MGI Bulletin Edisi Desember 2015

Page 1

Edisi 5 | Desember 2015 Ketenagakerjaan dan Roadmap Talent Management Indonesia

MATAGARUDA INSTITUTE

BULLETIN

melahirkan buah pikiran | menumbuhkan gagasan | membawa perubahan

Pengantar Redaksi

Registered Bulletin ISSN: 2443-0072 | www.thinktank.matagaruda.co.id | matagarudainstitute@gmail.com

T.A. Octaviani Dading Produser Editorial MGIB Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastiastu. Suatu hari, saya membaca brosur BKPM di dalam pesawat yang menyebutkan beberapa “nilai tambah” Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri. Salah satunya adalah grafik mengenai betapa rendahnya harga buruh atau tenaga kerja di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Mengapa murahnya harga tenaga manusia disebut sebagai sebuah nilai tambah? Dan mengapa kita bangga atas hal tersebut? Selain itu, yang sering kita dengar adalah pada tahun 2020-2040 kita akan memiliki “bonus” demografi sebesar 70% usia produktif yang akan dapat menanggung 30% orang di usia tidak produktif. Di sisi lain, apakah kita menyebutnya sebagai “bonus” karena ini berarti semakin banyak orang yang dapat dipekerjakan? Buletin MGI kali ini mengulas pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Namun, MGI berharap kita bisa tetap kritis dalam melihat kaitan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan sebagai sebuah mata rantai. Sekolah sebagai alat pendidikan diciptakan pada sekitar abad ke-17 untuk memasok buruh dan pekerja yang taat ke pabrik-pabrik dalam revolusi industri. Namun kemudian, kritik Foucauldian ini-pun melihat perkembangan positif pendidikan pada abad ke-19 di mana cara berpikir kritis bahkan terhadap pendidikan itu sendiri makin berkembang. Kembali ke tanah air kita sendiri, kita telah melihat peningkatan pos subsidi pendidikan pada APBN negara untuk memberikan dukungan pada sektor pendidikan yang berarti “sekolah”. Namun, tujuan menyekolahkan seseorang seharusnya bukan semata untuk menjadi pekerja yang cocok ...bersambung ke hal 25

Isi: 1. Menghindari Talent Brain Drain (1) 2. Melihat & Belajar dari INDIA (3) 3. Mengapa Singapura dak kehilangan talent? (6) 4. Sinergi BUMN & Lulusan Beasiswa Negara (7) 5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian (9) 6. ASN & Dilema Meritokrasi (12) 7. Pemanfaatan Bonus Demografi (14) 8. Cerdas Saja Tidak Cukup (16) 9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia (17) 10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan Ins tusi Pemerintahan (20) 11. Sistem Longlife Learning (22) 12. Kaleidoscope (24)

(Illustration: aussiemigrationlaw.com.au)

1. Menghindari Indonesia's Talent Brain Drain: Mari, Eksplorasi Potensi Diri Menuju Sukses! Agustina Kusuma Dewi, S.Sos. BPI LPDP, PK-37 Magister Desain, ITB Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung

Ke ka berbagai bencana alam sedang mendera Indonesia dan membuat seluruh masyarakat berduka, apakah pengembangan diri masih tetap diperlukan? Ternyata pengembangan diri justru bisa menjadi salah satu jendela yang membuka c a k ra w a l a b a r u m e n u j u p e r b a i ka n Indonesia. Bagaimana mungkin? Analogikan begini, jika seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian orang, meraih hidup yang tenang dan bahagia sudah lebih dari cukup – mereka lebih suka menerima apa yang harus diterima tanpa berusaha meningkatkan derajat kehidupan mereka menjadi lebih nggi lagi. Namun untuk beberapa orang – yang sampai saat ini masih termasuk golongan orangorang minoritas – hanya sekedar menerima saja apa yang harus diterima daklah cukup.

Orang-orang minoritas ini percaya bahwa se ap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kemuliaan diri (disamping juga kelemahan-kelemahan dan kekurangankekurangan diri yang sesungguhnya bisa diop malkan dan dijadikan kelebihan untuk konteks tertentu), yang disebut dengan akal d a n ke s a d a ra n , ya n g m e m b e d a ka n derajatnya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan akal dan kesadaran ini, kaum minoritas tersebut berusaha menggali potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal mungkin, kemudian mengasah kemampuan diri mereka untuk dapat mencerma dan meraih segala macam momentum yang terkandung dalam se ap peluang yang ada dalam kehidupan, serta menciptakan p e l u a n g - p e l u a n g te rs e b u t m e n j a d i kesempatan yang diciptakan sendiri menjadi 'ada' dan berprospek potensial. Jika golongan minoritas ini mampu, mengapa kita – Anda – dak? Kaum Minoritas vs Kaum Mayoritas. Mungkin apa yang disampaikan di atas hanya sebuah analogi sepihak yang sangat tendensius. Tapi kenyataan tersebut nampak begitu jelas terjadi – terutama saat persaingan terbuka mbul dan semakin ketat ke ka dunia menuju era globalisasi.


2

(Illustration: ceo.com)

Pasar bebas dengan segala kemungkinan dan celah untuk sukses bukan menjadikan 'kaum' minoritas melebarkan sayapnya dan menjadi 'kaum' mayoritas, melainkan m e ny u r u t ka n o ra n g - o ra n g y a n g tergabung di dalamnya. Kebanyakan dari mereka takut gagal. Ada juga yang merasa dak percaya pada kemampuan dan potensi diri sendiri dan memilih menjadi penonton di luar arena saja. Lalu muncul pertanyaan, siapakah sesungguhnya kaum minoritas ini? Dari berjuta-juta rakyat Indonesia, mungkin anda dapat menyebutkan bahwa hanya sekitar 5%-10 % dari mereka yang mampu untuk melihat peluang (bisnis) sebagai celah sekaligus juga kesempatan. Golongan 5%-10% inilah yang saya sebut sebagai kaum minoritas – yaitu mereka yang mampu untuk memo vasi diri dalam menggali potensi yang dimiliki semaksimal mungkin, untuk mencapai kesuksesan yang juga maksimal. Sementara sisanya – yang diis lahkan oleh saya sebagai kaum mayoritas – adalah mereka yang belum – bukan dak, karena saya yakin suatu saat mereka akan menjadi – mampu menggali potensi diri mereka untuk meraih segala peluang yang ada dalam kehidupan. Kaum mayoritas ini lebih suka bekerja dan menjalani kehidupan melalui cara-cara aman – dalam ar an asal sudah bekerja sudah cukup, asal memperoleh pendapatan sudah cukup, asal dak gagal berar semua sudah terkendali dan sukses – tapi dak ada keinginan untuk mencapai kesuksesan yang lebih nggi lagi. Alasan d a n p e r m b a n ga n s e m a c a m i t u m e m a n g d a k s e p e n u h nya b i s a disalahkan, namun jika memang demikian, jika kita memilih untuk menjadi mayoritas, maka kita hanya akan menjadi orang kebanyakan yang biasabiasa saja tanpa mengembangkan

potensi diri untuk menjadi is mewa yang sejak lahir sesungguhnya telah d i s e m a t ka n d a l a m s e a p j i w a manusia. Untuk beberapa orang, kesuksesan dianggap sebagai sesuatu yang tergantung pada keberuntungan. Namun dak begitu menurut Thomas Alva Edison; menurutnya, keberhasilan seseorang adalah 1% keberuntungan dan 99% usaha. Lalu usaha yang bagaimana yang m e m u n g k i n ka n s e s e o r a n g u nt u k berhasil dan sukses? Self-Actualiza on: Potensi Diri Alamiah vs Materi. Abraham Maslow, sosiolog yang terkenal, menyatakan bahwa dari beberapa kebutuhan dasar manusia, salah satu kebutuhan yang berkaitan dengan harga diri dan kebanggaan seseorang ditunjukkan dalam selfactualiza on atau kebutuhan akan pemenuhan diri. Kita bukan saja ingin mempertahankan kehidupan, tetapi juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan dan juga ingin memaksimalkan potensipotensi diri. Dengan ucapan Maslow sendiri – what a man can be, he must be – kebutuhan akan pemenuhan diri dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, antara lain: (1) mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi diri dengan cara yang krea f konstruk f, misalnya: melalui seni, musik, sains, atau hal-hal yang mendorong pengungkapan diri yang krea f; (2) memperkaya ku a l i ta s ke h i d u p a n d e n ga n ca ra memperluas rentangan dan kualitas pengalaman serta pemuasan, misalnya dengan jalan darmawisata ke tempattempat yang memiliki nilai historis atau budaya (di satu sisi kita memperoleh relaksasi dan pada sisi lain kita mendapatkan pengetahuan); (3) membentuk hubungan yang hangat dan berar dengan orang-orang lain di sekitar kita (yang lebih jauh lagi dapat mendukung kemungkinan kita untuk menciptakan dan memperluas h u b u n ga n d a n j a r i n ga n ke r j a d i kemudian hari); (4) berusaha 'memanusia', menjadi persona – diri – yang kita dambakan (yang berkaitan erat dengan konsep diri – bagaimana kita memandang diri kita sendiri) (Coleman, 1976:105).

Ada kecenderungan yang tampak dewasa ini; yaitu, pengembangan mo vasi menjadi sesuatu yang mahal harganya dan harus selalu didukung oleh adanya kemampuan materi. Sesungguhnya, materi hanya menjadi faktor kedua setelah potensi diri yang dimiliki sendiri. Mengapa demikian? Seseorang yang kaya raya, namun dak memiliki kemauan untuk menggali – mengeksplorasi – potensi diri yang dimilikinya semaksimal mungkin sama saja seper nyala api yang kecil dan lemah, yang dak mungkin sanggup bertahan bila ter up oleh angin. Namun seseorang yang tahu bagaimana mengeksplorasi potensi dirinya hingga kemudian menumbuhkan mo vasi untuk maju dan lebih maju lagi – didukung dengan atau tanpa kemampuan materi – akan sanggup b e r ta h a n s e ka l i p u n a n g i n b e s a r menghempas dirinya. Bukankah ilmu pengetahuan dan akal menjadi senjata dan harta yang abadi dan potensial dalam diri se ap manusia? Dengan kata lain, untuk maju, seseorang harus percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Tentu saja, kemampuan harus didukung oleh faktor lain, yaitu kemauan. Kemauan: dari sesuatu yang abstrak menjadi nyata. Kemauan jarang dibicarakan secara khusus dalam buku-buku pengantar psikologi; walaupun orang sering menggunakan is lah 'kuat kemauan' atau 'kurang kemauan'. Kemauanlah yang membuat orang besar atau kecil. Kemauan erat kaitannya dengan ndakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai ndakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Dalam kemauan, bila dirangkum dari pernyataan Richard Dewey dan W.J. Humber, terkandung keinginan untuk mencapai suatu tujuan, pengetahuan tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan, kecerdasan dan energi yang mempengaruhi usaha, pengeluaran energi yang efek f dan efisien untuk mencapai tujuan, serta kejelian. Seseorang yang jeli adalah seseorang yang – setelah mampu mengeksplorasi


3

potensi dalam dirinya – tanggap terhadap segala peluang yang muncul dalam berbagai bidang dan menjadikannya sebagai kesempatan yang seolah-olah memang diciptakan hanya bagi dirinya sendiri. Kejelian terhadap peluang tersebut harus didukung pula oleh adanya kemampuan untuk menganalisis kekuatan dan kebutuhan pasar bisnis – sektor laba maupun sektor nirlaba. Seseorang yang tahu peluang dalam bisnis yang berorientasi laba, dapat meramalkan apa yang akan dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang harus diciptakan untuk menumbuhkan adanya rasa butuh dalam diri masyarakat. Mereka tahu dan kenal aroma persaingan – namun mereka dak takut gagal karena mereka yakin setelah satu kesempatan gagal, akan selalu ada kesempatan yang lain. Seseorang yang jeli akan peluang dalam bisnis yang bergerak dalam sektor nirlaba – sekalipun orientasinya bukan di kberatkan pada perolehan omzet/pendapatan – namun karena ia tahu peluang, maka ia dapat membalikkan peluang yang ada menjadi kesempatan untuk dirinya menciptakan sektor-sektor bisnis berorientasi laba. Karena itu dibutuhkan adanya perhitungan-perhitungan yang tepat dan rasional, didukung adanya ins ng yang kuat yang semakin terasah hanya dengan cara dilakukan dan digunakan. Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda.

potensi diri dibutuhkan adanya kemauan untuk belajar, kecerdasan dan keikhlasan untuk mengeluarkan energi; baik energi yang sifatnya materi dan atau nonmateri, serta pengembangan mo vasi yang didukung adanya kepercayaan terhadap konsep diri. Setelah hal itu sanggup dilakukan, maka dalam diri kita secara sadar ataupun dak akan muncul satu naluri yang terasah dan peka terhadap berbagai peluang yang mbul dalam dunia bisnis, baik yang berorientasi pada sektor laba maupun sektor nirlaba. Dengan kejelian sekalipun kemampuan yang ada dalam diri, kita akan sanggup untuk mengejar dan meraih momentum yang ada dalam se ap peluang, menjadikannya kesempatan yang seolah-olah tercipta memang hanya untuk kita – dan meraih kesuksesan y a n g m e m b a w a k i t a m e n c a p a i ke b u t u h a n a ka n pengaktualisasian diri yang lebih nggi lagi. Jangan pernah takut untuk gagal, karena kegagalan adalah proses kita menuju pencapaian yang lebih besar lagi. Jangan pernah takut untuk mengubah perspek f kita selama ini, karena memandang segala hal secara lateral memungkinkan kita untuk menemukan solusi terbaik pada perbaikan bukan hanya sekedar alterna f solusi. Jika demikian, tunggu apa lagi, mari eksplorasi diri menuju sukses yang abadi, bukan hanya sekedar dalam benak, ide dan gagasan belaka! (-)

Pada akhirnya, setelah seluruh uraian diatas, kita akan mencapai satu kesimpulan bahwa kesuksesan hanya dapat diperoleh bila kita mampu mengeksplorasi potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal mungkin dan menggunakannya secara tepat – efek f dan efisien. Dalam proses penggalian

2. Melihat & Belajar dari India Naufal Rospriandana, S.T. BPI LPDP, PK-10 Graduate School of Environmental Science Hokkaido University, Japan

Dikri k karena pemerintah terus menerus membiarkan banyak warga India pergi ke luar negeri dan menjadi aset hebat bagi negara tujuannya, Rajiv Gandhi, mantan PM India, dulu berkata: be er brain drain, than brain in the drain (lebih baik menjadi penyalur otak moncer, daripada membiarkan mereka dalam saluran). Tidak sia-sia, meskipun secara makro, India masih bangsa berkembang, namun kebijakan tersebut justru mengantarkan India menjadi salah satu bangsa yang paling banyak menelurkan diaspora sukses di dunia, India kini bahkan diyakini beranjak menjadi penyeimbang kekuatan dari Asia. Memang the talent's brain drain adalah salah satu tantangan bangsa berkembang pada umumnya. Merasakan hidup yang teramat keras di negara asal, merasa dak dihargai kapabilitasnya sebagai ahli, tak (© penulis) jarang membuat orang dari negara berkembang memilih pergi merantau ke negara maju. Di saat yang sama, negara

(Illustration © http://collegian.csufresno.edu/)

maju pun memiliki demand yang nggi terhadap sumber daya manusia berkualitas mengingat mereka dihadapkan pada situasi penuaan populasi (ageing popula on). Namun memang benar, investasi sumber daya manusia itu kadang dak bisa terukur jelas keuntungannya. Oleh karena sulitnya melakukan valuasi, tak jarang sulit pula berjudi menanamkan modal membangun kapasitas (© penulis) (© penulis) manusia: melalui investasi pendidikan dan memberikan pengalaman hidup. Akan tetapi, sejenak melihat dan


4

Searah jarum jam dari kiri atas: Bhimrao Ambedkar, Swaminathan, Anant Mashelkar, Narendhra Jadhav, dan Abdul Kalam (photos Š nationalarchives.nic.in)

belajar dari nenek moyang negeri Anak Benua, India, hal menarik justru terjadi. Di awal, sempat dibahas mengenai Rajiv Gandhi, mantan PM India, siapakah dia sesungguhnya? Sungguh dak ada relasinya dengan tokoh pendiri India, Mahatma Gandhi, Rajiv adalah cucu dari Jawaharlal Nehru, mantan PM India pada era kemerdekaan negara tersebut. Namun, beruntungnya Rajiv yang merupakan putra bangsawan, ia adalah satu dari sekian warga India yang berkesempatan mengenyam pendidikan di Trinity College, Cambridge, sama dengan sang kakek, Jawaharlal Nehru. Hanya saja, sedikit berbeda dengan sang ibu, Indira Gandhi yang merupakan cetakan Oxford. Memang, di tahuntahun tersebut, banyak warga India pergi merantau ke luar negeri. Lantas, apakah hanya dari kalangan bangsawan saja? Tidak, sejarah dan fakta secara jelas menunjukkan bahwa budaya India konserva f sesungguhnya masih kental dengan sistem kasta, yang mana mereka yang berasal dari kasta biasa bahkan

kasta bawah dan terbuang mendapatkan perlakuan yang dak adil dalam memperoleh hak hidup seper pendidikan. Terlebih lagi, faktor SARA juga menjadi ganjalan di India. Dari situlah akhirnya para kaum dak terpandang tersebut bertekad untuk maju dan nekad pergi merantau ke negeri asing untuk mencari kehidupan yang lebih b a i k . D a r i ka u m t e rs e b u t d i antaranya adalah Bhimrao Ambedkar, doktor lulusan London School of Economics (LSE) (Menteri Perburuhan India), Sambasvian Swaminathan (lulusan Wisconsin Madison, pencetus Green Revolu on India), Amarthya Sen (Profesor ekonomi Harvard), J.P. Abdul Kalam (ahli rudal dan sistem pertahanan, presiden India), Anant Mashelkar (direktur CSIR India), e ko n o m N a re n d h ra J a d h av (pimpinan Reserve Bank of India, lulusan University of Indiana), dan banyak lagi. Selain itu, tak terelakkan juga bahwa generasi muda India saat ini banyak memegang peranan pen ng di b e r b a ga i p e r u s a h a a n g l o b a l .

Tercatat se daknya 14 CEO atau pejabat teras se ngkat direktur dari berbagai macam perusahaan global berasal dari India. Indra Nooyi memimpin Pepsi Co., Satya Nadella mengepalai Microso , Anjay Banga di Master Card. Begitu pun halnya Direktur Pemasaran Facebook, Kirthiga Reddy merupakan orang India. Sebagai seorang mahasiswa di Jepang, terdapat kasus menarik ke ka di pertengahan 2015 lalu sempat terjadi kecaman dari para pengamat dan pekerja berbagai kalangan yang menunjukkan ke daksetujuannya kala So bank, salah satu provider telepon seluler asal Jepang, melakukan keputusan dras s dengan merekrut seorang India bernama Nikesh Arora sebagai direkturnya. Siapa Nikesh Arora? Sebelumnya, ia adalah Senior Vice President Google.inc dan untuk mendapatkan tanda tangannya, So bank sampai harus mengganjar 16 miliar Yen (setara 1.6 triliun Rupiah), suatu hal yang secara keras diprotes oleh golongan pekerja Jepang sebagai suatu bentuk penghamburan uang dan pelanggaran tradisi kerja berjenjang. Lalu, sekarang pertanyaan untuk kita semua adalah, apakah ada post-doc atau bahkan professor asal India di tempat kita saat ini menempuh pendidikan? Jikalau dak banyak, tapi seper nya pas ada, dan dalam pemikiran sederhana saya, bila seseorang mendapatkan kesempatan post-doc, sudah barang tentu Ia bukanlah orang sembarangan. The era of gaining (back) the brain Dalam bukunya, New Asian Hemisphere: The Irresis ble Shi of Global Power to the East, professor kebijakan publik asal Singapura berdarah India, Kishore Mahbubani, dari Na onal University of Singapore, menjelaskan bahwa kenda India di nggalkan para otak moncernya dalam wujud brain drain, namun India juga terus berjuang membangun. Hebatnya adalah konek vitas antara para tokoh India


5

Suasana saat Softbank mengumumkan penunjukan Nikesh Arora sebagai direkturnya

di luar dan dalam negeri yang masih terhubung erat dan saling mendukung, bahkan saat ini, meskipun secara mikro dak serta merta seragam, India diyakini akan segera memasuki the era of gaining (back) the brain. Sebagai control riil, dalam helatan PPI Dunia 2014 di Tokyo, seorang rekan Indonesia yang kini bersekolah di India, mengatakan bagaimana kampus-kampus di India kini dikawal oleh profesor-profesor lulusan barat, sebutlah Harvard, Cambridge, dan lain sebagainya, dan menemui mereka daklah sulit karena hampir seluruh waktunya ada di kampus dan memang difokuskan untuk membangun dan mendidik mahasiswa-mahasiswa India. Secara terpisah, seorang teman asal India juga menjelaskan bagaimana baru-baru ini pemerintah menggulirkan skema beasiswa besar-besaran untuk menempuh pendidikan pascasarjana di kampus-kampus India tersebut. Dalam bukunya lagi, Mahbubani menjelaskan, bukan MIT atau Harvard, kampus dengan peluang masuk terkompe f di dunia, melainkan IIT (Indian Ins tute of Technology) yang terdiri dari 5 kampus tersebar di India. Apa pasal? Di tahun 2002, ke ka Harvard dan MIT meloloskan 10.5% dan 16.2% dari keseluruhan pelamarnya, hanya 2.3% pelamar yang berhasil dan diijinkan masuk ke IIT. Tak pelak, merekalah juga yang diyakini nan nya akan dibajak oleh perusahaan kelas dunia, namun kenda demikian setengah kaki mereka berdiri di tanah kelahirannya, India. Studi kasus dari India tersebut selayaknya menjadi bahan evaluasi bagaimana investasi manusia memang dak mudah, dak murah, dan dak sebentar, namun jika berhasil pas memiliki dampak yang besar dan berkali-

(photo Š indiatoday.intoday.in)

kali lipat. Fakta dari India ini pun menunjukkan pada kita, bahwa pada dasarnya dak bisa suatu negara lepas landas hanya dengan investasi tunggal mendidik manusia ke luar negeri tanpa pembangunan sendiri dan penguatan konek vitas dengan pembangunan dalam negeri. Berkaca pada Indonesia, di era sekarang ini, Indonesia pun sedang gencar-gencarnya melepas putra-putrinya untuk mengenyam pendidikan di luar negeri guna menanamkan investasi menghadapi potensi bonus demograďŹ . Kenda dak sedikit pandangan nega f mengemuka, mulai dari yang mengkri si kebijakan terlambat, hambur anggaran, hingga menyangsikan seberapa ampuh kebijakan investasi manusia ini, namun sekali lagi harus bijak kita menyikapi hal ini. Telah disebutkan sebelumnya, pen ng menghapus keraguan atas suatu investasi yang sulit dinilai ini, namun sebagaimana India, investasi manusia tersebut dak lantas cukup tanpa menggiatkan pembangunan sendiri dan menghidupkan konek vitas. Celoteh seorang kawan mahasiswa Indonesia di Jepang (yang memang saya salut atas prestasinya) pernah membuat saya mengernyitkan kening, “Jika Indonesia mampu membiayai pengiriman manusia berotak moncer ke luar negeri tapi dak mampu membiayai fasilitas peneli an dan pendidikan nggi dalam negeri, berar mungkin memang benar orang pintar di Indonesia dak dihargaiâ€?. Entahlah bagaimana cara yang tepat untuk menanggapi dan menyikapi hal tersebut, akan tetapi, jika tantangan tersebut dapat dipecahkan, jika semua elemen negeri ini memang ingin maju demi bangsanya, maka the talent's brain drain itu cepat atau lambat akan segera menjadi ang- ang pancang masa depan Indonesia. (-)


6

Kawasan pusat bisnis Singapore yang terus berkembang. (photo Š lavishbucks.com)

3. Mengapa Singapura tidak kehilangan talent mereka? Ing. Muhammad Gibran, S.T., M.Sc. BPI LPDP, PK-02, Msc in Engineering in Coastal Environment, University of Southampton Offshore and Marine Engineering Specialist

Sewaktu kuliah di Southampton dua tahun lalu, saya sempat berkunjung ke St. John College Cambridge; dak sekedar untuk perhelatan makan malam bersama, tetapi juga ingin menjalin network; sayang rasanya jika kesempatan emas ini dak digunakan untuk menambah kawan dan bertukar pikiran. Cambridge, sebuah kota klasik dengan beberapa college favorit dimana banyak banyak para elit negara dari seluruh dunia memilih tempat ini untuk mengenyam pendidikan. Salah satu kawan baru saya berasal dari Singapore. Saya bertanya mengapa dak banyak pelajar Singapura di kampuskampus lain di Inggris; komunitasnya kecil dibandingkan dengan pelajar dari India, China, Indonesia, Malaysia, Philippina, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang sangat banyak dijumpai di Inggris, Eropa, dan juga Skandinavia. Dia bercerita bahwa, pertama, universitas di Singapura sendiri untuk saat ini sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan secara rangking lebih baik dari Universitas di Inggris, Amerika dan Eropa; yang kedua, Singapura hanya memberi beasiswa ke beberapa universitas top di dunia, yang mana Universitas yang bersangkutan sudah ada kerjasama dengan parlemen Singapura. Terkait dengan ďŹ nansial, ia menambahkan bahwa kuliahnya dibiayai oleh Kementerian Pertahanan Negara Singapura. Mungkin seper LPDP, sama-sama dibiayai negara, namun beasiswa Singapura sangat terintegrasi dengan parlemen atau pemerintahannya; selain program studinya tepat sasaran dengan kebutuhan dalam negeri, juga rasanya tak sia-sia negara tersebut berinvestasi pendidikan untuk masa depan generasi mudanya. Lalu bagaimana rencana kerja setelah lulus dengan beasiswa negara? Ia menjelaskan, tentu akan kembali ke Singapura karena negara telah membuat kesepakatan yang sudah barang

tentu orang akan merasa bodoh jika menolaknya; berbagai kebutuhan sudah terpenuhi baik itu posisi di pemerintahan, gaji yang sebanding, jaminan akomodasi, dan berbagai tunjangan lainnya. Oleh karena itu sangat jarang dijumpai seorang warga negara Singapura yang bekerja sebagai employee di negara lain. Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana negara dapat mengenal Anda? Kawan tersebut menjelaskan, well, se ap laki-laki yang telah mencapai usia 18 tahun atau telah lulus dari pendidikan menengah ke atas wajib hukumnya mengiku Perkhidmatan Negara (Na onal Service) selama dua tahun sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau bekerja. Bagi orang yang telah mengiku perkhidmatan, pada umumnya gaji yang diterima bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan mereka yang dak mengiku agenda ini. Dalam perkhidmatan, para pelajar berla h bersama militer dan polisi di pulau tertentu tentang bela negara, pertahanan, dan lain sebagainya. Disitu pula mereka dinilai oleh negara; pemuda yang memiliki talent layak mendapat posisi di pemerintahan dan juga beasiswa. Setelah selesai masa perkhidmatan, negara memberi penawaran kontrak kerja di pemerintahan kepada mereka yang mempunyai talent. Selain itu mereka juga disegerakan untuk melanjutkan studi, mereka dapat memilih pendidikan S1, S2, dan S3 di top 10 world universi es baik itu di dalam maupun di luar negeri dengan beasiswa negara. Selama masa studi pula (katakanlah 5-7 tahun) gaji mereka tetap dibayarkan oleh negara, namun akumulasi gaji mereka hanya bisa diambil setelah selesai studi dan telah bekerja selama 5 tahun di posisi yang disepaka . Bayangkan saja, jika gaji fresh graduate di lembaga pemerintahan adalah SGD5.000, - per bulan sedangkan mereka menempuh studi selama 7 tahun, ke ka pulang mereka telah mempunyai deposit senilai lebih dari SGD420.000,- plus tunjangan rumah dan lain sebagainya. Siapa yang dak akan loyal dengan sistem yang seper ini? Semangat kerja pun mbul, op misme akan masa depan yang cerah pun semakin terasa, disusul dengan rasa nasionalisme yang semakin tebal. Hampir dipas kan, dengan cara investasi yang seper ini sebuah negara dak akan kehilangan talent-talent terbaik


7

mereka (brain drain) karena iming-iming gaji besar di negara lain. Jika rasa nasionalisme sudah terpupuk, para pejabat sudah tentu akan memikirkan masa depan rakyatnya, dak akan ada lagi korupsi, dan semua kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah untuk kesejahteraan rakyat. Kesimpulan Demikian cara negara tetangga kita memanen talenta dari generasi mudanya; siapa yang melakukan investasi lebih besar ia akan menuai lebih banyak hasil (tentu jika caranya tepat sasaran dan sesuai dengan zamannya). Pada mulanya, saya dak berfikir bahwa nasionalisme dapat dibeli dengan uang atau tunjangan, namun itulah yang terjadi hampir di se ap negara pada era ini. Definisi nasionalisme akan terus berubah dari zaman ke zaman, dan menurut saya, nasionalisme harus dijalin dari dua arah; yakni, rakyat memberi sumbangsih kepada negara dan negara juga menanamkan investasi masa depan kepada rakyatnya. Dengan demikian nasionalisme akan terus tumbuh karena mbal balik yang posi f dan terus-menerus, bak bola salju yang terus m e m b e s a r ka re n a menggelinding. Ar kel ini adalah sebuah wacana untuk dikaji lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia yang akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2040 ke l a k di m a na m ayor i ta s penduduk adalah usia produk f. Pemuda yang penuh telenta merupakan aset berharga bagi sebuah negara. Saya yakin, apabila lembaga pemerintahan kita – ekseku f, legesla f, dan yudika f – telah satu suara dan juga “bersih”, negara kita akan mampu mengelola generasi muda dengan baik. (-)

4. Wacana Sinergi BUMN dan Lulusan Beasiswa Negara Rio F. Rachman S.S., M.Med.Kom. BPI LPDP, PK-9 Media dan Komunikasi, Universitas Airlangga Surabaya Tim Kreatif MakNews.id

APA penyebab KPU di sejumlah daerah sempat bingung lantaran dak ada calon kepala daerah penantang incumbent? Apa penyebab wacana calon presiden ap lima tahun sosoknya itu-itu saja? Ya, dak adanya sistem regenerasi poli k yang baik (Setya, 2015). Tidak hanya soal poli k dan ranah jabatan kekuasaan. Problem regenerasi melingkupi banyak aspek di beragam lingkup. Tak terkecuali, sektor sosial, budaya, poli k, e ko n o m i , i p te k , h u ku m , p ra n a nta pemerintahan, dan lain sebagainya. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagai simbol penggerak ekonomi nasional, mulai yang paling mikro hingga yang super makro, wajib melek terhadap isu regenerasi. Negeri sebesar Indonesia tentu dak mau terbawa arus globalisasi. Bangsa ini tentu tak mau hanya jadi follower yang kebakaran jenggot saat kondisi poli k beberapa negara memanas dan menyebabkan mata uang luluh lantak. Regenerasi dalam BUMN dak sekadar berkutat pada mekanisme pegawai pensiun dan perekrutan tenaga baru. Lebih dari itu, regenerasi juga menyentuh tentang bagaimana wawasan dan pola pikir BUMN dapat selalu update dan peka terhadap tantangan global. Ar kel ini mencetuskan sekelumit gagasan soal pen ngnya regenerasi wawasan yang dapat disadap dari para bibit unggul bangsa. Regenerasi berupa penyun kkan "darah segar" di nadi sekitar 119 BUMN lintas bidang usaha. Butuh Kerjasama Konkret Sejumlah BUMN besar memiliki semacam lembaga pendidikan khusus; atau paling dak, memiliki beasiswa khusus yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin langsung bekerja di perusahaan tersebut. Tujuannya, menyamakan persepsi dan teknis pekerjaan agar pendidikan dan jobdesc di kemudian hari linier. Lebih dari itu, rekrutmen tenaga muda yang otaknya

masih fresh juga akan menyumbang percepatan di tubuh perusahaan. Tapi, dak semua BUMN punya mekanisme seper itu. Tidak semua BUMN mapan dari sisi keuangan maupun sistem untuk menjalankan pola serupa. Sementara itu, semua BUMN butuh akselerasi dan sun kan darah segar bibit-bibit unggul. Seja nya, anak-anak bangsa berkualitas itu dapat dilacak keberadaannya. Salah satunya dengan melakukan pengiden fikasian di database penerima beasiswa negara. Beasiswa negara ini banyak model dan bentuknya. Misalnya, Bidikmisi, LPDP, Dik (dengan ragam jalurnya), Dik s, Kementerian tertentu, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah penyelenggara beasiswa itu sudah memiliki rantai hubungan yang riil dengan BUMN? Pertanyaan bisa dibalik dengan esensi yang sama, apakah BUMN sudah pernah secara konkret membangun kerjasama dengan penyelenggara beasiswa dalam aspek perekrutan tenaga kerja? Ini bukan kerja satu BUMN saja. Untuk memperoleh efek dan struktur kerjasama maksimal, dibutuhkan intervensi langsung dari kementerian BUMN. Harus ada hitam di atas pu h antara penyelenggara beasiswa negara, dengan kementerian BUMN sebagai penggerak ekonomi bangsa yang memiliki banyak lini dan ruang aplikasi bagi para terdidik. Pada satu k, mekanisme ini juga dak boleh menutup pintu bagi BUMN besar yang sudah mapan untuk tersinergi. Sebab, logika pemikiran holding kementerian BUMN berasas kekeluargaan dan keadilan adalah: jika satu perusahaan terus bertambah besar, dia wajib menggiring perusahaan lain untuk menjadi lebih besar pula (Buwono, 2015).

Kompleksitas Tenaga Terdidik Regenerasi wawasan melalui bibit unggul


8

bangsa diperlukan oleh BUMN agar semakin maju dan modern. Salah satu langkahnya, dengan membuat skema kerjasama riil yang pas antar kementerian BUMN dengan instansi plat m e r a h ( t e r m a s u k ke m e n t e r i a n ) penyelenggara beasiswa. D i s a t u s i s i , n e ga ra d a k p e r l u m e w a j i b ka n p e n e r i m a b e a s i s w a mengabdi pada BUMN. Namun di sisi lain, pada waktu bersamaan, BUMN sudah menyiapkan ruang bagi mereka untuk berkreasi. Biarkan mereka memilih, asal dak terjerumus pada sikap pragma s. Para tenaga terdidik, khususnya para lulusan beasiswa negara, adalah golongan dengan kompleksitas nggi. Baik dalam ar posi f, maupun dalam ar nega f. Posi fnya, mereka memiliki gagasan dan pola pikir yang komplet. Orang-orang ini dak hanya berpikir tentang ilmu pengetahuan yang digelu nya. Namun juga, soal marke ng, komunikasi, dan perluasan jaringan. Sebab, mereka adalah orang-orang yang terpilih dalam

seleksi ketat. Umumnya, dak hanya hard skill yang dijadikan tolok ukur, namun juga so skill. Terlebih lagi bagi mereka yang memang kuliah di luar negeri. Logikanya, orangorang dengan gairah berkompetensi nggi ini bisa diajak untuk memikirkan kemajuan dan modernisasi BUMN dengan pola out of the box. Nega fnya, jika mereka memutuskan untuk berdiri di seberang BUMN. Bayangkan betapa sayangnya jika aset tersebut ternyata dijadikan “alat” oleh pihak asing untuk meraih keuntungan di bumi Indonesia. Beberapa tahun belakangan, berkembang rumor bahwa para WNI lulusan luar negeri dak mau bekerja di dalam negeri (atau akhirnya memilih perusahaan asing) karena gaji yang minim. Namun, isu itu kini sudah bergeser, khususnya bagi lulusan beasiswa negara yang pada proses seleksinya sudah “ditatar ” tentang nasionalisme dan cinta tanah air. Bergeser ke mana? Bahwa mereka memilih berkarya di luar negeri atau di

p e r u s a h a a n a s i n g b u ka n ka re n a persoalan gaji. Namun, karena dak ada perusahaan dalam negeri dengan lowongan yang benar-benar cocok, dan tertarik dengan isi kepala mereka. Mereka yang memiliki mo vasi persaingan nggi, justru dengan senang ha mencari formula khusus untuk membawa kemajuan di perusahaannya. Mereka siap melangkah dari “ k nol” untuk meraih kemajuan bersama. Untuk hal seper ini negara dak boleh abai terhadap skema yang pas dan menguntungkan kedua belah pihak. Demi mempercepat gerakan roda ekonomi di bawah naungan kementerian BUMN. Demi menjaga pemuda unggulan bangsa agar dak menari di panggung milik negara lain.(-)

Referensi Setya, Ashari. 2015. Pilwali Mbingungi dan Gak Masuk Akal. [online] Available at: h p://maknews.id/pilwalimbingungi-dan-gak-masuk-akal/. [Accessed on 26 August 2015]. Buwono, Akbar. 2015. PGN : Sinergi BUMN Kunci Maksimalkan Peran Membangun Bangsa. [online] Available at: h p://beritadaerah.co.id/2015/08/19/pgn-sinergibumn-kunci-maksimalkan-peran-membangun-bangsa/. [Accessed on 28 August 2015]


9

5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian Indonesia : Regulasi Pengembangan Kedaulatan Pangan Sumiyati Tuhuteru, S.P. (photo © metronews.com)

BPI LPDP, PK-25 Master Of Agriculture Gadjah Mada University

(photo © korankabar.com)

(photo © mitraandalanta.com)

(photo © cahyoprayogo.lecture.ub.ac.id)

(photo © bola.kompas.com)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik pertambangan maupun dari sektor pertanian dan perikanan. Harga komoditas global yang nggi membuat sektor sumber daya alam mampu memberi kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi, ekspor dan investasi selama satu dasawarsa terakhir ini. Untuk itu, tujuan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani menjadi salah satu tujuan utama pembangunan Indonesia, dengan mengacu pada keberlanjutan pertanian Indonesia dan kesejahteraan petani. Pertanian sangat berperan dalam pembangunan dan perekonomian di suatu daerah, hal ini sudah dibuk kan dengan mayoritas mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah bertani; terutama untuk daerah pedesaan. Untuk itu, dengan pertanian harapannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk, sebagai sumber pendapatan, sebagai sarana untuk berusaha, serta sebagai sarana untuk dapat merubah nasib ke arah yang lebih baik lagi. Bukan hanya sebagai sebuah pekerjaan kasar yang hanya digelu oleh masyarakat pedesaan atau pelosok. Oleh sebab itu, peranan pertanian dapat diwujudkan dengan meningkatkan

ekonomi petani dengan cara pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Selain itu, besar harapan fokus pemerintah dan kelembagaan daerah dak hanya berpusat pada perkotaan, tetapi merata hingga pelosok daerah. Terkait mengahadapi MEA 2016, Indonesia for Global Jus ce (IGJ) menilai strategi dan persiapan Indonesia berpeluang gagal. Pasalnya, dak adanya perubahan kebijakan guna memaksimalkan perlindungan bagi nelayan dan petani Indonesia. “Faktanya, pertumbuhan penduduk Indonesia masih nggi, konsumsi pangan dan perikanan terus meningkat, serta 80-90% kebutuhan konsumsi p a n ga n d o m e s k I n d o n e s i a bersumber dari produksi petani dan nelayan kecil. Maka, kegagalan melindungi petani dan nelayan akan menggeser MEA 2016 dari peluang menjadi ancaman serius bangsa," kata direktur ekseku f IGJ. Menurut Riza Damanik, MEA 2016 akan mendorong liberalisasi pangan melalui pengintegrasian sektor pertanian dan perikanan negara-negara ASEAN. Sebagai informasi, Indonesia merupakan produsen terbesar ikan di dunia dengan total produksi sebesar 19,56 juta ton pada 2013, dan

Tabel 1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2011 -2014 (Sumber: BPS)

(photo © antaranews.com)

Gambaran umum pertanian di Indonesia


10

produsen terbesar beras di dunia sebesar 36,55 juta ton. Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap kebijakan subsidi belum terjawab dengan solusi yang tepat. Diharapkan adanya penambahan alokasi subsidi benih dan pupuk bagi petani dan pemberian subsidi BBM yang tepat sasaran kepada nelayan dapat dikembangkan. “Untuk itu, diperlukan strategi baru perlindungan petani dan nelayan Indonesia, terlebih dalam menghadapi MEA 2016. Strategi yang dimaksud melipu intervensi negara dalam mereduksi hegemoni industri dalam kegiatan hulu-hilir pertanian maupun perikanan rakyat,” pungkas Riza. Investasi Sektor Pertanian Sektor pertanian mempunyai peranan yang pen ng juga strategis dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain: meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta op malisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domes k Bruto (anonim, 2015). Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Selama periode 2010-2014, rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 10,26% dengan pertumbuhan sekitar 3,90%. Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor pertanian (Tabel 1). Pada periode yang sama, sektor pertanian menyerap angkatan kerja terbesar walaupun ada kecenderungan menurun (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019). Fakta di lapangan berbicara lain “Orang bilang tanah Indonesia adalah tanah surga yang memiliki banyak lahan subur dan makmur.” Bisa dikatakan berbagai macam tanaman bisa tumbuh subur di tanah air kita. Tapi, yang jadi pertanyaan adalah kenapa hal tersebut dak berbanding lurus dengan nasib para petani? Menurut Doddy Rosadi (2015), justru barubaru ini Kementerian Pertanian menyatakan se ap tahun ada sebanyak 500 ribu rumah tangga petani yang beralih profesi ke bidang pekerjaan lain karena selalu mengalami kerugian. Kendala Pembangunan Pertanian Salah satu kendala di sektor p e r ta n i a n y a n g p e r l u mendapatkan perha an a d a l a h s t a t u s ketenagakerjaan. Saat ini rendahnya minat generasi muda untuk menjadi petani sudah sangat

rendah. Selain itu, keturunan dari petani pun diharapkan untuk dak melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani karena tak ada imbalan yang diperoleh sesuai tenaga yang sudah tersalurkan. “Hanya untuk makan sehari-hari sudah bisa untuk hidup dan sebagai modal untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih nggi, bukan dengan kembali menjadi petani seper mereka,” ujar petani. Dikarenakan adanya momok yang mengatakan bahwa pendapatan petani seringkali sangat rendah (hasil penjualan pasca panen mereka bahkan di bawah harga pasaran) dibandingkan status seorang sebagai pegawai negeri sipil, hal ini menyebabkan terjadinya pengalihan minat petani menjadi seorang pegawai negeri yang mampu menghasilkan upah lebih tanpa harus berpanas-panasan dalam suatu lahan. Padahal, menurut Antonie Clianto (2015), diketahui bahwa pertanian merupakan tonggak bangsa dalam pembangunan bangsa ini, yang sangat berpengaruh terhadap dinamika perekonomian bangsa. Selain itu, salah satu penyebab pergeseran minat dari s e k t o r p e r t a n i a n ke n o n - p e r t a n i a n a d a l a h perkembangan teknologi-teknologi yang dapat menggan kan tenaga kerja. Hasil riset yang dilakukan oleh Tri Yulianingsih (2014), menyebutkan bahwa semakin sempitnya kesempatan kerja di sektor pertanian kini mulai menyadari tentang pen ngnya sektor nonpertanian sebagai salah satu alterna f untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sekelompok besar masyarakat pedesaan, khususnya kelompok buruh tani dan petani sempit. Peran Tenaga Kerja Dalam Meningkatkan Kedaulatan Pangan Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2010 sekitar 38,69 juta tenaga kerja atau sekitar 35,76% dari total penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2014 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan menjadi 35,76 juta tenaga kerja atau 30,27% (Tabel 2). Data penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier dari sistem dan usaha agrobisnis. Bila tenaga kerja dihitung dengan yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar.

Tabel 2. Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2010 - 2014 (Sumber: BPS)

Tahun

Laki-laki

Pertumbuhan Perempuan Pertumbuhan

Total Tenaga Kerja Pertumbuhan

(Orang)

(%)

(Orang)

(%)

(Orang)

(%)

2010

23,781,233

0.36

14,917,810

0.02

38,699,043

0.23

2011

22,482,257

-5.46

14,059,715

-5.75

36,541,972

-5.57

2012

22,339,140

-0.64

14,090,110

0.22

36,429,250

-0.31

2013

22,095,252

-1.09

13,952,948

-0.97

36,048,200

-1.05

2014

21,903,063

-0.87

13,866,085

-0.62

35,769,148

-0.77

Rerata 22,520,189

-1.54

14,177,334

-1.42

36,697,523

-1.49


11

Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada di pedesaan dan memiliki budaya kerja keras merupakan potensi tenaga kerja di sektor pertanian. Sampai saat ini, lebih dari 35 juta tenaga kerja nasional atau 26,14 juta rumah tangga masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Besarnya jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing. Apabila keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat di ngkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat bekerja dan berusaha di sektor produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi aneka komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan dunia. Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan pertanian dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian terla h di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitas pertanian dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi serta pemberian jaminan pasar yang baik (Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019). Di samping itu kegiatan-kegiatan yang berorientasi pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan terutama petani terus menjadi prioritas, mengingat masih rendahnya kualitas SDM pertanian. Secara kuan ta f tenaga kerja untuk sub-sektor tanaman pangan tersedia di pedesaan, namun ada kecenderungan terus menurun dengan indikasi semakin berkurangnya minat generasi muda di pedesaan untuk bekerja di subsektor pertanian. Dari sisi sumber daya manusia, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian, karena mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang nggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan penyuluhan pertanian. Arah Kebijakan & Langkah Operasional Salah satu regulasi pengembangan yang dapat dilaksanakan demi terwujudnya kedaulatan pangan maupun untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah mengembangkan sektor pertanian yang berpatokan pada berbagai macam regulasi terkait dengan lingkungan. Selain itu, untuk mencapai sasaran yang diharapkan perlu adanya regulasi dan kelembagaan untuk mensinergikan upaya tersebut. Oleh karena itu, regulasi dan kelembagaan dalam pembangunan pertanian mutlak diperlukan, sehingga dak ada tumpang ndih kewenangan dan peraturan perundangan dari masing-masing kementerian/lembaga. Regulasi juga diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas usaha di bidang pertanian. Pengembangan pertanian memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif

melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan ďŹ skal dan moneter (Renstra Kementerian Pertanian 20152019). Langkah strategis yang harus dilakukan saat ini dan ke depan adalah dengan menggerakkan seluruh elemen di daerah melalui peran strategis pimpinan daerah (gubernur, bupa /walikota, sampai ke ngkat kepala desa), sehingga program peningkatan produksi beras nasional yang telah didukung dengan fasilitas teknologi, sarana dan prasarana produksi, dan dukungan pembiayaan manajemen, dapat menjadi suatu gerakan nasional dengan satu komando kebijakan untuk dapat mencapai dan mengawal peningkatan produksi beras nasional secara berkelanjutan, yakni menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepen ngan rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme. Pendekatan kelembagaan telah menjadi strategi pen ng dalam pembangunan pertanian. Pengembangan kelembagaan pertanian baik formal maupun informal belum memberikan peran berar di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan dan pela han, Balai Peneli an dan Penyuluhan (BPP) belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Koordinasi dan kinerja lembaga keuangan perbankan perdesaan masih rendah. Koperasi perdesaan yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan op mum. Keberadaan lembaga-lembaga tradisional di perdesaan belum dimanfaatkan secara op mal. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah pola pikir generasi muda kita terhadap pertanian, bahwa masih banyak potensi pertanian yang masih belum dimanfaatkan secara op mal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi muda pada sektor pertanian adalah membangun pertanian lebih maju dan modern berbasis inovasi dan teknologi yang mampu menghasilkan produk yang bernilai ekonomi nggi yang dibutuhkan pasar. Membangun pertanian dalam konteks industri yang sarat dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian yang bernilai ekonomi nggi. Pendekatan bioindustri pertanian menjadi sangat pen ng dan strategis untuk mewujudkan upaya tersebut. Jika kondisi tersebut dibangun di p e rd e s a a n , t e n t u a ka n m e n c i p ta ka n ko n d i s i perekonomian yang meningkat dan sangat menarik bagi generasi muda untuk dak lagi pergi ke kota, bahkan generasi muda yang telah bekerja di perkotaan akan kembali ke perdesaan. Untuk itu beberapa hal pen ng harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu : 1. Membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian di perdesaan, 2. Meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian yang lebih baik, dan


12

3. Mendorong kebijakan dan regulasi yang tepat terutama dalam kaitannya dengan kepas an mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan para generasi muda. Langkah konkret untuk ini antara lain menjaring sebanyak-banyaknya siswa baru di sekolah-sekolah nggi pertanian dalam lingkup Kementerian Pertanian, yang diiku dengan perbaikan kurikulum dan revitalisasi sarana prasarana belajar mengajar termasuk SDM pengajar. Dalam rangka penguatan dan peningkatan kapasitas SDM pertanian tersebut, maka dapat dilakukan upaya-upaya diantaranya sebagai berikut: Ÿ Pengembangan dan penguatan kapasitas penyuluh pertanian polivalen di ngkat lapangan dan penyuluh pertanian spesialis di ngkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat.

Ÿ Pela han bagi aparatur sesuai

dengan kebutuhan jenjang karir PNS. Ÿ Pela han bagi pengelola P4S dan pengurus gabungan kelompok tani (gapoktan) serta pelaku agrobisnis lainnya dilaksanakan oleh UPT Pela han, sedangkan pela han bagi petani pelaku utama agrobisnis dilaksanakan oleh P4S. Ÿ Pendidikan Tinggi bidang Rumpun Ilmu Haya Pertanian (RIHP) diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional Penyuluh Pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Paramedik Veteriner, Pengawas Bibit Ternak (PBT), Pengawas Mutu Pakan Ternak, Pengawas Mutu Hasil Pertanian, fungsional informasi pasar dan karan na. Ÿ Pendidikan menengah kejuruan di bidang pertanian diarahkan untuk memenuhi tenaga teknisi m e ne ngah dan m e ny iapkan

6. ASN & Dilema Meritokrasi M. Rizki Pratama, S. IAN. BPI LPDP, PK-19 Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada

Reformasi birokrasi hanyalah means (metode/alat/cara dalam mencapai sesuatu) dibanding ends (hasil/tujuan/akhir dari penggunaan means). Birokrasi harus menjadi sehat dan dak terus menerus merugikan kita, seper red-tape (salah satu penyakit dalam birokrasi yang dianalogikan sebagai pita merah yang berbelit-belit dan rumit), patologi bahkan rent-seeking (perburuan rente, adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pengusaha atau aktor lain yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari sebuah kebijakan publik, misalkan kolusi dan monopoli terselubung). Melihat aktualitas dari semangat reformasi birokrasi tentu ideologi yang sering berada di pucuk sistem adalah penegakan meritokrasi untuk para aparatur sipil negara (ASN) yang terlebih dahulu didasari oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu amanat dari UU ASN sebagai acuan utama civil service reform adalah terlembaganya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Komisi tersebut menurut Prof. Mi ah Thoha (2014) salah satu tujuannya ialah menjamin terwujudnya merit system dalam kebijakan dan manajemen ASN.

wirausahawan muda di bidang pertanian. Harapannya semoga menjadi acuan p e m b a n g u n a n p e re ko n o m i a n bangsa serta mencapai kedaulatan pangan bahkan sebagai pasar impor dengan mengedepankan kesejahteraan petani. (-) REFERENSI Riza Damanik, 2015.Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan Perlu Terobosan. [online] Available at: h p://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5364440aef459/ha dapi-mea-sektor-ketenagakerjaan-perlu-terobosan [diakses pada 11/11/2015] Anonim, 2015. Mengapa Pertanian Itu Begitu Pen ng. [online] Available at: h ps://adventuspratama.wordpress.com/mengapa-pertanianitu-begitu-pen ng-di-perekonomian-indonesia/ [diakses pada 11/11/2015] Doddy Rosadi, 2015. Se ap Tahun Setengah Juta Petani Beralih Profesi. [online] Available at: h p://www.suara.com/bisnis/2015/03/12/112428/se aptahun-setengah-juta-petani-beralih-profesi [diakses pada 11/11/2015] Antonie Clianto, 2015. Kondisi Pertanian Indonesia. [online] Available at: h p://antoniclianto.kinja.com/kondisi-pertanianindonesia-tahun-2015-1701689134 [diakses pada 11/11/2015] Tri Yulianingsih, Malang, 2014. Faktor Beralihnya Tenaga Kerja di Sektor Pertanian. [online] Available at: h p://www.researchgate.net/publica on/50515514 [diakses pada 11/11/2015]. Renstra Pertanian, 2015. RENSTRA. [online] Available at: h p://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_2015-2019.pdf [diakses pada 11/11/2015]

Lembaga non-struktural tersebut jelas untuk menegakkan meritokrasi. Akan tetapi meritokrasi yang dilakukan di Indonesia tentu harus berbeda, sebab meritokrasi tak selamanya relevan dengan situasi sosial negara. Pengalaman negara lain dapat dijadikan rujukan. Pengalaman Perancis yang memang dikenal sebagai color-blind state menjadi refleksi bersama ke ka ideologi mengharuskan dak adanya perbedaan perlakuan terhadap warga negara (non-diskriminasi) justru membuat etnis dan ras tertentu menjadi terdominasi oleh kelas lainnya (diskriminasi), bahkan dalam kerja sehari-hari birokrasi terjadi tensi nggi antara para street level bureaucrat dengan kelas warga lainnya seper para migran yang seringkali meletupkan aksi-aksi brutal di jalanan, birokrasi yang dak representa f di Perancis membuat segelin r kelompok saja yang mampu membawa kepen ngannya di atas kepen ngan orang lain, menimbulkan ke mpangan yang membuat banyak warga negara yang dak terakomodir kepen ngannya. Studi dari Meier & Hawes (2009) juga menunjukkan sistem rekrutmen dan seleksi yang ketat telah menghasilkan kelompok homogen di sektor publik yaitu kelompok kelas menengah atas akibatnya dak responsif pada kelas lain apalagi jika ditambah dengan posisi pres se pekerjaan di sektor publik yang lebih nggi di Perancis. Meritokrasi menghadirkan pisau bermata dua, menghadirkan dilema.


13

(illustration © thecompanion.in)

“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” - Albert EinsteinSebuah potret tentang sistem pendidikan dan sistem dunia kerja dewasa ini

Fakta tersebut patut menjadi per mbangan bagi para pembuat keputusan di KASN, ke ka berharap banyak pada sistem merit yang mampu menghasilkan aparatur birokrasi yang kompeten dan netral. Akan tetapi sejauh ini dak ada buk yang benar-benar oten k untuk m e n gata ka n b a h wa b i ro k ra s i merupakan organisasi yang dapat 100% netral. Akibatnya sudah sering kali aparat terseret oleh kepen ngan golongan tertentu yang berakibat munculnya pola-pola predatorian alias perburuan rente. Harus diingat bahwa republik ini bukan berdiri di tanah Jawa, pengalaman kehancuran komunitas lokal akibat penyeragaman nama desa dapat menjadi pemahaman bahwa masing-masing daerah yang begitu kaya dan luas memiliki kultural sendiri yang tak dapat dipaksakan perubahan secara fundamental karena memakan waktu yang telalu lama dan cenderung berbiaya besar sebab menyangkut konflik yang tak dapat diprediksi secara pas nilai kerugiannya. Hal ini juga disepaka oleh Hughes (1994) bahwa harus ada cultural milieu (lingkungan budaya) dalam administrasi publik sebagai kerangka reformasi birokrasi.

Seleksi jabatan pimpinan nggi yang terbuka berbasis kompetensi tentu sangatlah baik. Akan tetapi patut untuk dicatat apakah calon-calon yang tersedia hanya mewakili golongan tertentu seper etnik dan ras tertentu yang cenderung sudah mapan dari masa lalu, jika seper itu maka otoma s pembangunan yang akan dieksekusi oleh birokrasi nan nya akan cenderung eksklusif membiarkan para kaum inklusif untuk mendapatkan getah pahitnya saja. Daerah Timur Republik ini masih ada fenomena “palang” yaitu bentuk protes masyarakat lokal pada kinerja birokrasi dengan menutup kantor birokrasi secara sepihak karena dianggap dak mampu m e n ga ko m o d a s i ke p e n n ga n mereka. Birokrasi harus representa f jika nilai berbeda antar kelompok maka birokrat melaksanakan diskresi (Meier & Hawes, 2009).

diinginkan. Karena pada dasarnya adil bukan penyamarataan, tetapi juga mendorong golongan yang berada di bawah untuk tetap mendaptkan akses yang digunakan untuk mengakomodasi kepen ngan bersama. Republik ini jelas harus diatur dengan cara-cara yang dis nc ve. Pola-pola khusus sudah terjadi ke ka para pakar banyak berbicara tentang hubungan relasi pusat dengan daerah melalui konsep desentralisasi yang asimetris, bukan penyeragaman kebijakan struktural yang tentu sulit untuk dipaksakan menjadi satu kesuksesan yang nyata. Pengalaman banyak negara dak ada kebijakan yang fits at all. Tulisan ini hanya sebuah ide filosofis bukan teknis agar para pengambil kebijakan dak berharap terlalu nggi pada konsep meritokrasi sebab Republik ini sudah jelas memiliki nilai-nilai yang akan saling bertabrakan dengan konsep merit, menimbulkan konflik berkepanjangan yang tentu menjadi kontraproduk f dengan semangat reformasi birokrasi sendiri. Masalah aksesibilitas sumber daya di Republik ini masih menjadi masalah tanpa adanya kebijakan afirma f dalam birokrasi sehingga akan menimbulkan dominasi kelompok tertentu yang memang mendapatkan kemudahan dalam penguasaan akses. Jangan sampai kebijakan reformasi birokrasi dangan asas meritokrasi justru membuat kelompok kecil lain tenggelam dalam n d a s a n ke l o m p o k d o m i n a n . Ingatlah birokrasi diciptakan untuk memudahkan masyarakat bersamaan dengan menciptakan keadilan dan perlindungan bukan sebaliknya. (-)

Kebijakan Afirma f Sangat perlu untuk menelurkan kebijakan afirma f yang bervariasi untuk menghargai diversitas di Indonesia, meskipun tetap dalam koridor berbasis merit akan tetapi juga memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh calon ASN untuk mendapatkan jabatan yang (illustration © gilad.co.uk)


14

7. Pemanfaatan Bonus Demografi melalui Pemberdayaan Masyarakat Usia Produktif Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, permasalahan Rizki Ananda, S.Pd. BPI LPDP, PK-42 Master of Applied Linguistics, University of New South Wales, Australia Independent Researcher and Writer dan Freelance English Teacher

Indonesia sebenarnya merupakan sebuah negara yang memiliki keuntungan sangat banyak. Selain dianugerahi belasan ribu pulau, Indonesia dilengkapi dengan keberagaman budaya, agama, dan sumber daya alam, Indonesia juga diproyeksikan akan mendapatkan bonus demografi. Sebuah negara akan memperoleh bonus ini ke ka angka penduduk dengan usia produk f (15-64 tahun) melebihi angka penduduk yang dak produk f. Antara tahun 2020 dan 2030, penduduk dengan usia produk f di Indonesia mencapai 70% dari total keseluruhan penduduk Indonesia. Data kuan ta f ini diperkuat oleh peneli an yang dilakukan oleh Badan Pusat Sta s cs (BPS) dengan menggunakan parameter Depedency Ra o (angka beban ketergantungan). Peneli an ini menemukan bahwa dependency ra o mengalami fluktuasi dari 50.5% pada tahun 2010 menjadi 48.6% pada tahun 2015 dan akan terus mengecil pada tahun 2020 hingga 2030. Hal tersebut berar apabila dikelola dengan baik, maka mayoritas masyarakat Indonesia di tahun 2020-2030 akan mampu menanggung kehidupan minoritas masyarakat Indonesia. Seandainya ini terjadi, sudah barang tentu masyarakat Indonesia akan menikma kesejahteraan seper yang diharapkan oleh bapak pendiri bangsa ini yang diterakan dalam pembukaan UUD 1945, pada alenia keempat (4). Namun apa yang diinginkan oleh pendiri bangsa ini untuk masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan. Salah satu buk nya adalah meningkatnya lulusan Sarjana di Indonesia tanpa diseimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Maka outcome dari fenomena ini adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang hampir semua dari mereka adalah lulusan sarjana yang merupakan golongan masyarakat dengan usia produk f. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan bahwa jumlah pengangguran sarjana pada Bulan Agustus 2014 (495.143 orang), lebih nggi dari bulan Agustus 2013 (434.185 orang), dan Agustus 2012 (445.836 orang). Peningkatan pengangguran sarjana ini merupakan kecemasan bagi masyarakat Indonesia dan ini harus segera ditanggulangi sebelum tahun 2020. Agar permasalahan ini bisa teratasi, kita perlu memahami faktor-faktor yang menyebabkan fenomena pengangguran “intelektual/terdidik” terjadi. Pertama, masih banyak lulusan perguruan nggi menyelesaikan studi tanpa dibekali kompetensi yang sesuai dengan permintaan pasar kerja. Menurut mantan Menteri

terbesar yang menyebabkan peningkatan tren pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun adalah kurangnya kompetensi yang diharapkan oleh pasar. Sebagai contoh konkret beliau juga menambahkan bahwa pada tahun 2010 sendiri terda ar sebanyak 4,12 juta pencari kerja, namun lowongan kerja yang tersedia 2,38 juta, akan tetapi yang terisi hanya sekitar 1,62 juta orang, atau 70% dari angka total. Merujuk kepada sta s k ini, kita juga dak bisa menafikan bahwa jumlah lapangan pekerjaan hanya mencapai setengah dari jumlah total pencari kerja. Akan tetapi, ironisnya lagi, dari 2,38 juta lowongan kerja yang tersedia, hanya 1,62 juta orang yang memenuhi kualifikasi. Ar nya, kompetensi lulusan perguruan nggi yang diharapkan oleh pasar memang belum memadai. Akar permasalahan lain yang menyebabkan tren pengangguran di Indonesia semakin meningkat adalah pola pikir (mindset). Berdasarkan diskusi dengan kolega dan pengamatan di lapangan, penulis bisa menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat di Indonesia, khususnya mahasiswa, masih menganggap bahwa mereka hanya memiliki dua pilihan dalam hidup: menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk makmur atau menganggur. Ternyata hipotesis ini dibuk kan oleh data ilmiah yang membuk kan bahwa terjadi peningkatan pelamar PNS dari 1.612.854 pelamar di tahun 2013, menjadi 2.603.780 orang pada tahun 2014, kata kepala

(photo © kemlu.go.id)

(photo © cirebontrust.com)

Suasana antrian pendaftaran dan ujian CPNS


15

Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik (HKIP) KemenPAN-RB Herman Suryatman. Peningkatan jumlah pelamar PNS yang hampir satu juta orang dalam dua tahun terakhir menjadi buk bahwa pembenahan pola pikir merupakan keharusan yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pengangguran di Indonesia. Faktor terakhir adalah kurikulum perguruan nggi yang berorientasi kepada akademik yang berlebihan (Excessive Academic-Oriented Curriculum). Pernyataan ini seraya dengan ungkapan Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel Rosyid yang berargumentasi bahwa, “Kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran akademik, hasil akhirnya membuat mental sarjana hanya mencari kerja saja, mereka dak memikirkan cara untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.” Kalau kita lihat di lapangan, pernyataan Daniel Rosyid ada benarnya. Contohnya, jurusan pendidikan Bahasa Inggris di salah satu Universitas di Aceh cenderung mengajarkan bagaimana lulusannya bisa menjadi guru PNS yang baik. Sebenarnya tujuan ini sudah sangat benar, akan tetapi lulusan perlu juga dibekali kompetensi untuk mampu membuka lapangan kerja setelah lulus, seper membuka kursus-kursus, pusat pendidikan, dan konsultan pendidikan, sehingga lapangan pekerjaan akan menjadi lebih luas. Solusi untuk Diper mbangkan Setelah memaparkan permasalahan diatas, penulis mengajukan beberapa solusi yang hendaknya diper mbangkan oleh pemerintah dan semua pihak terkait. Solusi pertama adalah meningkatkan kompetensi lulusan S1. Sebelum merumuskan kurikulum, pemerintah sebaiknya merancang pemetaan kebutuhan sesuai yang diharapkan pasar. Contohnya, pada akhir tahun 2015, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tentu salah satu kebutuhan yang dibutuhkan oleh semua lulusan adalah kecakapan komunikasi dalam bahasa Inggris dan kecakapan inilah yang harus dimiliki oleh semua lulusan S1 di Indonesia. Kompetensi selanjutnya yang harus di ngkatkan adalah kemampuan dalam menghasilkan barang-barang yang berkualitas nggi dan kemampuan dalam memberikan pelayanan yang maksimal (excellent service) bagi yang berprofesi s e b a g a i pemberi jasa, (illustration © consulthingz.com) seper dokter dan guru. Solusi yang kedua adalah m e n a n a m ka n m o v a s i wirausaha kepada se ap lulusan S1,

dengan memasukkan mata kuliah yang berorientasikan bisnis, seper “English for Business” pada jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Ke ka usaha-usaha mulai menjamur, maka akan terbukanya peluang kerja yang luas bagi lulusan S1 dan situasi kehidupan masyarakat di Indonesia akan stabil. Berdasarkan Kementrian Keuangan, untuk mencapai situasi ideal di Indonesia, maka maka 2% dari total penduduk harus menjalankan usaha yang mampu membuka lapangan kerja. Ini seharusnya menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Joko Widodo yang menggembargemborkan Revolusi Mental. Jadi, sudah seharusnya pemerintah merumuskan kurikulum pada ngkat perguruan nggi yang mampu merubah mental mahasiswa dari mental pencari kerja kepada mental mendirikan usaha sendiri. Solusi yang ke ga adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi karena diperkirakan bahwa 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lebih dari 350.000 kesempatan kerja. Beberapa cara untuk m e n i n g kat ka n p e r t u m b u h a n e ko n o m i a d a l a h memberdayakan lulusan sarjana (university graduate empowerment) dengan memberikan pela han-pela han dalam mengolah sumber daya alam yang terdapat pada tempat mereka nggal, seper bagaimana untuk mendiversifikasi produk, dan pela han dalam meningkatkan kemampuan pemasaran (marke ng skill). Langkah lain adalah memberikan dukungan kepada lulusan sarjana yang menggelu usaha usaha mikro, seper memudahkan proses dalam mengambil kredit usaha sehingga usaha yang dijalani masyarakat akan mudah untuk berkembang dan pada akhirnya mampu berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia yang tercinta ini. Meskipun masih banyak solusi yang bisa diambil oleh pemerintah, akan tetapi ke ga solusi di atas sebaiknya diper mbangkan oleh pemerintah untuk diimplementasikan. Sehingga diharapkan bonus demografi yang akan dinikma oleh Indonesia akan benar-benar menjadi sebuah anugrah yang bisa membawa kesejahtraan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia. (-)


16

(illustration © jobcircle.pk)

8. Cerdas Saja Tidak Cukup

tersebut didapat tujuan utama manajemen talenta paling banyak adalah sebagai berikut:

Abdul Aziz Luthfi, S.Pd.I. BPI LPDP, PK-25 Magister Manajemen, Universitas Indonesia Supervisor Recruitment and Training Development

Ÿ Mengembangkan karyawan yang berpotensial nggi,

Is lah manajemen talenta sudah semakin umum dan populer dalam pengembangan sebuah organisasi. Menurut Smilasnky dalam bukunya Developing Execu ve Talent, manajemen talenta itu pen ng karena berkaitan dengan memosisikan orang yang tepat di pekerjaan yang tepat. Kesesuaian tersebut berhubungan dengan beberapa faktor yang harus diperha kan, yaitu mulai dari bagaimana merekrut, menempatkan, mengembangkan, dan menjaga kinerja karyawan yang berkompetensi dan berpotensi nggi.

Ÿ Mengembangkan calon senior manajer di masa Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ

depan, Memungkinkan tercapainya tujuan strategis perusahaan, Mempersiapkan kebutuhan keterampilan di masa depan, Menjadi daya tarik dalam merekrut key person, Mempertahankan karyawan kunci (key staff).

Faktor pertama tersebut merupakan pintu pertama karyawan memasuki organisasi. Perekrutan juga langkah yang paling kecil costnya bila dibandingkan faktor yang lain. Menurut Douglas Bray, seorang filsuf di bidang industri, lebih fokus pada perekrutan adalah lebih baik dari pada fokus pada pengembangan. Ini karena pengembangan bukanlah tugas yang mudah akibat beberapa atribut kepribadian yang dak dapat dikembangkan. Oleh karena itu merekrut mereka dengan keterampilan yang tepat lebih efisien bagi organisasi daripada mengembangkan keterampilan mereka. Sebuah survei yang diselenggarakan Chartered Ins tute of Personal and Development di London pada tahun 2006 menunjukkan respon posi f terhadap manajemen talenta. Dari survei

Hasil survei Chartered Institute of Personal and Development di London, 2006


17

Tantangan-tantangan Mempunyai orang-orang yang berkompetensi dan berpotensial merupakan salah satu konsep ideal bagi sebuah organisasi. Seringkali, kualifikasi kompetensi didasarkan p a d a n g ka t p e n d i d i ka n d a n prestasinya. Menurut Guarino (2007), kecerdasan saja dak cukup s e k a r a n g , ke c e r d a s a n h a n y a merupakan salah satu bagian. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi sebuah organisasi dalam mengisi tubuhnya sesuai prinsip the right person for the right job. Ta nta n ga n b e r i ku t nya a d a l a h mengingat bahwa sebenarnya potensi, kinerja dan kesiapan bukanlah hal yang sama. Mendapatkan karyawan dengan kompetensi dan potensi nggi akan membawa kesenjangan ke ka dak

diiku dengan bagaimana mempersiapkan mereka. Terkait hal tersebut, Bussi dan McMurrer mengatakan mereka yang berpotensi membutuhkan mentoring, tugas tambahan, dan pengembangan personal untuk membangun keterampilan in mereka. Selanjutnya, mendapatkan dan mengembangkan para berpotensial saja masih belum cukup. Organisasi m a s i h m e m p u ny a i ta n ta n ga n membangun komunikasi untuk menarik para super talent dan mempertahankan yang sudah ada. Smilansky dalam bukunya D e v e l o p i n g E x e c u v e Ta l e n t berpendapat bahwa dengan pengelolaan karir dan pengembangan potensi bisa menarik dan mempertahankan the best talent di tengah persaingan yang nggi

9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia Terhadap Lulusan Pendidikan Tinggi (S2 & S3) Handika Prasetya Dwiyasni, S.T., M.Sc. BPI LPDP, PK-09 Sustainable Process Engineer, University of Twente bersama Tim Divisi Talent Hub & Strategic Partnership, MATAGARUDA

Sejak pengelolaan beasiswa oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) berjalan, kesempatan untuk mendapatkan beasiswa master maupun doktoral terbuka untuk semua kalangan. Hingga kuartal I 2015, total penerima beasiswa LPDP sudah mencapai 6.800 orang. Salah satu poin yang unik dari beasiswa ini adalah dak adanya ikatan kerja setelah kelulusan penerima beasiswa dan hanya diikat oleh klausul “kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi” pada kontrak. Kondisi yang cukup “fleksibel” ini menjadi daya tarik tersendiri, terbuk dari jumlah pelamar dan penerima beasiswa yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini pun sejalan dengan target awal LPDP untuk meningkatkan rasio lulusan pendidikan master dan doktoral terhadap jumlah penduduk, dimana Indonesia sendiri masih ter nggal dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, seper Singapura dan Malaysia. Jika target kuan tas telah terpenuhi, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi sumber daya manusia tersebut sesuai dengan kapasitas dan keahlian mereka, sesuai dengan roadmap jangka panjang pembangunan negara. Namun tujuan di atas bukanlah hal yang mudah, mengingat belum adanya arahan khusus dari pemerintah mengenai keahlian apa yang dibutuhkan untuk

masa sekarang. Ini salah satunya bisa berupa bentuk penghargaan atas kinerja mereka. Kesimpulan Untuk mencapai sebuah organisasi dengan kinerja nggi perlu didukung karyawan-karyawan yang berkompetensi, dan berpotensi nggi. Kecerdasan dan prestasi saja dak cukup untuk mengukur kesiapan mereka terjun di dunia kerja. Karyawan yang menjadi kunci organisasi tersebut harus terus didukung perkembangannya baik dari kompetensi maupun jenjang karir mereka. Selain itu, keberadaan para key people ini perlu dijaga komitmen dan mo vasi mereka dengan komunikasi yang baik dari organisasi melalui penghargaan dan pengakuan. (-)

menunjang rencana jangka p a n j a n g tersebut. Hal ini diperparah pula d e n g a n kenyataan bahwa rata-rata keputusan seseorang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang master maupun doktoral didasarkan pada personal intererst, yang dapat dirangkum menjadi ga paradigma umum, yaitu: 1. Keinginan untuk menekuni dunia akademik baik sebagai peneli maupun dosen pengajar, 2. Terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan setelah menyelesaikan ngkat sarjana ke ka proses seleksi pekerjaan belum selesai ataupun belum mendapat panggilan kerja, dan 3. Keinginan untuk menaikkan daya saing personal (bagi yang sudah bekerja) dalam menghadapi kompe si kenaikan jabatan di dunia kerja dimana jenjang pendidikan merupakan salah satu faktor per mbangan yang pen ng. Ke ga paradigma di atas memiliki nilai posi f dan nega fnya masing-masing. Poin pertama memiliki ngkat linearitas keilmuan yang paling nggi dibandingkan poin lainnya. Namun perlu diingat jika kebutuhan posisi dosen pengajar, peneli , ataupun jumlah universitas yang ada lebih sedikit dibandingkan penambahan jumlah lulusan S2 maupun S3, maka akan terjadi kondisi oversupply yang dapat berakibat


18

“Boleh saja rekrut kualifikasi S2, tapi bukan di bidang teknis. Tidak ada profesor sekalipun di Indonesia yang lebih tahu masalah perkeretaapian daripada orang kereta api itu sendiri. Jadi level S2 yang dicari lebih ke orang dengan kualifikasi dan pengalaman di bidang business development mengingat aset kereta api yang magnificent,” Vice President PT KAI.

(illustration © bannerenergy.net)

nega f terhadap career path di dunia akademik dan lembaga peneli an. Poin kedua berada pada posisi yang cukup riskan, mengingat penerima beasiswa seper ini dapat “terjerumus” untuk terjun ke dunia akademik tanpa direncanakan maupun mencoba untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan lulusan sarjana karena sama-sama belum memiliki pengalaman kerja. Poin nomor ga memiliki risiko yang tergolong paling rendah mengingat mereka sudah memiliki pengalaman kerja dan sudah lebih mengetahui kondisi pasar yang ada. Berdasarkan paparan di atas, sudah siapkah pasar kerja di Indonesia menyerap seluruh potensi-potensi di atas? Mampukah kita keluar dari paradigma di atas dan mulai merambah pemanfaatan exper se yang sesuai dengan studi yang diambil para penerima beasiswa? Tulisan ini akan memberikan ulasan singkat terkait ekspektasi pasar kerja terhadap lulusan S2 dan S3 (di luar dunia akademik dan lembaga peneli an) dari beberapa pe nggi instansi-instansi yang berpengaruh di Indonesia, seputar apakah mereka tertarik untuk merekrut lulusan minimal S2 dan posisi apakah yang cocok dengan kualifikasi pendidikan tersebut. Pengalaman Kerja Lebih Diutamakan Dibandingkan Level Pendidikan “Tertarik sekali jika ada talent pool S2, apalagi link nya sudah terbentuk tanpa harus jalur yang resmi (publikasi di linkedin / jobstreet dsb - red). Sudah berpengalamankah? Dapat diu lisasi untuk keperluan tenaga ahli dan merancang grand design jangka panjang,” Andi Wibisono - Direktur SDM & Umum PTPN IV. “Lulusan S2 sebaiknya sudah berpengalaman kerja, karena dengan begitu mereka tahu jurusan yang mereka ambil untuk keperluan apa berdasarkan apa yang mereka alami selama di dunia kerja, bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja atau meneruskan apa yang mereka ambil di S1,” Iman Nugroho Soeko-Direktur Treasuri BTN. “Untuk Oil and Gas, yang lebih ditekankan adalah pengalaman kerja. Lulusan S2 memang memiliki added value, tetapi secara jalur masuk akan sama saja berdasarkan lamanya bekerja. Dan yang disebut berpengalaman kerja minimal 5 tahun untuk oil and gas,” Tia Nas Ardianto - Senior Manager Talent Management Division Medco Energy.

“AECOM tertarik untuk merekrut lulusan S2, terutama ke ka sang pelamar telah memiliki pengalaman kerja. Posisi atau jabatan sesuai dengan jurusan dan pengalaman kerja kandidat. Kami memiliki beberapa business lines (building & places, transporta on, building engineering, environment, energy, water & urban development) dan masing-masing jabatan dari business lines tersebut memiliki persyaratannya,” Heryan Aulia Dewi – Human Resources AECOM Indonesia. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk merekrut karyawan yang berpengalaman karena sudah terbuk hasil kerjanya di dunia profesional, terlepas dari seberapa nggi latar belakang pendidikannya. Sisi lainnya yang dapat dipe k adalah pola dan etos kerja karyawan yang berpengalaman sudah terbentuk, sehingga meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dalam hal pengembangan SDM perusahaan. Lebih baik menyekolahkan pendidikan nggi ke karyawan internal sesuai dengan kebutuhan perusahaan “Kebutuhan lulusan S2 di Kementerian Keuangan (khususnya di Sekretariat Jenderal) diperlukan hanya untuk lulusan S2 yang merupakan S2 profesi, misalkan psikolog. Untuk lulusan S2 yang bukan profesi, dak terlalu dibutuhkan. Hal ini dikarenakan pimpinan merasa lulusan S2 dak dapat bekerja sesuai dengan harapan pimpinan. Oleh karena itu, pimpinan lebih memilih melakukan rekrutmen lulusan S1 untuk dididik, kemudian disekolahkan sesuai dengan bidang kerjanya, dan kemudian akan kembali ke kantor untuk bekerja lebih baik,” Dini Kusumawa – Tenaga Pengkaji Bidang Perencanaan Strategik Kementerian Keuangan Republik Indonesia. a oleh salah satu Ulasan yang lebih menarik dikemukakan psikolog yang memiliki spesialisasi di bidang talent management. Ada empat poin pen ng yang beliau sampaikan, yaitu:

a. “Basic company itu kan bo om line-nya selalu mengenai profit, jadi cost selalu ditekan. S2 umumnya meminta gaji lebih nggi dari S1. Perusahaan berpikir jika bisa mendapatkan S1 yang dapat bekerja dengan bagus, kenapa harus hire S2 dengan cost yang lebih besar? Ini mungkin terkait juga dengan lulusan S2 yang belum dapat memberi perbedaan yang signifikan di dunia nyata pekerjaan.” b. “Efek competency-based talent management membuat perusahaan lebih fokus ke kualitas kompetensi, bukan level edukasi.” c. “Perusahaan yang berbasis management trainee program untuk entry level merasa lebih bisa membentuk lewat program mereka sendiri daripada


19

(illustration © cranfield.ac.uk)

merekrut S2. Program tersebut terbuka untuk lulusan S1 maupun S2 tanpa ada perbedaan treatment tertentu.” d. “Belum maksimalnya peran organisasi profesi. Ini berlaku pada profesi-profesi tertentu yang seharusnya diatur oleh organisasi profesi. Contoh yang baik adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi dokter yang betul-betul berfungsi mengontrol peran dokter. Namun untuk profesi lain seper psikolog ataupun akuntan belum maksimal.” Hal yang sama pun terjadi pula pada sebagian besar perusahaan minyak dan gas (migas) yang menjadikan pengalaman kerja di lapangan sebagai prioritas. Sebagai contoh, Pertamina telah memiliki program beasiswa khusus untuk pegawainya, namun yang terpilih adalah mereka yang telah memiliki pengalaman kerja. Di Chevron pun pekerja yang dapat beasiswa juga telah bekerja selama 7 tahun, sehingga ke ka sekolah sudah diketahui orientasi kebutuhan studinya.

(illustration © profacts.be)

Perusahaan swasta seper CIMB Niaga bahkan memiliki graduates program tersendiri dengan kualifikasi minimal S2. Perbedaan yang dimiliki program mereka dengan jalur management trainee pada umumnya adalah jalur fast track dan assignment yang lebih berbobot, sehingga kenaikan karir karyawan akan lebih cepat. Mereka pun menganggap persaingan dalam memperebutkan talent terbaik (talent war) sudah semakin sengit di Indonesia. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perusahaan swasta, terutama mul na onal company lebih siap terhadap pasar kerja dengan kualifikasi minimum S2. Mereka memiliki segregasi yang jelas dari segi assignment yang diberikan walaupun belum sepenuhnya menjamin perbedaan yang signifikan dari segi gaji dan benefit lainnya dari perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipe k dari kondisi ini adalah mul na onal company berpotensi memenangkan (lagi) talent war yang terjadi di Indonesia. Lalu, kemanakah BUMN dan perusahaan lokal lainnya dalam persaingan tersebut? Mampukah mereka beradaptasi dan mengumpulkan talenta-talenta terbaik bangsa untuk berkontribusi langsung terhadap pembangunan negeri?

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih memilih untuk membuat program jangka panjang tersendiri di internal perusahaan dalam hal pela han dan pengembangan karyawannya. Dengan mekanisme seper ini, mereka yakin bahwa kemampuan karyawan mereka adalah kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipe k dari kondisi ini adalah adanya potensi ke dakcocokan antara pengetahuan dan kemampuan yang diajarkan di dunia akademik (dalam hal ini pendidikan sarjana dan/atau politeknik) dengan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan perusahaan, sehingga perusahaan merasa perlu membuat sebuah pola pela han yang sesuai.

Ÿ

Perusahaan kami siap merekrut profesional untuk kualifikasi minimal S2

Apakah terjadi mismatch keahlian dan skill antara dunia pendidikan dan dunia kerja?

Ÿ

Apakah program studi mahasiswa saat proses seleksi beasiswa sudah sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan untuk pembangunan jangka panjang di Indonesia?

Ÿ

Apakah memungkinkan adanya penambahan persyaratan pelamar beasiswa master dan doktoral dari segi pengalaman kerja?

Ÿ

Apakah ada segregasi level pendidikan untuk berbagai posisi/jabatan di se ap ins tusi (universitas, BUMN, perusahaan swasta, lembaga peneli an, dsb)?

Ÿ

Apakah perusahaan tertarik untuk membuka divisi Research and Development (R&D) internal?

Ÿ

Apakah para lulusan sarjana telah berpikir matang terkait career path yang ingin ditempuh sebelum memutuskan untuk mengambil pendidikan master dan doktoral? (-)

“Ya kami tertarik untuk merekrut lulusan S2 namun untuk S3 akan kami lihat dulu apakah sesuai dengan ekspektasi kedua belah pihak (kandidat dan perusahaan). Posisi yang cocok yaitu managerial level,” Indriarni Pramaningrum - Recruitment Specialist Unilever Indonesia. “Ya, sebagai perusahan mul na onal company global, kami pas sangat tertarik merekrut lulusan S2 bahkan S3 untuk posisi tertentu. Perusahaan kami sudah sangat siap menerima lulusan S2 maupun S3 tersebut karena saat ini pun sudah banyak yang bekerja di perusahaan. Posisinya bervariasi, namun untuk lulusan S2 biasanya minimal di level manajer ke atas,” Ade Gus an Yuwono - Head of OTC Novar s Indonesia.

Sudah saatnya para pemangku kebijakan untuk mulai mengarahkan prioritas pengelolaan beasiswa dari kuan tas menjadi kualitas. Mereka sebaiknya duduk bersama dengan para pe nggi perusahaan, akademisi, LPDP berserta alumninya untuk melakukan brainstorming dalam hal pemetaan grand design SDM Indonesia. Beberapa isu yang layak untuk dijadikan bahan diskusi karena menyangkut kebutuhan lintas sektoral adalah:


20

(illustration © personalbrandingblog.com)

10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan Institusi Pemerintahan; Saat Kata Menerjemahkan Sketsa Agustina Kusuma Dewi, S.Sos. BPI LPDP, PK-37. Magister Desain, ITB Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung

Sejak terminologi kata Desain Komunikasi Visual diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 90an, pro dan kontra pun merebak, dan hal itu kerap kali diperdebatkan sampai sekarang. Siapa yang merambah pada siapa – apakah desain pada komunikasi atau komunikasi pada desain, di tengah pujian dan pengharapan yang berkumandang yang diiku pula oleh protes yang dimaknai dengan berbagai pemahaman – kredibilitas dan kompetensi profesi ini banyak dipertanyakan baik oleh para prak si maupun akademisi. Unsur komunikasi yang dilibatkan mendapat sorotan, karena terminologi kata Desain Komunikasi Visual bisa menimbulkan ambiguitas makna – padahal di negeri luar profesi ini masih tetap disebut sebagai Graphic Design, atau seper yang dinyatakan oleh Richard Saul Wurman sejak tahun 1976 – architect informa on. Ke ka David Ogilvy menyatakan bahwa what to say lebih pen ng daripada how to say, dari sisi ilmu komunikasi Harold Lasswell mengemukakan formula Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect sambil memberi penekanan bahwa per mbangan dan pemilihan how to say menentukan efek vitas penyampaian what to say pada audiens. How to Say diar kan sebagai saluran komunikasi yang digunakan, dan bentuk media yang dijadikan kendaraan untuk memperkuat struktur isi pesan atau content.

Ke ka Max Bruinsma menyatakan bahwa seniman dan desainer bisa dikatakan sebagai informa on agents – ar nya mereka memperdagangkan makna, mengedarkan gagasan, konsep dan pemikiran – diwujudkan menjadi susunan-susunan visual dan diimbuhkan konteks – singkatnya, mereka mengentalkan informasi menjadi kebudayaan (Bruinsma, Max. Design Interac ve Educa on. 1997), Wibur Schamm mengungkapkan bahwa secara garis besar dalam proses komunikasi, pesan adalah pernyataan yang didukung oleh lambang, merupakan paduan pikiran dan perasaan (ide, informasi, himbauan, perintah, larangan, keluhan, dsb), dimana lambang dapat berupa verbal/bahasa (lisan mau pun tulisan), atau pun non-verbal (visual, isyarat, gerak tubuh, mimik). Dalam hal ini, ide atau gagasan yang disampaikan bisa dikomunikasikan dalam bentuk gambar atau simbol atau lambang dan tanda yang bermakna. Karena adanya unsur seni yang didominasi oleh perasaan sekaligus unsur komunikasi yang dilandasi kesadaran, maka gambar, simbol, lambang atau tanda yang bermakna ini memerlukan jembatan untuk dapat dimaknai dengan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Salah satu jembatan yang digunakan adalah komunikasi dan berbagai konsep yang menyertainya (mulai dari konsep


21

komunikasi sebagai proses siklis untuk menyamakan makna sampai pada konsep media dan karakteris knya) yang memberikan wacana sebagai landasan yang menyertai studi akademik lain dalam kajian ilmu desain. Dalam informasi yang dibangun dan dikembangkan melalui sistem jejaring komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, manakala t e r j a d i s i t u a s i m a k n a d i p e r d a ga n g ka n d a n / a t a u diinformasikan dalam bentuk visual, sifat p e rs u a s i f s e ka l i g u s informa f terjadi secara bersamaan pada proses di dalamnya. Ke ka informasi menjadi rumit dengan banyak konsep dan kata-kata struktural, visualisasi bisa m e m b a n t u menguraikan kerumitan dan menguraikan kekusutan makna yang mungkin terjadi. Sebaliknya, informasi yang dituangkan dalam bentuk desain gambar saja kadang dak cukup untuk menyamakan kerangka berpikir antara komunikator dengan komunikan atau klien si desainer sebagai produsen produk/jasa dengan konsumen. Di sanalah term (ilmu) komunikasi berperan—sebagai kata yang menerjemahkan sketsa. Menerjemahkan dalam ar an menguraikan grafis menjadi huruf-huruf yang bisa dimaknai sama karena sifat konsumsinya yang ditujukan pada publik—atau secara komunikasi lisan sekaligus juga untuk mencegah terjadinya double meaning yang keluar dari konteks. S e ka ra n g ya n g m e n j a d i pertanyaan adalah bagaimana selanjutnya para desainer dengan profesi m e r e k a m a m p u menggunakan komunikasi sebagai salah satu senjata andalan untuk mendukung kerja dan karya mereka di dunia nyata—sehingga pada akhirnya, dunia desain menjadi lebih kuat dan sarat nuansa ilmu tanpa harus kehilangan akarnya sebagai seni dan budaya yang tentunya bukan hanya emosional, namun juga terstruktur dan rasional? LPDP melalui beasiswa Magister telah memberikan ruang kemungkinan untuk menemukan ragam kontribusi terkait pertanyaan di atas. Dengan beasiswa yang diberikan untuk mahasiswa yang melanjutkan studi pada bidang keilmuan Teknik dengan salah satu konsentrasinya adalah Desain, maka sangat mungkin adanya sinergi untuk pengembangan aplikasi desain yang berlandaskan pada teori dan konsep dasar bagaimana terjadinya sebuah proses komunikasi (pada

khalayak) – sehingga, ada k temu pemahaman antara Desain + Komunikasi + Visual = Desain Komunikasi Visual yang kemudian bisa diimplementasikan secara aplika f untuk mendukung efek vitas informasi dari pemerintah – misalkan saja pada Divisi Humas di Instansi Pemerintah dan/atau Depkominfo RI – salah satunya misalnya melalui Infografis (penyajian data/informasi dalam bentuk grafis). Saat ini, era ”pictorial turn” yang tengah menggejala sangat mungkin menggiring masyarakat pada budaya visual. Namun realitanya, adanya berbagai dimensi dalam komunikasi yang mungkin dalam prosesnya bisa berbentuk intrapersona, antarpersona, kelompok, massa, sampai pada komunikasi antarbudaya yang bersifat mul kultur dan mul dimensi; dengan pesan visual yang dak efek f, mereka dapat mengakhiri sebuah hubungan komunikasi yang sudah terjalin sebelumnya. Pada akhirnya, ke ka kemajuan teknologi serta percepatan perkembangan peradaban manusia sering menimbulkan gap komunikasi secara verbal, pesan visual menjadi komponen pen ng terciptanya kesamaan makna sebagai hakikat dari proses komunikasi. Ke ka pesan visual sebagai bentukan komunikasi nonverbal saja pun kemudian m e n i m b u l k a n b e r b a ga i persepsi dan menciptakan mul -tafsir, maka tetap saja diperlukan adanya kata sebagai penerjemah sketsa. Dengan adanya sinergitas yang selaras antara alumni LPDP yang mengambil studi Desain khususnya Desain Komunikasi Visual dengan pemerintah, maka bukan tak (illustration © cnafinance.com) mungkin alumni LPDP dalam bidang Desain yang memahami konsep disiplin dalam komunikasi (communica on is irreversible) dan di ”yakini” tahu apa yang dibutuhkan untuk mencapai sebuah pesan komunikasi yang efek f, dan diharapkan dapat membangun saluran terjalinnya sebuah sinergi antara teori komunikasi dan aplikasi desain yang krea f sehingga menciptakan terobosan karya desain komunikasi visual yang mampu menciptakan komunikasi efek f sebagai tuntutan dunia informasi dalam tatanan komunikasi massa – bahkan ngkat tertentu komunikasi poli k – yang semakin berkembang dan memerlukan pembentukan citra khalayak yang posi f berkaitan dengan persepsi ide dan/atau gagasan yang akan dikomunikasikan pada masyarakat. (-)


22

11. Sistem Lifelong Learning untuk Mobilitas Sosial and Industrial Upgrading Rully Prassetya, SE, MPP, MSc. BPI LPDP, PK-01 University College London Macroeconomics, Development Policy, and Governance

Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk meningkatkan ngkat par sipasi sekolah dan kualitas pendidikan melalui program ser fikasi guru, perbaikan kurikulum, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), anggaran pendidikan 20%, serta program lainnya. Namun sayangnya, hal ini dak cukup untuk memas kan adanya mobilitas sosial (upward social mobility) pada masyarakat. Pada saat ini, orang-orang yang bekerja pada level keahlian rendah, seper seorang office boy, cleaning service, pelayan toko, satpam, dan lain-lain, cenderung untuk terhen (stuck) pada level pekerjaan keahlian rendah tersebut. Sekali mereka masuk pada profesi itu, sangat besar kemungkinan bahwa mereka akan berada pada profesi itu untuk seterusnya. Untuk itu perlu ada perubahan mindset di tataran pengambilan kebijakan bahwa belajar dak terhen pada lembaga formal saja. Selain itu, diperlukan sistem yang memas kan orang yang pada awalnya merupakan orang yang kurang beruntung, baik karena ekonomi keluarganya maupun karena sebab lainnya, mendapat kesempatan untuk meningkatkan skill mereka pada saat mereka sudah berada di dunia kerja.

Sistem di Singapura yang bernama lifelong learning concept dapat menjadi r u j u ka n . Ko n s e p i n i m e n j a d i ka n perusahaan sebagai learning center bagi para pekerja. Berdasarkan konsep ini, para pekerja akan terus mendapatkan pela han sehingga keahlian mereka pada suatu bidang semakin meningkat atau mereka dapat mempelajari keahlian baru agar mereka dapat pindah pada pekerjaan yang lebih produk f. Sebagai contoh, seseorang yang saat ini bekerja sebagai office boy, jika ia memiliki minat untuk menjadi seorang koki atau pengusaha restoran, maka ia dapat mengiku pela han sebagai koki dan pengusaha restoran. Oleh karena itu, seseorang yang pada awal karirnya 'terpaksa' menjadi seorang office boy memiliki kesempatan untuk move on. Berikut adalah gagasan prak s dari model lifelong learning Singapura tersebut (Lim, 2015).

P E R TA M A , a d a n y a C o n n u i n g Educa on and Training (CET) Master Plan. Indonesia membutuhkan sebuah master plan yang memas kan tersedianya infrastruktur CET serta adanya keterkaitan antara pendidikan pada masa sebelum bekerja (preemployment) dengan ins tusi CET. Selain itu, ins tut pendidikan bagi orang usia dewasa (Ins tute of Adult Learning) juga dapat disiapkan sehingga tersedia supply pendidik bagi orang usia dewasa. Di lingkungan eksternal yang terus b e r u b a h , m a ste r p l a n i n i p e r l u berprinsip flexible, result-oriented, dan integrated. KEDUA, penciptaan Industry-Based training. Perusahaan mul nasional atau perusahaan besar cenderung memiliki sistem in-house training center yang cukup baik. Pemerintah dapat melakukan akreditasi terhadap training center perusahaan ini sehingga ia menjadi sebuah Approved Traning

Di era yang penuh kompe si, cepat berubah, dan terintegrasi dengan perekonomian global ini, seorang p e ke r j a j u ga p e r l u u n t u k t e r u s mendapatkan pela han agar keahliannya bertambah dan dapat b e ra d a pta s i d e n ga n p e r u b a h a n . Berbagai inisia f integrasi perekonomian seper ASEAN Economic Community, Trans-Pacific Partnership, dan inisia f lainnya memberi tantangan bagi para pekerja untuk meningkatkan kompetensi dan produk vitas mereka. (illustration © assignmentpoint.com)


23

Suasana training pegawai dan pelajar di sebuah perusahaan di Singapura

O r g a n i z a o n ( ATO ) y a n g d a p a t memberikan training bagi perusahaan lainnya yang lebih kecil atau bagi pemasok bahan baku pada perusahaan tersebut. Perusahaan yang in-house training center nya mendapatkan akreditasi dari pemerintah dapat diberikan grant atau insen f lainnya. KETIGA, pembuatan Skills Development Fund (SDF). Pemberi kerja perlu berkontribusi melalui iuran Skills Development untuk semua pegawainya. Jumlah yang diterapkan di Singapura adalah 0.25% dari total gaji pegawai, dengan jumlah maksimum $11.25 (sekitar Rp100ribu) per pegawai se ap bulannya. Uang ini akan dikelola oleh Skills Development Fund (SDF) yang kemudian dapat memberikan hibah (grant) pada perusahaan yang m e n g i r i m ka n p e ga wa i nya u n t u k pela han. KEEMPAT, training bagi UMKM. Pelaku UMKM cenderung dak mengetahui apa saja pela han-pela han yang dapat mereka iku . Selain itu, biaya pela han yang cukup nggi dan cara berpikir jangka pendek (yaitu bagaimana agar bisa survive dari hari ke hari) membuat UMKM kurang berinvestasi pada pela han. Untuk mengatasi hal ini, sebuah jejaring (network) dan kelompok belajar & pela han (cluster of learning

(photo Š todayonline.com)

and training) dapat dibuat sehingga ada ekosistem yang cukup besar yang memungkinkan adanya training dan sharing of learning experience antar UMKM dengan biaya yang rela f lebih rendah. Pengelompokan ini bisa berdasarkan daerah operasi atau kebutuhan usaha yang sama, misalnya produk yang sama, kebutuhan fasilitas yang sama, atau kebutuhan pela han yang sama. Pemerintah juga dapat menyediakan dana hibah (grant) bagi UMKM, seper Enterprise Training Support (ETS) dan Capability Development Grant (CDG) yang ada di Singapura. KELIMA, pembuatan community library. Budaya membaca dan kesempatan untuk terus belajar perlu ditanamkan sejak dini dan di lingkungan terkecil masyarakat. Konsep community library yang ada di Singapura dapat diadopsi. Singapura memiliki 26 public library yang berfungsi memajukan b u d a y a m e m b a c a , b e l a j a r, d a n informa on literacy di tengah masyarakatnya. Community library ini juga menjadikan buku dan informasi mudah diakses bagi anak-anak kecil dan orang usia dewasa. Community library juga dapat menjadi community center yang menguatkan social bonding masyarakat suatu daerah.

Sebagai penutup, di era penuh kompe si dan integrasi perekonomian dunia pada saat ini, seorang pekerja perlu untuk te r u s b e l a j a r d a n m e n i n g kat ka n kompetensi dirinya. Sesorang yang pada awal karirnya kurang be runtung sehingga memiliki ngkat keahlian yang rendah, perlu mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keahliannya. Untuk mewujudkan ini, perlu ada kerja sama yang erat antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja. Pemerintah s a j a d a k d a p a t m e ny e l e s a i ka n persoalan ini tanpa ada par sipasi ak f, komitmen, dan kontribusi dari pekerja dan perusahaan. Program khusus bagi UMKM perlu diciptakan agar hal-hal yang menghalangi mereka dari pela han dapat teratasi. Budaya membaca dan belajar juga perlu ditanamkan semenjak dini. Singapura sebagai sebuah negara maju telah dengan serius m e nge m ba ng ka n s i ste m l i fe l o n g learning-nya. Tentu Indonesia sebagai negara berkembang lebih layak untuk m e m i l i k i s e m a n ga t l e b i h d a l a m meningkatkan kompetensi diri. (-) REFERENSI: Lim, Hank. 2015. Inves ng in Workers and Firms as Learning Centres for Industrial Upgrading.


24

(photo © matagaruda)

12. Kaleidoscope MATAGARUDA Connect | Collaborate | Contribute for Na on Panitia Welcoming Alumni

Pada akhir tahun 2015, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) akan memiliki tambahan alumni sebanyak 751 orang dengan distribusi lulusan dalam negeri sebanyak 193 orang dan lulusan luar negeri sebanyak 558 orang. Melihat semakin bertambah besarnya jumlah alumni beasiswa LPDP dan besarnya harapan terhadap alumni beasiswa LPDP sebagai generasi pemimpin masa depan bangsa Indonesia, ikatan alumni Mata Garuda bersama dengan LPDP berinisia f merangkai sebuah kegiatan penyambutan yang bertajuk “Welcoming Alumni” LPDP pada tanggal 31 Januari dan 1 Februari 2016 di Hotel Borobudur, Jakarta. Welcoming Alumni sendiri bertujuan menjadi sebuah pintu gerbang bagi para alumni beasiswa LPDP dalam mempersiapkan potensi dan karya yang dimiliki untuk dapat dipertemukan, dikolaborasikan dan dikontribusikan kepada bangsa Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, rangkaian kegiatan Welcoming Alumni dibagi menjadi 4 rangkaian acara: 1. Inspira ve Talks Inspira ve talks adalah talkshow berbagi pengalaman dan ide dari tokoh nasional dan para pemuda inspira f kepada alumni sebagai inspirasi dan bekal mereka dalam melanjutkan langkah hingga kelak dapat ikut ambil bagian menjadi solusi untuk bangsa Indonesia. Di talkshow ini akan menghadirkan: Prof. Dr. B.J. Habibie (Presiden RI ke-3), Nadiem Makarim (Founder Gojek), Gamal Albinsaid (Founder Indonesia Medika), dan Ainun Najib (Founder COde4Na on)* 2. Leadership Forum Leadership forum adalah sebuah kolaborasi antara alumni beasiswa LPDP, prak si, akademisi dan Pemerintah Daerah di

Indonesia dalam memecahkan permasalahan daerah dengan menggunakan konsep roundtable discussion. Diskusi akan dibagi ke dalam beberapa meja yang merepresentasikan tema prioritas LDPD dan berbagai bidang strategis di daerah. Pada Leadership Forum nan nya, alumni beasiswa LPDP akan memandu diskusi dalam se ap meja hingga dapat menghasilkan sebuah rekomendasi pemecahan permasalahan daerah dari berbagai sudut pandang keilmuan serta dapat melahirkan sebuah nota kesepahaman antara alumni beasiswa LPDP dengan Kepala Daerah dalam mengimplementasikan rekomendasi tersebut. 3. Idea Exhibi on Idea exhibi on adalah wadah kontribusi alumni LPDP yang dikemas dalam bentuk pameran poster ide atau karya alumni beasiswa LPDP. Selain itu, beberapa ide poster terbaik akan diberikan kesempatan untuk melakukan idea pitching langsung di depan para pengunjung acara yaitu investor, inkubator bisnis, pemerintahan, perusahaan swasta, ins tusi pendidikan dan juga public. 4. Gala Dinner Gala dinner adalah acara penutup rangkaian Welcoming Alumni LPDP. Acara Gala dinner tersebut dikhususkan kepada alumni beasiswa LPDP untuk mendapatkan kesempatan berjejaring dengan para pe nggi dan pemegang kebijakan di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, BUMN, perusahaan swasta, dan juga ins tusi pendidikan. Adapun rangkaian acara utama Gala Dinner adalah penyerahan buku rekomendasi dan peresmian nota kesepahaman hasil leadership forum bersama Kepala Daerah serta pemberian penghargaan kepada beberapa idea exhibi on terbaik Sebagai penutup, Welcoming Alumni hadir sebagai sebuah ajakan bagi para alumni LPDP yang sedang menentukan langkah ke depan agar kelak dapat menjadi generasi yang dak berjalan sendiri - sendiri atau bahkan hanya menjadi generasi yang berdiam diri. (-) *). dalam tahap konfirmasi.


25

Pengantar Redaksi...

(dari hal 1)

dengan permintaan pemilik modal karena pemilik modal pasti akan mencari cara terbaik untuk mendapatkan keuntungan tertinggi. Otomatisasi pekerjaan bukanlah permasalahan di Indonesia semata. Sebuah esai oleh Frey dan Osborne (Oxford 2013) mengatakan, pekerjaan yang memiliki kemungkinan otomatisasi adalah sebesar 47% kategori termasuk akuntansi, pekerjaan bidang hukum, penulisan teknis, dan banyak pekerjaan kerah putih lainnya. Selain itu, dalam hubungan antara pekerja dan pemilik modal, Swedia yang terkenal dengan

perbedaan upah yang tidak timpang pun mengalami makin tingginya kesenjangan antara kelas. Di mana, banyak orang melakukan “bullshit jobs” yang dimaknai oleh David Graeber, seorang antropolog London School of Economics sebagai “low- and mid-level screensitting that serves simply to occupy workers for whom the economy no longer has much use.”

banyak komunitas mencoba menjadi selfsufficient dan makin banyak gerakan ethical consumerism yang makin membuat orang semakin tidak ingin tergantung pada pemilik modal. Indonesia tidak perlu mencapai era industrialisasi seratus persen karena pembangunan tidaklah linear. Kita bisa mulai ikut memikirkan cara lain membuat kehidupan yang lebih baik tanpa harus melalui cara memasok manusia sebagai tenaga kerja. (-)

Pengembangan sumber daya manusia seharusnya bukan seluruhnya demi kepentingan pemilik modal. Dalam era post-industrialisasi,

A INSTITUTE

MATAGARUD

COMING SOON! Buku kumpulan program dan proyek strategis pembangunan desa.

ATEGIS R T S k e y o r P & m Progra AN DESA N

PEMBANGU

MGI membuka kerjasama dengan berbagai pihak untuk merealisasikan gagasan pada buku program ini. hubungi:

matagarudainstitute@gmail.com

Kolom Redaksi: MATAGARUDA INSTITUTE

BULLETIN

Edisi 5 | Dec 2015

PELINDUNG Eko Prasetyo

DIREKTUR INSTITUTE Rully Prassetya

PIMPINAN REDAKSI Muhammad Gibran Annisa Rahmani Qastarin

PENGARAH EDITORIAL: Muhammad Gibran Vidya Spay

ISSN: 2443-0072

PRODUSER EDITORIAL: Dea Fitri Amelia Annisa Rahmani Qastarin T. A. Octaviani Dading

LAY-OUT dan ILUSTRASI: Muhammad Gibran Vidya Spay

KONTRIBUTOR EDITORIAL: Akbar Nikmatullah Dachlan Arditto Trianggada Almag Fira Pradana

KONTRIBUTOR ARTIKEL: Agustina Kusuma Dewi, Naufal Rospriandana Muhammad Gibran Rio F. Rachman Sumiyati Tuhuteru M. Rizki Pratama Rizki Ananda Abdul Aziz Luth i Handika Prasetya Dwiyasni



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.