernya. Rombongan itu melanjutkan perjalanan ke hotel, memberikan kesempatan Mario dan rombongannya untuk beristirahat sejenak dan berganti pakaian, sebelum menuju ke tempat kampanye. “Sebuah kampanye yang sederhana,” tulis Marzorati dalam laporannya. 82
Oktober 2011
Impian itu terwujud ketika ia memenangi sebuah beasiswa untuk belajar di Universitas Madrid. Meskipun, tempat itu tak melahirkan satu karya sastrapun. Itu ia lakukan di Paris, tempat ia meraih gelar doktor sastranya. Di kota inilah, di tengah kegiatan lainnya sebagai reporter radio dan televisi Prancis, lahir novel pertamanya: La Ciudad perros y los yang ditulis berdasarkan pengalamannya semasa mengikuti pendidikan di Akademi Militer Leoncio Prado, Lima. Di Eropa, ia tak hanya semakin dekat dengan Gabriel Garcia Marquez, raksasa satra Amerika Latin lainnya, yang sejak lama dikaguminya. Rupanya, benua itu memiliki efek paradoks pada Mario,
sebagaimana menimpa dua seniornya, Cortazar dan Marquez. Di sana, ia menyadari bahwa kampung halamannya tak semata Peru. Melainkan sebuah kawasan yang lebih luas: Amerika Latin. Identitas baru ini ia lakoni dengan meninggalkan Bahasa Spanyol formal dan memungut banyak bahasa slang dan dialek dalam prosa-prosanya. Dan secara politik, ia kukuhkan dengan mendukung Revolusi Kuba. “Bagi saya, sebagaimana orang Amerika Latin generasi saya, ketika itu Kuba menyuguhkan sesuatu yang selama ini ditunggu-tunggu: Sosialisme dengan wajahnya yang manusiawi,”’ kata Mario. ‘’Saat itu, saya segera tenggelam dalam ide dan perasaan itu. Gagasan itu menjadi sebuah obsesi,” katanya. Maka, 1960, ia mengunjungi negeri itu. Kemudian, di tahun-tahun berikutnya, sejumlah kunjungan lain ia lakukan. Selain
Ayah-ibunya sempat berpisah karena kehadiran orang ketiga dalam perkawinan mereka, sehingga Mario harus ikut kakekneneknya dari pihak ibu. mendapatkan hadiah sastra dari Kuba, ia juga kerap menjadi juri lomba sastra di negeri itu. Bahkan, sempat duduk menjadi anggota Komite Kebudayaan Kuba, sebuah lembaga bergengsi di lingkungan budaya Amerika Latin. Namun, bersamaan dengan itu, akal sehatnya tak bisa dibendung. 1966, ia mulai mengritik kebijakan Castro. ‘’Mereka mencoba untuk mempraktekkan te or i g i l a a l a S ov ie t : Me m b a s m i homoseksual di desa-desa,” katanya. Dan itu, baginya, sebuah tindakan yang tak masuk akal. “Saya tahu, sejumlah penyair dan penari dikumpulkan karena ‘perilaku antisosial’ mereka. Kemudian dikirim ke kamp kerja paksa, disatukan dengan para kriminal,” katanya. Setelah mengritik “Batalyon Bunga” bentukan Castro, perseteruannya dengan pemerintah Kuba memuncak manakala negara itu mendukung invasi Soviet ke
Cekoslowakia. Kebijakan itu membuahkan polemik panjang antara Castro dengan para sastrawan. Sampai-sampai, sebagai puncak perdebatan itu, April 1971, penyair Herberto Padilla ditangkap di Havana dan didakwa telah menulis puisi yang bersifat kontra revolusi. Mario pun melangkah lebih jauh. Ia menyusun sebuah petisi yang kemudian ditandatangani puluhan penulis dan intelektual. Seluruh penulis kiri ambil bagian dalam petisi itu. Mulai dari Carlos Fuentes, Susan Sontag, sampai Jean-Paul Sartre. Banyak kalangan menduga, petisi itulah yang meretakkan persahabatan Mario-Marquez. Terlebih, sejak itu pula, pemikiran dan langkah politik Mario kian beranjak ke arah kanan-tengah, bahkan konservatif sebagaimana terlihat pada dekade 80-an, ketika ia mengecam perekonomian Amerika Latin sebagai “ Thactherisme Andes”. Sementara, Marquez bersikukuh dengan jalan kirinya – sampai kini. Padahal, selama itu pula hubungan Mario-Marquez tak hanya bak abang-adik, yang semakin erat manakala keduanya mukim di Eropa. Mariopun mengukuhkan kekaguman dia lewat salah satu karyanya, García Márquez: historia de un deicidio (1971). Jawaban sebenarnya baru diungkap sebuah harian Mexico hampir tigapuluh tahun kemudian. Menurut harian itu, kendati menunjukkan kecenderungan berlawanan, dan keduanya tak saling berhubungan seperti sebelumnya, kedua raksasa itu tetap saling bersahabat. Sampai, suatu ketika, dalam sebuah acara preview film tentang perjuangan para korban pesawat Peru yang jatuh di Pegunungan Andes, Marquez tibatiba menyambut uluran tangan Mario dengan sebuah pukulan yang telak mengenai wajahnya. “Berani-beraninya kau menemui aku?,” teriak Marquez. Rupanya, menurut harian itu, Marquez sangat kecewa dengan kelakuan Mario terkait perempuan. Terutama, ketika ia meninggalkan Patricia, isterinya, dan kumpul kebo dengan seorang perempuan Swedia, seorang pramugari yang ia kenal dalam sebuah penerbangan. Persahabatan Mario-Marquez selama ini membuat Patricia tak canggung mengadu kepada
Marquez dan isterinya, Mercedes. K e d u a nya m e nya ra n k a n Pat r i c i a untuk menggertak suaminya: Memilih perempuan itu atau dirinya? Karena gertakan itulah, konon, Mario akhirnya kembali ke pangkuan Patricia. Namun, kesibukan Mario dan Marquez menyulitkan keduanya untuk saling bersilaturahmi seperti sebelumnya. Puncaknya, pemukulan di preview film korban pesawat jatuh tadi. Sejak itu,
seorang puritan. Petualangannya dengan sejumlah perempuan kerap menjadi bisikbisik kalangan dekatnya. Pernikahannya pun terbilang unik. Perempuan-perempuan yang menjadi isterinya selalu masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Julia Urqidi, isteri pertamanya, yang ia kawini semasa belajar hukum di Lima, 1955, tak lain dari adik ipar salah seorang pamannya. Artinya, Julia masih terbilang bibi Mario.
keduanya disebut-sebut tak pernah saling bertegur sapa. Sampai kini.
Sementara Patricia, yang ia kawini setahun setelah bercerai dengan Julia, 1965, tak lain dari adik sepupunya. Bila dengan Julia, Mario menghasilkan tiga novel -- Los jefes (1959), La ciudad y los perros (1963), dan La casa verde (1966). Namun, semasa menikahi Patricia-lah ia menikmati kejayaanya sebagai sastrawan. Selain tiga anak dan 14 novel, bersama isteri keduanya itulah ia mendapat Nobel (2010) dan setumpuk penghargaan lainnya sebelum itu. Bersama Patricia pula, bila tidak sedang mengajar atau menulis, ia menghabiskan waktunya di beranda rumah mereka di Lima, yang menghadap Pasifik. Atau, sesekali mengunjungi apartemennya di Kensington, London.
S oal p erempuan, r upanya , kerap menjadi masalah dalam hidup Mario. Ayah-ibunya sempat berpisah karena kehadiran orang ketiga dalam perkawinan mereka, sehingga Mario harus ikut kakek-neneknya dari pihak ibu, yang – karena tugas kakeknya sebagai diplomat – memaksa Mario menghabiskan masa kecil di Bolivia. Ia baru bertemu dengan ayahnya, Ernesto Vargas Maldonado, untuk pertama kalinya, ketika ia pindah ke Peru -- dalam usia 10 tahun. Sementara, sebagaimana dikisahkan dalam Travesuras de la niña mala (2006), Mario pun bukan
OKtober 2011
83
Galeri Rupa
NARSISME
Agus Suwage
ANONIM
Agus Suwage mengkonotasikan dirinya dalam beragam problematika dunia , kesan satir dan sindiran yang kuat muncul dalam karyanya ini.
HOLLY DOG
ANONIM MAN BITES MAN PIG EATS PIG
84
Oktober 2011
OKtober 2011
85
05 ANONIM
01 pelita pura
04 KING LIAR
86
Oktober 2011
06 GANDHI
OKtober 2011
87
Teraju Buku
Etos Budaya China Cina tak bisa menampik takdirnya: Ia muncul sebagai kekuatan ekonomi baru dunia. Kumpulan makalah Wang Keping, seorang professor pada Beijing International Studies University, ini bisa menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana sebuah bangsa yang selama lima dekade menutup diri bisa melakukan pencapaian spektakulernya hanya dalam tempo dua dekade. Terdiri dari tiga bagian, di bagian pertama, Keping menjelaskan cita-cita budaya, kesatuan langitmanusia, keharmonisan, dan konsepsi kebajikan. Lalu, di bagian dua, ia menyelami strategi-strategi pemikiran yang menitikberatkan pada awal Daoisme. Terakhir ia membahas sikap bangsa Cina terhadap alam dan ekspektasinya terhadap pencerahan intelektual dan keluhan moral. Dengan kata lain, ia menjelaskan kenapa Cina bisa tampil sedigdaya sekarang ini – setidaknya di bidang ekonomi. Nilai :
88
Oktober 2011
Kehidupan Abadi Henrietta Lacks Sebelum kanker serviks merenggut nyawanya, 1951, seorang ahli bedah mengambil sampel dari tumor yang diidap Henrietta Lacks. Sample sel itu rupanya unik dibandingkan sample sel manusia umumnya: Sementara sel manusia lainnya tak mampu bertahan lama, sel milik tubuh Henrietta itu bisa bertahan selama beberapa generasi dan menggandakan diri. Walhasil, setelah kematiannya, Henrietta meninggalkan warisan abadi. Pengembangan HeLa, sel yang diambil dari jaringan tubuh Henrietta yang kemudian dikembangkan dunia pengobatan, itu tak hanya dipakai dalam proses kemoterapi. Tapi juga tersaji dalam vaksin, proses kloning, sampai obat pereda Parkinson. Dan melalui buku ini Rebbeca Skloot merekam ulang kisah hidup Henrietta, yang menyejutkan: Rumah sakit dan lembaga-lembaga penelitian telah mengambil dan mengembangkan sel HeLa selama bertahun-tahun tanpa sepengetahuan keluarga Henrietta. SANGAT MENARIK
Peradaban Atlantis Nusantara Dalam satu dekade terakhir ini, wacana seputar Atlantis kembali merebak di tanah air. Terutama setelah ilmuwan Brazil, Arysio Santos, menyebut-nyebut kepulauan Nusantara sebagai peninggalan benua yang hilang itu. Oktober tahun lalu, bekerja sama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan International Conference On Nature, Philosophy And Culture Of Ancient Sundaland. Dihadiri sejumlah pakar, yang mengungkapkan keberadaan Atlantis dari berbagai disiplin, mulai dari Kitab Suci sampai geologi, konfrensi itu melahirkan sejumlah makalah. Nah, dieditori Ahmad Samantho dan kawan, buku ini tak lain dari kumpulkan makalah-makalah tadi. Cukup menarik, mengingat “artefakartefak Atlantis� yang ditunjukkan buku ini begitu dekat dengan kita. Terlebih, para pemakalahpun terdiri dari orang-orang otoritatif di bidangnya. MENARIK
Confidence Man Suskind bercerita secara mendalam -- dan cerdas – tak semata mengenai bagaimana Wall Street berjuang untuk menyelamatkan dirinya. Tapi, juga tentang perjuangan Barrack Obama yang terpilih saat Amerika Serikat jatuh sejatuh-jatuhnya: Wall Street yang telah menyimpang dari prinsip akuntabilitas, transparansi, dan pengambilan keuntungan yang adil; gejolak anti AS di berbagai belahan dunia yang dipicu pendahulu-pendahulunya. Suskind, peraih Pulitzer 2005 untuk features-features-nya di Wall Street Journal, memperkenalkan pembaca dengan berbagai kalangan. Mulai dari raksasa keuangan, anggota kongres yang pemarah, para jago lobi kelas tinggi, lingkaran dekat dan ketat Gedung Putih, para penasihat, dan Obama sendiri. Ia bercerita lewat ratusan wawancara yang penuh wawasan dan pengungkapan yang mengejutkan. Buku ini mengupas kolusi dan konflik antara dua kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat. BIASA
Sahabat... Salam Indonesia SMS (Short Message Service) merupakan layanan pesan singkat atau surat masa singkat. Ia diprogram untuk sebuah ponsel yang bertugas mengirim atau menerima pesan-pesan pendek. Kendati popularitasnya mulai memudar, layanan ini banyak digunakan orang untuk melakukan interaksinya dengan orang lain. Salah satunya adalah sosok Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Dr. H. Darwin Zahedy Saleh. Dan buku ini menghimpun SMS yang dikirim Darwin kepada para sahabat dan karibnya. Karenanya menjadi sangat menarik. Terlebih, pesan-pesan yang dihimpun Munawar Fuad ini mendeskripsikan nilai-nilai mulia tentang hidup bersama. Hal-hal abstrak itu dinyatakan Darwin melalui sentilansentilan kemanusiaan universal yang menerobos sekat sosial dan budaya. Pesona pikiran dan renungan Darwin itu datang justru karena dipungut dari kejadian di sekitar kita.
TIDAK MENARIK
Ayat-ayat Filosofi Satyanegara Prof. DR. Dr. Satyanegara, Sp.BS tak hanya dokter ahli bedah saraf senior di Indonesia. Ia juga pernah menjadi dokter kepresidenan RI. Dalam buku otobiografinya ini, dengan kata-katanya sendiri, ia menceritakan kisah hidupnya yang unik, inspiratif, dan sarat dengan filosofi kehidupan yang dalam. Mulai dari masa kecilnya yang mesti memikul julukan tak menyenangkan dari teman-temannya karena fisiknya yang kurang dan kondisi finansial orangtua yang tidak berkecukupan, masa remaja yang menggebu-gebu untuk menjadi pengarang -walaupun akhirnya terbungkam- hingga masa penuh perjuangan di negeri orang, Jepang, tempat ia menempuh pendidikan kedokteran berbekal uang seadanya namun disertai tekad yang besar dan kuat. Dengan kalimat-kalimat yang lugas namun menghibur, buku ini memuat banyak pelajaran kehidupan yang bisa diserap dari seorang tokoh panutan. SANGAT TIDAK MENARIK
OKtober 2011
89
Cakram Pilihan
Mylo Xyloto Coldplay selalu bisa membuat fansnya berteriak kencang. Pun ketika, untuk pertama kalinya, Every Teardrop is Waterfall diperdengarkan secara streaming lewat konser Rock Im Park, 3 Juni 2011. Album utuhnya, yang diberi judul Mylo Xyloto, baru dirilis Oktober ini. Dalam album terbarunya ini mereka membawa unsur kosmik dalam lagulagunya. Konon, seperti dikutip The Sun, Martin (Vokal) sempat membuat para kru studio terheran-heran: Ia meminta sebuah model pembangkit tenaga surya di studio tempat mereka melakukan rekaman. Para kritikus percaya, lewat albumnya ini, Coldplay tengah menapaki tahap beyond the music. Maknanya, mereka tengah melangkah lebih jauh. Nilai :
90
Oktober 2011
Tendangan dari Langit
Wahyu (Yosie Kristanto), seorang remaja Bromo, memiliki bakat sepakbola luar biasa. Namun, sang ayah, Darto (Sudjiwo Tejo), habishabisan menentang bakat anaknya itu. Sehingga, Wahyu pun harus melakukan aksinya secara sembunyi. Ia berbalik mendukung putra tunggalnya itu ketika karir Wahyu melesat setelah ia bertemu Timo (Timo Scheunemann), pelatih tim Sepakbola Persema Malang. Diramu dengan kisah percintaan, film ini tak hanya diwarnai penampilan bintang Persema Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Ia juga menyajikan tata sinematografi spektakuler dan mengesankan. Ditambah tata musik yang digarap Tya Subiyakto film ini bisa dibilang istimewa. SANGAT MENARIK
Colombiana Cataleya kecil (Amandla Stenberg) ingin jadi perancang busana. Tapi cita-cita itu berubah saat ia menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh anak-buah Don Luis (Beto Benites), gembong kartel narkoba di Bogota, Colombia. Sebelum terbunuh ayahnya menitipkan sebuah chip, yang ternyata berisi data jaringan penjahat paling dicari Pemerintah Amerika Serikat. Berkat chip itu, lolos dari kejaran para begundal, ia bisa masuk ke Amerika Serikat dan menjadi warga negara di sana. “Aku hanya ingin jadi pembunuh,” ujar Cataleya dewasa (Zoe Saldana). Berpacu dengan aksi para hamba wet yang berusaha membekuknya. Sebagaimana La Femme Nikita, karya ke-15 Megaton ini sebuah filmPrancis dengan citarasa Hollywood. MENARIK
Get Married 3 Sebagai suami-isteri, Mae (Nirina Zubir) dan Rendy (Fedi Nuril) memutuskan hidup mandiri -bebas dari pengaruh orangtua dan para sahabat. Namun, ketika melahirkan anak ketiganya, Mae mengalami baby blues. Menyadari hal itu, tanpa sepengetahuan isterinya, yang merasa gengsi untuk meminta bantuan, Rendy pun membujuk tiga sahabatnya membantu Mae mengurus anak di rumah. Tak ayal, kehadiran para sahabat itu mengundang campurtangan orang tua mereka. Konflik pun, yang kadang menggelikan, muncul. Walhasil, film ini menjadi sebuah komedi situasi segar, yang memotret kehidupan keluarga muda masa kini. BIASA
Di Bawah Lindungan Ka’bah Diadaptasi dari novel ternama karya almarhum Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, film ini berlatar Sumatera Barat tahun 1920an. Kisahnya bertumpu pada percintaan Hamid (Herjunot Ali) dan Zainab (Laudya Cynthia Bella). Drama dan konflik terjadi karena posisi Hamid, seorang lelaki saleh, yang sudah dianggap orangtua Zainab (Didi Petet dan Widiawati Sophiaan) sebagai anak sendiri. Sementara Zainab dijodohkan dengan lelaki lain, Hamid pun mengembara ke Mekkah. Boleh jadi, film ini banyak mengurai air mata penonton. Namun, paduan latar budaya Minang, Islam, dan kisah cinta ini – plus nama besar Hamka – menjadikan film ini cukup layak ditonton. TIDAK MENARIK
The First Avenger Setelah berkali-kali gagal, Steve Rogers (Chris Evans) akhirnya berhasil jadi tentara. Malah, ia terpilih sebagai salah satu peserta program percontohan pelatihan prajurit super yang dikenal sebagai Captain America. Nah, sebagai Captain America, satu tim dengan Bucky Barnes (Sebastian Stan) dan Peggy Carter (Hayley Atwell), ia ditugaskan membasmi organisasi Hydra pimpinan tokoh jahanam Red Skull (Hugo Weaving). Ketabahan mantan pemuda sakit-sakitan itu pun diuji habis-habisan.Orang boleh saja mencurigai film sekuel komik Captain America ini sebagai propaganda Amerika. Terlebih, di Indonesia, film ini diputar menjelang peringatan Tragedi 9/11. Namun, di luar semua itu, film ini tetap menarik. SANGAT TIDAK MENARIK
OKtober 2011
91
Wawancara
Seno Gumira Ajidarma:
“Jangan Terjebak pada Mitos-mitos...”
92
Oktober 2011
Rizkita Sari dari Kultur dengan SGA, yang berjalan gayeng di sebuah cafe di kawasan Bintaro, Tangerang, September lalu: Bagaimana Anda melihat geliat anak muda kita sekarang ini? Misalnya, lewat fenomena distro atau Korean-Pop? Itu adalah ekspresi katakanlah politik identitas pengguna-pelakunya. Pasti dia punya banyak alasan untuk melakukan itu. Kenapa disukai oleh para followersnya, pasti karena banyak alasan. Syukurlah ada penyalurannya. Kalau mampet, doi bisa bakar toko kayak di Inggris. K-Pop itu pun bukan satusatunya pilihan. Syukurlah beragam. Dari dangdut sampai pengajian. Dalam konteks produsenkonsumen, apakah mereka hanya menjadi konsumen kebudayaan? Begini... Itu pertanyaan seolah-olah mengandaikan bahwa konsumtif itu negatif. Padahal, tidak. Karena, orang itu konsumtif berdasarkan satu kepentingan. Itu mewakili kepentingan mereka atau tidak? Dan, ketika mereka sudah memutuskan untuk mengambil dan menggunakannya atas nama kepentingan mereka sendiri, itu artinya mereka sudah menjadi produktif, tepatnya menjadi produsen makna. Maksudnya…? Pokoknya ini pandangan yang sangat optimistiklah... Bahwa kita jangan terjebak pada mitos-mitos kebudayaan adiluhung, tempat kebudayaan menjadi sakral, dan konsumerisme itu dianggap
Foto www.etalasefoto.com
Pergerakan kebudayaan memang tak mengenal tempat dan waktu. Namun, kemajuan teknologi sekarang ini membuat arus informasi semakin deras. Itu, mau tak mau, mempengaruhi gerak kebudayaan kita. Termasuk, dan terutama, pada anak-anak muda. Dan itulah yang mencemaskan sebagian orang. Mereka cemas, setelah era westernisasi, kita pun mengalami era “nisasi” lainnya. Lihat saja: Harajuku, KoreanPop, sari, shisha, dan fenomena kebudayaan asing lainnya, menjadi hal biasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Bisa jadi, semua itu hanya gaya hidup atau mode yang suatu saat bisa hilang atau berganti. Namun, selain soal “identitas nasional,” adakah fenomena itu hanya mengukuhkan posisi kita semata sebagai konsumen – bukannya produsen -- budaya? Untuk itu, kami mencoba meminta jawaban dan pendapat sastrawan dan budayawan Seno Gumira Ajidarma (SGA). Dikenal sebagai penulis cerpen terkemuka, SGA juga menaruh perhatian besar terhadap fenomena budaya pop – istilah yang tak sepenuhnya ia sepakati. Selain cukup intens mengamati komik Indonesia, bahkan tesis doktornya di Universitas Indonesia menyangkut masalah ini. Ia juga mengikuti perkembangan sinema khususnya, fenomena kebudayaan visual kita umumnya. Lebih khusus lagi, yang berlaku di kalangan anak muda kita. Berikut wawancara
OKtober 2011
93
sampah. Saya mau muntah kalau denger itu…! Jadi, kesimpulannya ya baik-baik saja, selama disukai oleh yang pakai. Mereka kan tidak terpaksa? Pertama mereka tidak terpaksa, dan kedua secara sukarela, malah sengaja mengikuti, jadi ya bagus. Yang jadi masalah itu adalah ketika dia tidak mau kawin secara adat, enggak mau sungkem tapi dipaksa juga, mentang-mentang karena adat leluhur, nah boleh dibongkar mana produktif mana nonproduktif.
Bagaimana dengan sastra Indonesia atau tentang “sastra” dan “bukan sastra”…? Tidak penting itu sastra atau tidak. Siapa yang mengatakan itu penting? Dia mengatakan penting, hanya karena itu menguntungkan dirinya. Mengangkat diri sendiri sambil merendahkan yang lain. Misalnya 94
Oktober 2011
mengatakan bahwa pihak ini hebat, toh? Sastrawan berselera elite, itu ‘kan hanya politik identitas, untuk meletakkan diri sendiri di tempat yang oke! Itu sudah dibongkar. Dan, apa yang ketemu? Tentu saja politik identitas. Apa iya itu bermutu? Apa iya itu enggak bermutu. Apa iya syair lagu dangdut enggak mutu? Salah besar. Apalagi ngomongnya mulut doang, bukannya dia membuat riset atau berargumen dalam 300 halaman, kek. Sebagai bukti, misalnya, Korean Pop itu jelek. Apa pernah begitu? Enggak, kan? Cuma ngomong (tangannya berpantomim seperti mulut ikan koki). Enggak bisa dipegang kalau cuma mulut. Kho Ping Hoo, dangdut, Korean Pop, itu ada keunikan yang memiliki maknanya sendiri. Makna. Itu kata kuncinya. Bukan standar estetik, yang jelas bukan firman Tuhan. He he he..! Riset? Memang seberapa penting riset untuk kemajuan budaya? Nomer satu, itu penting untuk ilmu pengetahuan. Dan, apa yang bagus untuk ilmu pengetahuan, itu baik untuk kehidupan. Sedangkan kehidupan dalam pandangan manusia — apalagi kalau bukan kebudayaan — ilmu pengetahuan juga menjadi bagian. Kebudayaan itu menyangkut segala sesuatu yang juga teks iklan, majalah perempuan, bermakna, bukan kuda lumping film Bollywood dan lain-lain. Kenapa batas-batas itu dihancurkan? doang. Tambak udang juga kebudayaan. Tanda STOP juga Karena hanya menjadi mitos-mitos kebudayaan. Tapi, kalau Nazaruddin baru sastra itu. Mitos mahal yang bilang “Saya lupa semuanya”, nah sekarang sudah dihancurkan. itu karya kesusastraan. Analisis ”Sastra itu lebih luhur, lebih agung, hukum belum bisa menghakimi di lebih suci, lebih sakral,” itu kan situ, tetapi analisis semiotik sudah hanya omongan politis yang yang sastra itu baik, sedangkan yang pop itu tidak. Itu udah enggak musimlah. Apa bedanya masa muda Anda dibandingkan dengan era sekarang? Dulu, orang masih mengira kalau sastra itu ya itu-itu saja. Padahal ada sastra pop. Sekarang batas-batas itu hancur. Sudah dihancurkan. Dan, nama ”sastra” itu hanya keterlanjuran saja. Banyak tesis di FIB-UI, itu kan bukan lagi tentang Chairil Anwar atau Shakespeare. Tapi
sahih menjelaskannya sebagai fenomena kebudayaan. Nah, kalau kita buang itu omong kosong bernama ”standar estetik” — apalagi yang berdukun ria ngomong adanya “roh” karya seni segala — kita akan menjadi lebih produktif omongannya, enggak cuma ngabab doang. Bagaimana dengan komik Indonesia yang mulai tergerus komik luar saat ini? Manga itu, terjemahan maupun karya sendiri, adalah komik Indonesia, karena telah diindonesiakan. Aksara jadi Latin. Bahasa jadi Indonesia. Pembacaan kanan ke kiri jadi kiri ke kanan. Ya, jadi Indonesia. Penggemarnya banyak, kurang apalagi? Memangnya “Indonesia” itu apa? Indonesia itu nama bangsa dan negara yang seperti lupa bahwa kata “Indonesia” tidak berasal dari tanah dan air yang disebut Indonesia itu sendiri. He he he…! Kayak gitu kok masih mau ngomong asli-tak asli? Identitas itu memang jalinan banyak identitas dalam proses pergulatan antarwacana tanpa henti. Kenapa ada proses, karena ada yang dominan dan ada yang melawan. Negosiasi keduanya menghasilkan hegemoni wacana yang tetap berproses. Karena siapa pun yang menjadi kelompok dominan pasti akan ada kelompok yang melawan. Tapi, penerbitan komik kita mulai berkurang... Siapa bilang? Itu majalah komik banyak, komunitas komik banyak, dan dalam sejarah Indonesia: Kapan sih ada komunitas komik pernah mengundang guru-guru dari Jepang? Berarti luar biasa dong...? Maksudnya? Kan sering dimuat di koran, di berbagai kompleks perumahan, anak-anak belajar menggambar manga dengan guru dari Jepang? Kalau komik-komik silat?
Enggak ada, yang ada itu hanya cetak ulang Apa karena penerbitnya atau karena sumber dayanya nggak ada? Yang beli enggak ada. Tapi, kan, manga laku meskipun terjemahan? Nah, itu harus dianggap komik Indonesia juga. Karena memang sudah diindonesiakan, bahasa dan aksara diganti, wacana dialihkan, bahkan kadang-kadang susunan dibalik total, yang dari kiri ke kanan jadi kanan ke kiri. Itu bukan kerja mesin, tapi penafsiran, dan penafsiran adalah juga penciptaan. Samalah kayak Mahabharata dijawakan. Kembali ke soal sastra. Kenapa Sastra Indonesia sulit go international? Karena bahasa Indonesia. Kalau Bahasa Inggris, ya sama banyaknya. Sekarang, kalau orang Indonesia 220 juta itu bahasanya Bahasa Inggris semua kan jadi enggak masalah? Persoalannya, boro-boro internasional, lha wong koran berbahasa Indonesia saja digabung jadi satu emang ada 10 juta? Pikirkan sendiri kedudukan “sastra Indonesia” dalam keadaan seperti itu. Kalau menulis Sastra Indonesia dalam Bahasa Inggris? Dalam format bahasa Inggris barangkali jauh lebih meluas dari bahasa-bahasa lain. Bukan berarti lebih bagus, ya? Penerbit yang baik itu penerbit yang sangat menguasai industri itu. Jadi, urusannya bukan dengan sastra itu sendiri. Tapi, pada jaringannya, pilihan terjemahannya, terbitan siapa, beredarnya di mana... Ada buku Albert Camus diterjemahkan ke bahasa Jawa. Sangat bagus sebagai alternatif dan perlawanan budaya, tapi dalam hal sukses komersial tentunya sudah tahu dirilah—karena bahasa suku terbanyak ini hanya eksis sekarang secara lisan. Secara tertulis, Jawa Kuno sampai Jawa Kontemporer, ahli-ahlinya jelas cukup sedikit dan cukup tak diminati.
Yang nggak glamour dianggap budaya kumuh dan berdebu. Budaya yang ‘perlu dibantu’. Itu dongeng dan tarian kenapa baru dibilang Kita punya satu penerbitan yang menerbitkan buku terjemahan sastra Indonesia, semua karya dalam Bahasa Inggris, Yayasan Lontar. Di Ubud Writers saya lihat doi bawabawa sendiri... Seberapa kuat dia bawa-bawa itu sendiri? Kan, beda? Asongan kalau tahu Sumedang mungkin bisa menang, kalau “sastra adiluhung” entahlah—lha wong “orang adiluhung” saja memuji-muji I La Galigo baru setelah dipentaskan Robert Wilson. Ke mana mereka ketika terjemahan I La Galigo dalam bahasa Indonesia sudah beredar bertahun-tahun sebelumnya? Paling tidak, ada tiga buku terjemahan I La Galigo sebagai hasil studi akademik, tapi statusnya sebagai “sastra daerah” kan kagak glamour? Yang enggak glamour dianggap budaya kumuh dan berdebu. Budaya yang ‘perlu dibantu’. Itu dongeng dan tarian kenapa baru dibilang “budaya Indonesia juga hebat” setelah ada di panggung Robert Wilson? Bukan ketika dipentaskan sebagai ritus kampungnya sendiri? Bagaimana dengan film? Film Indonesia itu seharusnya seperti apa? Khususnya yang diproduksi anak muda kita? OKtober 2011
95
Paling tinggi untuk eksakta, agak kurang tinggi untuk ekonomi dan sosial. Sisanya, tahu sendiri, seolah kalau sastra dan kebudayaan ya muridnya boleh yang bodoh-bodoh Enggak ada harus-harusnya. Termasuk merebaknya genre film-film horor? Ya enggak apa-apa. Itu kan ada sebabnya? Karena, pertama mereka disukai, disukai itu karena mewakili kepentingan, kepentingan itu karena ada urusannya dengan politik identitas dia. Kayak Ibu-ibu pakai tas Hermes. Bukan karena dia bego. Kalau ngibulin orang bego sih iya. Karena memang ada orang mengira pakai tas Hermes itu hebat. Bukan, “Apa pun yang dijual saya beli.” Enggak begitu. Artinya, film-film karya anak muda sekarang oke? Oke. Dulu enggak ada, sekarang ada. Itu sudah luar biasa. Cuma jangan lupa, suatu momentum itu adalah konstruksi dari seribu satu faktor. Apakah film cerita anak-anak kita sudah berisikan misi pendidikan? Pendidikan itu banyak caranya. Melihat pendidikan itu jangan sekadar dari pandangan bahwa seorang anak masih kecil atau enggak… Lagipula, anak kecil itu tidak sebodoh yang kita pikir. Ingat saja yang kamu pikir waktu masih kecil. Sebetulnya anak kecil sudah kritis, tapi kejujurannya sering menimbulkan masalah bagi 96
Oktober 2011
orang dewasa yang suka ngakalin and ngadalin! He he he...! Jadi, kedudukan anak kecil secara politis selalu terpojok. Nah, film anak-anak bisa terjebak untuk menggurui. Bagaimana dengan produksi film animasi? Saya enggak terlalu banyak memerhatikan. Cuma, saya pikir, animasi sekarang ini bisa jadi home industry. Orang-orang ngumpul, bikin. Dan itu bagus. Bagus daripada mengerjakan yang lain. Kenapa bukan negara yang berbuat begitu? Berharap apa kamu dari negara? Enggak berharap apa-apalah... Malaysia bisa menjadikan Upin-Ipin sebagai konsumsi masyarakat kita. Apa Indonesia juga bisa seperti itu? Bisa. Asal semua orang diberikan kesempatan yang setara. Jadi, kalau ada proyek pemerintah film animasi itu yang dapat orang-orang tertentu. Tender jadinya proyek duit, yang hebat itu banyak tapi mereka itu swasta, freelancer, kalau mereka dapat kesempatan proyek besar pasti oke. Bagaimana dengan anak muda yang lebih suka berkarya di luar negeri? Karena tidak ada tempat di sini, diakui di luar negeri. Kritikusnya enggak ada, komunitasnya juga mungkin enggak ada, kesempatannya juga enggak ada. Lagipula, sekarang ini apa sih bedanya luar negeri dengan dalam negeri? Itu bukannya asing, kok. Luar negeri hanya demarkasi saja, garis saja. Sama saja. Lalu, demi perkembangan seni budaya kita, baik musik, film, atau sastra, apa yang harus dilakukan…? Kalau mau dikenal dunia ya promosi gila-gilaan. Tapi buat saya enggak dikenal juga enggak apaapa kan sebetulnya? Enggak rugi. Kecuali kalau turis enggak datang dianggap rugi besar. Tapi marilah
kita bayangkan wajah Indonesia yang sangat mengharapkan dolar dengan jualan kebudayaan itu. Kebudayaan dalam subordinasi pariwisata jelas kebudayaan yang kerdil. Kebudayaan itu pada dasarnya harus bebas, tidak ‘harus tradisional’ karena turis enggak mau lihat seni modern. Seni tradisi Bali memang unik, tetapi yang luar biasa: seni tradisi itu adalah bagian yang sah dari budaya kontemporer Bali sekarang. Itu tidak saya lihat di Hawai’i, misalnya. Karena industri wisata telah membuat seni tradisi menjadi steril. Musik, film, sastra, biarkan saja berkembang bebas dan liar. Senimannya kan lebih tahu mesti gimana ketimbang yang sok ngatur-ngatur. Tentang pendidikan formal? Masalah Indonesia dari dulu, pendidikan formal diperlukan untuk melayani pasar, bukan menciptakan pasar. Itu membuat pelajaran tidak terarah kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan, tetapi sekadar latihan keterampilan. Begitu juga nasib kesenian dalam pendidikan. Malah dalam hal sastra, murid-muridnya dari ranking terendah. Paling tinggi untuk eksakta, agak kurang tinggi untuk ekonomi dan sosial. Sisanya, tahu sendiri, seolah kalau sastra dan kebudayaan muridnya boleh yang bodoh-bodoh. Apa yang diharap dari sebuah negeri yang kebijakan pendidikannya menganggap prestasi terendah (baca: kebodohan) adalah bagian integral dari kebudayaan? Jangan berharap apa pun! Saya bicarakan ini dalam diskusi Ubud Writers dan tidak ada yang membantah. Artinya harus dilakukan sesuatu kepada para pendidik kita? Apa kira-kira...? Ya, dididik. Tapi, siapa yang mendidik, ya? Ha ha ha…! Ilmu pendidikan bisa mengembangkan kesenian yang non-klasikal-lah,
Pertama, dia pikir lagunya bagus, kedua itu acara negara, acara bangsa. Dia tebengi lagu dia. Kecuali doi tanya pada suatu dewan, patut enggak lagu saya di acara 17 Agustusan? kayak Jadug dengan botol-botol Aqua galon. Musik itu seni bunyi, bukan seni alat; kepekaan musikal, bukan keterampilan musikal. Mulailah dengan apa yang anakanak suka. Misalnya foto, film, apa pun.... Kalau sastra, meski belum tentu sepakat, ya teenlit... Apa pun itu, pokoknya mulai dari apa yang mereka suka. Kita ini terjebak oleh mitos bahwa komersial itu dosa. Itu yang harus dihancurkan, pandangan-pandangan kuno... Treatment pemerintah sendiri terhadap pelaku seni, menurut Anda seperti apa? Ya, enggak ada treatment apa-apa. Kecuali pada presidennya sendiri: memakai lagunya sendiri untuk 17 Agustusan di Istana. Pertama, dia pikir lagunya bagus, kedua itu acara negara, acara bangsa. Dia tebengi lagu dia. Kecuali doi tanya pada suatu dewan, patut enggak lagu saya di acara 17 Agustusan? Tapi kenapa musisi lain enggak ditawarin juga, kan? Ada enggak kontestasi lagu yang lain dari musisi lain? Jadi, dengan kekacauan berpikir yang seperti itu, kita berharap apa? Berarti, lebih baik berkarya di luar? Ya di mana saja, asal jangan sama pemerintah. Jadinya bisa begitu. OKtober 2011
97
Esei Redaksi
CCR
Hanya kebudayaan yang mampu melahirkan pemikiran tentang perlunya ilmu pengetahuan untuk mengelola alam semesta ini dengan sebaik-baiknya.
Toh, apa pun kendalanya, semua pihak, baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat memafhumi bahwa langkahlangkah korporasi untuk memberdayakan lingkungan masyarakatnya itu cukup mendapat sambutan publik. Dan, mereka yang terkait langsung program-program, itu dapat merasakan dan menikmati hasilnya. Intinya, perusahaan mafhum bahwa mereka tidak boleh sekadar mengambil untung dari usahanya dengan mengabaikan lingkungan dan masyarakat di sekitar perusahaan itu. Baik itu berupa pertambangan, perkebunan, pertanian, manufaktur maupun jasa. Baik dengan atau tanpa insentif keringanan pajak dari pemerintah. Di lain pihak, masyarakat pun disadarkan bahwa setiap perusahaan yang memanfaatkan lahan dan lingkungan mereka, tidak boleh mengabaikan struktur masyarakat dan lingkungannya, serta alpa akan kebutuhan serta masa depan masyarakat setempat. Baik dalam bidang usaha, lapangan kerja, keterampilan, maupun pendidikan. Namun, betapa pun berhasilnya program tanggungjawab sosial masyarakat atau CSR (corporate social responsibility), itu kita tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting yang terabaikan. Sesuatu yang jauh lebih genting dari sekadar masalah lingkungan, sosial, dan pendidikan. Sesuatu yang lebih bermakna dan berjangka panjang, 98
Oktober 2011
ketimbang membikin jalan, membuat sumur, membangun sekolah, atau bahkan menanam pohon. Sesuatu yang sejak republik ini didirikan selalu dianggap remeh temeh dan marginal: Kebudayaan!
dahan yang patah secara alami, dan akhirnya: apa sesungguhnya fungsi sebuah pohon bagi alam semesta dan bagi manusia yang berada di situ?
Illustrasi Widro Mansoer
T
anggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungan masyarakatnya yang menjadi wacana umum dalam sepuluh tahun terakhir, sebagian besar telah berhasil dilaksanakan oleh sejumlah perusahaan. Baik swasta maupun badan usaha milik Negara dan milik daerah. Namun, sebagaimana dalam banyak hal, upaya-upaya sukarela pihak swasta, itu tibatiba berubah menjadi beban ketika pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mulai ikut mencampuri. Baik dalam proyek, sasaran, maupun besaran anggaran yang wajib dikeluarkan setiap perusahaan. Akibatnya, pelbagai aksi dan kegiatan perusahaan untuk memajukan lingkungan sosial perusahaan itu berjalan semakin lamban dan tersendat, untuk tidak dikatakan berhenti sama sekali karena kehilangan gairahnya.
Noorca m. massardi
Apalah artinya menanam pohon, mengairi sawah ladang, membangun rumah, membuat kelas, membiayai usaha kerajinan dan keterampilan, bila manusia di dalam lingkungan itu tidak berbudaya, tidak tahu kebudayaan, tidak paham kebudayaan, yang justru merupakan kunci dari segala macam penciptaan, tradisi, dan teknologi? Bagaimana manusia bisa punya kesadaran untuk menanam pohon dan memeliharanya, misalnya, bila ia tidak paham untuk apa sebuah pohon harus ditanam, mengapa pohon harus dipelihara, bagaimana ia harus dirawat dan dijauhkan dari hama dan bencana, bagaimana memanfaatkan dedaunannya yang berguguran, bagaimana memetik buahnya, bagaimana memanfaatkannya untuk kebutuhan gizi atau industri, bagaimana cara menjualnya untuk kepentingan ekonomi, bagaimana pula memanfaatkan ranting, cabang, dan
Ha nya k e b u d aya a n l a h ya n g m a m p u melahirkan pemikiran tentang perlunya ilmu pengetahuan untuk mengelola alam semesta ini dengan sebaik-baiknya. Hanya kebudayaan yang mampu menyebarluaskan hasil pemikiran dan ilmu pengetahuan itu melalui pendidikan ke semakin banyak orang. Hanya kebudayaan yang mampu menciptakan ilmu pengetahuan di dunia pendidikan yang menghasilkan teknologi dan industri, yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dan, hanya kebudayaan yang dapat secara bijak memanfaatkan ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi, industri, lingkungan, dan manusianya, untuk melahirkan karya cipta dan budaya yang menyelaraskan semua itu agar sesuai dengan harmoni, dengan irama, dan dengan keseimbangan alam semesta, sehingga ia bisa bermanfaat secara menerus bagi manusia dan lingkungannya yang akan datang. Tanpa kebudayaan pastilah tidak akan ada lagi kehidupan. Tanpa kebudayaan, maka ilmu pengetahuan, teknologi, dan perilaku manusia akan kehilangan makna: mengapa dan untuk apa pengetahuan, teknologi, dan manusia itu diciptakan. Tanpa kebudayan, maka politik semata menjadi alat untuk kekuasaan. Tanpa kebudayaan, ekonomi hanya untuk memburu profit. Tanpa kebudayaan pendidikan hanyalah alat untuk menciptakan sistem. Tanpa kebudayaan sistem hanya akan melahirkan mesin. Dan, tanpa kebudayaan sistem dan mesin hanya memproduksi mesin: Bukan Manusia. Dengan kata lain, bukankah sesungguhnya dunia usaha, kalau bukan pemerintah, yang kini harus mengubah program kepedulian sosialnya itu menjadi program tanggungjawab kebudayaan perusahaan atau Corporate Culture Responsibility (CCR)? Karena bukankah sejatinya yang ingin diberdayaakan oleh perusahaan, itu sesungguhnya adalah manusianya? Bukan r umahnya , atau sumurnya, atau listriknya, atau gedung sekolahnya atau bahkan pohonnya?